62
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antaratumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring. Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karenanasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tenggorok serta berhubungan dengan banyak banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli,seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher sering ditemukansebagai gejala pertama. Penanggulangan karsinoma nasofaring samapai saat ini masih merupakan suatu problem,hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang yang

CA-Nasofaring Oke Nesty

Embed Size (px)

DESCRIPTION

CA-Nasofaring Oke Nesty

Citation preview

Gejala Klinis

38

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKarsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antaratumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumorganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempatpertama. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring.Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karenanasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tenggorokserta berhubungan dengan banyak banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli,seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher sering ditemukansebagai gejala pertama.Penanggulangan karsinoma nasofaring samapai saat ini masih merupakan suatu problem,hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang yang tidak khas serta letaknasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambatPada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.

1.2EpidemiologiInsidens terjadinya karsinoma nasofaring pada penduduk daratan cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi yaitu dengan 2500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk.Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Sedangkan insidens yang terendah pada bangsa Kaukasian,Jepang dan India.Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah dan berdasarkan pengamatan, pasien karsinoma nasofaring dari ras cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya.Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria dibanding pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang masih produktif (30-60 tahun), dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk kerucut dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring.Dasarnya dibentuk oleh palatum molle.Batas Nasofaring : Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. Posterior : - Vertebra cervicalis I dan II Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar Mukosa lanjutan dari mukosa atas Lateral : - Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang Muara tuba eustachii Fossa rosenmulleri

Bangunan yang penting pada nasopharing Ostium tuba eustachii pars pharyngealTuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan nasofaring dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar tetapi menonjol seperti menara, disebut torus tubarius. Fossa rosenmulleri Merupakan dataran kecil dibelakang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring. Fornix nasofaringAdalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor angiofibroma nasofaring Adenoid = tonsil pharyngeal = luskhaSecara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adenoid akan mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior dan dorsal nasofaring sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman-kuman yang lewat jalan napas hidung.

Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak dan akan terbuka pada saat respirasi.Fungsi Nasofaring : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidungSecret dari nasofaring dapat bergerak ke bawah karena : Gaya gravitasi Gerakan menelan Gerakan silia ( kinosilia ) Gerakan usapan palatum molle2.3 EtiologiBerkaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring sekalipun. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.

Ada beberapa mediator yang dianggap berpengaruh untuk menimbulkan terjadinya karsinoma nasofaring :1. Zat nitrosaminDidalam ikan asin terdapat zat nitrosamin yang merupakan mediator penting. Zat nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland. Juga pada Qualid yaitu daging kambing yang dikeringkan di Tunisia, dan sayuran yang difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina 2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.Udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus Karsinoma Nasofaring. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan Karsinoma Nasofaring.3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti : Benzopyrene Benzoanthracene Gas kimia Asap industri Asap kayu Beberapa ekstrak tumbuhan4. Ras dan keturunanRas Kulit putih sering terkena penyakit ini. Di asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang Negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang agak banyak terkena penyakit ini.5. Radang kronis daerah nasofaringDianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.

2.4 Gejala Klinis

Menegakkan diagnosis sedini mungkin sangat penting. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang gejala dini dari karsinoma nasofaring dan juga perluasannya, baik regional maupun metastase jauh. Akan tetapi tumor induk nasofaring boleh dikatakan sedikit sekali memberikan tanda yang jelas bahkan sudah memberi gejala-gejala sekunder yang nyata di tempat lain. Karena gejala tumor tidak nyata, sedangkan gejala sekunder yang seringkali lebih menonjol, maka mengakibatkan penderita datang ke dokter dalam keadaan sudah stadium agak lanjut. Kadang penderita datang pada stadium dini, tetapi gejala yang dikeluhkan sangat umum, sehingga tidak terpikir bahwa gejala itu adalah gejala karsinoma nasofaring.7Gejala-gejala tersebut ditentukan oleh hubungan anatomik nasofaring dengan organ sekitarnya, yaitu hidung, tuba eustachius, telinga, kelenjar limfe regional, dan dasar tengkorak.Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh karsinoma nasofaring antara lain:1. Gejala Telingaa. Kataralis/oklusi tuba eustachiusPada umumnya karsinoma nasofaring bermula di fossa Rossenmuller, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba, sehingga mengakibatkan keluhan rasa penuh di telinga, gemrebeg, tinitus, gangguan pendengaran, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Gejala ini merupakan gejala dini dari karsinoma nasofaring.7,24Gambar 5 Tumor nasofaring yang menutupi tuba Eusthachius, yang bertanda panahb. Otitis Media Serosa dan dapat berlanjut sampai terjadi perforasi dan gangguan pendengaran. 2. Gejala Hidunga. EpistaksisDinding tumor biasanya rapuh sehingga iritasi ringan saja dapat mengakibatkan perdarahan. Keluarnya darah biasanya berulang-ulang , jumlahnya sedikit dan bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.

b. Sumbatan HidungSumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis kadang disertai gangguan penciuman dan adanya ingus kental.Gejala hidung ini merupakan gejala dini yang hanya berupa keluhan pilek yang lama, keluar ingus yang banyak, dapat nanah encer, kental atau berbau. Oleh karena itu ditekankan, harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring bila ada gejala berikut:a. Bila penderita pilek-pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama pada penderita usia lebih 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung tampak kelainan.b. Bila penderita pilek-pilek keluar ingus kental, berbau busuk, lebih-lebh kalau ada titik atau garis-garis darah, tanpa tampak adanya kelainan di hidung dan sinus paranasal.c. Pada penderita tua, usia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung atau mimisen. Pemeriksaan tekanan darah normal dan pada pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.7Gejala telinga dan hidung bukan merupakan gejala yang khas pada penderita karsinoma nasofaring karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis, dan lain-lain. Epistaksis juga dijumpai pada anak yang sedang menderita radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa penyebab yang jelas, atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan yang lebih teliti terhadap nasofaring sampai terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaring penyebabnya.73. Gejala NeurologiKarsinoma nasofaring dapat menyebabkan berbagai lesi neurologis, khususnya saraf kranial, baik intrakranial maupun ekstrakranial sehingga dapat menyebabkan paralisis saraf kranial multipel.Perluasan ke atas:Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran petrosfenoid. Sindroma petrosfenoid terjadi bila seluruh saraf grup anterior yang terkena, biasanya melalui foramen laserum yang akan mengenai saraf kranial N. III, IV, VI dan dapat pula N. V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dulu ke dokter mata. Tanda lainnya adalah: neuralgia trigeminal optalmolpegia unilateral nyeri kepala hebat oleh karena penekanan tumor pada durameterPerluasan ke belakang:Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial sepanjang fossa posterior, disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena saraf grup posterior yaitu saraf kranial N.VII-XII serta saraf simpatikus servikalis. Sindroma retroparotidian (Jackson) terjadi akibat kelumpuhan N. IX, X, XI, dan XII. Terjadi pada kasus yang sudah lanjut yang penyebarannya melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Dapat pula disertai destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk.7Tumor dapat menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga dapat menyebabkan trismus.Manifestasi keluhan ialah:23 N. IX: kesulitan menelan oleh karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah. N. X: hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring, dan laring disertai gangguan respirasi dan salivasi. N. XI: kelumpuhan atau atrofi otot-otot trapezius, sternokleodomastoideus, serta hemiparesis palatum mole N. XII: hemiparalisis dan atrofi sebelah lidahSemua ini biasanya disertai sindroma Horner akibat kelumpuhan N. Simpatikus servikalis berupa penyempitan fisura palpebralis, enoftalmos, dan miosis. Biasanya beberapa saraf kranial terkena secara unilateral, tapi pada beberapa kasus dapat ditemukan bilateral. 4. Gejala pada Kelenjar Getah BeningOleh karena tumor pada nasofaring bersifat anaplastik dan banyak terdapat kelenjar limfe, maka karsinoma nassofaring dapat menyebar ke kelenjar limfe leher. Melalui aliran kelenjar limfe inilah, maka sel-sel kanker dapat sampai ke kelenjar limfe leher. Di dalam kelenjar tersebut, sel-sel kanker dapat tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan besar di leher bagian samping. Penyebaran secara limfogen dapat unilateral maupun bilateral.7,235. Gejala akibat Metastase JauhPenyebaran jauh dapat sampai ke organ-organ seperti hati, paru, ginjal, limpa, otak, tulang belakang, dan tulang-tulang lainnya. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis buruk. Adanya tumor leher akibat metastase jauh ini yang mendorong penderita datang periksa ke dokter, yang meliputi 70-90% dari semua kasus karsinoma nasofaring. Besarnya tumor leher dapat digunakan untuk menentukan berapa lama kira-kira karsinoma tersebut sudah diderita oleh orang tersebut. Gejala ini bukan merupakan gejala dini tapi sudah merupakan gejala yang lanjut.76. Gejala MataPenderita mengeluh kurang penglihatan, tetapi bila ditanyakan secara teliti penderita akan menerangkan bahwa pasien seringkali melihat double (diplopia). Diplopia terjadi karena kelumpuhan N. VI yang letaknya di atas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yaitu adanya kelumpuhan N. III dan N. IV yang menimbulkan kelumpuhan mata atau optalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikus maka N. II akan terjadi lesi dan penderita menjadi buta.Muljono Djojopranoto membuat patokan yang lebih singkat, agar selalu ingat dan curiga akan adanya karsinoma nasofaring, seperti di bawah ini:a. Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-lebih jika tumor itu terletak di bawah processus mastoid dan di belakang angulus mandibulae.b. Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat bila ada tumor leher: ditambah gejala hidung dan telinga ditambah gejala mata dan saraf (neurologi) dan kranialc. Dugaan karsinoma nasofaring itu hampir pasti, bila ada gejala lengkap.7

2.5 Stadium dan KlasifikasiMenurut UICC edisi ke-5 1997 dengan klasifikasi TNM stadium karsinoma nasofaring ditentukan sbb: 1. T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.a. T0: Tidak tampak tumorb. T1: Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/ posterosuperior/ atap dan lain-lain)c. T2 : Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga nasofaringT2a : Tanpa perluasan ke parafaringT2b : Dengan perluasan ke parafaringd. T3: Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring, dsb)e. T4: Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.f. TX: Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.1. N menggambarkan pembesaran kelenjar limfe regionala. N0: Tidak ada pembesaran kelenjarb. N1: Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral/homolateral dan masih dapat digerakkanc. N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral/kontralateral dan masih dapat digerakkand. N3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar. 1. M menggambarkan metastasis jauha. M0 : Tak ada metastasis jauhb. M1 : Terdapat Metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan sbb: Normal

Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0

1. Stadium I : T1, N0, M02. Stadium IIA : T2a, N0, M03. Stadium IIB : T1, N1, M0 atau T2a, N1, M0 atau T2b, N0-1, M04. Stadium III : T1, N2, M0 atau T2B T2b, N2, M0 atau T3, N0-2, M05. Stadium IVA : T4, N0-2, M06. Stadium IVB : T1-4, N3, M07. Stadium IV C : T1-4, N0-3, M14,8

2.6 Diagnosis Diagnosis dan pengobatan dini memegang peranan penting dalam keberhasilan terapi karsinoma nasofaring. Perlu perhatian pada orang resiko tinggi yaitu usia diatas 40 th yang kita curigai menderita karsinoma nasofaring. Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor:0. Anamnesis yang lengkap0. Pemeriksaan fisik0. Biopsi nasofaring Biopsi merupakan diagnosis pasti dalam menegakkan karsinoma nasofaring. Beberapa ini merupakan teknik biopsi:a. Biopsi Buta (Blind Biopsy)Biopsi ini dilakukan tanpa melihat jelas tumornyaui karena semata-mata hanya mengandalkan perasaan dan kemahiran operator, dengan akurasi yang kurang baik. Ketepatan biopsi ini kira-kira 60-75%.

Caranya:Hidung terlebih dahulu dilakukan anestesi lokal dengan menggunakan aplikasi kapas yang telah dibasahi dengan obat anastesi seperti larutan kokai 5%, pantokain 1%prokain 2% atau silokain 5%. Aplikasi anastesi dilakukan 2 kali, masing-masing 5 menit.7 Setelah itu dimasukkan tang biopsi (nasal cutting forceps) ke dalam hidung menyusuri dasar kavum nasi ke belakang sampai menyentuh dinding belakang nasofaring. Kemudian ujung tang biopsi digeserkan ke lateral mengikuti dinding lateral nasofaring sambil ditarik ke depan perlahan-lahan. Penarikan tang biopsi ke depan kurang lebih 1cm. Kira-kira di belakang koana dan kurang lebih 1 cm dari dinding belakang, diraba letak tumor atau dicari fossa Rosenmulleri. Setelah menurut perasaan ujung tang biopsi sudah tepat pada tumor, dilakukan pengambilan sebagian jaringan yang dicurigai 7,25 Jaringan biopsi dimasukkan ke dalam botol kecil yang bersih berisi larutan formalin 4%.7b. Biopsi Buta Terpimpin (Guided Biopsy)Sebenarnya sama dengan biopsi buta, akan tetapi pada waktu mencari tumor atau fossa Rosenmulleri dibantu dengan rinoskopi posterior atau nasofaringoskopi indirekta. Bila dibandingkan dengan biopsi buta sepenuhnya, cara ini seharusnya lebih baik atau lebih akurat. Kesulitan yang sering dihadapi adalah melakukan dua pekerjaan sekaligus, sehingga membutuhkan ketrampilan khusus.7c. Biopsi dengan Nasofaringoskopi DirektaBiopsi ini biasanya transoral.Caranya:Sebelumnya dilakukan penyemprotan pada palatum mole, orofaring, dan nasofaring dengan spray xylokain 10%. Penyemprotan dimaksudkan agar penderita tidak terlalu peka terhadap rangsangan yang mungkin terjadi pada waktu akan dilakukan biopsi. Lidah ditekan perlahan-lahan dengan penekan lidah. Tang biopsi nasofaring dengan optik dimasukkan dengan menyusur di atas penekan lidah secara pelan-pelan. Dengan melihat pada optik diarahkan ujung tang biopsi ke tumor atau tempat yang dicurigai. Jaringan diambil sebanyak mungkin, untuk menghindari kemungkinan permintaan ulangan biopsi. Ketepatan biopsi ini 90%. Biopsi harus dilakkukan di beberapa tempat di nasofaring yang dicurigai ada keganasan.7d. Biopsi melalui MulutBiopsi ini terdapat kerugian yaitu bidang yang terlihat sangat terbatas dan perlu dilakukan dengan narkosa.25Caranya:Biopsi ini dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan dklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan ateter di sebelahna, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas.24e. Biopsi dengan FibernasofaringoskopTindakan dilakukan melalui hidung Caranya:Lubang hidung yang dilalui fibernasofaringoskop diberi anasesi lokal dengan aplikasi kapas yang dibasahi dengan obat anasesi. Setealah kapas diambil, dimasukkan fibernasofaringoskop menelusuri dasar rongga hidung sampai di belakang koana. Dengan membengkokkan ujung dari fibernasofaringoskop dicari tumor atau empat yang dicurigai. Biasanya dengan fibernasofaringoskop tumor tampak lebih jelas dan bahkan kadang-kadang menjadi bingung bila tidak biasa. Diambil jaringan yang dicurigai sebanyak mungkin dan ambil di beberapa tempat. Ketepatan biopsi ini 95%.7

0. Pemeriksaan Patologi Anatomi23Penting dilakukan untuk mengetahui histopatologinya dan menentukan jenis terapinya.0. Pemeriksaan radiologi23a. Foto SchedelUntuk melihat invasi tumor, ditandai dengan adanya tanda-tanda kerusakan dasar tengkorak.b. Foto ThoraxUntuk melihat adanya penyebaran tumor. Dalam hal ini paru adalah organ yang paling sering sebagai tempat metastase tumor.c. CT ScanUntuk melihat tumor primer yang tersembunyi. Dapat juga digunakan untuk melihat perluasan tumor, erosi dasar tengkorak.d. MRI Membantu melihat kanker yang menyebar di sekitar kepala.e. USG HeparUntuk melihat metastase tumor ke hepar.f. Bone ScintigraphyUntuk melihat perluasan tumor ke tulang.0. Pemeriksaan laboratorium23a. Pemeriksaan serologiBerupa IgA untuk EA dan IgA anti VCA untuk virus Ebstein-Barre.0. Pemeriksaan neuro-oftalmologi2Untuk melihat fungsi saraf dan mata.

Skema Penatalaksanaan

Anamnesis dan pemeriksaan fisikRinoskopi posteriorJelas ada tumor di NFTidak jelas tumor di NFKlinis curiga KNFKelenjar leher biopsi aspirsiCT Scan/MRIBiopsi NF Multipel (anastesi lokal)-Biopsi NF Multipel (dengan narkose)Radioterapi dan Terapi Paliatif+-Nasofaringoskopi Biopsi-+

Biopsi NF Multipel (anastesi lokal)

+

Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring22

2.7 Penatalaksanaan

2.7.1. TerapiPrinsip Pengobatan Karsinoma NasofaringPrinsipnya pengobatan untuk karsinoma nasofaring meliputi terapi sbb :9,101. Radioterapi 1. Kemoterapi 1. Kombinasi 1. Operasi 1. Imunoterapi 1. Terapi paliatif Penatalaksanaan Berdasarkan Stadium : Stadium I : Radioterapi Stadium II & III : Kemoradiasi Stadium IV dengan N < 6cm : Kemoradiasi Stadium IV dengan N > 6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.Pemilihan Terapi KankerMemilih obat kanker tidaklah mudah, banyak faktor yang perlu diperhatikan misalnya:11 Jenis, histopatologi, dan penyebaran kanker Kemosensitivitas dan radiosensitivitas kanker Imunitas tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang kita berikan Efek samping terapi yang kita berikan1. Jenis KankerUntuk keperluan pemberian kemoterapi, kanker dibagi menjadi 2 jenis yaitu:11a. Kanker Hemopoitik dan limfopoitikKanker hemopoitik dan limfopoitik umumnya merupakan kanker sistemik. Termasuk dalam jenis kanker ini adalah kanker darah (leukemia), limfoma maligna dan sumsum tulang (myeloma). Terapi utama kenker hematologi adalah kemoterapi, sedangkan operasi dan radioterapi sebagai adjuvan.b. Kanker padat (solid)Kanker padat bisa lokal, bisa menyebar ke regional dan atau sistemik ke organ-organ lain. Dalam kanker jenis ini termasuk kanker diluar hematologi. Terapi utama kanker ini adalah operasi dan atau radioterapi, sedangkan kemoterapi baru diberikan pada stadium lanjut sebagai adjuvan.

2. Sensitivitas KankerSensitivitas tumor terhadap obat anti-kanker tidaklah sama, sehingga terbagi menjadi 3 macam: 11a. Sensitif Kemosensitif:0. leukemia0. limfoma maligna0. myeloma0. choriocharsinoma0. kanker testisRadiosensitif:Tumor yang dapat dihancurkan dengan dosis 3500-6000 rads dalam 3-4 minggu0. Lymphoma maligna0. Myeloma0. Retinoblastoma0. Seminoma0. Basalioma0. Kanker laring T1b. Responsif Kemoresponsif:0. Tumor yang kecil0. Tumor yang pertumbuhannya cepat0. Tumor yang deferensiasi selnya jelekRadioresponsif:0. Kanker yang ukurannya sedang, T2-T3 dan dapat dihancurkan dengan dosis 6000-8000 rads dalam 3-4 mingguc. Resisten Kemoresisten:0. Tumor besar0. Kanker yang pertumbuhannya pelan0. Kanker yang diferensiasi selnya baikContoh: kanker otak, fibrosarkoma, melanoma malignaRadioresisten:Tumor yang baru bisa dihancurkan dengan dosis lebih dari 8000 rads. Contoh: Melanoma maligna, adenokarsinoma, kanker otak, sarkoma jaringan lunak.Radiosensitivitas tumor tergantung dari banyak faktor, antara lain:0. Tipe histologi tumor0. Derajat diferensiasi sel0. Besar tumor0. Vaskularisasi Tumor0. Lokasi topografi tumorBeberapa jenis obat dan keadaan yang dapat menambah sensitifitas radioterapi: Oksigenasi, Hipertermi, Levamisol, beberapa sitostatika.11Sensitifitas kanker terhadap kemoterapi biasanya ada sejak awal mulanya dan dapat pula timbul dalam perjalanan pengobatan kanker. Resistensi Terhadap KemoterapiResistensi terhadap kemoterapi dapat terjadi karena farmakokinetika obat itu seperti:111. Perubahan absorbsi0. Variabilitas absorbsi obat di gastrointestinal0. Adanya penyakit gastointestinal0. Tidak makan obat seperti seharusnya (non compliance)0. Formulasi obat yang tidak cocok1. Perubahan distribusi0. Perubahan ikatan obat dengan protein serum0. Perubahan distribusi karena obat lain yang mengikat protein serum1. Perubahan metabolisme0. Perubahan enzim yang mengadakan detoksifikasi0. Penyakit hati0. Ada obat lain yang ikut serta0. Pengurangan konjugasi obat karena usia1. Pengurangan ekskresi0. Penyakit hati0. Penyakit ginjal

2.7.1.1 Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring1. Definisi Terapi RadiasiTerapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.12Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.2

2. Persyaratan Terapi RadiasiPenyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:9a. Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi.b. Tipe tumor yang radiosensitif.c. Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya.d. Dosis yang optimal.e. Jangka waktu radiasi tepat.f. Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping radiasi.Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu.10

3. Sifat Terapi RadiasiTerapi radiasi sendiri sifatnya adalah:91) Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional.2) Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor.3) Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.4) Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.5) Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya.6) Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya.7) Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat mengakibatkan defek imun secara general.

4. Persiapan / Perencanaan sebelum RadioterapiSebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.19,21

5. Penentuan Batas-batas Lapangan RadiasiTindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening regional.14,19Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari:a. Seluruh nasofaringb. Seluruh sfenoid dan basis oksiputc. Sinus kavernosusd. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan foramen jugularis laterale. Setengah belakang kavum nasif. Sinus etmoid posteriorg. 1/3 posterior orbith. 1/3 posterior sinus maksilai. Fossa pterygoideaj. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilark. Kelenjar retrofaringeall. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan supraklavikular.19Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring (T3) seluruh kavum nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila.19 Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah:a. Batas atas: meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.b. Batas depan: terletak dibelakang bola mata dan koana.c. Batas belakang: tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar yang teraba.d. Batas bawah: terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.14,19 Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang.Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar.14 Kelenjar supraklavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer.19

6. Sinar untuk radioterapiSinar yang dipakai untuk radioterapi adalah:a. Sinar AlfaSinar alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom terdiri dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak banyak dipakai dalam radioterapi.b. Sinar BetaSinar beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif yang mempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm. Digunakan untuk terapi lesi yang superfisial.3. Sinar GammaSinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energi yang menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya, makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya.16

Radioisotopa. Caecium137 ! sinar gammab. Cobalt60 ! sinar gammac. Radium226 ! sinar alfa, beta, gamma.

7. Efek Samping Terapi Radiasi:10a. Radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan ngilu pada gigib. Xerostomia, trismus, otitis media c. Pendengaran menurun d. Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau osteoradionekrosise. Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinalf. Lhermitte syndrome karena radiasi myelitisg. Hypothyroidism, dsb.

8. Pengaruh Terapi Radiasi Terhadap Sistem ImunSecara luas dilaporkan bahwa segera setelah pemberian radiasi terjadi gangguan terhadap sel limfosit T, yang akibatnya memudahkan timbulnya berbagai macam infeksi.13 Pasien dengan tumor primer di leher dimana drainase limfatiknya juga di leher, setelah diberikan radiasi mengakibatkan berkurangnya limfosit darah tepi secara signifikan. Jumlah limfosit T CD4+ menurun lebih bermakna dibandingkan penurunan jumlah sel limfosit T CD8+. Gangguan akibat radiasi tidak hanya mempengaruhi jumlah sel limfosit T namun juga mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya gangguan fungsi dibuktikan dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada percobaan invitro. Apakah defek jumlah dan fungsi limfosit T pada penderita yang diterapi radiasi dapat reversibel? Penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan normalisasi sel limfosit T CD4+ setelah 3-4 minggu pasca radiasi.13

9. Jenis Pemberian Terapi RadiasiTerapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai:10a. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai:1) Pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening2) Pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening3) Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi4) Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissectionb. Radiasi interna (brachytherapy) yang bisa berupa permanen implan atau intracavitary barchytherapy.Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk:1) Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.2) Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor 3) Pengobatan kasus kambuh.

2.7.1.2 Kemoterapi pada Karsinoma Nasofaring1. Definisi KemoterapiKemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.142. Tujuan KemoterapiTujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini.

3. Obat-Obat Sitostatika yang Direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala LeherBeberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher.114. Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma NasofaringKemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk.15Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. 12Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus ( Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu (Cell Cycle phase spesific).12Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).12Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda. 12

5. Mekanisme Cara Kerja KemoterapiKebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat, zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut:12a. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis timidin.b. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.c. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis.

6. Cara Pemberian KemoterapiSecara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu:14,16a. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi. b. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut. c. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi d. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma). Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna. 15Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata:11c. kankernya masih ada, dimana biopsi masih positifd. kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.e. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi:111. neoadjuvant atau induction chemotherapy2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy3. post definitive chemotherapy.

7. Efek Samping KemoterapiAgen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut.15 Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.20Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi.20Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita menjadi tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala karnofsky, skala ECOG), status gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya.11Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek samping terhadap organ tersebut lebih minimal.11 Efek Samping secara spesifik untuk masing-masing obat dapat dilihat pada lampiran 2.

Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh: 181. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh tertentu.1. Dosis. 1. Jadwal pemberian. 1. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus). 1. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ tertentu.

8. Persyaratan Pasien yang Layak diberi KemoterapiPasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sbb:11a. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan 2b. Jumlah lekosit 3000/mlc. Jumlah trombosit 120.0000/uld. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10e. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) (Tes Faal Ginjal)f. Bilirubin < 2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes Faal Hepar)g. Elektrolit dalam batas normalh. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun.9. Status Penampilan Penderita Ca (Performance Status)Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyait kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya.Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) adalah sbb: 18- Grade 0: masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari.- Grade 1 : hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan.- Grade 2: hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tidur dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain.- Grade 3: Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50% waktunya untuk tiduran.- Grade 4: Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya di kursi atau tiduran terus.

2.7.2.3 Kemoradioterapi pada Karsinoma Nasofaring1. Definisi KemoradioterapiKemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Begitu banyak variasi agen yang digunakan dalam kemoradioterapi ini sehingga sampai saat ini belum didapatkan standar kemoradioterapi yang definitif.14

2. Manfaat KemoradioterapiManfaat Kemoradioterapi adalah:19a. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia. b. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase. c. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radiasi.14 Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).11Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.14Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.

3. Kelemahan KemoradioterapiKelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.14Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.11

2.7.2 OperasiUntuk operasi tumor sudah lama dilakukan, baik operasi transpalatal (Diefenbach, Welson) maupun operasi transmaksiler paranasal (Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, hasilnya kurang efektif dibanding tindakannya. Terapi bedah juga dilakukan pada anak sebar, yaitu membuang kelenjar limfe leher. Operasi ini membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit untuk membuang kelenjar di daerah para dan retrofaring.7

2.7.3 ImunoterapiDalam pengobatan keganasan imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik Onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan penelitian dan trial. Untuk beberapa pakar menggunakan bahan sederhana seperti BCG, PPD, dan Livamisol. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penyelidikan antara lain dengan menggunakan Interferon dan Poly ICLC.7 2.7.4 Penilaian Hasil Terapi Kanker Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal maupun kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4 minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari aspek hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah yang lazim dipakai yaitu:11,171. Sembuh ( cured ) 2. Respon komplit (complete response/ CR): semua tumor menghilang untuk jangka waktu sedikitnya 4 minggu 3. Respons parsial (partial response/ PR): semua tumor mengecil sedikitnya 50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul dalam jangka waktu sedikitnya 4 minggu. 4. Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kuran dari 50 % atau membesar kurang dari 25 %. 5. Penyakit Progresif (progresive disese/PD): tumor makin membesar 25 % atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak diketahui adanya. 6. Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya (disease free survival). Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor, perkembangannya dapat dipantau berdasarkan kadar tumor markers.

BAB IIIKESIMPULAN

Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Seperti pada keganasan yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan sehingga pencegahan relative sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha menuju diagnosis dini, dimana diagnosis dini sulit untuk ditegakkan. Yang terutama menjadi masalah adalah keterlambatan pasien untuk berobat. Sebagian besar datang ketika sudah dalam stadium lanjut, dengan demikian kanker sudah meluas ke jaringan sekitar atau kelenjar leher. Hal ini merupakan penyakit untuk mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.

Oleh karena itu perlunya meningkatkan kesadaran para dokter serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya masyarakat mengetahui tanda tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka perki untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat.

Diagnosis dini harus segera ditegakkan dengan biopsy serta pemeriksaan patologi, supaya pengobatan tidak terlambat. Diharapkan dengan penemuan kasus dini, penanggulangan terhadap penyakit ini dapat diperbaiki, sehingga angka kematian dapat ditekan.

Pada stadium dini pengobatan yang diberikan adalah penyinaran, dan memberikan angka penyembuhan yang cukup tinggi. Oleh karena itu diharapkan kesadaran masyarakat untuk segera berobat. Jika terdapat gejala yang mencurigakan, segera memberikan diri ke dokter. Sedangkan pada stadium lanjut, perlu pengobatan tambahan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kuhuwael, FG. 2006. Penatalaksanaan Keganasan Kepala dan Leher. Dexa Media No 3 Vol 19, Juli-September2. Asroel, HA. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma nasofaring. USU Digital Library3. WIqoyah,N [et al]. 2005. Antibodi IgA Spesifik terhadap Viral Capsid Antigen (VCA) Epstein barr Virus (EBV) sebagai Tumor Marker Karsinoma Nasofaring. The Indonesian Journal of Public Health Vol 1 No 34. Lin HS, Fee WE. 2007. Malignant Nasopharygeal Tumors. From http://www.emedicine.com.5. Mansjoer, Arif [etal]. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid Pertama. Media Aeusculapius: Jakarta6. Adam, George L, Boies, Higler. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit Telinga, hidung, tenggorok; Editor Harjanto Effendi. Edisi 6. Penerbit EGC: Jakarta7. Bambang, S. 1992. Diagnosis dan Pengelolaan Kanker THT dan Kepala Leher. Balai Penerbit UNDIP: Semarang8. Paulino,AC. 2006. Nasopharygeal Cancer. From http://www.emedicine.com.9. Roezin, Aferdi, Syafril.2001.Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher edisi V.FKUI: Jakarta10. Donoseputro, M. 2006. Anti EBV VCA Ig A dan Anti EBV EA Ig A. From http://www.Prodia.co.id11. Soedijono, Zaman. Tehnik Biopsi Tumor Nasofaring melalui Mulut dengan bantuan Kateter Nelaton dan Rhinoscopia Posterior. Bagian Penyakit THT RSUD dr.Soetomo FK UNAIR: Surabaya12. Mulyarjo. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr. Soetomo, Surabaya 2005: 63-6713. Arina, Aria. 2004. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring. Sumatera Utara: USU Repository14. Kartikawati, H.2002.Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring Menuju Terapi Kombinasi/Kemoterapi.15. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Binarupa Aksara, Edisi 13, Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI, Indonesia 1994 : 839-5416. Kentjono WA, Kemoterapi pada Tumor Ganas THT-Kepala Leher Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr. Soetomo, Surabaya November 2002,108- 21