53
1 BAB 1 PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). 1,2,3 Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia. 1,2 Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala

CA Nasofaring

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ca nasofaring

Citation preview

Page 1: CA Nasofaring

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di

antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima

besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor

payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher

menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah

kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor

ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3

Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data

patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya (1973 – 1976)

diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan

127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan

pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma

nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di

seluruh Indonesia.1,2

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu

masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta

letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli

sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai

gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan

hidup 5 tahun) semakin buruk.

Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan,

deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Penulis berusaha untuk

menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk dipahami melalui tinjauan pustaka dalam

referat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

Page 2: CA Nasofaring

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang

cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.2

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral

yang secara anatomi termasuk bagian faring.

Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis

ruangan dibelakang hidung (nasofaring).2

2.2. EPIDEMIOLOGI dan ETIOLOGI

Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7

kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara

“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF

berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair 

Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT

Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCM Jakarta

ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus,

Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979).

Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma

nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.1,3

Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari

penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer)

dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964, dan dari

investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua

aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta

agregasi family.1,4

KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara berbagai

Negara, maupun yang tersebar dalam 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105

Page 3: CA Nasofaring

3

di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong),

dan insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000

penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun

2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus

meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus

pada penduduk lokal dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan

timur tengah 1,4,5

Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan

apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan

faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF

berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah

insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden

tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan

menurun setelahnya 5

Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan

cukup tinggi pada pendduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,

Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan

Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi

epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah

satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF)

pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China

town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam

terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan

penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan

Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.

Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang

masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal

terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang

dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’

untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama

di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi

maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang

Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan

Page 4: CA Nasofaring

4

konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu

adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi

yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.1,4,5

Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat

people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak

mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti

epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang

dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh

keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000) 4,5

Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk setiap tahun. Di rumah

Sakit H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita KNF ditemukan pada lima

kelompok suku. Suku yang paling banyak menderita KNF adalah suku Batak yaitu 46,7%

dari 30 kasus.5

Karsinoma nasofaring secara histopatologi dapat dibedakan menjadi Karsinoma

nasofaring dengan keratinisasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi, di mana karsinoma

nasofaring non keratinisasi ada yang berdiferensisasi dan tidak berdiferensisasi. Pada

penelitian ditemukan bahwa Ca Nasofaring non-keratinisasi merespons pengobatan dan terapi

lebih baik dibandingkan Ca Nasofaring keratinisasi. Karsinoma nasofaring non-keratinisasi

merupakan yang paling sering terjadi (75% dari kasus KNF yang ada).6

Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF non

keratinisasi telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada

1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta

titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan

pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada

beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal

tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak

cukup untuk menimbulkan proses keganasan.7

Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF)

jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan

dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan

tetap ada peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko

terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok. Ditemukan juga

Page 5: CA Nasofaring

5

bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil

dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan

dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang

tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton

(Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya

mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai

digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.7,8

Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari

pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina selatan,

satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita

tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring

menderita keganasan organ lain.7,8

Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu

kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami

(Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara

terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB

dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten. Seperti pada TPA

(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika

dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan

di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi

cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis).9

2.4. GEJALA KLINIS KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring

termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar

nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau

palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening

servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang).

Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena1,2. Sekitar separuh pasien

memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar

getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai5,13. Gejala

dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi saluran nafas atas.

Page 6: CA Nasofaring

6

Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi

karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-mula di fossa

Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap

nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya rapuh

sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan pilek berulang dengan

mukus yang bercampur darah. Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat

menyumbat muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa

berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya

unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila

timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai

karsinoma nasofaring14.

Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada

umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah meluas

ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening

servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak karena

pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjarleher15.. Tumor yang meluas ke

rongga tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu

syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis

abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit.

Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan

wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata terkena.

Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial16. Metastasis sel-sel tumor

melalui kelenjar getah bening mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah bening

bagian samping ( limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan

infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada

otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang

dikeluhkan oleh pasien6.

Gejala nasofaring yang pokok adalah :

1. Gejala Telinga

Oklusi Tuba Eustachius

Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat

menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan

Page 7: CA Nasofaring

7

mengakibatkan gejala berupa mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini

merupakan tanda awal pada KNF.

Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media.

Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan

dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif

2. Gejala Hidung

Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya

rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh

darah tersebut pecah.

Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam

nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.

Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma Nasofaring,

karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain. Namun jika gejala terus

terjadi tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu dicurigai akan

adanya penyebab lain yang ada pada penderita; salah satu di antaranya adalah KNF.

3. Gejala Mata

Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan

ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan

menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan

menimbulkan kebutaan.

4. Tumor sign :

Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau

metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.

5. Cranial sign :

Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf

kranialis.

Gejalanya antara lain :

Page 8: CA Nasofaring

8

Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara

hematogen.

Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.

Kesukaran pada waktu menelan

Afoni

Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N.

X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:

o Lidah

o Palatum

o Faring atau laring

o M. sternocleidomastoideus

o M. trapezeus 14,15

Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan

elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan

bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini

jika ditemukan bersamaan, maka disebut Trotter’s Triad.

2.5. PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal

dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai

pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan

sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa

Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi

perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya.

Penyebaran KNF dapat berupa :

1. Penyebaran ke atas

Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran

Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan

Fossa kranii media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I –

n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat

metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah

diplopia dan neuralgia trigeminal.

Page 9: CA Nasofaring

9

2. Penyebaran ke belakang

Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris

yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll)

di mana di dalamnya terdapat nervus kranialais IX – XII; disebut penjalaran retroparotidian.

Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus

simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX – n XII disebut sindroma

retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang

mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh,

Gejala yang muncul umumnya antara lain:

a. Trismus

b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis)

c. Afonia akibat paralisis pita suara

d. Gangguan menelan

3. Penyebaran ke kelenjar getah bening

Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya

menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah

bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub

mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus

limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier.

Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar

menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini

dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker

dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar

menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut

lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke

dokter.

Proses perkembangan KNF:

Page 10: CA Nasofaring

10

Gambar 1 Patogenesis KNF

Virus Epstein-Barr

Page 11: CA Nasofaring

11

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.

Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel

limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,

yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul

EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan

rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan

selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini

mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan

pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke

dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel

yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel

menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau

virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel

kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus

sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel

menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.16

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,

EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan

virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal

tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen

tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein

LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6

segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi

(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis

factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat

respon imun lokal. 16

Page 12: CA Nasofaring

12

Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan

terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan

memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte

antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas

aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.

Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan

HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih

besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita

karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari

kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA

A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk

terkena karsinoma nasofaring.13

Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai

daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan

lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA),

nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor

karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga

merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma

Gambar 2 Infeksi EBV

Page 13: CA Nasofaring

13

nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang

diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali

infeksi dari EBV.14

2.6 DIAGNOSIS

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,

protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium

tumor:

Anamnesis / pemeriksaan fisik

Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF)

Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi

Posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta

fibernasofaringoskopi. Jika ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada

mukosa dan memiliki permukaan halus, berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada

permukaan atau massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak

dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan

sitologi.

Gejala Klinis

Gejala-gejala dari karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 2 macam berdasarkan

metastasenya, yaitu:

1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu

tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa:

a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh; epistaksis berulang,

jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan lendir hidung sehinga

berwarna merah jambu; lendir hidung seperti nanah, encer/kental, berbau.

b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii oleh tumor,

sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan penurunan tekanan dalam

kavum timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak nyaman di

telinga sampai otalgia.

2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat berupa:

Page 14: CA Nasofaring

14

a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor

melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N.

Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan

menimbulkan kebutaan.

b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher, merupakan tanda

penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma

nasofaring.

c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai

saraf-saraf kranialis, antara lain:

- Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase

secara hematogen.

- Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.

- Kesukaran pada waktu menelan

- Afoni

Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai N. IX (N.

Glossopharyngeus), N. X (N. Vagus), N. XI (N. Accessorius), N. XII (N.

Hypoglossus). Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: lidah, palatum, faring

atau laring, M. Sternocleidomastoideus, M. Trapezius.

Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan

berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring.

Tabel 1 Formula Digsby

Page 15: CA Nasofaring

15

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat

dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun

biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis

histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan

pengobatan dan prognosis.12

Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan

diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat

ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau

sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari

mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan

xylocain 10%.

- Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).

Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke

nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

- Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang

dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik

keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga

kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke

atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan

dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop

yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan

pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

Sitologi dan Histopatologi

Secara histologis, WHO membagi klasifikasi karsinoma nasofaring atas 3 tipe:

1. Tipe 1, keratinizing squamous cell carcinoma, diferensiasi sel skuamosa baik

dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi diatasnya,

merupakan 25% dari seluruh karsinoma nasofaring.

2. Tipe 2, differentiated non keratinizing carcinoma, diferensiasi sel tumor

dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, tidak/sedikit berkeratin,

merupakan 20% dari seluruh karsinoma nasofaring.

Page 16: CA Nasofaring

16

3. Tipe 3, undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang

oval atau bulat dan nukleolus yang menonjol, batas sel tidak terlihat, dan

tumor menunjukkan gambaran sinsitial. Tipe ini merupakan 55% dari seluruh

karsinoma nasofaring.

Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan

yang kuat dengan virus Epstein-Barr.1

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu

bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.

Sitologi

Squamous Cell Carcinoma

Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang

dengan khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti

dan membran inti lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam

derajat khromasia di antara inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar

dan jumlahnya. Sitoplasma lebih padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah

dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan nukleolus adalah inti lebih kecil.

Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai tanda adanya

diferensiasi ke arah squamous cell. Bila keratinisasi tidak terlihat maka dijumpainya

halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggir sel

merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai

squamous cell carcinoma. 15

Page 17: CA Nasofaring

17

Gambar 3 Cytology smear showing clusters of keratinizing squamous

carcinoma indicating metastasis in the lymph node.

Undifferentiated Carcinoma

Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma

berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang

membesar dan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang,

dijumpai latar belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. Dijumpai

gambaran mikroskopis yang sama dari aspirat yang berasal dari lesi primer dan

metastase pada kelenjar getah bening regional.

Gambar 4 Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated, dengan latar belakang limfosit.Tampak sitoplasma yang eosinofilik dan anak inti yang prominen

Page 18: CA Nasofaring

18

Histopatologi

Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma

memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya.5,13 Dijumpai

adanya diferensiasi dari sel squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi.2,6

Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang

desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan

eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan stratified. Batas antar

sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau

menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi.

Dijumpai adanya keratin pearls.

Gambar 5 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Page 19: CA Nasofaring

19

Gambar 6 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma

memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau.2,12 Sel-sel

menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge

yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih

kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak

menonjol

Gambar 7 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Page 20: CA Nasofaring

20

Undifferentiated Carcinoma

Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran

sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular,

dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih6. Beberapa sel

tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak,

khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga

dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid dan

multinucleated giant cell (walaupun jarang)2,12.

Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe

Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang

dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke,

sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe

ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma.

Gambar 8 Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang padat( “Regaud type”)

Page 21: CA Nasofaring

21

Gambar 9 Undifferentiated Carcinoma terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaransyncytial yang difus (Schmincke type).

Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara

karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma

nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah

satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma

biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan

berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel

dengan bentuk oval atau spindle.

Basaloid Squamous Cell Carcinoma

Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cell

carcinoma5,12. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel

squamous. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak

dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan

konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading.

Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara komponen

basaloid dan squamous jelas.

Page 22: CA Nasofaring

22

Gambar 10 Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring.Sel-sel basaloid menunjukkanfestoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton.

2.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang

diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk

mendiagnosa secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui C.T

Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa

tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan

dilakukan.

Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada

daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.12

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis karsinoma

nasofaring, antara lain:

1. Foto polos

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu foto posisi Waters, lateral,

dan AP. Pemeriksaan dengan menggunakan foto-foto tersebut akan menunjukan

Page 23: CA Nasofaring

23

massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan

destruksi atau erosi tulang di daerah fosa serebri media.

Ilustrasi skema jalur penyebaran/metastase dari karsinoma nasofaring

(arah tanda panah)

Page 24: CA Nasofaring

24

Gambaran foto polos lateral nasofaring normal dan bagian-bagiannya.

Gambaran foto polos menunjukkan massa di daerah nasofaring

(arah tanda panah)

Page 25: CA Nasofaring

25

Gambaran foto polos dasar tengkorak, menunjukkan erosi tulang di bagian basal dari

sfenoid dan foramen laserum (arah tanda panah)

Gambaran erosi dari fosa serebri media sebelah kiri (arah tanda panah)

2. CT (Computerized Axial Tomography) Scan dan MRI (Magnetic Resonance

Imaging)

CT-Scan dan MRI daerah kepala dan leher dilakukan untuk mengetahui

keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.

Page 26: CA Nasofaring

26

MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan CT Scan dalam mendeteksi

karsinoma nasofaring dan kemungkinan penyebarannya yang menyusup ke jaringan

atau nodus limfe.

CT Scan aksial nasofaring normal.

Page 27: CA Nasofaring

27

CT Scan aksial menggambarkan karsinoma nasofaring stadium awal, terdapat penebalan fosa

Rossenmuler kiri.

CT Scan aksial os Temporal menunjukkan massa di nasofaring (karsinoma nasofaring)

Page 28: CA Nasofaring

28

CT Scan koronal menunjukkan massa di atap nasofaring

CT Scan koronal menunjukkan massa di nasofaring dan sinus kavernosus kanan

Page 29: CA Nasofaring

29

MRI potongan sagital pada pasien yang baru didiagnosis karsinoma nasofaring, menunjukkan tumor primer dari karsinoma nasofaring dan metastasisnya ke dinding lateral retrofaring

2 Pemeriksaan neurologis. Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga

tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi

sebagai gejala lanjut KNF ini.14

3 Pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)

untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma

nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma

nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan

spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer

160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga

pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang

didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160. 14

Page 30: CA Nasofaring

30

2.8. DIAGNOSIS BANDING

1. Hiperplasia adenoid

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak

hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu

massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya

simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti

tampak pada karsinoma. 12,14

2. Angiofibroma juvenilis

Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai

KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto

polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses

dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan

destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada

pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenal

sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis

eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang

sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.14

3. Tumor sinus sphenoidalis

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya

tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan

pertama.14

4. Neurofibroma

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga

menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan

ruang para faring ke arah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini

dengan KNF.14

5. Tumor kelenjar parotis

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak

dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada

sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang

tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.7

Page 31: CA Nasofaring

31

6. Chordoma

Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat

KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk

membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama

di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar

cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada

kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.12,14

7. Meningioma basis kranii

Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang

meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT

meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat

kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.

Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.12,14

2.9. PENATALAKSANAAN

Radioterapi

Tujuan Radioterapi

1. Radiasi Kuratif

Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis

jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total

radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per

minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan

penyinaran supraklavikular dikeluarkan.

2. Radiasi Paliatif

Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi

untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan

lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.

Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang

diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai

4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan

Page 32: CA Nasofaring

32

penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan

penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x

200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak

didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan

supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.

Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara

bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB

leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan

menggunakan radioisotop Cobalt60.

Respon radiasi

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.

Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di

nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan

kambuh.14,15

Indikasi Kemoterapi

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah

mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.

- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan

dan metastasis jauh). 15

Page 33: CA Nasofaring

33

Kemoterapi berdasarkan waktu pemberiannya

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi

menjadi

1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului

pembedahan dan radiasi)

2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan

bersamaan dengan penyinaran atau operasi)

3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau

radiasi )14,16

Manfaat Kemoradioterapi

Manfaat pemberian keoterapi adjuvan antara lain :

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil

terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan

radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa

tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.

2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap

radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki

manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar

radiasi.

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum

radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed

tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,

kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal

mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan

overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.

Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat

mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).

Page 34: CA Nasofaring

34

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan

kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat

memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or

concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.

Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi

dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.

Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,

membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel

kanker yang sublethal.

Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan

nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau

adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang

dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan

suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu

pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus

Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi,

yaitu dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu

proses imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke

tubuh pasien di mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan

reaksi imunitas baru terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga

belum dapat digunakan dalam terapi kanker nasofaring.

2.10. PROGNOSIS

Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis

yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi

karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara

Page 35: CA Nasofaring

35

keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa

faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut.

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh12,16

2.11. KOMPLIKASI

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang

selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang

bermanifestasi dalam bentuk :

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus

kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan

kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri

pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang

terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke

sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan

Page 36: CA Nasofaring

36

retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X,

N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta

gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai

gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum

mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan

fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ

tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru.

Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain

ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-

paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4

%, dan tiroid 0.4 %.12

DAFTAR PUSTAKA

Page 37: CA Nasofaring

37

1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi

(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi keenam. Jakarta : FK

UI, 2013. h. 146-50.

2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Medan: FK

USU,2002.h. 1-11.

3. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.

4. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi

kombinasi/kemoradioterapi.

5. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal

Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.

6. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.

Jakarta: FK UI, 2005.h. 69-82.

7. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan

pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.

8. Ahmad, A.. 2005. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan

Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif. Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.

9. Arif Mansjoer, et al.. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1. Jakarta: Media

Aesculapius FKUI. Hal. 371-396

10. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2013. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.

Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima.

Jakarta: FKUI. Hal.146-50.

11. Ballenger J. Jacob.. 2007. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.

ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396

12. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans

P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head and

Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz. Hal. 473-81.

13. Kurniawan A. N.. 2005. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi.

Jakarta: FKUI. Hal.151-152

14. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of

Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92.

Page 38: CA Nasofaring

38

15. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta

16. Maeda E, Akahane M, Kiryu S, et al. (January 2009). "Spectrum of Epstein–Barr

virus-related diseases: a pictorial review". Jpn J Radiol 27 (1): 4–19."

Page 39: CA Nasofaring

39

REFERAT

“CARCINOMA NASOPHARYNG”

DISUSUN OLEH:

Doni Fatra Hasyarto

08310082

DOKTER PEMBIMBING

dr. Azwan Manday,Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR THT

RSUD DR.DJOELHAM BINJAI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

2015

Page 40: CA Nasofaring

40

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga referat ini yang berjudul “CARCINOMA NASOPHARYNG” dapat diselesaikan.

Tujuan dari penulisan referat ini adalah sebagai salah satu syarat dalam kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior dibagian THT RSUD Dr.RM.Djoelham Binjai.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Azwan Manday,Sp.THT-KL selaku pembimbing dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran guna menyempurnakan penulisan ini. Semoga penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Binjai, Februari 2015

Penulis