Upload
vophuc
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Buruh Tidak untuk Dijual
Oleh Litbang LBH Jakarta
Memperingati hari buruh internasional, May Day 2011, buruh Indonesia menghadapi situasi tanpa
proteksi dari negara. Sebelum terjadinya krisis ekonomi, pada tahun 1996, dalam sebuah evaluasi
mengenai hukum perburuhan Indonesia, Bank Dunia menyatakan bahwa “the [Indonesian] workers are
overly protected“, dan bahwa “the government should stay out of industrial dispute“.[2] Namun sejak
krisis moneter tahun 1998 dan penandatangan Letter of Intent antara Pemerintah Indonesia dan
International Monetary Fund (IMF), kebijakan perburuhan di Indonesia mengalami pengaturan kembali
dengan arah yang berbeda (deregulasi) dari yang bersifat melindungi buruh menjadi pro investasi. Pro
investasi dalam hal ini adalah pasar kerja yang mendukung mobilitas modal, di mana perusahaan
multinasional dapat dengan mudah memindahkan usahanya dari satu negara ke negara lain dengan
biaya yang relatif sedikit. Hal tersebut dimungkinkan jika hubungan kerja bersifat fleksibel agar ongkos
pemindahan usaha tidak tinggi. Perusahaan multinasional yang membangun rantai produksi dalam
skala global, menjadikan negara-negara berkembang sebagai tempat dan penyedia tenaga produksi.
Agar dapat bersaing, maka pelaku usaha sedapat mungkin menghasilkan produk terbaik dengan biaya
termurah.
Kebijakan perburuhan yang pro investasi tersebut, diwujudkan dalam flexibility labour market
sebagaimana dicantumkan dalam Letter of Intent tersebut.[3] Kebijakan yang demikian menempatkan
buruh sebagai komoditas bisnis untuk menaikan daya jual Indonesia sebagai negeri bagi para investor.
Pemerintah Indonesia pun mempromosikan Indonesia sebagai negara dengan buruh murah dan
fleksibel. Sejumlah proteksi terhadap buruh dikurangi untuk semakin mengakomodir kepentingan
investasi dan mobilitas modal.[4] Sementara pembahasan sejumlah kebijakan hukum yang bertujuan
untuk melindungi buruh berhenti di tengah jalan. Berikut beberapa kebijakan perburuhan tersebut.
Kontrak dan Outourcing
Sistem kontrak dan outsourcing yang diperbolehkan dalam Pasal 56 dan Pasal 64 UU No.13 Tahun
2003 memicu maraknya PHK dan pelanggaran hak buruh selama hubungan kerja.[5] Kontrak dan
outsourcing juga melemahkan serikat buruh, karena SB kehilangan banyak anggotanya akibat masa
kerja berakhir
Setiap tahunnya terjadi peningkatan PHK sepihak oleh pengusaha.[6] PHK dilatarbelakangi oleh motif
untuk mengganti buruh tetap menjadi buruh kontrak dan outsourcing, Buruh yang di PHK hidup tanpa
proteksi karena tidak adanya jaminan social, lemahnya penegakan hukum untuk memaksa pengusaha
membayar pesangon, dan manipulasi hukum yang dengan mudah dilakukan pengusaha untuk
mengindar dari kewajiban pesangon seperti intimidasi agar buruh mengundurkan diri, pengusaha
kabur[7] dan membiarkan dirinya dipailitkan. Sementara penyelesaian perselisihan hubungan industrial
justru menjadi ruang untuk mengkompromikan pelanggaran hak buruh.[8] Proses penyelesaianya pun
tidak secepat yang dijanjikan yaitu sebesar 140 hari, dalam kenyataannya PHI bisa menghabiskan
waktu 1 untuk proses.[9] Itupun menghadapi kendala ketika eksekusi.[10]
Kekuatan kolektif buruh dalam serikat buruh, diperlemah secara sistematis. berbagai kasus
pelanggaran kebebasan berserikat dibiarkan negara, meskipun undang-undang mengatur perbuatan
tersebut sebagai kejahatan.[11]
Akibatnya buruh semakin takut berserikat dan serikat kehilangan banyak anggota, hal ini memberikan
peluang bagi pengusaha untuk dengan leluasa melanggar hak buruh, karena tidak adanya control dari
siapapun. Negara membiarkan pelanggaran dan serikat buruh yang melemah.
Kontrak dan outsourcing yang ditawarkan untuk menarik investor hanya menempatan buruh pada
kondisi tanpa kepastian kerja, pelanggaran hak buruh, dan pelemahan serikat pekerja.
Kebebasan Berserikat dan Pengawasan yang Tidak Pekerja
Di tengah maraknya pelanggaran hak buruh dan buruknya kondisi kerja, daya tawar buruh diperlemah
secara sistematis melalui berbagai tindakan anti serikat (Union Busting). Tindakan anti serikat
dilakukan secara sistematis dan meluas: dengan pola yang sama dan di semua sector. Sehingga buruh
kehilangan daya untuk mempertahankan haknya di hadap pengusaha. Dalam situasi demikian maka
kontrol terhadap pengusaha melemah dan hal tersebut memberikan keleluasaan bagi pengusaha untuk
melanggar hak buruh. [12]
Bahkan lebih buruk lagi, Lembaga Pengawasan Ketenagakerjaan yang merupakan perwakilan
Pemerintah untuk menegakan hukum perburuhan tidak berperan efektif untuk melindungi buruh
migran. Selain karena jumlah aparatnya yang terlalu sedikit juga disebabkan rendahnya komitmen
untuk menegakan hukum perburuhan. Pelanggaran hak buruh kemudian dialihkan ke PHI di mana
negara hanya bersikap sebagai moderator bukan pelindung.
Beberapa serikat buruh meninggalkan negara dan mencari upaya lain untuk mempertahankan haknya.
Dalam hal kebebasan berserikat, sejumlah serikat buruh[13] bernegosiasi langsung dengan
Pengusaha[14] untuk menuntut komitmen menegakan kebebasan berserikat. Kemauan Pengusaha
untuk bernegosiasipun dilatarbelakangi dukungan dari serikat buruh[15] dan Ornop[16] internasional
serta ancaman mogok dari buruh yang memproduksi bagi para pengusaha tersebut.
Pekerja Rumah Tangga (PRT)
Mereka yang bekerja sebagai PRT berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada buruh pada
umumnya. Hal ini dikarenakan tidak ada ketentuan hukum yang memuat standar kerja para PRT.
Akibatnya PRT bekerja tanpa batasan deskripsi kerja, tanpa batasan jam kerja, tanpa standar upah
yang jelas, tidak ada hari libur dan tidak ada perlindungan bagi PRT yang mengalami kekerasan
maupun kecelakaan kerja. Padahal keberadaan PRT menopang perekonomian keluarga dan negara.
Mereka yang bekerja sebagai PRT adalah para perempuan miskin yang tidak memiliki akses untuk
bekerja di sector lain.
Penghambat utama adanya perlindungan bagi PRT justru muncul dari Pemerintah dan DPR sendiri.
Pada Maret 2011, pembahasan RUU PRT dihentikan oleh DPR RI karena beberapa fraksi di DPR RI
tidak menyetujui adanya RUU PRT. Meneg Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Menakertrans
pun menolak bahwa hubungan antara PRT dan Majikan dianggap sebagai hubungan kerja.
Buruh Migran
Buruh migrant yang bekerja sebagai PRT di luar negeri pun mengalami hal serupa. Bekerja tanpa
perlindungan dari negara, kerap mengalami kekerasan maupun pelanggaran hak, dan diskriminasi
upah.[17] Ketika pemerintah Indonesia meminta negara tujuan melindungi PRT asal Indonesia, maka
pemerintah negara tujuan dengan mudah menolak karena Indonesia sendiri belum melindungi PRT di
dalam negeri sendiri. Padahal, Tenaga Kerja Indonesia menopang perekonomian negara tujuan dan
memberikan kontribusi bagi Negara Indonesia. [18]
Mereka yang bekerja di sector manufaktur PRT diperlakukan sebagai komoditas, yang diekspor ke luar
negeri, tanpa proteksi dari negara. Bahkan UU No. 39 Tahun 2004 hanya mengatur tata niaga dari
penempatan buruh migrant, tanpa aspek perlindungan yang memadai. Ketika masyarakat menuntut
pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Migran 1990 agar Indonesia memiliki standar
perlindungan buruh migrant, Pemerintah melalui Menakertrans menolak meratifikasi dengan alas an
bahwa Konvensi tersebut tidak mendesak dan akan merugikan Indonesia. Padahal Komite CEDAW
dan Special Rapporteur UNCAT telah merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia untuk segera
meratifikasi. Di beberapa pertemuan Internasionalpun, Pemerintah Indonesia berjanji akan segera
meratifikasi. Meskipun beberapa praktek negara yang meratifikasi Konvensi menunjukan perbaikan
dalam kebijakan perlindunga buruh migrant, secara keseluruhan ada 45 negara yang telah meratifikasi
Konvensi Migran 1990 dan kebanyakan adalah negara asal. Hingga kini, Pemerintah Indonesia belum
meratifkasi Konvensi 1990.
Di tingkat ASEAN, negara anggota membentuk ASEAN Committee on Migrant Workers untuk
menciptakan instrument perlindungan buruh migrant di ASEAN. Hingga kini instrument tersebut belum
tuntas, karena Singapore dan Malaysia menolak adanya instrument yang mengikat secara hukum.
Dalam situasi demikian, posisi Pemerintah Indonesia lemah untuk berdiplomasi dengan kedua negara
tersebut karena kebijakan buruh migrant di Indonesia sendiri pun masih buruk.
Amandemen UU No.39 Tahun 2004 pun tidak diarahkan utnuk menambah ketentuan perlindungan.
Revisi UU No. 13 Tahun 2004. Justru revisi diarahkan untuk mengurangi peran negara dalam
penempatan agar swasta dapat leluasa dan membebankan biaya tinggi kepada buruh migrant. Hal ini
mendukung proses komoditisasi buruh migrant.
Gugatan oleh Warga Negara
Di tengah kegagalan negara menghasilkan kebijakan yang melindungi buruhnya, sejumlah masyarakat
menggugat Pemerintah dan DPR RI. Gugatan didaftarkan pada awal April 2011 di PN Jakarta Pusat
tersebut merupakan inisiatif masyarakat untuk mengevaluasi sekaligus menuntut tanggungjawab
negara dalam menciptakan legislasi yang pro buruh. Mereka adalah para pekerja rumah tangga, buruh
migran, majikan, akademisi, dan para pekerja sosial. Tuntutan kepada Pemerintah dan DPR dalam
gugatan ini adalah agar segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT, Merevisi UU No. 39 Tahun
2004 agar lebih melindungai buruh migran, meratifikasi Konvensi Migran Tahun 1990 dan mendukung
pembahasan Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga.
Simpulan dan Tuntutan
Dari situasi tersebut di atas, kami menyimpulkan bahwa Legislasi Perburuhan di Indonesia sengaja
dirancang untuk kepentingan investasi (modal). Akibatnya sejumlah standar perlindungan buruh
diabaikan, standar perlindungan dalam berbagai instrumen HAM tidak dijadikan acuan utama dalam
legislasi perburuhan, Pemerintah dan DPR secara sistematis semakin mengurangi ketentuan proteksi
dalam kebijakan perburuhan. Negara dibuat tidak berfungsi untuk melindungi buruh, yang dilakukan
secara sistematis melalui deregulasi maupun dengan menumpulkan lembaga penagakan hukum
perburuhan
Kontrol terhadap investor (modal) diperlemah secara sistematis, bukan hanya disfungsi peran negara
namun juga penggembosan serikat buruh secara sistematis dan meluas. Dalam situasi demikian,
serikat buruh belum mampu mengkonsolidasi dirinya sendiri untuk menjadi kekuatan yang
mengimbangi dan mengontrol modal. Pasar bebas tidak menguntungkan buruh, posisi Indonesia
melemah di pasar bebas regional. Regionalisasi mekanisme perlindungan HAM belum secara efektif
mengimbangi kekuatan modal.
Lemahnya penegakan hukum dan perlindungan oleh Pemerintah dan DPR diresponi rakyat dengan
menggugat lembaga tersebut ke Pengadilan ataupun bernegosiasi langsung dengan modal.
Berdasarkan kesimpulan di atas, tuntutan kami adalah sebagai berikut:
1. Segera cabut kebijakan yang mengkomoditiasi buruh dan memperlemah mekanisme perlindungan
hak buruh seperti UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaa, UU No. 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan UU No. 39 Tahun 2004
2. Segera tangkap dan adili pengusaha yang melakukan pelanggaran hak buruh termasuk membayar
upah di bawah ketentuan upah minimum, melakukan tindakan anti serikat dan pelanggaran hak
normatif buruh lainnya.
3. Perkuat lembaga penegakan hukum perburuhan, khususnya Pengawasan Ketenagakerjaan dan
Kepolisian
4. Ciptakan Regulasi yang melindungi buruh khususnya RUU PRT, Ratifikasi Konvensi Migran 1990
serta menghapuskan ketentuan kontrak dan outsourcing dalam UUK.