149

Buku 5 tahun dnpi website

Embed Size (px)

Citation preview

sc dove sekarang lipat

1

Hal Depan.indd 1 8/2/13 10:46:10 AM

Hal Depan.indd 2 8/2/13 10:46:10 AM

PERUBAHAN IKLIMDAN

TANTANGAN PERADABAN BANGSA

dewan nasional perubahan iklim (dnpi)Diterbitkan Dalam Rangka Ulang Tahun Ke-5 DNPI, 4 Juli 2013

Hal Depan.indd 3 8/2/13 10:46:16 AM

perubahan iklim dan TanTanGan peradaban banGsalima Tahun dnpi 2008 – 2013 © 2013 hak cipta pada Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)ISBN : 978-602-98983-5-4

Diterbitkan sebagai publikasi perubahan iklim bagi masyarakat luasdalam rangka peringatan lima tahun DNPI Cetakan pertama : Juli 2013

Tim penyusunPENGARAH : Rachmat Witoelar, Agus Purnomo PENYELIA : Amanda Katili Niode, Murni Titi Resdiana, Agus TagorKOORDINATOR PENERBITAN : Agus Soetomo, Mariza Hamid PERANGKUM : Fachruddin M. Mangunjaya SEKRETARIS REDAKSI : Frans Toruan, Jannata GiwangkaraEDITOR : Yani SalohKOORDINATOR FOTO : M. Ridwan SolehDESAIN DAN TATA LETAK : Adeca Studio, Gita Fara

konTribuTor naskah (berdasarkan abjad): Agus Supangat l Amanda Katili Niode l Ari Muhammad l Dicky Edwin Hindarto l Doddy S. Sukadri l Farhan Helmy l Muhammad Farid l Murni Titi Resdiana l Moekti H. Soejachmoen l Nur R. Fajar l Suzanty Sitorus l Widiatmini Sih Winanti l Yani Saloh

narasumber : Balthasar Kambuaya (Kementerian Lingkungan Hidup), Satya Widya Yudha (DPR), Rachmat Witoelar (DNPI), Agus Purnomo (DNPI), Endah Murniningtyas (Bappenas), Yetti Rusli (Kementerian Kehutanan), Eddy Pratomo (Kementerian Luar Negeri), Abetnego Tarigan (Walhi), Jatna Supriatna (UI), Komaruddin Hidayat (Budayawan), Ismid Hadad (Yayasan Kehati), Aristides Katoppo (Pers).

dewan nasional perubahan iklim (dnpi) Gedung Kementerian BUMN Lantai 18

Jl. Medan Merdeka Selatan No. 13

Jakarta 10110

Telepon : +(6221) 3511400

Faximili : +(6221) 3511403

e-mail : [email protected]

http : www.dnpi.go.id

kontak : Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dipersilakan mengutip dengan menyebutkan sumbernya.

ii

Hal Depan.indd 4 8/2/13 10:46:22 AM

penGanTar Tim penyusun

rasa bahaGia dan haru menyertai puji syukur atas karunia Illahi, yang telah memungkinkan kami

menerbitkan buku ini.

Bagi kami di DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) buku ini mempunyai arti penting karena

mengabadikan sejarah dan kiprah DNPI sejak dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lima tahun

yang lalu, 4 Juli 2008. Namun, bukan makna seremonial yang kami tuju. Bukan pula binar-binar kebanggaan

yang ingin kami tampilkan meskipun DNPI adalah satu-satunya lembaga yang fokus pada soal-soal yang

berhubungan dengan perubahan iklim, dalam skala domestik nasional maupun global internasional. Justru

sebaliknya, kami berharap mampu memberikan sumbangsih berupa informasi, wacana, maupun inspirasi

untuk meningkatkan kepedulian kita semua terhadap sebab-sebab dan dampak perubahan iklim. Buku ini

memang dipersembahkan kepada masyarakat luas, apa pun latar belakangnya.

Secara spesifik kami memaparkan perjalanan lima tahun DNPI (2008 – 2013). Kiprah DNPI sejak masa-

masa awal yang menyangkut perencanaan, kajian, implementasi, aksi-aksi serta evaluasi, disajikan dengan

bahasa yang diharapkan komunikatif dengan pembaca. Fungsi koordinator dan peran DNPI di bidang

negosiasi, yang sering dinilai oleh beberapa kalangan masyarakat sebagai prestasi luar biasa, pun ditampilkan

secara seimbang.

Riset sederhana dilakukan untuk penyusunan buku, akan tetapi sesungguhnya materi utama yang

digunakan adalah karya/tulisan/pemikiran tim di DNPI baik di sekretariat, divisi maupun pokja (kelompok

kerja). Serangkaian wawancara dengan tokoh-tokoh yang kompeten pun diadakan untuk melengkapi

buku ini, agar dapat menangkap pandangan-pandangan kritis dan pemikiran yang bervariasi. Wawancara-

wawancara itu pun merupakan upaya mendapatkan masukan yang membangun untuk memperbaiki

diri di kemudian hari. Kepada kontributor dan narasumber kami mengucapkan terima kasih. Dedikasi dan

pengalaman yang mereka sampaikan sangat memperkaya buku. Selain itu, bantuan dan dukungan berbagai

pihak mengalir, memungkinkan pengerjaan buku ini semakin lancar. Pada mereka, yang namanya tidak kami

sebutkan satu persatu karena keterbatasan ruang, terima kasih tulus kami sampaikan.

Meskipun sudah direncanakan sebaik mungkin, buku ini masih jauh dari sempurna. Kritik membangun

dengan senang hati akan kami terima dan dimanfaatkan.

Selanjutnya, kami berharap masyarakat semakin mengenal dan mencintai DNPI, serta mendapatkan

informasi yang mempunyai nilai tambah mengenai perubahan iklim. Sebagaimana dimahfumi, dampak

perubahan iklim yang merugikan bumi dan manusia adalah nyata dan aktual; imbasnya pun multidimensi

di segala sektor kehidupan. Mengabaikan perubahan iklim sama artinya mengkhianati tugas mulia manusia

sebagai khalifah Tuhan untuk memelihara kehidupan. Buku ini ingin menguatkan kesadaran itu.

Jakarta, 4 Juli 2013

iii

Hal Depan.indd 5 8/2/13 10:46:29 AM

Hal Depan.indd 6 8/2/13 10:46:29 AM

DAFTAR ISI

JUDUL iTIM PENYUSUN iiPENGANTAR TIM PENYUSUN iiiDAFTAR ISI vKUTIPAN AMANAT PRESIDEN RI SUSILO BAMBANG YUDHOYONO MENGENAI PERUBAHAN IKLIM viiPENGANTAR KETUA HARIAN DNPI RACHMAT WITOELAR ixPROLOG: PERUBAHAN IKLIM DAN PEWARISAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN xi

BAB I. COP-13 BALI: TONGGAK SEJARAH DNPI 1 1. Bermula dari KTT Bumi 4 � Perjalanan Panjang Menyelamatkan Bumi 6 2. Dari Bali untuk Bumi 8 � Bali Action Plan 13 3. Di Balik Gagasan Pendirian DNPI 14 � Tujuh Belas Kementerian dan Satu Lembaga Memperkuat DNPI 17 � Pengembangan Kebijakan dan Kelembagaan Perubahan Iklim 18 BAB II. TENTANG PERUBAHAN IKLIM 19 1. Musim yang Semakin Tidak Menentu 22 � Melaut pun Surut 25 2. Manusia dan Gas-Gas Rumah Kaca 26 � Dari mana Gas Rumah Kaca Berasal 28 3. Benarkah ada Perubahan Iklim? 34 � Petani Bingung Musim 38 � Perubahan Iklim adalah Akibat Ulah Manusia 39 4. Perubahan Iklim di Laut Nusantara 40

BAB III. KIPRAH LIMA TAHUN DNPI (2008 – 2013) 43 1. MARI BERADAPTASI 46 � Kegiatan Adaptasi 48 2. BERFOKUS PADA MITIGASI 50 � Kurva Biaya Pengurangan Emisi 53 � Dimensi Mitigasi Perubahan Iklim 54 � Aksi Mitigasi dalam Bingkai NAMAs 57 3. MENGGALANG DUKUNGAN DENGAN PENYADARAN DAN PENDIDIKAN 58 � Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 62 � Kegiatan Penyadaran dan Pendidikan 64 4. KEHUTANAN DAN ALIH GUNA LAHAN LULUCF DARI BALI HINGGA DOHA 66 � LULUCF di Indonesia 68 5. ALIH TEKONOLOGI MENANGGULANGI TANTANGAN PERUBAHAN IKLIM 70 � Kegiatan Utama Alih Teknologi 74

v

Hal Depan.indd 7 8/2/13 10:46:30 AM

vi

daFTar isi

6. PENDANAAN UNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI 76 l Dari Mekanisme hingga Perundingan Internasional 78 7. DNPI DAN PERDAGANGAN KARBON 84 l Apa yang Dimaksud dengan Perdagangan Karbon? 88 l Prospek dan Tantangan Pasar karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II 88 8. PERUNDINGAN PERUBAHAN IKLIM 90 l Bagaimana DNPI Mempersiapkan Perundingan Internasional? 94 l UKK-PPI dan KaHar DNPI 96 9. KOORDINASI PENINGKATAN KAPASITAS 98 l Pekerjaan Rumah Peningkatan Kapasitas 100

bab iV. TanTanGan dan harapan 101 l Menoreh Sejarah Diplomasi Global perubahan Iklim 104 l Fungsi Koordinasi dan Sinergi 106 l Komunikator dan Campaigner Perubahan Iklim 108 l DNPI Di Mata Mitra Asing 108 l Koordinator Negosiasi Internasional 110 l Peran Unik DNPI 112 l Indonesia Climate Change Center 114 l Kerjasama DNPI-JICA 115 l Kerja Sama DNPI – UNITAR 116 l Penguatan Koordinasi dan Internal 116 l Anggaran Diperbesar 116 l Penguatan Dasar Hukum 118

bab V. epiloG 119

DAFTAR SINGKATAN 125DAFTAR PUSTAKA 128PUBLIKASI DNPI 2009-2012 130 TIM KERJA PENYUSUN BUKU 132

Hal Depan.indd 8 8/2/13 10:46:30 AM

vii

Hal Depan.indd 9 8/2/13 10:46:30 AM

“Kerusakan yang terjadi di dunia ini berawal dari hati dan pikiran kita, hati dan pikiran umat manusia, the hearts and minds of the people. Kalau hati dan pikiran kita bersih, ingin menyelamatkan bumi, tidak merusak hutan, hemat dalam penggunaan bahan bakar yang mendatangkan emisi gas rumah kaca, pandai mengelola sampah yang juga menimbulkan dampak pada lingkungan yang tidak baik dan sejumlah pikiran-pikiran yang jernih, yang bersih, insya Allah, kerusakan tidak akan terjadi.”

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Sambutan dalam Side Event UNFCCC-COP 13

Pertemuan Lintas Agama dan Perubahan Iklim, Bali, 11 Desember 2007

Hal Depan.indd 10 8/2/13 10:46:31 AM

dewan nasional perubahan iklim (DNPI) didirikan secara resmi berdasarkan Peraturan Presiden

No. 46/2008 pada awal Juli 2008. Keberadaan DNPI adalah tepat waktu dalam menjawab tantangan yang

semakin kompleks dalam mengendalikan dan mengatasi perubahan iklim. Semakin luas dan kompleksnya

permasalahan perubahan iklim menuntut adanya koordinasi dan sinergi yang semakin kuat di tingkat

nasional sehingga tidak terjadi diskoneksi antara proses internasional dan implementasi di tingkat nasional.

Penyebarluasan informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat serta para pihak lain menjadi salah

satu perhatian DNPI dalam kesehariannya. Hal ini terlihat dengan berbagai kegiatan termasuk pameran serta

seminar dan materi komunikasi lain termasuk film pendek mengenai perubahan iklim. Interaksi dengan

berbagai institusi pendidikan juga menjadi kekuatan yang tidak dapat dipungkiri.

Salah satu tugas utama DNPI adalah mendukung dan memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan

internasional. Hal ini telah diwujudkan dalam bentuk koordinasi dan penyiapan posisi Indonesia serta

Delegasi RI dalam perundingan internasional terkait. Peran ini telah berjalan dengan baik dan mendapatkan

dukungan serta peran aktif dari Kementerian dan Lembaga anggota DNPI maupun lembaga dan organisasi

lain termasuk LSM, sektor swasta dan perguruan tinggi. Sejak DNPI beroperasi pada tahun 2008, Indonesia

semakin aktif berperan di arena perundingan internasional dan turut pula membentuk berbagai keputusan

yang dihasilkan. Hal ini menjadi kekuatan Indonesia yang tidak henti berkiprah sejak menjadi Tuan Rumah

dan Presiden COP-13/CMP-3 di Bali pada akhir 2007.

Oleh karena itu, sudah selayaknya DNPI terus melakukan perannya guna menjawab tantangan yang

semakin besar dan berat, baik di tingkat internasional dalam hal perundingan maupun di tingkat nasional

dan lokal dalam hal implementasi aksi nyata. Keberadaan DNPI dalam lima tahun ini merupakan bukti nyata

pentingnya keberadaan satu lembaga yang terfokus pada pengendalian perubahan iklim serta berperan

dalam koordinasi dan harmonisasi berbagai kepentingan dalam negeri dengan proses yang terjadi di tingkat

internasional.

Mengacu pada perkembangan yang terjadi di dunia internasional, telah semakin banyak negara

yang membentuk kementerian, badan maupun otoritas yang secara khusus menangani perubahan iklim

dan berada langsung di bawah Kepala Pemerintah bersangkutan. Hal ini dipandang penting mengingat

semakin luasnya cakupan perubahan iklim dilihat dari sisi penyebab maupun permasalahan dan ancaman

yang ditimbulkannya. Keberadaan legislasi nasional mengenai pengendalian perubahan iklim juga semakin

menjadi kebutuhan guna memastikan keberlanjutan upaya di dalam negeri yang juga akan berpengaruh

terhadap keberlanjutan upaya global. Pada akhirnya, DNPI akan terus diperlukan dalam kancah negosiasi

iklim yang semakin kompleks di masa yang akan datang.

Jakarta, 4 Juli 2013

penGanTar

RACHMAT WITOELAR KETUA HARIAN DNPI

ix

Hal Depan.indd 11 8/2/13 10:46:37 AM

Hal Depan.indd 12 8/2/13 10:46:37 AM

proloG

PERUBAHAN IKLIM DAN PEWARISAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN

sebaGai baGian GLOBAL COMMUNITY, Indonesia ingin secara bersama-sama dengan bangsa

lain menyelamatkan planet tercinta ini, demi anak-cucu dan generasi mendatang. Oleh sebab itulah,

Indonesia menetapkan target pengurangan emisi CO2 sebanyak 26% pada tahun 2020. Target ini merupakan

upaya dan bentuk tanggungjawab dalam berkontribusi untuk perbaikan, juga keselamatan planet bumi,

satu-satunya tempat kita tinggal.

Tanggungjawab dan komitmen tentang pewarisan lingkungan yang lebih baik ini ditegaskan atas niat

baik dan kesadaran yang serius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan Masyarakat

Indonesia di Berlin sesudah menghadiri Conference of Parties (COP) 15 di Copenhagen, tahun 2009,

mengatakan, “Kalau global warming terus terjadi dan kenaikan suhu lebih dari 2°C, maka bisa dibayangkan

permukaan air laut bisa naik lebih dari 1½ meter setelah tahun 2050. Anak-cucu kita tidak bisa dijamin

keselamatan masa depannya, berapa ribu pulau harus tenggelam dan lenyap dari peta Indonesia.”

Atas kesadaran yang tinggi tentang tanggung jawab masa depan bangsa, maka Presiden RI Susilo

Bambang Yudhoyono, pada tanggal 4 Juli 2008 memutuskan untuk mendirikan Dewan Nasional Perubahan

Iklim (DNPI), yang kemudian diketuai sendiri oleh Presiden. Keputusan ini menunjukkan sebuah political will

yang kuat dari Pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan kepada kemaslahatan global; kepada seluruh

umat manusia, bukan hanya kepentingan nasional. Prinsip ini tentunya dibekali visi yang jauh ke depan,

sebab masalah perubahan iklim adalah tantangan jangka panjang. Tantangan ini memerlukan keahlian

disertai kesabaran, terlebih ketika berhadapan dengan argumen berbagai bangsa di forum-forum negosiasi

international.

Seperti kita sadari, bahwa akar persoalan perubahan iklim sesungguhnya ada pada manusia.

“Perubahan iklim adalah problem yang dibuat oleh manusia, anthropogenic. Maka, manusia pulalah yang

seharusnya bertanggung jawab untuk menanggulanginya,” demikian kata Rachmat Witoelar, Ketua Harian

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam berbagai kesempatan. Ia memang selalu mengingatkan

pentingnya upaya penanggulangan perubahan iklim sebagai tanggung-jawab bersama umat manusia atas

alam kehidupan ini.

Sebab itulah, Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup, berpendapat bahwa, keberhasilan

membawa isu perubahan iklim sebagai arus utama sudah tentu menjadi keharusan, karena perubahan iklim

sudah menjadi masalah umat semua bangsa di dunia. Balthasar Kambuaya menilai sangat penting peran

DNPI dalam negosiasi internasional perubahan iklim yang bergulir dengan cepat.

Dengan kata lain, DNPI menjadi penting dan strategis dalam upaya pengarusutamaan (mainstreaming)

isu perubahan iklim di Indonesia. “Jika dibandingkan sebelum tahun 2007, perubahan iklim kini menjadi

istilah yang sering sekali disebut dan orang jadi akrab dengan kata tersebut. Orang bahkan akrab sekali

dengan kata-kata ‘kita harus menurunkan emisi’,” tutur Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI. Menurutnya,

keberhasilan mengubah paradigma dan pemahaman tentang perubahan iklim memang sudah terjadi.

xi

Hal Depan.indd 13 8/2/13 10:46:44 AM

Pewarisan masa depan lingkungan yang lebih baik sesungguhnya bukan hanya merupakan tanggung jawab sosial, melainkan juga tuntutan agama. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menjelaskan pentingnya menjaga keharmonisan iklim dan eksistensi manusia. Alam ini, ujarnya, disebut kosmos. Lawannya chaos. “Alam itu kosmos, artinya indah dan teratur. Kalau toh menjadi chaos, menurut ajaran agama, itu adalah karena kesalahan manusia.” Manusia harus menjaga harmoni dengan alam agar kehidupan tertata dengan baik. Berbagai peristiwa kerusakan alam yang terjadi, menurut Komaruddin Hidayat, merupakan indikasi kita tidak bisa mensyukuri dan mencintai apa yang kita peroleh dari alam. Hutan contohnya, yang kita wariskan pada anak cucu adalah kerusakan yang menumpuk. Artinya, kita tidak berpikir panjang. Di mana tanggung jawab kita? Itulah sebabnya ia mengajak kita untuk future oriented, bervisi ke depan. Visioner, demi anak cucu. Anak cucu siapa? “Anak cucu bangsa!” tegasnya.

Anggota Komisi VII DPR-RI, Satya Widya Yudha, menilai positif komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim, namun komitmen ini harus didukung oleh kebijakan anggaran yang terwujud dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tidak cukup hanya dilihat di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saja, melainkan harus tampak pada seluruh unsur-unsur yang mempunyai kebijakan lingkungan. Anggaran di KLH dan DNPI saat ini, kata Satya Widya Yudha, “Sangat kecil. Sehingga niatan Pemerintah untuk memajukan Indonesia untuk aplikasi green economy misalnya, masih jauh.” Keberpihakan anggaran yang konkret akan mampu mewujudkan kebijakan-kebijakan perubahan iklim, misalnya, upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. “Isu perubahan iklim memang enak didengar dan diperbincangkan, tetapi begitu sampai masalah anggaran, sulit direalisasikan,” sindir Satya. Bila semua sektor kementerian atau lembaga merasa memiliki dan ikut peduli dengan tantangan perubahan iklim, maka tandasnya, check point-nya berada pada Presiden sebagai Ketua DNPI. Presiden tinggal memeriksa berapa anggaran yang sudah dikeluarkan oleh kementerian-kementerian itu untuk implementasi program-program perubahan iklim.

Peran DNPI sebagai koordinator seperti itu juga disoroti oleh Ketua Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia, Jatna Supriatna. Ia melihat keberhasilan DNPI sebagai lembaga koordinator dapat diukur pada keberhasilan pengarusutamaan isu perubahan iklim pada kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah. Masalahnya, kata Jatna Supriatna, “Kata-kata koordinasi itu susah diukur. Keberhasilannya ada di mana? Keberhasilannya ada di kementerian atau lembaga yang dikoordinir oleh DNPI. Kalau kementeriannya berhasil, berarti koordinasinya berhasil, artinya fungsi dan peran DNPI sebagai koordinator juga berhasil.”

Oleh karena itu, Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sependapat dengan adanya upaya Indonesia – sebagai negara yang berperan penting dalam kancah negosiasi internasional perubahan iklim – agar memiliki Undang-undang (UU) tentang Perubahan iklim. “UU perubahan iklim menjadi satu langkah maju karena ada proses politik di dalamnya (eksekutif dan legislatif). Tidak seperti sekarang, semua masih setengah kamar (eksekutif), artinya ganti presiden, ganti menteri, maka tinggal menunggu digantinya kebijakan setengah kamar itu.” Kerisauannya beralasan, agar ada ada kepastian visi, misi, strategi anggaran, dan keberlanjutan eksistensi institusi terutama untuk menjawab tantangan perubahan iklim ini.

Buku ini mengisahkan ulang dinamika Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang telah mengemban amanah dan berkiprah selama lima tahun sejak didirikan tahun 2008 hingga tahun 2013 ini. Dalam pertumbuhan manusia, usia lima tahun sering dipandang sebagai “usia emas”, masa permulaan pertumbuhan yang penting. Walaupun masih tergolong “balita” (bawah usia lima tahun), namun ternyata DNPI sudah harus pandai berbagi dan berani mengambil tempat yang “pas” di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan dinamika bangsa di tengah arus globalisasi. Buku ini secara sadar ingin menguatkan pendapat, bahwa tantangan perubahan iklim merupakan tantangan kita kini, dan tanggung jawab untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Bagaimanapun, pewarisan iklim dan lingkungan yang baik, merupakan prasayarat bagi kemakmuran dan pendukung cita-cita dan peradaban kita sebagai bangsa.

Selamat membaca.

xii

Hal Depan.indd 14 8/2/13 10:46:44 AM

1DNPI 5 TAHUN I

BAB I

COP 13 BALITONGGAK SEJARAH DNPI

Bab.1 (17 x 25).indd 1 8/2/13 10:32:22 AM

2 I DNPI 5 TAHUN

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (earth summit) di Rio Brazil

1992 diikuti oleh 103 kepala negara. Seluruh pemimpin dunia sepakat bahwa perubahan iklim memerlukan penanggulangan

mendesak

Foto: © UN Photo/Michos Tzovaras

Bab.1 (17 x 25).indd 2 8/2/13 10:32:27 AM

3DNPI 5 TAHUN I

Bab.1 (17 x 25).indd 3 8/2/13 10:32:31 AM

4 I DNPI 5 TAHUN

Dua puluh tahun yang lalu, kesadaran kolektif

pemimpin dunia tentang terjadinya krisis lingkungan

dan perubahan iklim, telah membawa semua

pemimpin bangsa bahu-membahu membicarakan

planet bumi.

Pertemuan tersebut dikenal dengan Konferensi

Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau “Earth Summit”,

membahas Lingkungan dan Pembangunan atau

United Nations Conference on Environment

Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, Juni

1992.

Pertemuan yang dihadiri 103 kepala negara/

pemerintahan tersebut menghasilkan dokumen tidak

mengikat (legally non–binding), seperti Deklarasi

Rio tentang pembangunan yang mencakup 27

prinsip, termasuk prinsip-prinsip kehutanan, dan

Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan

manakala dunia menghadapi abad ke-21. Selain

Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada tanggal 23 Agustus 1994 dan sebagai negara anggota PBB, Indonesia berperan aktif dalam upaya perbaikan lingkungan global yang juga berkaitan dengan tantangan lingkungan yang tengah

terjadi di dalam negeri.

BERmuLA DARI KTT BumI

itu — yang sangat penting — pertemuan di Rio juga

mengumumkan kesepakatan tiga dokumen hukum

mengikat (legally binding), yaitu:

l Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati

(Convention on Biological Diversity /CBD)

l Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan

United Nations Convention on Combating

Desertification/UNCCD), dan

l Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan

Iklim (United Nations Framework Convention

on Climate Change), yang lebih dikenal dengan

UNFCCC.

Di antara tiga konvensi tersebut, UNFCCC menjadi

konvensi yang paling sering mengadakan pertemuan

disebabkan perannya yang sangat penting dan

mendesak. Tujuan konvensi yang sangat krusial, yakni

menstabilkan iklim planet bumi, bukanlah merupakan

target yang mudah, melainkan sangat kompleks dan

sulit, sehingga dialog dan kesepakatan harus intensif

untuk dibahas. Pertemuan perwakilan negara-negara

penanda-tangan konvensi yang disebut “Parties”,

dilakukan setiap tahun. Hingga sekarang, Conference

of Parties (COP) telah mencapai fase ke-18, yaitu

COP-18 yang diadakan di Doha, Qatar, tahun 2102. Tahun

ini, 2013, pertemuan COP ke-19, akan diadakan

di Warsawa, Polandia (Lihat Perjalanan Panjang

Menyelamatkan Bumi).

Keprihatinan dunia: mencairnya es di kutub utara.

Sum

ber

: D

okum

enta

si D

NPI

Bab.1 (17 x 25).indd 4 8/2/13 10:32:37 AM

5DNPI 5 TAHUN I

BERmuLA DARI KTT BumI

Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada

tanggal 23 Agustus 1994 dan sebagai negara anggota

PBB, Indonesia berperan aktif dalam upaya perbaikan

lingkungan global yang juga berkaitan dengan

tantangan lingkungan yang tengah terjadi di

dalam negeri.

Sejak UNFCCC memulai persidangan dalam COP 1,

di Berlin, Indonesia telah terlibat aktif dalam

persidangan negosiasi iklim. Kegiatan-kegiatan

tersebut pada awalnya dikoordinasi oleh Kementerian

Lingkungan Hidup (KLH). Melihat tantangan perubahan

iklim yang kompleks, maka pemerintah Indonesia

manganggap bahwa perubahan iklim bukan hanya

tantangan lingkungan semata, melainkan tantangan

untuk pembangunan Indonesia. Oleh karena itu,

Indonesia selain terlibat dalam berbagai kegiatan upaya

penanggulangan lingkungan di dalam negeri, juga pro-

aktif dalam kepeloporan mencari solusi mengatasi

perubahan iklim global.

Puncak keterlibatan Indonesia sangat nyata

dalam COP 13/CMP 3 di Bali, Desember 2007. Indonesia

bukan hanya menjadi tuan rumah, tetapi mampu

menempatkan diri sebagai pimpinan agar para peserta

COP 13 mampu mengatasi deadlock dan menghasilkan

kesepakatan-kesepakatan bertaraf internasional. Hasil

pertemuan Bali menjadi landasan penting bagi

perundingan-perundingan iklim berikutnya, antara

lain COP14/CMP4 di Poznan, Polandia, pada tahun

2008 dan perundingan di Copenhagen, Denmark,

pada tahun 2009 (COP15 /CMP5).

Conference of the Parties (COP) ke-13 itu juga

berfungsi sebagai Meeting of the Parties (CMP) ke-3,

yang membahas implementasi Protokol Kyoto.

Namun, hasil terpenting adalah dokumen yang

dinamakan Bali Road Map dan Bali Action Plan. Bali

Road Map merupakan dokumen yang menjembatani

proses-proses dan jalur-jalur perundingan untuk

mencapai mufakat-mufakat internasional lebih

lanjut. Bali Road Map juga dimaksudkan sebagai

kesepakatan perjanjian internasional pasca 2012,

di mana pada saat itu periode pertama Protokol

Kyoto berakhir. Adapun Bali Action Plan merangkum

kesepakatan Para Pihak mengenai substansi dan arah

masa depan perundingan perubahan iklim yang telah

diputuskan dalam COP-13 di Bali itu. Tidak kurang 15

dokumen tertuang dalam The Bali Action Plan, namun

secara garis besar dapat dikelompokkan atas empat

bagian besar, yaitu: adaptasi; mitigasi; teknologi

(untuk adaptasi dan mitigasi); serta pendanaan untuk

adaptasi dan mitigasi.

Tatapan penuh kepercayaan. Suasana COP13 Bali. Dari kiri ke kanan: Sekjen PBB Ban Ki-Moon, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden COP13, Rachmat Witoelar.Foto: Dokumentasi DNPI

Bab.1 (17 x 25).indd 5 8/2/13 10:32:44 AM

6 I DNPI 5 TAHUN

pERJalanan panJanG MEnYElaMatKan BuMI

2005 COP-11, diadakan di Montreal, Canada.

Protocol Kyoto mempunyai kekuatan

hukum 16 Februari 2005, pertama

kali Meeting of Parties to the Kyoto

Protocol (COP/CMP-1).2009 COP-15/ CMP-5.

Copenhagen Accord.

2011 COP-17/ CMP-9 Durban

menghasilkan Durban Platform.

2006 COP-12/ CMP-2 Nairobi

Adopsi rencana aksi 5 tahun untuk

mendukung adaptasi perubahan

iklim di negara berkembang, serta

bersepakat untuk modalitas dan

prosedur pendanaan adaptasi.

2010 COP-16/ CMP-8, Cancun

menghasilkan Cancun

Agreement.

2003 COP-9 di Milan, Italia. Para pihak

menyetujui tentang peran dan

prosedur untuk CDM.

2002 COP-8 diadakan di New Delhi, India

menghasilkan Deklarasi New Delhi.

2004 COP-10 dilaksanakan di Buenos Aires,

Argentina, Para pihak bersepakat

untuk menyelesaikan COP-9.

2012 COP-18/ CMP-8 Doha. Menghasilkan

Doha Gateway, Komitmen Periode II Kyoto

Protocol.

1979

Konferensi Iklim Pertama di

Dunia. Pemerintah diminta untuk

mengawasi perubahan iklim

yang berpotensi mengganggu

kesejahteraan manusia.

1988

WMO dan UNEP

mendirikan IPCC

(Intergovernmental

Panel on Climate

Change).

1987

Brundtland

Commission

Report.

2008 COP-14/ CMP-4 Poznan.

Dewan nasional

perubahan Iklim (DnpI)

dibentuk.

2007 COP-13/ CMP-3, Bali. Menghasilkan

Bali Road Map untuk rencana Kyoto

Protocol Pasca 2012.

Bab.1 (17 x 25).indd 6 8/2/13 10:32:58 AM

7DNPI 5 TAHUN I

1990

Hasil kajian pertama laporan

IPCC dipublikasikan.

1995

Konferensi Para Pihak yang Pertama

(COP-1) di Berlin, mengadopsi

Mandat Berlin. Putaran negosiasi

baru yang mendorong adanya

sebuah protokol dan instrumen legal

lainnya.

1989

Resolusi Majelis Umum PBB

mengumumkan untuk KTT

yang membahas tentang

pembangunan dan lingkungan.

1991

Perwakilan dari 160 negara dan bangsa bernegosiasi

tentang isu-isu kunci: berkomitmen untuk target emisi.

Akan memberikan bantuan teknologi tranfer dan

pendanaan pada negara berkembang.

1994

UNFCCC berkekuatan hukum

pada 21 Maret 1994, pada tahun

2013 penanda tangan UNFCCC

menjadi 195 negara anggota.

1995

IPCC menyetujui Laporan Kajian

Kedua. Mengemukakan tentang

pentingnya kebijakan dan aksi

yang kuat.

1996 COP-2 di Jenewa mengeluarkan Deklarasi Para Menteri, yang menganjurkan suatu

langkah untuk melakukan negosiasi. Langkah mengikat secara hukum untuk

menurunkan emisi, akan dibahas pada COP berikutnya.

1998 COP-4 pertemuan di Buenos Aires

mengadopsi Buenos Aires Plan

of Action yang dirancang untuk

program mengoperasikan secara

detail Protokol Kyoto.

1997 COP-3 di Kyoto mengadopsi Kyoto

Protocol sebagai sebuah protokol

untuk UNFCCC.

1999 COP-5 di Bonn menargetkan

pencapaian terukur sesuai mandat

COP-6 agar Kyoto Protocol

berkekuatan hukum (entry into

force).

1992

UNFCCC dibuka untuk

ditanda tangani pada

KTT Bumi (Rio Earth

Summit)

2000 COP-6 di Den Haag gagal bersepakat

mengambil keputusan di bawah Rencana

Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan

of Action).

2001 COP-6 part II (atau COP-6b) di Bonn. Para

pihak mengadosi perintah Bonn (Plann

Agreements), mendaftarkan konsensus

politik atau isu-isu kunci di bawah

Buenos Aires Plan of Action. Para pihak

juga menyelesaikan sejumlah keputusan

yang detail namun masih menyisakan

beberapa sisa kesepakatan.

2001 COP-7 Marrakesh memfinalkan

dan mengadopsi hasil

keputusan COP-6b disebut

Marrakesh Accords.

Bab.1 (17 x 25).indd 7 8/2/13 10:33:01 AM

8 I DNPI 5 TAHUN

pERhElatan aKBaR tentang iklim yang dihadiri dan

disaksikan oleh 15 ribu peserta dari 190 negara itu,

membawa makna mendalam atas prestasi kepedulian

Indonesia pada perubahan iklim. Persidangan

berakhir dengan diketuk palu dan diluncurkannya

‘Bali Roadmap’ atau Peta jalan Bali dan Bali Action Plan,

yang terkenal itu.

Rachmat Witoelar selaku Presiden COP 13/

CMP 3, menyampaikan pidato penutup, “We have a

Roadmap! I am delighted to say that we have finally

Tepuk tangan membahana di ruang sidang COP 13/CMP-3, di Hotel Westin Bali. Wajah-wajah ceria dan penuh kepuasan tergambar pada para delegasi yang berunding secara maraton selama hampir dua minggu, karena alot dan rumitnya perundingan tersebut.

DARI BALI uNTuK BumI

achieved the breakthrough the world has been waiting

for: the Bali Roadmap!” katanya mengawali pidato

penutupan. Rachmat kemudian mengucapkan terima

kasih atas keberhasilan sidang perundingan. Ia juga

menyampaikan penghargaan atas upaya keras para

delegasi, terutama Delegasi Republik Indonesia (DELRI),

para pihak yang intensif terlibat terutama Menteri

Luar Negeri Indonesia Dr. Nur Hassan Wirayuda, juga

perhatian khusus dari Sekjen PBB Ban Ki Moon, dan

tentu saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang

memberikan perhatian penuh selama persidangan, dari

awal sampai akhir.

Tentu saja, di pihak penyelenggara — tuan

rumah Indonesia — wajah-wajah lelah tergambar

sangat jelas. Begitu pula gambaran keletihan tampak

pada anggota DELRI. Kerut di dahi bertambah terlipat.

Letih dan agak pucat karena kurang tidur, sudah pasti.

Namun, perjalanan penyelenggaraan Bali COP 13/CMP

3, membawa kepuasan dan kenangan tersendiri.

Usai sidang yang gegap gempita itu, Rachmat

Witoelar dan Agus Purnomo, segera naik ke lantai lima

Hotel Westin, Bali, melapor kepada Presiden. Laporan

disampaikan dengan penuh kegembiraan dan diterima

Plenary Hall UNFCCC COP 13 Bali. Foto: Dokumentas DNPI

Bali, 15 DesemBer 2007

Bab.1 (17 x 25).indd 8 8/2/13 10:33:14 AM

9DNPI 5 TAHUN I

oleh Presiden dengan baik. Presiden pun memberi

sejumlah petunjuk arahan. Menutup pembicaraan,

Presiden SBY menyampaikan kata-kata penting yang

akan menjadi embrio berdirinya DNPI, “Saya akan

bentuk suatu komisi atau dewan tentang perubahan

iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi ini.”

Dari sanalah DNPI kemudian dibentuk, tepatnya

4 Juli 2008. Tak bisa dipungkiri keputusan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono mendirikan dan memimpin

DNPI menunjukkan perhatian beliau yang begitu besar

dan serius dalam upaya penanggulangan perubahan

iklim.

Untuk menyelenggarakan roda organisasi, DNPI

dijalankan oleh seorang Ketua Harian, yaitu Rachmat

Witoelar yang waktu itu juga menjabat sebagai Menteri

Lingkungan Hidup. Suatu kekhasan tersendiri bagi

DNPI, dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 46/2008

tentang pembentukan DNPI, nama Rachmat Witoelar

disebutkan sebagai Ketua Harian. Uniknya lagi, dalam

DNPI, Menteri Lingkungan Hidup duduk sebagai

anggota, bersama dengan menteri-menteri anggota

yang lainnya.

Keunikan ini mungkin dapat juga disetarakan

dengan portofolio negara lain yang memberikan

perhatian dan porsi besar dengan membentuk

kelembagaan tentang iklim. Australia, misalnya,

mengangkat menteri khusus untuk perubahan iklim,

selain menteri lingkungan. Demikian pula Denmark,

menteri lingkungannya diberi jabatan baru sebagai

menteri perubahan iklim dan energi.

Liputan harian nusa Bali tentang keberhasilan COP 13. Presiden menyalami Sekjen PBB Ban Ki-Moon, disaksikan Rachmat Witoelar, Agus Purnomo, dan Amanda Katili. Sumber: Dokumentasi DNPI

Bab.1 (17 x 25).indd 9 8/2/13 10:33:34 AM

10 I DNPI 5 TAHUN

Terkait kiprah utamanya, sesuai dengan mandat

Peraturan Presiden No. 46/2008, tugas umum DNPI

adalah:

a. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program

dan kegiatan pengendalian perubahan iklim;

b. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan

tugas pengendalian perubahan iklim yang

meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi

dan pendanaan;

c. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme

dan tata cara perdagangan karbon;

d. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi

implementasi kebijakan tentang pengendalian

perubahan iklim;

e. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong

negara-negara maju untuk lebih bertanggung

jawab dalam pengendalian perubahan iklim.

Dengan wewenang itulah, DNPI memainkan

peran penting selama lima tahun dari sejak berdirinya

2008 hingga 2013. Niat Presiden SBY untuk tetap

mengawal hasil-hasil negosiasi sejak dari COP 13 Bali

tahun 2007, mendorong Indonesia, melalui DNPI, selalu

terlibat aktif dalam upaya menanggulangi tantangan

perubahan iklim. Lambat laun keberadaan DNPI

sangat dirasakan sebab peran dan keberhasilannya

dalam menjembatani, mengkoordinasikan dan

membantu kapasitas perubahan iklim di berbagai

sektor, serta perannya sebagai koordinator nasional

dalam menghadapi perundingan internasional

perubahan iklim, kian meningkat.

Tercatat pula dalam prakteknya, DNPI berperan

antara lain menjadi national focal point UNFCCC

Gembira bercampur lega, COP 13 Bali berlangsung sukses: Rachmat Witoelar disalami oleh Emil Salim Foto: Dokumentasi DNPI

Keramahan dan kehangatan khas Indonesia: Presiden Yudhoyono menuangkan air minum untuk Sekjen PBB Ban Ki-Moon dalam sidang COP 13 Bali. Foto: Dokumentasi DNPI

untuk perubahan iklim sejak tahun 2008, karena isu

perubahan iklim merupakan tantangan multisektoral

yang dapat melibatkan berbagai kementerian dan

lembaga, misalnya Kementerian ESDM, Kementerian

Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Luar

Negeri dan kementerian serta lembaga terkait lain.

Oleh karenanya, peran DNPI dalam koordinasi dan

menjembatani isu perubahan iklim, adalah sangat

penting dilakukan. Selain itu, dalam pasar karbon,

DNPI bertindak sebagai administratur yang bertugas

mendukung, memfasilitasi dan mengatur berbagai

inisiatif, termasuk ketika pasar karbon diprediksi sangat

lesu pada periode Kyoto Protocol Kedua. Disebabkan

pasar melemah, maka DNPI dapat melakukan insiatif

problem solving, misalnya menerobos kerja sama

bilateral (Lihat Prospek Pasar Karbon dalam Protokol

Kyoto Jilid II).

perhatian presiden SBYKesadaran penuh untuk menurunkan emisi

gas-gas rumah kaca di atmosfer mengharuskan

keterlibatan seluruh sektor terkait dari kementerian

maupun lembaga. Oleh karena itu, keterwakilan

Indonesia dalam forum perubahan iklim perlu

melibatkan kementerian/lembaga terkait. Indonesia,

sebelumnya memang cukup diperhitungkan dalam

kancah dialog dan kepemimpinan dalam bidang

lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup Kabinet

Pembangunan Bersatu Jilid I periode 2004-2009,

Bab.1 (17 x 25).indd 10 8/2/13 10:33:42 AM

11DNPI 5 TAHUN I

Rachmat Witoelar, bahkan sempat ditunjuk sebagai

President Governing Council United Nations Environment

Programme (UNEP) yang berbasis di Nairobi. Posisi ini

pernah dijabat oleh Prof. Emil Salim, salah seorang mantan

Menteri Lingkungan Hidup RI, yang juga pernah menjadi

President Governing Council (GC) - UNEP di samping

menjadi anggota World Comission on Environment

(1985-1987). Terpilihnya Indonesia sebagai Presiden GC-

UNEP memberikan beberapa keuntungan, antara lain

kemudahan Indonesia mendapatkan berbagai dukungan

internasional berupa pendanaan, pengembangan

sumber daya manusia, maupun teknologi pelestarian

lingkungan hidup, serta terbukanya sejumlah kerja sama

dan koordinasi yang sangat dibutuhkan sejalan dengan

berlaku efektifnya Protokol Kyoto.

Dari tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali selama

sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor

ke Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan

dukungan, turut berada di Pulau Dewata tersebut

“Saya akan bentuk suatu komisi atau dewan tentang perubahan iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi ini.” Foto: Dokumentasi DNPI

Indonesia dipastikan

mempunyai kesempatan

untuk menjadi negara pelopor

yang pada gilirannya dapat

mengangkat nama baik dan

harkat bangsa.

Menonjolnya kepemimpinan Indonesia di

bidang lingkungan tersebut, menyebabkan negara ini

kemudian diminta untuk menjadi tuan rumah COP-13,

Bali. Peristiwa penting konferensi iklim yang dihadiri

oleh lebih dari 15.000 peserta dan peninjau dari

berbagai negara tersebut, telah membawa Indonesia

pada kancah perundingan iklim secara intensif.

Bagi Indonesia, pertimbangan untuk menjadi

tuan rumah pun tidak mudah. Keberhasilan penye-

lenggaraan konferensi Iklim ini akan membawa nama

baik Indonesia jika berhasil, tetapi sebaliknya apabila

gagal. Tak urung pertimbangan untuk mengemban

posisi tuan rumah pun melibatkan proses di dalam

negeri yang cukup panjang.

Karena hal ini menyangkut Indonesia di mata

dunia, maka Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono

pun mulai terlibat. Agus Purnomo, ketua organizing

committee COP 13 tahun 2007 yang kini menjabat Staf

Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, menuturkan,

penyelenggaraan KTT iklim di Bali, mempunyai makna

strategis. Pertama, tentang keseriusan Indonesia

terlibat aktif dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Dalam upaya ini, Indonesia dipastikan mempunyai

Bab.1 (17 x 25).indd 11 8/2/13 10:33:48 AM

12 I DNPI 5 TAHUN

kesempatan untuk menjadi negara pelopor yang pada

gilirannya dapat mengangkat nama baik dan harkat

bangsa. Kedua, karena diadakan di Bali, diharapkan

akan membantu peningkatan promosi dan citra wisata

di Pulau Dewata tersebut, terutama karena Bali pada

saat itu baru kena imbas Bom Bali.

Kehadiran KTT Iklim COP 13, menjadikan Bali

sebagai headline yang disiarkan CNN setiap jam untuk

meliput perjalanan sidang. “Jadi UNFCCC COP-13 juga

menjadi obat bagi industri pariwisata Indonesia,” tutur

Agus Purnomo. Demikian pentingnya acara ini, Presiden

SBY berkenan mengikuti perkembangan persidangan

dari dekat, sehingga Presiden berkantor di Bali. Dari

tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali

selama sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor ke

Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan

dukungan, turut berada di Pulau Dewata tersebut.

Persidangan COP 13, menghasilkan beberapa

kesepakatan penting antara lain yang disebut dengan

Bali Action Plan. Kesepakatan Bali ini sangat penting

sehingga proses negosiasi tentang perubahan iklim

berikutnya selalu merujuk pada butir-butir Bali

Action Plan tersebut. Melihat hal ini, Presiden SBY

mempertimbangkan tentang peran penting Indonesia

dalam kepeloporan untuk penanggulangan tantangan

iklim.

Di sela-sela kesibukan COP 13 Bali, Presiden SBY dan Ibu Ani menyempatkan menerima rombongan Bicycle for Earth Goes to Bali. Mereka bersepeda selama 21 hari (11 November – 27 Desember 2007) menempuh 1.447 km dari Jakarta ke Bali, dalam rangka sosialisasi COP 13 ke tengah-tengah masyarakat. Foto: Dokumentasi DNPI

Presiden Yudhoyono mempertimbangkan tentang peran

penting Indonesia dalam kepeloporan untuk penanggulangan

tantangan iklim

Bab.1 (17 x 25).indd 12 8/2/13 10:33:52 AM

13DNPI 5 TAHUN I

Bali Action Plan merupakan tonggak

sejarah penting proses negosiasi dalam

upaya penanggulangan perubahan iklim.

Hasil yang dibahas dalam negosiasi tersebut

mencakup beberapa tema, yaitu:

a. VISI BERSaMa untuK aKSI tInDaK lanJut

DalaM KERJa SaMa JanGKa panJanG

Rencana ini antara lain mengetengahkan visi

bersama untuk tujuan jangka panjang global dalam

upaya mengurangi emisi gas rumah kaca guna

mencapai tujuan utama konvensi. Adapun tujuan ini

harus mempertimbangkan dan memperhitungkan

prinsip tanggung jawab bersama dan kewajiban

yang berbeda (common but differentiated

responsibilities), serta kemampuan negara masing-

masing.

B. EMpat ‘BUILDING BLOCK’ pEntInG DalaM

BALI ACTION PLANBali Action Plan menancapkan tonggak

penting yang dikenal sebagai ‘building block’, yaitu:

adaptasi, mitigasi, transfer teknologi dan pendanaan,

termasuk juga shared vision (visi bersama) dalam

upaya menurunkan emisi global.

adaptasi:

Melibatkan kerja sama internasional dalam

menguji dan mendukung aneka tindakan adaptasi,

mengingat kebutuhan yang mendesak dari negara

berkembang terutama sekali untuk negara-negara

miskin atau Least Developed Countries (LDCs), dan

negara kepulauan kecil atau Small Island Developing

States (SIDS), serta negara-negara negara Afrika.

Mitigasi:

Para pihak telah menyepakati untuk

mempertimbangkan elemen-elemen berikut:

l komitmen aksi mitigasi yang memadai atau

tindakan aksi, termasuk penghitungan batasan

emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dan usaha yang

bertujuan untuk menurunkan emisi yang harus

dilakukan oleh seluruh negara maju; dan

l aksi-aksi mitigasi oleh negara negara berkembang

yang tergabung sebagai Para Pihak yang

didukung dan dimungkinkan oleh teknologi,

sumber pendanaan dan pembangunan kapasitas.

transfer teknologi:

Mekanisme yang efektif alih teknologi dari

negara maju ke negara berkembang, serta

upaya meningkatkan sumber daya yang mampu

mengurangi hambatan ketersediaan pendanaan

untuk mendorong agar negara-negara berkembang

dapat mengakses teknologi ramah lingkungan

dengan harga terjangkau.

pendanaan:

Bantuan pendanaan sangat diperlukan dalam

upaya mengurangi gas rumah kaca dan membantu

negara berkembang untuk beradaptasi menghindari

dampak perubahan iklim.

BAlI AcTIoN PlAN

Bab.1 (17 x 25).indd 13 8/2/13 10:34:00 AM

14 I DNPI 5 TAHUN

pERtIMBanGan YanG StRatEGIS inilah yang

kemudian mendorong Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono untuk membuat lembaga khusus yang

menangani perubahan iklim. Belum hilang rasa lelah,

setelah berhasil menyelenggarakan COP 13, Presiden,

sebagaimana dituturkan oleh Agus Purnomo,

Melihat keberhasilan COP 13, dan kepemimpinan Indonesia yang menemukan momentum positif dalam negosiasi perubahan iklim, maka muncul pertanyaan, “Mungkinkah Indonesia di tingkat Internasional dapat memimpin isu climate change ini?”

memberikan arahan, “Bikin lembaga perubahan iklim

dan akan dipimpin sendiri oleh Presiden.” Lembaga itu

tentu unik, pertama karena “mengurusi iklim”, dan kedua

akan dipimpin langsung oleh Presiden. Dibuatlah proses

pembahasan untuk merealisasikannya.

Serangkaian proses administrasi dan yuridis

pun dipersiapkan. Kontak antara tokoh-tokoh COP

13, tokoh KLH, dan Sekretariat Negara berlangsung

intensif. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan

turut ambil bagian mencoret dan mengoreksi sendiri

rancangan perpres (Peraturan Presiden) untuk

diperbaiki, disempurnakan dan akhirnya Presiden pun

tanda tangan.

Hasilnya adalah sebuah Peraturan Presiden

(Perpres) No. 46/2008, tentang Pendirian DNPI. Dewan

PENDIRIAN DNPI

Di Balik gagasan

Bali COP 13 memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi iklim internasional. Foto: Dokuementasi DNPI

Bab.1 (17 x 25).indd 14 8/2/13 10:34:05 AM

15DNPI 5 TAHUN I

Presiden Yudhoyono mempimpin rapat DNPI di istana, 30 September 2011 Foto: Dokumentasi DNPI

ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia

dengan dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator

Bidang Perekonomian. Di samping itu, keanggotaan

DNPI juga diperkuat oleh 17 Menteri terkait dan satu

kepala Badan yang duduk sebagai anggota.

Jika ditilik dari alasan strategis, setidaknya ada

alasan kuat mengapa Presiden melihat DNPI penting

untuk didirikan. Pertama, Presiden melihat berdirinya

DNPI merupakan satu dari sedikit kemungkinan

Indonesia bisa mengambil peran di dunia Internasional.

Dan langkah ini tepat, disebabkan track record

Indonesia dalam kepeloporan kepemimpinan

peru bahan iklim tingkat dunia, termasuk dalam

penanganan REDD dan isu iklim yang lainnya, tak

diragu kan lagi. Kepercayaan itu terus berlanjut.

Terbukti, tahun 2013 ini Presiden SBY kembali

dipercaya menjadi ketua bersama panel tingkat

tinggi PBB untuk Millenium Development Goals

(MDGs). Ketua Bersama adalah sebuah panel kolektif,

dalam hal ini Presiden SBY berada di jajaran penting

dalam forum MDGs bersama dengan Presiden Liberia

Ellen Johnson Sirleaf dan Perdana Menteri Inggris

David Cameron.

Dewan ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia dengan

Dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dan Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian.

Di samping itu, keanggotaan DNPI juga diperkuat oleh

17 Menteri terkait dan satu kepala Badan yang duduk

sebagai anggota.

Bab.1 (17 x 25).indd 15 8/2/13 10:34:06 AM

16 I DNPI 5 TAHUN

Dapat disimpulkan, gagasan Presiden SBY

bahwa Indonesia harus memimpin dalam perubahan

iklim itu merupakan keputusan strategis yang tepat,

jikapun tidak bisa dikatakan genius, yang membawa

bangsa Indonesia berperan besar dan penting dalam

kancah kepemimpinan perubahan iklim di tingkat

internasional.

Selain itu, alasan kedua, sejak tahun 2008,

DNPI pula yang menjadi katalisator antarsektor

yang melibatkan sektor dari kementerian lain dalam

upaya-upaya negosiasi perubahan iklim. Jadi,

pendirian DNPI merupakan gambaran serius

niat pemerintah dalam upaya menanggulangi

perubahan iklim, baik dalam skala nasional maupun

global. Karena kompleksitas masalah dan tantangan

iklim melibatkan berbagai sektor yang berbeda,

maka diperlukan sebuah tim yang kuat dalam upaya

melaksanakan tugasnya menjadi penanggungjawab

sekaligus koordinator penanggulangan perubahan

iklim secara nasional.

Track record Indonesia dalam kepelopran kepemimpinan perubahan iklim tingkat dunia, tak diragukan lagi: Presiden Yudhoyono dalam COP 15 Copenhagen tahun 2009. Foto: Dokumentasi DNPI

Jadi, pendirian DNPI merupakan gambaran serius

niat pemerintah dalam upaya menanggulangi perubahan iklim

Bab.1 (17 x 25).indd 16 8/2/13 10:34:08 AM

17DNPI 5 TAHUN I

Kompleksitas dan tantangan perubahan iklim, menjadikan DNPI sebuah lembaga yang mempunyai mandat koordinasi lintas sektoral. Dalam Perpres nomor 46 tahun 2008 diatur mengenai Struktur DNPI, diketuai oleh Presiden RI dengan Wakil Ketua 1 Menteri Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Wakil Ketua 2 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Adapun anggota-anggota DNPI, Menteri dari 17 Kementerian dan satu Kepala BMKG, sebagai berikut: :

1. Menteri Sekretaris Negara2. Menteri Sekretaris Kabinet 3. Menteri Negara Lingkungan Hidup4. Menteri Keuangan5. Menteri Dalam Negeri 6. Menteri Luar Negeri7. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 8. Menteri Kehutanan9. Menteri Pertanian10. Menteri Perindustrian 11. Menteri Pekerjaan Umum 12. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS13. Menteri Kelautan dan Perikanan14. Menteri Perdagangan15. Menteri Negara Riset dan Teknologi 16. Menteri Perhubungan17. Menteri Kesehatan 18. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)

Dalam melaksanakan tugasnya DNPI dipimpin oleh Ketua Harian merangkap anggota, Rachmat Witoelar. Perpres 46 tahun 2008 mengatur adanya enam Kelompok Kerja (Pokja) dan Sekretariat, yaitu sebagai berikut:1. Kelompok Kerja Adaptasi2. Kelompok Kerja Mitigasi3. Kelompok Kerja Alih Teknologi4. Kelompok Kerja Pendanaan5. Kelompok Kerja Post Kyoto 20126. Kelompok Kerja Kehutanan dan Alih Guna Lahan. Sekretariat DNPI dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat. Untuk mendukung tugas pokok DNPI, maka Sekretariat DNPI didukung oleh beberapa Divisi sebagai berikut:1. Divisi Administrasi Umum2. Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon3. Divisi Komunikasi, Informasi, Edukasi4. Divisi Pengembangan Kapasitas dan Riset5. Divisi Monitoring dan Evaluasi

DNPI dalam melaksanakan kegiatannya mendapatkan dukungan pendanaan negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Dalam administrasi anggaran, DNPI merupakan salah satu Satuan Kerja (Satker) di dalam KLH.

TUjUH BelAs KemeNTerIAN DAN sATU lemBAgA memPerKUAT DNPI

Bab.1 (17 x 25).indd 17 8/2/13 10:34:10 AM

18 I DNPI 5 TAHUN

PeNgemBANgAN KeBIjAKAN DAN KelemBAgAN PerUBAHAN IKlIm

1994 Undang-undang No. 6/1994, Ratifikasi Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC)

1999 Komunikasi Nasional Pertama (National Communication) yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan

Hidup

1997 Revisi Undang-undang 23/1997 menjadi Undang-undang 32/2009 yang memasukkan isu perubahan iklim dalam

pengelolaan lingkungan

2004 Undang-undang no. 17/2004,

ratifikasi Kyoto Protocol

2010

Pengiriman Komunikasi

Nasional ke Dua, oleh KLH.

2005 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 206/2005, tentang Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (PNPB)

2011

Dikeluarkan Perpres No.

61 Tentang Rencana Aksi

Nasional Penurunan Emisi GRK

(RAN - GRK).

2007 Penerbitan Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim (RAN – PI), oleh KLH

2009

Masuk dalam Rencana Program

Jangka Menengah 2009-2014

(RPJM 2009-2014), Bappenas.

2011

Dikeluarkan Perpres No. 71

Tentang Penyelenggaraan

GRK Inventarisasi Nasional.

2010

Keputusan Presiden tentang

Satgas Persiapan Pembentukan

kelembagaanREDD+

2008 Peraturan Presiden No 46/2008, tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)

Bab.1 (17 x 25).indd 18 8/2/13 10:34:18 AM

19DNPI 5 TAHUN I

BAB II

tentang perubahan iklim

Bab.2 (17 x 25).indd 19 8/2/13 10:39:54 AM

20 I DNPI 5 TAHUN

Foto: DNPI

Bab.2 (17 x 25).indd 20 8/2/13 10:39:57 AM

21DNPI 5 TAHUN I

Tiada badai, tiada topan kau temui...

Ikan dan udang menghampiri dirimu...

Koes Plus, 1973

“Bila ingin mengenang bagaimana bumi yang

stabil, barangkali masa yang paling ideal kondisi

bumi adalah seperti digambarkan oleh Koes Plus

pada masa tahun 1970 atau 80-an.

”Tiada badai, tiada topan kau temui...”

Bab.2 (17 x 25).indd 21 8/2/13 10:40:00 AM

22 I DNPI 5 TAHUN

Kalau ditanyaKan kepada orang tua dahulu,

mereka akan bernostalgia dan bertutur, jika anda

ke Bogor atau Bandung di tahun 1970an niscaya

harus menggunakan baju tebal atau sweater, dari

pagi hingga menjelang tengah hari. Sebab udara

sangat sejuk, apalagi kawasan sekitar Puncak, menuju

Bandung, di kiri-kanan, hutannya masih lebat.

“Bogor sudah jarang hujan dan udaranya pun seringkali panas terik. Walau di malam hari angin berhembus sedikit sejuk, tetapi tidak seperti dahulu. Bogor tidak sejuk lagi.”

musIm yAng semAkIn tAk menentu

Hujan turun di Bogor hampir setiap hari, karena

itu Bogor disebut kota hujan. Pemerintah Kolonial

Belanda, berhasil mengoleksi tanaman-tanaman

beriklim tropis dari berbagai hutan Sumatera dan

Kalimantan, dan menanamnya di Kebun Raya Bogor,

karena curah hujan yang tetap tinggi. Bogor kala itu,

sejuk dan nyaman dengan ketinggian 200 sampai 330

meter di atas permukaan laut. Temperatur udara Bogor,

berkisar paling rendah 20ºC, sedangkan rata-ratanya

adalah 26ºC, kelembaban mencapai 70%, curah hujan

tiap tahun cukup tinggi. Namun sekarang, Bogor tidak

sejuk seperti dulu lagi. “Bogor sudah jarang hujan dan

udaranya panas terik. Di malam hari angin berhembus

sedikit sejuk, tetapi tidak seperti dahulu. Kota Bogor

tidak sejuk lagi,” tulis Parlin Nainggolan, seorang warga

Ibukota yang menulis tentang kondisi lingkungan Bogor

saat ini di sebuah media online.

Rekahan tanah sawah yang retak

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

Bab.2 (17 x 25).indd 22 8/2/13 10:40:07 AM

23DNPI 5 TAHUN I

musIm yAng semAkIn tAk menentu

Bab.2 (17 x 25).indd 23 8/2/13 10:40:16 AM

24 I DNPI 5 TAHUN

Itulah kondisi lokal yang sekarang kita rasakan.

Pola hujan di sebagian wilayah Indonesia sudah

mengalami perubahan. Di beberapa wilayah, awal

musim hujan ada yang mundur dan ada pula yang maju.

Tercatat bahwa curah hujan di bagian selatan ekuator

— Jawa dan kawasan Indonesia Bagian Timur —

cenderung meningkat, sementara curah hujan musim

kemarau cenderung menurun. Selain itu, kemarau

di wilayah ini cenderung lebih lama. Fenomena

lingkungan seperti ini memberikan petunjuk bahwa

perubahan iklim nyata adanya. Namun, manusia ada

yang sadar dan banyak yang tidak mengetahuinya,

karena perubahan iklim berjalan sangat lamban,

sedikit demi sedikit dan bersifat global.

Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca dalam

jangka yang sangat panjang, antara 50 sampai 100

tahun, dan mencakup kawasan yang luas. Pergeseran

cuaca yang berkaitan erat dengan fenomena iklim ini

telah disadari sejak lama oleh para ilmuwan. Demikian

pula kerap terjadi perubahan iklim yang sontak dan

radikal yang dapat mengganggu kehidupan, misalnya

cuaca ekstrem, hujan badai dan angin puting beliung,

termasuk juga El Nino dan La Nina.

Daniel Murdiyarso, peneliti senior pada Center

for International Forestry Research (CIFOR) dan Guru

Besar Ilmu Atmosfer, Institut Pertanian Bogor (IPB)

menuliskan, “Karena iklim juga menjadi suatu ciri

fisik suatu kawasan, maka jika terjadi perubahan,

dampaknya terhadap komponen-komponen biotik

(hidup) dan abiotik (tak hidup) akan sangat luas.

Boleh jadi, perubahan itu bersifat permanen karena

hilangnya komponen penting dalam kawasan,

misalnya hutan sebagai ekosistem atau spesies yang

ada di dalam ekosistem hutan tersebut.” Oleh karena

itu, dampak perubahan iklim dianggap sangat

fatal dan mengerikan, karena manusia tidak bisa

mengembalikan (irreversible), apabila iklim berubah.

Para ahli kemudian melihat gejala perubahan iklim

secara lebih serius dan mengadakan pertemuan

dalam konferensi iklim pertama pada tahun 1979,

di Jenewa, Swiss. Pertemuan ilmiah tersebut pada

akhirnya membicarakan tantangan global kondisi iklim

dan kemudian menghasilkan deklarasi yang meminta

pemerintah di seluruh dunia untuk mengantisipasi

perubahan iklim.

Sejak saat itu isu-isu tentang perubahan iklim

global terus didengungkan, utamanya oleh tiga lembaga

internasional terkemuka, yaitu: Badan Meteorologi

Dunia atau the World Meteorological Organization

(WMO), Badan PBB yang menangani program

lingkungan atau the United Nations Environment

Programme (UNEP) dan Dewan Internasional

Perhimpunan Ilmiah atau the International Council of

Scientific Unions (ICSU). Di bawah badan-badan itu,

konferensi perubahan iklim mendapat perhatian dan

melibatkan pemerintahan di seluruh dunia.

Salah satu momentum penting adalah pada tahun

1988, ketika The Toronto Conference on the Changing

Atmosphere yang mengundang perdebatan masyarakat

global lebih dari 340 peserta konferensi yang berasal

dari 46 negara, bersepakat membuat sebuah kerangka

konvensi dunia untuk melindungi atmosfer.

Dua tahun kemudian, pada tahun 1990, WMO

bersama-sama dengan UNEP menerbitkan laporan

tentang kenaikan temperatur dunia sejak seratus tahun

sebelumnya, yaitu setelah terjadinya revolusi industri

pada abad 18. Laporan tersebut kemudian diadopsi

oleh panel ahli perubahan iklim antarpemerintah

(Inter-governmental Panel on Climate Change, IPCC)

melalui laporan pertamanya, the First Assessement Report

(FAR). Dokumen inilah yang pada akhirnya mendasari

terbentuknya sebuah konvensi internasional yang

disebut dengan United Nations Framework Convention

on Climate Change yang biasa disingkat UNFCCC pada

tahun 1992.

Dampak perubahan iklim dianggap sangat fatal dan mengerikan, karena manusia tidak bisa mengembalikan

(irreversible), apabila iklim berubah

Bab.2 (17 x 25).indd 24 8/2/13 10:40:17 AM

25DNPI 5 TAHUN I

Penduduk pesisir dan nelayan terdampak langsung perubahan iklim. Beberapa wujud,

di antaranya pasang tinggi, abrasi kian cepat, musim tak terprediksi, serta panen ikan merosot.

Nelayan Krui, Lampung Barat, punya kisah. Nelayan generasi sekarang tak bisa menebak musim. Dulu nenek

moyang mereka paham betul isyarat langit, posisi bintang. Hanya dengan membaca posisi bintang selatan

(berbentuk ikan pari), mereka mengetahui awal musim barat dan timur.

Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2008 menunjukkan,

hari melaut nelayan rata-rata hanya 180 hari atau 6 bulan. Akibatnya, keluarga nelayan pun kian terjerat utang.

Kisah nelayan di atas sejalan dengan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

”Kondisi berubah di laut empat tahun terakhir dan itu merata,” kata Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG.

(Sumber: KOMPAS, Kamis 3 Desember 2009)

Apakah perubahan iklim itu nyata?Simak kata para nelayan ini:

melAut pun surut

Bab.2 (17 x 25).indd 25 8/2/13 10:40:20 AM

26 I DNPI 5 TAHUN

MANUSIA &

Planet Bumi yang kini dihuni oleh tujuh miliar

manusia ini, merupakan satu-satunya planet yang

sangat ideal untuk kehidupan. Suhu rata-rata global

bumi adalah 150C. Kondisi ini terjadi karena bumi

dilapisi oleh atmosfer yang ideal. Atmosfer yang

letaknya di tepi permukaan bumi adalah ibarat selimut.

Lapisan yang berada di kulit terluar bumi ini berasal

dari gas yang sering disebut ‘gas-gas rumah kaca’

(GRK) dalam konsentrasi yang memadai. Gas rumah

kaca yang tetap memelihara kehidupan tersebut

merupakan ‘selimut’ yang selalu menghangatkan.

Pemanasan global terjadi akibat gas-gas

Efek rumah kaca terjadi ketika energi dari sinar matahari tiba di permukaan Bumi, dan menghangatkan bumi. Ketika itu, permukaan Bumi akan menyerap panas, namun sebagian panas memantulkan kembali sisanya

mAnusIA & gAs-gAs rumAh kAcA

rumah kaca (GRK) semakin hari semakin menumpuk

dan mempertebal selimut bumi tersebut. Kenaikan

konsentrasi gas-gas rumah kaca akan membuat selimut

bumi bertambah tebal, dan panas yang seharusnya

keluar dari atmosfer sebagian lebih banyak terperangkap

dan kembali ke bumi. Ibarat berada di rumah kaca, bumi

akan mengalami kenaikan suhu akibat banyaknya panas

— yang berasal dari sinar matahari — terperangkap oleh

selimut atmosfer yang semakin tebal oleh penumpukan

gas-gas rumah kaca.

Lebih jelasnya, efek rumah kaca terjadi ketika

energi dari sinar matahari tiba di permukaan Bumi, dan

menghangatkan bumi. Ketika itu, permukaan Bumi akan

menyerap panas, namun sebagian panas memantulkan

kembali sisanya.Tidak semua panas menghilang, karena

sebagian tetap terperangkap di atmosfer bumi.

Banyak nya panas yang terperangkap ini adalah akibat

menumpuknya jumlah gas gas rumah kaca antara lain

uap air, karbon dioksida dan metana yang menjadi

“selimut” sehingga sukar ditembus. Kondisi inilah yang

mengakibatkan permukaan bumi semakin panas.

Analoginya adalah seperti kita tidur dengan selimut

tanpa pendingin udara. Semakin tebal selimutnya, maka

akan semakin panas suhu udara yang kita rasakan.

Sum

ber

: D

okum

enta

si D

NPI

Bab.2 (17 x 25).indd 26 8/2/13 10:40:22 AM

27DNPI 5 TAHUN I

Peternakan adalah salah satu penyumbang terbesar emisi gas

rumah kaca

Foto: Murni Titi Resdiana

Bab.2 (17 x 25).indd 27 8/2/13 10:40:24 AM

28 I DNPI 5 TAHUN

PenamBangan Batu Bara

PemBangKit listriK Bahan BaKar fosil/ BatuBara

Proses industri

industri PeternaKan

Bab.2 (17 x 25).indd 28 8/2/13 10:40:32 AM

29DNPI 5 TAHUN I

laPisan es mencair

PemBaKaran ladang

KeBaKaran hutan

PemBuangan samPah

transPortasi darat

transPortasi udara

PemuPuKan

ProduKsi minyaK

dari mana gas rumah kaca berasal?

Ilustrasi diadopsi dari Al Gore, Our Choice (2011)

Bab.2 (17 x 25).indd 29 8/2/13 10:40:40 AM

30 I DNPI 5 TAHUN

Enam jenis Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat

menimbulkan pemanasan global dan dibicarakan di

UNFCCC adalah: karbon dioksida (CO2), metan (CH

4),

nitrat oksida (N2O), dan gas-gas yang mengandung

fluor, seperti hydrofluorocarbon (HFCs), perfluorocarbon

(PFCs), dan sulphur hexafluorida (SF6). Dari keenam gas-

gas rumah kaca tersebut, karbon dioksida mengambil

porsi terbesar, yaitu sekitar 75%. Oleh karena

itulah maka jumlah GRK selalu disetarakan dengan

kandungan CO2 yang ada di atmosfer.

Ke-enam jenis gas rumah kaca tersebut

mempunyai daya potensi penyebab pemanasan

global (global warming potential-GWP) yang berbeda-

beda. Karbon dioksida, walaupun jumlahnya paling

Ini juga berarti bahwa mengurangi emisi gas metana

sebanyak 1 ton setara dengan mengurangi emisi

karbondioksida sebanyak 21 ton.

Singkatnya, dalam bahasa sederhana,

sesungguhnya pemanasan global terjadi akibat proses

penebalan atmosfer di permukaan bumi dikarenakan

konsentrasi gas-gas rumah kaca yang terus bertambah

akibat ulah manusia dan menjadi polusi yang terus

membumbung ke udara. Sayangnya, kegiatan manusia

yang dianggap menjadi biang keladi pemanasan

global tersebut merupakan penunjang vital di zaman

modern ini, misalnya pembangkit energi listrik, industri,

pertanian, pemanfaatan hutan, dan transportasi.

Karbon dioksida merupakan polutan utama yang

kita harus menjaga konsentrasi karbon dioksida pada konsentrasi tidak melebihi 450 bagian persejuta volume CO

2

(ppm), supaya tidak menimbulkan dampak negatif perubahan iklim

banyak, ternyata adalah gas rumah kaca (GRK) dengan

daya potensi penyebab pemanasan global terendah

dibandingkan dengan lima jenis GRK lainnya. Jika

membandingkan karbondioksida GWP = 1, maka

metana mempunyai GWP sebesar 21. Berarti 1 ton

metana mempunyai potensi penyebab pemanasan

global 21 kali lebih kuat daripada 1 ton karbondioksida.

paling umum masuk ke atmosfer akibat pembakaran

batu bara (atau pembangkit energi yang berasal dari

bahan fosil lain) untuk pembangkit listrik. Selama ini,

Indonesia sangat bergantung pada bahan bakar minyak

dan gas (BBM), yaitu energi yang juga berasal dari bahan

fosil.

Dalam upaya mencegah terjadinya perubahan

iklim yang berkelanjutan, para ilmuwan terkemuka

mengatakan, bahwa kita harus menjaga konsentrasi

karbon dioksida pada konsentrasi tidak melebihi 450

bagian persejuta volume CO2 (ppm), supaya tidak

menimbulkan dampak negatif perubahan iklim.

Dalam skenarionya para ahli menjelaskan bahwa

bila konsentrasi CO2 yang ada di atmosfer melebihi

450 ppm, maka akan terjadi kenaikan suhu udara lebih

dari dua derajat celcius, yaitu ambang batas kenaikan

temperatur di atmosfer yang memungkinkan makhluk

hidup di bumi masih dapat bertahan hidup dengan baik

dan aman. Kenaikan di atas angka tersebut dianggap

akan menimbulkan bencana kehidupan di muka

bumi. Masalahnya adalah, kenaikan konsentrasi GRK

Jenis-jenis gas rumah kaca dan gWP (global Warming Potential).

dalam 100 tahun

Jenis

Karbondioksida (CO2)

Metana (CH4)

Nitroksida (N2O)

Perfluorokarbon (PFCs)

Hydrofluorokarbon (HFCs)

Sulfur heksafluorida (SF6)

Potensi Pemanasan

global (gWP)

1

21

310

6500 – 9200

140 – 11.700

23.900

Bab.2 (17 x 25).indd 30 8/2/13 10:40:41 AM

31DNPI 5 TAHUN I

ini bagaikan deret ukur sejak seratus tahun terakhir,

mengkhawatirkan bagi kehidupan.

Masa depan semua makhluk di bumi akan sangat

suram apabila tidak ada tindakan berarti dalam upaya

menahan-atau biasa diistilahkan dengan mitigasi-laju

emisi GRK yang terus meningkat. Laporan Bank Dunia

(2012), memberikan gambaran, bahwa jika kita (warga

bumi) tetap tidak melakukan tindakan apa-apa atau

Business As Usual (BAU) maka akan terjadi peningkatan

suhu hingga 4°C, dan hal ini akan mengakibatkan

dampak yang mengerikan: kota-kota pesisir terancam

banjir, produksi pangan terancam turun yang tentu

saja akan meningkatkan kasus malnutrisi disebabkan

banyak kawasan kering yang akan semakin kering,

dan kawasan basah menjadi lebih basah. Selain itu

dampak buruk lain dapat terjadi dengan banyaknya

kawasan yang akan mengalami ge lombang panas,

terutama di daerah tropis: banyak kawasan akan

mengalami kelangkaan air, siklon tropis akan semakin

sering dan keanekaragaman hayati, termasuk ekosistem

terumbu karang yang menjadi tempat tinggal ikan, pun

terancam punah. Hal ini tentunya akan berpengaruh

besar pada perekonomian negara termasuk Indonesia.

(Lihat: Dampak Perubahan Iklim di laut Nusantara)

Hasil pengamatan atas konsentrasi GRK yang

dimonitor di Gunung Mauna Loa di Hawaii pada bulan

Mei 2013 lalu telah mencapai 400 ppm. Konsentrasi ini

meroket melampaui hampir tujuh ppm, dari 393,14

ppm pada bulan Januari satu tahun sebelumnya, dan

lima ppm dari angka 395,55 pada Januari 2013 (Gambar

2). Maka upaya berbagai negara sekarang adalah

bagaimana mencegah emisi yang terus berlanjut dan

upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk

mengurangi emisi karbon dioksida dan emisi gas rumah

kaca yang lainnya. Oleh karena itulah maka kesepakatan

UNFCCC sangat penting untuk terus dijalankan.

para ahli menjelaskan bahwa bila konsentrasi CO2 yang

ada di atmosfer melebihi 450 ppm, maka akan terjadi kenaikan suhu udara lebih dari dua derajat celcius

Gambar 2: Grafik Konsentrasi CO2 di Mauna Loa Observatory, Hawaii Mei 2013. Konsentrasi GRK mencapai 400 ppm

TAHUN

PPM

Jun

i 201

3

Sum

ber:

mau

nalo

a.co

m

Bab.2 (17 x 25).indd 31 8/2/13 10:40:42 AM

32 I DNPI 5 TAHUN

Perkembangan laporan ilmiahPenjelasan tentang terjadinya fenomena

perubahan iklim dibuktikan secara ilmiah. Saat ini,

telah tergabung sekitar 2.500 orang pakar dan peneliti

di seluruh dunia yang bekerjasama bahu membahu

dalam Inter-govermental Panel on Climate Change

(IPCC) yang terlibat meneliti tentang perubahan

iklim. IPCC adalah badan ilmiah yang tugas utamanya

melakukan kajian hasil-hasil riset tentang informasi

teknologi, sosial dan ekonomi yang terkait dengan

perubahan iklim di seluruh dunia.

Pada dasarnya IPCC tidak memonitor data

atau parameter perubahan iklim. IPCC juga tidak

mengeluarkan rekomendasi aksi untuk menghadapi

perubahan iklim, akan tetapi IPCC melakukan analisa,

kajian dan membeberkan fakta-fakta tentang sebab

akibat yang akan terjadi terkait dengan perubahan

iklim. Para ilmuwan IPCC melaporkan hasil analisanya

kepada para anggotanya, yang saat ini berjumlah lebih

dari 190 negara. Laporan IPCC disampaikan secara

berkala setiap lima sampai tujuh tahun sekali. Namun

di antara jangka waktu tersebut, atas permintaan

UNFCCC, IPCC juga mengeluarkan beberapa laporan

khusus yang disebut Special Report, misalnya Special

Report on LULUCF, Technical Paper, dll. Laporan terakhir

IPCC, Assessment Report 4 (AR4) diterbitkan dalam

tahun 2007, dan saat ini masih menunggu AR5 yang

rencananya akan dikeluarkan pada tahun 2014. Peran

IPCC sangat krusial dan kredibel, oleh karena itu

lembaga tersebut menjadi tulang punggung basis

ilmiah yang kemudian digunakan sebagai pijakan

untuk berbagai kegiatan mitigasi dan adaptasi

perubahan iklim di seluruh dunia.

menurunkan yang terlanjur naik

Sumber emisi gas gas rumah kaca (GRK)

sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia

di atas permukaan bumi, yang berasal dari sektor

industri, energi, transportasi, pertanian, kehutanan,

pertambangan, dan yang lainnya. Emisi ini disebut

dengan anthropogenic emission. Ketergantungan

manusia pada sektor energi, seperti listrik, industri

dan kendaraan bermotor berbahan dasar fosil,

mengakibatkan sekitar 80% sumber emisi dunia berasal

dari bahan bakar fosil (fossil fuels burning). Sedangkan

sisanya sebesar lebih kurang 20%, dikarenakan oleh

kegiatan alih guna lahan dan degradasi di kehutanan.

Dari 20% ini, kegiatan pembukaan lahan dan hutan

sebagian besar terjadi di kawasan hutan hujan tropis

yang merupakan 75% bagian aktivitas di wilayah ini. Oleh

karena Indonesia merupakan negara yang memiliki luas

hutan tropis terbesar ketiga di dunia, maka perhatian

dunia juga banyak tertuju kepada Indonesia.

Pemanasan global terjadi, dan cenderung

meningkat dari waktu ke waktu. Inilah yang kemudian

mendorong para pihak di United Nations Framework

Convention on Climate Change (UNFCCC) secara rutin

melakukan rangkaian perundingan perubahan iklim.

Tujuan UNFCCC tertuang dalam Pasal 2 konvensi

perubahan iklim tersebut, yaitu:

“Tujuan akhir dari konvensi ini dan instrumen legal

yang diadopsi oleh Para Pihak adalah dalam upaya

mencapai, sesuatu yang relevan dengan tujuan konvensi

yaitu, menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK)

di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegah bahaya

akibat ulah manusia (antropogenik) terhadap sistem iklim.

Tingkat konsentrasi GRK tersebut, harus dicapai dalam

jangka waktu yang efisien yang memungkinkan ekosistem

dapat beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim,

memastikan bahwa produksi pangan tidak terancam dan

memungkinkan pembangunan ekonomi dapat berjalan

secara berkelanjutan.”

Berdasarkan pada konvensi tersebut, maka tujuan

konvensi adalah menstabilkan emisi GRK di atmosfer.

Dengan kata lain, pada hakekatnya semua negara

Pihak yang meratifikasi konvensi dan tergabung dalam

UNFCCC berusaha untuk mencari solusi terhadap tiga

sekitar 80% sumber emisi dunia berasal dari bahan bakar fosil (fossil fuels burning)

Bab.2 (17 x 25).indd 32 8/2/13 10:40:44 AM

33DNPI 5 TAHUN I

hal: Pertama, mencari cara bagaimana mengurangi emisi

global secara ambisius dan signifikan dari berbagai

kegiatan manusia (ambisius target of anthropogenic

emission reduction by sources) agar konsentrasi GRK setara

CO2 yang ada di atmosfer tidak melebihi 450 ppm. Kedua,

mengupayakan peningkatan kapasitas serapan karbon

dari atmosfer (increasing capacity of carbon removal by

sinks) yang dapat dilakukan dengan intervensi teknologi,

dukungan kebijakan, dan peraturan-peraturan. Ketiga,

menambah dan memelihara/mempertahankan daya

simpan GRK yang berhasil diserap (increasing and

conserving carbon sink and storage) melalui berbagai

inisiatif kegiatan konservasi, mitigasi dan adaptasi, dan

juga melibatkan intervensi teknologi dan kebijakan.

Ketiga tujuan di atas, menjadi bahan dalam upaya

perundingan iklim antar bangsa.

Bab.2 (17 x 25).indd 33 8/2/13 10:40:48 AM

34 I DNPI 5 TAHUN

PeruBahan iKlim yang terjadi di Indonesia pada

umumnya diindikasikan dengan adanya perubahan

terhadap temperatur harian rata-rata, pola curah

hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim, misalnya

El Nino dan La Nina. Perubahan ini memberikan

dampak yang serius terhadap berbagai sektor di

Indonesia, termasuk sektor kesehatan, pertanian,

perekonomian, dan lain-lain. Beberapa kajian yang

dilakukan oleh berbagai institusi baik dari dalam

maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di

Dunia pertanian mengalami gangguan langsung akibat perubahan musim yang tidak menentu

BenArkAh AdA peruBAhAn IklIm?

Indonesia telah mengalami perubahan sejak tahun

1960, meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya

masih terbatas.

Kajian dnPiDNPI telah melakukan kajian di Provinsi Sumatera

Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Kepulauan Riau

dan menemukan adanya peningkatan suhu, curah hujan

dan Tinggi Muka Air Laut (TMAL). Berdasarkan catatan

DNPI, di Sumatera Utara dalam 100 tahun terakhir telah

terjadi peningkatan suhu sebesar 0,3oC di sebagian

wilayah Sumatera Utara. Adapun laju peningkatan curah

hujan secara umum berkisar antara 0,02 mm hingga 0,4

mm pertahun, dengan laju tertinggi terjadi di bagian

Pantai Barat.

Berdasarkan analisis Tinggi Muka Air Laut (TMAL)

dengan menggunakan skenario kenaikan TMAL +19 cm

untuk tahun 2025 dan TMAL +38 cm untuk tahun 2050,

kawasan ini tidak memberikan dampak yang signifikan

terhadap kehilangan wilayah pesisir.

Selain itu, untuk Sulawesi Selatan, dari

kecenderungan observasi tanpa mempertimbangkan

kontribusi peningkatan laju emisi gas rumah kaca

(GRK), rata-rata peningkatan suhu udara di kawasan ini

diproyeksikan sebesar 0,2°C pada tahun 2020 dan 0,7°C

pada tahun 2050. Sementara, dengan pertimbangan

Pohon meranggas bukan pada waktunya

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

Bab.2 (17 x 25).indd 34 8/2/13 10:40:52 AM

35DNPI 5 TAHUN I

BenArkAh AdA peruBAhAn IklIm?

Foto: BMKG (atas), Puncak Jaya1936 difoto oleh JJ Dozy 1936, USGS (kiri bawah),

Pemandangan Puncak Jaya sekarang 2012, oleh BMKG (kanan bawah)

adanya laju emisi GRK, maka rata-rata perubahan suhu

pada tahun 2020 dan 2050, dapat mencapai 0,44°C dan

1,02°C.

Menurut analisis pola curah hujan di Sulawesi

Selatan yang menggunakan data 37 stasiun hujan,

analisis tren curah hujan tahunan di Sulawesi Selatan

menunjukkan adanya peningkatan sekaligus

penurunan curah hujan di stasiun yang berbeda (Lihat:

Petani Bingung Musim). Kisaran laju TMAL di Sulawesi

Selatan sebesar 5,5 mm per tahun, dengan asumsi

bahwa laju tersebut konsisten tanpa pertimbangan

skenario perubahan emisi dan perubahan iklim, maka

Mencairnya salju di puncak Pegunungan Jayawijaya, Papua

Bab.2 (17 x 25).indd 35 8/2/13 10:40:54 AM

36 I DNPI 5 TAHUN

diproyeksikan akan terjadi peningkatan TMAL lebih

dari 50 cm dalam 100 tahun ke depan.

Lain lagi hasil Kajian DNPI di Provinsi Gorontalo

dan Sulawesi Utara yang menunjukkan adanya tren

peningkatan curah hujan. Peningkatan curah hujan

dengan periode pengamatan tahun 2001 – 2009

menunjukkan laju sebesar 49,4 mm per tahun. Data

observasi stasiun iklim di Gorontalo periode tahun 1973

– 2009 tidak menunjukkan adanya tren peningkatan

suhu nyata, namun peluang kejadian suhu ekstrem

cukup besar di mana pada periode tahun 2000 – 2009

peluang kejadian suhu ekstrem di atas 35oC, cukup

tinggi dibanding periode tahun sebelumnya.

Dengan pertimbangan adanya laju emisi GRK,

rata-rata perubahan suhu di Provinsi Gorontalo pada

tahun 2020 dan 2050, masing-masing mencapai

0,43oC dan 1,0oC dan untuk skenario dengan emisi

GRK, yaitu 0,49oC dan 1,39oC. Adapun laju peningkatan

TMAL rata-rata seluruh Sulawesi sekitar 6,3 mm per

tahun. Khusus untuk Provinsi Gorontalo, terpetakan

mengalami laju peningkatan TMAL rata-rata sebesar

6,7 mm per tahun.

Peningkatan temperatur rata-rata harian

berpengaruh secara signifikan terhadap pola curah

hujan yang pada umumnya ditentukan oleh sirkulasi

monsun Asia dan Australia. Dengan sirkulasi monsun,

Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah

setiap setengah tahun sekali (musim penghujan

dan musim kemarau). Perubahan temperatur rata-

rata harian juga dapat mempengaruhi terjadinya

perubahan pola curah hujan secara ekstrem. UK Met

Office mencatat adanya kekeringan maupun banjir

yang parah di sepanjang tahun 1997 hingga 2009.

Analisis data dari satelit TRMM (Tropical Rainfall

Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate

Change Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk

periode tahun 2003-2008 memperlihatkan adanya

peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan

intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia

bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta

Papua. Salah satu fenomena yang mengkonfirmasikan

terjadinya peningkatan temperatur di Indonesia adalah

melelehnya es di Puncak Jayawijaya, Papua.

Di samping mengakibatkan terjadinya kekeringan

atau banjir yang ekstrem, peningkatan temperatur

permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya

peningkatan temperatur air laut yang berujung pada

ekspansi volume air laut dan mencairnya gletser serta es

pada kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggi muka air laut

mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan

kualitas kehidupan di pesisir pantai. Secara global,

kenaikan rata-rata tinggi muka laut pada abad ke-20

tercatat sebesar 1,7 mm per tahun, namun kenaikan

tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia

yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan

tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh

pada pola arus laut. (lihat: Perubahan Iklim dan Laut

Nusantara).

Selain perubahan terhadap pola arus, kenaikan

tinggi muka laut yang tidak seragam juga meningkatkan

potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai,

mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang pantai,

dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap aquifer

daerah pantai. Perubahan iklim di Indonesia berdampak

cukup besar terhadap produksi bahan pangan, seperti

jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari sektor

kelautan (ikan maupun hasil laut lainnya) diperkirakan

akan mengalami penurunan yang sangat besar dengan

adanya perubahan pada pola arus, temperatur, tinggi

muka laut, umbalan, dsb. Dampaknya, Indonesia bahkan

digolongkan berada pada peringkat sembilan dari 10

negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan

pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor

perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012). Sedangkan

akibat dampak perubahan iklim dan pengasaman laut

(ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil

laut, Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara

paling rentan berdasarkan kajian yang sama.

Perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia dan diketahui menimbulkan dampak multisektor

Bab.2 (17 x 25).indd 36 8/2/13 10:40:56 AM

37DNPI 5 TAHUN I

Kekeringan dan BanjirKajian mengenai kekeringan di Indonesia akibat

perubahan iklim terutama pada skala nasional masih

kurang. Namun peluang banjir di Indonesia akan

meningkat seiring dengan peningkatan pada tinggi

muka laut, intensitas gelombang ekstrem, curah hujan

yang sangat tinggi dan kejadian La Nina. Bencana

banjir yang ekstrem utamanya akan terjadi pada daerah

pesisir yang umumnya merupakan lokasi kota-kota

strategis seperti DKI Jakarta. Bencana ini membawa

dampak yang buruk bagi jalannya perekonomian serta

ancaman terhadap kesehatan masyarakat.

Dari beberapa kajian yang telah ada hingga

saat ini, beberapa indikator menunjukkan bahwa

perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia.

Perubahan tersebut diketahui memberikan dampak

multisektor meskipun kajian maupun data yang

tersedia masih terbatas. Di samping itu, proyeksi

iklim selalu mengandung ketidakpastian. Tantangan

terbesar adalah bagaimana melakukan kuantifikasi

terhadap ketidakpastian tersebut untuk meningkatkan

kedayagunaannya dalam pengambilan keputusan.

Pada dasarnya, perubahan iklim bukan

merupakan penyebab tunggal dari bencana alam

yang saat ini semakin sering terjadi, namun perubahan

iklim berkontribusi dalam membuat fenomena atau

bencana alam hidro-meteorologi ini menjadi ekstrem

atau luar biasa. Pemerintah Indonesia telah melakukan

beberapa kajian tentang perubahan iklim yang dapat

menjadi titik awal dari suatu program yang bermanfaat

bagi penguatan basis ilmiah perubahan iklim yang

terkoordinasi bagi sektor-sektor yang ada di Indonesia.

Mencegah banjir merupakan keharusan karena bukan hanya berdampak ekologis, melainkan mulisektor dan berantai Foto: Dokumentasi DNPI

Bab.2 (17 x 25).indd 37 8/2/13 10:41:00 AM

38 I DNPI 5 TAHUN

PeTANI bINgUNg mUsIm

Dunia pertanian mengalami gangguan

langsung akibat perubahan musim yang

tidak menentu. Klimatolog dari Universitas

Lampung, Tumiar Katarina Manik, seperti dikutip

Antara (30 Juni 2012), mengatakan perubahan iklim

yang terjadi saat ini membuat petani bingung untuk

menentukan pola tanam.

“Iklim sekarang ini tidak seperti dulu.

Sebelumnya pasti setiap enam bulan sekali musim

kemarau dan hujan, sehingga musim tanam dapat

terpola dengan baik,” ujarnya. Dikatakannya bahwa

musim kemarau yang terjadi adalah kemarau basah.

Fenomena ini ditandai dengan masih turunnya

hujan saat musim kemarau, namun intensitasnya

rendah, tidak sesering pada saat musim hujan.

Ranggu (52 tahun), seorang petani yang

berada jauh di Ngata Tompu, Sulawesi Tengah,

menuturkan panen jagungnya gagal akibat

cuaca dan musim yang tidak menentu. “Kami gagal

panen karena kami tidak memahami pola musim.

Kami memang biasa menghitung, tapi siklus musim

sekarang tidak bisa dipastikan,“ katanya. Ranggu dan

para petani di kawasan itu kerap salah menghitung,

kapan harus memulai bercocok tanam.

”Pada mulanya kami menduga, musim kemarau

pendek saja, ternyata yang terjadi musim kering

yang berkepanjangan. Walaupun saya memakai

perhitungan dengan melihat bintang, panen tetap

gagal. Saya bingung kenapa musim berubah-ubah

seperti ini?” keluh Laciu, petani lain kawan Ranggu di

Ngata Tompu.

Petani galau menentukan pola tanam, panen gagal Sumber: DNPI

Ranggu (52 tahun) petani di desa Ngata Tompu, Sulawesi Tengah, mengeluhkan panen jagungnya yang gagal akibat musim yang tidak menentu.Foto: Dokumentasi DNPI

Jatna Supriatna, akademisi dari UI mengata-

kan, dampak perubahan iklim pada sektor

pertanian bukan hanya menimpa pertanian

padi, tetapi juga sektor-sektor lain, misalnya per-

kebunan cocoa, manggis, dan lain-lain. Baru-baru

ini Jatna mendapatkan kabar bahwa di Tasikmalaya,

kampung asal-usulnya, perkebunan-perkebunan

manggis di sana terkena dampak perubahan iklim

yang luar biasa. Manggis Tasik terkenal berukuran

besar, berkualitas baik dan merupakan komoditas

ekspor. Tahun ini (2013), pekebun di sana hanya bisa

mengekspor 40% karena produksinya kecil-kecil,

tidak memenuhi standar ekspor. Kemudian ada suatu

riset untuk mengantisipasinya, sehingga mereka

berharap banyak pada musim hujan. Ternyata pada

waktu musim hujan, bunga-bunga manggis gugur.

Perkebunan mereka betul-betul hancur. Mereka

tidak bisa antisipasi, mereka tidak siap.

Bab.2 (17 x 25).indd 38 8/2/13 10:41:02 AM

39DNPI 5 TAHUN I

Petani galau menentukan pola tanam, panen gagal Sumber: DNPI

Perubahan iklim merupakan fenomena evolu-

sioner yang berjalan lamban. Perubahan yang

terjadi tidak dijumpai dalam waktu pendek,

lima atau sepuluh tahun, tetapi gejala tersebut dapat

dibaca dalam puluhan bahkan ratusan tahun. Adapun

kuncinya adalah akibat adanya emisi gas-gas rumah

kaca yang semakin mempertebal ‘selimut bumi’.

Panas di bumi semakin banyak terperangkap dan

mengakibatkan suhu meningkat. Lazimnya, panas

matahari kembali ke udara, namun kini terperangkap

lebih banyak di permukaan bumi. Akibat atmosfer

diselimuti oleh gas rumah kaca yang semakin

menebal, maka suhu bumi semakin meningkat.

Proses penebalan atmosfer yang diakibatkan

oleh gas karbon dioksida (CO2) yang disebabkan

oleh bahan bakar berasal dari fosil, nampak terjadi

sejak dimulainya revolusi industri abad ke-18 dan

awal abad ke-19. Kala itu, revolusi industri bergerak

karena pembakaran mesin industri termasuk kereta

uap yang menggunakan banyak sekali batubara.

Penggunaan batubara sebagai pembangkit energi

masih berjalan hingga sekarang. Batubara digunakan

sebagai pembangkit listrik untuk menggerakkan

industri di berbagai negara. Kebutuhan energi yang

besar, memaksa industri untuk terus menggunakan

bahan bakar berbasis fosil, termasuk bahan bakar

minyak, seperti solar dan premium. Maka, emisi GRK

semakin menumpuk.

Kejadian pelepasan emisi, diperparah lagi oleh

Perubahan Iklim adalah Akibat Ulah manusia

lepasnya kemampuan tumbuhan dan lahan-lahan

yang ditebang, sebab dengan cara ini, kemampuan

daya serap karbon (sequestrasi) akan lenyap. Maka

karbon dioksida pun semakin menebal di atmosfer.

Indikasi penebalan gas rumah kaca tercatat dengan

semakin meningkatnya tumpukan CO2 dari

hanya 300ppm selama 800 ribu tahun, kemudian

meningkat drastis menjadi 350 ppm bahkan

sekarang menjadi 400 ppm pada Mei 2013 ini (lihat:

Manusia dan Gas gas Rumah Kaca). Maka sangatlah

jelas, bahwa perubahan iklim disebabkan oleh

manusia (antropogenik), dan pada tempatnyalah

masalah tersebut harus diselesaikan oleh manusia.

Hasil penelitian para ilmuwan IPCC dalam

Assessement Report Empat (AR4) tahun 2007

selama berpuluh tahun tentang perubahan iklim,

menyimpulkan:

Most of the observed increase in globally

averaged temperatures since the mid-20th century

is very likely due to the observed increase in

anthropogenic greenhouse gas concentrations.

(Dari hasil observasi temperatur global rata-

rata sejak abad 20, maka kemungkinan yang terjadi

adalah akibat karena adanya kenaikan konsentrasi

gas-gas rumah kaca yang dibuat manusia.)

Dalam terminologi IPCC, apabila dikatakan,

“very likely” artinya probabilitas kejadiannya lebih

dari 90 persen, sedangkan bila dikatakan “likely”

berarti probabilitasnya lebih dari 66 persen.

Pembalakan liar menyebabkan kerusakan alam Sumber: DNPI

Bab.2 (17 x 25).indd 39 8/2/13 10:41:12 AM

40 I DNPI 5 TAHUN

aKhir-aKhir ini, kerap dijumpai berita bencana

dengan tajuk seperti: “Gelombang Tinggi, Nelayan

Tidak Melaut,” atau “Angin Puting Beliung Merusak

Puluhan Rumah.” Tidak kalah pentingnya, sepanjang

waktu, dari tahun ke tahun semakin sering kita jumpai

bencana banjir yang parah dan membawa korban,

juga kekeringan yang panjang. Fenomena bencana,

dan kejadian-kejadian ekstrem di atas merupakan

fakta atas terjadinya perubahan iklim.

Peningkatan intensitas pemanasan global,

memicu kenaikan suhu permukaan, tinggi muka

laut, dan mencairnya es baik di Antartika maupun

di Greenland. Di samping berdampak langsung

Berkaitan dengan kenaikan suhu iklim global maka dampaknya adalah intensitas siklon tropis kuat menjadi tinggi.

peruBAhAn IklIm dI lAut nusAntArA

terhadap kenaikan tinggi muka laut, pemanasan

global juga menyebabkan terjadinya perubahan iklim,

yang berdampak pada sektor kesehatan, pertanian,

kehutanan (karena dapat mengakibatkan kebakaran),

dan transportasi. Beberapa kejadian cuaca ekstrem

beberapa tahun terakhir ini, dipastikan akibat

pengaruh pemanasan global yang semakin meningkat.

Pemanasan global yang intensif mengakibatkan

intensitas terjadinya El Nino dan La Nina semakin

meningkat (Timmermann et al.,1999; Timmerman

2001). El Nino adalah sebuah fenomena musim

kering (kemarau) yang sangat panjang sehingga

mengakibatkan gagal panen atau kesulitan memulai

musim tanam, serta kebakaran hutan. Sedangkan La

Nina, adalah kondisi curah hujan mengalami peningkatan

yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan banjir dan

juga gagal panen.

Torrence and Compo (1999), mencatat, bahwa

pada umumnya El Nino terjadi antara dua tahun sampai

tujuh tahun sekali, tetapi sejak tahun 1970, frekuensi

El Nino dan La Nina menjadi dua tahun sampai empat

tahun. Tahun 1997-1998, Indonesia berpengalaman

buruk dengan El Nino, ketika hampir seluruh negeri

mengalami musim kering yang panjang, mengakibatkan

Sumber: Dokumentasi DNPI

Bab.2 (17 x 25).indd 40 8/2/13 10:41:22 AM

41DNPI 5 TAHUN I

peruBAhAn IklIm dI lAut nusAntArA

Rob di Jakarta Utara Foto: Dokumentasi DNPI

puluhan juta hektar hutan terbakar dan mengakibatkan

kegoncangan stok pangan akibat gagal panen. Adapun

saat La Nina tahun 1999, Indonesia mengalami kenaikan

curah hujan yang tinggi, air laut naik setinggi 20 cm

sampai 30 cm, menyebabkan banjir di sebagian besar

wilayah Indonesia, terutama di wilayah pesisir.

Berkaitan dengan kenaikan suhu iklim global

maka dampaknya adalah intensitas siklon tropis kuat

menjadi tinggi. Adapun rata-rata kekuatan siklon tropis

di Samudera Atlantik, menguat dengan kecepatan

peningkatan angin maksimum sebesar 0,4m/detik/

tahun (Elsner et.al, 2008). Webster dan kawan-kawan

(2005) menjelaskan bahwa meningginya frekuensi dan

intensitas dari siklon terkuat tahunan disebabkan oleh

pemanasan global. Ilmuwan ini juga mencatat bahwa

jumlah dan durasi hari kejadian siklon menurun di

semua samudera selama satu dekade terakhir ini, kecuali

di Atlantik Utara. Belum terdapat kejelasan tentang

mekanisme fisis penyebab menurunnya jumlah dan

durasi hari kejadian siklon tersebut. Namun, kedua

ilmuwan di atas berpendapat, bahwa hal ini mungkin

disebabkan oleh lebih banyaknya tahun-tahun El

Nino dibandingkan dengan La Nina pada beberapa

dekade terakhir ini.

gelombang Pasang dan Kenaikan Permukaan laut

Dalam hal fenomena gelombang pasang,

telah dipahami bahwa secara global, kenaikan

tinggi muka laut (TML) terjadi sekitar 3,1mm/tahun,

sementara rata-rata kenaikan tinggi muka laut pada

abad ke-20 hanya 1,7mm/tahun. Penyebabnya, lebih

dari sepertiga tingkat kenaikan permukaan laut

diakibatkan oleh mencairnya es baik di Greenland,

Antartika maupun es glacier. Beberapa riset terakhir

menunjukkan bahwa proses mencairnya es semakin

Bab.2 (17 x 25).indd 41 8/2/13 10:41:43 AM

42 I DNPI 5 TAHUN

meningkat seiring dengan makin intensifnya

pemanasan global. Apabila proses pemanasan dan

mencairnya es berlangsung seperti pada lima tahun

terakhir ini, maka diprediksi kenaikan tinggi muka

air laut pada tahun 2100 akan berkisar antara 80 cm

sampai 180 cm (Vermeer and Rahmstorf, 2009).

Iklim di Indonesia pada dasarnya ditentukan

oleh apa yang disebut sirkulasi monsun (monsoon)

Asia dan Australia, yang mempunyai karakter

perubahan arah sistem angin dekat permukaan,

hampir sekitar setengah tahun sekali. Perubahan

tersebut menyebabkan pula peralihan musim yang

utama, yakni musim penghujan dan musim kemarau.

Dalam literatur, mengenai monsun Asia (misalnya,

Johnson, 1992), dikenal dengan adanya summer

monsoon dalam periode Juni-Juli-Agustus (JJA) dan

winter monsoon dalam periode Desember-Januari-

Februari (DJF). Periode ini kurang lebih sama dengan

apa yang dikenal masyarakat awam di Indonesia

dengan istilah “musim Timur“, yang identik dengan

musim kemarau dan “musim Barat“ untuk musim

penghujan (khususnya di Pulau Jawa).

Analisis awal terhadap data tersebut

menunjukkan bahwa pada periode monsun Asia

rata-rata tinggi gelombang maksimum di perairan

Indonesia berkisar antara satu meter sampai enam

meter. Gelombang maksimum yang mencapai

ketinggian enam meter ini berada di Samudera Pasifik

sebelah utara Papua. Sedangkan tinggi gelombang

maksimum di laut Jawa berkisar antara tiga sampai

3,5 meter, terutama pada bulan Januari dan Februari

dengan tinggi gelombang maksimum mencapai 3,5

meter. Tinggi gelombang ini berpotensi menaikkan

risiko banjir di Pantai Utara Jawa, karena bertepatan

dengan puncak musim penghujan. Tinggi gelombang

maksimum di Pantai Selatan Jawa mencapai 3,5 meter

sampai empat meter pada bulan Februari. Dampak dari

perubahan ini, sangat berarti bagi keselamatan nelayan

yang mencari ikan di laut dan juga sektor transportasi

yang mengantar barang dan jasa ke berbagai pelabuhan

di perairan Indonesia. Selain risiko banjir, tingginya

gelombang ekstrem seperti ini juga menghambat

arus barang antarpulau yang menggunakan sarana

transportasi laut.

Apabila demikian halnya, maka pemanasan

global akan sangat berdampak pada kegiatan ekonomi

sekaligus mengganggu kehidupan sosial masyarakat

dan mendatangkan bencana bencana atas ekologi

secara umum. Perubahan iklim global telah nyata

berdampak pada masyarakat kecil, seperti nelayan

yang tidak dapat melaut, maupun dampak umum lain

misalnya, kenaikan harga barang akibat kelangkaan stok

karena transportasi terhambat.

Secara ekonomi, Stern Review (2007), memprediksi

bahwa perubahaan iklim dapat menimbulkan kerugian

ekonomi yang berarti secara global. Apabila tidak

dilakukan tindakan apa-apa, atau Business As Usual (BAU),

di mana pemerintah negara-negara maju tidak berupaya

melakukan penurunan emisi (melakukan mitigasi

perubahan iklim) atau negara yang terkena dampak

tidak melakukan adaptasi—dan jika semua nilai pasar

dan nilai non pasar diperhitungkan—maka kerugian

akibat perubahan iklim dapat mencapai 14 persen dari

produk domestik bruto (PDB) global pada abad ke 21.

Gelombang ekstrem menghambat arus barang antar pulau: perahu sembako di Pulau Panggang – Kepulauan Seribu Foto: Agoes Soetomo

Bab.2 (17 x 25).indd 42 8/2/13 10:41:54 AM

43DNPI 5 TAHUN I

bab. III

Kiprah LIMA tahun DNPI

BAB 3-1-3-.indd 43 8/2/13 8:39:40 AM

44 I DNPI 5 TAHUN

BAB 3-1-3-.indd 44 8/2/13 8:39:42 AM

45DNPI 5 TAHUN I

Rumah panggung di Balikpapan: Salah satu contoh klasik dalam

upaya adaptasi

Foto: BLHD Kota Balikpapan

BAB 3-1-3-.indd 45 8/2/13 8:39:43 AM

46 I DNPI 5 TAHUN

tantangan bagaimana negara kepulauan terbesar di

dunia --- dengan panjang garis pantai lebih dari 81

ribu km – terselamatkan. Selain itu, Indonesia dikenal

sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman

hayati laut terbesar di dunia serta memiliki ekosistem

pesisir seperti mangrove, terumbu karang dan padang

lamun.

Kata kunci untuk kegiatan adaptasi adalah

penguatan kapasitas adaptasi. Oleh sebab itu

penguatan kapasitas adaptasi menjadi hal yang sangat

penting. Kuat atau lemahnya kapasitas adaptasi

dapat dilihat dari sisi eksternal: meliputi daya dukung

ekosistem dan lingkungan saat ini, juga sisi internal

yang dilihat dari kesiapan perangkat regulasi dan

kelembagaan, anggaran serta sumber daya manusia.

Pengarusutamaan Arah strategis penanganan perubahan iklim

DNPI adalah mewujudkan pembangunan rendah

emisi karbon dan pembangunan berkelanjutan yang

mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Oleh

karenanya, program dari Pokja Adaptasi diarahkan

pula untuk mendukung kebijakan strategis DNPI,

yaitu diprioritaskan pada upaya penguatan kapasitas

adaptasi pada tingkat nasional dan daerah. Pada

tingkat daerah, fokusnya adalah perhatian terhadap

pengembangan kegiatan adaptasi dalam perencanaan

pembangunan daerah. Peran yang dijalankan dimaknai

sebagai katalisator untuk mengintegrasikan rencana

Banjir dan kekeringan yang berakibat pada kegagalan panen, longsor serta curah hujan yang ekstrem merupakan bencana yang sering terjadi akhir-akhir ini. Kejadian-kejadian tersebut dipercepat dengan persoalan klasik.

MARI BERADAPTASI

PERUBAHAN IKLIM menyebabkan semua

bangsa diminta melakukan adaptasi. Kamus Bahasa

Indonesia, memberikan pedoman tentang istilah

adaptasi sebagai upaya untuk menyesuaikan

diri dengan lingkungan. Dalam hal perubahan

iklim, adaptasi dapat digambarkan sebagai upaya

menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan iklim

dan lingkungan.

Ancaman perubahan iklim akan membawa

kerentanan tersendiri bagi Indonesia. Oleh karena

itu manusia Indonesia akan berhadapan dengan

Evakuasi dan tanggap darurat bencana

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-1-3-.indd 46 8/2/13 8:39:46 AM

47DNPI 5 TAHUN I

dan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh sektor-

sektor yang bertanggungjawab langsung dengan

lingkup program, kegiatan dan aktivitasnya. Dengan

demikian, isu strategis yang muncul adalah menem-

patkan peran, tugas dan fungsi kelompok kerja yang

mampu mengkoordinasikan dan mengharmonisasi-

kan kebijakan sektor yang terkait dengan strategi

menghadapi ancaman dan dampak perubahan

iklim. Maka, langkah yang harus dilakukan kelompok

kerja adalah mempersiapkan kerangka kerja yang

menjadi prioritas dengan capaian kerja yang terukur.

Peran fasilitasi inisiatif daerah untuk memasuk-

kan perubahan iklim ke dalam kebijakan lokal menjadi

peran yang juga dilakukan oleh pokja adaptasi.

Adanya urgensi kebutuhan, muncul menjadi salah

satu keinginan kuat daerah. Karakteristik geografi,

demografi dan topografi masing-masing wilayah

menjadi alasan adanya pendekatan yang berbeda.

Peluang lebih dekat untuk mengetahui iklim mikro

lebih mudah untuk dilakukan dan validitas kebijakan

yang dirumuskan lebih dapat dipertanggungjawabkan

karena didasari oleh data proyeksi iklim mikro di

wilayah atau daerah tersebut. Dengan demikian upaya

adaptasi lebih merupakan tindakan proaktif dari

kecenderungan yang akan terjadi.

Sampai saat ini, informasi dan pemahaman yang

terintegrasi dan menyeluruh terkait bencana dan

adaptasi akibat perubahan iklim di Indonesia masih

merupakan sesuatu yang langka dalam pengelolaan

bencana atau kebijakan perubahan iklim. Informasi

dan pemahaman banyak yang masih terkotak-kotak

dan terpisah (partial) sehingga derajat kapasitas

penanggulangan bencana dan adaptasi disikapi

secara berbeda-beda. Kondisi ini berpengaruh pada

strategi penanggulangan bencana dan adaptasi yang

diberlakukan atau akan menjadi rencana kebijakan

pembangunan nasional atau daerah.

Oleh sebab itu dalam kerangka pengintegrasian

persoalan penanggulangan bencana, dibutuhkan

adanya pemahaman yang utuh antara adaptasi

perubahan iklim di satu sisi dengan prosedur serta

sistem penanggulangan bencana di sisi lain. Hal

ini dapat dilakukan melalui kemampuan untuk

mengidentifikasi praktek pengurangan risiko

dan dampak bencana dalam kerangka adaptasi

perubahan iklim. Dengan demikian, proyek adaptasi

sepatutnya turut memberikan pemikiran dan konsep

tentang penanggulangan bencana dalam bingkai

adaptasi perubahan iklim. Hal tersebut meliputi

upaya menyusun strategi kampanye dan pendidikan

mengenai perubahan iklim serta penanggulangan

bencana di daerah masing-masing.

Perbaikan Kanal: Salah satu cara beradaptasi adalah membenahi sistem drainaseFoto: Dokumentasi DNPI

BAB 3-1-3-.indd 47 8/2/13 8:39:52 AM

48 I DNPI 5 TAHUN

Kotak 3.1.1Lima Tahun Kegiatan Adaptasi

(ilustrasi: dokumen-dokumen kebijakan, cover buku yang dikeluarkan oleh Pokja Adaptasi --- minta ke mas Egi. Kapan cover diserahkan pada mas Ady?)

(to mas Ady : tolong buatkan kartun dengan plang per periode)Program adaptasi yang dilaksanakan dalam waktu kurun lima tahun sejak dibentuknya DNPI, dapat dijelaskan dalam dua

kelompok periode, yaitu tahun 2008 – 2010, dan 2011 – 2013. Periode pertama boleh dikatakan masa persiapan, sedangkan

periode berikutnya merupakan tahap pelaksanaan.

Kegiatan Adaptasi

Periode 2008-2010

Peran yang dijalankan DNPI selama periode ini idealnya memerlukan partisipasi aktif dari semua stakeholder

terutama sektor-sektor terkait --- instansi, lembaga, dan kementerian --- dalam kelompok kerja (pokja) adaptasi, khususnya sektor yang memiliki peran strategis dalam merespon dampak perubahan iklim. Keterlibatan sektor dalam hal ini memudahkan penerimaan isu adaptasi perubahan iklim dan mendorong kerjasama antar kementerian/lembaga. Esensi yang ingin dibangun dari keterlibatan stakeholder ini adalah agar kebijakan dan program yang disepakati mudah dijalankan.

Dalam prakteknya, tidak mudah menghadirkan semua stakeholder secara tetap ikut terlibat di dalam pokja adaptasi. Namun, melalui komunikasi secara langsung dengan beberapa personal dan bidang/unit/program yang dinilai memiliki kapasitas, perhatian dan aktif mengikuti kegiatan adaptasi perubahan iklim, pada akhirnya pokja mampu menggalang keterlibatan aktif stakeholder tersebut.

Adapun program kegiatan awal pada kurun waktu tahun 2008 – 2010 tersebut lebih menekankan kepada 3 (tiga) hal. Pertama, penyampaian dan penyebaran informasi melalui diskusi pokja adaptasi, seminar, atau lokakarya (workshop). Kedua, sosialisasi hasil perundingan dan negosiasi adaptasi perubahan iklim kepada kementerian/kelembagaan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta mempersiapkan posisi Indonesia dalam setiap perundingan dan negosiasi di bawah UNFCCC. Ketiga, melakukan studi dan kajian dampak, kerentanan, dan adaptasi perubahan iklim.

Dalam kurun waktu ini pula, pokja adaptasi mulai mengembangkan kerjasama dan komunikasi dengan komunitas dan pelaku isu Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Pada saat Platform Nasional (Planas) untuk pengurangan risiko bencana, pokja adaptasi DNPI terlibat di dalamnya untuk menyampaikan perkembangan isu kebijakan, program dan rencana aksi perubahan iklim di tingkat nasional dan daerah, khususnya dalam merespon ancaman dan dampak perubahan iklim. Dalam konteks pengintegrasian Adaptasi Perubahan Iklim (API) dan PRB, telah diselenggarakan seminar nasional di Jakarta yang pesertanya sebagian besar adalah para pelaku dan pegiat PRB yang bertujuan untuk mengintegrasikan API ke dalam strategi PRB.

Di akhir periode ini, tahun 2010, kebutuhan terhadap Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) sangat penting dan mendesak untuk mensinergikan kebijakan dan program adaptasi yang telah dan sedang dibuat oleh berbagai kementerian dan lembaga. Selain menjadi pedoman nasional, RAN API dimanfaatkan untuk membantu pemerintah daerah dalam menyusun strategi adaptasi perubahan iklim. Kebutuhan ini direspon oleh pokja adaptasi melalui serangkaian kegiatan diskusi dan pertemuan antar stakdeholder dengan menempatkan lima sektor sebagai fokus, yaitu: 1). sektor pertanian; 2). sektor pesisir, kelautan, perikanan dan pulau-pulau kecil; 3). sektor kesehatan; 4). sektor permukiman dan perkotaan, serta 5). sektor sumber daya air.

BAB 3-1-3-.indd 48 8/2/13 8:39:54 AM

49DNPI 5 TAHUN I

Periode 2011-2013

Diselesaikannya seluruh rangkaian kegiat an penyusunan RAN API berarti diperolehnya dokumen yang berisi

gambaran mengenai kebijakan dan program yang telah, akan, dan sedang disiapkan dan dilaksanakan oleh beberapa kementerian/lembaga yang dinilai paling terdampak oleh perubahan iklim, termasuk DNPI. Namun demikian, keberadaan dokumen ini dinilai kurang mendapat pertimbangan dan dukungan basis ilmiah. Padahal, kajian ilmiah yang lengkap, sistematis dan menciptakan kemanfaatan, sangat fundamental artinya dalam upaya memasukkan RAN API dalam perencanaan pembangunan nasional. Oleh sebab itu, maka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berinisiatif untuk menyusun RAN API di luar yang telah dirumuskan sebelumnya oleh DNPI.

Dengan pertimbangan bahwa pada masa-masa sebelumnya sudah diterbitkan beberapa dokumen terkait adaptasi di Indonesia yang diinisiasi dan dikeluarkan kementerian/lembaga, seperti Rencana Aksi Nasional mengenai Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim/RAN MAPI (oleh KLH, 2007), Rencana Pembangunan Nasional: Respon Indonesia terhadap Perubahan iklim (oleh Bappenas, 2007), Peta Jalan Sektor dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim (oleh Bappenas, 2010) dan dokumen terakhir yang diterbitkan oleh DNPI, maka dokumen-dokumen tadi menjadi pendukung dan pelengkap dari isi yang hendak dirumuskan dalam RAN API yang ‘baru’ tersebut. Melalui kesepakatan, maka Bappenas, KLH dan DNPI serta BMKG ditempatkan sebagai kelompok inti dalam proses dan fasilitasi penyusunan RAN API.

Kegiatan ini didahului oleh kajian ilmiah yang dilakukan oleh dua tim ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), serta serangkaian diskusi

dengan mengundang kementerian/lembaga dan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi. Dokumen RAN API bersifat terbuka untuk dikoreksi dan disempurnakan dalam rangka merespon perkembangan dari isu perubahan iklim.

Pada periode ini (2010-2013) juga dilaksanakan penyusunan buku panduan pelatihan mengenai adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Melalui kerjasama dengan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) – Nadhlatul Ulama (NU) dan WWF Indonesia, disepakati uji coba modul adaptasi di dua wilayah, yaitu Jogjakarta dan Surabaya; sebelum buku panduan pelatihan ini dipublikasikan secara resmi. Uji coba modul tersebut dimanfaatkan oleh DNPI untuk memperkenalkan lembaga DNPI dan isu adaptasi perubahan iklim kepada stakeholder yang selama ini giat dan aktif dalam isu kebencanaan di kedua wilayah tersebut.

Awal tahun 2012, dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengetahui sejauh mana

kegiatan adaptasi perubahan iklim ber-kembang di Indonesia, Pokja Adaptasi DNPI mengumpulkan infomasi kegiatan adaptasi yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh kementerian/lembaga, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi. Tujuan lebih spesifik dari pengumpulan informasi kegiatan tersebut adalah mengidentifikasi dan memetakan kegiatan adaptasi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh institusi pegiat dan pelaku serta donor dalam membantu/mengembangkan program adaptasi. Diharap-kan, dengan melihat peta kegiatan adaptasi ini, pengembang/pelaksana program dapat menghindari kegiatan yang sama di satu lokasi, dan sebaliknya mengisi kebutuhan sebagai tindak lanjut kegiatan yang telah dilaksanakan atau melakukan kegiatan di lokasi yang memang belum dilirik/disentuh oleh stakeholder.

BAB 3-1-3-.indd 49 8/2/13 8:39:55 AM

50 I DNPI 5 TAHUN

minimizing adverse effect on the economy, on pulbic

health and the quality of environment, the project

measures untertaken by them to mitigate or adapt

to climate change.”

Maka dalam implementasinya, Pokja

Mitigasi, telah berfokus pada tiga aspek, yaitu: 1).

pengembangan ilmu pengetahuan, 2). pengem -

bangan kebijakan dan 3). mendorong adanya

investasi. Secara rinci, skenario yang akan dikem-

bangkan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Ilmu pengetahuan dibangun untuk memahami

dan menjawab berbagai macam ketidak pastian

akibat adanya perubahan iklim serta dalam

upaya mendapatkan gambaran yang memadai

guna mempersiapkan skenario yang lebih baik

di masa depan.

2. Kebijakan yang ditopang ilmu pengetahuan

yang kuat merupakan prakondisi bagi

implementasi aksi komprehensif dan efektif

serta didukung oleh proses yang inclusive.

3. Investasi dilakukan guna menghasilkan budaya

yang sehat dan benar dalam inisiasi investasi

ramah lingkungan (green investment) yang

berkelanjutan.

Mitigasi merupakan salah satu aksi menanggulangi perubahan iklim secara nyata, yaitu berupaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim dengan cara mengurangi emisi gas-gas rumah kaca yang beresiko terus mempertebal atmosfer dan mengakibatkan pemanasan global.

BerfoKus PADA MItIgAsI

adaPun salah satu jalan dalam

melakukan mitigasi perubahan iklim ini, diarahkan

dengan selalu mempertimbangkan program-

program yang pro kepada kebijakan ekonomi,

sosial dan lingkungan yang relevan dengan aksi

perubahan iklim, berasaskan komitmen yang

dinyatakan pada pasal 4 (f ) konvensi UNFCCC:

“Take climate change consideration into

account, to the extent feasible in their relevant social,

economic and environmental policies, and employ

appropriate method, for example impact assessment,

formulated and determined nationallly, with a view to

Polusi emisi dari sektor transportasi.

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-1-3-.indd 50 8/2/13 8:39:59 AM

51DNPI 5 TAHUN I

Program mitigasi selalu mempertimbangkan

kegiatan-kegiatan yang pro kepada kebijakan ekonomi, sosial dan

lingkungan yang relevan dengan aksi perubahan iklim.

Foto: Dokumentasi DNPI

BAB 3-1-3-.indd 51 8/2/13 8:40:03 AM

52 I DNPI 5 TAHUN

Pendalaman ketiga aspek tersebut diatas,

selain akan memperkuat posisi Indonesia di

dalam negosiasi international, juga akan mampu

mendorong implementasinya di tingkat nasional.

Hal ini perlu dilakukan dengan maksud agar potensi

aksi mitigasi dapat dielaborasi secara efektif dan

efisien serta mampu mendorong partisipasi para

pihak dalam implementasinya di lapangan.

Secara nasional, Indonesia telah menjadi satu

negara berkembang pertama yang mengumumkan

target pengurangan emisi sukarela dalam negeri

sebesar 26% dari tingkat Business As Usual (BAU)

pada tahun 2020 dan hingga 41%, dengan bantuan

internasional. Pengumuman tersebut disampaikan

oleh Presiden Yudhoyono pada pertemuan

G20 tahun 2009 dan kembali disebutkan pada

pidatonya di KTT COP 15, diikuti dengan submisi

Indonesia kepada UNFCCC pada 19 Januari 2010

yang menegaskan area/sektor fokus awal 26%

pengurangan emisi Indonesia.

Terkait dengan hal diatas submisi yang telah

disampaikan Ketua Harian DNPI, Rachmat Witoelar,

kepada UNFCCC, berisikan identifikasi tujuh area

dan sektor fokus awal yang akan menjadi prioritas

dalam upaya mitigasi secara nasional di Indonesia: 1).

manajemen lahan gambut yang berkelanjutan, 2).

penurunan tingkat deforestasi dan degradasi lahan

hutan, 3). pengembangan penyerapan karbon pada

kehutanan dan pertanian, 4). promosi efisiensi dan

penghematan energi, 5). pengembangan sumber

energi alternatif dan terbarukan, 6). manajemen

limbah padat dan cair, serta 7). pengalihan ke moda

transportasi rendah karbon. Butir ini kemudian

disebut juga sebagai NAMAs Indonesia (Lihat: Aksi

Mitigasi Dalam Bingkai NAMAs Indonesia)

Adapun elemen-elemen penting dalam

mitigasi, secara sederhana diuraikan pada gambar

dimensi aksi mitigasi perubahan iklim (halaman

54-55). Skema tersebut menggambarkan bahwa

mitigasi perubahan iklim memerlukan identifikasi

persoalan, kemudian adanya upaya pelibatan

kebijakan dan program, pelibatan para sektor dan

para pelaku dalam ikut andil untuk melakukan

mitigasi tersebut serta upaya-upaya respon yang

dapat mencakup upaya penyerapan CO2 dan

pengurangan CO2 yang meliputi: pencegahan

penebangan hutan, efisiensi energi dan manajemen

lahan gambut.

Selain itu, dalam upaya mendukung negosiasi

perubahan iklim, maka dilakukan berbagai pendekatan

sebagai berikut:

1. Pengembangan pedoman untuk negosiasi dalam

hal mitigasi perubahan iklim (MRV),

2. Pengembangan kapasitas untuk Skenario

Pembangunan Rendah Karbon (LEDS),

3. Pengembangan inisiatif dan inovasi forum Green

Investment, Innovation and Productivity.

Dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan mitigasi,

telah dikembangkan pula berbagai jejaring dengan

para pihak terkait untuk mendorong proses–proses

yang terbuka serta melibatkan partisipasi yang luas

dari para pihak.

Status Kebijakan Aksi Mitigasi Indonesia

Status aksi mitigasi Indonesia dapat dipotret

dalam tiga elemen yang saling berkaitan satu sama lain

yaitu: adanya aksi, tata kelola dan mekanisme. Proses

integrasi kegiatan elemen itu sedang berlangsung

saat ini, yang diharapkan terintegrasi koheren dalam

kerangka pembangunan berkelanjutan serta mem-

pertimbangkan dinamika yang terjadi baik global,

nasional dan sub-nasional.

Oleh karena itu, secara rinci status mitigasi

Indonesia, dapatlah diuraikan sebagai berikut:

l Pada tingkat aksi, telah dihasilkan suatu basis

institusi yang kuat didalam mendorong skenario

pembangunan rendah karbon (low carbon

development) yang efektif dan efisien, melalui

penerbitan Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi

Nasional/Daerah untuk Gas Rumah Kaca (RAN/

RAD-GRK). Aturan ini mencakup sekitar 70 program

yang langsung berkaitan dengan penurunan emisi

(program) maupun program pendukung yang

tidak langsung dengan penurunan emisi. Selain

itu telah disusun target pada tingkat sub nasional

di lebih dari 32 provinsi yang aksinya tersebar dan

disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.

l Tatakelola yang kokoh dibangun melalui

penerbitan Perpres 71/2011 tentang Sistem

Inventarisasi GHG Nasional (SIGN), sistem ini

menjadi basis dalam mengukur, melaporkan dan

memverifikasi pencapaian target penurunan

emisi. Selain itu melalui proses tersebut diatur pula

aliran informasi yang terintegrasi dan transparan

baik dari pusat ke daerah maupun sebaliknya.

BAB 3-1-3-.indd 52 8/2/13 8:40:03 AM

53DNPI 5 TAHUN I

Kurva Biaya Pengurangan Emisi (Abatement Cost Curve)

DNPI pada tahun 2010 melakukan

studi biaya pengurangan GRK yang

mengestimasikan emisi GRK tahunan

Indonesia sekaligus menentukan biaya

pengurangan emisi yang disebabkan oleh

enam sektor yang dianggap menjadi emiter

terbesar serta potensi pengurangannya.

Keenam sektor tersebut terdiri dari bangunan,

semen, pertanian, transportasi, daya,

kehutanan dan lahan gambut. Penelitian ini

menghasilkan perkiraan emisi yang sedikit

berbeda untuk tingkat emisi tahun 2020

(3.30 Gt CO2e), tetapi membuat kesimpulan

bahwa alih guna lahan; dan kehutanan serta

lahan gambut, merupakan dua sektor utama

yang akan berkontribusi besar pada emisi

Indonesia di masa depan.

Kurva biaya telah mengidentifikasi

langkah bagi Indonesia untuk mengurangi

emisi sebesar 2.3 Gt CO2e pada tahun 2030

dengan menggunakan teknologi yang ada.

Dengan kata lain, grafik ini mengidentifikasi

langkah tertentu untuk memotong sebanyak

70 % emisi Indonesia pada tahun 2030. Sekitar

150 langkah berbeda yang dapat dieksekusi

oleh pemerintah, sektor swasta, dan

masyarakat telah diidentifikasi. Jika seluruh

langkah tersebut diimplementasikan, hal

tersebut akan dapat meningkatkan hingga 70%

dari total pengurangan emisi pada tahun 2030.

Lima peluang terbesar untuk mengurangi

emisi adalah mencegah deforestasi (570 Mt),

mencegah kebakaran pada lahan gambut

(310 Mt), mencegah oksidasi lahan gambut

melalui manajemen dan rehabilitasi air (250

Mt), mengimplementasikan dan menegakkan

manajemen hutan berkelanjutan (240 Mt), serta

penanaman kembali hutan-hutan marginal

dan hutan-hutan terdegradasi (150 Mt).

Pengelolaan lahan Indonesia yang lebih

baik memegang kunci untuk mengurangi

emisi dan meningkatkan perencanaan

eko nomi. Hal tersebut menawarkan

kemungkinan mengurangi emisi hingga

1.9 Gt CO2e pada tahun 2030.

Studi ini dan studi-studi lainnya

yang keluar pada awal tahun 2000an

memperlihatkan bahwa, sebagian besar emisi

GRK Indonesia saat ini berasal dari sektor

kehutanan dan penggunaan lahan, Indonesia

juga tengah bergantung pada bahan bakar

energi berbasis fosil, terutama batubara dan

minyak, yang dapat meningkatkan emisi

industri berbasis fosil di Indonesia hingga

5 sampai 6 kali dari tingkat saat ini pada

tahun 2030.

Proyeksi Emisi Indonesia Tahun 2005-2030

BAB 3-1-3-.indd 53 8/2/13 8:40:04 AM

54 I DNPI 5 TAHUN

DIMENSI MITIgASI PErubAhAN IKLIM

BAB 3-1-3-.indd 54 8/2/13 8:40:18 AM

55DNPI 5 TAHUN I

Sumber: DNPI (2013)

BAB 3-1-3-.indd 55 8/2/13 8:40:29 AM

56 I DNPI 5 TAHUN

Adanya sistem ini diharapkan dapat menghasilkan

pelaporan yang terintegrasi baik untuk nasional

hingga sub nasional.

l Dukungan untuk mengimplementasikan ber-

bagai aksi mitigasi memerlukan adanya suatu

mekanisme pendanaan dengan mengintegrasikan

berbagai instrumen baik pasar, maupun non pasar.

Selain itu adanya mekanisme ini akan mendorong

peningkatan ambisi dalam pencapaian berbagai

target yang telah ditetapkan maupun berbagai

peluang melalui berbagai pendanaan yang dapat

dimobilisasi melalui mekanisme global, bilateral

maupun domestik. Berbagai uji coba sedang

dilakukan baik secara nasional maupun berbasis

proyek, diantaranya Indonesia Climate Change

Trust Fund (ICCTF), Joint Credit Mechanism, Fund for

REDD+ in Indonesia (FREDDI), serta instrumen fiskal

untuk pendanaan perubahan iklim.

Kajian Makro Skenario Pembangunan rendah Karbon (LEDS)

Dalam kerangka pembangunan rendah

emisi karbon (LEDS) dimungkinkan pertumbuhan

ekonomi didorong dengan berbagai aksi yang

tingkat emisinya rendah. Untuk itu DNPI melakukan

inisiasi bekerjasama dengan berbagai lembaga inter-

nasional yang kompeten untuk mengembangkan

berbagai macam skenario pembangunan dengan

melihat proyeksi potensi emisi di berbagai sektor.

Diantaranya telah dilakukan berbagai kajian baik

pada tingkat makro maupun tingkat uji coba

pada tingkat propinsi. Untuk kajian tingkat makro,

telah disusun laporan cost curve (kurva biaya),

serta penyusunan skenario pertumbuhan rendah

emisi karbon (LCGS-low carbon growth strategy) di

tiga provinsi: yaitu Jambi, Kalimantan Timur dan

Kalimantan Tengah.

Pada tingkat makro pula pengembangan kurva

biaya telah mengidentifikasi peringkat lebih dari

150 kegiatan yang feasible dari segi biaya dan pen-

capaiannya. Dokumen ini kemudian dijadikan dasar

dalam pengarusutamaan skenario pemba ngunan

rendah emisi karbon dalam rencana pembangunan

nasional maupun propinsi. Berbagai kajian aksi yang

diidentifikasi telah memberikan pilihan atas berbagai

skenario yang kemudian menjadi salah satu rujukan

rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah

kaca (Lihat: Kurva Biaya Pengurangan Emisi)

Di samping itu, dilakukan juga berbagai kajian

makro untuk melihat dinamika dan dampak sosial

ekonomi akibat adanya perubahan iklim. Diantaranya

DNPI bersama kalangan dunia usaha, lembaga donor, pemimpin redaksi dan media mendialogkan Green Investment, Innovation, and Productivity, di Jakarta, Maret 2013.

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-1-3-.indd 56 8/2/13 8:40:30 AM

57DNPI 5 TAHUN I

Aksi Mitigasi Dalam Bingkai Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)

Indonesia mengumumkan target

pengurangan emisi sukarela dalam

negerinya pada tahun 2009, berkomitmen

untuk mengurangi emisi GRK secara sukarela

sebesar 26% dari tingkat bisnis seperti

biasa pada tahun 2020 dan mencapai 41%

dengan dukungan internasional. Sementara

janji tersebut tidak pernah secara formal

dikategorikan sebagai NAMAs, (Nationally Appropriate Mitigation Actions, namun,

Indonesia menjadi salah satu pendukung

utama Bali Action Plan dan juga Copenhagen

Accord yang mana NAMAs merupakan salah

satu pilar utamanya. Pada awal tahun 2010,

Indonesia mengajukan submisi tujuh bidang

potensi aksi mitigasi yang dapat digolongkan

NAMAs. (Lihat: Berfokus pada Mitigasi).

Secara domestik, Indonesia sudah

membuat langkah untuk mengarus-

utamakan aksi mitigasi ke dalam kebijakan

pembangunan, dan diterjemahkan ke dalam

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas

Rumah Kaca (RAN-GRK) serta diterjemahkan

oleh lebih dari 31 propinsi kedalam rencana

aksi daerah (RAD-GRK). Sebagai bagian dari

komitmen untuk mendukung implementasi

NAMAs, pada tahun 2012—sebelum COP

18 di Doha-- Indonesia telah mendaftarkan

NAMAs di bidang transportasi dengan judul

“Sustainable Urban Transport Initiative”.

Progam ini mendorong terwujudnya

transportasi perkotaan yang berkelanjutan

dan rendah emisi karbon. Sebagai upaya

untuk mendukung potensi aksi mitigasi

menjadi NAMAs nasional, DNPI menjadi focal

point UNFCCC NAMA Registry Nasional untuk

memfasilitasi berbagai submisi potensi aksi

mitigasi guna diusulkan menjadi NAMAs.

studi tentang Dinamika Kependudukan dan peru bahan

iklim yang dilakukan DNPI, BKKBN dan UNFPA (2012),

yang menghasilkan Policy Memo, berjudul “Population

Dynamics and Climate Change in Indonesia”.

Beberapa kesimpulan dari kajian tersebut

disebutkan antara lain:

l Perbaikan besar dapat dilakukan dengan baik

di bidang efisiensi energi di daerah perkotaan

berbasis bukti intervensi perencanaan spasial

yang terkait.

l Revitalisasi program keluarga berencana nasional

dapat memberikan kontribusi besar untuk

Indonesia dalam upaya mitigasi GRK selama 40

tahun ke depan.

l Investasi besar-besaran dalam pendidikan anak

muda saat ini merupakan komponen penting dari

strategi sukses mitigasi dan kelancaran transisi

menuju ekonomi hijau.

l Banyak yang dapat dilakukan untuk mem pro-

mosikan manfaat pilihan hidup ramah lingkungan

dan berkelanjutan untuk membantu meredam

kenaikan emisi karbon nasional.

Status dan T

Melibatkan Industri SwastaUpaya implementasi aksi mitigasi tidak cukup

disandarkan pada upaya pemerintah saja, peran aktif

berbagai swasta didalam mendorong berbagai upaya

perlu dilakukan. Hal ini dilakukan, selain dalam rangka

pencapaian target penurunan emisi tetapi untuk mem-

berikan suatu signal dukungan terhadap berbagai

inisiatif pembangunan yang ramah lingkungan (green

initiative). Upaya tersebut dilakukan diantaranya

dengan membentuk green investment, innovation and

productivity, yang merupakan upaya yang diinisiasi

oleh DNPI bekerjasama dengan sektor swasta,

lembaga donor, yang kemudian dikembangkan lebih

jauh bersama media. Inisiatif ini merupakan langkah

penting dalam upaya menggugah kalangan swasta

sekaligus upaya penggalangan penyadaran tentang

pentingnya inovasi dan investasi yang berorientasi

pada emisi rendah karbon.

BAB 3-1-3-.indd 57 8/2/13 8:40:30 AM

58 I DNPI 5 TAHUN

dan Edukasi (pendidikan) yang memiliki tugas

untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas

dan kerjasama pemangku kepentingan terhadap isu

perubahan iklim, serta memberikan edukasi dalam

upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Guna mendukung tugas pokok dan fungsi

di atas, maka DNPI merancang strategi komunikasi

agar para pemangku kepentingan isu perubahan

iklim memperoleh Informasi yang tepat dan akurat

terhadap isu perubahan iklim maupun program

yang dijalankan DNPI. Salah satu strategi komunikasi

tentang perubahan iklim ini adalah masyarakat perlu

mendapatkan informasi yang memadai dan mudah

dipahami.

Selain itu, dijajaki kemungkinan mengemas

pesan perubahan iklim dalam produk budaya pop.

Masyarakat haus akan informasi soal pemanasan

global, yang dapat dipahami dalam kehidupan

sehari-hari.

Kepedulian dan pemahaman akan permasalahan

perubahan iklim diharapkan dapat menggerakkan

masyarakat untuk secara bersama menyikapi

perubahan iklim. Adanya wadah pendidikan iklim

bagi komunitas dapat menciptakan komunitas yang

resilient, atau memiliki daya lenting.

Perubahan perilaku menjadi kata kunci dalam menghadapi perubahan iklim.

PENYADARAN DAN PENDIDIKAN

AKSI MENGATASI PERUBAHAN IKLIM tidak dapat dilakukan secara parsial, atau sepihak,

namun tantangan bersama yang harus mendapatkan

dukungan pemerintah dan masyarakat. Dukungan

ini merupakan sebuah ‘modal sosial’ yang perlu

ditumbuhkan. Perubahan iklim adalah persoalan

yang tidak mudah dipahami. Oleh karena itu, DNPI

mempunyai sebuah Divisi Komunikasi, Informasi

Salah Satu Booth Pameran DNPIFoto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-1-3-.indd 58 8/2/13 8:40:34 AM

MENGGALANG DUKUNGANDENGAN

59DNPI 5 TAHUN I

Adapun upaya penyadaran dan pendidikan

masyarakat, merupakan salah satu implementasi

dari mandat Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang

Perubahan Iklim (UNFCCC) diratifikasi oleh Indonesia,

menjadi UU No.6/1994. Pasal 6 konvensi tersebut

membahas isu pendidikan, pelatihan dan kesadaran

masyarakat terkait perubahan iklim. Melalui Pasal

ini, UNFCCC mengajak pemerintah untuk mendidik,

memberdayakan dan melibatkan semua pemangku

kepentingan dan kelompok-kelompok utama yang

terkait dengan perubahan iklim.

Dalam upaya menerapkan konvensi UNFCCC,

terkait dengan Pasal 6 UNFCCC, para Pihak (negara)

diharapkan dapat melaksanakan 6 (enam) elemen

kegiatan, yaitu: pendidikan, pelatihan, kesadaran

masyarakat, akses terhadap informasi, partisipasi

masyarakat dan kerjasama internasional.

Elemen pendidikan, upaya bekerja sama dalam

promosi, fasilitasi, pengembangan dan pelaksanaan

program pendidikan dan pelatihan menargetkan

kaum muda pada khususnya, termasuk pertukaran

atau penempatan personil untuk melatih para ahli.

Sedangkan pelatihan, untuk personil ilmiah, teknis

dan manajerial di tingkat nasional dan, jika perlu, sub-

regional, regional dan internasional.

Kesadaran masyarakat dapat dilakukan dengan

bekerja sama dalam promosi, fasilitasi, pengembangan

dan pelaksanaan program-program kesadaran

masyarakat tentang perubahan iklim dan dampaknya

di tingkat nasional dan, sebagaimana layaknya, tingkat

sub-regional, regional dan internasional dengan hal

yang dapat dilakukan antara lain, mendorong

kontribusi dan tindakan individu dalam menangani

perubahan iklim, mendukung kebijakan ramah-

iklim dan mendorong perubahan perilaku, termasuk

dengan menggunakan media populer.

Akses terhadap informasi, berupa fasilitasi

akses masyarakat terhadap data dan informasi, dengan

menyediakan informasi tentang inisiatif perubahan

iklim, kebijakan dan hasil dari aksi yang dibutuhkan oleh

masyarakat umum dan pemangku untuk memahami,

menangani dan menanggapi perubahan iklim.

BAB 3-1-3-.indd 59 8/2/13 8:40:36 AM

60 I DNPI 5 TAHUN

Kegiatan perubahan iklim, tidak dapat berjalan

tanpa adanya partisipasi masyarakat. Karenanya

perlu promosi partisipasi publik dalam mengatasi

perubahan iklim dan dampaknya untuk memperoleh

tanggapan yang memadai.

Pada ujungnya, sebagai isu global, maka

kerjasama internasional perlu dilakukan. Kerjasama

subregional, regional dan internasional untuk

melaksanakan kegiatan dalam lingkup program

kerja yang dapat meningkatkan kemampuan kolektif

para Pihak untuk mengimplementasikan Konvensi,

dan upaya organisasi antar pemerintah dan non-

pemerintah yang juga dapat berkontribusi terhadap

pelaksanaannya. Kerjasama tersebut dapat lebih

meningkatkan sinergi antara berbagai konvensi

dan meningkatkan efektivitas dari semua upaya

pembangunan berkelanjutan.

Film Perubahan IklimFilm adalah prasarana komunikasi yang

sangat menarik dan dapat diterima oleh berbagai

lapisan masyarakat. Karenanya DNPI setiap tahun

membuat film pendek berdurasi antara 24 – 40 menit

yang digunakan untuk pendidikan dan sosialisasi

perubahan iklim.

Film dokumenter Lakukan Sekarang Juga (2009)

memberikan informasi mengenai bukti bahwa peru -

bahan iklim telah terjadi di Indonesia, dampak yang

ditimbulkan dan upaya adaptasi dan mitigasi yang

dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun individu.

Perubahan Iklim di Halaman Kita, dokumenter (2010)

yang menceritakan bagaimana masyarakat di Jakarta,

Papua dan Sulawesi beradaptasi terhadap dampak

pe rubahan iklim. DNPI juga membuat film untuk anak

bertema perubahan iklim dengan judul Bumiku.

Edukasi perubahan iklim melalui pendekatan kultural: Wayang Beber DNPIFoto: Dokumentasi DNPI

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-1-3-.indd 60 8/2/13 8:40:38 AMUntitled-1 1 8/3/13 5:01:45 AM

61DNPI 5 TAHUN I

Secara keseluruhan, materi sosialisasi yang diluncurkan

untuk Bumiku, berbentuk : 1). Film Anak Bumiku

berdurasi 30 menit, 2). Buku Pegangan Guru tentang

Perubahan Iklim, 3). Buku Pegangan Siswa tentang

Perubahan Iklim yang dikemas dengan menarik agar

mudah dipahami anak-anak. Selain itu juga diproduksi

film pendek Senandung Bumi untuk remaja dengan

tujuan 1). Memberikan pemahaman yang benar

mengenai Perubahan Iklim terhadap masyarakat

luas khususnya remaja., 2). Memperkenalkan kepada

masyarakat luas terutama remaja tentang langkah-

langkah adaptasi serta mitigasi yang bisa dilakukan

dalam kehidupan sehari-hari dalam menghadapi

perubahan iklim, 3). Menciptakan media edukasi yang

menarik serta menghibur bagi remaja dalam mem-

pelajari serta memahami tentang Perubahan Iklim.

Kampanye di Media Nasional dan Internasional

Untuk dapat secara efektif mengatasi dan

mencegah dampak perubahan iklim yang terjadi

diperlukan gerakan Mega Komunitas, yang melibatkan

pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani.

Upaya peningkatan kesadaran masyarakat membutuh-

kan suatu program sistematis yang terus menerus,

sehingga tujuan dari rencana tersebut tidak hanya dapat

tercapai tapi juga dapat dievaluasi dengan baik.

Tujuan dari kegiatan kampanye nasional yang

terstruktur adalah untuk menginformasikan bahwa

perubahan iklim memang terjadi di Indonesia dan

dapat menjadi ancaman bagi pembangunan nasional.

Untuk itu diperlukan suatu dukungan massal yang

dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat,

BAB 3-1-3-.indd 61 8/2/13 8:40:46 AM

62 I DNPI 5 TAHUN

Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim

Pada tahun 2011 DNPI mengadakan

dialog interaktif dan survei di 19 provinsi

untuk mengetahui pemahaman serta

respon terhadap permasalahan perubahan

iklim di masyarakat umum dan pelajar.

Kegiatan dilakukan di wilayah-wilayah

terpilih, yaitu di Jakarta dan beberapa provinsi

di Indonesia guna mendukung rencana

pemerintah dalam menurunkan emisi gas

rumah kaca nasional.

Berdasarkan hasil pelaksanaan secara

umum, timbul harapan besar dari masyarakat

agar pemerintah lebih banyak lagi melakukan

kegiatan-kegiatan sosialisasi dampak peru-

bahan iklim dalam berbagai bentuk dan

menjangkau berbagai kalangan masyarakat

luas. Direkomendasikan agar kegiatan

sosisalisasi dan pendampingan dapat dilak-

sana kan secara rutin dan terprogram dengan

pertimbangan semakin banyak dan semakin

kompleksnya permasalahan yang timbul

sebagai dampak perubahan iklim yang perlu

direspons secara tepat oleh seluruh lapisan

masyarakat.

Pelibatan pemerintah daerah, perguruan

tinggi serta berbagai pemangku kepentingan

di daerah dapat lebih di tingkatkan sehingga

membuka peluang lebih banyak informasi

dan berbagai fenomena lokal yang dapat

memberikan gambaran perubahan iklim

dengan lebih mudah.

Kajian tanggapan menunjukkan bahwa

masyarakat secara umum mendukung dan

berkomitmen untuk turut serta dalam

pelaksanakan Rencana Aksi Nasional

Penurunan Emisi Gas rumah Kaca (RAN GRK).

Besarnya dukungan masyarakat tersebut

harus dipandang sebagai tuntutan dan

pengawasan agar Pemerintah bersungguh-

sungguh dalam melaksanakan RAN GRK.

Pemerintah dapat menjadikan dukungan

masyarakat luas sebagai dasar untuk

melaksanakan berbagai program dan gerakan

nasional yang melibatkan seluruh masyarakat

dalam menghadapi perubahan iklim.

akademia, industri dan individu untuk bersama

melakukan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca

dan meningkatkan kapasitas lokal untuk menghadapi

dampak perubahan iklim.

DNPI memandang pentingnya kampanye

perubahan iklim di media internasional sebagai

informasi komitmen sukarela yang telah dilaksanakan

di Indonesia. Kegiatan ini juga diharapkan dapat

menggalang komitmen bersama menurunkan

emisi gas rumah kaca global dan mensukseskan

perundingan pengganti Protokol Kyoto.

Kampanye perubahan iklim di media

internasional dilaksanakan bulan November-

Desember 2011 dan terdiri dari beberapa kegiatan:

l Pengembangan 3 (tiga) versi TVC berdurasi 30 detik.

TVC ini berisikan pesan bahwa Indonesia tidak

melihat isu perubahan iklim sebagai sesuatu yang

membuat depresi, namun merupakan tantangan

untuk mengembangkan solusi. Indonesia

mengundang semua pihak untuk memiliki cara

pandang yang sama. TVC ini ditayangkan di media

internasional, yaitu: Bloomberg dan CNN.

l Pengembangkan 3 disain media cetak yang

berisikan pesan yang sama dengan TVC. Print ad ini

juga ditayangkan di dua media cetak internasional:

Newsweek dan Time. (*)

Mantan Wakil Presiden AS, Al Gore, memberikanpelatihan untuk masyarakat tentang perubahan iklim

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-1-3-.indd 62 8/2/13 8:40:49 AM

63DNPI 5 TAHUN I

Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar mengajak masyarakat memulai aksi pengurangan emisi GRK melalui program penanaman pohon di kampus Unhas, MakassarFoto: Dokumentasi DNPI

BAB 3-1-3-.indd 63 8/2/13 8:40:51 AM

64 I DNPI 5 TAHUN

KEgIATAN PENyADArAN DAN PENDIDIKAN

2009-2012. Melalui

kerja sama dengan

DNPI, sampai saat ini

terdapat 225 orang

Indonesia yang menjadi

climate leader The

Climate Reality Project

(TCRP) yang telah

dilatih secara langsung

oleh Al Gore.

2010, penyertaan

delegasi anak dan

pemuda ke

konferensi PBB

untuk Perubahan

Iklim.

2009-2013,

Pengembangan film

dokumenter, film

anak-anak dan film

remaja mengenai

perubahan iklim.

BAB 3-1-3-.indd 64 8/2/13 8:40:55 AM

65DNPI 5 TAHUN I

2011-2013, acara

tahunan berupa

Forum Pendidikan dan

Pameran Perubahan

Iklim (Indonesia Climate

Change Education

Forum & Expo – ICCEFE)

di Balai Sidang Jakarta

Convention Center

2011 – Lomba foto

perubahan iklim bagi

pelajar dilaksanakan di

lima kota, yaitu Jakarta,

Pekanbaru, Palangkaraya,

Surabay dan Denpasar.

Foto-foto terbaik

diterbitkan dalam buku

Soulview on Climate

Change

2011 & 2012 – Pelaksanaan

Youth Camp for Climate

Change, diikuti oleh

300 oleh pemuda

antaragama dari s

eluruh Indonesia

2011 & 2012 –

Indonesia Pavilion.

Guna mendukung soft

diplomacy Indonesia

dalam perundingan

perubahan iklim

internasional, DNPI

menyelenggarakan

kegiatan seminar,

lokakarya dan pameran

di sela-sela Konferensi

PBB untuk Perubahan

Iklim.

BAB 3-1-3-.indd 65 8/2/13 8:41:00 AM

66 I DNPI 5 TAHUN

AdAptAsi

Land Use, Land Use Change, and Forestry (LULUCF) atau secara mudah diartikan sebagai alih guna lahan dan kehutanan.

LULUCF, dAri BaLi HinggA Doha

IPCC (2007), LULUCF (agriculture and forestry combined)

memberikan sumbangan emisi sebesar 31%, dan ini

lebih besar dibandingkan energi dan fossil fuel supply

yang hanya 26%.

Emisi dari LULUCF ini sebagian besar

disumbangkan oleh negara-negara berkembang

yang masih memerlukan pembukaan dan konversi

hutan untuk pembangunan, sarana dan prasarana,

pemukiman, perluasan lahan pertanian, perkebunan

dan pemekaran wilayah. Menurut studi DNPI (2010),

emisi dari LULUCF pada tahun 2005 di Indonesia

adalah sekitar 85% dari total emisi nasional, dan

diskenariokan akan tetap merupakan sumber emisi

Foto

: Yan

i Sal

oh

LULUCF merupakan salah satu isu kunci dalam

masalah perubahan iklim. Alasannya karena sektor

LULUCF berpotensi besar dalam mengeluarkan emisi

maupun menyerap dan menyimpan karbon. Menurut

Lahan gambut

KeHutAnAn dAn AliH gunA lAHAn

BAB 3-4-6.indd 66 8/2/13 10:53:59 AM

67DNPI 5 TAHUN I

Foto

: ICC

C

utama sampai tahun 2030. Hal yang sebaliknya terjadi

di negara maju, dengan tataguna lahan yang relatif

telah stabil, tidak banyak berubah, sehingga khusus

untuk kawasan hutan yang dikelola, misalnya, lebih

banyak berperan sebagai ‘carbon removal’ daripada

sebagai sumber emisi GRK.

LULUCF berpotensi besar dalam

mengeluarkan emisi maupun menyerap

dan menyimpan karbon

BAB 3-4-6.indd 67 8/2/13 10:54:07 AM

68 I DNPI 5 TAHUN

LULUCF di Indonesia

Karena 71% dari luas daratan Indonesia secara de-jure telah ditunjuk sebagai kawasan hutan tetap (Kemenhut

2010), maka bagi Indonesia hutan menjadi bagian penting dalam LULUCF. Di Indonesia, LULUCF terkait erat dengan masalah-masalah alih guna lahan hutan, konversi hutan untuk penggunaan perkebunan, tambang, dan lain-lain. Selain itu, LULUCF juga terkait erat dengan masalah akses pemanfaatan lahan, tata-kelola hutan, land tenure, dan hak masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Upaya mitigasi perubahan iklim melalui LULUCF di Indonesia terkait dengan tiga hal (Draft Stranas REDD, 2011), yaitu: 1). Keren tanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim; 2). Meru pakan transisi menuju pembangunan ekonomi rendah karbon; dan 3). Memberikan kesempatan melakukan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut.

Sampai tahun 2020, emisi dari kehutanan dan lahan gambut menjadi kontribusi yang paling besar di Indonesia. Dalam perspektif

LULUCF, maka kehutanan dan lahan gambut tidak lain adalah alih guna lahan yang terjadi di sebagian besar lahan hutan dan gambut. Proyeksi emisi GRK indonesia, menurut Perpres 61 tahun 2011 ditunjukkan dalam gambar berikut:

Untuk memenuhi kebutuhan pem-bangunan di masa datang, kawasan hutan Indonesia akan dikurangi secara bertahap. Dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030 disebutkan bahwa pe-manfaatan kawasan hutan ke depan akan diarahkan kepada enam tujuan utama, yaitu: untuk tujuan konservasi, perlindungan hutan alam dan lahan gambut, rehabilitasi lahan kritis pada Daerah Aliran Sungai (DAS), pengusahaan hutan skala besar, pengusa-haan hutan skala kecil, dan untuk tujuan penggunaan non kehutanan. Untuk tujuan ini, total luas hutan negara akan dikurangi dari sekitar 130 jutaan hektar yang saat ini telah ditetapkan, menjadi sekitar 112 juta hektar dalam duapuluh tahun ke depan.

Gambar Profil emisi GRK Indonesia sampai 2020

Proyeksi emisi business as usual Juta ton emisi CO

2 PertanianIndustri

Energi dan Transportasi

Hutan dan Gambut (=69%)

202020052000

2,9503,0

2,5

2,0

1,5

1,0

0,5

0

BAB 3-4-6.indd 68 8/2/13 10:54:07 AM

69DNPI 5 TAHUN I

Walaupun kawasan hutan telah diarahkan demikian, tantangan yang dihadapi pemerintah masih cukup besar. Land tenure masih tetap merupakan masalah klasik yang belum kunjung tuntas sampai sekarang. Kebijakan desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar kepada Kepala Daerah Kabupaten juga masih merupakan tantangan. Pertambangan liar yang semakin meningkat menjadi hambatan bagi pemerintah dalam mengatur tata guna lahan. Pemanfaatan kawasan bergambut untuk hutan tanaman industri, perkebunan, dan lain-lain juga belum diatur dengan baik. Contoh-contoh tersebut perlu diselesaikan dengan sebaik-baiknya agar emisi dari LULUCF yang selama ini meru-pakan sumber emisi terbesar bagi Indonesia bisa dikendalikan dengan sebaik-baiknya.

Sebagai konsekuensi Indonesia yang menjadi anggota UNFCCC, maka kebijakan pemerintah yang dibuat juga perlu disesuaikan dengan ketetapan dan petunjuk yang disepakati melalui UNFCCC. Dalam masalah LULUCF, IPCC telah mengeluarkan

petunjuk khusus untuk penggunaan lahan secara global. IPCC membagi enam kategori besar dalam penggunaan lahan yaitu forest land, grassland, wetland, cropland, settlement, and other land. Pemerintah Indonesia (Kementerian Kehutanan) kemudian mem-buat kesetaraan antara enam katagori lahan tersebut menjadi 23 bagian.

LULUCF di Indonesia harus diimple-mentasikan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda dengan mem pertimbangkan porsi tutupan hutan yang ada dan potensi pembangunan (ke seimbangan antara upaya konservasi dan pembangunan). Kebijakan yang terkait LULUCF harus tetap menjadi prioritas pemerintah agar diarahkan guna mencapai pembangunan yang rendah karbon. Terlepas dari ancaman LULUCF yang semakin meningkat, harus diupayakan agar LULUCF dapat memberikan peranan yang penting untuk menunjang pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen, sambil tetap memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi 26%.

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

Asap di hutan Pekanbaru

BAB 3-4-6.indd 69 8/2/13 10:54:09 AM

70 I DNPI 5 TAHUN

dalam mengatasi dampak langsung perubahan iklim

yang terjadi di negara-negara miskin dan negara

berkembang. Adapun klausul yang mendukung

tentang adanya alih teknologi dalam Konvensi

UNFCCC, adalah berbunyi sebagai berikut:

“The developed country Parties and other

developed Parties included in Annex II shall take

all practicable steps to promote, facilitate and

finance, as appropriate, the transfer of, or access

to, environmentally sound technologies and

know-how to other Parties, particularly developing

country Parties, to enable them to implement

the provisions of the Convention. In this process,

the developed country Parties shall support the

development and enhancement of endogenous

capacities and technologies of developing country

Parties. Other Parties and organizations in a

position to do so may also assist in facilitating the

transfer of such technologies.” (Paragraf 4.5.)

Upaya menurunkan dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), juga didorong dan difasilitasi dengan pendekatan teknologi.

PerUBahan ikLim

AliH teKnologi MenAnggulAngi tAntAngAn

Dengan kata Lain, teknologi merupakan salah

satu kata kunci yang diharapkan dapat terus membawa

peradaban manusia agar tetap berkelanjutan. Oleh

karena itu upaya fasilitasi, harus dilakukan oleh negara

maju yang merupakan Para Pihak UNFCCC, terutama

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-4-6.indd 70 8/2/13 10:54:16 AM

71DNPI 5 TAHUN I

Teknologi harus ditemukan atau diadopsi

Jared Diamond,penulis buku “Collapse”.

Foto Dokumentasi DNPI

BAB 3-4-6.indd 71 8/2/13 10:54:23 AM

72 I DNPI 5 TAHUN

Inti dari klausul tersebut adalah, negara

maju dan para pihak yang termasuk dalam aneks

II (lampiran dalam UNFCCC), harus berupaya

mempromosikan, memfasilitasi dan mendanai

dengan cara yang memadai proses transfer

atau akses atau pengembangan teknologi yang

ramah lingkungan ke negara berkembang.

Dorongan untuk penggunaan teknologi

tersebut, juga disebutkan pula pada Paragraf

4.7:

“The extent to which developing country

Parties will effectively implement their commitments

under the Convention will depend on the effective

implementation by developed country parties of

their commitments under the Convention related

to financial resources and transfer of technology

and will take fully into account that economic and

social development and poverty eradication are

the first and overriding priorities of the developing

country parties.”

Klausul ini mendorong adanya komitmen

negara maju dalam membantu tranfer teknologi

dan sumber pendanaan dengan mengutamakan

pada pemberantasan kemiskinan yang menjadi

prioritas pada negara berkembang. Adapun

perundingan terkait Pengembangan dan Alih

Areal Embung di Kalimantan Foto: Prihasto Setyanto, Kementerian Kehutanan

BAB 3-4-6.indd 72 8/2/13 10:54:26 AM

73DNPI 5 TAHUN I

Teknologi mencapai konsensus pada COP 7 di

Marrakesh yaitu untuk mengadopsi kerangka

kerja dan aksi yang efektif dalam mendukung

terimplementasinya paragraph 4.5. Untuk

mendukung hal tersebut, maka pada saat itu

dibentuklah Expert Group on Technology Transfer

(EGTT) dan diputuskan untuk penyediaan

pendanaan untuk alih teknologi melalui Global

Environmental Facility (GEF) climate change focal

area dan the special climate change fund (SCCF).

Pada COP 14 di Poznan, program GEF

Strategic Program for Transfer Technology mulai

beroperasi melalui Poznan Strategic Program

for Transfer Technology yang memberikan

pendanaan untuk implementasi alih teknologi

dalam Pilot Project for Transfer Technology dan

pendanaan untuk penyusunan Technology

Needs Assessment (TNA), yaitu kajian kebutuhan

teknologi untuk adaptasi dan mitigasi GRK di

Negara berkembang sebagai basis kegiatan Alih

teknologi.

Pada COP 15 di Copenhagen, Mekanisme

Teknologi telah disetujui yang terdiri dari

Technology Executive Committee (TEC) dan Climate

Technology Center & Network (CTC-N), dimana TEC

berfungsi memberikan arahan kepada CTC-N yang

merupakan badan yang beroperasi secara nyata

dalam Alih teknologi, dimana TEC telah dapat

dibentuk dan mulai beroperasi sejak COP 16.

Isu yang belum disepakati pada pertemuan

COP 16 di Cancun, dilanjutkan perundingannya

pada beberapa pertemuan sampai pertemuan

COP 17 di Durban dan COP 18 Doha, yang

bertujuan untuk mengupayakan adanya

Mekanisme Teknologi yang beroperasi secara

penuh pada tahun 2012. Pada COP 18 Doha,

CTC-N telah melalui proses lelang, maka UNEP

bersama sebelas konsorsium terpilih sebagai

CTC-N.

Dalam konteks Indonesia, prioritasi

kebutuhan teknologi Mitigasi dan Adaptasi

perubahan iklim dalam rangka alih teknologi

pada beberapa sektor terkait adalah sebagai

berikut:

Sektor

Energi

Kehutanan

dan Tata

guna lahan

Limbah

Teknologi Mitigasi

• Energi surya

• Regenerative burner

combustion system (RBCS)

• Transportasi massa (MRT)

• Pengukuran dan

monitoring penyerapan

emisi karbon.

• Re-mapping lahan

gambut.

• Pengelolaan air pada

lahan gambut

• Mechanical biological

treatment.

• Invessel composting

• Low solid anaerobatic

digestion

Sektor

Ketahanan

Pangan

Sumber

Daya Air

Kerentanan

Pesisir

Teknologi Adaptasi

• Tanaman padi yang tahan

kering dan banjir.

• Pengembangan marikultur

• Pengembangan budidaya

sapi potong

• Teknologi pemanenan air

hujan.

• Daur ulang limbah

domestik

• Modeling sumber daya air

dan proyeksi potensinya.

• Teknologi tembok laut dan

dinding laut.

• Teknologi reklamasi pantai.

Prioritas Kebutuhan Teknologi Mitigasi dan Adaptasi di Indonesia

BAB 3-4-6.indd 73 8/2/13 10:54:27 AM

74 I DNPI 5 TAHUN

Kegiatan Utama Alih Teknologi

Dalam kurun waktu lima tahun, kelompok kerja Alih Teknologi sudah melakukan berbagai kegiatan sesuai

dengan tugas dan fungsinya. Kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan mengacu pada fungsinya sebagai wadah think tank untuk mempersiapkan draft ataupun melakukan perbaikan kebijakan terkait Alih Teknologi di Indonesia. Secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kegiatan utama, yaitu:1. Membuat dokumen kebutuhan

teknologi atau Technology Needs Assessment (TNA)

Kajian kebutuhan teknologi atau Technology Needs Assessment (TNA) merupa-kan serangkaian kegiatan yang dilakukan di masing-masing negara dalam identifikasi dan penentuan prioritas teknologi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Secara umum, TNA juga merupakan salah satu pendukung dan referensi dalam pembangunan rendah emisi karbon.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam TNA terdapat prioritasi teknologi yang teridentifikasi berdasarkan masukan dari pemangku kepentingan terkait, yang kemudian disusun dalam rencana aksi teknologi atau Technology Action Plans (TAPs). TNA dan TAPs tersebut digunakan sebagai dasar dalam implementasi Alih Teknologi perubahan iklim dari negara maju kepada negara berkembang. Didalam dokumen TAPs terdapat beberapa gagasan proyek teknologi yang dibutuhkan dan layak untuk masuk kedalam tahapan implementasi.

TNA untuk kebutuhan mitigasi perubahan iklim dibagi menjadi tujuh sektor prioritas, yaitu: sektor energi, transportasi,

industri, kehutanan, pertanian, kelautan, dan sektor limbah. Dari ketujuh sektor tersebut, tiga sektor yang dijadikan prioritas untuk implementasi Alih Teknologi adalah sektor energi (termasuk untuk sektor transportasi), kehutanan dan limbah. Ketiga prioritas sektor tersebut memiliki potensi penurunan emisi yang besar apabila dilakukannya Alih Teknologi dibandingkan sektor-sektor lain. Berikut adalah tiga prioritas opsi teknologi untuk mitigasi:l Sektor energi (termasuk sektor

trans portasi): sel surya, Regenerative Burner Combustion System (RBCS), dan Mass Rapid Transportation (MRT).

l Sektor kehutanan: perhitungan dan pemantauan sekuestrasi dan emisi karbon, pemetaan kembali lahan gambut, dan manajemen ketinggian air di lahan gambut.

l Sektor limbah: perlakuan limbah secara biologis dan mekanis, in vessel composting, dan low solid anaerob digestion.

Adapun untuk kebutuhan adaptasi perubahan iklim, isu-isu yang dianalisis dalam TNA tersusun dengan langsung merujuk kepada tiga isu prioritas untuk diperdalam. Ketiga isu tersebut adalah isu kerentanan pesisir, ketahanan pangan, dan sumberdaya air. Ketiganya merupakan isu yang ter-identifikasi dan menjadi prioritas melalui berbagai pertemuan konsultatif dengan para pemangku kepentingan dan pemangku kebijakan terkait. Berikut ini adalah tiga prioritas opsi teknologi untuk adaptasi:l Sektor kerentanan pesisir: teknologi dinding

laut (seawall) dan tanggul penahan (sea revetment), reklamasi pantai, dan teknologi Gryone untuk menanggulangi abrasi.

l Sektor ketahanan pangan: bibit padi unggul yang tahan kering dan banjir, budi daya di sumberdaya perairan, dan peningkatan produksi daging hewan.

l Sektor sumberdaya air: teknologi pema-nenan air hujan, daur ulang limbah air domestik, dan pemodelan dan proyeksi sumberdaya air.

BAB 3-4-6.indd 74 8/2/13 10:54:29 AM

75DNPI 5 TAHUN I

2. Implementasi Gagasan Proyek Alih Teknologi melalui Program Facilitating Implementation and Readiness for Mitigation (FIRM)

Menindak lanjuti beberapa gagasan yang teridentifikasi ke arah implementasi, DNPI bekerjasama dengan BPPT melaksanakan program FIRM (Facilitating Implementation and Readiness for Mitigation) bersama dengan beberapa negara berkembang lain. Program FIRM ini merupakan program dalam peningkatan kapasitas nasional untuk memformulasikan strategi pembangunan rendah emisi karbon serta identifikasi peluang mitigasi dalam konteks pembangunan ber-kelanjutan nasional dan Rencana Aksi Mitigasi nasional di tujuh negara berkembang di tiga regional wilayah Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Dalam melaksanakan program ini, kelompok kerja Alih Teknologi DNPI bekerjasama dengan BPPT telah mengadakan serangkaian pertemuan konsultasi dengan beberapa pemangku kepentingan terkait. Program FIRM difokuskan pada kegiatan sektor energi, industri dan transportasi. Untuk sektor energi, kegiatan difokuskan dalam mendukung pengembangan industri teknologi sel surya nasional, sedangkan untuk sektor industry dan transportasi adalah implementasi Regenerative Burner Combustion System (RBCS) dan biojet fuel.

Dalam mendukung implementasi dari inisiatif pembangunan industri sel surya di Indonesia, sampai dengan saat ini telah mulai dilakukan identifikasi dan evaluasi kebijakan ekonomi dan fiskal untuk mendukung dan mengamankan produksi dan pasar dari sel surya di Indonesia. Sedangkan untuk gagasan proyek sektor industri (implementasi RBCS) dan transportasi (pengembangan biojet fuel) masih dalam tahapan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam identifikasi status penggunaan RBCS dan

pengembangan biojet fuel di Indonesia serta identifikasi kendala dan hambatan dalam alih teknologinya. Keseluruhan rumusan dan rekomendasi yang dikembangkan merupakan sebuah jembatan penghubung antara kebutuhan di lapangan dengan proses tata kelola atau kebijakan pemerintah yang akan mendukungnya.3. Menyiapkan pembentukan National

Designated Entity (NDE) untuk implementasi Alih Teknologi dibawah mekanisme teknologi UNFCCC.

Dalam rangka alih teknologi di Indonesia, perlu dibentuk NDE, suatu institusi yang akan bekerjasama dengan Climate Technology Center & Network (CTCN) dalam implementasi alih teknologi di Indonesia. Fokal poin dari NDE berada di DNPI, dengan Komite pengarah dan tim teknis yang berasal dari pemangku kepentingan terkait.

Adapun fungsi dari NDE adalah sebagai berikut:l Mengelola proses pengajuan proposal

nasional untuk CTCN. l Mengidentifikasi prioritas teknologi dan

kapasitas pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan nasional, strategi iklim dan desain program kolaboratif dengan CTCN, yang juga mengacu pada hasil TNAs, LED, RAN/RAD GRK dan kegiatan lain yang relevan.

l Memfasilitasi proses konsultasi dalam meningkatkan koordinasi dan kolaborasi pihak pemerintah/sektor swasta dalam kebijakan strategi teknologi untuk tujuan adaptasi dan mitigasi.

l Mendukung kegiatan pemerintah yang terkait dengan CTC dan Jaringannya.

l Memonitor dan mengevaluasi proses im-plementasi alih teknologi yang di usulkan.

l Memberikan umpan balik kepada CTC dan berkomunikasi terkait dengan kualitas bantuan dan prosedur dari CTCN. (*)

teknologi merupakan salah satu yang diharapkan dapat terus membawa peradaban manusia agar terus

berkelanjutan

BAB 3-4-6.indd 75 8/2/13 10:54:29 AM

76 I DNPI 5 TAHUN

Foto

: Dok

umen

tasi

BLH

D k

ota

Balik

pap

an

menjadi lebih penting lagi bagi negara berkembang

seperti Indonesia karena masalah perubahan iklim

telah menggerogoti anggaran untuk pembangunan;

pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi dinilai sebagai

kebutuhan ekstra yang juga perlu diupayakan dari

sumber-sumber swasta dan internasional. Kondisi ini

menyebabkan kuatnya dimensi internasional dalam

isu pendanaan.

Dalam kurun waktu lima tahun, Pokja Pendanaan

telah mengeksplorasi berbagai isu terkait pendanaan,

mulai dari kebutuhan, sumber, mekanisme, hingga

instrumen pendanaan (Lihat: Dari Mekanisme Hingga

Perundingan Internasional). Pendanaan langsung

semata dinilai tidak cukup, oleh karena itu Pokja

Pendanaan juga menangani isu-isu yang terkait de-

-

ngan penyediaan insentif, termasuk yang berasal dari

perdagangan karbon. Pokja Pendanaan juga meng-

-

upayakan pengembangan model pembiayaan—

merupakan unsur yang sangat

penting untuk menjamin pelaksanaan upaya-upaya

mengatasi perubahan iklim. Besar atau kecilnya aksi

mitigasi dan adaptasi tergantung pada ketersediaan

dan penyaluran pendanaan—apakah memadai,

efektif dan sesuai dengan kebutuhan. Isu pendanaan

Ibarat darah, pendanaan merupakan unsur penting yang menjadi penggerak sebuah kegiatan.

PENDANAANUNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI

Rumah panggung di atas pantai sebagai upaya adaptasi

BAB 3-4-6.indd 76 8/2/13 10:54:36 AM

PENDANAAN

77DNPI 5 TAHUN I

melalui proyek percontohan dan pendanaan nyata—

untuk menjelaskan suatu kecenderungan yang sangat

kuat namun tidak mudah untuk dipahami secara

teoritis belaka, yaitu pendanaan berbasis hasil.

Dimensi internasional mengemuka dalam

kaitannya dengan komitmen di bawah UNFCCC

yang harus dipenuhi oleh negara industri maju

untuk mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi

di negara berkembang, antara lain melalui

penyediaan pendanaan dalam bentuk hibah dan

pinjaman lunak di luar bantuan luar negeri untuk

kebutuhan pembangunan negara berkembang

secara umum. Setelah 20 tahun Konvensi diadopsi,

pendanaan dirasakan masih terbatas. Dalam keter-

batasan di tingkat multilateral tersebut, Pokja

Pendanaan juga terlibat dalam inisiatif bilateral dan

regional untuk meningkatkan pendanaan perubahan

iklim dari negara maju ke negara berkembang.

Rekayasa tambak bandeng dengan penanaman mangroveFoto: Dokumentasi DNPI

BAB 3-4-6.indd 77 8/2/13 10:54:44 AM

78 I DNPI 5 TAHUN

HINGGA PERUNDINGAN INTERNASIONAL

.

.

.

Kebutuhan pendanaan dan mekanisme pendanaan

yang efektif untuk kegiatan mitigasi di Indonesia

bekerjasama dengan Sekretariat UNFCCC sebagai

bagian dari inisiatif global untuk penjajagan

kebutuhan pendanaan di tingkat nasional.

Peluang dan kebijakan—khususnya insentif—

untuk mendorong kegiatan mitigasi di sektor

industri manufaktur dan transportasi, bekerjasama

dengan Bank Dunia.

Pendanaan jangka pendek yang disediakan oleh

negara-negara maju kepada Indonesia dalam

periode 2010-2012: studi dimulai tahun 2011 dan

akan diselesaikan tahun 2013 sesudah negara

maju memasukkan laporan terakhirnya kepada

Sekretariat UNFCCC pertengahan tahun 2013.

Beberapa pertemuan konsultatif dengan

pemangku kepentingan dilaksanakan untuk

mendiskusikan upaya bersama untuk menangani

masalah-masalah yang diidentifikasi, terutama dalam

hal efektivitas pemanfaatan pendanaan perubahan

iklim dari sumber internasional dan peningkatan

peran swasta dalam pendanaan perubahan iklim.

Berkembangnya kesadaran dan pemahaman

masyarakat Indonesia mengenai perubahan iklim

diikuti dengan berkembangnya mekanisme dan skema

DALAM KURUN LIMA TAHUN, Pokja

Pendanaan telah melakukan beberapa kegiatan

penting bersama para pemangku kepentingan di

dalam negeri dan mitra kerjasama internasional,

didukung dengan pendanaan APBN dan bantuan

luar negeri. Beberapa kegiatan penting tersebut

mencakup berbagai aktivitas berikut ini:

1. Pengembangan Mekanisme, Instrumen dan Insentif Pendanaan

Pada intinya, upaya ini dilakukan melalui

pelaksanaan kajian, konsultasi dan koordinasi. Berbagai

kajian yang dilakukan, antara lain mengenai:

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

Pertemuan Konsultatif dengan Pemangku KepentinganTerkait

BAB 3-4-6.indd 78 8/2/13 10:54:54 AM

DARI MEKANISME

79DNPI 5 TAHUN I

Berkembangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat

Indonesia mengenai perubahan iklim perlu diikuti

dengan perkembangan mekanisme dan skema

pendanaan

BAB 3-4-6.indd 79 8/2/13 10:55:00 AM

80 I DNPI 5 TAHUN

pendanaan yang dikembangkan baik oleh lembaga

pemerintah maupun swasta. Untuk itu, sejak tahun

2010, Pokja Pendanaan menyelenggarakan pertemuan

konsultasi dan koordinasi dengan lembaga-lembaga

keuangan nasional untuk memperjelas posisi dan

peran berbagai mekanisme dan skema tersebut

sehingga dapat saling mendukung.

Dalam hal mekanisme pendanaan, masih

diperlukan upaya peningkatan peran lembaga

keuangan baik pemerintah maupun pemerintah, bank

maupun bukan bank, untuk mendukung program

dan proyek perubahan iklim. Terkait hal tersebut,

Pokja Pendanaan menjalin koordinasi dan kolaborasi

dengan beberapa lembaga, antara lain: . Bekerjasama dengan Bappenas untuk mendukung

Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)

mendapatkan akreditasi dari Adaptation Fund

sebagai National Implementing Entity di Indonesia.. Mendukung Bank Indonesia dalam penyiapan

konsep “Green Banking” yang akan mendorong

peningkatan peran perbankan nasional dalam

pengelolaan dana perubahan iklim.. Mempromosikan lembaga keuangan nasional baik

pemerintah, BUMN, LSM dan swasta dalam jejaring

regional dan internasional yang peduli dengan

peningkatan akses dana perubahan iklim oleh

lembaga keuangan nasional.

2. Eksplorasi Pengembangan Pendanaan untuk Adaptasi.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia,

adaptasi merupakan tantangan terbesar karena

kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim—

secara ekonomi dan sosial—sangat tinggi, sementara

sumber daya yang dimiliki masih diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, adaptasi

merupakan masalah yang kompleks karena tidak

hanya menyangkut aspek fisik tapi juga sosial. Meski

dampak perubahan iklim sudah sangat terasa,

namun tidak mudah untuk menilai dari jumlah uang

(monetisasi) berapa besar dampak dan risiko yang

akan ditanggung akibat perubahan iklim. Kegiatan

adaptasi berhimpitan dengan kegiatan pembangunan

secara umum dan oleh karena itu sering menimbulkan

masalah metodologis dalam penghitungan seberapa

besar dana yang dibutuhkan untuk melakukan

adaptasi.

Dengan tantangan seperti tersebut di atas,

Pokja Pendanaan telah melakukan upaya untuk

meningkatkan pemahaman para pemangku

kepentingan mengenai pendanaan adaptasi dengan

campuran berbagai sumber pendanaan. Kegiatan

yang telah dilakukan antara lain:. Studi tentang peran industri asuransi nasional untuk

mendukung pendanaan adaptasi perubahan

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

Pertemuan Pembahasan Efekti�tas Pemanfaatan Pendanaan Perubahan Iklim

BAB 3-4-6.indd 80 8/2/13 10:55:06 AM

81DNPI 5 TAHUN I

iklim khususnya bagi kelompok masyarakat paling

terdampak seperti petani dan nelayan kecil. Studi

yang dilaksanakan atas kerjasama antara DNPI dan

UKAID ini mencakup kajian literatur dan diskusi

kelompok terfokus dengan para pelaku industri

asuransi nasional. Studi ini menyimpulkan bahwa

minat industri asuransi sangat tinggi namun

pengembangan skema asuransi perubahan iklim

masih menghadapi kendala data ilmiah mengenai

dampak perubahan iklim dan insentif dari

pemerintah.

l Studi untuk menguji kemungkinan penggunaan

beberapa metodologi penghitungan kebutuhan

adaptasi, termasuk cost-benefit analysis, cost-effectiveness analysis, dan multi-criteria analysis. Studi tersebut difokuskan untuk mengetahui

kemungkinan penggunaan beberapa metologi

tersebut untuk menghitung biaya adaptasi di

tingkat sub-nasional.

3. Mendorong Keterlibatan Swasta

Pemerintah Indonesia telah menyusun

Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas

Rumah Kaca (RAN-GRK) yang telah dikukuhkan

kerangka hukumnya melalui Peraturan Presiden No

61 tahun 2011. Rencana tersebut bertujuan untuk

mendukung target pengurangan emisi yang telah

ditetapkan oleh Presiden RI pada tahun 2009, yaitu

26 persen dengan sumber daya sendiri dan hingga

41 persen dengan bantuan internasional pada tahun

2020 dihitung dari proyeksi business as usual. Daftar

kegiatan yang diidentifikasi dalam RAN-GRK umumnya

berasal dari sektor publik (kementerian pemerintah)

dan belum mencakup bagaimana peran sektor swasta

dalam pencapaian target tersebut. Pentingnya pihak

swasta dilibatkan cukup besar, apalagi mengingat

kebutuhan dana publik untuk pemenuhan kebutuhan

pembangunan mendasar, masih cukup besar.

Pokja pendanaan DNPI telah melakukan

upaya untuk meningkatkan pemahaman mendalam

mengenai model-model pembiayaan yang

memanfaatkan skema kerjasama publik dan swasta,

mekanisme pasar dan kebijakan insentif. Kegiatan

yang telah dilakukan antara lain:

l Serangkaian diskusi pada tahun 2011, yang

difokuskan pada pertemuan tersebut difokuskan

bagi kalangan pemerintah untuk meningkatkan

pemahaman mengenai skema public-private

partnership dalam proyek perubahan iklim.

l Diskusi terfokus mengenai “peran sektor swasta

dalam pembiayaan aksi mitigasi dengan

pendekatan pasar dan non pasar” pada tahun

2012. Hasil diskusi tersebut dan diskusi informal

lainnya memberi masukan bagi DNPI dalam

kegiatan- kegiatan terkait selanjutnya, termasuk

pengembangan model pendanaan berbasis hasil

yang melibatkan pihak swasta.

4. Model Pendanaan Berbasis Hasil dan Swasta

Untuk mendukung kesiapan Indonesia

dalam pembiayaan perubahan iklim berbasis hasil

yang melibatkan sektor swasta, Pokja Pendanaan

bekerjasama dengan Bank Pembangunan Jerman KfW

sejak tahun 2011 mulai menjajaki pengembangan

proyek percontohan “Carbon-Linked Incentive Scheme

(CLS)”. Melalui skema CLS, perusahaan peserta

proyek—usaha kecil dan menengah (UKM)—akan

mendapatkan pinjaman lunak untuk kegiatan

pengurangan emisi dan akan mendapatkan insentif

atas pengurangan emisi yang telah dicatat secara

terukur dan dapat diverifikasi.

Pendanaan untuk proyek percontohan tersebut

di dukung oleh European Union Commission melalui Asia

Investment Facility yang pada akhir 2012 menyetujui

pemberian hibah untuk bantuan teknis dan insentif

yang akan diberikan kepada UKM. Sementara itu,

KfW akan menyediakan pinjaman lunak kepada UKM

yang bersedia menjadi peserta proyek percontohan

tersebut. Skema ini diharapkan akan beroperasi pada

tahun 2014 dan dikelola oleh lembaga keuangan

nasional yang akan diidentifikasi pada tahun 2013.

Tujuan utama CLS adalah menyiapkan

infrastruktur untuk skema pembiayaan pengurangan

emisi berbasis hasil yang melibatkan dunia usaha

dengan kerangka pengukuran, pelaporan dan

verifikasi (MRV) dan yang dikaitkan dengan target,

kebijakan dan aturan pemerintah. Termasuk dalam

infrastruktur tersebut adalah kesiapan lembaga

finansial lokal dalam pembiayaan proyek-proyek

hijau (green project financing). Hal ini penting untuk

mengantisipasi trend ke depan dimana peran

lembaga keuangan nasional akan meningkat dalam

pengelolaan dana perubahan iklim dari sumber-

sumber internasional.

BAB 3-4-6.indd 81 8/2/13 10:55:07 AM

82 I DNPI 5 TAHUN

5. Mendukung Perundingan Internasional

Di tingkat internasional, dalam lima tahun

terakhir, isu pendanaan perubahan iklim merupakan

salah satu topik terpenting dan paling banyak

mengundang perhatian dan kontroversi. Negosiasi

di UNFCCC sejak COP13 di Bali (2007) menekankan

bahwa salah satu aksi yang perlu ditingkatkan

adalah penyediaan pendanaan dari negara maju ke

negara berkembang. Di satu sisi, negara berkembang

bersikeras bahwa tanpa pendanaan tersebut, aksi yang

akan dilakukan di negaranya tidak dapat maksimal. Di

sisi lain, sebagian besar negara maju mengalami krisis

finansial yang cukup parah sehingga memberikan

berbagai dalih untuk menunda komitmennya.

Dalam mendukung fungsi DNPI sebagai focal

point UNFCCC dan forum internasional lain terkait

perubahan iklim, Pokja Pendanaan memimpin berbagai

diskusi untuk mempersiapkan Delegasi RI yang akan

menegosiasikan isu pendanaan. Berbagai pertemuan

koordinasi dilaksanakan untuk merumuskan posisi

Indonesia. Selain itu, untuk memberikan penjelasan

kepada para pemangku

kepentingan kunci di

Indonesia mengenai

p e r k e m b a n g a n

isu-isu pendanaan

yang dibahas dalam

negosiasi multi lateral,

Pokja Pendanaan

m e m a n f a a t k a n

pertemuan, media

massa dan juga

penerbitan buku

khusus.

Kiprah internasional Indonesia dalam isu

perubahan iklim tidak berhenti setelah menjadi tuan

rumah COP13. Dalam isu pendanaan, delegasi dari

Indonesia diminta menjadi pimpinan sidang (Co-Chair

atau Co-Facilitator) yang membahas berbagai agenda

pendanaan. Selama tahun 2011-2012 Sekretaris Pokja

Pendanaan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi

Co-Facilitator negosiasi pendanaan di bawah Ad-Hoc

Working Group on Long-term Cooperative Action

(AWG-LCA) yang mengupayakan tercapainya agreed

outcome untuk penyelesaian putaran perundingan

pendanaan di bawah AWG-LCA. Di samping itu, selama

tahun 2012-2013, Sekretaris Pokja Pendanaan diminta

menjadi Co-Chair untuk persidangan Subsidiary

Body for Implementation (SBI), terkait berbagai isu

pendanaan. Selain pertemuan UNFCCC, juga terdapat

beberapa pertemuan internasional, regional dan

bilateral lain mengenai perubahan iklim dimana Pokja

Pendanaan DNPI sebagai wakil pemerintah Indonesia

memainkan peran penting.

Keterwakilan dan kontribusi Indonesia dalam

kelembagaan pendanaan internasional juga telah

diwujudkan dengan menempatkan wakil dari

Indonesia sebagai anggota Board of the Green Climate

Fund (GCF) sejak pertengahan 2012. GCF adalah dana

multilateral baru yang dibentuk oleh UNFCCC melalui

keputusan COP16 di Cancun, Meksiko pada tahun 2011.

Indonesia diwakili oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal

Kementerian Keuangan yang juga merupakan Ketua

Pokja Pendanaan DNPI. Selain GCF, Pokja Pendanaan

DNPI juga telah berhasil menempatkan Wakil Ketua

Pokja Pendanaan sebagai anggota Executive Board

dari Clean Development Mechanism, untuk periode

2013-2014. (*)

BAB 3-4-6.indd 82 8/2/13 10:55:11 AM

83DNPI 5 TAHUN I

Meski dampak perubahan iklim sudah sangat terasa, namun tidak mudah untuk menilai dari jumlah uang

berapa besar dampak dan risiko yang akan ditanggung

akibat perubahan iklim

BAB 3-4-6.indd 83 8/2/13 10:55:12 AM

84 I DNPI 5 TAHUN

Kegiatan KonKret dalam mitigasi perubahan

iklim adalah mengurangi emisi GRK yang dilepaskan

akibat kegiatan manusia. Berbagai kegiatan dapat

digolongkan sebagai mitigasi perubahan iklim,

di antaranya: menggunakan energi bersih yang

terbarukan, menghemat pemakaian listrik, memelihara

hutan, dan lain-lain. Pasar karbon sendiri adalah alat

(policy tool) untuk memberikan insentif bagi kegiatan

mitigasi perubahan iklim dengan memanfaatkan

suatu instrumen ekonomi.

DNPI, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor

46 Tahun 2008, mempunyai tugas yang sangat jelas

dalam pengembangan pasar karbon di Indonesia.

Adapun tugas tersebut adalah “merumuskan kebijakan

pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan

karbon”. Perdagangan karbon secara langsung

adalah akibat dari prinsip “common but differentiated

responsibilities”, yaitu adanya perbedaan tanggung

jawab antara pihak yang berkewajiban menurunkan

emisi dengan pihak yang tidak mempunyai kewajiban

secara langsung untuk menurunkan emisi gas rumah

kacanya.

Dalam hal ini, sebagai negara, Indonesia tidak

mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi

sesuai dengan Protokol Kyoto, sehingga dimungkinkan

untuk memperjualbelikan sertifikat pengurangan

emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim

antara Indonesia dengan negara maju atau Annex

I. Perdagangan karbon juga dapat dilakukan antara

perusahaan Indonesia yang tidak wajib melakukan

penurunan emisi dengan perusahaan di luar atau

di dalam negeri yang mewajibkan dirinya untuk

melakukan kegiatan penurunan emisi. Mekanisme

AdAptAsi

Pasar karbon terbilang komoditas baru di Planet Bumi yang muncul sebagai upaya menstabilkan kondisi iklim saat ini. Upaya ini merupakan salah satu bentuk pendanaan mitigasi perubahan iklim yang menggunakan prinsip dan kaidah pasar dalam melakukan pembiayaannya.

DNPI DaN PerDagaNgaN KarboN

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

Pemanfaatan biogas limbah cair pabrik tapioka: pengurangan emisi 61.469 t CO2 pertahun

BAB 3-7-9.indd 84 8/2/13 10:27:47 AM

85DNPI 5 TAHUN I

CDM merupakan salah satu solusi yang ditawarkan

dalam rangka penurunan emisi GRK, dimana negara

maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam

proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan

emisi GRK.

BAB 3-7-9.indd 85 8/2/13 10:27:52 AM

86 I DNPI 5 TAHUN

perdagangan karbon yang dapat melibatkan

pemangku kepentingan Indonesia sekarang ini hanya

ada 2 (dua) jenis pasar, yaitu Clean Development

Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan

Bersih, yaitu mekanisme di bawah Protokol Kyoto, dan

pasar karbon sukarela, yang dilakukan antar pelaku

usaha.

Dalam Protokol Kyoto, negara maju/industri

diharuskan untuk menurunkan emisi gas rumah

kaca (GRK) minimal 5% dari tingkat emisi tahun 1990,

dalam periode tahun 2008 – 2012. Dalam hal ini, CDM

merupakan salah satu solusi yang ditawarkan dalam

rangka penurunan emisi GRK, dimana negara maju

menanamkan modalnya di negara berkembang dalam

proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurang

emisi GRK, dengan imbalan berupa certified emission

reductions (CER). CER merupakan satuan jumlah

emisi GRK setara satu ton karbondioksida yang

bisa diperjualbelikan sebagai kredit karbon untuk

kemudian diperhitungkan sebagai pemenuhan

kewajiban negara pembeli dalam menurunkan emisi

GRK-nya.

Semenjak meratifikasi Protokol Kyoto melalui

Undang-undang No.17/2004, maka Indonesia dapat

berpartisipasi dalam CDM yang merupakan salah

satu peluang pendanaan yang mendukung program-

program pembangunan rendah karbon. Dalam

prosedur pengusulan proyek CDM secara umum

mengikuti alur sebagai berikut: penyusunan proposal

proyek, validasi proposal oleh badan independen,

pendaftaran (registration) di CDM Executice Board

– UNFCCC, verifikasi penurunan emisi oleh badan

independen, dan penerbitan CER sebagai kredit

karbon.

Sebagai salah satu syarat agar suatu proyek

dapat didaftarkan sebagai proyek CDM di UNFCCC,

proyek bersangkutan perlu mendapat persetujuan

negara tuan rumah oleh otoritas nasional yang disebut

Designated National Authority (DNA). DNA negara tuan

rumah memberikan persetujuan proyek berdasarkan

kontribusi proyek tersebut terhadap pembangunan

nasional yang berkelanjutan. Di Indonesia, DNA adalah

Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih

(KNMPB) yang dibentuk oleh Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup No. 206 Tahun 2005 dan kemudian

diperbarui dengan Keputusan Menteri Lingkungan

Hidup No. 522 Tahun 2009 tentang Komisi Nasional

Mekanisme Pembangunan Bersih.

Sekretariat KNMPB berkedudukan di Dewan

Nasional Perubahan Iklim (DNPI) melakukan

penelusuran status dokumen proyek-proyek Indonesia

di CDM Executive Board setiap bulannya melalui data-

data yang tersedia di website UNFCCC dan UNEP Risoe.

Adapun status proyek Indonesia per Mei 2013 sebagai

berikut:

242 proyek Indonesia telah diusulkan ke UNFCCC;

l Izin yang telah dikeluarkan oleh KNMPB berupa

Letter of Approval/LoA) sebanyak 212 proyek;

l Dari proyek-proyek tersebut, 172 proyek berstatus

aktif dalam pipeline UNFCCC;

l Per Maret 2013, 128 proyek telah dapat terdaftar

(registered) dan 6 PoAs sebagai proyek CDM

di UNFCCC dan berpotensi menurunkan emisi

sebesar ± 143.6 juta ton-setara CO2 sampai tahun

2020;

l Dari proyek-proyek tersebut, 28 proyek telah

menurunkan emisi dan mendapatkan karbon

kredit (Certified Emission Reduction) setara dengan

± 7,9 juta ton-setara CO2;

l Untuk pasar sukarela, telah dikembangkan proyek

sebanyak 9 proyek, dengan total VER (Voluntary

Emission Reduction) yang telah tercipta sebesar

1,87 juta ton CO2.

Perkembangan perdagangan karbon ini,

masih memerlukan kesepakatan lebih lanjut melalui

perundingan-perundingan UNFCCC. Selain Protokol

DNPI melakukan persiapan penyiapan pasar karbon paska 2012 dengan melakukan peningkatan

kapasitas dan koordinasi antar lembaga pemerintah dan pelaku pasar di Indonesia.

BAB 3-7-9.indd 86 8/2/13 10:27:53 AM

87DNPI 5 TAHUN I

Kyoto II, setelah keputusan Doha Gate Way 2012

membawa perubahan signifikan terhadap skema

perdagangan karbon. (Lihat : Prospek dan Tantangan

Pasar Karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II).

Selain CDM, saat ini DNPI juga tengah

mempersiapkan beberapa kegiatan untuk strategi

pengembangan pasar karbon paska 2012 yang

bekerja sama dengan beberapa lembaga nasional

maupun internasional. Beberapa kegiatan tersebut

sebagai berikut:

l Pasar Multilateral. Dalam hal ini, World Bank

memfasilitasi suatu dana perwalian melalui

suatu kemitraan atau partnership yang bertujuan

menyediakan dukungan keuangan dan teknis

untuk meningkatkan kesiapan negara berkembang

untuk memanfaatkan instrument pasar. Kemitraan

ini dinamakan dengan Partnership for Market

Readiness (PMR).

l Pasar Regional/Bilateral. DNPI juga melakukan

kegiatan yang disebut dengan Bilateral Offset

Crediting Mechanism (BOCM). Dalam hal ini, Jepang

dan Australia telah menawarkan kepada Indonesia

dan beberapa negara berkembang lain, untuk

melakukan perdagangan karbon model baru yang

dilakukan bukan berdasarkan multilateral, tapi

antar dua negara saja atau bilateral.

l Pasar Domestik. Di dalam negeri, DNPI melakukan

persiapan penyiapan pasar karbon paska 2012

dengan melakukan peningkatan kapasitas dan

koordinasi antar lembaga pemerintah dan pelaku

pasar di Indonesia. Dalam pembangunan rendah

karbon, DNPI mulai mengembangkan program gas

rumah kaca (GRK programme) yang merupakan

skema sertifikasi dan registrasi karbon yang ada

di Indonesia. Program ini disebut dengan Skema

Karbon Nusantara atau SKN.

Panas bumi merupakan salah satu teknologi yang dirujuk untuk menghasilkan energi terbarukan: Geothermal di Kamojang, Garut Jawa Barat Foto: Dokumentasi DNPI

BAB 3-7-9.indd 87 8/2/13 10:27:58 AM

88 I DNPI 5 TAHUN

Apa yang dimaksud Perdagangan Karbon?

Istilah “perdagangan karbon” sebenarnya sedikit

salah kaprah dan mudah memicu kesalahpahaman.

Contohnya, masih banyak masyarakat yang mengira

karbon disini adalah arang (charcoal) bukannya

karbondioksida (CO2). Kenyataannya bahkan

karbondioksida pun bukan satu-satunya yang

diperdagangkan dalam suatu perdagangan karbon.

Dalam perdagangan karbon, seperti layaknya

perdagangan lainnya yang men-syaratkan adanya

pembeli, penjual, barang (supply), harga, dan

kesepakatan. Dalam perdagangan karbon, yang

diperdagangkan sesungguhnya adalah penurunan

emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2

(ton CO2 equivalent). Jenis gas rumah kaca yang

dapat diperdagangkan dalam pasar karbon umumnya

adalah enam jenis gas rumah kaca yang tercantum

dalam Protokol Kyoto.

Komoditi yang diperdagangkan dalam pasar

karbon biasanya disebut sebagai kredit karbon yang

mana adalah pengurangan emisi yang telah disertifikasi

berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang

diberlakukan dalam pasar karbon tersebut. Satu unit

kredit karbon umumnya setara dengan pengurangan

satu ton karbondioksida.

Penjual kredit karbon adalah pihak yang

mengembangkan proyek pengurangan emisi dan

pembeli kredit karbon adalah individu atau organisasi

yang akan menggunakan kredit karbon untuk

menggantikan (offset) emisi gas rumahkaca yang

diakibatkan kegiatannya.

Dengan membeli dan menggunakan kredit

karbon berarti menetralkan emisi gas rumahkaca

sejumlah kredit karbon yang dibeli, bahkan bila

jumlah kredit karbon yang digunakan untuk offset

adalah sama dengan jumlah emisi yang dilepaskan

maka emisi si empunya kredit karbon dapat dibilang

NOL/NETRAL.

Perdagangan karbon dapat dikategorikan

berdasarkan dasar pembentukannya dan mekanisme

perdagangannya. Berdasarkan dasar pembentukan-

nya, pasar karbon digolongkan menjadi dua kategori,

yaitu:

l Pasar wajib, terbentuk karena adanya kewajiban

penurunan emisi yang diberikan oleh Pemerintah

kepada emitter (capping). Hukuman atas

incompliance biasanya berupa denda yang tinggi

sehingga opsi perdagangan lebih dipilih oleh

emitter.

l Pasar karbon sukarela, terbentuk karena adanya

keinginan sukarela untuk menurunkan emisi. Selain

motivasi idealistik tersebut, ada juga motivasi

karena tuntutan pasar ataupun sebagai langkah

persiapan mengantisipasi kewajiban penurunan

emisi di kemudian hari.

Berdasarkan mekanisme perdagangannya, pasar

karbon dapat digolongkan menjadi dua kategori,

yaitu:

l Crediting, umumnya berbasis proyek dan kredit

karbonnya adalah selisih antara emisi sebelum dan

sesudah adanya proyek (ex-post), contohnya: CDM;

l Trading, memperdagangkan selisih antara batas

emisi yang diberikan (ex-ante) dengan emisi actual

yang dilepaskan, contohnya: EU-ETS.

Prospek dan Tantangan Pasar Karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II

Perundingan Iklim atau COP 18/CMP 8 yang

telah dilaksana kan pada Desember 2012 di Doha,

Qatar, ternyata menghasil kan kesepakatan yang

kurang menggembirakan. Hasil perundingan tersebut

diperkirakan akan mempunyai dampak cukup luas

bagi Indonesia, termasuk dalam pengembangan

pasar karbon ke depan. Kondisi terakhir itu, juga

diperhitungkan akan menurunkan pengembangan

pasar karbon di Indonesia.

Salah satu alasannya adalah, bahwa perundingan

Doha tidak menambah secara nyata ambisi penurunan

emisi, sehingga pasar karbon tidak memiliki tambahan

permintaan. Lebih jauh, tidak dibolehkannya negara

Jepang, Kanada, New Zealand, dan Rusia untuk

menggunakan CDM sebagai mekanisme mitigasi

perubahan iklim, menyebabkan juga tidak adanya

tambahan permintaan CDM sampai dengan periode

komitmen kedua Protokol Kyoto berakhir.

Ada lagi yang menjadi tantangan, yaitu sejak

jauh hari European Union atau EU telah menetapkan

bahwa sejak akhir tahun 2012 EU-ETS (EU-Emission

Trading Scheme) tidak akan lagi menerima Certificate

Emission Reduction (CER) dari negara berkembang

termasuk Indonesia, dan hanya akan menerima

dari negara miskin (Least Developed Country/LDC).

Pengecualian terjadi hanya untuk proyek CDM yang

terdaftar di UNFCCC sebelum 31 Desember 2012 dan

BAB 3-7-9.indd 88 8/2/13 10:27:59 AM

89DNPI 5 TAHUN I

untuk proyek CDM jenis PoA (Program of Activities).

Adapun pasar karbon Australia, sebagai alternatif

pasar yang dibolehkan oleh COP untuk negara

berkembang, baru akan buka pada tahun 2015. Pasar

Australia, sudah melakukan linking dengan pasar EU-ETS,

sehingga apabila EU-ETS mengalami over supply, Australia

dapat membeli allowance atau CER dari EU-ETS.

Jadi, untuk pengembangan ke depan, terutama

CDM, diperhitungkan akan menurun dengan cukup

drastis. Oleh karena itu beberapa dampak dan saran

kebijakan yang harus dilakukan Indonesia terkait

keputusan dalam perundingan di bawah Kyoto

Protokol ini adalah sebagai berikut:

l Indonesia tidak akan bisa lagi menjual CER CDM

nya ke pasar EU-ETS kalau proyeknya terdaftar di

UNFCCC setelah tahun 2012. Lebih jauh Indonesia

dilarang untuk menjual CER nya ke Jepang, New

Zealand, Kanada, dan Rusia. Selama ini penjualan

CER terbesar adalah ke EU ETS dan ke Jepang,

sehingga dalam periode 2013-2020 tidak akan

ada proyek CDM baru yang akan dibangun untuk

menyuplai pasar-pasar tersebut.

l Otomatis Australia akan menjadi tujuan pasar

utama setelah tahun 2012, tepatnya setelah

pasar karbon Australia beroperasi secara penuh

pada tahun 2015. Untuk itu, DNPI akan melakukan

pendekatan yang intensif dengan pemerintah

Australia terkait kondisi ini, terutama menawarkan

proyek-proyek CDM yang terdaftar setelah 31

Desember 2012. Pendekatan ini akan menjadi

prioritas mengingat Australia juga akan menjadi

tujuan utama pasar CDM untuk seluruh negara

berkembang.

l Proyek-proyek CDM Indonesia yang sudah

terdaftar sebelum 31 Desember 2012 dan terjual

untuk jangka panjang ke Jepang, Kanada, Rusia,

dan Selandia Baru kemudian harus dinegosiasikan

ulang dan dialihkan ke Uni Eropa atau pasar

Australia. Hal ini harus dilakukan segera oleh para

pelaku pasar di Indonesia.

Perdagangan karbon adalah kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim: Penanaman mangrove oleh DNPI Foto: Dokumentasi DNPI

BAB 3-7-9.indd 89 8/2/13 10:28:02 AM

90 I DNPI 5 TAHUN

Protokol Kyoto untuk melakukan pembahasan dan

mencapai kesepakatan untuk aksi bersama.

Proses perundingan internasional pengendalian

perubahan iklim bukan hanya dilakukan di bawah Per-

serikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah UNFCCC dan

Protokol Kyoto sebagai forum yang bersifat multilater-

al tetapi juga melalui berbagai jalur lain yang bersifat

bilateral, regional dan plurilateral. Namun demikian,

proses multilateral merupakan proses utama yang

bersifat inklusif.

Membicarakan pembahasan di bawah UNFCCC

dan Protokol Kyoto tidak dapat dilepaskan dari pema-

haman mengenai berbagai proses dan jenis kegiatan

yang berlangsung sebagai bagian tidak terpisahkan.

Dengan COP serta CMP sebagai otoritas tertinggi

melakukan pertemuan secara berkala satu kali tiap

tahunnya, beberapa pertemuan lain dilaksanakan

untuk mempersiapkan materi untuk diputuskan oleh

Betapa serunya, setiap tahun, 195 negara berkumpul untuk bernegosiasi!

PeruNDINgaN PerubahaN IKlIm

Pertemuan Conference of the Parties to the UNFCCC

(COP) serta Conference of the Parties to the UNFCCC

serving as Meeting ot the Parties to the Kyoto Protocol

(CMP) diadakan setiap tahun sebagai salah satu bentuk

upaya multilateral menstabilkan konsentrasi gas

rumah kaca (GRK) pada tingkat konsentrasi yang tidak

membahayakan keberlangsungan hidup manusia

dan keberlangsungan keberadaan Planet Bumi (lihat

Bab 2: Gas Rumah Kaca dan Manusia). Pertemuan ini

merupakan wadah bagi COP sebagai otoritas tertinggi

UNFCCC dan CMP sebagai otoritas tertinggi dalam

Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar berbincang dengan mantan Sekjen PBB Kofi Annan

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-7-9.indd 90 8/2/13 10:28:06 AM

91DNPI 5 TAHUN I

COP dan CMP, maupun secara bersama oleh COP/CMP.

Pertemuan dari badan subsider permanen di bawah

COP dan CMP, yaitu Subsidiary Body for Scientific

and Technical Advice (SBSTA) serta Subsidiary Body for

Implementation (SBI) dilaksanakan dua kali setiap ta-

hunnya, dengan pertemuan kedua dilaksanakan se-

cara paralel dengan pertemuan COP dan CMP. SBSTA

merupakan badan subsider permanen yang dibentuk

dengan mandat memberikan masukan berupa infor-

masi dan nasehat (advices) mengenai aspek ilmiah

dan teknis berkaitan dengan UNFCCC dan Protokol

Kyoto; sementara itu SBI yang juga merupakan badan

subsider permanen yang melakukan kajian dan review

mengenai efektivitas implementasi UNFCCC dan Pro-

tokol Kyoto. Keduanya perangkat yang sangat penting

ini biasanya melakukan pertemuan secara paralel, dan

untuk beberapa topik yang dirasakan sangat penting

pembahasan dilakukan secara bersama dalam bentuk

joint session SBSTA/SBI.

Sementara itu, di bawah Protokol Kyoto telah

pula dibentuk satu Adhoc Working Group yaitu Ad-

hoc Working Group on Further Commitments of Annex

I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP). AWG-KP

dibentuk sebagai hasil dari CMP-1 yang dilaksanakan

di Montreal pada 2005 dengan mandat utama untuk

membahas keberlanjutan implementasi Protokol

Kyoto setelah berakhirnya Periode Komitmen Pertama

(2008-2012). Setelah melalui pembahasan yang sangat

melelahkan, pada akhirnya AWG-KP menyelesaikan

kerjanya dalam CMP-8 di Doha, 2012. Hasil dari AWG-

KP adalah kesepakatan mengenai keberlanjutan im-

plementasi Protokol Kyoto melalui Periode Komitmen

Kedua yang berlangsung sejak 1 Januari 2013 hingga

31 Desember 2020. Kesepakatan ini telah diadopsi se-

Berbagai negara anggota UNFCCC sedang mengikuti perundingan perubahan iklim di Bonn, Jerman April 2013.Foto: Dokumentasi DNPI

BAB 3-7-9.indd 91 8/2/13 10:28:09 AM

92 I DNPI 5 TAHUN

bagai Doha Amendment yang harus diratifikasi oleh

Negara Pihak Protokol Kyoto paling tidak ¾ dari 191

Negara Pihak yang ada setelah Kanada secara efektif

menyatakan keluar dari Protokol Kyoto sejak 15 Desem-

ber 2012. Sebelum ratifikasi tersebut terpenuhi, maka

amandemen belum memiliki kekuatan hukum meski-

pun berdasarkan kesepakatan Negara Pihak seluruh

upaya telah mulai dilaksanakan pada 1 Januari 2013.

Dalam perjalanannya, upaya global mengenda-

likan perubahan iklim telah mengalami perkemban-

gan. UNFCCC yang merupakan kerangka konvensi

mengikat bagi seluruh Negara Pihak yang dikelom-

pokkan dalam: 1). Negara Annex I yaitu negara maju

dan negara dengan transisi ekonomi, 2). Negara Annex

II yaitu sebagian besar dari Negara Annex I yang dibe-

rikan kewajiban tambahan dalam bentuk dukungan

pendanaan, pengembangan dan alih teknologi, serta

pengembangan kapasitas kepada negara berkem-

bang, serta 3). Negara Non-Annex I yang terdiri dari

negara berkembang termasuk negara miskin dan

negara rentan. Namun demikian, dokumen UNFCCC

tidak dilengkapi dengan kewajiban dan mekanisme

implementasinya.

Sejauh ini, COP telah menghasilkan satu kepu-

tusan yang berstatus hukum mengikat kepada semua

anggotanya, yaitu Protokol Kyoto. Protokol tersebut

sesungguhnya mengatur bagaimana negara maju

menurunkan emisinya. Sebaliknya, negara-negara

berkembang terutama negara yang rentan terhadap

dampak perubahan iklim (negara kepulauan dan

negara-negara miskin) memerlukan dukungan dari

negara maju dalam hal pendanaan dan penggunaan

teknologi serta peningkatan kapasitas sumberdaya

manusia untuk dapat menjalankan program adaptasi.

Perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evalu-

asi diserahkan kepada masing-masing negara dengan

memperhatikan dan mempertimbangkan arahan dari

hasil-hasil kesepakatan dari persidangan negosiasi di

UNFCCC. Keputusan UNFCCC juga menekankan per-

hatian kepada kondisi negara (national circumstances),

Para negosiator tengah berunding tentang upaya penanggulangan perubahan iklim: Konferensi perubahan iklim di Bonn, Jerman , April 2013

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-7-9.indd 92 8/2/13 10:28:13 AM

93DNPI 5 TAHUN I

perundangan-undangan (national legislation) dan

kedaulatan negara (sovereignty).

Sebagai bagian dari dunia, Indonesia telah

menunjukkan kontribusi yang positif dalam kancah

negosiasi multilateral tentang perubahan iklim. Se-

cara sukarela Indonesia menjadi tuan rumah dalam

konferensi tingkat tinggi PBB perubahan iklim atau

Conference of Paries ke 13 tahun 2009 di Bali. COP

13 ini menghasilkan dua dokumen penting sebagai

kesepakatan dunia yaitu Bali Action Plan (BAP) dan Bali

Road Map.

Peran Indonesia dalam Perun dingan Internasional

Berbeda dengan negosiasi multilateral lainnya,

UNFCCC sangat unik karena banyaknya jumlah

persidangan yang dilaksanakan. Sampai tahun 2012,

pada saat full session terdapat lima persidangan utama

yaitu COP, AWG KP, AWG LCA, SBSTA dan SBI, jumlah

total agenda persidangan rata-rata mencapai 65

agenda utama.

Bagi Indonesia, beberapa topik utama yang

menjadi fokus dalam perundingan di bawah UNFCCC

hingga saat ini adalah sebagai berikut:

1. Aksi Mitigasi. Aksi mitigasi merupakan ‘jantung’

dari perundingan internasional ini. Lemahnya aksi

mitigasi akan mengakibatkan terjadinya perubahan

iklim dengan laju yang semakin cepat. Bagi

Indonesia, aksi mitigasi merupakan kepentingan

nasional bukan hanya sejalan dengan target

nasional penurunan emisi GRK melainkan juga

sejalan dengan kebutuhan pembangunan nasional

yang lebih efektif dan efisien. Untuk periode 2013-

2020, aksi mitigasi yang menjadi fokus Indonesia

dalam perundingan adalah berbagai sub-topik di

bawah NAMAs sejak dari jenis aksi mitigasi dan

sektornya, mekanisme pendaftaran, mekanisme

pemantauan, mekanisme pelaporan, dukungan

terhadap implementasi hingga pemanfaatan

berbagai pendekatan termasuk mekanisme pasar

dan non-pasar.

2. Adaptasi. Sebagai negara kepulauan dan negara

yang memiliki sektor pertanian, kehutanan dan

perkebunan yang cukup besar, Indonesia sangat

rentan terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi

yang selama ini lebih dimaknai sebagai reaksi atas

dampak yang terjadi harus pula dibarengi dengan

adaptasi yang bersifat antisipatif terhadap dampak

yang diperkirakan akan terjadi di masa depan.

3. Mekanisme pendanaan. Sebagai satu bentuk

means of implementation, mekanisme pendanaan

merupakan persyaratan penting terjadinya

implementasi efektif dan efisien di sisi mitigasi dan

adaptasi. Perkembangan perundingan mengenai

mekanisme pendanaan merupakan peluang

bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan akses

terhadap pendanaan internasional serta transparansi

pemanfaatannya. Pendanaan perubahan iklim tidak

hanya tergantung kepada pendanaan internasional

melainkan memerlukan pendanaan yang tidak

sedikit di sisi domestik termasuk pengembangan

mekanism pendanaan yang inovatif.

4. Pengembangan dan alih teknologi. Seperti

halnya mekanisme pendanaan, lemahnya pengem-

bangan dan alih teknologi akan menghambat

upaya global pengendalian perubahan iklim.

Pembentukan Technology Executive Committee

(TEC) diharapkan mampu menjembatani

perbedaan persepsi antara negara maju dan

negara berkembang.

5. Pengembangan kapasitas. Bentuk means of

implementation yang lain adalah pengembangan

kapasitas (capacity building) sehingga Indonesia

dapat bersaing dan menjadi tuan rumah di negeri

sendiri dalam upaya mengendalikan perubahan

iklim. Keterbatasan kapasitas kelembagaan dan

sumberdaya manusia akan menjadi tantangan

terbesar bagi Negara Pihak untuk dapat berperan

dan memanfaatkan peluang dari upaya global ini.

6. ADP. Pembahasan di bawah ADP merupakan

tantangan bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga

bagi semua negara terutama dikaitkan dengan

adanya long term goal untuk menekan kenaikan

temperatur rata-rata global tidak lebih dari 2oC

di atas temperatur rata-rata global sebelum

Revolusi Industri. Beberapa negara, khususnya

negara miskin dan negara rentan bahkan meminta

kenaikan tidak melebih 1,5 oC mengingat dampak

yang akan terjadi. Dalam berbagai perundingan

pengendalian perubahan iklim selama ini, Indonesia

menyampaikan bahwa upaya ini merupakan

tanggung jawab global dan karenanya harus

dilaksanakan oleh semua negara berdasarkan

kondisi nasional (national circumstances) dan

penuh kedaulatan (sovereignty).

BAB 3-7-9.indd 93 8/2/13 10:28:13 AM

94 I DNPI 5 TAHUN

tahun. Selama mengikuti setiap pertemuan tersebut,

DNPI melakukan persiapan melalui beberapa tahapan

yaitu:

1. Konsinyiring awal. Kegiatan ini bertujuan untuk

mengidentifikasi isu-isu yang menjadi perhatian

utama delegasi Indonesia dan penyusunan draf

posisi Indonesia. Isu utama ditentukan sejalan

dengan kebijakan dalam negeri. Pada pertemuan

ini semua pemangku kepentingan termasuk

kementerian dan lembaga anggota DNPI, pihak

swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat dan

Perguruan Tinggi.

2. Konsinyiring akhir. Kegiatan ini bertujuan untuk

melakukan finalisasi posisi Indonesia. Penentuan

posisi Indonesia sangat penting sebagai arahan

delegasi dalam melakukan intervensi selama

persidangan berlangsung. Peserta dalam

konsi nyasi akhir diberikan kesempatan untuk

memberikan masukan konstruktif berdasarkan

pada pengembangan intervensi kebijakan di

masing-masing ke menterian dan lembaga untuk

menjalankan program prubahan iklim. Setelah

Delegasi RI dalam perundingan internasional tentang perubahan iklim dikoordinir oleh DNPI sebagai national focal point.

PeruNDINgaN INterNasIoNal?

BAgAimAnA dnpi mempersiApkAn

misi utama delegasi indonesia dalam

perundingan internasional adalah mengamankan

kepentingan bangsa dan mendorong komitmen

negara maju dalam upaya penurunan emisi dan

menyediakan bantuan kepada negara berkembang.

Setiap tahun UNFCCC biasanya mengadakan

perundingan internasional sebanyak tiga kali. Dua

kali pertemuan dilaksanakan untuk mempersiapkan

draf keputusan pada pertemuan COP di setiap akhir

Rapat koordinasi internal DNPI

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

BAB 3-7-9.indd 94 8/2/13 10:28:19 AM

95DNPI 5 TAHUN I

itu DNPI mengadakan rapat pleno sebelum

delegasi Indonesia berangkat pada perundingan

UNFCCC. Kementerian dan Lembaga anggota

DNPI menghadiri pertemuan ini bertujuan untuk

menginformasikan posisi dasar Republik Indonesia

dan menghimpun masukan bagi keberhasilan

perundingan.

Selain persiapan rutin setiap perundingan,

Kelompok Kerja Negosiasi juga melakukan beberapa

kegiatan yang bersifat menguatkan persiapan delegasi

Indonesia termasuk:

1. Pelatihan bagi delegasi Indonesia. Pelatihan

bertujuan untuk memperkuat kemampuan

delegasi Indonesia dalam mempersiapkan dan

melakukan negosiasi selama perundingan ber-

langsung. Tiga hal utama yang mengemuka dan

memerlukan perhatian setiap negosiator delegasi

Indonesia, yaitu: mengetahui posisi Indonesia,

membangun networking dan memperjuangkan

kepentingan Indonesia.

2. Penyusunan submisi Indonesia. Dalam rangka

mempermudah pembahasan isu-isu tertentu pada

saat perundingan berlangsung, sekertariat UNFCCC

meminta pandangan dari negara-negara anggota.

Permintaan ini dilakukan tiga bulan sebelum

perundingan berlangsung. DNPI mengundang

para pemangku kepentingan untuk membahas

beberapa isu yang berkaitan dengan kepentingan

Indonesia. Submisi pandangan sangat membantu

dalam memperkaya pertimbangan dalam pengam-

bilan keputusan terhadap posisi Indonesia. Elemen

dalam submisi menjadi dasar dalam penyusunan

pedoman dasar posisi Indonesia.

3. Menghadiri pertemuan-pertemuan di luar

UNFCCC. Banyak inisiatif regional dan multilateral

yang membahas tentang perubahan iklim. Materi

yang dibahas sangat penting untuk dicatat karena

terkait dengan perkembangan perundingan di

bawah UNFCCC.

4. Melakukan evaluasi keikutsertaan delegasi

Indonesia.

Kegiatan ini bertujuan mempersiapkan

seoptimal mungkin sehingga akan mempermudah

Delegasi Indonesia menjalankan tugasnya. Kenyataan

menunjukkan bahwa perundingan perubahan

iklim bersifat lintas sektoral, sehingga memerlukan

partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan.

Beberapa anggota Delegasi RI dalam sebuah perundingan perubahan iklim. Foto: Dokumentasi DNPI

BAB 3-7-9.indd 95 8/2/13 10:28:22 AM

96 I DNPI 5 TAHUN

UKP-PPI dan KaHar DNPI

Apa itu UKP-PPI dan KaHar DNPI dan kenapa pula disandingkan demikian? Hal ini masih sangat erat kaitannya

dengan peran Indonesia dalam perundingan internasional pengendalian perubahan iklim. UKP-PPI dan KaHar merupakan singkatan dari Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim dan Ketua Harian DNPI.

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, DNPI dibentuk pada tahun 2008 sebagai wujud dari kebutuhan akan koordinasi dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia, di mana salah satu tugasnya adalah dalam perundingan internasional perubahan iklim.

Semakin kompleksnya perundingan perubahan iklim di tingkat internasional mengakibatkan semakin diperlukannya kebe radaan pejabat dengan level yang tinggi untuk mewakili negara dalam perundingan. Di beberapa negara, telah dibentuk Kementerian dengan portofolio perubahan iklim seperti di Denmark sebagai Department of Climate Change, Energy and Building; di Inggris sebagai Department of Energy and Climate Change; Australia sebagai Department of Climate Change and Energy Efficiency, dan sebagainya. Sebagian besar negara lain telah secara khusus mengangkat Duta Besar untuk Perubahan Iklim seperti Selandia Baru, Australia, Venezuela, Korea Selatan, dan beberapa lainnya. Dengan adanya penugasan khusus tersebut, maka

negara bersangkutan telah memiliki wakil yang tetap dalam proses perundingan perubahan iklim.

Sejak dibentuknya DNPI pada tahun 2008, peran ini dilakukan oleh Ketua Harian DNPI yang masa itu juga menjabat Menteri Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar. Semakin kompleksnya perundingan meng-akibatkan perlunya figur yang fokus pada pengendalian perubahan iklim, sehingga pada Mei 2010 Presiden RI memberikan penugasan setingkat Menteri yang lebih fokus pada perundingan internasional tersebut kepada Rachmat Witoelar, yaitu sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI). Dengan demikian, UKP-PPI dapat hadir dan berperan aktif dalam perundingan pengendalian perubahan iklim terutama dalam berbagai sesi pertemuan informal setingkat Menteri seperti Pre-COP, Petersberg Climate Dialogue (PCD) dan Cartagena Dialogue (CD).

Dalam beberapa kesempatan perte-muan tingkat Menteri tersebut, biasanya dialog berjalan lebih terbuka dan bukan bersifat negosiasi setingkat juru runding, yang acapkali memunculkan banyak sekali hal-hal menarik dan menunjukkan betapa keterbukaan ter-sebut memberikan peluang bagi berbagai negara untuk lebih saling memahami posisi masing-masing.

BAB 3-7-9.indd 96 8/2/13 10:28:23 AM

97DNPI 5 TAHUN I

Misi utama delegasi Indonesia dalam perundingan internasional adalah mengamankan kepentingan bangsa dan mendorong komitmen negara maju dalam upaya penurunan emisi dan menyediakan

bantuan kepada negara berkembang.

BAB 3-7-9.indd 97 8/2/13 10:28:25 AM

98 I DNPI 5 TAHUN

pemerintah baik Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Pengembangan

(Litbang) di berbagai kementerian, dan badan

khusus seperti Badan Metereologi Klimatologi dan

Geofisika (BMKG). Beragam keahlian-keahlian tersebut

masih dapat dianggap sangat minim dibandingkan

dengan keperluan yang harus diemban oleh bangsa

dalam menanggulangi tantangan perubahan iklim.

Meskipun demikian, dengan keberadaan para ahli

tersebut, setidaknya Indonesia telah mempunyai

modalitas berupa tenaga ahli perubahan iklim.

Berbagai aksi dilakukan dalam upaya

meningkatkan kapasitas atau kemampuan semua

pemangku kepentingan dalam upaya menghadapi

tantangan perubahan iklim. Hal ini sangat penting

untuk kebutuhan-kebutuhan strategis dalam upaya

implementasi dan penetapan kebijakan tentang

perubahan iklim, antara lain:

1. Mempersiapkan NAMAs dan/atau Pemba-

ngunan Rendah Emisi Karbon. NAMAs

merupakan singkatan dari Nationally Appropriate

Mitigation Actions yaitu merujuk pada seperangkat

kebijakan dan tindakan dari negara-negara

“Kekuatan tidak datang dari kapasitas fisik, namun dari kehendak yang tangguh.”

Mahatma Gandhi

PeNINgKataN KaPasItas

koordinAsi

menurut reKaPitulasi teraKhir, ahli–

ahli tentang perubahan iklim di Indonesia — terutama

yang sifatnya lokal — tersebar di berbagai perguruan

tinggi dan lembaga negara. DNPI memperkirakan,

terdapat 138 tenaga ahli Indonesia yang terkait dengan

perubahan iklim. Keahlian mereka mencakup: mitigasi,

adaptasi, sains basis dan observasi. Mereka tersebar

di berbagai perguruan tinggi baik swasta maupun

negeri seperti, Institut Teknologi Bandung (ITB),

Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada

(UGM), Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas

Palangkaraya, dan lain-lain. Selain itu, para ahli

tersebut juga berada di berbagai lembaga penelitian

Pengukuran arus air laut: Riset yang dilakukan para ilmuwan di perairan Indonesia

Foto

: Dok

umen

tasi

Kem

ente

rian

Ke

laut

an d

an P

erik

anan

BAB 3-7-9.indd 98 8/2/13 10:28:25 AM

99DNPI 5 TAHUN I

berkembang sebagai bagian dari komitmen

mereka untuk mereduksi emisi GRK dengan

dukungan teknologi, pendanaan, dan capacity

building. NAMAs dilakukan dengan tatacara MRV

serta disesuaikan dengan kapasitas masing-

masing.

2. Mengimplementasikan Program Adaptasi.

3. Memaksimalkan Technological Need Asses-

ments (TNAs) dan/atau beroperasi dalam

kerangka baru teknologi. TNA merupakan upaya

teknologi dalam upaya menjawab secara praktis

upaya berbagai negara guna menurunkan emisi

gas rumah kaca dan mereduksi kerentanan akibat

perubahan iklim dan berkontribusi pada tujuan

pembangunan.

4. Berjalannya MRV. Pemantauan, pelaporan dan

verifikasi (MRV) merupakan skema yang harus

dipenuhi dalam upaya menunjukkan bahwa aksi

— terutama dalam hal menurunkan emisi gas

rumah kaca -- dilakukan secara accountable dan

dapat dipertanggunjawabkan.

5. Mempersiapkan dan/atau melaksanakan

REDD dan/atau REDD+. Reducing Emissions

from Deforestation and Forest Degradation (REDD)

adalah sebuah upaya untuk menciptakan nilai

finansial atas sediaan karbon dalam hutan

dengan menawarkan insentif bagi negara- negara

berkembang untuk mereduksi emisi dari lahan

berhutan dan berinvestasi rendah karbon untuk

pembangunan berkelanjutan.

Kapasitas Penelitian dan Pengembangan 2009 – 2012

Pada periode ini dilakukan koordinasi dalam

Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan

Basis Ilmiah Perubahan Iklim di Indonesia. Ruang

lingkup yang dilakukan di antaranya adalah:

1. Berkoordinasi dengan Gugus Perubahan Iklim

dan Pelestarian Lingkungan, Dewan Perguruan

Tinggi untuk menyusun program bersama dalam

meningkatkan kapasitas riset dan pengembangan

basis ilmiah serta hubungan komunikasi, jaringan

kerja antaruniversitas di Indonesia khususnya

dalam pengembangan program-program

penelitian perubahan iklim.

2. Melakukan Monitoring dan Evaluasi kegiatan

penelitian perubahan iklim yang dilakukan oleh LIPI,

beberapa litbang seperti BMKG dan Kementerian

Kelautan dan Perikanan serta beberapa perguruan

tinggi.

3. Kerjasama antara universitas se-Indonesia.

4. Memfasilitasi kerjasama penelitian dengan

lembaga internasional seperti Monash University

(Kehutanan), CSIRO (Kerentanan air), FIO-China

(Monsun-Climate Variability), UNESCO (Coastal

resilience) dan IUCN-UNEP (Blue Carbon). (*)

Penelitian tentang perubahan iklim memerlukan kapasitas dan keahlian yang memadai

Foto

: Dok

umen

tasi

BM

KG, D

odo

Gun

awan

BAB 3-7-9.indd 99 8/2/13 10:28:27 AM

100 I DNPI 5 TAHUN

Pekerjaan Rumah Peningkatan Kapasitas

Informasi khusus tentang perubahan iklim di Indonesia sangat penting untuk terus dikaji dan disebarkan. Dalam upaya

melaku kan peningkatan kapasitas untuk penanggulangan terhadap perubahan iklim perlu dilakukan hal-hal berikut:

1. Kompilasi dan verifikasi data iklim jangka panjang masih perlu diupayakan karena kenyataannya masih sulit untuk mendapatkan data dengan cakupan spasial dan temporal yang memadai untuk analisis perubahan iklim di Indonesia. Maka, suatu proyek nasional yang terkoordinasi dengan baik dan berkelanjutan sangat diperlukan. Sebagai gambaran, untuk kompilasi data presipitasi global saja, terdapat berbagai proyek internasional yang dilakukan di berbagai negara.

2. Peningkatan variabilitas iklim dalam skala waktu antar-tahun maupun intra-musim merupakan ancaman bahaya iklim yang nyata dan perlu penanganan segera karena bisa berdampak langsung terhadap sektor kesehatan dan pertanian. Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dalam jangka pendek (lima sampai sepuluh tahun ke depan) kajian terhadap trend variabilitas iklim dan peningkatan kemampuan prediksi musim sangat diperlukan.

3. Informasi mengenai perubahan iklim dan dampaknya sering kali sampai kepada masyarakat secara simpang siur. Untuk mengatasi hal itu, perlu disusun suatu buku rujukan nasional mengenai perubahan iklim yang disusun oleh pakar dari dalam dan luar negeri. Buku rujukan ini perlu diperbaharui dalam setiap beberapa tahun sekali untuk mengadopsi berbagai perkembangan terbaru dalam ilmu pengetahuan iklim Indonesia.

Dalam upaya meningkatkan kapasitas, maka tantangan pengembangan kapasitas adalah:l Perlunya wadah khusus, suatu lembaga

penelitian khusus menangani perubahan iklim dengan menggabungkan beberapa lembaga penelitian yang melakukan penelitian perubahan iklim sehingga bisa sinergi

l Penyiapan Peta Jalan untuk Pembangunan Kapasitas, khususnya untuk penelitian perubahan iklim

l Penyusunan Rencana Aksi Pembangunan Kapasitas Penelitian Perubahan Iklim berdasarkan RAN GRK dan RAN API

l Mempertimbangkan kesiapan Kapasitas Indonesia untuk menghadapi isu loss and damage (terutama terhadap cuaca ekstrem dan kejadian-kejadian slow onset disaster).

BAB 3-7-9.indd 100 8/2/13 10:28:32 AM

bab. IV

TANTANGAN DAN HARAPAN

BAB-4_DNPI_OK.indd 101 8/1/13 6:56 PM

Sejak COP 13, Indonesia melangkah maju dalam

menyikapi isu perubahan iklim. Kemajuan ditindaklanjuti dengan

diterbitkannya serangkaian kebijakan penting untuk

mewujudkan komitmen Indonesia

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

102 | DNPI 5 TAHUN

BAB-4_DNPI_OK.indd 102 8/1/13 6:56 PM

103DNPI 5 TAHUN |

BAB-4_DNPI_OK.indd 103 8/1/13 6:56 PM

PERAN INDONESIA dalam negosiasi

perubahan iklim internasional semakin nyata

dan mendapatkan pengakuan internasional

MENOREH SEJARAH

DIPLOMASI GLOBAL PERUBAHAN IKLIMDi bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono, banyak catatan positif dan konkret yang ditorehkan Indonesia dalam berbagai hal. Presiden Yudhoyono bekerja bukan hanya untuk kepentingan nasional, tapi juga untuk kepentingan dunia. Visi kenegarawanan ini “menular” dalam arti menjadi panutan bagi jajaran pemerintahan di bawahnya, bahkan mungkin bagi individu maupun kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Salah satu “prestasi” internasional yang menonjol adalah menjadikan Indonesia sebagai pemeran penting dalam perubahan iklim global, yang menjadi legasi Presiden Yudhoyono.

yang sangat positif ketika Indonesia berhasil

meloloskan Bali Road Map (BRM) pada

pertemuan UNFCCC COP 13 di Bali, sebagai

serangkaian keputusan dan jalur negosiasi

penting untuk memperkuat aksi internasional

di bidang perubahan iklim. Keberhasilan ini

tidak terlepas dari diplomasi yang dipimpin oleh

Presiden Yudhoyono dengan dukungan dari Prof.

Rachmat Witoelar selaku Presiden COP 13 dan

Prof. Dr. Emil Salim sebagai ketua Delegasi RI. Bali

Road Map tidak hanya merupakan kristalisasi

kata-kata semata, bukan pula dokumen legal

Foto

: Dok

umen

tasi

DN

PI

104 | DNPI 5 TAHUN

BAB-4_DNPI_OK.indd 104 8/1/13 6:56 PM

internasional yang memandu perundingan

internasional perubahan iklim pada masa-masa

selanjutnya, tetapi juga mempunyai makna

mendalam karena mengadopsi konsep kearifan

lokal nusantara yang secara tradisi diwariskan

secara turun-temurun, misalnya konsep Tri

Hita Karana yang memaknai keseimbangan

hubungan manusia dengan Tuhan dan alam

sekitar yang saling terkait satu sama lain. Selain

Bali Road Map, sebagaimana uraian pada bab-

bab sebelumnya COP 13 Bali menghasilkan Bali

Action Plan. Dokumen penting ini merangkum

visi bersama dunia untuk melakukan aksi tindak

lanjut dalam bentuk kerja sama jangka panjang.

Selain itu, Bali Action Plan menjadi dokumen

shared vision (visi bersama) dalam upaya

menurunkan emisi global melalui program dan

langkah nyata adaptasi, mitigasi, alih teknologi,

dan pendanaan. Dalam pertemuan-pertemuan

tingkat tinggi internasional di bidang perubahan

iklim pada masa-masa selanjutnya, Bali Road Map

dan Bali Action Plan dijadikan rujukan, bahkan

pedoman; bukan sekadar dokumen sejarah.

Tentu saja keberhasilan besar Indonesia

dalam COP 13 bukan lahir sesaat, melainkan hasil

jerih-payah kepedulian dan perjalanan panjang

Dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi internasional di bidang

perubahan iklim pada masa-masa selanjutnya, Bali Road Map dan

Bali Action Plan dijadikan rujukan, bahkan pedoman

Komitmen Indonesia terhadap antisipasi perubahan iklim dari hari ke hari semakin konkret: Presiden Yudhoyono dalam United Nations Conference on Sustainable Development, Rio de Janeiro, 2012

Foto: Dokumentasi DNPI

105DNPI 5 TAHUN |

BAB-4_DNPI_OK.indd 105 8/1/13 6:56 PM

sejarah sejak masa-masa sebelumnya. Sekadar

catatan penggali ingatan, sejak tahun 1994

ketika Indonesia mengeluarkan Undang-Undang

Nomor 6/1994 berisi Ratifikasi Konvensi PBB

untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), dan kemudian

tahun 2004 Undang-Undang nomor 17/2004

tentang Ratifikasi Protokol Kyoto, diikuti undang-

undang yang lain, yaitu UU No 17/2007, tentang

RPJPN, No 30/2009, tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 31/2009,

tentang Meterologi , Klimatologi dan Geofisika,

serta UU No 30/2007, tentang energi, maka

Indonesia terus melangkah maju dan semakin

konkret dalam menyikapi isu perubahan iklim.

Langkah maju itu ditindaklanjuti dengan

diterbitkannya serangkaian kebijakan penting

untuk mewujudkan komitmen Indonesia,

antara lain dikeluarkan dalam bentuk Peraturan

Pemerintah (PP) dan dikeluarkan Peraturan

Presiden (Perpres) diantaranya melalui Peraturan

Presiden No 46 tahun 2008, tentang Dewan

Nasional Perubahan Iklim (DNPI), No 28/2011

tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung

untuk Penambangan Bawah Tanah, Perpres No

4/ 2010 tentang percepatan pembangunan

tenaga listrik, No 33/2011 tentang Kebijakan

Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air, serta

upaya penting dalam mewujudkan komitmen

penurunan emisi GRK 26%, melalui Rencana Aksi

Nasional (RAN), Perpres No. 61/2011 dalam upaya

menurunkan emisi GRK (RAN-GRK) serta No

71/2011, tentang penyelenggaraan inventarisasi

GRK Nasional.

Di tingkat kementerian terkait, usaha konkret

menurunkan emisi pun telah didorong, misalnya

dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan

(Permenkeu) No 21/2010 yang memberikan

fasilitas perpajakan kepabeanan untuk Kegiatan

Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan. Banyak

pihak menilai, kebijakan-kebijakan itu bernilai

sangat positif karena sangat visioner dan

futuristik mengingat perubahan iklim bersifat

jangka panjang dan berdampak multidimensi di

berbagai sektor kehidupan. Kebijakan-kebijakan

itu secara strategis bukan hanya bermakna

fundamental untuk menyerasikan koordinasi

perubahan iklim di dalam negeri, tetapi juga

menjadi pemandu langkah perundingan

internasional. DNPI ditugaskan menjadi

koordinator untuk menyerasikan langkah-

langkah itu.

Fungsi Koordinasi dan Sinergi Sejak DNPI terbentuk dan hingga kini genap 5

tahun (Juli 2013), banyak tantangan dan harapan

yang dikemukakan oleh tokoh terkait dan pelaku

kebijakan. Ismid Hadad, yang pernah menjadi

Sekretaris Delegasi RI dalam COP 13, menilai dari

beberapa tugas yang diembankan kepada DNPI,

“ada dua hal utama yang telah dilakukan dengan

baik oleh DNPI, yaitu negosiasi internasional

dan perdagangan karbon.” Bidang-bidang

lainya dilakukan oleh institusi lain yang secara

formal mempunyai kapasitas lebih baik, kata

Ismid. Ia mencontohkan perumusan kebijakan

dan koordinasi REDD+ ditangani oleh Satgas

REDD+, sementara kebijakan mitigasi ditangani

oleh Bappenas melalui RAN-GRK dan Rencana

Aksi Penurunan emisi GRK Daerah (RAN-GRD)

yang sudah diarusutamakan ke dalam rencana

pembangunan nasional jangka pendek dan

panjang. Sementara untuk isu pendanaan telah

ada Green Economy dan Badan Kebijakan Fiskal

(BKF) Kementerian Keuangan.

Menurut Ismid Hadad, di masa depan,

peran DNPI sebagai lembaga koordinator dan

perancang kebijakan terkait isu perubahan

iklim perlu semakin ditingkatkan, baik di level

nasional maupun internasional. Bersama

dengan Bappenas, DNPI diharapkan berfungsi

melakukan koordinasi kebijakan perubahan iklim

maupun hal-hal yang berhubungan dengan

RAN GRK, pelaksanaan skema REDD+ dan MP3EI.

Dalam program MP3EI, DNPI bisa berperan

sebagai jembatan untuk menyeimbangkan

pertumbuhan ekonomi dan emisi GRK yang

dihasilkan.

Eddy Pratomo, Duta Besar Indonesia untuk

106 | DNPI 5 TAHUN

BAB-4_DNPI_OK.indd 106 8/1/13 6:56 PM

DNPI dan Bappenas seperti “mata uang dengan dua sisi”, karena

DNPI juga berperan ditingkat global dan Bappenas adalah

perencana pembangunan nasional

Foto: Dokumentasi DNPI

107DNPI 5 TAHUN |

BAB-4_DNPI_OK.indd 107 8/1/13 6:56 PM

Jerman berpandangan bahwa DNPI dan

Bappenas sebagai lembaga koordinator bisa

berperan saling mengisi, karena keduanya

memiliki kekhasan tugas masing-masing.

Mengapa demikian, lanjut Eddy Pratomo, karena

DNPI dan Bappenas seperti “mata uang dengan

dua sisi”. DNPI berperan di tingkat global dan

Bappenas adalah perencana pembangunan

nasional. “Komitmen dengan masyarakat

internasional harus diterjemahkan ke dalam

program-programnya Bappenas. Selain itu,

DNPI berfungsi mulai dari menyiapkan posisi

Indonesia di tingkat nasional dan membawanya

ke meja perundingan di tingkat internasional.”

Komunikator dan Campaigner Perubahan Iklim

Wartawan senior lingkungan hidup

Aristides Katoppo mengatakan, DNPI perlu

membuat kebijakan yang efektif dan enforceable

mengarusutamakan isu perubahan iklim dan

penanganannya di masyarakat dalam skala

nasional. DNPI juga perlu membuat strategi

komunikasi yang melibatkan pers, LSM, sektor

swasta dan kalangan akademik. Hal senada

diungkapkan Direktur Eksekutif Nasional

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)

Abetnego Tarigan yang berpendapat, DNPI

perlu lebih efektif meningkatkan kesadaran dan

pemahaman kepada masyarakat luas mengenai

perubahan iklim.

Lebih konkret disampaikan Jatna Supriatna,

akademisi dari UI. Ia mengatakan, karena di

antara isu-isu yang amat besar, perubahan iklim

memasuki dan mempengaruhi hampir semua

sektor kehidupan, maka harus diarus-utamakan

kepada setiap departemen, masyarakat dan

swasta, agar siap untuk antisipasi jangka panjang.

Kebijakannya perlu seperti itu. Komitmen-

komitmen internasional memang perlu, tetapi

komitmen-komitmen dalam negeri juga penting.

Banyak orang menganggap dampak perubahan

iklim itu akan terjadi nanti, padahal sekarang

sudah terjadi. Masyarakat harus disadarkan

dan diberi pemahaman. Ini harus dilakukan

campaigner-campaigner yang ahli dan ulung.

Jatna memberi contoh, orang menanam pohon,

mungkin ia tidak mengerti maknanya, tetapi

kalau diberi pemahaman mengenai carbon

foot print, berapa jejak karbon dan bagaimana

mengurangi jejak karbon tersebut, maka isu ini

menjadi semakin penting. Kampanye mengenai

hal ini harus diperbesar. Jika tidak, hanya businnes

as usual. Carbon foot print bukan hanya peduli

terhadap lingkungan, tetapi mendorong efisiensi

energi, mengurangi pemakaian-pemakaian

produk yang membahayakan lingkungan, dan

sebagainya. Peran DNPI untuk mendorong

kebijakan seperti itu agar terpadu, komprehensif,

tidak sepotong-sepotong

DNPI di Mata Mitra AsingJose Ferraris, Representative UNFPA (United

Nations Population Fund) Indonesia mengatakan

DNPI telah dengan baik melakukan koordinasi

pekerjaan terkait perubahan iklim dan dinamika

populasi kependudukan dengan kementerian

DNPI berfungsi mulai dari menyiapkan posisi Indonesia

di tingkat nasional dan membawanya ke meja perundingan

di tingkat internasional.

108 | DNPI 5 TAHUN

BAB-4_DNPI_OK.indd 108 8/1/13 6:56 PM

dan instansi pemerintah lainnya. “Berdasarkan

pengalaman saya bekerja pada isu dinamika

populasi penduduk, DNPI telah bekerja efektif

dan efisien dalam mengkoordinasikan dengan

kementerian atau lembaga terkait, dan telah

terkoneksi dengan peneliti dan akademisi yang

ada di lingkup ini. Ada mekanisme follow-up,

bukan hanya sekedar publikasi,” katanya. UNFPA

merasa sangat terbantu dengan kepemimpinan

dan koordinasi DNPI dengan lembaga

pemerintah lainnya dalam kebijakan program

pemerintah terkait perubahan iklim.

Kawanishi Masato Chief Advisor JICA (Japan

International Cooperation Agency) Project melihat

peran domestik DNPI dalam harmonisasi

pelaksanaan strategi pembangunan yang

terkait maupun tidak terkait dengan perubahan

iklim untuk mencapai pembangunan yang ber-

kelanjutan. “Perubahan iklim harus terintegrasi

dengan pembangunan, tetapi juga melingkupi

seluruh ragam agenda pembangunan. Juga

membutuhkan beberapa tingkatan dalam skala

waktu dan ruang, dari tingkat nasional sampai

daerah. Tingkatan yang berbeda, waktu yang

berbeda, ruang/wilayah yang berbeda, agenda

yang berbeda. Hal tersebut mungkin kritis untuk

negara yang sedang berkembang, negara yang

cepat berkembang, seperti Indonesia,” katanya.

DNPI mempunyai keunggulan sebagai

focal point yang ditunjuk pemerintah dalam

hal isu perubahan iklim, sehingga dapat

mengkoordinasikan kementerian/lembaga

terkait mengintegrasikan isu perubahan iklim

dan pembangunan.

DNPI juga diharapkan bisa menjelaskan

kemajuan negosiasi internasional terkini dan

dampak negosiasi tersebut dengan bahasa

popular kepada masyarakat luas. “Saya percaya

bahwa DNPI, dengan jaringan yang kuat dengan

LSM, akan menjadi jembatan yang kuat antara

Keteguhan prinsip dan ketelitian menjadi keharusan dalam perundingan perubahan iklim:Rachmat Witoelar dan Agus Purnomo beserta para peserta COP 13, Bali, 2007

Foto: Dokumentasi DNPI

109DNPI 5 TAHUN |

BAB-4_DNPI_OK.indd 109 8/1/13 6:56 PM

negosiasi perubahan iklim yang semakin rumit

di satu sisi, dengan masalah-masalah masyarakat

di kehidupan nyata tentang perubahan iklim di

sisi lainnya. Itulah beberapa harapan saya untuk

DNPI ke depan,” kata Kawanishi.

Koordinator Negosiasi Internasional

DNPI berperan sebagai koordinator

nasional terkait perubahan iklim untuk

negosiasi kepentingan Indonesia di dunia

internasional. Sebagai satu-satunya lembaga

yang menjembatani kepentingan nasional dan

merepresentasikan posisi Indonesia di negosiasi

internasional secara maksimal, peran DNPI bukan

hanya sangat penting tetapi juga strategis.

Namun Eddy Pratomo melihat tantangan

DNPI dalam mengkoordinasikan para pemangku

kepentingan perubahan iklim. Hal tersebut

bisa dimaklumi karena banyaknya stakeholder

yang terlibat, mulai dari kementerian, lembaga

pemerintah, ilmuwan, akademisi hingga elemen

masyarakat sampai dengan kalangan bisnis.

Pertemuan perubahan iklim pun beragam

mulai dari pertemuan teknis, politis, sampai

skala pertemuan berupa bilateral, regional,

sampai multilateral. Dalam hal itu, DNPI harus

menjadi koordinator di tingkat nasional yang

dapat memberikan arahan dan masukan dari

hasil-hasil persidangan di tingkat internasional,

dan bagaimana implementasinya pada tingkat

nasional.

Eddy Pratomo juga menyoroti adanya

hambatan yang dialami Delegasi RI ketika

bernegosiasi pada level internasional, yaitu

soal keterwakilan tiap kementerian dan

lembaga pemerintah pemangku kepentingan

perubahan iklim. “Keterwakilan ada tetapi tidak

pada posisi pengambilan keputusan, sehingga

kadang-kadang Delegasi RI ketika menghadapi

sidang sering mengalami hambatan. Meskipun

hambatan dapat diselesaikan dengan kebijakan

Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan

Iklim atau Ketua Harian DNPI, Ketua Delegasi,

para penasehat, namun harapan kita, di masa

depan sisi ini diperkuat. DNPI juga bisa berperan

lebih aktif hingga pada tataran implementasi

komitmen internasional pada tingkat nasional,”

kata mantan Dirjen Perjanjian Internasional

Kementerian Luar Negeri itu.

Sedangkan Endah Murniningtyas, Deputi

Menteri Bidang SDA dan Lingkungan Hidup,

Bappenas, mengatakan sesuai dengan fungsi

dan peran yang tidak dapat dilakukan oleh

lembaga pemerintah lainnya, yaitu fokus pada

proses negosiasi, maka DNPI sudah sangat baik

menjalankan fungsi dan peran perundingan.

“Personil DNPI yang merupakan SDM yang sudah

sering mengikuti kegiatan nasional maupun

Harapan kami adalah bahwa

DNPI dapat lebih baik lagi

mengkoordinasikan persiapan

posisi Indonesia dalam

negosiasi perubahan iklim di

tingkat internasional, dengan

memperhatikan rencana

kerja seluruh kementerian/

lembaga. Dengan demikian,

dapat tercipta sinergitas antara

kegiatan di tingkat nasional

dengan proposal negosiasi

yang kita tawarkan di tingkat

internasional

110 | DNPI 5 TAHUN

BAB-4_DNPI_OK.indd 110 8/1/13 6:56 PM

DNPI di dunia internasional fokus pada masalah negosiasi, ke dalam negeri melakukan fungsi koordinasi serta edukasi perubahan iklim: Presiden Yudhoyono dan ibu Ani dalam kegiatan penanaman pohon

di desa Sarongge Bogor, Januari 2013Foto: Abror/Istana Negara RI

BAB-4_DNPI_OK.indd 111 8/1/13 6:56 PM

global, memiliki kemampuan dan waktu untuk

fokus kepada penyiapan proses negosiasi dan

komunikasi secara kontinyu dengan pihak luar,”

katanya.

DNPI memiliki posisi strategis untuk

fokus pada koordinasi untuk negosiasi/

komunikasi dengan masyarakat global dalam

memperjuangkan posisi Indonesia di kancah

global. Untuk peran itu, DNPI beranggotakan

wakil-wakil dari Kementerian/Lembaga terkait

dengan perubahan iklim, sehingga update

kebijakan pemerintah dalam perubahan iklim

akan tetap terjaga.

Untuk memperkuat peran tersebut, maka

DNPI perlu melakukan peningkatan kapasitas

negosiasi secara berkesinambungan, melakukan

kajian untuk menyusun dasar negosiasi termasuk

dampaknya, melengkapi dengan kelompok

ahli hukum yang mengerti masalah perubahan

iklim dan masalah internasional, dan sebagai

focal point untuk jaringan komunikasi Indonesia

dengan masyarakat global.

Dukungan senada disampaikan Menteri

Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya yang

mengingatkan bahwa dinamika negosiasi

bergulir dengan cepat, maka, “...Harapan

kami adalah bahwa DNPI dapat lebih baik

lagi mengkoordinasikan persiapan posisi

Indonesia dalam negosiasi perubahan iklim di

tingkat internasional, dengan memperhatikan

rencana kerja seluruh kementerian/lembaga.

Dengan demikian, dapat tercipta sinergitas

antara kegiatan di tingkat nasional dengan

proposal negosiasi yang kita tawarkan di tingkat

internasional,” katanya.

Peran Unik DNPI Staff Ahli Bidang Lingkungan dan Perubahan

Iklim Kementerian Kehutanan, Yetti Rusli melihat

keberadaan DNPI untuk mengkoordinir isu

perubahan iklim merupakan hal yang luar biasa.

“Perjalanan perubahan iklim di Indonesia selama

ini tidak mungkin dapat sebaik ini, jika tidak ada

DNPI. Perubahan iklm adalah sesuatu yang baru

dan mengalami perkembangan sangat cepat,

dan tidak dapat ditangani secara biasa saja,”

katanya.

Contoh nyata peran DNPI dalam dunia

internasional adalah pernyataan Presiden SBY

kepada dunia tentang komitmen Indonesia

untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dan

41 persen dengan bantuan internasional. Meski

kondisi di dalam negeri kebijakan penurunan

emisi belum bisa dilaksanakan optimal karena

perubahan iklim merupakan hal yang baru, baik

dalam skala nasional bahkan skala internasional,

namun komitmen tersebut meningkatkan

apresiasi dunia internasional terhadap Indonesia.

Meski perubahan iklim merupakan hal yang

baru, Indonesia telah menjadi global leader

untuk penanganan perubahan iklim dengan

pernyataan komitmen penurunan emisi, dan

kemudian dijabarkan dalam RAN-GRK dan RAD-

GRK, serta kebijakan lain seperti adanya Satgas

REDD+.

Agar lebih efektif dan berdampak luas, DNPI

telah melibatkan Kementerian/Lembaga untuk

bekerja sama dengan pihak luar negeri, seperti

pembahasan kerjasama perdagangan karbon

bilateral atau Joint Credit Mechanism (JCM)

dengan melibatkan Kementerian Koordinator

Perekonomian. DNPI juga bisa membantu

mempromosikan mencari partner kegiatan

ekonomi hijau di Indonesia, seperti masyarakat

Aceh yang mengembangkan hutan mangrove,

dan hasil stok karbonnya bisa diperdagangkan

melalui JCM atau multilateral. “Sektor

kehutanan banyak menyimpan kesempatan

bersama masyarakat untuk ditawarkan dalam

perdagangan karbon,” katanya.

Kerjasama InternasionalSelain fungsi koordinator, DNPI bertugas

melakukan kerjasama internasional terkait isu

perubahan iklim dengan badan atau negara lain.

Salah satu kerja sama tersebut adalah dengan

pemerintah Jepang melalui Japan International

Cooperation Agency (JICA). Kawanishi Masato,

112 | DNPI 5 TAHUN

BAB-4_DNPI_OK.indd 112 8/1/13 6:56 PM

84 I DNPI 5 TAHUN

Chief Advisor JICA Project mengatakan kerja sama

JICA dengan DNPI dalam bidang perubahan

iklim berlangsung positif.

“Perubahan iklim adalah masalah global

bagi kita semua. Perlu kemitraan lintas negara/

perbatasan untuk mengatasi masalah itu.

JICA telah aktif dan akan terus seperti itu

dalam bekerjasama dengan Indonesia dalam

bidang perubahan iklim,” katanya. Kawanishi

mengatakan Indonesia dipandang sebagai salah

satu negara besar yang memiliki kontribusi besar

dalam penanganan perubahan iklim dan dapat

memimpin perundingan internasional.

“Kontribusi Indonesia dalam diskusi dan

negosiasi internasional mengenai perubahan

iklim sudah cukup substansial. Menjadi tuan

rumah COP ke-13 dengan keberhasilan

mengadopsi Bali Action Plan adalah salah satu

contohnya. Dan juga pernyataan komitmen

secara sukarela untuk mengurangi emisi sebesar

26% pada tahun 2020 juga berpengaruh

secara positif pada aspirasi negosiasi iklim

internasional,” katanya.

Indonesia juga bisa menjadi contoh bagi

negara lain dalam penanganan perubahan iklim

melalui strategi pembangunan seperti RAN-

GRK dan RAD-GRK. “Tanpa ragu peran dari DNPI

sangat signifikan,” ujar Kawanishi.

Perjalanan perubahan iklim di Indonesia selama ini tidak mungkin

dapat sebaik ini, jika tidak ada DNPI. Perubahan iklim adalah

sesuatu yang baru dan mengalami perkembangan sangat cepat,

dan tidak dapat ditangani secara biasa saja

DNPI memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan tingkat tinggi perubahan iklim: Rachmat Witoelar bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Erka Pangestu, dan Presiden AS Barack Obama

Foto: Dokumentasi DNPI

113DNPI 5 TAHUN |

BAB-4_DNPI_OK.indd 113 8/1/13 6:56 PM

DNPI memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan tingkat tinggi perubahan iklim: Rachmat Witoelar bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, dan Presiden AS Barack Obama

Foto: Dokumentasi DNPI

BAB 3-4-6.indd 84 8/1/13 11:23:49 AM

Indonesia Climate Change Center

Dewan Nasional Perubahan

Iklim (DNPI), bertujuan untuk

meningkatkan koordinasi dalam

pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan

untuk memperkuat posisi Indonesia di forum

internasional dalam pengendalian perubahan iklim.

Sebagai upaya menyokong kebijakan berbasis

ilmu pengetahuan, maka DNPI mengidentifikasi

kebutuhan akan adanya suatu institusi yang

menjadi wadah dalam menghasilkan kajian-kajian

ilmiah untuk mendukung ranah science-to-policy.

Pada tahun 2010, melalui rapat koordinasi DNPI

yang dipimpin oleh Wakil Ketua 1 DNPI, yaitu

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,

DNPI ditugaskan untuk mengembangkan suatu

Regional Center, yang diharapkan menjadi sentra

think tank perubahan iklim dan menjadi partner

bagi pemerintah dalam menghasilkan kebijakan

perubahan iklim.

Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia

dan Amerika Serikat menghasilkan kesepakatan

kerjasama US-Indonesia Comprehensive Partnership,

yang terdiri dari enam Working Group, yaitu

Working Group on Democracy and Civil Society;

Working Group on Education; Working Group on

Climate and Environment; Working Group on Trade

and Investment; Working Group on Security; dan

Working Group on Energy. Sejalan dengan adanya

kerjasama tersebut, di bawah payung Working

Group on Climate and Environment, maka DNPI

melakukan pertemuan dengan pihak United States

Forest Service (USFS) untuk mengembangkan

suatu think tank di Indonesia khususnya dalam hal

science to policy.

Usulan tersebut disambut baik oleh pihak

Amerika Serikat yang menyatakan kesediaaan

untuk mendukung pengembangan konsep

kelembagaan dan program think tank tersebut.

Konsep Regional Center kemudian mengalami

evolusi. Dalam pertemuan koordinasi antar

Kementerian dan Lembaga, maka DNPI melihat

bahwa sebelum menjajagi suatu think tank

pada tingkat regional, maka lebih tepat untuk

mengembangkan network of network untuk skala

nasional. Untuk menggagas konsep tersebut,

maka dikembangkan suatu konsep Indonesia

Climate Change Center (ICCC), yang merupakan

wadah pertemuan antara tenaga ahli nasional dan

internasional untuk menghasilkan suatu kajian

tematik guna mendukung upaya pengurangan

emisi gas rumah kaca Indonesia dan meningkatkan

kapasitas adaptasi nasional. Konsep ini kemudian

difinalisasikan antara Indonesia-Amerika Serikat.

Pada bulan Oktober 2011 tercapai kesepakatan

antara DNPI dan USFS untuk mengembangkan

Indonesia Climate Change Center, baik dari sisi

pengembangan kelembagaan maupun program.

Pengembangan ICCC diharapkan dapat

menguatkan dan melengkapi institusi atau

lembaga penelitian dalam bidang perubahan iklim

yang ada. ICCC tidak akan menggantikan institusi

atau lembaga yang ada. Kehadiran ICCC diharapkan

dapat menjadi penghubung yang menjembatani

gap antara sains dan kebijakan perubahan iklim.

ICCC diharapkan dapat berkontribusi terhadap

kebijakan Rencana Aksi Nasional Penurunan

Gas Rumah Kaca dan Rencana Aksi Nasional

Adaptasi Perubahan Iklim, melalui kajian-kajian

berbasis sains yang dapat mendukung kebijakan

pemerintah tersebut. Kehadiran pakar nasional dan

internasional dalam pengembangan kajian sains di

dalam ICCC diharapkan akan memperkaya hasil.

Konsensus Definisi Lahan Gambut

Dalam kiprahnya sebagai sebuah pusat penelitian

perubahan iklim, ICCC mengadakan beberapa kali

pertemuan dan kajian yang membahas tentang

definisi lahan gambut. Hal ini dilakukan dalam

upaya penyeragaman pemahaman mengenai

gambut di Indonesia, dalam upaya mengelola

gambut secara lestari. Hasil kajian tersebut menjadi

masukan penting dalam upaya penyempurnaan

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gambut

tahun 2012. Koordinasi telah dilakukan antar sektor,

badan dan mitra terkait seperti Kementerian

Pertanian,Kementerian Lingkungan Hidup,

Kementerian PU,Kementerian Kehutanan serta

Badan Informasi Geospasial (BIG) tentang konsensus

‘metodologi pemetaan lahan gambut.’ Dalam

upaya menguji akurasi metodologi yang disepakati,

ICCC telah pula melakukan uji metodologi tersebut

di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Pelalawan, Riau

dan Katingan, Kalimantan Tengah.

114 | DNPI 5 TAHUN

BAB-4_DNPI_OK.indd 114 8/1/13 6:56 PM

Perlu suatu keputusan pemerintah dan DPR untuk memperkuat

posisi DNPI. Perubahan iklim adalah masalah dunia, masalah global

Kerjasama DNPI-JICA

DNPI dan

Japan International

Cooperation Agency (JICA) melakukan

kerjasama teknis dalam rangka mendukung

peningkatan kapasitas kelembagaan

perubahan perubahan iklim di Indonesia.

Adapun kerjasama tersebut mencakup

tiga kegiatan utama yaitu: pertama,

pengembangan dan analisis kebijakan

yang terkait dengan negosiasi internasional

dan implementasinya pada tingkat

nasional. Kedua, pengembangan sistem

pemantauan dan evaluasi berbagai

aksi dalam mengantisipasi perubahan

iklim, dukungan dan berbagai rangkaian

dialog yang terkait dengan berbagai isu

perundingan global. Ketiga, peningkatan

kapasitas dan kesadaran masyarakat dalam

mensosialisasikan isu-isu perubahan iklim

dan mendorong para pengambil kebijakan

untuk mensosialisasikan langkah-langkah

inovatif yang terkait dengan perubahan iklim.

Tiga kegiatan yang terkait didalam

kerjasama DNPI-JICA terdiri dari beberapa

aktivitas, dan beberapa aktivitas tersebut

adalah seperti berikut:

1. Pengembangan kebijakan:

•Low Emission Development Strategies

•Domestic policies and future global regime

•Land-Use, Land-Use Change, and Forestry

2. Monitoring dan Evaluasi:

•Sistem Monitoring dan evaluasi

•Registry

•Pasar karbon

3. Pengembangan kapasitas dan kesadaran

masyarakat:

•Green Investment

•Youth Camp

•Climate Change Debate Competition

•Asia Forum on Carbon Update

Untuk kegiatan kajian kebijakan telah

dihasilkan beberapa kajian, dan kajian

tersebut adalah:

1. Kajian Awal Penyusunan Kelembagaan

MRV: Pilihan-pilihan yang Memungkinkan

Untuk Indonesia Berdasarkan Pengalaman

Internasional

2. Low Carbon Emission Development

Strategy in Indonesia Energy Sector

3. Land-Use and Land Use Change Dynamics

in Kalimantan, Indonesia (1990-2012)

Adapun dalam upaya peningkatan

kesadaran publik dan menjembatani antara

sektor pemerintah dan swasta didalam

penanganan isu perubahan iklim, DNPI-

JICA mengadakan rangkaian dialog yang

tergabung dalam wadah “Green Investment,

Innovation, and Productivity”.(*)

115DNPI 5 TAHUN |

BAB-4_DNPI_OK.indd 115 8/1/13 6:56 PM

Penguatan Koordinasi dan Internal

Persoalan koordinasi antar sektor/lembaga

masih menjadi kelemahan birokrasi dalam

mewujudkan pembangunan yang menyeluruh,

efektif dan efesien. Upaya pengendalian

perubahan iklim ini membutuhkan kerjasama

yang kuat antar sektor/lembaga pemerintah,

karena dampak perubahan iklim harus segera

direspon dan membutuhkan keputusan

yang cepat. Rantai birokrasi yang singkat dan

koordinasi yang cepat menjadi syarat untuk

menyusun perencanaan serta aksi bersama

guna mengantisipasi atau mengurangi dampak

perubahan iklim kepada aspek sosial, ekonomi

dan lingkungan.

Penanggulangan masalah perubahan iklim

ini perlu dilaksanakan oleh berbagai pihak yaitu

pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor

swasta, masyarakat madani, dunia pendidikan,

masing-masing individu maupun pemangku

kepentingan lainnya. Melihat fungsi DNPI yang

unik dan lintas sektoral, Yetty Rusli berharap

keberadaan DNPI harus tetap dipertahankan,

bahkan diperkuat. “Tanpa adanya DNPI, tidak

dapat dibayangkan nasib perkembangan

perubahan iklim di Indonesia,” tegasnya.

Lebih spesifik, Eddy Pratomo mengatakan,

DNPI sudah saatnya dilengkapi dengan

divisi hukum untuk memperkuat negosiasi

internasional. “Jadi suatu saat, di masa yang akan

datang, harapan saya DNPI dapat mengajak para

ahli-ahli hukum itu baik dari kementerian luar

negeri maupun dari kementerian lain, karena

legal advisor ini dalam setiap perundingan

konvensi internasional, suatu rezim baru, selalu

diperlukan, karena akan timbul masalah-masalah

implikasi hukum karena kita berhubungan

dan bergaul dengan tata kelola internasional.

Konvensi internasional atau perjanjian

internasional dilaksanakan pada tingkat

nasional, kan sistem hukumnya berbeda. Jadi

itu mestinya yang berperan adalag legal advisor-

nya,” demikian harapan Eddy Pratomo.

Anggaran DiperbesarSatya Widya Yudha Anggota Komisi VII DPR

RI, mengatakan pihaknya mendukung upaya

Kerjasama DNPI-UNITAR

Dewan Nasional

Perubahan Iklim (DNPI)

dan UNITAR (United Nations Institute

for Training and Research) mengadakan

kerjasama dalam pelaksanaan “UN CC

Learn Pilot Project to Strengthen Human

Resources, Learning and Skills Development to

Address Climate Change” untuk mendukung

pengurangan emisi melalui kegiatan-

kegiatan yang bersifat pembangunan

kapasitas SDM melalui pendidikan, pelatihan

dan peningkatan kesadaran masyarakat,

baik di tingkat nasional maupun daerah.

Kegiatan ini bertujuan menguatkan

kapasitas SDM di Indonesia melalui

pendekatan strategis pembelajaran tentang

perubahan iklim dan pengembangan keahlian.

UN CC Learn didukung oleh afiliasi dari 33

badan PBB dalam mendukung kegiatannya.

Indonesia terpilih menjadi salah satu negara

pilot project dari lima negara yang terpilih,

yang mencakup Benin, Republik Dominika,

Malawi dan Uganda.

Kerjasama ini telah menghasilkan Strategi

Nasional Peningkatan Kapasitas Sumber Daya

Manusia dalam menghadapi Perubahan Iklim.

Strategi yang disusun berdasarkan kontribusi

aktif dari Kementerian/Lembaga, akademisi,

lembaga penelitian dan pihak-pihak kunci

terkait, diharapkan dapat mendukung upaya

peningkatan kapasitas SDM bangsa Indonesia

dalam menghadapi perubahan iklim.(*)

116 | DNPI 5 TAHUN

BAB-4_DNPI_OK.indd 116 8/1/13 6:56 PM

pemerintah memperkuat visi pembangunan

berkelanjutan, termasuk penanganan isu

perubahan iklim, dengan cara memperbesar

anggaran untuk hal tersebut dalam APBN.

Menurut Satya, idealnya anggaran untuk itu

mencapai 10 persen dari total anggaran dalam

APBN.

“Kalau negara ini bervisi bahwa ke

depannya Indonesia akan menuju negara yang

berwawasan lingkungan atau menerapkan pola

ekonomi hijau, tentunya Presiden dengan DNPI-

nya mengkoordinasikan ke seluruh kementerian,

sehingga anggaran dan aktualisasi program-

program pro-lingkungan ini ada di setiap

departemen, dan hal itu dikoordinasi oleh DNPI.

Koordinasi tidak berarti ikut mengatur, tetapi

bisa saja memberikan panduan atau melakukan

supervisi dan monitoring. Sehingga, pada waktu

DNPI berbicara keluar bisa mempunyai suara

yang menunjukkan mengerti masalah-masalah

internal atau masalah koordinasi di antara

berbagai macam kementerian,” katanya.

Secara khusus Satya menilai, anggaran untuk

DNPI perlu diperbesar, karena mempengaruhi

Pembalakan liar dan perusakan hutan masih menjadi tantangan berat dalam masalah perubahan iklim:Gambaran deforestasi hutan di Indonesia.

Foto: Dokumentasi DNPI

Koordinasi tidak berarti ikut mengatur, tetapi bisa saja memberikan

panduan atau melakukan supervisi dan monitoring

117DNPI 5 TAHUN |

BAB-4_DNPI_OK.indd 117 8/1/13 6:56 PM

Walaupun perubahan iklim merupakan isu yang baru, Indonesia telah menjadi leader untuk penanganan perubahan iklim global: 5 tahun DNPI.

Foto: Dokumentasi DNPI

pelaksanaan program dan pemberdayaan sumber

daya manusianya. “Kalau dana yang dialokasikan

untuk DNPI kecil dan sumber daya manusianya

juga sangat terbatas, maka apa yang diinginkan

oleh pemerintah tidak mudah terwujud,” kata

Ketua Kaukus Lingkungan Hidup DPR RI itu.

Penguatan Dasar Hukum Baik Satya Widya Yudha sebagai anggota DPR

RI dan Eddy Pratomo sebagai Dubes RI di Jerman

mengatakan bahwa peran DNPI secara nasional

maupun internasional penting, oleh karenanya

keberadaan DNPI perlu diperkuat, tidak hanya

melalui Peraturan Presiden tapi melalui undang-

undang (UU). “Selagi isu perubahan iklim

masih menjadi isu dunia, maka keberadaan

DNPI untuk merespon isu dunia itu dan

mengimplementasikan ke dalam, akan menjadi

sesuatu yang harus tetap ada dan diperjuangkan.

Perlu suatu keputusan pemerintah dan DPR

untuk memperkuat posisi DNPI. Ini kan masalah

dunia, masalah global,” ujar Satya.

Keberadaan sebuah undang-undang,

merupakan keniscayaan, sebab tantangan

perubahan iklim merupakan program jangka

panjang dan mekanisme politik administrasi

pemerintahan maksimum dua periode

kepemimpinan berdurasi 10 tahun, akan sulit

menerapkan komitmen agenda perubahan

iklim di masa mendatang tanpa dasar

instrumen hukum yang memadai. Oleh sebab

itu, dengan keberadaan UU Perubahan Iklim,

pada hakikatnya diharapkan akan mendorong

tiga hal penting: pertama, sebagai fondasi

kerangka pengaturan penetapan target

jangka panjang dan implementasinya secara

sistemik jangka pendek menuju green economy,

sebagaimana yang didengungkan akhir-akhir

ini. Kedua, sebagai landasan dalam tata kelola

yang menurunkan mekanisme pelembagaan

yang terukur, terlaporkan dan terverifikasi dan

ketiga, mendorong berbagai pihak dalam upaya

memobilisasi potensi sumber daya dalam dan

luar negeri.

118 | DNPI 5 TAHUN

BAB-4_DNPI_OK.indd 118 8/1/13 6:56 PM

119DNPI 5 TAHUN |

BAB V

EPILOG

BAB-5_DNPI_OK.indd 119 8/1/13 7:25 PM

120 | DNPI 5 TAHUN

Kesadaran tentang perubahan iklim, kini boleh jadi telah

menjadi sebuah kepedulian baru

120 | DNPI 5 TAHUN

BAB-5_DNPI_OK.indd 120 8/1/13 7:25 PM

121DNPI 5 TAHUN | 121DNPI 5 TAHUN |

BAB-5_DNPI_OK.indd 121 8/1/13 7:25 PM

122 | DNPI 5 TAHUN

KESADARAN tentang perubahan iklim kini telah menjadi sebuah kepedulian baru, walaupun apabila diteliti secara seksama, kesadaran dan kepedulian tersebut tidaklah merata ke seluruh pelosok ma-syarakat. Banyak yang merasakan perubahan se-bagai sesuatu yang abstrak, disebabkan peristiwa iklim yang terjadi merupakan peristiwa global atau makro. Namun, dampak dari perubahan iklim yang berlangsung perlahan tetapi pasti ini, sudah dibukti-kan secara ilmiah dan penuh kehati-hatian. Bahkan, di berbagai tempat, dampak perubahan iklim sangat terasa nyata dan semakin tinggi frekuensinya, misal-nya berupa perubahan cuaca ekstrem yang tidak menentu, banjir, tanah longsor, perubahan musim, yang menyebabkan munculnya wabah penyakit,

Tidak ada satu masa pun dalam kurun setelah Indonesia merdeka, di mana pemerintah, berbagai komunitas, sektor swasta, akademia, lem-baga swadaya masyarakat bahkan agamawan, menyampaikan him-bauan dan mencanangkan tema-tema gerakan dan aksi mereka untuk lingkungan dan perubahan iklim — serancak sekarang ini. Juga dalam beberapa dekade terakhir ini semakin banyak manusia menyatakan, mereka mencintai planet bumi di mana mereka tinggal.

EPILOG

kesulitan pangan, kendala transportasi dan lain-lain. Perubahan iklim ekstrem adalah peristiwa ti-

dak biasa. Ia bukan fenomena alam, melainkan lebih disebabkan karena ulah manusia yang tidak biasa pula, yakni abai menjaga keserasian dengan alam dan sebaliknya, boros dalam mengekploitasi alam. Upaya mengatasinya merupakan tantangan per-adaban melalui pelaksanaan pembangunan rendah emisi karbon yang berkelanjutan. Karena itulah De-wan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) hadir. Dewan ini dibentuk sebagai jawab an tidak biasa dan sebagai wujud eksistensi bangsa Indonesia yang bermarta-bat dan memiliki kepedulian yang serius dalam me-ng atasi pemanasan global serta perubahan iklim.

DNPI telah hadir selama lima tahun. Ibarat kere-ta api, perannya sebagai koordinator bagaikan loko-motif yang berusaha “menyeret gerbong-gerbong” kepedulian atas perubahan iklim bersama para mitra dan sektor terkait pada rel kepenting an Bangsa Indo-nesia dan untuk masa depan planet bumi yang kita cintai.

Indonesia, sejak merdeka berdiri dengan politik bebas aktif, kini semakin dihormati dan mampu lebih tegak mengangkat dagu karena menjadi anggota

Foto : DNPI

BAB-5_DNPI_OK.indd 122 8/1/13 7:25 PM

123DNPI 5 TAHUN |

DNPI hadir untuk koordinasi dan persiapan posisi Indonesia dalam negosiasi internasional

yang membicarakan perubahan iklim

123DNPI 5 TAHUN |Foto : DNPI

BAB-5_DNPI_OK.indd 123 8/1/13 7:25 PM

124 | DNPI 5 TAHUN

pro-aktif dan berperan penting dalam kancah dialog dan perundingan internasional — bersama bangsa-bangsa lain di planet bumi — menjadi warga dunia yang menyatakan peduli dan sanggup bersinergi mengantisipasi perubahan iklim. DNPI berperan di dalamnya, memberikan sumbangsih pemikiran, ra-sionalitas, filosofi dan kerja nyata.

DNPI dalam koordinasi dan persiapan posisi Indonesia dalam negosiasi internasional perubahan iklim, bukan sekadar mewakili bangsa, tetapi juga mengingatkan bangsa lain: negara-negara maju yang ikut mengubah gaya hidup manusia dan yang menyeret planet bumi pada krisis iklim seperti yang kita rasakan saat ini, perlu pemimpin untuk menu-runkan emisi gas-gas rumah kaca (GRK), mendukung mitigasi dan adaptasi negara berkembang melalui bantuan pendanaan, alih teknogi serta pengem-bangan kapasitas. Kiprah DNPI yang mendapatkan dukungan dari Kementerian dan Lembaga anggota DNPI maupun lembaga dan organisasi lain termasuk LSM, sektor swasta dan perguruan tinggi, diharapkan dapat semakin ditingkatkan di kemudian hari.

Lima tahun tentu jangka yang terlalu singkat untuk memberikan penilaian atas sebuah dewan nasional yang diberi amanah mampu memberikan jawaban nasional bahkan global dalam menanggu-

langi perubahan iklim yang dampaknya luar biasa luas dan serius bagi kelangsungan hidup umat manusia. Sekalipun demikian, DNPI melihat, dalam beberapa tahun terakhir semakin banyak mitra yang peduli untuk mengatasi perubahan iklim, dan hal ini mencerminkan semakin banyak teman dan sektor yang perlu bersinergi serta berkoordinasi. Lebih jauh, dengan menjalankan fungsinya seba-gai koordinator, khususnya dalam negosiasi pe-rubahan iklim, DNPI terlibat aktif atas sejarah dan dinamika kita sebagai bangsa bermartabat untuk ikut serta menjaga planet bumi dari kerusakan dan sebaliknya berupaya mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia.

Sebagai institusi yang menjadi harapan ba-nyak pihak, DNPI memang memerlukan penyem-purnaan di masa depan. Namun, kita dapat belajar bersama dari perjalanan lima tahun DNPI ini, me-metik berbagai hal penting untuk dikembangkan di masa mendatang, dan senantiasa membangun optimisme bahwa di tangan orang-orang yang berkomitmen, kiprah hari ini akan tercatat sebagai sejarah peretas jalan menuju masa depan yang lebih gemilang.

Pada akhirnya upaya mengatasi perubahan iklim sama artinya dengan upaya menegakkan martabat bangsa : Hutan dan sungai di Pekanbaru Foto : DNPI

BAB-5_DNPI_OK.indd 124 8/1/13 7:25 PM

AAU : Assign Amount Unit

ADP : Ad-hoc Working Group on Durban Platform for Enhance Action.

AGF : Advisory Group on Finance

AOSIS : Alliance of Small Island States

APBN : Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara

APL : Areal Penggunaan Lain

AR : The First Assessement Report

AR 4 : Assessment Report No 4

AR 5 : Assessment Report No 5

AWG-KP : Ad hoc Working Group on further commitments for Annex I Parties under the Kyoto

Protocol

AWG-LCA : Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention

BAP : Bali Action Plan

BAU : Bussiness as Usual

BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

BOCM : Bilateral Offset Crediting Mechanism

BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

CAN : Climate Action Network

CBDR : Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities.

CDM : Clean Development Mechanism

CER : Certified Emission Reduction

CIFOR : Center for International Forestry Research

CLS : Carbon Linked Incentive Scheme

CMP : Conference of the Parties serving as the Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol

COP : Conference of the Parties

CSF : Civil Society Forum

CTC-N : Climate Technology Centre and Network

DELRI : Delegasi Republik Indonesia

DNA : Designated National Authority

DNPI : Dewan Nasional Perubahan Iklim

EGTT : Expert Group on Technology Transfer

EIT : Economies in Transition.

ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral

ET : Emission Trading

EU : European Union

EU-ETS : European Union Emission Trading Scheme

FIRM : Facilitating Implementation and Readiness for Mitigation

FVA : Framework for Various Approach

GEF : Global Environment Facility

GRK : Gas Rumah Kaca

DAFTAR SINGKATAN

125DNPI 5 TAHUN |

DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 125 8/1/13 10:12 PM

GWP : Global Warming Potensial

ICCC : Indonesia Climate Change Center

ICCSR : Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap

ICCTF : Indonesia Climate Change Trust Fund

ICSU : International Council of Scientific Union

IPB : Institut Pertanian Bogor

IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change

ITB : Institut Teknologi Bandung

ITL : Intrenational Trade Log

ITS : Institut Teknologi Surabaya

JCM : Joint Credit Machanism

KIARA : Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

KLH : Kementerian Lingkungan Hidup

KNMPB : Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih

KTT : Konferensi Tingkat Tinggi

LCA : Longterm Cooperative Action

LCAPs : Low Carbon Action Plans

LCGs : Low Carbon Growth Strategy

LDC : Least Developed Country

LDCs : Least Developed Countries

LEDS : Low Emission Development Scenario

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

LoA : Letter of Approval

LOI : Letter of Intent

LPBI : Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

LULUCF : Land Use, Land Use Change and Forestry

MDGS : Millennium Development Goals

MRV : Monitoring, Reporting and Verification

NAMAC : Nationally Appropriate Mitigation Commitments or Actions of Annex-1 Parties

NAMAs : Nationally Appropriate Mitigation Actions.

NASA : National Aeroautics and Space Administration

Natcom : National Communication

NMM : New Market Mechanism

PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa

PMR : Partnership for Market Readiness

RAD GRK : Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

RAN API : Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim

RAN GRK : Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

RAN MAPI : Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

RBCS : Regenerate Burns Combustion System

REDD : Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation

REDD+ : Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus

126 | DNPI 5 TAHUN

DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 126 8/1/13 10:12 PM

REL : Reference Emission Level

RIL : Reduce Impact Logging

RKTN : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional

RL : Reference Level

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Satgas REDD+ : Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+

SBI : Subsidiary Body for Implementation.

SBSTA : Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice

SFM : Sustainable Forest Management

SIDS : Small Island Developing States

SIGN : Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional

SIS : Safeguard Information System

SKN : Skema Karbon Nusantara

SMF : Sustainable Management of Forest

TAPs : Technology Action Plans

TEC : Technology Executive Committee

TNAs : Technological Need Assessments

TWN : Third World Network

UGM : Universitas Gajah Mada

UKAID : United Kingdom Agency for International Development

UKM : Usaha Kecil dan Menengah

UKP4 : Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan.

UNCCD : United Nations Convention to Combat Desertification

UNCED : United Nations Conference on Environmental Development.

UNEP : United Nations Environment Programme

UNFCC : United Nations Framework Convention on Climate Change

UNFPA : United Nations Population Fund

WG : Work Group

WMO : World Meteorological Organization

127DNPI 5 TAHUN |

DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 127 8/1/13 10:12 PM

Environment and Development.

rev 3 8.indd 43 8/2/13 10:09:07 AM

Bappenas. 2010. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-PE GRK). Bappenas. Jakarta.

Bappenas-GTZ, 2010: Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Bappenas-GTZ, Jakarta.

Boer, R. 2009. “Potensi Pembangunan Bersih (MPB) di Indonesia.” Presentasi disampaikan pada Diskusi Panel Kegiatan

MPB Kehutanan Indonesia, Bogor 23 Juni 2010. Kerjasama antara Dewan Nasional Perubahan Iklim,

Kementreian Kehutanan, dan International Finance Institution (IFC).

[DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2010. Emissions, abatement and carbon stock of Indonesia’s forests and peat-

lands. Tidak dipublikasikan.

[DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2011. Penyusunan Informasi Tematik Untuk Mengantisipasi Dampak

Perubahan Iklim Terhadap Isu Prioritas Nasional Bidang Pangan,Kesehatan, Dan Fenomena Iklim Ekstrim.

Gore, Albert. 2011. Our Choice: Rencana untuk Memecahkan Krisis Iklim. (Terjemahan: P Handono Hadi). Kanisius

Jakarta. 446 halaman.

Huelsenbeck, M. 2012, Ocean-Based Food Security Threatened in a High CO2 World : A Ranking of Nations’ Vulnerability to

Climate Change and Ocean Acidification. OCEANA.

[IPCC ] Intergovermental Panel on Climate Change. 2007. Assessement Report Fourth (AR4).http://www.ipcc.ch/

publications_and_data/publications_ipcc_fourth_assessment_report_synthesis_report.htm ( diakses 20

Mei 2013)

[IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change .2003. Good Practice Guidance for Land Use,Land-Use Change

and Forestry. IPCC- National Greenhouse Gas Inventories Programme (NGGIP) The Institute for Global

Environmental Strategies (IGES). http://www.ipcc-nggip.iges.or.jp/public/gpglulucf/gpglulucf_contents.html

(diakses 14 Juni 2013)

Met-Office. 2011. Climate: Observations, projections and impacts – Indonesia, Met-Office, UK. http://www.metoffice.

gov.uk/media/pdf/8/f/Indonesia.pdf (diakses 17 Juni 2013)

Murdiyarso, D. 2010. Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi ke Meja Perundingan. Prisma. Vol 29 (2) 23. LP3ES.

Jakarta

Nugroho, W. 2011. Rachmat Witoelar dan Perubahan Iklim. Penerbit Kompas. Jakarta.

[KLH ] Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Indonesia Contry Report: Climate Variability and Climate Change, and

Their Implication . Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim di Malang Raya. KLH-GIZ-

AusAID.

Stern,N.H. 2007. The Economic of Climate Change :The Stern Review. Cambrigde University Press.

http://www.hm-treasury.gov.uk/d/Executive_Summary.pdf (diakses 13 Mei 2013)

Timmermann, A. 2001, Changes of ENSO stability due to Greenhouse Warming. Geophysical Research Letters 28 ( 8): 2064-

2066.

Timmermann, A., M. Latif, A. Bacher, J. Oberhuber, E. Roeckner. 1999. Increased El-Niño. Nature. 398: 694-696.

Torrence, C. and G. P. Compo., 1999, A Practical Guide to Wavelet Analysis, Bulletin of the American Meteorological Society,

79, 1:61–78.

Vermeer, M. and S. Rahmstorf. Global sea level linked to global temperature, PNAS, 106, 51, 21527-21532.

Webster, P. J., G. J. Holland, J. A. Curry, and H. R. Chang. 2005. Changes in tropical cyclone number, duration, and intensity

in a warming environment. Science. 309: 1844-1846.

World Bank. 2012. Turn Down the Heat Why 40 Centrigrade Warmer World Must be Avoided. A Report for the World Bank

by the Potsdam Institute for Climate Impact Research and Climate Analytics. http://climatechange.worldbank.

org/sites/default/files/Turn_Down_the_heat_Why_a_4_degree_centrigrade_warmer_world_must_be_

avoided.pdf (diakses 23 Juni 2013)

WEBSITE: http://green.kompasiana.com/iklim/2011/03/27/bogor-kota-yang-tidak-sejuk-lagi-351962.html

http://www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends

http://www.ipcc.ch/ipccreports/1992_assessments_far_overview.pdf.

http://www.cifor.org

DAFTAR PUSTAKA

128 | DNPI 5 TAHUN

DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 128 8/1/13 10:12 PM

0

http: //www.dnpi.go.id

rev 3 8.indd 44 8/2/13 10:09:08 AM

CATATAN SUMBER RUJUKAN BAB 3. KIPRAH DNPI SELAMA LIMA TAHUNBahan-bahan pada bab tiga diolah dan dirangkum dari kontribusi tulisan Kelompok Kerja di DNPI. Adaptasi ditulis oleh Ari

Muhammad; Mitigasi ditulis oleh Farhan Helmy; Komunikasi, Informasi dan Edukasi ditulis oleh Amanda Katili Niode;

Kehutanan dan Alih Guna Lahan ditulis oleh Doddy S. Sukadri; Alih Teknologi ditulis oleh Widiatmini Sih Winanti; Pendanaan

ditulis oleh Suzanty Sitorus; Perdagangan Karbon ditulis oleh Dicky Edwin Hindarto; Negosiasi Internasional ditulis oleh

Muhammad Farid; UKP-PPI dan KaHar DNPI oleh Moekti H. Soejachmoen; Peningkatan Kapasitas ditulis oleh Agus Supangat

ICCC (Indonesia Climate Change Center) ditulis oleh Murni Titi Resdiana

CATATAN SUMBER RUJUKAN BAB 4. TANTANGAN DAN HARAPANDiolah dari hasil wawancara dengan para narasumber dan ditulis kembali oleh Fachruddin M. Mangunjaya, Yani Saloh, Nur R. Fajar,

Farhan Helmy, dan Agus Soetomo.

129DNPI 5 TAHUN |

DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 129 8/1/13 10:12 PM

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Album Peta Informasi Tematik untuk Mengantisipasi Dampak Perubahan

Iklim Terhadap Isu Prioritas Nasional Bidang Pangan, Kesehatan dan Fenomena Iklim Ekstrim. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Profil Perubahan Iklim di Indonesia. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. DNPI bekerjasama dengan

Dana Mitra Lingkungan. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. National Economic, Environment, and Development Studies for Climate

Change – NEEDS (DNPI dan UNFCCC). Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Opsi-opsi Pembangunan Rendah Karbon – Peluang dan Kebijakan

Pengurangan Emisi: Sektor Manufaktur. Kerjasama DNPI, Kementerian Keuangan dan World Bank. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Opsi-opsi Pembangunan Rendah Karbon – Peluang dan Kebijakan

Pengurangan Emisi: Sektor Transportasi. Kerjasama DNPI, Kementerian Keuangan dan World Bank. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Penyusunan Pemetaan Kerentanan Perubahan Iklim Provinsi Sumatera

Utara. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Rekomendasi Langkah Tindak: Pengembangan Measurable, Reportable

and Verifiable (MRV). DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Kurva Biaya (Cost Curve) Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia.

DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Kalimantan Tengah.

DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Strategi Pembangunan Kalimantan Timur yang Berkelanjutan dan

Ramah Lingkungan. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Menciptakan Kesejahteraan Rencah Karbon di Jambi. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Panduan Observasi Perubahan Iklim di Indonesia. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Indonesia’s Technology Needs Assessment for Climate Change Mitigation.

DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Indonesia’s Technology Needs Assessment for Climate Change

Adaptation. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Policy Memo – Economic Incentive Policies for REDD+ in Indonesia:

Findings from OSIRIS Model. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Studi Kebijakan dan Sains Adaptasi. Kerjasama: DNPI, LAPI ITB, UK AID,

British Council. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Kajian Respon Masyarakat terhadap Rencana Aksi Nasional Perubahan

Iklim. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Soul Views on Climate Change. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi serta Inventarisasi Kebijakan

dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pendanaan Adaptasi. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia. DNPI.

Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Bumiku: Pegangan Guru tentang Perubahan Iklim. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Bumiku: Pegangan Siswa tentang Perubahan Iklim. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. DNPI Green Review on REDD+ . DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012.Kajian Kerentanan Perubahan Iklim di Provinsi Kepulauan Riau. DNPI.

Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Indonesia’s Technology Needs Assessment and Technology Action Plans

for Climate Change Mitigation. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Indonesia’s Technology Needs Assessment and Technology Action Plans

for Climate Change Adaptation. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Direktori Data dan Informasi Adaptasi Perubahan Iklim. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Menegosiasikan Pendanaan: Panduan untuk Negosiator Indonesia

mengenai Pendanaan Perubahan Iklim dalam Konteks UNFCCC. DNPI. Jakarta.

PUBLIKASI DNPI 2009-2012

130 | DNPI 5 TAHUN

DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 130 8/1/13 10:12 PM

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Pendanaan Perubahan Iklim melalui Kerjasama Pemerintah-Swasta.

DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Kajian Penelaahan Mengenai Pendanaan Jangka Pendek (Fast-Start

Finance) Perubahan Iklim untuk Indonesia. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Evaluasi dan Pemutakhiran Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim di

Indonesia. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Skema Karbon Nusantara: Persyaratan dan Ketentuan. DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Panduan Pelatihan Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko

Bencana: “Mengintegrasikan Kemampuan Masyarakat Dalam Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan

Risiko Bencana”. LPBI NU, WWF-Indonesia, DNPI. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Kajian Awal Penyusunan Kelembagaan MRV: Pilihan-pilihan yang

Memungkinkan untuk Indonesia Berdasarkan Pengalaman Internasional Kerjasama. DNPI, JICA. Jakarta

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Land-Use and Land Use Change Dynamics in Kalimantan, Indonesia

(1990-2012). DNPI, JICA. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Low Carbon Emission Development Strategy in Indonesia: Energy Sector.

DNPI, JICA. Jakarta.

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Policy Memo: Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia.

DNPI, ICCC. Jakarta

Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Population Dynamics and Climate Change in Indonesia: Mobilizing for a

Sustainable Future. Kerjasama UNFPA Indonesia, DNPI. Jakarta.

PUBLIKASI NON-MATERI (FILM) DNPITahun 2009 • Lakukan Sekarang Juga

Tahun 2010 • Perubahan Iklim di Halaman Kita

Tahun 2011• Bumiku

Tahun 2012 • Senandung Bumi

131DNPI 5 TAHUN |

DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 131 8/1/13 10:12 PM

AGUS PURNOMOSTAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHAN IKLIM, KEPALA SEKRETARIAT DNPI DAN SEKRETARIS SATGAS PERSIAPAN KELEMBAGAAN REDD+Agus Purnomo, atau akrab dipanggil Pungki, pada bulan Mei 2010, ditugaskan melakukan negosiasi kerja sama Indonesia dengan Norwegia dan berhasil memperoleh komitmen pendanaan sebesar satu miliar dollar AS.

RACHMAT WITOELAR UTUSAN KHUSUS PRESIDEN INDONESIA UNTUK PERUBAHAN IKLIM DAN KETUA HARIAN DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM INDONESIA. PRESIDEN COP 13/CMP 3 DI BALI TAHUN 2007 DAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP (2004-2009)Pernah ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Rusia (1993-1997), setelah sebelumnya memiliki masa jabatan yang panjang sebagai anggota DPR RI (1971-1993). Ia menerima Gelar Kehormatan Profesor dalam Pengelolaan Lingkungan dari Griffith University, Australia, 20 Maret 2008.

TIM KERJA PENYUSUN BUKU

AMANDA KATILI NIODEKOORDINATOR DIVISI KOMUNIKASI, INFORMASI & EDUKASI DNPIAktif dalam organisasi internasional sebagai Manajer di The Climate Reality Project Indonesia, bagian dari Al Gore’s Climate Change Leadership Programme yang bertujuan untuk mendidik masyarakat umum tentang dampak perubahan iklim serta solusinya. Ia merupakan National Focal Point & UNFCCC untuk pendidikan, pelatihan dan penyadaran masyarakat.

MURNI TITI RESDIANAKOORDINATOR DIVISI ADMINISTRASI UMUM DNPIIa dipercayai menangani kegiatan-kegiatan administrasi di DNPI, mulai dari koordinasi internal hingga pengembangan program dan kerja sama luar negeri. Selain itu, Titi juga dikenal sebagai ahli program Cleaner Production mengenai perubahan iklim.

AGUS TAGORKOORDINATOR DIVISI PEMANTAUAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN KEPUTUSAN

DEWAN DNPIPernah menjadi Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup, anggota MPR/DPR RI dan anggota KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Ia juga dikenal sebagai tokoh Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ( PRSSNI)

132 | DNPI 5 TAHUN

TKPB_DNPI_OK.indd 132 8/1/13 7:19 PM

program, termasuk pengembangan program kerja. Disamping itu, ia juga bertanggung-jawab mengkoordinasikan kerja sama luar negeri.

DICKY EDWIN HINDARTOKOORDINATOR DIVISI MEKANISME PERDAGANGAN KARBONBerbekal pengalaman lebih dari 12 tahun di bidang manajemen energi, pengembangan kebijakan energi, dan konservasi energi serta energi terbarukan, Dicky kemudian diberi tanggung jawab untuk mengembangkan skema perdagangan karbon di DNPI.

AGUS SUPANGATKOORDINATOR DIVISI PENINGKATAN KAPASITAS PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DNPIAgus Supangat bertugas mengkaji dan merumuskan kebijakan untuk mitigasi maupun adaptasi berbasis ilmiah, menyiapkan pelatihan kesadaran publik, serta menulis tulisan ilmiah populer, artikel ilmiah, dan novel bertema peningkatan kesadaran perubahan iklim masyarakat.

DODDY S SUKADRISEKRETARIS, LAND USE LAND USE CHANGE AND FORESTRY (LULUCF)Doddy Sukadri berpengalaman lebih dari 25 tahun di bidang kehutanan, maka ia pun dipercaya melakukan perencanaan kehutanan, reforestasi dan rehabilitasi lahan, pengembangan dan riset kebijakan kehutanan, serta strategi perubahan iklim global.

FARHAN HELMYSEKRETARIS KELOMPOK KERJA MITIGASI DNPIMemiliki pengalaman internasional lebih dari 20 tahun di bidang penelitian dan analisis kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan. Saat ini ia menjadi lead negotiator Indonesia untuk perundingan isu mitigasi di forum UNFCCC. Keahliannya terfokus pada bidang dinamika spasial dan perubahan tataguna lahan, permodelan ekonomi dan lingkungan (LEDs).

ARI MUHAMMADSEKRETARIS KELOMPOK KERJA ADAPTASI DNPIAri bertugas membantu penguatan dan pengarusutamaan adaptasi di Indonesia. Ia merencanakan program adaptasi, aktif menulis artikel tentang kebijakan lingkungan hidup dan adaptasi perubahan iklim serta beberapa penelitian.

MOEKTI HANDAJANI SOEJACHMOEN (KUKI)SEKRETARIS KELOMPOK KERJA NEGOSIASI INTERNATIONAL.Selain itu, ia juga menjadi Asisten Khusus pada Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI). Kuki juga aktif dalam proses negosiasi internasional pengendalian perubahan iklim.

MUHAMMAD FARIDSEKRETARIS KELOMPOK KERJA ALIH GUNA LAHAN DAN KEHUTANAN DNPIFarid memulai karirnya di Conservation International (CI) pada tahun 1999, dan kemudian menekuni bidang REDD+, LULUCF, NAMAs dan Adaptasi sejak tahun 2007.

NUR R. FAJARDEPUTI ASISTEN STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHAN IKLIMIa mempunyai keahlian sebagai penulis sekaligus analis pemberitaan isu perubahan iklim. Nur R Fajar juga tercatat sebagai wartawan pada Kantor Berita Antara Jakarta.

133DNPI 5 TAHUN |

TKPB_DNPI_OK.indd 133 8/1/13 7:19 PM

Focal Point Article 6 unFccc untuk pendidikan, penelitian dan penyadaran masyarakat.

rev 3 8.indd 46 8/2/13 10:21:30 AM

AGUS PURNOMOSTAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHANIKLIM, KEPALA SEKRETARIAT DNPI DANSEKRETARIS SATGAS PERSIAPAN KELEMBAGAANREDD+Agus Purnomo, atau akrab dipanggil Pungki,pada bulan Mei 2010, ditugaskan melakukan negosiasi kerja sama Indonesia dengan Norwegia dan berhasil memperoleh komitmen pendanaan sebesar satu miliar dollar AS.

RACHMAT WITOELARUTUSAN KHUSUS PRESIDEN INDONESIA UNTUKPERUBAHAN IKLIM DAN KETUA HARIAN DEWANNASIONAL PERUBAHAN IKLIM INDONESIA.PRESIDEN COP 13/CMP 3 DI BALI TAHUN 2007DAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP (2004-2009)Pernah ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Rusia (1993-1997), setelah sebelumnya memiliki masa jabatan yang panjang sebagai anggota DPR RI (1971-1993). Ia menerima Gelar Kehormatan Profesor dalam Pengelolaan Lingkungan dari Griffith University, Australia, 20 Maret 2008.

TIM KERJA PENYUSUN BUKU

AMANDA KATILI NIODEKOORDINATOR DIVISIKOMUNIKASI, INFORMASI &EDUKASI DNPIAktif dalam organisasi internasional sebagai Manajer di The Climate Reality Project Indonesia, bagian dari Al Gore’s Climate Change Leadership Programme yang bertujuan untuk mendidik masyarakat umum tentang dampak perubahan iklim serta solusinya.Ia merupakan NationalFocal Point & UNFCCC untuk pendidikan, pelatihan dan penyadaran masyarakat.

MURNI TITI RESDIANAKOORDINATOR DIVISIADMINISTRASI UMUM DNPIIa dipercayai menangani kegiatan-kegiatan administrasi di DNPI, mulai dari koordinasi internal hingga pengembangan program dan kerja sama luar negeri. Selain itu,Titi juga dikenal sebagai ahli program Cleaner Production mengenai perubahan iklim.

AGUS TAGORKOORDINATOR DIVISIPEMANTAUAN DAN EVALUASIPELAKSANAAN KEPUTUSAN

DEWAN DNPIPernah menjadi Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup,anggota MPR/DPR RI dan anggota KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Ia juga dikenal sebagai tokoh Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ( PRSSNI)

132 | DNPI 5 TAHUN

TKPB_DNPI_OK.indd 132 8/1/13 7:19 PM

DICKY EDWIN HINDARTOKOORDINATOR DIVISI MEKANISME PERDAGANGAN KARBONBerbekal pengalaman lebih dari 12 tahun di bidang manajemen energi, pengembangan kebijakan energi, dan konservasi energi serta energi terbarukan, Dicky kemudian diberi tanggung jawab untuk mengembangkan skema perdagangan karbon di DNPI.

AGUS SUPANGATKOORDINATOR DIVISI PENINGKATAN KAPASITAS PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DNPIAgus Supangat bertugas mengkaji dan merumuskan kebijakan untuk mitigasi maupun adaptasi berbasis ilmiah, menyiapkan pelatihan kesadaran publik, serta menulis tulisan ilmiah populer, artikel ilmiah, dan novel bertema peningkatan kesadaran perubahan iklim masyarakat.

DODDY S SUKADRISEKRETARIS, LAND USE LAND USE CHANGE AND FORESTRY (LULUCF)Doddy Sukadri berpengalaman lebih dari 25 tahun di bidang kehutanan, maka ia pun dipercaya melakukan perencanaan kehutanan, reforestasi dan rehabilitasi lahan, pengembangan dan riset kebijakan kehutanan, serta strategi perubahan iklim global.

FARHAN HELMYSEKRETARIS KELOMPOK KERJA MITIGASI DNPIMemiliki pengalaman internasional lebih dari 20 tahun di bidang penelitian dan analisis kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan. Saat ini ia menjadi lead negotiator Indonesia untuk perundingan isu mitigasi di forum UNFCCC. Keahliannya terfokus pada bidang dinamika spasial dan perubahan tataguna lahan, permodelan ekonomi dan lingkungan (LEDs).

ARI MUHAMMADSEKRETARIS KELOMPOK KERJA ADAPTASI DNPIAri bertugas membantu penguatan dan pengarusutamaan adaptasi di Indonesia. Ia merencanakan program adaptasi, aktif menulis artikel tentang kebijakan lingkungan hidup dan adaptasi perubahan iklim serta beberapa penelitian.

MOEKTI HANDAJANI SOEJACHMOEN (KUKI)SEKRETARIS KELOMPOK KERJA NEGOSIASI INTERNATIONAL.Selain itu, ia juga menjadi Asisten Khusus pada Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI). Kuki juga aktif dalam proses negosiasi internasional pengendalian perubahan iklim.

MUHAMMAD FARIDSEKRETARIS KELOMPOK KERJA ALIH GUNA LAHAN DAN KEHUTANAN DNPIFarid memulai karirnya di Conservation International (CI) pada tahun 1999, dan kemudian menekuni bidang REDD+, LULUCF, NAMAs dan Adaptasi sejak tahun 2007.

NUR R. FAJARDEPUTI ASISTEN STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHAN IKLIMIa mempunyai keahlian sebagai penulis sekaligus analis pemberitaan isu perubahan iklim. Nur R Fajar juga tercatat sebagai wartawan pada Kantor Berita Antara Jakarta.

133DNPI 5 TAHUN |

TKPB_DNPI_OK.indd 133 8/1/13 7:19 PM

Penasehat Bidang PemBangU nan Rendahemisi KaRBon

DICKY EDWINHINDARTOKOORDINATORDIVISI MEKANISMEPERDAGANGANKARBONBerbekal pengalaman lebih dari 12 tahun di bidang manajemen energi,pengembangan kebijakan energi, dan konservasi energi serta energi terbarukan,Dicky kemudian diberi tanggung jawab untuk mengembangkan skema perdagangan karbon di DNPI.

AGUS SUPANGATKOORDINATORDIVISI PENINGKATANKAPASITAS PENELITIANDAN PENGEMBANGANDNPIAgus Supangat bertugas mengkaji dan merumuskan kebijakan untuk mitigasi maupun adaptasi berbasis ilmiah, menyiapkan pelatihan kesadaran publik, serta menulis tulisan ilmiah populer, artikel ilmiah, dan novel bertema peningkatan kesadaran perubahan iklim masyarakat.

DODDY SSUKADRISEKRETARIS, LAND USELAND USE CHANGE

(LULUCF)Doddy Sukadri berpengalaman lebih dari 25 tahun di bidang kehutanan, maka ia pun dipercaya melakukan perencanaan kehutanan, reforestasi dan rehabilitasi lahan, pengembangan dan riset kebijakan kehutanan, serta strategi perubahan iklim global.

FARHAN HELMYSEKRETARISKELOMPOK KERJAMITIGASI DNPIMemiliki pengalaman internasional lebih dari 20 tahun di bidang penelitian dan analisis kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan.Saat ini ia menjadi lead negotiator Indonesiauntuk perundingan isu mitigasi di forum UNFCCC. Keahliannya terfokus pada bidang dinamika spasial dan perubahan tataguna lahan, permodelan ekonomi dan lingkungan (LEDs).

ARI MUHAMMADSEKRETARISKELOMPOK KERJAADAPTASI DNPIAri bertugas membantu penguatan dan pengarusutamaan adaptasi di Indonesia.Ia merencanakan program adaptasi, aktif menulis artikel tentang kebijakan lingkungan hidup dan adaptasi perubahan iklim serta beberapa penelitian.

MOEKTIHANDAJANISOEJACHMOEN(KUKI)SEKRETARISKELOMPOK KERJANEGOSIASIINTERNATIONAL.Selain itu, ia juga menjadi Asisten Khusus pada Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI). Kuki juga aktif dalam proses negosiasi internasional pengendalian perubahan iklim.

MUHAMMADFARIDSEKRETARISKELOMPOK KERJAALIH GUNA LAHAN DANKEHUTANAN DNPIFarid memulai karirnya di Conservation International (CI) pada tahun 1999, dan kemudian menekuni bidang REDD+,LULUCF, NAMAs dan Adaptasi sejak tahun 2007.

NUR R. FAJARDEPUTI ASISTEN STAFKHUSUS PRESIDENBIDANG PERUBAHANIKLIMIa mempunyai keahlian sebagai penulis sekaligus analis pemberitaan isu perubahan iklim. Nur R Fajar juga tercatat sebagai wartawan pada Kantor Berita Antara Jakarta.

133DNPI 5 TAHUN |

TKPB_DNPI_OK.indd 133 8/1/13 7:19 PM

.

rev 3 8.indd 47 8/2/13 10:21:33 AM

TIM KERJA PENYUSUN BUKU

SUZANTY SITORUSSEKRETARIS KELOMPOK KERJA PENDANAAN DNPISelain mendukung tugas Pokja Pendanaan dalam urusan koordinasi pendanaan perubahan iklim di dalam negeri, ia juga mewakili Indonesia dalam berbagai pertemuan dan perundingan internasional.

AGUS SOETOMO Penulis, editor, dan konsultan penerbit untuk berbagai jenis media maupun publikasi.

JANNATA GIWANGKARA Staf Divisi Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Keputusan Dewan (PEPKD) di DNPI, dengan spesialis bidang cuaca dan iklim, analisis lingkungan hidup, penginderaan jauh dan teknologi informasi.

WIDIATMINI SIH WINANTISEKRETARIS KELOMPOK KERJA ALIH TEKNOLOGI DNPIBidang keahlian yang ditekuni di antaranya adalah teknologi rendah karbon, alih teknologi untuk perubahan iklim, teknologi produksi bersih, efisiensi energi, dan teknologi ramah lingkungan.

GITA FARAKonsultan publikasi media dan event organizer.

M. RIDWAN SOLEHStaf Divisi Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Keputusan Dewan (PEPKD) di DNPI, khususnya menangani berbagai hal teknis administrasi, kegiatan lapangan dan dokumentasi fotografi.

YANI SALOHASISTEN STAF KHUSUS PRESIDEN RI BIDANG PERUBAHAN IKLIM

ADECA STUDIOKelompok desainer grafis profesional untuk menangani publikasi dan promosi melalui media

FACHRUDDIN MAJERI MANGUNJAYA Dosen di Fakultas Biologi Universitas Nasional dan juga aktivis yang bergerak di bidang perubahan iklim dan pelestarian lingkungan, serta penulis sejumlah buku lingkungan.

FRANS TORUANSTAF DIVISI PEMANTAUAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN KEPUTUSAN DEWAN (PEPKD) DNPI. Frans dikenal teliti menangani pekerjaan-pekerjaan teknis administrasi dan perencanaan.

MARIZA HAMIDAktivis lingkungan dan perubahan iklim, serta konsultan public relation.

134 | DNPI 5 TAHUN

TKPB_DNPI_OK.indd 134 8/1/13 7:19 PM

Produser Film dan Konsultan Komunikasi Perubahan Iklim.

rev 3 8.indd 48 8/2/13 10:21:33 AM

Sebagai Forestry, Climate Change and Communications Specialist, bagian dari tim Stafsus, memberi-kan masukan kepada Presiden dan Seskab mengenai isu-isu perubahan iklim lokal dan global, termasuk isu kehutanan.