Upload
others
View
26
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BUDAYA FEE PROYEK PENGADAAN BARANG DAN JASA DI LINGKUNGAN
PEMERINTAH DAERAH
(Studi Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi di Lampung)
Rinaldy Amrullah, S.H.,M.H
Muhammad Habibi
Adam Khafi Ferdinand
Abdul Aziz Rahmat1
Abstrak
Seyogyanya, pengadaan barang dan jasa pemerintah mempunyai peranan penting dalam
pelaksanaan pembangunan nasional untuk peningkatan pelayanan publik melalui perekonomian
nasional dan daerah serta pembangunan berkelanjutan. Namun seiring dengan perkembangan
zaman, budaya korupsi fee proyek mulai merambat dalam proses pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Peran pemerintah dalam mewujudkan peningkatan persaingan usaha dalam proses
pengadaan barang dan jasa pemerintah kerap disalahgunakan oleh berbagai pihak yang
berkepentingan. Bahkan saat ini pemerintah daerah kerap melakukan praktik korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah yang menyebabkan jumlah kerugian negara semakin
meningkat. Seperti halnya di Provinsi Lampung, Kepala Daerah justru menjadi pelaku dalam
budaya fee proyek suap maupun gratifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Lalu dengan
adanya budaya fee proyek yang marak terjadi di Lampung berpotensi merusak prinsip demokrasi
dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar serta kerugian negara pada keuangan daerah.
Budaya seperti ini harus dihapuskan demi mewujudkan melaksanakan pengadaan barang dan
jasa yang lebih transparan, terbuka, dan kompetitif di Provinsi Lampung.
Kata Kunci : Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Budaya Fee
Proyek
1 Penulis merupakan pegiat anti korupsi pada Pusat Kajian Masyarakat Anti Korupsi dan Hak Asasi Manusia
Universitas Lampung
A. PENDAHULUAN
Korupsi telah benar-benar menjadi ancaman yang nyata bagi kelangsungan negeri ini
karena akhir-akhir ini semakin marak terjadi, terlebih dengan mencuatnya pemberitaan terkait
dengan beberapa oknum yang berkiprah di eksekutif, legeslatif dan yudikatif dituding melakukan
penyalahgunaan wewenang, penggelapan serta pemerasan dalam jabatan dan menerima suap.
Seiring dengan itu, muncul juga isu soal kriminalisasi terhadap berbagai penanganan perkara
tindak pidana termasuk korupsi yang dilakukan oleh oknum penegak hukum, makin meramaikan
pemberitaan tentang korupsi diberbagai media cetak dan elektronik serta menambah buramnya
wajah penegakan hukum di negara ini. Lahan korupsi yang sangat subur salah satunya dapat
dicermati dalam lingkup Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Kerugian keuangan negara
yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa sangat besar, hal ini
disebabkan karena dana yang dianggarkan untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah
terbilang sangat besar juga. Berdasarkan Bank Dunia (World Bank), setiap tahunnya lebih dari
10 Milyar Dollar Amerika atau sekitar 85 triliun rupiah anggaran Pemerintah pusat, baik untuk
belanja rutin maupun proyek- proyek pembangunan, dibelanjakan melalui proses pengadaan
barang dan jasa2.
Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dianggap sangat rentan akan adanya
praktek korupsi, hal ini disebabkan setiap tahunnya nilai pengadaan barang dan jasa pemerintah
selalu naik secara signifikan dengan dana yang dianggarkan untuk pengadaan barang dan jasa
cukup besar. Seperi halnya yang terjadi di Lampung belakang ini, catatan Polda Lampung
menunjukkan telah dilakukan penanganan 19 kasus tipikor selama 2016. Dari jumlah itu,
penyelesaian tipikor sebanyak 27 kasus.Angka penyelesaian tersebut termasuk kasus pada
2015.Jumlah ini naik jika dibandingkan tahun lalu yang hanya 17 kasus. Di sisi lain, pada 2016
Kejaksaan Tinggi Lampung melakukan penyidikan terhadap 42 kasus tipikor. Dari angka itu,
tersisa 12 kasus dalam tahap penuntutannya. Dari 42 kasus itu berhasil diputus 30 dari seluruh
perkara di Lampung, termasuk di kabupaten/kota. Sampai tahun 2019, data kasus korupsi yang
masih berjalan maupun yang sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang terdapat 373
perkara tindak pidana korupsi. Sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi yang terjadi di
Lampung dilakukan oleh kepala daerah. Diantaranya kasus Bupati non-aktif Tanggamus
2 Amiruddin, Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 11
Bambang Kurniawan, Bupati non-aktif Lampung Selatan Zainudin Hasan, Bupati nonaktif
Lampung Tengah Mustafa dan Andy Achmad, Bupati nonaktif Lampung Timur Satono dan
Bupati Kabupaten Mesuji Khamami yang masih dalam tahap proses persidangan. Fakta empirik
ini menunjukan bahwa betapa maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi dilakukan di
pemerintahan daerah provinsi Lampung.3
Dua terdakwa suap proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
Kabupaten Mesuji, Sibron Aziz dan Kardinal divonis 2 tahun 3 bulan penjara. Selain hukuman
penjara, Sibron didenda Rp. 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Sedangkan Kardinal didenda
Rp. 100 juta subsider 1 bulan kurungan. Terdakwa Sibron Aziz dan Kardinal secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, perbuatan kedua
terdakwa dipandang sebagai perbuatan berlanjut. Dua terdakwa melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama yang memenuhi pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan Sibron Aziz dan Kardinal memberikan hadiah Rp.
1,580 Miliar atau 12 persen dari nilai proyek kepada Bupati Khamami untuk mendapatkan
proyek infrastuktur di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mesuji. “Fee”
diberikan secara bertahap dalam waktu yang tidak lama. Pertama pada Mei 2018 sebesar Rp. 200
Juta, Kedua pada Agustus 2018 sebesar Rp. 100 Juta, dan terakhir pada Desember 2018 sebesar
Rp. 1,280 Miliar.4
Kasus serupa juga terjadi sebelumnya, Bupati Lampung Selatan non aktif Zainudin Hasan
divonis 12 Tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang pada Kamis 25 April
2019. Terdakwa diwajibkan membayar denda Rp. 500 juta subsider 5 bulan kurungan. Selain itu,
hak politik terdakwa juga dicabut selama tiga tahun setelah selesai menjalani pidana pokoknya.
Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa mengganti kerugian negara sebesar Rp. 66,7
miliar yang harus dibayar paling lama dalam waktu satu bulan setelah putusan ini berkekuatan
hukum tetap. Zainudin Hasan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan
memenuhi unsur pasal yang didakwakan jaksa. Terdakwa secara sah melanggar Pasal 12 huruf a,
12 huruf i, Pasal 12 huruf B besar dan dakwaan TPPU.5
Terpisah, Majelis Hakim menjatuhkan vonis empat tahun penjara terhadap dua terdakwa
perkara korupsi fee proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Lampung
3 Catatan data tindak pidana Korupsi PUSKAMSIKHAM terhadap kasus Korupsi yang terjadi di Lampung. 4 Berita Harian Tribun Lampung “Sibron-Kardinal Sesenggukan Dipeluk Kerabat”, Jumat 14 Juni 2019. 5 Febi Harumanika dalam berita harian Lampung Post, “Zainudin Hasan Divonis 12 Tahun”, Jumat 26 April 2019
Selatan, Agus Bhakti Nugroho dan Anjar Asmara. Selain divonis empat tahun penjara, keduanya
dijatuhi hukuman denda Rp. 200 juta. Dengan vonis ini, berarti sudah ada tiga orang yang
dijatuhi hukuman. Sebelumnya, pengusaha Gilang Ramadhan divonis 2 tahun dan 3 bulan
penjara karena terlibat korupsi fee proyek di Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan. Agus
BN terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan beberapa perbuatan korupsi secara bersama-
sama sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 65 ayat (1) KUHP.6
Untuk diketahui, Agus BN merupakan sosok yang dikenal sebagai orang kepercayaan
Bupati Lampung Selatan yakni Zainuddin Hasan untuk menerima uang setoran fee proyek dari
sejumlah pihak. Diantaranya, dari mantan Kepala Dinas PUPR Lamsel Hermansyah Hamidi,
Kepala Dinas PUPR Lamsel nonaktif Anjar Asmara, dan Kabid Pengairan Dinas PUPR Lamsel
Syahroni. Uang tersebut bersumber dari setoran sejumlah rekanan yang mendapatkan proyek di
Dinas PUPR Lampung Selatan dalam kurun 2016-2018. Dalam hal ini JPU KPK Ali Fikri
merincikan, terdakwa Agus BN pada tahun 2016 menerima uang dari Syahroni sebesar Rp26,073
miliar dan dari Ahmad Bastian sebesar Rp9,6 miliar. Lalu pada tahun 2017, terdakwa Syahroni
kembali menyerahkan uang sebesar Rp23,669 miliar dan Rusman Effendi sebesar Rp5 miliar.
Selanjutnya tahun 2018 dari Anjar Asmara, terdakwa menerima uang sebesar Rp8,4 miliar. Dari
total penerimaan fee proyek, sebagian diserahkan terdakwa kepada Zainudin Hasan (bupati
nonaktif Lampung Selatan) dan sebagian digunakan untuk kepentingan Zainudin Hasan.7
Setahun sebelumnya, Bupati nonaktif Lampung Tengah Mustafa divonis 3 tahun penjara
oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/7/2018). Mustafa
juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, Mustafa
juga dikenai pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dan menduduki jabatan
publik. Pidana tambahan ini berlaku selama 2 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Dalam pertimbangan, hakim menilai perbuatan Mustafa tidak mendukung pemerintah
dan masyarakat yang sedang giat memberantas korupsi. Mustafa terbukti menyuap beberapa
anggota DPRD Lampung Tengah sejumlah Rp 9,6 miliar. Penyuapan itu dilakuan bersama-sama
Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah, Taufik Rahman. Pemberian uang tersebut bertujuan
agar anggota DPRD tersebut memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah
6 Berita Harian Tribun Lampung, “Air Mata Warnai Vonis Fee Proyek Agus-Anjar”, Jumat 29 Maret 2019 7 https://kumparan.com/lampunggeh/kasus-korupsi-lamsel-agus-bn-dan-anjar-asmara-divonis-4-tahun-penjara-
1553771952769042242, diakses pada Sabtu 20 Juli 2019 pukul 17.12 WIB
Kabupaten Lampung Tengah kepada PT Sarana Muti Infrastruktur (Persero) sebesar Rp 300
miliar pada tahun anggaran 2018. Kemudian, agar anggota DPRD menandatangani surat
pernyataan kesediaan Pimpinan DPRD untuk dilakukan pemotongan Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Bagi Hasil Lampung Tengah dalam hal terjadi gagal bayar. Mustafa terbukti
melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55
ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.8
Budaya Fee Proyek dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah di Lampung erat
kaitan dengan proyek infrastruktur pembangunan jalan. Bervariasi, mulai dari memenangkan
rekanan dalam proses tender lelang dengan menjanjikan atau memberikan uang, meminta uang
agar proyek dimenangkan, bahkan dalam perkara tertentu lelang fiktif -seolah-olah mengadakan
lelang tender proyek- kerap dilakukan dengan tujuan proyek tersebut dimiliki oleh pihak-pihak
tertentu.
Berbagai modus operandi fee proyek dalam proses pengadaan barang dan jasa
pemerintah tersbut menandakan bahwa di Provinsi Lampung peran Pemerintah Daerah sangat
signifikan, terlebih fee proyek selalu berhubungan dengan Dinas Pekerjaan Umum dimana Dinas
ini sangat berperan penting dalam kemajuan infrastuktur daerah dimana manfaat
pembangunannya dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Dan perlu diingat bahwa proses
pengadaan barang dan jasa pemerintah bersumber dari APBD, bahkan beberapa Kabupaten di
Lampung pembangunan infrastukturnya menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
bersumber dari APBN. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa memerintahkan bahwa salah satu tujuan pengadaan barang dan jasa pemerintah
dilaksanakan untuk mendorong pemerataan ekonomi dan mendorong pengadaan berkelanjutan
serta meningkatkan peran serta usaha mikro, usaha kecil menengah, dan usaha menegah.
Budaya fee proyek hendaknya terus dicegah dan diberantas. Tugas besar tersebut tidak
hanya dipikul oleh Komisi Pemberantasan Korupsi semata, peran serta aktif masyarakat,
Pemerintahan Daerah dan Pusat serta pelaku bisnis juga harus memiliki satu visi yang sama
bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan
8 https://nasional.kompas.com/read/2018/07/23/21032661/bupati-lampung-tengah-divonis-3-tahun-penjara-hak-
politiknya-dicabut , diakses pada Sabtu 20 Juli 2019 Pukul 17.20 WIB
atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. setiap orang yang berusaha di
Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak
menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak
terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap
perjanjian-perjanjian internasional sebagaimana amanat negara dalam mewujudkan larangan
persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dengan demikian, proses pengadaan barang dan jasa pemerintah tanpa budaya fee proyek
membutuhkan beberapa prasyarat, misalnya kesiapan pemerintah daerah, penegak hukum,
pelaku bisnis (korporasi) serta masyarakat untuk turut mewujudkan persaingan sehat dalam
proses pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagiamana diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Tulisan ini akan memaparkan secara umum kasus fee proyek di
Lampung yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang serta mengupas
bagaimanakah budaya fee proyek dalam kasus gratifikasi proyek pengadaan barang dan jasa
Dinas PUPR Bupati non aktif Kabupaten Mesuji?
B. PEMBAHASAN
B1. Kasus Fee Proyek di Lingkungan Pemerintah Daerah Lampung
Media massa hampir setiap minggu mengabarkan berita Kepala Daerah (gubernur,
bupati, walikota, wakil-wakil rakyat, pejabat-pejabat pemerintah daerah) terkena OTT (operasi
tangkap tangan) oleh KPK. Dalam pelajaran hukum; tertangkap tangan dalam situasi “sedang
menerima atau sedang memegang, atau beberapa saat setelah menerima, atau beberapa saat
sesuatu barang atau benda yang didapat secara melawan hukum”. Dalam ungkapan bahasa
Indonesia, tertangkap tangan disebut juga “tertangkap basah”. KPK secara resmi menggunakan
istilah “operasi tangkap tangan atau OTT”. Dalam hal tertangkap tangan, semua unsure pidana
telah terpenuhi (tindak pidana telah selesai dilakukan). Sedangkan istilah “percobaan”,
menunjukan belum semua unsure pidana terpenuhi (tindak pidana belum selesai). Tidak selesai
karena suatu paksaan yang datang dari luar, kepergok sedang melakukan. Percobaan acapkali
juga diberi pengertian sebagai “permulaan melakukan tindak pidana”.9
9 Pendahuluan Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXXIII No. 393 Agustus 2018. Hlm 3
Jumlah kepala daerah yang terkena OTT hampir puluhan. Belum lagi pejabat
pemerintahan daerahyang lain seperti pimpinan dan anggota DPRD atau pejabat eksekutif daerah
lainnya. Korupsi tidak hanya terjadi pada tataran pemerintahan daearah, melainkan hampir pada
semua segmen penyelenggara pemerintahan negara maupun non pemerintahan yang bersentuhan
dengan keuangan negara yang dalam hal ini adalah Badan Usaha Milik Negara/Daerah serta para
Pengusaha/Pelaku Bisnis. Ada kemungkinan, keseluruhan jumlah pengembalian kerugian negara
yang ditetapkan di pengadilan masih terlalu kecil dari jumlah kerugiaan riil negara. Apalagi
kalau dikaitkan dengan manfaat uang tersebut bagi public kalau tidak diselewengkan atau
dikorupsi. Ada beberapa bentuk korupsi, antara lain mempertinggi harga (mark up), suap,
merendahkan mutu proyek, pengadaan fiktif, gratifikasi (hadiah dengan motif menyuap), dan
lain-lain.10
Korupsi telah terjadi sejak lama. Begitu pula upaya memberantas korupsi telah dijalankan
sejak lama. Sebelum Orde Lama (sebelum 1959), telah ada menteri yang diadili dan dipidana
karena dakwaan korupsi. Pejabat-pejabat Orde Lama yang diadili di masa awal Orde Baru atas
dakwaan korupsi. Begitu pula di masa Orde Baru ada yang dipidana korupsi. Ketika menghadapi
makin meluasnya korupsi, Pemerintah pernah membentuk Pranata yang dinamakan”PARAN”
yang dipimpin alm. Jenderal AH Nasution. Pernah juga dibentuk “Panitia 4” yang dipimpin alm.
Bung Hatta. Dimasa Orde Baru, dengan sistem politik dan kenegaraan sentralistik-
otoritarianisme memungkinkan sekali praktik korupsi terjadi pada semua tingkatan. Tetapi pada
saat itu, kita tidak (belum) mendengar misalya, ada “negosiasi yang harus dibayar” kepada
anggota DPR atau DPRD untuk memperoleh persetujuan anggaran. Dimasa saat ini atau dinekal
dengan istilah “zaman now”, ditemuka praktik-praktik Kepala Daerah harus membayar anggota
DPRD untuk memperoleh persetujuan anggaran. Begitu pula yang terjadi di DPR. Suatu kreasi
yang menajubkan karena, suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan (misue of power) yang
dihadapkan kepada (antar) pemerintah sendiri.11
Seiring dengan perkembangan konsep “negara pelayan” (the service state), fungsi
pelayanan publik makin mengemuka (dipandang sebagai fungsi utama pemerintahan). Sejalan
pula dengan perekembangan konsep negara kesejahteraan (the walfare state) dan ajaran
“demokrasi materiil” atau “demokrasi sosial”, fungsi pelayanan publik makin dimaknai sebagai
10 Bagir Manan, “Otonomi Daerah dan Kesejahteraan Rakyat”, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXXIII
No. 393 Agustus 2018, hlm 8 11 Ibid, Hlm 9
fungsi kesejahteraan. Tugas utama negara -pemerintahan- adalah mewujdukan kesejahteraan
rakyat (kesejahteraan umum) sebesar-besarnya kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat. Salah satu konsekuensi mengedepankan fungsi pelayanan (public service) adalah
“pengendoran fungsi politik pemerintahan daerah otonomi)”, dan mengedepankan fungsi
pelayanan masyarakat. Fungsi pelayanan semestinya lebih mengedepankan fungsi manajerial
atau fungsi pengelolaan yang bekaitan dengan memenuhi hajat hidup rakyat banyak. Di semua
Pemerintahan Daerah (otonom) di berbagai negara, urusan otonom (urusan rumah tangga daerah)
ada di bidang pelayanan publik yang bertalian dengan kesejahteraan termasuk kenyamanan
masyarakat. Kepemimpinan dan penyelenggara pemerintahan daerah (otonomi), semestinya
tidaklah terutama ditekankan pada kemampuan dan dukungan politik, tetapi harus memenuhi
syarat-syarat penyelenggara pemerintahan yang baik seperti: kemampuan teknokratik dan
manajerial, tidak mementingkan diri sendiri (termasuk kepentingan sanak keluarga, sahabat)
memiliki integritas, objektif, bertanggung jawab, terbuka, jujur, dan memiliki kepemimpinan
yang baik (good leadership). Yang paling tentulah memiliki wawasan, pengetahuan dan
keterampilan yang cukup untuk melakukan pemerintahan yang baik.12
Pada tahun 2018 ICW menemukan ada sebanyak 454 kasus korupsi yang ditangani oleh
penegak hukum. Total tersangka yang ditetapkan yakni sebanyak 1.087 orang dengan berbagai
latar belakang profesi. Jumlah kerugian negara yang berhasil ditemukan oleh penegak hukum
sebesar Rp 5,6 triliun, jumlah nilai suap sebesar Rp 134,7 miliar, jumlah pungutan liar sebesar
Rp 6,7 miliar, dan jumlah pencucian uang sebesar Rp 91 miliar. Dari hasil temuan umum yang
didapatkan, ICW mencoba untuk melakukan pemetaan terhadap sejumlah variabel, antara lain:
modus, sektor, daerah, lembaga, aktor, dan kinerja penegak hukum. Adapun variabel lainnya
seperti korupsi berdasarkan sumber anggaran dan korupsi berdasarkan kegiatan -pengadaan dan
non pengadaan-. ICW melakukan pemetaan kasus dugaan korupsi berdasarkan modus yang
dilakukan. Ada sebanyak 13 modus yang ICW klaster kerap digunakan oleh tersangka korupsi.
Modusnya antara lain: mark up, penyalahgunaan anggaran, penggelapan, laporan fiktif, suap,
kegiatan/proyek fiktif, pungutan liar, penyalahgunaan wewenang, penyunatan/pemotongan,
gratifikasi, pemerasan, anggaran ganda dan mark down.
Pemetaan modus dapat digunakan sebagai upaya untuk melakukan pencegahan dalam
konteks perbaikan sistem. Modus yang paling banyak dilakukan oleh tersangka korupsi yakni
12 Ibid, hlm 17
mark up. Ada sebanyak 76 kasus korupsi yang melibatkan 185 orang tersangka. Artinya per
kasus melibatkan 2 (dua) orang tersangka korupsi. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan
akibat melakukan penggelembungan harga sebesar Rp541 miliar. Rata-rata nilai kerugian negara
yang timbul akibat kasus dugaan korupsi bermodus mark up sebesar Rp 2,9 miliar per kasus.13
ICW melakukan pemetaan kasus dugaan korupsi berdasarkan daerah yang rawan terjadi
tindak pidana korupsi. Ada sebanyak 35 daerah yang ICW pantau pada tingkat provinsi dan
nasional. Makna “nasional” dalam pemantauan yang dilakukan berarti bahwa kasus dugaan
korupsi yang terjadi berada pada wilayah Kementerian. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
melihat tingkat kerentanan suatu daerah dalam melakukan tindak pidana korupsi. Namun
pemetaan ini TIDAK menjadikan dasar bahwa suatu daerah paling korup. Sebab ada 2 (dua)
indikator yang menyebabkan tingginya kasus dugaan korupsi di daerah. Pertama, tingginya
partisipasi masyarakat dalam melaporkan kasus dugaan korupsi ke penegak hukum. Kedua,
aktifnya penegak hukum dalam melakukan penindakan kasus korupsi. Sepanjang tahun 2018,
Provinsi Lampung berada pada urutan 10 besar pemetaan kasus korupsi berdasarkan provinsi
dengan 15 jumlah kasus, 9 miliar kerugian negara, dan 900 juta nilai suap.14
Pemerintah daerah menjadi lembaga yang paling dominan terjadinya korupsi. Sebanyak
170 kasus korupsi yang terjadi di pemerintah kabupaten dengan nilai kerugian negara sebesar Rp
833 miliar. Jumlah aktor yang ditetapkan sebagai tersangka sebanyak 390 orang. Hal ini
menggambarkan bahwa korupsi telah terjadi di berbagai lini sistem pemerintahan. Apalagi
banyaknya korupsi yang terjadi di daerah memperlihatkan bahwa otonomi daerah masih menjadi
persoalan dengan munculnya aktor baru. Gejala ini dapat berpotensi melahirkan kebijakan yang
koruptif sehingga pejabat di daerah dapat mencuri uang negara dengan adanya aturan.
Penegak hukum pada tahun 2018 telah menetapan tersangka sebanyak 1.087 orang yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi. Aktor korupsi didominasi oleh ASN. Selain itu ada
juga aktor yang memiliki wewenang untuk menyusun kebijakan seperti kepala daerah, anggota
legislatif, hingga menteri yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penegak hukum. Jumlah ASN
yang terjerat kasus korupsi ada sekitar 34,5 persen atau sebanyak 375 orang. Selain itu, aktor
yang dari kalangan swasta menjadi peringkat kedua aktor yang terjerat kasus dugaan korupsi.
Ada sebanyak 21,6 persen atau sebanyak 235 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
13 https://antikorupsi.org/sites/default/files/laporan_tren_penindakan_kasus_korupsi_2018.pdf , diakses pada Sabtu
20 Juli 2019 Pukul 20.11 WIB 14 Ibid, hlm 13
Kepala daerah yang terjerat kasus korupsi yakni, Gubernur (2 orang), Wali Kota dan Wakil Wali
Kota (7 orang), dan Bupati (28 orang).15 Pada kurun waktu 2017 hingga pertengahan 2019, Pusat
Kajian Masyarakat Anti Korupsi dan Hak Asasi Manusia Universitas Lampung juga mencatat
ada 3 Kepala Daerah yang telah menjadi terpidana kasus dengan klasifikasi yang sama, yaitu
pengadaan barang dan jasa tetapi perbuatan yang berbeda.
Sementara itu, Provinsi Lampung saat ini tergolong masuk kedalam zona merah
pengadaan barang dan jasa (PBJ). Menurut Kepala Satgas III Unit Kordinasi dan Supervisi
Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dian Patria mengatakan dalam pengadaan
barang dan jasa Provinsi Lampung sudah menggunakan sistem layanan online seperti di daerah
lainnya, tetapi dalam prosesnya masih banyak intervensi. Institusi bisa saja baik menjalankan
prosedur pengadaan barang dan jasa, tetapi praktik di lapangan belum banyak mengalami
perubahan. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya laporan yang masuk ke KPK soal
permainan pengadaan barang dan jasa di Lampung baik dilakukan kepada orang (ASN) ataupun
sistem, terlebih dinas yang sering mendapatkan intervensi terjadi di Dinas Pekerjaan Umum.
Yang lebih parah adalah peretasan website layanan pengadaan secara elektronik (LPSE). Di
Lampung juga banyak terjadi kasus operasi tangkap tangan (OTT) seperti di Lampung Tengah,
Lampung Selatan, Mesuji serta Tanggamus terkait pengadaan barang dan jasa. Berdasar pada
laporan yang diterima, angka tertinggi laporan pengaduan pengadaan barang dan jasa pada angka
fisik. Lalu KPK pun kini bersama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(LKPP) mendorong perbaikan tata kelola guna meminimalisasi siapa yang mencoba masuk
dalam website LPSE. Terakhir laporan masuk pun berasal dari Lampung Timur dan Tulang
Bawang Barat bahwa adanya peretasan sistem LPSE dan tim KPK sudah turun lapangan serta
memeriksa dugaan peretasan tersebut.16
Mengulas kembali kasus yang pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, mantan Bupati
Tanggamus Bambang Kurniawan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP dengan melakukan perbuatan gratifikasi dengan memberikan uang sejumlah Rp. 943 juta
kepada beberapa anggota DPRD Tanggamus terkait pembahasan APBD Dinas PUPR 2016.
15 Ibid, hlm 18 16 Berita Harian Radar Lampung “Lampung Masuk Zona Merah KPK”, Rabu 2 Juli 2019
Tahun 2018, mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa dinyatakan terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP dengan melakukan perbuatan
menyuap beberapa anggota DPRD Lampung Tengah sejumlah Rp 9,6 miliar. Penyuapan itu
dilakuan bersama-sama Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah, Taufik Rahman. Pemberian
uang tersebut bertujuan agar anggota DPRD tersebut memberikan persetujuan terhadap rencana
pinjaman daerah Kabupaten Lampung Tengah kepada PT Sarana Muti Infrastruktur (Persero)
sebesar Rp 300 miliar pada tahun anggaran 2018.
Tahun 2019, mantan Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan dinyatakan terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 12 huruf a, 12 huruf i, Pasal 12 huruf B Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan melanggar ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
melakukan perbuatan menerima gratifikasi fee dari rekanan dalam proyek pengadaan di Dinas
PUPR Kabupaten Lampung Selatan.
PUSKAMSIKHAM menilai kurun waktu 2017-2019 setidaknya ada tiga Kepala Daerah
yang telah menjadi terpidana dan satu kepala daerah sedang menjalani persidangan yaitu Bupati
non aktif Mesuji Khamami. Tidak hanya itu, PUSKAMSIKHAM juga mencatat ada beberapa
sektor profesi dalam kurun waktu 2018 hingga pertengahan 2019 yang menjadi terpidana yaitu
Kepala Dinas (2) yaitu Kepala Dinas PUPR Lampung Tengah Taufik Rahman dan Kepala Dinas
PUPR Lampung Selatan Anjar Asmara, Anggota DPRD (1) yaitu Agus Bhakti Nugroho dan
Koporasi (3) yaitu Gilang Ramadhan Lampung Selatan serta Sibron Aziz dan Kardinal. Lalu
Sekretaris Dinas dan satu Korporasi sedang menjalani persidangan. Praktis, Dinas Pekerjaan
Umum menjadi sektor pelanggaran dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan
diimbangi PT dan CV dari sektor Korporasi di Lampung.
B.2 Budaya Fee Proyek dalam kasus gratifikasi proyek pengadaan barang dan jasa
pemerintah Dinas PUPR Kabupaten Mesuji.
Sementara itu, persidangan Bupati non aktif Mesuji sampai dengan Kamis 18 Juli 2019
masih dalam tahapan pemeriksaan saksi. Dalam dakwaan JPU KPK pada perkara terebut dugaan
penerimaan fee Khamami dari Sibron Aziz total berjumlah 1,58 miliar dengan rincian:
1. Mei 2018 Rp. 200 juta;
2. Agustus 2018 Rp. 100 juta;
3. Desember 2018 Rp. 1,28 miliar.
Dari rekanan yang mengerjakan proyek di bidang Sumber Daya Air (SDA) TA 2018 total
Rp. 850 juta, dengan rincian;
1. Juni-Agustus 2018 Rp. 300 juta;
2. September-Oktober Rp. 50 juta;
3. Oktober-November Rp. 200 juta;
4. November-Desember Rp. 100 juta;
5. Januari 2019 Rp. 200 juta.
Total penerimaan dari Sibron Aziz dan rekanan proyek SDA Rp. 2,430 miliar.
Berdasar pada Dakwaan JPU KPK17, adapun uraian perbuatan terdakwa diantaranya pada
tahun 2018 Sibron Aziz melalui Kardinal mendapatkan plotting proyek pengadaan base sebesar
Rp. 9.2 miliar, sementara Taufik Hidayat (adik Khamami) mendapatkan paket proyek dengan
total nilai Rp. 31,2 miliar. Proyek yang diberikan kepada Taufik Hidayat mulai dari paket
pekerjaan yang bersumber dari DAK tahun 2018 hingga APBD tahun 2018. Jenis pekerjaan
mulai dari peningkatan jalan, pengadaan bahan material, hingga pengadaan tanah urug.
Pengaturan proyek yang memenangkan Taufik Hidayat berawal dari pertemuan di Februari 2018
bertempat di rumah dinas Khamami. Khamami bertemu dengan Wawan Suhendra (sekretaris
dinas/terdakwa) dan Najmul Fikri selaku Kepala Dinas PUPR Mesuji. Khamami meminta list
proyek beserta nama calon rekanan yang akan mengerjakan proyek-proyek di Dinas PUPR
Mesuji yang bersumber dari APBD TA 2018. Wawan Suhendra menyerahkan list kepada
Khamami, lalu Khamami memverifikasi dengan cara menyetujui dan menolak nama-nama calon
rekanan yang diajukan. Nama yang disetujui oleh Khamami yaitu Taufik Hidayat (adik
Khamami/terdakwa) dan Sibron Aziz melalui Kardinal. Paket proyek yang didapat Sibron Aziz
melalui Kardinal, Khamami meminta fee pertama bulan Mei 2018 sebesar Rp. 200 juta.
17 Salinan Dakwaan JPU KPK A.N Terdakwa Khamami
Selanjutnya Khamami meminta uang kepada Wawan Suhendra untuk operasional. Lalu
Wawan Suhendra menghubungi Kardinal. Kardinal lalu meminta uang fee kepada Sibron Aziz
melalui Silvan (staf CV Sibron) yang selanjutnya diserahkan uang Rp. 200 juta pada 28 Mei
2018 dikantor Subanus Group. Pada Agustus 2018, Khamami menyampaikan kepada Wawan
Suhendra memerlukan uang operasional untuk berangkat haji. Seperti sebelumnya, Wawan
Suhendra menyampaikan kepada Kardinal. Menurut Wawan Suhendra, permintaan uang tersebut
akan diperhitungkan sebagai bagian dari komitmen fee pekerjaan Pengadaan Base. Lalu Kardinal
atas persetujuan Sibron memberikan uang sebesar Rp. 100 juta kepada Wawan di depan rumah
sakit Natar Medika Lampung Selatan. Bukan hanya proyek pengadaan base, Sibron Aziz juga
meminta paket pekerjaan yang bersumber dari APBD P 2018 di Dinas PUPR Mesuji. Silvan
mengetahui adanya pengadaan paket-paket pekerjaan melalui website LPSE Mesuji. Silvan atas
persetujuan Sibron memerintahkan Kardinal menemui Wawan Suhendra untuk mendapatkan
paket-paket pekerjaan tersebut. Saat pertemuan Kardinal dan Wawan Suhendra, Wawan
menyampaikan jika Kardinal sudah di-plotting oleh Khamami untuk mendapatkan paket-paket
pekerjaan tersebut dan mengarahkan segera mengajukan penawaran.
Sibron Aziz pada Oktober 2018 kembali memenangkan proyek. Kali ini proyek yang
didapatkan adalah pengadaan bahan material serta pengadaan base dengan total nilai Rp. 6,42
miliar. Atas proyek-proyek yang sudah didapat Sibron melalui Kardinal, Wawan Suhendra
kembali menghubungi Kardinal meminta sisa fee yang belum diserahkan pada Desember 2018.
Pada 23 Januari 2019, Kardinal mendapat persetujuan dari Sibron Aziz untuk memberikan sisa
fee proyek kepada Khamami sebesar Rp. 1,28 miliar. Uang tersebut dibungkus dalam kardus
warna cokelat. Uang tersebut dibawa Kardinal menggunakan mobil Avanza bersama dua orang
kepercayaan Taufik Hidayat yaitu Paying dan Maidarmawan. Mereka menemui Taufik di Planet
Ban Bandar Jaya, Lampung Tengah. Saat di lokasi, Paying bersama Maidarmawan
memindahkan kardus yang berisi uang fee ke bagasi mobil milik Taufik. Saat itu, penyidik KPK
melakukan OTT terhadap Taufik Hidayat. Khamami juga meminta fee proyek di bidang Sumber
Daya Air Dinas PUPR Kabupaten Mesuji TA 2018. Khamami mendapat fee sebesar Rp. 850 juta
dari proyek tersebut. Lalu uang tersebut diserahkan oleh Tasuri (staf PUPR) kepada Wawan
Suhendra dalam lima tahap mulai dari Juni 2018-Januari 2019. Uang fee 850 juta tersebut
diserahkan kepada Khamami Rp. 650 juta dan Rp. 200 juta untuk Wawan Suhendra.
Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Khamami, Taufik Hidayat serta Wawan
Suhendra melanggar ketentuan Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 65
ayat (1) KUHP.18
Dalam agenda pembuktian melalui pemeriksaan saksi pada Kamis 20 Juni 2019, KPK
menghadirkan beberapa saksi diantaranya Kepala Unit Layanan Pengadaan (UPL) Dinas PUPR
Andre Alrendra, Bendahara Pengeluaran Dinas PUPR Sumanto, Kabid Pendidikan Mesuji Yoga
Sailendra, anggota PPK Kabupaten Mesuji Jefri Herlanga, staf PUPR Herli Edison dan staf
honore PUPR Mesuji Mitra Ambarukma. Dalam keterangan, Andre Aleindra mengakui adanya
potongan 20 persen dana administrasi umum di Dinas PUPR. Potongan dana ini digunakan untuk
pendanaan kegiatan Pemkab yang tidak menggunakan biaya. Seperti ada acara kegiatan tahun
baru di backup dari dana tersebut. Andre mengaku lupa saat ditanya terkait nama-nama
pemenang proyek oleh Jaksa Penuntut Umum KPK. Andre juga menerangkan tidak berani
menolak usulan dari Wawan Suhendra karena kedekatannya dengan Khamami, walaupun dirinya
bertugas sebagai Kepala ULP Dinas PUPR. Sedangkan Jefri Herlangga selaku anggota Pokja
PUPR menerangkan bahwa ada sejumlah nama instansi yang mendapatkan proyek, lalu setelah
PT. Jasa Promix milik Sibron Aziz mendapatkan paket proyek, dirinya mendapatkan uang
sebesar Rp. 65 juta dalam pemberian dua tahap, tahap pertama sebesar Rp. 40 juta dan tahap
kedua sebesar Rp. 25 juta yang diberikan oleh Silvan (staf CV Sibron Aziz). Herli Edison
menerengkan sempat dipaksa menerbitkan peserta lelang oleh Yoga Sailendra. Herli sempat
kesulitan dalam menerbitkan lelang proyek tersebut dikarenakan paksaan dan bukan karena
berkas HPS belum diterimanya. Sumanto menerangkan bahwa pencairan dana proyek harus
melalui nota dinas, menurutnya ketentuan seperti itu diatur dalam Peraturan Bupati walaupun
dirinya mengatakan tidak pernah membacanya sama sekali dan tidak tahu apakah Peraturan
Bupati tersebut ada atau tidak.19
Agenda sidang pembuktian berikutnya dilakukan pada Senin 24 Juni 2019. Jaksa
Penuntut Umum KPK menghadirkan empat orang saksi diantaranya Tasuri selaku staf PUPR
Kabupaten Mesuji, Lutfi Mediansyah selaku Kasi Jalan Dinas PUPR Kabupaten Mesuji,
18 Ibid, Salinan Dakwaan Jaksa KPK 19 Fakta Persidangan dalam pemeriksaan saksi An. Terdakwa Khamami, Wawan Suhendra, Taufik Hidayat. Kamis
20 Juni 2019 di Pengadilan Tipikor PN Tanjungkarang.
Nyoman Nobel selaku Kabid Bina Marga Dinas PUPR Kabupaten Mesuji, Made Losi Ravon
selaku anggota Pokja Konstruksi Dinas PUPR Kabupaten Mesuji. Tasuri menerangkan pada saat
itu dihubungi oleh Wawan Suhendra karena ada OTT KPK. Dirinya menerangkan sebelum OTT
Wawan Suhendra memberikan kopelan lis plotting proyek. Kopelan tersebut berbentuk kertas
tulis tangan dan kopelan itu beisi tujuh paket proyek di Sumber Daya Air. Lalu Jaksa KPK
memutarkan rekaman percakapan antara dirinya dan Wawan Suhendra yang pada intinya Wawan
memerintahkan agar membuang kopelan penerimaan uang fee proyek bulan Juli 2018.
Sementara Lutfi Mediansyah menerangkan bahwa dirinya diminta Wawan Suhendra untuk
menanyakan soal fee proyek kepada rekanan Kardinal. Sebelum pengumuman pemenang proyek
dirinya pernah berhubungan dengan Kardinal selaku rekanan. Pada saat itu dirinya dipanggil
keruangan Wawan Suhendra untuk membahas kegiatan 2018. Kemudian Wawan Suhendra
memperlihatkan nama-nama calon rekanan plotting untuk 12 paket proyek yang akan
mengerjakan proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Mesuji, lalu nanti ada yang
menghubungi untuk minta HPS. Lutfi juga menerangkan jika dirinya pernah diperintahkan
Wawan Suhendra untuk menayakan fee sebesar 15 persen kepada Kardinal selaku rekanan. Saat
peretmuan dengan Kardinal dikediamannya, Kardinal menghubungi Silvan meminta 15 persen
dari jumlah proyek. Silvan mengatakan tidak sanggup jika memberikan 15 persen, Silvan hanya
sanggup memberikan fee sebesar 12 persen. Lalu Lutfi kembali menghubungi Wawan Suhendra.
Dirinya menambahkan jika pernah menerima uang sebanyak tiga kali dari Kardinal masing-
masing Rp. 5 juta (total 15 juta), lalu pernah menerima uang dari Ari Maidar (orang kepercayaan
Taufik) sebanyak Rp. 2,250 juta.20
Berlanjut pada agenda pembuktian sidang selanjutnya, kali ini Jaksa Penuntut Umum
KPK menghadirkan tiga orang saksi yaitu Najmul Fikri selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mesuji, Fuad Amrullah selaku Ketua DPRD Kabupaten
Mesuji, serta Saply,T.H selaku Pelaksana Tugas (Plt.) Bupati Kabupaten Mesuji. Najmul Fikri
dalam kesaksiannya menerangkan pada tahun 2018 Plt. Bupati Saply dan Ketua DPRD Fuad
Amrullah turut menerima sejumlah paket proyek di Dinas PUPR, hal tersebut diterangkan
berdasar pada nama-nama ploting yang pernah dilihat seperti Taufik Hidayat, Kepolisian,
Kejaksaan, Ketua DPRD Mesuji serta Wakil Bupati. Dirinya juga menerangkan sesuai dengan
20 Fakta Persidangan dalam pemeriksaan saksi An. Terdakwa Khamami, Wawan Suhendra, Taufik Hidayat. Senin
24 Juni 2019 di Pengadilan Tipikor PN Tanjungkarang.
BAP pemeriksaan dirinya nomor 47 dijelaskan bahwa Bupati Khamami yang menentukan
plotting dan paket-paket pekerjaan itu serta yang menerimanya adalah Taufik Hidayat, Pakcik
kerabat Bupati, Rizon mantan timses pencalonan Bupati, Polda Lampung, Lukman (oknum
wartawan), Kejaksaan Negeri Tulang Bawang, Kejaksaan Tinggi, dengan paket pengadaan
langsung. Lanjut, dirinya menerangkan tidak pernah melihat secara langsung penetuan-penetuan
list proyek tersebut tetapi hanya berdasar pada laporan lisan yang disampaikan Wawan Suhendra
selaku Sekretaris Dinas nya. Saat itu juga Najmul Fikri mengetahui oknum wartawan yang
menerima paket proyek di Dinas PUPR Mesuji salah satunya adalah JS (inisial), kepala biro
sebuah Koran harian di Mesuji. JS mendapatkan proyek mengatasnamakan Plt. Bupati Mesuji
Saply pada APBD murni dan perubahan. Pada APBD murni, JS melalui CV Nabalaga ,mendapat
pengadaan material ruas jalan senilai Rp. 2,3 miliar, kemudian pada pengadaan yang sama
dengan nilai proyek Rp. 2,1 miliar, lalu pada APBD perubahan, JS mendapatkan proyek senilai
Rp. 2,4 miliar. Paket proyek tersebut disebut sebagai hasil plotting proyek untuk menghilangkan
sorotan dari media.21
Plt. Bupati Mesuji Saply, membantah dirinya mendapatkan plotting sebagaimana
diterangkan oleh Najmul Fikri. Dirinya hanya mengetahui bahwa JS merupakan wartawan dan
Sintong (yang memplotting proyek bersama JS) merupakan adiknya JS. Saply menambahkan
bahwa selama ini tidak tahu dan terlibat dalam plotting proyek, tugasnya hanya membantu
Bupati. Menindaklanjuti hasil pertemuan-pertemuan Bupati dengan inspektorat, dirinya juga
menerangkan tidak tahu, bahkan dirinya menegaskan tidak pernah mendapatkan pekerjaan
apapun dari Bupati, dapat fee pun tidak pernah sama sekali. Terkait nota dinas dirinya
mengetahui tetapi tidak pernah terlibat dalam permainan nota-nota dinas yang ada. Mendengar
keterangan-keterangan dari Saply, Jaksa KPK mengingatkan bahwa Saply tidak perlu berbohong
sebab dirinya telah disumpah dalam persidangan dan ada ancaman pidana terkait menerangkan
keterangan palsu di muka persidangan.22
Ketua DPRD Kabupaten Mesuji Fuad Amrullah menerangkan bahwa DPRD Kabupaten
Mesuji sempat mengajukan hak interplasi kepada Pemkab Mesuji. Selanjutnya Fuad
menerangkan bahwa pada tahun 2016 dirinya sempat melapor ke Provinsi terkait nota dinas, dan
21 Fakta Persidangan dalam pemeriksaan saksi An. Terdakwa Khamami, Wawan Suhendra, Taufik Hidayat. Kamis
12 Juli 2019 di Pengadilan Tipikor PN Tanjungkarang. 22 Fakta Persidangan dalam pemeriksaan saksi An. Terdakwa Khamami, Wawan Suhendra, Taufik Hidayat. Kamis
12 Juli 2019 di Pengadilan Tipikor PN Tanjungkarang.
diwaktu yang sama Pemkab Mesuji dilaporkan ke Mabes Polri. DPRD menjadi saksi, namun
tahun 2017 pemilihan kepala daerah sehingga tidak ada dinamika atas laporan tersebut. Pada
tahun 2018 teman-teman DPRD menjadi saksi. Pengawasan terkait nota dinas dilakukan dengan
memanggil Bupati Mesuji berkaitan dengan kebijakan nota dinas serta kebijakan lainnya. Hak
interplasi diinisiasi pada Juni 2018. Pada saat itu Bupati mengatakan dalam penggunaan nota
dinas tujuannya adalah efisiensi anggaran, namun hak interplasi belum membuahkan hasil
dikarenakan telah terjadi OTT yang dilakukan KPK. Interplasi yang dilakukan DPRD tidak
berfokus pada pemotongan anggaran dinas, tetapi ada beberapa pihak dari tahun 2017 hingga
2018 ada OPD yang menyampaikan bahwa ada keluhan pencairan OPD tidak keluar, karena
Bupati menetapkan nota dinas dan hal ini harus ditangani sebab setiap tahun anggaran silpa
making tinggi.23
Pada Kamis 18 Juli 2019, saksi mahkota dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK
yaitu Wawan Suhendra selaku Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Mesuji. Dalam keterangannya,
Wawan menerangkan bahwa Kapolda dan Wakapolda Lampung yang saat itu dijabat Irjen
Suntana dan Brigjen Angesta Romano Yoyol menerima fee proyek. Hal ini diungkapkan Wawan
ketika menjawab pertanyaan Jaksa. Dirinya menerangkan bahwa pemberian uang kepada
Kapolda dan Wakapolda itu bersumber dari Kardinal. Penyerahan uang dilakukan dirumah dinas
Kapolda karena sebelumnya Bupati mengatakan ingin melakukan silaturahmi kepada Kapolda,
lalu Bupati minta carikan uang, dirinya diperintahkan Khamami menemui Kardinal setelah itu
Kardinal memberikan uang Rp. 200 juta. Wawan juga menerangkan diperintahkan oleh Najmul
Fikri untuk bersilaturahmi ke rumah dinas Kajati Lampung. Sesampai dirumah dinas Kapolda,
Wawan menunggu dimobil. Najmul Fikri dan Khamami masuk, tidak beberapa lama keduanya
keluar rumah bersama Kapolda. Lalu Najmul Fikri menghapiri Wawan dan meminta uang Rp.
150 juta yang sebelumnya dimintakan kepada Kardinal. Setelah itu Wawan, Khamami, Najmul
Fikri dan Kapolda berangkat menuju rumah dinas Wakapolda. Sesampainya dirumah dinas
Wakapolda, Khamami langsung memberikan uang sebesar Rp. 50 juta kepada Wakapolda.
Wawan menambahkan bahwa sebelum penyerahan uang tersebut, Khamami meminta Wawan
dan Najmul Fikri mem-plotting calon pemenang proyek. Ada nama-nama permintaan dari
Khamami diantaranya Kajati Lampung, Kapolda Lampung, Kajari, Iwan Janata, Rizon dan
23 Fakta Persidangan dalam pemeriksaan saksi An. Terdakwa Khamami, Wawan Suhendra, Taufik Hidayat. Kamis
12 Juli 2019 di Pengadilan Tipikor PN Tanjungkarang.
Taufik Hidayat, lalu ada empat dari tujuh paket proyek di Bidang Cipta Karya Dinas PUPR yang
tidak bisa dikondisikan, hal ini membuat Khamami marah dan memerintahkan Wawan
mendekati pemenang agar bisa berkontribusi memberikan fee kepada Khamami. Lalu wawan
mengatakan ada ratusan paket proyek penunjukan langsung (PL) yang diberikan kepada oknum
LSM, wartawan dan tim sukses Khamami.24
PUSKAMSIKHAM mencatat setidaknya ada beberapa oknum yang diduga terlibat dalam
fee proyek Dinas PUPR Kabupaten Mesuji ini. Nama-nama oknum telah sering disebut beberapa
saksi terlibat dalam paket proyek Dinas PUPR, diantaranya mantan Kapolda dan Wakapolda
Lampung Irjen Suntana dan Brigjen Angesta Romano Yoyol sebagaimana diterangkan oleh saksi
mahkota dalam perkara ini yaitu Wawan Suhendra selaku Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten
Mesuji. Sementara itu dugaan keterlibatan Kepala Dinas PUPR Najmul Fikri juga harus
diperiksa lebih lanjut oleh KPK, sebab berbagai plotting paket proyek di Dinas PUPR tentunya
berasal dari pengesahan Najmul sebagai Kepala Dinas. Lebih dari itu, walaupun mantan
Wakapolda Lampung Brgijen Angesta Romno Yoyol membantah kepada tim wartawan Radar
Lampung terkait dirinya menerima pemberian uang-uang proyek dari Khamami,25 tetapi yang
disampaikan oleh Wawan Suhendra merupakan fakta persidangan dan terlebih Wawan yang
dihadirkan sebagai saksi mahkota telah disumpah dimuka pengadilan.
Merujuk pada pendapat ahli Hukum Pidana Prof. Dr. Edy O.S Hiraeij menjelaskan bahwa
berdasarkan interpretasi doktriner, kata “bukti” atau “evidence” atau “bewijs” adalah informasi
yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau
keseluruhan fakta itu benar. Alat bukti yang berlaku universal dalam sistem peradilan pidana
adalah saksi (witness), ahli (expert), dokumen, dan real evidence atau physical evidence yang
dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia dikenal dengan istilah barang bukti. Saksi
dimaksud adalah saksi yang memberatkan (de charge) maupun saksi yang meringankan (a de
charge), yang relevan dengan perkara yang sedang diproses. Pembuktian dalam hukum pidana
dimulai sejak tahap penyelidikan dan/atau penyidikan sampai pada tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan. Oleh karena itu penyidik maupun penuntut dapat meminta keterangan saksi yang
memberatkan mulai dari tahap penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan.
Begitu pula sebaliknya, sebagai penyeimbang, tersangka dapat meminta keterangan saksi yang
24 Fakta Persidangan dalam pemeriksaan saksi An. Terdakwa Khamami, Wawan Suhendra, Taufik Hidayat. Kamis
18 Juli 2019 di Pengadilan Tipikor PN Tanjungkarang. 25 Berita Harian Radar Lampung, “Nama Eks Kapolda-Wakapolda Kembali Disebut di Sidang”, Jumat 19 Juli 2019.
meringankan mulai dari tahap penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan.
Pengajuan bukti oleh tersangka atau terdakwa sesuai dengan prinsip exculpatory evidence yang
berarti tersangka atau terdakwa berhak menunjukan bukti apapun termasuk keterangan saksi
yang meringankan untuk menunjukan bahwa ia tidak bersalah. Hal ini untuk mencegah
terjadinya unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar terhadap tersangka.26 Artinya
keterangan yang disampaikan Wawan Suhendra merupakan suatu untuk memeriksa Mantan
Kapolda (Irjen Suntana) dan Mantan Wakapolda (Brigjen Angesta Romno Yoyol) terlibat dalam
fee proyek Dinas PUPR Kabupaten Mesuji TA 2018.
Berdasar pada ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa “Perintah penangkapan dilakukan
terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup”. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memutuskan
bahwa yang dimaksud dengan “Bukti Permulaan Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal
17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai dengan minimal
dua alat bukti sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP.27 PUSKAMSIKHAM menilai adanya
keterangan dari Wawan Suhendra belum bisa dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup
tetapi hal tersebut dapat berubah menjadi bukti permulaan yang cukup jika KPK ingin segera
mengusut dugaan keterlibatan Mantan Kapolda dan Wakapolda Lampung dalam perkara
Khamami tersebut dengan mencari bukti (bewijs) penunjang lain seperti surat atau petunjuk serta
berdasar dari keterangan terdakwa lain (Khamami dan Taufik Hidayat) karena dalam agenda
pembuktian Jaksa Penuntut Umum KPK telah beberapa kali menghadirkan alat bukti surat-surat
yang berakitan dengan list nama pemenang proyek di Dinas PUPR Kabupaten Mesuji.
Selain itu, penyalahgunaan wewenang Terdakwa Khamami selaku Bupati Mesuji pun
menjadi efek domino bagi pelaksanaan proses pengadaan barang dan jasa Dinas PUPR TA 2018.
Sepatutnya, Khamami juga didakwakan melakukan unsur secara melawan hukum dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Artinya,
perbuatan Khamami selaku Bupati tidak hanya dipandang sebagai perbuatan menerima proyek
saja, tetapi ada penyelahgunaan kewenangan dimana Khamami memerintahkan Kepala Dinas
26 Lihat pendapat Prof. Dr. Edy O.S Hiraeij sebagai ahli Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU/VIII/2010 A.N. Pemohon Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H.,M.Si terhadap pengertian keterangan saksi
yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana 27 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Bukti Permulaan Yang Cukup
dan Sekretaris Dinasnya memenangkan adik kandungnya sendiri (Taufik Hidayat) selaku
pemenang tender - selain proyek Sibron Aziz -. Berdasar pada Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI Nomor 183 K/PID/1987 tanggal 29 Juni 1989 dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan
bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, cukup dinilai dari kenyataan
yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku terdakwa sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya karena jabatan atau kedudukan.28 Telebih total dana penerimaan fee proyek yang
diterima Khamami selaku Bupati mencapai Rp. 2,430 miliar (kerugian negara dari pemotongan
anggaran Pengadaan Dinas PUPR Mesuji) dari pemotongan 12 persen dari nilai proyek yang
telah ditentukan oleh Pengguna Anggaran (Khamami).
C. KESIMPULAN
Sepatutnya, berdasarkan uraian fakta persidangan kasus gratifikasi fee proyek di Dinas
PUPR Kabupaten Mesuji ini serta merujuk pada pendapat ahli hukum Prof. Dr. Bagir Manan
yang menganggap bahwa konsep negara kesejahteraan (the walfare state) dan ajaran “demokrasi
materiil” atau “demokrasi sosial”, fungsi pelayanan publik makin dimaknai sebagai fungsi
kesejahteraan, sehingga konsekuensinya fungsi pelayanan semestinya lebih mengedepankan
fungsi manajerial atau fungsi pengelolaan yang bekaitan dengan memenuhi hajat hidup rakyat
banyak, bukan justru hanya mementingkan golongan pribadi (kerabat, sahabat, rekanan). Hal
seperti ini harus terus dibenahi terutama pada sektor Pemerintahan. Tata kelola pemerintahan
yang mengedepankan prinsip “good governance” harus terus diwujudkan, sebab pengadaan
barang dan jasa yang tidak saling mempengaruhi baik langsung ataupun tidak langsung yang
berakibat pada persaingan usaha tidak sehat, adanya pertentangan kepentingan pihak tertentu,
terjadinya pemborosan keuangan negara, penyalahgunaan kewenganan - kolusi/nepotisme -,
serta menerima, menawarkan, menjanjikan, memberi, atau menerima hadiah, imbalan, komisi,
rabat dan apa saja yang diketahui atau patut diduga berakitan dengan pengadaan barang dan jasa
sulit diwujudkan jika pemangku kepentingan (Kepala Daerah) tidak berintegritas dalam
semangat memberantas korupsi di daerah, sebab peran Kepala Daerah sangat besar dalam efek
domino budaya fee proyek pengadaan barang dan jasa, terkhusus Kepala Daerah di Lampung.
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah selanjutnya PPK memerintahkan panitia lelang
28 Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor 30/PID.Sus/Tpk/2017/PN JKT.PST atas nama terdakwa Siti Fadilah
Supari selaku Mantan Menteri Kesehatan RI terkait kasus kerugian negara pengadaan alat kesehatan Kemenkes
Tahun 2006.
menunjuk penyedia (PL) namun PPK tidak boleh menyebut perusahaan tertentu/tidak boleh
mengarahkan ke perusahaan tertentu, dalam pelaksanaan Penunjukan Langsung tetap harus
dilakukan evalusi baik secara administrasi, teknis maupun harga. Artinya Kepala Daerah jangan
sampai melebih kewenangan yang telah ditentukan dalam aturan pengadaan barang dan jasa
sebab Kepala Daerah selaku Penguna Anggaran, jika budaya fee proyek terus berkembang di
Lampung maka bisa dipastikan peran Kepala Derah berpotensi melebihi kewenangan yang
dimiliki oleh PPK.
DAFTAR REFRENSI
Amiruddin, Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa, (Yogyakarta: Genta Publishing,
2010),
Bagir Manan, “Otonomi Daerah dan Kesejahteraan Rakyat”, Majalah Hukum Varia
Peradilan Tahun XXXIII No. 393 Agustus 2018;
Berita Harian Tribun Lampung “Sibron-Kardinal Sesenggukan Dipeluk Kerabat”;
Berita Harian Tribun Lampung, “Air Mata Warnai Vonis Fee Proyek Agus-Anjar”;
Berita Harian Radar Lampung “Lampung Masuk Zona Merah KPK”,
Berita Harian Radar Lampung, “Nama Eks Kapolda-Wakapolda Kembali Disebut di
Sidang”,
Catatan data tindak pidana Korupsi PUSKAMSIKHAM terhadap kasus Korupsi yang
terjadi di Lampung.
Febi Harumanika dalam berita harian Lampung Post, “Zainudin Hasan Divonis 12
Tahun”,
Pendahuluan Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXXIII No. 393 Agustus 2018;
Salinan Dakwaan JPU KPK A.N Terdakwa Khamami
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU/VIII/2010
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Putusan Nomor 30/PID.Sus/Tpk/2017/PN JKT.PST
https://kumparan.com/lampunggeh/kasus-korupsi-lamsel-agus-bn-dan-anjar-asmara-
divonis-4-tahun-penjara-1553771952769042242
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/23/21032661/bupati-lampung-tengah-
divonis-3-tahun-penjara-hak-politiknya-dicabut
https://antikorupsi.org/sites/default/files/laporan_tren_penindakan_kasus_korupsi_2018.pdf