170

BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 2: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 3: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 4: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 5: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 6: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 7: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 8: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 9: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 10: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

DAFTAR SINGKATAN AC : Adaptive Capacity AGB : Above Ground Biomass AHP : Analytic Hierarchy Process ALU : Agriculture and Land use ANP : Analytic Network Process BAU : Business as Usual BBPBTH : Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman BBPD : Balai Besar Penelitian Dipterokarpa B-C : Benefit-Cost BGB : Below Ground Biomass BPK : Balai Penelitian Kehutanan BPTA : Balai Penelitian Teknologi Agroforestry BPTHHBK : Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BPTSTH : Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan BUMN : Badan Usaha Milik Negara CAIT : Climate Analysis Indicator Tool CBD : Convention on Biological Diversity CDM : Clean Development Mechanism CIFOR : Center for International Forestry Research COP : Conference of the Parties DAS : Daerah Aliran Sungai DFID : Departement for International Development Ditjen : Direktorat Jenderal DR : Dana Reboisasi DSS : Decision Support Sytem FAO : Food and Agricultural Organization GDP : Gross Domestic Product GIS : Geographic Information System GL : Guideline GN RHL : Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan GPG : Good Practice Guidance GPS : Global Positioning System

Page 11: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

GRK : Gas Rumah Kaca HHBK : Hasil Hutan Bukan Kayu HHL : Hasil Hutan Lain HPH : Hak Pengusahaan Hutan HR : Hutan Rakyat HS : Harmonized System HTI : Hutan Tanaman Industri HTR : Hutan Tanaman Rakyat IAM : Integrated assessment models ICRAF : International Center for Research in Agroforestry IDS : Institute of Development Studies IIED : International Institute for Environment and Development IKBR : Industri Kayu, Bambu dan Rotan INCAS : Indonesia National Carbon Accounting Sytem IPB : Institut Pertanian Bogor IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IRR : Internal Rate of Return IUPHHK : Ijin Usaha Pemamfaatan Hasil Hutan Kayu Kemenhut : Kementerian Kehutanan KBP : Kayu Bulat dan Perburuan KPH : Kesatuan Pemangkutan Hutan LHP : Laporan Hasil Penelitian Litbanghut : Penelitian dan Pengembangan Kehutanan LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat LULUCF : Land Use, Land Use Change and Forestry MAI : Mean Annual Increment MoF : Ministry of Forestry MRV : Measurable, Reportable and Verifiable NFI : National Forest Inventory OMOT : One Man One Tree PDB : Produk Domestik Bruto PHKA : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHL : Pengelolaan Hutan Lestari PSDH : Provisi Sumberdaya Hutan Puspijak : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Page 12: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

REDD : Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation RKT : Rencana Kerja Tahunan RLPS : Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial RPI : Rencana Penelitian Integratif RPTP : Rencana Penelitian Tim Peneliti RTH : Ruang Terbuka Hijau RTRWN : Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional SBSTA : Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice SDH : Sumber Daya Hutan SDM : Sumberdaya Manusia SFM : Sustainable Forest Management SWOT : Strenght Weakness Opportunity Threat TAHURA : Taman Hutan Raya TNI : Tentara Nasional Indonesia UGM : Universitas Gadjah Mada UI : Universitas Indonesia UNFCCC : United Nations Framework Convention Climate Change UPT : Unit Pelaksana Teknis UUD : Undang-Undang Dasar WRI : World Resource Institute

Page 13: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 14: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 1-20

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 (REVISI) MANAJEMEN LANSKAP HUTAN BERBASIS DAS

1. Abstrak Pengelolaan hutan di Indonesia dihadapkan pada tiga isue utama yaitu tata ruang, trade-offs tujuan manajemen hutan dan kepentingan para pihak, serta pelestarian sumberdaya hutan atau SFM. Pendekatan klasik untuk mengelola hutan yang memisahkan aspek ekologi dari sosial-ekonomi dan lingkungan sekitar tidak berhasil menahan laju deforestasi maupun degradasi hutan, yang mengakibatkan sumberdaya ini menjadi semakin terancam kelestariannya. Penataan ruang melalui alokasi spasial penggunaan hutan perlu diintegrasikan dengan kepentingan (interests) dari berbagai pihak. Melalui penelitian integratif manajemen lanskap hutan diharapkan dapat disusun rekomendasi kebijakan untuk memperluas peran hutan dalam mendukung pembangunan daerah, melalui integrasi interests para pihak ke dalam rencana pembangunan kehutanan yang akan mendukung tata kelola kehutanan yang baik, good forest governance. Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai dimaksudkan untuk menyediakan strategi kebijakan bagi pengambil keputusan (Decision Support System, DSS) yang dapat dipakai untuk mempertahankan keberadaan hutan dan memperluas peran hutan, termasuk meningkatkan kerentanaan hutan terhadap perubahan iklim. Penelitian ini dilakukan dengan membangun konsep manajemen lanskap hutan yang selanjutnya akan diujicobakan di berbagai DAS yang memiliki karakteristik kepadatan penduduk tinggi, dan mengalami tekanan yang berat. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dikaji dinamika spasial perubahan lanskap hutan disertai dengan dinamika sosial-ekonomi dan lingkungan yang mempengaruhi perubahan tersebut. Sasaran yang akan dicapai dari Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai antara lain terwujudnya luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari. Kata kunci: manajemen lanskap, lanskap hutan, landuse, landuse change. 2. Latar Belakang “Forest management is not rocket science, it is far more complex” ( Thomas & Bunnel,

2001). Kalimat tersebut di atas menyebutkan bahwa mengelola hutan jauh lebih

kompleks, rumit dari ilmu yang dipakai untuk membangun sebuah roket. Kompleksitas

tersebut antara lain disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhi

keberhasilan pengelolaan hutan dan seringkali faktor tersebut berada di luar

Page 15: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 2-20

kemampuan manajemen untuk mengendalikannya, baik faktor yang bersifat ekologi dan

ekonomi serta sosial saling terkait keberadaannya dan mempengaruhi kelestarian

pengelolaan hutan.

Tantangan pengelolaan hutan di Indonesia adalah untuk mempertahankan sekaligus

melestarikan sumberdaya hutan yang tersisa, disamping mengoptimalkan berbagai

fungsi yang ada sehingga keberadaan hutan mampu memenuhi kebutuhan yang

semakin beragam serta memberikan peran yang lebih luas kepada masyarakat.

Pengelolaan hutan juga dihadapkan pada perubahan iklim yang melanda dunia. Hutan di

Indonesia dilaporkan menyumbang emisi ketiga terbesar di dunia, yang mempengaruhi

fungsi hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya maupun sebagai

stabilitas sistem penyangga lingkungan secara luas.

Pendekatan klasik untuk mengelola hutan di Indonesia dilakukan sesuai dengan fungsi

hutan yang telah ditetapkan, yaitu sebagai hutan produksi, konservasi dan hutan

lindung. Pendekatan manajemen ini terbukti tidak berhasil menahan laju deforestasi

maupun degradasi hutan, yang mengakibatkan sumberdaya ini menjadi semakin

terancam kelestariannya. Kelestarian hutan tidak dapat dipisahkan dari kondisi

lingkungan sekitarnya. Pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan dengan

berorientasi ekosistem secara keseluruhan. Pendekatan semacam ini dapat dilakukan

dengan menerapkan manajemen lansekap hutan yang memandang hutan sebagai suatu

kesatuan fungsi, dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari tujuan untuk

memenuhi kebutuhan yang beragam1, baik yang bersifat ekologis, ekonomis maupun

kebutuhan sosial. Dengan kata lain, melalui manajemen lansekap hutan rencana

pengelolaan sumberdaya ditujukan untuk memproduksi komoditas sekaligus

mempertahankan nilai ekologi yang ada melalui kegiatan pemantauan, kontrol struktur

spasial maupun dinamikanya.

1 Menurut Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Kehutanan no 41/1999, hutan di

Indonesia dikelola agar dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus pemeratan sosial, pemantapan stabilitas politik serta pelestarian ekologis-lingkungan.

Page 16: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 3-20

Lanskap disepakati melalui konvensi negara-negara Eropa sebagai suatu areal yang

dipahami oleh masyarakat memiliki karakter unik. Karakter tersebut merupakan

resultante aksi dan interaksi dari berbagai faktor, baik yang bersifat alami maupun hasil

pengaruh manusia. Keunikan karakteristik alam tersebut yang merupakan salah satu

alasan untuk melakukan perlindungan hutan melalui kerangka hukum konservasi.

Lanskap hutan dicirikan oleh karakteristiknya sebagai bentang alam yang didominasi

oleh adanya hutan yang wilayahnya meliputi dari daerah hulu hingga ke bagian hilir

suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Manajemen lanskap bermaksud menata hutan secara

spasial termasuk merencanakan alokasi penggunaannya sesuai dengan kepentingan

(interests) dari berbagai pihak. Melalui manajemen lanskap kepentingan para pihak

untuk menggunakan ruang di-integrasikan dengan tujuan pengelolaan di tingkat tapak

atau lokal, wilayah maupun tingkat nasional. Melalui penelitian integratif manajemen

lanskap hutan diharapkan dapat disusun rekomendasi kebijakan untuk memperluas

peran hutan dalam mendukung pembangunan daerah, melalui integrasi interests para

pihak ke dalam rencana pembangunan kehutanan yang akan mendukung tata kelola

kehutanan yang baik, good forest governance.

3. Rumusan Masalah

Secara tradisional, pengelolaan hutan ditujukan terutama untuk memproduksi kayu dan

kurang memperhatikan pengelolaan untuk tujuan yang lain. Tuntutan untuk

melestarikan jenis yang terancam punah serta melindungi habitat atau zona sensitif

serta tempat-tempat yang historis, dan juga zona perairan melalui pembatasan

penebangan pohon menuntut pendekatan pengelolaan sumberdaya alam secara

terintegrasi.

Menurut data FAO (2007), tingkat deforestasi hutan di dunia mencapai 13,7 juta hektar

per tahun, sedangkan penanaman yang dilakukan hanya mencapai 0,7 juta hektar per

Page 17: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 4-20

tahun. Lebih dari setengah luas hutan global yang ada terdeforestasi atau terdegradasi;

dimana 40% dari hutan yang lebat dikonversikan menjadi penggunaan lain seperti

misalnya untuk pengembangan pertanian, peternakan, dan 10% telah dibuka atau

terfragmentasi. Kondisi tersebut merupakan penyebab utama merosotnya kualitas dan

kesehatan hutan. Selanjutnya diprediksi bahwa sebanyak 1 juta jenis tanaman dan

binatang akan punah dalam jangka waktu 15 – 20 tahun mendatang. Akibatnya,

pendekatan manajemen yang dilakukan saat ini dapat dikatakan gagal untuk

mempertahankan dan melestarikan lanskap hutan untuk generasi mendatang.

Pendekatan pengelolaan hutan yang dilakukan saat ini memiliki beberapa keterbatasan.

Diantaranya dan yang paling utama adalah skala atau fokus dari pengelolaan itu sendiri.

Sebagai contoh, rencana pengelolaan mencakup berbagai nilai yang tidak mungkin

diintegrasikan pengelolaannya. Disamping itu, memprioritaskan nilai tertentu dan

mengensampingkan nilai lainnya akan membatasi proses lanskap yang penting serta

berdampak luas. Disamping itu, secara tidak disadari rancangan dan implementasi dari

kegiatan penebangan dan penerapan silvikultur tertentu meninggalkan fragmentasi

hutan, yaitu terputusnya rangkaian hutan yang padat menjadi pulau-pulau hutan yang

terisolasi. Keadaan ini dikhawatirkan akan mempengaruhi proses biodiversity dan

ekologi di masa mendatang.

Hutan di Indonesia, kawasannya tersebar dari puncak gunung (Semeru, Rinjani, Puncak

Jaya, Merbabu dan lain-lain) hingga wilayah perairan, seperti misalnya di Bunaken,

Wasur di Papua, Danau Sentarum dll. Kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh

pemerintah dan dikelola sesuai dengan fungsinya yang telah ditetapkan. Luas kawasan

hutan terus merosot. Laporan terakhir dari Badan Planologi Kehutanan menyebutkan

bahwa luas wilayah hutan mencapai 123,46 juta ha, yang dikelola untuk produksi kayu

dan hasil hutan seluas 71,52 juta ha, untuk perlindungan tata air seluas 31,78 juta ha

dan untuk konservasi flora, fauna endemik serta bentang alam spesifik seluas 23,60 juta

ha (Arsyad, 2008).

Page 18: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 5-20

Sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945, pemerintah memiliki mandat untuk

mengelola hutan di Indonesia dan memberikan/mendelegasikan hak pengelolaannya.

Undang-undang Kehutanan yang baru tahun 1999 mengamanatkan pemerintah untuk

melakukan desentralisasi urusan kehutanan dengan memberikan kewenangan kepada

pemerintah daerah kabupaten untuk mengurus pengelolaan hutan yang memiliki fungsi

produksi dan fungsi lindung. Sedangkan urusan pengelolaan hutan konservasi masih

berada pada pemerintah pusat. Ketentuan ini selaras dengan penataan kembali

pemerintahan daerah yang dilakukan melalui UU no 32 dan UU no 33 tahun 2004, yang

menggantikan UU no 25 dan UU no 27 tahun 1999.

Seiring diberlakukannya kebijakan desentralisasi urusan pemerintahan, luas hutan di

Indonesia dilaporkan semakin menipis dan kondisinya semakin merosot. Laju penurunan

luas hutan yang dilaporkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2002 mencapai 2,8

juta hektar hutan per tahun. Laju tersebut meningkat 50,5 % dibandingkan dengan

tingkat deforestasi dalam periode 12 tahun yang terjadi pada tahun1986 s/d 1997, yang

dilaporkan mencapai 1,86 juta hektar. Angka tersebut didukung oleh Forest Watch

Indonesia dan Global Forest Watch (2000) yang melaporkan bahwa dalam kurun waktu

20 tahun laju deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta ha/tahun atau 2 kali lebih cepat

dibandingkan dengan laju deforestrasi tahun 1980an. Penyebabnya adalah sistem politik

dan ekonomi yang korup dengan menganggap sumber daya alam, khususnya hutan,

sebagai sumber pendapatan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan politik dan

keuntungan pribadi. Laju deforestasi yang paling tinggi terjadi di wilayah Sumatera dan

Kalimantan, sehingga apabila tidak dilakukan upaya yang signifikan maka kedua pulau

tersebut tidak akan memiliki hutan alam tropis lagi paska tahun 2012.

Hasil studi yang dilakukan oleh CIFOR melaporkan berbagai penyebab dari

meningkatnya laju deforestasi di Indonesia. Selain sebagai akibat terjadinya ekonomi

krisis di tahun 1997, meningkatnya laju deforestasi hutan terkait erat dengan reformasi

Page 19: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 6-20

politik dan desentralisasi urusan kehutanan yang mengakibatkan hutan di Indonesia

semakin ter-fragmentasi dan rentan terhadap kebakaran.

Penyebab utama menipisnya luas hutan berasal dari adanya konversi lahan dari

kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan kehutanan menjadi kawasan non-

kehutanan. Konversi paling tinggi adalah untuk keperluan pertanian dan perkebunan

yang dilaporkan mencapai 8,2 juta ha hingga periode 1999/2000 tahun. Selain itu untuk

pembangunan infrastruktur pengembangan daerah seperti pembuatan jalan baru yang

menerobos kawasan hutan (lindung, konservasi dan produksi) dan memfasilitasi

terjadinya pembukaan hutan lebih luas lagi. Kegiatan penebangan hutan untuk produksi

kayu dan non-kayu yang melejit pada tahun 1992/1993 dengan produksi sekitar 28,2

juta m3, kebakaran hutan dan juga pemekaran pemerintahan daerah yang ditandai

dengan terbentuknya propinsi baru, meningkatnya jumlah kabupaten dan pemerintahan

daerah di tingkat desa. Di lain pihak peranan hutan semakin dirasakan pentingnya bagi

masyarakat, yang ditandai dengan meningkatnya tutupan hutan di luar kawasan sebagai

hutan rakyat, serta pembangunan hutan kota yang diamanatkan melalui PP 65 tahun

2003.

Pendekatan manajemen lansekap dimaksudkan untuk menyelesaikan tiga issue utama

yang menjadi tantangan bagi Departemen Kehutanan. Ketiga issue tersebut meliputi

tata ruang, trade-offs tujuan manajemen hutan dan kepentingan para pihak, serta

pelestarian sumberdaya hutan atau SFM.

Dalam hubungannya dengan tata ruang, keberadaan hutan semakin terdesak dengan

pesatnya pembangunan daerah dan pemekaran wilayah administrasi. Kegiatan

pembangunan daerah bertumpu pada sektor-sektor yang menggunakan lahan, seperti

pertanian dan perkebunan, pembuatan jalan serta pembangunan perumahan. Kegiatan

tersebut menuntut adanya pelepasan lahan hutan untuk memenuhi kebutuhan

pembangunan yang berorientasi sektoral. Akibatnya tata guna hutan yang alokasinya

Page 20: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 7-20

telah disepakati pada tahun 1986 ditinjau kembali dan diselaraskan dengan adanya

tuntutan pembangunan daerah serta kebutuhan yang semakin berkembang.

Manajemen lanskap hutan menjawab isue penataan ruang ini melalui optimasi

pemanfaatan lahan hutan serta pembangunan model luas dan sebaran hutan minimal.

Pemanfaatan hutan dihadapkan pada adanya trade-off berbagai interest, masa waktu

serta tujuan pengelolaan. Kebutuhan masing-masing individu untuk memperoleh

pangan, sandang dan papan seringkali berbenturan dengan kebutuhan kelompok yang

menginginkan keselarasan, kebudayaan dan kenikmatan. Selain itu, kebutuhan makan

yang harus dipenuhi masa kini, untuk waktu yang sesaat, seringkali berseberangan

dengan adanya kebutuhan perlindungan ataupun konservasi yang sifatnya jangka

panjang. Manajemen lanskap hutan diharapkan menjawab permasalahan ini melalui

pengaturan kembali fungsi hutan serta distribusinya agar keberadaan hutan dapat

dirasakan manfaatnya secara optimal.

Kelestarian hutan tidak hanya ditentukan oleh pilihan sistem silvikultur yang digunakan

tetapi juga ditentukan kekompakan fungsi hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem.

Melalui manajemen lansekap hutan karakteristik ekosistem dapat diidentifikasi serta

diketahui faktor penentu kelestarian sumberdaya hutan.

4. Hipotesis

Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah penataan ruang (pembangunan

wilayah) dan penatagunaan hutan berbasis DAS akan mengurangi frekuensi terjadinya

bencana banjir, erosi dan longsor dan mendukung penerapan pelaksanaan KPH.

5. Tujuan dan Sasaran

Page 21: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 8-20

Penelitian Integratif Manajemen Lansekap berbasis Daerah Aliran Sungai bertujuan

untuk menyediakan strategi kebijakan bagi pengambil keputusan (Decision Support

System, DSS) yang dapat dipakai untuk mempertahankan keberadaan hutan dan

memperluas peran hutan, termasuk meningkatkan resiliensi hutan terhadap perubahan

iklim.

Sasaran yang akan dicapai dari Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis

Daerah Aliran Sungai adalah :

• Tersedianya rekomendasi mengenai luas hutan optimal di dalam suatu wilayah

DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan

secara lestari

• Tersedianya informasi mengenai interest para pihak ke dalam berbagai level

manajemen dari tingkat operasional, wilayah hingga tingkat nasional

6. Luaran

Rencana Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai

diharapkan menghasilkan :

1. Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS

sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang

optimal dalam penataan ruang wilayah

2. Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui

perekonomian yang berwawasan lingkungan

Luaran tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai landasan untuk menerbitkan

kebijakan untuk menentukan luas hutan optimal dan sebaran fungsinya di dalam

wilayah DAS dan memberikan bahan pembelajaran untuk melakukan manajemen

lanskap hutan.

Page 22: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 9-20

7. Ruang Lingkup

Sebagai suatu alat perencanaan, pendekatan lanskap mencari hubungan aksi yang

dilakukan di tingkat lapangan –di tingkat petani atau pengelola hutan- dengan tingkat

lansekap atau ekosistem. Merujuk pada keberhasilan dan kegagalan pendekatan yang

dilakukan berbasis sektor, lanskap menghasilkan pendekatan antar sektor dan

terintegrasi sehingga secara langsung dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan

pembangunan yang telah disepakati guna memberantas kemiskinan dan menjamin

terciptanya kelestarian lingkungan .

Pengambilan keputusan di sektor sumberdaya alam beserta perencanaannya semakin

banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengambil keputusan dan perencana dengan

demikian dituntut untuk membangun praktek dan menyesuaikan diri sesuai dengan isue

yang berkembang.

Desentralisasi dan pelimpahan otoritas untuk pengambilan keputusan di bidang

perencanaan dan alokasi sumberdaya lahan dipandang sebagai salah satu solusi untuk

mengatasi kemiskinan dan menciptakan tata pemerintahan yang baik. Keberhasilan

perencanaan di tingkat komuniti seringkali menjadi lemah apabila dihadapkan pada isue

lingkungan dan sosial ekonomi yang berada di luar jangkauan atau pengaruhnya. Hal ini

menggarisbawahi semakin pentingnya pendekatan lanskap untuk menyelaraskan

berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang seringkali saling

bertentangan.

Selaras dengan itu, CBD yang telah diratifikasi berbagai negara anggota menuntut peran

pemerintah untuk menerapkan pendekatan berbasis ekosistem dalam merencanakan

pengelolaan sumberdaya alam yang didasari dengan prinsip best practice yang harus

dipedomani. Hal ini menuntut dilakukannya koordinasi antar sektor serta pengambilan

keputusan yang dilakukan secara bertingkat – termasuk di tingkat lanskap dengan

Page 23: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 10-20

mengikutsertakan berbagai interest yang ada pada stakeholder – yang berimplikasi pada

kompleksitas dan proses pelibatan multi-pihak.

Implementasi praktis pendekatan lanskap meliputi penerapan proses integratif yang

diadaptasi pada konteks lokal. Penerapan ini menuntut keahlian baru serta alat

perencanaan yang kemungkinan berbeda dari praktek konvensional yang biasa kita

lakukan.

8. Metode

8.1. Kerangka Konseptual

Manajemen lansekap merupakan konsep yang mempengaruhi bagaimana hutan

dikelola secara luas. Terdapat empat dimensi yang menjadi pertimbangan dan

dicerminkan di dalam pengambilan keputusan untuk mendorong dan melestarikan

fungsi ekosistem disamping memberikan hasil barang dan jasa kepada masyarakat luas.

Keempat dimensi tersebut mencakup aspek ekonomi, ekologi, teknologi dan sosial, yang

diuraikan sebagai berikut.

Aspek sosial: lahan, yang merupakan aspek manajemen merupakan properti, yang

dimiliki suatu entitas yaitu masyarakat. Pengambil keputusan suatu lanskap yang

dikelola adalah masyarakat. Konsekuensinya, publik menginginkan untuk terlibat,

diikutsertakan dalam perencanaan penggunaan lahan dan penatagunaan lahan.

Demikian juga dengan masyarakat, mereka memiliki hak sekaligus kewajiban

dalampengelolaan lahan publik. Mengingat adanya intervensi terhadap hutan

mempengaruhi masyarakat yang tinggal di dalamnya, dengan demikian keterlibatan

masyarakat sangat esensial di dalam manajemen lanskap hutan.

Peran publik dalam penggunaan sumberdaya sangat esensial dewasa ini.Melalui

kelompok-kelompok tertentu, publik mendiskusikan dan mengkritisi penggunaan dan

pemanfaatan sumberdaya, bagaimana pohon ditebang, spesies dilindungi serta regulasi

Page 24: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 11-20

dan kebijakan disusun menghadapi perubahan iklim. Pada umumnya perdebatan

terpolarisasi pada dua kutub kategori penggunaan lahan, yaitu cut it down or lock it up

artinya tebang atau pertahankan. Perdebatan tersebut mencakup nilai ekologi dengan

tanpa mengabaikan produksi untuk komoditas/tertentu. Tendensi yang ada bahwa

publik menginginkan peran secara aktif di dalam tahap penyusunan rencana, dan

keterlibatan publik tersebut akan membentuk model atau konsep manajemen

ekosistem di masa yang akan datang.

Aspek Ekonomi: Nilai ekonomi merupakan pembatas bagi setiap kegiatan, demikian

juga halnya dengan MLH. Di dalam perencanaan, hasil hutan non-kayu mempengaruhi

perolehan nilai ekonomi. Sebagai contoh, lahan hutan diperlukan juga untuk

perlindungan biodiversitas, konservasi nasional dan rekreasi selain untuk produksi kayu.

Selanjutnya, peningkatan kegiatan manajemen di tingkat lanskap akan berimplikasi

menaikkan biaya manajemen dibandingkan dengan fokus pengelolaan pada kayu.

Namun demikian, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu, mengkonservasi

habitat liaran, biodiversitas dan ekologi di dalam suatu hamparan bentang lansekap

kemungkinan akan lebih murah apabila dilakukan secara terpisah-pisah. Dengan adanya

pengalihan lahan untuk tujuan perlindungan dan bukannya untuk produksi kayu yang

dipasarkan akan mengurangi efisiensi, peningkatan biaya untuk memperoleh kayu dan

substitusinya. Pengelolaan yang ditujukan untuk mendukung habitat yang beragam, di

lain pihak penebangan dilakukan untuk menutup ongkos operasi dapat mengurangi

biaya yang diperlukan untuk memproduksi kedua output tersebut.

Aspek Ekologi: Tujuan utama dari manajemen hutan adalah untuk mempertahankan

sekaligus melestarikan ekosistem yang sehat dan produktif. Di dalam pengelolaan,

perspektif ekosistem mempertimbangkan perlunya merancang strategi manajemen

alternatif yang sensitif terhadap keseimbangan berbagai komponen hutan. Komponen

yang penyusun utamanya adalah organisme di dalam ekosistem hutan terorganisir

Page 25: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 12-20

secara hierarkis kedalam fungsi kelompok dan terikat terhadap proses yang kompleks

melalui lingkungan fisiknya serta ikatan yang lainnya.

Ekosistem memiliki tiga atribut, yaitu komposisi, struktur atau pola dan fungsi atau

proses. Komposisi menunjukkan identitas serta keragaman elemen di dalam suatu

kelompok yang meliputi keseluruhan jenis flora dan fauna. Struktur merupakan

organisasi fisik suatu sistem. Secara khusus, struktur menunjuk pada pengaturan spasial

dari adanya ‘patches’ dan hubungan keterkaitan yang ada di dalamnya. Fungsi tersebut

meliputi proses ekologi dan evolutionary termasuk di dalamnya gene flow, disturbance

dan siklus hara. Dengan kata lain, fungsi ekologi dikenali melalui capture (penangkapan),

produksi, siklus, penyimpanan dan output dari sumberdaya tersebut. Elemen lain dari

ekosistem yang mampu mewujudkan harmoni adalah hubungan atau interaksi yang ada

pada karakteristik tersebut yang menjadikan sistem tersebut dinamis. Sebagai contoh,

adanya fungsi tergantung pada struktur yang membentuknya. Dalam hal ini, pengaruh

manusia pada seluruh karakteristik ekosistem yang perlu menjadi pertimbangan bagi

para perencana.

Dengan adanya deskripsi ekosistem seperti tersebut di atas, manajemen yang dilakukan

untuk melestarikan karakteristik tersebut menjadi penting dan kompleks. Manajemen

perlu memahami kompleksitas tersebut dan memberikan pengukuran secara kuantitatif

terhadap karakteristik yang ada, serta menawarkan rancangan prosedur yang dapat

dipakai untuk mempertahankan dinamika sistem dalam jangka waktu yang lama dengan

tanpa mengorbankan keseimbangan ekosistem itu sendiri disamping mampu memenuhi

kebutuhan masyarakat. Peluang inilah yang akhirnya ditangkap oleh paradigma

manajemen lansekap.

Manajemen lanskap berorientasi pada skala makro, dan bukannya pada individual

species. Manajemen lanskap hutan menitikberatkan pada kompleksitas jejaring interaksi

yang mempengaruhi kualitas udara, air, tanah, vegetasi, insect, hewan liar dan mikro-

Page 26: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 13-20

organisme. Teori hierarchy menyatakan ‘apabila unit di tingkat bawah berinteraksi dan

menghasilkan perilaku yang lebih atas serta perilaku tersebut mengontrol yang ada di

bawahnya maka perencanaan harus dilakukan pada skala yang lebih luas. Dengan

demikian, pendekatan dalam skala luas –pada level lanskap- merupakan pilihan tunggal

untuk mengelola keragaman hayati. Fokus manajemen lanskap hutan dengan demikian

adalah struktur lanskap hutan, mosaik patches kondisi hutan yang bervariasi dalam hal

isi (content) maupun skala nya, dilengkapi dengan kejadian alam (proses geomorphopic

dan ekologi) serta adanya intervensi manusia.

Aspek IPTEK: Akumulasi pengetahuan di bidang kehutanan mempengaruhi manajemen

ekosistem hutan. Adanya perubahan tujuan dari suatu manajemen, filosofi dan proses

yang ada mengakibatkan perubahan fundamental di kehutanan. Disiplin baru muncul,

seperti misalnya ekologi lanskap, modeling tata ruang hutan, etika lingkungan,

konservasi biologi secara keseluruhan membantu kedewasaan ide manajemen lanskap.

Selain itu, terdapat juga perkembangan teknologi komputer untuk menangani

permasalahan sumberdaya hutan yang terdapat dalam skala luas dan waktu yang lama.

Guna menjamin nilai hutan secara lestari, para pengelola atau manajer memerlukan alat

pengambil keputusan yang lebih baik serta database spasial yang komprehensif.

Perkembangan Sistem Informasi Geografis (SIG) secara dramatis mampu meningkatkan

kemampuan manajer sumberdaya serta para peneliti untuk mengumpulkan,

menyimpan, mempertahankan, memanipulasi, membangun model serta memonitor

mosaik lanskap dengan menggunakan inventarisasi hutan digital. Monitoring hutan

dapat dilakukan melalui remote sensing dengan resolusi yang tinggi, Geographic

Positioning System (GPS) serta data yang diorganisir melalui GIS. Kemampuan tersebut

mampu mengubah cakupan permasalahan kehutanan serta pertanyaan yang diajukan.

Saat ini, dapat dikatakan mudah untuk melakukan klasifikasi spasial, menganalisis dan

membangun model dan memantau adanya perubahan hutan dalam skala yang luas

Page 27: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 14-20

dengan berbagai atribut yang ada disamping mencermati hubungannya dengan nilai

hasil hutan kayu dan non-kayu.

Sangat memungkinkan saat ini untuk membangun strategi manajemen spasial dengan

menerapkan teknik operational research seperti optimisasi, simulasi untuk

memanipulasi pola spasial dengan cara pendugaan target pola lanskap dari waktu ke

waktu. Dengan menguji adanya perubahan pola lanskap sebagai suatu aktivitas yang

terencana maupun intervensi manusia dan atau kejadian alam, maka dinamika lanskap

akan mudah dipahami. Penerapan GIS dikombinasikan dengan teknik penghitungan

komputer lainnya seperti artificial intellegence dan remote sensing data ataupun analisis

citra serta hasil inventarisasi memudahkan untuk mengelola jumlah data yang

berlimpah. Di samping itu, proses pengambilan keputusan akan menjadi semakin

berkualitas. Keadaan ini yang diinginkan bahwa manajemen lanskap akan menjadi

operasional. Strategi kebijakan untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas

peranannya serta memperkuat kerentanannya terhadap perubahan iklim dapat

dilakukan dengan cara menyusun model optimasi luas hutan dan mengintegrasikannya

ke dalam perencanaan penggunaan hutan dalam suatu wilayah DAS.

Kerangka konseptual yang disusun tersebut perlu dikomunikasikan ke berbagai lokasi

penelitian yang terpilih. Komunikasi tersebut diperlukan untuk verifikasi jenis data yang

diperlukan serta penyusunan rencana pengendalian penelitian di lapangan, termasuk

monitoring data dan pelaporan progres penelitian. Sehubungan dengan itu maka

kegiatan pengumpulan data lapangan sudah mulai dilakukan di awal tahun penelitian.

Termasuk pengumpulan data untuk kegiatan. Kajian Lanskap hutan pada berbagai

kondisi DAS dan Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan. Kegiatan

penelitian Integrasi multi-strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap dilakukan

pada tahun ke 2 setelah tersedia data awal dari penelitian yang lain.

Page 28: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 15-20

8.2. Kerangka Analisis

Manajemen lanskap hutan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

• Memahami konteks, prinsip dan relevansi pendekatan tingkat lanskap bagi tata

kelola sumberdaya alam saat ini;

• Memahami bagaimana proses perencanaan di tingkat lanskap dapat dibangun

serta bagaimana dapat difasilitasi;

• Mengenali berbagai alat yang dipakai untuk menerapkan pendekatan tingkat

lanskap dan berpengalaman dalam menerapkan serta mengadaptasinya sesuai

dengan kondisi aktual;

• Memahami peran pendekatan tingkat lanskap untuk memperbaiki pengambilan

keputusan, pengelolaan secara berkelanjutan serta monitoring sumberdaya

alam.

Kerangka analisis yang dipakai di dalam penelitian manajemen lanskap meliputi analisis

dinamika spasial penggunaan lanskap hutan yang dikombinasikan dengan dinamika

sosial-ekonomi dan politik para pengguna lanskap hutan. Kombinasi analisis tersebut

dapat dilakukan apabila tahapan penelitian tersebut dibawah dilaksanakan sesuai

dengan rencana yang telah disusun. Secara keseluruhan analisis manajemen lanskap

hutan dimaksudkan untuk menghasilkan model optimasi luas dan sebaran fungsi hutan

di dalam suatu wilayah.

Kegiatan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

• Review status riset manajemen lanskap hutan, untuk menghasilkan kerangka

konseptual Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Hutan.

• Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan dimaksudkan untuk

menghasilkan model lanskap hutan berbasis persepsi para pihak. Kegiatan ini

mencakup identifikasi persepsi multipihak tentang lanskap hutan dan identifikasi

berbagai faktor yang mempengaruhi persepsi multipihak tentang lanskap hutan

Page 29: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 16-20

• Analisis paduserasi Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan yang

dimasudkan untuk mengetahui demand dan suplai lahan kehutanan untuk

pembangunan daerah. Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan identifikasi

faktor koheren dan sinergitas penggunaan ruang dan identifikasi faktor yang

mempengaruhi alokasi dan penggunaan ruang

• Sintesa dan analisa model spasial dinamis dan model sosial-ekonomi lansekap

hutan.

9. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya

Rencana Penelitian Integratif akan dilaksanakan untuk jangka waktu lima tahun, dimulai

pada tahun 2010 dan diharapkan pada akhir tahun 2014 sudah dapat diperoleh hasil

akhirnya. RPI ini meliputi lima kegiatan penelitian yang akan dilakukan secara simultan

selama periode tersebut. Penelitian ini diawali dengan melakukan review status riset

manajemen lanskap pada tahun 2010, mengingat pendekatan ini merupakan hal baru

bagi kehutanan. Hasil review selanjutnya dipakai sebagai landasan untuk menyusun

kerangka konseptual (conceptual framework) penelitian integratif manajemen lanskap

hutan berbasis DAS. Selain itu juga dilakukan kegiatan analisis paduserasi tata ruang

wilayah (daerah) dengan tata guna hutan. Kedua kegiatan tersebut hanya dilakukan

selama satu tahun, yaitu di awal tahun penelitian 2010, mengingat informasi yang

dihasilkan dari kedua kegiatan tersebut menjadi landasan untuk penyusunan kerangka

konseptual yang selanjutnya akan diterapkan untuk pengumpulan data di lapangan.

Kegiatan akan dilaksanakan oleh Puspijak dan instansi lingkup Badan Litbang Kehutanan.

Instansi Pelaksana, Rencana Tatawaktu, dan Rencana Biaya tersaji dalam Tabel 1.

Page 30: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 17-20

Tabel 1. Instansi Pelaksana, Tata Waktu, dan Rencana Biaya KODE Program/ RPI/ Luaran/

Kegiatan PELAKSANA TAHUN PELAKSANAAN

2010 2011 2012 2013 2014 Program 1 Lanskap 1 RPI 1 Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 1.1 Luaran 1 : Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai

dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal di dalam penataan ruang wilayah

1.1.1 Review status riset manajemen lanskap hutan

1.1.1.4 Puspijak 100 1.1.2 Kajian Lanskap Hutan pada

berbagai kondisi DAS

1.1.2.4 Puspijak 100 100 100 1.1.2.11 BPTA Ciamis 125 1.1.2.7 BPK Aek Nauli 125 1.1.2.9 BPK Palembang 125 1.1.3 Analisis paduserasi Tata Ruang

Daerah dengan Tata Guna Hutan

1.1.3.4 Puspijak 150 1.2 Luaran 2 : Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan

perekonomian yang berwawasan lingkungan 1.2.1

Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan

1.2.1.4 Puspijak 100 100 1.2.1.9 BPK Palembang 100 1.2.1.7 BPK Aek Nauli 100 1.2.1.12 BPTP DAS Solo 100 1.2.2 Integrasi multiple strategi ke

dalam multi-level manajemen lanskap hutan

1.2.2.4 Puspijak 100 100 1.2.2.7 BPK Aek Nauli 100 1.2.2.9 BPK Palembang 100 TOTAL 100 800 400 400 125

Page 31: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 18-20

11. Organisasi

RPI akan dikoordinasi oleh Puspijak, dengan koordinator Ir. Retno Maryani, MSc. Dalam pelaksanaannya akan melibatkan UPT Lingkup Badan Litbang Kehutanan, seperti BPK Aek Na Uli, BPK Solo, BPK Makasar, juga dengan instansi terkait lainnya. Koordinator akan dibantu Tim Koordinasi yang ditetapkan oleh Kepala Puspijak. 12. Daftar Pustaka Anonimus. A hierarchical spatial framework for forest landscape planning. Ecological

Modelling 182 (2005) 25-48. www.sciencedirect.com Food and Agricultural Organization (2007) State of the World Forest Jianguo Liu., Kalan Ickes., Peter S. Ashton., James V Lafrankie and Manokaran (1999).

Spatial and Temporal Impacts of Adjacent Areas on the Dynamics of Species Diversity in a Primary Forests. In Spatial Modeling of Forest Lanscape Change: approaches and applications. Cambridge University Press.

Mladenoff, David.J., William Lawrence Baker (1999). Development of Forest and

Modelling approaches. In Spatial Modeling of Forest Lanscape Change: approaches and applications. Cambridge University Press.

Riiters, Kurt H., James D. Wickham and Timothy G Wade. An Indicator of Forest

Dynamics Using a Shifting Landscape Mosaic. Ecological Indicators, Volume 9 Issue 1. January 2009, pages 107-117.

Yanuariadi, Tetra (1999). Sustainable Land Allocation. GIS-based decision support for

industrial forest plantation development in Indonesia. ITC Publication Series, No 71 (Dissertation No. 59). ISBN 90-6164-167-5. International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC). PO.Box.6, 7500 AA Enschede. The Netherlands.

Page 32: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 19-20

14. Kerangka Kerja Logis

NARASI INDIKATOR

ALAT VERIFIKASI

ASUMSI

TUJUAN: Menyediakan strategi kebijakan (decission support system, dss) untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peran hutan dan meningkatkan ketahanan (resiliensi) hutan terhadap perubahan iklim.

Dihasilkannya rekomendasi yang dapat dipakai sebagai landasan pengambilan kebijakan untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peran hutan dan meningkatkan ketahanan hutan terhadap perubahan iklim.

Dokumen mengenai rekomendasi kebijakan untuk mempertahankan hutan yang dikemas dalam bentuk produk LHP, Publikasi Ilmiah, dan Policy brief

Tidak ada perubahan mendasar dalam hal kewenangan pemerintah untuk mengatur pengelolaan hutan (UU No. 41/1999) dan PP No.38/2007 Dukungan penuh dari pemerintah daerah yang mewakili tiga contoh DAS

SASARAN: • Tersedianya

rekomendasi mengenai luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari

• Tersedianya informasi mengenai interest para pihak ke dalam berbagai level manajemen dari tingkat operasional/lokal, wilayah hingga tingkat nasional

Telah dilaksanakannya penelitian penataan ruang dan penatagunaan hutan sesuai dengan karakteristik ekologi, ekonomi dan sosial yang mengutamakan daya dukung DAS

Sintesis hasil penelitian tentang peningkatan peran fungsi hutan dalam mempengaruhi iklim mikro, mengatur tata air dan melindungi keanekaragaman hayati. Sintesis hasil penelitian terkait dengan kegiatan perekonomian yang berwawasan lingkungan Sintesis hasil penelitian terkait dengan peranan hutan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat

Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan pembangunan wilayahnya berbasis DAS dan berwawasan lingkungan

Page 33: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 20-20

NARASI INDIKATOR

ALAT VERIFIKASI

ASUMSI

LHP Policy Brief Publikasi

LUARAN: 1. Rekomendasi model

penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal di dalam penataan ruang wilayah

2. Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan perekonomian yang berwawasan lingkungan

Dilaksanakannya : 1) Review status riset manajemen lanskap, 2) Kajian lanskap pada berbagai kondisi DAS, 3) Analisis padu serasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan Dilaksanakannya penelitian : 1) Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan, 2) Integrasi multiple strategi ke dalam multi level manajemen lanskap

Dokumen LHP, Publikasi dan Policy Brief Dokumen LHP, Publikasi dan Policy Brief

Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab

KEGIATAN: 1.1. Review status riset

manajemen lanskap hutan

1.2 Kajian lanskap hutan

pada berbagai kondisi DAS

Penelitian berhasil menemukan konsep penelitian integratif terkait manajemen lanskap hutan Penelitian berhasil: (1) menyusun karakteristik berbagai kondisi DAS; (2) mengidentifikasi sebaran luas dan fungsi hutan pada berbagai kondisi DAS; dan (3) menganalisi hubungan antara faktor sosial-politik,ekonomi dan ekologi- biofisik yang mempengaruhi sebaran luas dan fungsi

Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan aksesibilitas ke berbagai perpustakaan dan publikasi mudah Adanya dukungan penuh dari para pemangku kepentingan terkait dengan manajemen lanskap

Page 34: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 21-20

NARASI INDIKATOR

ALAT VERIFIKASI

ASUMSI

1.3 Analisis Paduserasi

Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan

2.1. Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan

2.2. Integrasi multiple strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap hutan

hutan pada berbagai kondisi DAS Penelitian berhasil: (i) menyusun pola paduserasi Tata Ruang dengan Tata Guna Hutan di tingkat nasional dan sub-nasional; dan (ii) menganalisis faktor sosial-politik, ekonomi dan ekologi/biofisik yang menentukan tercapainya paduserasi; Penelitian berhasil: (1) mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dengan manajemen lanskap hutan; (2) menyusun persepsi multipihak dalam hubungannya dengan manajemen lanskap hutan; dan (3) menganalisis faktor sosial-politik, ekonomi yang mempengaruhi persepsi multipihak terhadap manajemen lanskap hutan Penelitian berhasil: (1) menyusun berbagai strategi di dalam manajemen lanskap hutan; (2) mengidentifikasi adanya berbagai level manajemen lanskap hutan; dan (3) membuat model integrasi multiple strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap hutan

Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan pembangunan wilayahnya berbasis DAS dan berwawasan lingkungan Pemerintah Pusat dan Daerah bersungguh-sungguh melaksanakan pembangunan antar sektor di wilayahnya secara terpadu dan berwawasan lingkungan Tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh kepada arah penelitian

Page 35: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 22-20

Page 36: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 37: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 1-18

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 (REVISI)

PENGEMBANGAN HUTAN KOTA/LANSKAP PERKOTAAN

1. Abstrak

Pembangunan fisik di perkotaan yang perencanaannya kurang memadai telah menyebabkan rusaknya lingkungan perkotaan. Kondisi ini diperparah oleh kegiatan ekonomi di sektor produksi maupun konsumsi yang menghasilkan limbah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga ekosistem perkotaan tidak mampu lagi menampung dan mengolah limbah secara alami. Fakta yang kita lihat sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan yang buruk berupa kerusakan hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya ekosistem di perkotaan. Oleh karena itu, keinginan untuk menyejahterakan masyarakat akan tercapai apabila dilakukan perubahan kebijakan yang juga memperhitungkan manfaat keberadaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya genetik pohon-pohonan dan jasa lingkungan khususnya ekosistem di perkotaan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori ekosistem buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan, danau/situ, sempadan sungai, areal terbuka hijau, hutan tanaman, pekarangan, areal pemukiman, kawasan industri, jalan raya seperti jalan tol dan lain-lain. Prinsip pengembangan dan pengelolaan Hutan Kota untuk mencapai fungsinya adalah mengelola faktor lingkungan, sosial dan ekonomi. Dalam rangka tercapainya pembangunan dan pengembangan Hutan Kota di Indonesia, beberapa permasalahan mendasar yang teridentifikasi diantaranya, Rencana Induk Pembangunan Hutan Kota, pedoman dasar operasional pembangunan Hutan Kota, bencana banjir, masalah polusi udara, kontaminasi air tanah dan sungai serta sampah perkotaan. Promosi potensi sumberdaya genetik pohon-pohonan melalui upaya konservasi ex-situ pada ruang-ruang hijau di perkotaan, dan refungsionalisasi kawasan hijau, situ, danau, bantaran sungai sebagai daerah resapan air perlu dilakukan melalui pembangunan Hutan Kota dan ruang terbuka hijau yang terencana secara baik dan benar. Penelitian ini bertujuan menghasilkan data dan informasi serta IPTEK dalam rangka mendukung terciptanya keseimbangan lingkungan fisik (iklim mikro, kualitas udara, air dan radiasi) ekosistem perkotaan melalui pembangunan dan pengembangan Hutan Kota. Ruang lingkup kegiatan penelitian Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan tahun 2010-2014 adalah konservasi plasma nutfah pohon-pohonan, analisis kelembagaan dan peraturan pendukung, mencari komposisi jenis pohon sesuai dengan lokasi dan fungsi kawasan ruang terbuka hijau, pengembangan areal persemaian, model Hutan Kota di kawasan pemukiman, kawasan perkotaan, kawasan industri, bantaran sungai, situ dan bendungan, kajian nilai konservasi, ekonomi, jasa lingkungan, rekreasi dan estetika, Design Engineering Hutan Kota, dan pengembangan sistem pembangunan kawasan terbuka hijau baik di ekosistem hulu maupun ekosistem perkotaan. Melalui aktivitas di atas hasil yang diharapkan adalah rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi, policy brief, laporan kajian dan hasil-hasil penelitian serta bahan pembelajaran dalam rangka mendukung keberhasilan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan.

Page 38: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 2-18

Kata kunci: hutan kota, lanskap perkotaan, ekosistem, pengelolaan, sumberdaya genetik pohon-pohonan, konservasi tanah dan tata air.

2. Latar Belakang

Pembangunan fisik di perkotaan yang diharapkan dapat mensejahterakan kehidupan

manusia, dalam perkembangannya telah menimbulkan permasalahan tersendiri akibat

perencanaan yang kurang memadai. Pertumbuhan penduduk serta pembangunan

infrastruktur untuk mendukung kegiatan ekonomi di perkotaan menyebabkan terjadinya

kerusakan lingkungan seperti hilangnya ruang terbuka hijau, rusaknya fungsi resapan air,

polusi air dan udara.

Tujuan pembangunan pada dasarnya adalah terwujudnya peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Namun fakta yang kita lihat sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan

yang buruk berupa kerusakan hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya

ekosistem di perkotaan. Cita-cita untuk mensejahterakan masyarakat akan tercapai apabila

didukung oleh kebijakan yang mumpuni yang juga memperhitungkan manfaat keberadaan

sumberdaya alam termasuk plasma nutfah pepohonan dan jasa lingkungan khususnya

ekosistem di perkotaan sebagai sumber ekonomi tidak langsung. Upaya merevitalisasi

ekosistem di perkotaan dapat dilakukan, antara lain, melalui pengembangan Hutan

Kota/Lanskap perkotaan.

Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori buatan. Contoh ekosistem yang selalu

berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan yang serupa dengan

ekosistem danau/situ, sempadan sungai, ruang terbuka hijau, ekosistem pekarangan,

kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan industri dan jalan raya termasuk jalan

tol. Namun demikian, interaksi yang diharapkan tidak terjadi karena adanya kerusakan

beberapa komponen ekosistem. Sebagai contoh, kawasan sekitar danau di Jakarta-Bogor-

Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) yang jumlahnya ribuan pada umumnya mengalami

kerusakan. Oleh karena itu, ekosistem danau perlu menjadi prioritas dalam pengelolaannya

Page 39: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 3-18

karena merupakan bagian dari lingkungan perkotaan yang berfungsi sebagai pengatur iklim

dan banjir maupun sebagai tempat resapan air.

Walaupun upaya untuk memperbaiki ekosistem di perkotaan telah banyak dilakukan, antara

lain, dengan melakukan kegiatan penanaman di banyak lokasi di Jakarta (Gerakan Sejuta

Pohon, Pembangunan Hutan Kota Kampus UI Depok, Pembangunan Hutan Kota Eks Kawasan

Kemayoran, Pembangunan Hutan Kota Mabes TNI Cilangkap, Pembangunan Hutan Kota

Bumi Perkemahan Cibubur dan pembangunan hutan kota di banyak tempat di Jabodetabek

termasuk kegiatan konservasi alam berupa pengembangan koridor konservasi melalui

penanaman pohon di kawasan jalan tol), koordinasi dengan pihak terkait dalam

pengelolannya secara integratif perlu terus dilakukan.

Kiprah dan partisipasi Badan Litbang Kehutanan dalam kegiatan pembangunan dan

pengembangan Hutan Kota di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1989, melalui penelitian,

seminar di dalam dan luar negeri serta kerjasama dengan instansi terkait (Samsoedin et. al.,

1989a, 1989b, Samsoedin dan Sutisna, 1990, Samsoedin, 1991; Samsoedin, 1992; Samsoedin

dan Setyawati, 1993; Samsoedin dan Mogea, 1993; Samsoedin, 1994; Samsoedin, 1997a,

Samsoedin, 1997b; Samsoedin et. al., 2006; Samsoedin, 2007a; 2007b; 2007c ). Namun

secara aktif kegiatan ini dimulai lagi pada tahun 2006, antara lain, melalui dijalinnya

kerjasama dengan Pemerintah Kota Padang dalam pembuatan Design Engineering

Pembangunan Hutan Kota Malvinas seluas 20 hektar serta kerjasama dengan Pemerintah

Kota Bogor dalam evaluasi keberadaan pepohonan di kawasan hijau. Kerjasama antara

Kementerian Kehutanan dan PU yang ditandatangani oleh kedua Menteri terkait pada tahun

2006 tentang Penghijauan di kawasan jalan tol juga merupakan langkah nyata dalam

membangun RTH di sekitar perkotaan.

Permasalahan ekosistem perkotaan yang demikian kompleks telah mendorong Badan

Litbang Kehutanan untuk secara konsisten mengembangkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dalam rangka memperbaiki kerusakan ekosistem di perkotaan melalui kegiatan

penelitian pengembangan hutan kota/Lanskap perkotaan.

Page 40: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 4-18

3. Rumusan Masalah

Upaya mereduksi dampak negatif pembangunan fisik dan ekonomi perkotaan sudah banyak

dilaksanakan oleh berbagai pihak (pemerintah, swasta, masyarakat). Salah satu upaya yang

berdampak positif dalam mengatasi permasalahan ini adalah melalui pembangunan dan

pengembangan hutan kota yang sejak tahun 2002 telah memiliki kekuatan hukum dengan

diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Namun

demikian dalam perjalanannya PP No. 63 ini belum berjalan dengan optimal. Berdasarkan

latar belakang tersebut, maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan, khususnya PP. 63 tahun 2002

tentang Hutan Kota, dalam upaya perbaikan ekosistem perkotaan sudah cukup

memadai dan sejauhmana upaya para pihak dalam melaksanakannya?

2. Seberapa jauh masyarakat menghargai hutan kota dan Lanskap perkotaan dalam

konteks pembangunan perkotaan?

3. Ilmu pengetahuan dan teknologi apakah yang diperlukan untuk membangun dan

mengembangkan hutan kota/Lanskap perkotaan?

4. Tujuan dan Sasaran

Tujuan penelitian adalah menghasilkan data dan informasi serta ilmu pengetahuan dan

teknologi dalam rangka menyediakan strategi kebijakan (Decision Support System)

pengembangan hutan kota/Lanskap perkotaan dalam proses pengambilan keputusan.

Sasaran yang akan dicapai adalah:

1. Tersedianya rekomendasi terkait kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan

kota

2. Tersedianya rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi

3. Tersedianya rekomendasi tentang jenis-jenis pohon potensial untuk pengembangan

hutan kota

Page 41: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 5-18

4. Tersedianya rekomendasi bentuk ideal pengembangan zonasi fungsi hutan kota di

daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (Land lock)

5. Luaran

Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025 secara jelas memberi arahan

bahwa hutan telah ditetapkan sebagai azas dari Lanskap dan Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional (RTRWN) digunakan sebagai basis dalam arahan Lanskap. Disamping itu, target per

periode (phase) didasarkan pada urutan prioritas penanganan obyek, yaitu untuk

pengembangan hutan kota/Lanskap perkotaan diarahkan pada daerah perkotaan

berdasarkan tingkat kepadatan penduduk dibagi ke dalam dua zona, yaitu daratan tertutup

yang tidak mempunyai akses langsung ke laut (land locked cities) yang rentan terhadap

perubahan iklim karena terkendala batas administratif pemerintahan wilayah di sekitarnya

dan daerah perkotaan yang rentan terhadap perubahan iklim terutama dengan naiknya

permukaan air laut, yaitu perkotaan dengan elevasi rendah yang berada di sepanjang pantai

(low-laying coastal cities).

Luaran RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan yang hendak dicapai dalam waktu

lima tahun mendatang (kegiatan RPI tahun 2010-2014) adalah berupa:

1. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/Lanskap perkotaan

2. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/Lanskap perkotaan

Melalui dua luaran di atas diharapkan terwujudnya strategi pengembangan hutan

kota/lanskap perkotaan yang diadopsi oleh pengguna.

6. Ruang Lingkup

Penelitian difokuskan pada upaya-upaya penyediaan ilmu dan teknologi pengembangan

hutan kota/lanskap perkotaan dan pengembangan sistem kelembagaan yang mendukung

kebijakan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan. Kegiatan penelitian didasarkan

pada Road Map Penelitian dan Pengembangan Kehuanan 2010-2025, yaitu mencakup zonasi

Page 42: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 6-18

fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (land

lock).

7. Metodologi

7.1. Kerangka Konseptual

7.1.1. Sejarah Hutan Kota

Sejarah Hutan Kota telah dimulai sekitar 15.000 tahun lalu ketika manusia di Timur Tengah

dan Afrika Utara memulai kebiasaan hidup mereka secara menetap dengan melakukan

kegiatan bercocok tanam di sepanjang sungai Tigris, Euphrates, Indus dan Nil yang subur

(Miller, 1988). Peradaban manusia terus berlanjut di sepanjang sungai Nil dan sungai

Euphrates dan mencapai puncaknya pada 3.000 tahun Sebelum Masehi pada saat

dimulainya pembangunan piramid dan monumen-monumen lainnya. Pot-pot gantung (the

hanging gardens) di kota Babylon dipercaya oleh para ahli sebagai awal dari penggunaan

tanaman secara terencana (the intentional use of urban vegetation) (Miller, 1988).

Di Indonesia, ornamen tanaman pada candi Borobudur yang dibangun oleh Dinasti

Syailendra pada abad ke-8 merupakan bentuk sejarah pemanfaatan tanaman. Hutan Kota

sebenarnya telah dimulai oleh nenek moyang kita pada saat itu. Mereka telah menanam

pepohonan di sekitar tempat tinggalnya untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari.

Penanaman pohon secara lebih teratur dimulai oleh bangsa Belanda yang mulai menjajah

bangsa kita ketika mereka memasuki negeri ini pada tahun 1602. Bekas-bekas dari kegiatan

mereka masih nampak sampai sekarang dengan masih terpeliharanya pohon-pohon besar di

tepi jalan di kota Bogor, Bandung, Medan dan beberapa kota lainnya. Setelah merdeka,

penanaman secara berkelompok dilakukan pemerintah pada saat menjadi tuan rumah

Games of the New Emerging Forces atau yang kita kenal dengan Ganefo pada tahun 1963.

Pepohonan yang ditanam di sekitar Gelora Senayan 43 tahun yang lalu masih dapat kita lihat

disana. Namun demikian, secara resmi, pembangunan Hutan Kota dicanangkan oleh

Pemerintah pada saat menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Sedunia ke-7 di Jakarta

pada tahun 1978. Penanaman pohon oleh para peserta kongres di atas lahan 5 hektar di

Page 43: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 7-18

lingkungan Gedung Manggala Wanabakti menjadi patok sejarah dicanangkannya

pembangunan Hutan Kota.

Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan

pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara

maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang

dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang

meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Dalam Bab I Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi

Hutan Kota adalah memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air,

menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian

keanekaragaman hayati Indonesia.

Kerusakan hutan yang diakibatkan oleh perladangan berpindah dan perambahan ilegal yang

sering mengikuti kegiatan pembalakan dan kemudian diikuti oleh pembangunan perkebunan

kelapa sawit umumnya terjadi di hutan pamah dipterokarpa Kalimantan dan Sumatera

(Kartawinata dan Samsoedin, 2007). Melihat kenyataan terjadinya degradasi hutan alam

yang begitu cepat, upaya-upaya penyelamatan sumberdaya genetik pohon-pohonan harus

secepat mungkin dilaksanakan. Dalam kasus ini Hutan Kota dapat berperan sebagai kawasan

konservasi ex-situ bagi jenis-jenis pohon yang belum diketahui potensinya.

Prinsip pengembangan dan pengelolaan Hutan Kota untuk mencapai fungsinya sebagai

penunjang ekosistem perkotaan yang utama tersaji pada Gambar 1. Sedangkan faktor

lingkungan, sosial budaya dan ekonomi dalam pemilihan jenis dalam pengembangan Hutan

Kota disajikan dalam Gambar 2.

Page 44: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 8-18

Terlantar

Rehabilitasi

Diterlantarkan

Ekosistem Ruang Terbuka Hijau

Struktur Ekosistem Kota

Fungsi Ekosistem

Jenis Tanaman & Luas Areal

Pemulihan

Lahan Kritis, Terpolusi

Penggantian Jenis Tanaman

Pengayaan Jenis

Perkembangan

Ekosistem Normal

Gambar 1. Pengembangan jenis dan luas ekosistem ruang terbuka hijau menurut struktur dan fungsi dalam Hutan Kota (modifikasi dari Kartawinata dan Samsoedin, 2007)

Gambar-2. Faktor sosial budaya dan ekonomi pemilihan jenis pohon dalam pengembangan Hutan Kota

Faktor Tempat

Seleksi Jenis Faktor Sosial

• Estetika • Fungsi • Eksternal • Negatif

Kendala Kultural

• Struktur • Penutup lahan • Polusi • Utilities

Kendala Lingkungan

• Edafik • Iklim • Fisiografik • Biologis

Faktor Ekonomi

• Biaya pembangunan • Biaya pemeliharaan • Biaya pengangkutan

Page 45: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 9-18

7.1.2. Lanskap perkotaan.

Lanskap dapat diartikan sebagai tata ruang atau bentang alam yang di dalamnya terdiri dari

berbagai kegiatan baik yang berjalan secara alami maupun bentuk kegiatan yang

dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Oleh karena itu, proses kegiatan di dalam Lanskap akan

selalu berhubungan dengan proses sosial ekonomi dan ekologi atau yang dikenal dengan

ekologi Lanskap. Ekologi Lanskap merupakan ilmu baru yang baru dikembangkan di negara-

negara Eropa setelah Perang Dunia II. Perkembangan ekologi lanskap berjalan secara

progresif, dinamis dan merupakan proses global yang berhubungan dengan ilmu ekologi dan

berkaitan erat dengan berbagai disiplin ilmu seperti geografi, botani, zoologi, animal

behaviour dan arsitektur Lanskap (Farina, 1998).

Menurut Daryadi et.al. (2002), sejalan dengan berjalannya waktu, lanskap secara terus

menerus berubah. Perubahan ini merupakan bagian dari proses evolusi. Namun demikian,

perubahan atau degradasi lanskap bisa lebih cepat terjadi karena aktivitas manusia yang

menjadikan perubahan amat berbeda bila dibandingkan dengan perubahan pada lanskap

karena gangguan alam.

Perkembangan atau perubahan lanskap dapat dibedakan ke dalam lima tipe (Forman dan

Gordon (1986) dalam Daryadi et.al. 2002) sebagai berikut:

1. Lanskap alamiah (perkembangan/perubahan terjadi karena alam bukan manusia)

2. Lanskap pengelolaan (perkembangan/perubahan terjadi karena missmanagement

misal buruknya sistem pengelolaan hutan produksi)

3. Lanskap budidaya (perkembangan/perubahan terjadi karena budidaya usaha tani

yang terkait erat dengan pengembangan wilayah dan transportasi. Proses perubahan

Lanskap budidaya terjadi melalui tiga tahap, yaitu: usaha tani tradisional, kombinasi

tradisional dan moderen dan moderen yang pada perkembangannya menghasilkan

bentuk-bentuk pemukiman terpencar, kemudian berkelompok dan akhirnya menyatu

menjadi pedesaan dan perkotaan.

4. Lanskap pedesaan (perkembangan/perubahan terjadi karena adanya kegiatan

manusia, antara lain, kebun dan pekarangan).

Page 46: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 10-18

5. Lanskap perkotaan

Lanskap perkotaan terbentuk karena adanya perubahan struktur lanskap alamiah

yang terdegradasi menjadi bentuk alam perkotaan akibat aktivitas manusia.

Lingkungan di perkotaan sebagai penyangga kehidupan mahluk hidup khususnya manusia

terdiri dari berbagai ekosistem. Sastrapradja et al., (1989) mengklasifikasi ekosistem di

Indonesia menjadi empat kelompok ekosistem utama, yaitu: ekosistem bahari, ekosistem

darat alami, ekosistem suksesi dan ekosistem buatan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam

kategori buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan,

antara lain, bendungan yang serupa dengan ekosistem danau/situ, sempadan sungai, ruang

terbuka hijau, ekosistem pekarangan, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan

industri dan jalan raya seperti jalan tol.

7.2. Metode Analisis

Metode analisis untuk masing-masing luaran dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1. Metode Analisis RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan

Kegiatan Metode Analisis 1. Kajian kebijakan

pengembangan dan pengelolaan hutan kota

Penelitian akan dilaksanakan dengan : - Analisis dokumen - Analisis stakehoders - Lokakarya atau focused group discussion - Analisis sistem pengelolaan Hutan Kota yang ada

serta partisipasi masyarakat di perkotaan - Analisis ekosistem hutan di perkotaan yang

dilaksanakan dengan metode valuasi sumberdaya hutan yang sudah dikembangkan

- Analisis strategi alih teknologi dilakukan dengan menggunakan pendekatan kelayakan ekonomi, lingkungan dan sosial

2. Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan

Penelitian akan dilaksanakan melalui: • Kajian faktor biofisik • Analisis model hutan kota yang ada saat ini dan telah

ditetapkan oleh pemerintah setempat • Analisis peran masyarakat dalam pengembangan

hutan kota/lanskap perkotaan

3. Kajian jenis pohon potensial • Inventarisasi jenis-jenis pohon di perkotaan dalam

Page 47: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 11-18

Kegiatan Metode Analisis untuk pengembangan hutan kota

rangka mengidentifikasi jenis-jenis pohon yang sesuai dengan pola Hutan Kota yang akan dikembangkan

• Parameter pohon yang diukur: (1) Diameter dan tinggi pohon (2) Model tajuk, bentuk daun, bentuk cabang dan

bentuk batang (3) Kondisi pohon (4) Daya tumbuh di lahan kritis atau lahan terpolusi

dan lahan dengan keadaan air tanah tinggi (situ dan bantaran sungai)

(5) Fenologi pohon (buah dan bunga)

4. Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah panta dan daratan tertutup

• Analisis jenis-jenis pohon di daerah pantai dan daratan

• Analisis tipe ekosistem (alam dan binaan) di kawasan pantai dan daratan

7.3. Rencana Lokasi

Lokasi yang dipilih untuk pelaksanan kegiatan RPI adalah ibukota propinsi yang

pertumbuhan penduduknya meningkat dengan tajam dari tahun ke tahun. Selain

pertumbuhan penduduk, pertimbangan dipilihnya kota-kota di atas adalah karena kota-kota

tersebut merupakan urat nadi dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara sehingga

perlu diupayakan keseimbangan lingkungannya. Kota-kota yang dipilih adalah kawasan hilir

Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), kawasan hulu Bopuncur (Bogor-

Puncak-Cianjur), Bandung, Padang, Medan, Samarinda, Makasar, Mataram dan Denpasar,

meliputi Hutan Kota, taman kota, arboretum, kebun raya, kebun percobaan, kebun koleksi,

kebun botani, TAHURA (Taman Hutan Raya), pohon tepi jalan, lapangan golf, kawasan

industri, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, sempadan sungai, bantaran kereta api,

kolong jembatan, jalan layang, jalan tol, saluran listrik tegangan tinggi, kawasan sekitar

danau,waduk, rawa, zona penyangga, perkebunan, perladangan, persawahan, pertanian dan

kawasan pantai.

Page 48: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 12-18

8. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya

Waktu penelitian RPI adalah 5 tahun (2010-2014) dan rencana tata waktu pelaksanaan

kegiatan penelitian pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan yang akan dilaksanakan

oleh Puspijak dan UPT litbang Kehutanan di daerah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya

Kode TEMA/RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA

TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)

2010 2011 2012 2013 2014

TEMA 7 LANSEKAP HUTAN

2 Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan

2.1 Luaran 1 : Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/lanskap perkotaan

2.1.1 Kajian kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota

2.1.1.4 PUSPIJAK 100 100 100 100

2.1.1.7 BPK Aek Nauli 100

2.1.1.18 BPK Makasar 100

2.1.1.11 BPTA Ciamis 100

2.1.1.6 BBPD Samarinda 100

2.2 Luaran 2 : Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/lanskap perkotaan

2.2.1 Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota

2.2.1.7 BPK Aek Nauli 100

2.2.1.9 BPK Palembang 100

2.2.1.18 BPK Makasar 100

2.2.1.11 BPTA Ciamis 100

2.2.2 Kajian jenis pohon potensial untuk

Page 49: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 13-18

Kode TEMA/RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA

TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)

2010 2011 2012 2013 2014

pengembangan hutan kota

2.2.2.4 PUSPIJAK 150 150 150 150

2.2.2.7 BPK Aek Nauli 150

2.2.2.18 BPK Makasar 150

2.2.2.11 BPTA Ciamis 150

2.2.3 Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup

2.2.3.4 PUSPIJAK 100 100 100 100

2.2.3.7 BPK Aek Nauli 100

2.2.3.9 BPK Palembang 100

2.2.3.18 BPK Makasar 100

TOTAL ANGGARAN 200 800 700 600 650

9. Organisasi

Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Puspijak dengan Koordinator RPI : Dr. Ir.

Ismayadi Samsoedin, M.Sc dan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan

seperti BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Makasar, BPTA Ciamis dan BBPD Dipterokarpa

Samarinda. Jika diperlukan, outsourcing dari instansi terkait lainnya dapat dilakukan.

Page 50: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 14-18

10. Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2009. ROADMAP Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Departemen Kehutanan. Daryadi, L., Q.A.B. Priarso, T.S. Rostian dan E. Wahyuningsih. 2002. Konservasi Lanskap.

Alam, Lingkungan dan Pembangunan. Penerbit: Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia/Indonesian Zoological Parks Association.

Farina, A. 1998. Principles and Methods in Landscape Ecology. Chapman and Hall. London-

Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Forman, R.T.T. and M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Wiley&Son. Inc. Kartawinata, K. dan I. Samsoedin. 2007. Rehabilitasi Lahan Hutan Rusak dan Pemulihan

Ekosistem di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Miller, R. W. 1988. Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces. Prentice Hall,

aglewood Cliffs, New Jersey 07632. Samsoedin, I., J.P Mogea and O. Satjapraja. 1989a. Potential Forest Plants for Ornamental

Purposes. Flower Cultivation and Bussiness Seminar. Jakarta, 12-13 June. Samsoedin, I.,S. Riswan and Y. Jafarsidik. 1989b. Endangered Plant Species with Emphases on

Economic Tree Species. Asean Workshop. Bogor, 20-21 June. Samsoedin, I. dan U. Sutisna. 1990. Prospek Pengembangan Jenis Pohon Serba Guna. Prosiding

Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Jenis-Jenis Pohon Serba Guna. Kerjasama Badan Litbang Kerhutanan-Departemen Kehutanan dengan F/Fred Project Winrock International. Bogor, 19-20 Juni.

Samsoedin, I., 1991. The Role of Trees in an Urban Area in Indonesia. School of Agricultural and

Forest Sciences. University of Wales, Bangor, Gwynedd LL 572 UW, United Kingdom (unpublished).

Samsoedin, I., 1992. Structural Damage Caused by Tree Roots in the London Area. School of

Agricultural and Forest Sciences, University of Wales, Bangor, Gwynedd LL 572 UW, United Kingdom. MSc, Thesis. (Unpublished).

Samsoedin, I. and T. Setyawati. 1993. Urban Forestry and It’s Role in Conserving Biodiversity:

The Case of Jakarta. Tropical Environmental Management Workshop, Biodiversity for Sustainable Development in Southeast Asia. Dumoga Bone National Park. Toraut, North Sulawesi. February 6-18. p.24.

Page 51: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 15-18

Samsoedin, I. and J.P. Mogea. 1993. Ex-situ Biodiversity Conservation in Some Urban Areas in Indonesia. XV International Botanical Congress, Yokohama, Japan. August 28-September 3.

Samsoedin, I. 1994. Toraut Arboretum, A Proposed Site for Biodiversity Ex-situ Conservation

and Sustainable Development for Wallace Area. Wallace Development Institute, Jakarta. Serpong, 6-9 june.

Samsoedin, I. 1997a. Potential Indigenous Plants for Urban Areas. Paper Presented on the

Workshop on Biodiversity, FRIM, Kuala Lumpur, Malaysia. 27-28 November. Samsoedin, I. 1997b. Studi potensi jenis-jenis pohon Indonesia untuk daerah perkotaan. Hal

183-188. Dalam. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Penelitian. Penerapan hasil Litbang Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) untuk Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Diterbitkan oleh: P3HKA, Bogor 20-21 Maret. 193 hal.

Samsoedin, I., E. Subiandono, dan M. Bismark. 2006. Pembangunan dan Pengelolaan Hutan

Kota. Paper dipresentasikan pada diskusi GETEK, Padang. Samsoedin, I. 2007a. Sejarah perkembangan hutan kota di Indonesia dan fondasi hukumnya.

Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished).

Samsoedin, I. 2007b. The ‘bush’ city of Bogor. Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam.

Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Samsoedin, I. 2007c. Sekelumit tentang kota Bogor dan pepohonannya. Kelompok Peneliti

Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Sastrapradja, D.S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja dan M. A. Rifai. 1989.

Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Manusia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi-LIPI. Bogor.

Whitmore, T.C and I. Samsoedin. 1993. Description of Forest Types of The Bukit Tigapuluh

Area. p.25 – 27. In: Rain Forest and Resource Management. Proceedings of the Norindra Seminar, Jakarta, 25 – 26 May. p.233.

Page 52: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 16-18

11. Kerangka Kerja Logis No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi 1 Tujuan:

Menyediakan strategi kebijakan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan proses pengambilan keputusan

Dihasilkannya rekomendasi strategi pengembangan hutan kota/ lanskap

Dokumen mengenai : • Rekomendasi

kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi

• Petunjuk teknis revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan

• Informasi tentang teknologi revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan yang dikemas dalam LHP, Publikasi. Policy Brief

• Pemerintah

(Propinsi dan Kota/ Kabupaten) mendukung program pembangunan hutan di perkotaan

• Ada kepastian kawasan/ lanskap perkotaan.

2. Sasaran 1. Tersedianya

rekomendasi terkait kebijakan pengembangan dan pengeolaan hutan kota

2. Tersedianya

rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi

• Telah

dilaksanakannya kegiatan penelitian terkait sistem pengelolaan dan ekosistem hutan kota dalam implementasi PP 63 tahun 2002

• Telah

dilaksanakannya kegiatan penelitian terkait kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi

• LHP dan policy

brief tentang PP 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota

• Sintesis hasil

penelitian, publikasi dan policy brief tentang kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi

Tersedianya hasil-hasil penelitian yang dapat digunakan sebagai dasar dalam membuat kebijakan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan

Page 53: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 17-18

No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi 3. Tersedianya

rekomendasi tentang jenis-jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota

4. Tersedianya

rekomendasi bentuk ideal pengembangan zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (Land lock)

• Dilaksanakannya

penelitian terkait dengan jenis-jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota

• Dilaksanakannya

kegiatan penelitian terkait dengan bentuk pengembangan zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai dan daratan tertutup

• LHP, policy

brief, publikasi tentang fungsi hutan kota di daerah pantai dan daratan tertutup

• Pembahasan

hasil-hasil penelitian di tingkat Badan Litbang Kehutanan

3 Luaran: 1. Hasil kajian dan

rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/lanskap perkotaan

2. Hasil kajian dan

rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/lanskap perkotaan

Dilaksanakannya penelitian tentang aspek kebijakan pengelolaan dan pengembangan hutan kota Dilaksanakannya penelitian : 1) Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/hutan kota, 2). Kajian jenis potensial untuk pengembangan hutan kota, 3) Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota

• Dokumen

sintesis, LHP, publikasi dan policy brief

• Dokumen

sintesis, LHP, publikasi ilmiah dan semipopuler, policy brief, buku mengenai jenis-jenis pohon untuk pengembangan hutan kota yang dilengkapi

• Sumberdaya

penelitian tercukupi.

• Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan dengan baik oleh para pelaksana

• Data sudah lengkap dan valid.

Page 54: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 18-18

No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi daerah pantai dan daratan tertutup

dengan deskripsi, gambar dan lain-lain.

• Demplot model hutan kota yang dilengkapi dengan koleksi jenis-jenis pohon potensial kurang dikenal.

4 Kegiatan: 1.1 Kajian kebijakan

pengembangan dan pengelolaan hutan kota

2.1. Kajian peran

faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan

2.2. Kajian jenis

pohon potensial untuk pengembangan hutan kota

2.3. Kajian

pengembangan

• Penelitian dapat

memberikan informasi tentang status terkini IPTEK dan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengembangan ekosistem hutan di perkotaan

• Penelitian dapat

memberikan informasi untuk penyusunan kebijakan sosialisasi revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan

• Penelitian dapat

memberikan informasi kemampuan jenis-jenis pohon dalam menyerap dan menyerap polutan.

• Penelitian dapat

memberikan

• Dokumen hasil

penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian

• Bahan pembelajaran untuk pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan

• Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian

• Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian

• Dokumen hasil penelitian,

• Penelitian

berlangsung sesuai RPTP.

• Tidak ada kendala teknis.

• Koordinasi berlangsung secara baik.

Page 55: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 19-18

No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup

informasi dan persyaratan teknis pembangunan dan pengelolaan jenis-jenis pohon untuk kawasan perkotaan; taman, jalur ruang terbuka hijau, kawasan pemukiman, kawasan industri, bantaran sungai, kebun dan pekarangan.

• Penelitian dapat

memberikan informasi tentang potensi dan nilai ekologis ruang terbuka hijau di perkotaan, serta dapat menjawab permasalahan dalam mewujudkan Hutan Kota yang sesuai fungsinya.

publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian

Page 56: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 57: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 1-15

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010 – 2014 (REVISI)

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI

DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI

1. Abstrak

Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation, REDD+) merupakan suatu upaya untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Hal ini karena semua negara yang sudah meratifikasi kesepakatan kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim mempunyai kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan prinsip permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common but differentiated responsibilities). REDD+ ini merupakan mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Untuk mengetahui upaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim tanpa mengurangi tujuan pembangunan lokal dan nasional diperlukan dukungan penelitian yang integratif mencakup aspek sosial, ekonomi, kebijakan. Dukungan penelitian ini diperlukan mulai dari tahap persiapan, sampai tahap pelaksanaan untuk mencapai keberhasilan mekanisme REDD+. Beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis biaya manfaat dan lain-lain. Penelitian yang akan dilakukan ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait REDD+ yaitu, bagaimana: (i) meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan carbon, (ii) mempertahankan stok carbon, dan (iii) mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi. Analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut mencakup aspek kelembagaan dan kebijakan yang diperlukan, temasuk bagaimana melibatkan semua pihak dalam kesepakatan global termasuk masyarakat lokal dan adat, aspek ekonomi termasuk pendanaan dan pemasaran yang paling feasibel, analisis manfaat dan resiko, serta penanganan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan dan distribusi manfaat dan tanggung jawab di semua tingkat pelaksanaan. Pada akhir kegiatan diharapkan diperoleh rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD+ dalam bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai bahan pembelajaran REDD+. Kata Kunci : biaya, Emisi, karbon, kebijakan, kelembagaan, manfaat, REDD+, resiko,

sistem

Page 58: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 2-15

2. Latar Belakang

Pengurangan Emisi dari Deforestasi1 dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from

Deforestation and Forest Degradation, REDD) merupakan suatu upaya untuk

mengatasi masalah perubahan iklim. Hal ini karena semua negara yang sudah

meratifikasi kesepakatan kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai

Perubahan Iklim (UNFCCC) mempunyai kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim

berdasarkan prinsip permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common

but differentiated responsibilities). Indonesia melalui UU No. 6/1994 telah mensahkan

konvensi UNFCCC ini.

Deforestasi dan degradasi hutan memberikan kontribusi terhadap emisi CO2.

Kontribusi deforestasi dan degradasi hutan terhadap emisi gas rumah kaca global

yaitu 18 %, (Stern, 2007), dan 75 persennya berasal dari negara berkembang. Stern

(2007) juga mengemukakan untuk menekan laju emisi global pada level 440-550 ppm

atau untuk menstabilkan kembali iklim global, apabila dilakukan saat ini diperlukan

biaya sebesar 1 sampai 3.5% GDP global2. Apabila upaya penekanan ini ditunda, biaya

dan resikonya akan lebih tinggi, bahkan dapat mencapai 5 - 20 % dari GDP global.

Karena itu Indonesia mempunyai peran yang penting untuk mengatasi dampak

perubahan iklim. Hal ini terutama karena luasnya hutan Indonesia dan pentingnya

penghindaran deforestasi dalam upaya mengurangi emisi CO2. Luas kawasan hutan di

Indonesia yang mencapai 120 juta ha atau sekitar 60 persen dari total luas Indonesia

mempunyai fungsi langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Selain

berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung, dan 5.4

persen angkatan kerja tidak langsung, hutan merupakan tulang punggung ekonomi

1Definisi deforestasi yang akan digunakan perlu disepakati. Menurut Keputusan 11/CP.7UNFCCC deforestasi didefinisikan sebagai konversi hutan menjadi bukan hutan sebagai akibat langsung dari aktivitas manusia. Di dalam submisi ke SBSTA 25 yang lalu, Indonesia mengajukan definisi “Deforestasi sebagai hilangnya hutan akibat aktivitas manusia yang meliputi konversi hutan menjadi penggunaan lain yang memiliki stok karbon yang lebih rendah, dan hilangnya hutan akibat dari proses degradasi yang berkelanjutan sebagai akibat dari kebakaran yang beruntun dan pemanenan kayu yang tidak berkelanjutan”. 2 1 % GDP global saat ini sekitar US $ 400 million.

Page 59: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 3-15

nasional antara tahun 1980s – 1990s. Fungsi tidak langsung hutan adalah sebagai

sumber mega biodiversitas, pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan

tanah. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink

(penyerap/penyimpan carbon) maupun source (pengemisi carbon). Deforestasi dan

degradasi hutan meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan

pertanaman lainnya meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang terjadi di

kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi terutama konversi hutan untuk

penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, dan

prasarana wilayah, serta degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging,

kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), dan perambahan.

Ditambah dengan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan belasan ribu

pulau, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, baik dari sisi lingkungan,

sosial, ekonomi. Karena itu mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim adalah

masalah survival dan masalah pembangunan yang berkelanjutan. Dan perubahan iklim

merupakan salah satu kendala dalam upaya mencapai pembangunan kehutanan yang

berkelanjutan dan penanggulangan kemiskinan. Hal ini karena dari sisi suplai, pertama,

proporsi luas hutan di Indonesia, menyebabkan kehutanan merupakan sumber daya

strategis untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akibat kemungkinan

meningkatnya emisi GRK. Kedua, tinggi tingkat ketergantungan terhadap sektor

berbasis lahan seperti pertanian dan kehutanan, yang sensitif terhadap perubahan

iklim. Ketiga, relatif rendahnya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita yang

menjadikan kapasitas terbatas.

Page 60: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 4-15

Secara lebih terinci pengurangan emisi kehutanan diarahkan pada:

a. Peningkatan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan carbon

(semua kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan),

b. Mempertahankan stok carbon (konservasi hutan dan Sustainable Forest

Management yang merupakan hasil dari Bali Plan di Conference of the Parties

(COP) 13 di Bali, yang dikenal dengan sebutan REDD+3),

c. Mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi: PHL, pencegahan illegal

logging, penanggulangan kebakaran, pencegahan konversi dan perambahan

Beberapa kegiatan yang berkaitan adalah rehabilitasi hutan dan lahan yang

terdegradasi dan mengelola hutan yang masih tersisa, mengelola kawasan

konservasi, kawasan lindung, dan hutan produksi alam, mencegah konversi dan

kebakaran hutan. Dengan dilakukan kegiatan ini berarti Indonesia sudah mengurangi

emisi CO2 dan meningkatkan resiliensi terhadap perubahan iklim. Rehabilitasi lahan

terdegradasi dan mengarahkan pengembangan hutan tanaman dan perkebunan ke

lahan-lahan tersebut, akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan

menyimpan carbon, dan pada akhirnya juga meningkatkan resiliensi terhadap

perubahan iklim. Disamping itu juga mempertahankan fungsi-fungsi lain seperti

konservasi sumberdaya genetik dan keaneka-ragamannya, perlindungan tata air, serta

fungsi sosial-ekonomi terutama bagi masyarakat yang menggantungkan sumber

penghidupannya dari hutan.

Karena itu, tekanan perubahan iklim memerlukan penetapan kebijakan dan strategi

yang dapat mengakomodasi semua pihak baik di tingkat lokal, nasional, regional

maupun global. Selain itu, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan

akan memberikan revenue yang signifikan bagi Indonesia dalam mendukung

pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan. Potensi tersebut akan sangat ditentukan

oleh kesiapan dan kemampuan Indonesia melakukan: (i) Pemantauan perubahan

penutupan hutan dan cadangan stok karbon, dan (ii) Kesiapan perangkat peraturan

3 Dengan definisi ini artinya, kegiatan pengayaan hutan, penerapan sistem silvikultur dengan dampak tebang rendah (reduced impact logging), menkonservasi karbon di hutan konservasi dan lindung, dapat masuk ke dalam kategori kegiatan REDD plus.

Page 61: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 5-15

dan kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan REDD baik secara horizontal maupun

vertikal.

3. Rumusan Masalah

Sebagai suatu mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif

positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan

degradasi hutan dan merupakan hasil kesepakan negara-negara yang tergabung dalam

kerangka konvensi UNFCCC, REDD mensyaratkan berbagai kesepakatan yang

dikeluarkan dalam setahun sekali dalam konferensi para pihak UNFCCC. Kesepakatan

ini diharapkan dapat diakomodasi oleh negara yang menginginkan mekanisme REDD

ini diterapkan. Untuk Indonesia, berdasarkan studi MoFor (2008), diperlukan lima pilar

penyangga kegiatan REDD yaitu: (i) Pembangunan Referensi Tingkat Emisi (Reference

Emission Level – REL )4, Penyiapan Strategi REDD Indonesia, (iii) Pembangunan

Monitoring Sistem, (iv) Mekanisme Pasar, dan (v) Mekanisme Distribusi Insentif dan

Tanggung Jawab.

Untuk mempersiapkan kelima pilar tersebut diperlukan upaya yang tidak sedikit, mulai

dari peningkatan kesadaran dan peningkatan kapasitas untuk para pihak terkait REDD,

konsultasi dan komunikasi stakeholders, peningkatan akses terhadap data, informasi,

dan teknologi; penyiapan regulasi dan identifikasi dan pelibatan instansi penanggung

jawab dan pihak-pihak yang menangani atau terkait pengurangan emisi dari

deforestasi dan degradasi.

Untuk menjawab masalah tersebut, diperlukan dukungan penelitian yang integratif,

yang mencakup aspek sosial, ekonomi, kebijakan. Penelitian yang akan dilakukan

ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait REDD+ yaitu, bagaimana: (i)

meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon, (ii)

4 Emisi referensi merupakan tingkat emisi yang akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar tingkat penurunan emisi yang berhasil dilakukan dari pencegahan kegiatan konversi dan kerusakan hutan yang akan dijadikan basis besarnya kompensasi yang akan diberikan. Penentuan emisi referensi masih akan dinegosiasikan di COP13 di Bali, diantaranya dengan mengikuti pola emisi historis, dengan membuat model pendugaan emisi ke depan dan dengan menggunakan besar emisi atau stok karbon sebelum atau menjelang kegiatan REDD dilaksanakan (MoFor, 2008).

Page 62: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 6-15

mempertahankan stok karbon, dan (iii) mengurangi emisi dari deforestasi dan

degradasi. Analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut mencakup aspek

kelembagaan dan kebijakan yang diperlukan, temasuk bagaimana melibatkan semua

pihak dalam kesepakatan global termasuk masyarakat lokal dan adat, aspek ekonomi

termasuk pendanaan dan pemasaran yang paling feasibel, analisis manfaat dan resiko,

serta penanganan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan dan distribusi manfaat dan

tanggung jawab di semua tingkat pelaksanaan.

4. Hipotesis

Hipotesis yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Peningkatan kapasitas hutan dalam pengurangan emisi merupakan upaya

strategis untuk mitigasi GRK.

2. Faktor tingginya tingkat ketergantungan terhadap sektor berbasis lahan seperti

Pertanian, Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi dan Depdagri,

memerlukan penangan harmonisasi kebijakan, regulasi, institusional dan teknis

bersama.

3. Kondisi sosial dan ekonomi lokal, nasional, dan internasional berpengaruh pada

perumusan kebijakan dan kelembagaan untuk strategi pengurangan emisi

mitigasi kehutanan.

5. Tujuan dan Sasaran

Tujuan umum penelitian ini adalah menyediakan IPTEK sosek dan kebijakan

pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan. Tujuan penelitian secara

khusus adalah:

1. Mengidentifikasi dan merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim kehutanan

dengan melakukan analisis terhadap:

a. Distribusi insentif dan peran dalam REDD+

b. Tata kelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD+

Page 63: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 7-15

c. Pasar

d. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi)

e. Resiko

f. Colateral Benefit

g. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat/ parapihak

2. Menghasilkan rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dalam

bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai

bahan pembelajaran REDD+.

Sasaran penelitian ini adalah :

1) Tersedianya informasi pengetahuan dan teknis sosial ekonomi

a. Distribusi insentif dan tanggung jawab

b. Tatakelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD+

c. Pasar

d. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi)

e. Resiko

f. Colateral Benefit

g. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat/ parapihak

2) Tersedianya rekomendasi strategis iptek sosek dan kebijakan dalam

mendukung implementsi REDD+

6. Luaran

a. Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim

b. Rekomendasi kebijakan strategi REDD+

7. Ruang Lingkup

Penelitian ini didasarkan pada Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

2010-2025 dan infrastruktur yang diperlukan dalam persiapan REDD sebagaimana

dilihat dalam Gambar 1. Fokus dari penelitian ini sesuai dengan temanya difokuskan

Page 64: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 8-15

pada infrastruktur 2, 4 dan 5, yaitu strategi, pasar dan pendistribusian tanggungjawab

dan insentif dari REDD. Dengan coverage dari kegiatan ini nasional dan sub nasional.

CO2 $Reference

Emission Level Strategy Monitoring Market/Funding

Distribution

1 2 3 4 5

WG-FCCREDDI Guideline REDDI Committee

Historical emission/future scenario

• Forest cover and carbon stock changes,

• National registry

National approach,sub-nationalimplementation

Attractiveness,Source of fund

Awareness raisingCapacity buildingAccess to dataAccess to technologyStakeholders communication

Rekomendasi IFCA 2007 : Strategi REDD di 5 tipe landscapes : Hutan Produksi, Hutan Konservasi, HTI, Peat land, Pengembangankelapa sawit (terkait perubahanpenggunaan lahan)

Responsibilities and benefits

Gambar 1. Infrastruktur yang Diperlukan REDD (MoF, 2008)

8. Metodologi

8.1. Kerangka Pikir Riset

Riset ini akan lebih memfokuskan pada bagaimana fungsi hutan sebagai pengemisi

karbon dapat dihindari, beserta mekanisme pendanaan dan metodologi yang telah

diakui secara internasional, baik voluntary maupun compliance (REDD).

Kerangka pikir riset dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar terlihat bahwa aspek

yang akan dilihat adalah: (i) aspek sosial dan budaya, (ii) ekonomi dan (iii) kelembagaan

dan kebijakan, serta (iii) metodologi, monitoring dan pelaporan. Aspek sosial dan

budaya akan meliputi tenurial, resiko sosial, masyarakat adat dan peningkatan

kapasitas parapihak umumnya. Untuk aspek ekonomi mencakup Distribusi insentif dan

peran dalam REDD+. Untuk aspek ekonomi mencakup tatakelola, kelembagaan dan

kebijakan REDD+, Pasar Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan

Page 65: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 9-15

Transaksi), Resiko dan colateral benefit. Untuk kelembagaan dan kebijakan meliputi

penelitian kesiapan kelembagaan, termasuk regulasi dan kelembagaan.

Problem 2Rehabilitasi, Deforestasi,

Degradasi hutan

Problem 1Pemanasan Global

Sink/Removal

Source/EmisiHutan

REDDVolunCDM

Pengguna

Kebijakan,

Kelm

bagaandan

Institusi

Funds

Gambar 2. Kerangka Pikir Riset Integratif

8.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi:

1. Desk study dalam upaya mencari riset status dan sinkronisasi penelitian yanga

telah dan sedang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian seperti CIFOR,

ICRAF, universitas, dan lembaga penelitian lainnya.

2. Survei dalam rangka pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif di tingkat

sub nasional di daerah dan nasional di pusat. Di daerah (dinas kehutanan

provinsi dan kebupaten/kota), Swasta, BUMN, serta masyarakat dan kalangan

LSM, dalam rangka validasi dan pengkayaan hasil desk study.

3. Wawancara (konsultasi) dengan pakar yang terkait dari lembaga penelitian dan

universitas.

Page 66: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 10-15

8.3. Metode Analisis

Beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan

memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan,

analisis sistem, analisis biaya manfaat dan lain-lain. Secara umum analisis yang

digunakan tertera dalam Gambar 3.

SIMPANAN DAN EMISI KARBON

KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN

REDDI DAN MEKANISME PERDAGANGAN

PENDEKATAN KUANTITATIFModeling, Simulasi, Kuantitatifanalysis, Economic analysis, Analisis biaya

PENDEKATAN KUANTITATIF DAN KUALITATIFMatrix, AHP, PRA, IPCC guideline

PENDEKATAN EMPIRIS Uji konsistensi, Gap

Analisis, Skoring

Gambar 3. Metode Analisis Penelitian

Secara khusus, metode analisis akan diperjelas dalam masing-masing Rencana

Penelitian Tim Peneliti (RPTP).

Page 67: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 11-15

9. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya

Instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian RPI Ekonomi dan

Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian

Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA

TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)

2010 2011 2012 2013 2014

Program 7 Perubahan Iklim

16 Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi

16.1 Luaran 1 : Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim

16.1.1 Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD+

16.1.1.4 PUSPIJAK 150 100

16.1.2 Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD+

16.1.2.4 PUSPIJAK 200 200

16.1.2.6 BBPD Samarinda 100 100

16.1.2.8 BPTSTH Kuok 100 100

16.1.2.12 BPTP DAS Solo 100

16.1.3 Analisis Sosial budaya REDD+

16.1.3.4 PUSPIJAK 150 200 100

16.1.3.6 BBPD Samarinda 100 100

16.1.3.19 BPK Manokwari 100 100

16.1.3.18 BPK Makassar 100 100

16.2 Luaran 2. Rekomendasi kebijakan strategi REDD+

16.2.1 Kajian Tatakelola REDD+

16.2.1.4 PUSPIJAK 200 200

16.2.1.18 BPK Makassar 100

16.2.1.19 BPK Manokwari 100

16.2.2 Analisis Pasar dan Pendanaan REDD+

Page 68: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 12-15

Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA

TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)

2010 2011 2012 2013 2014

16.2.2.4 PUSPIJAK 200 200 200

16.2.3 Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD+

16.2.3.4 PUSPIJAK 150 200 200

16.2.3.6 BBPD Samarinda 100 100 100

16.2.3.11 BPTA Ciamis 100

16.2.3.13 BPT HHBK Mataram 100 100

TOTAL ANGGARAN 550 1900 1600 500

10. Organisasi

RPI ini berada dibawah koordinasi Puspijak, dengan koordinator Dr. Kirsfianti L Ginoga.

Dalam Pelaksanaannya akan melibatkan UPT lingkup Badan Litbang Kehutanan seperti

BBPD Samarinda, BPK Manokwari, serta instansi terkait lainnya.

11. Daftar Pustaka

Boer, R. 2007. Presentasi pembukaan pada Workshop Nasional IFCA. Jakarta. November 2007.

Chomitz, K.M. 2006. Policies for national-level avoided deforestation programs: a

proposal for discussion. Background paper for Policy Research Report on Tropical Deforestation

Geoffrey Heal, G. and Kevin Conrad. 2005. A solution to climate change in the world’s

rainforests Financial Times. http://www.typepad.com/t/trackback/3762041. Indonesia Forestry Climate Alliance (IFCA). 2007. Laporan konsolidasi Penurunan emisi

gas rumah kaca dari pencegahan konversi dan degradasi hutan (REDD). Departemen Kehutanan. Jakarta

IPCC. 2000. Land use, Land-use change, and Forestry-Intergovernmental Panel on

Climate Change Special Report (eds. Watson R.T., Noble I.R., Bolin B., Ravindranath N.H., Verardo D.J., Dokken D.J.) Cambridge University Press,

Page 69: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 13-15

IPCC. 2001. Summary for Policy Makers. In Climate Change 2001: Mitigation

Contribution of Working Group III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge University Press: Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the

National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.IPCC

Kremen, C., J. O. Niles, M. G. Dalton, G. C. Daily, P. R. Ehrlich, J. P. Fay, D. Grewal, R. P.

Guillery. 2000. Economic Incentives for Rain Forest Conservation Across Scales. Science. June 2000 Vol 288. www.sciencemag.org.

Moutinho, P. dan Stephan Schwartzman. 2005. Tropical Deforestation and Climate

Change. IPAM - Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia ; Washington DC - USA

Stern, N. 2007. Stern Review: The Economics of Climate Change. Murdiyarso, D, dan Hetty Herawati. 2005. Carbon Forestry: Who Will Benefit?. CIFOR.

Bogor. Moutinho, Paulo, and Stephan Schwartzman. 2005. Tropical deforestation and climate

change edited by. -- Belém - Pará - Brazil : IPAM - Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia ; Washington DC - USA : Environmental Defense.

Niles, J. O., S. Brown, J. Pretty, A.Ball, J. Fay. 2001. Potential Carbon Mitigation

and Income in Developing Countries from Changes in Use and Management of Agricultural and Forest Lands. Centre for Environment and Society Occasional Paper 2001-04, University of Essex. UK.

Niles, J.O., S. Brown, J. Pretty, A.S. Ball, and J. Fay. 2002. Potential carbon mitigation

and income in developing countries from changes in use and management of agricultural and forest lands. Phil.Trans.R.Soc.Land. The Royal Society.

Philibert, Cédric. 2005. Approaches For Future International Co-Operation. Organisation

for Economic Co-operation and Development International Energy Agency. Organisation de Coopération et de Développement Economiques Agence internationale de l'énergie. Paris.

Santilli, Ma’rcio, Paulo Moutinho, Stephan Schwartzman, Daniel Nepstad, Lisa Curran

and Carlos Nobre. 2005. Tropical Deforestation and the Kyoto Protocol An editorial essay. Climatic Change (2005) 71: 267–276.

Page 70: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 14-15

Santilli, M. P. Moutinho, S. Schwartzman, D. Nepstad, L. Curran, and C. Nobre. 2005. Tropical deforestation and the Kyoto Protocol. Climate Change (2005) 71:267-276.

Schlamadinger, B. N. Bird, S. Brown, J. Canadell, B. Clabbers, M. Dutschke,J. Fiedler, A.

Fischlin, P. Fearnside, C. Forner, A. Freibauer, P. Frumhoff, N. Hoehne, T. Johns, M. Kirschbaum, A. Labat, G. Marland, A. Michaelowa, L. Montanarella, P. Moutinho, D. Murdiyarso, N. Pena, K. Pingoud, Z. Rakonczay, E. Rametsteiner, J. Rock, M.J.Sanz, U. Schneider, A. Shvidenko, M. Skutch, P. Smith, Z. Somogyi, E. Trines, M. Ward, Y. Yamagata. 2005. Options for including LULUCF activities in a post-2012 international climate agreement. Final Draft for publication in Special Issue of Environment Science and Policy. 2005.

Schlamadinger, B. N., L. Ciccarese, M. Dutschke, P. M. Fearnside, S. Brown, D.

Murdiyarso. 2005. Should we include avoidance of deforestation in the international response to climate change? CIFOR. Bogor.

Stiglitz, J. E. 2005. Global Green Trade. Http://www.typepad.com/ 12. Kerangka Kerja Logis

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI

Page 71: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 15-15

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI

TUJUAN: Umum: Menyediakan IPTEK sosek dan kebijakan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan Khusus : 1. Mengidentifikasi dan

merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim kehutanan

2. Menghasilkan rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dalam bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai bahan pembelajaran REDD+

Dihasilkannya rekomendasi -rekomendasi tentang

a) Distribusi Insentif dan Tanggung Jawab REDD

b) Rumusan Tata kelola c) Rekomendasi Kebijakan

dan Kelembagaan REDD+ d) Potensi dan Peluang Pasar

dan Pendanaan karbon e) Kelayakan, Biaya (Resiko)

dan Manfaat (Colateral Benefit) Kegiatan REDD+

f) Peranan Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat dan parapihak dalam kegiatan REDD+

Dokumen mengenai rekomendasi implementasi kegiatan REDD+, yang dikemas dalam síntesis formulasi hasil penelitian, Laporan, Jurnal dan Policy Brief

SDM dan sumberdaya lain mendukung

SASARAN

Page 72: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 16-15

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI

1 Tersedianya Informasi pengetahuan dan teknis sosial ekonomi, yang meliputi aspek a) Distribusi Insentif

dan tanggung jawab

b) Tata kelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD+

c) Pasar dan Pendanaan

d) Analisis kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi)

e) Resiko f) Colateral Benefit g) Tenurial, Resiko

Sosial, masyarakat adat, parapihak

Telah dilakukannya penelitian terkait dengan: a. Distribusi Insentif dan

tanggung jawab b. Tatakelola, Kelembagaan

dan Kebijakan REDD+ c. Pasar dan Pendanaan d. Analisis Kelayakan, Analisis

Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi)

e. Resiko f. Colateral Benefit g. Tenurial, Resiko Sosial,

masyarakat adat, parapihak

Sintesis hasil penelitian terkait IPTEK Sosek Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim

SDM dan sumberdaya lain mendukung

2 Tersedianya rekomendasi strategis iptek sosek dan kebijakan dalam mendukung implementasi REDD+

Tersedianya rekomendasi strategis Iptek Sosek dan Kebijakan REDD+

Tersediannya Laporan, Publikasi Ilmiah dan Policy Brief

SDM dan sumberdaya lain mendukung

LUARAN: 1 Informasi iptek sosek

mitigasi perubahan iklim

1. Dilaksanakannya penelitiannya (i) Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD+, (ii) Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD+, dan (iii) Analisis Sosial budaya REDD+

5 ( lima) publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, dan naskah akademis

SDM dan sumberdaya lain mendukung

2 Rekomendasi kebijakan strategi REDD+

2. Dilaksanakannya penelitian (i) Kajian Tatakelola REDD+, (ii) Analisis Pasar dan Pendanaan REDD+, dan (iii) Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD+

5 (lima) publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, dan naskah akademis

SDM dan sumberdaya lain mendukung

KEGIATAN:

Page 73: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 17-15

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI

1.1 Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD+

1.2 Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD+

1.3 Analisis Sosial budaya REDD+

2.1 Kajian Tatakelola REDD+

2.2 Analisis Pasar dan Pendanaan REDD+

2.3 Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD+

Penelitian berhasil menghasilkan formulasi peran, tanggungjawab dan insentif parapihak terkait REDD+

Dokumen hasil penelitian, laporan, Publikasi

SDM dan sumberdaya lain mendukung

Page 74: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 75: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan 1-19

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 (REVISI) PENGEMBANGAN PERHITUNGAN EMISI GRK KEHUTANAN (INVENTORY)

1. Abstrak Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor LULUCF (land use, land use change and forestry) adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Di tingkat global, kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di tingkat nasional mencapai 74 %. Indonesia penting untuk menerapkan metode inventarisasi gas rumah kaca dengan hasil inventarisasi yang lebih akurat dan terpercaya sehingga diakui oleh internasional. Hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), perlu untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance) termasuk mekanisme REDD. Kajian mengenai kondisi terkini metode perhitungan emisi perlu dilakukan sebagai informasi guna mengembangkan sistem perhitungan GRK di Indonesia. Tingkat kerincian (Tier) yang lebih tinggi (Tier 2 atau 3) untuk activiy data dan emission factor diperlukan guna memperoleh hasil perhitungan emisi yang akurat. Untuk kepentingan inventarisasi gas rumah kaca, berbagai metode inventarisasi telah dikembangkan. Diantaranya IPCC (International Panel on Climate Change) telah mengembangkan metode yang telah diaplikasikan secara luas oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC. Aplikasi metode IPCC Guideline memerlukan data dan informasi yang lebih komprehensif mencakup tidak hanya sektor kehutanan tapi juga sektor pertanian. Penelitian dalam RPI mencakup kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan, penelitian untuk memperbaiki activity data dan faktor emisi/serapan lokal untuk berbagai tipe hutan atau penggunaaan lahan, serta pengaplikasian IPCC GL untuk perhitungan emisi. Hal ini guna memperbaiki sistem inventarisasi GRK khususnya kehutanan yang MRV untuk berbagai keperluan dimasa yang akan datang. Kata Kunci : inventarisasi gas rumah kaca, IPCC Guideline, sektor LULUCF 2. Latar Belakang Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca. Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Laporan Stern (2007) menyebutkan kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di Indonesia First

Page 76: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 2-19

National Communication melaporkan LULUCF sebesar 74 %. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer ke biosfir daratan terjadi di hutan. Status dan pengelolaan hutan akan sangat menetukan apakah suatu wilayah daratan sebagai penyerap karbon (net sink) atau pengemisi karbon (source of emission). Di Indonesia estimasi penghitungan emisi tahun 1990-an menunjukkan hasil yang sangat bervariasi yaitu antara 41 - 163 juta ton, dengan serapan karbon antara 187 - 337 juta ton (Boer et al., 1999). Variasi ini disebabkan oleh perbedaan activity data (misalnya luas hutan, luas grassland, konversi dan penggunaan lahan lainnya), konsumsi kayu, faktor emisi, metode pengukuran serta asumsi yang digunakan dalam analisis. Untuk kepentingan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) kehutanan diperlukan data yang akurat dan metode yang diakui internasional untuk melaporkan perkembangannya. Hal ini untuk mendukung tercapainya hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance). 3. Rumusan Masalah Kontribusi sektor kehutanan dalam emisi GRK cukup besar. Berbagai laporan menyebutkan, tanpa kontribusi sektor LULUCF Indonesia ada diperingkat 15 dunia sedangkan dengan LULUCF indonesia adalah negara pengemisi terbesar ke 3 di dunia sebagaimana terlihat pada tabel berikut.

Page 77: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 3-19

Tabel 1. Negara-negara pengemisi GRK, tanpa LULUCF (Baumertz et al, 2005)

Tabel 2. Negara pengemisi GRK terbesar di dunia (Juta Ton CO2 e) (Peace, 2007)

Untuk memberikan informasi besarnya emisi dan serapan dari sektor LULUCF di Indonesia, diperlukan data yang valid, terutama dari segi metode, asumsi dan waktu. Karena itu inventarisasi dan pelaporan perubahan emisi dengan menggunakan metode yang secara internasional sudah terakreditasi perlu untuk dilakukan, sebagai salah satu kewajiban negara-negara yang meratifikasi konvesi perubahan iklim – United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC. Untuk negara Non-Annex 1 dapat menggunakan revised IPCC 1996 guideline sementara itu negara maju yang masuk dalam negara Annex 1 sejak tahun 2005 wajib menggunakan metode dalam LULUCF

Page 78: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 4-19

GPG 2003. Meskipun demikian, negara non-Annex 1 disarankan agar juga menggunakan LULUCF-Good Practice Guidance (GPG) 2003 atau 2006 IPCC Guide Line (GL). Perhitungan emisi GRK kehutanan termasuk aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertanity) dan konsisten dalam pembagian kategori lahan. Hasil perhitungan emisi akan menghasilkan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stock karbon (carbon pool) yang relevan, serta non CO2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Sampai saat ini Indonesia belum memiliki institusi khusus yang melakukan inventarisasi dan monitoring GRK. Hal ini menimbulkan permasalahan yaitu kurangnya ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi/serapan lokal (emission/removal factors) untuk seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait, yang sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi. 4. Hipotesis Peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang perhitungan emisi GRK sektor kehutanan dan penggunaan faktor emisi atau serapan lokal akan meningkatkan kualitas hasil perhitungan emisi GRK sektor kehutanan (peningkatan dari Tier 1 menjadi Tier 2 atau 3). 5. Tujuan dan Sasaran Tujuan RPI ini adalah menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan. Sedangkan, sasaran yang akan dicapai adalah : 1. Diketahuinya informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan yang meliputi

metode inventarisasi, institusi dan data kegiatan, faktor emisi atau serapan, pengurangan emisi dari substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas serta sistem monitoring dan pelaporan serta kontribusi sektor kehutanan di Indonesia dalam target penurunan emisi sebesar 26%.

2. Diketahuinya faktor serapan dan emisi lokal untuk berbagai jenis vegetasi atau hutan

3. Diaplikasikannya metode IPCC GL untuk penghitungan emisi GRK kehutanan, serta metode penghitungan Reference Emission Level (REL).

Page 79: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 5-19

Diharapkan para pihak yang nantinya berkepentingan dalam pelaksanaan perhitungan perubahan emisi dapat melakukannya dengan lebih mudah, dan memberikan hasil yang baik. Aplikasi dari penghitungan emisi menggunakan IPCC GL juga merupakan alat untuk menentukan REL atau referensi emisi (baseline), yang merupakan salah satu infrastruktur yang diperlukan untuk kesiapan pelaksanaan mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di Indonesia (REDDI). Untuk menetapkan REL ini diperlukan metode yang terukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi (MRV- measurable, reportable, verifiable), serta telah diakui secara internasional. 6. Luaran Penelitian ini akan menghasilkan luaran : 1. Rekomendasi hasil kajian inventarisasi GRK kehutanan 2. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi atau serapan GRK

kehutanan (hutan alam dan tanaman) 3. Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC GL 2006) dan

metode penentuan REL

7. Ruang Lingkup Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai pengemisi karbon (emitter) dan penyerap karbon (sinker), sebagaimana terlihat pada Gambar 1.

Page 80: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 6-19

Gambar 1. Sumber emisi dan serapan GRK untuk sektor Agriculture, Forestry and

Land Use (AFOLU) (Sumber: IPCC 2006) Selain CO2, sektor AFOLU juga mengemisi GRK lainnya seperti N2O dan CH4. Gas-gas ini memiliki potensi pemanasan global (GWP) yang lebih besar dibandingkan dengan CO2. Tabel 3 menunjukkan jenis gas rumah kaca dan besarnya potensi gas tersebut terhadap pemanasan global. Tabel 3. Komponen GRK dan potensinya terhadap pemanasan global

Komponen GRK Potensi Pemanasan Global (GWP)

Carbon Dioxide, CO2 1

Methane, CH4 23

Nitrous Oxide, N2O 296

Hydrofluorocarbons, HFC 120 – 12.000

Perfluorocarbons, PFC 5.700 – 11.900

Sulfur Hexafluoride 22.200 Sumber : IPCC Third Assessment Report (2001)

Dalam inventarisasi GRK, metode yang telah disepakati dan digunakan oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC adalah metode IPCC GL 2006. Metode ini memberikan tahapan dan langkah yang diperlukan untuk pengukuran, pemantauan dan pelaporan perubahan emisi. Komponen penting dalam inventarisasi GRK adalah data kegiatan (activity data) dan faktor emisi atau serapan (emission factor). Activity data merupakan kuantifikasi perubahan luas areal untuk setiap kategori emisi atau serapan. Sedangkan faktor emisi/serapan adalah kemampuan untuk mengemisi atau menyerap GRK dari suatu unit/kategori lahan yang dikonversi (misalnya dalam ton CO2/biomas per ha per tahun). Masing-masing activity data dan emission factor memiliki tingkat kerincian (Tier). Tingkat kerincian atau Tiers yang digunakan tertera pada Tabel 1. Terdapat tiga pilihan kerincian, yaitu Tier 1, 2 dan 3. Penelitian ini bertujuan agar terjadi peningkatan kerincian dalam inventarisasi GRK kehutanan (tidak lagi menggunakan Tier 1 untuk mendukung sistem pelaporan yang baik serta skema perdagangan karbon lainnya termasuk pasar sukarela dan mekanisme REDD). Tabel 4. Pilihan Pendekatan dan Tiers.

Pendekatan untuk menentukan perubahan luas areal (Activity Data)

Tingkat kerincian faktor emisi (Emission Factor) (Tier): perubahan cadangan karbon

Page 81: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 7-19

Dengan demikian lingkup penelitian ini adalah terkait inventarisasi GRK kehutanan yaitu penyediaan data dan informasi, serta menyajikan proses dan pilihan perhitungan emisi yang meliputi 5 carbon pools, jenis GRK dan tingkat kerincian (Tier) untuk berbagai kategori penutupan lahan.

1. Pendekatan Non-spasial : dari data statistik negara/global (mis FAO )—memberikan gambaran umum perubahan luas hutan

Tier 1 (basic). Memakai data yang diberikan oleh IPCC (data default values) pada skala global

2. Berdasarkan peta, hasil survey dan data statistik nasional/lokal

Tier 2 (intermediate). Data spesifik dari tiap negara (nasional/lokal) untuk beberapa jenis hutan yang dominan atau yang utama

3. Data spatial dari interpretasi penginderaan jauh dengan resolusi tinggi

Tier 3 (most demanding). Data cadangan karbon dari Inventarisasi Nasional, yang diukur secara berkala atau dengan modelling

Page 82: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 8-19

8. Metodologi STRATEGI PENELITIAN INVENTARISASI GRK KEHUTANAN

Penelitian Inventarisasi

GRK Kehutanan

Kajian inventarisasi GRK kehutanan

Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman)

Aplikasi Perhitungan emisi GRK

1. Kajian metode inventarisasi

2. Kajian faktor emisi dan serapan

3. Kajian penurunan emisi 26 %

1. Hutan alam gambut 2. Hutan alam mineral 3. Hutan tanaman

gambut 4. Hutan tanaman

mineral

1. Metode IPCC untuk lokasi Sumatera

2. Metode REL

Informasi Ilmiah

Template dan Rekomendasi Inventarisasi

GRK Kehutanan

Page 83: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 9-19

8.1. Kajian Inventarisasi GRK 8.1.1. Kajian Metode Inventarisasi GRK Kehutanan Kajian ini meliputi berbagai metode yang telah dikembangan untuk menghitung besarnya emisi di sektor LULUCF. Metode yang paling banyak dipakai adalah metode inventarisasi GRK yang dikembangkan oleh IPCC. IPCC telah mengembangkan metode inventasisasi GRK sejak tahun 1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance 2003 dan IPCC Guideline 2006. Dalam IPCC GL 1996, kategori LUCF terdiri dari (1) Changes in forest and other woody biomass stocks (2) Forest and grassland conversion (3) Abandonment of croplands, pastures, plantation forests or other managed lands (4) CO2 emissions and removals from soils dan (5) Others. IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan terakhir IPCC GL 2006. Aplikasi IPCC GL 2006 akan menghasilkan inventarisasi yang lebih baik, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertainty), konsistensi pembagian kategori lahan, estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stok karbon (carbon pool) yang relevan serta non CO2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Hal ini berimplikasi kepada penyediaan data untuk activity data dan faktor emisi terhadap seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait. LULUCF IPCC GPG 2006, membagi kategori lahan dalam 6 kategori yaitu: (1) Forest land, (2) Grassland, (3) Cropland, (4) Wetland, (5) Settlement, and (6) Other land. Setiap kategori tersebut memiliki potensi GRK masing-masing tergantung dari kegiatan yang terjadi pada masing-masing penggunaan lahan. Metode lain diantaranya adalah National Carbon Accounting System yang dikembangkan oleh Australia dan saat ini sedang dicoba untuk disesuaikan dan diadopsi oleh Indonesia menjadi Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS).University of Colorado juga mengembangkan software untuk menghitung emisi gas rumah kaca khususnya sektor Agriculture and Landuse (ALU) software. Software ini pada dasarnya untuk mendukung sistem inventarisasi GRK dengan metode IPCC. Hasil dari penggunaan program ini akan sama dengan IPCC GL. Sistem lain diantaranya adalah yang dikembangkan oleh World Resource Institute (WRI) yang dikenal dengan CAIT program. Sementara itu di TN Lore Lindu telah dipasang alat untuk memonitor CO2, alat ini perlu dipelajari/dianalisis untuk kemungkinan pengembangan di wilayah lain dan dapat memberikan kontribusi terhadap sistem perhitungan GRK. Kajian metode inventarisasi GRK kehutanan juga akan mencakup kegiatan penelitian :

Page 84: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 10-19

a. Kajian Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) Dalam kegiatan inventarisasi GRK, faktor yang sangat menentukan besarnya GRK adalah luas perubahan lahan yang terjadi selama periode waktu tertentu. Untuk menghasilkan data besarnya perubahan penggunaan lahan diperlukan informasi dari hasil citra satelit. Institusi yang bertanggung jawab dalam penyediaan data perubahan penutupan lahan di Indonesia untuk sektor kehutanan adalah Ditjen Planologi. Kegiatan ini akan mengkaji sistem yang ada dan akan dikembangkan oleh Ditjen Planologi termasuk Teknologi Remote Sensing dan jenis satelit atau images yang digunakan. Sampai saat ini sistem pembagian kategori penutupan lahan yang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan (Ditjen Planologi) adalah 23 kategori. Kategori ini apabila dihubungkan dengan kategori lahan menurut IPCC adalah sebagaimana tersaji pada tabel 5. Tabel 5. Kategori penutupan lahan menurut IPCC dan kategori penutupan

lahan/hutan di Indonesia Kategori

IPCC 2006 Kategori Hutan

1. FL Hutan Lahan Kering Primer (UD) 2. FL Hutan Rawa Primer (UD) 3. FL Hutan Mangrove Primer (UD) 4. FL Hutan Lahan Kering Sekunder (D) 5. FL Hutan Rawa Sekunder (D) 6. FL Hutan Mangrove Sekunder (D) 7. FL Hutan Tanaman 8. Area Penggunaan Lain (APL) 9. GL Belukar 10. WL Belukar rawa 11. OL Tanah terbuka 12. WL Rawa 13. CL Pertanian 14. CL Pertanian campur semak 15. CL Transmigrasi 16. S Permukiman 17. GL Padang rumput 18. CL Sawah 19. CL Perkebunan 20. OL Tambak 21. OL Bandara 22. - Air 23. - Awan

Page 85: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 11-19

b. Kajian pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi biomas sebagai pengganti energi fosil

Emisi GRK banyak dihasilkan dari penggunaan energi fosil yang tidak terbarukan. Salah satu kontribusi sektor kehutanan dalam rangka penurunan emisi GRK adalah substitusi penggunaan energi fosil menjadi energi yang berasal dari biomas. Mekanisme ini telah disepakati internasional dalam bentuk Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM). Kajian akan difokuskan pada potensi, peluang, tantangan dan hambatan dalam pemanfaatan dan pengembangan energi biomas untuk menggantikan energi fosil. c. Kajian sistem monitoring dan pelaporan Hasil dari penghitungan emisi dan serapan GRK disajikan dalam tabel yang merupakan format umum dalam pelaporan hasil inventarisasi GRK. Untuk mengisi tabel 6 (enam) tersebut yang merupakan ringkasan dari hasil perhitungan inventarisasi gas rumah kaca, IPCC telah mengembangkan tabel-tabel dalam format Microsoft Excel. Pengisian data ke dalam tabel excel memerlukan informasi yang rinci mencakup data kegiatan (Activity Data), misalnya perubahan lahan dan luas hutan yang tetap sebagai hutan, luas tanaman pertanian, luas padang rumput dan sebagainya. Selain itu diperlukan informasi mencakup faktor emisi atau removal yang lokal spesifik seperti data pertumbuhan (Mean Annual Increment - MAI) untuk berbagai jenis hutan atau tanaman.

Tabel 6. Format pelaporan umum hasil inventarisasi GRK sektor LULUCF Sumber GRK dan kategori serapan

Net Emisi / Serapan CO2

CH4 N2O NOx CO

(Gg) Kategori penggunaan lahan total

A. Lahan hutan A.1. FL sisa FL A.2. Konversi lahan ke FL B. Lahan pertanian B.1. CL tetap CL B.2. Konversi lahan ke CL C. Lahan rumput C.1. GL tetap GL C.2. Konversi lahan ke GL

D. Lahan basah D.1. WL tetap WL D.2. Konversi lahan ke

Page 86: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 12-19

WL E. Pemukiman E.1. Set. tetap Set. E.2. Konversi lahan ke Set.

F. Lahan lain F.1. OL. tetap OL. F.2. Konversi lahan ke OL.

G. Lainnya (specify) Pembakaran biomas Pemberian kapur

8.1.2. Kajian Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan Dalam rangka inventarisasi GRK kehutanan, selain activity data informasi yang diperlukan adalah faktor emisi dan serapan. Faktor emisi dan serapan untuk kehutanan merupakan kemampuan jenis vegetasi atau hutan untuk tumbuh (mean annual increment/MAI) atau potensi biomas (stok) dari tipe hutan tertentu. Banyak tipe hutan di indonesia yang dibagi menurut fungsinya (hutan lindung, hutan produksi atau hutan konservasi), menurut ketinggian dari permukaan laut (hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan), menurut iklim (hutan hujan, hutan musim), menurut jenis tanah (hutan gambut, hutan pada tanah mineral), hutan alam, hutan tanaman, dan sebagainya. Untuk menghitung emisi dan serapan dari setiap perubahan kondisi atau jenis tutupan hutan perlu didukung oleh informasi luas perubahan tutupan (activity data) dan faktor emisi atau serapan. Berbagai studi telah dilakukan di Indonesia untuk mendapatkan faktor emisi dan serapan. Selain itu IPCC juga telah menyediakan angka default untuk jenis hutan, pada kondisi iklim dan tanah tertentu. Penggunaan faktor emisi dan serapan lokal akan meningkatkan kerincian (Tier) sedangkan penggunaan angka default merupakan tingkat kerincian yang paling rendah (Tier 1). Kajian ini akan dilakukan dengan mengumpulkan hasil berbagai studi menyangkut pertumbuhan dan stok karbon pada berbagai tipe penutupan lahan/hutan. Kajian juga akan mengumpulkan hasil inventarisasi atau studi tentang biomas yang dilakukan oleh Ditjen Planologi melalui petak permanen dari kegiatan National Forest Inventory (NFI), kelti Biometrika pada Pusat Litbang Peningkatan Produktifitas Hutan dan Pusat Litbang Konservasi dan Rhabilitasi dari perkembangan penyusunan

Page 87: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 13-19

NCASI (National Carbon Accounting System Indonesia) dari hasil kerjasama Indonesia dengan Australia. Informasi juga dikumpulkan untuk mengetahui 5 carbon pools yaitu biomas diatas tanah (above ground biomass/AGB), biomas dibawah tanah (below ground biomass /BGB), kayu-kayu mati (dead organic matter), serasah (litter), dan tanah serta pool yang keenam yaitu penebangan kayu. Selain dari perubahan penutupan lahan, emisi GRK kehutanan juga berasal dari kegiatan pemupukan (pemberian kapur) dan kebakaran. Kedua sumber emisi ini menghasilkan GRK lain selain CO2 yaitu CO, CH4, N2O, dan NOx 8.1.3. Kajian kontribusi sektor kehutanan dalam target penuruan emisi 26% Kajian kontribusi sektor kehutanan dalam target penuruan emisi dilakukan dengan menganalisa trend emisi yang telah lalu sebagai basis terhadap estimasi perhitungan sampai tahun 2020. Data yang dapat digunakan diantaranya adalah hasil dari Second National Communication. Selanjutnya dilakukan kajian terhadap emisi BAU ( Bussines as Usual) yang didasarkan kepada sumber emisi utama dari inventarisasi GRK yaitu deforestasi, degradasi, kebakaran dan pengelolaan lahan gambut. Selain itu dikumpulkan informasi tentang sumber serapan (removal) BAU yaitu pertumbuhan hutan dan penanaman. Sejarah pencapaian penanaman dari berbagai program yang telah dilaksanakan merupakan informasi penting tentang kemampuan rata-rata penanaman berdasarkan BAU. Berbagai asumsi berdasarkan referensi dilakukan terkait dengan activity data serta faktor emisi dan serapan. Kajian terhadap emisi mitigasi dilakukan dengan mengkaji kebijakan mitigasi yang ada, kajian upaya penuruan emisi (REDD, pencegahan deforestasi dan kebakaran) serta kajian berbagai rencana penanaman seperti HTI, HTR, HR, GN RHL, OMOT dsb. Berbagai asumsi berdasarkan referensi dilakukan terkait dengan activity data serta faktor emisi dan serapan untuk mitigasi. Dari hasil perhitungan menggunakan asumsi pada BAU dan skenario mitigasi, dilakukan estimasi proyeksi emisi sampai tahun 2020 yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik penurunan emisi. 8.2. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK

kehutanan (hutan alam dan hutan tanaman)

Page 88: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 14-19

Penelitian ini untuk menghasilkan faktor emisi dan serapan lokal guna meningkatkan akurasi hasil perhitungan emisi GRK. Dari hasil kajian faktor emisi dan serapan akan diketahui tipe hutan/vegetasi yang masih memerlukan hasil penelitian. Selain perhitungan biomas (stok dan pertumbuhan) penelitian juga akan mencakup perhitungan karbon pool yang lain seperti serasah (litter), kayu mati (dry organic matter) dan tanah. Pada garis besarnya penelitian akan dilakukan pada hutan alam dan tanaman tanah mineral serta tanah gambut. Selain itu penelitian juga akan mencakup GRK selain CO2 yang berasal dari kebakaran dan pemupukan yaitu CO, CH4, N2O, dan NOx. Kontribusi GRK kehutanan banyak dihasilkan dari lahan gambut yaitu akibat drainase, pengelolaan dan kebakaran. Penelitian pada lahan gambut akan mencakup faktor emisi dan serapan serta potensi lahan gambut dalam menyerap dan mengemisi GRK. 8.3. Aplikasi Perhitungan Emisi GRK (Metode IPCC) Sampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC. Dalam perjalanannya metode inventarisasi yang dikeluarkan oleh IPCC telah berkembang selama 3 kali, yaitu metode inventasisasi GRK tahun 1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance 2003 dan IPCC Guideline 2006. Dalam IPCC GL 1996, kategori LUCF terdiri dari : (i) perubahan di hutan dan simpanan biomas berkayu lainnya, (ii) hutan (forest) dan padang alang-alang (grassland) yang dikonversi, (iii) lahan pertanian (croplands), lahan penggembalaan (pastures), dan hutan tanaman (plantation forests) yang diterlantarkan atau lahan yang dikelola lainnya (other managed lands), (iv) emisi dan serapan CO2 dari tanah, dan (v) lainnya. IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan terakhir IPCC GL 2006. Aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidak pastian (reduced uncertainty), konsisten dalam pembagian kategori lahan dan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stok karbon (carbon pool) yang relevan, serta non CO2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi dan serapan terhadap seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait sangat menentukan tingkat akurasi inventarisasi. Penelitian ini merupakan aplikasi penghitungan emisi menggunakan tabel-tabel IPCC GL 2006, dengan wilayah studi di Sumatera dan Papua. Penelitian meliputi aplikasi penghitungan GRK menggunakan IPCC GL 2006 di Indonesia, hambatan yang ada, data pendukung yang diperlukan serta rekomendasi untuk meningkatkan akurasi

Page 89: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 15-19

dari metode ini di Indonesia. Penelitian dan kajian ini diharapkan akan menghasilkan cara aplikasi IPCC GL 2006 sehingga bisa dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan pengukuran, pemantauan dan pelaporan pengurangan atau penambahan emisi GRK di Indonesia. Hasil aplikasi penghitungan emisi merupakan informasi yang menjadi masukan untuk penetapan REL. Selain itu akan dilakukan kajian secara khusus mengenai berbagai metode/alternatif untuk menentukan REL pada skala nasional maupun sub nasional. 9. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya Pelaksana RPI adalah Puspijak dan UPT lingkup Badan Litbang Kehutanan, yang relevan dengan topik penelitian serta representasi lokasi penelitian. Jangka waktu RPI adalah 5 tahun mulai tahun 2010 sampai tahun 2014. Tata waktu setiap kegiatan selama tahun 2010-2014, instansi pelaksana, dan kebutuhan anggaran tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya

Kode Program/RPI/Luaran/Kegiatan Instansi pelaksana

Tahun (juta rupiah) 2010 2011 2012 2013 2014

Program 7 Perubahan Iklim 17 Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan 17.1 Luaran 1 : Rekomendasi sistem inventarisasi GRK kehutanan 17.1.1 Kajian metode inventarisasi GRK

17.1.1.4 Puspijak 150 150

17.1.2 Kajian faktor emisi dan serapan

17.1.2.4 Puspijak 100 100

17.1.3 Kajian target penurunan emisi kehutanan 26 %

17.1.3.4 Puspijak 100 100

17.2 Luaran 2 : Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan hutan tanaman)

17.2.1 Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Alam Gambut

17.2.1.15 BPK Banjarbaru 100 100 100

17.2.2 Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Alam Tanah Mineral

17.2.2.4 Puspijak 150 150 150

17.2.2.6 BBPD Samarinda 150 150 150 150

17.2.2.19 BPK Manokwari 110 150 150 150

17.2.2.17 BPK Manado 100 100 100

Page 90: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 16-19

Kode Program/RPI/Luaran/Kegiatan Instansi pelaksana

Tahun (juta rupiah) 2010 2011 2012 2013 2014

17.2.3 Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Tanaman Gambut

17.2.3.8 BPTSTH Kuok 100

17.2.3.9 BPK Palembang 100 100 100

17.2.4 Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Tanaman Tanah Mineral

17.2.4.11 BPTA Ciamis 100

17.2.4.14 BPK Kupang 100 100 100 100

17.3 Luaran 3 : Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (Metode IPCC)

17.3.1 Aplikasi perhitungan emisi GRK di Wilayah Sumatera

17.3.1.4 Puspijak 150 150

17.3.1.9 BPK Palembang 100

17.3.2 Kajian Penentuan REL

17.3.2.4 Puspijak 100 100

JUMLAH 460 900 1350 1350 350 10. Organisasi

Penelitian akan dilaksanakan dibawah kordinasi Puspijak dengan Koordinator : Ir. Ari

Wibowo, M.Sc, dan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan.

Jika diperlukan, akan ditempuh mekanisme outsourcing dari instansi lain seperti IPB,

Ditjen Planologi, PHKA, RLPS, dan instansi terkait lainnya.

11. Daftar Pustaka Baumert, K.A, T. Herzog and J. Pershing. 2005. Navigating the Numbers :

Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. World Resource Institute.

Boer, R., Hendri and Gintings, N.: 1999. Emissions and uptake of greenhouse gases

by Indonesian forest. Paper delivered to F7 network. First National Communication. 1999. The Indonesia First National Communication to

the UNFCCC. KLH. Indonesia. IPCC. 2001. IPCC Third Assessment Report IPCC. 1996. Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories.

IGES, Japan. IPCC

Page 91: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 17-19

IPCC. 2003. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Intergovernmental Panel on Climate Change. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES. Japan.

IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National

Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES, Japan. PEACE. 2007. Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies. DFID,

World Bank. Stern, N. 2007. The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge

University Press. Cambridge. 12. Kerangka Kerja Logis

No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI

A. Tujuan: Menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan

Tersedianya informasi ilmiah mengenai : • inventarisasi GRK

kehutanan, • database faktor

emisi dan serapan GRK,

• data kegiatan (activity data) yang diperlukan untuk inventarisasi GRK kehutanan,

• model/template perhitungan, monitoring dan pelaporan emisi GRK,

• hasil aplikasi IPCC dalam inventarisasi GRK kehutanan.

Dokumen dalam bentuk laporan, policy brief dan publikasi ilmiah mengenai inventarisasi GRK kehutanan, database faktor emisi atau serapan GRK, data kegiatan (activity data) yang diperlukan untuk inventarisasi GRK kehutanan, model/template perhitungan, monitoring dan pelaporan emisi GRK, serta hasil aplikasi IPCC inventarisasi GRK kehutanan

Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

Page 92: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 18-19

No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI

B. Sasaran: 1. Diketahuinya

informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan

Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan inventarisasi GRK kehutanan

Tersedianya LHP dan sintesis hasil penelitian/kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan.

Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

2. Diketahuinya faktor serapan dan emisi lokal untuk berbagai jenis vegetasi atau hutan

Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan perhitungan karbon untuk perbaikan faktor serapan dan emisi lokal

Tersedianya LHP dan sintesis hasil penelitian/kajian tentang Faktor serapan atau emisi lokal

Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

3. Diaplikasikannya IPCC GL untuk inventarisasi GRK

Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan perhitungan emisi menggunakan IPCC GL

Tersedianya LHP dan publikasi ilmiah hasil perhitungan emisi menggunakan IPCC GL

Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

C. Luaran 1. Rekomendasi hasil

kajian inventarisasi GRK kehutanan

Dilaksanakannya penelitian/kajian : 1) Metode

inventarisasi GRK kehutanan, termasuk Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data), Pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fossil menjadi biomas serta Sistem monitoring dan pelaporan

2) Faktor emisi dan serapan

3) Target penurunan emisi

-Dokumen sintesis hasil penelitian/kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan, -LHP, Policy Brief

Tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

2. Teknik perhitungan Dilaksanakannya -Dokumen sintesis Tidak ada

Page 93: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 19-19

No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI

karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman)

penelitian teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam dan hutan tanaman gambut , hutan alam dan hutan tanaman tanah mineral

hasil penelitian/kajian tentang Faktor serapan dan emisi lokal - LHP, Policy Brief

kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

3. Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC) dan metode REL

Dilaksanakannya penelitian aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC) dan metode REL

-Dokumen. hasil perhitungan emisi menggunakan IPCC GL -LHP, Policy Brief

Tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

D. Kegiatan 1.1 Kajian metode

inventarisasi 1.2 Kajian faktor emisi

dan serapan 1.3 Kajian target

penurunan emisi kehutanan 26 %

Kajian berhasil mengumpulkan informasi terkini (state of the art) tentang inventarisasi GRK, faktor emisi dan serapan, substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas serta sistem monitoring dan pelaporan.

Dokumen rencana dan hasil kajian/penelitian, presentasi dan publikasi hasil penelitian/kajian

Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

2.1. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam gambut

2.2. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam mineral

2.3. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan

Penelitian menghasilkan faktor emisi dan serapan lokal GRK

Dokumen rencana dan hasil kajian/penelitian, presentasi dan publikasi hasil penelitian/kajian

Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

Page 94: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 20-19

No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI

GRK kehutanan pada hutan tanaman gambut

2.4. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan tanaman mineral

3.1. Aplikasi Perhitungan

emisi GRK (metode IPCC) di Sumatera

3.2. Kajian penentuan REL

Diketahuinya emisi GRK untuk wilayah Sumatera, metode penentuan REL serta rekomendasi perbaikan dalam rangka aplikasi perhitungan emisi menggunakan IPCC GL

Dokumen rencana dan hasil perhitungan emisi GRK metode IPCC dan metode REL

Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.

Page 95: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 96: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 1-28

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010 -2014 (REVISI) ADAPTASI BIOEKOLOGI DAN SOSIAL EKONOMI BUDAYA

TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

1. Abstrak Perubahan iklim sudah terjadi dan dampaknya telah dirasakan banyak pihak. Perubahan iklim yang ditandai dengan cuaca ekstrim, meningkatnya permukaan air laut dan suhu udara, pergeseran musim dan intensitas curah hujan, berpengaruh pada ekosistem hutan juga kehidupan manusia. Pengaruh perubahan iklim sangat terasa terutama di negara-negara berkembang, khususnya pada masyarakat kurang mampu yang penghidupannya tergantung pada sumber daya alam (hutan). Berbagai keterbatasan menjadikan mereka tidak mempunyai banyak pilihan kecuali beradaptasi dengan lingkungan yang sudah berubah agar tetap dapat bertahan hidup. Pemerintah sebagai penanggung jawab Negara dan kehidupan masyarakat sejahtera sangat penting perannya dalam penyusunan strategi adaptasi dan pelaksanaannya.

Di Indonesia, belum didapat banyak informasi tentang kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim serta bentuk adaptasinya. Penelitian terkait dengan hal ini masih sangat terbatas dan perlu dilakukan untuk mendapatkan basis ilmiah penyusunan strategi adaptasi.

Penelitian ‘Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim’ tahun 2010 hingga 2014 diharapkan akan menghasilkan publikasi, policy bief, dan rekomendasi terkait dengan strategi adaptasi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Penelitian ini mentargetkan empat luaran: i. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya; ii. Informasi atau hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim; iii. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim; iv. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat. Kata Kunci : adaptasi, bioekologi, sosial ekonomi, budaya, perubahan iklim, kerentanan 2. Latar Belakang

Terjadinya perubahan iklim telah dilansir oleh International Panel on Climate Change

(IPCC). Perubahan iklim merupakan masalah bersama dan dampaknya dirasakan

manusia diberbagai belahan bumi. Adanya perubahan iklim dapat dilihat antara lain

Page 97: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 2-28

melalui naiknya permukaan air laut, mencairnya tutupan es di daerah kutub,

meningkatnya frekuensi kebakaran, mewabahnya hama penyakit dan munculnya

banyak badai dan cuaca ektrim (IPPC, 2007a).

Perubahan iklim terjadi karena banyaknya CO2 di atmosfir. Keadaan ini memberikan

dampak terhadap ekosistem hutan dan kehidupan manusia, terutama mereka yang

berdomisili di negara berkembang, kurang mampu kondisi sosial ekonominya dan

penghidupannya tergantung pada hutan. Hasil penelitian di berbagai Negara antara

lain menunjukkan adanya perubahan fenologi dan produktivitas tumbuhan,

pergerakan spesies, jumlah populasi tumbuhan pohon, merebaknya serangga, dan

perubahan distribusi spesies (Ayres et al. 2009a; Fischlin et.al. 2009). Didapatkan juga

bahwa dampak perubahan iklim lebih terlihat nyata pada hutan boreal dari pada tipe

hutan lainnya, namun berbagai faktor terkait dengan kerentanan hutan terhadap

perubahan iklim lebih terlihat nyata di hutan tropis (Ayres et al. 2009a). Terkait dengan

masyarakat, perubahan iklim yang berpengaruh pada ketersediaan air berdampak

pada sumber nafkah, ketahanan pangan, juga kesehatan (Neil Adger et.al. 2009).

Kondisi ini memberikan stres sosial.

Dampak dari perubahan iklim berbeda dari satu tempat ke tempat lain dikarenakan

perbedaan tingkat kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat yang tinggal di dalam

dan sekitar hutan. Untuk tetap bertahan hidup atau mempertahankan kelestariannya,

baik tanaman, hewan maupun manusia perlu beradaptasi.

Adaptasi merupakan upaya makhluk hidup yang mengarah pada persiapan atau

penyesuaian diri terhadap dampak perubahan iklim yang sedang terjadi. Adaptasi

menjadi semakin penting artinya dan sangat perlu untuk dilakukan karena upaya

melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim tidak cukup. Perubahan iklim tidak dapat

sepenuhnya dihindari dan berbagai kebijakan terkait dengan mitigasi memerlukan

waktu untuk dapat berjalan dengan efektif. Individu, masyarakat maupun pemerintah

Page 98: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 3-28

perlu menyadari adanya perubahan iklim dan mempersiapkan berbagai strategi untuk

beradaptasi, termasuk strategi yang bersifat antisipatif.

Untuk mendapatkan strategi adaptasi yang sesuai diperlukan informasi tentang

kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim. Namun belum

banyak penelitian di Indonesia mengarah kesana. Oleh karena itu, penelitian ‘Adaptasi

Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan iklim’ akan

mengakses kerentanan dan kapasitas adaptasi dari ekosistem hutan, vegetasi dan

masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim,

serta mendapatkan model dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan, sosial

ekonomi masyarakat dan biaya adaptasi. Hasil penelitian ini antara lain dimaksudkan

untuk menyediakan ilmu pengetahuan dan teknologi adaptasi, serta memberi

masukan ilmiah kepada para pengambil kebijakan sebagai bahan pertimbangan

pembuatan kebijakan terkait dengan adaptasi perubahan iklim, dasar pembuatan

berbagai opsi adaptasi untuk menghindari dampak yang membahayakan dari

perubahan iklim, dan memanfaatkan keuntungan dari kesempatan yang diberikan oleh

perubahan iklim.

3. Rumusan Masalah Sumber daya alam (hutan) dan manusia atau masyarakat (yang oleh Koentjaraningrat,

1984, didefinisikan sebagai kolektif manusia dalam arti yang seluas-luasnya yang

terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka pandang sama) keberadaannya saling

mengkait. Hutan menyediakan produk barang dan jasa kepada masyarakat, dan

masyarakat melakukan pengelolaan terhadap hutan dengan harapan untuk mendapat

produk barang dan jasa hutan secara lestari.

Di Indonesia, sumber daya hutan mendapat tekanan kuat dari luar. Krisis pangan,

energi, dan air bersih yang dialami bangsa Indonesia, menjadikan hutan makin dituntut

perannya untuk memasok kebutuhan hidup khalayak luas. Kawasan hutan yang

Page 99: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 4-28

mencapai 120 juta ha (60% dari total luas daratan) pada akhirnya perlu dikelola

dengan bijak agar menghasilkan produk dan jasa hutan secara lestari serta tetap

terjaganya aspek perlindungan dan konservasi.

Perubahan iklim langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada ekosistem hutan,

namun ekosistem hutan mampu mencapai klimaksnya yang baru pada kondisi yang

berbeda (Andreas Fischlin et.al 2009). Hasil penelitian di berbagai negara seperti

Finlandia, Nigeria, India, Australia, Canada dsb menunjukkan bahwa perubahan iklim

berpengaruh pada merebaknya hama dan penyakit tanaman, frekuensi kebakaran,

produk barang dan jasa hutan serta fenologi, kehidupan dan kesehatan manusia, dsb

(Andreas Fischlin, 2009; Matthew Ayres, 2009a; Matthew Ayres, 2009b).

Perubahan iklim baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kehidupan

masyarakat. Meski banyak diantara masyarakat tidak memahami perubahan iklim,

mereka yang penghidupannya dari hasil pertanian dan bergantung pada sumber daya

alam (hutan) merasakan dampaknya. Sebagaimana terjadi di Desa Wonorejo,

Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur, musim kemarau

dirasakan masyarakat menjadi lebih panjang dan ketersediaan air menurun,

menjadikan hasil pertanian menurun dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

rumah tangga selama 1 tahun. Kondisi ini menjadikan mereka lebih sering masuk ke

hutan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, ekonomi (uang tunai) dan energi (kayu

bakar). Pengelola Taman Nasional Baluran, Propinsi Jawa Timur merasakan dalam

kawasan mereka terjadi kekurangan pasokan air untuk minum dan berkubang satwa.

Banyak kubangan yang mengering dan secara rutin harus diisi air agar satwa-satwa

bertahan hidup dan tidak lari keluar kawasan guna mencari air.

Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan upaya makhluk hidup (manusia, hewan

dan tumbuhan) untuk tetap bertahan pada kondisi lingkungan yang telah berubah.

Adaptasi juga dimaksudkan sebagai upaya melestarikan ekosistem hutan untuk dapat

menghasilkan barang dan jasa secara lestari bagi kepentingan masyarakat dan makhluk

Page 100: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 5-28

hidup lain yang tinggal di dalam dan sekitarnya. Adaptasi yang dilakukan dapat bersifat

antisipatif atau reaktif, autonomous atau terencana, sektoral atau multisektoral. Di

Indonesia, penelitian terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem

hutan dan masyarakat belum banyak dilakukan, sehingga belum banyak diketahui

tingkat kerentanan mereka dan upaya adaptasinya.

Pada akhirnya pengelolaan hutan tropis, kebijakan dan program pembangunan terkait

dengan sektor kehutanan perlu memperhatikan dampak perubahan iklim dan potensi

adaptasi ekosistem hutan dan masyarakat agar kepentingan khalayak umum terhadap

pemenuhan ekonomi, pangan, energi dan air dapat terpenuhi secara lestari. Penelitian

ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para pengambil keputusan dalam

penyempurnaan kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam (hutan) terkait dengan

dampak dan strategi adaptasi terhadap perubahan.

4. Tujuan dan Sasaran Tujuan : Menyediakan ilmu pengetahuan tentang tingkat kerentanan hutan dan

masyarakat serta adaptasinya terhadap perubahan iklim yang menuju pada

pengurangan kerentanan dengan tetap menjaga kelestarian hutan.

Sasaran :

• Diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan tropis dan sosial

ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan

• Tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi dan kebijakan adaptasi

terhadap perubahan iklim yang berdampak pada pengurangan kerentanan

masyarakat/peningkatan resiliensi masyarakat dan kelestarian hutan.

5. Luaran

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim

diharapkan memberikan 4 (empat) luaran, yaitu:

Page 101: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 6-28

a. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan

rekomendasi kebijakan adaptasinya

b. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap

perubahan iklim

c. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan

sekitar hutan terhadap perubahan ikilm dan cuaca ekstrim, dan rekomendasi

kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim

dan cuaca ekstrim

d. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem

hutan dan masyarakat di masa mendatang

Luaran tersebut dapat berupa publikasi ilmiah dan popular minimal sebanyak 5 buah

dan policy brief.

6. Ruang Lingkup

Penelitian Adaptasi Bioekologi dan Social Ekonomi Masyarakat Terhadap Perubahan

Iklim akan dilakukan dari tahun 2010 hingga 2014. Penelitian ini akan melihat kondisi

hutan, vegetasi dan satwa, genetis tumbuhan, produktivitas dan fenologinya,

masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang penghidupannya bergantung pada sumber

daya hutan, dan melakukan modeling dampak perubahan iklim terhadap hutan, sosial

ekonomi masyarakat, dan biaya adaptasi. Lingkup RPI meliputi 4 (empat) kegiatan yang

terintegrasi. Kegiatan-kegiatan dimaksud beserta cakupan masing-masing kegiatan

tersebut adalah sebagai berikut:

A. Analisa Kerentanan Hutan Terhadap Perubahan Iklim

Meliputi 4 (empat) kegiatan, yaitu:

a. Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim

Secara konsep, perubahan satu atau lebih dimensi iklim (a.l. temperature dan curah

hujan) akan mempengaruhi proses ekosistem hutan (Ayres, et.al. 2009). Perubahan

Page 102: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 7-28

dari proses ekosistem dapat berdampak pada distribusi, biodiversitas dan jasa

ekosistem. Terkait dengan konsep tersebut, cakupan analisa ini meliputi dua atau lebih

hal berikut: i. perubahan luasan dan distribusi tipe hutan; ii. komposisi spesies

tumbuhan hutan; iii. perpindahan ekosistem hutan (misal dari hutan spruce ke hutan

pinus, atau dari hutan ke savana - Nobre and Oyama 2003, Fischlin et al. 2007, Mendes

2007); iv. kelangsungan hidup seedling dan sapling; v. hilangnya flora dan fauna

endemik yang lazim di suatu daerah (biodiversitas), dan vi. invasi hama dan penyakit

tanaman atau spesies baru. Hal ini pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas

ekologi.

b. Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan ilim dan cuaca ekstrim

Perubahan iklim diduga berperan terhadap keberadaan satwa termasuk species langka

di masa mendatang. Hal ini dikarenakan perubahan iklim diduga mempengaruhi

kondisi habitat satwa, juga musim berbunga dan produksi biji/buah yang merupakan

pakan satwa, ketersediaan air, suhu udara, dsb. Terkait dengan hal tersebut, analisa

kerentanan satwa terhadap perubahan iklim mencakup dua atau lebih hal berikut:

perubahan perilaku satwa, kemampuan reproduksi, besaran populasi, kemampuan

untuk bertahan hidup, perubahan distribusi, wabah hama dan penyakit satwa, serta

pola migrasi.

c. Kerentanan jasa hutan air akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim

Perubahan iklim mempengaruhi keberadaan air, sebagaimana terjadi di Bali Barat,

Indonesia. Perubahan iklim menyebabkan berkurangnya air untuk bertani dan

pemenuhan kebutuhan air minum. Disisi lain, perubahan iklim di Philippines

menjadikan jumlah penduduk yang kekurangan air berkurang (Seppala, 2009).

Perubahan iklim dalam kaitannya dengan jasa hutan (air) secara khusus akan

menganalisa pengaruh perubahan iklim terhadap ketersediaan dan kontinuitas air

(penurunan atau peningkatan kapasitas air) di sungai, dam, reservoir air dsb. Bila

Page 103: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 8-28

memungkinkan, penting juga untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap

kualitas air (misal salinitas air karena adanya intrusi air laut ke daratan).

d. Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan

dan fenologi

Fenologi adalah aktivitas musiman tumbuhan. Pergeseran fenologi sebagai dampak

dari pemanasan global antara lain berupa pergeseran musim kawin, pertunasan dan

pembungaan tumbuhan. Perubahan iklim juga diperkirakan mempengaruhi

produktivitas hutan. Produktivitas hutan tropis diperkirakan meningkat bila tersedia

cukup air (Seppala, 2009). Dalam analisis dampak perubahan iklim terhadap

produktivitas hutan dan fenologi akan mencakup pergeseran fenologi dan

produktivitas hutan tropis terutama kayu dan pangan.

B. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan

iklim

Perubahan iklim menjadikan tanaman perlu beradaptasi untuk mempertahankan

kelestariannya. Bentuk adaptasi dimungkinkan dengan berbagai cara seperti plastisitas

fenotipik, migrasi untuk mendapatkan kondisi yang sesuai atau evolusi. Respon

tanaman dalam rangka adaptasi bisa membutuhkan waktu cepat, tapi juga bisa sampai

beberapa generasi. Umumnya respon yang cepat akan menyangkut karakter yang

sementara (mis. perubahan fisiologis dengan akumulasi zat-zat tertentu), sementara

respon yang lambat dengan modifikasi yang relatif lebih bersifat permanen (mis

perubahan morfologi atau anatomi bagian tubuh tanaman). Pada tanaman,

kemampuan adaptasi bervariasi sehingga langkah awal pengujian dengan menyertakan

banyak spesies dan sumber genetik yang luas diperlukan. Untuk mengantisipasi dan

mempertahankan kelangsungan hidup tanaman pohon umur panjang, dalam rangka

mengantisipasi efek perubahan iklim yang bisa terjadi lebih cepat, sangat diperlukan

sumber benih spesifik dari spesies dengan karakter adaptif yang cocok dengan prediksi

perubahan iklim yang akan datang. Beberapa karakter adaptif awal pada tanaman

Page 104: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 9-28

dapat dilihat dari persen hidup, pertumbuhan, ketahanan terhadap kekeringan, dll

(Bradley St Clair dan Howe, 2007), serta dari karakter-karakter lain yang berhubungan

dengan fisiologi, morfologi dan anatomi tumbuhan. Terkait dengan hal tersebut,

analisis adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim memerlukan pengujian

berbagai spesies dan genetik dengan basis genetik yang luas. Pengujian ini diperlukan

tidak hanya di lapangan, namun juga pengujian pada kondisi yang relatif terkontrol.

Dalam pelaksanaan pengujian tahapan-tahapan kegiatan yang diperlukan adalah

berikut:

a. Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai

dan daerah kering, ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem pegunungan dan

sebaran alaminya

Untuk kepentingan ini, tahap awalnya akan dilakukan identifikasi jenis di sebaran alami

terhadap spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem dataran

rendah kering dan pantai. Identifikasi dilakukan pada habitat ekstrim yang kita

harapkan dengan asumsi bahwa tanaman-tanaman tersebut telah terseleksi secara

alami sehingga mempunyai karakter adaptif yang dibutuhkan.

b. Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk

uji spesies & uji provenans

Koleksi materi genetik akan dilakukan dengan cara mengumpulkan benih spesies

terpilih di habitat-habitat alami termasuk habitat yang ekstrim, pada saat musim

berbuah. Materi ini merupakan bahan tanaman yang akan digunakan untuk tujuan

pengujian pada kondisi terkontrol dan pada kondisi lapangan.

c. Kombinasi uji spesies-provenans jenis teridentifikasi

Tidak semua spesies tanaman yang terseleksi dan yang terkumpul merupakan jenis

yang mudah diperoleh bijinya atau yang umum di budidayakan masyarakat. Oleh

karenanya desain untuk pelaksananaan akan tergantung dari berbagai faktor sampai

bahan tanaman yang tersedia sebagai bahan uji tersedia di persemaian.

Page 105: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 10-28

d. Pemuliaan spesies adaptif pada kondisi ekstrim untuk antisipasi perubahan iklim

Uji penanaman pada lokasi yang baru dan cocok dengan gambaran prediksi

perubahan iklim yang akan datang (misal daerah kering, daerah bergaram tinggi, dll)

diharapkan merupakan langkah tepat untuk menyediakan species dan genotip yang

tahan di daerah-daerah berkondisi ekstrim atau marginal. Pengujian ini selain untuk

mengetahui pertumbuhannya juga ditujukan untuk mengamati karakter yang

mempengaruhi adaptifititasnya yang diperkirakan dikontrol secara genetik. Terkait

dengan kegiatan ini akan dilakukan 2 hal terhadap bibit spesies terpilih yang terkoleksi

dari masing-masing provenans dari biji, yakni: i. Pengujian pada kondisi terkontrol

dipersemaian dengan menyertakan spesies yang sudah dimuliakan sebagai

pembanding; ii. pembangunan kombinasi uji spesies-provenans di lapangan dan

pemeliharaannya serta evaluasi.

Untuk spesies dari ekosistem pegunungan, identifikasi sampai ke pengujian akan

dilakukan manakala pengujian spesies dan genetik untuk dataran rendah, kering dan

pantai telah dianggap memadai. Jika pengujian untuk spesies pegunungan ini akan

dilakukan, maka uji akan diterapkan di ekosistem antara (antara ekosistem

pegunungan dan ekosistem pantai). Hal ini terkait dengan upaya besar-besaran untuk

menyediakan spesies dalam rangka merehabilitasi lahan pada ekosistem tersebut.

Replikasi di beberapa tempat akan dilakukan untuk mengetahui kondisi adaptasi

terhadap perubahan ilklim.

C. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam & sekitar

hutan terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim & rekomendasi kebijakan

untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim

Perubahan iklim diperkirakan berdampak pada kapasitas hutan untuk menyediakan

jasa ekosistem. Hal ini memberikan konsekuensi yang cukup besar terhadap kehidupan

masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu dan kehidupannya sangat

tergantung pada hutan. Adaptasi harus mereka lakukan untuk dapat bertahan hidup.

Page 106: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 11-28

Penaksiran kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan

iklim akan dikaitkan dengan ketahanan pangan, ketersedian energi, dan kelangsungan

ekonomi. Penaksiran akan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kondisi sosial

ekonomi keluarga atau komunitas, lokasi geografi dan latar belakang budaya, akses

mereka terhadap sumber daya alam (hutan), serta program pembangunan dan

kebijakan pemerintah setempat. Bentuk adaptasi yang dilakukan terhadap kehidupan

masyarakat akan mempertimbangkan skala lokal dan regional; strategi adaptasi yang

dilakukan (proaktif atau reaktif, autonomous atau terencana, sektoral atau

multisektoral); kendala serta biaya adaptasi.

Penelitian kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim masih relatif baru di

sektor kehutanan dan berbagai metode digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan

masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan juga untuk mengeksplorasi berbagai

metodologi yang dapat digunakan untuk mengetahui kerentanan masyarakat terhadap

perubahan iklim di sektor kehutanan.

D. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem

hutan dan masyarakat di masa mendatang.

Pola iklim di Asia Tenggara sudah berubah cukup nyata (Seppala, 2009) dan Stern

Review (2007) menginformasikan bahwa Asia Tenggara, termasuk Indonesia, lebih

rentan terhadap perubahan iklim di banding belahan bumi lainnya. Dengan demikian

penting bagi Indonesia untuk mempunyai kebijakan yang efektif untuk

penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat

juga pengurangan terhadap kerentanan.

Terkait dengan hal tersebut perlu diketahui pola dan proyeksi perubahan iklim,

kerentanan hutan dan masyarakat serta proyeksinya ke depan, serta melakukan

monitoring terhadap dampak perubahan iklim dan proyeksinya di masa mendatang.

Page 107: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 12-28

Informasi tersebut bermanfaat untuk menentukan bentuk atau opsi adaptasi yang

tepat guna menghidari dampak yang membahayakan dari perubahan iklim, serta

penentuan bentuk tindakan untuk meningkatkan resiliensi hutan dan masyarakat

terhadap perubahan iklim.

Terdapat tiga kegiatan yang akan dilakukan terkait dengan basis kebijakan

penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat.

Kegiatan dimaksud meliputi:

a. Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan

Kegiatan ini akan memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap tumbuhan

hutan, satwa, jasa (air), fenologi dan produktivitas hutan.

b. Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosial ekonomi masyarakat di dalam

dan sekitar hutan

Perubahan iklim dapat berdampak pada skala desa hingga nasional. Kegiatan ini

direncanakan untuk memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan

masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu dan kehidupannya sangat

tergantung pada hutan, minimal pada skala kecamatan dan terkait dengan ketahanan

pangan, ketersediaan energi, dan keberlangsungan ekonomi.

c. Modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim

Kondisi sosial, ekonomi, dan kebijakan yang cukup dinamis menjadikan pemilihan

bentuk adaptasi yang tepat tidak mudah didapat karena cukup kompleks dan

menghadapi banyak pilihan. Adaptasi dapat berupa perubahan pola pengelolaan

sumber daya alam (hutan, lahan, air, dsb), penggantian spesies, varietas, atau

komposisi tanaman, pembangunan infrastruktur, perubahan perilaku, teknologi,

kebijakan, dsb. yang kesemuanya adaptif terhadap kondisi lingkungan baru.

Page 108: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 13-28

Adaptasi memerlukan waktu, daya upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak,

dan dalam banyak hal memerlukan biaya cukup besar pada skala keluarga, kelompok

masyarakat, desa, hingga skala nasional bahkan internasional. Studi yang dilakukan

World Bank mendapatkan bahwa biaya adaptasi akan terus bertambah seiring dengan

waktu. Besarnya biaya tersebut tergantung, antara lain, pada magnitude dari

perubahan iklim, besarnya dampak dan tindakan atau bentuk adaptasi yang dilakukan.

Modeling Biaya Adaptasi akan memberikan informasi besaran biaya untuk melakukan

adaptasi juga aspek-aspek yang memerlukan biaya adaptasi yang besarnya cukup

signifikan. Dalam modeling akan menimbang berbagai biaya adaptasi pada skope yang

lebih besar pada skala nasional dan cross sectoral serta meliputi berbagai aspek

(pengelolaan, teknologi, sosial ekonomi, dsb) dan akan memperhitungkan kebutuhan

ke depan sehingga dapat diketahui keuntungan dari pilihan tindakan adaptasi di masa

mendatang. Modeling juga membicarakan tentang ‘ketidakpastian (uncertainties) dan

kemungkinan (probabilities)’, membantu memahami sensitivitas dari faktor-faktor

yang beradaptasi dan saling berinteraksi serta konsekuensi biaya adaptasi, membantu

mengidentifikasi biaya per sektor (yang beresiko), menunjukkan bahwa adaptasi akan

mengurangi resiko kerusakan yang parah dari perubahan iklim dan biaya adaptasi yang

lebih besar di masa mendatang.

7. Metodologi

7.1. Kerangka Konseptual

7.1.1. Kerentanan Terhadap Perubahan iklim Hutan berperan penting bagi kehidupan manusia. Secara umum peran tersebut disajikan pada Gambar 1.

Page 109: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 14-28

Gambar 1. Ekosistem hutan, barang dan jasa hutan serta hubungannya dengan kehidupan manusia (Sumber: Locatelly (2008), Seppala (2009))

Hutan menyediakan barang dan jasa lingkungan untuk kelangsungan hidup manusia.

Sebaliknya manusia melakukan pengelolaan terhadap hutan dengan maksud untuk

mendapatkan barang dan jasa hutan secara lestari. Perubahan iklim akan

mempengaruhi ekosistem hutan dan manusia, secara postif ataupun negatif. Besarnya

pengaruh tersebut tergantung pada sensitifitas dan kapasitas adaptasi dari ekosistem

hutan, manusia atau masyarakat, serta kemampuan manajemen. Efek negatif akan

menjadi makin besar di masa mendatang bila tidak dilakukan penanganan. Adanya

pengaruh negatif ini menandakan bahwa ekosistem hutan dan manusia rentan

terhadap perubahan iklim.

SUPPORTING SERVICES (Supporting necessary for the production of all other ecosystem services)

• Nutrient cycling Primary production • Soil formation Provision of habitat • Biodiversity maintenance

PROVISIONING • Wood products • Non-wood products • Water

REGULATING • Climate Regulation • Food regulation • Disease regulation

CULTURAL • Aesthetic • Spiritual • Recreational

SECURITY • Personal safety • Secure resource access • Security from disaster

HEALTH • Access to clean air and

water • Strength • Feeling well

GOOD SOCIAL RELATION • Social cohesion • Mutual respect • Ability to help others

BASIC MATERIAL FOR LIFE • Adequate livelihood • Sufficient nutritious food • Shelter • Access to goods

FREEDOM OF CHOICE AND ACTION

Page 110: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 15-28

Gambar 2. Kerentanan ekosistem dan masyarakat (Sumber: Locatelly (2008))

Kerentanan terhadap perubahan iklim dalam Intergovernmental Panel on Climate Change

(IPCC) diartikan sebagai keterbatasan kapasitas yang dimiliki untuk mengatasi

konsekuensi negatif dari perubahan iklim. Kerentanan dapat juga diartikan sebagai

derajat kemudahan suatu sistem terkena dampak, atau ketidakmampuan untuk

menanggulangi dampak, termasuk dampak dari variabilitas iklim dan kondisi ekstrim.

Hutan dan masyarakat memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap iklim yang

bervariasi, tergantung pada daerah dan tipe hutan, kondisi geografis, latar belakang

budaya, kebijakan, kelembagaan, dsb.

Metzger et al. (2006) dan IPCC (2007) mendefinisikan kerentanan sebagai fungsi dari

eksposure, sensitifitas suatu sistim untuk berubah, dan kapasitas beradaptasi yang

dipunyai (yaitu resilience). Gambaran umum dari konsep kerentanan terhadap

perubahan iklim disajikan pada Gambar 3.

Climate Change Other driver of change Exposure

Vulnerability of a coupled human-environment system to the loss of ecosystem services

Sensitivity

Adaptive capacity

Ecosystem (hutan)

Sensitivity

Adaptive capacity

Society Ecosystem good & services

Management

Adaptive Capacity

Page 111: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 16-28

Gambar 3. Konsep Kerentanan terhadap Perubahan iklim

Faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan juga bervariasi. Sebagai contoh:

masyarakat miskin dengan mobilitas geografis yang rendah akan lebih rentan terhadap

dampak perubahan iklim dibandingkan dengan mereka yang mempunyai mobilitas

tinggi. Mereka memerlukan kebijakan dan pengelolaan terhadap hutan tempat mereka

bergantung untuk mengurangi kerentanan mereka (Reid and Huq 2007). Pengelolaan

hutan lestari sangat esensial untuk mengurangi kerentanan hutan terhadap perubahan

iklim. Terdapat keterbatasan kapasitas hutan dan masyarakat (yang kehidupannya

tergantung pada hutan) untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Komitmen yang

kuat diberbagai pihak pada level nasional maupun lokal sangat esensial untuk

menghadapi berbagai tantangan dalam beradaptasi dan merealisasikan pengelolaan

hutan lestari.

Kerentanan manusia terhadap perubahan iklim ditentukan oleh berbagai faktor seperti

kondisi sosial ekonomi dan latar belakang budaya dari suatu keluarga atau komunitas,

akses terhadap sumber daya alam, lokasi geografi, infrastruktur, serta program

pembangunan.

Kondisi sosial ekonomi dan latar belakang budaya yang meliputi, antara lain,

pendidikan formal dan informal, teknologi yang dimiliki, akses informasi, kemampuan

ekonomi pada umumnya berpengaruh terhadap tindakan yang akan dilakukan atau

Forest Good and Services

Society

Forest Good & Services

Society

Climate Change

Forest

Good & Service

Page 112: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 17-28

kapasitas masyarakat dalam mengatasi atau mengantisipasi terjadinya suatu bencana

atau sembuh kembali (recovery).

Akses masyarakat terhadap sumber daya alam dapat membantu mengurangi besarnya

bencana yang bakal diterima dan mengurangi kerentanan masyarakat karena hutan

merupakan sumber ekonomi, pangan, energi, dll. Akses masyarakat ke sumber daya

alam (khususnya hutan Negara) di Indonesia diatur pemerintah. Berbagai kebijakan

dikeluarkan terkait dengan pemanfaatan hutan oleh masyarakat dan hal ini

mempengaruhi kerentanan masyarakat juga kerentanan hutan.

Lokasi geografis biasanya dikaitkan dengan lokasi pekerjaan atau lokasi tempat tinggal

yang aman bencana serta ketersediaan infrastruktur (misal sarana irigasi, dam, saluran

pembuangan air, dsb) akan berdampak pada magnitude kerawanan masyarakat

terhadap bencana. Pemetaan lokasi geografis dan sarana infrastruktur yang tersedia

dapat memberikan gambaran tentang kelompok masyarakat yang paling rentan

terhadap bencana. Hal lain yang juga sangat penting artinya adalah program

pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur dan penanganan atau

antisipasi terhadap ancaman bencana, serta penerapan early warning system.

Semua faktor tersebut menentukan kerentanan masyarakat, opsi adaptasi dan

memilih satu atau kombinasi dari opsi adaptasi yang paling diinginkan serta paling

praktis untuk dilaksanakan dan paling efektif.

7.1.2. Adaptasi Terhadap Perubahan iklim

Adaptasi dalam IPCCC (2007b) didefinisikan sebagai penyesuaian dari alam atau

manusia terhadap kondisi iklim aktual atau terhadap prediksi kondisi iklim yang bakal

terjadi serta dampak yang akan ditimbulkan. Adaptasi dapat berupa antisipatif atau

reaktif, autonomus atau terencana, sektoral atau multisektoral. Sebagai contoh,

adaptasi biologi adalah autonomous dan reaktif. Namun manusia dengan kemampuan

yang dimilikinya dapat melakukan berbagai macam tindakan terhadap perubahan

Page 113: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 18-28

sebagai upaya untuk beradaptasi. Mereka beradaptasi untuk mengurangi kerentanan

atau meningkatkan ketahanan (resilience) guna mengantipasi perubahan-perubahan

yang sudah diperkirakan bakal terjadi (adaptasi antisipatif) (Adger et al. 2007).

Terkait dengan hutan, tidak ada cara universal yang dapat diterapkan untuk adaptasi

hutan terhadap perubahan iklim. Pengelola hutan selayaknya fleksibel untuk

menentukan bentuk adaptasi yang paling tepat pada kondisi setempat. Diperlukan

pendekatan yang fleksibel dan sesuai dengan konteks yang ada serta tidak tergantung

pada satu pilihan. Upaya adaptasi selayaknya menyediakan beberapa solusi teknis

dengan mempertimbangkan kelembagaan di masyarakat.

Strategi adaptasi banyak yang memfokuskan pada pengurangan kerentanan atau

penguatan kemampuan untuk tetap bertahan terhadap efek perubahan iklim. Oleh

karena itu kerentanan sangat erat kaitannya dengan adaptasi. Strategi adaptasi yang

berorientasikan pada pengurangan kerentanan dapat meliputi (Adger et al.2007):

- Altering exposure, antara lain dengan sistem pemberitahuan dini (early warning

system)

- Pengurangan sensitivitas pada sistem yang terkena dampak antara lain dengan

penanaman tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan temperatur atau

keterbatasan air, peningkatan kapasitas dam, atau pembangunan infrastruktur

yang tahan terhadap banjir pada daerah-daerah yang rentan banjir.

- Peningkatan ketahanan atau kemampuan untuk meredam gangguan sosial dan

sistem ekologi yang memungkinkan populasi untuk pulih kondisinya seperti

sedia kala.

Dengan demikian, kapasitas untuk beradaptasi merupakan fungsi dari berbagai

elemen, termasuk kemampuan untuk memodifikasi eksposure (keterbukaan) terhadap

resiko yang terkait dengan perubahan iklim, kemampuan untuk dapat pulih dari

kehilangan yang diakibatkan perubahan iklim, dan kemampuan untuk mendapatkan

berbagai kesempatan baru yang muncul dalam proses beradaptasi (Adger dan Vincent,

Page 114: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 19-28

2005). Pilihan terhadap opsi adaptasi dan kombinasinya sangat tergantung pada

kerentanannya, yang sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi sosial ekonomi dari

rumah tangga dan masyarakat, lokasi tempat mereka tinggal, hubungan atau jaringan

kerja dan akses mereka pada sumber daya dan penguasa. Smit et al (2001) dalam

Locatelli (2008) menyatakan bahwa kapasitas adaptasi ditentukan oleh sumberdaya

ekonomi (termasuk keuangan, manusia), teknologi, informasi dan keterampilan,

infrastruktur; institusi (termasuk regulasi), dan kesetaraan, dimana keterbatasan pada

salah satu dari elemen diatas dapat membatasi kapasitas adaptif secara umum. Hal

tersebut memberikan banyak sekali opsi adaptasi.

7.2. Metode Pengumpulan Data

Data untuk kepentingan penelitian ini dikumpulkan dengan berbagai metode. Metode

dimaksud meliputi:

• Desk study guna mendapatkan informasi tentang kondisi terkini dan

mensinkronkan berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh instansi lain

terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim.

• Survey lapangan untuk mendapatkan data kuantitatif dan kualitatif.

• Wawancara, konsultasi, dan diskusi kelompok dengan responden maupun para

pakar terkait dengan topik penelitian.

7.3. Alat Analisa

Penaksiran Kerentanan (Vulnerability) dalam penelitian ini akan memakai rumusan

IPCC. Dinyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari tiga aspek: Exposure (E),

Sensitivity (S) dan Adaptive Capacity (AC). Secara ringkas, rumusan tersebut dapat

dituliskan sbb:

V= f (Exposure+Sensitivity-Adaptive Capacity)

Page 115: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 20-28

1. Exposure dimaksudkan sebagai derajat (seberapa jauh) suatu sistem secara

alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Suhu dan curah hujan merupakan

dua dari berbagai faktor dari iklim yang punya pengaruh cukup signifikan

terhadap kehidupan dan persebaran vegetasi hutan dan satwa.

2. Sensitivitas dimaksudkan sebagai “derajat atau tingkat suatu sistem terkena

dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan iklim, termasuk

karakteristik iklim rata-rata, variabilitas iklim, dan frekuensi serta besaran

ekstrim. Dampak tersebut dapat merugikan ataupun menguntungkan. Efek-

efek tersebut dapat secara langsung (seperti perubahan hasil panen karena

perubahan iklim atau variabilitas temperatur) atau secara tidak-langsung

(seperti kerusakan yang disebabkan oleh kenaikan frekuensi banjir di pesisir

sebagai akibat dari kenaikan muka air-laut)” (McCarthy et al., 2001, p. 6).

3. Kapasitas adaptif (adaptive capacity) didefinisikan sebagai “kemampuan satu

sistem untuk menanggulangi konsekuensi dari perubahan iklim atau

menyesuaikan diri pada perubahan iklim (termasuk variabilitias iklim dan iklim

ekstrim), mengurangi potensi kerusakan, atau mengambil keuntungan dari

kondisi yang disediakan iklim yang berubah tersebut (McCarthy et al., 2001

dalam Locatelli et al. 2008).

Kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim mempunyai cakupan cukup luas,

meliputi sumber daya alam (hutan) dan para pemangku kepentingan di sektor

kehutanan. Dengan demikian, RPI ini meliputi aspek yang cukup luas dari fisiologi

tanaman, sosial-ekonomi, kebijakan, manajemen, teknologi, dsb. Oleh karena itu, alat

analisa dalam RPI meliputi berbagai macam sesuai dengan data dan tujuannya. Alat

analisa dimaksud antara lain:

• Analytic Hierarchy Process (AHP)

• Simple Ranking

• Simple Rating

• Expert Panel Judgment

• Fuzzy Logic

Page 116: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 21-28

• Rapid Hydrological Assessment

• Analytic Network Process (ANP)

• Participatory Method

• Integrated assessment models (IAM)

• Participatory Vulnerability Assessment

• Adaptation assessment

• Analisa biaya (untuk pengadaan, pembangunan, kehilangan pendapatan)

7.4. Lokasi Penelitian

Penelitian RPI ‘Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan

Iklim’ akan dilakukan pada ekosistem yang ekstrim atau rentan terhadap perubahan

iklim, yang meliputi ekosistem pantai, savana, atau hutan dataran rendah dan

ekosistem hutan pegunungan. Ekosistem hutan dataran rendah yang merupakan

ekosistem antara hutan pantai dan hutan pegunungan penting artinya karena banyak

pembangunan kehutanan berupa hutan tanaman dan penduduk tinggal pada

ekosistem tersebut, dan ekosistem antara tersebut dimungkinkan akan menjadi

ekosistem ekstrim. Secara tepat lokasi penelitian akan ditentukan kemudian, namun

lokasi penelitian tersebut diharapkan mempunyai ciri-ciri sbb:

• Pada lokasi tersebut terdapat hutan, masyarakat (yang penghidupannya

tergantung pada sumber daya hutan), dan kalau dimungkinkan terdapat satwa

• Beberapa lokasi penelitan terpilih aman dari perusakan karena akan dilakukan

pengamatan berulang untuk mendapatkan data series

Direncanakan penelitian ini akan dilakukan dalam satu lokasi yang misalnya dibatasi

oleh satu Daerah Aliran Sungai. Disini akan dikaji berbagai aspek kerentanan baik

hutan, tumbuhan, satwa, masyarakat, maupun kebijakannya. Dari penelitian terpadu

dan terfokus pada satu lokasi ini diharapkan akan didapat gambaran menyeluruh dan

utuh tentang kerentanan, bentuk adaptasi yang ada atau yang telah dilakukan terkait

dengan social, ekonomi, dan lingkungan serta kebijakan yang ada. Pemberian opsi

Page 117: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 22-28

adaptasi serta saran kebijakan terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim akan

lebih mudah dilakukan karena tersedianya berbagai hasil penelitian yang mendukung.

8. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya.

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim

direncanakan untuk 5 tahun (2010 – 2014). Penelitian ini akan melibatkan beberapa

balai penelitian di Indonesia. Topik penelitian, balai pelaksana dan tahun dilaksanakan

penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kegiatan penelitian, instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya

Kode Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan Pelaksana Tahun Pelaksanaan

2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM 7 PERUBAHAN IKLIM 18 RPI : Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan iklim

18.1 Luaran 1: Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya

18.1.1 Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim

18.1.1.12 BPTP DAS Solo

100 100 100

18.1.2 Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim

18.1.2.16

BPTKSDA Samboja

125 125 100

18.1.3 Analisis kerentanan jasa hutan air akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim

18.1.3.12 BPTP DAS Solo

100 100 100

18.1.3.14 BPK Kupang 125 125 125

18.1.4 Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi

18.1.4.4 Puspijak 150 150 150

18.2 Luaran 2: Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim

Page 118: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 23-28

Kode Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan Pelaksana Tahun Pelaksanaan

2010 2011 2012 2013 2014

18.2.1

Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai, daerah kering, hutan dataran rendah, dan ekosistem hutan pegunungan serta sebaran alaminya

18.2.1.5 BBPBPTH

Yogyakarta 75 150

18.2.2

Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies & uji provenans atau uji genetis

18.2.2.5 BBPBPTH

Yogyakarta 150

18.2.3 Kombinasi uji spesies-provenans jenis teridentifikasi

18.2.3.5 BBPBPTH

Yogyakarta 150

18.2.4 Pemuliaan spesies adaptif pada kondisi ekstrim untuk antisipasi perubahan iklim

18.2.4.5 BBPBPTH

Yogyakarta 150 150 150

18.3

Luaran 3: Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam & sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim & rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim

18.3.1

Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah

18.3.1.4 Puspijak 150 150 150

18.3.2

Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan

18.3.2.8 BPTSTH Kuok 100 100 18.3.2.19 BPK Manokwari 150 150

18.4

Luaran 4: Basis kebijakan penaggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang

18.4.1 Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan

18.4.1.4 Puspijak 150

Page 119: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 24-28

Kode Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan Pelaksana Tahun Pelaksanaan

2010 2011 2012 2013 2014

18.4.2 Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosek masyarakat di dalam dan sekitar hutan

18.4.2.4 Puspijak 150

18.4.3 Modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim

18.4.3.4 Puspijak 150 TOTAL 575 1300 900 1075 300

Keterangan : BBPBTH : Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan BPK : Balai Penelitian Kehutanan BPTP DAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam BPTSTH : Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan

Page 120: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 25-28

9. Organisasi

Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Pusat Penelitian dan Pengembangan

Perubahan Iklim dan Kebijakan dengan koordinator RPI : Dr. Niken Sakuntaladewi dan akan

melibatkan peneliti dari berbagai instansi lingkup UPT Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, seperti Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Yogyakarta (BBPBPTH), BPK Manokwari, BPTP DAS Solo, dan kerjasama dengan instansi

terkait lain jika dibutuhkan.

10. Daftar Pustaka

Adger.W.N., Agrawala, S., Mirza, M.M.Q., Conde, C., O’Brien, K., Pulhin, J., Pulwarty, R., Smit, B. and Takahashi, K. 2007. Assessment of adaptation practices, options, constraints and capacity. In: Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. and Hanson, C.E. (eds.). Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC). Cambridge University Press, Cambridge, UK. P. 717-743

Adger, Neil, Maria Brockhaus, Carol J. Pierce Colfer and Brent Sohnger. 2009. Future Socio-

Economic Impacts and Vulnerabilities dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22.

Adger, W.N. dan Vincent, K. 2005. Uncertainty in adaptive capacity. Comptes Rendus

Geoscience, 337(4): 399-410. Ayres, Matthew, David Karnosky and Ian Thompson. 2009a. Forest Responses and

Vulnerabilities to Recent Climate Change dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22.

Ayres, Matthew, David Karnosky, Seppo Kellomaki, Bastian Louman, Chin Ong, Gian-Kasper

Plattner, Heru Santoso and Ian Thompson. 2009b. Future Environmental Impacts and Vulnerability dalam dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22.

Bastiaan Louman. 2007. Forest Ecosystem Services: A Conerstone for Human Well-Being

dalam Adaptation of Forest and People to Climate Change. Pp. 15 – 52 Bradley St Clair, J and Howe, Gt. 2007. Genetic maladaptation of coastal Douglas-fir

seedlings to future climates. Global Change Biology, 13:1441-1454

Page 121: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 26-28

Brockhaus, Maria dan Houria Djoudi. 2008. Adaptation at the interface of forest ecosystem good and services and livestock production systems in Northern Mali. CIFOR Info Brief no. 19. www.cifor.cgiar.org.

Brooks, N., Adger, W.N. and Kelly P.M. 2005. The determinants of vulnerability and

adaptive capacity at the national level and the implications for adaptation. Global Environmental Change 15 (2): 151-163

Diaz, S., Tilman, D., fargione, J., Chaopin, F.S., Dirzo, R., Kitzberger, T., Gemmill, B., Zobel,

M., Vila, M., Mitchell, C., Wilby, A., Daily, G.C., Galetti, M., Laurance, W.F., Pretty, J., Naylor, R., Power, A. dan Harvell, D.2005. Biodiversity regulation of ecosystem services. Dalam: Hassan, R., Scoles, R. dan Ash, N. (eds.), Ecosystem and Human Well-Being: Current State and Trends. Millenium Ecosystem Assessment Volume I. Island Press, Washington, D.C. p. 297-329.

Fischlin, A., Midgley, G.F., Price, J.T., Leemans, R., Gopal, B., Velichko, A.A. 2007.

Ecosystems, their properties, goods and services. Dalam Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. dan Hanson C.E. (eds.). Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Inergovernmental Panel of Climate Change (IPCC). Cambridge University Press, Cambridge, UK. P. 211-272.

Fischlin, Andreas, Peter Gluck, John Innes. Alan Lucier. John Parrotta, Heru Santoso, Ian

Thomson, dan Anita Wreford. 2009. Forest Ecosystem Services: A Cornerstone for Human Well-Being dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22.

Fontaine, C., Dajoz, I., Meriguet, J. dan Loreau, M. 2005. Functional diversity of plant

pollinator interaction webs enhances the persistence of plant communities. PLoS Biology 4: 129 – 135.

Houghton, R.A. 2005. Tropical deforestation as a source of green-house gas emission. IPPC. 2007a. Impact, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the

Fourth Assessement Report of the Environmental Panel on Climate Change (IPCC). Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutifof, J.P., van der Linden, P.J. and Hanson, C.E. (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, UK. 973 p.

IPCC. 2007b. Summary for policy makers. Climate Change 2007: Impacts, adaptation and

vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC). Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. dan Hanson, C.E. (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, U.K., p. 7 – 22.

Page 122: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 27-28

Locatelli,Bruno, Markku Kannined, Maria Brockhaus, Carol J.P. Colfer, Daniel Murdiyarso, dan Heru Santoso. 2008. Facing an uncertain future. How forests and people can adapt to climate change. Forest Perspectives no. 5. CIFOR. Indonesia

MEA (Millenium Ecosystem Assessment). 2005. Ecosystem and human well-being.

Synthesis. Island Press, Washington D.C. 137p. Mendes, H. 2007. Brazil faces forecast of heat and dust. Science and Development

Network. http://www.SciDev.Net (12 Desember 2008) Mettzger, M.J., Rounsevell, M.D.A., Acosta-Michlik, L., Leemans, R. and Schroter, D. 2006.

The vulnerability of ecosystem services to land use change. Agriculture Ecosystem and Environment 114: 69 – 85.

Nobre, C. dan Oyama, M. 2003. A new climate-vegetation equilibrium state for Tropical

South America. Geophysical Research Letters 30(23): 2199-2203 Reid, H. and Huq, S. 2007. Community-based adaptation. A Vital approach to the threat

climate change poses to the poor. IIED Briefing paper. http://www.iied.org/pubs (dikutip Desember 12, 2008) 2 p.

SCBD (Secretariat of the Convention on Biological Diversity). 2003. Interlinkages between

biological diversity and climate change. Advice on the integration of biodiversity considerations into the implementation of the UNFCCC and its Kyoto protocol. CBD Technical Series no. 10. SBD, Montreal. 154 p.

Seppala, Risto, Alexander Buck, Pia Katila (edt.). 2009. Adaptation of Forests and People to

Climate Change – A Global Assessment Report. IUFRO World Series Volume 22. IUFRO. Austria

Seppala, Risto, Alexander Buck, Pia Katila (edt.). 2009. Making forest fit for climate change.

A Global view of climate-change impacts on forests and people and options for adaptation. Policy Brief. Ministry for Foreign Affairs of Findland .International Union of Forest Research Organization.

Page 123: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 28-28

11. Kerangka Kerja Logis

Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi

TUJUAN

Menyediakan ilmu pengetahuan tentang tingkat kerentanan hutan dan masyarakat serta adaptasi nya terhadap perubahan iklim

Dihasilkannya : - Hasil analisis tentang kerentanan

hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya

- Informasi atau hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim

- Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap variasi musim dan cuaca ekstrim dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim

- Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang

Dokumen informasi mengenai tingkat kerentanan hutan dan masyarakat serta adaptasi nya terhadap perubahan iklim, yang dikemas dalam bentuk LHP, Publikasi, Policy Brief

Tidak terjadi perubahan kebijakan/ peraturan terkait Dukungan dari pihak terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian

SASARAN:

Diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim

• Telah dilaksanakan penelitian dan diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan akibat perubahan iklim, strategi adaptasi serta modelling dampak dan modeling biaya perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat

• Sintesis hasil penelitian terkait dengan tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi adaptasi terhadap PI

• Publikasi ilmiah minimal 5 buah

• Policy brief

• Tersedia SDM peneliti

• Dana tersedia tepat waktu

• Ada komitment instansi penelitian

• Tidak ada perubahan kebijakan mendasar tentang arah penelitian

• Ada kerjasama pemerintah pusat dan daerah

• Ada interest pemerintah pusat dan daerah thd adaptasi bioekologi dan sosekbud terhadap perubahan iklim

LUARAN:

1. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya

Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang kerentanan hutan tropis, satwa hutan, jasa hutan (air), produktivitas hutan dan fenologi akibat perubahan iklim

Sintesis hasil tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya • Laporan penelitian • Publikasi • Policy Brief

Page 124: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 29-28

Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi

2. Informasi hasil analisis tentang

adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim

Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang ‘identifikasi species pohon yang potensial untuk ekologi pantai, daerah kering, dan ekosistem pegunungan, koleksi materi genetik, dan uji provenans’

• Sintesis hasil

tentang analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim

• Laporan penelitian • Publikasi • Policy Brief

3. Hasil analisis tentang kerentanan

sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim ,dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim

Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang ‘kerentanan masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim, strategi adaptasi, dan rekomendasi terhadap pemerintah pusat dan daerah dalam pengarusutamaan adaptasi terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim

• Sintesis hasil analisis

tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim

• Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim

• Laporan penelitian • Publikasi • Policy Brief

4. Basis kebijakan penanggulangan

dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang

Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang ‘modelling ekosistem hutan, sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dan biaya adaptasi akibat perubahan iklim’

• Sintesis hasil atau

rekomendasi kabijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang

• Publikasi • Policy Brief • Laporan penelitian

Kegiatan: 1.1. Analisis kerentanan vegetasi hutan

akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim

Peneltian dapat menjawab tentang tingkat kerentanan vegetasi hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim.

• Laporan kemajuan

kegiatan (hasil survey) lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

1.2. Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim

Penelitian dapat memberikan informasi tentang tingkat kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

Page 125: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 30-28

Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi

1.3. Analisis kerentanan jasa hutan air terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim

Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘Kerentanan jasa hutan (air) terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim’

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

1.4. Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi

Penelitian dapat memberikan informasi tentang dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi’.

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

2.1. Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai, daerah kering, dan ekosistem pegunungan serta sebaran alaminya

Penelitian dapat memberikan informasi tentang spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai dan daerah kering, dan ekosistem pegunungan serta sebaran alaminya’

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

2.2. Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies dan uji provenans atau uji genetis

Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies dan uji provenance’

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

2.3. Kombinasi uji spesies-provenans jenis teridentifikasi

Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘hasil uji provenansi spesies teridentifikasi’

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Publikasi • Laporan penelitian

2.4. Pemuliaan spesies adaptif pada kondisi ekstrim untuk antisipasi perubahan iklim

Penelitian dapat memberikan informasi mengenai pertumbuhan dan karakter yang mempengaruhi adaptifititas jenis.

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Publikasi • Laporan penelitian

3.1. Penaksiran kerentanan dan

kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah

Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘Penaksiran kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah’

• Laporan kemajuan

kegiatan lapangan • Hasil analisa data

lapangan • Laporan penelitian • Publikasi

3.2. Penaksiran kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan

Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘Penaksiran kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan’

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

4.1. Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan

Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan’

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

Page 126: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 31-28

Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi

4.2. Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan

Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘modeling dampak perubahan iklim terhadap sosek masyarakat di dalam dan sekitar hutan ‘

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

4.3. Modelling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim

Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan’

• Laporan kemajuan kegiatan lapangan

• Hasil analisa data lapangan

• Laporan penelitian • Publikasi

Page 127: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 128: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 1-27

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010 – 2014 (REVISI)

PENGUATAN TATAKELOLA KEHUTANAN

1. Abstrak

Pengurusan hutan (forest administration) selama ini tanpa disadari telah mngabaikan tata kelola hutan yang baik (good forest governance) karena desakan pembangunan ekonomi. Hal ini diindikasikan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berhubungan dengan sumberdaya hutan dan kaitannya dengan kondisi sosial, maupun terhadap lingkungan hidup. Fungsi pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan supervisor dalam pengurusan hutan di satu pihak masih sangat lemah, namun di pihak lain dipandang cenderung berlebihan dan tidak efektif. Tata kelola kehutanan yang baik (Good Forest Governance) hanya bisa diwujudkan apabila para pembuat kebijakan (decision makers) dan pelaksana (executive) dalam pembangunan kehutanan mampu mengkaji forest governance yang telah dipengaruhi oleh dinamika sosial seperti kebijakan seperti desentralisasi. Beberapa tahun terakhir, para pihak terkait (stakeholders) telah banyak menyoroti forest governance dalam implementasinya. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan maupun dampaknya terhadap lingkungan hidup. Faktor pendorong lain munculnya isu ini adalah kosekuensi logis dari proses desentralisasi pemerintahan (otonomi) yang implementasinya masih berlangsung hingga saat ini. Kajian ini dimaksudkan untuk menyediakan pengetahuan dan informasi yang relevan serta keterampilan untuk mengidentifikasi skema-skema dan mekanisme tata kelola kehutanan yang baik dengan melakukan analisis terhadap: (1) kelembagaan kehutanan; (2) administrasi peredaran hasil hutan; (3) sistem rujukan dan penilaian tata kelola kehutanan yang baik. Beberapa metode dan pendekatan yang sesuai dengan topik yang akan dikaji akan digunakan sebagai alat analisis. Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 5 tahun dan akan dicapai melalui tiga tahap yaitu tahap pendahuluan, tahap pemantapan, dan tahap kolaborasi. Kata Kunci : desentralisasi, hasil hutan, kelembagaan, peredaran, tata kelola

2. Latar Belakang

Hal yang terakhir misalnya ditunjukkan oleh aturan-aturan yang sangat restrictive bagi

pihak pengelola di lapangan (unit manajemen) untuk mengimplementasikan

manajemen hutan yang kondisi biofisik dan sosiokulturalnya sangat beragam.

Demikian pula kebijakan pemerintah dianggap kaku dan kurang kondusif terhadap

kondisi pasar yang dinamis. Namun di sisi lain muncul pernyataan bahwa banyak

pemilik hak pengusahaan hutan dan manajer perusahaan yang kurang peduli akan

Page 129: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 2-27

aturan-aturan yang dibuat untuk menjamin kelestarian hutan. Dengan demikian

diperlukan sebuah kajian komprehensif mengenai akar permasalahan pengelolaan

hutan baik di sisi pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam kerangka kebijakan

desentralisasi.

Setelah lebih dari 30 tahun menjalani sistem pengelolaan hutan sentralistik, UU Nomor

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan dan tanggung

jawab yang lebih luas kepada Pemerintah Kabupaten di Indonesia dalam mengelola

sumberdaya alam di daerahnya. Dengan adanya UU tersebut, daerah mempunyai hak

untuk menetapkan kebijakan daerahnya sendiri secara otonom. Sementara itu,

pemerintah tingkat provinsi pada prakteknya masih lebih banyak berfungsi sebagai

perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Pada tahun berikutnya, Pemerintah

Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000. Semestinya PP

ini dapat memperjelas pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Kabupaten,

Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah. Sayangnya, PP tersebut hanya mengatur kewenangan Pemerintah Provinsi dan

Pusat, sedangkan kewenangan Pemerintah Kabupaten tidak dinyatakan secara jelas.

Menyadari adanya beberapa kelemahan UU No 22 Tahun 1999, maka pemerintah

kemudian merevisi UU tersebut menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dengan direvisinya

UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, maka kewenangan

antara Provinsi dan Kabupaten setara, sehingga semua urusan pemerintahan (hak,

kewajiban, kewenagan dan tanggung jawab) lintas kabupaten menjadi kewenangan

Pemerintah Provinsi. Meskipun oleh beberapa kalangan UU No 32 dipandang sebagai

bentuk resentralisasi, namun bagi proponennya UU No 32 merupakan langkah

penataan kembali hierarki hukum yang sebelumnya mengalami kesenjangan.

Peraturan setingkat menteri yang sebelumnya tidak mendapat tempat dan menjadi

salah satu sumber permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk

hutan, kembali mendapat tempat (sebagai acuan bagi peraturan daerah) sepanjang

peraturan tersebut diamanatkan atau menjadi turunan dari suatu peraturan

pemerintah (PP). Demikian pula UU No 32 melakukan penataan terhadap kewenangan

Page 130: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 3-27

pemerintah pusat, provinsi dan daerah dalam urusan pemerintahan termasuk

didalamnya bidang kehutanan.

Konsekuensi dari perubahan-perubahan UU di sektor pemerintahan berimbas pada

penyesuaian-penyesuaian kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang

kehutanan yang pada gilirannya menjadi salah satu faktor penentu arah tata kelola

kehutanan yang menyangkut pengurusan dan pengelolaan hutan di Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut beberapa PP yang diturunkan dari UU No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan pun mengalami beberapa kali penyesuaian, termasuk aturan-

aturan di bawahnya.

Proses desentralisasi dalam tata kelola kehutanan belum menunjukkan kemajuan yang

berarti. Proses ini baru direspons sebatas jargon-jargon maupun wacana-wacana

daripada langkah-langkah konkrit yang membuahkan hasil. Konflik atau ketidak

harmonisan antara pemerintah pusat – daerah serta meningkatnya peranan politik

dalam pemerintahan cenderung mengorbankan dan menimbulkan tekanan-tekanan

yang baru terhadap hutan (at the expense of forest resources).

Kondisi open access kawasan hutan dewasa ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan

hutan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta pemegang ijin usaha

akibat ketiga pihak dimasa lalu. Kelemahan ini menjadi salah satu penyebab tidak

dapat dikendalikannya penebangan kayu, sumber kegagalan pelaksanaan rehabilitasi

hutan maupun lahan, maupun lemahnya pelaksanaan perlindungan dan konservasi

hutan (Kartodihardjo, 2006).

Dalam sisi rantai suplai (supply chain) hutan, telah terjadi kemerosotan mulai dari

penetapan kawasan, pemberian ijin pemanfaatan, pembuatan RKT hingga peredaran

kayu bulat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merosotnya jumlah Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) maupun Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang

beroperasi maupun volume produksi kayu bulat dari IUPHHK/HPH di berbagai wilayah

seperti di Sumatera. Penyebab utama adalah disamping oleh kemorosotan potensi

Page 131: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 4-27

hutan produksi juga lemahnya tata kelola hutan yang ada. Pembentukan Kesatuan

Pemangkuan Hutan (KPH) secara teoritis pada kawasan hutan negara sebagaimana

diamanatkan dalam PP No. 6 Tahun 2007 dapat menutup kesenjangan pengelolaan

hutan dewasa ini oleh karena itu memerlukan penelitian untuk pelaksanaannya.

Peraturan pusat sering mengalami perubahan (berganti) atau tidak serta merta diikuti

peraturan pelaksanaan (petunjuk teknis) kerapkali menyulitkan pemerintah daerah

maupun pelaku ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan indikasi

dari lemahnya tata kelola kehutanan di Indonesia yang memerlukan kajian mendalam

mengenai akar permasalahan di balik gejala tersebut.

3. Rumusan Masalah

Beberapa sisi yang banyak disorot dalam upaya perbaikan tata kelola kehutanan antara

lain adalah yang berhubungan dengan: (i) lemahnya kontrol pemerintah pusat dan

daerah dan kurangnya sinergi keduanya sehingga merugikan negara maupun

sumberdaya hutan; (ii) tidak ditegakkannya aturan dan hukum untuk keuntungan

pihak-pihak tertentu; (iii) masih lemahnya kelembagaan (kurangnya efektivitas

organisasi dan perumusan kebijakan di tingkat pemerintahan) secara umum; (iv)

lemahnya pengendalian pada sisi produksi dan peredaran hasilnya karena lemahnya

integritas tata kelola kawasan; (v) belum adanya rujukan dan batasan kinerja yang

jelas tentang performa tata kelola kehutanan yang baik. Dari kelima isu tata kelola

kehutanan tersebut dapat dirumuskan beberapa akar masalah yang potensial untuk

diteliti sebagai berikut:

1. Perumusan kebijakan yang tidak tepat dan merugikan negara, masyarakat dan

lingkungan;

2. Tidak terjadinya sinergi dan adanya konflik antar instansi dalam pengurusan

sumberdaya hutan yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi;

3. Ketidakpastian hukum yang menimbulkan konflik kepentingan dan

mengakibatkan tidak terurusnya sumberdaya hutan secara baik antara lain

diindikasikan oleh belum terbangunnya unit-unit pengelolaan hutan produksi

dan hutan lindung;

Page 132: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 5-27

4. Dinamika sosial, ekonomi, politik dan budaya, tidak terantisipasi dengan baik;

5. Kelemahan peraturan mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan, kerugian

pada penerimaan negara, pelaku ekonomi dan masyarakat;

6. Belum adanya kesepakatan tentang kriteria untuk acuan pelaksanaan tata

kelola kehutanan yang baik;

Dari keenam akar masalah tata kelola kehutanan tersebut dapat dirumuskan

pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh pada perubahan politik, ekonomi

dan internasional dalam perumusan kebijakan di bidang kehutanan?

Bagaimana proses-proses perumusan kebijakan di bidang: (1) Penentuan

kawasan hutan; (2) Land Tenure; (3) Perlindungan dan Pelestarian SDH; (4)

Pemanfaatan hasil hutan; dan (5) Bagaimana pola intervensi kelompok

kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di bidang

kehutanan?

2. Sampai sejauhmana keutuhan dan kekonsistenan peraturan yang dibuat

sehingga dapat diikuti dan dilaksanakan oleh pelaksana di lapangan?

3. Apakah terjadi tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi

internal Kemenhut, antara Kemenhut dan instansi lain, serta antara instansi

pusat dan daerah? Bagaimana strategi penyelesaian permasalahan kekosongan

peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan konflik antar

peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dengan bidang-bidang

lainnya serta intra peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan?

4. Bagaimana struktur organisasi Kemenhut harus dibangun dan dikembangkan

untuk menyesuaikan dengan permasalahan kehutanan dan prinsip-prinsip tata

kelola yang baik?

5. Faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam membangun kriteria

operasional yang dapat dipergunakan untuk menilai tata kelola kehutanan

berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance di lingkup Pemerintah

Pusat dan daerah, dan perusahaan.

Page 133: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 6-27

4. Hipotesis

Hipotesis yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Konstelasi politik, perubahan ekonomi dan tekanan internasional berpengaruh

pada pola intervensi kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau

perundang-undangan di bidang kehutanan

2. Implementasi desentralisasi urusan kehutanan khususnya desentralisasi

pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi masih mengalami berbagai

hambatan

3. Tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi di bidang kehutanan

merupakan salah satu masalah utama deforestasi dan degradasi hutan.

4. Pembangunan KPH masih berjalan lamban karena kelembagaan yang ada

belum sesuai dengan kepentingan para pihak.

5. Struktur organisasi Kementerian Kehutanan dan perumusan kebijakan saat ini

masih belum mampu menangani persoalan kehutanan secara efektif dan

akuntabel.

6. Sampai saat ini belum ada kriteria operasional untuk menilai tata kelola

kehutanan berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance yang

disesuaikan dengan kondisi politik, sosial budaya masyarakat, dan ekonomi

5. Tujuan dan Sasaran

Tujuan umum rencana penelitian integratif ini adalah : Menguatkan dan meningkatkan

tata kelola kehutanan dan kinerja Kemenhut melalui penataan organisasi dan proses

pengambilan keputusan. Tujuan tersebut dicapai melalui kajian-kajian terhadap status

tata kelola kehutanan saat ini serta berbagai faktor yang berpengaruh terhadap

pencapaian tata kelola kehutanan yang baik, serta bentuk-bentuk organisasi

departemen serta skema, mekanisme pengambilan keputusan lingkup departemen.

Page 134: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 7-27

Tujuan RPI Tata Kelola Kehutanan secara khusus adalah:

a. Meningkatkan tatakelola dalam implementasi desentralisasi Hutan Lindung dan

Produksi dengan mengkaji proses implemantasinya

b. Meningkatkan kinerja Kemenhut melalui penataan organisasi dan proses

pengambilan keputusan

c. Meningkatkan pembangunan KPH melalui perbaikan kelembagaan dan

kebijakan KPH

d. Mengkaji sistem rujukan prinsip-prinsip good governance dan penilaian atas

tata kelola kehutanan yang baik berdasarkan kesepakatan para pihak melalui

pembentukan indikator kemajuan forest governance

Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung

dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan

kehutanan

b. Tersedianya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme

perumusan kebijakan Kemenhut dan peran UPT dalam implementasi

desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH

c. Tersedianya rumusan indikator/ indeks kemajuan forest governance

6. Luaran

Luaran yang dihasilkan dari RPI ini adalah :

a. Rekomendasi kelembagaan dalam implementasi desentralisasi pada hutan

lindung khususnya tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk

berjalannya desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi

b. Rekomendasi peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi

c. Rekomendasi struktur organisasi Kemenhut dan skema dan mekanisme

perumusan kebijakan di Kemenhut

d. Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH

e. Rumusan indikator (indeks) kemajuan forest governance

Page 135: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 8-27

Luaran tersebut akan dikemas dalam bentuk produk Laporan Hasil Penelitian, publikasi

ilmiah dan policy brief.

7. Ruang Lingkup

Aspek-aspek penelitian yang dikaji adalah masalah-masalah yang researchable terkait

dengan persoalan: (1) kelembagaan desentralisasi; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3)

indikator tata kelola yang baik. Cakupan penelitian dibatasi pada beberapa isu:

1. Organisasi dan Perumusan kebijakan di sektor kehutanan

2. Pelaksanaan peraturan perundangan-undangan dalam desentralisasi di bidang

kehutanan (hutan lindung dan produksi)

3. Peran dan tata hubungan kerja lembaga-lembaga di bidang kehutanan

4. Tata kelola kawasan melalui pembentukan unit manajemen

5. Insentif dan disinsentif pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik

6. Perumusan indikator tata kelola kehutanan yang baik

Penelitian ini difokuskan pada pilar pemerintah, dari tiga pilar tata kelola

kehutanan yaitu pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat. Namun demikian pilar

kalangan bisnis dan masyarakat tetap dikaji secara terbatas. Hal ini dilakukan

mengingat keterbatasan sumberdaya dan adanya asumsi bahwa pihak-pihak lain sudah

banyak meneliti tentang tata kelola kehutanan dari aspek masyarakat dan kalangan

bisnis.

8. Metodologi

8.1. Kerangka Teoritis Tata Kelola Kehutanan

Tata Kelola (Pemerintahan) Kehutanan (forest governance) dapat didefinisikan sebagai

seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur interaksi para pihak dalam

mengelola sumberdaya hutan dan untuk menentukan kebijakan-kebijakan pengelolaan

hutan. Pada dasarnya prinsip-prinsip umum good governance dapat diterapkan di

bidang kehutanan. Prinsip-prinsip tersebut meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1)

partisipatif (participatory); (2) orientasi kesepakatan (consensus oriented); (3)

Page 136: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 9-27

akuntabel (accountable); (4) transparan (transparent); (5) cepat tanggap (responsive);

(6) efektif dan efisien (effective and efficient); (7) adil dan inklusif (equitable and

inclusive); (8) mengikuti aturan hukum (follows the rule of law); dan (9) memiliki visi

strategis (strategic vision). Hasil workshop parapihak Good Governance tahun 2007

menyimpulkan bahwa dari 9 prinsip tersebut, bagi Indonesia saat ini yang paling utama

adalah 5 prinsip yaitu: partispatif, akuntabilitas, transparansi, keadilan didepan hukum,

dan efektivitas pemerintahan. Terlepas dari prinsip-prinsip tersebut perlu ada indikator

yang dapat mengukur kemajuan tata kelola kehutanan (yang baik) berdasarkan

persepsi para pihak yang berkecimpung dalam sektor kehutanan Indonesia,

Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) harus menjamin keterlibatan

para pihak secara bebas dengan tetap memandang hak dan kewajiban masing-masing

yang dapat diketahui secara transparan dan akuntabel. Tata kelola pemerintahan yang

baik juga harus menjamin kesetaraan, dalam pengertian bahwa pemberlakuan hukum

adalah harus berimbang dan diperlakukan bagi setiap individu pada tataran yang sama

dan harus mampu menjadi penengah berbagai macam kepentingan untuk mencapai

tujuan terbaik bersama. Aturan hukum dalam tata pemerintahan yang baik harus tidak

berpihak dan tidak berlaku secara khusus. Aturan hukum tidak hanya berlaku sepihak

artinya hanya mengatur kewajiban bagi pihak ketiga dalam hal ini perusahaan (pelaku

bisnis) dan atau kelompok masyarakat, namun juga haknya secara berimbang,

misalnya kejelasan mengenai tata waktu proses, biaya yang harus dibayarkan atau

gratis, peringkat penilaian secara wajar dan adil. Aturan hukum juga mengatur apa

yang harus dilakukan oleh Pemerintah sebagai pihak regulator dan pihak lain sebagai

objek regulasi.

IIED telah mengidentifikasi 5 sistem utama yang menunjang tata kelola pemerintahan

yang baik, jika sistem-sistem tersebut mencakup atribut tata kelola yang baik (dalam

kurung), yaitu: (1) Informasi (akses, jangkauan, mutu, transparansi); (2) Mekanisme

partisipasi (keterwakilan, kesamaan peluang, akses); (3) Pendanaan (internalisasi

eksternalitas, efisiensi biaya); (4) Keterampilan (kesamaan dan efisiensi dalam

pengembangan modal sosial dan personal); dan (5) Manajemen perencanaan dan

Page 137: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 10-27

proses (penentuan prioritas, pengambilan keputusan, koordinasi dan akuntabilitas).

Sejauh mana sebuah organisasi mampu mengadopsi beragam prinsip-prinsip di atas

menunjukkan seberapa baik tatakelola organisasi tersebut yang pada akhirnya akan

menjadi jaminan bagi keberhasilan program pembangunan dan pengembangan yang

telah dirumuskan.

Dalam satu sistem negara tiga pilar utama penyangga governance yang saling terkait

dan tidak terpisahkan adalah elemen penyelenggara negara, elemen pelaku bisnis dan

elemen masyarakat yang membangun perwujudan suatu trilogi. Masing masing

elemen dalam trilogi memiliki karakteristik tersendiri, namun dalam pencapaian

perikehidupan ke depan yang lebih baik ketiganya harus bersinergi dan berinteraksi

untuk menggapai tujuan yang sama. Ketiga pilar tersebut adalah: (1) Penyelenggara

Negara; (2) Pelaku Bisnis; dan (3) Masyarakat.

Pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola urusan

bangsa, mengelola mekanisme, proses dan hubungan yang memiliki kompleksitas

tinggi antar warga negara dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan

kepentingannya (mandat) dan menuntut hak dan kewajibannya dapat dilakukan secara

adil dengan mencari solusi atas perbedaan-perbedaan yang timbul merupakan

gambaran dari arti governance dari mandat yang diemban penyelenggara negara.

Berdasarkan pengertian governance tersebut, ada tiga kelompok aspek pada pilar-pilar

governance, yakni economic governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan

dengan Ekonomi – Tata Kelola Ekonomi), political governance (Tata Kelola

Pemerintahan yang berkaitan dengan Politik – Tata Kelola Politik) dan administrative

governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Administrasi – Tata

Kelola Administrasi).

Penciptaan struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh suatu entitas bisnis untuk

dapat memberikan jaminan keberlangsungan hidup perusahaan baik keberlangsungan

ekonomi maupun finansial untuk jangka panjang, dengan tuntutan untuk tetap

memperhatikan seluruh stakeholder yang terkait, yang memiliki arti adanya

Page 138: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 11-27

transparansi dalam menjalankan roda perusahaan dan adanya tanggungjawab sosial

yang harus diemban melalui corporate social responsibility. Interaksi yang dibangun

dalam bentuk struktur, sistem dan proses tersebut dipergunakan sebagai dasar

mekanisme pengecekan dan perimbangan yang adil (checks and balances) atas

kewenangan guna pengendalian dari peluang penyalahgunaan asset perusahaan dan

pengelolaan yang tidak benar.

Interaksi individu-individu dalam aspek sosial, ekonomi dan politik membuat kesatuan

kemasan individu-individu tersebut menjadi suatu masyarakat yang memiliki satu

kesatuan tujuan. Keberadaan masyarakat dalam wujud kelembagaan merupakan salah

satu unsur yang turut mendukung keberhasilan tata pemerintahan yang baik.

Kelembagaan masyarakat memfasilitasi interaksi sosial untuk berpartisipasi dalam

aktivitas yang bersinggungan dengan tiga elemen good governance, yakni politik, sosial

dan ekonomi. Masyarakat dengan sendirinya merupakan bagian yang tidak

terpisahkan (embedded) dari kegiatan-kegiatan dalam tiga pilar tata pemerintahan itu

sendiri sehingga tidak saja merupakan unsur pelaku checks and balances namun juga

memberikan kontribusi dan memperkuat keberadaan 2 (dua) pilar lainnya.

Gambar 1. Tiga Pilar Tata Kelola Pemerintahan

8.2. Kerangka Konseptual Penelitian Tata Kelola Kehutanan

Penelitian ini didasarkan pada fenomena gejala kerusakan hutan dan inefisiensi serta

ketidakefektifan pengurusan hutan saat ini sehingga memunculkan serangkaian

PEMERINTAH

PROGRAM PRIORITAS

TATA PEMERINTAHAN

YANG BAIK

outcome outcome

TATA KELOLA EKONOMI, KEBIJAKAN DAN ADMINISTRASI

TATA PEMERINTAHAN

YANG BAIK

CHECK AND BALANCE YANG KUAT

CHECK AND BALANCE YANG KUAT

MASYARAKAT PELAKU BISNIS

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Page 139: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 12-27

persoalan-persoalan sosial ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut akan

dilihat dari empat aspek yaitu: (1) kelembagaan; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3)

kriteria dan indikator tata kelola yang baik; dan (4) pengelolaan sumberdaya manusia

kehutanan. Dari masing-masing aspek tersebut akan dianalisis berbagai persoalan dan

faktor-faktor yang berpengaruh baik pada sisi pemerintah, pelaku bisnis maupun

masyarakat.

Aspek kelembagaan akan dipelajari dengan menggunakan analisis kelembagaan yang

antara lain berupa hubungan antar pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan

hutan menyangkut peran para pihak dan pengaruh antara satu pihak dengan pihak

yang lain. Indeks tata kelola kehutanan dikaji berdasarkan kriteria dan indikator tata

kelola yang baik akan dikaji dengan menggunakan analisis sistem yang dimulai dari

analisis faktor-faktor penentu hingga pengembangan seperangkat tolok ukur

pencapaian tata kelola yang baik.

8.3. Kerangka Pendekatan Penelitian

Untuk melakukan riset kebijakan (policy research) maka perlu terlebih dahulu dipahami

proses kebijakan (policy processes) khususnya: “Bagaimana perumusan kebijakan

secara Tradisional vs Policy processes”. Dalam hubungan ini uraian berikut diambil dari

materi yang dipublikasikan oleh Institute of Development Studies (2006). Proses

kebijakan merupakan hubungan antara ilmu pengetahuan, keahlian dan kebijakan,

kepentingan politik, partisipasi publik dan teori jejaring (network).

Kebijakan Dalam Pandangan Tradisional

Model tradisional dari pembuatan kebijakan memandang proses ini bersifat linear

dimana keputusan yang rasional diambil oleh otoritas yang berwenang dalam bidang

kebijakan tertentu. Pendekatan ini memandang pembuatan kebijakan melalui

sejumlah tahapan yang berakhir pada suatu keputusan.

Page 140: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 13-27

Pemahaman isyu atau permasahan kebijakan

(agenda-setting)

Eksplorasi opsi-opsi yang mungkin untuk memecahkan masalah

Menimbang biaya dan manfaat setiap opsi

Membuat pilihan yang rasional atas opsi terbaik (decision-making)

Implementasi kebijakan

Evaluasi

Dalam model ini, implementasi kebijakan dipandang sebagai aktivitas terpisah yang

dimulai begitu kebijakan dibuat atau diputuskan. Dan implementasi kebijakan

seharusnya menuju penyelesaian masalah awal yang dicoba dipecahkan. Model ini

menganggap pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional, melalui tahapan logis

dari proses, dan secara cermat mempertimbangkan semua informasi yang relevan. Jika

kebijakan tidak mencapai apa yang diinginkan, kesalahan tidak ditimpakan pada

kebijakannya namun pada politik atau kegagalan manajemen dalam

mengimplementasikannya karena kurangnya kemauan politik, manajemen yang lemah

atau kekurangan sumberdaya.

Model tradisional juga menganggap bahwa terdapat pemisahan yang jelas antara fakta

(pendekatan kebijakan yang rasional yang didasarkan pada bukti-bukti, ilmu dan

pengetahuan yang obyektif) dan tata nilai (value). Pembuatan kebijakan merupakan

proses yang bersifat birokratis dan admistratif. Peranan ekspert dipandang kritis dalam

proses membuat keputusan yang rasional, dan ekspertise ilmiah dianggap independen

dan obyektif. Pemikiran yang berlaku adalah semacam “kebijakan didasarkan bukti

fakta” (evidence-based policy); atau kebijakan yang berakar dari ilmu yang baik.

Page 141: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 14-27

Meskipun asumsi-asumsi yang digunakan diatas sulit dipenuhi (pervasive), namun

model linear masih banyak digunakan dalam praktek. Namun, riset atas proses

kebijakan menunjukkan bahwa pendekatan tradisional diatas merupakan refleksi yang

tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.

Apakah Policy processes ?

Menggeser fokus analisis ke kebijakan yang didasarkan pada proses berarti menggeser

model kebijakan yang linear dan rasional (Pendekatan Tradisional) kepada proses yang

kompleks dan rumit melalui mana kebijakan dipahami, diformulasikan dan

diimplementasikan, dan sejumlah aktor yang terlibat. Proses kebijakan memiliki

karakteristik berikut:

• Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik sebagaimana sebagai

suatu analisis atau pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan bukanlah

bersifat teknis, aktivitas rasional murni yang sering diperkirakan.

• Pembuatan kebijakan bersifat incremental, kompleks dan rumit, bersifat iterative,

dan sering didasarkan atas eksperimentasi, belajar dari kesalahan, dan mengambil

tindakan koreksi. Sehingga, tidak ada hasil keputusan kebijakan tunggal yang

optimal.

• Selalu terdapat tumpang tindih dan agenda yang kompetitif; dimungkinkan tidak

tercapai kesepakatan yang utuh diantara para pihak atas permasalahan kebijakan

yang riil.

• Keputusan tidak diskrit (tunggal berdiri sendiri); fakta dan nilai-nilai (values) saling

terkait. Penilaian atas value memainkan peranan yang besar.

• Implementasi kebijakan melibatkan diskresi dan negosiasi oleh pekerja ujung

tombak (memberi staf lebih banyak ruang gerak untuk inovasi daripada yang

seharusnya).

• Ekspert teknis dan pembuat kebijakan saling mengkonstruksi kebijakan. Atau

dengan perkataan lain, peneliti berkontribusi pada pembuatan kerangka

(framing) isu kebijakan dengan mendefinisikan bukti fakta (evidence) yang dapat

dihasilkan dan signifikansinya terhadap kebijakan.

Page 142: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 15-27

• Proses-proses kebijakan sering mengandung suatu perspektif yang merupakan

biaya bagi pihak yang lain – dan seringkali perspektif si miskin dan pihak yang

termarginalkan.

Secara esensi, riset proses kebijakan mempertanyakan bagaimana permasalahan dan

solusi kebijakan didefinisikan, oleh siapa, dan dengan dampak bagaimana ?

Konsep dan Pendekatan

Terdapat 3 (tiga) pendekatan utama untuk memahami pembuatan kebijakan. Satu

menekankan pada politik ekonomi dan interaksi antara negara dan masyarakat sipil,

dan kelompok kepentingan. Yang lain mengkaji sejarah dan praktek yang terkait

dengan pergeseran diskursus, dan bagaimana hal ini membentuk dan membimbing

masalah kebijakan dan rangkaian tindakan. Yang ketiga memberi penekanan kepada

peran dan agen (atau kapasitas untuk membuat perubahan) dari individu aktor-aktor.

IDS (2006) mengembangkan dan mengelaborasi kerangka sederhana yang

mengkaitkan ketiga tema yang saling terkait tersebut:

• Pengetahuan dan diskursus (bagaimana narasi kebijakan) ? Bagaimana hal

tersebut dibuat kerangkanya dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan

riset, dsb.

• Aktor dan jejaring (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka saling terkait ?)

• Politik dan kepentingan (apa yang mendasari dinamika kekuatan?)

Diskursus /

narasi

Politik/

Kepentingan

Aktor / jejaring

Page 143: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 16-27

Pada tingkat tertentu, memahami policy process datang dari pemahaman ketiga unsur

tersebut pada interseksi dari tiga perspektif yang tumpang tindih tersebut. Sehingga,

untuk memahami mengapa kebijakan mengambil bentuk tertentu perlu memahami

tidak saja pembentukan kerangka ilmiah dari isu (naratif yang menjelaskan cerita

kebijakan), tetapi juga bagaimana posisi kebijakan menjadi terangkai kokoh dalam

jejaring (aktor, pendanaan, professional dan hubungan lainnya, dan teristimewa

institusi dan organisasi tertentu, dan dinamika kekuatan yang mengkungkungnya.

“Policy narrative”. Cerita tentang perubahan kebijakan memiliki permulaan,

pertengahan dan suatu akhir. Mereka menggambarkan kejadian-kejadian atau

mendefinisikan dunia dalam cara tertentu, sehingga membentuk keputusan kebijakan.

Policy narrative member baik diagnosa dan perangkat tindakan dan intervensi. Ia

mendefinisikan masalah, menjelaskan bagaimana ia muncul ke permukaan, dan

menunjukkan apa yang perlu dilakukan untuk menghindarkan bencana atau mencapai

suatu akhir yang berhasil (happy ending), apa yang salah dan bagaimana hal tersebut

diperbaiki. Ia mendapat validitas meskipun kenyataannya seringkali menyerdehanakan

isyu dan proses yang kompleks. Simplifikasi cenderung memikat dalam hal

menghindari kekaburan dan mendukung program aksi. Hal ini yang membuat narrative

yang sederhana menarik bagi politisi atau manajer – mengabaikan pihak yang lemah.

“Aktor dan Jejaring”. Jejaring, koalisi dan aliansi aktor-aktor (individu atau institusi)

dengan visi yang sama – keyakinan yang serupa, codes of conduct, kesamaan pola

perilaku – adalah penting dalam menyebarkan dan mempertahankan narrative melalui

pembujukan publik dan pengaruh seperti jurnal, konferensi, pendidikan atau cara

informal. Proses negosiasi dan tawar menawar diantara kelompok kepentingan yang

saling berkompetisi adalah penting (sentral) dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan

dapat timbul dan tenggelam sebagai hasil dari perubahan dari efektivitas berbagai

jejaring aktor-aktor yang terlibat (IDS, 2006).

“Politik dan Kepentingan”. Politik membentuk proses kebijakan dalam beberapa cara :

Page 144: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 17-27

• Konteks politik terbentuk oleh kepentingan otoritas regim tertentu untuk tetap

berkuasa. Kompetisi juga terjadi diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat

karena perbedaan kepentingan terkait dengan alokasi sumberdaya, atau

keprihatinan masyarakat.

• Proses kebijakan dipengaruhi oleh sejumlah kepentingan kelompok yang

menggunakan kekuatannya dan kewenangannya atas pembuatan kebijakan. Hal ini

mempengaruhi setiap tahapan proses, dari pembentukan agenda, hingga

identifikasi alternatif, pembobotan opsi, pemilihan yang paling menguntungkan

dan implementasinya. Kepentingan aktor dalam kebijakan berasal dari instansi

pemerintah, pelaksana organisasi donor dan ekspert independen – dibentuk dalam

narrative tertentu.

• Kebijakan dinyatakan sebagai obyektif, netral, bebas nilai, dan seringkali diberi

kemasan secara hukum dan ilmiah, yang menekankan pada rasionalitas. Dengan

cara ini, sifat politis dari kebijakan tersembunyi melalui penggunaan bahasa teknis,

yang menekankan pada rasionalitas dan obyektivitas.

• Birokrat tidaklah semata-mata pelaksana kebijakan; mereka juga memiliki agenda

personal dan politik sendiri untuk bernegosiasi. Politik birokrat, misalnya seperti

persaingan dalam kementrian-kementrian untuk memperoleh kendali atas arena

kebijakan, merupakan hal yang relevan.

Ruang Kebijakan (Policy Space)

Konsep policy space terkait dengan sampai tingkat mana pembuat kebijakan dibatasi

dalam pembuatan kebijakan oleh kekuatan-kekuatan seperti pendapat jejaring aktor

yang dominan atau naratif. Jika terdapat tekanan yang kuat untuk mengadopsi strategi

tertentu, maka pembuat keputusan tidak memiliki ruang yang banyak untuk

mempertimbangkan opsi-opsi yang lebih banyak. Dapat pula terjadi seorang individu

memiliki kapasitas (leverage) yang sangat besar atas proses sehingga dapat

memaksakan preferensinya dalam pembentukan pilihan kebijakan.

Page 145: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 18-27

8.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi:

1. Desk study dengan bahan referensi hasil-hasil penelitian yang telah ada dalam

tata kelola dan desentralisasi yang berasal dari berbagai lembaga penelitian,

universitas, dan lain-lain, serta produk-produk peraturan perundangan yang

ada

2. Survei dalam rangka pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif berupa

pendapat pejabat kunci pada instansi terkait di pusat dan daerah (dinas

kehutanan provinsi dan kabupaten/kota), BUMN dan HPH, serta masyarakat

dan kalangan LSM, dalam rangka validasi (pengkayaan hasil desk study)

3. Wawancara dengan pakar yang terkait dari lembaga penelitian dan universitas,

serta pakar-pakar lain yang dianggap relevan.

4. Group atau focused group discussions dengan para pihak

8.5. Metode Analisis

Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian 8.2, beberapa metode analisis yang

berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-

beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis organisasi dan

pengambilan keputusan dan lain-lain. Secara khusus, metode analisis akan diperjelas

dalam masing-masing Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). Meskipun demikian

pendekatan penelitian khususnya untuk Analisis kebijakan (policy analysis) secara

umum mengikuti materi yang diuraikan pada Sub Bab 8.3. Berbagai instrumen analisis

dalam bentuk metoda kuantitatif maupun kualitatif dapat dijumpai pada berbagai

buku teks tentang pembuatan kebijakan, manajemen dan ekonomi. Secara ringkas

dibawah ini beberapa metoda kuantitatif sebagai pengantar.

a. B/C ratio

Analisis ini digunakan untuk membandingkan benefit-cost ratio dari masing-

masing pilihan kebijakan. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai B-C ratio yang

tertinggi memiliki prioritas tinggi untuk dipilih. Analisis B-C ratio memiliki

beberapa bentuk dan merupakan metoda yang paling banyak digunakan.

Page 146: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 19-27

b. Analytic Hierarchie Process (AHP)

Analisis ini digunakan untuk membandingkan alternatif-alternatif kebijakan

dengan cara memberi bobot pada setiap alternatif kebijakan melalui

pembandingan berpasangan. AHP dapat mengintegrasikan hal-hal yang bersifat

“intangible” di benak pengambil keputusan melalui pembandingan

berpasangan tersebut. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai bobot tertinggi

memperoleh prioritas tertinggi untuk dipilih.

c. Analisis regressi (Multivariate)

Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan faktor-faktor. Faktor-faktor mana

yang paling berpengaruh atas suatu kejadian atau memberikan dampak yang

besar perlu mendapat perhatian yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan.

d. Model-model Optimasi

Analisis ini digunakan untuk memperoleh solusi kebijakan yang optimal dari

banyak (jumlah tak terbatas) pilihan-pilihan kebijakan. Model ini mensyaratkan

permasalahan dirumuskan secara matematis dimana terdapat fungsi obyektif

dan kendala-kendala yang membatasi pilihan kebijakan. Model-model optimasi

yang umum dipakai adalah Linear Programming dan Goal Programming.

e. Analisis SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat)

Analisis ini digunakan untuk mendapatkan strategi kebijakan yang sesuai

dengan melihat Kekuatan, Kelemahan, Peluang, Ancaman yang dihadapi suatu

organisasi pemerintahan atau perusahaan.

f. Analisis resiko

Analisis ini digunakan untuk melihat peluang terjadinya hasil (outcome) yang

merugikan dan konsekuensi kerusakan yang terjadi jika hasil tersebut benar-

benar terjadi. Analisis ini merupakan suatu proses mengidentifikasi resiko-

resiko untuk memperkirakan dampaknya serta peluang terjadinya.

9. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya

Pada prinsipnya, Puspijak memiliki tugas menyusun Rencana Penelitian Integratif,

sebagai koordinator penelitian-penelitian, pelaksana penelitian yang bersifat makro

Page 147: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 20-27

(nasional) atau lintas wilayah, dan pembuat sintesa hasil-hasil penelitian. Sedangkan

UPT memiliki tugas untuk menyusun RPTP dan melaksanakan penelitian (mikro) sesuai

dengan kondisi lokal yang berkembang dalam wilayah kerja masing-masing dan sesuai

yang digariskan dalam RPI. Keterkaitan penelitian makro dengan mikro menjadi sangat

penting untuk penelitian-penelitian desentralisasi dan KPH dari sudut stakeholders

yang terlibat, demikian pula dalam penelitian indikator kemajuan tatakelola

kehutanan. Oleh karena itu penelitian mikro di daerah menjadi sangat penting dalam

pencapaian sasaran penelitian (rekomendasi kebijakan, indikator tata kelola dll).

Tabel 1. Rencana instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya

Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA

TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)

2010 2011 2012 2013 2014

24 Penguatan Tata Kelola Kehutanan

24.1 Luaran 1 : Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada Hutan Lindung dan

Hutan Produksi 24.1.1.4 Kajian Implementasi Desentralisasi

Urusan Kehutanan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi

PUSPIJAK 125 150 150

24.2 Luaran 2 : Rumusan bentuk dan organisasi Kemenhut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi

24.2.1.4 Peran UPT Lingkup Kementerian Kehutanan Dalam Implementasi Desentralisasi Kehutanan

PUSPIJAK 125 125

24.2.2.4 Kajian Organisasi dan Mekanisme Perumusan Kebijakan di Pusat

PUSPIJAK 150 150

24.3 Luaran 3 : Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

24.3.1 Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH

24.3.1.4 PUSPIJAK 125 150

24.3.1.19 BPK Manokwari 100 100

24.3.2 Kajian land tenure dalam pembangunan KPH

24.3.2.4 PUSPIJAK 100 150

24.3.2.15 BPK Banjarbaru 80

24.3.2.13 BPTHHBK Mataram

100 100

Page 148: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 21-27

Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA

TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)

2010 2011 2012 2013 2014

24.4 Luaran 4 : Indikator/indeks kemajuan forest governance

24.4.1.4 Kajian Indikator Kemajuan Forest Governance

PUSPIJAK 150 150 150

24.4.2.4 Kajian Good Corporate Governance di Bidang Kehutanan

PUSPIJAK 125 150

TOTAL ANGGARAN 475 800 805 375 250

10. Organisasi

Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Puspijak dengan

Koordinator RPI : Dr. Ir. Haryatno Dwiprabowo, M.Sc dan melibatkan instansi terkait

lingkup Badan Litbang Kehutanan. Jika diperlukan akan ditempuh mekanisme

outsourcing dari instansi terkait lainnya.

11. Daftar Pustaka

Antara News, 2007. Indonesia Emitter Karbon Terbesar Ketiga Dunia 23/03/07 21:05 (http://www.antara .co.id/profil/). Diakses, 25 Maret 2007.

Badan Planologi Kehutanan, 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun

2005. Departemen Kehutanan, Jakarta. Fisher, R.J.2007. Devolution and decentralization of forest management in Asia and the

Pacific. (http://www.fao.org). Diakses 30 Maei 20007. Greenpeace, 2007. Indonesia layak peroleh Rekor Dunia sebagai Penghancur Hutan

Tercepat. http://www. greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/Indonesia-layak-peroleh -rekor?mode=send. Diakses, 27 April 2007.

Hari Sutanta, 2007. Indonesia duduki peringkat kedua setelah Brazil sebagai kawasan

deforestasi terbesar di dunia (http://www.beritabumi.or.id/ aboutus /php). Institute of Development Studies.2006. Understanding Policy Processes.University of

Sussex. Brighton BN1 9RE,UK. Kompas, 2007. Insentif Cegah Deforestasi. http://www.kompas.com/ kompas-cetak/

0703/29/humaniora/3415274.htm. Diakses, 29 April 2007.

Page 149: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 22-27

Mayers, J. dan Bass, S. 1999. Policy that works for forests and people. Policy that works

series no. 7: Series Overview. International Institute for Environment and Development, London.

Media Indonesia, 2006. Negara Rugi Rp 8,4 T Akibat Perusakan Hutan Dan

Lingkungan. http://www. Mediaindonesia.com. Diakses, 25 April 2007. PP No. 6 Th 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,

serta Pemanfaatan Hutan. http://www.Kemenhut.go.id. Diakses, 15 Mei 2007. Badan Litbang Kehutanan.2009. Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Rully, S, 2007. Pembalakan Liar dan Deforestasi http://www.walhi.or.id/ kampanye/

hutan/jeda/070328_pmblkn_liar_cu/ Sutton, Rebecca.1999. The Policy Process: An Overview. Overseas Development

Institute. Portland House.London. Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang Kehutanan.

2007. Tatakelola Kehutanan di Indonesia Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang

Kehutanan.2007. Agenda Riset Forest Governance Badan Litbang Kehutanan UU RI No. 32 Th 2004 tentang Pemerintah Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung. UU RI No. 33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah

Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung. World Bank, 2005. Forest and Forestry Home Page, available from

http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTARD/EXTFORESTS/0,,menuPK:985797~pagePK:149018~piPK:149093~theSitePK:985785,00.html, Last updated 13th September 2005, (Accessed 28/10/05).

Page 150: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 23-27

12. Kerangka Kerja Logis

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI TUJUAN

Menguatkan dan meningkatkan tata kelola kehutanan dan kinerja Kemenhut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan.

Dihasilkannya rekomendasi: • Kelembagaan dalam

Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi

• Peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi

• Struktur organisasi Kemenhut dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan di Kemenhut

• Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH

• Rumusan indikator kemajuan forest governance

Dokumen mengenai rekomendasi implementasi desentralisasi sektor kehutanan dan arah perbaikan di masa mendatang dan organisasi Kemenhut serta skema pengambial kebijakan yang dikemas dalam bentuk produk LHP, Publikasi ilmiah, dan Policy brief

Tidak terjadi perubahan signifikan terhadap UU 32 2004 serta UU dan peraturan pelaksanaan terkait lainnya Dukungan penuh dari pihak-pihak yang terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian

SASARAN

a. Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan kehutanan

Telah dilaksanakan penelitian terkait dengan: Kelembagaan dan implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi;

Sintesis hasil penelitian terkait dengan desentralisasi sektor kehutanan

Tersedia hasil-hasil penelitian yang menjadi bahan sintesis

b. Tersediannya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme perumusan

Telah dilakukannya penelitian terkait degan aspek-aspek: (1) bentuk organisasi dan perumusan kebijakan Kemenhut; (2) Peran

LHP, Publikasi, dan Policy brief aspek-aspek: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan

Tersedia hasil penelitian yang menjadi bahan rekomendasi kebijakan

Page 151: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 24-27

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI kebijakan Kemenhut dan peran UPT dalam implementasi desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH

UPT dalam desentralisasi; (3) Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH);

produksi ; (2) bentuk dan skema perumusan kebijakan Kemenhut; (3) Peran UPT dalam desentralisasi kehutanan (4) pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

c. Rumusan indikator kemajuan forest governance

Telah dilakukannya penelitian terkait: (1) kriteria dan indikator tata kelola kehutanan yang baik; (2) Kajian good corporate governance

LHP, Publikasi dan Policy brief indikator tata kelola kehutanan yang baik

Dilakukannya pembahasan tingkat pimpinan Badan Litbang atas hasil ringkasan kebijakan

LUARAN

1 Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi

Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi.

Dokumen sintesis tentang desentralisasi kehutanan Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief

Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab

Page 152: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 25-27

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 2 Rumusan bentuk

dan organisasi Kemenhut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi

Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1)Kajian organisasi dan mekanisme perumusan kebijakan di pusat (Kemenhut), (2) Peran Unit-Unit Pelaksana Teknis lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan

Dokumen sintesis tentang organisasi Kemenhut Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief

Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab

3 Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH; (2) Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH

Dokumen sintesis tentang kelembagaan KPH Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief

Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab

4 Indikator kemajuan forest governance

Dilaksanakan penelitian: (1) Kajian indikator kemajuan forest governance, (2) Kajian good corporate governance

Dokumen sintesis tentang kriteria kemajuan forest governance Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief

Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab

KEGIATAN

1.1.Kajian implementasi Desentralisasi Urusan Kehutanan

Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah arah implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi saat ini sudah benar dan faktor-faktor apa yang menghambat implementasi kewenangan

Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

1.1.1.Hutan Lindung

Penelitian berhasil menjawab pertanyaan

Dokumen hasil penelitian,

Sumberdaya mendukung dan

Page 153: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 26-27

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI

seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Lindung kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah

presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

1.1.2 Hutan Produksi Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Produksi kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah; Bagaimana persepsi pelaku ekonomi tentang implementasi pemberian kewenangan kepada daerah

Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

2.1 Kajian Organisasi dan Mekanisme Perumusan Kebijakan di Pusat 2.1.1 Analisis proses perumusan kebijakan atau perundang-undangan di Departemen Kehutanan

Penelitian berhasil menjawab pertanyaan bagaimana kelompok-kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di Departemen Kehutanan dan skema perumusan yang akuntabel : Proses dan mekanisme perumusan kebijakan yang mampu

Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

Page 154: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 27-27

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI melahirkan kebijakan yang efektif dan akuntabel

2.1.2 Analisis organisasi Departemen Kehutanan

Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah struktur organisasi Departemen Kehutanan saat ini memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kehutanan dan seberapa jauh daya adaptasinya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Perbandingan dengan bentuk Holding dan Integratif

Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

2.2.Analisis peran Unit-Unit Pelaksana Teknis lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan

Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa efektif dan efisien keberadaan UPT Departemen Kehutanan dalam mendukung desentralisasi urusan kehutanan : Bagaimana meningkatkan efektifitas UPT dalam peningkatan kinerja Kemenhut dan masa depan Kemenhut

Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

3.1.Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH

Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang struktur dan susunan organisasi yang mengakomodir kepentingan pusat dan daerah serta aturan yang membagi kewenangan pusat dan daerah secara seimbang berdasarkan azas manfaat

Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

Page 155: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 28-27

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 3.3.Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH

Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang bagaimana hak atas lahan dalam pembangunan KPH. Bagaimana bentuk kelembagaan yang dapat mengakomodir kepentingan stakeholders atas pengelolaan KPH

Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

4.1. Kajian indikator kemajuan forest governance

Penelitian berhasil mengidentifikasi kriteria dan indikator, dan indeks yang dapat dipakai mengukur kemajuan tatakelola kehutanan (Pemerintah pusat dan daerah serta pelaku ekonomi) secara operasional

Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

4.2.Kajian Good Corporate Governance di bidang kehutanan

Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah saat ini perusahaan-perusahaan kehutanan telah melakukan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan indikator apa yang secara efektif dapat menilai kemajuan implementasi-nya ; identifikasi faktor yang berperan dalam tata kelola perusahaan yang baik.

Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian

Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian

Page 156: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian
Page 157: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 1-14

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 (REVISI)

PENGUATAN TATA KELOLA INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

HASIL HUTAN

1. Abstrak

Kontribusi sektor kehutanan pada Produk Domestik Bruto nasional dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu serta pasar kayu tidak terdistorsi. Secara umum penelitian integratif ini bertujuan untuk mengaji tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan dan secara khusus mengaji: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman dikaji menggunakan indikator ekonomi: nilai tegakan (stumpage value), dan indikator kelembagaan: pengaturan penyediaan lahan hutan tanaman. Daya saing investasi industri hasil hutan (tanaman) dikaji menggunakan indikator ekonomi: benefit/cost ratio (B/C ratio), internal rate of return (IRR) serta penawaran dan permintaan kayu, dan indikator kelembagaan: perizinan usaha hutan tanaman. Daya saing perdagangan hasil hutan dikaji menggunakan indikator ekonomi: keunggulan komparatif (comparative advantage) dan efisiensi sistem tataniaga, serta indikator kelembagan: pengaturan perdagangan hasil hutan di dalam dan luar negeri, termasuk harmonized system (HS) dan non tariff barrier. Sasaran penelitian integratif ini adalah diperolehnya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Hasil penelitian integratif ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dalam menetapkan kebijakan memperbaiki tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan, termasuk di dalamnya perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman.

Kata Kunci : daya saing, hasil hutan, industri, investasi, perdagangan

2. Latar Belakang

Sumberdaya hutan memiliki tiga peran. Pertama adalah sebagai penghasil barang dan

jasa. Sebagai penghasil barang, sumberdaya hutan menyediakan Hasil Hutan Kayu

(HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Sebagai penghasil jasa, ekosistem hutan

mempertahankan, antara lain: penyediaan sumber mata air, pembentukan iklim mikro,

penyerapan karbon (carbon sequestration) dan pemandangan alam yang unik. Kedua

adalah sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat.

Page 158: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 2-14

Komunitas masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan memandang hutan sebagai

sumber mata pencaharian maupun hutan sebagai sarana peribadatan (Colfer, et al,

2001). Sebagai sumber mata pencaharian, karena hutan bisa menjadi tempat untuk

mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan, madu dan ikan.

Sebagai sarana peribadatan, karena hutan bisa menjadi tempat peribadatan tertentu.

Ketiga adalah sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai sistem penyangga

kehidupan, sumberdaya hutan membentuk dan mempertahankan fungsi-fungsi

ekologis (rantai makanan dan kehidupan beragam makhluk hidup, flora dan fauna)

dalam keseimbangan dan berkelanjutan. Sehingga hutan dapat berfungsi sebagai

penjaga siklus makanan beragam makhluk hidup; pengatur tata air dan pencegah

banjir; pengendali erosi; pencegah intrusi air laut; pemelihara kesuburan tanah; dan

pembentuk kondisi udara bersih.

Meskipun peran sumberdaya hutan sangat penting bagi kehidupan umat manusia,

peran sektor kehutanan dalam perekonomian sangat kecil, yaitu hanya sekitar 1% dari

PDB (Produk Domestik Bruto) dan bila produk-produk kayu olahan juga dimasukkan,

hanya meningkat menjadi sekitar 2% dari PDB (Tabel 1). Namun kontribusi yang kecil

bukan hanya milik sektor kehutanan. Sektor-sektor yang lain, seperti perkebunan,

peternakan dan hasil-hasilnya, serta perikanan juga memiliki kontribusi yang kurang

lebih sama dengan sektor kehutanan, yaitu sekitar 2%. Sektor pertambangan migas

juga memiliki kontribusi yang tidak besar sekitar 6%, sementara industri migas malah

hanya sekitar 3%, lebih kecil dibanding tanaman bahan makanan sekitar 7%. Persoalan

pokoknya bukanlah pada besaran kontribusi sektor kehutanan, melainkan dampak

penggandanya (multiplier effect) dalam perekonomian dan yang lebih penting lagi,

adakah sumberdaya hutan dimanfaatkan secara lestari?

Page 159: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 3-14

Tabel 1. Kontribusi Sektor Kehutanan dan Hasil-Hasilnya dalam Pembentukan

Produk Domestik Bruto Harga Konstan 2000

Uraian Miliar Rupiah

2004 2005 2006 2007 2008* 2009** PDB 1.656.516,8 1.750.656,1 1.846.654,9 1.963.974,30 2.082.315,9 2.176.975,5

1. Kehutanan

Persentase terhadap PDB

17.433,8

1,05%

17.176,9

0,98%

16.784,1

0,91%

16.401,40

0,84%

16.543,3

0,79%

16.793,8

0,77%

2. Industri kayu & produk-produk lainnya Persentase Terhadap PDB

20.325,5

1,23%

20.138,5

1,15%

20.006,2

1,08%

19.657,60

1,00%

20.335,8

0.98%

20.039,2

0.92%

3. Kehutanan & hasil-

hasilnya (1+2) Persentase Terhadap PDB

37,759.30

2,28%

37,315.40

2,13%

36,693.10

1,99%

36.059,00

1,84%

36.879,1

1.77%

36.833,0

1.69%

Sumber : BPS; * angka sementara ; ** angka sangat sementara

Jika sektor kehutanan dan hasil-hasilnya didisagregasi ke dalam tiga subsektor, yaitu:

industri kayu, bambu dan rotan (IKBR), kayu bulat dan perburuan (KBP), dan hasil

hutan lain (HHL), hasil penelitian (Astana dkk, 2003) menunjukkan masing-masing

memiliki nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja yang tinggi. Nilai

pengganda output subsektor IKBR adalah 1,926 - 2,664, subsektor KBP, 1,401 - 1,841

dan subsektor HHL, 1,387 - 1,907. Nilai pengganda output subsektor IKBR sebesar

1,926 memiliki arti bahwa jika output subsektor IKBR meningkat sebesar satu satuan

akibat kenaikan permintaan akhir, maka output perekonomian akan meningkat

sebesar 1,926 satuan. Sedangkan nilai pengganda pendapatan subsektor IKBR adalah

1,946 - 4,020, subsektor KBP, 1,406 - 2,053 dan subsektor HHL, 1,453 - 1,680. Nilai

pengganda pendapatan subsektor IKBR sebesar 1,946 memiliki arti bahwa jika

pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor IKBR meningkat sebesar satu satuan

Page 160: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 4-14

akibat kenaikan permintaan akhir, maka pendapatan rumah tangga dalam

perekonomian akan meningkat sebesar 1,946 satuan. Nilai pengganda tenaga kerja

subsektor IKBR adalah 4,961 - 8,035, sub sektor KBP, 1,140 - 1,496 dan sub sektor HHL,

1,178 - 1,186. Nilai pengganda tenaga kerja subsektor IKBR sebesar 4,961 memiliki arti

bahwa bila penyerapan tenaga kerja di sektor IKBR meningkat sebanyak satu satuan

akibat kenaikan permintaan akhir, maka penyerapan tenaga kerja dalam

perekonomian akan meningkat sebesar 4,961 satuan.

Meskipun sektor kehutanan memiliki nilai pengganda dalam perekonomian yang tinggi,

namun peranan tersebut akan hilang jika hutannya tidak dimanfaatkan secara lestari.

Dapat dibayangkan jika produksi kayu dan hasil hutan lainnya sama dengan nol, karena

hutan (produksi) sudah habis ditebang, maka apa yang akan terjadi dalam

perekonomian adalah impor kayu dan hasil hutan lain untuk memenuhi kebutuhan. Ini

tentunya akan menguras devisa, dan pada gilirannya akan mengganggu neraca

pembayaran (balance of payment) dan perekonomian secara keseluruhan, terlebih bila

cadangan devisa dalam kondisi tipis. Kenyataan menunjukkan sejak pembangunan

ekonomi dimulai tahun 1970an, laju kerusakan sumberdaya hutan terus meningkat.

Laju kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan lebih tinggi dibanding laju

pemulihan dan penambahan. Luas tutupan dan potensi per ha hutan terus mengalami

penurunan. Kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan mengganggu tiga peran

sumberdaya hutan, yaitu: sebagai penghasil barang dan jasa; sebagai penopang sistem

kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat; dan sebagai sistem penyangga

kehidupan.

Seiring dengan penurunan luas tutupan dan potensi per ha hutan (produksi), PDB

sektor kehutanan dan hasil-hasilnya mengalami pertumbuhan negatif. Pada tahun

2004 meskipun PDB sektor kehutanan mengalami pertumbuhan positif sebesar 1,28%,

rataan per tahun periode 2004-2009 mengalami pertumbuhan negatif sebesar 0.40%

(Tabel 2). Dalam periode 2004-2009, sektor industri kayu dan produk-produk lainnya

juga mengalami pertumbuhan negatif rataan per tahun sebesar 0.57% (Tabel 3).

Pertumbuhan PDB sektor kehutanan dan hasil-hasilnya yang negatif memberikan bukti

Page 161: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 5-14

telah terjadinya pemanfaatan hutan yang tidak lestari. Ini merupakan sebuah

fenomena yang ironis, karena hutan merupakan sumberdaya yang terbarukan.

Tabel 2. Pertumbuhan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Harga Konstan 2000

Tahun Miliar Rupiah % Pertumbuhan 2004 17.433,80 1,28 2005 17.176,90 -1,47 2006 16.686,90 -2,85 2007 16.401,40 -1,71

2008* 16.543,30 0.87 2009** 16.793,80 1,51 Rataan 16.839,35 -0.40

Sumber: BPS ; * angka sementara; ** angka sangat sementara

Tabel 3. Pertumbuhan Sektor Industri Kayu dan Produk-Produk Lainnya dalam Perekonomian Harga Konstan 2000

Tahun Miliar Rupiah % Pertumbuhan 2004 20.325,50 -2,07 2005 20.138,50 -0,92 2006 20.006,20 -0,66 2007 19.657,60 -1,74

2008* 20.335.80 3,45 2009** 20.039.20 -1,46 Rataan 20083.80 -0.57

Sumber: BPS ; * angka sementara; ** angka sangat sementara

Kontribusi sektor kehutanan dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal

logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu

serta pasar kayu tidak terdistorsi. Terkait hal ini, terdapat pandangan bahwa kegiatan

investasi di bidang industri hasil hutan dipandang kurang menarik dibanding industri

bukan hasil hutan (perkebunan), karena prosedur investasi yang kurang transparan dan

kelayakan finansial yang relatif rendah. Di samping itu, terdapat juga pandangan

bahwa kebijakan industri dan perdagangan hasil hutan belum kondusif. Penerimaan

Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor kehutanan relatif kecil karena pembagian

keuntungan (manfaat) secara berkeadilan belum sepenuhnya diterapkan dan

cenderung menurun karena produksi kayu tidak lestari.

Page 162: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 6-14

Dampak krisis finansial global diperkirakan semakin menekan investasi industri dan

perdagangan hasil hutan namun pada tingkat tertentu dapat menguntungkan dari sisi

penghematan stok hutan. Guna meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam

pembentukan Produk Domestik Bruto nasional diperlukan upaya perbaikan tata kelola

industri dan perdagangan hasil hutan. Tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan

yang baik akan meningkatkan investasi industri dan perdagangan hasil hutan serta

memungkinkan peningkatan perolehan pungutan bukan pajak sektor kehutanan.

Meningkatnya investasi industri dan perdagangan hasil hutan pada gilirannya akan

meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam pembentukan Produk Domestik

Bruto nasional. Untuk itu penelitian integratif ini dilakukan.

3. Rumusan Masalah

Kontribusi sektor kehutanan dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal

logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu

serta pasar kayu tidak terdistorsi. Untuk itu diperlukan upaya perbaikan tata kelola

industri dan perdagangan hasil hutan. Tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan

yang baik akan meningkatkan investasi industri dan perdagangan hasil hutan serta

memungkinkan upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak dari hasil hutan.

Peningkatan investasi dan perdagangan hasil hutan pada gilirannya akan menaikkan

kontribusi sektor kehutanan dalam pembentukkan Produk Domestik Bruto nasional.

Permasalahannya adalah apa saja faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang

mempengaruhi: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan, (2) daya saing investasi

industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Daya saing investasi

industri hasil hutan yang dikaji meliputi: (a) investasi usaha Hutan Tanaman Industri

(HTI; hasil hutan kayu HTI), (b) investasi usaha Hutan Tanaman Rakyat (HTR; hasil

hutan kayu HTR), (c) investasi usaha Hutan Rakyat (HR; hasil hutan kayu HR), dan (d)

investasi usaha perkebunan (sebagai pembanding). Daya saing perdagangan hasil

hutan yang dikaji adalah daya saing perdagangan produk kehutanan yang berorientasi

pasar ekspor (kayu dan rotan). Besaran pungutan bukan pajak yang dikaji adalah

besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman (HTI; HTR).

Page 163: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 7-14

4. Tujuan dan Sasaran

Secara umum bertujuan untuk mengkaji tata kelola industri dan perdagangan hasil

hutan dan secara khusus mengkaji: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan

tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan

hasil hutan.

Sasaran yang ingin dicapai :

a. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang

mempengaruhi besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman

b. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang

mempengaruhi daya saing investasi industri hasil hutan.

c. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang

mempengaruhi daya saing perdagangan hasil hutan.

5. Luaran

Luaran yang dihasilkan dari RPI ini adalah :

a. Rekomendasi kebijakan perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan

tanaman.

b. Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan

dari sisi: (1) penawaran dan permintaan kayu, (2) kelayakan finansial usaha

hutan tanaman, dan (3) perizinan usaha hutan tanaman.

c. Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan yang

berorientasi ekspor dari sisi: (1) keunggulan produk kehutanan, (2) efisiensi

sistem tataniaga, (3) harmonized system (HS), dan (4) non tariff barrier.

Page 164: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 8-14

6. Ruang Lingkup

Jenis kegiatan untuk memberikan rekomendasi kebijakan besaran pungutan bukan

pajak hasil hutan tanaman terdiri dari:

a. Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman

b. Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.

Jenis kegiatan untuk memberikan rekomendasi peningkatan daya saing investasi

industri hasil hutan terdiri dari:

a. Analisis penawaran dan permintaan kayu

b. Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan

c. Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan

Jenis kegiatan untuk memberikan rekomendasi peningkatan daya saing perdagangan

hasil hutan terdiri dari:

a. Analisis keunggulan produk kehutanan

b. Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan

c. Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan

d. Analisis non-tariff barrier produk kehutanan

7. Metodologi

7.1. Kerangka Pikir

Kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional ditentukan oleh

perkembangan investasi industri dan perdagangan hasil hutan. Besaran pungutan

bukan pajak hasil hutan (DR- Dana Reboisasai dan PSDH- Provisi Sumber Daya Hutan)

mempengaruhi perkembangan investasi industri dan perdagangan hasil hutan.

Perkembangan investasi industri hasil hutan mempengaruhi perkembangan

perdagangan hasil dan sebaliknya, perkembangan perdagangan hasil hutan

mempengaruhi perkembangan investasi industri hasil hutan.

Perkembangan investasi industri hasil hutan bergantung pada seberapa jauh industri

hasil hutan memiliki daya saing dalam menarik investor untuk berinvestasi di bidang

Page 165: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 9-14

industri hasil hutan. Sedangkan perkembangan perdagangan hasil hutan bergantung

pada seberapa jauh hasil hutan memiliki daya saing dalam merebut pangsa pasar,

khususnya dalam konteks perdagangan internasional. Besaran pungutan bukan pajak

hasil hutan serta daya saing investasi industri dan perdagangan hasil hutan

dipengaruhi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan. Faktor-faktor ini merupakan

permasalahan yang menjadi fokus kajian ini.

7.2. Metoda Analisis

1. Besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman dikaji menggunakan

indikator ekonomi: nilai tegakan (stumpage value) dan indikator kelembagaan:

pengaturan penyediaan lahan hutan tanaman.

2. Daya saing investasi industri hasil hutan dikaji menggunakan indikator ekonomi:

benefit/cost ratio (B/C ratio), internal rate of return (IRR), penawaran dan

permintaan kayu, serta indikator kelembagaan: perizinan usaha hutan tanaman.

3. Daya saing perdagangan hasil hutan dikaji menggunakan indikator ekonomi:

keunggulan komparatif (comparative advantage), efisiensi sistem tataniaga, dan

indikator kelembagaan: pengaturan perdagangan hasil hutan di dalam dan luar

negeri, termasuk harmonized system (HS) dan non tariff barrier.

7.3. Lokasi penelitian

Rencana lokasi penelitian adalah sebagaimana tabel 4 berikut.

Tabel 4. Rencana lokasi penelitian

No. Kegiatan Lokasi 1. Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan

tanaman ; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman

Jawa Tengah, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah

2. Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan

Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur

3. Analisis keunggulan produk kehutanan; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan

Jawa Timur, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat

Page 166: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 10-14

8. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya Penelitian

Instansi pelaksana yang terlibat dalam penelitian, tata waktu penelitian serta

rencana biaya yang diperlukan tersaji pada tabel 4.

Tabel 4. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian

Kode PROGRAM/RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA

TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)

2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM 7 KEBIJAKAN KEHUTANAN

25 Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan

25.1 Luaran 1 : Rekomendasi kebijakan perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman

25.1.1.4 Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan

tanaman PUSPIJAK 150

25.1.2.4 Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan

tanaman PUSPIJAK 150

25.2 Luaran 2 : Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan

25.2.1.4 Analisis penawaran dan permintaan kayu PUSPIJAK 150

25.2.2.4 Analisis kelayakan finansial usaha hutan

tanaman dan perkebunan;

PUSPIJAK

150

25.2.3.4 Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan

perkebunan PUSPIJAK 100

25.3 Luaran 3 : Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan

25.3.1.4 Analisis keunggulan produk kehutanan; PUSPIJAK 200

25.3.2.4 Analisis efisiensi sistem tataniaga produk

kehutanan PUSPIJAK 150

25.3.3.4 Analisis harmonized system (HS) produk

kehutanan PUSPIJAK 150

25.3.4.4 Analisis non-tariff barrier produk kehutanan

PUSPIJAK 150

TOTAL ANGGARAN 300 400 650

9. Organisasi

Penelitian ini akan dilaksanakan di bawah koordinasi Puspijak dengan

melibatkan instansi lingkup Badan Litbang Kehutanan dan instansi terkait lain.

Page 167: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 11-14

10. Daftar Pustaka

Astana S., D. Djaenudin dan M. Z. Muttaqin. 2003. Kajian Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Daerah. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi 4 (1). Puslitbang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

Coelfer, C. J. P., R. L. Wadley, E. Harwell, and R. Prabhu. 2001. Assessing

Intergenerational Access to Resources: Using Criteria and Indicators in West Kalimantan, Indonesia in People Managing Forests: The Links between Human Well-Being and Sustainability, ed. by Coelfer and Byron. Resources for The Future and CIFOR. Washington.

Page 168: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 12-14

11. Kerangka Kerja Logis

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI TUJUAN: Secara umum bertujuan untuk mengaji tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan dan secara khusus mengaji: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan, (2) daya saing investasi industri hasil hutan dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan

Dihasilkan nya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan

Dokumen data/informasi/rekomendasi kebijakan terkait dengan faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan (LHP, publikasi, dan Policy Brief )

Kebijakan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penelitian kondusif.

SASARAN: 1 Tersedianya informasi faktor-

faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman

Telah dilaksanakan sintesa hasil penelitian: Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.

Sintesa hasil penelitian terkait besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman . LHP, Publikasi, dan Policy Brief nilai tegakan dan kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman

Tersedia hasil-hasil penelitian sebagai bahan sistesis identifikasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman

2 Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing investasi industri hasil hutan

Telah dilaksanakan sintesa hasil penelitian: Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan

Sintesa hasil penelitian terkait daya saing daya saing investasi industri hasil hutan . LHP, Publikasi, dan Policy Brief penawaran dan permintaan kayu; kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan

Tersedia hasil-hasil penelitian sebagai bahan sistesis identifikasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing investasi industri hasil hutan

3 Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing perdagangan hasil hutan

Telah dilaksanakan sintesa hasil penelitian: Analisis keunggulan produk kehutanan ; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan

Sintesa hasil penelitian terkait daya saing perdagangan hasil hutan. LHP, Publikasi, dan Policy Brief keunggulan komparatif produk kehutanan ; efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . harmonized system (HS) produk kehutanan; non-tariff barrier produk kehutanan

Tersedia hasil-hasil penelitian sebagai bahan sistesis identifikasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing perdagangan hasil hutan

LUARAN: 1.Rekomendasi kebijakan

perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman

Dilaksanakannya penelitian: Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.

Dokumen hasil penelitian terkait besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman. Dokumen LHP, Publikasi, dan Policy Brief nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; kebijakan penyediaan lahan

Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan . Kendala dan hambatan dalam merumuskan luaran diatasi.

Page 169: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 13-14

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI hutan tanaman

2.Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan

Dilaksanakannya penelitian: Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan

Dokumen hasil penelitian terkait daya saing investasi industri hasil hutan. LHP, Publikasi, dan Policy Brief penawaran dan permintaan kayu; kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan

Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan . Kendala dan hambatan dalam merumuskan luaran diatasi.

3.Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan

Dilaksanakannya penelitian: Analisis keunggulan produk kehutanan ; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan

Dokumen hasil penelitian terkait daya saing perdagangan hasil hutan . LHP, Publikasi, dan Policy Brief keunggulan komparatif produk kehutanan ; efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; harmonized system (HS) produk kehutanan; non-tariff barrier produk kehutanan

Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan . Kendala dan hambatan dalam merumuskan luaran diatasi.

KEGIATAN: 1.1. Analisis nilai tegakan

(stumpage value) hutan tanaman

1.2. Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman

Penelitian berhasil memperoleh informasi: 1. Nilai tegakan hutan

tanaman dan faktor-faktor yang mempengaruhi

2. Kelemahan dan kelebihan alokasi dan distribusi lahan hutan, perizinan dan persyaratan penyediaan lahan hutan tanaman

Dokumen presentasi dan pembahasan hasil penelitian: Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.

Sumberdaya (kuantitas dan kualitas) mendukung . Tidak terjadi perubahan kebijakan yang membatalkan pelaksanaan penelitian

2.1. Analisis penawaran dan permintaan kayu

2.2 Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan

2.3. Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan

Penelitian berhasil memperoleh informasi: 1. Penawaran dan

permintaan kayu nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhi

2. Perbandingan kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan

3. Perbandingan perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan

Dokumen presentasi dan pembahasan hasil penelitian: Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan

Sumberdaya (kuantitas dan kualitas) mendukung . Tidak terjadi perubahan kebijakan yang membatalkan pelaksanaan penelitian

3.1. Analisis keunggulan produk kehutanan

3.2. Analisis efisiensi sistem

Penelitian berhasil memperoleh informasi: 1. Keunggulan produk

Dokumen presentasi dan pembahasan hasil penelitian: Analisis

Sumberdaya (kuantitas dan kualitas)

Page 170: BPK - forda-mof.org · BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . BPTSTH : Balai Penelitian

RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 14-14

NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI tataniaga produk kehutanan

3.3. Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan

3.4. Analisis non-tariff barrier produk kehutanan

kehutanan dan faktor-faktor yang mempengaruhi, termasuk informasi mengenai keunggulan kayu dan non kayu, dampak lingkungan kayu, serta preferensi konsumen.

2. Efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan

3. Harmonized system (HS) produk kehutanan

4. Non-tariff barrier produk kehutanan

keunggulan komparatif produk kehutanan ; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan

mendukung . Tidak terjadi perubahan kebijakan yang membatalkan pelaksanaan penelitian