Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DAFTAR SINGKATAN AC : Adaptive Capacity AGB : Above Ground Biomass AHP : Analytic Hierarchy Process ALU : Agriculture and Land use ANP : Analytic Network Process BAU : Business as Usual BBPBTH : Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman BBPD : Balai Besar Penelitian Dipterokarpa B-C : Benefit-Cost BGB : Below Ground Biomass BPK : Balai Penelitian Kehutanan BPTA : Balai Penelitian Teknologi Agroforestry BPTHHBK : Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam BPTPDAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BPTSTH : Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan BUMN : Badan Usaha Milik Negara CAIT : Climate Analysis Indicator Tool CBD : Convention on Biological Diversity CDM : Clean Development Mechanism CIFOR : Center for International Forestry Research COP : Conference of the Parties DAS : Daerah Aliran Sungai DFID : Departement for International Development Ditjen : Direktorat Jenderal DR : Dana Reboisasi DSS : Decision Support Sytem FAO : Food and Agricultural Organization GDP : Gross Domestic Product GIS : Geographic Information System GL : Guideline GN RHL : Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan GPG : Good Practice Guidance GPS : Global Positioning System
GRK : Gas Rumah Kaca HHBK : Hasil Hutan Bukan Kayu HHL : Hasil Hutan Lain HPH : Hak Pengusahaan Hutan HR : Hutan Rakyat HS : Harmonized System HTI : Hutan Tanaman Industri HTR : Hutan Tanaman Rakyat IAM : Integrated assessment models ICRAF : International Center for Research in Agroforestry IDS : Institute of Development Studies IIED : International Institute for Environment and Development IKBR : Industri Kayu, Bambu dan Rotan INCAS : Indonesia National Carbon Accounting Sytem IPB : Institut Pertanian Bogor IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IRR : Internal Rate of Return IUPHHK : Ijin Usaha Pemamfaatan Hasil Hutan Kayu Kemenhut : Kementerian Kehutanan KBP : Kayu Bulat dan Perburuan KPH : Kesatuan Pemangkutan Hutan LHP : Laporan Hasil Penelitian Litbanghut : Penelitian dan Pengembangan Kehutanan LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat LULUCF : Land Use, Land Use Change and Forestry MAI : Mean Annual Increment MoF : Ministry of Forestry MRV : Measurable, Reportable and Verifiable NFI : National Forest Inventory OMOT : One Man One Tree PDB : Produk Domestik Bruto PHKA : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHL : Pengelolaan Hutan Lestari PSDH : Provisi Sumberdaya Hutan Puspijak : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
REDD : Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation RKT : Rencana Kerja Tahunan RLPS : Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial RPI : Rencana Penelitian Integratif RPTP : Rencana Penelitian Tim Peneliti RTH : Ruang Terbuka Hijau RTRWN : Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional SBSTA : Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice SDH : Sumber Daya Hutan SDM : Sumberdaya Manusia SFM : Sustainable Forest Management SWOT : Strenght Weakness Opportunity Threat TAHURA : Taman Hutan Raya TNI : Tentara Nasional Indonesia UGM : Universitas Gadjah Mada UI : Universitas Indonesia UNFCCC : United Nations Framework Convention Climate Change UPT : Unit Pelaksana Teknis UUD : Undang-Undang Dasar WRI : World Resource Institute
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 1-20
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 (REVISI) MANAJEMEN LANSKAP HUTAN BERBASIS DAS
1. Abstrak Pengelolaan hutan di Indonesia dihadapkan pada tiga isue utama yaitu tata ruang, trade-offs tujuan manajemen hutan dan kepentingan para pihak, serta pelestarian sumberdaya hutan atau SFM. Pendekatan klasik untuk mengelola hutan yang memisahkan aspek ekologi dari sosial-ekonomi dan lingkungan sekitar tidak berhasil menahan laju deforestasi maupun degradasi hutan, yang mengakibatkan sumberdaya ini menjadi semakin terancam kelestariannya. Penataan ruang melalui alokasi spasial penggunaan hutan perlu diintegrasikan dengan kepentingan (interests) dari berbagai pihak. Melalui penelitian integratif manajemen lanskap hutan diharapkan dapat disusun rekomendasi kebijakan untuk memperluas peran hutan dalam mendukung pembangunan daerah, melalui integrasi interests para pihak ke dalam rencana pembangunan kehutanan yang akan mendukung tata kelola kehutanan yang baik, good forest governance. Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai dimaksudkan untuk menyediakan strategi kebijakan bagi pengambil keputusan (Decision Support System, DSS) yang dapat dipakai untuk mempertahankan keberadaan hutan dan memperluas peran hutan, termasuk meningkatkan kerentanaan hutan terhadap perubahan iklim. Penelitian ini dilakukan dengan membangun konsep manajemen lanskap hutan yang selanjutnya akan diujicobakan di berbagai DAS yang memiliki karakteristik kepadatan penduduk tinggi, dan mengalami tekanan yang berat. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dikaji dinamika spasial perubahan lanskap hutan disertai dengan dinamika sosial-ekonomi dan lingkungan yang mempengaruhi perubahan tersebut. Sasaran yang akan dicapai dari Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai antara lain terwujudnya luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari. Kata kunci: manajemen lanskap, lanskap hutan, landuse, landuse change. 2. Latar Belakang “Forest management is not rocket science, it is far more complex” ( Thomas & Bunnel,
2001). Kalimat tersebut di atas menyebutkan bahwa mengelola hutan jauh lebih
kompleks, rumit dari ilmu yang dipakai untuk membangun sebuah roket. Kompleksitas
tersebut antara lain disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengelolaan hutan dan seringkali faktor tersebut berada di luar
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 2-20
kemampuan manajemen untuk mengendalikannya, baik faktor yang bersifat ekologi dan
ekonomi serta sosial saling terkait keberadaannya dan mempengaruhi kelestarian
pengelolaan hutan.
Tantangan pengelolaan hutan di Indonesia adalah untuk mempertahankan sekaligus
melestarikan sumberdaya hutan yang tersisa, disamping mengoptimalkan berbagai
fungsi yang ada sehingga keberadaan hutan mampu memenuhi kebutuhan yang
semakin beragam serta memberikan peran yang lebih luas kepada masyarakat.
Pengelolaan hutan juga dihadapkan pada perubahan iklim yang melanda dunia. Hutan di
Indonesia dilaporkan menyumbang emisi ketiga terbesar di dunia, yang mempengaruhi
fungsi hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya maupun sebagai
stabilitas sistem penyangga lingkungan secara luas.
Pendekatan klasik untuk mengelola hutan di Indonesia dilakukan sesuai dengan fungsi
hutan yang telah ditetapkan, yaitu sebagai hutan produksi, konservasi dan hutan
lindung. Pendekatan manajemen ini terbukti tidak berhasil menahan laju deforestasi
maupun degradasi hutan, yang mengakibatkan sumberdaya ini menjadi semakin
terancam kelestariannya. Kelestarian hutan tidak dapat dipisahkan dari kondisi
lingkungan sekitarnya. Pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan dengan
berorientasi ekosistem secara keseluruhan. Pendekatan semacam ini dapat dilakukan
dengan menerapkan manajemen lansekap hutan yang memandang hutan sebagai suatu
kesatuan fungsi, dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari tujuan untuk
memenuhi kebutuhan yang beragam1, baik yang bersifat ekologis, ekonomis maupun
kebutuhan sosial. Dengan kata lain, melalui manajemen lansekap hutan rencana
pengelolaan sumberdaya ditujukan untuk memproduksi komoditas sekaligus
mempertahankan nilai ekologi yang ada melalui kegiatan pemantauan, kontrol struktur
spasial maupun dinamikanya.
1 Menurut Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Kehutanan no 41/1999, hutan di
Indonesia dikelola agar dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus pemeratan sosial, pemantapan stabilitas politik serta pelestarian ekologis-lingkungan.
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 3-20
Lanskap disepakati melalui konvensi negara-negara Eropa sebagai suatu areal yang
dipahami oleh masyarakat memiliki karakter unik. Karakter tersebut merupakan
resultante aksi dan interaksi dari berbagai faktor, baik yang bersifat alami maupun hasil
pengaruh manusia. Keunikan karakteristik alam tersebut yang merupakan salah satu
alasan untuk melakukan perlindungan hutan melalui kerangka hukum konservasi.
Lanskap hutan dicirikan oleh karakteristiknya sebagai bentang alam yang didominasi
oleh adanya hutan yang wilayahnya meliputi dari daerah hulu hingga ke bagian hilir
suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Manajemen lanskap bermaksud menata hutan secara
spasial termasuk merencanakan alokasi penggunaannya sesuai dengan kepentingan
(interests) dari berbagai pihak. Melalui manajemen lanskap kepentingan para pihak
untuk menggunakan ruang di-integrasikan dengan tujuan pengelolaan di tingkat tapak
atau lokal, wilayah maupun tingkat nasional. Melalui penelitian integratif manajemen
lanskap hutan diharapkan dapat disusun rekomendasi kebijakan untuk memperluas
peran hutan dalam mendukung pembangunan daerah, melalui integrasi interests para
pihak ke dalam rencana pembangunan kehutanan yang akan mendukung tata kelola
kehutanan yang baik, good forest governance.
3. Rumusan Masalah
Secara tradisional, pengelolaan hutan ditujukan terutama untuk memproduksi kayu dan
kurang memperhatikan pengelolaan untuk tujuan yang lain. Tuntutan untuk
melestarikan jenis yang terancam punah serta melindungi habitat atau zona sensitif
serta tempat-tempat yang historis, dan juga zona perairan melalui pembatasan
penebangan pohon menuntut pendekatan pengelolaan sumberdaya alam secara
terintegrasi.
Menurut data FAO (2007), tingkat deforestasi hutan di dunia mencapai 13,7 juta hektar
per tahun, sedangkan penanaman yang dilakukan hanya mencapai 0,7 juta hektar per
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 4-20
tahun. Lebih dari setengah luas hutan global yang ada terdeforestasi atau terdegradasi;
dimana 40% dari hutan yang lebat dikonversikan menjadi penggunaan lain seperti
misalnya untuk pengembangan pertanian, peternakan, dan 10% telah dibuka atau
terfragmentasi. Kondisi tersebut merupakan penyebab utama merosotnya kualitas dan
kesehatan hutan. Selanjutnya diprediksi bahwa sebanyak 1 juta jenis tanaman dan
binatang akan punah dalam jangka waktu 15 – 20 tahun mendatang. Akibatnya,
pendekatan manajemen yang dilakukan saat ini dapat dikatakan gagal untuk
mempertahankan dan melestarikan lanskap hutan untuk generasi mendatang.
Pendekatan pengelolaan hutan yang dilakukan saat ini memiliki beberapa keterbatasan.
Diantaranya dan yang paling utama adalah skala atau fokus dari pengelolaan itu sendiri.
Sebagai contoh, rencana pengelolaan mencakup berbagai nilai yang tidak mungkin
diintegrasikan pengelolaannya. Disamping itu, memprioritaskan nilai tertentu dan
mengensampingkan nilai lainnya akan membatasi proses lanskap yang penting serta
berdampak luas. Disamping itu, secara tidak disadari rancangan dan implementasi dari
kegiatan penebangan dan penerapan silvikultur tertentu meninggalkan fragmentasi
hutan, yaitu terputusnya rangkaian hutan yang padat menjadi pulau-pulau hutan yang
terisolasi. Keadaan ini dikhawatirkan akan mempengaruhi proses biodiversity dan
ekologi di masa mendatang.
Hutan di Indonesia, kawasannya tersebar dari puncak gunung (Semeru, Rinjani, Puncak
Jaya, Merbabu dan lain-lain) hingga wilayah perairan, seperti misalnya di Bunaken,
Wasur di Papua, Danau Sentarum dll. Kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh
pemerintah dan dikelola sesuai dengan fungsinya yang telah ditetapkan. Luas kawasan
hutan terus merosot. Laporan terakhir dari Badan Planologi Kehutanan menyebutkan
bahwa luas wilayah hutan mencapai 123,46 juta ha, yang dikelola untuk produksi kayu
dan hasil hutan seluas 71,52 juta ha, untuk perlindungan tata air seluas 31,78 juta ha
dan untuk konservasi flora, fauna endemik serta bentang alam spesifik seluas 23,60 juta
ha (Arsyad, 2008).
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 5-20
Sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945, pemerintah memiliki mandat untuk
mengelola hutan di Indonesia dan memberikan/mendelegasikan hak pengelolaannya.
Undang-undang Kehutanan yang baru tahun 1999 mengamanatkan pemerintah untuk
melakukan desentralisasi urusan kehutanan dengan memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah kabupaten untuk mengurus pengelolaan hutan yang memiliki fungsi
produksi dan fungsi lindung. Sedangkan urusan pengelolaan hutan konservasi masih
berada pada pemerintah pusat. Ketentuan ini selaras dengan penataan kembali
pemerintahan daerah yang dilakukan melalui UU no 32 dan UU no 33 tahun 2004, yang
menggantikan UU no 25 dan UU no 27 tahun 1999.
Seiring diberlakukannya kebijakan desentralisasi urusan pemerintahan, luas hutan di
Indonesia dilaporkan semakin menipis dan kondisinya semakin merosot. Laju penurunan
luas hutan yang dilaporkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2002 mencapai 2,8
juta hektar hutan per tahun. Laju tersebut meningkat 50,5 % dibandingkan dengan
tingkat deforestasi dalam periode 12 tahun yang terjadi pada tahun1986 s/d 1997, yang
dilaporkan mencapai 1,86 juta hektar. Angka tersebut didukung oleh Forest Watch
Indonesia dan Global Forest Watch (2000) yang melaporkan bahwa dalam kurun waktu
20 tahun laju deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta ha/tahun atau 2 kali lebih cepat
dibandingkan dengan laju deforestrasi tahun 1980an. Penyebabnya adalah sistem politik
dan ekonomi yang korup dengan menganggap sumber daya alam, khususnya hutan,
sebagai sumber pendapatan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan politik dan
keuntungan pribadi. Laju deforestasi yang paling tinggi terjadi di wilayah Sumatera dan
Kalimantan, sehingga apabila tidak dilakukan upaya yang signifikan maka kedua pulau
tersebut tidak akan memiliki hutan alam tropis lagi paska tahun 2012.
Hasil studi yang dilakukan oleh CIFOR melaporkan berbagai penyebab dari
meningkatnya laju deforestasi di Indonesia. Selain sebagai akibat terjadinya ekonomi
krisis di tahun 1997, meningkatnya laju deforestasi hutan terkait erat dengan reformasi
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 6-20
politik dan desentralisasi urusan kehutanan yang mengakibatkan hutan di Indonesia
semakin ter-fragmentasi dan rentan terhadap kebakaran.
Penyebab utama menipisnya luas hutan berasal dari adanya konversi lahan dari
kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan kehutanan menjadi kawasan non-
kehutanan. Konversi paling tinggi adalah untuk keperluan pertanian dan perkebunan
yang dilaporkan mencapai 8,2 juta ha hingga periode 1999/2000 tahun. Selain itu untuk
pembangunan infrastruktur pengembangan daerah seperti pembuatan jalan baru yang
menerobos kawasan hutan (lindung, konservasi dan produksi) dan memfasilitasi
terjadinya pembukaan hutan lebih luas lagi. Kegiatan penebangan hutan untuk produksi
kayu dan non-kayu yang melejit pada tahun 1992/1993 dengan produksi sekitar 28,2
juta m3, kebakaran hutan dan juga pemekaran pemerintahan daerah yang ditandai
dengan terbentuknya propinsi baru, meningkatnya jumlah kabupaten dan pemerintahan
daerah di tingkat desa. Di lain pihak peranan hutan semakin dirasakan pentingnya bagi
masyarakat, yang ditandai dengan meningkatnya tutupan hutan di luar kawasan sebagai
hutan rakyat, serta pembangunan hutan kota yang diamanatkan melalui PP 65 tahun
2003.
Pendekatan manajemen lansekap dimaksudkan untuk menyelesaikan tiga issue utama
yang menjadi tantangan bagi Departemen Kehutanan. Ketiga issue tersebut meliputi
tata ruang, trade-offs tujuan manajemen hutan dan kepentingan para pihak, serta
pelestarian sumberdaya hutan atau SFM.
Dalam hubungannya dengan tata ruang, keberadaan hutan semakin terdesak dengan
pesatnya pembangunan daerah dan pemekaran wilayah administrasi. Kegiatan
pembangunan daerah bertumpu pada sektor-sektor yang menggunakan lahan, seperti
pertanian dan perkebunan, pembuatan jalan serta pembangunan perumahan. Kegiatan
tersebut menuntut adanya pelepasan lahan hutan untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan yang berorientasi sektoral. Akibatnya tata guna hutan yang alokasinya
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 7-20
telah disepakati pada tahun 1986 ditinjau kembali dan diselaraskan dengan adanya
tuntutan pembangunan daerah serta kebutuhan yang semakin berkembang.
Manajemen lanskap hutan menjawab isue penataan ruang ini melalui optimasi
pemanfaatan lahan hutan serta pembangunan model luas dan sebaran hutan minimal.
Pemanfaatan hutan dihadapkan pada adanya trade-off berbagai interest, masa waktu
serta tujuan pengelolaan. Kebutuhan masing-masing individu untuk memperoleh
pangan, sandang dan papan seringkali berbenturan dengan kebutuhan kelompok yang
menginginkan keselarasan, kebudayaan dan kenikmatan. Selain itu, kebutuhan makan
yang harus dipenuhi masa kini, untuk waktu yang sesaat, seringkali berseberangan
dengan adanya kebutuhan perlindungan ataupun konservasi yang sifatnya jangka
panjang. Manajemen lanskap hutan diharapkan menjawab permasalahan ini melalui
pengaturan kembali fungsi hutan serta distribusinya agar keberadaan hutan dapat
dirasakan manfaatnya secara optimal.
Kelestarian hutan tidak hanya ditentukan oleh pilihan sistem silvikultur yang digunakan
tetapi juga ditentukan kekompakan fungsi hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem.
Melalui manajemen lansekap hutan karakteristik ekosistem dapat diidentifikasi serta
diketahui faktor penentu kelestarian sumberdaya hutan.
4. Hipotesis
Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah penataan ruang (pembangunan
wilayah) dan penatagunaan hutan berbasis DAS akan mengurangi frekuensi terjadinya
bencana banjir, erosi dan longsor dan mendukung penerapan pelaksanaan KPH.
5. Tujuan dan Sasaran
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 8-20
Penelitian Integratif Manajemen Lansekap berbasis Daerah Aliran Sungai bertujuan
untuk menyediakan strategi kebijakan bagi pengambil keputusan (Decision Support
System, DSS) yang dapat dipakai untuk mempertahankan keberadaan hutan dan
memperluas peran hutan, termasuk meningkatkan resiliensi hutan terhadap perubahan
iklim.
Sasaran yang akan dicapai dari Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis
Daerah Aliran Sungai adalah :
• Tersedianya rekomendasi mengenai luas hutan optimal di dalam suatu wilayah
DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan
secara lestari
• Tersedianya informasi mengenai interest para pihak ke dalam berbagai level
manajemen dari tingkat operasional, wilayah hingga tingkat nasional
6. Luaran
Rencana Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai
diharapkan menghasilkan :
1. Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS
sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang
optimal dalam penataan ruang wilayah
2. Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
perekonomian yang berwawasan lingkungan
Luaran tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai landasan untuk menerbitkan
kebijakan untuk menentukan luas hutan optimal dan sebaran fungsinya di dalam
wilayah DAS dan memberikan bahan pembelajaran untuk melakukan manajemen
lanskap hutan.
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 9-20
7. Ruang Lingkup
Sebagai suatu alat perencanaan, pendekatan lanskap mencari hubungan aksi yang
dilakukan di tingkat lapangan –di tingkat petani atau pengelola hutan- dengan tingkat
lansekap atau ekosistem. Merujuk pada keberhasilan dan kegagalan pendekatan yang
dilakukan berbasis sektor, lanskap menghasilkan pendekatan antar sektor dan
terintegrasi sehingga secara langsung dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan
pembangunan yang telah disepakati guna memberantas kemiskinan dan menjamin
terciptanya kelestarian lingkungan .
Pengambilan keputusan di sektor sumberdaya alam beserta perencanaannya semakin
banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengambil keputusan dan perencana dengan
demikian dituntut untuk membangun praktek dan menyesuaikan diri sesuai dengan isue
yang berkembang.
Desentralisasi dan pelimpahan otoritas untuk pengambilan keputusan di bidang
perencanaan dan alokasi sumberdaya lahan dipandang sebagai salah satu solusi untuk
mengatasi kemiskinan dan menciptakan tata pemerintahan yang baik. Keberhasilan
perencanaan di tingkat komuniti seringkali menjadi lemah apabila dihadapkan pada isue
lingkungan dan sosial ekonomi yang berada di luar jangkauan atau pengaruhnya. Hal ini
menggarisbawahi semakin pentingnya pendekatan lanskap untuk menyelaraskan
berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang seringkali saling
bertentangan.
Selaras dengan itu, CBD yang telah diratifikasi berbagai negara anggota menuntut peran
pemerintah untuk menerapkan pendekatan berbasis ekosistem dalam merencanakan
pengelolaan sumberdaya alam yang didasari dengan prinsip best practice yang harus
dipedomani. Hal ini menuntut dilakukannya koordinasi antar sektor serta pengambilan
keputusan yang dilakukan secara bertingkat – termasuk di tingkat lanskap dengan
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 10-20
mengikutsertakan berbagai interest yang ada pada stakeholder – yang berimplikasi pada
kompleksitas dan proses pelibatan multi-pihak.
Implementasi praktis pendekatan lanskap meliputi penerapan proses integratif yang
diadaptasi pada konteks lokal. Penerapan ini menuntut keahlian baru serta alat
perencanaan yang kemungkinan berbeda dari praktek konvensional yang biasa kita
lakukan.
8. Metode
8.1. Kerangka Konseptual
Manajemen lansekap merupakan konsep yang mempengaruhi bagaimana hutan
dikelola secara luas. Terdapat empat dimensi yang menjadi pertimbangan dan
dicerminkan di dalam pengambilan keputusan untuk mendorong dan melestarikan
fungsi ekosistem disamping memberikan hasil barang dan jasa kepada masyarakat luas.
Keempat dimensi tersebut mencakup aspek ekonomi, ekologi, teknologi dan sosial, yang
diuraikan sebagai berikut.
Aspek sosial: lahan, yang merupakan aspek manajemen merupakan properti, yang
dimiliki suatu entitas yaitu masyarakat. Pengambil keputusan suatu lanskap yang
dikelola adalah masyarakat. Konsekuensinya, publik menginginkan untuk terlibat,
diikutsertakan dalam perencanaan penggunaan lahan dan penatagunaan lahan.
Demikian juga dengan masyarakat, mereka memiliki hak sekaligus kewajiban
dalampengelolaan lahan publik. Mengingat adanya intervensi terhadap hutan
mempengaruhi masyarakat yang tinggal di dalamnya, dengan demikian keterlibatan
masyarakat sangat esensial di dalam manajemen lanskap hutan.
Peran publik dalam penggunaan sumberdaya sangat esensial dewasa ini.Melalui
kelompok-kelompok tertentu, publik mendiskusikan dan mengkritisi penggunaan dan
pemanfaatan sumberdaya, bagaimana pohon ditebang, spesies dilindungi serta regulasi
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 11-20
dan kebijakan disusun menghadapi perubahan iklim. Pada umumnya perdebatan
terpolarisasi pada dua kutub kategori penggunaan lahan, yaitu cut it down or lock it up
artinya tebang atau pertahankan. Perdebatan tersebut mencakup nilai ekologi dengan
tanpa mengabaikan produksi untuk komoditas/tertentu. Tendensi yang ada bahwa
publik menginginkan peran secara aktif di dalam tahap penyusunan rencana, dan
keterlibatan publik tersebut akan membentuk model atau konsep manajemen
ekosistem di masa yang akan datang.
Aspek Ekonomi: Nilai ekonomi merupakan pembatas bagi setiap kegiatan, demikian
juga halnya dengan MLH. Di dalam perencanaan, hasil hutan non-kayu mempengaruhi
perolehan nilai ekonomi. Sebagai contoh, lahan hutan diperlukan juga untuk
perlindungan biodiversitas, konservasi nasional dan rekreasi selain untuk produksi kayu.
Selanjutnya, peningkatan kegiatan manajemen di tingkat lanskap akan berimplikasi
menaikkan biaya manajemen dibandingkan dengan fokus pengelolaan pada kayu.
Namun demikian, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu, mengkonservasi
habitat liaran, biodiversitas dan ekologi di dalam suatu hamparan bentang lansekap
kemungkinan akan lebih murah apabila dilakukan secara terpisah-pisah. Dengan adanya
pengalihan lahan untuk tujuan perlindungan dan bukannya untuk produksi kayu yang
dipasarkan akan mengurangi efisiensi, peningkatan biaya untuk memperoleh kayu dan
substitusinya. Pengelolaan yang ditujukan untuk mendukung habitat yang beragam, di
lain pihak penebangan dilakukan untuk menutup ongkos operasi dapat mengurangi
biaya yang diperlukan untuk memproduksi kedua output tersebut.
Aspek Ekologi: Tujuan utama dari manajemen hutan adalah untuk mempertahankan
sekaligus melestarikan ekosistem yang sehat dan produktif. Di dalam pengelolaan,
perspektif ekosistem mempertimbangkan perlunya merancang strategi manajemen
alternatif yang sensitif terhadap keseimbangan berbagai komponen hutan. Komponen
yang penyusun utamanya adalah organisme di dalam ekosistem hutan terorganisir
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 12-20
secara hierarkis kedalam fungsi kelompok dan terikat terhadap proses yang kompleks
melalui lingkungan fisiknya serta ikatan yang lainnya.
Ekosistem memiliki tiga atribut, yaitu komposisi, struktur atau pola dan fungsi atau
proses. Komposisi menunjukkan identitas serta keragaman elemen di dalam suatu
kelompok yang meliputi keseluruhan jenis flora dan fauna. Struktur merupakan
organisasi fisik suatu sistem. Secara khusus, struktur menunjuk pada pengaturan spasial
dari adanya ‘patches’ dan hubungan keterkaitan yang ada di dalamnya. Fungsi tersebut
meliputi proses ekologi dan evolutionary termasuk di dalamnya gene flow, disturbance
dan siklus hara. Dengan kata lain, fungsi ekologi dikenali melalui capture (penangkapan),
produksi, siklus, penyimpanan dan output dari sumberdaya tersebut. Elemen lain dari
ekosistem yang mampu mewujudkan harmoni adalah hubungan atau interaksi yang ada
pada karakteristik tersebut yang menjadikan sistem tersebut dinamis. Sebagai contoh,
adanya fungsi tergantung pada struktur yang membentuknya. Dalam hal ini, pengaruh
manusia pada seluruh karakteristik ekosistem yang perlu menjadi pertimbangan bagi
para perencana.
Dengan adanya deskripsi ekosistem seperti tersebut di atas, manajemen yang dilakukan
untuk melestarikan karakteristik tersebut menjadi penting dan kompleks. Manajemen
perlu memahami kompleksitas tersebut dan memberikan pengukuran secara kuantitatif
terhadap karakteristik yang ada, serta menawarkan rancangan prosedur yang dapat
dipakai untuk mempertahankan dinamika sistem dalam jangka waktu yang lama dengan
tanpa mengorbankan keseimbangan ekosistem itu sendiri disamping mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat. Peluang inilah yang akhirnya ditangkap oleh paradigma
manajemen lansekap.
Manajemen lanskap berorientasi pada skala makro, dan bukannya pada individual
species. Manajemen lanskap hutan menitikberatkan pada kompleksitas jejaring interaksi
yang mempengaruhi kualitas udara, air, tanah, vegetasi, insect, hewan liar dan mikro-
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 13-20
organisme. Teori hierarchy menyatakan ‘apabila unit di tingkat bawah berinteraksi dan
menghasilkan perilaku yang lebih atas serta perilaku tersebut mengontrol yang ada di
bawahnya maka perencanaan harus dilakukan pada skala yang lebih luas. Dengan
demikian, pendekatan dalam skala luas –pada level lanskap- merupakan pilihan tunggal
untuk mengelola keragaman hayati. Fokus manajemen lanskap hutan dengan demikian
adalah struktur lanskap hutan, mosaik patches kondisi hutan yang bervariasi dalam hal
isi (content) maupun skala nya, dilengkapi dengan kejadian alam (proses geomorphopic
dan ekologi) serta adanya intervensi manusia.
Aspek IPTEK: Akumulasi pengetahuan di bidang kehutanan mempengaruhi manajemen
ekosistem hutan. Adanya perubahan tujuan dari suatu manajemen, filosofi dan proses
yang ada mengakibatkan perubahan fundamental di kehutanan. Disiplin baru muncul,
seperti misalnya ekologi lanskap, modeling tata ruang hutan, etika lingkungan,
konservasi biologi secara keseluruhan membantu kedewasaan ide manajemen lanskap.
Selain itu, terdapat juga perkembangan teknologi komputer untuk menangani
permasalahan sumberdaya hutan yang terdapat dalam skala luas dan waktu yang lama.
Guna menjamin nilai hutan secara lestari, para pengelola atau manajer memerlukan alat
pengambil keputusan yang lebih baik serta database spasial yang komprehensif.
Perkembangan Sistem Informasi Geografis (SIG) secara dramatis mampu meningkatkan
kemampuan manajer sumberdaya serta para peneliti untuk mengumpulkan,
menyimpan, mempertahankan, memanipulasi, membangun model serta memonitor
mosaik lanskap dengan menggunakan inventarisasi hutan digital. Monitoring hutan
dapat dilakukan melalui remote sensing dengan resolusi yang tinggi, Geographic
Positioning System (GPS) serta data yang diorganisir melalui GIS. Kemampuan tersebut
mampu mengubah cakupan permasalahan kehutanan serta pertanyaan yang diajukan.
Saat ini, dapat dikatakan mudah untuk melakukan klasifikasi spasial, menganalisis dan
membangun model dan memantau adanya perubahan hutan dalam skala yang luas
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 14-20
dengan berbagai atribut yang ada disamping mencermati hubungannya dengan nilai
hasil hutan kayu dan non-kayu.
Sangat memungkinkan saat ini untuk membangun strategi manajemen spasial dengan
menerapkan teknik operational research seperti optimisasi, simulasi untuk
memanipulasi pola spasial dengan cara pendugaan target pola lanskap dari waktu ke
waktu. Dengan menguji adanya perubahan pola lanskap sebagai suatu aktivitas yang
terencana maupun intervensi manusia dan atau kejadian alam, maka dinamika lanskap
akan mudah dipahami. Penerapan GIS dikombinasikan dengan teknik penghitungan
komputer lainnya seperti artificial intellegence dan remote sensing data ataupun analisis
citra serta hasil inventarisasi memudahkan untuk mengelola jumlah data yang
berlimpah. Di samping itu, proses pengambilan keputusan akan menjadi semakin
berkualitas. Keadaan ini yang diinginkan bahwa manajemen lanskap akan menjadi
operasional. Strategi kebijakan untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas
peranannya serta memperkuat kerentanannya terhadap perubahan iklim dapat
dilakukan dengan cara menyusun model optimasi luas hutan dan mengintegrasikannya
ke dalam perencanaan penggunaan hutan dalam suatu wilayah DAS.
Kerangka konseptual yang disusun tersebut perlu dikomunikasikan ke berbagai lokasi
penelitian yang terpilih. Komunikasi tersebut diperlukan untuk verifikasi jenis data yang
diperlukan serta penyusunan rencana pengendalian penelitian di lapangan, termasuk
monitoring data dan pelaporan progres penelitian. Sehubungan dengan itu maka
kegiatan pengumpulan data lapangan sudah mulai dilakukan di awal tahun penelitian.
Termasuk pengumpulan data untuk kegiatan. Kajian Lanskap hutan pada berbagai
kondisi DAS dan Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan. Kegiatan
penelitian Integrasi multi-strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap dilakukan
pada tahun ke 2 setelah tersedia data awal dari penelitian yang lain.
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 15-20
8.2. Kerangka Analisis
Manajemen lanskap hutan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
• Memahami konteks, prinsip dan relevansi pendekatan tingkat lanskap bagi tata
kelola sumberdaya alam saat ini;
• Memahami bagaimana proses perencanaan di tingkat lanskap dapat dibangun
serta bagaimana dapat difasilitasi;
• Mengenali berbagai alat yang dipakai untuk menerapkan pendekatan tingkat
lanskap dan berpengalaman dalam menerapkan serta mengadaptasinya sesuai
dengan kondisi aktual;
• Memahami peran pendekatan tingkat lanskap untuk memperbaiki pengambilan
keputusan, pengelolaan secara berkelanjutan serta monitoring sumberdaya
alam.
Kerangka analisis yang dipakai di dalam penelitian manajemen lanskap meliputi analisis
dinamika spasial penggunaan lanskap hutan yang dikombinasikan dengan dinamika
sosial-ekonomi dan politik para pengguna lanskap hutan. Kombinasi analisis tersebut
dapat dilakukan apabila tahapan penelitian tersebut dibawah dilaksanakan sesuai
dengan rencana yang telah disusun. Secara keseluruhan analisis manajemen lanskap
hutan dimaksudkan untuk menghasilkan model optimasi luas dan sebaran fungsi hutan
di dalam suatu wilayah.
Kegiatan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
• Review status riset manajemen lanskap hutan, untuk menghasilkan kerangka
konseptual Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Hutan.
• Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan dimaksudkan untuk
menghasilkan model lanskap hutan berbasis persepsi para pihak. Kegiatan ini
mencakup identifikasi persepsi multipihak tentang lanskap hutan dan identifikasi
berbagai faktor yang mempengaruhi persepsi multipihak tentang lanskap hutan
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 16-20
• Analisis paduserasi Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan yang
dimasudkan untuk mengetahui demand dan suplai lahan kehutanan untuk
pembangunan daerah. Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan identifikasi
faktor koheren dan sinergitas penggunaan ruang dan identifikasi faktor yang
mempengaruhi alokasi dan penggunaan ruang
• Sintesa dan analisa model spasial dinamis dan model sosial-ekonomi lansekap
hutan.
9. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya
Rencana Penelitian Integratif akan dilaksanakan untuk jangka waktu lima tahun, dimulai
pada tahun 2010 dan diharapkan pada akhir tahun 2014 sudah dapat diperoleh hasil
akhirnya. RPI ini meliputi lima kegiatan penelitian yang akan dilakukan secara simultan
selama periode tersebut. Penelitian ini diawali dengan melakukan review status riset
manajemen lanskap pada tahun 2010, mengingat pendekatan ini merupakan hal baru
bagi kehutanan. Hasil review selanjutnya dipakai sebagai landasan untuk menyusun
kerangka konseptual (conceptual framework) penelitian integratif manajemen lanskap
hutan berbasis DAS. Selain itu juga dilakukan kegiatan analisis paduserasi tata ruang
wilayah (daerah) dengan tata guna hutan. Kedua kegiatan tersebut hanya dilakukan
selama satu tahun, yaitu di awal tahun penelitian 2010, mengingat informasi yang
dihasilkan dari kedua kegiatan tersebut menjadi landasan untuk penyusunan kerangka
konseptual yang selanjutnya akan diterapkan untuk pengumpulan data di lapangan.
Kegiatan akan dilaksanakan oleh Puspijak dan instansi lingkup Badan Litbang Kehutanan.
Instansi Pelaksana, Rencana Tatawaktu, dan Rencana Biaya tersaji dalam Tabel 1.
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 17-20
Tabel 1. Instansi Pelaksana, Tata Waktu, dan Rencana Biaya KODE Program/ RPI/ Luaran/
Kegiatan PELAKSANA TAHUN PELAKSANAAN
2010 2011 2012 2013 2014 Program 1 Lanskap 1 RPI 1 Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 1.1 Luaran 1 : Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai
dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal di dalam penataan ruang wilayah
1.1.1 Review status riset manajemen lanskap hutan
1.1.1.4 Puspijak 100 1.1.2 Kajian Lanskap Hutan pada
berbagai kondisi DAS
1.1.2.4 Puspijak 100 100 100 1.1.2.11 BPTA Ciamis 125 1.1.2.7 BPK Aek Nauli 125 1.1.2.9 BPK Palembang 125 1.1.3 Analisis paduserasi Tata Ruang
Daerah dengan Tata Guna Hutan
1.1.3.4 Puspijak 150 1.2 Luaran 2 : Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan
perekonomian yang berwawasan lingkungan 1.2.1
Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan
1.2.1.4 Puspijak 100 100 1.2.1.9 BPK Palembang 100 1.2.1.7 BPK Aek Nauli 100 1.2.1.12 BPTP DAS Solo 100 1.2.2 Integrasi multiple strategi ke
dalam multi-level manajemen lanskap hutan
1.2.2.4 Puspijak 100 100 1.2.2.7 BPK Aek Nauli 100 1.2.2.9 BPK Palembang 100 TOTAL 100 800 400 400 125
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 18-20
11. Organisasi
RPI akan dikoordinasi oleh Puspijak, dengan koordinator Ir. Retno Maryani, MSc. Dalam pelaksanaannya akan melibatkan UPT Lingkup Badan Litbang Kehutanan, seperti BPK Aek Na Uli, BPK Solo, BPK Makasar, juga dengan instansi terkait lainnya. Koordinator akan dibantu Tim Koordinasi yang ditetapkan oleh Kepala Puspijak. 12. Daftar Pustaka Anonimus. A hierarchical spatial framework for forest landscape planning. Ecological
Modelling 182 (2005) 25-48. www.sciencedirect.com Food and Agricultural Organization (2007) State of the World Forest Jianguo Liu., Kalan Ickes., Peter S. Ashton., James V Lafrankie and Manokaran (1999).
Spatial and Temporal Impacts of Adjacent Areas on the Dynamics of Species Diversity in a Primary Forests. In Spatial Modeling of Forest Lanscape Change: approaches and applications. Cambridge University Press.
Mladenoff, David.J., William Lawrence Baker (1999). Development of Forest and
Modelling approaches. In Spatial Modeling of Forest Lanscape Change: approaches and applications. Cambridge University Press.
Riiters, Kurt H., James D. Wickham and Timothy G Wade. An Indicator of Forest
Dynamics Using a Shifting Landscape Mosaic. Ecological Indicators, Volume 9 Issue 1. January 2009, pages 107-117.
Yanuariadi, Tetra (1999). Sustainable Land Allocation. GIS-based decision support for
industrial forest plantation development in Indonesia. ITC Publication Series, No 71 (Dissertation No. 59). ISBN 90-6164-167-5. International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC). PO.Box.6, 7500 AA Enschede. The Netherlands.
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 19-20
14. Kerangka Kerja Logis
NARASI INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
TUJUAN: Menyediakan strategi kebijakan (decission support system, dss) untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peran hutan dan meningkatkan ketahanan (resiliensi) hutan terhadap perubahan iklim.
Dihasilkannya rekomendasi yang dapat dipakai sebagai landasan pengambilan kebijakan untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peran hutan dan meningkatkan ketahanan hutan terhadap perubahan iklim.
Dokumen mengenai rekomendasi kebijakan untuk mempertahankan hutan yang dikemas dalam bentuk produk LHP, Publikasi Ilmiah, dan Policy brief
Tidak ada perubahan mendasar dalam hal kewenangan pemerintah untuk mengatur pengelolaan hutan (UU No. 41/1999) dan PP No.38/2007 Dukungan penuh dari pemerintah daerah yang mewakili tiga contoh DAS
SASARAN: • Tersedianya
rekomendasi mengenai luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari
• Tersedianya informasi mengenai interest para pihak ke dalam berbagai level manajemen dari tingkat operasional/lokal, wilayah hingga tingkat nasional
Telah dilaksanakannya penelitian penataan ruang dan penatagunaan hutan sesuai dengan karakteristik ekologi, ekonomi dan sosial yang mengutamakan daya dukung DAS
Sintesis hasil penelitian tentang peningkatan peran fungsi hutan dalam mempengaruhi iklim mikro, mengatur tata air dan melindungi keanekaragaman hayati. Sintesis hasil penelitian terkait dengan kegiatan perekonomian yang berwawasan lingkungan Sintesis hasil penelitian terkait dengan peranan hutan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat
Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan pembangunan wilayahnya berbasis DAS dan berwawasan lingkungan
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 20-20
NARASI INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
LHP Policy Brief Publikasi
LUARAN: 1. Rekomendasi model
penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal di dalam penataan ruang wilayah
2. Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan perekonomian yang berwawasan lingkungan
Dilaksanakannya : 1) Review status riset manajemen lanskap, 2) Kajian lanskap pada berbagai kondisi DAS, 3) Analisis padu serasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan Dilaksanakannya penelitian : 1) Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan, 2) Integrasi multiple strategi ke dalam multi level manajemen lanskap
Dokumen LHP, Publikasi dan Policy Brief Dokumen LHP, Publikasi dan Policy Brief
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
KEGIATAN: 1.1. Review status riset
manajemen lanskap hutan
1.2 Kajian lanskap hutan
pada berbagai kondisi DAS
Penelitian berhasil menemukan konsep penelitian integratif terkait manajemen lanskap hutan Penelitian berhasil: (1) menyusun karakteristik berbagai kondisi DAS; (2) mengidentifikasi sebaran luas dan fungsi hutan pada berbagai kondisi DAS; dan (3) menganalisi hubungan antara faktor sosial-politik,ekonomi dan ekologi- biofisik yang mempengaruhi sebaran luas dan fungsi
Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan aksesibilitas ke berbagai perpustakaan dan publikasi mudah Adanya dukungan penuh dari para pemangku kepentingan terkait dengan manajemen lanskap
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 21-20
NARASI INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
1.3 Analisis Paduserasi
Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan
2.1. Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan
2.2. Integrasi multiple strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap hutan
hutan pada berbagai kondisi DAS Penelitian berhasil: (i) menyusun pola paduserasi Tata Ruang dengan Tata Guna Hutan di tingkat nasional dan sub-nasional; dan (ii) menganalisis faktor sosial-politik, ekonomi dan ekologi/biofisik yang menentukan tercapainya paduserasi; Penelitian berhasil: (1) mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dengan manajemen lanskap hutan; (2) menyusun persepsi multipihak dalam hubungannya dengan manajemen lanskap hutan; dan (3) menganalisis faktor sosial-politik, ekonomi yang mempengaruhi persepsi multipihak terhadap manajemen lanskap hutan Penelitian berhasil: (1) menyusun berbagai strategi di dalam manajemen lanskap hutan; (2) mengidentifikasi adanya berbagai level manajemen lanskap hutan; dan (3) membuat model integrasi multiple strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap hutan
Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan pembangunan wilayahnya berbasis DAS dan berwawasan lingkungan Pemerintah Pusat dan Daerah bersungguh-sungguh melaksanakan pembangunan antar sektor di wilayahnya secara terpadu dan berwawasan lingkungan Tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh kepada arah penelitian
RPI Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 22-20
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 1-18
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 (REVISI)
PENGEMBANGAN HUTAN KOTA/LANSKAP PERKOTAAN
1. Abstrak
Pembangunan fisik di perkotaan yang perencanaannya kurang memadai telah menyebabkan rusaknya lingkungan perkotaan. Kondisi ini diperparah oleh kegiatan ekonomi di sektor produksi maupun konsumsi yang menghasilkan limbah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga ekosistem perkotaan tidak mampu lagi menampung dan mengolah limbah secara alami. Fakta yang kita lihat sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan yang buruk berupa kerusakan hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya ekosistem di perkotaan. Oleh karena itu, keinginan untuk menyejahterakan masyarakat akan tercapai apabila dilakukan perubahan kebijakan yang juga memperhitungkan manfaat keberadaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya genetik pohon-pohonan dan jasa lingkungan khususnya ekosistem di perkotaan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori ekosistem buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan, danau/situ, sempadan sungai, areal terbuka hijau, hutan tanaman, pekarangan, areal pemukiman, kawasan industri, jalan raya seperti jalan tol dan lain-lain. Prinsip pengembangan dan pengelolaan Hutan Kota untuk mencapai fungsinya adalah mengelola faktor lingkungan, sosial dan ekonomi. Dalam rangka tercapainya pembangunan dan pengembangan Hutan Kota di Indonesia, beberapa permasalahan mendasar yang teridentifikasi diantaranya, Rencana Induk Pembangunan Hutan Kota, pedoman dasar operasional pembangunan Hutan Kota, bencana banjir, masalah polusi udara, kontaminasi air tanah dan sungai serta sampah perkotaan. Promosi potensi sumberdaya genetik pohon-pohonan melalui upaya konservasi ex-situ pada ruang-ruang hijau di perkotaan, dan refungsionalisasi kawasan hijau, situ, danau, bantaran sungai sebagai daerah resapan air perlu dilakukan melalui pembangunan Hutan Kota dan ruang terbuka hijau yang terencana secara baik dan benar. Penelitian ini bertujuan menghasilkan data dan informasi serta IPTEK dalam rangka mendukung terciptanya keseimbangan lingkungan fisik (iklim mikro, kualitas udara, air dan radiasi) ekosistem perkotaan melalui pembangunan dan pengembangan Hutan Kota. Ruang lingkup kegiatan penelitian Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan tahun 2010-2014 adalah konservasi plasma nutfah pohon-pohonan, analisis kelembagaan dan peraturan pendukung, mencari komposisi jenis pohon sesuai dengan lokasi dan fungsi kawasan ruang terbuka hijau, pengembangan areal persemaian, model Hutan Kota di kawasan pemukiman, kawasan perkotaan, kawasan industri, bantaran sungai, situ dan bendungan, kajian nilai konservasi, ekonomi, jasa lingkungan, rekreasi dan estetika, Design Engineering Hutan Kota, dan pengembangan sistem pembangunan kawasan terbuka hijau baik di ekosistem hulu maupun ekosistem perkotaan. Melalui aktivitas di atas hasil yang diharapkan adalah rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi, policy brief, laporan kajian dan hasil-hasil penelitian serta bahan pembelajaran dalam rangka mendukung keberhasilan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan.
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 2-18
Kata kunci: hutan kota, lanskap perkotaan, ekosistem, pengelolaan, sumberdaya genetik pohon-pohonan, konservasi tanah dan tata air.
2. Latar Belakang
Pembangunan fisik di perkotaan yang diharapkan dapat mensejahterakan kehidupan
manusia, dalam perkembangannya telah menimbulkan permasalahan tersendiri akibat
perencanaan yang kurang memadai. Pertumbuhan penduduk serta pembangunan
infrastruktur untuk mendukung kegiatan ekonomi di perkotaan menyebabkan terjadinya
kerusakan lingkungan seperti hilangnya ruang terbuka hijau, rusaknya fungsi resapan air,
polusi air dan udara.
Tujuan pembangunan pada dasarnya adalah terwujudnya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Namun fakta yang kita lihat sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan
yang buruk berupa kerusakan hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya
ekosistem di perkotaan. Cita-cita untuk mensejahterakan masyarakat akan tercapai apabila
didukung oleh kebijakan yang mumpuni yang juga memperhitungkan manfaat keberadaan
sumberdaya alam termasuk plasma nutfah pepohonan dan jasa lingkungan khususnya
ekosistem di perkotaan sebagai sumber ekonomi tidak langsung. Upaya merevitalisasi
ekosistem di perkotaan dapat dilakukan, antara lain, melalui pengembangan Hutan
Kota/Lanskap perkotaan.
Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori buatan. Contoh ekosistem yang selalu
berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan yang serupa dengan
ekosistem danau/situ, sempadan sungai, ruang terbuka hijau, ekosistem pekarangan,
kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan industri dan jalan raya termasuk jalan
tol. Namun demikian, interaksi yang diharapkan tidak terjadi karena adanya kerusakan
beberapa komponen ekosistem. Sebagai contoh, kawasan sekitar danau di Jakarta-Bogor-
Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) yang jumlahnya ribuan pada umumnya mengalami
kerusakan. Oleh karena itu, ekosistem danau perlu menjadi prioritas dalam pengelolaannya
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 3-18
karena merupakan bagian dari lingkungan perkotaan yang berfungsi sebagai pengatur iklim
dan banjir maupun sebagai tempat resapan air.
Walaupun upaya untuk memperbaiki ekosistem di perkotaan telah banyak dilakukan, antara
lain, dengan melakukan kegiatan penanaman di banyak lokasi di Jakarta (Gerakan Sejuta
Pohon, Pembangunan Hutan Kota Kampus UI Depok, Pembangunan Hutan Kota Eks Kawasan
Kemayoran, Pembangunan Hutan Kota Mabes TNI Cilangkap, Pembangunan Hutan Kota
Bumi Perkemahan Cibubur dan pembangunan hutan kota di banyak tempat di Jabodetabek
termasuk kegiatan konservasi alam berupa pengembangan koridor konservasi melalui
penanaman pohon di kawasan jalan tol), koordinasi dengan pihak terkait dalam
pengelolannya secara integratif perlu terus dilakukan.
Kiprah dan partisipasi Badan Litbang Kehutanan dalam kegiatan pembangunan dan
pengembangan Hutan Kota di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1989, melalui penelitian,
seminar di dalam dan luar negeri serta kerjasama dengan instansi terkait (Samsoedin et. al.,
1989a, 1989b, Samsoedin dan Sutisna, 1990, Samsoedin, 1991; Samsoedin, 1992; Samsoedin
dan Setyawati, 1993; Samsoedin dan Mogea, 1993; Samsoedin, 1994; Samsoedin, 1997a,
Samsoedin, 1997b; Samsoedin et. al., 2006; Samsoedin, 2007a; 2007b; 2007c ). Namun
secara aktif kegiatan ini dimulai lagi pada tahun 2006, antara lain, melalui dijalinnya
kerjasama dengan Pemerintah Kota Padang dalam pembuatan Design Engineering
Pembangunan Hutan Kota Malvinas seluas 20 hektar serta kerjasama dengan Pemerintah
Kota Bogor dalam evaluasi keberadaan pepohonan di kawasan hijau. Kerjasama antara
Kementerian Kehutanan dan PU yang ditandatangani oleh kedua Menteri terkait pada tahun
2006 tentang Penghijauan di kawasan jalan tol juga merupakan langkah nyata dalam
membangun RTH di sekitar perkotaan.
Permasalahan ekosistem perkotaan yang demikian kompleks telah mendorong Badan
Litbang Kehutanan untuk secara konsisten mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam rangka memperbaiki kerusakan ekosistem di perkotaan melalui kegiatan
penelitian pengembangan hutan kota/Lanskap perkotaan.
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 4-18
3. Rumusan Masalah
Upaya mereduksi dampak negatif pembangunan fisik dan ekonomi perkotaan sudah banyak
dilaksanakan oleh berbagai pihak (pemerintah, swasta, masyarakat). Salah satu upaya yang
berdampak positif dalam mengatasi permasalahan ini adalah melalui pembangunan dan
pengembangan hutan kota yang sejak tahun 2002 telah memiliki kekuatan hukum dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Namun
demikian dalam perjalanannya PP No. 63 ini belum berjalan dengan optimal. Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan, khususnya PP. 63 tahun 2002
tentang Hutan Kota, dalam upaya perbaikan ekosistem perkotaan sudah cukup
memadai dan sejauhmana upaya para pihak dalam melaksanakannya?
2. Seberapa jauh masyarakat menghargai hutan kota dan Lanskap perkotaan dalam
konteks pembangunan perkotaan?
3. Ilmu pengetahuan dan teknologi apakah yang diperlukan untuk membangun dan
mengembangkan hutan kota/Lanskap perkotaan?
4. Tujuan dan Sasaran
Tujuan penelitian adalah menghasilkan data dan informasi serta ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam rangka menyediakan strategi kebijakan (Decision Support System)
pengembangan hutan kota/Lanskap perkotaan dalam proses pengambilan keputusan.
Sasaran yang akan dicapai adalah:
1. Tersedianya rekomendasi terkait kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan
kota
2. Tersedianya rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi
3. Tersedianya rekomendasi tentang jenis-jenis pohon potensial untuk pengembangan
hutan kota
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 5-18
4. Tersedianya rekomendasi bentuk ideal pengembangan zonasi fungsi hutan kota di
daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (Land lock)
5. Luaran
Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025 secara jelas memberi arahan
bahwa hutan telah ditetapkan sebagai azas dari Lanskap dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN) digunakan sebagai basis dalam arahan Lanskap. Disamping itu, target per
periode (phase) didasarkan pada urutan prioritas penanganan obyek, yaitu untuk
pengembangan hutan kota/Lanskap perkotaan diarahkan pada daerah perkotaan
berdasarkan tingkat kepadatan penduduk dibagi ke dalam dua zona, yaitu daratan tertutup
yang tidak mempunyai akses langsung ke laut (land locked cities) yang rentan terhadap
perubahan iklim karena terkendala batas administratif pemerintahan wilayah di sekitarnya
dan daerah perkotaan yang rentan terhadap perubahan iklim terutama dengan naiknya
permukaan air laut, yaitu perkotaan dengan elevasi rendah yang berada di sepanjang pantai
(low-laying coastal cities).
Luaran RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan yang hendak dicapai dalam waktu
lima tahun mendatang (kegiatan RPI tahun 2010-2014) adalah berupa:
1. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/Lanskap perkotaan
2. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/Lanskap perkotaan
Melalui dua luaran di atas diharapkan terwujudnya strategi pengembangan hutan
kota/lanskap perkotaan yang diadopsi oleh pengguna.
6. Ruang Lingkup
Penelitian difokuskan pada upaya-upaya penyediaan ilmu dan teknologi pengembangan
hutan kota/lanskap perkotaan dan pengembangan sistem kelembagaan yang mendukung
kebijakan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan. Kegiatan penelitian didasarkan
pada Road Map Penelitian dan Pengembangan Kehuanan 2010-2025, yaitu mencakup zonasi
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 6-18
fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (land
lock).
7. Metodologi
7.1. Kerangka Konseptual
7.1.1. Sejarah Hutan Kota
Sejarah Hutan Kota telah dimulai sekitar 15.000 tahun lalu ketika manusia di Timur Tengah
dan Afrika Utara memulai kebiasaan hidup mereka secara menetap dengan melakukan
kegiatan bercocok tanam di sepanjang sungai Tigris, Euphrates, Indus dan Nil yang subur
(Miller, 1988). Peradaban manusia terus berlanjut di sepanjang sungai Nil dan sungai
Euphrates dan mencapai puncaknya pada 3.000 tahun Sebelum Masehi pada saat
dimulainya pembangunan piramid dan monumen-monumen lainnya. Pot-pot gantung (the
hanging gardens) di kota Babylon dipercaya oleh para ahli sebagai awal dari penggunaan
tanaman secara terencana (the intentional use of urban vegetation) (Miller, 1988).
Di Indonesia, ornamen tanaman pada candi Borobudur yang dibangun oleh Dinasti
Syailendra pada abad ke-8 merupakan bentuk sejarah pemanfaatan tanaman. Hutan Kota
sebenarnya telah dimulai oleh nenek moyang kita pada saat itu. Mereka telah menanam
pepohonan di sekitar tempat tinggalnya untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari.
Penanaman pohon secara lebih teratur dimulai oleh bangsa Belanda yang mulai menjajah
bangsa kita ketika mereka memasuki negeri ini pada tahun 1602. Bekas-bekas dari kegiatan
mereka masih nampak sampai sekarang dengan masih terpeliharanya pohon-pohon besar di
tepi jalan di kota Bogor, Bandung, Medan dan beberapa kota lainnya. Setelah merdeka,
penanaman secara berkelompok dilakukan pemerintah pada saat menjadi tuan rumah
Games of the New Emerging Forces atau yang kita kenal dengan Ganefo pada tahun 1963.
Pepohonan yang ditanam di sekitar Gelora Senayan 43 tahun yang lalu masih dapat kita lihat
disana. Namun demikian, secara resmi, pembangunan Hutan Kota dicanangkan oleh
Pemerintah pada saat menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Sedunia ke-7 di Jakarta
pada tahun 1978. Penanaman pohon oleh para peserta kongres di atas lahan 5 hektar di
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 7-18
lingkungan Gedung Manggala Wanabakti menjadi patok sejarah dicanangkannya
pembangunan Hutan Kota.
Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan
pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang
dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang
meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Dalam Bab I Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi
Hutan Kota adalah memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air,
menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian
keanekaragaman hayati Indonesia.
Kerusakan hutan yang diakibatkan oleh perladangan berpindah dan perambahan ilegal yang
sering mengikuti kegiatan pembalakan dan kemudian diikuti oleh pembangunan perkebunan
kelapa sawit umumnya terjadi di hutan pamah dipterokarpa Kalimantan dan Sumatera
(Kartawinata dan Samsoedin, 2007). Melihat kenyataan terjadinya degradasi hutan alam
yang begitu cepat, upaya-upaya penyelamatan sumberdaya genetik pohon-pohonan harus
secepat mungkin dilaksanakan. Dalam kasus ini Hutan Kota dapat berperan sebagai kawasan
konservasi ex-situ bagi jenis-jenis pohon yang belum diketahui potensinya.
Prinsip pengembangan dan pengelolaan Hutan Kota untuk mencapai fungsinya sebagai
penunjang ekosistem perkotaan yang utama tersaji pada Gambar 1. Sedangkan faktor
lingkungan, sosial budaya dan ekonomi dalam pemilihan jenis dalam pengembangan Hutan
Kota disajikan dalam Gambar 2.
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 8-18
Terlantar
Rehabilitasi
Diterlantarkan
Ekosistem Ruang Terbuka Hijau
Struktur Ekosistem Kota
Fungsi Ekosistem
Jenis Tanaman & Luas Areal
Pemulihan
Lahan Kritis, Terpolusi
Penggantian Jenis Tanaman
Pengayaan Jenis
Perkembangan
Ekosistem Normal
Gambar 1. Pengembangan jenis dan luas ekosistem ruang terbuka hijau menurut struktur dan fungsi dalam Hutan Kota (modifikasi dari Kartawinata dan Samsoedin, 2007)
Gambar-2. Faktor sosial budaya dan ekonomi pemilihan jenis pohon dalam pengembangan Hutan Kota
Faktor Tempat
Seleksi Jenis Faktor Sosial
• Estetika • Fungsi • Eksternal • Negatif
Kendala Kultural
• Struktur • Penutup lahan • Polusi • Utilities
Kendala Lingkungan
• Edafik • Iklim • Fisiografik • Biologis
Faktor Ekonomi
• Biaya pembangunan • Biaya pemeliharaan • Biaya pengangkutan
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 9-18
7.1.2. Lanskap perkotaan.
Lanskap dapat diartikan sebagai tata ruang atau bentang alam yang di dalamnya terdiri dari
berbagai kegiatan baik yang berjalan secara alami maupun bentuk kegiatan yang
dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Oleh karena itu, proses kegiatan di dalam Lanskap akan
selalu berhubungan dengan proses sosial ekonomi dan ekologi atau yang dikenal dengan
ekologi Lanskap. Ekologi Lanskap merupakan ilmu baru yang baru dikembangkan di negara-
negara Eropa setelah Perang Dunia II. Perkembangan ekologi lanskap berjalan secara
progresif, dinamis dan merupakan proses global yang berhubungan dengan ilmu ekologi dan
berkaitan erat dengan berbagai disiplin ilmu seperti geografi, botani, zoologi, animal
behaviour dan arsitektur Lanskap (Farina, 1998).
Menurut Daryadi et.al. (2002), sejalan dengan berjalannya waktu, lanskap secara terus
menerus berubah. Perubahan ini merupakan bagian dari proses evolusi. Namun demikian,
perubahan atau degradasi lanskap bisa lebih cepat terjadi karena aktivitas manusia yang
menjadikan perubahan amat berbeda bila dibandingkan dengan perubahan pada lanskap
karena gangguan alam.
Perkembangan atau perubahan lanskap dapat dibedakan ke dalam lima tipe (Forman dan
Gordon (1986) dalam Daryadi et.al. 2002) sebagai berikut:
1. Lanskap alamiah (perkembangan/perubahan terjadi karena alam bukan manusia)
2. Lanskap pengelolaan (perkembangan/perubahan terjadi karena missmanagement
misal buruknya sistem pengelolaan hutan produksi)
3. Lanskap budidaya (perkembangan/perubahan terjadi karena budidaya usaha tani
yang terkait erat dengan pengembangan wilayah dan transportasi. Proses perubahan
Lanskap budidaya terjadi melalui tiga tahap, yaitu: usaha tani tradisional, kombinasi
tradisional dan moderen dan moderen yang pada perkembangannya menghasilkan
bentuk-bentuk pemukiman terpencar, kemudian berkelompok dan akhirnya menyatu
menjadi pedesaan dan perkotaan.
4. Lanskap pedesaan (perkembangan/perubahan terjadi karena adanya kegiatan
manusia, antara lain, kebun dan pekarangan).
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 10-18
5. Lanskap perkotaan
Lanskap perkotaan terbentuk karena adanya perubahan struktur lanskap alamiah
yang terdegradasi menjadi bentuk alam perkotaan akibat aktivitas manusia.
Lingkungan di perkotaan sebagai penyangga kehidupan mahluk hidup khususnya manusia
terdiri dari berbagai ekosistem. Sastrapradja et al., (1989) mengklasifikasi ekosistem di
Indonesia menjadi empat kelompok ekosistem utama, yaitu: ekosistem bahari, ekosistem
darat alami, ekosistem suksesi dan ekosistem buatan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam
kategori buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan,
antara lain, bendungan yang serupa dengan ekosistem danau/situ, sempadan sungai, ruang
terbuka hijau, ekosistem pekarangan, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan
industri dan jalan raya seperti jalan tol.
7.2. Metode Analisis
Metode analisis untuk masing-masing luaran dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1. Metode Analisis RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
Kegiatan Metode Analisis 1. Kajian kebijakan
pengembangan dan pengelolaan hutan kota
Penelitian akan dilaksanakan dengan : - Analisis dokumen - Analisis stakehoders - Lokakarya atau focused group discussion - Analisis sistem pengelolaan Hutan Kota yang ada
serta partisipasi masyarakat di perkotaan - Analisis ekosistem hutan di perkotaan yang
dilaksanakan dengan metode valuasi sumberdaya hutan yang sudah dikembangkan
- Analisis strategi alih teknologi dilakukan dengan menggunakan pendekatan kelayakan ekonomi, lingkungan dan sosial
2. Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan
Penelitian akan dilaksanakan melalui: • Kajian faktor biofisik • Analisis model hutan kota yang ada saat ini dan telah
ditetapkan oleh pemerintah setempat • Analisis peran masyarakat dalam pengembangan
hutan kota/lanskap perkotaan
3. Kajian jenis pohon potensial • Inventarisasi jenis-jenis pohon di perkotaan dalam
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 11-18
Kegiatan Metode Analisis untuk pengembangan hutan kota
rangka mengidentifikasi jenis-jenis pohon yang sesuai dengan pola Hutan Kota yang akan dikembangkan
• Parameter pohon yang diukur: (1) Diameter dan tinggi pohon (2) Model tajuk, bentuk daun, bentuk cabang dan
bentuk batang (3) Kondisi pohon (4) Daya tumbuh di lahan kritis atau lahan terpolusi
dan lahan dengan keadaan air tanah tinggi (situ dan bantaran sungai)
(5) Fenologi pohon (buah dan bunga)
4. Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah panta dan daratan tertutup
• Analisis jenis-jenis pohon di daerah pantai dan daratan
• Analisis tipe ekosistem (alam dan binaan) di kawasan pantai dan daratan
7.3. Rencana Lokasi
Lokasi yang dipilih untuk pelaksanan kegiatan RPI adalah ibukota propinsi yang
pertumbuhan penduduknya meningkat dengan tajam dari tahun ke tahun. Selain
pertumbuhan penduduk, pertimbangan dipilihnya kota-kota di atas adalah karena kota-kota
tersebut merupakan urat nadi dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara sehingga
perlu diupayakan keseimbangan lingkungannya. Kota-kota yang dipilih adalah kawasan hilir
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), kawasan hulu Bopuncur (Bogor-
Puncak-Cianjur), Bandung, Padang, Medan, Samarinda, Makasar, Mataram dan Denpasar,
meliputi Hutan Kota, taman kota, arboretum, kebun raya, kebun percobaan, kebun koleksi,
kebun botani, TAHURA (Taman Hutan Raya), pohon tepi jalan, lapangan golf, kawasan
industri, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, sempadan sungai, bantaran kereta api,
kolong jembatan, jalan layang, jalan tol, saluran listrik tegangan tinggi, kawasan sekitar
danau,waduk, rawa, zona penyangga, perkebunan, perladangan, persawahan, pertanian dan
kawasan pantai.
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 12-18
8. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya
Waktu penelitian RPI adalah 5 tahun (2010-2014) dan rencana tata waktu pelaksanaan
kegiatan penelitian pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan yang akan dilaksanakan
oleh Puspijak dan UPT litbang Kehutanan di daerah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya
Kode TEMA/RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)
2010 2011 2012 2013 2014
TEMA 7 LANSEKAP HUTAN
2 Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
2.1 Luaran 1 : Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/lanskap perkotaan
2.1.1 Kajian kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota
2.1.1.4 PUSPIJAK 100 100 100 100
2.1.1.7 BPK Aek Nauli 100
2.1.1.18 BPK Makasar 100
2.1.1.11 BPTA Ciamis 100
2.1.1.6 BBPD Samarinda 100
2.2 Luaran 2 : Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/lanskap perkotaan
2.2.1 Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota
2.2.1.7 BPK Aek Nauli 100
2.2.1.9 BPK Palembang 100
2.2.1.18 BPK Makasar 100
2.2.1.11 BPTA Ciamis 100
2.2.2 Kajian jenis pohon potensial untuk
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 13-18
Kode TEMA/RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)
2010 2011 2012 2013 2014
pengembangan hutan kota
2.2.2.4 PUSPIJAK 150 150 150 150
2.2.2.7 BPK Aek Nauli 150
2.2.2.18 BPK Makasar 150
2.2.2.11 BPTA Ciamis 150
2.2.3 Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup
2.2.3.4 PUSPIJAK 100 100 100 100
2.2.3.7 BPK Aek Nauli 100
2.2.3.9 BPK Palembang 100
2.2.3.18 BPK Makasar 100
TOTAL ANGGARAN 200 800 700 600 650
9. Organisasi
Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Puspijak dengan Koordinator RPI : Dr. Ir.
Ismayadi Samsoedin, M.Sc dan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan
seperti BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Makasar, BPTA Ciamis dan BBPD Dipterokarpa
Samarinda. Jika diperlukan, outsourcing dari instansi terkait lainnya dapat dilakukan.
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 14-18
10. Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2009. ROADMAP Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Departemen Kehutanan. Daryadi, L., Q.A.B. Priarso, T.S. Rostian dan E. Wahyuningsih. 2002. Konservasi Lanskap.
Alam, Lingkungan dan Pembangunan. Penerbit: Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia/Indonesian Zoological Parks Association.
Farina, A. 1998. Principles and Methods in Landscape Ecology. Chapman and Hall. London-
Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Forman, R.T.T. and M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Wiley&Son. Inc. Kartawinata, K. dan I. Samsoedin. 2007. Rehabilitasi Lahan Hutan Rusak dan Pemulihan
Ekosistem di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Miller, R. W. 1988. Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces. Prentice Hall,
aglewood Cliffs, New Jersey 07632. Samsoedin, I., J.P Mogea and O. Satjapraja. 1989a. Potential Forest Plants for Ornamental
Purposes. Flower Cultivation and Bussiness Seminar. Jakarta, 12-13 June. Samsoedin, I.,S. Riswan and Y. Jafarsidik. 1989b. Endangered Plant Species with Emphases on
Economic Tree Species. Asean Workshop. Bogor, 20-21 June. Samsoedin, I. dan U. Sutisna. 1990. Prospek Pengembangan Jenis Pohon Serba Guna. Prosiding
Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Jenis-Jenis Pohon Serba Guna. Kerjasama Badan Litbang Kerhutanan-Departemen Kehutanan dengan F/Fred Project Winrock International. Bogor, 19-20 Juni.
Samsoedin, I., 1991. The Role of Trees in an Urban Area in Indonesia. School of Agricultural and
Forest Sciences. University of Wales, Bangor, Gwynedd LL 572 UW, United Kingdom (unpublished).
Samsoedin, I., 1992. Structural Damage Caused by Tree Roots in the London Area. School of
Agricultural and Forest Sciences, University of Wales, Bangor, Gwynedd LL 572 UW, United Kingdom. MSc, Thesis. (Unpublished).
Samsoedin, I. and T. Setyawati. 1993. Urban Forestry and It’s Role in Conserving Biodiversity:
The Case of Jakarta. Tropical Environmental Management Workshop, Biodiversity for Sustainable Development in Southeast Asia. Dumoga Bone National Park. Toraut, North Sulawesi. February 6-18. p.24.
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 15-18
Samsoedin, I. and J.P. Mogea. 1993. Ex-situ Biodiversity Conservation in Some Urban Areas in Indonesia. XV International Botanical Congress, Yokohama, Japan. August 28-September 3.
Samsoedin, I. 1994. Toraut Arboretum, A Proposed Site for Biodiversity Ex-situ Conservation
and Sustainable Development for Wallace Area. Wallace Development Institute, Jakarta. Serpong, 6-9 june.
Samsoedin, I. 1997a. Potential Indigenous Plants for Urban Areas. Paper Presented on the
Workshop on Biodiversity, FRIM, Kuala Lumpur, Malaysia. 27-28 November. Samsoedin, I. 1997b. Studi potensi jenis-jenis pohon Indonesia untuk daerah perkotaan. Hal
183-188. Dalam. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Penelitian. Penerapan hasil Litbang Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) untuk Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Diterbitkan oleh: P3HKA, Bogor 20-21 Maret. 193 hal.
Samsoedin, I., E. Subiandono, dan M. Bismark. 2006. Pembangunan dan Pengelolaan Hutan
Kota. Paper dipresentasikan pada diskusi GETEK, Padang. Samsoedin, I. 2007a. Sejarah perkembangan hutan kota di Indonesia dan fondasi hukumnya.
Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished).
Samsoedin, I. 2007b. The ‘bush’ city of Bogor. Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam.
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Samsoedin, I. 2007c. Sekelumit tentang kota Bogor dan pepohonannya. Kelompok Peneliti
Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Sastrapradja, D.S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja dan M. A. Rifai. 1989.
Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Manusia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi-LIPI. Bogor.
Whitmore, T.C and I. Samsoedin. 1993. Description of Forest Types of The Bukit Tigapuluh
Area. p.25 – 27. In: Rain Forest and Resource Management. Proceedings of the Norindra Seminar, Jakarta, 25 – 26 May. p.233.
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 16-18
11. Kerangka Kerja Logis No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi 1 Tujuan:
Menyediakan strategi kebijakan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan proses pengambilan keputusan
Dihasilkannya rekomendasi strategi pengembangan hutan kota/ lanskap
Dokumen mengenai : • Rekomendasi
kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi
• Petunjuk teknis revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan
• Informasi tentang teknologi revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan yang dikemas dalam LHP, Publikasi. Policy Brief
• Pemerintah
(Propinsi dan Kota/ Kabupaten) mendukung program pembangunan hutan di perkotaan
• Ada kepastian kawasan/ lanskap perkotaan.
2. Sasaran 1. Tersedianya
rekomendasi terkait kebijakan pengembangan dan pengeolaan hutan kota
2. Tersedianya
rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi
• Telah
dilaksanakannya kegiatan penelitian terkait sistem pengelolaan dan ekosistem hutan kota dalam implementasi PP 63 tahun 2002
• Telah
dilaksanakannya kegiatan penelitian terkait kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi
• LHP dan policy
brief tentang PP 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
• Sintesis hasil
penelitian, publikasi dan policy brief tentang kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi
Tersedianya hasil-hasil penelitian yang dapat digunakan sebagai dasar dalam membuat kebijakan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 17-18
No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi 3. Tersedianya
rekomendasi tentang jenis-jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota
4. Tersedianya
rekomendasi bentuk ideal pengembangan zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (Land lock)
• Dilaksanakannya
penelitian terkait dengan jenis-jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota
• Dilaksanakannya
kegiatan penelitian terkait dengan bentuk pengembangan zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai dan daratan tertutup
• LHP, policy
brief, publikasi tentang fungsi hutan kota di daerah pantai dan daratan tertutup
• Pembahasan
hasil-hasil penelitian di tingkat Badan Litbang Kehutanan
3 Luaran: 1. Hasil kajian dan
rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/lanskap perkotaan
2. Hasil kajian dan
rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/lanskap perkotaan
Dilaksanakannya penelitian tentang aspek kebijakan pengelolaan dan pengembangan hutan kota Dilaksanakannya penelitian : 1) Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/hutan kota, 2). Kajian jenis potensial untuk pengembangan hutan kota, 3) Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota
• Dokumen
sintesis, LHP, publikasi dan policy brief
• Dokumen
sintesis, LHP, publikasi ilmiah dan semipopuler, policy brief, buku mengenai jenis-jenis pohon untuk pengembangan hutan kota yang dilengkapi
• Sumberdaya
penelitian tercukupi.
• Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan dengan baik oleh para pelaksana
• Data sudah lengkap dan valid.
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 18-18
No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi daerah pantai dan daratan tertutup
dengan deskripsi, gambar dan lain-lain.
• Demplot model hutan kota yang dilengkapi dengan koleksi jenis-jenis pohon potensial kurang dikenal.
4 Kegiatan: 1.1 Kajian kebijakan
pengembangan dan pengelolaan hutan kota
2.1. Kajian peran
faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan
2.2. Kajian jenis
pohon potensial untuk pengembangan hutan kota
2.3. Kajian
pengembangan
• Penelitian dapat
memberikan informasi tentang status terkini IPTEK dan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengembangan ekosistem hutan di perkotaan
• Penelitian dapat
memberikan informasi untuk penyusunan kebijakan sosialisasi revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan
• Penelitian dapat
memberikan informasi kemampuan jenis-jenis pohon dalam menyerap dan menyerap polutan.
• Penelitian dapat
memberikan
• Dokumen hasil
penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian
• Bahan pembelajaran untuk pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan
• Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian
• Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian
• Dokumen hasil penelitian,
• Penelitian
berlangsung sesuai RPTP.
• Tidak ada kendala teknis.
• Koordinasi berlangsung secara baik.
RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 19-18
No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup
informasi dan persyaratan teknis pembangunan dan pengelolaan jenis-jenis pohon untuk kawasan perkotaan; taman, jalur ruang terbuka hijau, kawasan pemukiman, kawasan industri, bantaran sungai, kebun dan pekarangan.
• Penelitian dapat
memberikan informasi tentang potensi dan nilai ekologis ruang terbuka hijau di perkotaan, serta dapat menjawab permasalahan dalam mewujudkan Hutan Kota yang sesuai fungsinya.
publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 1-15
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010 – 2014 (REVISI)
EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI
DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI
1. Abstrak
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation, REDD+) merupakan suatu upaya untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Hal ini karena semua negara yang sudah meratifikasi kesepakatan kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim mempunyai kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan prinsip permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common but differentiated responsibilities). REDD+ ini merupakan mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Untuk mengetahui upaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim tanpa mengurangi tujuan pembangunan lokal dan nasional diperlukan dukungan penelitian yang integratif mencakup aspek sosial, ekonomi, kebijakan. Dukungan penelitian ini diperlukan mulai dari tahap persiapan, sampai tahap pelaksanaan untuk mencapai keberhasilan mekanisme REDD+. Beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis biaya manfaat dan lain-lain. Penelitian yang akan dilakukan ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait REDD+ yaitu, bagaimana: (i) meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan carbon, (ii) mempertahankan stok carbon, dan (iii) mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi. Analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut mencakup aspek kelembagaan dan kebijakan yang diperlukan, temasuk bagaimana melibatkan semua pihak dalam kesepakatan global termasuk masyarakat lokal dan adat, aspek ekonomi termasuk pendanaan dan pemasaran yang paling feasibel, analisis manfaat dan resiko, serta penanganan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan dan distribusi manfaat dan tanggung jawab di semua tingkat pelaksanaan. Pada akhir kegiatan diharapkan diperoleh rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD+ dalam bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai bahan pembelajaran REDD+. Kata Kunci : biaya, Emisi, karbon, kebijakan, kelembagaan, manfaat, REDD+, resiko,
sistem
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 2-15
2. Latar Belakang
Pengurangan Emisi dari Deforestasi1 dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from
Deforestation and Forest Degradation, REDD) merupakan suatu upaya untuk
mengatasi masalah perubahan iklim. Hal ini karena semua negara yang sudah
meratifikasi kesepakatan kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Perubahan Iklim (UNFCCC) mempunyai kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim
berdasarkan prinsip permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common
but differentiated responsibilities). Indonesia melalui UU No. 6/1994 telah mensahkan
konvensi UNFCCC ini.
Deforestasi dan degradasi hutan memberikan kontribusi terhadap emisi CO2.
Kontribusi deforestasi dan degradasi hutan terhadap emisi gas rumah kaca global
yaitu 18 %, (Stern, 2007), dan 75 persennya berasal dari negara berkembang. Stern
(2007) juga mengemukakan untuk menekan laju emisi global pada level 440-550 ppm
atau untuk menstabilkan kembali iklim global, apabila dilakukan saat ini diperlukan
biaya sebesar 1 sampai 3.5% GDP global2. Apabila upaya penekanan ini ditunda, biaya
dan resikonya akan lebih tinggi, bahkan dapat mencapai 5 - 20 % dari GDP global.
Karena itu Indonesia mempunyai peran yang penting untuk mengatasi dampak
perubahan iklim. Hal ini terutama karena luasnya hutan Indonesia dan pentingnya
penghindaran deforestasi dalam upaya mengurangi emisi CO2. Luas kawasan hutan di
Indonesia yang mencapai 120 juta ha atau sekitar 60 persen dari total luas Indonesia
mempunyai fungsi langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Selain
berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung, dan 5.4
persen angkatan kerja tidak langsung, hutan merupakan tulang punggung ekonomi
1Definisi deforestasi yang akan digunakan perlu disepakati. Menurut Keputusan 11/CP.7UNFCCC deforestasi didefinisikan sebagai konversi hutan menjadi bukan hutan sebagai akibat langsung dari aktivitas manusia. Di dalam submisi ke SBSTA 25 yang lalu, Indonesia mengajukan definisi “Deforestasi sebagai hilangnya hutan akibat aktivitas manusia yang meliputi konversi hutan menjadi penggunaan lain yang memiliki stok karbon yang lebih rendah, dan hilangnya hutan akibat dari proses degradasi yang berkelanjutan sebagai akibat dari kebakaran yang beruntun dan pemanenan kayu yang tidak berkelanjutan”. 2 1 % GDP global saat ini sekitar US $ 400 million.
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 3-15
nasional antara tahun 1980s – 1990s. Fungsi tidak langsung hutan adalah sebagai
sumber mega biodiversitas, pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan
tanah. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink
(penyerap/penyimpan carbon) maupun source (pengemisi carbon). Deforestasi dan
degradasi hutan meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan
pertanaman lainnya meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang terjadi di
kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi terutama konversi hutan untuk
penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, dan
prasarana wilayah, serta degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging,
kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), dan perambahan.
Ditambah dengan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan belasan ribu
pulau, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, baik dari sisi lingkungan,
sosial, ekonomi. Karena itu mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim adalah
masalah survival dan masalah pembangunan yang berkelanjutan. Dan perubahan iklim
merupakan salah satu kendala dalam upaya mencapai pembangunan kehutanan yang
berkelanjutan dan penanggulangan kemiskinan. Hal ini karena dari sisi suplai, pertama,
proporsi luas hutan di Indonesia, menyebabkan kehutanan merupakan sumber daya
strategis untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akibat kemungkinan
meningkatnya emisi GRK. Kedua, tinggi tingkat ketergantungan terhadap sektor
berbasis lahan seperti pertanian dan kehutanan, yang sensitif terhadap perubahan
iklim. Ketiga, relatif rendahnya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita yang
menjadikan kapasitas terbatas.
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 4-15
Secara lebih terinci pengurangan emisi kehutanan diarahkan pada:
a. Peningkatan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan carbon
(semua kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan),
b. Mempertahankan stok carbon (konservasi hutan dan Sustainable Forest
Management yang merupakan hasil dari Bali Plan di Conference of the Parties
(COP) 13 di Bali, yang dikenal dengan sebutan REDD+3),
c. Mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi: PHL, pencegahan illegal
logging, penanggulangan kebakaran, pencegahan konversi dan perambahan
Beberapa kegiatan yang berkaitan adalah rehabilitasi hutan dan lahan yang
terdegradasi dan mengelola hutan yang masih tersisa, mengelola kawasan
konservasi, kawasan lindung, dan hutan produksi alam, mencegah konversi dan
kebakaran hutan. Dengan dilakukan kegiatan ini berarti Indonesia sudah mengurangi
emisi CO2 dan meningkatkan resiliensi terhadap perubahan iklim. Rehabilitasi lahan
terdegradasi dan mengarahkan pengembangan hutan tanaman dan perkebunan ke
lahan-lahan tersebut, akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan
menyimpan carbon, dan pada akhirnya juga meningkatkan resiliensi terhadap
perubahan iklim. Disamping itu juga mempertahankan fungsi-fungsi lain seperti
konservasi sumberdaya genetik dan keaneka-ragamannya, perlindungan tata air, serta
fungsi sosial-ekonomi terutama bagi masyarakat yang menggantungkan sumber
penghidupannya dari hutan.
Karena itu, tekanan perubahan iklim memerlukan penetapan kebijakan dan strategi
yang dapat mengakomodasi semua pihak baik di tingkat lokal, nasional, regional
maupun global. Selain itu, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
akan memberikan revenue yang signifikan bagi Indonesia dalam mendukung
pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan. Potensi tersebut akan sangat ditentukan
oleh kesiapan dan kemampuan Indonesia melakukan: (i) Pemantauan perubahan
penutupan hutan dan cadangan stok karbon, dan (ii) Kesiapan perangkat peraturan
3 Dengan definisi ini artinya, kegiatan pengayaan hutan, penerapan sistem silvikultur dengan dampak tebang rendah (reduced impact logging), menkonservasi karbon di hutan konservasi dan lindung, dapat masuk ke dalam kategori kegiatan REDD plus.
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 5-15
dan kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan REDD baik secara horizontal maupun
vertikal.
3. Rumusan Masalah
Sebagai suatu mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif
positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan dan merupakan hasil kesepakan negara-negara yang tergabung dalam
kerangka konvensi UNFCCC, REDD mensyaratkan berbagai kesepakatan yang
dikeluarkan dalam setahun sekali dalam konferensi para pihak UNFCCC. Kesepakatan
ini diharapkan dapat diakomodasi oleh negara yang menginginkan mekanisme REDD
ini diterapkan. Untuk Indonesia, berdasarkan studi MoFor (2008), diperlukan lima pilar
penyangga kegiatan REDD yaitu: (i) Pembangunan Referensi Tingkat Emisi (Reference
Emission Level – REL )4, Penyiapan Strategi REDD Indonesia, (iii) Pembangunan
Monitoring Sistem, (iv) Mekanisme Pasar, dan (v) Mekanisme Distribusi Insentif dan
Tanggung Jawab.
Untuk mempersiapkan kelima pilar tersebut diperlukan upaya yang tidak sedikit, mulai
dari peningkatan kesadaran dan peningkatan kapasitas untuk para pihak terkait REDD,
konsultasi dan komunikasi stakeholders, peningkatan akses terhadap data, informasi,
dan teknologi; penyiapan regulasi dan identifikasi dan pelibatan instansi penanggung
jawab dan pihak-pihak yang menangani atau terkait pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi.
Untuk menjawab masalah tersebut, diperlukan dukungan penelitian yang integratif,
yang mencakup aspek sosial, ekonomi, kebijakan. Penelitian yang akan dilakukan
ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait REDD+ yaitu, bagaimana: (i)
meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon, (ii)
4 Emisi referensi merupakan tingkat emisi yang akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar tingkat penurunan emisi yang berhasil dilakukan dari pencegahan kegiatan konversi dan kerusakan hutan yang akan dijadikan basis besarnya kompensasi yang akan diberikan. Penentuan emisi referensi masih akan dinegosiasikan di COP13 di Bali, diantaranya dengan mengikuti pola emisi historis, dengan membuat model pendugaan emisi ke depan dan dengan menggunakan besar emisi atau stok karbon sebelum atau menjelang kegiatan REDD dilaksanakan (MoFor, 2008).
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 6-15
mempertahankan stok karbon, dan (iii) mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi. Analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut mencakup aspek
kelembagaan dan kebijakan yang diperlukan, temasuk bagaimana melibatkan semua
pihak dalam kesepakatan global termasuk masyarakat lokal dan adat, aspek ekonomi
termasuk pendanaan dan pemasaran yang paling feasibel, analisis manfaat dan resiko,
serta penanganan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan dan distribusi manfaat dan
tanggung jawab di semua tingkat pelaksanaan.
4. Hipotesis
Hipotesis yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Peningkatan kapasitas hutan dalam pengurangan emisi merupakan upaya
strategis untuk mitigasi GRK.
2. Faktor tingginya tingkat ketergantungan terhadap sektor berbasis lahan seperti
Pertanian, Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi dan Depdagri,
memerlukan penangan harmonisasi kebijakan, regulasi, institusional dan teknis
bersama.
3. Kondisi sosial dan ekonomi lokal, nasional, dan internasional berpengaruh pada
perumusan kebijakan dan kelembagaan untuk strategi pengurangan emisi
mitigasi kehutanan.
5. Tujuan dan Sasaran
Tujuan umum penelitian ini adalah menyediakan IPTEK sosek dan kebijakan
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan. Tujuan penelitian secara
khusus adalah:
1. Mengidentifikasi dan merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim kehutanan
dengan melakukan analisis terhadap:
a. Distribusi insentif dan peran dalam REDD+
b. Tata kelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD+
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 7-15
c. Pasar
d. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi)
e. Resiko
f. Colateral Benefit
g. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat/ parapihak
2. Menghasilkan rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dalam
bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai
bahan pembelajaran REDD+.
Sasaran penelitian ini adalah :
1) Tersedianya informasi pengetahuan dan teknis sosial ekonomi
a. Distribusi insentif dan tanggung jawab
b. Tatakelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD+
c. Pasar
d. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi)
e. Resiko
f. Colateral Benefit
g. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat/ parapihak
2) Tersedianya rekomendasi strategis iptek sosek dan kebijakan dalam
mendukung implementsi REDD+
6. Luaran
a. Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim
b. Rekomendasi kebijakan strategi REDD+
7. Ruang Lingkup
Penelitian ini didasarkan pada Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
2010-2025 dan infrastruktur yang diperlukan dalam persiapan REDD sebagaimana
dilihat dalam Gambar 1. Fokus dari penelitian ini sesuai dengan temanya difokuskan
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 8-15
pada infrastruktur 2, 4 dan 5, yaitu strategi, pasar dan pendistribusian tanggungjawab
dan insentif dari REDD. Dengan coverage dari kegiatan ini nasional dan sub nasional.
CO2 $Reference
Emission Level Strategy Monitoring Market/Funding
Distribution
1 2 3 4 5
WG-FCCREDDI Guideline REDDI Committee
Historical emission/future scenario
• Forest cover and carbon stock changes,
• National registry
National approach,sub-nationalimplementation
Attractiveness,Source of fund
Awareness raisingCapacity buildingAccess to dataAccess to technologyStakeholders communication
Rekomendasi IFCA 2007 : Strategi REDD di 5 tipe landscapes : Hutan Produksi, Hutan Konservasi, HTI, Peat land, Pengembangankelapa sawit (terkait perubahanpenggunaan lahan)
Responsibilities and benefits
Gambar 1. Infrastruktur yang Diperlukan REDD (MoF, 2008)
8. Metodologi
8.1. Kerangka Pikir Riset
Riset ini akan lebih memfokuskan pada bagaimana fungsi hutan sebagai pengemisi
karbon dapat dihindari, beserta mekanisme pendanaan dan metodologi yang telah
diakui secara internasional, baik voluntary maupun compliance (REDD).
Kerangka pikir riset dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar terlihat bahwa aspek
yang akan dilihat adalah: (i) aspek sosial dan budaya, (ii) ekonomi dan (iii) kelembagaan
dan kebijakan, serta (iii) metodologi, monitoring dan pelaporan. Aspek sosial dan
budaya akan meliputi tenurial, resiko sosial, masyarakat adat dan peningkatan
kapasitas parapihak umumnya. Untuk aspek ekonomi mencakup Distribusi insentif dan
peran dalam REDD+. Untuk aspek ekonomi mencakup tatakelola, kelembagaan dan
kebijakan REDD+, Pasar Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 9-15
Transaksi), Resiko dan colateral benefit. Untuk kelembagaan dan kebijakan meliputi
penelitian kesiapan kelembagaan, termasuk regulasi dan kelembagaan.
Problem 2Rehabilitasi, Deforestasi,
Degradasi hutan
Problem 1Pemanasan Global
Sink/Removal
Source/EmisiHutan
REDDVolunCDM
Pengguna
Kebijakan,
Kelm
bagaandan
Institusi
Funds
Gambar 2. Kerangka Pikir Riset Integratif
8.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi:
1. Desk study dalam upaya mencari riset status dan sinkronisasi penelitian yanga
telah dan sedang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian seperti CIFOR,
ICRAF, universitas, dan lembaga penelitian lainnya.
2. Survei dalam rangka pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif di tingkat
sub nasional di daerah dan nasional di pusat. Di daerah (dinas kehutanan
provinsi dan kebupaten/kota), Swasta, BUMN, serta masyarakat dan kalangan
LSM, dalam rangka validasi dan pengkayaan hasil desk study.
3. Wawancara (konsultasi) dengan pakar yang terkait dari lembaga penelitian dan
universitas.
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 10-15
8.3. Metode Analisis
Beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan
memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan,
analisis sistem, analisis biaya manfaat dan lain-lain. Secara umum analisis yang
digunakan tertera dalam Gambar 3.
SIMPANAN DAN EMISI KARBON
KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN
REDDI DAN MEKANISME PERDAGANGAN
PENDEKATAN KUANTITATIFModeling, Simulasi, Kuantitatifanalysis, Economic analysis, Analisis biaya
PENDEKATAN KUANTITATIF DAN KUALITATIFMatrix, AHP, PRA, IPCC guideline
PENDEKATAN EMPIRIS Uji konsistensi, Gap
Analisis, Skoring
Gambar 3. Metode Analisis Penelitian
Secara khusus, metode analisis akan diperjelas dalam masing-masing Rencana
Penelitian Tim Peneliti (RPTP).
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 11-15
9. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya
Instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian RPI Ekonomi dan
Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi tersaji pada tabel 1.
Tabel 1. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian
Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)
2010 2011 2012 2013 2014
Program 7 Perubahan Iklim
16 Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
16.1 Luaran 1 : Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim
16.1.1 Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD+
16.1.1.4 PUSPIJAK 150 100
16.1.2 Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD+
16.1.2.4 PUSPIJAK 200 200
16.1.2.6 BBPD Samarinda 100 100
16.1.2.8 BPTSTH Kuok 100 100
16.1.2.12 BPTP DAS Solo 100
16.1.3 Analisis Sosial budaya REDD+
16.1.3.4 PUSPIJAK 150 200 100
16.1.3.6 BBPD Samarinda 100 100
16.1.3.19 BPK Manokwari 100 100
16.1.3.18 BPK Makassar 100 100
16.2 Luaran 2. Rekomendasi kebijakan strategi REDD+
16.2.1 Kajian Tatakelola REDD+
16.2.1.4 PUSPIJAK 200 200
16.2.1.18 BPK Makassar 100
16.2.1.19 BPK Manokwari 100
16.2.2 Analisis Pasar dan Pendanaan REDD+
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 12-15
Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)
2010 2011 2012 2013 2014
16.2.2.4 PUSPIJAK 200 200 200
16.2.3 Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD+
16.2.3.4 PUSPIJAK 150 200 200
16.2.3.6 BBPD Samarinda 100 100 100
16.2.3.11 BPTA Ciamis 100
16.2.3.13 BPT HHBK Mataram 100 100
TOTAL ANGGARAN 550 1900 1600 500
10. Organisasi
RPI ini berada dibawah koordinasi Puspijak, dengan koordinator Dr. Kirsfianti L Ginoga.
Dalam Pelaksanaannya akan melibatkan UPT lingkup Badan Litbang Kehutanan seperti
BBPD Samarinda, BPK Manokwari, serta instansi terkait lainnya.
11. Daftar Pustaka
Boer, R. 2007. Presentasi pembukaan pada Workshop Nasional IFCA. Jakarta. November 2007.
Chomitz, K.M. 2006. Policies for national-level avoided deforestation programs: a
proposal for discussion. Background paper for Policy Research Report on Tropical Deforestation
Geoffrey Heal, G. and Kevin Conrad. 2005. A solution to climate change in the world’s
rainforests Financial Times. http://www.typepad.com/t/trackback/3762041. Indonesia Forestry Climate Alliance (IFCA). 2007. Laporan konsolidasi Penurunan emisi
gas rumah kaca dari pencegahan konversi dan degradasi hutan (REDD). Departemen Kehutanan. Jakarta
IPCC. 2000. Land use, Land-use change, and Forestry-Intergovernmental Panel on
Climate Change Special Report (eds. Watson R.T., Noble I.R., Bolin B., Ravindranath N.H., Verardo D.J., Dokken D.J.) Cambridge University Press,
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 13-15
IPCC. 2001. Summary for Policy Makers. In Climate Change 2001: Mitigation
Contribution of Working Group III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge University Press: Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the
National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.IPCC
Kremen, C., J. O. Niles, M. G. Dalton, G. C. Daily, P. R. Ehrlich, J. P. Fay, D. Grewal, R. P.
Guillery. 2000. Economic Incentives for Rain Forest Conservation Across Scales. Science. June 2000 Vol 288. www.sciencemag.org.
Moutinho, P. dan Stephan Schwartzman. 2005. Tropical Deforestation and Climate
Change. IPAM - Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia ; Washington DC - USA
Stern, N. 2007. Stern Review: The Economics of Climate Change. Murdiyarso, D, dan Hetty Herawati. 2005. Carbon Forestry: Who Will Benefit?. CIFOR.
Bogor. Moutinho, Paulo, and Stephan Schwartzman. 2005. Tropical deforestation and climate
change edited by. -- Belém - Pará - Brazil : IPAM - Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia ; Washington DC - USA : Environmental Defense.
Niles, J. O., S. Brown, J. Pretty, A.Ball, J. Fay. 2001. Potential Carbon Mitigation
and Income in Developing Countries from Changes in Use and Management of Agricultural and Forest Lands. Centre for Environment and Society Occasional Paper 2001-04, University of Essex. UK.
Niles, J.O., S. Brown, J. Pretty, A.S. Ball, and J. Fay. 2002. Potential carbon mitigation
and income in developing countries from changes in use and management of agricultural and forest lands. Phil.Trans.R.Soc.Land. The Royal Society.
Philibert, Cédric. 2005. Approaches For Future International Co-Operation. Organisation
for Economic Co-operation and Development International Energy Agency. Organisation de Coopération et de Développement Economiques Agence internationale de l'énergie. Paris.
Santilli, Ma’rcio, Paulo Moutinho, Stephan Schwartzman, Daniel Nepstad, Lisa Curran
and Carlos Nobre. 2005. Tropical Deforestation and the Kyoto Protocol An editorial essay. Climatic Change (2005) 71: 267–276.
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 14-15
Santilli, M. P. Moutinho, S. Schwartzman, D. Nepstad, L. Curran, and C. Nobre. 2005. Tropical deforestation and the Kyoto Protocol. Climate Change (2005) 71:267-276.
Schlamadinger, B. N. Bird, S. Brown, J. Canadell, B. Clabbers, M. Dutschke,J. Fiedler, A.
Fischlin, P. Fearnside, C. Forner, A. Freibauer, P. Frumhoff, N. Hoehne, T. Johns, M. Kirschbaum, A. Labat, G. Marland, A. Michaelowa, L. Montanarella, P. Moutinho, D. Murdiyarso, N. Pena, K. Pingoud, Z. Rakonczay, E. Rametsteiner, J. Rock, M.J.Sanz, U. Schneider, A. Shvidenko, M. Skutch, P. Smith, Z. Somogyi, E. Trines, M. Ward, Y. Yamagata. 2005. Options for including LULUCF activities in a post-2012 international climate agreement. Final Draft for publication in Special Issue of Environment Science and Policy. 2005.
Schlamadinger, B. N., L. Ciccarese, M. Dutschke, P. M. Fearnside, S. Brown, D.
Murdiyarso. 2005. Should we include avoidance of deforestation in the international response to climate change? CIFOR. Bogor.
Stiglitz, J. E. 2005. Global Green Trade. Http://www.typepad.com/ 12. Kerangka Kerja Logis
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 15-15
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI
TUJUAN: Umum: Menyediakan IPTEK sosek dan kebijakan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan Khusus : 1. Mengidentifikasi dan
merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim kehutanan
2. Menghasilkan rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dalam bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai bahan pembelajaran REDD+
Dihasilkannya rekomendasi -rekomendasi tentang
a) Distribusi Insentif dan Tanggung Jawab REDD
b) Rumusan Tata kelola c) Rekomendasi Kebijakan
dan Kelembagaan REDD+ d) Potensi dan Peluang Pasar
dan Pendanaan karbon e) Kelayakan, Biaya (Resiko)
dan Manfaat (Colateral Benefit) Kegiatan REDD+
f) Peranan Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat dan parapihak dalam kegiatan REDD+
Dokumen mengenai rekomendasi implementasi kegiatan REDD+, yang dikemas dalam síntesis formulasi hasil penelitian, Laporan, Jurnal dan Policy Brief
SDM dan sumberdaya lain mendukung
SASARAN
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 16-15
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI
1 Tersedianya Informasi pengetahuan dan teknis sosial ekonomi, yang meliputi aspek a) Distribusi Insentif
dan tanggung jawab
b) Tata kelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD+
c) Pasar dan Pendanaan
d) Analisis kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi)
e) Resiko f) Colateral Benefit g) Tenurial, Resiko
Sosial, masyarakat adat, parapihak
Telah dilakukannya penelitian terkait dengan: a. Distribusi Insentif dan
tanggung jawab b. Tatakelola, Kelembagaan
dan Kebijakan REDD+ c. Pasar dan Pendanaan d. Analisis Kelayakan, Analisis
Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi)
e. Resiko f. Colateral Benefit g. Tenurial, Resiko Sosial,
masyarakat adat, parapihak
Sintesis hasil penelitian terkait IPTEK Sosek Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim
SDM dan sumberdaya lain mendukung
2 Tersedianya rekomendasi strategis iptek sosek dan kebijakan dalam mendukung implementasi REDD+
Tersedianya rekomendasi strategis Iptek Sosek dan Kebijakan REDD+
Tersediannya Laporan, Publikasi Ilmiah dan Policy Brief
SDM dan sumberdaya lain mendukung
LUARAN: 1 Informasi iptek sosek
mitigasi perubahan iklim
1. Dilaksanakannya penelitiannya (i) Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD+, (ii) Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD+, dan (iii) Analisis Sosial budaya REDD+
5 ( lima) publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, dan naskah akademis
SDM dan sumberdaya lain mendukung
2 Rekomendasi kebijakan strategi REDD+
2. Dilaksanakannya penelitian (i) Kajian Tatakelola REDD+, (ii) Analisis Pasar dan Pendanaan REDD+, dan (iii) Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD+
5 (lima) publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, dan naskah akademis
SDM dan sumberdaya lain mendukung
KEGIATAN:
RPI Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 17-15
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI
1.1 Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD+
1.2 Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD+
1.3 Analisis Sosial budaya REDD+
2.1 Kajian Tatakelola REDD+
2.2 Analisis Pasar dan Pendanaan REDD+
2.3 Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD+
Penelitian berhasil menghasilkan formulasi peran, tanggungjawab dan insentif parapihak terkait REDD+
Dokumen hasil penelitian, laporan, Publikasi
SDM dan sumberdaya lain mendukung
RPI Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan 1-19
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 (REVISI) PENGEMBANGAN PERHITUNGAN EMISI GRK KEHUTANAN (INVENTORY)
1. Abstrak Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor LULUCF (land use, land use change and forestry) adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Di tingkat global, kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di tingkat nasional mencapai 74 %. Indonesia penting untuk menerapkan metode inventarisasi gas rumah kaca dengan hasil inventarisasi yang lebih akurat dan terpercaya sehingga diakui oleh internasional. Hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), perlu untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance) termasuk mekanisme REDD. Kajian mengenai kondisi terkini metode perhitungan emisi perlu dilakukan sebagai informasi guna mengembangkan sistem perhitungan GRK di Indonesia. Tingkat kerincian (Tier) yang lebih tinggi (Tier 2 atau 3) untuk activiy data dan emission factor diperlukan guna memperoleh hasil perhitungan emisi yang akurat. Untuk kepentingan inventarisasi gas rumah kaca, berbagai metode inventarisasi telah dikembangkan. Diantaranya IPCC (International Panel on Climate Change) telah mengembangkan metode yang telah diaplikasikan secara luas oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC. Aplikasi metode IPCC Guideline memerlukan data dan informasi yang lebih komprehensif mencakup tidak hanya sektor kehutanan tapi juga sektor pertanian. Penelitian dalam RPI mencakup kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan, penelitian untuk memperbaiki activity data dan faktor emisi/serapan lokal untuk berbagai tipe hutan atau penggunaaan lahan, serta pengaplikasian IPCC GL untuk perhitungan emisi. Hal ini guna memperbaiki sistem inventarisasi GRK khususnya kehutanan yang MRV untuk berbagai keperluan dimasa yang akan datang. Kata Kunci : inventarisasi gas rumah kaca, IPCC Guideline, sektor LULUCF 2. Latar Belakang Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca. Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Laporan Stern (2007) menyebutkan kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di Indonesia First
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 2-19
National Communication melaporkan LULUCF sebesar 74 %. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer ke biosfir daratan terjadi di hutan. Status dan pengelolaan hutan akan sangat menetukan apakah suatu wilayah daratan sebagai penyerap karbon (net sink) atau pengemisi karbon (source of emission). Di Indonesia estimasi penghitungan emisi tahun 1990-an menunjukkan hasil yang sangat bervariasi yaitu antara 41 - 163 juta ton, dengan serapan karbon antara 187 - 337 juta ton (Boer et al., 1999). Variasi ini disebabkan oleh perbedaan activity data (misalnya luas hutan, luas grassland, konversi dan penggunaan lahan lainnya), konsumsi kayu, faktor emisi, metode pengukuran serta asumsi yang digunakan dalam analisis. Untuk kepentingan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) kehutanan diperlukan data yang akurat dan metode yang diakui internasional untuk melaporkan perkembangannya. Hal ini untuk mendukung tercapainya hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance). 3. Rumusan Masalah Kontribusi sektor kehutanan dalam emisi GRK cukup besar. Berbagai laporan menyebutkan, tanpa kontribusi sektor LULUCF Indonesia ada diperingkat 15 dunia sedangkan dengan LULUCF indonesia adalah negara pengemisi terbesar ke 3 di dunia sebagaimana terlihat pada tabel berikut.
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 3-19
Tabel 1. Negara-negara pengemisi GRK, tanpa LULUCF (Baumertz et al, 2005)
Tabel 2. Negara pengemisi GRK terbesar di dunia (Juta Ton CO2 e) (Peace, 2007)
Untuk memberikan informasi besarnya emisi dan serapan dari sektor LULUCF di Indonesia, diperlukan data yang valid, terutama dari segi metode, asumsi dan waktu. Karena itu inventarisasi dan pelaporan perubahan emisi dengan menggunakan metode yang secara internasional sudah terakreditasi perlu untuk dilakukan, sebagai salah satu kewajiban negara-negara yang meratifikasi konvesi perubahan iklim – United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC. Untuk negara Non-Annex 1 dapat menggunakan revised IPCC 1996 guideline sementara itu negara maju yang masuk dalam negara Annex 1 sejak tahun 2005 wajib menggunakan metode dalam LULUCF
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 4-19
GPG 2003. Meskipun demikian, negara non-Annex 1 disarankan agar juga menggunakan LULUCF-Good Practice Guidance (GPG) 2003 atau 2006 IPCC Guide Line (GL). Perhitungan emisi GRK kehutanan termasuk aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertanity) dan konsisten dalam pembagian kategori lahan. Hasil perhitungan emisi akan menghasilkan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stock karbon (carbon pool) yang relevan, serta non CO2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Sampai saat ini Indonesia belum memiliki institusi khusus yang melakukan inventarisasi dan monitoring GRK. Hal ini menimbulkan permasalahan yaitu kurangnya ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi/serapan lokal (emission/removal factors) untuk seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait, yang sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi. 4. Hipotesis Peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang perhitungan emisi GRK sektor kehutanan dan penggunaan faktor emisi atau serapan lokal akan meningkatkan kualitas hasil perhitungan emisi GRK sektor kehutanan (peningkatan dari Tier 1 menjadi Tier 2 atau 3). 5. Tujuan dan Sasaran Tujuan RPI ini adalah menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan. Sedangkan, sasaran yang akan dicapai adalah : 1. Diketahuinya informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan yang meliputi
metode inventarisasi, institusi dan data kegiatan, faktor emisi atau serapan, pengurangan emisi dari substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas serta sistem monitoring dan pelaporan serta kontribusi sektor kehutanan di Indonesia dalam target penurunan emisi sebesar 26%.
2. Diketahuinya faktor serapan dan emisi lokal untuk berbagai jenis vegetasi atau hutan
3. Diaplikasikannya metode IPCC GL untuk penghitungan emisi GRK kehutanan, serta metode penghitungan Reference Emission Level (REL).
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 5-19
Diharapkan para pihak yang nantinya berkepentingan dalam pelaksanaan perhitungan perubahan emisi dapat melakukannya dengan lebih mudah, dan memberikan hasil yang baik. Aplikasi dari penghitungan emisi menggunakan IPCC GL juga merupakan alat untuk menentukan REL atau referensi emisi (baseline), yang merupakan salah satu infrastruktur yang diperlukan untuk kesiapan pelaksanaan mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di Indonesia (REDDI). Untuk menetapkan REL ini diperlukan metode yang terukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi (MRV- measurable, reportable, verifiable), serta telah diakui secara internasional. 6. Luaran Penelitian ini akan menghasilkan luaran : 1. Rekomendasi hasil kajian inventarisasi GRK kehutanan 2. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi atau serapan GRK
kehutanan (hutan alam dan tanaman) 3. Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC GL 2006) dan
metode penentuan REL
7. Ruang Lingkup Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai pengemisi karbon (emitter) dan penyerap karbon (sinker), sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 6-19
Gambar 1. Sumber emisi dan serapan GRK untuk sektor Agriculture, Forestry and
Land Use (AFOLU) (Sumber: IPCC 2006) Selain CO2, sektor AFOLU juga mengemisi GRK lainnya seperti N2O dan CH4. Gas-gas ini memiliki potensi pemanasan global (GWP) yang lebih besar dibandingkan dengan CO2. Tabel 3 menunjukkan jenis gas rumah kaca dan besarnya potensi gas tersebut terhadap pemanasan global. Tabel 3. Komponen GRK dan potensinya terhadap pemanasan global
Komponen GRK Potensi Pemanasan Global (GWP)
Carbon Dioxide, CO2 1
Methane, CH4 23
Nitrous Oxide, N2O 296
Hydrofluorocarbons, HFC 120 – 12.000
Perfluorocarbons, PFC 5.700 – 11.900
Sulfur Hexafluoride 22.200 Sumber : IPCC Third Assessment Report (2001)
Dalam inventarisasi GRK, metode yang telah disepakati dan digunakan oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC adalah metode IPCC GL 2006. Metode ini memberikan tahapan dan langkah yang diperlukan untuk pengukuran, pemantauan dan pelaporan perubahan emisi. Komponen penting dalam inventarisasi GRK adalah data kegiatan (activity data) dan faktor emisi atau serapan (emission factor). Activity data merupakan kuantifikasi perubahan luas areal untuk setiap kategori emisi atau serapan. Sedangkan faktor emisi/serapan adalah kemampuan untuk mengemisi atau menyerap GRK dari suatu unit/kategori lahan yang dikonversi (misalnya dalam ton CO2/biomas per ha per tahun). Masing-masing activity data dan emission factor memiliki tingkat kerincian (Tier). Tingkat kerincian atau Tiers yang digunakan tertera pada Tabel 1. Terdapat tiga pilihan kerincian, yaitu Tier 1, 2 dan 3. Penelitian ini bertujuan agar terjadi peningkatan kerincian dalam inventarisasi GRK kehutanan (tidak lagi menggunakan Tier 1 untuk mendukung sistem pelaporan yang baik serta skema perdagangan karbon lainnya termasuk pasar sukarela dan mekanisme REDD). Tabel 4. Pilihan Pendekatan dan Tiers.
Pendekatan untuk menentukan perubahan luas areal (Activity Data)
Tingkat kerincian faktor emisi (Emission Factor) (Tier): perubahan cadangan karbon
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 7-19
Dengan demikian lingkup penelitian ini adalah terkait inventarisasi GRK kehutanan yaitu penyediaan data dan informasi, serta menyajikan proses dan pilihan perhitungan emisi yang meliputi 5 carbon pools, jenis GRK dan tingkat kerincian (Tier) untuk berbagai kategori penutupan lahan.
1. Pendekatan Non-spasial : dari data statistik negara/global (mis FAO )—memberikan gambaran umum perubahan luas hutan
Tier 1 (basic). Memakai data yang diberikan oleh IPCC (data default values) pada skala global
2. Berdasarkan peta, hasil survey dan data statistik nasional/lokal
Tier 2 (intermediate). Data spesifik dari tiap negara (nasional/lokal) untuk beberapa jenis hutan yang dominan atau yang utama
3. Data spatial dari interpretasi penginderaan jauh dengan resolusi tinggi
Tier 3 (most demanding). Data cadangan karbon dari Inventarisasi Nasional, yang diukur secara berkala atau dengan modelling
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 8-19
8. Metodologi STRATEGI PENELITIAN INVENTARISASI GRK KEHUTANAN
Penelitian Inventarisasi
GRK Kehutanan
Kajian inventarisasi GRK kehutanan
Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman)
Aplikasi Perhitungan emisi GRK
1. Kajian metode inventarisasi
2. Kajian faktor emisi dan serapan
3. Kajian penurunan emisi 26 %
1. Hutan alam gambut 2. Hutan alam mineral 3. Hutan tanaman
gambut 4. Hutan tanaman
mineral
1. Metode IPCC untuk lokasi Sumatera
2. Metode REL
Informasi Ilmiah
Template dan Rekomendasi Inventarisasi
GRK Kehutanan
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 9-19
8.1. Kajian Inventarisasi GRK 8.1.1. Kajian Metode Inventarisasi GRK Kehutanan Kajian ini meliputi berbagai metode yang telah dikembangan untuk menghitung besarnya emisi di sektor LULUCF. Metode yang paling banyak dipakai adalah metode inventarisasi GRK yang dikembangkan oleh IPCC. IPCC telah mengembangkan metode inventasisasi GRK sejak tahun 1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance 2003 dan IPCC Guideline 2006. Dalam IPCC GL 1996, kategori LUCF terdiri dari (1) Changes in forest and other woody biomass stocks (2) Forest and grassland conversion (3) Abandonment of croplands, pastures, plantation forests or other managed lands (4) CO2 emissions and removals from soils dan (5) Others. IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan terakhir IPCC GL 2006. Aplikasi IPCC GL 2006 akan menghasilkan inventarisasi yang lebih baik, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertainty), konsistensi pembagian kategori lahan, estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stok karbon (carbon pool) yang relevan serta non CO2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Hal ini berimplikasi kepada penyediaan data untuk activity data dan faktor emisi terhadap seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait. LULUCF IPCC GPG 2006, membagi kategori lahan dalam 6 kategori yaitu: (1) Forest land, (2) Grassland, (3) Cropland, (4) Wetland, (5) Settlement, and (6) Other land. Setiap kategori tersebut memiliki potensi GRK masing-masing tergantung dari kegiatan yang terjadi pada masing-masing penggunaan lahan. Metode lain diantaranya adalah National Carbon Accounting System yang dikembangkan oleh Australia dan saat ini sedang dicoba untuk disesuaikan dan diadopsi oleh Indonesia menjadi Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS).University of Colorado juga mengembangkan software untuk menghitung emisi gas rumah kaca khususnya sektor Agriculture and Landuse (ALU) software. Software ini pada dasarnya untuk mendukung sistem inventarisasi GRK dengan metode IPCC. Hasil dari penggunaan program ini akan sama dengan IPCC GL. Sistem lain diantaranya adalah yang dikembangkan oleh World Resource Institute (WRI) yang dikenal dengan CAIT program. Sementara itu di TN Lore Lindu telah dipasang alat untuk memonitor CO2, alat ini perlu dipelajari/dianalisis untuk kemungkinan pengembangan di wilayah lain dan dapat memberikan kontribusi terhadap sistem perhitungan GRK. Kajian metode inventarisasi GRK kehutanan juga akan mencakup kegiatan penelitian :
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 10-19
a. Kajian Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) Dalam kegiatan inventarisasi GRK, faktor yang sangat menentukan besarnya GRK adalah luas perubahan lahan yang terjadi selama periode waktu tertentu. Untuk menghasilkan data besarnya perubahan penggunaan lahan diperlukan informasi dari hasil citra satelit. Institusi yang bertanggung jawab dalam penyediaan data perubahan penutupan lahan di Indonesia untuk sektor kehutanan adalah Ditjen Planologi. Kegiatan ini akan mengkaji sistem yang ada dan akan dikembangkan oleh Ditjen Planologi termasuk Teknologi Remote Sensing dan jenis satelit atau images yang digunakan. Sampai saat ini sistem pembagian kategori penutupan lahan yang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan (Ditjen Planologi) adalah 23 kategori. Kategori ini apabila dihubungkan dengan kategori lahan menurut IPCC adalah sebagaimana tersaji pada tabel 5. Tabel 5. Kategori penutupan lahan menurut IPCC dan kategori penutupan
lahan/hutan di Indonesia Kategori
IPCC 2006 Kategori Hutan
1. FL Hutan Lahan Kering Primer (UD) 2. FL Hutan Rawa Primer (UD) 3. FL Hutan Mangrove Primer (UD) 4. FL Hutan Lahan Kering Sekunder (D) 5. FL Hutan Rawa Sekunder (D) 6. FL Hutan Mangrove Sekunder (D) 7. FL Hutan Tanaman 8. Area Penggunaan Lain (APL) 9. GL Belukar 10. WL Belukar rawa 11. OL Tanah terbuka 12. WL Rawa 13. CL Pertanian 14. CL Pertanian campur semak 15. CL Transmigrasi 16. S Permukiman 17. GL Padang rumput 18. CL Sawah 19. CL Perkebunan 20. OL Tambak 21. OL Bandara 22. - Air 23. - Awan
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 11-19
b. Kajian pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi biomas sebagai pengganti energi fosil
Emisi GRK banyak dihasilkan dari penggunaan energi fosil yang tidak terbarukan. Salah satu kontribusi sektor kehutanan dalam rangka penurunan emisi GRK adalah substitusi penggunaan energi fosil menjadi energi yang berasal dari biomas. Mekanisme ini telah disepakati internasional dalam bentuk Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM). Kajian akan difokuskan pada potensi, peluang, tantangan dan hambatan dalam pemanfaatan dan pengembangan energi biomas untuk menggantikan energi fosil. c. Kajian sistem monitoring dan pelaporan Hasil dari penghitungan emisi dan serapan GRK disajikan dalam tabel yang merupakan format umum dalam pelaporan hasil inventarisasi GRK. Untuk mengisi tabel 6 (enam) tersebut yang merupakan ringkasan dari hasil perhitungan inventarisasi gas rumah kaca, IPCC telah mengembangkan tabel-tabel dalam format Microsoft Excel. Pengisian data ke dalam tabel excel memerlukan informasi yang rinci mencakup data kegiatan (Activity Data), misalnya perubahan lahan dan luas hutan yang tetap sebagai hutan, luas tanaman pertanian, luas padang rumput dan sebagainya. Selain itu diperlukan informasi mencakup faktor emisi atau removal yang lokal spesifik seperti data pertumbuhan (Mean Annual Increment - MAI) untuk berbagai jenis hutan atau tanaman.
Tabel 6. Format pelaporan umum hasil inventarisasi GRK sektor LULUCF Sumber GRK dan kategori serapan
Net Emisi / Serapan CO2
CH4 N2O NOx CO
(Gg) Kategori penggunaan lahan total
A. Lahan hutan A.1. FL sisa FL A.2. Konversi lahan ke FL B. Lahan pertanian B.1. CL tetap CL B.2. Konversi lahan ke CL C. Lahan rumput C.1. GL tetap GL C.2. Konversi lahan ke GL
D. Lahan basah D.1. WL tetap WL D.2. Konversi lahan ke
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 12-19
WL E. Pemukiman E.1. Set. tetap Set. E.2. Konversi lahan ke Set.
F. Lahan lain F.1. OL. tetap OL. F.2. Konversi lahan ke OL.
G. Lainnya (specify) Pembakaran biomas Pemberian kapur
8.1.2. Kajian Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan Dalam rangka inventarisasi GRK kehutanan, selain activity data informasi yang diperlukan adalah faktor emisi dan serapan. Faktor emisi dan serapan untuk kehutanan merupakan kemampuan jenis vegetasi atau hutan untuk tumbuh (mean annual increment/MAI) atau potensi biomas (stok) dari tipe hutan tertentu. Banyak tipe hutan di indonesia yang dibagi menurut fungsinya (hutan lindung, hutan produksi atau hutan konservasi), menurut ketinggian dari permukaan laut (hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan), menurut iklim (hutan hujan, hutan musim), menurut jenis tanah (hutan gambut, hutan pada tanah mineral), hutan alam, hutan tanaman, dan sebagainya. Untuk menghitung emisi dan serapan dari setiap perubahan kondisi atau jenis tutupan hutan perlu didukung oleh informasi luas perubahan tutupan (activity data) dan faktor emisi atau serapan. Berbagai studi telah dilakukan di Indonesia untuk mendapatkan faktor emisi dan serapan. Selain itu IPCC juga telah menyediakan angka default untuk jenis hutan, pada kondisi iklim dan tanah tertentu. Penggunaan faktor emisi dan serapan lokal akan meningkatkan kerincian (Tier) sedangkan penggunaan angka default merupakan tingkat kerincian yang paling rendah (Tier 1). Kajian ini akan dilakukan dengan mengumpulkan hasil berbagai studi menyangkut pertumbuhan dan stok karbon pada berbagai tipe penutupan lahan/hutan. Kajian juga akan mengumpulkan hasil inventarisasi atau studi tentang biomas yang dilakukan oleh Ditjen Planologi melalui petak permanen dari kegiatan National Forest Inventory (NFI), kelti Biometrika pada Pusat Litbang Peningkatan Produktifitas Hutan dan Pusat Litbang Konservasi dan Rhabilitasi dari perkembangan penyusunan
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 13-19
NCASI (National Carbon Accounting System Indonesia) dari hasil kerjasama Indonesia dengan Australia. Informasi juga dikumpulkan untuk mengetahui 5 carbon pools yaitu biomas diatas tanah (above ground biomass/AGB), biomas dibawah tanah (below ground biomass /BGB), kayu-kayu mati (dead organic matter), serasah (litter), dan tanah serta pool yang keenam yaitu penebangan kayu. Selain dari perubahan penutupan lahan, emisi GRK kehutanan juga berasal dari kegiatan pemupukan (pemberian kapur) dan kebakaran. Kedua sumber emisi ini menghasilkan GRK lain selain CO2 yaitu CO, CH4, N2O, dan NOx 8.1.3. Kajian kontribusi sektor kehutanan dalam target penuruan emisi 26% Kajian kontribusi sektor kehutanan dalam target penuruan emisi dilakukan dengan menganalisa trend emisi yang telah lalu sebagai basis terhadap estimasi perhitungan sampai tahun 2020. Data yang dapat digunakan diantaranya adalah hasil dari Second National Communication. Selanjutnya dilakukan kajian terhadap emisi BAU ( Bussines as Usual) yang didasarkan kepada sumber emisi utama dari inventarisasi GRK yaitu deforestasi, degradasi, kebakaran dan pengelolaan lahan gambut. Selain itu dikumpulkan informasi tentang sumber serapan (removal) BAU yaitu pertumbuhan hutan dan penanaman. Sejarah pencapaian penanaman dari berbagai program yang telah dilaksanakan merupakan informasi penting tentang kemampuan rata-rata penanaman berdasarkan BAU. Berbagai asumsi berdasarkan referensi dilakukan terkait dengan activity data serta faktor emisi dan serapan. Kajian terhadap emisi mitigasi dilakukan dengan mengkaji kebijakan mitigasi yang ada, kajian upaya penuruan emisi (REDD, pencegahan deforestasi dan kebakaran) serta kajian berbagai rencana penanaman seperti HTI, HTR, HR, GN RHL, OMOT dsb. Berbagai asumsi berdasarkan referensi dilakukan terkait dengan activity data serta faktor emisi dan serapan untuk mitigasi. Dari hasil perhitungan menggunakan asumsi pada BAU dan skenario mitigasi, dilakukan estimasi proyeksi emisi sampai tahun 2020 yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik penurunan emisi. 8.2. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK
kehutanan (hutan alam dan hutan tanaman)
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 14-19
Penelitian ini untuk menghasilkan faktor emisi dan serapan lokal guna meningkatkan akurasi hasil perhitungan emisi GRK. Dari hasil kajian faktor emisi dan serapan akan diketahui tipe hutan/vegetasi yang masih memerlukan hasil penelitian. Selain perhitungan biomas (stok dan pertumbuhan) penelitian juga akan mencakup perhitungan karbon pool yang lain seperti serasah (litter), kayu mati (dry organic matter) dan tanah. Pada garis besarnya penelitian akan dilakukan pada hutan alam dan tanaman tanah mineral serta tanah gambut. Selain itu penelitian juga akan mencakup GRK selain CO2 yang berasal dari kebakaran dan pemupukan yaitu CO, CH4, N2O, dan NOx. Kontribusi GRK kehutanan banyak dihasilkan dari lahan gambut yaitu akibat drainase, pengelolaan dan kebakaran. Penelitian pada lahan gambut akan mencakup faktor emisi dan serapan serta potensi lahan gambut dalam menyerap dan mengemisi GRK. 8.3. Aplikasi Perhitungan Emisi GRK (Metode IPCC) Sampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC. Dalam perjalanannya metode inventarisasi yang dikeluarkan oleh IPCC telah berkembang selama 3 kali, yaitu metode inventasisasi GRK tahun 1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance 2003 dan IPCC Guideline 2006. Dalam IPCC GL 1996, kategori LUCF terdiri dari : (i) perubahan di hutan dan simpanan biomas berkayu lainnya, (ii) hutan (forest) dan padang alang-alang (grassland) yang dikonversi, (iii) lahan pertanian (croplands), lahan penggembalaan (pastures), dan hutan tanaman (plantation forests) yang diterlantarkan atau lahan yang dikelola lainnya (other managed lands), (iv) emisi dan serapan CO2 dari tanah, dan (v) lainnya. IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan terakhir IPCC GL 2006. Aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidak pastian (reduced uncertainty), konsisten dalam pembagian kategori lahan dan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stok karbon (carbon pool) yang relevan, serta non CO2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi dan serapan terhadap seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait sangat menentukan tingkat akurasi inventarisasi. Penelitian ini merupakan aplikasi penghitungan emisi menggunakan tabel-tabel IPCC GL 2006, dengan wilayah studi di Sumatera dan Papua. Penelitian meliputi aplikasi penghitungan GRK menggunakan IPCC GL 2006 di Indonesia, hambatan yang ada, data pendukung yang diperlukan serta rekomendasi untuk meningkatkan akurasi
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 15-19
dari metode ini di Indonesia. Penelitian dan kajian ini diharapkan akan menghasilkan cara aplikasi IPCC GL 2006 sehingga bisa dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan pengukuran, pemantauan dan pelaporan pengurangan atau penambahan emisi GRK di Indonesia. Hasil aplikasi penghitungan emisi merupakan informasi yang menjadi masukan untuk penetapan REL. Selain itu akan dilakukan kajian secara khusus mengenai berbagai metode/alternatif untuk menentukan REL pada skala nasional maupun sub nasional. 9. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya Pelaksana RPI adalah Puspijak dan UPT lingkup Badan Litbang Kehutanan, yang relevan dengan topik penelitian serta representasi lokasi penelitian. Jangka waktu RPI adalah 5 tahun mulai tahun 2010 sampai tahun 2014. Tata waktu setiap kegiatan selama tahun 2010-2014, instansi pelaksana, dan kebutuhan anggaran tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya
Kode Program/RPI/Luaran/Kegiatan Instansi pelaksana
Tahun (juta rupiah) 2010 2011 2012 2013 2014
Program 7 Perubahan Iklim 17 Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan 17.1 Luaran 1 : Rekomendasi sistem inventarisasi GRK kehutanan 17.1.1 Kajian metode inventarisasi GRK
17.1.1.4 Puspijak 150 150
17.1.2 Kajian faktor emisi dan serapan
17.1.2.4 Puspijak 100 100
17.1.3 Kajian target penurunan emisi kehutanan 26 %
17.1.3.4 Puspijak 100 100
17.2 Luaran 2 : Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan hutan tanaman)
17.2.1 Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Alam Gambut
17.2.1.15 BPK Banjarbaru 100 100 100
17.2.2 Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Alam Tanah Mineral
17.2.2.4 Puspijak 150 150 150
17.2.2.6 BBPD Samarinda 150 150 150 150
17.2.2.19 BPK Manokwari 110 150 150 150
17.2.2.17 BPK Manado 100 100 100
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 16-19
Kode Program/RPI/Luaran/Kegiatan Instansi pelaksana
Tahun (juta rupiah) 2010 2011 2012 2013 2014
17.2.3 Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Tanaman Gambut
17.2.3.8 BPTSTH Kuok 100
17.2.3.9 BPK Palembang 100 100 100
17.2.4 Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Tanaman Tanah Mineral
17.2.4.11 BPTA Ciamis 100
17.2.4.14 BPK Kupang 100 100 100 100
17.3 Luaran 3 : Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (Metode IPCC)
17.3.1 Aplikasi perhitungan emisi GRK di Wilayah Sumatera
17.3.1.4 Puspijak 150 150
17.3.1.9 BPK Palembang 100
17.3.2 Kajian Penentuan REL
17.3.2.4 Puspijak 100 100
JUMLAH 460 900 1350 1350 350 10. Organisasi
Penelitian akan dilaksanakan dibawah kordinasi Puspijak dengan Koordinator : Ir. Ari
Wibowo, M.Sc, dan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan.
Jika diperlukan, akan ditempuh mekanisme outsourcing dari instansi lain seperti IPB,
Ditjen Planologi, PHKA, RLPS, dan instansi terkait lainnya.
11. Daftar Pustaka Baumert, K.A, T. Herzog and J. Pershing. 2005. Navigating the Numbers :
Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. World Resource Institute.
Boer, R., Hendri and Gintings, N.: 1999. Emissions and uptake of greenhouse gases
by Indonesian forest. Paper delivered to F7 network. First National Communication. 1999. The Indonesia First National Communication to
the UNFCCC. KLH. Indonesia. IPCC. 2001. IPCC Third Assessment Report IPCC. 1996. Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories.
IGES, Japan. IPCC
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 17-19
IPCC. 2003. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Intergovernmental Panel on Climate Change. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES. Japan.
IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National
Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES, Japan. PEACE. 2007. Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies. DFID,
World Bank. Stern, N. 2007. The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge
University Press. Cambridge. 12. Kerangka Kerja Logis
No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI
A. Tujuan: Menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan
Tersedianya informasi ilmiah mengenai : • inventarisasi GRK
kehutanan, • database faktor
emisi dan serapan GRK,
• data kegiatan (activity data) yang diperlukan untuk inventarisasi GRK kehutanan,
• model/template perhitungan, monitoring dan pelaporan emisi GRK,
• hasil aplikasi IPCC dalam inventarisasi GRK kehutanan.
Dokumen dalam bentuk laporan, policy brief dan publikasi ilmiah mengenai inventarisasi GRK kehutanan, database faktor emisi atau serapan GRK, data kegiatan (activity data) yang diperlukan untuk inventarisasi GRK kehutanan, model/template perhitungan, monitoring dan pelaporan emisi GRK, serta hasil aplikasi IPCC inventarisasi GRK kehutanan
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 18-19
No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI
B. Sasaran: 1. Diketahuinya
informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan
Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan inventarisasi GRK kehutanan
Tersedianya LHP dan sintesis hasil penelitian/kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan.
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
2. Diketahuinya faktor serapan dan emisi lokal untuk berbagai jenis vegetasi atau hutan
Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan perhitungan karbon untuk perbaikan faktor serapan dan emisi lokal
Tersedianya LHP dan sintesis hasil penelitian/kajian tentang Faktor serapan atau emisi lokal
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
3. Diaplikasikannya IPCC GL untuk inventarisasi GRK
Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan perhitungan emisi menggunakan IPCC GL
Tersedianya LHP dan publikasi ilmiah hasil perhitungan emisi menggunakan IPCC GL
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
C. Luaran 1. Rekomendasi hasil
kajian inventarisasi GRK kehutanan
Dilaksanakannya penelitian/kajian : 1) Metode
inventarisasi GRK kehutanan, termasuk Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data), Pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fossil menjadi biomas serta Sistem monitoring dan pelaporan
2) Faktor emisi dan serapan
3) Target penurunan emisi
-Dokumen sintesis hasil penelitian/kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan, -LHP, Policy Brief
Tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
2. Teknik perhitungan Dilaksanakannya -Dokumen sintesis Tidak ada
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 19-19
No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI
karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman)
penelitian teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam dan hutan tanaman gambut , hutan alam dan hutan tanaman tanah mineral
hasil penelitian/kajian tentang Faktor serapan dan emisi lokal - LHP, Policy Brief
kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
3. Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC) dan metode REL
Dilaksanakannya penelitian aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC) dan metode REL
-Dokumen. hasil perhitungan emisi menggunakan IPCC GL -LHP, Policy Brief
Tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
D. Kegiatan 1.1 Kajian metode
inventarisasi 1.2 Kajian faktor emisi
dan serapan 1.3 Kajian target
penurunan emisi kehutanan 26 %
Kajian berhasil mengumpulkan informasi terkini (state of the art) tentang inventarisasi GRK, faktor emisi dan serapan, substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas serta sistem monitoring dan pelaporan.
Dokumen rencana dan hasil kajian/penelitian, presentasi dan publikasi hasil penelitian/kajian
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
2.1. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam gambut
2.2. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam mineral
2.3. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan
Penelitian menghasilkan faktor emisi dan serapan lokal GRK
Dokumen rencana dan hasil kajian/penelitian, presentasi dan publikasi hasil penelitian/kajian
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan 20-19
No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI
GRK kehutanan pada hutan tanaman gambut
2.4. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan tanaman mineral
3.1. Aplikasi Perhitungan
emisi GRK (metode IPCC) di Sumatera
3.2. Kajian penentuan REL
Diketahuinya emisi GRK untuk wilayah Sumatera, metode penentuan REL serta rekomendasi perbaikan dalam rangka aplikasi perhitungan emisi menggunakan IPCC GL
Dokumen rencana dan hasil perhitungan emisi GRK metode IPCC dan metode REL
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 1-28
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010 -2014 (REVISI) ADAPTASI BIOEKOLOGI DAN SOSIAL EKONOMI BUDAYA
TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
1. Abstrak Perubahan iklim sudah terjadi dan dampaknya telah dirasakan banyak pihak. Perubahan iklim yang ditandai dengan cuaca ekstrim, meningkatnya permukaan air laut dan suhu udara, pergeseran musim dan intensitas curah hujan, berpengaruh pada ekosistem hutan juga kehidupan manusia. Pengaruh perubahan iklim sangat terasa terutama di negara-negara berkembang, khususnya pada masyarakat kurang mampu yang penghidupannya tergantung pada sumber daya alam (hutan). Berbagai keterbatasan menjadikan mereka tidak mempunyai banyak pilihan kecuali beradaptasi dengan lingkungan yang sudah berubah agar tetap dapat bertahan hidup. Pemerintah sebagai penanggung jawab Negara dan kehidupan masyarakat sejahtera sangat penting perannya dalam penyusunan strategi adaptasi dan pelaksanaannya.
Di Indonesia, belum didapat banyak informasi tentang kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim serta bentuk adaptasinya. Penelitian terkait dengan hal ini masih sangat terbatas dan perlu dilakukan untuk mendapatkan basis ilmiah penyusunan strategi adaptasi.
Penelitian ‘Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim’ tahun 2010 hingga 2014 diharapkan akan menghasilkan publikasi, policy bief, dan rekomendasi terkait dengan strategi adaptasi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Penelitian ini mentargetkan empat luaran: i. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya; ii. Informasi atau hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim; iii. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim; iv. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat. Kata Kunci : adaptasi, bioekologi, sosial ekonomi, budaya, perubahan iklim, kerentanan 2. Latar Belakang
Terjadinya perubahan iklim telah dilansir oleh International Panel on Climate Change
(IPCC). Perubahan iklim merupakan masalah bersama dan dampaknya dirasakan
manusia diberbagai belahan bumi. Adanya perubahan iklim dapat dilihat antara lain
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 2-28
melalui naiknya permukaan air laut, mencairnya tutupan es di daerah kutub,
meningkatnya frekuensi kebakaran, mewabahnya hama penyakit dan munculnya
banyak badai dan cuaca ektrim (IPPC, 2007a).
Perubahan iklim terjadi karena banyaknya CO2 di atmosfir. Keadaan ini memberikan
dampak terhadap ekosistem hutan dan kehidupan manusia, terutama mereka yang
berdomisili di negara berkembang, kurang mampu kondisi sosial ekonominya dan
penghidupannya tergantung pada hutan. Hasil penelitian di berbagai Negara antara
lain menunjukkan adanya perubahan fenologi dan produktivitas tumbuhan,
pergerakan spesies, jumlah populasi tumbuhan pohon, merebaknya serangga, dan
perubahan distribusi spesies (Ayres et al. 2009a; Fischlin et.al. 2009). Didapatkan juga
bahwa dampak perubahan iklim lebih terlihat nyata pada hutan boreal dari pada tipe
hutan lainnya, namun berbagai faktor terkait dengan kerentanan hutan terhadap
perubahan iklim lebih terlihat nyata di hutan tropis (Ayres et al. 2009a). Terkait dengan
masyarakat, perubahan iklim yang berpengaruh pada ketersediaan air berdampak
pada sumber nafkah, ketahanan pangan, juga kesehatan (Neil Adger et.al. 2009).
Kondisi ini memberikan stres sosial.
Dampak dari perubahan iklim berbeda dari satu tempat ke tempat lain dikarenakan
perbedaan tingkat kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat yang tinggal di dalam
dan sekitar hutan. Untuk tetap bertahan hidup atau mempertahankan kelestariannya,
baik tanaman, hewan maupun manusia perlu beradaptasi.
Adaptasi merupakan upaya makhluk hidup yang mengarah pada persiapan atau
penyesuaian diri terhadap dampak perubahan iklim yang sedang terjadi. Adaptasi
menjadi semakin penting artinya dan sangat perlu untuk dilakukan karena upaya
melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim tidak cukup. Perubahan iklim tidak dapat
sepenuhnya dihindari dan berbagai kebijakan terkait dengan mitigasi memerlukan
waktu untuk dapat berjalan dengan efektif. Individu, masyarakat maupun pemerintah
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 3-28
perlu menyadari adanya perubahan iklim dan mempersiapkan berbagai strategi untuk
beradaptasi, termasuk strategi yang bersifat antisipatif.
Untuk mendapatkan strategi adaptasi yang sesuai diperlukan informasi tentang
kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim. Namun belum
banyak penelitian di Indonesia mengarah kesana. Oleh karena itu, penelitian ‘Adaptasi
Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan iklim’ akan
mengakses kerentanan dan kapasitas adaptasi dari ekosistem hutan, vegetasi dan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim,
serta mendapatkan model dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan, sosial
ekonomi masyarakat dan biaya adaptasi. Hasil penelitian ini antara lain dimaksudkan
untuk menyediakan ilmu pengetahuan dan teknologi adaptasi, serta memberi
masukan ilmiah kepada para pengambil kebijakan sebagai bahan pertimbangan
pembuatan kebijakan terkait dengan adaptasi perubahan iklim, dasar pembuatan
berbagai opsi adaptasi untuk menghindari dampak yang membahayakan dari
perubahan iklim, dan memanfaatkan keuntungan dari kesempatan yang diberikan oleh
perubahan iklim.
3. Rumusan Masalah Sumber daya alam (hutan) dan manusia atau masyarakat (yang oleh Koentjaraningrat,
1984, didefinisikan sebagai kolektif manusia dalam arti yang seluas-luasnya yang
terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka pandang sama) keberadaannya saling
mengkait. Hutan menyediakan produk barang dan jasa kepada masyarakat, dan
masyarakat melakukan pengelolaan terhadap hutan dengan harapan untuk mendapat
produk barang dan jasa hutan secara lestari.
Di Indonesia, sumber daya hutan mendapat tekanan kuat dari luar. Krisis pangan,
energi, dan air bersih yang dialami bangsa Indonesia, menjadikan hutan makin dituntut
perannya untuk memasok kebutuhan hidup khalayak luas. Kawasan hutan yang
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 4-28
mencapai 120 juta ha (60% dari total luas daratan) pada akhirnya perlu dikelola
dengan bijak agar menghasilkan produk dan jasa hutan secara lestari serta tetap
terjaganya aspek perlindungan dan konservasi.
Perubahan iklim langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada ekosistem hutan,
namun ekosistem hutan mampu mencapai klimaksnya yang baru pada kondisi yang
berbeda (Andreas Fischlin et.al 2009). Hasil penelitian di berbagai negara seperti
Finlandia, Nigeria, India, Australia, Canada dsb menunjukkan bahwa perubahan iklim
berpengaruh pada merebaknya hama dan penyakit tanaman, frekuensi kebakaran,
produk barang dan jasa hutan serta fenologi, kehidupan dan kesehatan manusia, dsb
(Andreas Fischlin, 2009; Matthew Ayres, 2009a; Matthew Ayres, 2009b).
Perubahan iklim baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kehidupan
masyarakat. Meski banyak diantara masyarakat tidak memahami perubahan iklim,
mereka yang penghidupannya dari hasil pertanian dan bergantung pada sumber daya
alam (hutan) merasakan dampaknya. Sebagaimana terjadi di Desa Wonorejo,
Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur, musim kemarau
dirasakan masyarakat menjadi lebih panjang dan ketersediaan air menurun,
menjadikan hasil pertanian menurun dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga selama 1 tahun. Kondisi ini menjadikan mereka lebih sering masuk ke
hutan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, ekonomi (uang tunai) dan energi (kayu
bakar). Pengelola Taman Nasional Baluran, Propinsi Jawa Timur merasakan dalam
kawasan mereka terjadi kekurangan pasokan air untuk minum dan berkubang satwa.
Banyak kubangan yang mengering dan secara rutin harus diisi air agar satwa-satwa
bertahan hidup dan tidak lari keluar kawasan guna mencari air.
Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan upaya makhluk hidup (manusia, hewan
dan tumbuhan) untuk tetap bertahan pada kondisi lingkungan yang telah berubah.
Adaptasi juga dimaksudkan sebagai upaya melestarikan ekosistem hutan untuk dapat
menghasilkan barang dan jasa secara lestari bagi kepentingan masyarakat dan makhluk
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 5-28
hidup lain yang tinggal di dalam dan sekitarnya. Adaptasi yang dilakukan dapat bersifat
antisipatif atau reaktif, autonomous atau terencana, sektoral atau multisektoral. Di
Indonesia, penelitian terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem
hutan dan masyarakat belum banyak dilakukan, sehingga belum banyak diketahui
tingkat kerentanan mereka dan upaya adaptasinya.
Pada akhirnya pengelolaan hutan tropis, kebijakan dan program pembangunan terkait
dengan sektor kehutanan perlu memperhatikan dampak perubahan iklim dan potensi
adaptasi ekosistem hutan dan masyarakat agar kepentingan khalayak umum terhadap
pemenuhan ekonomi, pangan, energi dan air dapat terpenuhi secara lestari. Penelitian
ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para pengambil keputusan dalam
penyempurnaan kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam (hutan) terkait dengan
dampak dan strategi adaptasi terhadap perubahan.
4. Tujuan dan Sasaran Tujuan : Menyediakan ilmu pengetahuan tentang tingkat kerentanan hutan dan
masyarakat serta adaptasinya terhadap perubahan iklim yang menuju pada
pengurangan kerentanan dengan tetap menjaga kelestarian hutan.
Sasaran :
• Diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan tropis dan sosial
ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan
• Tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi dan kebijakan adaptasi
terhadap perubahan iklim yang berdampak pada pengurangan kerentanan
masyarakat/peningkatan resiliensi masyarakat dan kelestarian hutan.
5. Luaran
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim
diharapkan memberikan 4 (empat) luaran, yaitu:
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 6-28
a. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan
rekomendasi kebijakan adaptasinya
b. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap
perubahan iklim
c. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan
sekitar hutan terhadap perubahan ikilm dan cuaca ekstrim, dan rekomendasi
kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim
dan cuaca ekstrim
d. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem
hutan dan masyarakat di masa mendatang
Luaran tersebut dapat berupa publikasi ilmiah dan popular minimal sebanyak 5 buah
dan policy brief.
6. Ruang Lingkup
Penelitian Adaptasi Bioekologi dan Social Ekonomi Masyarakat Terhadap Perubahan
Iklim akan dilakukan dari tahun 2010 hingga 2014. Penelitian ini akan melihat kondisi
hutan, vegetasi dan satwa, genetis tumbuhan, produktivitas dan fenologinya,
masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang penghidupannya bergantung pada sumber
daya hutan, dan melakukan modeling dampak perubahan iklim terhadap hutan, sosial
ekonomi masyarakat, dan biaya adaptasi. Lingkup RPI meliputi 4 (empat) kegiatan yang
terintegrasi. Kegiatan-kegiatan dimaksud beserta cakupan masing-masing kegiatan
tersebut adalah sebagai berikut:
A. Analisa Kerentanan Hutan Terhadap Perubahan Iklim
Meliputi 4 (empat) kegiatan, yaitu:
a. Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Secara konsep, perubahan satu atau lebih dimensi iklim (a.l. temperature dan curah
hujan) akan mempengaruhi proses ekosistem hutan (Ayres, et.al. 2009). Perubahan
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 7-28
dari proses ekosistem dapat berdampak pada distribusi, biodiversitas dan jasa
ekosistem. Terkait dengan konsep tersebut, cakupan analisa ini meliputi dua atau lebih
hal berikut: i. perubahan luasan dan distribusi tipe hutan; ii. komposisi spesies
tumbuhan hutan; iii. perpindahan ekosistem hutan (misal dari hutan spruce ke hutan
pinus, atau dari hutan ke savana - Nobre and Oyama 2003, Fischlin et al. 2007, Mendes
2007); iv. kelangsungan hidup seedling dan sapling; v. hilangnya flora dan fauna
endemik yang lazim di suatu daerah (biodiversitas), dan vi. invasi hama dan penyakit
tanaman atau spesies baru. Hal ini pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas
ekologi.
b. Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan ilim dan cuaca ekstrim
Perubahan iklim diduga berperan terhadap keberadaan satwa termasuk species langka
di masa mendatang. Hal ini dikarenakan perubahan iklim diduga mempengaruhi
kondisi habitat satwa, juga musim berbunga dan produksi biji/buah yang merupakan
pakan satwa, ketersediaan air, suhu udara, dsb. Terkait dengan hal tersebut, analisa
kerentanan satwa terhadap perubahan iklim mencakup dua atau lebih hal berikut:
perubahan perilaku satwa, kemampuan reproduksi, besaran populasi, kemampuan
untuk bertahan hidup, perubahan distribusi, wabah hama dan penyakit satwa, serta
pola migrasi.
c. Kerentanan jasa hutan air akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Perubahan iklim mempengaruhi keberadaan air, sebagaimana terjadi di Bali Barat,
Indonesia. Perubahan iklim menyebabkan berkurangnya air untuk bertani dan
pemenuhan kebutuhan air minum. Disisi lain, perubahan iklim di Philippines
menjadikan jumlah penduduk yang kekurangan air berkurang (Seppala, 2009).
Perubahan iklim dalam kaitannya dengan jasa hutan (air) secara khusus akan
menganalisa pengaruh perubahan iklim terhadap ketersediaan dan kontinuitas air
(penurunan atau peningkatan kapasitas air) di sungai, dam, reservoir air dsb. Bila
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 8-28
memungkinkan, penting juga untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap
kualitas air (misal salinitas air karena adanya intrusi air laut ke daratan).
d. Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan
dan fenologi
Fenologi adalah aktivitas musiman tumbuhan. Pergeseran fenologi sebagai dampak
dari pemanasan global antara lain berupa pergeseran musim kawin, pertunasan dan
pembungaan tumbuhan. Perubahan iklim juga diperkirakan mempengaruhi
produktivitas hutan. Produktivitas hutan tropis diperkirakan meningkat bila tersedia
cukup air (Seppala, 2009). Dalam analisis dampak perubahan iklim terhadap
produktivitas hutan dan fenologi akan mencakup pergeseran fenologi dan
produktivitas hutan tropis terutama kayu dan pangan.
B. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan
iklim
Perubahan iklim menjadikan tanaman perlu beradaptasi untuk mempertahankan
kelestariannya. Bentuk adaptasi dimungkinkan dengan berbagai cara seperti plastisitas
fenotipik, migrasi untuk mendapatkan kondisi yang sesuai atau evolusi. Respon
tanaman dalam rangka adaptasi bisa membutuhkan waktu cepat, tapi juga bisa sampai
beberapa generasi. Umumnya respon yang cepat akan menyangkut karakter yang
sementara (mis. perubahan fisiologis dengan akumulasi zat-zat tertentu), sementara
respon yang lambat dengan modifikasi yang relatif lebih bersifat permanen (mis
perubahan morfologi atau anatomi bagian tubuh tanaman). Pada tanaman,
kemampuan adaptasi bervariasi sehingga langkah awal pengujian dengan menyertakan
banyak spesies dan sumber genetik yang luas diperlukan. Untuk mengantisipasi dan
mempertahankan kelangsungan hidup tanaman pohon umur panjang, dalam rangka
mengantisipasi efek perubahan iklim yang bisa terjadi lebih cepat, sangat diperlukan
sumber benih spesifik dari spesies dengan karakter adaptif yang cocok dengan prediksi
perubahan iklim yang akan datang. Beberapa karakter adaptif awal pada tanaman
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 9-28
dapat dilihat dari persen hidup, pertumbuhan, ketahanan terhadap kekeringan, dll
(Bradley St Clair dan Howe, 2007), serta dari karakter-karakter lain yang berhubungan
dengan fisiologi, morfologi dan anatomi tumbuhan. Terkait dengan hal tersebut,
analisis adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim memerlukan pengujian
berbagai spesies dan genetik dengan basis genetik yang luas. Pengujian ini diperlukan
tidak hanya di lapangan, namun juga pengujian pada kondisi yang relatif terkontrol.
Dalam pelaksanaan pengujian tahapan-tahapan kegiatan yang diperlukan adalah
berikut:
a. Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai
dan daerah kering, ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem pegunungan dan
sebaran alaminya
Untuk kepentingan ini, tahap awalnya akan dilakukan identifikasi jenis di sebaran alami
terhadap spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem dataran
rendah kering dan pantai. Identifikasi dilakukan pada habitat ekstrim yang kita
harapkan dengan asumsi bahwa tanaman-tanaman tersebut telah terseleksi secara
alami sehingga mempunyai karakter adaptif yang dibutuhkan.
b. Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk
uji spesies & uji provenans
Koleksi materi genetik akan dilakukan dengan cara mengumpulkan benih spesies
terpilih di habitat-habitat alami termasuk habitat yang ekstrim, pada saat musim
berbuah. Materi ini merupakan bahan tanaman yang akan digunakan untuk tujuan
pengujian pada kondisi terkontrol dan pada kondisi lapangan.
c. Kombinasi uji spesies-provenans jenis teridentifikasi
Tidak semua spesies tanaman yang terseleksi dan yang terkumpul merupakan jenis
yang mudah diperoleh bijinya atau yang umum di budidayakan masyarakat. Oleh
karenanya desain untuk pelaksananaan akan tergantung dari berbagai faktor sampai
bahan tanaman yang tersedia sebagai bahan uji tersedia di persemaian.
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 10-28
d. Pemuliaan spesies adaptif pada kondisi ekstrim untuk antisipasi perubahan iklim
Uji penanaman pada lokasi yang baru dan cocok dengan gambaran prediksi
perubahan iklim yang akan datang (misal daerah kering, daerah bergaram tinggi, dll)
diharapkan merupakan langkah tepat untuk menyediakan species dan genotip yang
tahan di daerah-daerah berkondisi ekstrim atau marginal. Pengujian ini selain untuk
mengetahui pertumbuhannya juga ditujukan untuk mengamati karakter yang
mempengaruhi adaptifititasnya yang diperkirakan dikontrol secara genetik. Terkait
dengan kegiatan ini akan dilakukan 2 hal terhadap bibit spesies terpilih yang terkoleksi
dari masing-masing provenans dari biji, yakni: i. Pengujian pada kondisi terkontrol
dipersemaian dengan menyertakan spesies yang sudah dimuliakan sebagai
pembanding; ii. pembangunan kombinasi uji spesies-provenans di lapangan dan
pemeliharaannya serta evaluasi.
Untuk spesies dari ekosistem pegunungan, identifikasi sampai ke pengujian akan
dilakukan manakala pengujian spesies dan genetik untuk dataran rendah, kering dan
pantai telah dianggap memadai. Jika pengujian untuk spesies pegunungan ini akan
dilakukan, maka uji akan diterapkan di ekosistem antara (antara ekosistem
pegunungan dan ekosistem pantai). Hal ini terkait dengan upaya besar-besaran untuk
menyediakan spesies dalam rangka merehabilitasi lahan pada ekosistem tersebut.
Replikasi di beberapa tempat akan dilakukan untuk mengetahui kondisi adaptasi
terhadap perubahan ilklim.
C. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam & sekitar
hutan terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim & rekomendasi kebijakan
untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim
Perubahan iklim diperkirakan berdampak pada kapasitas hutan untuk menyediakan
jasa ekosistem. Hal ini memberikan konsekuensi yang cukup besar terhadap kehidupan
masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu dan kehidupannya sangat
tergantung pada hutan. Adaptasi harus mereka lakukan untuk dapat bertahan hidup.
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 11-28
Penaksiran kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan
iklim akan dikaitkan dengan ketahanan pangan, ketersedian energi, dan kelangsungan
ekonomi. Penaksiran akan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kondisi sosial
ekonomi keluarga atau komunitas, lokasi geografi dan latar belakang budaya, akses
mereka terhadap sumber daya alam (hutan), serta program pembangunan dan
kebijakan pemerintah setempat. Bentuk adaptasi yang dilakukan terhadap kehidupan
masyarakat akan mempertimbangkan skala lokal dan regional; strategi adaptasi yang
dilakukan (proaktif atau reaktif, autonomous atau terencana, sektoral atau
multisektoral); kendala serta biaya adaptasi.
Penelitian kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim masih relatif baru di
sektor kehutanan dan berbagai metode digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan
masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan juga untuk mengeksplorasi berbagai
metodologi yang dapat digunakan untuk mengetahui kerentanan masyarakat terhadap
perubahan iklim di sektor kehutanan.
D. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem
hutan dan masyarakat di masa mendatang.
Pola iklim di Asia Tenggara sudah berubah cukup nyata (Seppala, 2009) dan Stern
Review (2007) menginformasikan bahwa Asia Tenggara, termasuk Indonesia, lebih
rentan terhadap perubahan iklim di banding belahan bumi lainnya. Dengan demikian
penting bagi Indonesia untuk mempunyai kebijakan yang efektif untuk
penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat
juga pengurangan terhadap kerentanan.
Terkait dengan hal tersebut perlu diketahui pola dan proyeksi perubahan iklim,
kerentanan hutan dan masyarakat serta proyeksinya ke depan, serta melakukan
monitoring terhadap dampak perubahan iklim dan proyeksinya di masa mendatang.
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 12-28
Informasi tersebut bermanfaat untuk menentukan bentuk atau opsi adaptasi yang
tepat guna menghidari dampak yang membahayakan dari perubahan iklim, serta
penentuan bentuk tindakan untuk meningkatkan resiliensi hutan dan masyarakat
terhadap perubahan iklim.
Terdapat tiga kegiatan yang akan dilakukan terkait dengan basis kebijakan
penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat.
Kegiatan dimaksud meliputi:
a. Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan
Kegiatan ini akan memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap tumbuhan
hutan, satwa, jasa (air), fenologi dan produktivitas hutan.
b. Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosial ekonomi masyarakat di dalam
dan sekitar hutan
Perubahan iklim dapat berdampak pada skala desa hingga nasional. Kegiatan ini
direncanakan untuk memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan
masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu dan kehidupannya sangat
tergantung pada hutan, minimal pada skala kecamatan dan terkait dengan ketahanan
pangan, ketersediaan energi, dan keberlangsungan ekonomi.
c. Modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim
Kondisi sosial, ekonomi, dan kebijakan yang cukup dinamis menjadikan pemilihan
bentuk adaptasi yang tepat tidak mudah didapat karena cukup kompleks dan
menghadapi banyak pilihan. Adaptasi dapat berupa perubahan pola pengelolaan
sumber daya alam (hutan, lahan, air, dsb), penggantian spesies, varietas, atau
komposisi tanaman, pembangunan infrastruktur, perubahan perilaku, teknologi,
kebijakan, dsb. yang kesemuanya adaptif terhadap kondisi lingkungan baru.
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 13-28
Adaptasi memerlukan waktu, daya upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak,
dan dalam banyak hal memerlukan biaya cukup besar pada skala keluarga, kelompok
masyarakat, desa, hingga skala nasional bahkan internasional. Studi yang dilakukan
World Bank mendapatkan bahwa biaya adaptasi akan terus bertambah seiring dengan
waktu. Besarnya biaya tersebut tergantung, antara lain, pada magnitude dari
perubahan iklim, besarnya dampak dan tindakan atau bentuk adaptasi yang dilakukan.
Modeling Biaya Adaptasi akan memberikan informasi besaran biaya untuk melakukan
adaptasi juga aspek-aspek yang memerlukan biaya adaptasi yang besarnya cukup
signifikan. Dalam modeling akan menimbang berbagai biaya adaptasi pada skope yang
lebih besar pada skala nasional dan cross sectoral serta meliputi berbagai aspek
(pengelolaan, teknologi, sosial ekonomi, dsb) dan akan memperhitungkan kebutuhan
ke depan sehingga dapat diketahui keuntungan dari pilihan tindakan adaptasi di masa
mendatang. Modeling juga membicarakan tentang ‘ketidakpastian (uncertainties) dan
kemungkinan (probabilities)’, membantu memahami sensitivitas dari faktor-faktor
yang beradaptasi dan saling berinteraksi serta konsekuensi biaya adaptasi, membantu
mengidentifikasi biaya per sektor (yang beresiko), menunjukkan bahwa adaptasi akan
mengurangi resiko kerusakan yang parah dari perubahan iklim dan biaya adaptasi yang
lebih besar di masa mendatang.
7. Metodologi
7.1. Kerangka Konseptual
7.1.1. Kerentanan Terhadap Perubahan iklim Hutan berperan penting bagi kehidupan manusia. Secara umum peran tersebut disajikan pada Gambar 1.
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 14-28
Gambar 1. Ekosistem hutan, barang dan jasa hutan serta hubungannya dengan kehidupan manusia (Sumber: Locatelly (2008), Seppala (2009))
Hutan menyediakan barang dan jasa lingkungan untuk kelangsungan hidup manusia.
Sebaliknya manusia melakukan pengelolaan terhadap hutan dengan maksud untuk
mendapatkan barang dan jasa hutan secara lestari. Perubahan iklim akan
mempengaruhi ekosistem hutan dan manusia, secara postif ataupun negatif. Besarnya
pengaruh tersebut tergantung pada sensitifitas dan kapasitas adaptasi dari ekosistem
hutan, manusia atau masyarakat, serta kemampuan manajemen. Efek negatif akan
menjadi makin besar di masa mendatang bila tidak dilakukan penanganan. Adanya
pengaruh negatif ini menandakan bahwa ekosistem hutan dan manusia rentan
terhadap perubahan iklim.
SUPPORTING SERVICES (Supporting necessary for the production of all other ecosystem services)
• Nutrient cycling Primary production • Soil formation Provision of habitat • Biodiversity maintenance
PROVISIONING • Wood products • Non-wood products • Water
REGULATING • Climate Regulation • Food regulation • Disease regulation
CULTURAL • Aesthetic • Spiritual • Recreational
SECURITY • Personal safety • Secure resource access • Security from disaster
HEALTH • Access to clean air and
water • Strength • Feeling well
GOOD SOCIAL RELATION • Social cohesion • Mutual respect • Ability to help others
BASIC MATERIAL FOR LIFE • Adequate livelihood • Sufficient nutritious food • Shelter • Access to goods
FREEDOM OF CHOICE AND ACTION
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 15-28
Gambar 2. Kerentanan ekosistem dan masyarakat (Sumber: Locatelly (2008))
Kerentanan terhadap perubahan iklim dalam Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) diartikan sebagai keterbatasan kapasitas yang dimiliki untuk mengatasi
konsekuensi negatif dari perubahan iklim. Kerentanan dapat juga diartikan sebagai
derajat kemudahan suatu sistem terkena dampak, atau ketidakmampuan untuk
menanggulangi dampak, termasuk dampak dari variabilitas iklim dan kondisi ekstrim.
Hutan dan masyarakat memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap iklim yang
bervariasi, tergantung pada daerah dan tipe hutan, kondisi geografis, latar belakang
budaya, kebijakan, kelembagaan, dsb.
Metzger et al. (2006) dan IPCC (2007) mendefinisikan kerentanan sebagai fungsi dari
eksposure, sensitifitas suatu sistim untuk berubah, dan kapasitas beradaptasi yang
dipunyai (yaitu resilience). Gambaran umum dari konsep kerentanan terhadap
perubahan iklim disajikan pada Gambar 3.
Climate Change Other driver of change Exposure
Vulnerability of a coupled human-environment system to the loss of ecosystem services
Sensitivity
Adaptive capacity
Ecosystem (hutan)
Sensitivity
Adaptive capacity
Society Ecosystem good & services
Management
Adaptive Capacity
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 16-28
Gambar 3. Konsep Kerentanan terhadap Perubahan iklim
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan juga bervariasi. Sebagai contoh:
masyarakat miskin dengan mobilitas geografis yang rendah akan lebih rentan terhadap
dampak perubahan iklim dibandingkan dengan mereka yang mempunyai mobilitas
tinggi. Mereka memerlukan kebijakan dan pengelolaan terhadap hutan tempat mereka
bergantung untuk mengurangi kerentanan mereka (Reid and Huq 2007). Pengelolaan
hutan lestari sangat esensial untuk mengurangi kerentanan hutan terhadap perubahan
iklim. Terdapat keterbatasan kapasitas hutan dan masyarakat (yang kehidupannya
tergantung pada hutan) untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Komitmen yang
kuat diberbagai pihak pada level nasional maupun lokal sangat esensial untuk
menghadapi berbagai tantangan dalam beradaptasi dan merealisasikan pengelolaan
hutan lestari.
Kerentanan manusia terhadap perubahan iklim ditentukan oleh berbagai faktor seperti
kondisi sosial ekonomi dan latar belakang budaya dari suatu keluarga atau komunitas,
akses terhadap sumber daya alam, lokasi geografi, infrastruktur, serta program
pembangunan.
Kondisi sosial ekonomi dan latar belakang budaya yang meliputi, antara lain,
pendidikan formal dan informal, teknologi yang dimiliki, akses informasi, kemampuan
ekonomi pada umumnya berpengaruh terhadap tindakan yang akan dilakukan atau
Forest Good and Services
Society
Forest Good & Services
Society
Climate Change
Forest
Good & Service
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 17-28
kapasitas masyarakat dalam mengatasi atau mengantisipasi terjadinya suatu bencana
atau sembuh kembali (recovery).
Akses masyarakat terhadap sumber daya alam dapat membantu mengurangi besarnya
bencana yang bakal diterima dan mengurangi kerentanan masyarakat karena hutan
merupakan sumber ekonomi, pangan, energi, dll. Akses masyarakat ke sumber daya
alam (khususnya hutan Negara) di Indonesia diatur pemerintah. Berbagai kebijakan
dikeluarkan terkait dengan pemanfaatan hutan oleh masyarakat dan hal ini
mempengaruhi kerentanan masyarakat juga kerentanan hutan.
Lokasi geografis biasanya dikaitkan dengan lokasi pekerjaan atau lokasi tempat tinggal
yang aman bencana serta ketersediaan infrastruktur (misal sarana irigasi, dam, saluran
pembuangan air, dsb) akan berdampak pada magnitude kerawanan masyarakat
terhadap bencana. Pemetaan lokasi geografis dan sarana infrastruktur yang tersedia
dapat memberikan gambaran tentang kelompok masyarakat yang paling rentan
terhadap bencana. Hal lain yang juga sangat penting artinya adalah program
pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur dan penanganan atau
antisipasi terhadap ancaman bencana, serta penerapan early warning system.
Semua faktor tersebut menentukan kerentanan masyarakat, opsi adaptasi dan
memilih satu atau kombinasi dari opsi adaptasi yang paling diinginkan serta paling
praktis untuk dilaksanakan dan paling efektif.
7.1.2. Adaptasi Terhadap Perubahan iklim
Adaptasi dalam IPCCC (2007b) didefinisikan sebagai penyesuaian dari alam atau
manusia terhadap kondisi iklim aktual atau terhadap prediksi kondisi iklim yang bakal
terjadi serta dampak yang akan ditimbulkan. Adaptasi dapat berupa antisipatif atau
reaktif, autonomus atau terencana, sektoral atau multisektoral. Sebagai contoh,
adaptasi biologi adalah autonomous dan reaktif. Namun manusia dengan kemampuan
yang dimilikinya dapat melakukan berbagai macam tindakan terhadap perubahan
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 18-28
sebagai upaya untuk beradaptasi. Mereka beradaptasi untuk mengurangi kerentanan
atau meningkatkan ketahanan (resilience) guna mengantipasi perubahan-perubahan
yang sudah diperkirakan bakal terjadi (adaptasi antisipatif) (Adger et al. 2007).
Terkait dengan hutan, tidak ada cara universal yang dapat diterapkan untuk adaptasi
hutan terhadap perubahan iklim. Pengelola hutan selayaknya fleksibel untuk
menentukan bentuk adaptasi yang paling tepat pada kondisi setempat. Diperlukan
pendekatan yang fleksibel dan sesuai dengan konteks yang ada serta tidak tergantung
pada satu pilihan. Upaya adaptasi selayaknya menyediakan beberapa solusi teknis
dengan mempertimbangkan kelembagaan di masyarakat.
Strategi adaptasi banyak yang memfokuskan pada pengurangan kerentanan atau
penguatan kemampuan untuk tetap bertahan terhadap efek perubahan iklim. Oleh
karena itu kerentanan sangat erat kaitannya dengan adaptasi. Strategi adaptasi yang
berorientasikan pada pengurangan kerentanan dapat meliputi (Adger et al.2007):
- Altering exposure, antara lain dengan sistem pemberitahuan dini (early warning
system)
- Pengurangan sensitivitas pada sistem yang terkena dampak antara lain dengan
penanaman tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan temperatur atau
keterbatasan air, peningkatan kapasitas dam, atau pembangunan infrastruktur
yang tahan terhadap banjir pada daerah-daerah yang rentan banjir.
- Peningkatan ketahanan atau kemampuan untuk meredam gangguan sosial dan
sistem ekologi yang memungkinkan populasi untuk pulih kondisinya seperti
sedia kala.
Dengan demikian, kapasitas untuk beradaptasi merupakan fungsi dari berbagai
elemen, termasuk kemampuan untuk memodifikasi eksposure (keterbukaan) terhadap
resiko yang terkait dengan perubahan iklim, kemampuan untuk dapat pulih dari
kehilangan yang diakibatkan perubahan iklim, dan kemampuan untuk mendapatkan
berbagai kesempatan baru yang muncul dalam proses beradaptasi (Adger dan Vincent,
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 19-28
2005). Pilihan terhadap opsi adaptasi dan kombinasinya sangat tergantung pada
kerentanannya, yang sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi sosial ekonomi dari
rumah tangga dan masyarakat, lokasi tempat mereka tinggal, hubungan atau jaringan
kerja dan akses mereka pada sumber daya dan penguasa. Smit et al (2001) dalam
Locatelli (2008) menyatakan bahwa kapasitas adaptasi ditentukan oleh sumberdaya
ekonomi (termasuk keuangan, manusia), teknologi, informasi dan keterampilan,
infrastruktur; institusi (termasuk regulasi), dan kesetaraan, dimana keterbatasan pada
salah satu dari elemen diatas dapat membatasi kapasitas adaptif secara umum. Hal
tersebut memberikan banyak sekali opsi adaptasi.
7.2. Metode Pengumpulan Data
Data untuk kepentingan penelitian ini dikumpulkan dengan berbagai metode. Metode
dimaksud meliputi:
• Desk study guna mendapatkan informasi tentang kondisi terkini dan
mensinkronkan berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh instansi lain
terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim.
• Survey lapangan untuk mendapatkan data kuantitatif dan kualitatif.
• Wawancara, konsultasi, dan diskusi kelompok dengan responden maupun para
pakar terkait dengan topik penelitian.
7.3. Alat Analisa
Penaksiran Kerentanan (Vulnerability) dalam penelitian ini akan memakai rumusan
IPCC. Dinyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari tiga aspek: Exposure (E),
Sensitivity (S) dan Adaptive Capacity (AC). Secara ringkas, rumusan tersebut dapat
dituliskan sbb:
V= f (Exposure+Sensitivity-Adaptive Capacity)
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 20-28
1. Exposure dimaksudkan sebagai derajat (seberapa jauh) suatu sistem secara
alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Suhu dan curah hujan merupakan
dua dari berbagai faktor dari iklim yang punya pengaruh cukup signifikan
terhadap kehidupan dan persebaran vegetasi hutan dan satwa.
2. Sensitivitas dimaksudkan sebagai “derajat atau tingkat suatu sistem terkena
dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan iklim, termasuk
karakteristik iklim rata-rata, variabilitas iklim, dan frekuensi serta besaran
ekstrim. Dampak tersebut dapat merugikan ataupun menguntungkan. Efek-
efek tersebut dapat secara langsung (seperti perubahan hasil panen karena
perubahan iklim atau variabilitas temperatur) atau secara tidak-langsung
(seperti kerusakan yang disebabkan oleh kenaikan frekuensi banjir di pesisir
sebagai akibat dari kenaikan muka air-laut)” (McCarthy et al., 2001, p. 6).
3. Kapasitas adaptif (adaptive capacity) didefinisikan sebagai “kemampuan satu
sistem untuk menanggulangi konsekuensi dari perubahan iklim atau
menyesuaikan diri pada perubahan iklim (termasuk variabilitias iklim dan iklim
ekstrim), mengurangi potensi kerusakan, atau mengambil keuntungan dari
kondisi yang disediakan iklim yang berubah tersebut (McCarthy et al., 2001
dalam Locatelli et al. 2008).
Kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim mempunyai cakupan cukup luas,
meliputi sumber daya alam (hutan) dan para pemangku kepentingan di sektor
kehutanan. Dengan demikian, RPI ini meliputi aspek yang cukup luas dari fisiologi
tanaman, sosial-ekonomi, kebijakan, manajemen, teknologi, dsb. Oleh karena itu, alat
analisa dalam RPI meliputi berbagai macam sesuai dengan data dan tujuannya. Alat
analisa dimaksud antara lain:
• Analytic Hierarchy Process (AHP)
• Simple Ranking
• Simple Rating
• Expert Panel Judgment
• Fuzzy Logic
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 21-28
• Rapid Hydrological Assessment
• Analytic Network Process (ANP)
• Participatory Method
• Integrated assessment models (IAM)
• Participatory Vulnerability Assessment
• Adaptation assessment
• Analisa biaya (untuk pengadaan, pembangunan, kehilangan pendapatan)
7.4. Lokasi Penelitian
Penelitian RPI ‘Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan
Iklim’ akan dilakukan pada ekosistem yang ekstrim atau rentan terhadap perubahan
iklim, yang meliputi ekosistem pantai, savana, atau hutan dataran rendah dan
ekosistem hutan pegunungan. Ekosistem hutan dataran rendah yang merupakan
ekosistem antara hutan pantai dan hutan pegunungan penting artinya karena banyak
pembangunan kehutanan berupa hutan tanaman dan penduduk tinggal pada
ekosistem tersebut, dan ekosistem antara tersebut dimungkinkan akan menjadi
ekosistem ekstrim. Secara tepat lokasi penelitian akan ditentukan kemudian, namun
lokasi penelitian tersebut diharapkan mempunyai ciri-ciri sbb:
• Pada lokasi tersebut terdapat hutan, masyarakat (yang penghidupannya
tergantung pada sumber daya hutan), dan kalau dimungkinkan terdapat satwa
• Beberapa lokasi penelitan terpilih aman dari perusakan karena akan dilakukan
pengamatan berulang untuk mendapatkan data series
Direncanakan penelitian ini akan dilakukan dalam satu lokasi yang misalnya dibatasi
oleh satu Daerah Aliran Sungai. Disini akan dikaji berbagai aspek kerentanan baik
hutan, tumbuhan, satwa, masyarakat, maupun kebijakannya. Dari penelitian terpadu
dan terfokus pada satu lokasi ini diharapkan akan didapat gambaran menyeluruh dan
utuh tentang kerentanan, bentuk adaptasi yang ada atau yang telah dilakukan terkait
dengan social, ekonomi, dan lingkungan serta kebijakan yang ada. Pemberian opsi
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 22-28
adaptasi serta saran kebijakan terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim akan
lebih mudah dilakukan karena tersedianya berbagai hasil penelitian yang mendukung.
8. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya.
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim
direncanakan untuk 5 tahun (2010 – 2014). Penelitian ini akan melibatkan beberapa
balai penelitian di Indonesia. Topik penelitian, balai pelaksana dan tahun dilaksanakan
penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kegiatan penelitian, instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya
Kode Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan Pelaksana Tahun Pelaksanaan
2010 2011 2012 2013 2014
PROGRAM 7 PERUBAHAN IKLIM 18 RPI : Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan iklim
18.1 Luaran 1: Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya
18.1.1 Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
18.1.1.12 BPTP DAS Solo
100 100 100
18.1.2 Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
18.1.2.16
BPTKSDA Samboja
125 125 100
18.1.3 Analisis kerentanan jasa hutan air akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
18.1.3.12 BPTP DAS Solo
100 100 100
18.1.3.14 BPK Kupang 125 125 125
18.1.4 Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi
18.1.4.4 Puspijak 150 150 150
18.2 Luaran 2: Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 23-28
Kode Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan Pelaksana Tahun Pelaksanaan
2010 2011 2012 2013 2014
18.2.1
Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai, daerah kering, hutan dataran rendah, dan ekosistem hutan pegunungan serta sebaran alaminya
18.2.1.5 BBPBPTH
Yogyakarta 75 150
18.2.2
Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies & uji provenans atau uji genetis
18.2.2.5 BBPBPTH
Yogyakarta 150
18.2.3 Kombinasi uji spesies-provenans jenis teridentifikasi
18.2.3.5 BBPBPTH
Yogyakarta 150
18.2.4 Pemuliaan spesies adaptif pada kondisi ekstrim untuk antisipasi perubahan iklim
18.2.4.5 BBPBPTH
Yogyakarta 150 150 150
18.3
Luaran 3: Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam & sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim & rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim
18.3.1
Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah
18.3.1.4 Puspijak 150 150 150
18.3.2
Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan
18.3.2.8 BPTSTH Kuok 100 100 18.3.2.19 BPK Manokwari 150 150
18.4
Luaran 4: Basis kebijakan penaggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang
18.4.1 Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan
18.4.1.4 Puspijak 150
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 24-28
Kode Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan Pelaksana Tahun Pelaksanaan
2010 2011 2012 2013 2014
18.4.2 Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosek masyarakat di dalam dan sekitar hutan
18.4.2.4 Puspijak 150
18.4.3 Modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim
18.4.3.4 Puspijak 150 TOTAL 575 1300 900 1075 300
Keterangan : BBPBTH : Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan BPK : Balai Penelitian Kehutanan BPTP DAS : Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BPTKSDA : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam BPTSTH : Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 25-28
9. Organisasi
Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perubahan Iklim dan Kebijakan dengan koordinator RPI : Dr. Niken Sakuntaladewi dan akan
melibatkan peneliti dari berbagai instansi lingkup UPT Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, seperti Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Yogyakarta (BBPBPTH), BPK Manokwari, BPTP DAS Solo, dan kerjasama dengan instansi
terkait lain jika dibutuhkan.
10. Daftar Pustaka
Adger.W.N., Agrawala, S., Mirza, M.M.Q., Conde, C., O’Brien, K., Pulhin, J., Pulwarty, R., Smit, B. and Takahashi, K. 2007. Assessment of adaptation practices, options, constraints and capacity. In: Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. and Hanson, C.E. (eds.). Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC). Cambridge University Press, Cambridge, UK. P. 717-743
Adger, Neil, Maria Brockhaus, Carol J. Pierce Colfer and Brent Sohnger. 2009. Future Socio-
Economic Impacts and Vulnerabilities dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22.
Adger, W.N. dan Vincent, K. 2005. Uncertainty in adaptive capacity. Comptes Rendus
Geoscience, 337(4): 399-410. Ayres, Matthew, David Karnosky and Ian Thompson. 2009a. Forest Responses and
Vulnerabilities to Recent Climate Change dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22.
Ayres, Matthew, David Karnosky, Seppo Kellomaki, Bastian Louman, Chin Ong, Gian-Kasper
Plattner, Heru Santoso and Ian Thompson. 2009b. Future Environmental Impacts and Vulnerability dalam dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22.
Bastiaan Louman. 2007. Forest Ecosystem Services: A Conerstone for Human Well-Being
dalam Adaptation of Forest and People to Climate Change. Pp. 15 – 52 Bradley St Clair, J and Howe, Gt. 2007. Genetic maladaptation of coastal Douglas-fir
seedlings to future climates. Global Change Biology, 13:1441-1454
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 26-28
Brockhaus, Maria dan Houria Djoudi. 2008. Adaptation at the interface of forest ecosystem good and services and livestock production systems in Northern Mali. CIFOR Info Brief no. 19. www.cifor.cgiar.org.
Brooks, N., Adger, W.N. and Kelly P.M. 2005. The determinants of vulnerability and
adaptive capacity at the national level and the implications for adaptation. Global Environmental Change 15 (2): 151-163
Diaz, S., Tilman, D., fargione, J., Chaopin, F.S., Dirzo, R., Kitzberger, T., Gemmill, B., Zobel,
M., Vila, M., Mitchell, C., Wilby, A., Daily, G.C., Galetti, M., Laurance, W.F., Pretty, J., Naylor, R., Power, A. dan Harvell, D.2005. Biodiversity regulation of ecosystem services. Dalam: Hassan, R., Scoles, R. dan Ash, N. (eds.), Ecosystem and Human Well-Being: Current State and Trends. Millenium Ecosystem Assessment Volume I. Island Press, Washington, D.C. p. 297-329.
Fischlin, A., Midgley, G.F., Price, J.T., Leemans, R., Gopal, B., Velichko, A.A. 2007.
Ecosystems, their properties, goods and services. Dalam Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. dan Hanson C.E. (eds.). Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Inergovernmental Panel of Climate Change (IPCC). Cambridge University Press, Cambridge, UK. P. 211-272.
Fischlin, Andreas, Peter Gluck, John Innes. Alan Lucier. John Parrotta, Heru Santoso, Ian
Thomson, dan Anita Wreford. 2009. Forest Ecosystem Services: A Cornerstone for Human Well-Being dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22.
Fontaine, C., Dajoz, I., Meriguet, J. dan Loreau, M. 2005. Functional diversity of plant
pollinator interaction webs enhances the persistence of plant communities. PLoS Biology 4: 129 – 135.
Houghton, R.A. 2005. Tropical deforestation as a source of green-house gas emission. IPPC. 2007a. Impact, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the
Fourth Assessement Report of the Environmental Panel on Climate Change (IPCC). Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutifof, J.P., van der Linden, P.J. and Hanson, C.E. (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, UK. 973 p.
IPCC. 2007b. Summary for policy makers. Climate Change 2007: Impacts, adaptation and
vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC). Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. dan Hanson, C.E. (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, U.K., p. 7 – 22.
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 27-28
Locatelli,Bruno, Markku Kannined, Maria Brockhaus, Carol J.P. Colfer, Daniel Murdiyarso, dan Heru Santoso. 2008. Facing an uncertain future. How forests and people can adapt to climate change. Forest Perspectives no. 5. CIFOR. Indonesia
MEA (Millenium Ecosystem Assessment). 2005. Ecosystem and human well-being.
Synthesis. Island Press, Washington D.C. 137p. Mendes, H. 2007. Brazil faces forecast of heat and dust. Science and Development
Network. http://www.SciDev.Net (12 Desember 2008) Mettzger, M.J., Rounsevell, M.D.A., Acosta-Michlik, L., Leemans, R. and Schroter, D. 2006.
The vulnerability of ecosystem services to land use change. Agriculture Ecosystem and Environment 114: 69 – 85.
Nobre, C. dan Oyama, M. 2003. A new climate-vegetation equilibrium state for Tropical
South America. Geophysical Research Letters 30(23): 2199-2203 Reid, H. and Huq, S. 2007. Community-based adaptation. A Vital approach to the threat
climate change poses to the poor. IIED Briefing paper. http://www.iied.org/pubs (dikutip Desember 12, 2008) 2 p.
SCBD (Secretariat of the Convention on Biological Diversity). 2003. Interlinkages between
biological diversity and climate change. Advice on the integration of biodiversity considerations into the implementation of the UNFCCC and its Kyoto protocol. CBD Technical Series no. 10. SBD, Montreal. 154 p.
Seppala, Risto, Alexander Buck, Pia Katila (edt.). 2009. Adaptation of Forests and People to
Climate Change – A Global Assessment Report. IUFRO World Series Volume 22. IUFRO. Austria
Seppala, Risto, Alexander Buck, Pia Katila (edt.). 2009. Making forest fit for climate change.
A Global view of climate-change impacts on forests and people and options for adaptation. Policy Brief. Ministry for Foreign Affairs of Findland .International Union of Forest Research Organization.
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 28-28
11. Kerangka Kerja Logis
Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi
TUJUAN
Menyediakan ilmu pengetahuan tentang tingkat kerentanan hutan dan masyarakat serta adaptasi nya terhadap perubahan iklim
Dihasilkannya : - Hasil analisis tentang kerentanan
hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya
- Informasi atau hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim
- Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap variasi musim dan cuaca ekstrim dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim
- Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang
Dokumen informasi mengenai tingkat kerentanan hutan dan masyarakat serta adaptasi nya terhadap perubahan iklim, yang dikemas dalam bentuk LHP, Publikasi, Policy Brief
Tidak terjadi perubahan kebijakan/ peraturan terkait Dukungan dari pihak terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian
SASARAN:
Diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim
• Telah dilaksanakan penelitian dan diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan akibat perubahan iklim, strategi adaptasi serta modelling dampak dan modeling biaya perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat
• Sintesis hasil penelitian terkait dengan tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi adaptasi terhadap PI
• Publikasi ilmiah minimal 5 buah
• Policy brief
• Tersedia SDM peneliti
• Dana tersedia tepat waktu
• Ada komitment instansi penelitian
• Tidak ada perubahan kebijakan mendasar tentang arah penelitian
• Ada kerjasama pemerintah pusat dan daerah
• Ada interest pemerintah pusat dan daerah thd adaptasi bioekologi dan sosekbud terhadap perubahan iklim
LUARAN:
1. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya
Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang kerentanan hutan tropis, satwa hutan, jasa hutan (air), produktivitas hutan dan fenologi akibat perubahan iklim
Sintesis hasil tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya • Laporan penelitian • Publikasi • Policy Brief
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 29-28
Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi
2. Informasi hasil analisis tentang
adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim
Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang ‘identifikasi species pohon yang potensial untuk ekologi pantai, daerah kering, dan ekosistem pegunungan, koleksi materi genetik, dan uji provenans’
• Sintesis hasil
tentang analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim
• Laporan penelitian • Publikasi • Policy Brief
3. Hasil analisis tentang kerentanan
sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim ,dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang ‘kerentanan masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim, strategi adaptasi, dan rekomendasi terhadap pemerintah pusat dan daerah dalam pengarusutamaan adaptasi terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim
• Sintesis hasil analisis
tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim
• Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim
• Laporan penelitian • Publikasi • Policy Brief
4. Basis kebijakan penanggulangan
dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang
Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang ‘modelling ekosistem hutan, sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dan biaya adaptasi akibat perubahan iklim’
• Sintesis hasil atau
rekomendasi kabijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang
• Publikasi • Policy Brief • Laporan penelitian
Kegiatan: 1.1. Analisis kerentanan vegetasi hutan
akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Peneltian dapat menjawab tentang tingkat kerentanan vegetasi hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim.
• Laporan kemajuan
kegiatan (hasil survey) lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
1.2. Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Penelitian dapat memberikan informasi tentang tingkat kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 30-28
Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi
1.3. Analisis kerentanan jasa hutan air terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘Kerentanan jasa hutan (air) terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
1.4. Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi
Penelitian dapat memberikan informasi tentang dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi’.
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
2.1. Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai, daerah kering, dan ekosistem pegunungan serta sebaran alaminya
Penelitian dapat memberikan informasi tentang spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai dan daerah kering, dan ekosistem pegunungan serta sebaran alaminya’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
2.2. Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies dan uji provenans atau uji genetis
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies dan uji provenance’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
2.3. Kombinasi uji spesies-provenans jenis teridentifikasi
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘hasil uji provenansi spesies teridentifikasi’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Publikasi • Laporan penelitian
2.4. Pemuliaan spesies adaptif pada kondisi ekstrim untuk antisipasi perubahan iklim
Penelitian dapat memberikan informasi mengenai pertumbuhan dan karakter yang mempengaruhi adaptifititas jenis.
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Publikasi • Laporan penelitian
3.1. Penaksiran kerentanan dan
kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘Penaksiran kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah’
• Laporan kemajuan
kegiatan lapangan • Hasil analisa data
lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
3.2. Penaksiran kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘Penaksiran kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
4.1. Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 31-28
Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi
4.2. Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘modeling dampak perubahan iklim terhadap sosek masyarakat di dalam dan sekitar hutan ‘
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
4.3. Modelling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan
• Hasil analisa data lapangan
• Laporan penelitian • Publikasi
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 1-27
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010 – 2014 (REVISI)
PENGUATAN TATAKELOLA KEHUTANAN
1. Abstrak
Pengurusan hutan (forest administration) selama ini tanpa disadari telah mngabaikan tata kelola hutan yang baik (good forest governance) karena desakan pembangunan ekonomi. Hal ini diindikasikan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berhubungan dengan sumberdaya hutan dan kaitannya dengan kondisi sosial, maupun terhadap lingkungan hidup. Fungsi pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan supervisor dalam pengurusan hutan di satu pihak masih sangat lemah, namun di pihak lain dipandang cenderung berlebihan dan tidak efektif. Tata kelola kehutanan yang baik (Good Forest Governance) hanya bisa diwujudkan apabila para pembuat kebijakan (decision makers) dan pelaksana (executive) dalam pembangunan kehutanan mampu mengkaji forest governance yang telah dipengaruhi oleh dinamika sosial seperti kebijakan seperti desentralisasi. Beberapa tahun terakhir, para pihak terkait (stakeholders) telah banyak menyoroti forest governance dalam implementasinya. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan maupun dampaknya terhadap lingkungan hidup. Faktor pendorong lain munculnya isu ini adalah kosekuensi logis dari proses desentralisasi pemerintahan (otonomi) yang implementasinya masih berlangsung hingga saat ini. Kajian ini dimaksudkan untuk menyediakan pengetahuan dan informasi yang relevan serta keterampilan untuk mengidentifikasi skema-skema dan mekanisme tata kelola kehutanan yang baik dengan melakukan analisis terhadap: (1) kelembagaan kehutanan; (2) administrasi peredaran hasil hutan; (3) sistem rujukan dan penilaian tata kelola kehutanan yang baik. Beberapa metode dan pendekatan yang sesuai dengan topik yang akan dikaji akan digunakan sebagai alat analisis. Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 5 tahun dan akan dicapai melalui tiga tahap yaitu tahap pendahuluan, tahap pemantapan, dan tahap kolaborasi. Kata Kunci : desentralisasi, hasil hutan, kelembagaan, peredaran, tata kelola
2. Latar Belakang
Hal yang terakhir misalnya ditunjukkan oleh aturan-aturan yang sangat restrictive bagi
pihak pengelola di lapangan (unit manajemen) untuk mengimplementasikan
manajemen hutan yang kondisi biofisik dan sosiokulturalnya sangat beragam.
Demikian pula kebijakan pemerintah dianggap kaku dan kurang kondusif terhadap
kondisi pasar yang dinamis. Namun di sisi lain muncul pernyataan bahwa banyak
pemilik hak pengusahaan hutan dan manajer perusahaan yang kurang peduli akan
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 2-27
aturan-aturan yang dibuat untuk menjamin kelestarian hutan. Dengan demikian
diperlukan sebuah kajian komprehensif mengenai akar permasalahan pengelolaan
hutan baik di sisi pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam kerangka kebijakan
desentralisasi.
Setelah lebih dari 30 tahun menjalani sistem pengelolaan hutan sentralistik, UU Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan dan tanggung
jawab yang lebih luas kepada Pemerintah Kabupaten di Indonesia dalam mengelola
sumberdaya alam di daerahnya. Dengan adanya UU tersebut, daerah mempunyai hak
untuk menetapkan kebijakan daerahnya sendiri secara otonom. Sementara itu,
pemerintah tingkat provinsi pada prakteknya masih lebih banyak berfungsi sebagai
perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Pada tahun berikutnya, Pemerintah
Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000. Semestinya PP
ini dapat memperjelas pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Kabupaten,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah. Sayangnya, PP tersebut hanya mengatur kewenangan Pemerintah Provinsi dan
Pusat, sedangkan kewenangan Pemerintah Kabupaten tidak dinyatakan secara jelas.
Menyadari adanya beberapa kelemahan UU No 22 Tahun 1999, maka pemerintah
kemudian merevisi UU tersebut menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dengan direvisinya
UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, maka kewenangan
antara Provinsi dan Kabupaten setara, sehingga semua urusan pemerintahan (hak,
kewajiban, kewenagan dan tanggung jawab) lintas kabupaten menjadi kewenangan
Pemerintah Provinsi. Meskipun oleh beberapa kalangan UU No 32 dipandang sebagai
bentuk resentralisasi, namun bagi proponennya UU No 32 merupakan langkah
penataan kembali hierarki hukum yang sebelumnya mengalami kesenjangan.
Peraturan setingkat menteri yang sebelumnya tidak mendapat tempat dan menjadi
salah satu sumber permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk
hutan, kembali mendapat tempat (sebagai acuan bagi peraturan daerah) sepanjang
peraturan tersebut diamanatkan atau menjadi turunan dari suatu peraturan
pemerintah (PP). Demikian pula UU No 32 melakukan penataan terhadap kewenangan
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 3-27
pemerintah pusat, provinsi dan daerah dalam urusan pemerintahan termasuk
didalamnya bidang kehutanan.
Konsekuensi dari perubahan-perubahan UU di sektor pemerintahan berimbas pada
penyesuaian-penyesuaian kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan yang pada gilirannya menjadi salah satu faktor penentu arah tata kelola
kehutanan yang menyangkut pengurusan dan pengelolaan hutan di Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut beberapa PP yang diturunkan dari UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan pun mengalami beberapa kali penyesuaian, termasuk aturan-
aturan di bawahnya.
Proses desentralisasi dalam tata kelola kehutanan belum menunjukkan kemajuan yang
berarti. Proses ini baru direspons sebatas jargon-jargon maupun wacana-wacana
daripada langkah-langkah konkrit yang membuahkan hasil. Konflik atau ketidak
harmonisan antara pemerintah pusat – daerah serta meningkatnya peranan politik
dalam pemerintahan cenderung mengorbankan dan menimbulkan tekanan-tekanan
yang baru terhadap hutan (at the expense of forest resources).
Kondisi open access kawasan hutan dewasa ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan
hutan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta pemegang ijin usaha
akibat ketiga pihak dimasa lalu. Kelemahan ini menjadi salah satu penyebab tidak
dapat dikendalikannya penebangan kayu, sumber kegagalan pelaksanaan rehabilitasi
hutan maupun lahan, maupun lemahnya pelaksanaan perlindungan dan konservasi
hutan (Kartodihardjo, 2006).
Dalam sisi rantai suplai (supply chain) hutan, telah terjadi kemerosotan mulai dari
penetapan kawasan, pemberian ijin pemanfaatan, pembuatan RKT hingga peredaran
kayu bulat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merosotnya jumlah Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) maupun Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang
beroperasi maupun volume produksi kayu bulat dari IUPHHK/HPH di berbagai wilayah
seperti di Sumatera. Penyebab utama adalah disamping oleh kemorosotan potensi
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 4-27
hutan produksi juga lemahnya tata kelola hutan yang ada. Pembentukan Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) secara teoritis pada kawasan hutan negara sebagaimana
diamanatkan dalam PP No. 6 Tahun 2007 dapat menutup kesenjangan pengelolaan
hutan dewasa ini oleh karena itu memerlukan penelitian untuk pelaksanaannya.
Peraturan pusat sering mengalami perubahan (berganti) atau tidak serta merta diikuti
peraturan pelaksanaan (petunjuk teknis) kerapkali menyulitkan pemerintah daerah
maupun pelaku ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan indikasi
dari lemahnya tata kelola kehutanan di Indonesia yang memerlukan kajian mendalam
mengenai akar permasalahan di balik gejala tersebut.
3. Rumusan Masalah
Beberapa sisi yang banyak disorot dalam upaya perbaikan tata kelola kehutanan antara
lain adalah yang berhubungan dengan: (i) lemahnya kontrol pemerintah pusat dan
daerah dan kurangnya sinergi keduanya sehingga merugikan negara maupun
sumberdaya hutan; (ii) tidak ditegakkannya aturan dan hukum untuk keuntungan
pihak-pihak tertentu; (iii) masih lemahnya kelembagaan (kurangnya efektivitas
organisasi dan perumusan kebijakan di tingkat pemerintahan) secara umum; (iv)
lemahnya pengendalian pada sisi produksi dan peredaran hasilnya karena lemahnya
integritas tata kelola kawasan; (v) belum adanya rujukan dan batasan kinerja yang
jelas tentang performa tata kelola kehutanan yang baik. Dari kelima isu tata kelola
kehutanan tersebut dapat dirumuskan beberapa akar masalah yang potensial untuk
diteliti sebagai berikut:
1. Perumusan kebijakan yang tidak tepat dan merugikan negara, masyarakat dan
lingkungan;
2. Tidak terjadinya sinergi dan adanya konflik antar instansi dalam pengurusan
sumberdaya hutan yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi;
3. Ketidakpastian hukum yang menimbulkan konflik kepentingan dan
mengakibatkan tidak terurusnya sumberdaya hutan secara baik antara lain
diindikasikan oleh belum terbangunnya unit-unit pengelolaan hutan produksi
dan hutan lindung;
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 5-27
4. Dinamika sosial, ekonomi, politik dan budaya, tidak terantisipasi dengan baik;
5. Kelemahan peraturan mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan, kerugian
pada penerimaan negara, pelaku ekonomi dan masyarakat;
6. Belum adanya kesepakatan tentang kriteria untuk acuan pelaksanaan tata
kelola kehutanan yang baik;
Dari keenam akar masalah tata kelola kehutanan tersebut dapat dirumuskan
pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh pada perubahan politik, ekonomi
dan internasional dalam perumusan kebijakan di bidang kehutanan?
Bagaimana proses-proses perumusan kebijakan di bidang: (1) Penentuan
kawasan hutan; (2) Land Tenure; (3) Perlindungan dan Pelestarian SDH; (4)
Pemanfaatan hasil hutan; dan (5) Bagaimana pola intervensi kelompok
kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di bidang
kehutanan?
2. Sampai sejauhmana keutuhan dan kekonsistenan peraturan yang dibuat
sehingga dapat diikuti dan dilaksanakan oleh pelaksana di lapangan?
3. Apakah terjadi tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi
internal Kemenhut, antara Kemenhut dan instansi lain, serta antara instansi
pusat dan daerah? Bagaimana strategi penyelesaian permasalahan kekosongan
peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan konflik antar
peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dengan bidang-bidang
lainnya serta intra peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan?
4. Bagaimana struktur organisasi Kemenhut harus dibangun dan dikembangkan
untuk menyesuaikan dengan permasalahan kehutanan dan prinsip-prinsip tata
kelola yang baik?
5. Faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam membangun kriteria
operasional yang dapat dipergunakan untuk menilai tata kelola kehutanan
berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance di lingkup Pemerintah
Pusat dan daerah, dan perusahaan.
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 6-27
4. Hipotesis
Hipotesis yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Konstelasi politik, perubahan ekonomi dan tekanan internasional berpengaruh
pada pola intervensi kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau
perundang-undangan di bidang kehutanan
2. Implementasi desentralisasi urusan kehutanan khususnya desentralisasi
pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi masih mengalami berbagai
hambatan
3. Tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi di bidang kehutanan
merupakan salah satu masalah utama deforestasi dan degradasi hutan.
4. Pembangunan KPH masih berjalan lamban karena kelembagaan yang ada
belum sesuai dengan kepentingan para pihak.
5. Struktur organisasi Kementerian Kehutanan dan perumusan kebijakan saat ini
masih belum mampu menangani persoalan kehutanan secara efektif dan
akuntabel.
6. Sampai saat ini belum ada kriteria operasional untuk menilai tata kelola
kehutanan berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance yang
disesuaikan dengan kondisi politik, sosial budaya masyarakat, dan ekonomi
5. Tujuan dan Sasaran
Tujuan umum rencana penelitian integratif ini adalah : Menguatkan dan meningkatkan
tata kelola kehutanan dan kinerja Kemenhut melalui penataan organisasi dan proses
pengambilan keputusan. Tujuan tersebut dicapai melalui kajian-kajian terhadap status
tata kelola kehutanan saat ini serta berbagai faktor yang berpengaruh terhadap
pencapaian tata kelola kehutanan yang baik, serta bentuk-bentuk organisasi
departemen serta skema, mekanisme pengambilan keputusan lingkup departemen.
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 7-27
Tujuan RPI Tata Kelola Kehutanan secara khusus adalah:
a. Meningkatkan tatakelola dalam implementasi desentralisasi Hutan Lindung dan
Produksi dengan mengkaji proses implemantasinya
b. Meningkatkan kinerja Kemenhut melalui penataan organisasi dan proses
pengambilan keputusan
c. Meningkatkan pembangunan KPH melalui perbaikan kelembagaan dan
kebijakan KPH
d. Mengkaji sistem rujukan prinsip-prinsip good governance dan penilaian atas
tata kelola kehutanan yang baik berdasarkan kesepakatan para pihak melalui
pembentukan indikator kemajuan forest governance
Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung
dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan
kehutanan
b. Tersedianya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme
perumusan kebijakan Kemenhut dan peran UPT dalam implementasi
desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH
c. Tersedianya rumusan indikator/ indeks kemajuan forest governance
6. Luaran
Luaran yang dihasilkan dari RPI ini adalah :
a. Rekomendasi kelembagaan dalam implementasi desentralisasi pada hutan
lindung khususnya tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
berjalannya desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi
b. Rekomendasi peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi
c. Rekomendasi struktur organisasi Kemenhut dan skema dan mekanisme
perumusan kebijakan di Kemenhut
d. Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH
e. Rumusan indikator (indeks) kemajuan forest governance
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 8-27
Luaran tersebut akan dikemas dalam bentuk produk Laporan Hasil Penelitian, publikasi
ilmiah dan policy brief.
7. Ruang Lingkup
Aspek-aspek penelitian yang dikaji adalah masalah-masalah yang researchable terkait
dengan persoalan: (1) kelembagaan desentralisasi; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3)
indikator tata kelola yang baik. Cakupan penelitian dibatasi pada beberapa isu:
1. Organisasi dan Perumusan kebijakan di sektor kehutanan
2. Pelaksanaan peraturan perundangan-undangan dalam desentralisasi di bidang
kehutanan (hutan lindung dan produksi)
3. Peran dan tata hubungan kerja lembaga-lembaga di bidang kehutanan
4. Tata kelola kawasan melalui pembentukan unit manajemen
5. Insentif dan disinsentif pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik
6. Perumusan indikator tata kelola kehutanan yang baik
Penelitian ini difokuskan pada pilar pemerintah, dari tiga pilar tata kelola
kehutanan yaitu pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat. Namun demikian pilar
kalangan bisnis dan masyarakat tetap dikaji secara terbatas. Hal ini dilakukan
mengingat keterbatasan sumberdaya dan adanya asumsi bahwa pihak-pihak lain sudah
banyak meneliti tentang tata kelola kehutanan dari aspek masyarakat dan kalangan
bisnis.
8. Metodologi
8.1. Kerangka Teoritis Tata Kelola Kehutanan
Tata Kelola (Pemerintahan) Kehutanan (forest governance) dapat didefinisikan sebagai
seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur interaksi para pihak dalam
mengelola sumberdaya hutan dan untuk menentukan kebijakan-kebijakan pengelolaan
hutan. Pada dasarnya prinsip-prinsip umum good governance dapat diterapkan di
bidang kehutanan. Prinsip-prinsip tersebut meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1)
partisipatif (participatory); (2) orientasi kesepakatan (consensus oriented); (3)
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 9-27
akuntabel (accountable); (4) transparan (transparent); (5) cepat tanggap (responsive);
(6) efektif dan efisien (effective and efficient); (7) adil dan inklusif (equitable and
inclusive); (8) mengikuti aturan hukum (follows the rule of law); dan (9) memiliki visi
strategis (strategic vision). Hasil workshop parapihak Good Governance tahun 2007
menyimpulkan bahwa dari 9 prinsip tersebut, bagi Indonesia saat ini yang paling utama
adalah 5 prinsip yaitu: partispatif, akuntabilitas, transparansi, keadilan didepan hukum,
dan efektivitas pemerintahan. Terlepas dari prinsip-prinsip tersebut perlu ada indikator
yang dapat mengukur kemajuan tata kelola kehutanan (yang baik) berdasarkan
persepsi para pihak yang berkecimpung dalam sektor kehutanan Indonesia,
Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) harus menjamin keterlibatan
para pihak secara bebas dengan tetap memandang hak dan kewajiban masing-masing
yang dapat diketahui secara transparan dan akuntabel. Tata kelola pemerintahan yang
baik juga harus menjamin kesetaraan, dalam pengertian bahwa pemberlakuan hukum
adalah harus berimbang dan diperlakukan bagi setiap individu pada tataran yang sama
dan harus mampu menjadi penengah berbagai macam kepentingan untuk mencapai
tujuan terbaik bersama. Aturan hukum dalam tata pemerintahan yang baik harus tidak
berpihak dan tidak berlaku secara khusus. Aturan hukum tidak hanya berlaku sepihak
artinya hanya mengatur kewajiban bagi pihak ketiga dalam hal ini perusahaan (pelaku
bisnis) dan atau kelompok masyarakat, namun juga haknya secara berimbang,
misalnya kejelasan mengenai tata waktu proses, biaya yang harus dibayarkan atau
gratis, peringkat penilaian secara wajar dan adil. Aturan hukum juga mengatur apa
yang harus dilakukan oleh Pemerintah sebagai pihak regulator dan pihak lain sebagai
objek regulasi.
IIED telah mengidentifikasi 5 sistem utama yang menunjang tata kelola pemerintahan
yang baik, jika sistem-sistem tersebut mencakup atribut tata kelola yang baik (dalam
kurung), yaitu: (1) Informasi (akses, jangkauan, mutu, transparansi); (2) Mekanisme
partisipasi (keterwakilan, kesamaan peluang, akses); (3) Pendanaan (internalisasi
eksternalitas, efisiensi biaya); (4) Keterampilan (kesamaan dan efisiensi dalam
pengembangan modal sosial dan personal); dan (5) Manajemen perencanaan dan
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 10-27
proses (penentuan prioritas, pengambilan keputusan, koordinasi dan akuntabilitas).
Sejauh mana sebuah organisasi mampu mengadopsi beragam prinsip-prinsip di atas
menunjukkan seberapa baik tatakelola organisasi tersebut yang pada akhirnya akan
menjadi jaminan bagi keberhasilan program pembangunan dan pengembangan yang
telah dirumuskan.
Dalam satu sistem negara tiga pilar utama penyangga governance yang saling terkait
dan tidak terpisahkan adalah elemen penyelenggara negara, elemen pelaku bisnis dan
elemen masyarakat yang membangun perwujudan suatu trilogi. Masing masing
elemen dalam trilogi memiliki karakteristik tersendiri, namun dalam pencapaian
perikehidupan ke depan yang lebih baik ketiganya harus bersinergi dan berinteraksi
untuk menggapai tujuan yang sama. Ketiga pilar tersebut adalah: (1) Penyelenggara
Negara; (2) Pelaku Bisnis; dan (3) Masyarakat.
Pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola urusan
bangsa, mengelola mekanisme, proses dan hubungan yang memiliki kompleksitas
tinggi antar warga negara dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan
kepentingannya (mandat) dan menuntut hak dan kewajibannya dapat dilakukan secara
adil dengan mencari solusi atas perbedaan-perbedaan yang timbul merupakan
gambaran dari arti governance dari mandat yang diemban penyelenggara negara.
Berdasarkan pengertian governance tersebut, ada tiga kelompok aspek pada pilar-pilar
governance, yakni economic governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan
dengan Ekonomi – Tata Kelola Ekonomi), political governance (Tata Kelola
Pemerintahan yang berkaitan dengan Politik – Tata Kelola Politik) dan administrative
governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Administrasi – Tata
Kelola Administrasi).
Penciptaan struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh suatu entitas bisnis untuk
dapat memberikan jaminan keberlangsungan hidup perusahaan baik keberlangsungan
ekonomi maupun finansial untuk jangka panjang, dengan tuntutan untuk tetap
memperhatikan seluruh stakeholder yang terkait, yang memiliki arti adanya
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 11-27
transparansi dalam menjalankan roda perusahaan dan adanya tanggungjawab sosial
yang harus diemban melalui corporate social responsibility. Interaksi yang dibangun
dalam bentuk struktur, sistem dan proses tersebut dipergunakan sebagai dasar
mekanisme pengecekan dan perimbangan yang adil (checks and balances) atas
kewenangan guna pengendalian dari peluang penyalahgunaan asset perusahaan dan
pengelolaan yang tidak benar.
Interaksi individu-individu dalam aspek sosial, ekonomi dan politik membuat kesatuan
kemasan individu-individu tersebut menjadi suatu masyarakat yang memiliki satu
kesatuan tujuan. Keberadaan masyarakat dalam wujud kelembagaan merupakan salah
satu unsur yang turut mendukung keberhasilan tata pemerintahan yang baik.
Kelembagaan masyarakat memfasilitasi interaksi sosial untuk berpartisipasi dalam
aktivitas yang bersinggungan dengan tiga elemen good governance, yakni politik, sosial
dan ekonomi. Masyarakat dengan sendirinya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan (embedded) dari kegiatan-kegiatan dalam tiga pilar tata pemerintahan itu
sendiri sehingga tidak saja merupakan unsur pelaku checks and balances namun juga
memberikan kontribusi dan memperkuat keberadaan 2 (dua) pilar lainnya.
Gambar 1. Tiga Pilar Tata Kelola Pemerintahan
8.2. Kerangka Konseptual Penelitian Tata Kelola Kehutanan
Penelitian ini didasarkan pada fenomena gejala kerusakan hutan dan inefisiensi serta
ketidakefektifan pengurusan hutan saat ini sehingga memunculkan serangkaian
PEMERINTAH
PROGRAM PRIORITAS
TATA PEMERINTAHAN
YANG BAIK
outcome outcome
TATA KELOLA EKONOMI, KEBIJAKAN DAN ADMINISTRASI
TATA PEMERINTAHAN
YANG BAIK
CHECK AND BALANCE YANG KUAT
CHECK AND BALANCE YANG KUAT
MASYARAKAT PELAKU BISNIS
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY GOOD CORPORATE GOVERNANCE
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 12-27
persoalan-persoalan sosial ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut akan
dilihat dari empat aspek yaitu: (1) kelembagaan; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3)
kriteria dan indikator tata kelola yang baik; dan (4) pengelolaan sumberdaya manusia
kehutanan. Dari masing-masing aspek tersebut akan dianalisis berbagai persoalan dan
faktor-faktor yang berpengaruh baik pada sisi pemerintah, pelaku bisnis maupun
masyarakat.
Aspek kelembagaan akan dipelajari dengan menggunakan analisis kelembagaan yang
antara lain berupa hubungan antar pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan
hutan menyangkut peran para pihak dan pengaruh antara satu pihak dengan pihak
yang lain. Indeks tata kelola kehutanan dikaji berdasarkan kriteria dan indikator tata
kelola yang baik akan dikaji dengan menggunakan analisis sistem yang dimulai dari
analisis faktor-faktor penentu hingga pengembangan seperangkat tolok ukur
pencapaian tata kelola yang baik.
8.3. Kerangka Pendekatan Penelitian
Untuk melakukan riset kebijakan (policy research) maka perlu terlebih dahulu dipahami
proses kebijakan (policy processes) khususnya: “Bagaimana perumusan kebijakan
secara Tradisional vs Policy processes”. Dalam hubungan ini uraian berikut diambil dari
materi yang dipublikasikan oleh Institute of Development Studies (2006). Proses
kebijakan merupakan hubungan antara ilmu pengetahuan, keahlian dan kebijakan,
kepentingan politik, partisipasi publik dan teori jejaring (network).
Kebijakan Dalam Pandangan Tradisional
Model tradisional dari pembuatan kebijakan memandang proses ini bersifat linear
dimana keputusan yang rasional diambil oleh otoritas yang berwenang dalam bidang
kebijakan tertentu. Pendekatan ini memandang pembuatan kebijakan melalui
sejumlah tahapan yang berakhir pada suatu keputusan.
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 13-27
Pemahaman isyu atau permasahan kebijakan
(agenda-setting)
Eksplorasi opsi-opsi yang mungkin untuk memecahkan masalah
Menimbang biaya dan manfaat setiap opsi
Membuat pilihan yang rasional atas opsi terbaik (decision-making)
Implementasi kebijakan
Evaluasi
Dalam model ini, implementasi kebijakan dipandang sebagai aktivitas terpisah yang
dimulai begitu kebijakan dibuat atau diputuskan. Dan implementasi kebijakan
seharusnya menuju penyelesaian masalah awal yang dicoba dipecahkan. Model ini
menganggap pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional, melalui tahapan logis
dari proses, dan secara cermat mempertimbangkan semua informasi yang relevan. Jika
kebijakan tidak mencapai apa yang diinginkan, kesalahan tidak ditimpakan pada
kebijakannya namun pada politik atau kegagalan manajemen dalam
mengimplementasikannya karena kurangnya kemauan politik, manajemen yang lemah
atau kekurangan sumberdaya.
Model tradisional juga menganggap bahwa terdapat pemisahan yang jelas antara fakta
(pendekatan kebijakan yang rasional yang didasarkan pada bukti-bukti, ilmu dan
pengetahuan yang obyektif) dan tata nilai (value). Pembuatan kebijakan merupakan
proses yang bersifat birokratis dan admistratif. Peranan ekspert dipandang kritis dalam
proses membuat keputusan yang rasional, dan ekspertise ilmiah dianggap independen
dan obyektif. Pemikiran yang berlaku adalah semacam “kebijakan didasarkan bukti
fakta” (evidence-based policy); atau kebijakan yang berakar dari ilmu yang baik.
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 14-27
Meskipun asumsi-asumsi yang digunakan diatas sulit dipenuhi (pervasive), namun
model linear masih banyak digunakan dalam praktek. Namun, riset atas proses
kebijakan menunjukkan bahwa pendekatan tradisional diatas merupakan refleksi yang
tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Apakah Policy processes ?
Menggeser fokus analisis ke kebijakan yang didasarkan pada proses berarti menggeser
model kebijakan yang linear dan rasional (Pendekatan Tradisional) kepada proses yang
kompleks dan rumit melalui mana kebijakan dipahami, diformulasikan dan
diimplementasikan, dan sejumlah aktor yang terlibat. Proses kebijakan memiliki
karakteristik berikut:
• Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik sebagaimana sebagai
suatu analisis atau pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan bukanlah
bersifat teknis, aktivitas rasional murni yang sering diperkirakan.
• Pembuatan kebijakan bersifat incremental, kompleks dan rumit, bersifat iterative,
dan sering didasarkan atas eksperimentasi, belajar dari kesalahan, dan mengambil
tindakan koreksi. Sehingga, tidak ada hasil keputusan kebijakan tunggal yang
optimal.
• Selalu terdapat tumpang tindih dan agenda yang kompetitif; dimungkinkan tidak
tercapai kesepakatan yang utuh diantara para pihak atas permasalahan kebijakan
yang riil.
• Keputusan tidak diskrit (tunggal berdiri sendiri); fakta dan nilai-nilai (values) saling
terkait. Penilaian atas value memainkan peranan yang besar.
• Implementasi kebijakan melibatkan diskresi dan negosiasi oleh pekerja ujung
tombak (memberi staf lebih banyak ruang gerak untuk inovasi daripada yang
seharusnya).
• Ekspert teknis dan pembuat kebijakan saling mengkonstruksi kebijakan. Atau
dengan perkataan lain, peneliti berkontribusi pada pembuatan kerangka
(framing) isu kebijakan dengan mendefinisikan bukti fakta (evidence) yang dapat
dihasilkan dan signifikansinya terhadap kebijakan.
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 15-27
• Proses-proses kebijakan sering mengandung suatu perspektif yang merupakan
biaya bagi pihak yang lain – dan seringkali perspektif si miskin dan pihak yang
termarginalkan.
Secara esensi, riset proses kebijakan mempertanyakan bagaimana permasalahan dan
solusi kebijakan didefinisikan, oleh siapa, dan dengan dampak bagaimana ?
Konsep dan Pendekatan
Terdapat 3 (tiga) pendekatan utama untuk memahami pembuatan kebijakan. Satu
menekankan pada politik ekonomi dan interaksi antara negara dan masyarakat sipil,
dan kelompok kepentingan. Yang lain mengkaji sejarah dan praktek yang terkait
dengan pergeseran diskursus, dan bagaimana hal ini membentuk dan membimbing
masalah kebijakan dan rangkaian tindakan. Yang ketiga memberi penekanan kepada
peran dan agen (atau kapasitas untuk membuat perubahan) dari individu aktor-aktor.
IDS (2006) mengembangkan dan mengelaborasi kerangka sederhana yang
mengkaitkan ketiga tema yang saling terkait tersebut:
• Pengetahuan dan diskursus (bagaimana narasi kebijakan) ? Bagaimana hal
tersebut dibuat kerangkanya dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan
riset, dsb.
• Aktor dan jejaring (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka saling terkait ?)
• Politik dan kepentingan (apa yang mendasari dinamika kekuatan?)
Diskursus /
narasi
Politik/
Kepentingan
Aktor / jejaring
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 16-27
Pada tingkat tertentu, memahami policy process datang dari pemahaman ketiga unsur
tersebut pada interseksi dari tiga perspektif yang tumpang tindih tersebut. Sehingga,
untuk memahami mengapa kebijakan mengambil bentuk tertentu perlu memahami
tidak saja pembentukan kerangka ilmiah dari isu (naratif yang menjelaskan cerita
kebijakan), tetapi juga bagaimana posisi kebijakan menjadi terangkai kokoh dalam
jejaring (aktor, pendanaan, professional dan hubungan lainnya, dan teristimewa
institusi dan organisasi tertentu, dan dinamika kekuatan yang mengkungkungnya.
“Policy narrative”. Cerita tentang perubahan kebijakan memiliki permulaan,
pertengahan dan suatu akhir. Mereka menggambarkan kejadian-kejadian atau
mendefinisikan dunia dalam cara tertentu, sehingga membentuk keputusan kebijakan.
Policy narrative member baik diagnosa dan perangkat tindakan dan intervensi. Ia
mendefinisikan masalah, menjelaskan bagaimana ia muncul ke permukaan, dan
menunjukkan apa yang perlu dilakukan untuk menghindarkan bencana atau mencapai
suatu akhir yang berhasil (happy ending), apa yang salah dan bagaimana hal tersebut
diperbaiki. Ia mendapat validitas meskipun kenyataannya seringkali menyerdehanakan
isyu dan proses yang kompleks. Simplifikasi cenderung memikat dalam hal
menghindari kekaburan dan mendukung program aksi. Hal ini yang membuat narrative
yang sederhana menarik bagi politisi atau manajer – mengabaikan pihak yang lemah.
“Aktor dan Jejaring”. Jejaring, koalisi dan aliansi aktor-aktor (individu atau institusi)
dengan visi yang sama – keyakinan yang serupa, codes of conduct, kesamaan pola
perilaku – adalah penting dalam menyebarkan dan mempertahankan narrative melalui
pembujukan publik dan pengaruh seperti jurnal, konferensi, pendidikan atau cara
informal. Proses negosiasi dan tawar menawar diantara kelompok kepentingan yang
saling berkompetisi adalah penting (sentral) dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan
dapat timbul dan tenggelam sebagai hasil dari perubahan dari efektivitas berbagai
jejaring aktor-aktor yang terlibat (IDS, 2006).
“Politik dan Kepentingan”. Politik membentuk proses kebijakan dalam beberapa cara :
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 17-27
• Konteks politik terbentuk oleh kepentingan otoritas regim tertentu untuk tetap
berkuasa. Kompetisi juga terjadi diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat
karena perbedaan kepentingan terkait dengan alokasi sumberdaya, atau
keprihatinan masyarakat.
• Proses kebijakan dipengaruhi oleh sejumlah kepentingan kelompok yang
menggunakan kekuatannya dan kewenangannya atas pembuatan kebijakan. Hal ini
mempengaruhi setiap tahapan proses, dari pembentukan agenda, hingga
identifikasi alternatif, pembobotan opsi, pemilihan yang paling menguntungkan
dan implementasinya. Kepentingan aktor dalam kebijakan berasal dari instansi
pemerintah, pelaksana organisasi donor dan ekspert independen – dibentuk dalam
narrative tertentu.
• Kebijakan dinyatakan sebagai obyektif, netral, bebas nilai, dan seringkali diberi
kemasan secara hukum dan ilmiah, yang menekankan pada rasionalitas. Dengan
cara ini, sifat politis dari kebijakan tersembunyi melalui penggunaan bahasa teknis,
yang menekankan pada rasionalitas dan obyektivitas.
• Birokrat tidaklah semata-mata pelaksana kebijakan; mereka juga memiliki agenda
personal dan politik sendiri untuk bernegosiasi. Politik birokrat, misalnya seperti
persaingan dalam kementrian-kementrian untuk memperoleh kendali atas arena
kebijakan, merupakan hal yang relevan.
Ruang Kebijakan (Policy Space)
Konsep policy space terkait dengan sampai tingkat mana pembuat kebijakan dibatasi
dalam pembuatan kebijakan oleh kekuatan-kekuatan seperti pendapat jejaring aktor
yang dominan atau naratif. Jika terdapat tekanan yang kuat untuk mengadopsi strategi
tertentu, maka pembuat keputusan tidak memiliki ruang yang banyak untuk
mempertimbangkan opsi-opsi yang lebih banyak. Dapat pula terjadi seorang individu
memiliki kapasitas (leverage) yang sangat besar atas proses sehingga dapat
memaksakan preferensinya dalam pembentukan pilihan kebijakan.
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 18-27
8.4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi:
1. Desk study dengan bahan referensi hasil-hasil penelitian yang telah ada dalam
tata kelola dan desentralisasi yang berasal dari berbagai lembaga penelitian,
universitas, dan lain-lain, serta produk-produk peraturan perundangan yang
ada
2. Survei dalam rangka pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif berupa
pendapat pejabat kunci pada instansi terkait di pusat dan daerah (dinas
kehutanan provinsi dan kabupaten/kota), BUMN dan HPH, serta masyarakat
dan kalangan LSM, dalam rangka validasi (pengkayaan hasil desk study)
3. Wawancara dengan pakar yang terkait dari lembaga penelitian dan universitas,
serta pakar-pakar lain yang dianggap relevan.
4. Group atau focused group discussions dengan para pihak
8.5. Metode Analisis
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian 8.2, beberapa metode analisis yang
berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-
beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis organisasi dan
pengambilan keputusan dan lain-lain. Secara khusus, metode analisis akan diperjelas
dalam masing-masing Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). Meskipun demikian
pendekatan penelitian khususnya untuk Analisis kebijakan (policy analysis) secara
umum mengikuti materi yang diuraikan pada Sub Bab 8.3. Berbagai instrumen analisis
dalam bentuk metoda kuantitatif maupun kualitatif dapat dijumpai pada berbagai
buku teks tentang pembuatan kebijakan, manajemen dan ekonomi. Secara ringkas
dibawah ini beberapa metoda kuantitatif sebagai pengantar.
a. B/C ratio
Analisis ini digunakan untuk membandingkan benefit-cost ratio dari masing-
masing pilihan kebijakan. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai B-C ratio yang
tertinggi memiliki prioritas tinggi untuk dipilih. Analisis B-C ratio memiliki
beberapa bentuk dan merupakan metoda yang paling banyak digunakan.
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 19-27
b. Analytic Hierarchie Process (AHP)
Analisis ini digunakan untuk membandingkan alternatif-alternatif kebijakan
dengan cara memberi bobot pada setiap alternatif kebijakan melalui
pembandingan berpasangan. AHP dapat mengintegrasikan hal-hal yang bersifat
“intangible” di benak pengambil keputusan melalui pembandingan
berpasangan tersebut. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai bobot tertinggi
memperoleh prioritas tertinggi untuk dipilih.
c. Analisis regressi (Multivariate)
Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan faktor-faktor. Faktor-faktor mana
yang paling berpengaruh atas suatu kejadian atau memberikan dampak yang
besar perlu mendapat perhatian yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan.
d. Model-model Optimasi
Analisis ini digunakan untuk memperoleh solusi kebijakan yang optimal dari
banyak (jumlah tak terbatas) pilihan-pilihan kebijakan. Model ini mensyaratkan
permasalahan dirumuskan secara matematis dimana terdapat fungsi obyektif
dan kendala-kendala yang membatasi pilihan kebijakan. Model-model optimasi
yang umum dipakai adalah Linear Programming dan Goal Programming.
e. Analisis SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat)
Analisis ini digunakan untuk mendapatkan strategi kebijakan yang sesuai
dengan melihat Kekuatan, Kelemahan, Peluang, Ancaman yang dihadapi suatu
organisasi pemerintahan atau perusahaan.
f. Analisis resiko
Analisis ini digunakan untuk melihat peluang terjadinya hasil (outcome) yang
merugikan dan konsekuensi kerusakan yang terjadi jika hasil tersebut benar-
benar terjadi. Analisis ini merupakan suatu proses mengidentifikasi resiko-
resiko untuk memperkirakan dampaknya serta peluang terjadinya.
9. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya
Pada prinsipnya, Puspijak memiliki tugas menyusun Rencana Penelitian Integratif,
sebagai koordinator penelitian-penelitian, pelaksana penelitian yang bersifat makro
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 20-27
(nasional) atau lintas wilayah, dan pembuat sintesa hasil-hasil penelitian. Sedangkan
UPT memiliki tugas untuk menyusun RPTP dan melaksanakan penelitian (mikro) sesuai
dengan kondisi lokal yang berkembang dalam wilayah kerja masing-masing dan sesuai
yang digariskan dalam RPI. Keterkaitan penelitian makro dengan mikro menjadi sangat
penting untuk penelitian-penelitian desentralisasi dan KPH dari sudut stakeholders
yang terlibat, demikian pula dalam penelitian indikator kemajuan tatakelola
kehutanan. Oleh karena itu penelitian mikro di daerah menjadi sangat penting dalam
pencapaian sasaran penelitian (rekomendasi kebijakan, indikator tata kelola dll).
Tabel 1. Rencana instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya
Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)
2010 2011 2012 2013 2014
24 Penguatan Tata Kelola Kehutanan
24.1 Luaran 1 : Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada Hutan Lindung dan
Hutan Produksi 24.1.1.4 Kajian Implementasi Desentralisasi
Urusan Kehutanan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi
PUSPIJAK 125 150 150
24.2 Luaran 2 : Rumusan bentuk dan organisasi Kemenhut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi
24.2.1.4 Peran UPT Lingkup Kementerian Kehutanan Dalam Implementasi Desentralisasi Kehutanan
PUSPIJAK 125 125
24.2.2.4 Kajian Organisasi dan Mekanisme Perumusan Kebijakan di Pusat
PUSPIJAK 150 150
24.3 Luaran 3 : Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
24.3.1 Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH
24.3.1.4 PUSPIJAK 125 150
24.3.1.19 BPK Manokwari 100 100
24.3.2 Kajian land tenure dalam pembangunan KPH
24.3.2.4 PUSPIJAK 100 150
24.3.2.15 BPK Banjarbaru 80
24.3.2.13 BPTHHBK Mataram
100 100
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 21-27
Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)
2010 2011 2012 2013 2014
24.4 Luaran 4 : Indikator/indeks kemajuan forest governance
24.4.1.4 Kajian Indikator Kemajuan Forest Governance
PUSPIJAK 150 150 150
24.4.2.4 Kajian Good Corporate Governance di Bidang Kehutanan
PUSPIJAK 125 150
TOTAL ANGGARAN 475 800 805 375 250
10. Organisasi
Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Puspijak dengan
Koordinator RPI : Dr. Ir. Haryatno Dwiprabowo, M.Sc dan melibatkan instansi terkait
lingkup Badan Litbang Kehutanan. Jika diperlukan akan ditempuh mekanisme
outsourcing dari instansi terkait lainnya.
11. Daftar Pustaka
Antara News, 2007. Indonesia Emitter Karbon Terbesar Ketiga Dunia 23/03/07 21:05 (http://www.antara .co.id/profil/). Diakses, 25 Maret 2007.
Badan Planologi Kehutanan, 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun
2005. Departemen Kehutanan, Jakarta. Fisher, R.J.2007. Devolution and decentralization of forest management in Asia and the
Pacific. (http://www.fao.org). Diakses 30 Maei 20007. Greenpeace, 2007. Indonesia layak peroleh Rekor Dunia sebagai Penghancur Hutan
Tercepat. http://www. greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/Indonesia-layak-peroleh -rekor?mode=send. Diakses, 27 April 2007.
Hari Sutanta, 2007. Indonesia duduki peringkat kedua setelah Brazil sebagai kawasan
deforestasi terbesar di dunia (http://www.beritabumi.or.id/ aboutus /php). Institute of Development Studies.2006. Understanding Policy Processes.University of
Sussex. Brighton BN1 9RE,UK. Kompas, 2007. Insentif Cegah Deforestasi. http://www.kompas.com/ kompas-cetak/
0703/29/humaniora/3415274.htm. Diakses, 29 April 2007.
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 22-27
Mayers, J. dan Bass, S. 1999. Policy that works for forests and people. Policy that works
series no. 7: Series Overview. International Institute for Environment and Development, London.
Media Indonesia, 2006. Negara Rugi Rp 8,4 T Akibat Perusakan Hutan Dan
Lingkungan. http://www. Mediaindonesia.com. Diakses, 25 April 2007. PP No. 6 Th 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan. http://www.Kemenhut.go.id. Diakses, 15 Mei 2007. Badan Litbang Kehutanan.2009. Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Rully, S, 2007. Pembalakan Liar dan Deforestasi http://www.walhi.or.id/ kampanye/
hutan/jeda/070328_pmblkn_liar_cu/ Sutton, Rebecca.1999. The Policy Process: An Overview. Overseas Development
Institute. Portland House.London. Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang Kehutanan.
2007. Tatakelola Kehutanan di Indonesia Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang
Kehutanan.2007. Agenda Riset Forest Governance Badan Litbang Kehutanan UU RI No. 32 Th 2004 tentang Pemerintah Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung. UU RI No. 33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah
Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung. World Bank, 2005. Forest and Forestry Home Page, available from
http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTARD/EXTFORESTS/0,,menuPK:985797~pagePK:149018~piPK:149093~theSitePK:985785,00.html, Last updated 13th September 2005, (Accessed 28/10/05).
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 23-27
12. Kerangka Kerja Logis
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI TUJUAN
Menguatkan dan meningkatkan tata kelola kehutanan dan kinerja Kemenhut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan.
Dihasilkannya rekomendasi: • Kelembagaan dalam
Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi
• Peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi
• Struktur organisasi Kemenhut dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan di Kemenhut
• Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH
• Rumusan indikator kemajuan forest governance
Dokumen mengenai rekomendasi implementasi desentralisasi sektor kehutanan dan arah perbaikan di masa mendatang dan organisasi Kemenhut serta skema pengambial kebijakan yang dikemas dalam bentuk produk LHP, Publikasi ilmiah, dan Policy brief
Tidak terjadi perubahan signifikan terhadap UU 32 2004 serta UU dan peraturan pelaksanaan terkait lainnya Dukungan penuh dari pihak-pihak yang terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian
SASARAN
a. Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan kehutanan
Telah dilaksanakan penelitian terkait dengan: Kelembagaan dan implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi;
Sintesis hasil penelitian terkait dengan desentralisasi sektor kehutanan
Tersedia hasil-hasil penelitian yang menjadi bahan sintesis
b. Tersediannya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme perumusan
Telah dilakukannya penelitian terkait degan aspek-aspek: (1) bentuk organisasi dan perumusan kebijakan Kemenhut; (2) Peran
LHP, Publikasi, dan Policy brief aspek-aspek: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan
Tersedia hasil penelitian yang menjadi bahan rekomendasi kebijakan
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 24-27
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI kebijakan Kemenhut dan peran UPT dalam implementasi desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH
UPT dalam desentralisasi; (3) Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH);
produksi ; (2) bentuk dan skema perumusan kebijakan Kemenhut; (3) Peran UPT dalam desentralisasi kehutanan (4) pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
c. Rumusan indikator kemajuan forest governance
Telah dilakukannya penelitian terkait: (1) kriteria dan indikator tata kelola kehutanan yang baik; (2) Kajian good corporate governance
LHP, Publikasi dan Policy brief indikator tata kelola kehutanan yang baik
Dilakukannya pembahasan tingkat pimpinan Badan Litbang atas hasil ringkasan kebijakan
LUARAN
1 Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi
Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi.
Dokumen sintesis tentang desentralisasi kehutanan Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 25-27
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 2 Rumusan bentuk
dan organisasi Kemenhut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi
Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1)Kajian organisasi dan mekanisme perumusan kebijakan di pusat (Kemenhut), (2) Peran Unit-Unit Pelaksana Teknis lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan
Dokumen sintesis tentang organisasi Kemenhut Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
3 Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH; (2) Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH
Dokumen sintesis tentang kelembagaan KPH Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
4 Indikator kemajuan forest governance
Dilaksanakan penelitian: (1) Kajian indikator kemajuan forest governance, (2) Kajian good corporate governance
Dokumen sintesis tentang kriteria kemajuan forest governance Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
KEGIATAN
1.1.Kajian implementasi Desentralisasi Urusan Kehutanan
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah arah implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi saat ini sudah benar dan faktor-faktor apa yang menghambat implementasi kewenangan
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
1.1.1.Hutan Lindung
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan
Dokumen hasil penelitian,
Sumberdaya mendukung dan
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 26-27
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI
seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Lindung kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah
presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
1.1.2 Hutan Produksi Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Produksi kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah; Bagaimana persepsi pelaku ekonomi tentang implementasi pemberian kewenangan kepada daerah
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
2.1 Kajian Organisasi dan Mekanisme Perumusan Kebijakan di Pusat 2.1.1 Analisis proses perumusan kebijakan atau perundang-undangan di Departemen Kehutanan
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan bagaimana kelompok-kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di Departemen Kehutanan dan skema perumusan yang akuntabel : Proses dan mekanisme perumusan kebijakan yang mampu
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 27-27
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI melahirkan kebijakan yang efektif dan akuntabel
2.1.2 Analisis organisasi Departemen Kehutanan
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah struktur organisasi Departemen Kehutanan saat ini memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kehutanan dan seberapa jauh daya adaptasinya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Perbandingan dengan bentuk Holding dan Integratif
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
2.2.Analisis peran Unit-Unit Pelaksana Teknis lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa efektif dan efisien keberadaan UPT Departemen Kehutanan dalam mendukung desentralisasi urusan kehutanan : Bagaimana meningkatkan efektifitas UPT dalam peningkatan kinerja Kemenhut dan masa depan Kemenhut
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
3.1.Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang struktur dan susunan organisasi yang mengakomodir kepentingan pusat dan daerah serta aturan yang membagi kewenangan pusat dan daerah secara seimbang berdasarkan azas manfaat
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
RPI Penguatan Tata Kelola Kehutanan 28-27
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 3.3.Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang bagaimana hak atas lahan dalam pembangunan KPH. Bagaimana bentuk kelembagaan yang dapat mengakomodir kepentingan stakeholders atas pengelolaan KPH
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
4.1. Kajian indikator kemajuan forest governance
Penelitian berhasil mengidentifikasi kriteria dan indikator, dan indeks yang dapat dipakai mengukur kemajuan tatakelola kehutanan (Pemerintah pusat dan daerah serta pelaku ekonomi) secara operasional
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
4.2.Kajian Good Corporate Governance di bidang kehutanan
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah saat ini perusahaan-perusahaan kehutanan telah melakukan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan indikator apa yang secara efektif dapat menilai kemajuan implementasi-nya ; identifikasi faktor yang berperan dalam tata kelola perusahaan yang baik.
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 1-14
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 (REVISI)
PENGUATAN TATA KELOLA INDUSTRI DAN PERDAGANGAN
HASIL HUTAN
1. Abstrak
Kontribusi sektor kehutanan pada Produk Domestik Bruto nasional dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu serta pasar kayu tidak terdistorsi. Secara umum penelitian integratif ini bertujuan untuk mengaji tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan dan secara khusus mengaji: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman dikaji menggunakan indikator ekonomi: nilai tegakan (stumpage value), dan indikator kelembagaan: pengaturan penyediaan lahan hutan tanaman. Daya saing investasi industri hasil hutan (tanaman) dikaji menggunakan indikator ekonomi: benefit/cost ratio (B/C ratio), internal rate of return (IRR) serta penawaran dan permintaan kayu, dan indikator kelembagaan: perizinan usaha hutan tanaman. Daya saing perdagangan hasil hutan dikaji menggunakan indikator ekonomi: keunggulan komparatif (comparative advantage) dan efisiensi sistem tataniaga, serta indikator kelembagan: pengaturan perdagangan hasil hutan di dalam dan luar negeri, termasuk harmonized system (HS) dan non tariff barrier. Sasaran penelitian integratif ini adalah diperolehnya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Hasil penelitian integratif ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dalam menetapkan kebijakan memperbaiki tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan, termasuk di dalamnya perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman.
Kata Kunci : daya saing, hasil hutan, industri, investasi, perdagangan
2. Latar Belakang
Sumberdaya hutan memiliki tiga peran. Pertama adalah sebagai penghasil barang dan
jasa. Sebagai penghasil barang, sumberdaya hutan menyediakan Hasil Hutan Kayu
(HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Sebagai penghasil jasa, ekosistem hutan
mempertahankan, antara lain: penyediaan sumber mata air, pembentukan iklim mikro,
penyerapan karbon (carbon sequestration) dan pemandangan alam yang unik. Kedua
adalah sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat.
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 2-14
Komunitas masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan memandang hutan sebagai
sumber mata pencaharian maupun hutan sebagai sarana peribadatan (Colfer, et al,
2001). Sebagai sumber mata pencaharian, karena hutan bisa menjadi tempat untuk
mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan, madu dan ikan.
Sebagai sarana peribadatan, karena hutan bisa menjadi tempat peribadatan tertentu.
Ketiga adalah sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai sistem penyangga
kehidupan, sumberdaya hutan membentuk dan mempertahankan fungsi-fungsi
ekologis (rantai makanan dan kehidupan beragam makhluk hidup, flora dan fauna)
dalam keseimbangan dan berkelanjutan. Sehingga hutan dapat berfungsi sebagai
penjaga siklus makanan beragam makhluk hidup; pengatur tata air dan pencegah
banjir; pengendali erosi; pencegah intrusi air laut; pemelihara kesuburan tanah; dan
pembentuk kondisi udara bersih.
Meskipun peran sumberdaya hutan sangat penting bagi kehidupan umat manusia,
peran sektor kehutanan dalam perekonomian sangat kecil, yaitu hanya sekitar 1% dari
PDB (Produk Domestik Bruto) dan bila produk-produk kayu olahan juga dimasukkan,
hanya meningkat menjadi sekitar 2% dari PDB (Tabel 1). Namun kontribusi yang kecil
bukan hanya milik sektor kehutanan. Sektor-sektor yang lain, seperti perkebunan,
peternakan dan hasil-hasilnya, serta perikanan juga memiliki kontribusi yang kurang
lebih sama dengan sektor kehutanan, yaitu sekitar 2%. Sektor pertambangan migas
juga memiliki kontribusi yang tidak besar sekitar 6%, sementara industri migas malah
hanya sekitar 3%, lebih kecil dibanding tanaman bahan makanan sekitar 7%. Persoalan
pokoknya bukanlah pada besaran kontribusi sektor kehutanan, melainkan dampak
penggandanya (multiplier effect) dalam perekonomian dan yang lebih penting lagi,
adakah sumberdaya hutan dimanfaatkan secara lestari?
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 3-14
Tabel 1. Kontribusi Sektor Kehutanan dan Hasil-Hasilnya dalam Pembentukan
Produk Domestik Bruto Harga Konstan 2000
Uraian Miliar Rupiah
2004 2005 2006 2007 2008* 2009** PDB 1.656.516,8 1.750.656,1 1.846.654,9 1.963.974,30 2.082.315,9 2.176.975,5
1. Kehutanan
Persentase terhadap PDB
17.433,8
1,05%
17.176,9
0,98%
16.784,1
0,91%
16.401,40
0,84%
16.543,3
0,79%
16.793,8
0,77%
2. Industri kayu & produk-produk lainnya Persentase Terhadap PDB
20.325,5
1,23%
20.138,5
1,15%
20.006,2
1,08%
19.657,60
1,00%
20.335,8
0.98%
20.039,2
0.92%
3. Kehutanan & hasil-
hasilnya (1+2) Persentase Terhadap PDB
37,759.30
2,28%
37,315.40
2,13%
36,693.10
1,99%
36.059,00
1,84%
36.879,1
1.77%
36.833,0
1.69%
Sumber : BPS; * angka sementara ; ** angka sangat sementara
Jika sektor kehutanan dan hasil-hasilnya didisagregasi ke dalam tiga subsektor, yaitu:
industri kayu, bambu dan rotan (IKBR), kayu bulat dan perburuan (KBP), dan hasil
hutan lain (HHL), hasil penelitian (Astana dkk, 2003) menunjukkan masing-masing
memiliki nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja yang tinggi. Nilai
pengganda output subsektor IKBR adalah 1,926 - 2,664, subsektor KBP, 1,401 - 1,841
dan subsektor HHL, 1,387 - 1,907. Nilai pengganda output subsektor IKBR sebesar
1,926 memiliki arti bahwa jika output subsektor IKBR meningkat sebesar satu satuan
akibat kenaikan permintaan akhir, maka output perekonomian akan meningkat
sebesar 1,926 satuan. Sedangkan nilai pengganda pendapatan subsektor IKBR adalah
1,946 - 4,020, subsektor KBP, 1,406 - 2,053 dan subsektor HHL, 1,453 - 1,680. Nilai
pengganda pendapatan subsektor IKBR sebesar 1,946 memiliki arti bahwa jika
pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor IKBR meningkat sebesar satu satuan
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 4-14
akibat kenaikan permintaan akhir, maka pendapatan rumah tangga dalam
perekonomian akan meningkat sebesar 1,946 satuan. Nilai pengganda tenaga kerja
subsektor IKBR adalah 4,961 - 8,035, sub sektor KBP, 1,140 - 1,496 dan sub sektor HHL,
1,178 - 1,186. Nilai pengganda tenaga kerja subsektor IKBR sebesar 4,961 memiliki arti
bahwa bila penyerapan tenaga kerja di sektor IKBR meningkat sebanyak satu satuan
akibat kenaikan permintaan akhir, maka penyerapan tenaga kerja dalam
perekonomian akan meningkat sebesar 4,961 satuan.
Meskipun sektor kehutanan memiliki nilai pengganda dalam perekonomian yang tinggi,
namun peranan tersebut akan hilang jika hutannya tidak dimanfaatkan secara lestari.
Dapat dibayangkan jika produksi kayu dan hasil hutan lainnya sama dengan nol, karena
hutan (produksi) sudah habis ditebang, maka apa yang akan terjadi dalam
perekonomian adalah impor kayu dan hasil hutan lain untuk memenuhi kebutuhan. Ini
tentunya akan menguras devisa, dan pada gilirannya akan mengganggu neraca
pembayaran (balance of payment) dan perekonomian secara keseluruhan, terlebih bila
cadangan devisa dalam kondisi tipis. Kenyataan menunjukkan sejak pembangunan
ekonomi dimulai tahun 1970an, laju kerusakan sumberdaya hutan terus meningkat.
Laju kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan lebih tinggi dibanding laju
pemulihan dan penambahan. Luas tutupan dan potensi per ha hutan terus mengalami
penurunan. Kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan mengganggu tiga peran
sumberdaya hutan, yaitu: sebagai penghasil barang dan jasa; sebagai penopang sistem
kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat; dan sebagai sistem penyangga
kehidupan.
Seiring dengan penurunan luas tutupan dan potensi per ha hutan (produksi), PDB
sektor kehutanan dan hasil-hasilnya mengalami pertumbuhan negatif. Pada tahun
2004 meskipun PDB sektor kehutanan mengalami pertumbuhan positif sebesar 1,28%,
rataan per tahun periode 2004-2009 mengalami pertumbuhan negatif sebesar 0.40%
(Tabel 2). Dalam periode 2004-2009, sektor industri kayu dan produk-produk lainnya
juga mengalami pertumbuhan negatif rataan per tahun sebesar 0.57% (Tabel 3).
Pertumbuhan PDB sektor kehutanan dan hasil-hasilnya yang negatif memberikan bukti
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 5-14
telah terjadinya pemanfaatan hutan yang tidak lestari. Ini merupakan sebuah
fenomena yang ironis, karena hutan merupakan sumberdaya yang terbarukan.
Tabel 2. Pertumbuhan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Harga Konstan 2000
Tahun Miliar Rupiah % Pertumbuhan 2004 17.433,80 1,28 2005 17.176,90 -1,47 2006 16.686,90 -2,85 2007 16.401,40 -1,71
2008* 16.543,30 0.87 2009** 16.793,80 1,51 Rataan 16.839,35 -0.40
Sumber: BPS ; * angka sementara; ** angka sangat sementara
Tabel 3. Pertumbuhan Sektor Industri Kayu dan Produk-Produk Lainnya dalam Perekonomian Harga Konstan 2000
Tahun Miliar Rupiah % Pertumbuhan 2004 20.325,50 -2,07 2005 20.138,50 -0,92 2006 20.006,20 -0,66 2007 19.657,60 -1,74
2008* 20.335.80 3,45 2009** 20.039.20 -1,46 Rataan 20083.80 -0.57
Sumber: BPS ; * angka sementara; ** angka sangat sementara
Kontribusi sektor kehutanan dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal
logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu
serta pasar kayu tidak terdistorsi. Terkait hal ini, terdapat pandangan bahwa kegiatan
investasi di bidang industri hasil hutan dipandang kurang menarik dibanding industri
bukan hasil hutan (perkebunan), karena prosedur investasi yang kurang transparan dan
kelayakan finansial yang relatif rendah. Di samping itu, terdapat juga pandangan
bahwa kebijakan industri dan perdagangan hasil hutan belum kondusif. Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor kehutanan relatif kecil karena pembagian
keuntungan (manfaat) secara berkeadilan belum sepenuhnya diterapkan dan
cenderung menurun karena produksi kayu tidak lestari.
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 6-14
Dampak krisis finansial global diperkirakan semakin menekan investasi industri dan
perdagangan hasil hutan namun pada tingkat tertentu dapat menguntungkan dari sisi
penghematan stok hutan. Guna meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam
pembentukan Produk Domestik Bruto nasional diperlukan upaya perbaikan tata kelola
industri dan perdagangan hasil hutan. Tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan
yang baik akan meningkatkan investasi industri dan perdagangan hasil hutan serta
memungkinkan peningkatan perolehan pungutan bukan pajak sektor kehutanan.
Meningkatnya investasi industri dan perdagangan hasil hutan pada gilirannya akan
meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam pembentukan Produk Domestik
Bruto nasional. Untuk itu penelitian integratif ini dilakukan.
3. Rumusan Masalah
Kontribusi sektor kehutanan dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal
logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu
serta pasar kayu tidak terdistorsi. Untuk itu diperlukan upaya perbaikan tata kelola
industri dan perdagangan hasil hutan. Tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan
yang baik akan meningkatkan investasi industri dan perdagangan hasil hutan serta
memungkinkan upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak dari hasil hutan.
Peningkatan investasi dan perdagangan hasil hutan pada gilirannya akan menaikkan
kontribusi sektor kehutanan dalam pembentukkan Produk Domestik Bruto nasional.
Permasalahannya adalah apa saja faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang
mempengaruhi: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan, (2) daya saing investasi
industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Daya saing investasi
industri hasil hutan yang dikaji meliputi: (a) investasi usaha Hutan Tanaman Industri
(HTI; hasil hutan kayu HTI), (b) investasi usaha Hutan Tanaman Rakyat (HTR; hasil
hutan kayu HTR), (c) investasi usaha Hutan Rakyat (HR; hasil hutan kayu HR), dan (d)
investasi usaha perkebunan (sebagai pembanding). Daya saing perdagangan hasil
hutan yang dikaji adalah daya saing perdagangan produk kehutanan yang berorientasi
pasar ekspor (kayu dan rotan). Besaran pungutan bukan pajak yang dikaji adalah
besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman (HTI; HTR).
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 7-14
4. Tujuan dan Sasaran
Secara umum bertujuan untuk mengkaji tata kelola industri dan perdagangan hasil
hutan dan secara khusus mengkaji: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan
tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan
hasil hutan.
Sasaran yang ingin dicapai :
a. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang
mempengaruhi besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman
b. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang
mempengaruhi daya saing investasi industri hasil hutan.
c. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang
mempengaruhi daya saing perdagangan hasil hutan.
5. Luaran
Luaran yang dihasilkan dari RPI ini adalah :
a. Rekomendasi kebijakan perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan
tanaman.
b. Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan
dari sisi: (1) penawaran dan permintaan kayu, (2) kelayakan finansial usaha
hutan tanaman, dan (3) perizinan usaha hutan tanaman.
c. Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan yang
berorientasi ekspor dari sisi: (1) keunggulan produk kehutanan, (2) efisiensi
sistem tataniaga, (3) harmonized system (HS), dan (4) non tariff barrier.
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 8-14
6. Ruang Lingkup
Jenis kegiatan untuk memberikan rekomendasi kebijakan besaran pungutan bukan
pajak hasil hutan tanaman terdiri dari:
a. Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman
b. Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.
Jenis kegiatan untuk memberikan rekomendasi peningkatan daya saing investasi
industri hasil hutan terdiri dari:
a. Analisis penawaran dan permintaan kayu
b. Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan
c. Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Jenis kegiatan untuk memberikan rekomendasi peningkatan daya saing perdagangan
hasil hutan terdiri dari:
a. Analisis keunggulan produk kehutanan
b. Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan
c. Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan
d. Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
7. Metodologi
7.1. Kerangka Pikir
Kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional ditentukan oleh
perkembangan investasi industri dan perdagangan hasil hutan. Besaran pungutan
bukan pajak hasil hutan (DR- Dana Reboisasai dan PSDH- Provisi Sumber Daya Hutan)
mempengaruhi perkembangan investasi industri dan perdagangan hasil hutan.
Perkembangan investasi industri hasil hutan mempengaruhi perkembangan
perdagangan hasil dan sebaliknya, perkembangan perdagangan hasil hutan
mempengaruhi perkembangan investasi industri hasil hutan.
Perkembangan investasi industri hasil hutan bergantung pada seberapa jauh industri
hasil hutan memiliki daya saing dalam menarik investor untuk berinvestasi di bidang
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 9-14
industri hasil hutan. Sedangkan perkembangan perdagangan hasil hutan bergantung
pada seberapa jauh hasil hutan memiliki daya saing dalam merebut pangsa pasar,
khususnya dalam konteks perdagangan internasional. Besaran pungutan bukan pajak
hasil hutan serta daya saing investasi industri dan perdagangan hasil hutan
dipengaruhi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan. Faktor-faktor ini merupakan
permasalahan yang menjadi fokus kajian ini.
7.2. Metoda Analisis
1. Besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman dikaji menggunakan
indikator ekonomi: nilai tegakan (stumpage value) dan indikator kelembagaan:
pengaturan penyediaan lahan hutan tanaman.
2. Daya saing investasi industri hasil hutan dikaji menggunakan indikator ekonomi:
benefit/cost ratio (B/C ratio), internal rate of return (IRR), penawaran dan
permintaan kayu, serta indikator kelembagaan: perizinan usaha hutan tanaman.
3. Daya saing perdagangan hasil hutan dikaji menggunakan indikator ekonomi:
keunggulan komparatif (comparative advantage), efisiensi sistem tataniaga, dan
indikator kelembagaan: pengaturan perdagangan hasil hutan di dalam dan luar
negeri, termasuk harmonized system (HS) dan non tariff barrier.
7.3. Lokasi penelitian
Rencana lokasi penelitian adalah sebagaimana tabel 4 berikut.
Tabel 4. Rencana lokasi penelitian
No. Kegiatan Lokasi 1. Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan
tanaman ; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman
Jawa Tengah, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah
2. Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur
3. Analisis keunggulan produk kehutanan; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
Jawa Timur, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 10-14
8. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya Penelitian
Instansi pelaksana yang terlibat dalam penelitian, tata waktu penelitian serta
rencana biaya yang diperlukan tersaji pada tabel 4.
Tabel 4. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian
Kode PROGRAM/RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah)
2010 2011 2012 2013 2014
PROGRAM 7 KEBIJAKAN KEHUTANAN
25 Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
25.1 Luaran 1 : Rekomendasi kebijakan perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman
25.1.1.4 Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan
tanaman PUSPIJAK 150
25.1.2.4 Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan
tanaman PUSPIJAK 150
25.2 Luaran 2 : Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan
25.2.1.4 Analisis penawaran dan permintaan kayu PUSPIJAK 150
25.2.2.4 Analisis kelayakan finansial usaha hutan
tanaman dan perkebunan;
PUSPIJAK
150
25.2.3.4 Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan
perkebunan PUSPIJAK 100
25.3 Luaran 3 : Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan
25.3.1.4 Analisis keunggulan produk kehutanan; PUSPIJAK 200
25.3.2.4 Analisis efisiensi sistem tataniaga produk
kehutanan PUSPIJAK 150
25.3.3.4 Analisis harmonized system (HS) produk
kehutanan PUSPIJAK 150
25.3.4.4 Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
PUSPIJAK 150
TOTAL ANGGARAN 300 400 650
9. Organisasi
Penelitian ini akan dilaksanakan di bawah koordinasi Puspijak dengan
melibatkan instansi lingkup Badan Litbang Kehutanan dan instansi terkait lain.
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 11-14
10. Daftar Pustaka
Astana S., D. Djaenudin dan M. Z. Muttaqin. 2003. Kajian Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Daerah. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi 4 (1). Puslitbang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Coelfer, C. J. P., R. L. Wadley, E. Harwell, and R. Prabhu. 2001. Assessing
Intergenerational Access to Resources: Using Criteria and Indicators in West Kalimantan, Indonesia in People Managing Forests: The Links between Human Well-Being and Sustainability, ed. by Coelfer and Byron. Resources for The Future and CIFOR. Washington.
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 12-14
11. Kerangka Kerja Logis
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI TUJUAN: Secara umum bertujuan untuk mengaji tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan dan secara khusus mengaji: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan, (2) daya saing investasi industri hasil hutan dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan
Dihasilkan nya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan
Dokumen data/informasi/rekomendasi kebijakan terkait dengan faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan (LHP, publikasi, dan Policy Brief )
Kebijakan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penelitian kondusif.
SASARAN: 1 Tersedianya informasi faktor-
faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman
Telah dilaksanakan sintesa hasil penelitian: Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.
Sintesa hasil penelitian terkait besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman . LHP, Publikasi, dan Policy Brief nilai tegakan dan kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman
Tersedia hasil-hasil penelitian sebagai bahan sistesis identifikasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman
2 Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing investasi industri hasil hutan
Telah dilaksanakan sintesa hasil penelitian: Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Sintesa hasil penelitian terkait daya saing daya saing investasi industri hasil hutan . LHP, Publikasi, dan Policy Brief penawaran dan permintaan kayu; kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Tersedia hasil-hasil penelitian sebagai bahan sistesis identifikasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing investasi industri hasil hutan
3 Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing perdagangan hasil hutan
Telah dilaksanakan sintesa hasil penelitian: Analisis keunggulan produk kehutanan ; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
Sintesa hasil penelitian terkait daya saing perdagangan hasil hutan. LHP, Publikasi, dan Policy Brief keunggulan komparatif produk kehutanan ; efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . harmonized system (HS) produk kehutanan; non-tariff barrier produk kehutanan
Tersedia hasil-hasil penelitian sebagai bahan sistesis identifikasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing perdagangan hasil hutan
LUARAN: 1.Rekomendasi kebijakan
perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman
Dilaksanakannya penelitian: Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.
Dokumen hasil penelitian terkait besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman. Dokumen LHP, Publikasi, dan Policy Brief nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; kebijakan penyediaan lahan
Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan . Kendala dan hambatan dalam merumuskan luaran diatasi.
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 13-14
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI hutan tanaman
2.Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan
Dilaksanakannya penelitian: Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Dokumen hasil penelitian terkait daya saing investasi industri hasil hutan. LHP, Publikasi, dan Policy Brief penawaran dan permintaan kayu; kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan . Kendala dan hambatan dalam merumuskan luaran diatasi.
3.Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan
Dilaksanakannya penelitian: Analisis keunggulan produk kehutanan ; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
Dokumen hasil penelitian terkait daya saing perdagangan hasil hutan . LHP, Publikasi, dan Policy Brief keunggulan komparatif produk kehutanan ; efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; harmonized system (HS) produk kehutanan; non-tariff barrier produk kehutanan
Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan . Kendala dan hambatan dalam merumuskan luaran diatasi.
KEGIATAN: 1.1. Analisis nilai tegakan
(stumpage value) hutan tanaman
1.2. Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman
Penelitian berhasil memperoleh informasi: 1. Nilai tegakan hutan
tanaman dan faktor-faktor yang mempengaruhi
2. Kelemahan dan kelebihan alokasi dan distribusi lahan hutan, perizinan dan persyaratan penyediaan lahan hutan tanaman
Dokumen presentasi dan pembahasan hasil penelitian: Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.
Sumberdaya (kuantitas dan kualitas) mendukung . Tidak terjadi perubahan kebijakan yang membatalkan pelaksanaan penelitian
2.1. Analisis penawaran dan permintaan kayu
2.2 Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan
2.3. Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Penelitian berhasil memperoleh informasi: 1. Penawaran dan
permintaan kayu nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhi
2. Perbandingan kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan
3. Perbandingan perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Dokumen presentasi dan pembahasan hasil penelitian: Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Sumberdaya (kuantitas dan kualitas) mendukung . Tidak terjadi perubahan kebijakan yang membatalkan pelaksanaan penelitian
3.1. Analisis keunggulan produk kehutanan
3.2. Analisis efisiensi sistem
Penelitian berhasil memperoleh informasi: 1. Keunggulan produk
Dokumen presentasi dan pembahasan hasil penelitian: Analisis
Sumberdaya (kuantitas dan kualitas)
RPI Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 2010-2014 14-14
NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI tataniaga produk kehutanan
3.3. Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan
3.4. Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
kehutanan dan faktor-faktor yang mempengaruhi, termasuk informasi mengenai keunggulan kayu dan non kayu, dampak lingkungan kayu, serta preferensi konsumen.
2. Efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan
3. Harmonized system (HS) produk kehutanan
4. Non-tariff barrier produk kehutanan
keunggulan komparatif produk kehutanan ; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
mendukung . Tidak terjadi perubahan kebijakan yang membatalkan pelaksanaan penelitian