Upload
maharta-yasa
View
1.833
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
PEMERINTAH KOTA DENPASAR BEKERJASAMA DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA
DENPASAR TENTANG BEA PEROLEHAN HAK
ATAS TANAH DAN BANGUNAN
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
TIM PENELITI TIM PENGARAH GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA, SH. MHum. PROF. DR. I.G.N. WAIROCANA, SH., M.H.
I KETUT SUDIARTA, SH. MH. I NYOMAN SUYATNA, SH., MH.
MADE MAHARTA YASA, SH., MH. DR. IGST KT ARIAWAN, SH MH.
NI LUH GEDE ASTARIYANI, SH., MH. DR. IB WYASA PUTRA, SH. M.Hum.
A.A. SRI UTARI, SH., MH. KETUT WIRAWAN, SH. M.Hum.
A.A. ISTRI ARI ATU DEWI, SH., MH. I NENGAH SUANTRA, SH.MH.
NYOMAN MAS ARYANI, SH. , SE., MH.
PEMERINTAH KOTA DENPASAR KERJASAMA DENGAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2010
PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA Jalan Bali Nomor 1 Denpasar Tlp. (0361)222666
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ii
NARASI PENGANTAR
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas
daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak
dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan kepada masyarakat.
Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditentukan Pajak Daerah
yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Mengenai perpajakan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada
Undang-Undang. Selama ini pungutan daerah yang berupa Pajak diatur
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Undang-
Undang ini diatur tentang Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:Pajak
Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan
Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air
Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan; dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan iii
Pajak hanya dapat dipungut dengan menetapkan Peraturan Daerah.
Dalam Peraturan Daerah tentang Pajak ini ditentukan penetapan dan
muatan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini paling sedikit mengatur
ketentuan mengenai: a) Nama, Objek, dan Subjek Pajak; b) dasar
pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c). wilayah pemungutan; d)
Masa Pajak; e) penetapan; f) tata cara pembayaran dan penagihan;
g)kedaluwarsa; h)sanksi administratif; dan i) tanggal mulai berlakunya.
Disamping itu juga mengatur ketentuan mengenai: a). pemberian
pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas
pokok pajak dan/atau sanksinya; b)tata cara penghapusan piutang pajak
yang kedaluwarsa; dan/atau c).asas timbal balik, berupa pemberian
pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan,
konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman
internasional.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya
diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan yang kemudian diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah kewenangan pemerintah pusat. Namun dalam UU No. 28
Tahun 2009 pajak ini diserahkan kepada kabupaten/kota. Berdasarkan
kenyataan itu maka Pemerintahan Kota Denpasar membuat Peraturan
Daerah Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus
efisien dan efektif berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,
peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Tujuan pemungutan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan salah satu sumber
pendapatan Daerah Kota yang penting guna membiayai pelaksanaan
pembagunan Pemerintahan Kota Denpasar.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan v
DAFTAR ISI
Narasi Pengantar. >> ii
Daftar Isi. >> v
Daftar Ragaan. >> viii
Daftar Tabel. >> ix
BAB I PENDAHULUAN >>> 1
A. Latar Belakang. >>> 1
B. Identifikasi Masalah. >>> 1
C. Tujuan dan Kegunaan. >>> 2
D. Landasan Konseptual. >>> 3
1. Menempatkan Sudut Pandang Perbedaan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. >>> 3
2. Konsep Pajak Daerah. >>>5
3. Konsep Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >>> 8
4. Konsep Peraturan Daerah. >>> 9
5. Konsep Naskah Akademik. >>> 10
E. METODE PENELITIAN >>> 11
1. Pendekatan. >>> 11
2. Sumber Bahan Hukum. >>> 12
3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum. >>> 13
4. Metode Analisis. >>> 13
BAB II KONDISI EKSISTING BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN KOTA DENPASAR >>> 17
A. Kondisi Eksisting Kota Denpasar. >>> 17
B. Identitas dan Kapasitas Perda Kota Denpasar Tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >>> 19
C. Usulan Raperda Kota Denpasar tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >>>35
BAB III LANDASAN KEABSAHAN DAN ASAS-ASAS DALAM
PENYUSUNAN RAPERDA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
DAN BANGUNAN >>> 51
A. Landasan Keabsahan. >>> 51
1. Aspek Teoritik dan Otentik
Landasan Keabsahan. >>> 51
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan vi
2. Relevansinya dengan Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan. >>> 59
B. Asas-Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma.
>>>63
1. Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Baik. >>> 63
2. Relevansinya dengan Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan. >>> 72
BAB IV RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RAPERDA BEA PEROLEHAN
HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN KETERKAITANNYA
DENGAN HUKUM POSITIF >>> 79
A. Orientasi Umum. >>> 79
B. Kriteria Materi Muatan Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan. >>> 80
C. Materi Muatan Raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan. >>> 85
1. Ketentuan Umum. >>> 85
2. Materi Pokok Yang Diatur. >>>87
a. Objek dan Subjek Pajak. >>>87
b. Dasar Pengenaan, Tarif, dan
Cara Penghitungan Pajak. >>> 89
c. Wilayah Pemungutan. >>> 91
d. Masa Pajak. >>> 91
e. Penetapan. >>> 91
f. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan. >>> 95
g. Kedaluwarsa dan Tata Cara Penghapusan
Piutang Pajak yang Kedaluwarsa. >>> 96
h. Sanksi Administratif. >>> 97
i. Pemberian Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan
dalam Hal-Hal Tertentu Atas Pokok Pajak dan/atau Sanksi
Administratif. >>> 99
3. Ketentuan Penyidikan. >>> 99
4. Ketentuan Pidana. >>> 101
5. Ketentuan Peralihan. >>> 103
6. Ketentuan Penutup. >>> 103
D. Batas Materi Muatan. >>> 104
E. Keterkaitan dengan Hukum Positif Lainnya. >>> 109
F. Kerangka Raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan. >>> 112
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan vii
BAB V PENUTUP >>> 115
A. Rangkuman. >>> 115
B. Konklusi. >>> 123
C. Rekomendasi. >>> 124
DAFTAR PUSTAKA >> 126
DAFTAR PERATURAN DAN DOKUMEN LAINNYA >> 129
LAMPIRAN:
1. Konsep Awal Raperda Kota Denpasar tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >> 131
2. Sandingan Konsep Awal Raperda Kota Denpasar tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Penjelasan. >> 153
3. Kesepakatan Kerjasama. >>> 168
4. Keputusan Dekan tentang Tim Peneliti.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan viii
DAFTAR RAGAAN
Ragaan 1 : Keterhubungan Nilai-nilai Dasar Hukum dan Kesahan
Berlakunya Hukum. >>> 52
Ragaan 2: Ragaan 2: Validitas Hukum secara Filsafati, Sosiologis, dan
Yuridis. >>> 53
Ragaan 3: Penelitian Empiris dalam Rangka Validitas Sosiologis dari Norma
Hukum. >>> 55
Ragaan 4 : Muatan dan Tujuan Landasan Keabsahan Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. >>> 57
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Luas Lahan Kota Denpasar. >>> 18
Tabel 2: Jumlah Penduduk Kota Denpasar >>> 19
Tabel 3: Pembagian Wilayah Administrasi Kota Denpasar. >>> 20
Tabel 4: Penggunaan Tanah di Wilayah Kota Denpasar >>> 20
Tabel 5: Penerbitan Sertifikat Peralihan Hak Atas Tanah di
Kota Denpasar >>> 21
Tabel 6: Analisis Raperda Usulan SKPD
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >>> 22
Tabel 7: Delegasi Pengaturan Materi Muatan Pajak Kabupaten/Kota
dengan Peraturan Perundang-undangan
Kabupaten/Kota dan yang Tidak Didelegasikan. >>> 81
Tabel 8: Keterkaitan Dengan Undang-Undang Lainnya. >>> 112
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Denpasar (yang menurut UU No 5 Tahun 1974 bernama
Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar) belum pernah membentuk
Peraturan Daerah mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Hal ini disebabkan oleh karena pajak jenis ini sebelumnya dipungut oleh
Pemerintah Pusat.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebelumnya diatur
dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan yang kemudian diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21
Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Berdasarkan kedua undang-undang itu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) adalah kewenangan pemerintah pusat. Namun dengan
diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 BPHTB menjadi kewenangan
kabupaten/kota.
Dengan adanya kenyataan itu, maka perlu diadakan kajian yang
dituangkan dalam sebuah Kajian Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
B. Identifikasi Masalah
Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu
pengaturan menyangkut dua isu pokok, yaitu penormaan materi muatan dan
prosedur pembentukan, kajian ini fokus pada upaya penyusunan naskah
akademik rancangan peraturan daerah, oleh karena itu berada pada isu
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 2
penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan sebagai suatu
aturan yang mengandung norma hukum.
Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yaitu:
(a) landasan;
(b) asas-asas dalam pengaturan;
(c) batas-batas kewenangan pengaturan;
(d) ruang lingkup materi muatan pengaturan.
Dikaitkan dengan pengaturan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan pada Kota Denpasar, maka kajian ini dituntut oleh pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi landasan pengaturan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan?
2. Apakah yang menjadi asas-asas dalam pengaturan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan?
3. Bagaimanakah batas-batas kewenangan Kota Denpasar dalam
pengaturan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan?
4. Bagaimanakah ruang lingkup materi muatan pengaturan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan?
C. Tujuan dan Kegunaan
A. Tujuan, yaitu:
1. Merumuskan landasan ilmiah penyusunan rancangan Peraturan
Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.
2. Merumuskan arah dan cakupan ruang lingkup materi bagi
penyusunan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 3
B. Kegunaan, yaitu:
1. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi
pembuat rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam penyusunan Peraturan Daerah Kota
Denpasar tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
D. Landasan Konseptual
Konsep-konsep pokok yang digunakan dalam kajian ini adalah konsep
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan rancangan peraturan
daerah, yang akan diurai dalam urutan sebagai berikut:
1. Menempatkan sudut pandang perbedaan pajak daerah dan
retribusi daerah.
2. Konsep pajak daerah.
3. Konsep Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
4. Konsep peraturan daerah.
5. Konsep naskah akademik
1. Menempatkan Sudut Pandang Perbedaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Secara umum, pendapatan daerah dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu: (1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu dan
(2) Pajak yang dipungut tanpa kompensasi layanan.1 Pada retribusi daerah
terdapat suatu tegenprestatie atau pengembalian jasa yang langsung dari
1Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik PerubahanKebijakan
1974-2004, Kencana, Jakarta, hlm. 125.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 4
pihak pemerintah.2 Secara argumentum a contrario, pada pajak daerah tidak
terdapat pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah.
Unsur pengembalian jasa yang lansung dan yang tidak lansung
merupakan pembeda retribusi daerah dan pajak daerah, sebagaimana
tampak pada pendapat berikut. Pajak Daerah, di dalamnya harus pula
terdapat unsur imbalan/kontraprestasi sebagaimana halnya retribusi daerah.
Faktor yang membedakan, pada pajak daerah kontraprestasi tersebut untuk
masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang
bersangkutan, sedangkan pada retribusi daerah kontraprestasinya langsung
kepada pembayar retribusi.3 Artinya, setiap pembayaran pajak memberi
kontribusi atas jasa-jasa pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
tetapi pembayarannya tidak menerima konstraprestasi langsung yang dapat
dinikmati, dan setiap pembayaran retribusi menerima kontraprestasi
langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah disediakan atau dibuat
untuk itu.4
Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan pajak dan
retribusi adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu barang
publik, yaitu barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara
kolektif, maka pembebanan pungutannya adalah pajak. Pelayanan suatu
barang privat, yaitu barang/jasa yang memberi keuntungan pada diri sendiri,
maka pembebanan pungutannya adalah retribusi.5
Dengan demikian, secara konseptual dalam konsep pajak daerah
terdapat ciri-ciri, yang membedakannya dengan retribusi daerah, yaitu:
2 R. Soedargo, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco, Bandung,
hlm. 29. 3 Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta,
hlm. 56. 4 Kesit Bambang Prakosa, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press,
Yogyakarta, hlm. 35. 5 Kesit Bambang Prakosa, Ibid., 36.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 5
a. pengembalian barang/jasa yang tidak langsung dari pihak
pemerintah daerah;
b. berupa barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang
secara kolektif; dan
c. untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk
sektor pajak yang bersangkutan.
2. Konsep Pajak Daerah.
Pada hampir di semua Negara kekuasaan pengenaan pajak oleh
Negara secara tegas dicantumkan dalam konstitusinya (Undang-Undang
Dasar). Sebagai contoh, di Belgia diatur dalam Pasal 170, Meksiko dalam
Pasal 31, Italia dalam Pasal 23, Prancis dalam Pasal 34, Portugal dalam
Pasal 107, dan Spanyol dalam Pasal 133.6 Di Indonesia, ketentuan
konstitusional pengenaan pajak oleh Negara diatur dalam Pasal 23A UUD
1945, yang menentukan: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Artinya, ada 2 (dua)
macam pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, yaitu
pajak dan pungutan lain (selain pajak). Frase “diatur dengan undang-
undang” menunjukan politik hukum7 pembatasan kekuasaan pemerintah
dalam mengenakan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan
Negara, baik pajak maupun pungutan lain (selain pajak). Pengaturan dengan
undang-undang bermakna adanya keterlibatan rakyat baik melalui
mekanisme perwakilan melalui Dewan Perwakilan Rakyat maupun
mekanisme partisipasi publik, sehingga pemerintah mengenakan pungutan
tersebut berdasarkan kehendaknya sendiri.
6 Darussalam dan Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan Untuk
Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia, Grasindo, Jakarta, hlm. 2.
7 Politik hukum adalah arah resmi yang dijadikan dasar untuk membuat dan
melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Lihat Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hlm. 6 dan 15.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 6
Pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, dari segi
kewenangan pengenaannya, dibedakan menjadi dua, yaitu (1) yang
dikenakan oleh Pemerintah Pusat; dan (2) yang dikenakan oleh Pemerintah
Daerah. Untuk jenis pungutan yang kedua ini telah diundangkan UU PDRD
2009. UU ini menentukan jenis pungutan yang bersifat memaksa menjadi:
pajak daerah dan retribusi daerah, sebagai bentuk dari pungutan lain yang
bersifat memaksa.
Pasal 1 angka 1 UU PDRD 2009 menentukan Pajak Daerah adalah
kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
Derah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.8
Unsur utama dari pengertian pajak daerah dalam UU PDRD 2009
adalah kontribusi wajib, yang berbeda dengan unsur utama dari pengertian
Retribusi Daerah, yaitu pungutan Daerah. Retribusi Daerah, yang
selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran
atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
Badan.9
Penggunaan istilah atau tanda yang berbeda untuk menandai pajak
daerah dan retribusi daerah menunjukan: (1) retibusi daerah adalah
pungutan, sedangkan pajak daerah bukanlah pungutan; dan (2) retribusi
daerah tidak bersifat memaksa, sedangkan pajak daerah bersifat memaksa.
Pembedaan ini tidak koheren dengan karakter pungutan yang bersifat
8 Bandingkan dengan konsep Pajak Daerah dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 34
Tahun 2000, bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
9 Pasal 1 angka 1 UU PDRD 2009.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 7
memaksa dalam Pasal 23A UUD 1945. Berdasarkan karakter konstitusional
ini, maka pemahamannya adalah:
1. Pajak Daerah (sebagai spesies pajak) adalah pungutan yang
bersifat memaksa. Pemahaman ini diperoleh dengan menafsirkan
teks “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa”, yang
maknanya pungutan yang bersifat memaksa terdiri dari pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa. Jadi, pajak daerah adalah
pungutan yang bersifat memaksa.
2. Retribusi Daerah adalah pungutan yang bersifat memaksa, yang
dalam konteks Pasal 23A UUD 1945 termasuk dalam “pungutan
lain yang bersifat memaksa”.
Pembedaan pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan
pungutan yang bersifat memaksa dan dipungut oleh Daerah adalah pada
imbalan. Pada pajak daerah, imbalannya tidak langsung, sedangkan pada
retribusi daerah, imbalannya langsung berupa jasa atau izin tertentu.
Sekali pun ditemukan pengertian pajak daerah tidak ada koherensi
dengan karakter yang terdapat dalam Pasal 23A UUD 1945, namun dalam
rangka pembentukan peraturan daerah pengertian tersebut tetap digunakan.
Oleh karena, pembentukan peraturan daerah pada prinsipnya adalah
pelaksanaan undang-undang.
Hal itu dapat dipahami dalam kerangka implementasi kebijakan publik,
yang salah satu aktivitasnya adalah interpretasi (interpretation), yaitu
aktivitas menjabarkan substansi kebijakan agar menjadi rencana dan
pengarahan yang diterima dan dilaksanakan.10 Dapat dipahami, aktivitas
interpretasi dalam implementasi kebijakan publik adalah menjabarkan
sebuah kebijakan publik yang masih bersifat umum ke dalam kebijakan
publik yang lebih operasional, atau pembuatan kebijakan pelaksanaan.
10
Charles O. Jones, 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 296. Menurutnya ada 3 (tiga) aktivitas dalam implemetansi kebijakan publik, yaitu pengorganisasian, interpretasi, dan penerapan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 8
Pembuatan kebijakan publik, termasuk kebijakan pelaksanaan, dalam
bentuknya yang positif hakekatnya merupakan perumusan norma hukum ke
dalam aturan hukum.11 Dalam konteks ini, kebijakan pelaksanaan dari
kebijakan pajak daerah yang dituangkan dalam UU PDRD 2009 tersebut
adalah Peraturan Daerah, yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum.
3. Konsep Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pasal 1 angka 41 UU PDRD 2009 menentukan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan.
UU PDRD 2009 tidak memberikan isi konsep atau pengertian
perolehan hak atas tanah dan bangunan, namun UU PDRD 2009 hanya
memberikan hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan.Oleh karena itu ditelusuri dalam undang-
undang sebelum PDRD, yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.12
11 Marhaendra Wija Atmaja, 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan
HAIV/AIDS dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah, Lokakarya Legal
Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS bagi Anggota DPRD 10 Provinsi Di Indonesia,
diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada Minggu-Rabu
11-14 Juni di Bandung, hlm. 2-4. 12) Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
Hak Atas dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 9
4. Konsep Peraturan Daerah
Menurut Pasal 1 angka 7 UU P3, Peraturan Daerah adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah
dengan persetujuan bersama kepala daerah. Peraturan Daerah merupakan
salah satu jenis dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, yang berada
pada posisi paling bawah (Pasal 7 ayat (1) huruf e UU P3).13
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah
kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota; dan c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat,
dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan
kepala desa atau nama lainnya.
Peraturan Daerah yang dimaksud dalam kajian ini adalah Peraturan
Daerah Kabupaten, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
DPRD kabupaten dengan persetujuan bersama bupati.
Pasal 1 Angka 2 UU P3 menentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum.
Dengan demikian dalam pengertian Peraturan Daerah Kabupaten
terdapat unsur-unsur:
1. bentuknya berupa peraturan tertulis;
2. pembentuknya adalah DPRD kabupaten dengan persetujuan
bersama bupati; dan
13
) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU P3 adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 10
3. kekuatan mengikat adalah mengikat secara umum.
Mengikat secara umum merupakan konsekuensi logis dari karakter
norma hukum yang termuat dalam peraturan tertulis tersebut, yaitu norma
hukum yang umum-abstrak, atau sekurang-kurangnya norma hukum yang
umum-konkret.14 Norma umum-abstrak adalah norma yang ditujukan kepada
orang tidak tertentu dan objek yang diatur berupa fakta tidak tertentu. Norma
umum-konkret adalah norma yang ditujukan kepada orang tidak tertentu dan
objek yang diatur berupa fakta tertentu.
Berdasarkan pemahaman tersebut, penyusunan konsep awal
Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai
salah satu keluaran dari kajian akademik ini diarahkan pada karakter norma
hukum tersebut di atas.
5. Konsep Naskah Akademik
Pasal 1 angka 7 Perpres nomor 68 Tahun 200515 menentukan
Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan,
sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah
pengaturan Rancangan Undang-Undang.
Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor M.Hh-01.PP.01.01 Tahun 200816 menentukan Penyusunan Naskah
Akademik adalah pembuatan Naskah Akademik yang dilakukan melalui
14
A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV”, Disertasi Doktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 317.
15 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
16 Tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Perundang-undangan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 11
suatu proses penelitian hukum dan penelitian lainnya secara cermat,
komprehensif, dan sistematis.
Isi Naskah Akademik ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut memuat dasar filosofis,
yuridis, sosiologis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur, serta konsep
awal Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya pada ayat (2)
ditentukan, Naskah Akademik disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan
Naskah Akademik sebagaimana tercantum dalam lampiran.
E. Metode Penelitian
Menggunakan metode penelitian hukum (legal research), dalam
artian menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta
didukung bahan hukum informatif. Bahan-bahan hukum ini dianalisis secara
hermeneutika hukum.
1. Pendekatan.
Pendekatan yang digunakan untuk menjawab isu hukum dalam kajian
ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan filsafat (philosophical approach). 17
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) beranjak pada
peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, antara lain Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah kedua kalinya dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan
beranjak pada pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum
17
Tentang pendekatan tersebut berdasarkan Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, hal. 93-137.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 12
berkenaan dengan pajak daerah. Pendekatan historis (historical approach)
beranjak pada sejarah perkembangan pengaturan pajak daerah, khususnya
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Pendekatan filsafat
(philosophical approach) beranjak dari dasar ontologis dan landasan filosofis
UU PDRD serta ratio legis dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam UU
PDRD, khususnya tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.18 Bahan hukum primer adalah segala dokumen
resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini adalah Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
sebagaimana diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008, serta peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait
dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya
tulis para ahli hukum berkenaan dengan pengaturan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan, yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.
Bahan hukum informatif berupa informasi dari lembaga atau pejabat,
baik dari lingkungan Pemerintah Daerah Kota Denpasar maupun para pihak
yang membidangi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Bahan ini
digunakan sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasi data primer dan
sekunder.
18
C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung, hal. 134.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 13
3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Untuk bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dilakukan
studi dokumenter dan kepustakaan. Untuk bahan hukum informatif dilakukan
studi lapangan bersaranakan FGD (Focus Group Discussion), wawancara,
mendengan pendapat narasumber atau para ahli.
4. Metode Analisis.
Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan interpretasi
secara hermeneutikal, yaitu memahami aturan hukum:
a. berdasarkan pemahaman tata bahasa (gramatikal), yaitu
berdasarkan makna kata dalam konteks kalimatnya;
b. dipahami dalam konteks latar belakang sejarah pembentukannya
(historikal) dan dalam kaitan dengan tujuan yang mau
diwujudkannya (teleologikal) yang menentukan isi aturan hukum
positif itu (untuk menentukan ratio legis-nya); serta
c. dipahami dalam konsteks hubungannya dengan aturan hukum
yang lainnya (sistematikal) dan secara kontekstual merujuk pada
faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan kenyataan ekonomi
(sosiologikal) dengan mengacu pandangan hidup, nilai-nilai
kultural dan kemanusiaan yang fundamendal (filosofikal) dalam
proyeksi ke masa depan (futurological).19
Interpretasi secara hermeneutikal tiada lain adalah hermeneutika
hukum, sebagaimana dikemukakan Gregory Leyh, bahwa tugas
hermeneutika hukum adalah menempatkan perdebatan kontemporer
mengenai interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi yang lebih luas.20
19
Bernard Arief Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, eds.,2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refeksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 145-146.
20 Gregory Leyh, “Pendahuluan”, dalam Gregory Leyh, ed., 2008, Hermeneutika
Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik, (judul asli: Legal Hermeneitics, University of California Press, 1992), terjemahan M. Khozim, Penerbit Nusa Media, Bandung, hlm. 1.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 14
Makna ”dalam kerangka interpretasi yang lebih luas” adalah hermeneutika,
sebagaimana diungkapkan, upaya mengkontekstualisasikan teori hukum
dengan cara seperti ini mengisyaratakan bahwa hermeneutika mengandung
manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum).21 Jadi, tugas hermeneutika
hukum adalah menempatkan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi
hukum dalam kerangka hermeneutika.
Untuk mendapatkan pemahaman secara utuh diperlukan proses
pemahaman yang berlangsung dalam suatu gerakan bolak-balik antara
bagian dan keseluruhan. Proses pemahaman ini disebut lingkaran
hermeneutis, yaitu bagian hanya dapat dipahami dalam konsteks
pemahaman terhadap keseluruhan, yang mengandaikan pemahaman
terhadap bagian-bagian. Demikianlah, untuk dapat memahami dengan baik
sebuah teks, maka:
a. terlebih dahulu harus memahami keseluruhan teks untuk dapat
menginterpretasi dengan baik tiap kalimat yang mewujudkan
keseluruhan teks tersebut; dan
b. untuk dapat memahami keseluruhan teks maka terlebih dahulu tiap
kalimat harus diinterpretasi dengan baik.22
Interpretasi hukum secara hermeneutika dalam kajian ini beranjak dari
lingkaran hermeneutis tersebut, yaitu memahami suatu peraturan
perundang-unangan secara keseluruhan untuk dapat menginterpretasi
dengan baik tiap norma hukum yang mewujudkan peraturan perundang-
undangan tersebut, dan untuk dapat memahami suatu peraturan perundang-
unangan secara keseluruhan maka terlebih dahulu tiap norma hukum harus
diinterpretasi dengan baik.
21
Ibid. 22
Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu HUkum sebagai Landasan Pengmbangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 98-99.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 15
Pentingnya pendekatan hermeneutika dalam ilmu hukum, karena
interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap
aturan hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat yang merupakan
bunyi teks hukum dan yang tersirat yang merupakan gagasan yang ada di
belakang aturan hukum.23 Karenanya, diperlukan ketepatan pemahaman
(subtilitas intellegendi), ketepatan penafsiran (subtilitas explicandi), dan
ketepatan penerapan (subtilitas applicandi). 24
Penafsiran bukan tindakan tambahan yang secara berkala dilakukan
sebelum pemahaman, tetapi pemahaman selalu sebuah penafsiran, dan
karena itu penafsiran adalah bentuk eksplisit dari pemahaman. Berikutnya
adalah penerapan, yaitu penerapan terhadap teks untuk dipahami oleh
situasi penafsir sekarang, yang merupakan bagian integral dari tindakan
hermeneutika sebagaimana pemahaman dan penafsiran.25
Dalam kajian ini tindakan yang dilakukan adalah memahami teks atau
aturan hukum berkenaan dengan pajak daerah, khususnya Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan, melalui menafsirkan, dan menerapkannya
dalam bentuk Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
23
E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Edisi Revisi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 29. Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, 2005, “Arti Penting Hermeneutik dalam Penerapan Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hlm.17, yang mengutip dari E. Sumaryono.
24 E. Sumaryono, 1999, hanya menyebut subtilitas intellegendi (ketepatan
pemahaman) dan subtilitas explicandi (ketepatan penafsiran, yang disebutnya ketepatan penjabaran). Tiga tindakan hermeneutika tersebut dikutip dari Hans-Georg Gadamer, 2004, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terjemahan Ahmad Sahidah (judul asli: Truth and Method, The Seabury Press, New York, 1975), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 370.
25 Hans-Georg Gadamer, 2004, Ibid, hlm. 370-371.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 16
BAB II
KONDISI EKSISTING BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KOTA DENPASAR
A. Kondisi Eksisting Kota Denpasar
1. Letak Geografis
Kota Denpasar terletak di tengah-tengah Pulau Bali, selain merupakan
Ibukota Daerah Kota Denpasar, juga merupakan Ibukota Provinsi Bali
sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, perekonomian. Letak
yang sangat strategis ini sangatlah menguntungkan, baik dari segi ekonomis
maupun dari kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai
kegiatan dan sekaligus sebagai penghubung dengan kabupaten lainnya.
Kota Denpasar terletak diantara 08° 35" 31'-08° 44" 49' lintang selatan
dan 115° 10" 23'-115° 16" 27' Bujur timur, yang berbatasan dengan: di
sebelah Utara Kabupaten Badung, di sebelah Timur Kabupaten Gianyar, di
sebelah Selatan Selat Badung dan di sebelah Barat Kabupaten Badung.
Ditinjau dari Topografi keadaan Kota Denpasar secara umum miring
kearah selatan dengan ketinggian berkisar antara 0-75m diatas permukaan
laut. Morfologi landai dengan kemiringan lahan sebagian besar berkisar
antara 0-5% namun dibagian tepi kemiringannya bisa mencapai 15%.
2. Luas Wilayah
Luas seluruh Kota Denpasar 127,78 km2 atau 12.778 Ha, yang
merupakan tambahan dari reklamasi Pantai Serangan seluas 380 Ha. Dari
luas tersebut di atas tata guna tanahnya meliputi Tanah sawah 2.717 Ha dan
Tanah Kering 10.051 Ha. Tanah kering kering terdiri dari Tanah Pekarangan
7.831 Ha, Tanah Tegalan 396 Ha, Tanah Tambak/Kolam 10Ha, Tanah
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 17
sementara tidak diusahakan 81Ha,Tanah Hutan 613 Ha , Tanah Perkebunan
35 Ha dan Tanah lainnya: 1.162 Ha.
Tabel 1: Luas Lahan Kota Denpasar
3. Penduduk
Menurut Registrasi jumlah Penduduk sampai akhir Tahun 2008:
642.358 orang, tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 8,09 %, sedangkan
sensus penduduk 2000 menunjukan pertumbuhan dengan rata-rata sebesar
: 3,01 %, hal ini disebabkan karena program keluarga berencana yang ada di
Kota Denpasar dapat dilaksnakan dengan baik.Tingginya tingkat
pertumbuhan penduduk ini disebabkan oleh faktor migrasi yang sangat
dominan, dengan alasan pokok untuk mencari pekerjaan.
Secara regional penyebab banyaknya penduduk yang masuk ke
daerah Kota Denpasar karena Denpasar merupakan kota Propinsi, dimana
hampir semua kegiatan ekonominya maupun pendidikan terfokus di daerah
ini. Selama tahun 2008 bertambahnya penduduk sebesar : 477.199 orang
dari 165.159 orang pada tahun 2007 menjadi 642.358 orang pada tahun
2008. Pertumbuhan penduduk tersebut hanya sebagian kecil saja
disebabkan oleh pertumbuhan alami tetapi lebih banyak karena mutasi
penduduk baik dari Kabupaten di Bali maupun dari luar Bali. Hal ini
menyebabkan kepadatan penduduk yang makin meningkat, yang dapat
dirinci sebagai berikut:
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 18
Tabel 2: Jumlah Penduduk Kota Denpasar
4. Pembagian Wilayah Administrasi
Secara administratif terbagi menjadi 4 wilayah kecamatan yang
meliputi kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Selatan dan
Denpasar Utara. Wilayah Kecamatan dibagi menjadi beberapa
Desa/Kelurahan, masing-masing terdiri beberapa Dusun/Lingkungan.
Disamping Desa Dinas juga terdapat Desa Adat yang masing-masing terdiri
dari beberapa Banjar Adat. Antara Desa dinas dengan Desa adat tidak
terjadi tumpang tindih, justru sebaliknya terdapat keserasian dan kerjasama
yang saling mendukung. Jumlah Kelurahan/Dinas dan Banjar di Kota
Denpasar:
Tabel 3: Pembagian Wilayah Administrasi Kota Denpasar
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 19
Dari 16 Kelurahan dan 27 Desa yang ada semuanya sudah termasuk
kategori Desa/Kelurahan Swasembada.
5. Kondisi Penggunaan Tanah
Kota Denpasar didominasi oleh tanah alluvial yang terdapat pada
topografi datar sampai bergelombang. Berdasarkan data Luas Wilayah
menurut Penggunaan Tanah maka terdiri dari :
Tabel 4: Penggunaan Tanah di Wilayah Kota Denpasar
6. Kondisi Penerbitan Sertifikat Perolehan Hak Atas Tanah
Berikut tabel mengenai penerbitan sertifikat hak atas tanah selama
tahun 2008:
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 20
Tabel 5: Penerbitan Sertifikat Perolehan Hak Atas Tanah di Kota Denpasar
Pemaparan tersebut di atas dapat menggambarkan adanya
penggunaan tanah di wilayah Kota Denpasar dan oleh karenanya terdapat
pula peralihan atas tanah dan juga bangunan di wilayah Kota Denpasar.
Peralihan hak atas tanah dan bangunan di dalamnya terdapat pihak yang
melepaskan hak dan pihak yang memperoleh hak. Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan.adalah objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (Pasal 85 ayat (1) UU PDRD 2009). Sekaligus menunjukkan
adanya Wajib Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yaitu orang
pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
(Pasal 86 ayat (2) UU PDRD 2009).Tanpa ada Wajib Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan, maka pengaturan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan tidak relevan dibuat.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 21
B. Usulan Raperda Kota Denpasar Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tugas dan
wewenangnya di bidang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
telah membuat usulan Raperda Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan. Naskah usulan ini perlu dianalisis berkenaan
dengan kerangka dan materi muatan, untuk mengetahui derajat
kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan.
Tabel 6: Analisis Raperda Usulan SKPD tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan
RAPERDA USULAN SKPD TENTANG
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
ANALISIS
Nama dalam judul: Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) huruf e UU PDRD 2009.
Menimbang :
a. bahwa dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
yang merupakan perubahan
kedua kalinya dari Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah membawa
implikasi terhadap kewenangan
daerah terkait dengan Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah;
b. bahwa sejalan dengan semangat
Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
untuk melakukan penguatan
1. Dasar pertimbangan itu sudah tepat. a.
2. Sesuai Pedoman angka 18 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran), dasar pertimbangan Perda harus mencerminkan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 22
perpajakan daerah (Local Taxing
Empowerment) maka beberapa
jenis pajak yang merupakan
kewenangan Pemerintah Pusat
dan Provinsi sekarang
kewenangan tersebut, telah
diserahkan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota;
c. bahwa Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB)
merupakan salah satu sumber
pendapatan daerah yang
diserahkan kewenangannya
kepada Pemerintah Kota
Denpasar;
d. bahwa potensi Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah yang
cukup potensial guna membiayai
penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di Kota
Denpasar;
e. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana
dimaksud huruf a.huruf b. huruf c
dan huruf d diatas perlu
ditetapkan dengan Peraturan
Daerah tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 69
Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II dalam Wilayah Daerah-
daerah Tingkat I Bali, Nusa
1. Seharusnya, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 23
Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 122;
Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1655);
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun
1992 tentang Pembentukan Kota
Denpasar (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3465);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
4. Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak
(Lembaran Negara Republik
Tahun 1997 Nomor 40;
Tambahan Lembaran Negara
Republik Negara Republik
Nomor 3684 );
5. Undang-Undang 19 Nomor 1997
tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 42;
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3686)
sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3465); 2. UU tentang Pemerintahan
Daerah telah tidak sesuai dengan UU yang sekarang berlaku, yaitu: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah dengan Undang Nomor 12 Tahun 2008.
3. Dasar hukum yang lain juga harus disesuaikan dengan yang baru.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 24
Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 129; Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3987);
6. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
4389);
7. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844
);
8. Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 126,
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 25
Tamabahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
4438);
9. Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor
130; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 130);
10. Peraturan Pemerintah Nomor
144 Tahun 2000 tentang Jenis
Barang dan Jasa yang tidak
dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor
260; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 4062).
Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH KOTA DENPASAR
1. Tidak sesuai dengan Pedoman angka 38 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).
2. Sesuai pedoman itu, semestinya: Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DENPASAR
dan WALIKOTA DENPASAR
M E M U T U S K A N: Menetapkan :
PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR TENTANG
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
1. Tidak sesuai dengan Pedoman angka 40 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).
2. Sesuai pedoman itu, semestinya:
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 26
DAN BANGUNAN
BAB I KENTENTUAN UMUM Pasal 1
a. Daerah adalah Daerah Kota
Denpasar;
b. Pemerintah kota adalah
Pemerintah Daerah kota
beserta perangkat daerah
otonom yang lain sebagai
Badan Eksekutif Daerah;
c. Kepala Daerah adalah
Walikota Denpasar yang
selanjutnya disebut Walikota;
d. Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang selanjutnya
disebut DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Kota Denpasar;
e. Pejabat adalah Pegawai yang
diberi tugas tertentu dibidang
perpajakan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
f. Dinas Pendapatan adalah
Dinas Pendapatan Kota
Denpasar;
g. Kantor Pertanahan adalah
Kantor Pertanahan Kota
Denpasar;
h. Kantor Lelang Negara adalah
Kantor Lelang Negara di
Provinsi Bali;
i. Nilai Jual Objek Pajak yang
selanjutnya disingkat NJOP
adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar, dan
bilamana tidak terdapat
Perumusannya tidak sesuai dengan Pedoman angka 77 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 27
transaksi jual beli, NJOP
ditentukan melalui
perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis, atau
nilai perolehan baru, atau
NJOP pengganti;
j. Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan yang
selanjutnya disebut pajak
adalah pungutan daerah atas
perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan;
k. Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan adalah
perbuatan atau pristiwa hukum
yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah
dan/atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan;
l. Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan adalah hak atas
tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta
bangunan diatasnya,
sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang di bidang
pertanahan dan bangunan;
m. Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar
selanjutnya disingkat
SKBPHTBKB adalah surat
keputusan yang menentukan
besarnya jumlah pajak yang
terutang, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi
dan jumlah yang masih harus
dibayar;
n. Surat Ketetapan Bea
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 28
Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar
Tambahan yang selanjutnya
disingkat SKBPHTBKBT
adalah surat keputusan yang
menentukan tambahan atas
jumlah pajak yang telah
ditetapkan;
o. Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Lebih Bayar yang
selanjutnya disingkat
SKBPHTBLB adalah surat
keputusan yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran
pajak karena jumlah kredit
pajak lebih besar dari pajak
yang terutang atau tidak
seharusnya terutang;
p. Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Nihil yang
selanjutnya disingkat
SKBPHTBN adalah Surat
Keputusan yang menentukan
jumlah pajak yang terutang
sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit
pajak;
q. Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan
Bangunan, yang disingkat
STBPHTB adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan
atau sanksi administrasi
berupa denda dan atau bunga;
r. Surat Setoran Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan
yang dapat disingkat
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 29
SSBPHTB, adalah surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan
untuk membayar atau
penyetoran pajak yang
terutang ke Kas Daerah atau
tempat lain yang ditentukan
oleh Walikota dan sekaligus
untuk melaporkan data
perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan;
s. Surat Keputusan Pembetulan
adalah surat keputusan untuk
membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung dan atau
kekeliriuan dalam penerapan
peraturan perundang-
undangan perpajakan yang
terdapat dalam Surat
Ketetapan BPHTB Kurang
Bayar, Surat Ketetapan BPHTB
Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan BPHTB Lebih
Bayar, Surat Ketetapan BPHTB
Nihil, atau Surat Tagihan
BPHTB;
t. Surat Keputusan Keberatan
adalah surat keputusan atas
keberatan terhadap Surat
Ketetapan BPHTB Kurang
Bayar, Surat Ketetapan BPHTB
Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan BPHTB Lebih
Bayar, Surat Ketetapan BPHTB
Nihil yang diajukan oleh Wajib
Pajak;
u. Putusan Banding adalah
putusan Badan Peradilan Pajak
atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 30
BAB II NAMA, OBYEK DAN SUBYEK PAJAK Pasal 2 (1) Dengan nama Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dipungut pajak atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan setiap hak atas tanah dan/atau bangunan yaitu terhadap peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan perolehan hak baru ;
(3) Objek perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam
perseroan atau badan
hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang
mengakibatkan
peralihan;
8. penunjukan pembeli
karena lelang;
9. pelaksanan putusan
hakim yang mempunyai
kekutan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
1. Perumusan ini merupakan kebiasaan dalam praktek.
2. Nama “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan” memang sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Huruf k UU PDRD, namun rumusan ini tidak dikenal dalam UU PDRD.
3. Rumusan tersebut juga tidak tepat oleh karena nama tidak dapat dijadikan dasar hukum melakukan pungutan pajak. Dasar hukum pemungutan pajak adalah Peraturan Daerah.
4. Sesuai Pedoman angka 13 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran), nama “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan” semestinya tercantum dalam Judul dan Diktum Perda, tidak perlu dirumuskan kembali dalam Materi Pokok yang Diatur.
5. Sebagai analogi, tanggal mulai berlakunya (Pasal 95 ayat (3) huruf I UU PDRD) tidak perlu ada perumusan tersendiri, akan tetapi dirumuskan dalam Bab Ketentuan Penutup.
6. Objek Pajak sudah sesuai dengan UU PDRD (Pasal 85 ayat (2) dan (3)).
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 31
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha, atau
13. hadiah.
b. Pemberian hak baru
karena:
1. kelanjutan pelepasan
hak,atau
2. di luar pelepasan hak.
c. Pemberian hak baru
karena:
1. kelanjutan pelepasan
hak,atau
2. di luar pelepasan hak.
d. Hak atas tanah adalah :
1. hak milik;
2. hak guna usaha;
3. hak guna bangunan;
4. hak pakai;
5. hak milik atas satuan
rumah susun, dan
6. hak pengelolaan.
Pasal 3
Objek Pajak yang tidak dikenakan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
atau Bangunan adalah :
a. Perwakilan Diplomatik dan
Konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan dan/atau untuk
pelaksanan pembangunan
guna kepentingan umum;
c. Badan atau Perwakilan
Lembaga Internasional yang
ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan dengan
syarat tidak menjalankan
usaha atau melakukan
kegiatan lain di luar fungsi dan
Sudah sesuai dengan UU PDRD. Namun UU PDRD (Pasal 95) pengaturan terhadap Perwakilan Diplomatik dan Konsulat dapat dibuat dalam Bab tersendiri. Satuan Kerja Pemerintah Daerah, dalam FGD yang diselenggarakan tanggal 27 April 2010 menghendaki pengaturan yang serupa dengan UU PDRD.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 32
tugas Badan atau Perwakilan
Organisasi tersebut;
d. Orang pribadi atau badan
karena konversi hak atau
karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya
perubahan nama;
e. Orang pribadi atau badan
karena wakaf, dan
f. Orang pribadi atau badan yang
digunakan untuk kepentingan
ibadah.
Pasal 4 (1) Subjek Pajak Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan atau dengan kata lain subjek pajak Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan adalah pihak yang menerima pengalihan hak baik itu badan atau orang pribadi;
(2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Ayat (1) Tidak sesuai UU PDRD (Pasal 86 ayat (1))
Penggunaan kata ”dengan kata lain” pada ayat (1) bersifat ambigu dan membingungkan, sebaiknya ditempatkan pada Penjelasan.
Ayat (2) sudah sesuai dengan UU PDRD Pasal 86 ayat (2).
BAB III DASAR PENGENAAN DAN TARIF PAJAK Pasal 5
(1) Dasar pengenaan pajak adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP).
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah dalam hal:
Tidak sesuai dengan UU PDRD Pasal 87, karena tidak mencantumkan ayat (4), (5) dan (6) pasal ini. Ketentuan Pasal 87 ayat (4), (5) dan (6) justru dimasukkan ke dalam Bab cara penghitungan. Pasal 87 ayat (4), (5) dan (6) berkaitan erat dengan dasar pengenaan bukan dengan cara penghitungan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 33
a. jual beli adalah harga
transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai
pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai
pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam
peseroan atau badan
hukum lainnya adalah nilai
pasar;
g. pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan
adalah nilai pasar;
h. peralihan karena
pelaksanan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai
pasar;
i. pemberian hak baru atas
tanah sebagai kelanjutan
dari pelepasan hak adalah
nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas
tanah diluar pelepasan hak
adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha
adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah
nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah
nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar,
dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam
lelang adalah harga
transaksi yang tercantum
dalam risalah lelang.
(3) Apabila Nilai Perolehan Objek
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 34
Pajak sebagaimana dimaksud
ayat (2) huruf a sampai dengan
huruf n tidak diketahui atau
lebih rendah daripada NJOP,
yang digunakan dalam
pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, dasar
pengenaan yang digunakan
adalah NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan.
Pasal 6 Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan sebesar 5 % (lima persen).
Sesuai dengan Pasal 88 UU PDRD, daerah diperkenankan menetapkan tarif dengan Perda dan paling tinggi 5%.
BAB IV WILAYAH PEMUNGUTAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK Pasal 7 Wilayah pemunggutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang terutang dipungut di Wilayah Kota Denpasar.
Sesuai dengan Pasal 89 ayat (2) UU PDRD. Hanya saja penormaannya kurang tepat, seharusnya: BPHTB yang terutang dipungut di Wilayah Kota.
Pasal 8
(1) Besaran Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP) ditetapkan paling
rendah sebesar Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) untuk setiap Wajib
Pajak;
(2) Perolehan hak karena waris
atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu
Tidak sesuai dengan UU PDRD, seharusnya ayat (1) dan ayat (2) disebutkan dalam Pasal mengenai dasar pengenaan.
Ayat (3) adalah cara penghitungan pajak.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 35
derajat ke atas atau kebawah
dengan pemberi hibah wasiat,
termasuk suami/istri Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NPOPTKP)
ditetapkan paling rendah
sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah);
(3) Besaran pokok Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan
yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud pada
Pasal 6 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 ayat (1)
setelah dikurangi Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NPOPTKP)
sebagaimana dimaksud ayat (1)
dan ayat (2) pasal ini.
BAB V MASA PAJAK DAN SAAT PAJAK TERUTANG Pasal 9 Masa pajak adalah pada saat terjadinya perolehan hak.
Dalam UU PDRD Pasal 1 angka 46 disebutkan, masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Dalam FGD dengan SKPD tanggal 27 April 2010, disebutkan masa BPHTB yang optimal adalah 1 bulan.
Seharusnya penormaannya: Masa BPHTB ditetapkan 1 (satu) bulan kalender terhitung sejak
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 36
saat terutang pajak.
Pasal 10
Saat terutang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan
ditetapkan untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya
akta;
b. tukar menukar adalah sejak
tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya
akta;
d. hibah wasiat adalah sejak
tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
e. waris adalah sejak tanggal
yang bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya
ke kantor bidang pertanahan;
f. pemasukan dalam perseroan
atau badan hukum lainnya
adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
g. pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan
adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
h. putusan hakim adalah sejak
tanggal putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap;
i. pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya Surat
Keputusan Pemberian Hak;
Sesuai dengan Pasal 90 UU PDRD.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 37
j. pemberian hak baru diluar
pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya Surat
Keputusan Pemberian Hak;
k. penggabungan usaha adalah
sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
l. peleburan usaha adalah sejak
tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak
tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya
akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal
penunjukan pemenang.
BAB VI TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK Pasal 11
(1) Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan terutang
dibayar sekaligus atau lunas;
(2) Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan terutang
dibayar oleh Wajib Pajak tidak
mendasarkan pada adanya
surat ketetapan pajak;
(3) Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan terutang
disetorkan ke Kas Umum
Daerah Kota Denpasar atau
tempat lain yang ditetapkan
dengan Keputusan Walikota;
(4) Pembayaran pajak
sebagaiamana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) disetor
Pasal tidak merupakan materi muatan Perda tentang Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.
Pasal 90 ayat (2) UU PDRD, menyebutkan bahwa Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Namun menurut SKPD dalam FGD tanggal 27 April 2010, sebaiknya diberikan jangka waktu 1 bulan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan BPHTB yang terutang.
Ayat (2), sesuai dengan sifat BPHTB yang merupakan pajak self assessment, maka tidak mendasarkamn pada surat ketetapan pajak, namun pengaturan ini sebaiknya dimasukkan ke dalam Bab
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 38
dengan menggunakan Surat
Setoran Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan
selanjutnya (SSBPHTB);
(5) Tata cara pembayaran pajak
ditetapkan dengan Peraturan
Walikota.
mengenai Penetapan Pajak.
BAB VII TATA CARA PENAGIHAN PAJAK Pasal 12
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sesudah saat
terutangnya pajak Walikota,
atau Pejabat dapat
menerbitkan Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar
(SKPHTBKB) apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan
atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang
kurang bayar;
(2) Jumlah kekurangan pajak yang
terutang dalam Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBPHTBKB)
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah dengan
sanksi administrasi berupa
denda 2 % (dua persen) setiap
bulan untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dihitung mulai
saat terutangnya pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBPHTBKB).
Dalam UU PPDRD 2009 bab ini disatukan dengan tata cara pembayaran. Jadi hal ini tidak sesuai dengan UU PDRD 2009.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 39
Pasal 13
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sesudah saat
terutangnya pajak, Walikota
atau Pejabat dapat
menerbitkan Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan (SKBPHTBKBT)
apabila ditemukan data baru
dan/atau data yang semula
belum terungkap yang
menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang
setelah diterbitkannya Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBPHTBKBT);
(2) Jumlah kekurangan pajak yang
terutang dalam Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan
(SKBPHTBKBT) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan
sebesar 100 % (seratus
persen) dari jumlah
kekurangan pajak tersebut,
kecuali Wajib Pajak
melaporkan sendiri sebelum
dilakukan tindakan
pemeriksaan
Pasal 14
(1) Walikota atau Pejabat dapat
menerbitkan Surat Tagihan
Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (STBPHTB)
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 40
apabila:
1. pajak yang terutang tidak
atau kurang bayar;
2. dari hasil pemeriksaan
Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan terdapat
kekurangan pembayaran
pajak sebagai akibat salah
tulis dan atau salah hitung;
3. wajib pajak dikenakan
sanksi administrasi berupa
bunga.
(2) Jumlah pajak yang terutang
yang tidak atau kurang bayar
dalam Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (STBPHTB)
sebagaimana dimaksud ayat
(1) huruf a dan huruf b
ditambah sanksi administrasi
berupa bungan 2 % (dua
persen) setiap bulan untuk
jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan sejak
saat terutangnya pajak.
Pasal 15
(1) Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar
SKBPHTBKB), Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan
(SKBPHTBKBT), Surat
Tagihan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
STBPHTB), dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 41
Keputusan Keberatan maupun
Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah,
merupakan dasar penagihan
pajak;
(2) Pajak yang terutang
berdasarkan Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar
(SKBPHTBKB), Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan
(SKBPHTBKBT), Surat
Tagihan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
(STBPHTB), dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan maupun
Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah,
harus dilunasi dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak diterima oleh
Wajib Pajak;
(3) Tata cara penagihan pajak
ditetapkan dengan
Peraturan Walikota.
Pasal 16 Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Sesuai dengan Pasal 102 UU PDRD 2009.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 42
Tambahan (SKBPHTBKBT), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan STBPHTB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.
BAB VIII PENGURANGAN DAN PEMBEBASAN PAJAK Pasal 17
(1) Walikota atau Pejabat
berdasarkan permohonan
Wajib Pajak dapat memberikan
pengurangan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) terutang karena hal-
hal tertentu ;
(2) Tata cara pemberian
pengurangan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) terutang
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ditetapkan dengan
Peraturan Walikota.
Tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU PDRD 2009.
BAB IX
TATA CARA PEMBETULAN,
PEMBATALAN, PENGURANGAN
KETETAPAN DAN
PENGHAPUSAN
Pasal 18
(1) Walikota atau Pejabat karena
jabatan atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat :
a. membetulkan yang dalam
1. Pasal 18 dan Pasal 19 ini tidak sesuai dengan tata cara penagihan menurut Pasal 102 UU PDRD 2009.
2. Pasal 18 dan Pasal 19 ini tidak merupakan materi muatan Perda Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 43
penerimaannya terdapat
kesalahan tulis, kesalahan
hitung, dan atau kekeliruan
dalam penerapan
Peraturan Perundang-
undangan perpajakan
daerah;
b. membatalkan,
mengurangkan dan atau
menghapuskan ketetapan
pajak yang tidak benar;
(2) Permohonan pembetulan,
pembatalan, pengurangan,
ketetapan dan penghapusan
atas SKBPHTB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan secara tertulis
oleh Wajib Pajak kepada
Walikota atau Pejabat
selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal
diterima SKBPHTB dengan
memberikan alasan yang jelas;
(3) Walikota atau Pejabat, paling
lama 3 (tiga) bulan sejak surat
permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
diterima, sudah harus
memberikan jawaban;
(4) Apabila setelah lewat waktu 3
(tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)
Walikota atau Pejabat tidak
memberikan keputusan,
permohonan, pembetulan,
pembatalan, pengurangan
ketetapan dan penghapusan
atau pengurangan sanksi
administrasi dianggap
dikabulkan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 44
BAB X KEBERATAN DAN BANDING (Pasal 19-Pasal 21)
Keberatan dan banding tidak merupakan materi muatan Perda tentang Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UUD PDRD 2009.
Namun menurut SKPD dalam FGD tanggal 27 April 2010, sebaiknya hal ini sebaiknya diatur saja.
BAB XI PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK (Pasal 22)
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak tidak merupakan materi muatan Perda tentang Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.
BAB XII KETENTUAN BAGI PEJABAT (Pasal 23-Pasal 25)
Ketentuan bagi pejabat bukan materi muatan tentang Perda tentang Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.
BAB XIII PELAPORAN DAN SANKSI ADMINISTRASI (Pasal 26-Pasal 27)
1. Pelaporan tidak merupakan materi muatan Perda Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.
2. Namun sanksi administrasi disebutkan dalam Bab tersendiri tersendiri.
3. Materi ini sesuai dengan Pasal 169 ayat (2) UU PDRD 2009 pengaturannya didelegasikan dengan Perwali.
BAB XIV KEDALUWARSA PENAGIHAN Pasal 28
(1) Hak untuk melakukan
penagihan pajak,
kedaluawarsa penagihan
setelah melampaui jangka
waktu 5 (lima) tahun terhitung
Tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 166 ayat (3) sampai dengan ayat (4) UU PDRD 2009.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 45
sejak saat terutangnya pajak,
kecuali apabila wajib pajak
melakukan tindak pidana
dibidang perpajakan daerah;
(2) Kadaluwarsa penagihan pajak
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tertangguh apabila :
a. diterbitkan surat peringatan
dan surat paksa atau ;
b. ada pengakuan utang
pajak dari wajib pajak baik
langsung maupun tidak
langsung.
BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 29
(1) Wajib pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang.
(2) Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan Keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang
Pasal 29 ini mendasarkan pada Pasal 174 UU PDRD. Seharusnya ketentuan pidana sebagai materi muatan Perda mendasarkan pada UU Pemda.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 46
Pasal 30 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 29 tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak.
Pasal 30 ini tidak sesuai dengan Pasal 175 UU PDRD 2009, karena tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
BAB XVI PENYIDIKAN (Pasal 31)
Judul Bab semestinya adalah Ketentuan Penyidikan dan ditempatkan sebelum Bab Ketentuan Pidana, sesuai dengan Pedoman angka 182 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).
BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Walikota
Pasal 32 ini tidak sesuai dengan Pedoman angka 166 dan 172 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).Frase Keputusan Walikota tidak merupakan bentuk pengaturan (regeling), tapi merupakan bentuk penetapan (beschikking).
Sumber : Diolah dari Raperda Kota Denpasar usulan SKPD tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Jalan, UU PDRD 2009, dan UU P3.
Hasil analisis menunjukan usulan rancangan tersebut lemah dari segi
landasan yuridisnya, oleh karena tidak berdasarkan dan bersumberkan pada
UU PDRD 2009 dan UU Pemda 2004, serta perumusannya tidak sesuai
dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana
diamanatkan Pasal 44 ayat (2) UU P3.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 47
BAB III
LANDASAN KEABSAHAN DAN ASAS-ASAS DALAM PENYUSUNAN RAPERDA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KOTA DENPASAR
A. Landasan Keabsahan
Uraian dalam sub-bab ini dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu: (1)
aspek teoritik dan otentik landasan keabsahan; dan (2) relevansinya dengan
pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang meliputi
landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis.
1. Aspek Teoritik dan Otentik Landasan Keabsahan
Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav
Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum
serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu
dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai
nilai-nilai dasar dari hukum, yaitu keadilan, kegunaan (zweckmaszigkeit), dan
kepastian hukum.26
Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai
dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa
norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan
pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya
masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu,
pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh
masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai
keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan diri kepada
*Dipersiapkan untuk bahan diskusi dalam Penyusunan Naskah Akademis Raperda-
Raperda Kota Denpasar tentang Pajak Daerah, Pusat Perancangan Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Mei 2010.
26 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 19.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 48
masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus
memerhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat
serta memberikan pelayanan kepadanya. Inilah yang dimaksud dengan
kegunaan sebagai salah satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga,
masyarakat tidak hanya ingin keadilan diciptakan dalam masyarakat dan
kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan juga
menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan yang menjamin
kepastian dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.27
Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh
W. Friedmann. Gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bias formal,
tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum, yaitu keadilan. Tetapi,
keadilan sebagai suatu cita adalah yang sama harus diperlakukan sama,
yang tidak sama diperlakukan tidak sama. Untuk mengisi cita keadilan ini
dengan isi yang konkret, harus menoleh pada kegunaannya sebagai unsur
kedua dari cita hukum. Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus
pasti. Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian yang
tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-pertentangan bagi
pendapat politik. Kegunaan memberi unsur relativitas. Tetapi tidak hanya
kegunaan sendiri yang relatif, hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu
juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau kepastian
lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus diputuskan
oleh sistem politik masing-masing.28 Masalah ini biasanya dibicarakan dalam
hubungannya dengan kesahan berlaku hukum. Satjipto Rahardjo
menggambarkan dalam ragaan sebagai berikut.
27
Satjipto Rahardjo, Ibid., hlm. 18-19. 28
W. Fiedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (Susunan II), diterjemahkan oleh Mohamad Arifin (dari judul asli: Legal Theory), Penerbit CV Rajawali. Jakarta, 1990, hlm. 43.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 49
Ragaan tersebut menunjukkan keterhubungan antara “Kesahan
Berlakunya Hukum” dengan “Nilai-nilai Dasar Hukum”, bahwasanya hukum
didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum mencerminkan nilai
keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum
mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis
supaya hukum mencerminkan nilai kepastian hukum.
Validitas norma hukum dari Radbruch, sebagaimana dipaparkan baik
oleh Satjipto Rahardjo maupun W. Friedman, adalah dalam pengertian
kualitas hukum atau dunia seharusnya” (das sollen). Pada intinya,
pandangan ini adalah bahwa hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati
supaya hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan
sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan
pada keberlakuan yuridis supaya hukum mencerminkan nilai kepastian
hukum. Hal ini dapat digambarkan dalam ragaan sebagai berikut.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 50
Senada dengan pandangan tersebut, Bagir Manan mengemukakan,
agar hukum ditaati, maka hukum harus mempunyai dasar-dasar berlaku
yang baik. Biasanya ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan
berlaku secara baik, yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Dengan demikian peraturan perundang-undangan sah secara hukum (legal
validity) dan berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat
secra wajar dan berlaku untuk waktu yang panjang. 29
Selanjutnya dikemukakan, dasar berlaku secara yuridis (juridische
gelding) mengandung makna: 1) keharusan adanya kewenangan dari
pembuat peraturan perundang-undangan, dengan perkataan lain, setiap
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang
berwenang; 2) keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama yang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
sederajat; 3) keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya; dan 4) keharusan mengikuti tata
cara tertentu dalam pembentukannya. Dasar berlaku secara sosiologis
(sociologische gelding) berarti mencerminkan kenyataan yang hidup dalam
29
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hal. 14-17.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 51
masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau
masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. Dengan
dasar sosiologis ini diharapkan peraturan perundang-undangan akan
diterima oleh masyarakat, sehingga tidak banyak memerlukan pengerahan
institusional untuk melaksanakannya. Dasar berlaku secara filosofis
(filosofiische gelding) berarti mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita
hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun
sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.30
Jimly Asshiddiqie mengemukakan adanya 5 (lima) landasan
keberlakuan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan politis,
landasan yuridis, dan landasan administratif. Berikut dikemukan pengertian
landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Pertama,
landasan filosofis harus mencerminkan cita-cita luhur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan atau nilai-nilai filosofis yang
dianut negara. Kedua, landasan sosiologis harus mencerminkan tuntutan
kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan yuridis terpenuhi apabila
suatu norma hukum ditetapkan berdasarkan norma yang lebih tinggi,
ditetapkan menurut prosedur yang berlaku oleh lembaga yang berwenang.31
Makna “sosiologis” dalam pengertian validitas sosiologis adalah untuk
mendapatkan data mengenai kebutuhan hukum masyarakat, sehingga
peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat memenuhi nilai
kegunaan. Ini dapat diperoleh berdasarkan penelitian empiris, yaitu meneliti
tentang kebutuhan-kebutuhan masyarakat atau sebagian besar anggota
masyarakat berkenaan dengan perlu dibuatnya peraturan perundang-
undangan. Hasil penelitian empiris inilah yang digunakan sebagai validitas
sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi,
30
Bagir Manan, 1992, Ibid. 31
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hlm.170-172, 240-244.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 52
penelitian empiris di sini bukan penelitian empiris pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Akan tetapi, penelitian empiris
dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Ini dapat digambarkan dalam ragaan berikut.
Uraian aspek teoritik landasan keabsahan sebagaimana telah
dikemukakan di atas, berikut ini dilengkapi dengan uraian otentik landasan
keabsanan dengan mendasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut
UU P3) dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan
(selanjutnya disebut Permenkum PPNA).
Pedoman angka angka 18 Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan selanjutnya disebut TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3), bahwa
pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau Peraturan
Daerah memuat unsur folosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar
belakang pembuatannya. TP3 tidak menjelaskan makna masing-masing
unsure tersebut
Makna tersebut ditemukan dalam Pedoman Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan (vide Permenkum
PPNA), yang selanjutnya disebut PPNA, yaitu:
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 53
Latar Belakang Pemikiran mengenai alasan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis, yang mendasari pentingnya materi hukum yang bersangkutan segera diatur dalam peraturan perundang-undangan. 1. Landasan Filosofis. Memuat pandangan hidup, kesadaran dan
cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
2. Landasan Yuridis. Memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan judul Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada dan masih berlaku (hukum positif). Yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan pada landasan yuridis adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
3. Landasan Sosiologis. Memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang mendorong perlu dibuatnya Naskah Akademik. Landasan/alasan sosiologis sebaiknya juga memuat analisis kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauh mana tingkah laku sosial itu sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum nasional yang ingin dicapai.
Terhadap muatan Landasan Yuridis yang utama bukanlah tentang
suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya.
Sesuai dengan Pedoman angka angka 26 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU
P3), bahwa dasar hukum (landasan yuridis istilah yang digunakan dalam
PPNA) memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan
pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut. Jadi, dasar hukum
atau landasan yuridis memuat:
1. Dasar hukum formal, yaitu Peraturan Perundang-undangan yang
menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu Peraturan
Perundang-undangan.
2. Dasar hukum substansial, yaitu Peraturan Perundang-undangan
yang memerintahkan materi muatan tetentu diatur dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 54
Berdasarkan uraian landasan keabsahan baik dalam perspektif
teoritis maupun otentik, maka muatan dan tujuan landasan keabsahan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan dapat digambarkan dalam
ragaan berikut:
2. Relevansinya dengan Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangiunan
Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yaitu filofofis, yuridis, dan
sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3.
Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk memberikan
pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 55
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan
berkeadilan.
Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-
daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan daerah itu
mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya.
Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir denganUndang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah. Berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang
seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan Negara.
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu
dilakukan perluasan objek pajak daerah dan pemberian diskresi dalam
penetapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 56
berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta
masyarakat, dan akuntabilitas dengan memerhatikan potensi daerah.32
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis
pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah bahwa
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah sumber pendapatan
daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah
dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu
pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan
prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan
akuntabilitas dengan memerhatikan potensi daerah.
Jadi, Pemerintahan Kota Denpasar membuat Peraturan Daerah
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, berdasarkan prinsip
demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan
akuntabilitas. Adapun tujuan pembentukan Peraturan Daerah ini adalah
sebagai landasan hukum pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, yang merupakan salah satu sumber pendapatan Kota Denpasar
yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan pemerintahan
daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kota Denpasar.
Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(5), penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-
daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan
kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat.
32
Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konsideran “Menimbang” Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 57
Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini, yaitu
Pasal 158 ayat (1), ditentukan Pajak Daerah ditetapkan dengan Undang-
Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Daerah.
Pengaturan perpajakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdapat dalam Pasal 23A, yang menegaskan Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan konstitusional tersebut menegaskan, bahwa
pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang. Selama
ini pungutan daerah yang berupa Pajak diatur dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000,
yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Jenis Pajak kabupaten/kota yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 terdiri atas: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah menegaskan di dalam Pasal 95 ayat (1), pajak daerah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 95 ayat (3)
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 58
ditentukan Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur
ketentuan mengenai:
a. nama, objek, dan Subjek Pajak;
b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
c. wilayah pemungutan;
d. Masa Pajak;
e. penetapan;
f. tata cara pembayaran dan penagihan;
g. kedaluwarsa;
h. sanksi administratif; dan
i. tanggal mulai berlakunya.
Berikutnya dalam 95 ayat (4) ditentukan Peraturan Daerah tentang
Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-
hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan
pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan
negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.
Uraian tersebut menegaskan landasan yuridis pengaturan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ketiga, Landasan Sosiologis. Di Kota Denpasar Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan belum diatur dengan Peraturan Daerah, oleh
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 59
karena itu Peraturan Daerah mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan perlu disusun.
B. ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA
Uraian dalam sub-bab ini dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu: (1)
aspek teoritik dan otentik asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, baik yang formal maupun yang materiil; (2)
relevansinya dengan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
1. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
A. Hamid S. Attamimi, dalam disertasinya mengemukakan, bahwa
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut meliputi:
a. Asas-asas formal dengan perincian:
(1) asas tujuan yang jelas;
(2) asas perlunya pengaturan;
(3) asas organ/lembaga yang tepat;
(4) asas materi muatan yang tepat;
(5) asas dapatnya dilaksanakan; dan
(6) asas dapatnya dikenali.
b. Asas-asas material, dengan perincian:
(1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma
Fundamental Negara;
(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasar atas
Hukum; dan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 60
(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar
Sistem Konstitusi.33
Kategori asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
patut dari A. Hamid S. Attamimi tersebut bertitik tolak pada pendapat Van der
Vlies. Asas-asas formal menurut kategori Van der Vlies, sebagaimana
diterangkan A. Hamid S. Attamimi34 mencakup lima asas. Pertama, asas
tujuan yang jelas. Asas ini mencakup tiga hal, yaitu mengenai ketepatan
letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum
pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundang-undangan yang akan
dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian peraturan perundang-undangan
yang akan dibentuk tersebut.
Kedua, asas organ/lembaga yang tepat. Latar belakang asas ini
memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-
organ/lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.
Menurut A. Hamid S. Attamimi, di Indonesia mengenai organ/lembaga
yang tepat itu perlu dikaitkan dengan materi muatan dari jenis-jenis peraturan
perundang-undangan. Oleh karena, materi muatan peraturan perundang-
undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan masing-masing
organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan perundang-undangan
bersangkutan. Atau dapat juga sebaliknya, kewenangan masing-masing
organ/lembaga tersebut menentukan materi muatan peraturan perundang-
undangan yang dibentuknya.
33
A. Hamid S. Attamimi; 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 345-346.
34 Ibid., hlm. 337-343. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-undangan, terjemahan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005, hlm. 238-309.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 61
Ketiga, asas perlunya pengaturan. Asas ini tumbuh karena selalu
terdapat alternatif atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu
masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-
undangan.
Keempat, asas dapatnya dilaksanakan. Asas ini mencakup usaha
untuk dapat ditegakkannya peraturan perundang-undangan. Sebab tidaklah
ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat
ditegakkan.
Kelima, asas konsensus. Yang dimaksud dengan konsensus ialah
adanya “kesepakatan” rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan
menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan.
Asas-asas material menurut kategori Van der Vlies, sebagaimana
diterangkan A. Hamid S. Attamimi35 mencakup lima asas. Pertama, asas
terminologi dan sistematika yang benar. Maksudnya, agar peraturan
perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan rakyat, baik
mengenai kata-katanya maupun mengenai struktur atau susunannya.
Kedua, asas dapat dikenali. Alasan pentingnya asas ini ialah, apabila
suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh setiap
orang, lebih-lebih oleh yang berkepentingan, maka ia akan kehilangan
tujuannya sebagai peraturan.
Ketiga, asas perlakuan yang sama dalam hukum. Artinya, tidak boleh
ada peraturan perundang-undangan yang ditujukan hanya kepada
sekelompok orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan adanya
ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan hukum terhadap
anggota-anggota masyarakat.
35
Ibid., hlm. 337-343. I.C. Van Der Vlies, Ibid., hlm. 238-309.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 62
Keempat, asas kepastian hukum. Asas ini mula-mula diberi nama
lain, yaitu asas harapan yang ada dasarnya haruslah dipenuhi, yang
merupakan pengkhususan dari asas umum tentang kepastian hukum.
Kelima, asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.
Asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau
keadaan-keadaan tertentu, sehingga dengan demikian peraturan perundang-
undangan dapat juga memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah
umum, juga bagi masalah-masalah khusus.
Menurut A. Hamid S. Attamimi, meskipun asas ini memberikan
keadaan yang baik bagi menghadapi masalah dan peristiwa individual,
namun asas ini dapat menghilangkan asas kepastian di satu pihak dan asas
persamaan di lain pihak apabila tidak dilakukan dengan penuh
kesinambungan.
Beberapa catatan dapat diberikan. Pertama, asas konsensus dalam
kategori Van der Vlies dapat disamakan posisinya dengan asas dapat
dikenali dalam kategori Hamid Attamimi dan asas keterbukaan menurut
pengertian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sebab, implikasi dari
asas konsensus antara lain adalah penyebarluasan rancangan peraturan
perundang-undangan kepada masyarakat sebelum pembentukannya dan
adanya keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan; dan keterlibatan masyarakat (partisipasi masyarakat)
adalah inti dari asas keterbukaan; yang dengan demikian peraturan
perundang-undangan yang dibentuk akan dikenali oleh masyarakatnya.36
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang
bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tanun 2004
36
Marhaendra Wija Atmaja, 2004, “Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik”, Makalah, pada Pembekalan Calon Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Denpasar Periode 2004-2009, diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Denpasar, pada 13-14 Agustus di Denpasar, hlm. 11.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 63
(khususnya dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut
diatur dalam Pasal 137 UU Pemda), dengan sebutan “asas pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik”.
Selengkapnya dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 dirumuskan,
bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Mengenai pengertian asas-asas formal tersebut selanjutnya dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004. Pertama, asas
kejelasan tujuan. Bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Kedua, asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Bahwa
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Ketiga, asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Bahwa
dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-
undangannya.
Keempat, asas dapat dilaksanakan. Bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 64
peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridismaupun sosiologis.
Kelima, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Bahwa setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Keenam, asas kejelasan rumusan. Bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Ketujuh, asas keterbukaan. Bahwa dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Asas keterbukaan berkaitan dengan ketentuan tentang partisipasi
masyarakat dalam Pasal 53 UU P3 dan Pasal 139 ayat (1) UU Pemda.
Intinya adalah masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda. Dengan
demikian diperlukan proses konsultasi publik sehingga masyarakat dapat
memberikan masukan.
Ketentuan tersebut berkaitan dengan ketentuan tentang
penyebarluasan Raperda. Penyebarluasan Raperda yang berasal dari DPRD
dilaksanakan oleh sekretariat DPRD dan yang berasal dari Kepala Daerah
dilaksanakan oleh sekretariat daerah (Pasal 142 UU Pemda. Pasal 30 UU
P3). Tanpa penyebarluasan Raperda, masyarakat akan menemukan
kesulitan menggunakan hak untuk memberikan masukan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 65
Penggunaan kata “harus” dalam rumusan pembuka Pasal 5 UU
Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menandakan adanya kaidah hukum perintah.
Perintah adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu. Secara negatif dapat
dirumuskan artinya sebagai “tidak boleh tidak melakukan sesuatu”.
Sehingga merupakan kewajiban bagi pembentuk peraturan perundang-
undangan dalam membentuk peraturan perundang-undangan mendasarkan
pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 (khususnya
berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU
Pemda), yaitu: materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung
asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan.
Mengenai pengertian asas-asas materiil tersebut selanjutnya
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004. Pertama, asas pengayoman. Bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 66
rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Kedua, asas kemanusiaan.
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional.
Ketiga, asas kebangsaan. Bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia. Keempat, asas kekeluargaan. Bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Kelima, asas kenusantaraan. Bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan senantiasa memerhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang
dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila. Keenam, asas bhineka tunggal ika. Bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus memerhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah,
dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ketujuh, asas keadilan. Bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Kedelapan, asas kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku,
ras,golongan, gender, atau status sosial.
Kesembilan, asas ketertiban dan kepastian hukum. Bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 67
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Kesepuluh, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bahwa materi
muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,antara kepentingan individu dan
masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan dalam Penjelasan Pasal
6 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2004, yang dimaksud dengan asas sesuai
dengan bidang hukum masing-masing antara lain:
a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga
tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara
lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Penggunaan kata “harus” dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU
Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menandakan adanya suatu perintah kepada
pembentuk peraturan perundang-undangan untuk mengimplementasikan
asas-asas materiil dalam materi muatan peraturan perundang-undangan.
2. Relevansinya dengan Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan
Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dengan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kejelasan tujuan. Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat
mengenai siapa dan apa yang dikenakan pajak, dan berapa besaran yang
harus dibayar dan bagaimana cara membayarnya; dan (2) memperkuat
dasar hukum bagi Pemerintah Kota melakukan pungutan Bea Perolehan Hak
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 68
Atas Tanah dan Bangunan, sehingga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dalam rangka
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan kepada
masyarakat.
Tujuan pemungutan pajak sebagai sumber pedapat asli daerah atau
menambah kas daerah secaea teoritik dapat dibenarkan. Ini terkait dengan
teori tentang fungsi pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu
fungsi penerimaan (bubgetair) dan fungsi pengaturan (regulerend). Fungsi
Penerimaan adalah pajak sebagai instrumen untuk mengisi kas Negara yang
digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Fungsi Pengaturan adalah pajak digunakan sebagai instrumen untuk
mencapai tujuan tertentu.37 Misalnya pajak rokok dimaksudkan untuk
mengurangi konsumsi rokok, sehingga konsumen dapat hidup sehat.38
Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat . Pengaturan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan Peraturan Daerah
dilakukan oleh Walikota Denpasar dengan persetujuan bersama DPRD Kota
Denpasar. Rancangan dapat berasal dari Walikota atau dari DPRD, dalam
hal ini rancangan berasal dari Walikota.
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Pungutan pajak
daerah, termasuk Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus
dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan
Peraturan Daerah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan mengacu
pada Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD.
37
Anggito Abimanyu, et.al., 2005, Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI, Jakarta, hlm. 34. Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t., Pedoman Nasional Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI, Jakarta, hlm. 15-16.
38 Fungsi Pengaturan tersebut lazimnya ditentukan oleh pemerintah dengan
menggunakan dua cara, yaitu cara umum dan cara khusus yang meliputi cara positif dan cara negative, lihat H. Mustaqiem, 2008, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, UII Press, Yogyakarta ,hlm. 55-70.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 69
Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan dengan
dibentuknya Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan harus memerhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yaitu ada
jaminan keadilan dalam pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam pengenaan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, termasuk subsansinya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah kota
maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum.
Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan
sepanjang pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi
pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan memang benar-
benar dibutuhkan adalah adanya wajib Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas.
Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan
pembentukan Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan
aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan yang menjamin kepastian.
Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini
harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin
haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 70
kewajiban Pemerintah Kota untuk menjamin masukan tersebut telah
dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi
masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Kota memberikan informasi
tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.
Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dengan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, keadilan. Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan keadilan
mempunyai dua arti. Dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum
berlaku umum. Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-
cita keadilan dalam masyarakat.39 Demikian pula dalam penyusunan norma
hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah dimaksudkan
untuk berlaku umum (untuk setiap wajib pajak dan dikenakan untuk setiap
objek pajak). Agar mendapatkan rumusan norma hukum Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan yang sesuai dengan aspirasi keadilan yang
berkembang dalam masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik.
Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Berdasarkan asas ini materi muatan Peraturan Daerah tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tidak berisi ketentuan-ketentuan
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah
keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan
kewajibannya.40
39
Franz Magnis-Suseno, 1987, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moden, Gramedia, Jakarta, hlm. 81.
40 Tentang inti dari kesamaan tersebut diadaptasi dari Franz Magnis-Suseno, Ibid.,
hlm. 116.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 71
Ketiga, ketertiban dan kepastian hukum. Agar Peraturan Daerah
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti. Pertama, kepastian hukum
dalam arti kepastian pelaksanaannya, yaitu bahwa hukum yang diundangkan
dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kedua, kepastian hukum dalam arti
kepastian orientasi, yaitu hukum harus sedemikian jelas sehingga
masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya.
Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan kewajibannya.41
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah
kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti yaitu norma
hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus sedemikian
jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman
padanya. Terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan
kewajiban dalam kaitannya dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan. Termasuk di sini, adalah norma hukum pajak dan sanksinya atas
pelanggarannya tidak boleh berlaku surut.
Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam
konteks penyusunan norma hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan harus ada keseimbangan beban dan manfaat, atau, kewajiban
membayar pajak dengan hak yang didapatkannya dengan membayar pajak.
Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara aparatur dan wajib pajak
ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.42
Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal
6 ayat (2) UU P3, dalam pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
41
Tentang dua arti kepastian hukum berdasarkan Franz Magnis-Suseno, Ibid., hlm. 79-80.
42 Berdasarkan H. Lauddin Marsuni, 2006, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm. 113.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 72
dan Bangunan berkaitan dengan kriteria umum tentang perpajakan daerah,
yaitu:
1. prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya
dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat
pendapatan masyarakat.
2. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan
kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi
setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang
kebal pajak.
3. administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung,
pelayanan memuaskan bagi wajib pajak.
4. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul
motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
5. non-distorsi terhadap perekonomian, implikasi pajak atau pungutan
yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap
perekonomian. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan yang berlebihan, sehingga akan
menimbulkan kerugian pada masyarakat.43
Selain itu, berkaitan dengan prinsip yang diperkenalkan oleh Adam
Smith sebagai “The Four Maxims” untuk dipertimbangkan dalam
merumuskan suatu kebijakan perpajakan, temasuk Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, yaitu:
1. Prinsip keadilan (Equity). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya
keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek
43
Anggito Abimanyu, et.al., Op. Cit., hlm 32. Tjip Ismail, “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Orpha Jane, et.al., eds., Prosiding Workshop Internasional Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai Pembangunan Daerah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2002, hlm. 115-143. Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Edisi Kedua, Yellow Printing, Jakarta, hlm. 197-202.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 73
pajak, yaitu dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi di
antara sesame wajib pajak yang memiliki kemampuan yang
sama.
2. Prinsip kepastian (Certainty). Dalam prinsip ini ditekankan
pentingnya kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua
wajib pajak dan seluruh masyarakat, antara lain mencakup dasar
hukum yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek pajak,
kepastian mengenai objek pajak, dan kepastian mengenai tata
cara pemungutannya.
3. Prinsip kemudahan (Convenience). Dalam prinsip ini ditekankan
pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Pelaksanaan pemungutan
pajak sebaiknya pada saat wajib pajak menerima penghasilan
dan penghasilan yang diterimanya di atas kebutuhan pokok untuk
hidup.
4. Prinsip efisiensi (Efficiency). Dalam prinsip ini ditekankan
pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang
dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh
lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut.44
Sejalan dengan hal tersebut, W.J. Langen juga memberikan prinsip-prinsip
pemungutan pajak adalah:
1. Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus
berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin
tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
44
Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t.,hlm. 13-14.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 74
2. Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan
untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan
umum.
3. Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
4. Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak
yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah
yang sama (diperlakukan sama).
5. Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak
diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika
dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak
memberatkan para wajib pajak.
Adolf Wagner menyebutkan prinsip pemungutan pahak adalah:
1. Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya
memadadi sehingga dapat membiayai atau mendorong semua
kegiatan negara
2. Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya:
pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
3. Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa
diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
4. Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan
(kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan
(bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
5. Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-
Undang.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 75
BAB IV
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RAPERDA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF
A. Orientasi Umum
Bab ini berisi uraian mengenai: (1) ruang lingkup materi muatan45
raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; dan (2) keterkaitan
ruang lingkup materi muatan raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dengan hukum positif lainnya.
Dimaksud dengan ruang lingkup materi muatan raperda Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah jangkauan materi
pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, yang meliputi materi yang boleh dan materi yang tidak
boleh dimuat dalam raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.46 Materi yang boleh dimuat ditentukan oleh kriteria materi
muatan, baik yang digali dari asas otonomi daerah dan tugas pembantuan
maupun yang ditentukan secara objektif-normatif dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai materi muatan Perda tentang
45
Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam suatu jenis peraturan perundang-undangan, yang tidak dimuat dalam jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Diadaptasi dari A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi muatan peraturan perundang-undangan”, dalam BPHN, 1982, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, hlm. 59-78. Bandingan dengan Pasal 1 angka 12 UU P3 yang menentukan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Frase “sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” menunjukan materi pengaturan yang khas pada setiap jenis Peraturan Perundang-undangan.
46 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija
Atmaja, 1995, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, hlm. 14.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 76
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Materi yang tidak boleh
dimuat yaitu batas materi muatan Perda tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, seperti tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
B. Kriteria Materi Muatan Raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pemerintahan daerah kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk
mengatur Pajak Daerah dengan Peraturan Daerah, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD. Mencermati ketentuan-
ketentuan berkenaan dengan pajak daerah, khususnya pajak
kabupaten/kota, tidak seluruhnya merupakan materi muatan Peraturan
Daerah tentang Pajak Daerah Kabupaten/Kota, sebagaimana tampak pada
tabel berikut.
Tabel 7: Delegasi Pengaturan Materi Muatan Pajak Kabupaten/Kota dengan Peraturan Perundang-undangan Kabupaten/Kota dan yang Tidak Didelegasikan
PENDELEGASIAN DENGAN PERDA TENTANG PAJAK
DAERAH (PERDA PD)
PENDELEGASIAN DALAM PERDA APBD
PENDELEGASIAN DENGAN PERATURAN KEPALA
DAERAH (PKD)
NON DELEGASI
DALAM PASAL 95 UU PDRD
DI LUAR PASAL 95 UU PDRD
TERKAIT PERDA PD
LANGSUNG KE PKD
1 2 3 4 5 6
1. Materi muatan imperatif (Pasal 95 (3)):
a. nama, objek, dan subjek pajak;
b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
c. wilayah pemungutan;
d. masa pajak; e. penetapan; f. tata cara
pembayaran dan penagihan;
g. kedaluwarsa;
1. Tarif Pajak Hotel (Pasal 35 (2)).
2. Tidak termasuk objek Pajak Penerangan Jalan adalah pelayanan yang disediakan oleh Penerangan Jalan yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu
Pemberian insentif ditetapkan melaui APBD.
1. Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersa-makan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT (Pasal 99 (1)).
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan
1. Tata cara pelaporan bagi PPAT/ Notaris dan kepala kantor yang membi-dangi pelayanan lelang negara tentang pembu-atan akta atau risalah lelang
1. Keberat-an dan banding (Pasal 103 106).
2. Keten- tuan Khusus (Pasal 172).
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 77
h. sanksi administrasi; dan
i. tanggal mulai berlakunya.
2. Materi muatan fakultatif (Pasal 95 ayat (4 UU):
a. pemberian pengurang-an, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya.
b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurang-an, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.
(Pasal 37 (3)).
3. Tarif Pajak Restoran (Pasal 40 (2)).
4. Penyelenggaraan hiburan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Hiburan (Pasal 42 (3)).
5. Tarif Pajak Hiburan (Pasal 45 (4)).
6. Penyelenggaraan reklame lainnya yang tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame (Pasal 47 (3) e).
7. Cara penghitungan nilai sewa reklame (Pasal 49 (5)).
8. Tarif Pajak Reklame (Pasal 50 (2)).
9. Penggunaan tenaga listrik lainnya yang dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan (Pasal 52 (3) d).
10. Tarif Pajak Penerangan Jalan (Pasal 55 (4)).
11. Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya yang
, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT (Pasal 99 (2)).
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak (Pasal 101 (4)).
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau pengha-pusan sanksi administrative dan pengurang-an atau pemba-talan ketetapan pajak (Pasal 107 (3)).
5. Penetapan Peninjauan tarif Retribusi (Pasal 155 (3)).
6. Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa (Pasal 168 (4)).
kepada Walikota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya (Pasal 92 (2)).
2. Tata cara pengem-balian kelebihan pemba-yaran Pajak (Pasal 165 (8)).
3. Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembuku-an atau pencatat-an (Pasal 169 (2)).
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemerik-saan Pajak (Pasal 170 (3)).
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 78
dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Pasal 57 (2) c).
12. Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Pasal 60 (2)).
13. Penyelenggaraan tempat parker lainnya yang tidak termasuk objek Pajak Parkir (Pasal 62 (2) d).
14. Dasar pengenaan Pajak Parkir (Pasal 64 (2)).
15. Tarif Pajak Parkir (Pasal 65 (2)).
16. Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya yang dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah (Pasal 67 (2) b).
17. Tarif Pajak Air Tanah (Pasal 70 (2)).
18. Kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet lainnya yang tidak termasuk objek Pajak Sarang
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 79
Burung Walet (Pasal 72 (2) b).
19. Tarif Pajak Sarang Burung Walet (Pasal 75 (2)).
20. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Tidak Kena Pajak (- Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) (Pasal 77 (5)).
21. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Pasal 80 (2)).
22. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (BPHTB) (Pasal 87 (6)).
23. Tarif BPHTB (Pasal 88 (2)).
Sumber: Diolah dari UU PDRD
Kolom 2 dan kolom 4 tabel tersebut di atas menunjukan materi
muatan yang berkaitan dengan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah.
Kolom 2 berisi pendelegasian dengan peraturan daerah sebagai penegasan
materi muatan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah (kolom 1), dan
kolom 4 berisi pendelegasian dengan peraturan kepala daerah untuk
melaksanakan materi muatan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak
Daerah (kolom 1).
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 80
Selain itu, sejumlah ketentuan pajak daerah kabupaten/kota yang
tidak terkait dengan materi muatan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
(kolom 1), yang dapat dikelompokan menjadi tiga pola, yaitu: (1)
pendelegasian ke dalam Perda tentang APBD (kolom 2 tabel); (2)
pendelegasian dengan Peraturan Kepala Daerah yang tidak merupakan
materi pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah (kolom 5 tabel);
(3) materi muatan Pajak Daerah Kabupaten/Kota yang tidak memerlukan
delegasi pengaturan.
Mengenai pendelegasian dengan Peraturan Kepala Daerah yang tidak
merupakan materi pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
atau langsung didelegasikan dengan Peraturan Kepala Daerah tanpa
melalui Peraturan Daerah (kolom 5 tabel) secara hukum dapat dibenarkan.
Dasar hukumnya adalah Pasal 146 ayat (1) UU Pemda, bahwa untuk
melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan,
kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah atau keputusan kepala
daerah. Jadi, peraturan kepala daerah dapat ditetapkan atas kuasa
peraturan perundang-undangan, tanpa harus materi bersangkutan dituang
terlebih dahulu dalam peraturan daerah.
Berdasarkan uraian tersebut, batas kewenangan pengaturan pajak
daerah kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
adalah materi muatan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD (kolom 1 tabel), yang
berkaitan:
a. materi muatan yang didelegasikan dengan peraturan daerah
sebagai penegasan materi muatan dalam Peraturan Daerah
tentang Pajak Daerah (kolom 2 tabel), dan
b. materi muatan yang didelegasikan dengan peraturan kepala
daerah untuk melaksanakan materi muatan dalam Peraturan
Daerah tentang Pajak Daerah (kolom 4).
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 81
C. Materi Muatan Raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
Batang tubuh Peraturan Daerah berisi: ketentuan umum, materi pokok
yang diatur, ketentuan pidana (jika diperlukan), ketentuan peralihan (jika
diperlukan), dan ketentuan penutup (Pedoman angka 43 TP3, vide Pasal 44
ayat (2) UU P3).
Materi pokok yang diatur adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan. Pembagian materi pokok yang diatur ke dalam kelompok yang
lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian
(Pedoman angka 84 TP3, vide Pasal 44 ayat (2) UU P3). Terkait Peraturan
Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, kriteria yang
dijadikan dasar pembagian mengacu pada ketentuan Pasal 95 ayat (3) dan
ayat (4) UU PDRD.
Materi muatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dapat
dirumuskan dalam anatomi batang tubuh sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
Pedoman angka 74 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3) Ketentuan
umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal)
berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,
maksud, dan tujuan.
Pedoman angka 80 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3) menentukan
jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam
ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan
pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan
rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 82
lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
Mengacu pada pedoman tersebut, ketentuan umum dalam konsep
awal Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berisi
antara lain:
1. Kota adalah Kota Denpasar.
2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Denpasar.
3. Walikota adalah Walikota Denpasar.
4. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang
perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
5. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi
wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
6. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya
disingkat BPHTB, adalah pajak atas perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan.
2. Materi Pokok Yang Diatur
Materi Pokok yang diatur merupakan substansi sebenarnya dari
Peraturan Daerah yang dirumuskan secara normatif, yang mengharuskan
(keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan) atau yang membolehkan
(kebolehan untuk melakukan atau tidak melakukan).47 Pengelompokan
Materi Pokok yang Diatur, yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, mengacu pada Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009,
47 Marhaendra Wija Atmaja, 2006, “Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Berdasarkan Asas dan Teknik Penyusunan serta Perumusan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, Pertemuan Konsultasi Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS, diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada 3-6 September di Jayapura, hlm. 11.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 83
dan diberikan isi yang mengacu pada ketentuan-ketentuan lainnya dalam
UU PDRD 2009. Materi pokok yang diatur ini dirumuskan dalam kerangka
atau anatomi Peraturan Perundang-undangan.
a. Objek dan Subjek Pajak.
Lazimnya Perda tentang Pajak Daerah terdapat bab Nama, Objek,
dan Subjek Pajak. Nama pajak, kebiasaan dalam praktek pembentukan
peraturan daerah tentang pajak daerah dirumuskan sebagai berikut:
Dengan nama BPHTB dipungut pajak atas perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan.
Nama “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan” memang
sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Huruf k UU PDRD, namun rumusan ini tidak
dikenal dalam UU PDRD.48 Rumusan tersebut juga tidak tepat oleh karena
nama tidak dapat dijadikan dasar hukum melakukan pungutan pajak. Dasar
hukum pemungutan pajak adalah Peraturan Daerah.
Sesuai dengan Pedoman angka 13 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU
P3, Lampiran), nama “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan”
semestinya tercantum dalam Judul dan Diktum Perda, tidak perlu
dirumuskan kembali dalam Materi Pokok yang Diatur. Sebagai analogi,
tanggal mulai berlakunya (Pasal 95 ayat (3) huruf I UU PDRD) tidak perlu
ada perumusan tersendiri, akan tetapi dirumuskan dalam Bab Ketentuan
Penutup.
Berdasarkan atas pemahaman tersebut, maka ada tiga alternatif,
dengan tanpa pencantuman istilah “nama pajak” dalam judul bab, yaitu:
1. Tidak perlu ada rumusan nama pajak sebagaimana lazimnya.
48
Lihat Lampiran Surat Menteri Keuangan RI Nomor: S-369/MK.7/2010 tentang Hasil Evaluasi Raperda Kabupaten Jembrana, yang intinya rumusan seperti itu sesuai dengan UU PDRD 2009.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 84
2. Dalam Bab I Ketentuan Umum diadakan pasal yang berisi ruang
lingkup pajak daerah yang diatur. Misalnya, Ruang lingkup
pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
meliputi:
a. …;
b. … (isinya disesuaikan dengan Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU
PDRD 2009.
3. Rumusan: Dengan Peraturan Daerah ini dipungut Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
4. Apabila dalam Ketentuan Umum telah diterangkan: Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat
BPHTB, adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan, maka rumusannya:
Dengan Peraturan Daerah ini dipungut Pajak atas perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan.
Objek Pajak, berdasarkan pada Pasal 85 UU PDRD 2009, berisi
ketentuan-ketentuan tentang objek pajak dan pengecualian dari objek pajak,
yaitu:
(1) Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan meliputi
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 85
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah meliputi:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Objek yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek yang diperoleh:
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi
dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 86
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan
ibadah
Subjek Pajak, berdasarkan pada Pasal 86 UU PDRD 2009, berisi
ketentuan-ketentuan tentang subjek pajak dan wajib pajak, yaitu:
Subjek Pajak meliputi orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan.
b. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak.
Dasar pengenaan pajak, berdasarkan pada Pasal 87UU PDRD 2009,
berisi ketentuan-ketentuan dasar pengenaan pajak, yaitu:
1. Dasar pengenaan BPHTB meliputi Nilai Perolehan Objek Pajak.
2. Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah
nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan
hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai
pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang
tercantum dalam risalah lelang.
3. Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud huruf a
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 87
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada
NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai
adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
4. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
paling sedikit sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
untuk setiap Wajib Pajak.
5. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit
sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Tarif pajak, berdasarkan pada Pasal 88 UU PDRD 2009, berisi
ketentuan-ketentuan:
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
Besaran pajak, berdasarkan pada Pasal 89 ayat (1) UU PDRD, berisi
ketentuan: Besar Pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
BPHTB dengan dasar pengenaan setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak.
c. Wilayah Pemungutan
Wilayah pemungutan, berdasarkan pada Pasal 89 ayat (2) UU PDRD
2009, berisi ketentuan: Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
terutang dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan
berada.
d. Masa Pajak.
Masa pajak, mengacu pada Pasal 1 angka 6 UU PDRD 2009, berisi
ketentuan: Masa Pajak ditetapkan 1 (satu) bulan kalender.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 88
e. Penetapan
Penetapan, berdasarkan Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU PDRD
2009, berisi ketentuan-ketentuan:
1. Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
2. Wajib Pajak wajib menghitung, memperhitungkan, dan
menetapkan sendiri pajak yang terutang dengan berdasarkan
SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
3. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya
pajak, Walikota dapat menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
1. jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain,
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2. jika SPTPD tidak disampaikan kepada Walikota dalam
jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis
tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
dalam surat teguran;
3. jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang
terhutang dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang
semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terhutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terhutang sama besarnya
dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terhutang dan
tidak ada kredit pajak.
4. Delegasi pengaturan dengan Peraturan Walikota:
a. Tata cara penerbitan SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT diatur
dengan Peraturan Walikota.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 89
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian SPTPD,
SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 diatur dengan Peraturan Walikota.
Ketentuan “Wajib Pajak wajib menghitung, memperhitungkan, dan
menetapkan sendiri pajak yang terutang dengan berdasarkan SPTPD,
SKPDKB, dan/atau SKPDKBT” tersebut di atas diambil dari Pasal ayat (5)
UU PDRD 2009. Ketentuan ini termasuk dalam kategori “Self Assesment
System” atau “dibayar sendiri oleh wajib pajak”. Dalam Pasal 96 ayat (2) UU
PDRD 2009 menunjukkan dianutnya 2 (dua) sistem penegenaan pajak, yaitu:
“Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat
ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan.” Ini menunjukkan dianutnya Official Assesment
System (Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan
surat ketetapan pajak) dan Self Assesment System (dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan).49
Menurut Penjelasan Pasal 96 ayat (2) UU PDRD 2009, ketentuan ini
mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah
atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Cara pertama, pajak dibayar oleh
Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui
SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. Cara kedua, pajak dibayar
sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan kepada
Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
Selanjutnya dalam dikemukakan Penjelasan Pasal 96 ayat (5) UU
PDRD 2009, Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara
membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan
49 Mengenai sistem pengenaan atau pemungutan pajak, terdapat beberapa sistem,
yaitu: Official Assesment System, Self Assesment System, Semi Self Assesment System, dan With Holding System. Uraian singkat tentang sistem pengenaan (pemungutan) pajak ini antara lain terdapat dalam H. Mustaqiem, Op. Cit., hlm. 88-97. Kesit Bambang Prakosa, Op. Cit., hlm. 7-8.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 90
menggunakan SPTPD. Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, dapat
diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadi sarana penagihan.
Sebetulnya UU PDRD 2009 tidak menentukan jenis pajak yang
dipungut berdasarkan surat ketetapan pajak (Official Assesment System)
dan dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Self Assesment System). Ketentuan
penjenisan pajak ini dijanjikan akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 98 UU PDRD 2009 menentukan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis
Pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan
pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sekalipun Peraturan Pemerintah dimaksud belum ditetapkan, namun
dalam praktek pembentukan peraturan daerah tentang pajak daerah,
Departemen Keuangan telah mengambil kebijakan50 jenis Pajak yang
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Self Assesment System), sebagaimana
dituangkan dalam Surat Menteri Keuangan RI Nomor: S-369/MK.7/2010
tentang Hasil Evaluasi51 Raperda Kabupaten Jembrana, yaitu:
1. Hasil Evaluasi Raperda Kabupaten Jembrana tentang Pajak
Penerangan Jalan, dalam kolom Keterangan dikemukakan antara
lain:
50
Dimaksud dengan kebijakan adalah kebijakan publik, yaitu keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak (Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik Di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah, Lampiran 1, I, E, angka 3).
51 Menurut Pasal 157 ayat (4) UU PDRD 2009, kewenangan evaluasi terhadap
Raperda kabupaten/kota tentang pajak daerah merupakan kewenangan Gubernur. Peran Menteri Kuangan adalah “koordinasi”, sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (5) UU PDRD 2009, Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 91
a. Pajak Penerangan Jalan merupakan jenis pajak yang dipungut
berdasarkan sistem self assessment.
b. Pasal 9 disempurnakan dengan menghapus ketentuan
penetapan pajak berdasarkan penetapan Bupati.
c. Frase “SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan” pada
Pasal 11 dihapus, karena Pajak Penerangan Jalan dipungut
berdasarkan sistem self assessment yang tidak menggunakan
SKPD.
2. Hasil Evaluasi Raperda Kabupaten Jembrana tentang Pajak
Restoran, dalam kolom Keterangan antara lain dikemukakan:
a. Pajak Restoran merupakan jenis pajak yang dipungut
berdasarkan sistem self assessment.
b. Pasal 9 disempurnakan dengan menghapus ketentuan
penetapan pajak berdasarkan penetapan Bupati.
c. Frase “SKPD atau dokumen laian yang dipersamakan” pada
Pasal 11 dihapus, karena Pajak Restoran dipungut
berdasarkan sistem self assessment yang tidak menggunakan
SKPD.
Pilihan untuk menetapkan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan sebagai jenis Pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Self
Assesment System) berdasarkan pada kebijakan Menteri Keuangan
tersebut.
f. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
Tata cara pembayaran dan penagihan, berdasarkan Pasal 100
sampai dengan Pasal 102 UU PDRD 2009, berisi ketentuan-ketentuan:
3. Walikota dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 92
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran
sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga
dan/atau denda.
4. Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran,
angsuran, dan penundaan pembayaran pajak:
(1) SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah
merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterbitkan.
(2) Walikota atau Pejabat atas permohonan Wajib Pajak setelah
memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan
persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar
2% (dua persen) sebulan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran,
penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan
pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Walikota.
5. Penagihan dengan surat paksa:
(1) Pajak yang terhutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT,
STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan
Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada
waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 93
g. Kedaluwarsa dan Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak yang Kedaluwarsa
Kedaluwarsa dan Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak yang
Kedaluwarsa, berdasarkan Pasal 166 dan Pasal 168 UU PDRD 2009, berisi
ketentuan-ketentuan:
1. Kedaluwarsa penagihan:
(1) Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa
setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat
terhutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung
maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa,
kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian
Surat Paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang Pajak secara langsung berupa pernyataan
Wajib Pajak masih mempunyai utang Pajak dan belum
melunasinya kepada Pemerintah Kota.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung dapat diketahui dari
pengajuan permohonan angsuran atau penundaan
pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
2. Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak yang Kedaluwarsa:
(1) Apabila hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa,
piutang pajak dapat dihapuskan.
(2) Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak
yang sudah kedaluwarsa.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 94
(3) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan piutang pajak
yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Walikota.
h. Sanksi Administratif;
Sanksi administratif, berdasarkan Pasal 97 ayat (2) sampai dengan
ayat ((5) dan Pasal 100 ayat (2), berisi ketentuan-ketentuan:
1. Sanksi administrative berkenaan dengan SKPDKB, SKPDKBT:
(1) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a angka 1 dan
angka 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar
2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau
terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT
sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf b dikenakan sanksi
administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen)
dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum
dilakukan tindakan pemeriksaan.
(4) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf a angka 3 dikenakan sanksi
administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak
yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat
terutangnya pajak.
2. Sanksi administratif berkenaan dengan STPD:
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 95
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dan huruf b ditambah dengan
sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap
bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat
terhutangnya pajak.
i. Pemberian Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan dalam Hal-Hal Tertentu Atas Pokok Pajak dan/atau Sanksi Administratif
Pemberian Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan dalam Hal-
Hal Tertentu Atas Pokok Pajak dan/atau Sanksi Administratif, berdasarkan
pada Pasal 107 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD 2009, berisi ketentuan-
ketentuan:
1. Walikota dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa
bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal
sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau
bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SKPDKB, SKPDKBT atau
STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang
dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara
yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan
pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi
tertentu objek pajak.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau
penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau
pembatalan ketetapan pajak diatur dengan Peraturan Walikota.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 96
j. Ketentuan Penyidikan
Pedoman angka 180 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran)
menentukan, ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada
Penyidik Pegawai Negeri Sipil instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran
terhadap ketentuan Peraturan Daerah. Berdasarkan Pasal 173 UU PDRD
2009, Ketentuan Penyidikan berisi ketentuan-ketentuan:
1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota
mempunyai wewenang melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
2. Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Pemerintah Kota meliputi:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan
atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai
orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan
daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau
Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan Daerah;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 97
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan
sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana
perpajakan daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
k. Ketentuan Pidana
Pedoman angka 85, angka 91, dan angka 93 TP3 (vide Pasal 44 ayat
(2) UU P3, Lampiran) menentukan:
3. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan
pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma
larangan atau perintah.
4. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas
norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan
pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan demikian,
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 98
perlu dihindari: a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan
Perundang-undangan lain.
5. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek
itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai
negeri, saksi.
Pasal 143 ayat (2) UU Pemda menentukan, Perda dapat memuat
ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Selanjutnya dalam (3)
ditentukan, Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang ancaman pidana
yang dapat dimuat dalam Perda (bukan ancaman pidana sebagai dasar
penegakan hukum Undang-Undang), yang memuat unsur-unsur:
1. Ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda berupa pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
2. Ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda sesuai dengan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Dikaitkan dengan UU PDRD 2009, tidak terdapat ketentuan tentang
ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda. Ketentuan Pidana dalam
UU PDRD 2009 memuat ancaman pidana bagi pelaku yang melanggar UU
PDRD 2009. Artinya, UU PDRD 2009 memuat Ketentuan Pidana sebagai
dasar hukum bagi penegakan UU bersangkutan.
Dengan demikian, ancaman pidana yang dirumuskan dalam konsep
awal Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
berdasarkan pada Pasal 143 ayat (2) UU Pemda, selain itu juga memuat
batas jangka waktu tuntutan, dan penegasan tentang masuknya denda ke
kas negara,sesuai Pasal 175 dan Pasal 178 UU PDRD 2009, yaitu:
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 99
1. Wajib Pajak yang tidak mengisi SPTPD atau diisi dengan tidak
benar atau dengan tidak lengkap atau melampirkan keterangan
yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud tidak dituntut setelah
melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya
atau berakhirnya masa pajak.
3. Denda sebagaimana dimaksud merupakan penerimaan negara.
l. Ketentuan Penutup
Pedoman angka 111 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran)
menentukan, Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan
mengenai: a. penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundang-undangan; b. nama singkat; c. status Peraturan
Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan.
Ketentuan Penutup dalam konsep awal Raperda tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan memuat:
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
D. Batas Materi Muatan
Batas materi muatan pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan berdasarkan pada ketentuan dalam UU Pemda dan
UU Nomor 33 Tahun 2004, dan UU PDRD 2009.
Berdasarkan UU Pemda, Pasal 136 ayat (4) menentukan, Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1 dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 100
Yang dimaksud dengan "bertentangan dengan kepentingan umum"
dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat terganggunya
kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya Pelayanan umum, dan
terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat
diskriminatif (Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU Pemda).
Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 7 huruf a dan b
menentukan, dalam upaya meningkatkan PAD, daerah dilarang: a.
menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan
ekonomi biaya tinggi; dan b. menetapkan peraturan daerah tentang
pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan
jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor.
Yang dimaksud dengan peraturan daerah tentang pendapatan yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah peraturan daerah yang mengatur
pengenaan pajak dan tertribusi oleh Daerah terhadap objek-objek yang telah
dikenakan pajak oleh Pusat dan provinsi, sehingga menyebabkan
menurunnya daya saing daerah. Contoh pungutan yang dapat menghambat
kelancaran mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan
kegiatan impor/ekspor antara lain adalah retribusi izin masuk kota dan
pajak/retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke
daerah lain (Penjelasan Pasal 7 huruf a dan huruf b UU Nomor 33 Tahun
2004).
Pasal 2 ayat (3) UU PDRD 2009 menentukan Daerah dilarang
memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2). Ayat (1) dan ayat (2) ini memuat ketentuan:
1. Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 101
e. Pajak Rokok.
2. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Batas-batas tersebut yang menjadi dasar dalam menyusun konsep
awal Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yaitu:
1. Larangan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Larangan menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan
kegiatan impor/ekspor.
Mengenai larangan bagi Daerah memungut pajak selain jenis Pajak
yang telah ditetentukan Undang-Undang, dalam praktek dimasukkan dalam
pengertian larangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Untuk pemahaman yang lebih memadai tentang batasan
materi muatan perlu dikemukakan berikut ini beberapa praktek pembatalan
Perda Pajak mengenai pungutan daerah, yaitu:
1. Kepmendagri Nomor 61Tahun 2007 tentang Pembatalan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2003 tentang
Retribusi Pemasukan/Pengeluaran Ternak, Produk Hewan Pangan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 102
dan Non-Pangan. Dalam “Menimbang” Kepmendagri
dikemukakan, bahwa Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1
Tahun 2003 tentang Retribusi Pemasukan/Pengeluaran Ternak,
Produk Hewan Pangan dan Non Pangan, bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun alasan
pembatalan lebih rinci terdapat dalam diktum:
Membatalkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2003 tentang Retribusi Pemasukan/Pengeluaran Ternak, Produk Hewan Pangan dan Non Pangan, dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, karena : 1. Penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi dengan Surat
Keputusan Gubernur bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
2. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dilarang menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor/impor;
3. Pengenaan retribusi Pemasukan/pengeluaran ternak, produk hewan pangan dan non pangan dapat mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat lalu lintas barang antar daerah.
2. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2008 tentang
Pembatalan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun
2002 tentang Pajak Penerangan Jalan. Dalam “Menimbang”
Kepmendagri dikemukakan, bahwa Peraturan Daerah Kota
Denpasar Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penerangan Jalan,
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 103
tinggi. Dalam diktum (Memutuskan-Menetapkan) dapat diketahui
alasan pembatalan yang lebih rinci adalah:
Membatalkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penerangan Jalan, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, Nilai Jual Tenaga Listrik sebagai dasar pengenaan PPJ ditetapkan sebesar 30%.
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2008 tentang
Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 4
Tahun 1999 Tentang Pajak Penerangan Jalan. Dalam
“Menimbang” Kepmendagri disebutkan, bahwa Peraturan Daerah
Kabupaten Klungkung Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pajak
Penerangan Jalan, bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Alasan pembatalan lebih rinci terdapat
dalam diktum:
Sesuai Pasal 60 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, khusus untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, Nilai Jual Tenaga Listrik sebagai dasar pengenaan PPJ ditetapkan sebesar 30%.
4. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 217 Tahun 2009 tentang
Pembatalan Peraturan Daerah Kota Palangkaraya Nomor 11
Tahun 2001 Tentang Pengusahaan Pertambangan Umum. Dalam
“Menimbang” Kepmendagri disebutkan, bahwa Peraturan
Daerah Kota Palangkaraya Nomor 11 Tahun 2001 tentang
Pengusahaan Pertambangan Umum, bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Alasan
pembatalan lebih rinci terdapat dalam diktum:
1. Pemerintah Daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar pajak dan retribusi sesuai dengan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 104
2. Kegiatan usaha pertambangan bahan galian golongan A dan B telah dikenakan pungutan Pusat (PNBP) berupa iuran tetap/landrent dan iuran eksplorasi dan eksploitasi/royalty sesuai Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Lampiran II A angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
3. Pengenaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi terhadap produksi bahan galian golongan C duplikasi dengan Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C sesuai dengan Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Alasan pembatalan angka 2 dan angka 3 dalam Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 217 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan
Daerah Kota Palangkaraya Nomor 11 Tahun 2001 Tentang Pengusahaan
Pertambangan Umum, sebenarnya masuk dalam kategori Larangan
menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat lalu lintas barang antar
daerah. Namun, Kepmendagri Nomor 61Tahun 2007 tentang Pembatalan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2003 tentang Retribusi
Pemasukan/Pengeluaran Ternak, Produk Hewan Pangan dan Non-Pangan,
menunjukan alasan pembatalan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan
menghambat lalu lintas barang antar daerah dimasukan ke dalam alasan
pembatalan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
E. Keterkaitan Dengan Hukum Positif Lainnya
Dasar hukum materiil dari pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan dalam Peraturan Daerah adalah UU PDRD 2009. Selain itu
masih ada sejumlah undang-Undang yang berkaitan dengan pengaturan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yaitu UU Pemda yang
merupakan dasar hukum formal pembentukan Peraturan Daerah, UU Nomor
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 105
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah (disingkat UU PKP3D), dan UU P3. Keterkaitan
dimaksud sedbagaimana tampak dalam tabel berikut:
Tabel 8: Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.
UU PDRD
2009
KETERKAITAN DENGAN
UU P3 UU PEMDA UU PKP3D
1. Sebelas jenis Pajak Kabupaten/Kota, antara lain Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ((BPHTB) Pasal 2 ayat (2)). Merupakan dasar hukum materiil pembentukan Perda BPHTB.
2. Materi muatan imperatif (Pasal 95 ayat (3): b. nama, objek,
dan subjek pajak;
c. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
d. wilayah pemungutan;
e. penetapan; f. tata cara
pembayaran dan penagihan;
g. kedaluwarsa; h. sanksi
administrasi; dan
i. tanggal mulai berlakunya.
3. Materi muatan
fakultatif ( Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4)):
a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan
1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (AP3YB) (Pasal 5). Merupakan AP3YB yang formal pembentukan Perda BPHTB.
2. Asas yang terkandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (Pasal 6). Merupakan AP3YB yang materiil pembentukan Perda BPHTB.
3. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 12). BPHTB merupakan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
4. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (ayat (2) Pasal 44), khususnya mengenai kerangka Peraturan Perundang-
1. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: ... p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh PPu (ayat (1) Pasal 14). Terkait PP 38/2007, Lampiran, huruf T, Sub Bidang 3. Administrasi Keuangan Daerah, Sub-sub Bidang, a. Pajak dan Retribusi Daerah. Terkait Perda Denpasar tentang Urusan. Merupakan dasar hukum materiil pembentukan Perda BPHTB.
2. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD (ayat (1) Pasal 136). Merupakan dasar hukum formal pembentukan Perda BPHTB.
3. Perda dibentuk berdasarkan pada AP3YB (Pasal 137). Merupakan AP3YB yang formal pembentukan Perda BPHTB.
4. Asas yang terkandung dalam Perda (Pasal 138). Merupakan AP3YB yang materiil pembentukan Perda BPHTB.
5. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan (ayat (2) Pasal 136), yang merupakan penjabaran
1. Pajak Daerah merupakan salah satu sumber PAD (ayat (1) huruf a Pasal 6). Merupakan tujuan pemungutan Pajak yaitu sebagai sumber PAD atau penerimaan dari PAD dimasukkan ke kas daerah.
2. Dalam rangka meningkatkan PAD, Daerah dilarang: a. menetapkan Perda tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan b. menetapkan Perda tentang pendapatan yang meng-hambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar-daerah, dan kegiatan impor/ ekspor (Pasal 7). Batasan materi
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 106
dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya.
b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurang-an, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.
undangan (PPu): a. Judul. b. Pembukaan. c. Batang Tubuh:
1) Ketentuan Umum.
2) Materi Pokok yang Diatur.
3) Ketentuan Pidana (jika diperlukan).
4) Ketentuan Peralihan (jika diperlukan).
5) Ketentuan Penutup ().
d. Penutup. e. Penjelasan (jika
diperlukan). f. Lampiran (jika
diperlukan) (Pedoman angka 1 dan angka 43).
Materi muatan imperatif dan materi muatan fakultatif dimasukan dalam kerangka PPu. Lebih rinci, contoh: Nama BPHTB dimasuk-an dalam Judul dan Diktum dari Pembukaan dan saat mulai berlakunya dimasukan dalam Ketentuan Penutup.
lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah (ayat (3) Pasal 136). BPHTB merupakan materi muatan dalam rangka penyelenggara-an otonomi daerah, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah.
6. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (ayat (4) Pasal 136). Batasan materi muatan Perda BPHTB.
7. Ancaman pidana kurungan dan denda yang dapat dimuat dalam Perda (ayat (2) dan ayat (3) Pasal 143). Perda BPHTB dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00
muatan Perda BPHTB.
3. Ketentuan mengenai Pajak Daerah dilaksanakan sesuai dengan UU (Pasal 8). UU dimaksud adalah UU PDRD 2009.
Sumber : Diolah dari UU PDRD 2009, UU P3, UU Pemda, dan UU PKP3D
Keterkaitan dengan hukum positif lainnya tidak saja dengan UU PDRD
2009, UU P3, UU Pemda, dan UU PKP3D, melainkan juga dengan peraturan
perundang-undangan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kota
Denpasar.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 107
F. Kerangka Raperda Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
Berdasarkan pada Materi Muatan Raperda dan Keterkaitan dengan
Hukum Positif dapat disusun kerangka Raperda tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan sebagai berikut:
1. Judul: Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor … Tahun …
Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2. Pembukaan, antara lain berisi Menimbang dan Mengingat.
3. Batang Tubuh:
a. Bab I Ketentuan Umum.
b. Bab II Objek dan Subjek Pajak.
c. Bab III Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak.
d. Bab IV Wilayah Pemungutan dan Masa Pajak.
e. Bab VI Penetapan.
f. Bab VII Tata Cara Pembayaran dan Penagihan.
g. Bab VIII Kedaluwarsa dan Tata Cara Penghapusan Piutang
Pajak yang Kedaluwarsa.
h. Bab IX Sanksi Administratif.
i. Bab X Pemberian Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan
dalam Hal-Hal Tertentu Atas Pokok Pajak dan/atau Sanksi
Administratif.
j. Bab X Ketentuan Penyidikan.
k. Bab XI Ketentuan Pidana.
l. Bab XIII Ketentuan Penutup
4. Penutup.
5. Penjelasan.
Pemberian isi atas kerangka tersebut berdasar pada teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 108
Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU P3, dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam UU
P3. Adapun Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU P3 menentukan:
a. Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan.
b. Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Untuk dapat lebih memadai memahami dan menginterpretasi
ketentuan UU P3 digunakan juga sebagai acuan adalah:
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007
tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
Produk hukum tersebut bukan peraturan perundangan-undangan
dalam kerangka Pasal 7 ayat (4) UU P3, oleh karena dalam UU P3 tidak ada
delegasi pengaturan materi-materi tersebut. Khusus kedua Permendagri itu
juga tidak ada delegasi pengaturan di dalam UU Pemda.
Dalam kerangka teori, produk hukum tersebut masuk dalam kategori
peraturan kebijakan. Sekalipun demikian, ketentuan-ketentuan dalam
peraturan kebijakan itu diikuti dalam praktek pembentukan peraturan daerah,
bukan karena kekuatan hukum darinya, melainkan karena bersesuaian
dengan kebutuhan masyarakat atau dianggap baik diikuti dalam rangka
melengkapi peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks itu, misalnya, tempat dimuatnya Penjelasan Perda
tidak terdapat ketentuannya dalam UU P3. Ini menimbulkan interpretasi: (1)
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 109
Penjelasan Perda tidak perlu ditempatkan dalam Tambahan Lembaran
Daerah sebagaimana lazimnya dalam praktek sebelum diundangkan UU P3;
(2) sekaligus ditempatkan dalam Lembaran Daerah bersama Perdanya
sendiri; atau (3) ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Daerah mengikuti
praktek yang sudah berjalan sebelum diundangkannya UU P3.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 berada dalam
kerangka interpretasi yang ketiga. Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden
menentukan: Penjelasan Peraturan Daerah ditempatkan dalam Tambahan
Lembaran Daerah. Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri menentukan:
Untuk menjamin keresmian dan keterkaitan antara materi muatan peraturan
daerah dengan penjelasan, penjelasan dicatat dalam tambahan lembaran
daerah. Dalam praktek pembentukan Perda, Penjelasan Perda ditempatkan
dalam Tambahan Lembaran Daerah.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 110
BAB V
PENUTUP
A. Rangkuman
Berdasarkan UU PDRD 2009, Kota Denpasar perlu membentuk Perda
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai dasar hukum
pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Dalam rangka
pembentukan Perda dimaksud perlu didukung dengan kajian akademik yang
hasilnya dituangkan dalam Naskah Akademik Raperda Kota Denpasar
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Empat isu hukum yang perlu dikaji untuk mendapatkan bahan hukum
dalam rangka pembentukan Perda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan adalah:
i. Aspek-aspek yang digunakan sebagai landasan keabsahan
pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
dalam Peraturan Daerah.
ii. Asas-asas yang digunakan sebagai dasar perumusan norma hukum
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam
Peraturan Daerah.
iii. Ruang lingkup materi muatan pengaturan tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam Peraturan Daerah.
iv. Keterkaitan materi muatan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan dengan hukum positif lainnya.
Empat isu hukum tersebut dikaji dalam perspektif penelitian hukum
(legal research), dalam artian menggunakan bahan hukum dan dianalisis
secara hermeneutika hukum, yaitu memahami, menginterpretasi, dan
menerapkan suatu norma hukum secara bolak-balik antara keseluruhan dan
bagian.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 111
Landasan filosofis pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan adalah bahwa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai
pelaksanaan pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, sehingga perlu pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran
serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memerhatikan potensi daerah.
Landasan yuridis pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Salah satu jenis pajak daerah adalah Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang ini menegaskan
di dalam Pasal 95 ayat (1), pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 95 ayat (3) ditentukan Peraturan Daerah
tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai: a. nama,
objek, dan Subjek Pajak; b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan
pajak; c. wilayah pemungutan; d. Masa Pajak; e. penetapan; f. tata cara
pembayaran dan penagihan; g. kedaluwarsa; h. sanksi administratif; dan i.
tanggal mulai berlakunya.
Berikutnya dalam 95 ayat (4) ditentukan Peraturan Daerah tentang
Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai: a. pemberian
pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas
pokok pajak dan/atau sanksinya; b. tata cara penghapusan piutang pajak
yang kedaluwarsa; dan/atau c. asas timbal balik, berupa pemberian
pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan,
konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman
internasional.
Landasan sosiologis, Kota Denpasar belum memiliki Peraturan Daerah
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan oleh karena itu
Peraturan Daerah yang bersangkutan perlu dibentuk.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 112
Asas-asas yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam Peraturan Daerah adalah
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang formal
dan yang materiil.
Asas formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,
yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan adalah:
1 Asas kejelasan tujuan. Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi
masyarakat mengenai siapa dan apa yang dikenakan pajak, dan
berapa besaran yang harus dibayar dan bagaimana cara
membayarnya; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi
Pemerintah Kota melakukan pungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, sehingga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dalam
rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pelayanan kepada masyarakat.
2 Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat . Pengaturan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan Peraturan
Daerah dilakukan oleh Walikota Denpasar dengan persetujuan
bersama DPRD Kota Denpasar.
3 Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Pungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus dengan Peraturan
Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan mengacu pada Pasal 95
ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD.
4 Asas dapat dilaksanakan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus memerhatikan
beberapa aspek: (1) filosofis, yaitu ada jaminan keadilan dalam
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 113
pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; (2)
yuridis, adanya jaminan kepastian dalam pengenaan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, termasuk subsansinya
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan memang dapat memberikan
manfaat, baik bagi pemerintah kota maupun bagi masyarakat,
termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum.
5 Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pembentukan Peraturan
Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dan membiayai pelaksanaan pembangunan.
6 Asas kejelasan rumusan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sesuai persyaratan
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika
dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas
dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan
aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan menjamin kepastian.
7 Asas keterbukaan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus menjamin
partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya
untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta
kewajiban Pemerintah Kota untuk menjamin masukan tersebut
telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya
partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Kota
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 114
memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan
Daerah bersangkutan.
Asas materiil Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah:
1. Asas keadilan. Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali.
Tuntutan keadilan mempunyai dua arti. Dalam arti formal
keadilan menuntut norma hukum dalam Peraturan Daerah
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berlaku
umum. Dalam arti materiil dituntut agar norma hukum dalam
Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.
2. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Mmateri muatan Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan tidak berisi ketentuan-ketentuan yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari
kesamaan adalah keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama,
sesuai hak dan kewajibannya.
3. Asas ketertiban dan kepastian hukum. Materi muatan Peraturan
Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
dituntut dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan kepastian
hukum mempunyai dua arti. Dalam artian, norma hukum Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus sedemikian jelas
sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat
berpedoman padanya. Terutama masyarakat dapat dengan jelas
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 115
mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, termasuk norma hukum
pajak dan sanksinya atas pelanggarannya tidak boleh berlaku
surut.
4. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Norma hukum
dalam Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan harus mengandung keseimbangan beban dan
manfaat, atau, kewajiban membayar pajak dengan hak yang
didapatkannya dengan membayar pajak.
Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 6
ayat (2) UU P3, dalam pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan berkaitan dengan kriteria umum tentang perpajakan daerah,
yaitu:
1. Kecukupan dan elastik, artinya dapat mudah naik turun mengikuti
naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
2. Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan
kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi
setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang
kebal pajak.
3. Fleksibelitas administrasi artinya sederhana, mudah dihitung,
pelayanan memuaskan bagi wajib pajak.
4. Keterimaan secara politik, secara politik dapat diterima oleh
masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi
untuk membayar pajak.
5. Non-distorsi, jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan yang berlebihan, sehingga akan
menimbulkan kerugian pada masyarakat.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 116
6. Kemudahan (Convenience). Dalam prinsip ini ditekankan
pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
7. Efisiensi (Efficiency). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya
efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam
melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari
jumlah pajak yang dipungut.
Kriteria menetapkan materi muatan Peraturan Daerah tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD:
1. Materi muatan imperatif:
b. nama, objek, dan subjek pajak;
c. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
d. wilayah pemungutan;
e. masa pajak;
f. penetapan;
g. tata cara pembayaran dan penagihan;
h. kedaluwarsa;
i. sanksi administrasi; dan
j. tanggal mulai berlakunya.
2. Materi muatan fakultatif:
b. pemberian pengurang-an, keringanan, dan pembebasan dalam
hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
c. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa;
dan/atau
d. asas timbal balik, berupa pemberian pengurang-an,
keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan,
konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan
kelaziman internasional.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 117
Batas materi muatan pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan berdasarkan pada ketentuan dalam UU Pemda dan UU
Nomor 33 Tahun 2004 adalah:
1. Larangan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Larangan menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan
kegiatan impor/ekspor.
Keterkaitan dengan hukum positif lainnya tidak saja dengan UU PDRD
2009, UU P3, UU Pemda, dan UU PKP3D, melainkan juga dengan peraturan
perundang-undangan pelaksanaan dari UU Pemda, seperti Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4
Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kota Denpasar .
B. Konklusi
Konklusi yang dikemukakan berikut tidaklah secara eksplisit
berkenaan isu hukum yang dikemukakan dalam Bab Pendahuluan. Konklusi
semacam ini telah diungkapkan dalam bagian Rangkuman di atas. Isu hukum
tersebut hanyalah sebagai panduan melakukan penelitian dalam rangka
penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang bermuara pada Konsep Awal
Rancangan Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan. Adapun konklusinya adalah:
1. Kota Denpasar perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai dasar hukum
pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 118
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan terlebih
dahulu dipersiapkan konsep awal rancangannya.
2. Materi muatan konsep awal Rancangan Peraturan Daerah Kota
Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
berdasarkan pada ketentuan Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, dalam batas-batas yang ditentukan dalam Pasal
136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah, dengan mendasarkan pada
Landasan keabsahan filosofis, yuridis, dan sosiologis, dan Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik yang
bersifat formal dan bersifat materiil.
3. Materi muatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana diamanatkan Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, yang dituangkan dalam konsep awal Peraturan Daerah
Kota Denpasar, dirumuskan dalam Kerangka Peraturan Perundang-
undangan sesuai amanat Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dengan demikian ada beberapa materi yang tidak
perlu dirumuskan secara eksplisit dengan judul bab materi
bersangkutan, seperti:
a. Nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, tidak
perlu dirumuskan: ”Dengan nama Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan dipungut pajak atas ...” di bawah Bab
yang berjudul Nama, Objek, dan Subjek Pajak, melainkan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 119
dimasukkan dalam Judul dan Diktum pada Pembukaan
Peraturan Daerah, lebih-lebih telah dirumuskan dalam Bab
Ketentuan Umum.
b. Saat mulai berlakunya, tidak memerlukan Bab yang berjudul
Saat Mulai Berlakunya (atau Saat Mulai Berlaku Peraturan
Daerah ini), melainkan telah masuk dalam Bab yang berjudul
Ketentuan Penutup.
C. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diajukan dalam rangka pembentukan
Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, yang diawali dengan penyusunan konsep awal rancangannya,
adalah:
1. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sesuai dengan asas
keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 139 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008.
2. Agar segera dipersiapkan Rancangan Peraturan Walikota
mengenai:
a. tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersa-
makan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT;
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 120
b. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan
penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan,
SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT;
c. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran,
penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan
pembayaran pajak;
d. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau
penghapusan sanksi administrative dan pengurangan atau
pembatalan ketetapan pajak; dan
e. tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa;
sehingga saat Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan telah
ditetapkan dan diundangkan menjadi Peraturan Daerah dapat
dilaksanakan secara efektif.
3. Perlu dicermati ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berikut:
a. tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak (ayat (8)
Pasal 165);
b. kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata
cara pembukuan atau pencatatan (ayat (2) Pasal 169); dan
c. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak
(ayat (3)Pasal 170);
apabila berkenaan dengan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, agar segera dipersiapkan Peraturan
Walikota, oleh karena materi-materi tersebut pengaturannya
didelegasikan langsung dengan Peraturan Walikota, tanpa harus
terlebih dahulu diatur dalam Peraturan Daerah.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 123
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Anggito, et.al., 2005, Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta.
Attamimi, A. Hamid S., 1982, “Materi muatan peraturan perundang-undangan”, dalam BPHN, 1982, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta.
………….., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV”, Disertasi Doktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Atmaja, Gede Marhaendra Wija, 1995, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
………….., 2004, “Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik”, Makalah, pada Pembekalan Calon Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Denpasar Periode 2004-2009, diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Denpasar, pada 13-14 Agustus di Denpasar.
…………….., 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HAIV/AIDS dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah, Lokakarya Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS bagi Anggota DPRD 10 Provinsi Di Indonesia, diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), pada Minggu-Rabu 11-14 Juni di Bandung.
…………….., 2006, “Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Berdasarkan Asas dan Teknik Penyusunan serta Perumusan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, Pertemuan Konsultasi Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS, diselenggarakan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 124
oleh Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada 3-6 September di Jayapura.
Darussalam dan Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia, Grasindo, Jakarta.
Fiedmann, W., 1990, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (Susunan II), diterjemahkan oleh Mohamad Arifin (dari judul asli: Legal Theory), Penerbit CV Rajawali. Jakarta.
Gadamer, Hans-Georg, 2004, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terjemahan Ahmad Sahidah (judul asli: Truth and Method, The Seabury Press, New York, 1975), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung.
Ismail, Tjip, 2002, “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Orpha Jane, et.al., eds., Prosiding Workshop Internasional Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai Pembangunan Daerah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
………….., 2007, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Edisi Kedua, Yellow Printing, Jakarta.
Jones, Charles O., 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan, Rajawali Pers, Jakarta.
Kumorotomo, Wahyudi, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik Perubahan Kebijakan 1974-2004, Kencana, Jakarta.
Leyh, Gregory, “Pendahuluan”, dalam Gregory Leyh, ed., 2008, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik, terjemahan M. Khozim, (judul asli: Legal Hermeneitics, University of California Press, 1992), Penerbit Nusa Media, Bandung.
Magnis-Suseno, Franz, 1987, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moden, Gramedia, Jakarta.
Mahfud MD, Moh., 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta.
Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Ind-Hill.Co, Jakarta.
Marsuni, H. Lauddin, 2006, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 125
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Interpratama Offset, Jakarta.
……………., 2005, “Arti Penting Hermeneutik dalam Penerapan Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
Mustaqiem, H., 2008, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, UII Press, Yogyakarta.
Prakosa, Kesit Bambang, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press, Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Sidharta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu HUkum sebagai Landasan Pengmbangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
……………., “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, eds.,2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refeksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Soedargo, R., 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco, Bandung.
Sumaryono, E., 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Edisi Revisi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t., Pedoman Nasional Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI, Jakarta.
Vlies, I.C. Van Der, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 126
PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR
NOMOR TAHUN
TENTANG
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA DENPASAR,
Menimbang: a.
bahwa dalam rangka pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan yang efisien dan efektif berdasarkan prinsip demokrasi
pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas,
perlu dilakukan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan;
b. bahwa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, merupakan
salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai
pelaksanaan pemerintahan daerah;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan
Retribusi Daerah mengamanatkan pengaturan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan dengan peraturan daerah;
d. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah Tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
Mengingat: 1.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan
Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3465);
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Dengan
Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3686) sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 127
2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3988);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4339;
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5049);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DENPASAR
dan
WALIKOTA DENPASAR
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 128
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah yang dimaksud :
2. Kota adalah Kota Denpasar.
3. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Denpasar.
4. Walikota adalah Walikota Denpasar.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar.
6. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN),
atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
8. Kantor Pertanahan adalah Kantor Pertanahan Kota Denpasar.
9. Kantor Lelang Negara adalah Kantor Lelang Negara di Provinsi Bali.
10. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat BPHTB,
adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
11. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh
orang pribadi atau Badan.
12. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang di bidang pertanahan dan bangunan.
13. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
14. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak
terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
15. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
16. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 129
17. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang adalah Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar dalam Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
18. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek
dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan
penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
19. Surat Pemberitahuan Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah
surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
20. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota.
21. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
22. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB,
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
23. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat
SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
24. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
25. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak
terutang.
26. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
27. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat
Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil,
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat
Keputusan Pembetulan atau Surat Keputusan Keberatan.
28. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 130
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil,
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau
pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
29. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
BAB II
NAMA, OBYEK DAN SUBYEK PAJAK
Pasal 2 Dengan nama BPHTB dipungut pajak atas Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan.
Pasal 3
(1) Objek BPHTB meliputi Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Objek yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek yang diperoleh:
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 131
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum
lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah
Pasal 4
(1) Subjek Pajak meliputi orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan.
(2) Wajib Pajak meliputi orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan.
BAB III DASAR PENGENAAN, TARIF, DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 5
1. Dasar pengenaan BPHTB meliputi Nilai Perolehan Objek Pajak.
2. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 132
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
risalah lelang.
3. Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
4. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit
sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
5. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit
sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 6
Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
Pasal 7
Besar Pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5).
BAB IV
WILAYAH PEMUNGUTAN DAN SAAT TERUTANGNYA PAJAK
Pasal 8
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di Wilayah
Kota tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
Pasal 9
(1) Saat terutangnya pajak ditetapkan untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke kantor bidang pertanahan;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 133
ditandatanganinya akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya
surat keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.
(2) BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan SSPD.
(2) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat
menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
setelah Wajib Pajak menyerahkan SSPD.
(3) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas
Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan
SSPD.
Pasal 11
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan
lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan kepada Walikota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya.
(2) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Walikota.
BAB V
PENETAPAN
Pasal 12
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang dengan dibayar sendiri oleh
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 134
Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan
menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
Pasal 13
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Walikota dapat
menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
1) jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
2) jika SPTPD tidak disampaikan kepada Walikota dalam jangka waktu tertentu
dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
3) jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung
secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit
pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Pasal 14
(1) Tata cara penerbitan SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD,
SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) diatur
dengan Peraturan Walikota.
BAB VI
PENELITIAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 15
(1) Walikota atau Pejabat yang ditunjuk wajib melakukan kegiatan Penelitian atas SPTPD
yang disampaikan Wajib Pajak.
(2) Penelitian yang dilakukan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tarif dan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak harus sesuai dengan
yang ditetapkan;
b. Adanya kepastian bahwa Wajib Pajak telah membayar BPHTB dan telah disetor
ke Kas Daerah;
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 135
c. Pembayaran yang dilakukan harus sesuai dengan basis pajak;
d. Dalam peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, tidak terdapat tunggakan
Pajak Bumi dan Bangunan.
Pasal 16
(1) Walikota berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak
yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap
perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
Pasal 17
(1) Pemeriksaan sederhana kantor dilakukan dengan membandingkan laporan Wajib
Pajak dengan basis data yang dimiliki Pemerintah Daerah sehingga nantinya dapat
diterbitkan SKPDKB, SKPDLB dan SKPDN.
(2) Apabila ada perubahan yang signifikan pada objek pajak antara yang dilaporkan
dengan basis data yang dimiliki Pemerintah Daerah, maka dilakukan pemeriksaan
sederhana lapangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan
Peraturan Walikota.
BAB VII TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
Pasal 18
(1) Walikota dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat
salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak
saat terutangnya pajak.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 136
Pasal 19
(1) Walikota menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPTPD oleh Wajib Pajak.
(2) SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Walikota atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat
pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan
Walikota.
Pasal 20
(1) Pajak yang terutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau
kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
(1) Pajak terutang dibayar sekaligus atau lunas.
(2) Pajak terutang disetorkan ke Kas Umum Daerah Kota atau tempat lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
(3) Wajib pajak yang telah melakukan pembayaran akan memperoleh SSPD.
BAB VIII KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 22
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atau pejabat yang
ditunjuk atas suatu:
a. SKPDKB;
b. SKPDKBT;
c. SKPDLB;
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 137
d. SKPDN; dan
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-
alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga
tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Walikota atau pejabat yang
ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai
tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Pasal 23
(1) Walikota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
Pasal 24
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Walikota.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan
tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal 25
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 138
(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan
sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
BAB IX
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 26
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak kepada Walikota atau Pejabat secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-
kurangnya :
a. nama dan alamat wajib pajak;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD);
c. besaran kelebihan pembayaran pajak;
d. alasan yang jelas.
(2) Walikota atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampaui, Walikota atau
Pejabat tidak memberikan keputusan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dianggap dikabulkan, SKPDLB harus diterbitkan dalam waktu
paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang lainnya kelebihan pembayaran pajak
sebagaiamana dimaksud pada ayat (2) langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang pajak dimaksud.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam waktu paling lama 2
(dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB dengan menerbitkan Surat Perintah
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 139
Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).
(6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua)
bulan sejak diterbitkannya SKPDLB, Walikota atau Pejabat memberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan
pajak.
BAB X KEDALUWARSA
Pasal 27
(1) Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui
waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya BPHTB, kecuali apabila Wajib
Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh
apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak
langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat
Paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang BPHTB secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai
utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Kota.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan
pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
BAB XI TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK YANG KEDALUWARSA
Pasal 28
(1) Apabila hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa, piutang BPHTB dapat
dihapuskan.
(2) Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang BPHTB yang sudah
kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang BPHTB yang sudah kedaluwarsa diatur dengan
Peraturan Walikota.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 140
BAB XII SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 29
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat
terutangnya pajak.
Pasal 30
(1) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(2) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan jika Wajib Pajak
melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
Pasal 31
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 huruf
a angka 3 dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
Pasal 32
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan
lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan
lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(3) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 141
BAB XIII PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN, DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 33
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Walikota dapat membetulkan
SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Walikota dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda,
dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan
Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau
SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau
diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi
administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 34
(1) Walikota berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat memberikan keringanan Pajak.
(2) Tata Cara pemberian keringanan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Walikota.
BAB XIV
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 35
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota diberi wewenang
khusus melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 142
berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah agar keterangan
atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah
tersebut;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain yang
berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana dibidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan
atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan
daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
dibidang perpajakan daerah menurut hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang
berlaku.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Setiap orang/badan yang melanggar ketentuan Pasal 12 ayat (3) diancam dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp.50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pida sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 143
Pasal 37
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka
waktu 5 (lima ) tahun sejak saat terutangnya pajak.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Denpasar.
Disahkan di Denpasar
Pada tanggal
WALIKOTA DENPASAR
Ttd
RAI DHARMA WIJAYA MANTRA
Diundangkan di Denpasar
Pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH KOTA DENPASAR
Ttd
A.A. NGR RAI ISWARA
LEMBARAN DAERAH KOTA DENPASAR TAHUN.................NOMOR.......................
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 144
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR TAHUN 2010
TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
I. UMUM
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan
kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditentukan Pajak
Daerah yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Mengenai perpajakan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang.
Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.
Selama ini pungutan daerah yang berupa Pajak diatur dengan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam Undang-Undang ini diatur tentang Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:Pajak
Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung
Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan.
Pajak hanya dapat dipungut dengan menetapkan Peraturan Daerah. Dalam Peraturan
Daerah tentang Pajak ini ditentukan penetapan dan muatan yang diatur dalam
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 145
Peraturan Daerah ini paling sedikit mengatur ketentuan mengenai: a) Nama, Objek, dan
Subjek Pajak; b) dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c). wilayah
pemungutan; d) Masa Pajak; e) penetapan; f) tata cara pembayaran dan penagihan;
g)kedaluwarsa; h)sanksi administratif; dan i) tanggal mulai berlakunya. Disamping itu
juga mengatur ketentuan mengenai: a). pemberian pengurangan, keringanan, dan
pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; b)tata cara
penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau c).asas timbal balik, berupa
pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan,
konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya diatur dalam Undang-
undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan adalah kewenangan pemerintah pusat. Namun dalam UU No.
28 Tahun 2009 pajak ini diserahkan kepada kabupaten/kota. Berdasarkan kenyataan itu
maka Pemerintahan Kota Denpasar membuat Peraturan Daerah Tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus efisien dan efektif
berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan
akuntabilitas. Tujuan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah Kota yang penting guna membiayai
pelaksanaan pembagunan Pemerintahan Kota Denpasar.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 146
Huruf a angka 1 Cukup jelas angka 2 Cukup jelas angka 3 Cukup jelas angka 4
Yang dimaksud dengan hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi wasiat hibah meninggal dunia.
angka 5 Cukup jelas angka 6 Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
angka 7 Yang dimaksud dengan pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
angka 8 Yang dimaksud dengan penunjukan pembeli karena lelang adalah
penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.
angka 9 Yang dimaksud dengan pelaksanan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
angka 10
Yang dimaksud dengan penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 147
angka 11 Yang dimaksudkan dengan peleburan usaha adalah penggabunngan
dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
angka 12 Yang dimaksud dengan pemekaran usaha adalah pemisahan satu badan
usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagaian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
angka 13 Yang dimaksud dengan hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa
penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
Huruf b angka 1
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
angka 2
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Huruf a Yang dimaksud dengan hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Huruf b Yang dimaksud dengan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Huruf c Yang dimaksud dengan hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Huruf d Yang dimaksud dengan hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 148
orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Huruf e Yang dimaksud dengan hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas
satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Huruf f Yang dimaksud dengan hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang
kewenangan pelaksanannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Ayat (4)
Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksudkan dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik untuk pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Misalnya tanah dan atau bangunan yang digunakan instansi pemerintah, rumah sakit pemerintahan, jalan umum.
Huruf c Yang dimaksud badan atau perwakilan organisasi internasional adalah badan
atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Huruf d Yang dimaksud konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak
baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh pemerintah.
Contoh:
1. hak guna bangunan menjadi hak milik tanpa adanya perubahan nama; 2. bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat girik atau sejenisnya)
menjadi hak baru.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 149
Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama. Contoh: Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB.
Huruf e Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
Huruf f Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah
disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf b sampai dengan huruf o Cukup jelas Ayat (3) Contoh:
Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga transaksi) Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar 35.000.000 ,00 (tiga puluh lima juta rupiah), maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dan bukan Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Ayat (4)
Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7
Contoh:
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 150
Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp.65.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp.60.000.000,00 (-) Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp. 5.000.000,00
Pajak Yang Terutang = 5% x Rp5.000.000,00 = Rp. 250.000,00 Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Huruf a Yang dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta dalam pasal
ini adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat akta Tanah/Notaris
Huruf b sampai dengan huruf n Cukup jelas Huruf o Yang dimaksud dengan sejak tanggal penunjukan pemenang lelang adalah tanggal
ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.
Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “risalah lelang” adalah kutipan risalah lelang yang
ditandatangani oleh Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTBPHTB.
Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, dapat diterbitkan SKBPHTBKB dan/atau SKBPHTBKBT yang menjadi sarana penagihan.
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 151
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas
Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 152
Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas