24
Jasa Lingkungan Ekosistem Mangrove Dirangkum oleh: Ita Sualia & Triana Wetlands International Indonesia, 2013 www.indonesia.wetlands.org Desain: Triana

Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Summary of eco-services mangrove from various publications

Citation preview

Page 1: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

Jasa Lingkungan Ekosistem Mangrove

Dirangkum oleh: Ita Sualia & Triana Wetlands International Indonesia, 2013 www.indonesia.wetlands.org Desain: Triana

Page 2: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

2

Kata Pengantar Indonesia merupakan negara dengan luas mangrove terbesar di dunia yaitu sekitar 21 % dari tutupan mangrove di dunia. Namun, dengan padatnya populasi penduduk yang tinggal di wilayah pesisir yaitu sekitar 60% atau sekitar 150 juta jiwa, menyebabkan konversi ekosistem mangrove secara besar-besaran sebagai akibat tekanan populasi dan kebutuhan ekonomi. Laju konversi hutan mangrove Indonesia terjadi secara besar-besaran mulai tahun 1970-an akibat ekspansi perkotaan, budidaya perikanan, perkebunan kelapa sawit dan nilai ekonomi kayu bakau itu sendiri. Hasil kajian terakhir luas hutan mangrove Indonesia yang tersisa sekitar 3,2 juta ha (Bakosurtanal 2009). Tidak hanya di Indonesia, degradasi mangrove juga terjadi secara global, menurut FAO (2007), luas penutup hutan mangrove dunia pada tahun 1980 adalah 19 juta ha dan menjadi 15 juta ha pada tahun 2005.

Buku ini merupakan hasil rangkuman berbagai kajian ilmiah maupun publikasi lainnya tentang bentuk-bentuk jasa lingkungan ekosistem mangrove baik yang sifatnya sebagai penyedia jasa secara langsung (provision) maupun sebagai pengatur penyediaan jasa lingkungan (regulation). Melalui informasi yang disampaikan tentang fungsi dan manfaat ekosistem mangrove tersebut, buku ini diharapkan dapat menginspirasi masyarakat, pembuat kebijakan, swasta serta semua pihak untuk turut melestarian ekosistem mangrove sehingga terjadi keseimbangan antara pembangunan dan upaya pelestarian ekosistem mangrove.

Bogor, Desember 2013

Penyusun

Page 3: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

3

Daftar Isi

Kata Pengantar 2

Hutan Mangrove 4

Ekosistem Mangrove Indonesia 5

Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Indonesia 5

Ekosistem Mangrove sebagai Penyedia dan Pengatur Jasa Lingkungan 9

Mangrove sebagai Habitat (sumber keanekaragaman hayati) 10

Mangrove sebagai Pelindung Pantai dari Abrasi 13

Mangrove Mereduksi Gelombang Badai 14

Peran Mangrove dalam Menghambat Intrusi Air Laut 15

Peran Mangrove dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 17

Peran Mangrove dalam Menjaga Kesehatan Manusia 18

Peran Mangrove dalam Menjaga Kualitas Air 21

Ekowisata Mangrove dan Pendidikan 22

Referensi 24

Daftar Tabel

Tabel 1. Undang-undang pelestarian ekosistem mangrove dan kelembagaan pengelola 6

Tabel 2. Pemanfaatan ekosistem mangrove di dalam kawasan hutan 7

Tabel 3. Potensi khasiat medis mangrove yang ada di Indonesia 20

Page 4: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

4

Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang yang dibentuk oleh sekumpulan tumbuh-tumbuhan yang berada di pesisir pantai dan muara sungai serta dipengaruhi pasang surut air laut. Mangrove harus menyesuaikan diri untuk dapat hidup di tempat yang berlumpur, berkadar garam tinggi dan miskin oksigen misalnya dengan membentuk akar napas (pneumatofor) yang menonjol ke permukaan.

akar udara akar banir akar papan

akar nafas akar tunjang

Gambar bentuk-bentuk akar mangrove (Ilustrasi: Triana)

Peran dan manfaat hutan mangrove :

• melindungi pantai dari abrasi

• melindungi pemukiman penduduk dari terpaan badai dan angin laut

• mencegah intrusi air laut

• tempat hidup dan berkembang biak berbagai satwa liar seperti ikan, udang, kepiting, burung, monyet, dsb

• menghasilkan bahan-bahan alami yang bernilai ekonomis seperti kayu untuk bahan bangunan, bahan perahu dan kayu bakar

• memiliki potensi edukasi dan wisata

• mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan karbon dioksida

(Photo: Triana)

Page 5: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

5

Ekosistem Mangrove Indonesia Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yaitu sekitar 21% dari total luas mangrove dunia dengan jumlah spesies mangrove yang ditemukan tak kurang dari 75 spesies. Kondisi ini membuat Indonesia dikenal sebagai negara dengan mangrove terluas dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi (Spalding et al., 2010). Namun demikian besarnya potensi tersebut, tidak lantas menyebabkan upaya pengelolaannya menjadi lebih baik. Data terakhir yang disampaikan oleh Badan Koordinasi Survey Pemetaan Nasional (Bakosurtanal, 2009) menyebutkan total luas mangrove

Indonesia adalah 3.247.016 hektar. Jika angka ini dibandingkan dengan hasil RePPProT (1985-1989) dalam (Giesen, 1991) dalam Noor (2004) yaitu 4.098.527 hektar, maka dalam waktu dua puluh tahun laju total mangrove yang hilang hampir 1,1 juta hektar. Pertumbuhan ekonomi, antara lain perkembangan pemukiman dan industri perikanan merupakan salah satu pemicu terbesar kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia ditambah lagi pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kurang baik dan meningkatnya pemcemaran perairan dari limbah industri dan domestik.

Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Indonesia Saat ini setidaknya terdapat enam Undang-undang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove, sehingga sebagai instrumen kelengkapan, setiap Undang-undang memiliki turunan berupa Peraturan

Pemerintah (PP) serta sektor pemerintah (kementerian) tertentu untuk melaksanakan atau mengkoordinasikan pelaksanaan undang-undang tersebut.

Page 6: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

6

Tabel 1. Undang-undang pelestarian ekosistem mangrove dan kelembagaan pengelola

Undang-undang Sektor/ Kementerian Pengaturan Mangrove

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan

Landasan pelaksanaan konservasi kawasan dan spesies di Indonesia. Lebih dari satu juta hektar kawasan mangrove telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi di Indonesia.

2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, direvisi sebagian isi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004

Kementerian Kehutanan

Pengaturan pengelolaan ekosistem mangrove dalam kawasan hutan, seperti pengaturan larangan penebangan dan perambahan hutan (Pasal 50)

3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, direvisi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Pemerintah Kabupaten dan Provinsi

Tidak spesifik mengatur tentang mangrove. Memberikan kewenangan yang signifikan kepada kepala daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, hal tersebut terkait dengan keberadaan mangrove sebagai sempadan pantai dengan status sebagai kawasan perlindungan setempat

4. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Kementerian Pekerjaan Umum, ditingkat daerah dilakukan oleh Bappeda

Tidak spesifik mengatur tentang mangrove namun mengikat/ mengatur tentang sempadan pantai serta status sebagai kawasan perlindungan setempat.

5. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Tidak spesifik mengatur tentang mangrove namun mengikat/ mengatur lebar sempadan pantai minimal 100m dari pasang tertinggi.

6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Kementerian Lingkungan Hidup

Pengaturan AMDAL bagi kegiatan yang berpotensi mengubah bentang alam (termasuk konversi mangrove)

Diadopsi dari Ilman, M., Iwan T.C.W. dan I N. N. Suryadiputra. 2011

Page 7: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

7

Faktor-faktor yang menyebabkan kurang efektifnya implementasi kebijakan pelestarian ekosistem mangrove antara lain:

1. Persepsi yang menganggap hutan mangrove bernilai ekonomi rendah

2. Tingginya laju konversi untuk kegiatan perekonomian tanpa disertai dengan kewajiban untuk merehabilitasi ekosistem mangrove

3. Masih rendahnya penegakan hukum terhadap aktivitas penebangan atau konversi hutan mangrove

4. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antara instansi sektoral maupun di antara pemerintah pusat dan daerah

dalam pengelolaan ekosistem mangrove khususnya yang berada di luar kawasan hutan.

Isu strategis yang dapat dijadikan sebagai bahan advokasi pelestarian ekosistem mangrove di luar kawasan hutan:

1. Kebijakan perlindungan ekosistem mangrove sebagai sempadan sungai dan sempadan pantai;

2. Kebijakan mitigasi bencana pesisir berbasis mangrove;

3. AMDAL untuk kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove;

4. Kebijakan rehabilitasi

Tabel 2. Pemanfaatan ekosistem mangrove di dalam kawasan hutan

Status Kawasan Hutan

Pene

litia

n

Pend

idik

an

Peny

erap

an &

pen

yim

pana

n ka

rbon

Sum

ber p

lasm

a nu

tfah

Wis

ata

alam

terb

atas

Wis

ata

alam

Mel

esta

rikan

bud

aya

loka

l

Pem

anfa

atan

seca

ra

trad

isio

nal o

leh

mas

yara

kat*

Pem

anen

ean

kayu

Pem

anfa

atan

pem

ungu

tan

hasi

l hut

an n

on k

ayu

(NTF

P)

Hutan Produksi + + + + + + + + + +

Hutan Lindung + + + + + + - + - +

Hutan Konservasi

Ia Cagar alam + + + + - - - - - -

Ib Suaka marga satwa + + + + + + - - - -

V Taman buru + + + + + + + + - +

Page 8: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

8

Status Kawasan Hutan

Pene

litia

n

Pend

idik

an

Peny

erap

an &

pen

yim

pana

n ka

rbon

Sum

ber p

lasm

a nu

tfah

Wis

ata

alam

terb

atas

Wis

ata

alam

Mel

esta

rikan

bud

aya

loka

l

Pem

anfa

atan

seca

ra

trad

isio

nal o

leh

mas

yara

kat*

Pem

anen

ean

kayu

Pem

anfa

atan

pem

ungu

tan

hasi

l hut

an n

on k

ayu

(NTF

P)

V Taman wisata alam/hutan rekreasi

+ + + + + + + + - +

V Taman hutan raya + + + + + + + + - +

II Taman nasional + + + + + + + + - + * Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat mencakup : NTFP, budidaya tradisional terbatas,

perburuan tradisional terbatas untuk satwa yang tidak dilindungi

Sumber :

1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Kawsan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Pemanfaatan Kawasan Hutan

Page 9: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

9

Ekosistem Mangrove sebagai Penyedia dan Pengatur Jasa Lingkungan

(Photo: Yus Rusila Noor)

Page 10: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

10

Mangrove sebagai Habitat (sumber keanekaragaman hayati)

Peran mangrove dalam keanekaragaman hayati, selain sebagai sumber plasma nutfah juga sebagai “rumah” bagi flora dan fauna sehingga berkontribusi dalam memelihara keanekaraaman hayati, selain untuk tujuan konservasi keanekaragaman hayati, beberapa sumberdaya ikan bernilai ekonomis tinggi juga hidup pada ekosistem mangrove seperti udang, kepiting.

a. Pangkalan Biodiversitas

Ekosistem mangrove tersusun dari berbagai kelengkapan komponen vegetasi, mulai dari tingkat pohon, perdu, palm, belukar, semak, rumput, epifit, dll. Eksositem mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis fauna, baik fauna yang menetap maupun temporal.

Keanekaragaman hayati Flora Noor et.al (1999) mencatat setidaknya terdapat 202 jenis tumbuhan mangrove di Indonesia, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari seluruh jenis tersebut, sebanyak 43 jenis yang dikategorikan sebagai mangrove sejati (true mangrove). Sementara 159 jenis lainnya dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate asociate).

Terdapat setidaknya 14 jenis mangrove di Indonesia yang dimasukkan dalam kategori langka yaitu:

• Lima (5) jenis umum setempat namun dikategorikan langka secara global. Jenis-jenis tersebut adalah Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quassia indica, Sonneratia ovata, Rhododendron brookeanum. Kelima jenis berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya.

• Lima (5) jenis yang dikategorikan langka di Indonesia namun umum di tempat lainnya yaitu Eleocharis parvula, Fimbristylis sieberiana, Sporobolus virginicus, Eleocharis spiralis dan Scirpus litoralis. Dalam hal ini, kelima jenis tersebut tidak memerlukan pengelolaan khusus secara global.

• Empat (4) jenis berstatus langka secara global, sehingga memerlukan pengelolaan khusus untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Jenis-jenis tersebut adalah Amyema anisomeres, Oberonia rhizophoreti, Kandelia candel dan Nephrolepis acutifolia.

Page 11: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

11

Keanekaragaman hayati Fauna Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar. Secara garis besar, fauna yang hidup di hutan mangrove dapat dikelompokkan manjadi:

• Kelompok fauna daratan /terrestrial, mencakup semua hewan yang pada umumnya beraktivitas di pohon mangrove seperti serangga, ular, primata dan burung.

• Kelompok fauna perairan / akuatik, terdiri dari hewan yang mendiami kolom air (jenis ikan dan udang) dan hewan yang mendiami substrat (jenis kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya)

Fauna Daratan/ Teresterial Hutan mangrove juga merupakan habitat yang ideal bagi berbagai jenis reptilia. Giesen (1993) dalam Noor et al. (1999), mengidentifikasi beberapa jenis reptilian yang paling umum dijumpai di hutan mangrove yaitu buaya muara (Crocodylus porosus), biawak (Varanus salvator), ular air (Enhydris enhydris), ular mangrove (Boiga dendrophila), Ular tambak (Cerberus rhynchops), Trimeresurus wagler dan Ular kapak bakau T. purpureomaculatus.

Bagi burung air, hutan mangrove juga merupakan habitat yang tepat, selain penyediaan mud flat sebagai tempat mencari makan (terutama saat surut), juga pohon mangrove dijadikan tempat bertengger (nesting) dan atau bersarang.

Beberapa jenis burung air yang mudah dijumpai di hutan mangrove antara lain Kuntul (Egretta spp), Bangau (Ciconiidae) atau Pecuk (Phalacrocoracidae). Biasanya, burung-burung tersebut menjadikan hutan mangrove sebagai tempat untuk membuat sarang. Hal ini mengingat tingkat gangguan oleh predator di hutan mangrove relatif minim. Mangrove juga menjadi habitat yang ideal bagi beberapa jenis burung yang telah langka atau terancam kepunahan, seperti: Wilwo (Mycteria cinerea - Milky Stork - Ciconiidae), Bubut hitam (Centropus nigrorufus - Sunda Coucal - Cuculidae), Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus - Lesser Adjutant - Ciconiidae).

Lebih lanjut dalam Noor et al. (1999) juga disampaikan mamalia yang umum ditemukan pada habitat mangrove diantaranya adalah Babi liar (Sus scrofa), Kancil (Tragulus spp.), kelelawar (Pteropus spp.) Berang-berang (Lutra perspicillata dan Amblyonyx cinerea), Lutung (Trachypithecus aurata), Bekantan (Nasalis larvatus; endemik Kalimantan) dan Kucing bakau (Felis viverrina) (Melisch et al. 1993). Noor, et al. juga mencatat hasil kajian Danielsen & Verheugt (1989) yang melaporkan bahwa Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatranus) masih ditemukan di kawasan mangrove (Propinsi Sumatera Selatan). Kawasan ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional Berbak (Propinsi Jambi).

Page 12: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

12

b. Sumberdaya Ikan

Mangrove memiliki peranan sangat penting dalam mendukung usaha perikanan di Indonesia. Peran mangrove terhadap sumberdaya ikan setidaknya dapat disarikan menjadi: (1) Mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska, karena memberikan naungan bagi organisme perairan dari sinar matahari, menambah kesuburan perairan dari luruhan daunnya, dan sifat perakarannya yang kompleks dalam kolom air menjadikannya rawa mangrove tempat yang nyaman bagi berbagai biota perairan untuk berlindung, memijah, dan mencari makan; (2) Mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan produktivitas perikanan termasuk udang, kepiting, moluska di perairan mangrove menjadi sangat tinggi.

Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus

hidupnya pada habitat mangrove. Kakap (Lates calcacifer), Kepiting mangrove (Scylla serrata) serta Ikan salmon (Polynemus sheridani) merupakan jenis ikan yang secara langsung bergantung kepada habitat mangrove (Griffin, 1985).

Pada tahun 1980-an ekosistem mangrove menjadi penyedia utama benur udang untuk industri tambak . Namun saat ini kegiatan pengambilan benur alam tersebut telah jauh berkurang karena dianggap merusak ekosistem dan juga telah digantikan oleh usaha-usaha perbenihan hatchery. Namun demikian usaha hatchery terbatas pada spesies udang tertentu terutama Blacktiger (P. Monodon), Pacific white (Litopenaeus vannamei), benur udang komersial lainnya seperti Black pink (Metapenaeus monoceros) yang banyak dihasilkan oleh petambak-petambak di Sulawesi dan Kalimantan Timur masih sepenuhnya bergantung pada ekosistem mangrove (Ilman et al., 2011).

Page 13: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

13

Mangrove sebagai Pelindung Pantai dari Abrasi Abrasi pantai secara sederhana dapat dijelaskan sebagai akibat dari ketidak seimbangan transportasi sedimen antara laju sedimentasi atau pengendapan dengan sedimen yang terbawa/ terkisis oleh gelombang dan arus menyusur pantai.

Suatu kajian ilmiah melalui pengumpulan data secara global mendapatkan bahwa mangrove dengan ketebalan lebih dari 100 meter dapat mereduksi energi gelombang antara 13% hingga 66%. Ketebalan mangrove merupakan faktor utama yang mempengaruhi daya reduksi tersebut, semakin tebal mangrove maka akan semakin besar energi gelombang yang dapat diredam. Selain itu, keragaman ukuran pohon serta kerapatan daun juga turut berperan. Kondisi peredaman gelombang akan

berlangsung secara efektif pada kondisi ketebalan mangrove minimal 100 meter dengan komposisi usia, ukuran pohon, kerapatan daun yang berbeda (McIvor, A.L. et al, 2012).

Harada dan Fumihiko (2003) menyimpulkan mangrove jenis Rhizophora sp selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami. Namun perlu diingat bahwa tsunami dapat disebabkan oleh gempa bumi, letusan gunung berapi dan longsoran dasar laut sehingga ukuran dampak sangat tergantung dari ukuran dan kecepatan tsunami Faktor yang paling penting untuk pengurangan dampak tsunami meliputi lebar hutan, topografi daerah, kerapatan dan tinggi pohon.

Gambar Ilustrasi Reduksi Energi Gelombang di Ekosistem Mangrove

(Sumber: McIvor, A.L. et al, 2012)

Page 14: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

14

Mangrove Mereduksi Gelombang Badai Gelombang badai adalah gerakan air laut ke daratan sebagai efek dari kombinasi angin kencang dan tekanan atmosfer yang rendah (Storch dan Woth 2008 ). Gelombang badai yang terbesar disebabkan oleh siklon tropis (atau sering disebut sebagai badai hurricane dan taifun).

Kenaikan/ lonjakan muka air laut akibat gelombang badai dapat mencapai 7 meter dan berlangsung selama setengah hari. Kondisi tersebut dapat menyebabkan banjir besar namun tinggi kenaikan muka laut nya sulit diprediksi jika dibandingkan kenaikan muka laut akibat gelombang pasang. Perubahan iklim berkontribusi memperburuk kejadian gelombang badai karena semakin meningkatnya intensitas siklon dan kenaikan muka laut.

Mangrove dapat mereduksi kenaikan muka air akibat gelombang badai dengan cara memperlambat aliran air yang masuk ke

area mangrove dan mereduksi permukaan gelombang. Studi yang dilakukan oleh McIvor, A.L. et al, (2012) menunjukkan tingkat penurunan muka air laut 5-50cm per kilometer lebar mangrove. Lebih lanjut, permukaan gelombang diperkirakan berkurang lebih dari 75% untuk lebar mangrove yang lebih dari 1km.

Hasil analisis oleh McIvor, A.L. et al, 2012 dari beberapa rekaman selama Badai Rita di Louisiana (pencatatan dilakukan oleh Wamsley et al. 2010) menunjukan rawa mangrove mampu menurunkan muka air hingga 15,8 cm / km mangrove. Selain lebar mengrove, karakteristik vegetasi mangrove seperti bentuk akar, batang dan cabang serta topografi wilayah turut mempengaruhi tingkat penurunan muka air. Hal menarik adalah faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut tidak serta merta berada dalam sebuah persamaan yang linier dengan peredaman gelombang badai.

Skema pembentukan gelombang badai serta faktor-faktor pemicu (Sumber: McIvor A.L. et al., 2012)

Page 15: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

15

Peran Mangrove dalam Menghambat Intrusi Air Laut Intrusi air laut secara sederhana dapat didefinisikan sebagai masuknya air laut ke daratan dan mengisi ruang yang sebelumnya diisi oleh air tawar. Intrusi air laut yang masuk ke sungai-sungai irigasi dapat mengancam kegagalan panen, intrusi juga dapat mengancam korosi pada bangunan. Dari sisi kesehatan, konsumsi air payau dapat menyebabkan diare dan gangguan metabolisme tubuh sedangkan jika dipakai untuk mandi dapat memicu penyakit gatal-gatal (Nurtiyani, 2008).

Intrusi air laut dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) Intrusi ke dalam air tanah (ground water); dan (2) Intrusi ke badan air permukaan (surface water)

Secara alamiah di wilayah pesisir lapisan air tawar terbentuk di bagian atas dari lapisan air tanah yang asin karena berat jenisnya yang lebih ringan. Air tawar memiliki tekanan yang lebih tinggi sehingga mampu menahan atau menghambat masuknya air laut di bawahnya. Namun demikian lapisan air tawar tersebut memiliki kondisi substart yang mudah tembus air (permeable). Berkurangnya

lahan basah pesisir dan tanaman baik vegetasi mangrove maupun hutan pantai menyebabkan struktur tanah menjadi kurang padat atau porous, sehingga air laut meresap melalui pori tanah menuju ke arah daratan dan mengisi kekosongan aquifer tersebut. Eksploitasi air tanah secara berlebihan melalui pemompaan juga dapat menyebabkan desakan air laut ke daratan.

Intrusi ke badan air permukaan terjadi jika aliran air tawar di sungai berkurang, misalnya karena penggunaan berlebih ataupun pengeringan, maka air laut dapat memasuki aliran sungai sampai ke bagian hulu, atau intrusi ke badan air permukaan juga dapat disebabkan karena lemahnya tekanan arus sungai dibandingkan dengan arus dari laut karena adanya energi pasang dapat mendorong air sungai sehingga air laut mengisi kolom sungai. Area bermangrove dapat mereduksi energi pasang khusunya pada saat pasang tinggi sehingga membantu rambatan energy air laut menuju ke arah daratan (air tawar).

Page 16: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

16

Secara jelas peristiwa intrusi pada air permukaan dapat ditunjukkan pada contoh kasus Delta Mahakam (Sidik, 2009). Hilangnya hutan mangrove dan vegetasi lain di hulu merupakan penyebab utama intrusi air laut ke badan air sungai. Pada musim kemarau, intrusi air laut ke arah hulu dapat mencapai sejauh 100 km ke arah Kota Samarinda dan mengganggu persediaan air minum warga. Jika intrusi air laut berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan aliran air tawar tidak cukup untuk melawan tekanan air laut, maka diperkirakan akan terjadi perubahan pada karakteristik biofisik lingkungan di dataran Delta Mahakam yaitu lingkungan tertutup yang dipenuhi vegetasi berubah menjadi lingkungan

terbuka dan delta dengan salinitas air rendah menjadi bersalinitas tinggi.

Gambar pengurangan aliran air tawar di Delta Mahakam selama tahun 1986-2000

(Sumber: Sidik, 2009)

Page 17: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

17

Peran Mangrove dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Ekosistem mangrove memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon yang sangat besar. Hasil kajian Donato et al. (2011) pada berbagai ekosistem mangrove di Indo Pasifik diketahui stok karbon pada ekosistem mangrove above dan below ground (pohon, understorey, serasah, nekromasa) mencapai 1023 Mg karbon (C) per hektar atau tiga kali lebih banyak dari pada vegetasi teresterial. Hal tersebut dapat menjadi indikasi peran mangrove dalam memitigasi laju perubahan iklim melalui penyerapan karbon.

McIvor, A.L. et al, 2013 mengkaji mangrove dan kapasitas adaptasi permukaan substratnya terhadap kenaikan muka laut. Pada area bermangrove di Twin Cays, Belize Amerika menunjukkan adanya penambahan ketinggian sedimen/ substrat yang bervariasi mulai dari 1mm/tahun hingga 10mm/tahun. Hasil pengukuran terbaru dengan menggunakan papan ukur dengan metodologi Horizon Marker (publikasi diterbitkan antara tahun 2006 dan 2011) menunjukkan di beberapa tempat sedimen pada area bermangrove meningkat (bertambah tinggi) pada tingkat yang sama dengan tinggi muka laut. Proses hidro-oseanografi dan biologi yang umumnya berpengaruh

pada elevasi substrat area bermangrove yaitu: sedimentasi/ resuspensi, akresi/ erosi; aktivitas fauna (aktivitas kepiting menggali), pertumbuhan/ dekomposisi akar, pengendapan dan pemadatan sedimen.

Faktor-faktor di luar ekosistem mangrove yang berpengaruh pada sedimentasi yaitu pasokan sedimen eksternal, jenis sedimen dasar yang mengikat partikel sedimen, karakteristik vegetasi seperti kerapatan pohon dan struktur akar napas, ketersediaan nutrient, dampak badai, ketinggian muka air sungai, curah hujan dan tekanan air dalam tanah.

Banyaknya faktor dan proses yang berpengaruh pada perubahan ketinggian permukaan substrat pada area bermangrove merupakan tantangan dalam permodelan perubahan elevasi substrat terhadap kenaikan muka laut. Sangat memungkinkan adanya neraca negatif dari sedimentasi area bermangrove dan kenaikan muka laut. Namun demikian informasi tersebut saat ini masih minim. Hal utama yang perlu dilakukan adalah monitoring dan pengelolaan khususnya input sedimen harus dipertahankan, menahan degradasi mangrove, dan menyediakan tempat bagi mangrove untuk berkoloni secara alami.

Page 18: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

18

Peran Mangrove dalam Menjaga Kesehatan Manusia a. Mangrove dan Malaria

Beberapa publikasi ilmiah menyatakan bahwa keberadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap endemisitas malaria dan dapat mencegah mewabahnya penyakit malaria dengan faktor nyamuk Anopheles. Hasil penelitian NAMRU (Bangs, 1990) sejak tahun 1977 sampai dengan 1990 di Flores Nusa Tenggara Timur (NTT) menemukan bahwa perubahan ekologi suatu ekosistem mangrove diikuti dengan laju naiknya insidensi malaria dalam waktu singkat. Pembukaan mangrove menyebabkan kolom air yang tadinya terlindung dari sinar matahari karena tertutup tajuk pohon mangrove menjadi terbuka. Kondisi terbuka dan payau ini diketahui merupakan suasana yang disenangi oleh nyamuk Anopheles subpictus, faktor utama penyebaran malaria di NTT, sebagai tempat bertelur karena kondisi kolom air yang cukup hangat. Berdasarkan temuan tersebut petugas pengendalian penyakit malaria kemudian melakukan upaya-upaya (1) pengeringan dan pengurugan genangan-genangan air (rawa-rawa kecil tidak terurus); (2) penanaman mangrove; (3) memperlancar keluar masuknya air dari pasang surut; (4) pembersihan/ pengangkatan alge untuk

mempermudah ikan memakan larva nyamuk. Upaya tersebut terbukti efektif menurunkan wabah malaria di NTT.

Kasus penanganan malaria juga dilaporkan oleh Jung, R.K tahun 1984 (dalam Bangs, 1990), seorang malariologist WHO yang melakukan pengamatan di Cilacap Jawa Tengah. Laporannya menyebutkan bahwa pada September 1984 kejadian malaria di beberapa desa terisolir di Cilacap meningkat tajam dengan jumlah kematian lima kali lipat lebih tinggi dari kejadian sebelumnya. Jung menyimpulkan bahwa alasan mendasar dari epidemik malaria di Cilacap adalah pembabatan mangrove untuk areal pertambakan dan sawah pasang surut. Penetrasi cahaya matahari di genangan air merupakan lokasi pembiakan yang disukai nyamuk Anopheles sundaicus, faktor utama malaria di Pulau Jawa.

b. Mangrove dan Penyakit Gatal-gatal

Desa-desa pesisir Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah seringkali mengalami penggenangan oleh banjir rob saat terjadi gelombang pasang yang rata-rata terjadi empat kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus dengan

Page 19: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

19

ketinggian penggenangan air rata-rata 97 cm. Sampai dengan saat ini banjir rob tidak merusak rumah atau jalan, namun merusak area pertambakan yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa. Informasi dari penduduk setempat menyebutkan bahwa banjir rob cenderung semakin sering terjadi pada lima tahun terakhir ini.

Hal yang menarik adalah informasi yang disampaian oleh tim medis Puskesmas di beberapa Kecamatan yang terdapat desa pesisir menyebutkan bahwa terjadinya rob biasanya diikuti dengan berjangkitnya beberapa penyakit seperti penyakit dengan perantara nyamuk yaitu Demam Berdarah dan Cikungunya, serta penyakit gatal-gatal (Sahlan et.all, 2010). Informasi yang sama diperoleh Puskesmas Kecamatan Kasemen Provinsi Banten (2009) menyebutkan bahwa penggenangan akibat banjir rob yang berlangsung sekitar lebih dari satu minggu dapat menyebabkan munculnya penyakit gatal-gatal, diare, bahkan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Meski tidak terdapat angka statistik yang detail tapi peristiwa ini juga terjadi di tempat-tempat lain seperti yang dilaporkan oleh berbagai media.

Peristiwa terjadinya Rob yang semakin sering muncul belakangan ini

sebetulnya berkaitan erat dengan berkurangnya mangrove yang merupakan benteng alami daratan dari gelombang pasang. Belum ada penelitian yang memadai yang secara langsung menghubungkan antara kemunculan demam berdarah, cikungunya, dan gatal-gatal berhubungan dengan kerusakan mangrove. Meski demikian, serangan banjir Rob yang diikuti oleh kemunculan berbagai penyakit tersebut telah memberikan indikasi sangat kuat bahwa mangrove bisa memainkan peranan yang sangat penting dalam pengendalian penyakit.

c. Mangrove sebagai Obat

Secara tradisional mangrove telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir Indonesia baik sebagai obat maupun bahan pangan. Sebagai contoh masyarakat di Aceh memanfaatkan getah tanaman buta-buta Excoecaria agallocha untuk mengobati sakit akibat sengatan hewan laut sedangkan di masyarakat Bugis di Delta Mahakam mengkonsumsi buah pedada Sonneratia caseolaris dan menggunakan buah Xylocarpus sebagai pelembab kulit. Berikut disajikan daftar manfaat beberapa jenis mangrove dan mangrove assosiasi sebagai obat.

Page 20: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

20

Tabel 3. Potensi khasiat medis mangrove yang ada di Indonesia

Nama latin Jenis Mangrove Khasiat

Acanthus ilicifolius

***

Aphrodisiac (perangsang libido), asma, (buah); diabetes, diuretic, hepatitis, leprosy (buah, daun dan akar); neuralgia, cacing gelang, rematik, penyakit kulit, sakit perut (kulit batang, buah dan daun).

Avicennia alba *** Antifertilitas, penyakit kulit, tumor, borok (resin). Avicennia marina *** Rematik, cacar, borok (batang). Avicennia offinalis

***

Aphrodiasiac, diuretic, hepatitis (buah), leprosy (kulit batang).

Bruguiera cylindrical *** Hepatitis (buah, daun dan akar). Bruguiera exaristata *** Anti tumor (kulit batang) Bruguiera gymnorrhiza *** Sakit mata (buah). Ceriops tagal * Menahan pendarahan (kulit batang) Excoecaria agallocha * Disengat hewan laut (getah) Hisbiscus tiliaceus * Infeksi telinga (bunga) Ipomoea pes-capre * Disengat ubur-ubur (daun) Lumnitzera racemosa ** Anti fertilitas, asma, diabetes, dipatuk ular

(buah). Nypa fructicans

***

Asma, diabetes, kusta, rematik, dipatuk ular (daun, buah).

Pluchea indica

**

Demam (daun, akar); borok (daun); rematik, kudis (daun, tunas); sinusitis (kulit bantang, batang)

Rhizophora apiculata

***

Anti muntah, antiseptik, diare, haemostatic (kulit batang); hepatitis (kulit batang, bunga, buah, daun); menghentikan perdarahan, typhoid (kulit batang).

Rhizophora mucronata ***

Beri-beri, febrifuge, haematoma (kulit batang); hepatitis (kulit batang, bunga, daun, akar); borok (kulit batang).

Sonneratia alba *** Bengkak dan keseleo (buah)

Sumber : Bandaranayake (1998) dalam Purnobasuki (2004).

Keterangan: *** mangrove sejati, ** mangrove minor, * mangrove assosiasi

Page 21: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

21

Peran Mangrove dalam Menjaga Kualitas Air Pemurnian (purifikasi) Kualitas Air

Sistem yang berlangsung dalam ekosistem mangrove memungkinkan untuk terjadinya proses memerangkap, mengubah dan memindahkan nutrien dan sedimen dari berbagai sumber dari alam maupun aktivitas manusia. Salah satu manfaat dari proses tersebut adalah peran dalam proses purifikasi atau memurnikan air melalui proses penyerapan dan penguraian nutrien anorganik (seperti Nitrogen dan Posfor) serta logam berat yang berlangsung pada ekosistem mangrove

Secara umum, proses purifikasi air dari nutrient dan bahan pencemar (polutan) yang berlangsung pada ekosistem mangrove setidaknya dengan cara: (1) menyerap polutan dan menyimpannya dalam akar, batang dan daun (logam berat dalam akar, nutrient seperti Nitrogen dan Posfor); (2) menstabilkan sedimen oleh sistem perakaran mangrove

(kondisi penstabilan sedimen sangat penting bagi proses purifikasi dari logam berat, Posfor dan bahan padat tersuspensi/TSS); dan (3) secara tidak langsung melalui penyediaan habitat bagi dekomposer. (Li et al. 2008).

Lebih lanjut Li et al. 2008 menyatakan bahwa mangrove muda (bibit) relatif lebih banyak menyerap nutrien dari pada mangrove dewasa.

Penting untuk dicatat kondisi mangrove yang memungkinkan atau dapat mendukung keberlangsungan dari proses purifikasi adalah kepadatan mangrove dan struktur (terkait dengan masa retensi semakin lama waktu retensi maka semakin meningkatkan peluang penguraian Nitrogen dan Posfor). Faktor luar lainnya yang mendukung proses purifikasi yaitu salinitas air, kecepatan aliran air, jenis mineral pada lumpur mangrove, kandungan zat besi dan potensial redoks/ tingkat keasaman.

Page 22: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

22

Ekowisata Mangrove dan Pendidikan

Di Indonesia, tidak banyak ekosistem mangrove yang dikembangkan menjadi lokasi wisata yang dikelola secara professional dengan cara pengenaan biaya kepada pengunjung. Beberapa tempat ekowisata mangrove di Indonesia diantaranya Taman Wisata Alam Angke Kapuk (Jakarta), Hutan Lindung Kota Tarakan (Kalimantan Timur)).

TWA Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan mangrove dengan status kawasan milik Kementrian Kehutanan yang pengelolaannya diberikan kepada PT. Murindra Karya Lestari melalui mekanisme ijin pinjam pakai kawasan seluas 99,82 Ha untuk pengembangan dan pemanfaatan wisata alam mangrove.

Setiap pengunjung yang masuk ke TWA Angke Kapuk dikenakan biaya Rp 10.000/orang dan akan dikenakan tambahan biaya sebesar Rp 200.000,- untuk penggunaan kamera di dalam kawasan. Di kawasan TWA Angke Kapuk juga dilakukan upaya rehabilitasi ekosistem mangrove oleh beberapa perusahaan melalui program CSR.

Bisa dikatakan bahwa ekowisata mangrove terbesar dan yang paling baik pengelolaan nya di Indonesia saat ini adalah TWA Angke Kapuk. Kawasan-kawasan mangrove lainnya

di sekitar TWA Angke Kapuk yang dapat kita kunjungi adalah SM. Muara Angke dan Hutan Lindung Mangrove Soediatmo. Total wisatawan yang berkunjung ke kawasan mangrove Muara Angke (hutan lindung, suaka margasatwa, blok ekowisata dan taman wisata alam) dapat mencapai 30 ribu orang/tahun.

Hutan Lindung Kota Tarakan merupakan sebuah ekosistem mangrove yang luasnya 9 ha yang terletak berdampingan dengan pusat perdagangan Kota Tarakan. Hutan ini meski dikelola sebagai kawasan yang memiliki fungsi beragam yaitu sarana pendidikan, penelitian, green belt, konservasi bekantan dan paru-paru kota, tetapi hutan ini lebih dikenal sebagai hutan wisata. Setiap bulannya sekitar 2,500 wisatawan lokal maupun asing mengunjungi hutan mangrove ini dan membayar fee Rp 2,000 or (warga lokal) dan Rp 10,000 or US$ 1 (wisatawan asing). Setiap bulannya kegiatan wisata di ekosistem mangrove seluas 9 ha ini menghasilkan sekitar Rp 5,000,000 (US$ 556) per bulan hanya dari fee pengunjung saja (Ilman et al., 2011).

Beberapa tempat di Indonesia juga telah banyak dikembangkan untuk tujuan wisata komersial, bahkan telah dilengkapi dengan berbagai

Page 23: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

23

infrastruktur. Namun demikian, belum berkembang optimal sesuai harapan karena masih minimnya kemampuan pengelolaan oleh masyarakat setempat, pihak swasta, dan pemerintah. Lokasi-lokasi tersebut antara lain di daerah wisata mangrove Wonorejo (Jawa Timur), Bontang Kuala (Kalimantan Timur), Hutan Mangrove Mojo (Pemalang Jawa Tengah), dan Kuala Langsa (Aceh). Pendapatan yang diperoleh masyarakat dari pengelolaan wisata mangrove di lokasi-lokasi ini tidak berasal dari sistem pembayaran jasa ekosistem misalnya fee masuk lokasi atau jasa pelayanan wisata yang disediakan secara terorganisir rapi. Sebaliknya pendapatan yang bisa diperoleh masyarakat hanya berasal dari jasa-jasa pendukung wisata tidak langsung seperti lahan parkir, restoran, atau sesekali penyewaan perahu yang tidak dikelola secara rapi dan terorganisasi.

Beberapa ekosistem mangrove di Indonesia juga dibangun dengan fasilitas yang cukup bagus untuk menampung pengunjung. Hanya saja, pembangunan fasilitasi di ekosistem mangrove ini lebih ditujukan untuk kegiatan pendidikan dan stasiun penelitian sedangkan kegiatan rekreasi hanyalah manfaat tambahan. Pengelolaan ekosistem mangrove jenis ini bisa ditemukan di Mangrove Information Center Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH)

Puntondo Sulawesi Selatan, dan Pusat Penelitian Mangrove Yayasan Lebah di Aceh (Ilman et al., 2011)

TWA Angke Kapuk, Jakarta (Photo: Nyoman Suryadiputra, 2010)

Hutan Lindung Kota Tarakan (Photo: Ita Sualia, 2013)

Page 24: Booklet Rangkuman Mangrove Eco Services (FINAL-LowRes)

24

ReferensiBadan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 2009. Peta Mangrove Indonesia.

Bangs, M.J. dan Atmoesoedjoo, A. 1990. Reduction in Malaria Prevalence in Robek, Flores Through Mangrove Management, Source Reduction, Insecticidal Spraying and Community Participation. US. Naval Medical Research Unit, Jakarta Indonesia. Prosiding Konferensi Mangrove 7-9 Agustus 1991. Bandar Lampung.

Donato, D.C., Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Stidham, and Markku Kanninen. 2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geoscience Journal. Published Online 3 April 2011/doi:10.1038/ngeo1123.

FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980-2005. FAO Forestry Paper 153. Fodd and Agriculture Organization of te United Nations, Rome. ISBN: 978-92-5-105856-5.

Harada K. and Fumihiko Imamura. 2003. Effect of Coastal forest on Tsunami Hazard Mitigation – A Preliminary Investigation.

Ilman, M., Iwan T.C.W., and I N. N. Suryadiputra. 2011. State of the Art Information on Mangrove Ecosystems in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.

Li, N., S. Chen, X. Zhou, C. Li, J. Shao, R. Wang, E. Fritz, A. Hüttermann, and A. Polle. 2008. Effect of NaCl on photosynthesis, salt accumulation and ion compartmentation in two mangrove species, Kandelia candel and Bruguiera gymnorhiza. Aquatic Botany 88:303-310.

McIvor, A.L., Möller, I., Spencer, T. and Spalding. M. 2012. Reduction of wind and swell waves by mangroves. Natural Coastal Protection Series: Report 1. Cambridge Coastal Research Unit Working Paper 40. Published by The Nature Conservancy and Wetlands International.

McIvor, A.L., Spencer, T., Möller, I. and Spalding. M. 2012. Storm surge reduction by mangroves. Natural Coastal Protection Series: Report 2. Cambridge Coastal Research Unit Working Paper 41. Published by The Nature Conservancy and Wetlands International.

McIvor, A.L., Spencer, T., Möller, I. and Spalding. M. 2013. The response of mangrove soil surface elevation to sea level rise. Natural Coastal Protection Series: Report 3. Cambridge Coastal Research Unit Working Paper 42. Published by The Nature Conservancy and Wetlands International. 59 pages. ISSN 2050-7941.

Noor., et al. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme.

Nurtiyani, E. 2008. Kesehatan Lingkungan : Air Payau Akibat Intrusi Air Laut. Pusat Data & Informasi–Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Jakarta. Diunduh dari www. pdpersi.co.id tanggal 12 Oktober 2010.

Purnobasuki, H. 2004. Potensi Mangrove sebagai Tanaman Obat. Jurnal Perikanan. Biota IX (2), Juni 2004. Jakarta.

Sahlan, M., Giyanto, Rohmat dan Eko B.P. 2010. Kajian Baseline Data Desa-Desa Pantai Kabupaten Pemalang. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.

Sidik, A.S. 2009. The Changes of Mangrove Ecosystem in Mahakam Delta, Indonesia : A Complex Social Environmental Pattern of Linkages in Resources Utilization. Paper presented at Rescopar Scientific Meeting in Mulawarman University, Samarinda, Indonesia, 25-26 February 2009.

Spalding, M., M. Kainuma, dan L. Collins. 2010. World Atlas of Mangrove. Washington DC, USA. International Society for Mangrove Ecosystem.