19
BLOK SARAF PADA EKSTREMITAS BAWAH Jeffrey Y.F. Ngeow Semih Gȕngȍr Ahmet Sinav Seorang pria berusia 45 tahun datang dengan luka bakar pada seluruh kaki depan sebelah kiri dan dijadwalkan untuk eksisi eschar secara tangensial dan Split-Thickness Skin Graft (STSG) dari paha kanannya. Dari riwayat medisnya terdapat stenosis aorta asimptomatik sedang yang didiagnosis 2 tahun yang lalu dan fusi posterior dari L2 – S1 yang didiagnosis 10 tahun yang lalu yang keduanya dialami saat ini. Pasien tersebut juga memiliki riwayat sulit dilakukan intubasi endotrakeal saat operasi sebelumnya karena adanya pergeseran laring ke arah anterior. A. Penyakit Medis dan Diagnosis Banding 1. Apa yang menjadi perhatian terhadap stenosis aorta dan aktifitas simpatis? 2. Apa hubungan antara blok neuroaksial dan sistem simpatis? 3. Apakah blok pleksus lumbalis dapat berhasil pada sympathectomy? 4. Dapatkah sebuah blok saraf perifer berefek pada aliran simpatis? B. Evaluasi dan Persiapan Preoperatif 1. Apakah resiko morbiditas dan mortalitas perioperatif pada pasien ini dapat meningkat? 2. Apa langkah diagnostik selanjutnya yang dilakukan jika dibutuhkan? 3. Apa yang harus ditangani selama masa preoperatif untuk mengurangi resiko dari hal-hal yang merugikan? 4. Perlukah operasi diubah, ditunda atau dibatalkan? 5. Pilihan anastesi apa yang kamu diskusikan dengan pasien? 1 29

Blok Saraf Pada Ekstremitas Bawah (Translate)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Blok Saraf Ekstremitas Bawah

Citation preview

29BLOK SARAF PADA EKSTREMITAS BAWAH

Jeffrey Y.F. NgeowSemih GngrAhmet Sinav

Seorang pria berusia 45 tahun datang dengan luka bakar pada seluruh kaki depan sebelah kiri dan dijadwalkan untuk eksisi eschar secara tangensial dan Split-Thickness Skin Graft (STSG) dari paha kanannya. Dari riwayat medisnya terdapat stenosis aorta asimptomatik sedang yang didiagnosis 2 tahun yang lalu dan fusi posterior dari L2 S1 yang didiagnosis 10 tahun yang lalu yang keduanya dialami saat ini. Pasien tersebut juga memiliki riwayat sulit dilakukan intubasi endotrakeal saat operasi sebelumnya karena adanya pergeseran laring ke arah anterior.A. Penyakit Medis dan Diagnosis Banding1. Apa yang menjadi perhatian terhadap stenosis aorta dan aktifitas simpatis?2. Apa hubungan antara blok neuroaksial dan sistem simpatis?3. Apakah blok pleksus lumbalis dapat berhasil pada sympathectomy?4. Dapatkah sebuah blok saraf perifer berefek pada aliran simpatis?

B. Evaluasi dan Persiapan Preoperatif1. Apakah resiko morbiditas dan mortalitas perioperatif pada pasien ini dapat meningkat?2. Apa langkah diagnostik selanjutnya yang dilakukan jika dibutuhkan?3. Apa yang harus ditangani selama masa preoperatif untuk mengurangi resiko dari hal-hal yang merugikan?4. Perlukah operasi diubah, ditunda atau dibatalkan?5. Pilihan anastesi apa yang kamu diskusikan dengan pasien?

C. Manajemen Intra-Operatif1. Pemantauan apa yang dilakukan selama operasi berlangsung?2. Teknik anastesi apa yang akan kamu pilih untuk operasi ini?3. Bagaimana caramu melakukan blok pleksus lumbalis?4. Apa yang dimaksud dengan 3-in-1 block? Bagaimana caramu melakukannya?5. Apa penunjuk untuk dilakukannya blok pergelangan kaki?6. Apa keuntungan dan kerugian dilakukannya blok pergelangan kaki?7. Apakah ada pilihan lain dalam melakukan blok ekstremitas bawah unilateral?

D. Manajemen Post-Operatif1. Bagaimana kamu menangani manajemen nyeri post-operatif dari pasien tersebut?2. Kenapa kamu mengikuti status neurovaskular dari pasien setelah dilakukan manajemen nyeri?

E. KesimpulanA. Penyakit Medis dan Diagnosis Banding1. Apa yang menjadi perhatian terhadap stenosis aorta dan aktifitas simpatis?Pada pasien dengan stenosis aorta yang kritis, terdapat sedikit bahkan tidak ada cadangan koroner. Angina dapat terjadi bahkan pada orang yang tidak memiliki riwayat penyakit arteri koroner. Tetapi, biasanya, penyakit arteri koroner seringkali bersamaan dengan stenosis aorta. Sebagai tambahan, densitas dari kapiler-kapiler dapat berkurang pada kasus ventrikel hipertropi. Dalam hal pasien ini, mekanisme atrial kick dapat berkontribusi sampai 40% terhadap pengisian ventrikel. Penurunan reduksi preload dan afterload dapat berpengaruh terhadap cardiac output sehingga menyebabkan stenosis aorta. Oleh karena itu, fungsi optimal jantung bergantung pada arus balik vena (venous return) yang adekuat dan sebuah ritme sinus yang reguler, yaitu pada 60 sampai 70 denyutan per menit. Penurunan aktivitas simpatis yang tiba-tiba akan memberi pengaruh yang buruk terhadap pengisian atrial dan denyut jantung, yang akan menyebabkan perfusi yang inadekuat ke pembuluh kapiler dan otak.Efek hemodinamik pada stenosis aorta dapat diperburuk oleh reduksi pada afterload dari agen anastesi simpatolitik atau venodilasi dan berkurangnya preload sekunder ke anastesi neuraxial, yang mana akan mengurangi aktifitas simpatis di perifer.

Belzberg H. Preoperative cardiac preparation. Chest 1999;115 (Suppl 5):82S-95S.Miller RD, ed. Anasthesia, 5th ed. New York: Churchill Livingstone, 2000:1770-1771.Perlorth MG, Hultgren HN. The cardiac patient and general surgery. JAMA 1975;232:1279-1280.

2. Apa hubungan antara blok neuroaksial dan sistem simpatis?Pengaruh kardiovaskuler dari blok neuraxial adalah sama pada beberapa cara untuk mengkombinasi penggunaan adrenergic-intravena 1 dan -adrenergic bloker, yang mana akan menyebabkan penurunan denyut jantung dan tekanan darah arteri. Derajat simpatolisis bergantung pada tingginya blokade. Simpatektomi secara khas dapat memperluas sekitar dua sampai enam dermatom diatas level sensorik dengan anastesi spinal dan pada tingkat yang sama dengan anastesi epidural. Hal ini dapat membuat vasodilatasi pada arteri dan vena. Karena adanya darah dalam jumlah besar dalam sistem vena (kira-kira 75% dari total volume darah), dalam hal ini efek venodilasi yang menonjol.

Miller RD, ed. Anasthesia, 5th ed. New York: Churchill Livingstone, 2000:1496.

3. Apakah blok pleksus lumbalis dapat berhasil pada sympathectomy?Plexus lumbalis dibentuk oleh ramus anterior dari 4 nervus lumbalis yang pertama, biasanya termasuk cabang dari T-12 dan biasanya dari L-5. Plexus tersebut berjalan antara m. Psoas mayor m. Quadratus lumborum, yang disebut kompartemen Psoas.Pleksus lumbalis atau kompartemen psoas memblok teknik kerja dimana jika sebuah jarum ditempatkan ke dalam spasium diantara m. Psoas mayor m. Quadratus lumborum. Sejumlah besar volumedari anastesi lokal yang diinjeksikan di tempat ini akan memberikan efek anastesi pada panggul dan paha anterolateral. Efek samping dari pendekatan paravertebral untuk pleksus lumbalis adalah pengembangan dari blok simpatis sekunder untuk menyebarluaskan lokal anastesi ke rantai simpatis lumbar yang dekat dengan bagian proksimal. Simpatektomi unilateral ini biasanya sedikit berpegang pada individu yang sehat atau sebaliknya. Pada pasien kami, yang mana sebagai prioritasnya adalah untuk menghindari berbagai sifat reduksi simpatis, bahkan simpatektomi terbatas harus diperhitungkan.

Miller RD, ed. Anasthesia, 5th ed. New York: Churchill Livingstone, 2000:1530-1537.

4. Dapatkah sebuah blok saraf perifer berefek pada aliran simpatis?Blok saraf perifer dilakukan karena simpatektomi regional, tetapi efek dari beberapa perubahan regional pada sebuah ekstremitas jarang menghasilkan gangguan hemodinamik yang besar.Pasien dengan proses penyakit yang membuat simpatektomi terlihat dengan anastesi neuraksial yang membahayakan, biasanya melalui blokade saraf ekstremitas bawah tanpa resiko instabilitas hemodinamik yang signifikan.

Dilger JA. Lower ekstremity nerve block. Anesthesiol Clin North Am. 2000;18(2):319-340.

B. Evaluasi dan Persiapan Preoperatif1. Apakah resiko morbiditas dan mortalitas perioperatif pada pasien ini dapat meningkat?Stenosis aorta adalah salah satu faktor resiko independen untuk komplikasi post-operatif jantung, dengan 13% tingkat mortalitas dalam penelitian Goldman dkk. Pada kelompok pasien ini, cardiac output dipertahankan untuk ditangani, yang sangat sensitif terhadap kondisi berkurangnya volume, aritmia, dan vasodilatasi. Berdasarkan penelitian terbaru, kemungkinan prognosis saat ini tidak seburuk dari hasil penelitian dari Goldman dkk. Studi OKeefe mempelajari 48 pasien lansia yang diseleksi (dengan fraksi ejeksi rata-rata 55%) dengan stenosis aorta yang signifikan yang menjalani pembedahan non-kardiak. Stenosis tersebut memberat pada 77% dari mereka. Tidak ada kematian jantung yang terjadi, menganjurkan kepada pasien yang diseleksi tersebut untuk melakukan pembedahan dengan resiko yang masuk akal jika mereka dipantau secara berhati-hati jika vasodilator dan anastesi spinal tidak diinginkan.

Goldman, Caldera D, Nussbaum S, et al. Multifactorial index of cardiac risk in noncardiac surgical patient. N Engl J Med. 1977;297:845O keefe J. Risk of noncardiac surgical procedures in patients with aortic stenosis. Mayo Clin Proc. 1989;64:400.

2. Apa langkah diagnostik selanjutnya yang dilakukan jika dibutuhkan?Pada pasien ini, selain dilakukan anamnesis untuk menggali riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, penilaian elektrokardiografi (EKG), juga dibutuhkan evaluasi echocardiografi untuk preoperatif. Echocardiografi Doppler memberikan sebuah estimasi yang non invasif dari area katup aorta dan kemiringan katup aorta, yang berhubungan erat dengan beratnya stenosis.Pada kasus stenosis yang simptomatik atau stenosis aorta yang berat (area katup aorta < 0,75 cm2), American College of Cardiology / American Heart Association Task Force merekomendasikan pasien tersebut untuk menjalani operasi penggantian katup aorta sebelum pembedahan non-kardiak jika hal tersebut memungkinkan.Konsultasi kepada ahli jantung untuk mengevaluasi status volume jantung dan volume perfusidari pasien tersebut akan sangat membantu dalam menetapkan batas toleransi terhadap perubahan hemodinamik dan dalam pemilihan fungsi optimal dari jantung tanpa batas toleransi tersebut.

Guidelines for perioperative cardiovascular evaluationfor noncardiac surgery: Report of the American College of Cardiology / American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery). J Am Coll Cardiol 1996:27: 910.Washington manual of medical therapeutics, 29th ed. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers, 1998:18, 126-127.

3. Apa yang harus ditangani selama masa preoperatif untuk mengurangi resiko dari hal-hal yang merugikan?Evaluasi preoperatif harus ditargetkan untuk mengidentifikasi faktor yang dapat dimodifikasi untuk mengurangi resiko; merencanakan sebuah pendekatan operatif dan pemberian waktu yang akan membatasi berbagai resiko; dan memilih jenis anastesi yang disenangi untuk pasien dan rencana jenis pembedahannya.Keadaan volume dari pasien harus ditingkatkan untuk meyakinkan perfusi yang adekuat tanpa edema paru klinis maupun subklinis.Penggunaan transfusi pada pasien dengan preoperatif merupakan sebuah keputusan yang harus dievaluasi secara hati-hati. Manajemen medis harus dimaksimalkan untuk stabilitas hemodinamik.

Belzberg H. Preoperative cardiac preparation. Chest. 1999;115(suppl):82S-95S.

4. Perlukah operasi diubah, ditunda atau dibatalkan?Pembedahan ini dapat ditunda sampai kondisi optimal diperoleh. Tetapi tidak ada alasan untuk membatalkan pembedahan pada pasien tersebut. Terdapat beberapa keuntungan dari segera dilakukannya eksisi tangensial dan split-thickness skin grafting pada pasien luka bakar. Dengan memotong skar akibat luka bakar dengan segera (dalam 7-10 hari), dapat menghilangkan pertumbuhan bakteri dengan cepat dan mendapatkan cakupan kulit yang tepat. Hal ini dapat mengurangi komplikasi sepsis, dengan cara memperpendek masa hospitalisasi dan masa penyembuhan.

5. Pilihan anastesi apa yang kamu diskusikan dengan pasien?Untuk sebuah prosedur operasiyang melibatkan salah satu atau mungkin kedua ekstremitas bawah, seorang anestesiolog dapat memberikan pilihan kepada pasien apakah akan dilakukan sebuah anestesi regional saja atau sebuah kombinasi dari teknik anestesi yang berbeda. Pada kebanyakan pasien, jika disebutkan akan dilakukan blok saraf akan menimbulkan ketakutan dari rasa sakit yang ditimbulkan penusukan dengan jarum dan munculnya rasa cemas jika tetap dalam kondisi sadar selama operasi berlangsung. Untuk itu, tanpa menghiraukan jenis teknik anastesi yang akhirnya dipilih, pasien tersebut harus diyakinkan bahwa nantinya akan terbebas dari rasa cemas dan rasa sakit selama proses induksi anestesi dan selanjutnya selama dilakukan pembedahan. Dalam hal meyakinkan pasien, dapat diperkuat dengan dengan menyebutkan bahwa telah banyak pasien dan operator yang menyukai teknik ini karena sangat simpel, aman, terpercaya, dapat diterima, dan ditoleransi dengan baik.Bahkan jika pasien lebih menyukai sebuah metode regional, tetapi diskusi selama preoperatif harus termasuk menyebutkan asal dari obat-obatan yang digunakan, termasuk obat sedatif atau penenang (tranquilizer), dan agen anastesi lokal yang digunakan, dengan efek samping yang kemungkinan terjadi. Sebagai tambahan, pasien harus diberitahu bila anestesi regional dilakukan, hal yang sama dilakukan jika akan dilakukan anestesi umum.

Moerman N, Bonk B, Oosting J. Awareness and recall during general anesthesia. Facts and feeling. Anesthesiology 1993;79:454-464.Myerson MS, Ruland CM, Allon SM. Regional anesthesia for foot and ankle surgery. Foot Ankle 1992;13:282-288.

C. Manajemen Intra-Operatif1. Pemantauan apa yang dilakukan selama operasi berlangsung?Selain pemantauan tanda penting rutin (elektrokardiogram / EKG, tekanan darah, denyut nadi dan oksimetri / pulse oxymetry, dan suhu tubuh), item khusus untuk pemantauan dalam hal ini mungkin termasuk ultrasonografi Doppler detektor aliran probe pada anggota tubuh yang dioperasikan sebelum dan sesudah induksi anestesi. Dalam kebanyakan kasus, peningkatan aliran darah terjadi setelah blokade saraf sukses. Setiap perubahan, atau kurangnya perubahan, dalam status perfusi kaki harus didokumentasikan. Ketika pemantauan aliran darah intraoperatif terus menerus diperlukan, sebuah probe steril untuk pulse oksimeter dengan layar plethysmographic dapat melekat pada jari terdekat, jika kondisi operasi memungkinkan. Jika tourniquet dibutuhkan, yang biasanya terjadi ketika aliran darah tidak begitu membahayakan, tekanan tourniquet dan waktu iskemia yang dapat ditoleransi harus dibicarakan dengan dokter bedah sebelumnya dan diikuti secara hati-hati. Pada kasus insufisiensi vaskular yang tidak berahaya, uji praoperatif sederhana mencatat waktu reperfusi setelah periode singkat iskemia yang dapat digunakan sebagai panduan untuk penerimaan dari tourniquet tersebut.

Hartman GS. Management of patient with valvular heart disease. In:1994 IARS review course lectures. Cleveland: International Anesthesia Research Society, 1994:141-151.

2. Teknik anastesi apa yang akan kamu pilih untuk operasi ini?Sama halnya pada semua kasus bedah, metode anestesi sederhana yang cocok dengan kebutuhan dari operator dan keinginan pasien harus digunakan. Pada situasi ini, terus terang anestesi spinal merupakan pilihan yang jelas sederhana. Tetapi teknik neuraksial, yang mana dapat menyebabkan simpatektomi, mungkin bukan merupakan pilihan yang tepat untuk pasien dengan stenosis aorta. Selanjutnya, dikarenakan pada pasien ini pembedahan spinal lumbar sebelumnya, diharapkan akan lebih sulit dilakukan dengan blok neuraksial.Bila anestesi regional bilateral dibutuhkan, sebagaimana dibutuhkan dalam operasi ini, pilihannya dapat berupa blok ankle untuk kaki kiri dan blok saraf perifer tersendiri untuk saraf obturator, femoral, dan kutaneus femoralis lateralis (LFC) untuk area pencangkokan kulit pada paha kanan.

3. Bagaimana caramu melakukan blok pleksus lumbalis?Blok pleksus lumbalis (blok kompartemen psoas) dilakukan pada pasien baik dengan posisi lateral atau pada posisi pronasi. Sebuah garis ditarik untuk menghubungkan krista iliaka (intercristal line) dengan mengidentifikasi spina pada lumbar keempat. Setelah persiapan kulit, kulitnya sedikit diangkat 3 cm ke arah kaudal dan 5 cm ke lateral menuju ke garis tengah yang akan dilakukan blokade. Titik ini berhubungan dengan batas medial dari krista iliaka dan ini merupakan titik insersi jarum. Jarum nomor 22 yang berukuran15 cm lalu ditusukkan secara tegak lurus ke dalam kulit sampai jarumnya menyentuh prosesus transversal lumbar ke-lima. Setelah itu, jarumnya ditarik sedikit dan diarahkan ke atas sampai ujung jarum terasa melewati prosesus transversalis. Pada titik ini syringe 20 ml diisi dengan udara, dan jarum dimasukkan perlahan sampai tidak didapatkan tahanan. Kompartemen psoas biasanya kedalamannya mencapai 10-12 cm. Jika digunakan stimulator saraf, dapat membantu mengoreksi ketepatan posisi jarum yang ditandai dengan adanya kedutan m. Quadratus femoris. Paraesthesia dapat pula diketahui dari lokasi pleksus lumbalis.

Marhofer P, Nasel C, Sitzwohl C, et al. Magnetic resonance imaging of the distribution of local anesthetic during the three-in-one block. Anesth Analg 2000;90(1):119-124.Winnie AP, Ramamurthy S, Durrani Z. The inguinal paravascular technic of lumbar plexus anesthesia: the 3-in-1 block. Anesth Analg 1973;52:989-996.

4. Apa yang dimaksud dengan 3-in-1 block? Bagaimana caramu melakukannya?Blokade perivaskuler inguinal (3-in-1 block) merupakan teknik Winnie, Ramamurthy, dan Durrani yang pertama kali digambarkan untuk blokade pleksus lumbalis. Ini merupakan teknik yang dapat bersamaan memblok saraf femoralis, LFC, dan juga saraf obturator hanya melalui sekali injeksi dengan anestesi lokal. Secara teknis, cara ini hampir sama dengan blok saraf femoralis. Hal ini berdasarkan alasan bahwa injeksi dari sejumlah besar volume anestesi lokal ke dalam kanal femoralis sambil menjaga tekanan distal yang akan menghasilkan penyebaran cairan ke arah proksimal hingga ke kompartemen psoas. Kunci perkiraannya adalah pembungkus fasia yang mengelilingi akar serabut saraf lumbar akan meluas ke dalam kanal femoral dan bekerja dengan menyatukan saluran untuk penyebaran cairan anestesi lokal. Tetapi, studi terbaru oleh Marhofer dkk yang menggunakan MRI untuk mendemonstrasikan blok 3-in-1, tidak menghasilkan penyebaran ke proksimal, tetapi ke arah lateral, kaudal, dan sedikit ke arah medial ketika penyebarannya terlihat. Penyebaran ini selanjutnya akan memblok saraf femoral, LFC, dan cabang anterior dari saraf obturator. Teknik ini tidak mencakup cabang posterior saraf obturator, yang menginervasi fossa poplitea dan kulitnya. Wedel telah melaporkan bahwa teknik 3-in-1 ini tidak mengenai saraf LFC, yang menginervasi sisi lateral paha. Area ini merupakan tempat yang akan dilakukan skin graft pada pasien ini. Gambaran terbaru mengenai cairan anestesi yang menyebar ke perifer oleh Marhofer dkk memperkirakan hal tersebut tidak dapat memberikan blok rantai simpatis pada lumbal yang signifikan. Penambahan injeksi ke saraf LFC mungkin dapat dilakukan dengan menambahkan anestesi lokal pada kasus yang terjadi blokade inadekuat pada saraf ini.

Gambar 1. Blok nervus femoralis, blok nervus femoralis kutaneus lateralis, dan blok nervus obturator.

Pasien ditempatkan pada posisi supinasi dengan ahli anestesi berdiri di sebelah tempat yang akan diblok. Ligamentum inguinale ditandai sebagai garis penghubung antara tuberkulum pubikum dengan spina iliaka anterior superior (SIAS). Arteri femoralis juga ditandai. Kulit pada bagian ini sedikit diangkat sekitar 1 cm ke arah lateral menjauhi arteri. Saraf femoralis dapat diketahui dengan adanya parestesia atau dengan teknik stimulasi saraf. Jarum tersebut ditahan dan tidak digerak-gerakkan sementara terjadi tekanan distal yang digunakan oleh jari-jari sampai ke pembungkus femoral. Total sekitar 20-40 ml dari cairan yang dimasukkan setelah dilakukan aspirasi negatif.Untuk penambahan blok saraf LFC, sebuah titik ditandai 2 cm ke medial dan 2 cm ke kaudal dari SIAS. Sebuah jarum no.22 dengan bevel yang pendek, yang berukuran 4 cm ditusukkan secara tegak lurus terhadap permukaan kulit sampai menembus fasia latae. Jarum tersebut kemudian digerakkan ke lateral dan medial, dan sebanyak 10-15 ml cairan dimasukkan, dengan menempatkan cairan anestesi di atas dan di bawah fasia. Karena saraf ini merupakan saraf sensorik murni, maka stimulator saraf tidak begitu membantu dalam menimbulkan kejang otot selama dilakukan blok saraf ini.

Diger JA. Lower extremity nerve blocks. Anesthesiol Clin North Am June 2000;18(2):319-340.Marhofer P, Nasel C, Sitzwohl C, et al. Magnetic resonance imaging of the distribution of local anesthetic during the three-in-one block. Anesth Analg 2000;90(1):119-124.Wedel DJ. Nerve blocks. In: Miller RD, ed. Anesthesia, 5th ed. New York: Churchill Livingstone, 2000:1530-1537.Winnie AP, Ramamurthy S, Durrani Z. The inguinal paravascular technic of lumbar plexus anesthesia: the 3-in-1 block. Anesth Analg 1973;52:989-996.

5. Apa penunjuk untuk dilakukannya blok pergelangan kaki?Untuk anestesi kaki yang lengkap, masing-masing dari lima saraf kaki harus diblokir secara tersendiri. Dengan pengecualian terhadap saraf saphena (yang merupakan perpanjangan dari saraf femoral), semua saraf berasal dari saraf sciatic. Berbagai teknik dan penanda telah dijelaskan oleh banyak penulis, tapi pada dasarnya terdapat dua saraf utama yang memasok fungsi motorik untuk kaki, tibialis posterior dan peroneal profunda, memerlukan jarum tertentu untuk injeksi, sedangkan saraf sensorik ke kaki (peroneal superfisial, saphena dan sural) dapat diblokir oleh cincin subkutan umum. Untuk mendekati saraf tibial posterior, kaki didorsfleksikan dengan sudut sampai 90 derajat. Pasien ditempatkan secara pronasi dengan kaki lurus, atau supinasi dengan kaki yang akan dioperasikan ditekuk dan didukung oleh kaki yang lainnya. Sebuah jarum ukuran tertentu (25 hingga 27 G) dimasukkan sepanjang batas medial tendon Achilles setinggi maleolus medial dan maju untuk kemudian akan berhubungan dengan tibia posterior. Satu yang harus disadari, bahwa arteri tibialis posterior sering terletak di antara saraf tibialis dan periosteum. Tiga sampai lima ml larutan anestesi lokal (tanpa epinefrin) disuntikkan jika paresthesia ditemui selama penyisipan jarum; namun jika akan diberikan sekitar 5 sampai 7 ml, diinjeksikan hanya pada permukaan periosteum.Saraf peroneal bagian dalam di pergelangan kaki terletak di sebelah dalam antara tendon tibialis anterior (TA) dan ekstensor halusis longus (EHL). Tendon ini diidentifikasi dengan meminta pasien untuk mendorsofleksikan jempol kaki (EHL) dan pergelangan kaki (TA). Secara sederhana, saraf diblokir di daerah ini. Namun karena saraf ini berjalan di belakang EHL dan muncul pada lateral tendon EHL pada dorsum pedis di dekat arteri tibialis anterior, dapat lebih mudah diblokir dengan menggunakan pendekatan "Midtarsal" seperti yang dijelaskan oleh Sharrock et al. Dengan metode ini, pulsasi dorsalis pedis adalah yang pertama ditemukan pada lateral tendon EHL di pertengahan kaki, mendekati ekstensor retinakulum. Sebuah jarum pengukur halus dimasukkan tepat di lateral pulsasi arteri sampai menyentuh periosteum. Setelah penarikan jarum 2-3 mm dari periosteum, 2 sampai 3 mL larutan anestesi lokal (tanpa epinefrin) harus disuntikkan.

Gambar 2. Blok nervus tibialis posterior.

Dari situs tusukan jarum yang sama pada blok saraf peroneal bagian dalam, jarum bisa dialihkan untuk memblokir kedua cabang saraf peroneal bagian luar, saraf saphena, dan saraf sural dengan membuat cincin subkutan di dorsum pedis menggunakan 3 sampai 5 mL cairan anestesi (tanpa epinefrin). Sebuah alternatif untuk memblokir saraf sural (yang tidak diperlukan untuk operasi pada ibu jari), pasien diposisikan seperti akan dilakukan blok saraf tibialis posterior, dan jarum segera dimasukkan ke arah lateral tendon Achilles setinggi maleolus lateral ke arah anterolateral. Jarum masukkan sampai menyentuh tulang atau menimbulkan paresthesia, lalu 3 sampai 5 mL anestesi lokal disuntikkan.

Sharrock NE, Waller JF, Fierro LE. Midtarsal block for surgery of the forefoot. Br J Anaesth 1986;58:3740.

6. Apa keuntungan dan kerugian dilakukannya blok pergelangan kaki?Keuntungan utama dari sebuah blok pergelangan kaki relatif terletak pada kesederhanaan dan keamanannya dibandingkan dengan metode regional lainnya. Penunjuk yang digunakan dalam melakukan blok ini dapat segera diidentifikasi dalam sebagian besar pasien, dan lokalisasi yang tepat dari setiap saraf tidak perlu dengan teknik " field block ". Selain itu, karena hanya sebagian kecil dari ekstremitas yang dibius, perubahan hemodinamik utama yang berhubungan dengan teknik neuroaksial akan dihindari. Komplikasi utama blok pergelangan kaki adalah injeksi intraneural langsung dengan larutan anestesi lokal. Singkatnya, injeksi intravaskular secara langsung, efek toksik sistemik dari volume biasa (15 sampai 20 ml) dari agen anestesi lokal yang digunakan jarang terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh serapan lambat dan distribusi anestesi lokal ke dalam pusat kompartemen.

Gambar 3. Blok nervus peroneal bagian dalam.

Dua kelemahan utama dari blok ini ketidaknyamanan yang terkait dengan kinerja blok dan ketidakmampuan untuk menggunakan tourniquet pneumatik, kecuali ditempatkan hanya di atas malleolus sekitar pergelangan kaki. Blok pergelangan kaki sangat tidak nyaman untuk sebagian besar pasien karena beberapa kali injeksi jarum yang terlibat, serta banyaknya akhiran saraf di daerah kaki dan pergelangan kaki, yang membuatnya sangat sensitif terhadap suntikan jarum. Sedasi yang memadai dianjurkan sebelum melakukan blok. Selain itu, tendon kaki yang panjang akan terus bekerja, karena otot memiliki pasokan saraf lebih di daerah proksimal, sehingga pasien harus diingatkan untuk tidak memindahkan kaki selama operasi.Ketika mati rasa berkepanjangan dapat ditoleransi oleh pasien dan dapat diterima oleh ahli bedah, pasien dapat dibebaskan dari rasa sakit pascaoperasi selama berjam-jam dengan agen anestesi lokal long-acting seperti bupivacaine. Baik pasien dan dokter bedah harus lebih dulu diantisipasi keterlambatan dalam pemulihan sensorik dan motorik untuk menghilangkan kecemasan selama periode pasca operasi berlangsung.

Lichtenfeld NS. The pneumatic ankle tourniquet with ankle block anesthesia for foot surgery. Foot Ankle 1992;13:344349.Mineo R, Sharrock NE. Venous levels of l idocaine and bupivacaine after midtarsal ankle block. Reg Anesth 1992;17:4749.

7. Apakah ada pilihan lain dalam melakukan blok ekstremitas bawah unilateral?Terdapat beberapa pilihan pada penggunaan blok intravena regional pada tungkai bawah sampai pergelangan kaki, bila akses vena dapat dilakukan. Untuk anestesi tungkai bawah, bila torniquet diletakkan pada betis, sekitar 30 ml dari cairan anestesi lokal diinjeksikan biasanya sudah cukup. Bila torniquet diletakkan di paha, lalu 50-60 alan dinutuhkan.Kelemahan dari Teknik ini adalah bahwa proses exsanguination mungkin menyakitkan bagi pasien dengan abses. Cara lainnya untuk blok saraf tibialis, peroneal communis, dan saraf saphena dapat dilakukan sekitar sendi lutut. Pada tingkat ini, lokasi pasti dari saraf saphena bervariasi. Saraf sciatic dapat secara konsisten ditemukan di bagian tengah atas fossa popliteal ke arah lateral, sebelum terbagi menjadi saraf tibialis dan saraf peroneal communis (biasa disebut blok poplitea). Saraf sciatic dapat diblokir pada tingkat ini dengan posisi pasien pronasi, lateral, atau supinasi (dengan kaki tertekuk di pinggul dan lutut).

Gambar 4. Blok saraf Sciatic

Teknik intertendinous klasik melibatkan identifikasi segitiga poplitea, yang dapat dikenali oleh tendon biseps femoris dari sisi lateral, tendon semitendinosus dan semimembranosus di sisi medial, dan lipatan fossa poplitea. Ujung masuknya jarum bervariasi pada setiap penulis yang berbeda, namun secara umum saraf dapat diidentifikasi sekitar 7 cm di atas lipatan poplitea, pada titik tengah antara tendon, atau 9 cm di atas lipatan poplitea, 1 cm lateral ke pertengahan segitiga tersebut. Lokalisasi saraf dapat dicapai dengan menggunakan sebuah teknik pengamatan paresthesia atau teknik stimulasi saraf. Idealnya, paresthesia yang ditimbulkan harus di bawah lutut. Dengan menggunakan teknik stimulasi saraf, plantar fleksi dan inversi kaki (idealnya) atau dorsofleksi dan eversi kaki, dicari pada arus 0,2 sampai 0,5 mA.Menggunakan cairan anestesi dalam konsentrasi yang lebih tinggi (seperti lidocaine 2% atau bupivacaine 0,75%) dengan blok saraf ini, saraf motoris ke tendon panjang pada pergelangan kaki, serta pasokan sensorik ke kaki bagian bawah yang akan dibius. Untuk itu gerakan pasien selama operasi kaki ini diminimalkan. Dua manfaat utama dari blok popliteal adalah bahwa analgesia berlangsung secara signifikan lebih lama dari analgesia dari blok pergelangan kaki. Hal ini juga memungkinkan penggunaan tourniquet pada betis pasien.D. Manajemen Post-Operatif1. Bagaimana kamu menangani manajemen nyeri post-operatif dari pasien tersebut?Keempat pilar manajemen nyeri pasca operasi adalah sebagai berikut: opioid, regional anestesi, asetaminofen, dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Ketorolac intraoperatif, atau administrasi preoperatif inhibitor COX-II mungkin berguna dalam mengurangi pemakaian opioid. Opioid, yang diberikan kepada pasien melalui sistem yang dikontrol perawat, harus diberikan sebelum sensasi tersebut sepenuhnya pulih dari teknik anestesi regional dan nyeri menjadi parah.Drainase abses seharusnya tidak menghasilkan nyeri berlebihan pasca operasi. Namun, dengan Artroskopi lutut, manajemen nyeri pasca operasi membutuhkan perencanaan pra operasi. Jika pasien mengalami suatu kondisi inflamasi selama Artroskopi synovectomy lutut, maka lebih mungkin mengalami sakit yang parah di sendi lutut setelah blok saraf menghilang. Pilihan untuk kontrol nyeri pascaoperasi meliputi penyisipan kateter femoral pra operatif terus menerus, dan atau injeksi anestesi lokal intraartikular intraoperatif, morfin, clonidine, dan atau ketorolac oleh dokter bedah.

2. Kenapa kamu mengikuti status neurovaskular dari pasien setelah dilakukan manajemen nyeri?Hal yang sangat penting dalam mengikuti fungsi ekstremitas bawah selama 24 sampai 36 jam pasca operasi, karena secara relatif terdapat peningkatan kejadian paresthesia yang persisten setelah operasi kaki dan pergelangan kaki. Hal ini dapat menghasilkan tertutupnya blok saraf. Selama periode ini, harus didukung dengan laporan pasien mengenai sensasi yang abnormal yang secara hati-hati diperiksa untuk meyakinkan tidak tekanan yang berlebihan, yang mana dapat mengakibatkan terganggunya sirkulasi atau menyebabkan kompresi saraf. Pada jangka panjang, pasien tersebut harus diikuti untuk kemungkinan terjadinya neuroma baik pada tempat penusukan jarum, atau area lapangan operasi. Riwayat disfungsi neurologis yang alami atau yang telah ada sebelumnyaharus dipertimbangkan ketika mengevaluasi setiap laporan komplikasi pasien.

Kofoed H. Peripheral nerve blocks at the knee and ankle in operation for common foot disorders. Clin Othop 1982;168:97-101.

E. KesimpulanMeskipun operasi dapat dilokalisasi pada ekstremitas distal, persiapan anestesi mungkin jauh lebih luas. Evaluasi pra operasi pasien harus sekomprehensif dengan operasi yang lainnya. Teknik anestesi yang digariskan dalam teks sebelumnya yang cukup fleksibel untuk menutupi sebagian tuntutan operasi, dan menjamin penatalaksanaan berbagai gangguan fisiologis.1