blok geriatri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

skenario 2 blok geriatri

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

I. KasusEyang Yoso, kini berusia 78 tahun, dibawa ke poliklinik geriatrik oleh cucunya karena mengeluh berulang kali kencing dimalam hai. Akhir akhir ini sering marah marah, gaduh gelisah dan tidak bias tidur. Sejak istrinya meninggal satu bulan yang lalu, sering minum obat tidur dari dokter umum. Pada pemeriksaan tanda vital tekanan darah 150/90 mmHg. Hasil pemeriksaan urin rutin leukosit 75/LPB, nitrit positif. Hasil GDS 150 mg/dl, kreatinin 2.0 mg/dl, proteinuria (+3). Setelah diperiksa prostat dengan rectal touche didapatkan sulcus medianum datar. Juga dilakukan pemeriksaan Geriatric Depression Scale, Mini Mental Scale Examination, konsultasi bagian psikiatri. Oleh dokter disarankan dirawat di rumah sakit.

II. Rumusan Masalah1. Bagaimana fisiologi miksi?2. Apa saja faktor penyebab, patofisiologi nokturia dan inkontinensia urin?3. Bagaimana patofisiologi gangguan tidur pada geriatri?4. Bagaimana penatalaksanaan gangguan tidur pada geriatri?5. Apa saja gangguan psikogeriatri?6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario?7. Obat tidur apa yang digunakan pada pasien geriatri? Apa saja indikasi dan kontraindikasi dari obat tidur tersebut?8. Penyakit apa saja yang dipengaruhi oleh perubahan fisiologi organ pada lansia?9. Apa saja pemeriksaan yang diberikan pada psien geriatri dan indikasi pemeriksaan tersebut?10. Apa saja indikasi rawat inap pada pasien geriatri?11. Apa saja diagnosis banding kasus di atas?12. Bagaimana penatalaksanaan kasus di atas?

III. Tujuan 1. Menjelaskan fisiologi miksi.2. Menjelaskan faktor penyebab, patofisiologi nokturia dan inkontinensia urin.3. Menjelaskan patofisiologi gangguan tidur pada geriatri.4. Menjelaskan penatalaksanaan gangguan tidur pada geriatri.5. Menjelaskan gangguan psikogeriatri.6. Menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario.7. Menjelaskan jenis obat tidur digunakan pada pasien geriatri. Dan menyebutkan indikasi dan kontraindikasi dari obat tidur tersebut.8. Menyebutkan dan menjelaskan penyakit yang dipengaruhi oleh perubahan fisiologi organ pada lansia.9. Menyebutkan jenis pemeriksaan yang diberikan pada pasien geriatri dan indikasi pemeriksaan tersebut.10. Menyebutkan indikasi rawat inap pada pasien geriatri.11. Menyebutkan dan menjelaskan diagnosis banding kasus di atas.12. Menjelaskan penatalaksanaan kasus di atas.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

I. Fisiologi MiksiA. Tahap-tahap Pembentukan Urin1. Proses FiltrasiTerjadi di glomerulus, dengan cara menyaring plasma darah yang mengalir menuju ginjal. Dari 100% plasma, 20% akan mengalami proses filtrasi. Bagian yang tersaring adalah protein dan sel-sel darah dengan berat molekul yang besar. Sedangkan glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, dan ion yang lain akan menuju ke simpai bowman.2. Proses ReabsorbsiTerjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, natrium, klorida, fosfat dan beberapa ion karbonat. Dari 20% plasma yang mengalami filtrasi, 19% sisanya akan direabsorbsi kembali karena tubuh masih memerlukan zat-zat tersebut.3. Proses Augmentasi Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontortus distal sampai tubulus kolektivus. Pada tubulus kolektivus masih terjadi penyerapan ion Na+ dan Cl- serta urea sehingga terbentuklah urin sesungguhnya. Dari tubulus kolektivus, urin dibawa ke pelvis renalis, menuju ureter, kemudian disimpan sementara di vesica urinaria. Ketika sudah penuh, maka urin akan dikeluarkan melalui uretra.

B. Proses DiuresisProses berkemih berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi system saraf pusat dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi ingin berkemih timbul saat volume vesica urinaria mencapai antara 150 350 ml. Kapasitas norma vesica urinaria bervariasi sekitar 300 600 ml. Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor vesica urinaria berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar. Sfingter uretra eksterna dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Proses berkemih diatur oleh pusat reflex kemih di sacrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi vesica urinaria ke medula spinalis sesuai pengisian vesica urinaria. Ketika vesica urinaria mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal menyebabkan vesica urinaria relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian berlanjut, pengembangan vesica urinaria disadari dan pusat kortikal bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan untuk menunda pengeluaran urin.Mekanisme dasar proses diuresis diatur oleh berbagai refleks pada pusat berkemih. Pada fase pengisisan, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher vesica urinaria, relaksasi dinding vesica urinaria, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatik dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat, sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher vesica urinaria. Proses reflex ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebellum. Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batang otak dan supraspinal memfasilitasi.

II. Inkontinensia UrinProduksi urin pada setiap individu berbeda. Pada umumnya produksi urin seimbang dengan pemasukan cairan, namun ada beberapa faktor yang ikut mendukung jumlah urin dalam satu hari. Faktor yang mempengaruhi produksi urin adalah jumlah cairan yang masuk ketubuh, kondisi hormone, saraf sensori perkemihan, kondisi sehat sakit, tingkat aktivitas, sedangkan pola buang air kecil dapat dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang, usia, penggunaan obat-obatan dan pengaruh makanan (Hariyati, 2000). Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif. Inkontinensia tidak harus dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami setiap individu pada usia berapa pun walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia. Inkontinensia yang berkelanjutan memungkinkan terjadi kerusakan pada kulit. Sifat urin yang asam mengiritasi kulit. Pasien yang tidak dapat melakukan mobilisasi dan sering mengalami inkontinensia beresiko terkena luka dekubitus (Potter dan Perry, 2005). Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000). Penatalaksanaan inkontinensia dengan menggunakan tindakan non farmakologis dapat dilakukan dengan cara menggunakan terapi perilaku, pengaturan makanan dan minuman, bladder training, penguatan otot panggul. Pasien dengan inkontinensia harus memperhatikan intake cairan. Pengurangan pemasukan cairan dapat menimbulkan dehidrasi dan konstipasi. Dengan mengubah jenis makanan dan minuman dapat membantu seperti membatasi minuman yang mengandung cafein, alcohol dan minuman. Kafein dapat mengiritasi kandung kemih dan meningkatkan frekuensi untuk berkemih yang akan memperburuk inkontinensia (Parker, 2007). Ada beberapa tipe dari inkontinensia urin yaitu: inkontinensia dorongan, inkontinensia total, inkontinesia stress, inkontinensia refleks, inkontinensia fungsional (Hidayat, 2006). 1. Inkontinensia Dorongan Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi. Inkontinensia tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita (Purnomo, 2008). Beberapa penyebab terjadinya inkontinensia urin dorongan disebabkan oleh penurunan kapasitas kandung kemih, iritasi pada reseptor rengangan kandung kemih yang menyebabkan spasme (inspeksi saluaran kemih), minuman alkohol atau kafein, peningkatan konsentrasi urin, dan distensi kandung kemih yang berlebihan. (Hidayat, 2006). 2. Inkontinensia Total Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006). 3. Inkontinensia Stress Menurut Hidayat (2006) inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Parker, 2007). Keluar urin dari uretra pada saat terjadi tekanan intraabdominal, merupakan jenis inkontinensia yang paling banyak prevalensinya 8-33%. Pada pria kelainan uretra yang menyebabkan inkontinensia biasanya adalah kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatektomi (Purnomo, 2008). Inkontinensia stress jarang ditemukan pada laki-laki. Namun apabila hal ini ditemukan maka membutuhkan tindakan pembedahan untuk penanganannya (Parker, 2007). Inkontinensia stress ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lain (Smeltzer, 2001). 4. Inkontinensia RefleksInkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006). 5. Inkontinensia Fungsional Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin (Hidayat,2006). Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi (Smeltzer, 2001).

III. PsikogeriatriA. KesepianKesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran. Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup mandiri. Banyak diantara lansia yang hidup sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas sosial yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat lansia walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak tetap mengalami kesepian.Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti, karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran sosial penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila memang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.B. DepresiSecara epidemologik, di negara barat depresi dikatakan terdapat 15-20% populasi usia lanjut dimasyarakat. Insidensi bahkan lebih tinggi pada lansia yang ada di institusi. Di Asia angkanya jauh lebihrendah. Keadaan ini diduga karena terdapat faktor sosio-kultural-religi yang berpengaruh positif. Hadimartoyo hanya mendapatkan angka 2,3% dari penderita lansia yang dirawat di bangsal geriatric akut yangmenderita depresi. Menurut Nugroho (2013) prevalensi depresi pada usia di atas 65 tahun kurang lebih 15%.Depresi bukan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh patologi tunggal, tetapibiasanya bersifat multifaktorial. Pada usia lanjut, dimana stres lingkungan sering menyebabkan depresi dankemampuan beradaptasi sudah menurun, akibat depresi pada usia lanjut seringkali tidak sebaik pada usiamuda.EtiologiNugroho (2013) membagi penyebab depresi pada lansia menjadi tiga, yaitu:a. Biologis: berkurangnya sel-sel saraf dan neurotransmitter, risiko genetik, penyakit fisik.b. Psikologis: kurangnya harga diri dan kepribadian yang kaku.c. Sosial: kesepian, kematian pasangan, kemiskinan dan adanya penyakit fisik.Selain ketiga hal di atas, juga terdapat obat-obat yang dapat menyebabkan depresi, diantaranya:a. Digoxinb. L-Dopac. Steroidd. Beta-blockere. Antihipertensi lainnyaf. Pemakaian benzodiazepine kronisg. Phenobarbitalh. Pemakaian neuroleptik secara kronisGejala Menurut ICD 10 gejala depresi dibagi menjadi dua, yaitu gelaja umun dan gejala-gejala penyerta lainnya. (Nugroho, 2013)Gejala umum: Mood atau afek depresi Kehilangan minat Kehilangan energiGejala lain: Kurang konsentrasi Kurang harga diri Rasa bersalah Pesimis tentang masa depan Merusak diri atau ide bunuh diri Gangguan tidur Gangguan nafsu makanKlasifikasi Depresi menurut ICD 10 Episode depresi: ringan, sdang, berat Episode depresi berat dengan gambaran melankholik. Keadaan ini ditandai dengan gejala-gejala berikut:1. Mood atau afek depresi2. Hipokhondriasis3. Perasaan rendah diri4. Perasaan tidak berguna5. Kecenderungan menyakiti diri sendiri dengan ide paranoid dan bunuh diri Depresi agitatif. Pada depresi ini ditandai dengan peningkatan aktivitas, mondar-mandir, meremas-remas tangan, perlu perhatian terus-menerus dan kadang menyulitkan keluarga atau pasangan hidup. Depresi terselubung. Ini merupakan isilah lama, namun masih tetap bisa diterapkan bagi kelompok khusus depresi lansia. Depresi berulang Gangguan afektif bipolar Gangguan mood atau afektif menetap (distimia) Gangguan mood lainnya.

DiagnosisAnamnesis merupakan hal yang sangat penting dalam diagnosis depresi. Aloanamnesis dengan keluarga atau informan lain bisa sangatmembantu. Gejala depresi pada usia lanjut seiring hanya berupa apatis dan penarikan diri dari aktivitassosial, gangguan memori, perhatikan serta memburuknya kognitif secara nyata. Tanda disfori atau sedihyang jelas seringkali tidak terdapat. Seringkali sukar untuk mengorek adanya penurunan perhatian darihal-hal yang sebelumnya disukai, penurunan nafsu makan, aktivitas atau sukar tidur. Depresi pada lansia sering kurang terdiagnosis dan terobati. Gejala depresi pada lansia tidak khas dan biasanya dianggap sebagai gejala penuaan yang umum atau normal.Depresi pada usia lanjut seringkali kurang atau tidak terdiagnosis karena hal-hal:1) Penyakit fisik yang diderita seringkali mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudah lelah danpenurunan berat badan.2) Golongan lanjut usia seringkali menutupi rasa sedihnya dengan justru menunjukkan bahwa dia lebih aktif.3) Kecemasan, obsesionalitas, hysteria dan hipokondria yang sering merupakan gejala depresi justru seringmenutupi depresinya. Penderita dengan hipokondria, misalnya justru sering dimasukkan ke bangsalpenyakit dalam atau bedah (misalnya karena diperlukan penelitian untuk konstipasi dan lain sebagainya).4) Masalah sosial yang juga diderita seringkali membuat gambaran depresi menjadi lebih rumit.Mengingat hal-hal di atas maka dalam assessment geriatric seringkali disertakan form pemeriksaan untuk depresi, yaitu seringkali berupa skala depresi geriatric (GDS) atau skala penilaian (depresi) Hamilton (Hamilton Rating Scale = HRS). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revision ( DSM IV TR ), merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresif. Menurut DSM IV TR suatu gangguan depresif mayor didefinisikan sebagai satu atau lebih episode depresif berat tanpa adanya riwayat episode manik, campuran, atau hipomanik. Suatu episode depresif mayor harus dialami sekurang-kurangnya 2 minggu, dan secara tipikal seorang pasien mengalami depresi dan atau kehilangan minat dalam kebanyakan aktifitas. Seseorang dengan diagnosis episode depresif mayor harus juga mengalami paling sedikit 4 simtom dari kriteria yang mana termasuk perubahan nafsu makan dan berat badan, perubahan tidur dan aktifitas, pengurangan energi, perasaan bersalah, masalah dalam berpikir dan dalam membuat keputusan, dan pikiran yang berulang tentang kematian atau bunuh diri. Kriterian diagnostik DSM IV-TR untuk Gangguan Depresif Mayor :a. Adanya suatu episode depresif mayor.b. Episode depresif mayor tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan wahan atau gangguan psikotik yang tak tergolongkan.c. Tidak pernah suatu episode manik, episode campuran atau episode hipomanik. Catatan : penyingkiran ini tidak berlaku jika semua episode mirip manik, mirip campuran atau mirip hipomanik adalah diinduksi oleh zat atau pengobatan atau oleh efek fisiologis langsung dari suatu kondisi medis umum.Jika kriteria lengkap memenuhi suatu Episode Depresif Mayor, tentukan status klinis dan atau gambaran sekarang : Ringan, sedang, berat tanpa ciri psikotik, berat dengan ciri psikotik Kronis Dengan ciri katatonik Dengan ciri melankolik Dengan ciri atipikal Dengan onset postpartumJika kriteria lengkap tidak memenuhi suatu Episode Depresif Mayor, tentukan status klinis dari Gangguan Depresif Mayor sekarang atau gambaran dari episode paling akhir Dalam partial Remission, full remission Kronis Dengan ciri katatonik Dengan ciri melankolik Dengan ciri atipikal Dengan onset postpartumMajor Depresive Episode a) Terdapat lima atau lebih simtom yang ada selama periode 2 minggu dan terlihat adanya perubahan dari fungsi sebelumnya paling sedikit satu simtom lainnya, (1) mood depresif, (2) hilangnya minat dan rasa nyaman. Catatan: Jangan memasukkan gejala-gejala yang jelas-jelas karena suatu kondisi medis umum, atau waham atau halusinasi yang tidak sejalan dengan mood. 1). Mood depresif hampir sepanjang hari, seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan subjektif (misalnya merasa sedih atau kosong) maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya tampak sedih atau menangis). Catatan: Pada anak-anak dan remaja, dapat berupa mood yang iritabel 2) Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam semua atau hampir semua aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan baik oleh keterangan subjektif maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang lain). 3) Penurunan berat badan yang bermakna ketika tidak sedang melakukan diet atau penambahan berat badan (misalnya perubahan berat badan lebih dari 50% dalam satu bulan) atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari. Catatan: Pada anak anak, pertimbangkan kegagalan mencapai pertambahan berat badan yang diharapkan.4) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari. 5) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh orang lain, tidak semata-mata perasaan subjektif dari kegelisahan atau menjadi lamban). 6) Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari. 7) Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai (yang mungkin bersifat waham) hampir setiap hari (tidak semata-mata mencela diri sendiri atau perasaan bersalah karena sakit).8) Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau memusatkan perhatian, atau tidak dapat mengambil keputusan, hampir setiap hari (baik oleh keterangan subkjetif maupun yang teramati oleh orang lain). 9) Pikiran tentang kematian yang berulang (bukan hanya rasa takut akan kematian), ide bunuh diri yang berulang tanpa suatu rencana spesifik, atau suatu usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.b) Gejala-gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran. c) Gejala-gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya. d) Gejala-gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum (misalnya hipotiroidisme). e) Gejala tidak lebih baik diterangkan oleh dukacita, yaitu setelah kehilangan orang yang dicintai, gejala-gejalanya menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai oleh hendaya fungsional yang jelas, preokupasi morbid dengan rasa tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik atau retardasi psikomotor.Penatalaksanaan Penatalaksanaan terdiri dari penatalaksanaan psikologik, penatalaksanaan dan pencegahan sosial dan penatalaksanaan farmakologik. Rujukan ke psikiater dianjurkan apabila penderita menunjukkan gejala: Masalah diagnosis yang serius Risiko bunuh diri tinggi Pengabaian diri (self neglect) yang serius Agitasi, delusi atau halusinasi berat Tidak memberikan tanggapan atau tak patuh terhadap pengobatan yang diberikan Memerlukan tindakan/rawat inap di institusi atau pelayanan psikiatrik lainDiantara obat-obatan depresi harus dipilih dan disesuaikan dengan keadaan dan gejala yang diderita. Untuk penderita yang secara fisik aktif, sebaiknya tidak diberikan obat yang memberikan efek sedatif, sebaliknya pederita yang agitatif golongan obat tersebut mungkin dibutuhkan. Berbagai pilihan obat antidepresan, diantaranya antidepresan trisiklik ada yang bersifat sedatif (amitriptilin, dotipin) dan yang bersifat sedatif (imipramin, nortriptilin, protriptilin), antidepresan yang lebih baru yang bersifat sedatif misalnya trasodon, mianserin sdangkan yang kurang sedatif ada maprotilin, lofepramin, flufoksamin.Terapi pada lansia harus mempertimbangkan hal-hal berikut: Kerentanan psikologis lansia yang sensitive terhadap efek samping psikotropik Hipotensi postural Efek sedatif antidepresan yang cenderung membuat risiko jatuh Pertimbangkan kemungkinan adanya riwayat kardiovaskular Dosis obat dimulai dengan dosis rendah (1/3 sampai dosis dewasa) dan dinaikkan perlahan Terapi pilihan pertama adalah SSRI misalnya fluoksetinPrognosisPrognosis baik: Usia kurang dari 70tahun Riwayat keluarga adanya penderita depresi atau manic Riwayat pernah depresi berat (sembuh sempurna) sebelum usia 50 tahun Kepribadian ekstrovert dan temperamen datar (tak berubah-ubah)Prognosis buruk: Usia lebih ari 70 tahun dengan wajah tua Terdapat penyakit fisik serius dan disabilitas Riwayat depresiterus-menerus selama 2 tahun Terbukti ada kerusakan otak, missal gejala neurologic adanya demensia.C. Pemeriksaan Psikiatrik pada usia lanjutPenggalian riwayat psikiatrik dan pemeriksaan status mental pada penderita usia lanjut harus mengikuti format yang sama dengan yang berlaku pada dewasa muda .Karena tingginya prevalensi gangguan kognitif pada usi lanjut,dokter/calon dokter harus menentukan apakah penderita mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan. Jika penderita mengalami gangguan kognitif, riwayat pra-morbid dan riwayat sakit harus didapatkan dari anggota keluarga atau mereka yang merawatnya. Namun, penderita juga tetap harus diperiksa tersendiri (walaupun terlihat adanya gangguan yang jelas) untuk mempertahankan privasi hubungan dokter dan penderita dan untuk menggali adakah pikiran bunuh diri atau gagasan paranoid dari penderita yang mungkin tidak diungkapkan dengan kehadiran sanak saudara atau seorang perawat.Riwayat psikiatrikBisa didapatkan dari alo- atau oto- anamnesis. Riwayat psikiatrik lengkap termasuk identifikasi awal (nama, usia, jenis kelamin, status perkawinan), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu (termasuk gangguan fisik yang pernah diderita), riwayat pribadi dan riwayat keluarga. Pemakainan obat (termasuk obat yang dibeli bebas), yang sedang atau pernah digunakan penderita juga penting untuk diketahui.Penderita yang berusia diatas 65 tahun (atau di atas 60 tahun di Asia) sering memiliki keluhan subyektif adanya gangguan daya ingat yang ringan, seperti tidak dapat mengingat kembali nama orang atau keliru meletakkan benda-benda. Gangguan daya ingat yang berhubungan dengan usia tersebut perlu dibedakan dengan adanya kecemasan pada saat dilakukan pemeriksaan/ wawancara. Riwayat medis penderita harus meliputi semua penyakit berat, terutama gangguan kejang, kehilangan kesadaran, nyeri kepala, masalah penglihatan dan kehilangan pendengaran. Riwayat penggunaan alkohol dan pemakaian zat yang lama perlu diketahui karena bisa menyebabkan kelainan saat ini.Riwayat keluarga harus termasuk penjelasan tentang sikap orang tua penderita dan adaptasi terhadap ketuaan mereka. Jika mungkin informasi tentang kematian orang tua, riwayat gangguan jiwa dalam keluarga.Situasi sosial penderita sekarang harus dinilai. Siapa yang harus merawat penderita, apakah penderita mempunyai anak. Bagaimana karakteristik hubungan orangtua-anak. Riwayat sosial ekonomi dipakai untuk menilai peran ekonomi dalam mengelola pemyakit penderita dalam membuat anjuran terapi yang realistik. Riwayat perkawinan, termasuk penjelasan tentang pasangan hidup dan karakteristik hubungan. Jika penderita adalah janda atau duda,harus digali bagaimana rasa duka citanya dulu saat ditinggal mati oleh pasanganya. Jika kehilangan pasangan hidup terjadi dalam satu tahun terakhir, penderita dalam keadaan resiko tinggi mengalami peristiwa fisik atau psikologik yang merugikan.Riwayat seksual penderita termasuk aktivitas seksual, orientasi libido, mastrubasi, hubungan gelap diluar perkawinan dan gejala disfungsi seksual.Pemeriksaan status mental Pemeriksaan status mental meliputi bagaimana penderita berfikir (proses pikir), merasakan dan bertingkah laku selama pemeriksaan. Keadaan umum penderita adalah termasuk penampilan, aktivitas psikomotorik, sikap terhadap pemeriksaan dan aktivitas bicara.Gangguan motorik, antara lain gaya berjalan menyeret, posisi tubuh membungkuk, gerakan jari seperti memilin pil, tremor dan asimetris tubuh perlu dicatat. Banyak penderita depresi mungkin lambat dalam bicara dan gerakannya. Wajah seperti topeng terdapat pada penderita penyakit parkison.Bicara penderita dalam keadaan teragitasi dan cemas mungkin tertekan.Keluar air mata dan menangis ditemukan pada gangguan depresi dan gangguan kognitif, terutama si penderita merasa frustasi karena tidak mampu menjawab pertanyaan pemeriksa. Adanya alat bantu dengar atau indikasi lain bahwa penderita menderita gangguan pendengaran, misalnya selalu minta pertanyaan diulang, harus dicatat.Sikap penderita pada pemeriksa untuk bekerjasama, curiga, bertahan dan tak berterima kasih dapat memberi petunjuk tentang kemungkinan adanya reaksi transferensi. Penderita lanjut usia dapat bereaksi pada dokter muda seolah-olah dokter adalah seorang tokoh yang lebih tua, tidak peduli terhadap adanya perbedaan usia.Penilaian fungsi. Penderita lanjut usia harus diperiksa tentang kemampuan mereka untuk mempertahankan kemandirian dan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Aktvitas tersebut adalah termasuk ke toilet, menyiapkan makanan, berpakaian, berdandan dan makan. Derajat kemampuan fungsional dari perilaku sehari-hari adalah suatu pertimbangan penting dalam menyusun rencana terapi selanjutnya. Mood, perasaan dan afek. Di negara lain, bunuh diri adalah salah satu penyebab utama kematian pada golongan usia lanjut. Oleh karenanya pemeriksaan ide bunuh diri pada penderita lanjut usia sangat penting. Perasaan kesepian, tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya adalah gejala depresi. Kesepian merupakan alasan yang paling sering dinyatakan oleh para lanjut usia yang ingin bunuh diri. Depresi merupakan resiko yang tinggi untuk bunuh diri. Gangguan persepsi. Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia merupakan fenomena yang disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa harus mencatat apakah penderita mengalami kebingungan terhadap waktu atau tempat selama episode halusinasi dapat disebabkan oleh tumor otak dan patologi fokal yang lain. Pemeriksaan yang lebih lanjut diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.Fungsi visuospasial. Suatu penurunan kapasitas visuospasial adalah normal dengan lanjutnya usia. Meminta penderita untuk mencotoh gambar atau menggambar mungkin membantu dalam penilaian. Pemeriksaan neuropsikologis harus dilaksanakan jika fungsi visuospasial sangat terganggu.Proses berpikir. Gangguan pada progresi pikiran adalah neologisme, gado-gado kata, sirkumstansialitas, asosiasi longgar, asosiasi bunyi, flight of ideas, dan retardasi. Hilangnya kemampuan untuk dapat mengerti pikiran abstrak mungkin tanda awal demensia.Isi pikiran harus diperiksa adanya obsesi, preokupasi somatik, kompulsi atau waham. Gagasan tentang bunuh diri atau pembunuhan harus dicari. Pemeriksaan harus menentukan apakah terdapat waham dan bagaimana waham tersebut mempengaruhi kehidupan penderita.Waham mungkin merupakan alasan untuk dirawat. Pasien yang sulit mendengar mungkin secara keliru diklasifikasikan sebagai paranoid atau pencuriga.Sensorium dan kognisi. Sensorium mempermasalhkan fungsi dari indra tertentu, sedangkan kognisi mempermasalahkan inrformasi dan intelektual.Kesadaran. Indikator yang peka terhadap disfungsi otak adalah adanya perubahan kesadaran, adanya fluktuasi tingkat kesadaran atau tampak letargik. Pada keadaan yang berat penderita dalam keadaan somnolen atau stupor.Orientasi. Gangguan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang berhubungan dengan gangguan kognisi. Gangguan orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan kecemasan, gangguan buatan, gangguan konversi dan gangguan kepribadian, terutama selam periode stres fisik atau lingkungan yang tidak mendukung. Pemeriksa harus menguji orientasi terhadap tempat dengan meminta penderita menggambar lokasi saat ini. Orientasi terhadap orang mungkin dinilai dengan dua cara: apakah penderita, mengenali namnya sendiri, dan apakah juga mengenali perawat dan dokter. Orientasi waktu diuji dengan menanyakan tanggal, tahun, bulan dan hari. Daya ingat. Daya ingat dinilai dalam hal daya ingat jangka panjang, pendek dan segera. Tes yang diberikan pada penderita dengan memberikan angka enam digit dan penderita diminta untuk mengulangi maju mundur. Penderita dengan daya ingat yang tak terganggu biasanya dapat mengingat enam angka maju dan lima angka mundur. Daya ingat jangka panjang diuji dengan menanyakan tempat dan tanggal lahir, nama dan hari ulang tahun anak-anak penderita. Daya ingat jangka pendek dapat diperiksa dengan beberapa cara, misalnya dengan menyebut tiga benda pada awal wawancara dan meminta penderita mengingat kembali benda tersebut akhir wawancara. Atau dengan memberikan cerita singkat pada penderita dan penderita diminta untuk mengulangi cerita tadi secara tepat/persisi.Fungsi intelektual, konsentrasi, informasi dan kecerdasan. Sejumlah fungsi intelektual mungkin diajukan untuk menilai pengetahuan umum dan fungsi intelektual. Menghitung dapat diujikan dengan meminta penderita untu mengurangi 7 dari angka 100 dan mengurangi 7 lagi dari hasil akhir dan seterusnya sampai tercapai angka 2. Pemeriksa mencatat respons sebagai dasar untuk penguji selanjutnya. Pemeriksa juga dapat meminta penderita intuk menghitung mundur dari 20 ke 1, dan mencatat waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pemeriksaan tersebut. Membaca dan menulis. Penting bagi klinisi untuk memeriksa kemampuan membaca menulis dan menetukan apakah penderita mempunyai defisit bicara khusus. Pemeriksaan dapat meminta penderita membaca kisah singkat dengan suara keras atau menulis kalimat sederhana untuk menguji gangguan membaca atau menulis pada penderita. Apakah menulis dengan tangan kiri atau kanan juga perlu dicatat (Darmojo, 2011).Skrining DepresiSkrining depresi pada lansia pada layanan kesehatan primer sangat penting. Hal ini penting karena frekuensi depresi dan adanya gagasan untuk bunuh diri pada lansia adalah tinggi (Blazer, 2003). Skrining juga perlu dilakukan untuk membantu edukasi pasien dan pemberi perawatan tentang depresi, dan untuk mengikuti perjalanan gejala-gejala depresi seiring dengan waktu (Gallo & Gonzales, 2001). Skrining tidak ditujukan untuk membuat diagnosis depresi mayor, namun untuk mendokumentasikan gejala-gejala depresi sedang sampai berat pada lansia apapun penyebabnya. Skrining depresi pada lansia memiliki kekhususan tersendiri. Gejala-gejala depresi seperti kesulitan-kesulitan tidur, energi yang berkurang, dan libido yang menurun secara umum ditemukan pada lansia yang tidak mengalami depresi. Pemikiran tentang kematian dan keputusasaan akan masa depan mempunyai makna yang berbeda bagi mereka yang berada pada fase terakhir kehidupan. Lagipula, kondisi medik kronik lebih umum pada pasien geriatri dan dapat berhubungan dengan retardasi motorik dan tingkat aktivitas yang berkurang. Komorbiditas dengan demensia dapat mempengaruhi konsentrasi dan proses kognitif. Geriatric Depression Scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes untuk skrining depresi yang mudah untuk dinilai dan dikelola (Rush, et al, 2000). Geriatric Depression Scale memiliki format yang sederhana, dengan pertanyaan-pertanyaan dan respon yang mudah dibaca. Geriatric Depression Scale telah divalidasi pada berbagai populasi lanjut usia, termasuk di Indonesia. Selain GDS, screening scale lain yang telah terstandardisasi adalah Center for Epidemiologic Studies Depression Scale, Revised (CES-D-R). Selain GDS dan CES-D-R, masih ada instrumen skrining lain seperti Hamilton Rating Scale for Depression, Zung Self-Rating Depression Scale, Montgomery-Asberg Depression Rating Scale (Holroyd dan Clayton, 2002), namun kedua instrumen inilah yang paling sering digunakan (Blazer, 2000). Geriatric Depression Scale terdiri dari 30 pertanyaan yang dirancang sebagai suatu self-administered test, walaupun telah digunakan juga dalam format observer-administered test. Geriatric Depression Scale dirancang untuk mengeliminasi hal-hal somatik, seperti gangguan tidur yang mungkin tidak spesifik untuk depresi pada lansia (Gallo & Gonzales, 2001). Skor 11 pada GDS mengindikasikan adanya depresi yang signifikan secara klinis, dengan nilai sensitivitas 90,11 % dan nilai spesifisitas 83,67% (Nasrun, 2009). Terdapat juga GDS versi pendek yang terdiri dari 15 pertanyaan saja. Pada GDS versi pendek ini, skor 5 atau lebih mengindikasikan depresi yang signifikan secara klinis.Geriatric Depression Scale menjadi tidak valid bila digunakan pada lansia dengan gangguan kognitif. Status kognitif harus terlebih dahulu dinilai dengan Mini Mental State Examination (MMSE), karena kemungkinan yang besar dari komorbiditas depresi dan fungsi kognitif (Blazer, 2003). Mini Mental State Examination adalah suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang dikelompokkan menjadi tujuh kategori: orientasi tempat, orientasi waktu, registrasi, atensi dan konsentrasi, mengingat kembali, bahasa, dan konstruksi visual. Mini Mental State Examination didesain untuk mendeteksi dan menjejaki kemajuan dari gangguan kognitif yang terkait dengan gangguan neurodegenerative seperti penyakit Alzheimer. Mini Mental State Examination telah terbukti merupakan instrumen yang valid dan sangat dapat dipercaya (Rush, et al, 2000). Nilai MMSE 0-16 menunjukkan suatu definite gangguan kognitif.

IV. Perubahan Fisiologi Pada LansiaA. Perubahan fisik1. Sistem InderaLensa kehilangan elastisitas dan kaku, otot penyangga lensa lemah, ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang, penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik dapat digunakan. Sistem pendengaran, presbiakusis (gengguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam (Nugroho, 2008).2. Sistem MuskuloskeletalPerubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, berjalan dan hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Azizah, 2011).3. Sistem Kardovaskuler dan Respirasia. Masa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat, konsumsi oksigen pada tingkat maksimal berkurang sehingga kapasitas paru menurun (Azizah, 2011).b. Paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat, ukuran alveoli melebar dan jumlahnya berkurang, reflex dan kemampuan untuk batuk berkurang (Nugroho, 2008).4. Sistem PerkemihanMenurut Ebersole dan Hess dalam Azizah (2011), pola berkemih tidak normal, seperti banyak berkemih di malam hari, sehingga mengharuskan mereka pergi ke toilet sepanjang malam. Hal ini menunjukkan inkontinensia urin meningkat.5. Sistem SarafLansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Koordinasi keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan peningkatan waktu reaksi (Surini dan Utomo dalam Azizah, 2011).6. Sistem ReproduksiPerubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atrofi payudara. Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur (Watson dalam Azizah, 2011).

V. Obat Hipnotik SedatifHipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi Susunan Saraf Pusat (SSP). Efeknya tergantung kepada dosis, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma, dan mati.Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan respons terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.1. BenzodiazepinSecara kualitatif benzodiazepin memiliki efek yang hampir sama, namun secara kuantitatif spektrum farmakodinamik serta data farmakokinetiknya berbeda. Hal ini mendasari aplikasi klinik sangat luas golongan ini. Benzodiazepin berefek hipnosis, sedasi, relaksasi otot, ansiolitik, dan antikonvulsi dengan potensi yang berbeda-beda.Benzodiazepin dosis hipnotik pada kadar puncak dapat menimbulkan efek samping berikut: kepala ringan, malas / tak bermotivasi, lamban, inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan fungsi mental dan psikomotorik, gangguan koordinasi berpikir, bingung, disartria, dan amnesia anterograd. Interaksi dengan etanol dapat menimbulkan depresi berat. Efek samping lain yang relatif lebih umum terjadi ialah lemas, sakit kepala, pandangan kabur, vertigo, mual dan muntah, diare, nyeri epigastrik, nyeri sendi, nyeri dada, dan pada beberapa pasien dapat mengalami inkontinensia.Efek samping psikologik benzodiazepin dapat menimbulkan efek paradoksal. Gejala amnesia, euforia, gelisah, halusinasi, dan tingkah laku hipomaniak pernah terjadi pada penggunaan berbagai benzodiazepin. Kadang-kadang terjadi gejala paranoid, depresi, dan keinginan bunuh diri.Selain efek samping yang luas, secara umum benzodiazepin merupakan obat yang relatif aman. Bahkan dosis tinggi jarang menyebabkan kematian, kecuali bila digunakan bersama-sama dengan depresan SSP yang lain misalnya alkohol. Benzodiazepin jarang menyebabkan depresi kardiovaskular serta pernapasan yang berat, tetapi pada pasien obstruksi paru-paru kronik (PPOK) dosis terapi dapat memperburuk fungsi napas.Benzodiazepin dapat digunakan untuk berbagai indikasi, antara lain untuk pengobatan insomnia, ansietas, akau otot, medikasi preanestesi, dan anestesi. Beberapa jenis benzodiazepin yang diindikasikan untuk insomnia diantaranya estazolam, flurazepam, quazepam, temazepam, dan triazolam.2. BarbituratSelama beberapa waktu barbiturat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang selainuntuk beberapa penggunaan yang spesifik, golongan obat ini telah digantikan oleh benzodiazepin yang lebih aman.Beberapa efek samping barbiturat diantaranya:1) Hangover / after effects. Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, muntah, atau diare. Kadang-kadang timbul kelainan emosional dan fobia.2) Eksitasi paradoksal. Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama fenobarbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi daripada depresi. Idiosinkrasi ini relatif umum terjadi diantara pasien usia lanjut dan terbelakang.3) Rasa nyeri. Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, atralgia, terutama pada pasien psikoneuritik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.4) Hipersensitivitas. Reaksi alergi terutama terjadi pada individu yang menderita asma, urtikaria, angioedema, dan keadaan serupa. Segala bentuk hipersensitivitas dapat terjadi, terutama dermatosis.Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik-sedatif telah menurun secara nyata karena efeknya terhadap SSP kurang spesifik, barbiturat memiliki indeks terapi yang lebih rendah dibandingkan terhadap benzodiazepin. Toleransi terjadi lebih sering dari benzodiazepin, kecenderungan disalahgunakan lebih besar, dan banyak terjadi interaksi obat. Barbiturat masih digunakan pada terapi darurat kejang dan anestetik intravena.Barbiturat tidak boleh digunakan pada pasien alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal, hipoksia, dan penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan kepada pasien psikoneuritik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari, yang terjadi pada pasien usia lanjut.VI. Kegawatdaruratan Pasien Geriatri1. Trauma Pada usia lanjut penyebab utamanya adalah karena jatuh, lebih kurang terjadi pada 40% usila. Sepuluh persen dari jatuh tersebut terjadi cedera berat dan 50% diantaranya terjadi fraktur.2. Kegawatan GenitourinariusBiasanya terjadi infeksi saluran kencing (ISK) dan retensi urin. Retensi urin pada pasien usila pria umumnya adalah karena pembesaran kelenjar prostat.3. Kegawatan NeurologisPasien geriatric dibawa ke rumah sakit dengan keadaan gangguan kesadaran, yaitu; delirium, koma, sinkop.4. Kegawatan akut abdomenPasien dating dengan sakit perut hebat dimana penyebabnya dapat berupa: obstruksi, inflamasi, katastrofal vascular.5. Kegawatan pernapasanPenyebab kegawatan napas adalah obstruksi jalan adalah 1) obstruksi jalan napas atas, 2) hipoksia karena PPOK, 3) tension pneumotoraks, 4) pneumonia aspirasi, 5) rasa nyeri, 6) bronkopneumonia, 7) pneumonia, 8) emboli paru, 9) asidosis metabolic.6. Kegawatan KardiovaskularPasien dating dengan kegawatan kardiovaskuler yang dapat berupa: henti jantung, syok/hipotensi, nyeri dada, penyakit jantung coroner, Congestive Heart Failure (CHF), aritmia berat, krisis hipertensi. 7. Kegawatan endokrin dan metabolicPasien dapat datag dengan kesadaran menurun dan sering didapatkan pada keadaan; hypernatremia dan dehidrasi, koma diabetikum, hiponatremia.

BAB IIIPEMBAHASAN

Pada pemeriksaan tanda vital. Tekanan darah 150/90 mmHG. Ini masuk kategori Hipertensi Stage I yaitu Sistole 140-159 mmHG dan diastole 90-99 mmHG. Keadaan ini disebabkan karena pada usia lanjut, terjadi kekakuan aorta dan pembuluh darah arteri besar. Sebagai komplikasi hipertensi, dapat terjadi kelainan organ-organ tubuh antara lain : jantung (gagal jantung dan left ventrikel hypertrofi), cerebrovaskuler (transient iskemik attack atau stroke), pembuluh darah tepi (aneurisma), ginjal (serum kretainin diatas 1,5 mg%, proteinuria dapat +1 atau lebih), dan retinopati (perdarahan atau eksudat).Adapun berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kadar kreatinin pasien dalam skenario adalah 2,0 mg/dl. Nilai ini melebihi batas normal kadar kreatinin pada usia lanjut. Kadar normal serum kreatinin pada pria usia produktif adalah 0,5 1,2 mg/dl. Adapun pada lansia, kadar ini akan menurun akibat penurunan massa otot dan penurunan produksi kreatinin. Selain karena kondisi hipertensi, kenaikan serum kreatinin juga menandakan adanya penurunan fungsi ginjal karena seharusnya kreatinin difiltrasi oleh glomerulus. Hasil pemeriksaan urin rutin menunjukkan proteinuria +3. Padahal normalnya, dalam urin tidak ditemukan protein, sehingga urin normal jernih. +3 menunjukkan bahwa urin keruh ringan dan berbutir dimana kadar protein didalamnya sekitar 0,05 0,2% atau sekitar 100mg. Adanya proteinuria menunjukkan adanya kerusakan glomerulus, karena glomerulus yang normal akan memfiltrasi protein sehingga tidak ditemukan protein dalam urin.Selain serum kreatinin, dari hasil pemeriksaan laboratorium juga diperoleh kadar gula darah sewaktu 350 mg/dl dan hasil pemeriksaan urin rutin : proteinuria +3. Kadar normal gula darah sewaktu adalah 200 mg/dl. Maka kadar gula darah sewaktu pasien dalam skenario melebihi batas normal. Untuk menentukan adanya diabetes melitus pada pasien, perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti pemeriksaan kadar gula darah 2 jam post prandial dan pemeriksaan gula darah puasa selain juga pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus.Hasil pemeriksaan urin rutin leukosit 75/LPB, nitrit positif. Kadar normal normal leukosit adalah 3-5/LPB dan nitrit negatif. Kenaikan kadar leukosit dan ditemukannya itrit dalam urin ini mengindikasikan adanya infeksi atau radang akut pada saluran kemih pasien. Dalam keadan normal tidak terdapat Nitrit dalam urin. Nitrit adalah hasil reduksi nitrat dalam urin menjadi nitrit yang dilakukan oleh bakteri. Adanya nitrit sebagai penanda adanya bakteriuria. Untuk lebih memastikan, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium lain seperti Kultur urin dan Leukosit esterase. Leukosit esterase sebagai penanda adanya inflamasi atau piuria dalam salurah kemih.Pada kasus pasien diketahui sering gaduh gelisah, ini merupakan gambaran emburuknya fungsi kognitif ringan. Mini Mental Scale Examination (MMSE) dapat digunakan untuk membantu menentukan gangguan kognitif sehingga dapat ditindak lanjuti dengan pemeriksaan lain.Selain itu pasien juga sering marah-marah dan sulit tidur, gejala ini umum dmiliki oleh lansia yang mengalami depresi. Geratric Depression Scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes untuk skrinning depresi yang mudah unutk dinilai dan kelola.Berdasarkan skenario II, dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan bahwa pasien lansia ini memiliki:1. Hipertensi (TD: 150/90 mmHg)2. Diabetes Melitus (GDS : 350 mg/dl)3. Gangguan fungsi ginjal (Kreatinin : 2.0 mg/dl; Proteinuria (+3))4. Hiperplasia Prostat (Sulkus medianus datar pada pemeriksaan rectal touch)Penatalaksanaan bagi pasien lansia ini bertujuan untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan glukosa darah, mengurangi kerja ginjal, serta menangani hyperplasia prostatnya.Penatalaksanaan pada pasien lansia ini bersifat non farmakologik dan farmakologik.1. Penatalaksanaan non farmakologikUntuk hipertensi, upaya non farmakologik yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah gaya hidup seperti kebiasaan merokok, penurunan berat badan yang berlebihan, berhenti/mengurangi asupan alkohol, dan mengurangi asupan garam. Untuk diabetes melitus, upaya non farmakologik yang dapat dilakukan adalah dengan berolah raga, terutama jika gizi pasien lansia berlebih. Modifikasi senam sederhana juga perlu diberikan pada diabetes usia lanjut, misalnya: menepuk kedua tangan diatas kepala kemudian di paha, secara bergantian menempatkan tangan di dada dan di belakang paha, membuat gerakan lingkaran dengan dua lengan secara paralel di depan tubuh kita. Sementara untuk hyperplasia prostatnya, piatalaksanaan non farmakologik dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, antara lain pembatasan asupan cairan, terutama menjelang tidur, dan mencegah obat-obatan terutama yang dapat memperberat gejala.2. Penatalaksanaan farmakologikUntuk hipertensi, upaya farmakologik/ pengobatan ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan memperhatikan terdapatnya penyakit ko-morbid dan komplikasi organ target yang telah terjadi pada pasien lansia ini. Target penurunan tekanan darah tekanan darah pada lansia yang sehat tetap adalah sistolik 130 mmHg dan diastolic 70 mmHg, akan tetapi sasaran yang lebih realistic adalah 140/80-85 mmHg. Penurunan tekanan darah ini tetap harus melihat akibat klinik yang mungkun terjadi.Pada skenario, pasien termasuk dalam hipertensi stage I dengan gangguan organ dan penyakit komorbid, yaitu gangguan fungsi ginjal dan diabetes melitus sehingga pemilihan obat juga dilakukan dengan tidak memperberat kondisi-kondisi tersebut. Pilihan pengobatan antihipertensi pada pasien ini adalah dengan memilih obat-obat golongan diuretika (dosis kecil), alfa-blocker, maupun calcium channel blocker (CCB) Untuk diabetes melitus yang dialami pasien dapat dilakuka penatalaksanaan dengan diawali pengaturan makan, dan secara bertingkat menggunakan obat yang dimulai dengan monoterapi dosis rendah, kemudian kombinasi sulfonilurea dengan sensitizers, dan baru menggunakan insulin jika terapi kombinasi tidak berhasil. Kombinasi insulin sore hari dengan long-acting sulfonilurea seperti glimepiride mampu menurunkan kada glukosa darah apabila polifarmasi OAD gagal. Adapun pengobatan OAD dilakukan jika terdapat hiperglikemik simptomatik (poliuri, polidipsi, polifagi) yang memberi penurunan berat badan, lemah tubuh, infeksi, dan sebagainya. Pengobatan diabetes melitus yang aman bagi pasien lansia antara lain OAD generasi 2 (glipizid dan gliburid), glibenclamide (hati-hati dengan efek samping hipoglikemia), metformin, thiazolidinedione, alfa-glukosidase inhibitor, nateglinid, dan repaglinid.Untuk penatalaksanaan farmakologik hyperplasia prostat, harus dinilai terlebih dahulu skor AUA (America Urology Association) yang membagi gejala hyperplasia menjadi 3; gejala ringan (skor 0-7), gejala sedang (skor 8-19), dan gejala berat (skor 20) dengan menilai: pengosongan tidak tuntas, frekuensi berkemih, intermitensi, urgensi, aliran urin lemah, mengejan, dan nokturia. Penatalaksanaan farmakologik hyperplasia prostat dilakukan bila skor AUA sedang hingga berat. Hasil terapi perlu dievaluasi setiap 3-6 bulan untuk melihat kemungkinan dilakukannya tindakan invasive. Dua jenis obat utama yang digunakan adalah golongan penyekat 5 alfa-reduktase dan golongan antagonis adrenergic. Untuk golongan penyekat 5 alfa-reduktase seperti finasteride perlu dilakukan pemeriksaan PSA sebelum pengobatan, karena dapat mengakibatkan penurunan kadar PSA (Prostate Spesific Antigen) sebesar 50% setelah pemberian 6-12 bulan. (Darmojo et al., 2009)

BAB IVPENUTUP

I. KesimpulanII. Saran

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Fourth edition. Text Revision. Washington DC:2000: hal. 356Azizah, Lilik Marifatul. (2011) Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu.Darmojo RB, Martono HH, Pranarka K (2009). Buku ajar Boedhi-Darmojo geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada tanggal 25 Februari 2009Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.Martono dan Pranaka (2011). Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Jakarta: FKUI Nugroho, Wahyudi. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik, Ed. 3. Jakarta: EGCNugrogo. 2013. Psikogeriatri. Surakarta: Bagian Psikiatri FK UNS Slide KuliahParker, K. F. (2007). The management of urinary inkontinence. Diakses dari http://www.drugstopics.com pada tanggal 16 Maret 2009Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan praktik. Ed. 4. Jakarta: EGC Pranarka K. 2000. Inkontinensia dalam Darmojo R.B. dan Martono H.H. Buku Ajar Geriatri Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Purnomo, B. B. (2008). Dasar dasar urologi. Ed. 2. Jakarta: CV InfomedikaSetiati S. dan Pramantara I.D.P. 2007. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif dalam Sudoyo A.W., Setiyohado B., Alwi I., Simandibrata K.M., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI. hal: 1392-9.Smeltzer, Susan C. (2001). Buku ajar keperawtan medikal bedah Brunner & Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC