53
Bioproses dan Teknologi Pembuatan Bioetanol Bioetanol atau etil alkohol adalah alkohol yang dibuat dari bahan baku yang bersifat dapat diperbarui. Bioetanol biasanya diproduksi secara fermentasi dari bahan yang mengandung glukosa atau polimer glukosa (polisakarida). Hampir 93% etanol di dunia merupakan bioetanol yang merupakan hasil konversi biomassa secara anaerobik, sedangkan sisanya adalah etanol yang disintesis secara kimia dari turunan minyak bumi. Bioetanol dapat dimanfaatkan sebagai agen untuk meningkatkan angka oktan pada bensin karena angka oktan etanol cukup tinggi (135) sedangkan angka oktan premium yang dijual sebagai bahan bakar adalah 98. Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Proses pembakaran dengan daya yang lebih sempurna akan mengurangi emisi gas karbon monoksida. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan emisi karbonmonoksida menjadi hanya 1,35% [Anonim, 2007]. Konsumsi bensin di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 16 jutakilo liter (Sutanto). Fraksi premium yang dihasilkan oleh unit pengolahan minyak bumi di Indonesia tidak cukup memenuhi kebutuhan premium Indonesia. Untuk menanggulangi defisit premium, Indonesia mengimpor kebutuhan premium dari pasar

Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Bioproses dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Bioetanol atau etil alkohol adalah alkohol yang dibuat dari bahan baku

yang bersifat dapat diperbarui. Bioetanol biasanya diproduksi secara

fermentasi dari bahan yang mengandung glukosa atau polimer glukosa

(polisakarida). Hampir 93% etanol di dunia merupakan bioetanol yang

merupakan hasil konversi biomassa secara anaerobik, sedangkan sisanya

adalah etanol yang disintesis secara kimia dari turunan minyak bumi.

Bioetanol dapat dimanfaatkan sebagai agen untuk meningkatkan angka oktan pada bensin

karena angka oktan etanol cukup tinggi (135) sedangkan angka oktan premium yang dijual

sebagai bahan bakar adalah 98. Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan

untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran untuk

memperoleh daya yang lebih stabil. Proses pembakaran dengan daya yang lebih sempurna

akan mengurangi emisi gas karbon monoksida. Campuran bioetanol 3% saja, mampu

menurunkan emisi karbonmonoksida menjadi hanya 1,35% [Anonim, 2007].

Konsumsi bensin di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 16 jutakilo liter (Sutanto). Fraksi

premium yang dihasilkan oleh unit pengolahan minyak bumi di Indonesia tidak cukup

memenuhi kebutuhan premium Indonesia. Untuk menanggulangi defisit premium,

Indonesia mengimpor kebutuhan premium dari pasar internasional. Kebutuhan premium

Indonesia pada tahun 2008 diprediksikan sebesar 19,6 juta kilo liter. Dengan jumlah unit

pengolahan minyak bumi yang tidak bertambah, produksi premium yang dihasilkan

Indonesia tetap, maka Indonesia akan mengimpor premium dalam jumlah yang lebih besar

di tahun-tahun mendatang.

Pemerintah sebenarnya telah berusaha mencari jalan keluar untuk memperkecil impor

minyak bumi di masa mendatang dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 5 tahun

2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif

sebagai pengganti bahan bakar minyak. Berdasarkan peraturan tersebut diharapkan pada

tahun 2025, 17% kebutuhan energi Indonesia disediakan oleh energi baru terbarukan

Page 2: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

(Yudhoyono, 2005). Salah satu sumber energi yang bisa dimanfaatkan sebagai energi

alternatif adalah etanol. Meskipun densitas energi spesifik etanol lebih kecil daripada

premium (densitas energi spesifik etanol 23,4-26,8 MJ/kg, densitas energi spesifik premium

45-48,3 MJ/kg) (Sutanto), tetapi bahan baku etanol yang melimpah di Indonesia dan proses

produksi etanol dapat dikembangkan di Indonesia, maka etanol sebagai sumber energi

alternatif untuk substitusi premium sangat memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.

Pemanfaatan etanol dan campuran bensin-etanol sebagai bahan bakar telah lama dilakukan

sejak awal adanya kendaraan automobil. Pemanfaatan etanol murni sebagai bahan bakar

kendaraan pertama kali diperkenalkan oleh Henry Ford pada model mobil rakitannya

(Husky Energy, 2007), bahkan pada April 1933 di Nebraska sudah dijual campuran

bioethanol 10% dengan premium (Praj Industries, 2006). Sebelumnya, dengan stok jumlah

minyak bumi yang tak terbatas dan lebih murah, penggunaan etanol sebagai bahan bakar

dirasa belum diperlukan. Namun beberapa dekade belakangan ini, naiknya harga minyak

bumi telah mendorong pencarian energi alternatif untuk mengatasi krisis energi yang mulai

mengancam dunia. Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan bakar

fosil juga menjadi pertimbangan pemilihan energi alternatif yang tepat dan ramah

lingkungan. Penggunaan etanol sebagai bahan bakar mempunyai beberapa keunggulan

dibanding dengan BBM, yaitu : a) kandungan oksigen yang tinggi (35%) sehingga jika

dibakar sangat bersih, b) ramah lingkungan karena emisi gas karbon-mono-oksida lebih

rendah 19-25% dibanding BBM sehingga tidak memberikan kontribusi pada akumulasi

karbon dioksida di atmosfer (Costello and Chun, 1988), dan bersifat terbarukan, sedangkan

BBM akan habis karena bahan bakunya fosil.

Produksi Bioetanol

Bioetanol diproduksi secara konversi biomassa secara fermentasi anaerobik dari bahan

yang mengandung gugus glukosa. Proses fermentasi secara umum terdiri dari tiga tahap,

yaitu pembuatan gula terlarut, fermentasi gula menjadi etanol, dan pemisahan serta

pemurnian etanol yang biasanya dilakukan secara distilasi (Badger, 2002).

Page 3: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Teknologi pembuatan bioetanol telah mengalami perkembangan dan dibedakan menjadi

teknologi generasi pertama dan kedua. Perbedaan kedua generasi tersebut berdasarkan

bahan baku untuk memproduksi bioetanol (McCutcheon, 2007). Bioetanol generasi

pertama diproduksi dari bahan yang mengandung gula atau pati, seperti molase, gula bit,

gula tebu, barley, beberapa macam gandum, jagung, kentang, singkong, tebu.

Bahan berpati pada umumnya mengandung amilase dan amilopektin. Amilase adalah

polimer glukosa linier yang tersusun atas unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan a-l,4-

glikosidik, sedangkan amilopektin adalah polimer bercabang yang pada cabangnya

dihubungkan oleh ikatan a-1,6. Bahan-bahan berpati yang digunakan untuk memproduksi

bioetanol tersebut juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Kompetisi bahan baku sebagai

bahan pangan dan bahan produksi etanol mendorong usaha penggunanaan bahan baku lain

di luar rantai makanan manusia. Hasil dari pengembangan tersebut menghasilkan teknologi

generasi kedua yang memanfaatkan bahan yang mengandung selulosa atau hemiselulosa.

Produksi etanol dengan teknologi generasi pertama sudah banyak diterapkan di dunia,

termasuk Indonesia. Sedangkan teknologi generasi kedua masih dalam taraf penelitian dan

pengembangan pada skala pilot. Meskipun masih dalam taraf penelitian, produksi etanol

dengan teknologi generasi kedua sangat berpotensi untuk dikembangkan mampu karena

menghasilkan bioetanol dengan perolehan tinggi tanpa berkompetisi dengan pangan.

Produksi Bioetanol dengan Teknologi Generasi Pertama

Proses produksi bioetanol yang selama ini sudah dikembangkan dan diterapkan secara

umum meliputi 2 tahap, yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi. Proses sakarifikasi

bertujuan untuk memecah karbohidrat (seperti gula, selulosa dan hemiselulosa) menjadi

monomer-monomer gula.

Pada bahan baku molase, gula bit, dan gula tebu yang selama ini sudah digunakan secara

luas sebagai bahan baku etanol, proses pembuatan etanol lebih sederhana karena bahan

baku tersebut dapat langsung disakarifikasi dengan menambahkan glukoamilase (Caylak

dan Sukan, 1998). Sedangkan untuk bahan baku berpati, sebelum proses sakarifikasi harus

Page 4: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

dilakukan proses liquefaksi terlebih dahulu, proses dengan bahan baku berpati ini sudah

diterapkan secara luas terutama di Brazil dan di Amerika untuk menghasilkan bioetanol,

tetapi di Indonesia masih dilangsungkan pada skala rumah tangga. Proses liquefaksi

dilakukan karena mikroorganisme fermentasi etanol tidak dapat mengkonversi pati menjadi

etanol secara langsung, diperlukan enzim untuk mengkonversi oligosakarida pada pati

menjadi maltosa, kemudian melalui proses sakarifikasi diubah menjadi gula sederhana yang

mudah difermentasi.

Proses Sakarifikasi

Proses sakarifikasi bertujuan untuk mengkonversi dekstrin yang dihasilkan pada proses

liquefaksi sehingga menghasilkan mono-atau di-sakarida (Frings, 2007). Proses sakarifikasi

dilangsungkan dengan menambahkan glukoamilase. Pada proses ini terjadi pelepasan a-D-

glukosa dari ujung gula non pereduksi 1,4-a-glukan. Reaksi berlangsung pada pH 4-5 dan

pada temperatur 50-60 derajat C (Frings, 2006) selama 2 jam (Anonim, 2007).

Proses Fermentasi

Proses fermentasi dilangsungkan pada pH 4-6, pada temperatur 30-35 derajat C (Frings,

2006) dan kondisi fermentasi dijaga anaerobik. Mikroba yang membantu proses fermentasi

adalah Saccharomyces cerevisiae atau Zimomonas mobilis. Proses fermentasi mampu

menghasilkan etanol sampai kadar 12% karena diatas kadar tersebut mikroorganisme yang

membantu proses fermentasi tidak dapat bekerja lagi.

Proses Liquefaksi

Pada tahap liquefaksi terjadi proses gelatinasi untuk memecah pati sehingga pati mejadi

dekstrin. Proses liquefaksi dilangsungkan pada suhu tinggi yaitu 80-90 derajat C dan pH 5

(Frings, 2006) selama 30 menit (Anonim, 2007), proses pemecahan pati dilakukan dengan

menambahkan enzim amilase. Amilase yang ditambahkan bisa terdiri dari dua tipe, yaitu

endo-amilase yang akan menyerang ikatan a-1,4 glikosidik pada polimer pati secara acak

dan ekso-amilase yang akan menghidrolisa glukosa atau maltosa dari ujung pereduksi

polimer pati (Neves, 2006).

Page 5: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Proses Pemisahan dan Pemurnian

Untuk memisahkan broth etanol dengan biomassa mikroba dilakukan dengan dekantasi.

Sebagian biomassa dikembalikan lagi padatangki fermentasi untuk melakukan fermentasi

selanjutnya. Untuk memisahkan etanol dari broth fermentasi dapat dilakukan dengan

distilasi secara bertingkat karena kandungan air pada broth masih tinggi. Distilasi

bertingkat mampu menghasilkan etanol dengan kemurnian maksimum 95,6%, karena pada

kemurnian tersebut etanol membentuk azeotrop dengan air sehingga tidak dapat dipisahkan

lagi dengan pemisahan biasa. Untuk mendapatkan etanol standar bahan bakar, kemurnian

99%, dapat dilakukan dengan menambahkan entrainer, pemisahan dengan membrane

secara evaporasi, ataupun dengan menggunakan molecular sieve (Frings, 2006).

Proses Hidrolisis dan Fermentasi

Dalam perjalanan pengembangan proses produksi bioetanol, proses hidrolis (sakarifikasi)

dan fermentasi dapat diklasifikasikan menjadi dua proses yang berbeda, yaitu proses

Separate-Hydrolysis-Fermentation (SHF) dan Simultaneous Saccharification and

Fermentation (SSF) (Neves, 2006).

Proses Separate-Hydrolysis-Fermentation

Proses Separate-Hydrolysis-Fermentation (SHF) adalah proses pembuatan etanol dimana

tahap hidrolisis dan tahap fermentasi berlangsung terpisah. Bahan baku yang mengandung

pati mengalami proses hidrolisis (liquefaksi dan sakarifikasi) secara terpisah dari proses

fermentasi. Setelah proses hidrolisis selesai, dilanjutkan proses fermentasi. Hal ini

dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan terhadap tiap tahap, agar tercapai hasil

yang diinginkan. Selain itu, interaksi antar dua tahap dapat diminimalkan.

Proses  SHF  ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah kinerja a-amilase yang

tidak optimal akibat terjadinya inihibisi enzim    oleh    akumulasi    gula meskipun

kandungan a-amilase dalam system tinggi. Jika a-amilase terinhibisi maka proses liquefaksi

akan terhenti meskipun belum  semua pati yang tersedia diubah menjadi gula sederhana

(Neves, 2006). Inhibisi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi etanol yang dihasilkan.

Page 6: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Simultaneous Saccharification and Fermentation

Untuk mengatasi kelemahan yang terjadi pada proses SHF, dikembangkanlah proses baru

yang disebut dengan proses Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF), seperti

yang telah dipatenkan oleh Gulf Oil Company dan University of Arkansas (1979). Proses

SSF memiliki dasar yang sama dengan proses SHF, hanya saja tahap hidrolisis dan tahap

fermentasi berlangsung simultan dalam satu tangki. Beberapa saat setelah ditambahkan a-

amilase, pada tangki ditambahkan glukoamilase untuk mengkonversi dekstrin yang

dihasilkan oleh a-amilase menjadi gula sederhana untuk difermentasi menjadi etanol.

Kemudian pada tangki juga ditambahkan Saccharomyces cerevisiae untuk

memfermentasikan gula menjadi etanol, sehingga tidak terjadi akumulasi gula yang akan

menyebabkan inhibisi pada a-amilase (Neves, 2006).

Keberadaan ragi/bakteri bersama-sama dengan enzim pada satu tangki reaksi, dapat

mengurangi akumulasi gula dalam tangki sehingga kinerja a-amilase dapat maksimum dan

pati dapat terkonversi semua menjadi gula sederhana dan etanol yang dihasilkan lebih

tinggi daripada proses SHF [Neves, 2006].

Proses SSF ini beberapa tahun terakhir telah dimodifikasi dengan menyertakan juga tahap

cofermentasi dari substrat gula rangkap. Proses ini dikenal sebagai Simultaneous

Saccharijication and coFermentation (SSCF).

Sebelum perlakuan hidrolisis oleh enzim, biomassa akan mengalami perlakuan awal (pre-

treatment) terlebih dahulu, dengan tujuan untuk mengkondisikan biomassa tersebut dengan

sifat enzim. Setelah mengalami pre-treatment, biomassa kemudian mengalami hidrolisis

enzimatis. Hasil hidrolisis ini tidak semuanya difermentasi, karena sebagian akan

membentuk residu. Dari hasil fermentasi-lah, etanol dapat terbentuk.

Produksi Bioetanol dengan Teknologi Generasi Kedua

Etanol atau campuran bensin-etanol sebagai alternatif pengganti bahan bakar telah banyak

diaplikasikan di sejumlah negara seperti Brazil, USA, dan beberapa negara di Eropa.

Bahkan di Amerika, lebih dari 5 juta kendaraan sudah menggunakan E85 yang merupakan

Page 7: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

campuran bioetanol 85% dan premium 15% (Anonim, 2006). Banyaknya biomassa yang

dibutuhkan untuk menghasilkan bioetanol sebagai biofuel menjadi problem tersendiri

dikarenakan biomassa yang berupa gula sederhana (seperti gula, gula tebu, jagung) yang

mudah terdegradasi menjadi monomer gula, juga bertindak sebagai sumber bahan pangan

baik bagi manusia maupun hewan. Selain itu pengurangan emisi oleh pembakaran bioetanol

belum serendah yang diharapkan.

Kedua hal diatas memacu berkembangnya alternatif lain sebagai bahan baku bioetanol,

yaitu bahan-bahan lignoselulosa (bahan-bahan kayu, serat atau bahkan limbah yang dapat

terdegradasi). Bioetanol dengan bahan baku ini disebut sebagai bietanol Generasi Kedua

(Second  Generation) karena mencakup jenis bahan baku yang lebih luas.

Keuntungan dari bioetanol yang berbahan dasar lignoselulosa, antara lain (Hagerdal et.al,

2006):

• Bahan baku lignoselulosa akan mengurangi kemungkinan konflik antara lahan yang

digunakan untuk produksi pangan (dan pakan) dan lahan untuk produksi

pasukanenergi.Harga bahan baku jenis ini lebih murah dibanding bahan baku generasi

pertama dan dapat diperoleh dengan jumlah pupuk, pestisida dan energi yang relatif lebih

sedikit.

• Bioetanol berbahan dasar lignoselulosa menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih

rendah, mengurangi dampak lingkungan terutama perubahan iklim.

• Bioetanol ini kemungkinan dapat membuka lapangan pekerjaan di area pedesaan

Dengan melihat keuntungan-keuntungan tersebut, prospek penelitian mulai menuju ke arah

pengembangan bioetanol berbahan dasar lignoselulosa. Penelitian tentang pemanfaatan

bahan berselulosa sebagai bahan baku produksi etanol sudah dimulai sejak tahun 1950.

Prinsip produksi bioetanol dari bahan berselulosa sama dengan produksi bioetanol dari

bahan gula atau bahan berpati, yaitu terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah konversi

selulosa menjadi gula dan tahap kedua adalah produksi etanol dari gula hasil konversi.

Page 8: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Konversi selulosa menjadi gula dilakukan melalui reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis dapat

dilakukan secara kimia maupun secara enzimatis. Setelah didapatkan gula sederhana dari

proses hidrolisa, fermentasi untuk menghasilkan etanol sama dengan produksi etanol

konvensional menggunakan mikroba dan kondisi reaksi yang telah disebutkan sebelumnya.

Hidrolisis secara Kimia dengan Asam

Reaksi hidrolisis secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan asam encer maupun

asam pekat. Penggunaan asam encer pada proses hidrolisis dilakukan pada temperatur dan

tekanan tinggi dengan waktu reaksi yang singkat (beberapa menit). Temperatur yang

dibutuhkan adalah mencapai 200 derajat C. Asam encer yang digunakan adalah 0,2-4%

berat (Nguyen and Tucker, 2002). Penggunaan asam encer untung menghidrolisis selulosa

biasa mampu mencapai konversi reaksi sampai 50% (Badger, 2002). Konversi yang rendah

ini disebabkan oleh degradasi gula hasil hidrolisis yang terbentuk karena temperatur reaksi

yang digunakan tinggi. Proses hidrolisis mengguna-kan asam encer terdiri dari dua tahap.

Tahap pertama adalah konversi bahan berselulosa menjadi gula sederhana dan tahap kedua

adalah degradasi gula sederhana yang terbentuk menjadi struktur kimia yang lain.

Degradasi gula tersebut tidak hanya menurunkan konversi reaksi, namun juga dapat

meracuni mikroorganisme pada saat reaksi fermentasi pada pembentukan etanol.

Selain asam encer, proses hidrolisis juga dapat dilakukan dengan menggunakan asam pekat.

Penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis selulosa dilakukan pada temperatur yang

lebih rendah daripada asam encer. Konsentrasi asam yang digunakan adalah 10-30%

(Zimbardi et.al). Sumber asam yang biasa digunakan adalah asam sulfat. Temperatur reaksi

adalah 100 derajat C dan membutuhkan waktu reaksi antara 2 dan 6 jam. Temperatur yang

lebih rendah meminimalisasi degradasi gula. Keuntungan dari penggunaan asam pekat ini

adalah konversi gula yang dihasilkan tinggi, yaitu bisa mencapai konversi 90% (Badger,

2002). Kekurangan reaksi ini adalah waktu reaksi yang dibutuhkan lebih lama dan

membutuhkan proses pencucian yang baik untuk mencapai pH reaksi sebelum ditambahkan

mikroba pada proses fermentasi pembentukan etanol.

Page 9: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Hidrolisis secara Enzimatis

Metode lain yang digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah secara enzimatis. Enzim

merupakan protein alam yang dapat mengkatalisis reaksi tertentu. Untuk dapat bekerja,

enzim harus kontak langsung dengan substrat yang akan dihidrolisa. Karena selulosa secara

alami terikat oleh lignin yang bersifat permeabel terhadap air sebagai pembawa enzim,

maka untuk proses hidrolisis secara enzimatik membutuhkan pretreatmen sehingga enzim

dapat berkontak langsung dengan selulosa. Pretreatmen dilakukan untuk memecah struktur

kristalin selulosa dan memisahkan lignin sehingga selulosa dapat terpisah. Pretreatmen

dapat dilakukan secara kimia maupun fisik. Metode fisik yang dapat dilakukan adalah

dengan menggunakan temperatur dan tekanan tinggi, penggilingan, radiasi, atau

pendinginan, kesemuanya membutuhkan energy yang tinggi. Sedangkan metode

pretreatmen secara kimia menggunakan solven untuk memecah dan melarutkan lignin

(metode deligniflkasi) (Badger, 2002).

Hidrolisis secara enzimatik memanfaatkan enzim penghidrolisis selulosa, yaitu selulase

atau bisa juga langsung menggunakan mikroba penghasil selulase, misalnya

Trichodermareesei. Keuntungan hidrolisis secara enzimatik adalah efisisensi reaksi tinggi

karena enzim bersifat selektif sehingga pembentukan produk samping bisa diminimalisasi,

kondisi reaksi temperatur dan tekanan tidak tinggi, bahkan bisa dilakukan pada temperatur

ruang dan tekanan atmosfer sehingga tidak membutuhkan peralatan khusus untuk reaksi.

Sedangkan kekurangan proses hidrolisis secara enzimatik adalah waktu reaksi yang

dibutuhkan lebih lama, bisa mencapai 72 jam.

Industri Pulp dan Kertas

A. BAHAN BAKU

Selulosa (terdapat dalam tumbuhan berupa serat)

Jenis-jenis selulosa :

-selulosa → untuk pembuatan kertas1.

-selulosa disebut dengan hemi selulosa2.

-selulosa —→ menjadi pengotor3.

Page 10: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Sifat selulosa

Sifat penting pada selulosa yang penting untuk pembuatan kertas :

1. gugus aktif alkohol (dapat mengalami oksidasi)

2. derajat polimerisasi (serat menjadi panjang)

Makin panjang serat, kertas makin kuat dan tahan terhadap degradasi (panas, kimia dn

biologi)

Karakteristik beberapa serat

Jenis-jenis kertas

Kertas bungkus : untuk semen, kertas llilin

Kertas tisu : sigaret, karbon, tisu muka

Kertas cetak : untuk buku cetak

Kertas tulis : HVS

Kertas koran

Kertas karton

B. PROSES PEMBUATAN KERTAS

1. Pembuatan pulp (bubur kertas)

2. Pembuatan kertas basah

3. Pengeringan dalam mesin Fourdrinier

4. Pembuatan kertas kering

Pembuatan pulp (pulping)

Pulping adalah proses pemisahan serat selulosa dari bahan pencampur (lignin & pentosan),

pelepasan bentuk bulk menjadi serat atau kumpulan serat

Lignin harus dihilangkan karena dapat membuat kertas mengalami degradasi

Proses pembuatan pulp ada 3 jenis :

1. cara mekanis (groundwood)

2. cara kimia

3. cara semi kimia

Page 11: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Pulping dengan cara mekanis

- pemisahan serat secara mekanis

- kekuatan dan derajat putih kertas tidak diutamakan

- cocok untuk kertas koran, tisu

- konversi 95 %

2. Pulping dengan cara kimia

- pemisahan selulosa dengan bahan kimia

- bahan pemisah :

basa (proses soda & proses kraft)

asam (proses sulfit, proses magnetik, proses netral sulfit)

- dasar pemilihan proses :

1. bahan baku yang digunakan

2. sifat pulp

- kekuatan dan derajat putih kertas diutamakan

- cocok untuk kertas tulis (HVS)

- konversi 65 – 85 %

3. Pulping dengan cara semi kimia

- proses campuran antara

kimia & mekanis

pelunakan untuk pemisahan serat

dengan larutan sulfit,

sulfat astau soda

- jenis proses : * proses soda dingin

proses chemi-groundwood

Page 12: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

- konversi : 85 – 95 %

Pulping di Indonesia

Proses : soda,

dengan bahan NaOH : Na2CO3 = 4 : 1

Alasan :

1. cocok untuk bahan baku serat pendek

(merang, jerami)

2. tidak menggunakan senyawa sulfur, sehingga bahan polusi sedikit dan tidak perlu

recovery

3. kapasitas kecil (25 – 50 ton/hai), murah

Proses setelah pulping

Beating agar lebih kuat, uniform,

Refining rapat, pori berkurang

Cara : dengan menambah bahan-bahan penolong

a) bahan pengisi (filler)

Untuk meratakan permukaan

Untuk memperbaiki warna putih

(TiO2,BaCO4, ZnS, Calcium)

efek samping : mengurangi daya lipat

b) bahan sizing : resin size, kanji, resin sintetis

guna :

- untuk mencegah penetrasi zat cair pada pori-pori kertas

- memperbaiki dispersi kertas

- menaikkan retensi kertas

Cara :

- dicampur dengan pulping

- diberikan pada permukaan

Page 13: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

c) alum (Al2SO4.18H2O= tawas)

Untuk koagulant (penggumpal)

d) bahan penambah lain

Pewarna

Resin sintetis (untuk meningkatkan kekuatan)

Pembuatan kertas basah - kering

Mesin Fourdrinier

Proses-proses dalam mesin Fourdrinier

Penyusunan secara random serat-serat di atas kawat menjadi lembaran kertas basah

Penghilangan kadar air dari lembaran basah secara gravity, dihisap dan dipres, menjadi

lembaran kertas basah yang lebih kompak, siap dikeringkan

(60 – 70 % menjadi 90 – 94 %)

Pengeringan kertas dengan silinder yang dipanasi, hingga kadar airnya 5 – 7 %

Buangan

Pabrik pulp

black liquor (natrium lignat)

Pabrik kertas

white water (serat-serat halus)

Aspek ekonomis

Pabrik pulp dan pabrik kertas biasanya digabung, karena :

Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, pada kapasitas pabrik tidak terlalu besar

Untuk menjamin kontinuitas produksi

Untuk mendapatkan kualitas produk kertas yang lebih terjamin

Penggabungan tidak sulit

ETANOL

BAB I

PENDAHULUAN

Page 14: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

1. Latar Belakang

Etanol, (C2H5OH) disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol

saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan

merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Etanol merupakan senyawa yang sering digunakan dalam industri kimia antara lain sebagai

pelarut (40%), untuk membuat asetaldehid (36%), eter, glikol eter, etil asetat dan kloral

(9%). Kebutuhan akan etanol semakin bertambah seiring dengan menipisnya persediaan

bahan bakar minyak bumi. Negara yang secara luas telah menggunakan etanol sebagai

bahan bakar adalah Brasil. Negara tersebut memproduksi etanol dari tetes tebu dengan

proses fermentasi.

Beberapa komoditas pertanian yang mengandung karbohidrat seperti gula sederhana, pati

dan selulosa (seperti rumput, kayu pohon, jerami) merupakan sumber energi penting untuk

fermentasi etanol. Sumber karbohidrat tersebut dapat diperoleh dari kultivasi tanaman

sumber energi, tanaman potensial yang tumbuh secara alami, maupun limbah hasil

pertanian.

Untuk fermentasi etanol perlu dipertimbangkan terlebih dahulu bahan-bahan yang akan

dipilih. Bahan yang mengandung gula memerlukan teknologi sederhana, bahan berpati juga

melalui penerapan teknologi sederhana yang telah dikembangkan, sedangkan untuk bahan

berselulosa memerlukan proses biokonversi yang lebih kompleks. Komoditas hasil

pertanian mengandung bahan berpati yang lazim dipakai untuk fermentasi etanol misalnya

serelia dan umbi-umbian. Golongan umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar dan kentang

telah banyak diteliti sebagai bahan pembuatan etanol

2. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:

a. Untuk mengetahui cara pembutan etanol

b. Untuk mengetahui mikroba yang tepat dalam menghasilkan etanol

Page 15: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

BAB II

ISI

Bahan baku pembuatan etanol dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

a. Bahan sukrosa

Bahan - bahan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain nira, tebu, nira nipati, nira

sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete.

b. Bahan berpati

Bahan - bahan yang termasuk kelompok ini adalah bahan - bahan yang mengandung pati

atau karbohidrat. Bahan - bahan tersbut antara lain tepung - tepung ubi ganyong, sorgum

biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain - lain.

c. Bahan berselulosa (lignoselulosa)

Bahan berselulosa (lignoselulosa) artinya adalah bahan tanaman yang mengandung selulosa

(serat), antara lain kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain.

1. pembuatan etanol

proses pembuatan etanol dari bahan yang mengandung selulosa maupun pati dapat

dilakukan dengan proses hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau asam

klorida (HCl). namun dengan cara ini dihasilkan kadar etanol yang lebih kecil. Selain itu,

biaya produksinya besar karena menggunakan bahan kimia yang relatif mahal,

menimbulkan masalah korosi serta kurang ramah lingkungan karena penggunaan asam

pada proses hidrolisisnya. Cara yang lebih baik untuk produksi bioetanol yaitu dengan

pengembangan teknologi bioproses dengan pendekatan enzimatik .

a. produksi etanol dari tetes (molasses)

Tetes merupakan hasil sampingan proses pembuatan gula. Tetes mengandung sejumlah

besar gula baik sukrosa maupun gula pereduksi. Total kandungan gula berkisar 48-56

persen sedangkan pH-nya 5,5 -6.5.

Untuk pembuatan etanol, tetes terlebih dahulu diencerkan dengan air sehingga konsentrasi

air gulanya menjadi 14-18%. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi akan berakibat buruj pada

khamir yang digunakan atau alkohol yang dihasilkan akan menghambat aktifitas khamir.

Page 16: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Nutrisi yang ditambahkan biasanya berupa ammonium sulfat atau (NH4)2SO2 sebanyak 70-

400 g/100liter cairan tetes.

Sebagai sumber nitrogen dapat digunakan ammonia (NH3), garam ammonium, asam

amino,peptide, pepton, nitrat atau urea dan tergantung jenis khamir yang digunakan. pH

menjadi 4,5-5,0 dilakukan dengan cara menambahkan sulfat antara 1-21/1000 1 cairan

tetes.

Selanjutnya cairan tetes diatas diinokulasi dengan biakan khamir sebanyak 5-8% volume.

Lama fermentasi berkisar 30-72 jam, tergantung pada komposisi tetes, konsentrasi gula dan

suhu fermentasi. Kondisi fermentasi berjalan secara anaerob dan laju pembentukan CO2

sebesar 160kg/ton tetes. Suhu optimum berkisar antara 32-33oC.kandungan alkohol pada

akhir proses antara 6-9 persSalah satu species ragi yang telah dikenal mempunyai daya

konversi gula menjadi etanol yang sangat tinggi adalah Saccharomiyces cerevisiae. S.

cerevisiae menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase berfungsi sebagai

pemecah sukrosa menjadi monosakarida. Enzim invertase selanjutnya mengubah glukosa

menjadi etanol.

Page 17: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

b. pembuatan etanol dari onggok

Onggok merupakan hasils ampingan pengolahan ubi kayu. Komponen utama padaonggok

adalah pati dan serat kasar.kandungan karbohidrat onggok sekitar 65 % persen dan serat

kasar8%.

Onggok dikeringkan pada suhu 55oC selama 24 jam. Setelah kering, onngok digiling

menjadi berukuran ± 30 mesh.dalampembuatan larutan suspense, tepung onggok dicampur

dengan larutan HCl 0,2N dengan perbandingan 1: 20 (g/ml). Hidrolisa dilakukan dalam

autoclavepadasuhu 121oC, tekanan 1 kg/cm2selama3 jam.

Selanjutnya pengaruh pH menjadi 4,8 dengan menggunakan Ca(OH)2. Untuk meningkatkan

nutrisinya, ditambahkan pupuk NPK sebanyak 0,08 gram dan ZA0,3 gram. Pateurisasi pada

suhu 80oCselama5menit.setlah suhu turun ±30oC, dilakukan inokulasi dengan starter

sebanyak 10% volume substrat.

Fermentasi dilakukan pada kondisi aneobik pada suhu kamar selama 7 hari.setelah itu

produk dipasteurisasi pada suhu 65oC selama 30 menit.

Dari hasil perlakuan tersebut didapatlah rendemen etanol dengan menggunakan biakan

Saccharomomyces cerevisiae ver ellipsoids diperoleh dengan konsentrasi substrat 7,06

persen TSS dengan pH 4,48.

c. pembuatan etanol dari selulosa (bagas)

Page 18: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Bagas merupakan residu padat pada proses pengolahan tebu menjadi gula. yang sejauh ini

masih belum banyak dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah (added

value). Bagas yang termasuk biomassa mengandung lignocellulose sangat dimungkinkan

untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif bioetanol atau biogas. Pemanfaatan

bagas menjadi etanol merupakan suatu skenario yang mengaju pada kebijakan pemerintah

yang telah menetapkan salah fokus penelitian dan penerapan Iptek (litbangrap Iptek)

sampai tahun 2025 adalah penciptaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.

Pada proses pembuatannya bagas dihaluskan (kurang lebih 30-60 mesh) sehingga ukuran

partikel lebih seragam, kemudian dikeringkan dengan oven selama 1 jam pada suhu 60-70

oC sehingga kadar air maksimal 10 % dan disimpan di tempat yang kering.

Enzim komersial dipakai dalam hidrolisis yaitu enzim xylanase digunakan sebagai enzim

pada proses hidrolisis dalam SSF.

Stock pembiakan Saccharomyces Cerevisiae

Saccharomyces Cerevisiae di-preculture pada Potato Dextrose Agar (PDA) 2%, Agar (0,25

g), H2O (50ml)

dan diinkubasi selama 1-3 hari pada suhu 28 oC,kemudian digunakan sebagai yeast pada

proses SSF.

Persiapan yeast inoculum

Saccharomyces Cerevisiae dari stock di-preculture pada 50 ml medium (glukosa, 10 g l-1;

yeast extract, 1,0 g l-1; KH2PO4, 0,1 g l-1; MgSO4.7H2O, 0,1 g l-1; dan (NH4)2SO4, 0,1

g l-1) dalam 200 ml flask, kemudian diinkubasi pada suhu 30 oC selama 24 jam

menggunakan orbital shaker dengan kecepatan 100 rpm.

Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak

Medium untuk SSF sebanyak 5 ml terdiri dari sampel bagas (0,25 g), nutrients medium (2,5

ml), 0,05 M Nacitrate buffer (pH 5.0), selulase/xylanase (10 FPU), dan 10% (v/v) yeast

inoculum. Sampel, nutrients medium dan buffer disterilisasi selama 121 oC dan 20 min

pada autoclave, namun larutan enzim ditambahkan tanpa sterilisasi. Nutrients medium

teridiri dari 1,0 g l-1 (NH4)2PO4; 0,05 g l-1 MgSO4.7H2O dan 2 g l-1 yeast extract.

Kultivasi diambil dan dimasukan dalam testtube sebanyak 5.0 ml kemudian disentrifugasi

menggunakan orbital shaker pada kecepatan 100 rpm selama 96 jam pada suhu 35 oC.

Page 19: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Cairan bersih sampel diambil dengan sampling 24, 48, 72 dan 96 jam dan diuji etanol yang

dihasilkan.

Perlu diketahui bahwa proses hidrolisis sampel yang mengandung selulusa pada umumnya

akan menghasilkan hemiselulosa. Hemiselulosa terbentuk dari polisakarida jenis pentosa

dengan kandungan paling banyak adalah xylosa. Oleh karena itu digunakan enzim xylanase

untuk memecah monomer-monomer xylan pada hemiselulosa menjadi xylosa. Setelah

polisakarida dipecah menjadi monosakarida, maka oleh yeast akan difermentasi menjadi

etanol

Monosakarida yang terbentuk akan diubah oleh yeast menjadi alkohol dan karbondioksida

(CO2). Secara umum persamaan reaksinya dapat ditulis sebagai berikut:

Saccaromyces cerevisiae

3C5H10O5 ---------------------------> 5C2H5OH + 5CO2

Xylosa etanol gas

Proses pembuatan etanol dari selulosa menggunakan pH 5 dengan perlakuan awal

penambahan jamur pelapuk putih maka akan dihasilkan etanol yang maksimum. Jamur

pelapuk putih berfungsi untuk menghancurkan kandungan lignin pada bagas.

Selain itu selulosa yang dihidrolisis (oleh enzim selulase) dapat menghasilkan disakarida

selobiosa. Oleh karena itu selain enzim xylanase , pada proses ini digunkana enzim

selobiase untuk memecah slobiosa menjadi glukosa. Selanjutnya hasil sakarifikasi tersebut

akan difermentasi menggunkan Saccaromyces cerevisiae untuk menghasilkan etanol.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

a. etanol dapat dihasilkan dari tumbuhan yang mengandung karbohidrat

b. etanol dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis dan fermentasi

c. saccharomyses cerevisiae merupakan ragi yang paling tepat untuk menghasilkan etanol.

Page 20: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Konversi Dari Zat selulosik Ke Alkohol

Alkohol dari kayu, - Dalam memperoleh alkohol dari serbuk gergaji atau sisa-kayu bahan ,

yang "selulosa" apa yang disebut dari kayu tersebut dihidrolisis oleh perlakuan dengan

asam di bawah tekanan. Dengan ini berarti itu adalah sebagian diubah menjadi dekstrosa

dan difermentasi lainnya gula . Asam ini kemudian dinetralisir, atau hampir jadi, dengan

kapur atau alkali, dan cairan yang dihasilkan fermentasi dan distilasi.

Ada beberapa keraguan seperti apa adalah "selulosa" sebenarnya dihidrolisis. Selulosa

kapas tidak menanggapi pengobatan. Juga bahan yang ditinggalkan oleh serbuk gergaji

yang telah pernah diobati masih mengandung selulosa, tetapi suatu pengulangan proses

menghasilkan sangat sedikit lebih gula difermentasi. Bagian yang diubah kadang-kadang

dibedakan sebagai selulosa "mudah-menyerang '. Ini mungkin terdiri dari polisakarida dari

pentosa dan heksosa.

Sejauh 1819, Braconot menunjukkan bahwa ketika limbah kayu dipanaskan dengan asam

sulfat produk diperoleh yang berisi gula. Simonsen, namun, beberapa delapan puluh tahun

kemudian, tampaknya telah menjadi yang pertama untuk mencoba pembuatan gula dari

serbuk gergaji pada setiap scale.1 besar Dia menggunakan diencerkan atau klorida asam

sulfat, dengan kekuatan 0 3-0 7 persen., dan dipanaskan campuran serbuk gergaji dan asam

di bawah tekanan 7 sampai 8 atmosfer. Ekstrom berusaha untuk memecahkan masalah yang

sama dengan menggunakan acid.2 sulfat kuat

Classen, pada tahun 1900, menunjukkan bahwa air asam sulfit Selulosa kayu diubah

menjadi dekstrosa saat campuran dipanaskan di bawah tekanan untuk suhu 120-140 °. Ada

keuntungan dalam menggunakan asam volatile , seperti belerang atau klorida, bukannya

sulfat, karena penetrasi yang lebih baik dari kayu diperoleh.

Setelah percobaan laboratorium di Aachen, dengan metode dicoba di pabrik eksperimental

dekat Chicago, dan setelah instalasi pada skala komersial didirikan di Hattiesburg,

Missouri. Ini terdiri dari aparat bagi penyusunan belerang dioksida, sebuah konverter di

Page 21: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

mana kayu dirawat dengan asam, sebuah baterai ekstraksi; tong netralisasi, fermentasi

kapal, dan distilasi aparat. serbuk gergaji dirawat di converter dengan larutan jenuh

belerang dioksida, suhu yang secara bertahap diangkat ke 143-149 ° dan tindakan diizinkan

untuk melanjutkan selama 4-6 jam. Kemudian belerang dioksida telah tertiup angin oleh

uap dan dikumpulkan untuk digunakan kembali, residu kayu diobati dengan air dalam

pembuluh ekstraksi-untuk menghapus gula, dan solusi sehingga diperoleh dinetralkan,

fermentasi, dan suling. Seratus kilo, serbuk gergaji memberi dari 7 1 / 2 sampai 8 1 / 2 liter

alkohol.

Seperti dengan demikian bekerja, proses jatuh hanya pendek keberhasilan. Alasan yang

diberikan atas kegagalan ini adalah: (1) Panjang waktu yang dibutuhkan untuk konversi

(empat sampai enam jam untuk dua ton), (2) produksi urusan bergetah dan caramelisation

karena aksi yang berkepanjangan; (3) jumlah besar asam yang diperlukan, dan (4) kesulitan

karena aksi asam pada lapisan memimpin converter - sebuah ft 30 silinder panjang, dan 3 ft

diameter.

Dua insinyur kimia, Tuan Ewen dan Tomlinson, meningkatkan proses dengan

menggunakan konverter jauh lebih singkat dan lebih luas (12 ft by 8 ft), dan lapisan dengan

batu bata tahan api, bukan dengan timbal 1 gas Sulfur dioksida sampai sebatas 1 per persen,

dari berat kayu diperlakukan diperkenalkan ke konverter, dan uap lulus dalam sampai

tekanan £ 100 diperoleh. uap ini kemudian dimatikan dan converter silinder berputar

perlahan-lahan selama empat puluh empat puluh lima menit, suhu dan tekanan yang dijaga

konstan: total waktu yang dibutuhkan untuk konversi adalah sekitar satu jam. Suhu

dinaikkan secepat mungkin untuk titik "kritis", antara 135 ° dan 163 °, di atas yang ada

penghancuran berlebihan gula dan produksi zat unfermentable.

Ketika ekstraksi selesai, solusi yang diperoleh memiliki keasaman total sebesar 064 persen,

(dihitung sebagai H1SO4), dan berisi sekitar 5 1 / 2 persen, mengurangi gula, dengan

sejumlah kecil fenol, tanin , dan furfural . Hal ini dinetralkan, fermentasi, dan suling seperti

Page 22: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

biasa, dan memberikan sekitar 38 1 / 2 galon (US) alkohol per ton kayu kering, atau antara

75 dan 80 persen, dari yield.2 teoritis

keterangan lebih baru telah diberikan oleh GH Tomlinson.3 The digester atau konverter

sekarang yang digunakan adalah standar 14 ft boiler pemutihan bulat berputar, dilindungi di

dalam dengan lapisan ubin asam-bukti. Pemisahan gula dari residu kayu yang dilakukan

dalam standar bit gula-difusi baterai dilengkapi dengan lapisan mirip dengan digester. Dari

80 hingga 100 ton material per hari dapat dirawat di alat ini. Per ton kayu kering, hasil

maksimum adalah 35 galon alkohol (95 persen.), tetapi pada skala besar rata-rata hasil

panen yang sebenarnya hampir tidak melebihi setengah dari jumlah ini.

PROSES PEMBUATAN BIOETHANOL BERKADAR 90 %

 

1. SEKILAS TENTANG BIOETHANOL

Ethanol merupakan senyawa Hidrokarbon dengan gugus Hydroxyl (-OH) dengan 2 atom

karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum Ethanol lebih dikenal sebagai Etil

Alkohol berupa bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung

pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu yang kemudian dipopulerkan dengan nama

Bioethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam

rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan

tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan

bioethanol atau gasohol. Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan

tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu

pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bio-ethanol juga

didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan

baku tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga

meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya

bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol/bio-ethanol.

Secara umum ethanol/bio-ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri turunan

Page 23: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan campuran bahan bakar

untuk kendaraan. Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga

grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk

ethanol/bio-ethanol yang mempunyai grade 90-95% vol dapat digunakan pada industri,

sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 95-99% vol dapat digunakan sebagai

campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade

ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan

yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak menimbulkan korosif, sehingga

ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,6-99,8 % volume (Full Grade

Ethanol = FGE). Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi

karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.

Bioethanol atau Ethanol (Alkohol)

2. PROSES PRODUKSI BIO-ETHANOL

Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati

atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)

larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes

menjadi bio-ethanol ditunjukkan pada Tabel 1.

Page 24: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Tabel 1. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan

Tetes Menjadi Bio-Ethanol

Bahan BakuKandungan

Gula Dalam

Bahan Baku

(Kg)

Jmlh Hasil

Konversi

Bio-

ethanol

(Liter)

Perbandingan Bahan

Baku dan Bio-

ethanolJenis Konsumsi (Kg)

Ubi Kayu 1000 250-300 166,6 6,5 : 1

Ubi Jalar 1000 150-200 125 8 : 1

Jagung 1000 600-700 200 5 : 1

Sagu 1000 120-160 90 12 : 1

Tetes 1000 500 250 4 : 1

Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan

zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme.

Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak

dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat

berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini

dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula

(glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan

proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.

Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan

pada reaksi 1 dan 2.

H2O

(C6H10O5)n ----------------------------N C6H12O6 (1)

enzyme

(pati) ------------------------------------ (glukosa)

Page 25: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

(C6H12O6)n ----------------------------2 C2H5OH + 2 CO2. (2)

yeast (ragi)

(glukosa) -------------------------------- (ethanol)

Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung

pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa

(mis: jerami padi), namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses penggulaannya

menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari selulosa sementara ini

tidak direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan teknik

yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan

memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif

baru di Indonesia antara lain mengenai

neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut

mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.

Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam

tiga tahap, yaitu Persiapan Bahan Baku,Liquefikasi dan

Sakharifikasi,Fermentasi,Distilasi,dan Dehidrasi.

I. Persapan Bahan Baku

Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang

secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis

(sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava)

dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam

bergantung pada jenis bahan bakunya, sebagai contoh kami menggunakan bahan baku

Singkong (ubi kayu). Singkong yang telah dikupas dan dibersihkan dihancurkan untuk

memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik.

Page 26: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Penghancuran Singkong

Pemasakan bahan baku

II. Liquifikasi dan Sakarifikasi

Kandungan tepung atau pati pada bahan baku singkong dikonversi menjadi gula sederhana

(glukosa) menggunakan Enzym Alfa Amilase dan Glukoamilase melalui proses pemanasan

(pemasakan) pada suhu 90 derajat celcius. Pada kondisi ini tepung akan mengalami

gelatinasi (mengental seperti Jelly). Pada kondisi optimum Enzym bekerja memecahkan

struktur tepung secara kimia menjadi gula komplex (dextrin). Proses Liquefaction selesai

ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses berubah menjadi lebih cair seperti

sup. Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan

proses sebagai berikut :

Page 27: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

-Pendinginan bubur sampai mencapai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja.

-Pengaturan pH optimum enzim.

-Penambahan Enzym Glukosa Amilase secara tepat dan mempertahankan pH serta

temperatur pada suhu 60 derajat celcius hingga proses Sakarifikasi selesai (dilakukan

dengan melakukan pengetesan kadar gula sederhana yang dihasilkan).

Liquefikasi dan Sakharifikasi

III. Fermentasi

Pada tahap ini, tepung telah telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian

fruktosa) dengan kadar gula berkisar antara 14 hingga 18 %. Tahapan selanjutnya adalah

mencampurkan ragi (yeast) pada cairan bahan baku tersebut dan mendiamkannya dalam

wadah tertutup (tanki fermentasi) pada kisaran suhu optimum 27 s/d 32 derajat celcius

selama kurun waktu 3 hingga 7 hari (fermentasi secara anaerob). Keseluruhan proses

membutuhkan ketelitian agar bahan baku tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya.

Dengan kata lain,dari persiapan baku,liquifikasi,sakarifikasi,hingga fermentasi harus pada

kondisi bebas kontaminan. Selama proses fermentasi akan menghasilkan cairan

etanol/alkohol dan CO2

Hasil dari fermentasi berupa cairan mengandung alkohol/ethanol berkadar rendah antara 7

hingga 12 % (biasa disebut cairan Beer). Pada kadar ethanol max 12 % ragi menjadi tidak

aktif lagi,karena kelebihan alkohol akan beakibat racun bagi ragi dan mematikan

aktifitasnya.

Page 28: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Fermentasi bahan baku bioethanol

IV. Distilasi.

Distilasi atau lebih umum dikenal dengan istilah penyulingan dilakukan untuk memisahkan

alkohol dari cairan beer hasil fermentasi. Dalam proses distilasi, pada suhu 78 derajat

celcius (setara dengan titik didih alkohol) ethanol akan menguap lebih dulu ketimbang air

yang bertitik didih 100 derajat celcius. Uap ethanol didalam distillator akan dialirkan

kebagian kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan ethanol. Kegiatan penyulingan

ethanol merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses produksi bioethanol. Dalam

pelaksanaannya dibutuhkan tenaga operator yang sudah menguasai teknik penyulingan

ethanol. Selain operator, untuk mendapatkan hasil penyulingan ethanol yang optimal

dibutuhkan pemahaman tentang teknik fermentasi dan peralatan distillator yang berkualitas.

Penyulingan ethanol dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara :

1. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator tradisional (konvensional). Dengan cara

ini kadar ethanol yang dihasilkan hanya berkisar antara antara 20 s/d 30 %.

2. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator model kolom reflux (bertingkat).

Dengan cara dan distillator ini kadar ethanol yang dihasilkan mampu mencapai 60-90 %

melalui 2 (dua) tahapan penyulingan.

Page 29: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

V. Dehidrasi

Hasil penyulingan berupa ethanol berkadar 95 % belum dapat larut dalam bahan bakar

bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan ethanol berkadar 99,6-99,8 % atau disebut

ethanol kering. Untuk pemurnian ethanol 95 % diperlukan proses dehidrasi (distilasi

absorbent) menggunakan beberapa cara,antara lain : 1. Cara Kimia dengan menggunakan

batu gamping 2. Cara Fisika ditempuh melalui proses penyerapan menggunakan Zeolit

Sintetis. Hasil dehidrasi berupa ethanol berkadar 99,6-99,8 % dikatagorikan sebagai Full

Grade Ethanol (FGE),barulah layak digunakan sebagai bahan bakar motor.

Mesin atau Distillator Bioethanol

Model Kolom Reflux

Bioethanol kadar 95 % (Industrial Grade)

Page 30: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Pengukuran kadar ethanol (alkohol)

V. Hasil samping penyulingan ethanol.

Akhir proses penyulingan (distilasi) ethanol menghasilkan limbah padat dan cair. Untuk

meminimalisir efek terhadap pencemaran lingkungan, limbah padat dengan proses tertentu

dirubah menjadi pupuk kalium,bahan pembuatan biogas,kompos,bahan dasar obat nyamuk

bakar dan pakan ternak. Sedangkan limbah cair diproses menjadi pupuk cair. Dengan

demikian produsen bioethanol tidak perlu khawatir tentang isu berkaitan dengan dampak

lingkungan.

Limbah padat (sludge)

Page 31: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Limbah cair (Vinase)

Bioetanol

1.      Abstrak

Ethanol atau etil alkohol C2H5OH, merupakan cairan yang tidak berwarna, larut

dalam air, eter, aseton, benzene, dan semua pelarut organik, serta memiliki bau khas

alkohol. Salah satu pembuatan ethanol yang paling terkenal adalah fermentasi.Bioethanol

dapat diperoleh salah satunya dengan cara memfermentasi singkong.

            Alkohol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang

mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu biasanya disebut dengan

bioethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam

rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan

tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan

bioethanol atau gasohol.

2.      Pendahuluan

Seiring dengan menipisnya cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif yang

penting sebagai bahan baku pembuatan ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya,

kebutuhan terhadap komoditas ini pada masa mendatang diperkirakan mengalami

peningkatan yang signifikan.Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses

fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme.

Page 32: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap

hektarnya paling tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi

kayu sebagai bahan baku proses produksi bio-ethanol juga didasarkan pada pertimbangan

ekonomi. Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi

harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya pengelolaan

tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi

setiap liter ethanol/bio-ethanol.

Secara umum ethanol/bio-ethanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri

turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, campuran bahan

bakar untuk kendaraan.

Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang

dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol

yang mempunyai grade 90-96,5% vol dapat digunakan pada industri, sedangkan

ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan sebagai

campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade

ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan

yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga ethanol/bio-

ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan

berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.

3.      Metodologi

Singkong diolah menjadi bioetanol, pengganti premium. singkong salah satu

sumber pati. Pati senyawa karbohidrat kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah

menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Untuk mengurai pati, perlu bantuan

cendawan Aspergillus sp. Cendawan itu menghasilkan enzim alfamilase dan gliikoamilase

yang berperan mengurai pati menjadi glukosa alias gula sederhana. Setelah menjadi gula,

bam difermentasi menjadi etanol.

Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang  mengandung pati

atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)

larut air.

Page 33: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi

bio-ethanol.

Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan

zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme.

Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak

dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat

berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini

dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula

(glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan

proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.

Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan

pada reaksi 1 dan 2.

H2O

(C6H10O5)n ---------------->N C6H12O6 (2)

Enzyme

(pati)                                    (glukosa)

(C6H12O6)n--------------->2 C2H5OH + 2 CO2. (3) 

yeast (ragi)

(glukosa)                                (ethanol)

Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang

mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman

yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses

penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari

selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol

merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol untuk bahan

bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan

teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy

Page 34: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses

produksi ethanol masih perlu dilakukan.

Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam

tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.

Hasil dan Pembahasan

Teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap,

yaitu:

a.       Proses Glatinasi

Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan

dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen.

Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk

gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

          Bubur pati dipanaskan sampai 130oC selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai

mencapai temperature 95oC yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam.

Temperatur 95oC tersebut dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang

dibutuhkan mencapai 2 jam.

          Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai

temperatur 130oC selama 2 jam.

Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada

suhu 95oC aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast

atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (130oC) pada cara pertama ini

dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air

enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan,

sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.

Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan

enzyme termamyl) pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena

mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu

Page 35: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

130oC akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast.

Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas

termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95oC.

Selain itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl

semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93oC, half life dari termamyl adalah

1500 menit, sedangkan pada temperature 107oC, half life termamyl tersebut adalah 40

menit (Wasito, 1981).

Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C, kemudian

ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya

difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.

b.      Fermentasi

Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol

(alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini,

biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi

tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat.

Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu

memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi

tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak

diperlukan. Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung

gasgas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose menjadi ethanol/bio-

ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut

biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol

yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut.

Proses pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang

terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2).

Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai

8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95

persen diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan

Page 36: Bioproses Dan Teknologi Pembuatan Bioetanol

melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan

rectifying column.

Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah “volume

ethanol pada temperatur 15oC yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol

pada temperatur tertentu (pengukuran).“

Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai

kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar

dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses

destilasi.

c.       Distilasi

Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari

95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang

mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati proses destilasi untuk memisahkan

alkohol dengan air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut

yang kemudian diembunkan kembali.