78
BIOAKTIFITAS MINYAK ATSIRI UMBI LAPIS BAWANG MERAH Allium cepa L. LOKAL ASAL ENREKANG TERHADAP BAKTERI Streptococcus mutans PENYEBAB KARIES PADA GIGI MILADIARSI H 411 09 286 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

BIOAKTIFITAS MINYAK ATSIRI UMBI LAPIS BAWANG MERAH …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/OWI5... · bioaktifitas minyak atsiri umbi lapis bawang merah

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • BIOAKTIFITAS MINYAK ATSIRI UMBI LAPIS BAWANG MERAH

    Allium cepa L. LOKAL ASAL ENREKANG TERHADAP BAKTERI

    Streptococcus mutans PENYEBAB KARIES PADA GIGI

    MILADIARSI

    H 411 09 286

    JURUSAN BIOLOGI

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR

    2013

  • ii

    BIOAKTIFITAS MINYAK ATSIRI UMBI LAPIS BAWANG MERAH

    Allium cepa L. LOKAL ASAL ENREKANG TERHADAP BAKTERI

    Streptococcus mutans PENYEBAB KARIES PADA GIGI

    MILADIARSI

    H 411 09 286

    Skripsi ini dibuat untuk Melengkapi Tugas Akhir dan memenuhi Syarat

    untukMemperoleh Gelar Sarjana Sains Pada

    Jurusan Biologi

    JURUSAN BIOLOGI

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR

    2013

  • iii

    LEMBAR PENGESAHAN

    BIOAKTIFITAS MINYAK ATSIRI UMBI LAPIS BAWANG MERAH

    Allium cepa L. LOKAL ASAL ENREKANG TERHADAP BAKTERI

    Streptococcus mutans PENYEBAB KARIES PADA GIGI

    Disetujui Oleh :

    Pembimbing Utama Pembimbing Pertama

    Prof. Dr. Hj. Dirayah R. Husain, DEA Dr. Hj. Sartini, M.Si, Apt.

    Nip. 19600525 198601 2 001 Nip. 19611111 198703 2 001

  • iv

    KATA PENGANTAR

    Segala puji Bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah

    dan perlindungan-Nya sehingga penulis merampungkan penelitian dan

    menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tetap tercurah

    kepada Baginda Rasulullah SAW kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-

    orang yang senantiasa berada di jalan-Nya.

    Dalam rentang waktu dan perjalanan panjang yang harus dilalui penulis,

    tak terlepas dari uluran tangan yang datang dari orang-oarng disekeliling tanpa

    mampu untuk dibalas, serta begitu banyak harapan, motivasi dan doa yang

    menyertai penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

    Dengan hal ini Teristimewa, ditujukan sebagai wujud rasa terima kasih

    yang tidak terhingga, serta teriring doa dan kasih sayang tiada henti atas segala

    pengorbanan kepada Ayahanda tercinta Mustafa dan Ibunda tersayang Nasira

    Rauf yang selama ini melimpahkan cinta kasih sayangnya, doa dan dorongan

    moril dan materi tidak terkira yang tak dapat terbalaskan.

    Terimah kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof.

    Dr. Hj. Dirayah R. Husain, DEA selaku pembimbing utama, ibu Dr. Hj. Sartini,

    M.Si, Apt. selaku pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan,

    motivasi dan arahan yang sangat berharga dari awal penelitian hingga penyusunan

    skripsi ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Ibu dengan

    balasan yang lebih baik.

  • v

    Kakakku tercinta, Nasriani Musra, Dedi Musra, dan Hastati Musra serta

    kakak iparku Masdar, Derhana dan Hasman yang selalu memberi dorongan dan

    membantu dalam berbagai hal. Adikku tersayang Asdi Bustamin Musra,

    Azzahrah Musra, dan adikku si kembar (Muqlisa Musra dan Mubariqa Musra)

    serta ponakanku tercinta Adiyatza M., Dude Asfarul M. dan Kumail Mutawaddi

    D., terima kasih untuk segala keceriaan yang mewarnai hari-hari penulis.

    Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

    1. Bapak Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

    Hasanuddin beserta para staf.

    2. Ketua Jurusan Biologi beserta staf dosen dan pegawai jurusan Biologi

    Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin.

    3. Dra. Nur Haedar, M.Si selaku penasehat akademik yang telah banyak

    membantu penulis selama masa perkuliahan.

    4. Tim penguji skripsi yang telah membantu penulis dalam menyempurnakan

    kesalahan-kesalahan dalam penulisan maupun pembahasan: Dr. Andi Ilham

    Latunra, M.Si, Helmy Widyastuti, S.Si., M.Si., Drs. Munif S. Hassan, M.S,

    dan Drs. Muh. Ruslan Umar, M.Si,.

    5. Kepada keluarga Ir. Mustamin Almandary dan Dr. Rahmaniah Hamzah SG.

    yang senantiasa memberikan arahan dan motivasi serta membantu penulis

    dalam berbagai hal.

    6. Kepada rekan penelitian St. Hatijah, St. Rahbiah, Yulinar, Hasriani Rahman,

    Yusdar M. Terimah kasih atas kerjasama dan kebersamaan yang terjalin

  • vi

    selama ini. Suka duka dan suka cita kita telah lalui bersama takkan

    terlupakan.

    7. Saudara-saudariku Bi09enesis (Biologi 09 Generasi Eksis) Terima kasih

    atas doa, bantuan dan dukungannya selama ini. Waktu terasa singkat

    untuk bisa bersama kalian namun moment kebersamaan selama beberapa

    tahun tidak akan terlupakan sampai kapanpun, kalian telah mengajarkan arti

    persahabatan dan persaudaraan kepada penulis, semoga Allah SWT

    melimpahkan rahmat kepada kita semua. Aamiin....

    8. Saudara-saudariku Jurusan Biologi dan keluarga besar KMF MIPA yang

    tercinta, Terima kasih atas doa dan dukungannya. Semoga karunia-Nya

    selalu tercurah kepada kita semua. Aamiin

    9. Seluruh keluarga besar Abd. Rauf/Sarina dan Mahudil/Jua yang senantiasa

    perhatian kepadapenulis baik suka maupun duka dan penyemangat penulis

    untuk segera menyelesaikan studi.

    10. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu.

    Keterbatasan Penulis sebagai manusia biasa, Penulis menyadari masih

    banyak terdapat kelemahan dan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini untuk

    itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

    kesempurnaan skripsi. Demikianlah skripsi ini dibuat untuk menambah ilmu

    pengetahuan semoga bisa menjadi acuan yang bermanfaat dikemudian hari bagi

    siapapun yang membutuhkan.

    Makassar, April 2013

    Penulis,-

  • vii

    ABSTRAK

    Telah dilakukan penelitian tentang Bioaktifitas Minyak Atsiri Umbi Lapis

    Bawang Merah Allium cepa L. Lokal Asal Enrekang Terhadap Bakteri

    Streptococcus mutans Penyebab Karies Pada Gigi. Penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahui sifat antibakteri efektifitas ekstrak minyak atsiri bawang merah

    Allium cepa L. terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Uji

    konsentrasi hambat minimum (KHM) pada Medium Brain Heart Infusion Broth

    (BHIB) yaitu 1,25%. Pengujian daya hambat dilakukan dengan metode difusi

    Agar dengan menggunakan empat variasi konsentrasi 2,5%, 5%, 10% dan 20%

    b/v pada medium Glucose Nutrient Agar (GNA) yang diinkubasi selama 2 x 24

    jam. Sebagai kontrol digunakan antibiotik yaitu Povidone Iodine betadin obat

    kumur dan DMSO (Dimetill Sulfoksida). Bawang merah Allium cepa L.

    mengandung minyak atsiri yang tersusun atas senyawa sulfida bersifat antibakteri

    yang dapat mematikan bakteri mulut termasuk Streptococcus mutans penyebab

    karies gigi dengan diameter hambat terbesar 22,8-23,2 mm pada konsentrasi 20%

    dan daya hambat terkecil pada konsentrasi 2,5% yaitu 21,5-21,8 mm.

    Kata kunci: Bioaktivitas, Umbi lapis Bawang Merah Allium cepa L., minyak

    atsiri, bakteriosida, Streptococcus mutans, karies gigi.

  • viii

    ABSTRACT

    A research on the assay of bioactivity volatil oil of Allium cepa L. against

    Streptococcus mutans causes of dental caries. The aim of this research is to

    determine the efectivity antimicroba of volatil oil of Allium cepa L in inhibiting

    the growth of the Streptococcus mutans. Assay Minimal Inhibition Concetration

    (MIC) using Brain Heart Infusion Broth (BHIB) medium at 1.25%. Bioactivity

    of the sample was diffusion method using four variations of concentrations of

    2.5%, 5%, 10%, and 20% b/v using Glucose Nutrient Agar (GNA) medium were

    incubated for 2 x 24 hours. The antibiotic we used for control was Povidone

    Iodine betadin and DMSO (Dimetill sulfoxide). Allium cepa L containing

    Essencial oil compounds sulfida that are antimicrobial that is bacteriosida and the

    largest inhibition zone 22,8-23,2 mm at 20% concentration and the smallest

    inhibition zona 21,5-21,8 mm at 2,5% concentration .

    Keywords: Bioactivity, Allium cepa L, volatil oil, bacteriosida, Streptococcus

    mutans, dental caries.

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii

    LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii

    KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv

    ABSTRAK ....................................................................................................... v

    ABSTRACT ..................................................................................................... vi

    DAFTAR ISI .................................................................................................... vii

    DAFTAR TABEL ............................................................................................ x

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

    1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

    1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................ 4

    1.3 Manfaat Penelitian .............................................................................. 4

    1.4 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 4

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5

    II.1 Tinjauan Umum Bawang Merah Allium cepa L. .............................. 5

    II.1.1 Deskripsi Bawang Merah Allium cepa L. ............................... 5

    II.1.2 Nama-nama Daerah Bawang Merah Allium cepa L ................. 9

    II.1.3 Klasifikasi Bawang Merah Allium cepa L ............................... 10

    II.1.4 Habitus ..................................................................................... 10

    II.1.5 Kandungan Kimia dan Khasiat Bawang Merah Allium cepa

    L. ............................................................................................ 11

  • x

    II.2 Tinjauan Umum Karies Gigi .............................................................. 12

    II.2.1 Definisi Karies Gigi ................................................................. 12

    II.2.2 Etiologi Karies .......................................................................... 14

    II.2.3 Penggolongan Karies ................................................................ 16

    II.3 Tinjauan Umum Bakteri Streptococcus mutans ................................. 19

    II.3.1 Ciri-ciri Morfologi Bakteri Streptococcus mutans ................... 19

    II.3.2 Klasifikasi Streptococcus mutans............................................. 21

    II.4 Ekstraksi ............................................................................................. 22

    II.4.1 Definisi Ekstraksi ..................................................................... 22

    II.4.2 Tujuan Ekstraksi ....................................................................... 22

    II.4.3 Destilasi .................................................................................... 22

    II.5. Tinjauan Umum Antimikroba ........................................................... 26

    II.5.1 Sifat Antimikroba ..................................................................... 26

    II.5.2 Mekanisme Antimikroba .......................................................... 27

    II.5.3 Uji Antimikroba ....................................................................... 31

    BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 35

    III.1 Alat .................................................................................................... 35

    III.2 Bahan ................................................................................................ 35

    III.3 Metode kerja ..................................................................................... 36

    III.3.1 Pengambilan dan Pengolahan Sampel .................................... 36

    III.3.1.1 Pengambilan Sampel ..................................................... 36

    III.3.1.2 Pengolahan Sampel ....................................................... 36

    III.3.2 Destilasi Umbi Lapis Bawang Merah Allium cepa L. ............ 36

    III.3.3 Konsentrasi Ekstraksi .............................................................. 37

    III.3.4 Sterilisasi Alat ......................................................................... 37

  • xi

    III.3.5 Pembuatan Medium Pertumbuhan Bakteri Uji ....................... 37

    III.3.5.1 Pembuatan Medium Nutrient Agar (NA) ..................... 37

    III.3.5.2 Pembuatan Medium Brain Heart Infusion Broth

    (BHIB) .......................................................................... 38

    III.3.5.3 Pembuatan Medium Glucose Nutrient Agar (GNA) .... 38

    III.3.6 Penyiapan Bakteri Uji ............................................................. 39

    III.3.6.1 Peremajaan Bakteri Uji ................................................. 39

    III.3.6.2 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji ................................... 39

    III.3.7 Penyiapan Larutan Pembanding ............................................. 39

    III.3.8 Uji Konsentrasi Hambat Minimum ......................................... 40

    III.3.9 Uji Daya Hambat .................................................................... 40

    III.3.10 Pengukuran Diameter Daerah Hambatan .............................. 41

    III.3.11 Analisis Data ......................................................................... 42

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 43

    IV.1 Bioaktivitas Minyak Atsiri Bawang Merah Allium cepa L

    Terhadap Bakteri streptococcus mutans .......................................... 45

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 52

    V.1 Kesimpulan ........................................................................................ 52

    V.2 Saran ................................................................................................... 52

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 53

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... 57

  • xii

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1. Tabel 1. Nama-nama daerah Bawang Merah Allium cepa........................ 9

    2. Tabel 2. Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan bakteri ..................... 32

    3. Tabel 3. Diameter zona hambat minyak atsiri umbi lapis bawang

    merah Allium cepa L pada bakteri Streptococcus mutans dengan masa

    inkubasi 24 jam hingga 48 jam ................................................................. 45

  • xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    1. Tanaman Bawang merah Allium cepa L ................................................... 6

    2. Bawang Merah Allium cepa L. asal Enrekang ......................................... 6

    3. Bawang merah dengan daun yang sudah dikeringkan .............................. 7

    4. Umbi lapis Bawang merah Allium cepa L. dengan perbandingan dengan

    benda lain .................................................................................................. 8

    5. Anatomi Gigi ............................................................................................ 13

    6. Skema yang menunjukkan karies sebagai penyakit multifaktorial yang

    disebabkan 4 komponen ............................................................................ 14

    7. Karies rampan ........................................................................................... 17

    8. Karies terhenti ........................................................................................... 18

    9. Karies berdasarkan kedalamannya ............................................................ 19

    10. Morfologi Streptococcus mutans pada mikroskop elektron ..................... 20

    11. Streptococcus mutans terlihat pada mikroskop elektron scaning dengan

    perbesaran 10 µl ........................................................................................ 20

    12. Destilasi sederhana yang sedang beroperasi ............................................. 23

    13. Destilasi bertingkat/fraksinasi ................................................................... 25

    14. Rangkaian alat destilasi uap ...................................................................... 26

    15. Mekanisme aktivitas antibakteri ............................................................... 28

    16. Mekanisme Kerja Antimikroba Menghambat Fungsi Membran Sel ........ 29

    17. Aminoglycoside bekerja dengan berikatan pada ribosom 30S sehingga

    menghambat sintesis protein (menyebabkan salah baca-misreading) ...... 30

    18. Kerja antimikroba ..................................................................................... 31

    19. Metode uji antibakteri dengan Disk Difusion agar ................................... 34

    20. Hasil uji penentuan Konsentrasi Hambatan Minimal minyak atsiri umbi

    bawang merah Allium cepa L terhadap pertumbuhan bakteri

    Streptococcus mutans ................................................................................ 44

  • xiv

    21. Hasil uji daya hambat minyak atsiri umbi lapis bawang merah Allium

    cepa L terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans setelah

    masa inkubasi (A) 1 x 24 jam dan ( B) 2x 24 jam .................................. 47

    22. Diagram zona hambat minyak atsiri umbi bawang merah Allium cepa L

    Terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans pada masa

    inkubasi 24 jam dan 48 jam ...................................................................... 48

  • xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    A. Komposisi Medium ................................................................................... 57

    B. Skema Pembuatan Medium ...................................................................... 58

    C. Pengolahan Umbi Lapis Bawang Merah Allim cepa L. ............................ 59

    D. Pembuatan Minyak Atsiri Umbi Lapis Bawang Merah Allium cepa L. ... 60

    E. Pembuatan Konsentrasi Minyak Atsiri Umbi Lapis Bawang Merah

    Allium cepa L. ........................................................................................... 61

    F. Uji Konsentrasi Hambatan Minimum ....................................................... 62

    G. Uji Daya Hambat Antimikroba ................................................................. 63

    H. Skema Kerja Penelitian ............................................................................. 64

  • xvi

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1 Latar Belakang

    Keanekaragaman jenis tumbuhan di bumi ini sangat banyak dengan

    potensi masing-masing, salah satunya jenis tumbuhan berpotensi menjadi tanaman

    obat. Menurut Nath et al (2010) pemanfaatan dan penggunaan tumbuhan sebagai

    bahan obat herbal sangat umum terjadi, karena terbukti secara alamiah

    sebagai antimikroba untuk mengurangi efek samping dibandingkan dengan

    antimikroba sintetik. Hal ini karena adanya senyawa aktif pada tumbuhan yang

    berpotensi sebagai sumber antimikroba baru. Salah satunya tanaman yang

    dimaksud adalah bawang merah Allium cepa L.

    Tanaman bawang merah Allium cepa L. diduga berasal dari daerah Asia

    tengah, yaitu sekitar India, Pakistan sampai Palestina dan sudah dikenal sejak

    lebih dari 5000 tahun yang lalu. Menurut Direktorat Jenderal Pengolahan Dan

    Pemasaran Hasil Pertanian (2006) Indonesia dengan 33 Propinsi, 325 Kabupaten,

    dan 5.054 Kecamatan mempunyai daerah potensial produksi bawang merah salah

    satunya Provinsi Sulawesi Selatan (Wiboho, 2007)

    Di Provinsi Sulawesi Selatan sentral produksi bawang merah terdapat di

    Kabupaten Enrekang yang merupakan daerah dataran tinggi, sekitar 530 m dari

    permukaan laut (dpl). Hasil produksi bawang merah tersebut telah beredar di

    berbagai daerah di pulau sulawesi bahkan ke pulau Kalimantan dan Jawa

    (Moekasan et al, 2011).

    1

  • xvii

    Bawang merah Allium cepa L. merupakan salah satu komoditas

    hortikultura yang penting bagi masyarakat, baik secara ekonomis ataupun

    kandungan gizinya (Rajiman, 2009). Menurut Kumar et al (2010), bawang merah

    Allium cepa L. dikenal sebagai bumbu masakan yang dapat menghasilkan aroma

    dan rasa yang sedap. Penelitian lain dari Lampe JW (1999) menunjukkan bahwa

    bawang merah kaya akan karbohidrat, protein, sodium, kalium dan fosfor yang

    berguna sebagai antioksidan dan antibakteri. Idrawati (2009) melakukan

    penelitian menggunakan tiga macam ekstrak bawang merah yaitu ekstrak air,

    ekstrak etanol dan ekstrak minyak atsiri, dari ke tiga jenis ekstrak tersebut

    ternyata ekstrak minyak atsiri memiliki daya hambat lebih tinggi terhadap bakteri

    penyebab karies gigi mulai dari konsentasi 10%, 20%, 40% dan 80% b/v

    dibandingkan ekstrak etanol dan ekstrak air. Wahyu (2005) menunjukkan bahwa

    bawang merah mengandung minyak atsiri yang tersusun atas senyawa sulfida

    bersifat antibakteri yang dapat mematikan bakteri mulut termasuk Streptococcus

    mutans penyebab karies gigi. Minyak atsiri terdiri atas dialilsulfida, propantiol-S-

    oksida, S-Alil-L-Sistein-sulfoksida atau Aliin, prostaglandin A-1, difenilamina

    dan sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, kaemferol dan foroglusinol (Asgar dan

    Yusdar, 1995).

    Karies gigi merupakan penyakit yang paling umum terjadi pada

    masyarakat, namun dianggap penyakit yang tidak tergolong kronis sehingga

    kadang kurang diperhatikan. Menurut Kustiawan (2002) bahwa karies gigi atau

    gigi berlubang terjadi akibat proses secara bertahap larutnya email dan terus

    berkembang sampai ke bagian dalam gigi. Kidd dan Bechal (2002) menyatakan

    2

  • xviii

    bahwa karies merupakan suatu penyakit jaringan keras pada bagian gigi yaitu:

    email, dentil dan sementum.

    Menurut Forssten et al (2010), bahwa penyebab utama karies gigi yaitu

    adanya beberapa bakteri yang hidup di dalam rongga mulut yaitu Streptococcus

    mutans. Bakteri tersebut dapat menfermentasi karbohidrat berupa sukrosa dan

    fruktosa dan membentuk asam organik sehingga pH plak akan menurun sampai di

    bawah 5 dalam waktu 1-3 menit.

    Pencegahan terjadinya karies dapat dilakukan dengan memperhatikan jenis

    makanan yang dikomsumsi dan membersihkan gigi secara teratur dengan pasta

    gigi dan obat kumur yang bersifat antibakteri. Pasta gigi dan obat kumur yang

    beredar di pasaran umumnya mengandung flour yang bersifat antibakteri.

    Penggunaan konsentrasi flour yang tinggi akan menimbulkan efek samping

    berupa flourisis email dan tidak efektif membunuh bakteri karena bersifat

    bakteriostatistik (Dea, 2006). Penggunaan antibiotika dalam menghilangkan plak

    gigi seperti penisilin, vankomisin dan klorheksidin secara rutin dapat

    menyebabkan resisten dan efek samping seperti diskolorisasi gigi (Schuurs et al,

    1992; Houwink et al, 1993).

    Berdasarkan hal tersebut di atas maka akan dilakukan penelitian tentang

    kemampuan ekstrak minyak atsiri bawang merah Allium cepa L. asal Enrekang

    terhadap bakteri Streptococcus mutans yang merupakan penyebab karies gigi.

    3

  • xix

    I.2 Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini yaitu:

    a. Untuk mengetahui sifat antibakteri pada minyak atsiri bawang merah Allium

    cepa L dalam menghambat bakteri penyebab karies pada gigi.

    b. Untuk mengetahui efektifitas ekstrak minyak atsiri bawang merah Allium

    cepa L. terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans penyebab karies

    pada gigi.

    I.3 Manfaat Penelitian

    Manfaat penelitian ini yaitu sebagai bahan informasi bahwa bawang merah

    Allium cepa L. bukan hanya bermanfaat sebagai bumbu masakan akan tetapi juga

    dapat dijadikan sebagai bahan obat herbal salah satunya untuk mencegah penyakit

    yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus mutans khususnya penyakit karies

    gigi.

    I.4 Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November 2012– Februari

    2013. Pengambilan sampel umbi lapis bawang merah Allium cepa L. di Desa

    Sudu, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Analisis

    kandungan minyak atsiri umbi lapis bawang merah Allium cepa L dilakukan di

    Balai Besar Laboratorium Kesahatan Makassar. Pengujian terhadap bakteri

    Streptococcus mutans di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran,

    Universitas Hasanuddin, Makassar.

    4

  • xx

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    II.1 Tinjauan Umum Bawang Merah Allium cepa L.

    II.1.1 Deskripsi Bawang Merah Allium cepa L.

    Bawang merah Allium cepa L. merupakan tanaman tergolong dalam genus

    Allium yang meliputi sekitar 450 jenis, yang tersebar luas hampir seluruh dunia

    diantaranya China, India Dan Amerika Serikat (Hannan, 2010). Pendapat lain dari

    Wiboho (2009) ada 250 jenis bawang yang sangat populer di indonesia salah

    satunya bawang merah, bahkan telah tumbuh menjadi usaha agribisnis yang

    menawan.

    Bawang merah termasuk tanaman herba semusim, tidak berbatang. Daun

    tunggal memeluk umbi lapis. Umbi lapis menebal dan berdaging, warna merah

    keputihan (Gambar 2). Perbungaan berbentuk bongkol, mahkota bunga berbentuk

    bulat telur. Buah batu bulat, berwarna hijau. Biji segi tigawarna hitam. Bagian

    yang digunakan umbi lapis. Menurut Wiboho (2007) bawang merah merupakan

    terna rendah yang tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 15-50 cm,

    membentuk rumpun dan termasuk terna semusim. Perakarannya berupa akar

    serabut yang tidak panjang dan tidak terlalu dalam tertanam dalam tanah. seperti

    jenis bawang yang lain, tanaman ini termasuk tanaman yang tidak tahan

    kekeringan.

    5

  • xxi

    Gambar 1. Tanaman Bawang merah Allium cepa L.

    Gambar 2. Umbi Bawang Merah Allium cepa L. asal Enrekang

    Bawang merah memang berbeda dengan bawang putih. Daunnya hanya

    mempunyai satu permukaan, berbentuk bulat kecil memanjang, dan berlubang

    6

  • xxii

    seperti pipa (Gambar 1). Bagian ujung daun meruncing dan bagian bawahnya

    melebar seperti kelopak dan membengkak. Ada juga daun yang setengah

    lingkarang pada penampang melintang daunya. Warnanya hijau muda. Kelopak-

    kelopak daun sebelah luar selalu melingkar dan menutup daun yang ada

    didalamnya. Demikian seterusnya, sehingga jika dipotong melintang di bagian

    tersebut akan terlihat lapisan-lapisan berbentuk cincin (Wiboho, 2007).

    Beberapa helai kelopak daun terluar (2-3 helai) tipis dan mengaring tetapi

    cukup liat. Kelopak yang menipis dan kering ini membungkus lapisan kelopak

    daun yang ada di dalamnya (yang saling membungkus) yang membengkak

    sehingga akan terlihat menggembung membentuk umbi lapis. Bagian ini berisi

    cadangan makanan untuk persediaan makanan bagi tunas yang akan menjadi

    tanaman baru, sejak mulai bertunas sampai keluar akarnya. Sedangkan bagian atas

    membengkak (umbi) dan saling membungkus sehingga membentuk batang semu

    (Wiboho, 2007).

    Gambar 3. Bawang merah dengan daun yang sudah dikeringkan

    7

  • xxiii

    Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna berbentuk tandan yang

    tiap bunga terdapat benang sari dan putik. Bakal buah duduk di atas seperti kubah

    membentuk segitiga. Dengan sifat tersebut, dapat dilakukan penyerbukan untuk

    mendapatkan varietas yang lebih baik. Dalam tandannya itu berasal dari satu

    tanaman atau tanaman yang berbeda dan tidak semua bawang merah di indonesia

    berbunga walaupun ada bunga tersebut sulit menghasilkan biji (Wiboho, 2007).

    Gambar 4. Umbi lapis Bawang merah Allium cepa L. dengan perbandingan

    dengan benda lain

    8

  • xxiv

    II.1.2 Nama-nama Daerah Bawang Merah Allium cepa L.

    Di indonesia bawang merah mempunyai nama yang khas untuk tiap daerah

    diantaranya.

    Tabel 1. Nama-nama daerah Bawang Merah Allium cepa L (Wiboho, 2007).

    No. Asal Nama Daerah Bawang Merah

    1 Sumatera Bawang abang mirah (Aceh), bawang megaren (Alas), pia

    (Batak), barambang sirah, bawang sirah, dasun merah

    (Minang), Bawang suluh (Lampung), Bawang abang

    (Palembang, Melayu),

    2 Jawa Bawang beureum (Sunda), Bawang abang, Brambang

    abang (Jawa), Bhabang mera (Madura)

    3 Nusa Tenggara Jasun bang, Jasun mirah (BaIi), Laisona piras (Roti),

    Kalpeo meh (Timor).

    4 Sulawesi Lasuna mahamu, Ransuna mahendong, Jantuna mopura,

    Dansuna rundang, Lasuna randang, Lansuna mea, Lansuna

    Raindang (Sulawesi Utara), Bawangi (Gorontalo), Lasuna

    eja (Makassar), Lasuna cela (Bugis), Lasuna mamea

    (Mandar).

    5 Maluku Bowang wulwul (Kai), Kosai mina (Buru), Bawa rohiha

    (Ternate), Bawa kohori (Tidar), Bawang nawuli (Tanibar),

    Bawa, Bawang (Halmahera)

    6 Nama Asing Allium cepa var. ascalonicum, Allium ascalonicum (Nama

    Ilmiah), shallot (Inggris), Syalot (Belanda), Eschlauch

    (Jerman), Echalote (Perancis), Tamanagi (Jepang).

    9

  • xxv

    II.1.3 Klasifikasi Bawang Merah Allium cepa L.

    Menurut Tjitrosoepomo (2000), sistematika bawang merah Allium cepa L.

    yaitu:

    Regnum : Plantae

    DIvisio : Spermatophyta

    Sub divisio : Angiospermae

    Classis : Monocotyledonae

    Sub Classis : Sympetalae

    Ordo : Liliales/Liliflorae

    Familia : Amaryllidaceae/Liliaceae

    Genus : Allium

    Species : Allium cepa L.

    II.1.4 Habitus

    Bawang merah di tanam pada elevasi 1000 - 1800 m dari permukaan laut

    (dpl). Tetapi ada pula budidaya di dataran rendah (5 - 100 m dpl.) Bawang merah

    termasuk jenis tanaman yang tidak menyukai air hujan, tidak suka tempat-tempat

    yang airnya menggenang dan becek, tetapi pada pertumbuhannya, tumbuhan ini

    membutuhkan banyak air, terutama pada masa pembentukan umbi dan perlu

    lingkungan yang beriklim kering, suhu yang hangat. Karenanya tanaman ini

    paling cocok ditanam di musim kemarau dengan sistem pengairan yang memadai

    (Asgar dan Yusdar, 1995).

    10

  • xxvi

    II.1.5 Kandungan Kimia dan Khasiat Bawang Merah Allium cepa L.

    Umbi bawang merah sebagian besar terdiri atas air yang jumlahnya dapat

    mencapai 80-05%. untuk setiap 100 gram umbi, kandungan protein sekitar 1,5%,

    lemak 0,3 % dan karbohidrat 9,2 %. Komponen gizi lainnya diantara β-karoten

    (50 IU), thiamin (30 mg), riboflavin (0,04 mg), niasin (20 mg) dan asam askorbat

    (9 mg). Dari bahan yang sama didapati sekitar 334 mg mineral kalium dengan

    sekitar 30 kalori tenaga (Wiboho, 2007).

    Umbi bawang merah mengandung senyawa turunan asam amino yang

    mengandung sulfur yaitu sikloalliin 2%, propilalliin dan propenilalliin. Bila sel-

    sel umbi pecah senyawa tersebut akan berubah menjadi bentuk ester ( ester asam

    tiosulfinat), sulfinil disulfida (Kepaen), disulfida dan polisulfida, begitu juga

    tiofen. Di samping itu terbentuk pula propantial-S-oksida (suatu senyawa yang

    dapat menyebabkan keluarnya air mata), juga ditemukan pula adenosine dan

    prostaglandin (Asgar dan Yusdar, 1995).

    Kandungan zat besinya sekitar 0,8 mg dan fosfor 40 mg. Selain itu, dalam

    umbi bawang merah terdapat senyawa allicin yang dapat membuat vitamin B1

    menjadi lebih efisien dimanfaatkan tubuh. Senyawa-senyawa lain yang dipercaya

    yang bersifat bakterisida dan fungisida terhadap bakteri dan cendawan tertentu

    diduga didalam terdapat minyak atsirinya (Wiboho, 2007).

    Sejak 5000 tahun yang lalu, bawang merah sudah dikenal dan digunakan

    oleh masyarakat mesir kuno. Bawang merah tidak hanya dikenal sebagai bumbu

    penyadap masakan, tetapi juga untuk pengobatan.Bawang merah dapat digunakan

    untuk obat penyakit kencing manis (Diabetes mellitus). Beberapa ahli dokter

    11

  • xxvii

    penyakit dalam di RS Dr. Sutomo Surabaya, menemukan bahwa bawang merah,

    mampu menekan penyakit mencing manis (Wiboho, 2007).

    Bawang ini, menurut penelitiannya, mampu menurunkan kadar gula dan

    kolestrol tubuh. pengaruh yang lain diantaranya dapat menghambat penumpukan

    trombosit, meningkatkan aktivitas vibrinolitik sehingga dapat memperlancar

    aliran darah. Bawang juga mampu memobilisasi kolestrol dari tempat

    penimbunannya (Wiboho, 2007). Bawang merah juga mengandung flavonoid

    quercetin menunjukkan bahwa quercetin dapat mengobati katarak, penyakit

    cardiovasculer, dan kanker. Bawang merah mengandung thiosulphinate, yang

    efektif membunuh banyak bakteri diantaranya Salmonella typhi, Pseudomonas

    aeriginosa, dan Escherichia coli. Oleh karena itu, bawang merah digunakan untuk

    mengobati luka seperti infeksi/peradangan kulit dan gangguan pada perut,

    menormalkan tekanan darah, mencegah diare. Untuk pengobatan berbagai

    penyakit tersebut dengan menggunakan bawang merah dapat diberikan dalam

    bentuk utuh, mentah dan dapat dimasak. dapat juga dibuat sari bawang, dibuat

    bentuk ekstrak kasar yang kering berupa bubuk atau dalam bentuk atsirinya

    (Kumar et al, 2010).

    II.2 Tinjauan Umum Karies Gigi

    II.2.1 Definisi Karies Gigi

    Gigi adalah organ yang vital yang terdiri atas bagian mahkota dan akar,

    bagian mahkota terlihat di dalam mulut sedangkan akar terbenam dalam tulang

    rahang dan gusi (Julianti et al, 2008), dapat di lihat pada gambar berikut.

    12

  • xxviii

    Gambar 5. Anatomi Gigi (Julianti, 2008).

    Karies gigi merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai di rongga

    mulut sehingga merupakan masalah utama kesehatan gigi dan mulut. Penyakit ini

    terjadi karena demineralisasi jaringan permukaan gigi oleh asam yang berasal dari

    makanan yang mengandung gula (Tampubolon, 2005). Menurut (E.A.M. Kidd et

    al, 2002) Karies adalah penyakit pada jaringan keras gigi yang disebabkan oleh

    kerja mikroorganisme pada karbohidrat yang dapat diragikan. Karies ditandai oleh

    adanya demineralisasi mineral-mineral email dan dentin, diikuti oleh kerusakan

    bahan-baham organiknya. Ketika semakin mendekati atau mematikan pulpa dan

    terjadi invasi bakteri serta penyebaran infeksi ke jaringan periapeks, sehingga

    karies menimbulkan perubahan-perubahan bentuk dentin reaksioner dan

    menyebabkan nyeri (Kidd dan Bechal, 2002).

    13

  • xxix

    II.2.2 Etiologi Karies

    Ada yang membedakan faktor etiologi atau penyebab karies atas faktor

    penyebab primer yang langsung mempengaruhi biofilm (lapisan tipis normal pada

    permukaan gigi yang berasal dari saliva) dan faktor modifikasi yang tidak

    langsung mempengaruhi biofilm. Karies terjadi bukan disebabkan karena satu

    kejadian saja seperti penyakit menular lainnya tetapi disebabkan serangkaian

    proses yang terjadi selama beberapa kurun waktu (Julianti et. al, 2008).

    Berdasarkan gambar berikut.

    Gambar 6. Skema yang menunjukkan karies sebagai penyakit multifaktorial

    yang disebabkan 4 komponen (Julianti et al, 2008).

    Keempat faktor tersebut bekerja sama sehingga mengakibatkan karies gigi.

    Beberapa macam bakteri plak mempunyai kemampuan untuk melakukan

    14

  • xxx

    fermentasi substrak karbohidrat dalam makanan yang sesuai (misalnya gluukosan

    dan sukrosa) sehingga membentuk asam dan mengakibatkan turunnya pH sampai

    di bawah 5 atau 4,5 dalam tempo 1-3 menit. Perubahan pH plak dalalm beberapa

    waktu mengakibatkan demineralisasi pada permukaan gigi yang rentan, dan

    proses karies pun dimulai (E.A.M. Kidd et al, 2002).

    Faktor penyebab karies yaitu dari segi morfologi gigi (ukuran dan bentuk

    gigi), struktur enamel, faktor kimia dan kristalografis. Pit dan fisur pada gigi

    posterior sangat rentan terhadap karies karena sisa-sisa makanan mudah

    menumpuk di daerah tersebut terutama pit dan fisur yang dalam. Selain itu,

    permukaan gigi yang kasar juga dapat menyebabkan plak mudah melekat dan

    membantu perkembangan karies gigi (Tampubolon, 2005).

    Faktor terjadinya karies menurut (Tarigan, 1990) yaitu:

    1. Faktor-faktor perusak secara aktif terdiri dari:

    a. Demineralisasi yang berasal dari makanan, saliva, bakteri, dan bahan gigi.

    b. Proteolisis dapat disebabkan oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri

    Streoptococcus.

    2. Faktor perusak bersifat predisposisi terdiri dari:

    a. Lokal yang meliputi makanan dan plak

    b. Umum meliputi:

    1) Umur, semakin bertambah umur seseorang maka presentase karies

    semakin berkurang.

    2) Gizi, merupakan salah satu faktor yang penting dalam etiologi karies.

    15

  • xxxi

    3) Geografis, dimana tergantung dari air minum yang mengandung flour,

    bila minum air air yang mengandung flour 1 ppm maka gigi

    mempunyai daya penolak terhadap karies tetapi jika mengkomsumsi

    lebih dari 1 ppm maka akan menyebabkan kerusakan email berupa

    bintik-bintik hitam.

    4) Hormonal, jika terjadi ketidak seimbangan hormon yang

    mengakibatkan terjadinya peradangan gusi sehingga memudahkan

    perlekatan dari plak, dan memperbesar terjadinya karies.

    5) Keturunan, jika orang tua dengan frekuensi karies yang tinggi,

    kemungkinan besar akan menurun pada anaknya.

    6) Kebersihan, dimana kebersihan yang buruk akan mengakibatkan

    presentase karies lebih tinggi.

    II.2.3 Penggolongan Karies

    Menurut Kidd dan Bechal (2002) dalam bukunya, karies dapat

    diklasifikasikan berdasarkan daerah anatomis tempat karies itu timbul yaitu:

    a. Karies akar yaitu lesi permukaan halus dimulai pada email atau sementum

    dan dentin akar yang terbuka.

    b. Karies rekuren atau karies sekunder yaitu karies yang biasa timbul pada

    lapisan restorasi.

    Karies juga bisa digolongkan menurut keparahan dan kecepatan

    serangannya dan akan meliputi gigi-geligi dan permukaan gigi yang berlainan

    tergantung keparahannya (E.A.M. Kidd et al, 2002).

    16

  • xxxii

    a. Karies rampan

    Karies rampan adalah kerusakan terjadi sangat cepat pada beberapa gigi yang

    sering melibatkan permukaan gigi yang biasanya relatif bebas karies. Karies

    rampan umumnya terjadi gigi sulung pada anak balita anak, biasanya

    disebabkan kebiasaan mengisap botol susu (Gambar. 7). Namun, karies juga

    dapat terjadi pada gigi permanen pada anak belasan tahun karena sering

    mengkomsumsi makanan dan minuman yang manis.

    Gambar 7. Karies rampan (Alhusna, 2009).

    b. Karies terhenti

    Karies terhenti (arrested caries) adalah suatu keadaan yang kontras sekali

    dengan karies rampan. Karies terhenti menggambarkan suatu lesi karies yang

    tidak berkembang pada (Gambar. 8).

    17

    http://www.edinburghdentist.co.rampant.pdf/

  • xxxiii

    Gambar 8. Karies terhenti (Alhusna, 2009).

    c. Karies residif yaitu karies yang berlanjut terus di bawah tambalan yang

    disebabkan kurang sterilnya proses penambalan ataupun pembuangan

    jaringan tidak sempurna (Tarigan, 1990).

    d. Karies sirkuler yaitu karies yang sering terdapat pada daerah sekitar lingkaran

    leher gigi (Tarigan, 1990).

    Karies berdasarkan kedalamannya (Julianti et al, 2008) berdasarkan pada

    (Gambar. 9) yaitu:

    a. Karies Superfisial yaitu karies yang hanya mengenai email gigi.

    b. Karies Media yaitu karies yang mengenai email dan telah mencapai setengah

    dentin

    c. Karies Profunda yaitu karies yang mengenai lebih dari setengah dentin dan

    bahkan menembus pulpa.

    18

    http://www.edinburghdentist.co.rampant.pdf/

  • xxxiv

    Gambar 9. Karies berdasarkan kedalamannya (Julianti et al, 2008).

    II.3 Tinjauan Umum Bakteri Streptococcus mutans

    II.3.1 Ciri-ciri Morfologi Bakteri Streptococcus mutans

    Streptococcus mutans termasuk kelompok Streptococcus yang

    merupakan anggota floral normal rongga mulut yang memiliki sifat α-hemolitik

    dan komensal oportunistik (Balakrishnan et al, 2000). Streptococcus mutans

    merupakan bakteri gram positf (+), bersifat non motil (tidak bergerak),

    berdiameter 1-2 µm, bakteri anaerob fakultatif. Memiliki bentuk bulat atau bulat

    telur, tersusun seperti rantai dan tidak membentuk spora seperti ditunjukkan pada

    gambar (Gambar 9 dan 10). Bakteri ini tumbuh secara optimal pada suhu

    sekitar 180C –40

    0C. Streptococcus mutans biasanya ditemukan pada rongga gigi

    manusia yang luka dan menjadi bakteri yang paling kondusif menyebabkan karies

    untuk email gigi (Nugraha, 2008).

    Menurut Forssten et al (2010) Streptococcus mutans adalah bersifat

    asidogenik yaitu menghasilkan asam asidurik, mampu tinggal pada

    lingkungan asam, dan menghasilkan suatu polisakarida yang lengket yang

    19

  • xxxv

    disebut dengan dextran. Oleh karena kemampuan ini, bakteri tersebut bisa

    menyebabkan lengket dan mendukung bakteri lain menuju ke email gigi, dan

    membentuk asam sehingga melarutkan email gigi (Nugraha, 2008).

    Gambar 10. Morfologi Streptococcus mutans pada mikroskop elektron (Nugraha, 2008)

    Gambar 11. Streptococcus mutans terlihat pada mikroskop elektron scaning dengan

    perbesaran 10 µl (Nugraha, 2008)

    Karakteristik pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans energi secara

    prinsip didapat dari pemanfaatan gula. Pertumbuhan cenderung lambat pada

    media padat atau pada media cair kecuali diperkaya dengan cairan darah atau

    cairan jaringan. Kebutuhan akan makanan sangat beragam diantara jenis-jenis

    berbeda (Brooks et al, 2005).

    20

  • xxxvi

    Streptococcus mutans yang tumbuh pada agar Mitis Salivarius

    memperlihatkan bentuk koloni halus berdiameter 0,5 - 1,5 mm, cembung,

    berwarna biru tua dan pada pinggiran koloni kasar serta berair membentuk

    genangan di sekitarnya. Seperti bakteri streptococcus lainnya, bakteri ini juga

    bersifat gram positif, selnya berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter 1 mm

    dan tersusun dalam bentuk rantai. (Michalek dan Mc Ghee, 1982).

    Streptococcus mutans menghasilkan dua enzim, yaitu glikosiltransferase

    dan fruktosiltransferase. Enzim-enzim ini bersifat spesifik untuk subtsrat sukrosa

    yang digunakan untuk sintesa glukan dan fruktan. Pada metabolisme karbohidrat,

    enzim glikosiltransferase menggunakan sukrosa untuk mensintesa molekul

    glukosa dengan berat molekul tinggi yang terdiri dari ikatan glukosa alfa (1-6) dan

    alfa (1-3) (Michalek dan Mc Ghee, 1982).

    II.3.2 Klasifikasi Streptococcus mutans

    Sistematika dari bakteri Streptococcus mutans menurut (Brooks et al,

    2005) yaitu:

    Kingdom : Monera

    Divisio : Firmicutes

    Class : Bacilli

    Ordo : Lactobacilalles

    Family : Streptococcaceae

    Genus : Streptococcus

    Species : Streptococcus mutans

    21

  • xxxvii

    II.4 Ekstraksi

    II.4.1 Definisi Ekstraksi

    Ekstraksi adalah proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu

    campuran homogen dengan menggunakan pelarut cair (solven) sebagai separating

    agent. Ekstraksi merupakan jenis pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu

    padatan atau cairan. Proses Ekstraksi bermula dari penggumpalan ekstrak dengan

    pelarut kemudian terjadi kontak antara bahan dan pelarut sehingga terjadi

    pengendapan massa dengan cara difusi (Underwood dan Day, 1990).

    II.4.2 Tujuan Ekstraksi

    Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang

    terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa

    komponen zat padat kedalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada

    lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk kedalam pelarut (Handa et al,

    2008).

    II.4.3 Destilasi

    Destilasi adalah suatu proses pemurnian yang didahului dengan penguapan

    senyawa cair dengan cara memanaskannya, kemudian mengembunkan uap yang

    terbentuk. Prinsip dasar dari destilasi adalah perbedaan titik didih dari zat-zat cair

    dalam campuran zat cair tersebut sehingga zat (senyawa) yang memiliki titik didih

    terendah akan menguap lebih dahulu, kemudian apabila didinginkan akan

    mengembun dan menetes sebagai zat murni (destilat). Macam- macam destilasi

    antara lain sebagai berikut (Handa et. al, 2008):

    22

  • xxxviii

    a. Destilasi sederhana

    Destilasi sederhana adalah salah satu cara pemurnian zat cair yang

    tercemar oleh zat padat atau zat cair lain dengan perbedaan titik didih cukup

    besar, sehingga zat pencemar/pengotor akan tertinggal sebagai residu. Destilasi

    ini digunakan untuk memisahkan campuran cair-cair. misalnya air-alkohol, air-

    aseton dll (Gambar. 11).

    Gambar 12. Destilasi sederhana yang sedang beroperasi

    (http://hidupituindah.blogger.co)

    b. Destilasi bertingkat/fraksinasi

    Destilasi bertingkat adalah proses pemisahan destilasi ke dalam bagian-

    bagian dengan titik didih makin lama makin tinggi yang selanjutnya pemisahan

    bagian-bagian ini dimaksudkan untuk destilasi ulang. Destilasi bertingkat

    merupakan proses pemurnian zat/senyawa cair dimana zat pencampurnya berupa

    senyawa cair yang titik didihnya rendah dan tidak berbeda jauh dengan titik didih

    senyawa yang akan dimurnikan. Dengan perkataan lain, destilasi ini bertujuan

    23

    http://picasaweb.google.com/riiand32/HidUpItUInDah?authkey=Gv1sRgCKHJws223ZmFGg

  • xxxix

    untuk memisahkan senyawa-senyawa dari suatu campuran yang komponen-

    komponennya memiliki perbedaan titik didih relatif kecil.

    Destilasi ini digunakan untuk memisahkan campuran aseton-metanol,

    karbon tetra klorida-toluen, dll. Pada proses destilasi bertingkat digunakan kolom

    fraksinasi yang dipasang pada labu destilasi (Gambar: 12). Tujuan dari

    penggunaan kolom ini adalah untuk memisahkan uap campuran senyawa cair

    yang titik didihnya hampir sama/tidak begitu berbeda. Sebab dengan adanya

    penghalang dalam kolom fraksinasi menyebabkan uap yang titik didihnya akan

    sama-sama menguap atau senyawa yang titik didihnya rendah akan naik terus

    hingga akhirnya mengembun dan turun sebagai destilat, sedangkan senyawa yang

    titik didihnya lebih tinggi, jika belum mencapai harga titik didihnya maka

    senyawa tersebut akan menetes kembali ke dalam labu destilasi, yang akhirnya

    jika pemanasan dilanjutkan terus akan mencapai harga titik didihnya. Senyawa

    tersebut akan menguap, mengembun dan turun/menetes sebagai destilat.

    Gambar 13. Destilasi bertingkat/fraksinasi (http://hidupituindah.blogger.co)

    24

    http://picasaweb.google.com/riiand32/HidUpItUInDah?authkey=Gv1sRgCKHJws223ZmFGg

  • xl

    c. Destilasi uap

    Untuk memurnikan zat/senyawa cair yang tidak larut dalam air, dan titik

    didihnya cukup tinggi, sedangkan sebelum zat cair tersebut mencapai titik

    didihnya, zat cair sudah terurai, teroksidasi atau mengalami reaksi pengubahan

    (rearranagement), maka zat cair tersebut tidak dapat dimurnikan secara destilasi

    sederhana atau destilasi bertingkat, melainkan harus didestilasi dengan destilasi

    uap.

    Destilasi uap adalah istilah yang secara umum digunakan untuk destilasi

    campuran air dengan senyawa yang tidak larut dalam air, dengan cara

    mengalirkan uap air ke dalam campuran sehingga bagian yang dapat menguap

    berubah menjadi uap pada temperatur yang lebih rendah dari pada dengan

    pemanasan langsung. Untuk destilasi uap, labu yang berisi senyawa yang akan

    dimurnikan dihubungkan dengan labu pembangkit uap (lihat gambar 13. alat

    destilasi uap).

    Uap air yang dialirkan ke dalam labu yang berisi senyawa yang akan

    dimurnikan, dimaksudkan untuk menurunkan titik didih senyawa tersebut, karena

    titik didih suatu campuran lebih rendah dari pada titik didih komponen-

    komponennya.

    25

  • xli

    Gambar 14. Rangkaian alat destilasi uap (http://hidupituindah.blogger.co)

    II.5 Tinjauan Umum Antimikroba

    II.5.1 Sifat Antimikroba

    Antimikroba secara umum digunakan dalam pengobatan medis infeksi

    bakteri. Antimikroba adalah bahan-bahan atau obat-obat yang digunakan untuk

    memberantas infeksi mikroba pada manusia dan merupakan produk metabolit

    sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme, yang dalam konsentrasi yang

    rendah memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh

    mikroorganisme lain (Volk dan Wheeler, 1989; Dorland, 2002)

    Antimikroba dapat bersifat (Djide dan Sartini, 2008):

    1. Bakteriostatis, yaitu zat atau bahan yang dapat menghambat atau

    menghentikan pertumbuhan mikroorganisme (bakteri). Fungistatika, yaitu zat

    atau bahan yang dapat menghentikan pertumbuan fungi dan sitostatika

    terhadap kanker.

    26

    http://hidupituindah.blogger.co/http://picasaweb.google.com/riiand32/HidUpItUInDah?authkey=Gv1sRgCKHJws223ZmFGg

  • xlii

    2. Bakteriosida zat atau bahan yanng dapat membunuh mikroorganisme

    (bakteri). Dalam hal ini jumlah mikroorganisme (bakteri) akan berkurang

    bahkan habis, tidak dapat lagi melakukan multiplikasi atau berkembang biak.

    Antimikroba yang bersifat bakteriostatik tidak boleh digabung dengan

    antimikroba bakteriosida.

    Antimikroba yang ideal menujukkan tosisitas selektif, seringkali toksisitas

    bersifat relatif atau tidak mutlak hal ini menyatakan bahwa konsetrasi obat-obatan

    yang toleran terhadap inang yang dapat merusak mikroorganisme penyebab

    infeksi. Toksisitas selektif merupakan fungsi reseptor spesifik yang dibutuhkan

    untuk melekatkan obat-obatan, atau karena hambatan biokimia yang dapat terjadi

    bagi organisme namun tidak untuk inang (Brooks et al, 2005).

    II.5.2 Mekanisme Antimikroba

    Mekanisme antimikroba dapat terjadi diantaranya (Brooks, et al, 2005;

    Pelczar dan Chan, 2006):

    1. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba

    Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda

    dengan mamalia yang mendapatkan asam folat dari lingkungan luar, bakteri

    patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari Asam Para Amino Benzoal

    (PABA) untuk kehidupan hidupnya. Zat yang dapat menghambat sintesis asam

    folat ini misalnya sulfanamid dan sulfon (Gambar: 14), senyawa-senyawa ini

    menggantikan PABA untuk disintesis menjadi asam folat yang hasilnya akan

    terbentuk adalah analog asam folat yang nonfungsional yang akhirnya akan

    mengakibatkan kehidupan mikroba terganggu.

    27

  • xliii

    Gambar 15. Mekanisme aktivitas antibakteri (Russell dan Chopra (1996)

    2. Menghambat sintesis dinding sel

    Dinding sel bakteria secara kimia terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu

    kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Senyawa antimikroba jenis ini

    menghambat reaksi awal dari pembentukan dinding sel mikroba karena tekanan

    osmotik dalam sel kuman lebih tinggi daripada di luar sel maka kerusakan dinding

    sel kuman akan menyebabkan terjadinya lisis yang merupakan dasar efek

    bakterisidal pada kuman yang peka. termasuk senyawa antimikroba jenis ini

    adalah penisilin, sefalosporin, vankomisin, dan ristoseti.

    3. Menghambat fungsi membran sel

    Sitoplasma sel hidup dibatasi oleh membran sel yang berperan sebagai

    barrier permeabilitas selektif, membawa transfor aktif dan mengontrol

    kompoposisi internal sel. Jika fungsi integritas membran dirusak, makromelekul

    dan ion akan keluar dari sel, kemudian sel rusak dan terjadi kematian. Contoh dari

    mekanisme adalah polimiksin pada bakteri gram negatif dan kerja polien pada

    28

    7

  • xliv

    fungi (Gambar: 15). Polien memerlukan ikatan pada sterol yang terdapat ada

    membran fungi.

    Gambar 16. Mekanisme kerja antimikroba menghambat fungsi

    membran sel (Pelczar, 1988)

    4. Menghambat sintesis protein

    Sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein untuk kelangsungan

    hidupnya. Sintesis protein berlangsung di ribosom dengan bantuan tRNA dan

    mRNA. Antimikroba berikatan dengan komponen ribosom, dan menyebabkan

    kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Sehingga,

    akan terbentuk protein yang abnormal, dan nonfungsional bagi sel mikroba

    (Gambar: 16). termasuk dalam kelompok ini adalah senyawa streptomisin,

    eritromisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.

    29

  • xlv

    Gambar 17. Aminoglycoside bekerja dengan berikatan pada ribosom 30S

    sehingga menghambat sintesis protein (menyebabkan salah baca-

    misreading) (http://sectiocadavires.wordpress.com)

    5. Menghambat sintesis asam nukleat

    Antibakteri menghambat pertumbuhan bakteri dengan ikatan yang sangat

    kuat pada enzim DNA Dependent RNA Polimerase bakteri sehingga menghambat

    sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut (Gambar: 17). Contoh senyawa

    diantaranya kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin dan aminoglosida.

    30

    http://sectiocadavires/http://sectiocadaveris.files.wordpress.com/2010/04/ribosome.jpg

  • xlvi

    Gambar 18. Kerja antimikroba (http://kitapelangi.blogspot.com)

    II.5.3 Uji Antimikroba

    Konsentrasi minimun penghambatan atau lebih dikenal dengan MIC

    (Minimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi terendah dari antibiotika

    atau antimikrobial yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Nilai

    MIC adalah spesifik untuk tiap-tiap kombinasi dari antibiotika dan mikroba.

    (Greenwood, 1995). MIC dari sebuah antibiotika terhadap mikroba digunakan

    untuk mengetahui sensitivitas dari mikroba terhadap antibiotika. Nilai MIC

    berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin rendah nilai MIC

    dari sebuah antibiotika, sensitivitas dari bakteriakan semakin besar. MIC dari

    31

    http://3.bp.blogspot.com/-1eDKGVWw0VY/T8HamF7npWI/AAAAAAAAAEk/jRYNbvHbC6w/s1600/Picture2.jpg

  • xlvii

    sebuah antibiotika terhadap spesies mikroba adalah rata-rata MIC terhadap

    seluruh strain dari spesies tersebut. Strain dari beberapa spesies mikroba adalah

    sangat berbeda dalam hal sensitivitasnya. (Greenwood, 1995).

    Metode uji antimikrobial yang sering digunakan adalah metode Difusi

    Lempeng Agar. Uji ini dilakukan pada permukaan medium padat. Mikroba

    ditumbuhkan pada permukaan medium dan kertas saring yang berbentuk cakram

    yang telah mengandung mikroba. Setelah inkubasi diameter zona penghambatan

    diukur. Diameter zona pengambatan merupakan pengukuran MIC secara tidak

    langsung dari antibiotika terhadap mikroba. Sensitivitas klinik dari mikroba

    kemudian ditentukan dari tabel klasifikasi menurut Ahn dkk (Greenwood, 1995).

    Tabel 2. Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan bakteri (Greenwood, 1995).

    Diameter Zona bening Respon hambatan pertumbuhan

    …> 20 mm Kuat

    16-20 mm Sedang

    10-15 mm Lemah

    …0 mm tidak ada

    Metode uji antibakterial dan antimikrobial yang lain adalah dengan teknik

    Tube Dillution Test. Fungsinya untuk mengetahui hasil MIC secara langsung.

    Metode yang lain adalah metode E-test, yang merupakan metode uji difusi agar

    yang dengan mudah dan cepat memperoleh hasil MIC. (Greenwood, 1995).

    Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ukuran zona penghambatan

    dan harus dikontrol adalah (Greenwood, 1995).:

    32

  • xlviii

    a. Konsentrasi mikroba pada permukaan medium. Semakin tinggi konsentrasi

    mikroba maka zona penghambatan akan semakin kecil.

    b. Kedalaman medium pada cawan petri. Semakin tebal medium pada cawan

    petri maka zona penghambatan akan semakin kecil.

    c. Nilai pH dari medium. Beberapa antibiotika bekerja dengan baik pada kondisi

    asam dan beberapa basa kondisi alkali/basa.

    d. Kondisi aerob/anaerob. Beberapa antibakterial kerja terbaiknya pada kondisi

    aerob dan yang lainnya pada kondisi aerob.

    Pengujian aktivitas antimikroba secara invitro dilakukan untuk

    menentukan potensi agen antimikroba dalam larutan, konsentrasinya dalam tubuh

    atau jaringan dan kepekaan mikroorganisme terhadap obat yang diketahui. Secara

    umum pengujian antimikroba secara in vitro dapat dilakukan dengan cara metode

    difusi. Metode ini dilakukan dengan menentukan kemampuan antimikroba

    berdasarkan hambatan yang terjadi. Metode ini terdiri atas beberapa macam yaitu

    (Brooks et al, 2005).:

    a. Metode difusi dengan silinder pipih

    Cara ini digunakan plat silinder yang diletakkan pada media kemudian

    larutan contoh dimasukkan ke dalamnya. Silinder yang digunakan adalah besi

    tahan karat atau porselin dengan toleransi ukuran masing-masing lebih kurang

    0,1 mm, diameter luar 8 mm, diameter dalam 6 mm, dan tinggi 10 mm.

    33

  • xlix

    b. Metode difusi mangkuk pipih

    Prinsip kerjanya sama dengan plat silinder. Perbedaannya di sini adalah

    menggunakan alat berupa cup plate, yaitu lubang atau semacam mangkok yang

    diletakkan langsung pada medium.

    c. Metode difusi dengan kertas saring/Kirby-Bauer

    Uji ini diperkenalkan oleh William Kirby dan Alfred Bauer tahun 1966.

    Cara ini menggunakan kertas saring dengan garis tengah 0,7-1 cm, yang nantinya

    dicelupkan ke dalam larutan pembanding (Gambar: 18). Penghambatan

    pertumbuhan mikroba terlihat sebagai wilayah jernih di sekitar pertumbuan

    mikroba.

    Gambar 19. Metode uji antibakteri dengan Disk Difusion agar

    (Brooks et al, 2005).

    34

  • l

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    III.1. Alat

    Alat-alat yang digunakan pada peneitian ini adalah cawan petri, botol

    pengenceran, tabung reaksi, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur 50 ml, neraca

    analitik, inkubator, neraca ohaus, oven, autoklaf, jangka sorong, pisau, blender,

    ose bulat, lemari pendingin, laminary air flow, bunsen, pinset, rak tabung, corong

    pisah, corong Buchner, spoit, rotavapor, kuvet, spoit, mikropipet, pencadang,

    batang pengaduk, sendok tanduk dan spektrofotometer, dan alat destilasi.

    III.2 Bahan

    Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi lapis

    bawang merah Allium cepa L, biakan murni bakteri Streptococcus mutans,

    minyak atsiri umbi lapis bawang merah Allium cepa L., medium Nutrient Agar

    (NA) sintetik, medium Brain Heart Infusion Broth (BHIB) sintetik, medium

    Glucose Nutrient Agar (GNA) sintetik, povidone iodine obat kumur cair,

    kloroform, DMSO (Dimetil sulfoksida), alkohol 70%, NaCl fisiologis 0,9%,

    aquades, kertas label, kapas, dan aluminium foil, spiritus dan tissue.

    35

  • li

    III.3 Metode kerja

    III.3.1 Pengambilan dan Pengolahan Sampel

    III.3.1.1 Pengambilan Sampel

    Pengambilan sampel umbi lapis bawang merah Allium cepa L. yang masih

    segar diperoleh di Desa Sudu, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang, Provinsi

    Sulawesi Selatan yang merupakan sebagian besar hasil panen para petani

    setempat.

    III.3.1.2 Pengolahan Sampel

    Sampel umbi lapis bawang merah Allium cepa L. yang telah diperoleh

    dikupas, dan dicuci bersih. Umbi lapis yang telah dibersihkan kemudian

    ditimbang sebanyak 800 g dan kemudian ditambahkan aquades 400 ml lalu di

    blender.

    III.3.2 Destilasi Umbi Lapis Bawang Merah Allium cepa L.

    Umbi lapis bawang merah Allium cepa L. telah diolah dimasukkan

    kedalam labu gelas kemudian dilakukan proses destilasi uap untuk memperoleh

    cairan yang terdiri atas air dan minyak. Hasil destilat ditambahkan kloroform yang

    merupakan pelarut non polar sehingga terdapat dua lapisan pada cairan destilat

    yang bertujuan untuk. Selanjutnya lapisan kloroform dipisahkan menggunakan

    corong pisah, kemudian cairan tersebut dievaporasi dengan tujuan untuk

    menguapkan pelarut kloroform sehingga yang tertinggal hanya cairan minyak

    atsiri.

    36

  • lii

    III.3.3 Konsentrasi Ekstraksi

    Minyak atsiri yang diperoleh, ditambahkan NaCMC 0,5 % kemudian

    dibuatkan variasi konsentrasi yaitu konsentrasi 20%, 10%, 5%, dan 2,5% b/v

    dengan stok 5 ml. Konsentrasi 20% dibuat dengan memasukkan 1 ml minyak

    atsiri dalam tabung reaksi ditambahkan 4 ml DMSO. Selanjutnya konsentrasi 10

    % dibuat dengan menambahkan 0,5 minyak atsiri dengan 4,5 ml DMSO.

    Selanjutnya untuk kosentrasi 5 % dibuat dengan menambahkan 0,25 ml minyak

    atsiri dengan 4,75 ml DMSO dan konsentrasi 2,5 % dibuat dengan penambahan

    0,125 ml miyak atsiri dengan 4,875 ml DMSO, kemudian masing-masing tabung

    reaksi dihomogenkan.

    III.3.4 Sterilisasi Alat

    Semua alat yang akan digunakan disterilkan terlebih dahulu. Alat-alat

    gelas disterilkan dalam oven pada suhu 180 oC selama 2 jam. Alat-alat non gelas,

    medium dan alat-alat yang tidak tahan suhu tinggi disterilkan menggunakan

    autoklaf pada suhu 121 oC tekanan 2 atm selama 15 menit, sedangkan ose dan

    alat-alat logam disterilkan dengan cara pemanasan langsung pada nyala api spirtus

    hingga memijar.

    III.3.5 Pembuatan Medium Pertumbuhan Bakteri Uji

    III.3.5.1 Pembuatan Medium NA (Nutrient Agar)

    Medium yang digunakan adalah NA (Nutrien Agar) sintetik yang

    dilarutkan dalam 100 ml aquades.

    Cara membuatnya :

    37

  • liii

    Bahan ditimbang 2,3 gram NA sintetik, kemudian dimasukkan ke dalam

    erlenmeyer dan dilarutkan dengan aquades sebanyak 100 ml. Setelah larut,

    medium tersebut diukur pH-nya hingga 7, kemudian di sterilkan dalam autoklaf

    pada suhu 121 oC dengan tekanan 2 atm selama ± 15 menit.

    III.3.5.2 Pembuatan Medium Brain Heart Infusion Broth (BHIB)

    Medium yang digunakan adalah Brain Heart Infusion Broth (BHIB)

    sintetik yang dilarutkan dalam 100 ml aquades..

    Cara membuatnya :

    Bahan ditimbang 3,7 gram, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer

    dan dilarutkan dengan aquades. Setelah larut, medium tersebut diukur pH-nya

    hingga 7, kemudian di sterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan

    2 atm selama ± 15 menit.

    III.3.5.3 Pembuatan Medium GNA (Glucose Nutrient Agar)

    Medium yang digunakan adalah Glucose Nutrient Agar (GNA) sintetik

    yang dilarutkan dalam 100 ml aquades.

    Cara membuatnya :

    Bahan ditimbang 2,3 gram sama dengan NA kemudian ditambahkan

    Glukosa 1 gram, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dilarutkan

    dengan 100 ml aquades. Setelah larut, medium tersebut diukur pH-nya hingga 7,

    kemudian di sterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 2 atm

    selama ± 15 menit.

    38

  • liv

    III.3.6 Penyiapan Bakteri Uji

    III.3.6.1 Peremajaan Bakteri Uji

    Bakteri Streptococcus mutans yang berasal dari biakan murni yang

    diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas

    Hasanuddin, masing-masing diambil sebanyak satu ose lalu diinokulasikan

    dengan cara digores pada medium NA (Nutrien Agar) miring. Kultur bakteri dari

    masing-masing agar miring diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Setelah

    diinkubasi kemudian mengambil satu koloni pada medium NA miring dengan

    menggunakan ose, koloni bakteri tersebut di pindahkan pada medium NA cawan

    petri dan didapatkan koloni terpisah kemudian dinokulum pada medium Brain

    Heart Infusion Broth (BHIB) dan dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 37 oC

    selama 24 jam.

    III.3.6.2 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji

    Bakteri Streptococcus mutans yang telah diremajakan selama 24 jam,

    kemudian disuspensikan kedalam larutan NaCl fisiologis 0,9% steril, setelah itu

    dihomogenkan. Suspensi diukur dengan larutan Mc. Farland 0,5 yang setara

    dengan 1,5 x 108.

    III.3.7 Penyiapan Larutan Pembanding

    Larutan pembanding yang digunakan yaitu larutan kontrol positif dengan

    menggunakan Povidone Iodine betadin obat kumur cair sebanyak 0,25 ml.

    sedangkan larutan kontrol negatif dengan menggunakan 0,25 ml DMSO (Dimetil

    sulfoksida).

    39

  • lv

    III.3.8 Uji Konsentrasi Hambat Minimum

    Hasil pembuatan konsentrasi dilakukan uji KHM untuk mengetahui daya

    hambat minimum pada konsentrasi minyak atsiri. Medium Brain Heart Infusion

    Broth (BHIB) dimasukkan kedalam 8 tabung reaksi masing-masing 2 ml.

    Kemudian setiap tabung reaksi ditambahkan 0,02 ml. Selanjutnya masing-masing

    tabung reaksi tersebut ditambahkan minyak atsiri dengan konsentrasi 2,5%, 5%,

    10%, 20% dan larutan pembanding yaitu kontrol positif Povidone Iodine betadin

    obat kumur cair dan kontrol negatif DMSO (Dimetil sulfoksida) masing-masing 2

    ml, serta 1 tabung reaksi tanpa penambahan apapun sebagai konrtol tanpa

    perlakuan. Kemudian diinkubasi selama 24 jam untuk melihat kekeruhan pada

    tabung reaksi.

    Catatan: Konsentrasi minyak atsiri umbi lapis bawang merah yang dibuat adalah

    2,5%, 5%, 10%, dan 20%, ketika dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi

    medium Medium Brain Heart Infusion Broth (BHIB) dengna perbandingan 1:1

    maka konsentrasi pada uji KHM yaitu 1,25%, 2,5%, 5%, dan 10%.

    III.3.9 Uji Daya Hambat

    Pengujian daya hambat dilakukan secara in vitro dengan metode difusi

    agar yang menggunakan Cup-plate technique, yaitu membuat sumur pada medium

    dengan menggunakan pencadang dengan diameter dalam 6 mm, diameter luar 8

    mm, dan tinggi 10 mm. Pencadang diletakkan pada cawan petri diatur dengan

    jarak yang sama secara aseptik. Selanjutnya Medium Glucose Nutrient Agar

    (GNA) steril dituang pada cawan petri dan didinginkan pada suhu 40 oC – 45

    oC

    sebagai “based layer”. Setelah lapisan based layer memadat kemudian dituang

    lapisan “seed layer” atau sebagai lapisan pembenihan yaitu medium Glucose

    40

  • lvi

    Nutrient Agar (GNA) yang telah dihomogenkan dengan bakteri uji masing-

    masing sebanyak 1 ml ke dalam 10 ml. Setelah lapisan based layer dan seed layer

    memadat pencadang tersebut dilepas sehingga membentuk sumur pada medium

    Masing-masing lubang sumur pada medium diisi dengan 0,25 ml

    ekstrak minyak atsiri bawang merah pada kadar konsentrasi yang telah

    ditentukan. Demikian pula larutan sebagai kontrol positif povidone iodine obat

    kumur 10% dan DMSO sebagai kontrol negatif menggunakan mikropipet.

    Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.

    III.3.10 Pengukuran Diameter Daerah Hambatan

    Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter hambatan pertumbuhan

    yaitu daerah zona bening pada medium yang terjadi di sekeliling lubang sumur

    pada permukaan medium dengan menggunakan jangka sorong. Zona hambatan

    tersebut diukur untuk masing-masing konsentrasi ekstrak minyak atsiri umbil

    lapis bawang merah Allium cepa L. yaitu pada konsentrasi 2,5%, 5%, 10% dan

    20% b/v. Kemudian membaca skala utama dan skala nonius pada jangka sorong

    untuk menentukan besarnya diameter zona hambatan dalam satuan milimeter

    (mm). Pengukuran dilakukan pada inkubasi selama 24 jam dan 48 jam, untuk

    melihat kemampuan senyawa bioaktif ekstrak bawang merah Allium cepa L.

    tersebut dalam menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Hasil

    yang diperoleh dicatat untuk proses analisis data.

    41

  • lvii

    III.3.11 Analisis Data

    Hasil pengukuran daya hambat dilihat berdasarkan kepekaan bakteri

    terhadap ekstrak bawang merah Allium cepa L. dengan melihat Data yang

    diperoleh dari hasil pengukuran dianalisis dengan cara membandingkan diameter

    zona hambatan dari semua konsentrasi pada 24 jam dan 48 jam inkubasi ditabulasi

    dan dianalisis.

    42

  • lviii

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan tuntuk memperoleh senyawa

    antimikroba adalah umbi lapis Bawang merah Allium cepa L. Proses untuk

    mendapatkan minyak atsiri yaitu umbi lapis bawang merah didestilasi

    menggunakan alat destilasi uap kemudian hasil destilat ditambahkan pelarut

    kloroform sehingga cairan tersebut terjadi dua fase, selanjutnya cairan kloroform

    dipisahkan menggunakan corong pisah kemudian dievaporasi sehingga diperoleh

    minyak atsiri dari bawang merah. Penggunaan kloroform sebagai pelarut karena

    dapat melarutkan semua zat wangi secara cepat dan sempurna, mempunyai titik

    didih rendah jika diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi dan tidak tertinggal

    dalam minyak, bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen minyak

    dan bersifat non-polar (Elisabeth, 2004). Minyak atsiri umbi lapis bawang merah

    Allium cepa L diujikan langsung pada bakteri Streptococcus mutans dengan

    menggunakan metode difusi agar membentuk sumur.

    Bakteri Streptococcus mutans merupakan bakteri gram positif, sering

    ditemukan pada rongga mulut dan menjadi bakteri yang paling kondusif

    menyebabkan karies untuk email gigi (Nugraha, 2008).

    Dalam pengolahan umbi lapis bawang merah Allium cepa L yang

    digunakan dengan berat 825 gram dan menghasilkan minyak atsiri 2 ml sehingga

    rendemen yang diperoleh sebanyak 0,2 %.

    43

  • lix

    Penentuan konsentrasi daya hambat dilakukan setelah dilakukan pengujian

    Konsentrasi Hambatan Minimum (KHM). Pengujian konsentrasi dilakukan pada

    konsentrasi 1,25 %, 2,5 %, 5 %, dan 10% terhadap bakteri Streptococcus mutans.

    Pada konsentrasi 1,25% terlihat bahwa bakteri mulai tumbuh dengan indikator

    keruh pada tabung reaksi, dari hasil uji konsentrasi hambat minimum pada 1,25%

    menunjukkan bakteri uji tidak mengalami pertumbuhan dapat dilihat pada gambar

    dibawah ini:

    Gambar 20 . Hasil uji penentuan Konsentrasi Hambatan Minimal minyak atsiri

    umbi bawang merah Allium cepa L terhadap pertumbuhan bakteri

    Streptococcus mutans.

    Keterangan: A = Kontrol

    B = Kontrol positif (Betadin Povidone Iodine)

    C = Kontrol Negatif (Dimetil Sulfoksida)

    D = Konsentrasi Minyak Atsiri 1,25 %

    E = Konsentrasi Minyak Atsiri 2,5 %

    F = Konsentrasi Minyak Atsiri 5 %

    G = Konsentrasi Minyak Atsiri 10 %

    A B C D E F G

    44

  • lx

    Dari hasil uji KHM tersebut sama halnya pada penelitian Idrawati (2009)

    memperoleh bahwa ekstrak bawang merah pelarut air menghasilkan nilai KHM

    1,25% sedangkan ekstrak etanol dan minyak atsiri bawang merah memiliki rata-

    rata nilai KHM sebesar 5%.

    IV.1 Bioaktivitas Minyak Atsiri Bawang Merah Allium cepa L Terhadap

    Bakteri streptococcus mutans

    Aktivitas antimikroba dari minyak atsiri umbi lapis bawang merah Allium

    cepa L terhadap bakteri Streptococcus mutans menggunakan beberapa tingkatan

    konsentrasi diatas nilai uji Konsentrasi Hambatan Minimal (KHM) yaitu 2,5%, 5

    %, 10 % dan 20 %. Pada masing-masing konsentrasi menunjukkan adanya zona

    hambat pada sekitar daerah sumur yang ditetesi minyak atsiri. Untuk mengetahui

    sifat dari antimikroba pada minyak atsiri pengukuran zona hambat terhadap

    bakteri tersebut dilakukan setelah di inkubasi selama 24 jam dan 48 jam. Adapun

    hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

    45

  • lxi

    Tabel 3. Diameter zona hambat minyak atsiri umbi lapis bawang merah Allium cepa L

    pada bakteri Streptococcus mutans dengan masa inkubasi 24 jam hingga 48

    jam.

    Konsentrasi

    Ekstrak

    Diameter Zona Hambatan (mm)

    Pada Bakteri Uji

    Streptococcus mutans

    24 Jam 48 Jam

    2,5% 21,8

    21,5

    22,1

    20,6

    Rata-rata 21,65 21,35

    5% 22,1

    21,9

    22,1

    21,4

    Rata-rata 22 21,75

    10% 22,4

    22,3

    22,2

    22

    Rata-rata 22,35 22,1

    20% 22,8

    23,2

    22,4

    22,9

    Rata-rata 23 22,65

    Kontrol (+) 18,2

    17,8

    17,9

    17,8

    Rata-rata 18 17,85

    Kontrol (-) 8

    8

    8

    8

    Rata-rata 8 8

    Keterangan:

    Kontrol positif : Betadin Povidone Iodine

    Kontrol Negatif : Dimetil Sulfoksida

    Diameter pencadang : 8 mm

    Dari hasil pengukuran pada tabel 3, daerah zona hambat minyak atsiri

    umbi lapis bawang merah Allium cepa L terhadap bakteri Streptococcus mutans

    dengan masa inkubasi 24 jam hingga 48 jam terlihat jelas bahwa masing-masing

    kosentrasi tidak terjadi perbedaan yang berdasarkan urutan konsentrasi yang

    digunakan dan masing-masing konsentrasi memiliki tingkat antimikroba yang

    sangat tinggi dan, berikut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

    46

  • lxii

    Ulangan I

    A B

    Ulangan II

    A B

    Gambar 21. Hasil uji daya hambat minyak atsiri umbi lapis bawang merah Allium cepa L

    terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans setelah masa

    inkubasi (A) 1 x 24 jam dan ( B) 2x 24 jam.

    Keterangan:

    A. Konsentrasi 2,5% B. Konsentrasi 5% C. Konsentrasi 10% D. Konsentrasi 20% E. Kontrol (+) : Betadin Povidone Iodine F. Kontrol (-) : DMSO (Dimetil Sulfoksida)

    Diameter Pencadang : 8 mm

    47

  • lxiii

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing konsentrasi minyak

    atsiri bawang merah Allium cepa L yaitu 2,5 %, 5 %, 10 % dan 20 % mampu

    menghambat terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dengan adanya

    zona bening yang terbentuk disekitar sumur pada media. Pada gambar 21

    pengulangan I selama 1x24 jam dan 2x24 jam terjadi perubahan diameter yang

    sangat tipis.Pengulangan I dan pengulangan II selama inkubasi 24 jam dan 48 jam

    masing-masing konsentrasi terjadi perubahan yaitu pada konsentrasi 2,5 %

    mampu menghambat dengan diameter rata-rata 21,65 mm menjadi 21,35 mm.

    Konsentrasi 5 % diameter rata-rata pada inkubasi 24 jam yaitu 22 mm sedangkan

    pada inkubasi 48 jam menjadi 21,75 mm. Pada konsentrasi 10 % diameter rata-

    rata pada inkubasi 24 jam dan 48 jam yaitu 22,35 mm menjadi 22,1 mm,

    sedangkan pada konsentrasi 20 % diameter rata-rata pada inkubasi 24 jam sampai

    48 jam jg mengalami penurunan yaitu 23 mm menjadi 22,65 mm.

    Hasil penelitian diperoleh perbedaan besarnya daya hambat untuk masing-

    masing konsentrasi diakibatkan karena perbedaan besarnya kandungan zat aktif

    yang bereaksi terhadap medium, dimana makin besar konsentrasi makin besar

    pula hambatannya (Mustary, 2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi

    pertumbuhan bakteri yaitu pH lingkungan, komponen media, stabilitas obat,

    ukuran inokulum, waktu inkubasi dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Hal

    tersebut sesuai dengan prinsip antimikroba, dimana semakin tinggi konsentrasi

    ekstrak maka zona hambat akan bertambah besar dalam kurung waktu tertentu

    (Pelczar dan Chan, 2006). Tampak jelas pada diagram berikut:

    48

  • lxiv

    Gambar 22. Diagram zona hambat minyak atsiri umbi bawang merah Allium cepa L

    Terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans pada masa inkubasi

    24 jam dan 48 jam.

    Daerah hambat yang dihasilkan minyak atsiri pada umbi bawang merah

    Allium cepa L disebabkan oleh adanya kandungan minyak atsiri bawang merah

    yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri asal karies

    gigi. Minyak atsiri terdiri atas dialilsulfida, propantiol-S-oksida, S-Alil-L-Sistein-

    sulfoksida atau Aliin, prostaglandin A-1, difenilamina dan sikloaliin, metilaliin,

    dihidroaliin, kaemferol dan foroglusinol (Asgar dan Yusdar, 1995). Menurut

    Wahyu (2005), bawang merah mengandung minyak atsiri yang tersusun atas

    senyawa sulfida bersifat antibakteri yang dapat mematikan bakteri mulut termasuk

    Streptococcus mutans penyebab karies gigi.

    Minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri

    dengan mengganggu proses terentuknya membran atau dinding sel sehingga

    membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna (Ajizah,

    2004). Dimana membran sel mempunyai fungsi diantaranya mengendalikan

    0

    5

    10

    15

    20

    25D

    iam

    eter

    zo

    na

    ha

    mb

    at

    (mm

    )

    Konsentrasi Minyak Atsiri

    Diameter Rata-rata

    24 jam

    48 Jam

    2,5 % 5 % 10 % 20 % Kontrol (+)

    Kontrol

    (-)

    49

  • lxv

    masuk keluarnya berbagai zat dan merupakan lokasi sistem transport aktif untuk

    itu terjadinya penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri dapat disebabkan

    karena kerusakan yang terjadi pada komponen struktural membran sel bakteri

    (Schlegel, 1994).

    Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh dari minyak atsiri umbi

    lapis bawang merah Allium cepa L terlihat bahwa terjadi penurunan zona hambat

    pada bakteri setelah inkubasi 48 jam. Meskipun hal terjadi demikian, namum

    belum tentu dapat dikatakan bersifat bakteriostatis karena dapat dilihat pada

    Gambar 21 bahwa tidak terjadi hampir tidak terjadi perubahan dan pada bagian

    zona bening tidak terlihat adanya pertumbuhan koloni, sehingga sifat antimikroba

    dapat dikatakan bersifat bakteriosida. Menurut Djide dan Sartini (2008),

    bakteriostatis yaitu zat atau bahan yang dapat menghambat atau menghentikan

    pertumbuhan mikroorganisme, apabila pemberian ekstrak dihentikan atau habis,

    maka pertumbuhan dan perbanyakan dari bakteri akan kembali meningkat.

    Sedangkan bakteriosida yaitu zat atau bahan yang dapat membunuh

    mikroorganisme (bakteri). Dalam hal ini jumlah mikroorganisme (bakteri) akan

    berkurang bahkan habis, tidak dapat lagi melakukan multiplikasi atau berkembang

    biak.

    Dalam penelitian digunakan kontrol positif dan kontrol negatif. Dimana

    kontrol positif yaitu Betadin Povidone Iodine juga terjadi penurunan diameter

    zona hambat setelah 48 jam, bahkan ukuran diameter zona hambat dari Betadin

    Povidone Iodine terlihat lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi yang

    digunakan. Betadin Povidone Iodine merupakan antibiotik obat kumur yang

    50

  • lxvi

    digunakan untuk menghindari gangguan pada mulut seperti gigi berlubang, bau

    mulut, sariawan dan lain-lain. Sedangkan kontrol negatif yaitu DMSO (Dimetil

    Sulfoksida) untuk melihat respon kematian bakteri benar-benar berasal dari

    sampel yang digunakan. DMSO (Dimetil Sulfoksida) dapat mensuspensikan

    dengan baik antara media dengan ekstrak, dapat pula berfungsi sebagai pelarut,

    agen peningkat viskositas (kekentalan), dan penstabil emulsi.

    51

  • lxvii

    BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    V.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa

    bioaktivitas minyak atsiri umbi lapis bawang merah Allium cepa L asal Enrekang

    bersifat bakteriosida terhadap bakteri Steptococcus mutans dan minyak atsiri umbi

    lapis bawang merah Allim cepa L. efektif menghambat bakteri Steptococcus

    mutans mulai pada konsentrasi 2,5% dengan diameter 21,8 hingga konsentrasi

    20% dengan diameter 23,2 mm pada inkubasi 24 jam.

    V.2 Saran

    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji kandungan senyawa

    spesifik yang terkandung dalam umbi lapis bawang merah Allium cepa L. serta

    dapat dilakukan uji tingkat senyawa aktif dalam minyak atsiri umbi lapis bawang

    merah dalam berbagai varietas.

    51

  • lxviii

    DAFTAR PUSTAKA

    Achmad, A. 2009. Manfaat Bawang Merah untuk Pengobatan.

    http://aziachmad.com. Diakses pada tanggal 7 September 2012.

    Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhimurium Terhadap Ekstrak Daun

    Psidium guajava L. Bioscientiae. 1(1): 31-38

    Alhusna. 2009. Rampant Caries. http://elmurobbie.wordpress.com. Diakses pada

    tanggal 6 Oktober 2012.

    Anonim. 2010. Mekanisme Kerja Antimikroba. http://kitapelangi.blogspot.com.

    Diakses pada Tanggal 6 Oktober 2012.

    Anonim. 2008. Destilasi. http://hidupituindah.blogger.co. Diakses pada tanggal

    18 Oktober 2012.

    Asgar, A., dan Yusdar H. 1995. Kualitas Umbi Bawang Merah Allium

    ascalonicum Kultivar Kuning Dari Berbagai Umur Panen Pada Dua

    Macam Pemupukan. Penel. Hort. XXVII. No.4.

    Balakrishnan, M., Robin S. Simmonds, John R Tagg. 2000. Dental Caries Is A

    Preventable Infectious Disease. Australian Dental Journal. 45(4): 235-

    245.

    Brooks, G.F., Janet S. B. dan Stepen A. M. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi

    Pertama. Salemba Medika. Jakarta.

    Dea, H. 2006. Daun Sirih Sebagai Antibakteri Pasta Gigi. http:www.kompas.com.

    17 Oktober 2006.

    Direktorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian (2006). Road

    Map Pasca Panen, Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Bawang Merah.

    Djide, N dan Suhartini. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi Farmasi. Lembaga

    Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar.

    Elisabeth. 2004. Analisis Minyak Atsiri Daun Kasembukan Paederia foetida L

    Menggunakan Kromatografi Gas Spektrometer Massa. Universitas

    Hasanuddin. Makassar.

    Forssten, S. D., M. Bjorklund And A. C. Ouwehand . 2010. Streptococcus

    Mutans, Caries And Simulation Models. Jurnal Nutrients. 2: 290-298;

    Doi:10.3390/Nu2030290.

    52

    http://aziachmad.com/http://elmurobbie.wordpress.com/http://kitapelangi.blogspot.com/http://hidupituindah.blogger.co/

  • lxix

    Greenwood, 1995, Antibiotics Susceptibility (Sensitivity) Test, Antimicrobial and

    Chemoterapy.

    Handa, S. S., Sukh Hadev, S. H. Suman, P.S. K. Gennaro, L., Bed, D. R.. 2008.

    Ekstraktion Technologies for Medicinal and Aromatic Plants.

    International Center For Sains and Hight Technology.

    Hannan, A., T. Humayun, Muh. Barkaat Hussain, Muh. Yasir, Dan S. Sikandar.

    2010. In Vitro Antibacterial Activity Of Onion (Allium Cepa) Against

    Clinical Isolates Of Vibrio Cholerae. Department Of Microbiology,

    University Of Health Sciences, Lahore. Pakistan. 2(22): 160-161.

    Houwink, B.. 1993. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan. Diterjemahkan oleh

    Suryo, S. dkk. Yogyakarta. UGM Press.

    Idrawati, I. 2009. Potensi Ekstrak Air, Ekstrak Etanol Dan Minyak Atsiri Bawang

    Merah Allium Cepa L. Kultivar Batu Terhadap Isolat Bakteri Asal Karies

    Gigi. Jurnal Biotika. 7 (1): 40-48.

    Julianti, S. R., Mohan S. Dharma, Erdaliza, Dini Anggia, Febry Fahmi, Laila Aidi,

    Marissa Alfian. 2008. Gigi Dan Mulut (Tutorial). Faculty of Medicine –

    University of Riau. Pekanbaru, Riau. http://yayanakhyar.wordpress.com.

    10 September 2012

    Kidd, E.A.M., dan S. J. Bechal. 2002. Dasar-Dasar Karies, Penyakit Dan

    Penanggulangannya. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

    Kidd, E.A.M., B.G.N. Smith dan H.M. Pickard. 2002. Manual Konservasi

    Restoratif Menurut Pickard Edisi ke-6. Widya Medika. Kedokteran Gigi.

    Kumar, K. P. S., D. Bhowmik, Chiranjib, Biswajit And Pankaj Tiwari. (2010).

    Allium Cepa: A Traditional Medicinal Herb And Its Health Benefits. J.

    Chem. Pharm. Res. 2(1): 283-291.

    Kustiawan, W. 2002. Lubang Gigi (Karies) dan Perawatannya.

    www.unisosdem.org. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.

    Lampe JW. 1999. Health effects of vegetables and fruits: assessing

    mechanisms of action in human experimental studies. Am J Clin Nutr.

    70: 475–90.

    Michalek, S.M.,dan J.R. Mc Ghee. 1982. Dental Microbiology, Fourth Edition,

    Harper & Raw Publisher, Philadelphia.

    53

    http://yayanakhyar.wordpress.com/http://www.unisosdem.org/

  • lxx

    Moekasan, T. K., W. Setiawati, F. Hasan, A. Somantri1 Dan R. Runa. (2011).

    Penggunaan Feromonoid Seks Spodoptera Exigua Pada Tanaman

    Bawang Merah Sebagai Upaya Perbaikan Ambang Pengendalian

    Berdasarkan Kelompok Telur Dan Intensitas Serangan. Badan Penelitian

    Dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Selatan.

    Mustary, Mardiyah. 2003. Uji Daya Hambat Dan Analisis KLT Bioautografi

    Perasan Buah Sawo Manila Achras Zapota Linn Terhadap Bakteri Uji

    Salmonella Thyposa. Skripisi Penelitian.Universitas Hasanuddin

    Makassar.

    Nath, K. V. S., K.N.V Rao, S. Sandhya, M. Sai Kiran, David Banji, L. Satya

    Narayana, Vijaya laxmi.C. 2010. Invitro antibacterial activity of dried

    scale leaves of Allium cepa linn. Jurnal Scholars Research Library. Der

    Pharmacia Lettre. 2(5): 187-192.

    Nugraha, A. W. 2008. Streptococcus mutans. Fakultas Farmasi USD. Yogyakarta.

    Pelczar, M. I., dan Chan, E. C. S. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Penerbit

    Universitas Indonesia, Jakarta.

    Rajiman. 2009. Pengaruh Pemupukan Npk Terhadap Hasil Bawang Merah Di

    Lahan Pasir Pantai. Jurnal Llmu-Ilmu Pertanian. 5(1): 52-60.

    Russell, A. D. & Chopra, I. 1996. Understanding Antibacterial Action and

    Resistance, 2nd edition. Ellis Horwood, Chichester, UK.

    Schlegel, H.G. 1994. Mikrobiologi Umum. Edisi ke-6. Yogyakarta. UGM Press.

    Schuurs, A.H. B.. 1992. Patologi Gigi-Geligi Kelainan-Kelaian Jaringan Keras

    Gigi. Diterjemahkan o