14
63 BILANGAN SEMPURNA GENAP DAN KEPRIMAAN BI LANGAN MERSENNE Moh. Affaf Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI BANGKALAN Email: [email protected] abstrak. Suatu bilangan asli dikatakan bilangan sempurna jika dan hanya jika jumlah semua pembagi positif dari selain adalah Pada Jamannya, Euler menemukan ciri untuk suatu bilangan genap merupakan bilangan sempurna, yaitu bilangan itu harus mengandung bilangan prima mersenne. Oleh karenanya, dalam pembahasan bilangan sempurna genap diperlukan juga suatu prosedur untuk menyatakan suatu bilangan mersenne prima atau bukan. Untuk mencapai hal tersebut, maka dalam penelitian ini juga dihadirkan suatu prosedur untuk menyatakan suatu bilangan mersenne prima atau bukan. Tes ini dikenal dengan nama Tes Lucas-Lehmer. Kata Kunci : Bilangan Sempurna, Bilangan Sempurna Genap, Bilangan Mersenne, Tes Lucas, Tes Lucas-Lehmer PENDAHULUAN Teorema fundamental dari bilangan bulat menyatakan bahwa setiap bilangan bulat yang lebih dari satu dapat difaktorkan menjadi bilangan-bilangan prima. Teorema ini memiliki arti lain, yaitu setiap bilangan bulat lebih dari satu, pasti memiliki faktor selain bilangan itu sendiri. Kemudian, matematikawan terdahulu tertarik untuk mempelajari hubungan bilangan bulat lebih dari satu dengan faktor-faktor positif yang bukan bilangan itu sendiri. Salah satu diantataranya adalah bilangan sempurna. Suatu bilangan bulat positif dikatakan sempurna jika jumlah semua faktor positif dari bilangan tersebut selain bilangan itu adalah bilangan itu sendiri. Sejak jaman Euclid, bilangan sempurna telah menjadi bahasan yang menarik. Kemudian di jamannya, Euler menemukan ciri khusus bilangan sempurna dalam kasus bilangan tersebut genap, yaitu bilangan tersebut harus memiliki faktor prima Mersenne. Jadi, perlu untuk mengkaji keprimaan bilangan Mersenne jika ingin mempelajari bilangan sempurna genap. 1. Landasan Teori Pada bagian ini, akan dibahas tentang pembentukan konstruksi [ ] yang nantinya bisa dijadikan pemrbandingan dengan konstruksi baru yang akan dibentuk pada Hasil dan Pembahasan. Untuk mengawali bagian ini, akan perkenalkan tentang definisi Tripel Pythagoras 2.1. Kongruensi bilangan bulat dan sifat-sifat didalamnya Satu lagi konsep penting dalam teori bilangan adalah kongruensi. Definisi kongruensi bilangan bulat diberikan sebagai berikut. Definisi 2.1.1(Kongruen). Misal bilangan bulat yang lebih besar dari 1. Bilangan bulat a dan b dikatakan kongruen modulo m dan dituliskan APOTEMA: Jurnal Pendidikan Matematika. Volume 2, Nomor 2 Juli 2016 p 63-75. ISSN 2407-8840

BILANGAN SEMPURNA GENAP DAN KEPRIMAAN BI LANGAN …stkippgri-bkl.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/Affaf.pdf · Kongruensi bilangan bulat dan sifat-sifat didalamnya Satu lagi konsep

Embed Size (px)

Citation preview

63

BILANGAN SEMPURNA GENAP DAN KEPRIMAAN BI LANGAN

MERSENNE

Moh. Affaf

Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI BANGKALAN

Email: [email protected]

abstrak. Suatu bilangan asli dikatakan bilangan sempurna jika dan hanya jika

jumlah semua pembagi positif dari selain adalah Pada Jamannya, Euler menemukan ciri untuk suatu bilangan genap merupakan bilangan

sempurna, yaitu bilangan itu harus mengandung bilangan prima

mersenne. Oleh karenanya, dalam pembahasan bilangan sempurna

genap diperlukan juga suatu prosedur untuk menyatakan suatu bilangan

mersenne prima atau bukan. Untuk mencapai hal tersebut, maka dalam

penelitian ini juga dihadirkan suatu prosedur untuk menyatakan suatu

bilangan mersenne prima atau bukan. Tes ini dikenal dengan nama Tes

Lucas-Lehmer.

Kata Kunci : Bilangan Sempurna, Bilangan Sempurna Genap,

Bilangan Mersenne, Tes Lucas, Tes Lucas-Lehmer

PENDAHULUAN

Teorema fundamental dari

bilangan bulat menyatakan bahwa

setiap bilangan bulat yang lebih dari

satu dapat difaktorkan menjadi

bilangan-bilangan prima. Teorema ini

memiliki arti lain, yaitu setiap bilangan

bulat lebih dari satu, pasti memiliki

faktor selain bilangan itu sendiri.

Kemudian, matematikawan terdahulu

tertarik untuk mempelajari hubungan

bilangan bulat lebih dari satu dengan

faktor-faktor positif yang bukan

bilangan itu sendiri. Salah satu

diantataranya adalah bilangan

sempurna. Suatu bilangan bulat positif

dikatakan sempurna jika jumlah semua

faktor positif dari bilangan tersebut

selain bilangan itu adalah bilangan itu

sendiri. Sejak jaman Euclid, bilangan

sempurna telah menjadi bahasan yang

menarik. Kemudian di jamannya, Euler

menemukan ciri khusus bilangan

sempurna dalam kasus bilangan

tersebut genap, yaitu bilangan tersebut

harus memiliki faktor prima Mersenne.

Jadi, perlu untuk mengkaji keprimaan

bilangan Mersenne jika ingin

mempelajari bilangan sempurna genap.

1. Landasan Teori

Pada bagian ini, akan dibahas

tentang pembentukan konstruksi [ ] yang nantinya bisa dijadikan

pemrbandingan dengan konstruksi baru

yang akan dibentuk pada Hasil dan

Pembahasan. Untuk mengawali bagian

ini, akan perkenalkan tentang definisi

Tripel Pythagoras

2.1. Kongruensi bilangan bulat dan

sifat-sifat didalamnya

Satu lagi konsep penting dalam

teori bilangan adalah kongruensi.

Definisi kongruensi bilangan bulat

diberikan sebagai berikut.

Definisi 2.1.1(Kongruen). Misal bilangan bulat yang lebih besar dari 1.

Bilangan bulat a dan b dikatakan

kongruen modulo m dan dituliskan

APOTEMA: Jurnal Pendidikan Matematika. Volume 2, Nomor 2 Juli 2016

p 63-75. ISSN 2407-8840

63

jika dan hanya jika

.

Contoh 2.1.1. 7 dan 5 kongruen modulo 2 karena

Teorema 2.1.1. Misal a , b , c , d ,e ,

dan m adalah bilangan bulat dengan d

>0 dan m>0, maka:

(i)

(ii) jika maka

(iii) jika dan , maka

(iv) jika dan ,

maka

(v) jika dan , maka

(vi) jika dan , maka Bukti:

(i) Jelas bahwa

(ii) maka

(iii) dan . Tetapi

menurut Lemma 2.1.1. bagian (ii)

(iv) Karena dan , maka

menurut Lemma 2.1.1

bagian (i)

(v) dan . Tetapi

menurut Lemma 2.1.1. bagian

(ii)

(vi) dan , maka

Pada bagian (i) sampai (iii)

menyatakan bahwa pada kongruensi

berlaku relasi ekivalen yang akan

dijelaskan pada bahasan akhir di bab

ini. Sedangkan untuk bagian (iv)

sampai (vi) akan sering digunakan

untuk membuktikan teorema-teorema

pada bahasan ini.

Teorema 2.1.2. a ,b , dan m bilangan

bulat dengan m >0 sehingga

. Maka untuk bilangan

bulat positif n berlaku Bukti:

1. Jelas benar

2. Jika benar untuk suatu bilangan

positif , berarti .

Karena benar , berdasarkan

Teorema 2.1.1 bagian (v), maka

, yaitu

. Jadi

juga benar. Berdasarkan Prinsip Induksi

Matematika, maka benar untuk

setiap bilangan bulat positif .

Definisi 2.1.2(residu terkecil). Jika m

> 0 dan r sisa dari pembagian b oleh m,

maka r dikatakan residu terkecil dari b

modulo m . Kemudian, dikatakan sebagai himpunan semua residu

terkecil dari b untuk , mudah

diketahui bahwa . Serta didefinisikan

. Contoh 2.1.2.

Untuk m = 6, maka

Teorema 2.1.3. Diberikan bilangan

bulat a, x, y, dan m dengan m >0. Jika

(a,m) = 1 dan , maka

.

Bukti:

Karena , maka

, dan berdasarkan teorema 2.1.6 maka

, atau dengan kata lain

.

Teorema 2.1.4. Diberikan bilangan a

dan p dengan p prima. Jika ,

maka .

Bukti:

Perhatikan himpunan . Jelas bahwa untuk

setiap dengan

berlaku . Sekarang,

63

andai untuk

dengan . Berdasarkan Teorema 2.1.3 berlaku

. Jadi . Oleh karena itu, untuk

terdapat dengan

sehingga . Maka diperoleh

( )

Dengan menerapkan Teorema 2.1.3

diperoleh

Teorema 2.1.5 (Teorema Wilson).

Untuk bilangan prima p berlaku

Bukti:

Sekarang, perhatikan persamaan

kongruensi untuk

suatu bilangan prima p. Maka , sehingga

atau menurut

teorema 2.1.9, sehingga atau . Jika

solusi persamaan kongruensi diambil dalam himpunan

, persamaan

tersebut berlaku untuk x = 1 atau x = p

- 1. Untuk , persamaan kongruensi

memiliki solusi berdasarkan Akibat

2.1.1 Jika adalah solusinya,

jelas .

Definisi 2.1.3. Untuk bilangan bulat

nonnegatif m dan n dengan ,

didefinisikan ( ) jika atau

; dan

( )

untuk

yang lainnya.

Teorema 2.1.6. Jika p prima, maka

Bukti:

Telah diketahui bahwa

∑ ( )

untuk sebarang

bilangan asli n. Jadi akan dibuktikan

bahwa (

) untuk .

Karena (

) bilangan bulat maka

.

Kemudian, karena setiap bilangan asli

yang kurang p prima relatif dengan p,

ini artinya, semua hasil kalinya, yaitu

m! Juga prima relatif dengan p

berdasarkan Teorema 2.2.1, sehingga

berdasarkan Teorema 2.1.6 , dengan kata

lain

adalah bilangan

bulat. Oleh karena itu, (

).

2.2. Residu Kuadratik

Bahasan ini akan digunakan

sebagai dasar pembukrian Tes Lucas

dan Tes Lucas-Lehmer yang

merupakan tes keprimaan untuk

bilangan Mersenne.

Definisi 2.2.1 (residu kuadratik).

Diberikan bilangan prima p. Bilangan

bulat a dengan disebut residu kuadratik modulo p jika dan hanya jika

terdapat bilangan bulat y sehingga

. Jika tidak ada

bilangan y yang demikian, maka a

disebut residu nonkuadratik modulo p.

Contoh 2.2.1.

12 residu kuadratik modulo 13 tetapi 2

residu nonkuadratik modulo 5.

Definisi 2.2.2(Simbol Legendre).

Misal p adalah prima ganjil yang tak

membagi bilangan bulat a.

Didefinisikan (

) jika

dan hanya jika a residu kuadratik atau

nonkuadratik modulo a.

Contoh 2.2.2.

64

Dari Contoh 2.2.1 maka (

) dan

(

)

Teorema 2.2.1 (kriteria Euler). Diberikan bilangan bulat prima ganjil p

dan . Kemudian, jika: (i) a residu kuadratik modulo p, maka

(ii) a residu nonkuadratik modulo p,

maka

Bukti:

(i) Karena (

) , maka terdapat

bilangan bulat y sehingga . Tentu saja karena

, sehingga

(ii) Karena (

) , maka

untuk setiap bilangan

bulat y. Tetapi, selalu terdapat

sehingga

. Tentu saja

terdapat pasang ,

oleh karena itu

Teorema 2.2.2 (lemma Gauss).

Diberikan bilangan bulat prima ganjil p

dengan . Untuk

, misal adalah

bilangan bulat kongruen modulo p

dengan . Jika banyaknya

bilangan yang negatif sebanyak n,

maka (

)

Bukti:

Pertama akan dibuktikan jika ,

maka . Jika , maka

sehingga . Sekarang, jika , maka sehingga

, tentu saja ini juga tidak mungkin. Oleh karena itu,

∏ ∏ ∏ ∏ , sehingga diperoleh

, atau dengan kata

lain (

)

Teorema 2.2.3. Diberikan bilangan

bulat prima ganjil p. Maka (

) jika

dan (

)

jika . Bukti:

Dengan memanfaatkan Teorema 2.2.2,

maka tinggal mengetahui genap atau

ganjil banyaknya

yang memenuhi

, atau bisa

dikatakan

. Misal

. Tentu saja atau

karena bilangan ganjil, maka

.

Sekarang jelas bahwa atau

bergantung atau

, sehingga

(i) Jika dan , maka

dan , yaitu

genap

(ii) Jika dan +1, maka

dan , yaitu ganjil

(iii) Jika dan , maka

dan , yaitu ganjil

(iv) Jika dan , maka

dan , yaitu

genap

Maka bukti selesai.

Teorema 2.2.4. Diberikan bilangan

bulat prima ganjil . Maka

(

) jika

dan (

) jika

.

Bukti: Analog dengan bukti Teorema

2.2.3.

Teorema 2.2.3. Diberikan bilangan

bulat prima ganjil . Maka

(

) jika

.

65

Bukti: Analog dengan bukti Teorema

2.2.3.

1.3. Grup

Definisi 2.3.1 (grup). Diberikan

himpunan tak kosong G dengan

operasi * yang terdefinisi di G dan

dituliskan sebagai ⟨ ⟩. Kemudian, ⟨ ⟩ dikatakan grup jika dan hanya jika memenuhi 4 kondisi berikut:

1. ;

2. ;

3. . Kemudian e disebut elemen

identitas di G

4. .

Kemudian dikatakan i disebut

invers dari a dan biasanya

dituliskan sebagai –a atau a-1

.

Jika dan ⟨ ⟩ juga membentuk grup, maka dikatakan H subgroup G.

Contoh 2.3.1.

Didefinisikan √

√ serta dan

menyatakan operasi jumlah modulo m

dan operasi kali modulo m berturut-

turut. Untuk m = 3, maka √

√ √ √ √

√ √ . Dapat dicek bahwa

⟨ √ ⟩ tidak membentuk grup,

tetapi ⟨ √ ⟩ membentuk

grup. Kemudian, {1} subgroup

Definisi 2.3.2 (Relasi Ekivalen).

Sebuah relasi pada sebuah himpunan S dikatakan relasi ekivalen jika dan

hanya jika untuk setiap memenuhi 3 kondisi berikut:

(i) (refleksif)

(ii) berakibat (simetris)

(iii) berakibat (transitif)

Contoh 2.3.2.

Misal S adalah himpunan bilangan

bulat dan n adalah bilangan bulat yang

lebih dari 1 yang telah ditetapkan.

Kemudian, didefinisikan untuk

jika . Tentu saja

karena . Jika , maka

.

Karena (-1,n) = 1, maka .

Oleh karena itu . Jika ,

maka dan . Berdasarkan Lemma 2.1.1 diperoleh

. Jadi

. Dengan kata lain pada kongruensi bilangan bulat, berlaku relasi ekivalen.

Contoh ini merupakan generalisasi dari

“Jika G grup dan H subgroup G, maka

jika , ”. Relasi

ini merupakan relasi ekivalen

[Herstein. 1990:57].

Definisi 2.3.3. Jika adalah relasi

ekivalen pada S dan , maka [a], kelas dari a didefinisikan sebagai [ ]

Pada contoh kutipan di atas, dapat

dituliskan untuk suatu . Jadi, berakibat .

Sekarang, jika untuk suatu

, maka . Jadi, jika dan hanya jika

, dengan kata

lain [ ] .

Teorema 2.3.1. Jika adalah sebuah

relasi ekivalen pada S dan , maka

⋃[ ], gabungan ini berjalan untuk setiap kelas-kelas di S, dan jika [ ] [ ] berakibat [ ] [ ]

Bukti:

Karena [ ], maka tentu saja

⋃ [ ] . Sekarang, tinggal

membuktikan jika [ ] [ ] berakibat [ ] [ ] . Berikut akan dibuktikan

dengan kontraposisi. Misal [ ] [ ] , katakan [ ] [ ]. Berdasarkan

kelas, maka karena [ ] dan

karena [ ]. Berdasarkan sifat

simetrisnya, berakibat .

Karena dan , maka ,

maka [ ]. Sekarang, jika [ ], maka . Tetapi , oleh karena itu

[ ]. Jadi [ ] [ ]. Dengan cara

66

yang sama, mudah diperoleh [ ] [ ]. Jadi [ ] [ ], maka bukti teorema selesai.

Teorema ini mengatakan bahwa

partisi ini adalah partisi disjoin pada S.

Teorema ini akan digunakan untuk

membuktikan Teorema Lagrange yang

merupakan teorema fundamental dalam

aljabar abstrak. Namun, sebelum itu,

dibutuhkan definisi berikut:

Definisi 2.3.4. Diberikan bilangan

bulat positif n dan grup ⟨ ⟩ dengan

. Didefinisikan:

(i) sebagai banyaknya anggota G

(ii) ⏟

(iii) = m dalam kasus m bilangan

bulat positif terkecil sehingga

, dengan e elemen identitas di G.

Teorema 2.3.2(Teorema Lagrange).

Misal G himpunan berhingga dan

sehingga ⟨ ⟩ dan ⟨ ⟩ membentuk grup. Jika , maka:

(i)

(ii) 2. Hasil dan Pembahasan

Definisi 3.1. Diberikan . Jumlah semua pembagi positif dari

dinyatakan dengan .

Contoh 3.1.

Lemma 3.1. Diberikan bilangan prima

dan bilangan bulat positif, maka

Bukti :

menurut Contoh 2.2.1.

Teorema 3.1. Jika a dan b bilangan

bulat positif dengan , maka

Bukti :

Misal banyak pembagi positif dari a

adalah t dengan a1 , a2 , a3 ,…, at semua

pembaginya dan s banyak pembagi

positif dari b dengan b1 , b2 , b3 ,…, bs ,

maka

= a1 b1 + a1 b2 + a1 b3 + … + a1 bt

+ a2 b1 + a2 b2 + a2 b3 + … + a2 bt .

.

+ as b1 + as b2 + as b3 + … + as bt

Jika ai bj dari susunan di atas, maka ai

bj|ab karena ab= (ai xi)( bjyj)= (ai bj)( xi

yj), dengan kata lain, setiap elemen

pada susunan di atas merupakan

pembagi positif ab. Jika c pembagi

positif a atau b jelas c muncul dalam

susunan di atas. Sekarang, jika c bukan

pembagi positif a dan b tetapi c

pembagi positif ab, maka setiap prima

pembagi c pasti membagi ab menurut

Lemma 2.2.1. Jadi jika p prima dengan

, maka p membagi salah satu dari a atau b. Karena faktor prima dari a dan

b berbeda , maka elemen pada susunan

di atas berbeda dan faktor prima c

muncul di ai dan muncul pula di bj .

Dari sini jelas bahwa setiap pembagi

positif ab muncul dalam susunan di

atas. Jadi banyaknya elemen pada

susunan di atas sama dengan banyak

elemen pembagi positif ab, atau

.

Definisi 3.2. Bilangan asli dikatakan

sempurna jika dan hanya jika jumlah

semua pembagi positif yang kurang

dari adalah , yaitu jika , atau dengan kata lain bilangan asli

sempurna jika

Contoh 3.2. 6 merupakan bilangan sempurna

karena tetapi 12 tidak sempurna karena

Teorema 3.2 (Teorema Euclid). Jika

bilangan asli sehingga prima,

maka bilangan adalah

bilangan sempurna.

67

Bukti :

Jelas bahwa dan prima

relatif sehingga menurut teorema 3.1

berlaku

Dengan menerapkan Lemma 3.1

diperoleh

(

)

Jadi merupakan bilangan

sempurna .

Contoh 3.3.

adalah prima, maka 6

bilangan sempurna karena .

Pada teorema 3.2 Jelas bahwa

bilangan yang dimaksud adalah

bilangan genap. Kemudian, pertanyaan

yang muncul adalah apakah setiap

bilangan genap yang sempurna akan

berbentuk dengan

prima? Pertanyaan ini dijawab

positif oleh Matematikiawan asal

Swiss, Leonard Euler dalam

Teorema 3.3 (Teorema Euler).

Setiap bilangan genap yang sempurna

akan berbentuk dengan

adalah prima.

Bukti :

Misal m adalah bilangan genap

sempurna yang dimaksud, tanpa

mengurangi keumuman, dituliskan m

sebagai dengan dan adalah bilangan ganjil. Maka diperoleh

Tetapi m sempurna, yaitu

Dari 2 hasil di atas, diperoleh , atau bisa pula

dituliskan

. Jelas bahwa

dan prima relatif. Misal , maka dan

.

Sekarang, andai , maka karena . Hal ini kontadiksi dengan yang diperoleh,

yaitu . Maka haruslah

. Jadi, dan

, sehingga adalah prima. Dengan menuliskan

maka bukti selesai .

Dari teorema 3.3 jelas bahwa kunci

agar suatu bilangan genap untuk

sempurna adalah bilangan berbentuk

haruslah prima. Jadi, penting

untuk mempelajari keprimaan bilangan

dalam mempelajari bilangan sempurna genap.

Definisi 3.3 (Bilangan Mersenne).

Untuk suatu bilangan bulat positif k ,

bilangan berbentuk dikatakan

bilangan Mersenne ke-k dan dituliskan

sebagai .

Contoh 3.4.

Untuk k = 1 , dan k = 5 ,

Teorema 3.4. Jika prima, maka k juga prima .

Bukti :

Andai k komposit dan prima. Misal

. Maka .

Kemudian, diperoleh . Berdasarkan definisi

kekongruenan, maka .

Karena dan , ini artinya adalah faktor dari

selain 1 dan . Hal ini

kontradiksi dengan prima. Jadi

bilangan prima.

Teorema 3.4 membatasi keprimaan

bilangan Mersenne dari segi indeknya.

Jadi, jika indek bilangan Mersenne

68

komposit maka bilangan Mersennenya

komposit. Tetapi tidak selalu berlaku

bahwa Jika k prima, maka prima.

Di jamannya, Euler menemukan faktor

bilangan Mersenne dengan indek prima

dalam bentuk untuk . Penulis menetapkannya dalam teorema

3.5 berikut.

Teorema 3.5 (Teorema Euler). Diberikan bilangan bulat positif m

dengan sehingga

prima. Jika prima, Maka

dan komposit. Bukti:

Karena prima dan ,

maka berdasarkan teorema 2.4.3

diperoleh (

) , dan berdasarkan

Kriteria Euler didapatkan

. Dengan kata lain

. Karena , maka dan

, oleh karena itu komposit.

Contoh 3.5.

11 adalah bilangan prima dan dapat

dituliskan sebagai . Dan

mudah diketahui bahwa adalah prima. Oleh karena itu,

. Jadi bukan bilangan

sempurna.

Teorema 3.6 (Tes Lucas). Diberikan

barisan bilangan dengan

dan untuk

. Jika p bilangan prima dengan bentuk

untuk suatu bilangan bulat

nonnegatif , maka merupakan

bilangan prima jika dan hanya jika

.

Bukti:

Sebelum membuktikan teorema ini,

Penulis akan memberikan klaim untuk

3 kondisi berikut:

(i) klaim bahwa barisan bilangan

dengan sifat di atas ekivalen

dengan ( √

)

( √

)

untuk .

1. Untuk , jelas.

2. Andai benar untuk , yaitu

( √

)

( √

)

benar,

akan ditunjukkan juga benar

( √

)

( √

)

(( √

)

)

(( √

)

)

(( √

)

( √

)

)

( √

)

( √

)

(( √

)

( √

)

)

Jadi ( √

)

( √

)

benar untuk semua bilangan asli

n menurut prinsip Induksi

Matematika.

(ii) Klaim bahwa .

Karena dengan k bilangan

bulat nonnegatif, maka diperoleh

(iii) klaim bahwa

1. Untuk , jelas bahwa

2. Andai pernyataan benar untuk , yaitu benar,

akan ditunjukkan juga benar

69

Jadi benar untuk

bilangan asli menurut prinsip Induksi Matematika. Atau boleh

dikatakan benar untuk

bilangan prima ganjil

untuk suatu bilangan nonnegatif k.

( ) Andai prima sehingga dan

( ) Maka ⌊√ ⌋

menurut Teorema 2.1.2 dan

berdasarkan Definisi 2.1.1 diperoleh

kesamaan ( √

)

( √

)

untuk suatu . Dengan

mengalikan kedua ruas dengan

( √

)

, diperoleh

( √

)

(( √

)

( √

)

)

( √

)

(( √

)

)

(( √

) (

))

( √

)

(( √

)

)

( √

)

(( √

)

)

( √

)

(( √

)

)

( √

)

Sekarang, perhatikan grup

⟨ √ ⟩. Mudah

diketahui bahwa √ . Karena

( √

) √ , mudah

dipahami bahwa ( √

)

di √ . Dengan

mengkuadratkan kedua ruas

diperoleh

(( √

)

)

( √

)

( √

)

di √ . Jadi order dari ( √

)

adalah . Berdasarkan Teorema

2.5.1 maka ( √

)

( √ ) , dan menurut

Lemma 2.1.1 bagian (iii) diperoleh

hasil . Tetapi , oleh karena itu

. Hal ini kontradiksi

dengan . Jadi, jika

maka prima.

( ) Karena dan

, maka (

) dan

(

) menurut Teorema 2.4.5 dan

Teorema 2.4.3. Kemudian, berdasarkan

Kriteria Euler, diperoleh

dan

. Berdasarkan Teorema

2.3.6 diperoleh ( √

)

menurut Teorema2.3.6. Kemudian

70

(

)√

(

)

di √ . Sehingga

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

) (

)

( √

)

di √ . Dengan mengalikan kedua ruas pada

persamaan terkhir dengan ( √

)

, diperoleh

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

(( √

) (

))

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

( √

)

di √ . Dengan kata kain,

Contoh 3.6.

Untuk . Kemudian, . Jadi prima menurut Tes Lucas.

Teorema 3.4 dan 3.5 sudah cukup

baik dalam mengkarakterisasi

keprimaan bilangan Mersenne.

Kekurangan Teorema 3.4 adalah tak

berlaku dua arah dan Teorema 3.5 dan

Teorema 3.6 hanya mengkarakterisasi

bilangan prima yang kongruen 3

modulo 4 saja. Untuk mengakhiri

pembahasan pada skripsi ini, penulis

akan menyajikan teorema terakhir yang

penulis anggap lebih baik dalam

mengkarakterisasi keprimaan bilangan

Mersenne. Penulis menempatkannya

dalam teorema berikut yang sekaligus

merupakan teorema terakhir dalam bab

pembahasan ini.

Teorema 3.7 (Tes Lucas-Lahmer).

Diberikan barisan bilangan

dengan dan

untuk . Jika p bilangan prima

ganjil, merupakan bilangan prima

jika dan hanya jika

.

Bukti:

Pertama, klaim bahwa barisan bilangan

dengan sifat di atas

ekivalen dengan ( √ )

( √ )

untuk .

1. Untuk , jelas.

2. Andai benar untuk , yaitu

( √ )

( √ )

benar, akan

ditunjukkan juga benar

( √ )

( √ )

71

(( √ )

)

(( √ )

)

(( √ )

( √ )

)

( √ )

(

√ )

(( √ )

( √ )

)

Jadi ( √ )

( √ )

benar untuk semua

bilangan asli n menurut prinsip

Induksi Matematika.

( ) Andai prima sehingga dan

. Maka ⌊ ⌋ menurut Teorema

2.1.2. Karena , maka diperoleh

( √ )

( √ )

untuk suatu

. Dengan mengalikan kedua ruas dengan

( √ )

, diperoleh

( √ )

(( √ )

( √ )

)

( √ )

(( √ )

)

(( √ )( √ ))

( √ )

(( √ )

)

( √ )

(( √ )

)

( √ )

(( √ )

)

( √ )

Sekarang, perhatikan grup ⟨ √

⟩. Jelas √

. Karena ( √ ) √ ,

mudah dipahami bahwa (

√ )

di √ . Dengan

mengkuadratkan kedua ruas diperoleh

(( √ )

)

( √ )

( √ )

di √ , jadi order dari (

√ ) adalah . Berdasarkan Teorema

2.5.1 maka ( √ )

( √ ) , dan menurut

Lemma 2.1.1 bagian (iii) diperoleh

hasil . Tetapi , oleh karena itu . Hal ini kontradiksi dengan

. Jadi, jika

maka prima.

( ) Terlebih dahulu, akan diklaim

dan

.

(i) Klaim untuk

1. Untuk , jelas bahwa

2. Andai pernyataan benar

untuk , yaitu

benar,

akan ditunjukkan juga benar

Jadi benar

untuk bilangan asli menurut prinsip Induksi

Matematika. Atau dengan kata

lain, benar

untuk bilangan prima ganjil p.

(ii) Klaim untuk

Akan dibuktikan benar

untuk semua bilangan asli

n.

1. Untuk , jelas bahwa

2. Andai pernyataan benar untuk , yaitu

benar,

akan ditunjukkan juga benar

72

Jadi

benar untuk semua bilangan asli

n menurut prinsip Induksi

Matematika. Atau boleh

dikatakan,

benar untuk bilangan prima ganjil

p.

Karena dan

, maka (

)

dan (

) menurut teorema

2.4.3 dan teorema 2.4.4 berturut-

turut. Berdasarkan Kriteria Euler,

diperoleh

dan

.

Berdasarkan Teorema 2.3.6

diperoleh

( √ )

. Kemudian

(

)

(

)

(

)

(

)√

( √ )

Jadi ( √ )

√ . Dengan

memerhatikan ( √ ) ( √ )

, maka

( √ )

(

( √ )

)

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )( √ )

(

)

( √ )

( √ )( √ )

(

) (

)

( √ )

( √ )( √ )

( √ )

( √ )

di √ . Dengan mengalikan kedua ruas pada

persamaan terakhir dengan ( √ )

,

diperoleh

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

(( √ )( √ ))

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

( √ )

73

di √ . Dengan kata kain,

Contoh 3.7.

1. Untuk . Kemudian, , , , ,

. Jadi berdasarkan Tes Lucas-Lehmer,

prima. Dengan kata lain, 8128 merupakan bilangan sempurna

karena dan

bilangan prima.

2. Untuk . Kemudian

, ,

, , ,

, ,

, ,

. Jadi berdasarkan Tes Lucas-

Lehmer, prima. Hal

ini telah dijelaskan dalam Contoh

3.5 yang juga menyatakan 23

adalah salah satu faktor dari

KESIMPULAN

Penelitian ini telah berhasil

mengidentifikasi bilamana suatu

bilangan genap merupakan bilangan

sempurna atau bukan, yaitu bilangan

tersebut harus berbentuk

dengan adalah bilangan

mersenne ke- yang harus merupakan bilangan prima. Selanjutnya, untuk

mengetahui merupakan

bilangan prima atau bukan, dapat dicek

dengan melakukan Tes Lucas-Lehmer,

yaitu saat diberikan barisan bilangan

dengan dan

untuk . Jika p

bilangan prima ganjil, merupakan

bilangan prima jika dan hanya jika

.

Adapun saran penelitian ke

depannya, bisa dilakukan penelitian

untuk mengidentifikasi bilangan

sempurna ganjil. Penelitian terakhir

menyatakan bahwa tidak ada bilangan

sempurna ganjil yang kurang dari .

Selain itu, dapat pula dilakukan

penelitian untuk memodifikasi Tes

Lucas-lehmer agar lebih sederhana,

baik dalam bukti maupun prosedurnya.

3. Daftar Pustaka

[1] Khosy, Thomas. 2007. Elementary

number theory with applications.

Amsterdam. Elsivier

[2] J. W. Bruce. 1993. A Really

Trivial Proof of Lucas-Lehmer

Test. Math Montly. Amer.

[3] M, I, Rosen. 1988. A Proof of

Lucas-Lehmer Test. Math Montly.

Amer.

[4] I, R, Herstein. Abstract Algebra.

1999. Jon Wiley and Son. New

York

[5] Kravist, Sidney. 2011. The Lucas-

Lehmer Test For Mersenne

Numbers. Dover. New Jersey.

[6] Jaroma, John, H. Note On The

Lucas-Lehmer Test. Irish Math

Society, pg 63 – 72, 2004.

[7] Jaroma, John, H. Equivalence of

pepin’s Test and Lucas-Lehmer

Test. European Journal of Pure and

Applied Mathematics, Vol 2, No 3,

pg 352 – 360, 2009.

74