27
1 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya Kepada Indonesia Ditulis oleh Nanang Zainal Arifin 1. Pendahuluan Isu Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah menarik perhatian banyak negara di dunia akhir-akhir ini. Begitu pula dengan negara-negara anggota G20 yang telah membahas isu ini secara intensif pada tahun 2014 di bawah Presidensi Australia. Hal ini dikarenakan implementasi BEPS dapat merugikan dan menjadi ancaman bagi negara- negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi dalam sistem perpajakannya, serta dapat mendorong terciptanya unfairness di dalam perekonomian global. Perbedaan tarif pajak yang dianut negara-negara di dunia, mendorong kesempatan melakukan tax arbitrage yang pada umumnya dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional (MNCs) dalam perencanaan pajaknya. oleh karenanya banyak negara berpotensi kehilangan pendapatan pajak yang substansial dikarenakan tergerusnya basis penerimaan pajak atau karena perpindahan keuntungan (profit shifting) ke negara lain yang menerapkan tarif pajak lebih rendah. Dalam jangka panjang, praktek ini dapat menganggu kesinambungan fiskal suatu negara dalam rangka membiayai pembangunan ekonomi negaranya. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh BEPS tersebut menjadi semakin jelas dengan ditemukannya bukti bahwa banyak perusahaan multinasional (MNCs) yang dengan sengaja menghindari kewajiban pajaknya dengan cara mengalihkan keuntungan perusahaan ke negara lain yang menerapkan tarif pajak lebih rendah atau tarif pajaknya nol. Praktek seperti ini telah menimbulkan persepsi bahwa BEPS telah mengakibatkan pemerintah kehilangan banyak penghasilannya yang bersumber dari penerimaan pajak perusahaan. G20 bekerjasama dengan OECD telah mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh BEPS tersebut. Isu BEPS juga telah menjadi salah satu agenda prioritas G20 yang harus diselesaikan tidak hanya pada saat Presidensi Rusia tahun 2013, namun pembahasan isu ini berlanjut pada saat Presidensi Australia tahun 2014. Secara spesifik, G20 telah meminta OECD untuk melakukan kajian secara komprehensif bekerjasama dengan beberapa negara partner guna mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh BEPS tersebut.

BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan … dalam kerangka kerja... · BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan ... G20 bekerjasama dengan OECD telah mengambil langkah-langkah konkrit

  • Upload
    lytruc

  • View
    237

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

1 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya Kepada Indonesia

Ditulis oleh Nanang Zainal Arifin

1. Pendahuluan

Isu Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah menarik perhatian banyak negara di

dunia akhir-akhir ini. Begitu pula dengan negara-negara anggota G20 yang telah

membahas isu ini secara intensif pada tahun 2014 di bawah Presidensi Australia. Hal ini

dikarenakan implementasi BEPS dapat merugikan dan menjadi ancaman bagi negara-

negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi dalam sistem perpajakannya, serta

dapat mendorong terciptanya unfairness di dalam perekonomian global.

Perbedaan tarif pajak yang dianut negara-negara di dunia, mendorong kesempatan

melakukan tax arbitrage yang pada umumnya dimanfaatkan oleh perusahaan

multinasional (MNCs) dalam perencanaan pajaknya. oleh karenanya banyak negara

berpotensi kehilangan pendapatan pajak yang substansial dikarenakan tergerusnya basis

penerimaan pajak atau karena perpindahan keuntungan (profit shifting) ke negara lain

yang menerapkan tarif pajak lebih rendah. Dalam jangka panjang, praktek ini dapat

menganggu kesinambungan fiskal suatu negara dalam rangka membiayai pembangunan

ekonomi negaranya.

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh BEPS tersebut menjadi semakin jelas dengan

ditemukannya bukti bahwa banyak perusahaan multinasional (MNCs) yang dengan

sengaja menghindari kewajiban pajaknya dengan cara mengalihkan keuntungan

perusahaan ke negara lain yang menerapkan tarif pajak lebih rendah atau tarif pajaknya

nol. Praktek seperti ini telah menimbulkan persepsi bahwa BEPS telah mengakibatkan

pemerintah kehilangan banyak penghasilannya yang bersumber dari penerimaan pajak

perusahaan.

G20 bekerjasama dengan OECD telah mengambil langkah-langkah konkrit untuk

mengatasi masalah yang disebabkan oleh BEPS tersebut. Isu BEPS juga telah menjadi

salah satu agenda prioritas G20 yang harus diselesaikan tidak hanya pada saat Presidensi

Rusia tahun 2013, namun pembahasan isu ini berlanjut pada saat Presidensi Australia

tahun 2014. Secara spesifik, G20 telah meminta OECD untuk melakukan kajian secara

komprehensif bekerjasama dengan beberapa negara partner guna mengatasi

permasalahan yang diakibatkan oleh BEPS tersebut.

2 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

2. Definisi BEPS

Base erosion and profit shifting (BEPS) merupakan istilah yang digunakan oleh negara-

negara anggota G-8, G-20 dan OECD untuk menjelaskan praktek usaha yang dilakukan

oleh banyak perusahaan Multinasional (MNCs) untuk memindahkan keuntungan usahanya

melalui skema transfer pricing ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah/nol (Wells

dan Lowell, 2013, hal.3). Secara umum, selain melalui transfer pricing, praktek BEPS juga

dapat terjadi karena adanya praktek hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang

berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purpose

entities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada MNCs untuk mengalihkan

keuntungan usahanya ke negara lain (Love, P 2013). Praktek semacam ini dapat

menciptakan kompetisi yang tidak sehat diantara pelaku usaha, menciptakan ketidakadilan

kepada wajib pajak untuk mematuhi kebijakan perpajakan yang sama, dan juga mengarah

kepada alokasi sumber daya yang tidak efisien. Lebih jauh, praktek BEPS akan

berdampak pada hilangnya pendapatan potensial yang diterima setiap negara karena

keuntungan suatu perusahaan akan ditransfer ke negara lain yang mengenakan kebijakan

tarif pajak rendah. Dengan demikian praktek BEPS oleh MNCs akan menjadi tantangan

serius bagi setiap negara dan dapat merugikan bagi negara-negara yang menerapkan tarif

pajak normal atau tinggi.

3. Penyebab dan Dampak Masalah BEPS

Selama beberapa dekade, negara berkembang telah menjadi korban atas penerapan

sistem perpajakan internasional yang tidak adil, fair dan tidak efektif. Namun, ketika

masalah yang ditimbulkan oleh BEPS mulai merugikan negara maju karena sebagian

besar negara tersebut menerapkan tarif pajak normal/tinggi, pemimpin negara G20 dan

OECD mulai membahasnya lebih serius untuk mencari solusinya. Terkait hal ini, OECD

telah menyampaikan laporannya mengenai BEPS yang mencakup analisis yang

komprehensif terhadap penyebab utama dan konsekuensi yang mungkin muncul yang

diakibatkan oleh BEPS. Berikut disampaikan beberapa penyebab dan konsekuensi

potensial yang dapat terjadi sebagai akibat masalah BEPS, sebagai berikut.

Penyebab isu BEPS:

a. Praktek profit shifting yang dilakukan oleh MNCs untuk meminimalkan pembayaran

pajak mereka dan memaksimalkan profit mereka merupakan penyebab utama BEPS.

b. Regulasi perpajakan global konvensional (yang disusun 80 tahun lalu) sudah tidak

dapat mengatur perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks.

3 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

c. Sistem perpajakan yang berlaku saat ini (konvensional) memudahkan dan mendorong

MNCs untuk melakukan praktek pengurangan kewajiban pajaknya.

d. Penyalahgunaan penghindaran pajak oleh MNCs telah memberikan keunggulan

kompetitif bagi mereka, meskipun hal ini mendorong munculnya masalah keadilan dan

kepatuhan pajak.

e. Saat ini telah berkembang praktek di mana MNCs tidak membayar kewajiban pajaknya

di negara di mana mereka beroperasi dan mendapatkan keuntungan usaha.

f. Penyelesaian secara sepihak dan parsial tidak akan berhasil mengatasi masalah

BEPS. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan multilateral, dengan

melibatkan semua negara dapat menyelesaikan masalah ini.

Dampak yang ditimbulkan oleh BEPS:

a. Menyebabkan risiko serius bagi penerimaan pajak suatu negara, kedaulatan dan

keadilan perpajakan baik bagi negara maju maupun negara berkembang, khususnya

bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi.

b. Mendorong berkembangnya praktek profit shifting ke negara low-tax jurisdiction oleh

MNCs. Perbedaan tarif pajak menimbulkan kesempatan melakukan tax arbitrage, yang

pada umumnya dimanfaatkan oleh MNCs dalam tax planning-nya.

Mendorong meningkatnya praktek tax dispute dan tax arbritage apabila tidak

diselesaikan secara tepat dan cepat. Apabila wajib pajak dalam negeri memandang

bahwa MNCs dapat dengan mudah menghindari kewajiban pajaknya, maka hal ini

akan menggangu kepatuhan wajib pajak lainnya.

4. Perdebatan seputar isu BEPS

Meskipun sudah banyak dorongan khususnya dari negara-negara anggota G20 dan OECD

untuk menyelesaikan praktek BEPS oleh MNCs yang merugikan, namun perdebatan

mengenai seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh praktek profit shifting oleh MNCs

terhadap perekonomian negara lain masih menjadi pertanyaan.

Sebuah artikel dalam harian The Russia Corporate World mengangkat isu mengenai pros

and cons for assets deoffshorization for business. Perdebatan yang mewarnai artikel ini

adalah tidak ada dampak langsung yang sama kepada semua negara atas praktek BEPS

oleh MNCs. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan praktek shifting yang dilakukan

oleh MNCs di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat dengan Rusia

dan negara-negara pecahan Uni Soviet dan Eropa Timur. Negara Barat yang merupakan

pendukung utama proyek BEPS paling terkena dampak yang signifikan atas praktek profit

4 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

shifting oleh MNCs yang beroperasi di negaranya. Disamping itu, MNCs yang beroperasi di

negara-negara Barat banyak yang mendirikan anak perusahaannya di negara lain yang

menerapkan tarif pajak rendah. Namun, praktek yang sama tidak sepenuhnya terjadi di

Rusia dan negara Eropa Timur. MNCs Rusia sebagian besar melakukan praktek

pengalihan aset dan properti yang mereka miliki ke negara lain dengan tujuan untuk

perlindungan properti dan aset mereka, bukan pengalihan profit mereka. Selanjutnya,

mereka bahkan menempatkan induk perusahaannya di negara lain, bukanlah anak

perusahaan sebagaimana yang dilakukan oleh MNCs di negara-negara Barat. Terkait

perbedaan praktek MNCs ini, terdapat anggapan bahwa dukungan Amerika terhadap

proyek BEPS merupakan upaya Amerika Serikat untuk memaksakan kebijakan perpajakan

dalam negerinya ke semua negara di dunia.

Perbankan European Union (EU) mempunyai pandangan yang berbeda dalam upaya

untuk menyelesaikan praktek MNCs yang merugikan dengan profit shifting-nya. EU

berpandangan bahwa masalah profit shifting oleh MNCs tidak perlu diselesaikan dengan

membuat sistem perpajakan internasional yang baru, namun cukup diatasi dengan

melakukan penguatan regulasi dan pengawasan untuk mengatur operasi MNCs di dalam

negeri. Saat ini, EU telah membuat regulasi yang mengatur operasi MNCs, di mana setiap

perusahaan yang terdaftar di EU akan mempunyai satu akun bank dan selanjutnya akan

dikenakan pajak berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku di EU.

House of Lord di United of Kingdom (UK) mempunyai pandangan berbeda dalam

menyelesaikan praktek MNCs yang merugikan negara yang ditempati. UK lebih memilih

pendekatan unilateral dengan memperkuat regulasi perpajakan nasionalnya dalam

mengatur praktek MNCs yang merugikan tersebut dan tetap mempertahankan sistem

perpajakan internasional yang berlaku saat ini. Pendekatan ini berbeda dengan apa yang

dilakukan oleh OECD dengan proyek BEPS-nya. OECD berpandangan sistem perpajakan

saat ini sudah tidak cocok lagi dengan kondisi dan lingkungan usaha yang semakin

kompleks sehingga perlu dilakukan modernisasi. Disamping itu, OECD juga memilih

pendekatan multilateral untuk menyelesaikan isu BEPS dengan melibatkan banyak negara

dalam pelaksanaannya.

5. Justifikasi Pentingnya Memerangi BEPS

Isu BEPS sangat penting untuk diatasi, tidak hanya karena berpotensi mengganggu

penerimaan pajak suatu negara, tetapi juga dapat menciptakan kompetisi yang tidak

seimbang di dalam perekonomian global yang akan mengarah pada instabilitas sektor

5 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

keuangan global. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bahwa upaya-upaya yang

dilakukan untuk mengatasi BEPS telah memiliki justifikasi yang kuat. Berikut beberapa

justifikasi pentingnya memerangi BEPS.

a. Saat ini banyak negara di dunia termasuk negara anggota G20 dan European Union

(EU) memberlakukan tarif pajak normal/tinggi (non-low tax jurisdiction). Hal ini

menyebabkan negara-negara tersebut paling rentan terkena dampak dari praktek

BEPS yang dilakukan oleh MNCs, sehingga memiliki kepentingan yang kuat untuk

mencegah dan mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh BEPS. Sesuai dengan data

website mengenai corporate tax worldwide guidance, dapat dilihat besaran tarif pajak

korporasi untuk semua negara anggota G20 sebagaimana tabel di bawah.

G20 Tax Comparison

No.

Country

Corporate Income Capitals Gain Branch

Tax Rate (%) Tax Rate (%) Tax Rate (%)

1 Argentina 35 35 35

2 Australia 20 30 30

3 Brazil 15 15 15

4 Canada 15 7.5 15

5 China 25 25 25

6 France 33 1/3 0/15/33 1/3 33 1/3

7 Germany 15 15 15

8 Indonesia 25 - -

9 India 30 20 40

10 Italy 27.5 1.37/27.5 27.5

11 Japan 25.5 25.5 25.5

12 Republic of Korea 22 22 22

13 Mexico 30 30 30

6 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

14 Russia 5/20 5/20 5/20

15 Saudi Arabia 30 to 85 20 -

16 South Africa 28 18.65 28

17 Turkey 20 20 20

18 United Kingdom 24 24 24

19 United States 35 35 35

20 European Union 24 24 24

Sumber : Data diolah dari http://www.ey.com/GL/en/Services/Tax/Worldwide-Corporate-Tax-

Guide-Country-list

b. Kemajuan teknologi informasi yang dimiliki oleh MNCs dan sistem ekonomi digital yang

berlaku saat ini sangat memungkinkan banyak MNCs memiliki kemampuan untuk

melakukan profit shifting ke negara yang menerapkan tarif pajak lebih rendah untuk

memaksimalkan keuntungan perusahaannya. Namun, hal ini menimbulkan kerugian

bagi negara yang menjadi lokasi usaha karena tergerusnya penerimaan negara dari

pendapatan pajak korporasi tersebut (potential loss of revenues for home countries).

Berdasarkan data empiris yang dirilis oleh OECD di bawah disebutkan bahwa negara-

negara anggota OECD terkena dampak yang cukup signifikan atas praktek profit

shifting yang dilakukan oleh MNCs. Ketika negara-negara kecil yang memberlakukan

tarif pajak rendah menikmati masuknya foreign direct investment (FDI) yang cukup

signifikan sebesar ribuan persen dari total GDP negara tersebut. Adapun negara-

negara anggota OECD hanya menikmati masuknya FDI sebesar 36% dari total GDP

negara tersebut.

7 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

c. Berdasarkan laporan OECD mengenai BEPS tahun 2013 (hal. 61), OECD telah

melakukan review atas berbagai kajian terkait isu BEPS dan ditemukan bukti bahwa

terdapat hubungan tidak langsung antara pengenaan tarif pajak rendah dengan profit

shifting yang dilakukan oleh MNCs. Disamping itu, juga ditemukan fakta bahwa

terdapat beberapa negara yang sengaja menerapkan rejim perpajakan dengan tingkat

pajak yang rendah (low-tax jurisdiction), dan mengambil manfaat tersendiri dari hal

tersebut. Hal ini telah menciptakan unfairness dalam tataran sistem perpajakan global,

terutama bagi negara-negara yang menerapkan sistem perpajakan secara normal.

d. Terdapat dukungan yang kuat oleh negara anggota G20 dan OECD untuk segera

mengambil langkah konkrit dalam mengatasi BEPS. G20 juga mendapat dukungan dari

banyak negara agar diciptakan standar perpajakan baru yang memungkinkan

diberlakukan tarif pajak yang sama (setara) kepada seluruh pembayar pajak, termasuk

melalui penguatan komitmen ekonomi dan komitmen politik. Hal ini akan bermanfaat

mengurangi ketidakefisienan alokasi sumber daya di dunia. Indonesia secara khusus

akan secara aktif mendukung pembahasan isu transparansi dan mekanisme

pertukaran informasi pajak secara global, namun hendaknya dapat diperkuat dengan

implementasi dari hasil kesepakatan yang sudah ada selama ini.

e. Sistem perpajakan internasional yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai dan tidak

mampu untuk mengatur operasi MNCs di seluruh dunia, terlebih dengan adanya

tantangan usaha yang lebih kompleks dan meningkatnya praktek ekonomi digital saat

ini. Disamping itu, isu penguatan regulasi dan pengawasan lintas batas negara untuk

operasi MNCs juga masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, proyek BEPS yang

diprakarsai oleh OECD merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sistem

perpajakan internasional yang lebih tepat dan cocok untuk diterapkan dalam kondisi

perekenomian global di abad ke-21 ini.

6. Kerja sama Internasional untuk Mengatasi BEPS

a. Pertemuan G20 tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral pada bulan Juli

2013 telah mengesahkan Global Action Plan yang disusun oleh OECD dalam rangka

mengatasi isu BEPS secara komprehensif. Implementasi rencana aksi ini akan

mengakibatkan terjadinya perubahan yang signifikan di dalam regulasi perpajakan

internasional sejak tahun 1920, seperti:

Peraturan perpajakan internasional akan dikembangkan untuk mengatasi

kesenjangan sistem perpajakan antar negara yang berbeda, namun tetap

8 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

menghormati kedaulatan setiap negara untuk merancang aturan perpajakannya

sendiri.

Peraturan perjanjian pajak dan transfer pricing yang berlaku saat ini akan ditinjau

ulang untuk memperbaiki kekurangan yang ada dan untuk menyelaraskannya

dengan substansi dan penciptaan nilai.

Penciptaan iklim yang lebih transparan melalui pelaporan oleh perusahaan-

perusahaan (MNCs) kepada pemerintah atas alokasi keuntungan perusahaan

mereka di seluruh dunia.

Semua rencana aksi BEPS ini diharapkan dapat diimplementasikan dalam kurun

waktu 18 sampai dengan 24 bulan mendatang.

b. Pelaksanaan Proyek BEPS oleh OECD

Proyek BEPS yang dilaksanakan oleh OECD dan G20 telah menjadi prioritas

utama agenda perpajakan yang dibahas di G20, sebagai jawaban atas berbagai

bukti di berbagai bidang bahwa implementasi perpajakan kontemporer telah banyak

merugikan dan masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan.

Proyek BEPS ini ditujukan untuk mengimplementasi rencana aksi OECD untuk

mengatasi masalah BEPS untuk 2 tahun ke depan. Saat ini telah berhasil

dirumuskan 15 rencana aksi yang dapat membantu pemerintah dengan berbagai

instrument kebijakan yang diperukan untuk mengatasi masalah BEPS dan secara

tidak langsung membantu meningkatkan koherensi dalam implementasi sistem

perpajakan internasional.

Pada tahun 2014, OECD akan menyelesaikan output untuk 7 rencana aksi yang

telah dikaji yaitu mengenai digital economy, hybrid mismatch, transfer pricing,

harmful tax practices, preventing treaty abuse dan developing a multilateral

instrument. 8 rencana aksi sisanya dijadwalkan akan selesai dibahas pada akhir

tahun 2015.

Tujuan utama proyek BEPS adalah untuk menguji tantangan yang dihadapi oleh

digital economy yang diakibatkan oleh ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini.

Laporan dari proyek ini khususnya mengenai opsi kebijakan yang diperlukan dalam

mengatasi isu digital economy diharapkan selesai pada bulan September 2014.

Laporan ini akan memberikan kontribusi signifikan bagi penyelesaian ke-6 rencana

aksi lainnya yang jatuh tempo pada tahun 2014. Final outcomes yang diharapkan

melalui proyek BEPS adalah terciptanya sistem perpajakan internasional yang

sesuai untuk abad ke-21, peningkatan integritas sistem perpajakan, penghindaran

9 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

terhadap aktivitas yang merugikan, penciptaan level of the playing field untuk

semua bisnis, dan meningkatkan kepastian bisnis melalui pengurangan terhadap

ketidakcocokan sistem perpajakan yang berlaku serta memperkenalkan standar

perpajakan internasional baru yang disepakati secara global.

c. Direktur CTPA-OECD, Pascal Saint Amans, mengirimkan email kepada Kepala PKPN-

BKF yang intinya menginformasikan rencana OECD untuk membentuk perjanjian

deklarasi pemberian dukungan bagi studi BEPS yang dilakukan OECD, serta

mengundang Pemerintah Indonesia untuk turut serta menandatangani deklarasi

tersebut pada kesempatan pertemuan tingkat Menteri yang akan diselenggarakan

pada tanggal 29-30 Mei 2013. Berdasarkan persetujuan lisan dari Menteri Keuangan,

Kepala PKPN telah memberikan jawaban yang intinya memberikan dukungan terhadap

penelitian OECD terkait BEPS tersebut.

d. Indonesia mendukung pelaksanaan proyek BEPS dan bersedia menjadi Associate

Member. Namun secara administrasi, bergabungnya Indonesia dalam proyek BEPS

memiliki konsekuensi kewajiban kontribusi iuran sekitar €51,000 per tahun. Untuk

tahun 2013 ini, Kementerian Keuangan belum mengalokasikan pembayaran iuran

tersebut, dan anggarannya baru diusulkan pada tahun 2014. Pada tanggal 2

September 2013, Badan Kebijakan Fiskal secara resmi telah menjawab surat

undangan OECD kepada Indonesia untuk menjadi Associate Member of BEPS dan

menyatakan kesiapan Indonesia untuk berpartisipasi dalam proyek BEPS tersebut,

termasuk kesiapan pembayaran kontribusinya pada tahun 2014.

7. Perkembangan Pembahasan isu BEPS di G20/OECD

Pembahasan isu BEPS di G20 terus mengalami progres yang menggembirakan. Hampir

dalam setiap pertemuan G20, OECD menyampaikan update informasi mengenai

perkembangan proses pembahasan isu ini. Sesuai dengan position paper untuk isu BEPS

yang telah disusun oleh PKPPIM, BKF untuk pertemuan G20 Finance and Central Bank

Deputies pada tanggal 15-16 Desember 2013 di Canberra, Australia, berikut kami

sampaikan perkembangan pembahasan isu tersebut, sebagai berikut.

Pembahasan isu international tax system kembali mengemuka di G20 ketika pada

pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di

Mexico tanggal 5-6 November 2012, sebagian besar Menteri Keuangan menunjukkan

perhatian yang besar atas penyelesaian masalah base erosion and profit shifting

(BEPS). Para menteri keuangan juga menyambut baik kerja OECD terkait isu ini dan

10 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

meminta untuk menyampaikan laporannya pada pertemuan MGM selanjutnya di

Moscow pada tanggal 15-16 Februari 2013.

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM)

di Moscow, Rusia pada tanggal 15-16 Februari 2013, OECD telah menyampaikan

laporannya mengenai “Adressing Base Erosion and Profit Shifting”, yang telah dirilis

pada tanggal 12 Februari 2013 secara garis besar membahas mengenai jenis-jenis

aktivitas tax planning wajib pajak yang umumnya menjadi penyebab utama BPES dan

identifikasi hal-hal yang mempengaruhinya, diantaranya: (i) Tidak samanya tarif pajak

yang menyebabkan arbitrasi dalam implementasinya; (2) keseimbangan sumber-

sumber pajak; (3) pembiayaan diantara kelompok yang sama; (4) isu transfer pricing;

(5) efektifitas aturan anti-penghindaran pajak; dan (6) dukungan rejim tertentu.

Dalam laporan OECD tersebut juga disampaikan bahwa perlunya dukungan politis dari

negara anggota dan non-negara anggota OECD untuk mengatasi isu BEPS ini. Hal ini

dikarenakan penyelesaian isu BEPS tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja,

melainkan diperlukan koordinasi internasional yang lebih baik, terutama mengenai

transparansi dan pertukaran informasi di bidang perpajakan. OECD juga menghimbau

agar dilakukan upaya pencegahan yang bersifat komprehensif dan internasional dalam

mengatasi BEPS dimaksud.

Deputy Prime Minister Treasurer of Australia (Wayne Swan) melalui surat tanggal 13

Februari 2013 kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia meminta dukungan dari

Pemerintah Indonesia terhadap upaya-upaya memperkuat Global Financial System,

dengan turut berpartisipasi dalam penyusunan comprehensive global action plan untuk

meningkatkan sustainabilitas dan integritas sistem perpajakan global.

Pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di

Washington DC pada tanggal 18-19 April 2013 yang menyepakati untuk mengangkat

isu ini sebagai salah satu agenda utama G20 ke depan, khususnya terkait isu base

erosion and profit shifting (BEPS). Pertemuan ini juga menyepakati bahwa masih

banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak

internasional, terutama yang dilakukan melalui pemberian fasilitas bebas pajak (tax

haven). G20 MGM juga menyambut baik laporan Global Forum, OECD mengenai

efektivitas pertukaran informasi dan mengapresiasi kemajuan yang telah dicapai oleh

banyak negara.

Pada pertemuan G20 MGM (tingkat Menteri Keuangan) bulan Juli 2013 akan meminta

OECD menyampaikan proposalnya yang lebih komprehensif mengenai isu BEPS.

11 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

Untuk KTT G20 di St. Petersburg pada bulan September 2013, G20 MGM mendorong

semua negara untuk menandatangani atau menyatakan minatnya untuk

menandatangani kesepakatan “the Multilateral Convention on Mutual Administrative

Assistance in Tax Matters, dan meminta OECD melaporkan perkembangannya.

Selanjutnya G20 MGM juga menyambut baik telah dilaksanakannya pertukaran

informasi di bidang perpajakan secara otomatis dan berharap hal ini dapat diterapkan

juga kepada semua pihak yang telah mengikatkan diri dalam perjanjian/treaty sesuai

dengan standar yang berlaku.

Pada pertemuan Sherpa Ke-3 di St. Petersburg tanggal 11-12 Mei 2013, sebagain

besar Sherpa G20 mendukung diangkatnya isu perpajakan khususnya BEPS sebagai

agenda G20. Dalam hal ini, Sherpas mengharapkan pembahasan kongkrit terkait

masalah ini dalam kesempatan pertemuan Finance Deputies dan Finance Ministers

mendatang. Beberapa negara anggota menyatakan bahwa pembahasan isu pajak

merupakan langkah penting bagi G20, dan pesan yang tegas dari Leaders akan

menjadi dukungan politik yang cukup kuat serta sinyal positif kepada pasar. Sementara

OECD menyampaikan perkembangan pelaksanaan komitmen G20 terkait isu

transparansi dan pertukaran informasi perpajakan melalui Global Tax Forum.

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada

tanggal 19-20 Juli 2013, G20 MGM telah mengesahkan rencana aksi yang

komprehensif untuk mengatasi BEPS yang telah disampaikan oleh OECD. Selanjutnya,

MGM juga menyambut baik pendirian proyek BEPS yang digagas oleh G20 dan OECD

dan mengajak semua negara yang tertarik terhadap masalah BEPS untuk menjadi

anggota.

Pada pertemuan G20 Summit di Saint Petersburg pada tanggal 5-6 September 2013

para pemimpin negara G20 menegaskan kembali komitmen untuk mengatasi isu BEPS

dan kerjasama dalam pertukaran informasi perpajakan secara otomotis, serta

menyepakati pertukaran informasi ini sebagai standar global yang baru di bidang

perpajakan.

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 10-

11 Oktober 2013, G20 MGM sepakat untuk terus mengawal implementasi agenda

perpajakan yang terlalu ambisi dan menunggu laporan rutin dari Global Forum dan the

OECD, khususnya mengenai pembuatan standar baru untuk pertukaran informasi

secara otomatis dan implementasi rencana aksi BEPS.

12 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

Pada tanggal 22-23 November 2013 telah diselenggarakan pertemuan “6th Meeting of

Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes” di

Jakarta. Pertemuan ini membahas 2 agenda utama yaitu:

Cara untuk lebih mempromosikan pertukaran informasi perpajakan guna

memastikan bahwa semua orang, di semua negara dapat membayar bagiannya

secara adil.

Penyusunan kriteria untuk merilis peringkat kepatuhan terhadap lebih dari 50

negara, yang dapat ditinjau dari segi ketersediaan, akses dan pertukaran

informasinya.

Pada pertemuan ini juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman mengenai

Konvensi Multilateral tentang Bantuan Administratif Timbal Balik dalam Masalah Pajak.

Pada pertemuan G20 tingkat Deputi Keuangan dan Bank Sentral tanggal 15-16

Desember 2013 di Canberra, Australia, para Deputies telah bertukar pandangan

mengenai agenda international tax yang penting untuk dilanjutkan pembahasannya

pada pertemuan G20 di bawah presidensi Australia tahun 2014. Disamping itu, juga

turut dibahas mengenai mekanisme kerja sama antara DWG dan finance track dalam

membahas agenda perpajakan, isu-isu apa yang dapat diselesaikan di DWG dan

bagaimana cara terbaik untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan

kapasitasnya mengenai administrasi perpajakan.

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 21-

23 Februari 2014 di Sydney, Australia, G20 kembali mendukung rencana aksi global

terhadap BEPS berdasar prinsip perpajakan yang sehat. G20 berpendapat bahwa

keuntungan harus dikenakan pajak di mana aktivitas ekonomi dilakukan serta

mengharapkan perkembangan soal BEPS sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.

Pada G20 International Tax Symposium di Tokyo, Jepang tanggal 9-10 Mei 2014 isu

BEPS kembali dibahas dengan fokus pada negara-negara berkembang, khususnya di

wilayah Asia-Pasifik. Simposium ini juga membahas tentang tantangan pada ekonomi

digital dan pengaruhnya pada sistem pajak internasional.

Pada tanggal 16 September 2014, OECD telah merilis tujuh deliverables dari rencana

aksi yang direncanakan selesai pada tahun 2014.

13 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 20-

21 September 2014 di Cairns, Australia, G20 kembali menyatakan dukungannya

terhadap penyelesaian proyek BEPS yang direncanakan sekesai pada akhir tahun

2015.

Pembahasan terkini pada pertemuan G20 Summit tanggal 15-16 November 2014 di Brisbane,

Australia, G20 kembali menegaskan bahwa keuntungan harus dikenai pajak di mana kegiatan

ekonomi dilakukan dan nilai tambah diciptakan. G20 juga menyambut baik perkembangan

signifikan pada isu BEPS dan berkomitmen akan menyelesaikannya pada akhir 2015.

8. Rencana Aksi BEPS, Update dan Tindaklanjutnya

Rencana Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) ditujukan untuk mengatasi

kekhawatiran banyak negara terhadap masalah berkurangnya pendapatan negara dari

pajak yang diakibatkan perencanaan pajak agresif yang dilakukan secara terstruktur oleh

MNCs. Kerugian negara dimungkinkan menjadi lebih besar lagi mengingat kemajuan

teknologi informasi yang dimiliki oleh MNCs semakin canggih dan berlangsungnya praktek

perekonomian digital saat ini. Praktek perekonomian digital mempunyai karakteristik

adanya ketergantungan transaksi pada aset tidak berwujud, penggunaan secara besar-

besaran data terutama data pribadi, dan kesulitan dalam menentukan yurisdiksi/negara di

mana penciptaan nilai terjadi.

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 19-20

Juli 2013, telah disahkan rencana aksi OECD yang komprehensif untuk mengatasi BEPS.

Selanjutnya, MGM juga menyambut baik pelaksanaan proyek BEPS yang digagas oleh

G20 dan OECD, serta mengajak semua negara yang memiliki keprihatinan yang tinggi

terhadap masalah BEPS untuk menjadi anggota. Secara Secara umum rencana aksi

BEPS membahas 4 prinsip utama, yaitu:

a. Membangun koherensi pajak penghasilan perusahaan secara internasional melalui

penetralan dampak tarif pajak yang berbeda, memperkuat regulasi pengawasan

terhadap perusahaan asing, membatasi berkurangnya penerimaan pajak, dan melawan

praktek-praktek perpajakan yang merugikan secara lebih efektif.

b. Meningkatkan manfaat atas penerapan standar perpajakan internasional, seperti

mencegah penyalahgunaan perjanjian perpajakan internasional, menghindari

pemalsuan status Permanent Establisment (PE), memperbaiki regulasi mengenai

14 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

transfer pricing atas barang tak berwujud, atas risiko dan area yang berisiko tinggi

lainnya.

c. Menjamin transparansi yang sejalan dengan upaya memperkuat kepastian hukum dan

prediktabilitas.

d. Mempercepat proses implementasi rencana aksi BEPS beserta langkah-langkah nyata

yang akan diambil.

Pada 16 September 2014, OECD telah merilis tujuh rencana aksi BEPS yang jatuh tempo

di tahun 2014, sebagai berikut.

Action 1 : Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy

Ekonomi digital adalah proses yang dihasilkan teknologi informasi & komunikasi dan

masih akan terus berkembang sehingga dibutuhkan langkah lebih lanjut di masa

depan untuk mengevaluasi dampaknya pada sistem pajak.

Ekonomi digital memiliki beberapa elemen kunci yang relevan dari kacamata

perpajakan, seperti mobilitas, ketergantungan pada data & network effects. Ekonomi

digital juga berperan besar dalam operasi global MNE.

Walau ekonomi digital tidak menciptakan risiko BEPS baru, beberapa elemen

kuncinya mempertajam risiko BEPS yang telah ada. Ke depan, isu-isu yang secara

spesifik mengarah ke ekonomi digital wajib dievaluasi, seperti penggunaan barang tak

berwujud dan penggunaan data.

Ekonomi digital juga menimbulkan tantangan perpajakan yang lebih luas bagi para

pembuat kebijakan terkait hubungan antar MNE, data dan karakteristik perusahaan

serta pengumpulan PPN.

Langkah ke depan yang akan diambil terkait ekonomi digital antara lain isu pengenaan

pajak, khususnya PPN di transaksi digital serta memantau efek dari deliverables pada

ekonomi digital jika ada langkah tambahan yang diperlukan.

Action 2 : Neutralising the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements

Penerapan aturan perpajakan yang berbeda antar negara dapat menimbulkan

penangguhan pajak ganda dan sering kali sulit untuk menentukan negara mana yang

mengalami kerugian pajak.

Laporan action plan memberikan dua macam rekomendasi untuk isu ini, yaitu

rekomendasi untuk peraturan dalam negeri dan rekomendasi untuk isu-isu P3B.

Rekomendasi peraturan dalam negeri berisi rekomendasi untuk pengaturan yang

menghasilkan deduction/ no inclusion (D/NI) outcomes dan double deduction (DD)

outcomes.

15 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

Rekomendasi untuk isu-isu P3B berisi rekomendasi untuk entitas

berkewarganegaraan ganda, ketentuan P3B bagi entitas transparan dan interaksi

antara peraturan dalam negeri dan P3B.

Action 5 : Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account

Transparency and Substance

OECD telah lama menjajaki isu ini, dimulai dari laporan Harmful Tax Competition: An

Emerging Global Issue di tahun 1998. Action Plan ini dimaksudkan untuk

memperbarui laporan-laporan tersebut untuk disesuaikan dengan keadaan masa ini.

Perubahan laporan diprioritaskan pada dua hal, yaitu pengumpulan informasi

mengenai kegiatan ekonomi di rezim pajak khusus dan peningkatan transparansi.

Review untuk menentukan apakah suatu rejim termasuk harmful atau tidak telah

dilakukan ke seluruh member OECD. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan

adalah memperluas lingkup deliverables ini ke negara-negara lain di luar OECD.

Action 6 : Preventing the Granting of Treaty Benefit in Inappropriate Circumstances

Action Plan ini difokuskan pada tiga hal, yaitu penyusunan rekomendasi mengenai

aturan domestik untuk mencegah penyalahgunaan aturan P3B, penjelasan bahwa

P3B tidak dimaksudkan untuk penghindaran pajak berganda, dan identifikasi

pertimbangan yang harus dilakukan oleh suatu negara sebelum melakukan perjanjian

P3B dengan negara lain.

Rekomendasi mengenai aturan domestik mencakup dua hal, yaitu kasus

pemanfaatan loophole di P3B dan kasus penggunaan P3B untuk mengakali peraturan

domestik.

Beberapa perubahan untuk OECD Model Tax Convention mengenai action plan ini

telah diusulkan di deliverables.

Action 8 : Guidance on Transfer Pricing Aspects of Intangibles

Action Plan ini dimaksudkan untuk memperbarui OECD Transfer Pricing Guidelines

for Multinational Enterprises and Tax Administrations, khususnya pada transfer pricing

barang tidak berwujud (intangibles).

Perubahan yang dilakukan antara lain penjelasan definisi barang tak berwujud,

petunjuk untuk mengidentifikasi transaksi barang tak berwujud, dan penentuan

kondisi wajar dan lazim untuk transaksi barang tak berwujud.

16 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

Action 13 : Guidance on Transfer Pricing Documentation and Country-by-Country

Reporting

Deliverables berisi revisi mengenai standar untuk dokumentasi transfer pricing serta

template country-by-country untuk pelaporan pendapatan, pajak, dan aktivitas

ekonomi lainnya yang relevan.

Standar ini berisi country-by-country report, master file dan local file yang akan

mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan posisi transfer pricing yang

konsisten serta menyediakan informasi bagi otoritas pajak untuk mengukur risiko

transfer pricing. Standar ini juga dapat menentukan di mana sumber daya untuk

audit dapat diturunkan secara efektif.

Action 15 : Developing a Multilateral Instrument to Modify Bilateral Tax Treaties

Instrumen multilateral diperlukan karena sistem bilateral dirasa masih memberi

kesempatan untuk praktek penghindaran pajak dan dinilai terlalu menghabiskan

waktu karena jumlahnya terlalu banyak.

Deliverables menilai bahwa instrumen multilateral memiliki banyak manfaat serta

sisi negatifnya dapat dihindari serta memungkinkan untuk dijalankan karena

mekanisme hukum telah tersedia untuk mencapai instrument seimbang yang

membahas tantangan teknis & politis.

Ke depannya, OECD merencanakan akan mengadakan konferensi internasional

untuk membahas instrument multilateral di 2015. Selain itu, action plan on BEPS

yang berhubungan dengan P3B harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum

komponen substantif instrument multilateral dapat diselesaikan.

Selanjutnya, ringkasan untuk 8 (delapan) rencana aksi BEPS yang akan diselesaikan

pada tahun 2015 adalah sebagai berikut.

Action 3: Strengthen controlled foreign company

Memperkuat pengawasan terhadap perusahaan asing (Controlled Foreign Companies).

Salah satu sumber kekhawatiran yang disebabkan oleh BEPS adalah kemungkinan

terjadinya pengalihan penghasilan melalui lembaga asing yang terbentuk untuk

menghindar dari kewajiban perpajakan.

Action 4: Limit base erosion via interest deductions and other financial payments

Membatasi tergerusnya pendapatan melalui pemotongan bunga dan pembayaran

transaksi keuangan lainnya.

17 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

Action 7: Prevent the artificial avoidance of permanent establishment status

Mencegah pemalsuan atas status permanent establishment (PE). Berdasarkan standar

internasional, suatu negara mungkin tidak mengenakan pajak atas keuntungan

perusahaan asing kecuali perusahaan itu memiliki status PE di negara tersebut.

Action 9: Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation:

risks and capital

Memastikan bahwa hasil transfer pricing adalah sejalan dengan penciptaan nilai untuk

risiko dan permodalan.

Action 10: Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation:

other high-risk transactions

Memastikan bahwa hasil dari transfer pricing adalah sejalan dengan penciptaan nilai

untuk transaksi lainnya yang berisiko tinggi.

Action 11: Establish methodologies to collect and analyze data on BEPS and the

actions to address it

Mengembangkan metodologi untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang

BEPS dan tindakan/upaya untuk mengatasinya.

Action 12: Require taxpayers to disclose their aggressive tax planning

arrangements

Mewajibkan wajib pajak untuk menyampaikan perencanaan pajaknya yang agresif.

Perbaikan pengungkapan rencana perpajakan dapat membantu pemerintah (Ditjen

Pajak) dan pengambil keputusan di bidang perpajakan untuk mengidentifikasi daerah

yang berisiko, dan juga berfungsi sebagai pencegah keterlibatan di dalam perencanaan

pajak yang agresif.

Action 14: Make dispute resolution mechanisms more effective

Membuat mekanisme penyelesaian perselisihan menjadi lebih efektif. Aksi untuk

melawan praktek BEPS harus dilengkapi dengan tindakan untuk menjamin kepastian

dan prediktabilitas yang diperlukan untuk meningkatkan investasi.

18 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

Pembahasan rencana aksi BEPS yang dilakukan oleh OECD telah dilaporkan pada saat

pertemuan G20 Finance and Central Bank Deputies di Canberra, Australia pada tanggal 15-16

Desember 2013. Pada pertemuan G20 Deputies tersebut, OECD telah menyampaikan update

program kerja untuk menyelesaikan rencana aksi BEPS. Program kerja OECD dibagi di dalam

2 tahap penyelesaian yaitu 7 rencana aksi telah menghasilkan output pada akhir bulan

September 2014 dan sisanya 8 rencana aksi ditargetkan menghasilkan output pada tahun

2015. Output yang akan dihasilkan oleh proyek BEPS pada tahun 2014 dan 2015 adalah

sebagai berikut.

a. Output untuk 7 rencana aksi BEPS yang jatuh tempo pada tahun 2014

No. Action Plan Expected Outputs

1. Addresses the tax challenges of the digital economy

Report identifying issues raised by the digital economy and possible actions to address them

2. Neutralize the effects of hybrid mismatch schemes (debt-equity instruments and entities)

Changes to the OECD Model Tax Convention

Recommendations regarding the design of domestic rules

5. Counter harmful tax practices more effectively, taking into account transparency and substance

Finalize review of member country regimes

6. Prevent treaty abuse Changes to the OECD Model Tax Convention

Recommendations regarding the design of domestic rules

8. Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation: intangibles

Changes to Transfer Pricing Guidelines and possibly to the OECD Model Tax Convention

13. Re-examine transfer pricing documentation Changes to Transfer Pricing Guidelines and recommendations regarding the design of domestic rules

15. Develop a multilateral instrument Report identifying relevant public international law and tanx issues

19 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

b. Output untuk 8 rencana aksi BEPS yang jatuh tempo pada tahun 2015

No. Action Plan Expected Outputs

3. Strengthen controlled foreign company Recommendations regarding the design of

domestic rules

4. Limit base erosion via interest deductions and

other financial payments

Recommendations regarding the design of

domestic rules

7. Prevent the artificial avoidance of permanent

establishment status

Changes to the OECD Model Tax

Convention

9. Assure that transfer pricing outcomes are in

line with value creation: risks and capital

Changes to the Transfer Pricing Guidelines

and possibly to the OECD Model Tax

Convention

10. Assure that transfer pricing outcomes are in

line with value creation: other high-risk

transactions

Changes to the Transfer Pricing Guidelines

and possibly to the OECD Model Tax

Convention

11. Establish methodologies to collect and analyze

data on BEPS and the actions to address it

Recommendations regarding data to be

collected and methodologies to analyze

them

12. Require taxpayers to disclose their aggressive

tax planning arrangements

Recommendations regarding the design of

domestic rules

14. Make dispute resolution mechanisms more

effective

Changes to the OECD Model Tax

Convention

Sumber: issues Note, session 7, International tax, pertemuan G20 Deputies, 15-16 Desember 2013,

Canberra, Australia

9. BEPS dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia

Indonesia memandang bahwa BEPS dapat menyebabkan risiko tinggi terhadap

penerimaan negara dari pajak, kedaulatan pajak, dan kepercayaan terhadap keutuhan

sistem perpajakan yang dimiliki oleh setiap negara. BEPS telah menyebabkan pemerintah

kehilangan penerimaan yang signifikan dari pajak korporasi yang disebabkan perencanaan

pajak yang dilakukan oleh MNCs yang mendorong mereka mengalihkan keuntungan

perusahaannya ke negara lain yang memberikan fasilitas perpajakan lebih menguntungkan

atau yang menerapkan tarif pajak rendah.

20 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

Lebih jauh, otoritas pajak juga mengindikasikan adanya dorongan yang kuat untuk

menyelesaikan masalah yang diakibatkan BEPS. Mereka juga menyampaikan bahwa

sistem perpajakan tidak rusak total akibat BEPS, dan otoritas perpajakan di Indonesia

mendukung dilakukannya kajian mengenai bagaimana melakukan pembagian pajak yang

adil antar negara. Namun demikian, otoritas pajak mengingatkan bahwa setiap negara

harus berhati-hati apabila akan meninggalkan sistem perpajakan yang berlaku saat ini.

Sebaliknya, juga tidak setuju apabila MNCs membayar kewajiban pajaknya lebih rendah

dari yang dibayar oleh perusahaan domestik.

Menurut Wattimury (2013, hal. 22) terdapat beberapa pandangan dari otoritas pajak di

Indonesia, sebagai berikut:

a. Ada 2 hal yang berada pada saat yang bersamaan yaitu BEPS dan kompetisi

perpajakan antar negara. Kompetisi ini yang menyebabkan adanya BEPS.

b. Prinsip utama yang perlu dipahami adalah otoritas perpajakan tidak berpikir bahwa

tujuan dari proyek BEPS adalah untuk meningkatkan sumber pendapatan pajak suatu

negara.

c. Pemerintah perlu mendapat bantuan teknis dari OECD untuk memahami dan

melaksanakan rencana aksi BEPS.

d. Pemerintah perlu menyusun peraturan perpajakan yang komprehensif dan meminta

wajib pajak untuk mematuhinya. Tidak perlu memikirkan apakah wajib pajak akan

melaksanakan regulasi tersebut atau tidak.

Masih menurut laporan yang disusun oleh Watimury (2013, hal. 22-23), OECD

menganggap BEPS bukanlah masalah yang diciptakan oleh satu atau beberapa

perusahaan tertentu, namun merupakan akibat dari peraturan perpajakan yang ada.

Berikut disampaikan beberapa kebijakan dalam negeri Indonesia yang mendorong

aktivitas BEPS oleh MNCs, sebagai berikut:

a. Kebijakan Transfer Pricing

Undang-undang pajak penghasilan di Indonesia memberi wewenang kepada

Direktorat Jenderal Pajak untuk membuat penyesuaian transfer pricing lebih awal,

meskipun hal ini sulit dilakukan dalam prakteknya. Ketentuan transfer pricing pertama

kali diperkenalkan pada tahun 2008 ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah (PP) yang mewajibkan wajib pajak untuk mengelola dokumentasi

mengenai transfer pricing. Namun, kelemahan regulasi ini adalah tidak adanya

pedoman yang jelas mengenai kriteria dokumentasi yang dipersyaratkan serta tidak

adanya hukuman bagi perusahaan yang melanggar. Disamping itu, masalah utama

21 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

kebijakan transfer pricing di Indonesia adalah tidak adanya Unit Investigasi Khusus

pada Direktorat Jenderal Pajak dan pertanyaan mengenai transfer pricing paling

sering muncul pada saat dilakukan audit pajak rutin.

b. Tax Haven Country

Meskipun Indonesia tidak termasuk negara tax haven yang menerapkan tarif pajak

rendah atau membebaskan sebagian jenis pajaknya, namun pemerintah Indonesia

kesulitan dalam mengatasi BEPS. Pada tahun 2009, otoritas pajak pernah berencana

menempatkan petugas pajaknya di negara yang tergolong tax haven country untuk

menghukum perusahaan domestik yang membandel dengan menghindari kewajiban

pajaknya secara rutin.

Pada tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran No.

29/PJ/2011 (SE-29) tanggal 4 April 2011 mengenai rencana dan strategi pelaksanaan

audit perpajakan. Pada waktu lampau, Indonesia pernah membuat daftar hitam

negara-negara yang menerapkan tax haven.

c. Thin Capitalization

Thin capitalization adalah pinjaman (loan) berupa uang atau modal dari pemegang

saham atau orang yang memiliki hubungan khusus dengan peminjam. Beberapa

modus pemberian pinjaman dalam praktek thin capitalization adalah:

Direct loan, dimana investor juga bertindak selaku wajib pajak asing.

Back to backloan, di mana investor harus mengalihkan dananya melalui pihak

ketiga.

Loan parallel, di mana investor asing harus bermitra dengan perusahaan

domestik, yang juga memiliki anak perusahaan di negara investor.

Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan karena rugi maka kreditor diijinkan

untuk memotong kewajiban pajaknya. Tetapi apabila perusahaan dapat

mendistribusikan pinjaman dari pembayaran nasabahnya, maka kreditor tidak

mendapat insentif apa-apa, kecuali menerima pengembalian modalnya tanpa

dipotong pajak.

d. Treaty Shopping

Banyak negara telah menjalin kesepakatan dengan negara lain untuk mengurangi

dampak dari pengenaan pajak berganda. Kebanyakan praktek treaty shoping

dimaksudkan untuk menikmati pemberian fasilitas tarif pajak rendah sebagaimana

22 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

dijamin di dalam perjanjian dan biasanya dilakukan melalui pendirian FDI di

Indonesia.

e. Controlled Foreign Corporation (CFC)

Wajib pajak dalam negeri cenderung membayar lebih rendah kewajiban pajaknya atas

keuntungan investasi anak perusahaannya di luar negeri dan kelebihan itu harus

didistribusikan kepada para pemegang saham. Model CFC yang lazim dilaksanakan

adalah dengan memanfaatkan hubungan khusus dengan pemegang saham

mayoritas, sehingga perusahaan asing dapat dikontrol dengan tidak membagikan

deviden atau menahannya.

10. Posisi Indonesia di G20 terkait isu BEPS

Dalam setiap pertemuan G20 yang dihadiri oleh delegasi Indonesia, Kementerian

Keuangan selalu menyusun posisi Indonesia atas agenda BEPS. Pada pertemuan G20

terkini yaitu pertemuan G20 Deputi Keuangan dan Bank Sentral terkini yang dilaksanakan

di Canberra, Australia pada tanggal 15-16 Desember 2013, delegasi Indonesia telah

menyusun posisi Indonesia dalam pembahasan isu BEPS, sebagai berikut.

Indonesia mendukung dilanjutkannya pembahasan agenda addressing Base Erosion

and Profit Sharing (BEPS) dan agenda pertukaran informasi perpajakan dalam rangka

meningkatkan kesinambungan dan integritas sistem perpajakan global.

Indonesia akan mengimplementasi BEPS action plan secara komprehensif, utamanya

dalam aksi untuk melawan praktek perpajakan yang merugikan lebih efektif,

penyalahgunaan perjanjian dan kewajiban wajib pajak untuk menyampaikan

perencanaan pajaknya yang agresif.

Agar manfaat proyek BEPS ini dapat maksimal dirasakan oleh kalangan bisnis dan

masyarakat luas, maka diperlukan pemahaman yang baik oleh tax regulators di setiap

negara dan dilakukan program outreach yang intensif untuk kalangan bisnis dan

masyarakat umum.

Kerjasama global dalam mengatasi BEPS harus didasarkan pada skema voluntary

basis, di mana dalam pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan kondisi/regulasi di

masing-masing negara.

23 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

11. Beberapa ketentuan di Indonesia yang telah sejalan dengan rencana aksi BEPS

Terkait dengan kesiapan Indonesia dalam implementasi rencana aksi BEPS ini, Pusat

Kebijakan Penerimaan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal telah memberikan

masukan mengenai beberapa ketentuan perpajakan di Indonesia yang telah sejalan

dengan rencana aksi BEPS, sebagai berikut.

1. Dalam action-1, Tim proyek BEPS OECD baru ingin mengidentifikasi isu internasional

terkait digital economy. Terkait hal ini, UU PPh di Indonesia telah memiliki pengaturan

terkait digital economy.

2. Terkait dengan action-2 dan 3, Indonesia telah memiliki ketentuan tentang CFC Rule

dalam PMK 256/PMK.03/2008 dan Per DJP nomor: PER - 59/PJ/2010.

3. Terkait dengan action-4, Indonesia sedang menyusun ketentuan mengenai Thin

Capitalization (DER / Debt to Equity Ratio).

4. Terkait dengan action-5, review hingga Sept 2014 ditargetkan hanya bagi negara

anggota OECD, sehingga tidak termasuk Indonesia (Indonesia belum anggota OECD).

Selain itu, pemberian fasilitas perpajakan di Indonesia ditujukan untuk menarik

Real/Direct Investment (seperti Tax Holiday, Tax Allowance) sehingga sebenarnya

telah sekaligus memperhatikan/mencegah harmful tax practice.

5. Terkait action-6, kebijakan P3B Indonesia terkini telah mengadopsi prinsip anti-treaty

abuse. Klausul anti-treaty abuse telah terdapat dalam beberapa P3B Indonesia dengan

negara mitra. Selain itu, ketentuan domestik Indonesia juga telah memberikan

pengaturan mengenai anti-treaty abuse.

6. Terkait dengan action 8,9,10,12,13, dan 14, Indonesia telah memiliki ketentuan

mengenai Transfer Pricing, Transfer Pricing Documentation, Advance Pricing

Agreement (APA), Mutual Agreement Procedure (MAP), dan Pertukaran Informasi

(Exchange of Information).

7. Terkait dengan action-15, Indonesia telah menandatangani Convention on Mutual

Assistance in Tax Matters yang bersifat multilateral.

Indonesia menunggu penyelesaian usulan multilateral instrument terkait P3B dari tim

BEPS.

24 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

12. Rekomendasi

a. Upaya untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh BEPS adalah penting

untuk segera dilakukan dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas keuangan

global. Pada presidensi Australia tahun 2014, agenda BEPS ini menjadi salah satu

agenda utama G20. Namun demikian, perkembangan pembahasan agenda ini perlu

dimonitor secara hati-hati dan cermat agar pelaksanaan proyek ini dapat tepat sasaran,

tepat waktu dan tidak berdampak negatif bagi negara-negara di dunia. Selanjutnya,

perlu terus mengusulkan kepada G20/OECD agar regulasi/standar perpajakan yang

baru untuk mengatasi BEPS ini dapat bersifat fleksibel dan tidak merugikan dalam

implementasinya nanti, dengan tetap memperhatikan kondisi dan kesiapan infrastruktur

keuangan yang ada di masing-masing negara.

b. Regulator perpajakan di Indonesia seperti Direktorat Jenderal Pajak dan Pusat

Kebijakan Penerimaan Negara, BKF, serta didukung oleh Pusat Kebijakan Perubahan

Iklim dan Multilateral, BKF yang terlibat aktif dalam pertemuan G20 perlu bekerjasama

secara aktif dalam rangka mengikuti dan menindaklanjuti pembahasan isu BEPS yang

dilakukan oleh G20 dan OECD, khususnya untuk komitmen implementasi rencana aksi

BEPS yang telah selesai pada tahun 2014. Koordinasi dan komunikasi yang lebih baik

dan erat ini akan sangat membantu dalam menyuarakan kepentingan Indonesia dalam

proses pembahasan isu tersebut Disamping itu, adanya koordinasi yang baik juga akan

memudahkan dalam proses implementasi regulasi/standar perpajakan yang baru

nantinya. Sesuai dengan informasi pegawai magang di OECD, OECD bermaksud

melakukan peer review kepada non-OECD member pada tahun 2015. Namun, hal ini

masih menjadi perdebatan mengenai kriteria pelaksanaan peer review tersebut, di

mana negara emerging menginginkan kriteria yang berbeda dengan negara OECD

serta diberikan waktu yang cukup untuk melakukan Outreach pada regulator

perpajakan di negara masing-masing (Cahyadi, A 2013).

c. Indonesia perlu terlibat aktif dalam pembahasan proyek BEPS yang saat ini sedang

dilaksanakan oleh OECD. Peran aktif Indonesia dalam proyek tersebut sangat penting

dalam rangka menjaga kepentingan Indonesia khususnya dan kepentingan negara

emerging umumnya. Karena masalah BEPS ini hanya dapat diselesaikan dengan

keterlibatan semua negara, maka keterlibatan Indonesia juga dapat dimanfaatkan

untuk meminimalkan potensi risiko yang kemungkinan muncul sebagai konsekuensi

dari diberlakukannya regulasi atau standar perpajakan internasional yang baru yang

akan dikeluarkan oleh G20/OECD. Apabila diperlukan kiranya dapat dipertimbangkan

25 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

untuk meminta bantuan teknis dari OECD untuk meningkatkan pemahaman pegawai

pajak dan Unit terkait lainnya atas resolusi yang dihasilkan untuk mengatasi isu BEPS.

d. Wakil Indonesia yang akan ditugaskan dalam proyek BEPS perlu bertindak kritis dan

pro-aktif atas kemungkinan melebarnya pembahasan agenda perpajakan yang

dilakukan oleh OECD, diluar agenda BEPS dan agenda perpajakan lainnya yang telah

disetujui oleh G20. Usulan pembahasan agenda baru yang belum pernah dibicarakan

sebelumnya dikawatirkan dapat mengganggu target penyelesaian proyek BEPS pada

tahun 2015 dan juga berpotensi menimbulkan risiko bagi kepentingan nasional dalam

proses implementasi nantinya.

26 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

Daftar Pustaka

1. Arifin, N.Z, 2013, Position paper mengenai BEPS untuk pertemuan G20 finance and

central bank deputies, 15-16 Desember 2013, Canberra, Australia

2. Australia Presidency, 2013, Issues note, session 7 on international tax, G20 finance and

central bank deputies meeting 15-16 December 2013, Canberra, Australia

3. Cahyadi, A 2013, Laporan magang di OECD: keikutsertaan dalam forum on harmful tax

practices, 16-18 Desember 2013, Jakarta

4. Http://www.ey.com/GL/en/Services/Tax/Worldwide-Corporate-Tax-Guide-Country-list

5. Idrisova, A 2013, The pros and cons of calls for assets deoffshorization for business, The

Russia corporate world, Vol.9, Russia

6. Love, P 2013, What is BEPS and how can you stop it?, OECD insights, Paris

7. OECD, February 2013, Addressing Base Erosion and Profit Shifting, OECD Publishing,

Paris

8. OECD, 2013, OECD Secretary General Report to the G20 Finance Ministers and Central

Bank Governors, Moscow, Russia

9. OECD, 2013, OECD Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting, OECD Publishing,

Paris

10. OECD, 2014, Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, OECD/ G20 Base

Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris

11. OECD, 2014, Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account

Transparency and Substance, G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD

Publishing, Paris

12. OECD, 2014, Developing a Multilateral Instrument to Modify Bilateral Tax Treaties, OECD/

G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris

27 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014

13. OECD, 2014, Guidance on Transfer Pricing Aspects of Intangibles, OECD/ G20 Base

Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris

14. OECD, 2014, Guidance on Transfer Pricing Documentation and Country-by-Country

Reporting, OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris

15. OECD, 2014, Neutralising the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements, OECD/ G20 Base

Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris

16. OECD, 2014, Preventing the Granting of Treaty Benefits in Inappropriate Circumstances,

OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris

17. Pusat Kebijakan Penerimaan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal, 2014, Masukan

terhadap G20 Compliance Report, Jakarta.

18. Wattimury, D 2013, The linkage: convergence IFRS, BEPS issue in G20 Summit and

Indonesia positioning, MoU Fiscal Policy Agency and University of Indonesia, Jakarta

19. Wells, B and Lowell, C, 2013, Tax base erosion: reformation of section 482’S arm length

standard, The University of Houston Law Center, Amerika