6
Benteng Fort De Kock Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun 1825 pada masa Baron Hendrik Markus De Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena itulah benteng ini terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock. Benteng yang terletak di atas Bukit Jirek ini digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya perang Paderi pada tahun 1821-1837. Disekitar benteng masih terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke 19. Dari lokasi wisata ini kita dapat menikmati Kota Bukittinggi dan daerah sekitarnya. Benteng Fort de Kock dilengkapi dengan meriam kecil di keempat sudutnya. Kawasan sekitar benteng sudah dipugar oleh pemerintah daerah menjadi sebuah taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak- anak.

Benteng Fort de Kock

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Benteng Fort de Kock

Benteng Fort De Kock

Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun 1825 pada masa Baron Hendrik Markus De Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena itulah benteng ini terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock. Benteng yang terletak di atas Bukit Jirek ini digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya perang Paderi pada tahun 1821-1837. Disekitar benteng masih terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke 19. Dari lokasi wisata ini kita dapat menikmati Kota Bukittinggi dan daerah sekitarnya.

Benteng Fort de Kock dilengkapi dengan meriam kecil di keempat sudutnya. Kawasan sekitar benteng sudah dipugar oleh pemerintah daerah menjadi sebuah taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak-anak.

Benteng yang berada di kawasan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan Bukit Tinggi ini berada di lokasi yang sama dengan Kebun Binatang Bukit Tinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang. Kawasan benteng terletak di bukit sebelah kiri pintu masuk sedangkan kawasan kebun binatang dan museum berbentuk rumah gadang tersebut berada di bukit sebelah kanan.

Page 2: Benteng Fort de Kock

Keduanya dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya dalam kota Bukit Tinggi. Memang kawasan ini hanya terletak 1 km dari pusat kota Bukit Tinggi di kawasan Jam Gadang, tepatnya di terusan jalan Tuanku nan Renceh. Bukit Tinggi sendiri dapat ditempuh sekitar 2 jam dari Kota Padang sebagai ibukota provinsi Sumatera Barat.

Dengan membayar retribusi sebesar Rp 5.000, melihat benteng, menyeberangi jembatan dengan pemandangan yang indah, mengamat-amati berbagai macam satwa dan belajar sejarah di museum dapat dinikmati sekaligus. Khusus memasuki Rumah Adat Baanjuang, pengunjung harus membayar lagi tiket masuk sebesar Rp 1.000 per orang. Tempat ini sering dijadikan tempat piknik keluarga atau tujuan bagi rombongan siswa TK maupun SD untuk mengenal alam, sejarah dan budaya sekaligus.

Sejumlah pengunjung bahkan tampak bergembira hanya sekedar menikmati suasana rindang di sekitar Benteng Fort de Kock usai membaca sedikit penjelasan sejarah mengenai benteng tersebut. Ini tertulis di sebuah prasasti sekitar 10 meter di depan benteng yang ditandatangani oleh Walikota Bukit Tinggi H. Djufri ketika diresmikan sebagai tempat wisata pada tanggal 15 Maret 2003. Berikut sedikit penjelasan tentang Benteng Fort de Kock:

Benteng Fort de Kock ini didirikan oleh Kapten Bauer pada tahun 1825 di atas Bukit Jirek negeri Bukit Tinggi sebagai kubu pertahanan pemerintahan Hindia Belanda menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh TUANKU IMAM BONJOL.

Page 3: Benteng Fort de Kock

Ketika itu Baron Hendrick Markus de Kock menjadi Komandan de Roepoen dan Wakil Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda. Dari sinilah nama lokasi ini menjadi Benteng Fort de Kock.

Udara sejuk Bukit Tinggi bisa saja membuat pengunjung yang datang menjadi lupa waktu. Apalagi jika memandangi keindahan Ngarai Sianok, Gunung Singgalang, Gunung Pasaman dan juga kota Bukit Tinggi dari atas Jembatan Limpapeh. Lalu terus berjalan melihat berbagai satwa dan mampi sebentar di Rumah Adat Baanjuang untuk menambah sedikit wawasan tentang budaya Minangkabau.

Di dalam bangunan yang sengaja dibangun pada tahun 1930 oleh seorang Belanda, Mr. Mandelar Controleur tersimpan berbagai macam benda-benda khas Minangkabau, seperti pakaian adat, tanduk kerbau dan peralatan menangkap ikan tradisional. Di tempat ini, pengunjung juga dapat berfoto di anjungan maupun dengan pakaian adat Minang hanya dengan membayar Rp 2.500-Rp 5.000.

Keangkuhan Benteng Fort de Kock juga terekam dalam berbagai cendera mata yang dijajakan di kios-kios di luar kawasan wisata, seperti kaus, gantungan kunci dan tas khas Minangkabau. Sayang rasanya, jika pulang tanpa kenangan tersendiri tentang Benteng Fort de Kock.

Kebun Binatang

Tahun 1942 Jepang telah berkuasa di Indonesia, termasuk di Kota Bukittinggi. Daerah ini diberi nama “Bukittingggi Shi Yasuko”, yang dari segi daerah kekuasaanya lebih luas dari masa pemerintahan Kolonial Belanda. Dengan mencakup daerah Kurai Limo Jorong, Ngarai Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba, Bukit Batabuah, dan beberapa daerah yang masuk dalam daerah Agam sekarang[36]. Keadaan ini bertahan sampai tahun 1945. Dimasa kekuasaan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai tempat kedudukan Komandemen Militer se Sumatera dengan komandonya yang bergelar Saiko Sikikankakka dibawah Jendral Kabaya Shi.

Diawal kedatangan Jepang ke Kota Bukittinggi, tepatnya 21 Maret 1942 dengan semboyan “Asia Untuk Asia” mulai mendapat simpati sebagaian masyarakat. Namun seiring dengan penguasannya di Indonesia yang telah melakukan berbagai kekerasan, mulailah muncul pergolakan dan usaha penentangan terhadap kekuasaan Jepang, termasuk di Bukittinggi. Perlawanan terhadap Jepang di Kota Bukittinggi yang terkenal dilakukan oleh Syamsuddin dan Abbas Rahman.

Terjadinya kekacauan politik di Kota Bukittinggi, berdampak buruk terhadap pengelolaan kebun binatang. Jepang sama sekali tidak memperhatikan keadaan kebun binatang, malahan mereka merusak saluran air untuk kebun binatang dan mengalihkannya untuk keperluan tentara Jepang. Banyak satwa-satwa penghuni kebun binatang yang ditembaki dan di bayonet. Sekeliling kebun binatang dibuat lobang-lobang untuk pertahanan tentara jepang di Bukittinggi. Terowongan atau lobang-lobang yang dibuat Jepang di sekitar area kebun binatang terhubung dengan Lobang Jepang yang dibuat dengan kerja paksa dan penderitaan bagi pekerjanya yang berasal dari orang-orang Sumatera Barat. Pembuatan Lobang Jepang yang dilakukan di Bukittinggi adalah usaha mengembangkan kota bawah tanah dan sebagai tempat pertahanan Jepang. Titik-titik penyebaran

Page 4: Benteng Fort de Kock

lobang kota bawah tanah ini menyebar di sekitar kota Bukittinggi.Sebagai pengaruh dari minimnya perhatian terhadap kebun binatang banyaklah satwa-satwa peliharaan yang mati, dibunuh, dan tak terawat, sehingga banyak kandang-kandang yang satwa yang kosong.Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Jepang kalah dalam perang menghadapi sekutu yang berakibat pada lemahnya kekuatan Jepang di Indonesia. Hal ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pemimpin-pemimpin Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan negeri ini. Pada tanggal 17 Agustus 1945 berkumandanglah proklamasi Indonesia yang menjadi tonggak sejarah lahirnya Indonesia merdeka.Pasca kemerdekaan Indonesia, politik tidak serta merta mengalami perubahan kearah kestabilan. Indonesia sebagai sebuah negara baru sibuk berbenah dan mempersiapkan badan-badan yang diperlukan untuk sebuah Negara merdeka. Selain itu keadaan masyarakat sat itu sangat memperihatinkan, mereka hidup menderita, tertindas, kelaparan dan nyaris tanpa pakaian.

Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan atau lebih dikenal dengan sebutan Kebun Binatang. Obyek wisata ini dibangun tahun 1900 oleh seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Controleur Strom Van Govent yang berkebangsaan Belanda. Kemudian pada tahun 1929 dijadikan kebun binatang oleh Dr. J. Hock dan merupakan satu-satunya kebun binatang yang ada di Sumatera Barat, dan merupakan kebun binatang tertua di Indonesia. Di tengah lokasi wisata ini terdapat Museum Kebudayaan berbentuk rumah adat Minangkabau, Museum Zoologi dan tempat bermain anak-anak.

Keadaan kebun binatang sangat menghawatirkan, tanpa pengelola. Demi menjaga dan menyelematkan Kebun Binatang Bukittinggi maka ketua Komite Nasional Indonesia kota Bukittinggi yaitu: M.Z. Dt. Maharajo menunjuk A. Murad St. Batuah sebagai pimpinan kebun binatang[44]. Karena keadaan yang belum aman, maka dimasa kepemimpinan A. Murad St. Batuah setelah kemerdekaan ini tidak banyak perubahan yang dapat beliau perbuat. Masa jabatan beliau dimulai tahun 1945-1949.Melihat perubahan situasi politik di Indonesia sejak kedatangan Jepang tahun 1942 sampai periode awal kemerdekaan tahun 1949 dapat disimpulkan bahwa keadaan politik, ekonomi, sosial yang tidak stabil menyebabkan pengelolan kebun binatang mengalami masalah besar bahkan nyaris ditutup karena ketiadaan pengelola.

Page 5: Benteng Fort de Kock