66
1

benjolan di leher

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KGB

Citation preview

Page 1: benjolan di leher

BAB II

1

Page 2: benjolan di leher

PEMBAHASAN

1.1. PEMERIKSAAN UNTUK MEMBEDAKAN PEMBESARAN DI

LEHER

Pembesaran di daerah leher karena gangguan endokrin disebabkan karena

gangguan pada kelenjar tiroid. Cara membedakan penyebabnya karena gangguan

endokrin dan non endokrin yaitu pada pemeriksaan fisik regio colli (dengan

gerakan menelan) maka tiroid ikut bergerak bersama proses menelan. Pada

pembesaran kelenjar lainnya yang bersifat non endokrin (limfadenopati atau

pembesaran kelenjar parotis) yang biasanya karena infeksi, keganasan atau sebab

lain menunjukan pemeriksaan fisik sesuai letak anatomisnya. Selain itu,

pembesaran tiroid juga dapat disertai tanda dan gejala hipotiroidisme,

asimptomatis, hipertiroidisme serta akibat dari penekanan organ sekitar dari

pembesaran tiroid tersebut.

1.2. GOITER ENDEMIK

Goiter endemik adalah penyakit goiter/struma/ perbesaran kelenjar tiroid

secara diffuse yang disebabkan kurangnya asupan iodium. Juga disebut sebagai

GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) atau IDD (Iodine Deficiency

Disorders).

Epidemiologi

Kejadian GAKI sangat beragam dalam usia, yaitu bisa terjadi baik pada fetus

hingga orang dewasa. Dari laporan MDIS Working papers, kejadian GAKI

banyak ditemukan pada daerah pegunungan seperti Alpen, Himalaya, dan Bukit

Barisan. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan GAKI juga ditemukan

didaerah daratan rendah, bahkan tepi pantai seperti Belanda, Yunani, Jepang,

Kebumen (Jawa Tengah), dan Maluku.

Untuk menentukan suatu daerah merupakan endemi GAKI

atau tidak, digunakan beberapa kriteria yaitu dengan kriteria

prevalensi kejadian atau dengan pemeriksaan iodium urine.

Berat Ringan No endemi Endemi Endemi Endemi berat 2

Page 3: benjolan di leher

Endemi

Defisiensi

Iodium

Indikator

ringan sedang

Prevalensi

gondok (%)

0,0 - 4,9 5 - 19,9 20 - 29,9 >30

Kretin dan

Hipotiroidi

- - Kretin tidak

terlihat jelas,

ada resiko

hipotiroidisme

Kejadian 1-

10%

UEI μg I/dl

median μg I/gr

creat

>10

>100

5-9,9

>50

2-4,9

25-50

<2

<25

Etiologi

Etiologi goiter endemik adalah: Defisiensi iodium akibat menurunnya

konsumsi iodium eksternal. Faktor goitrogen, yaitu suatu senyawa yang bekerja

mengganggu hormonogenesis tiroid, antara lain pada proses iodide transport

(NIS), Tg synthesis, organification and coupling (TPO), dan the regeneration of

iodide (dehalogenase). Adapun goitrogen ini dapat ditemukan pada singkong

(yang mengandung thiocynate), sayuran dari family cruciferae (rebung, tauge,

kubis dan kol) dan pada susu hewan ternak dimana goitrogen dapat ditemukan

pada rumput didaerah tersebut. Meskipun berperan dalam kejadian GAKI, etiologi

akibat goitrogen ini jarang ditemukan. Pasien dengan goiter endemik akibat

goitrogen dapat diketahui bila setelah dilakukan terapi yang tepat dengan

pemberian iodium, tetapi tidak menunjukkan perbaikan.

Patofisiologi

Defisiensi iodium, goiter atau perbesaran kelenjar tiroid terjadi akibat

kompensasi tubuh/kelenjar guna memerangkap iodine lebih banyak sehingga

3

Page 4: benjolan di leher

kelenjar tetap mampu menghasilkan hormon yang adekuat meski dalam keadaan

terganggu. Dalam kondisi ini, kadar THS umumnya normal atau hanya meningkat

sedikit. Perbesaran kelenjar tidak terkait efek TSH, tapi lebih disebabkan efek

langsung dari iodium pada thyroid vasculature dan secara tidak langsung

mempengaruhi pertumbuhan kelenjar melalui substansi vasoaktif seperti endotelin

dan NO (nitric oxide). Tipe perbesaran kelenjar tiroid akibat defisiensi iodium

adalah diffuse nontoxic atau disebut pula simple goiter. Simple goiter artinya

perbesaran merata disemua bagian kelenjar dan tidak membentuk nodul, selain itu

ditemukan pula peningkatan jumlah koloid pada folikel sehingga sering disebut

colloid goiter.

Selain itu, perbesaran kelenjar thyroid juga terkait substansi goitrogen.

Substansi ini mengganggu proses sintesis dari hormon tiroid yang meliputi

gangguan pada transport iodine, sintesis tiroglobin, penggabungan dan coupling

dan dehalogenase (regenerasi iodine). Adapun mekanisme gangguan yang terjadi

belum ada penjelasan yang jelas.

Manifestasi Klinis

Bila tubuh masih mampu mengkompensasi/mempertahankan fungsi hormon

tiroid, umumnya pasien asimptomatik. Bila telah ditemukan perbesaran pada

kelenjar tiroid, sifat benjolan adalah diffuse, simetris, tanpa nyeri dan konsistensi

kenyal tanpa teraba adanya nodul. Goiter substernal dapat menyebabkan obstruksi

pada thoracic inlet. Dapat pula ditemukan pemberton’s sign, yaitu gejala berupa

rasa pusing dengan tanda/bukti bendungan pada vena jugular eksterna saat

melakukan manuver mengangkat tangan diatas kepala (manuver ini menyebabkan

tiroid bergerak menuju thoracic inlet).

Selain itu, kemungkinan akan ditemukan gejala-gejala gangguan fungsi

hormon tiroid. Gangguan dapat berupa hipotiroidisme atau tirotoksikosis. Adapun

gejala yang paling sering ditemukan pada pasien defisiensi tiroid adalah gejala

hipotiroidisme, antara lain: Kretinisme, sering ditemukan kretinisme endemik

pada daerah dengan endemi defisiensi iodium berat.

Diagnosis 4

Page 5: benjolan di leher

1. Anamnesis

Menanyakan tentang faktor genetik dan lingkungannya yang mungkin

menjadi penyebab

Diet dan obat-obatan sumber asupan iodin berlebihan

Obat antitiroid

Atau berada pada daerah defisiensi iodin atau secara natural muncul goiter

diet

2. Pemeriksaan fisik

Ada suatu massa pada lehernya (ukuran, konsistensi, ada tidaknya nodular,

bruit, batasnya)

Mungkin ada penekanan pada trakea (stridor atau distress respirasi)

Perpindahan esofagus (disfagia)

Peninggian substernal pada nontoksis goiter bisa menimbulkan penekanan

nervus laryngeal berulang

3. Pemeriksaan Penunjang

Hal utama dalam evaluasi diagnosis pasien dengan goiter nontoksik adalah

Konfirmasi dari eumetabolisme

Penegakan dari penyebabnya

Penentuan pengaruh dari lesi pada struktur nontiroid penting di leher atau

mediastinum superior

Pemeriksaan Laboratorium

Serum FT4 dan total nilai T3 biasanya rendah, namun tidak terlalu

menekan level serum TSH

Pemeriksaan serum titer antibodi antitiroid. Peningkatan titer antibodi

(antitiroglobulin dan antibodi anti tiroid peroksidase) menunjukkan fakta

terdapat autoimun dalam pembentukan goiter

Level serum tiroglobulin meningkat pada sepertiga pasien

Level plasma kalsitonin normal pada nontoksik goiter benigna

Pemeriksaan radiologi

5

Page 6: benjolan di leher

Melakukan pemasukan tiroid radioiodid dan scintigrafi untuk

menunjukkan perluasan retrosternal. Iodin-123 tidak terlalu adekuat untuk

scanning substernal, maka digunakan iodine-131

Ultrasonografi dari tiroid bisa menentukan kista dari nodul padat pada

nontoksik goiter

Pemeriksaan radiologi rutin dada untuk menentukan massa paratrakeal dan

deviasi trakea (posteroanterior) dan hilangnya ruang retrosternal superior

(penampakan lateral).

Pemeriksaan flow-loop dan barium faringoesofagografi dapat mendeteksi

obstruksi trakea dan esofagus

Pemeriksaan histopatologi

Biopsi dan aspirasi sitologi dari glandula tiroid bisa menentukan status

patologi pada glandula tiroid

Terapi

Suplementasi iodin dalam beberapa bentuk:

Garam diperkaya iodi

Injeksi dari minyak diodisasi

Memperkenalkan minum air mengandung iodin

Suplementasi sekitar 200 mug iodin per hari

Suplementasi iodin dapat menginduksi tirotoksikosis

Pembedahan dilakukan apabila terjadi gejala obstruksi yang nyata dan ukuran

goiter tidak dapat dikurangi dengan terapi tioksin. Setelah tiroidektomi parsial

diberikan terapi tiroksin 1,6 mug/kg/hari diberikan untuk mencegah hyperplasia

regeneratif. Terapi RAI untuk goiter yang besar telah dicoba dan banyak berhasil.

1.3. PENYAKIT GRAVES

6

Page 7: benjolan di leher

Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respons jaringan-jaringan tubuh

terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat

timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid secara berlebihan.

Epidemiologi

Penyakit Graves biasanya terjadi pada usia sekitar 30 sampai 40 tahun dan

lebih sering ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Terdapat predisposisi

familial terhadap penyakit ini dan sering berkaitan dengan bentuk-bentuk

endokrinopati autoimun lainnya.

Patofisiologi

Penyakit graves timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun. Dalam

serum pasien, ditemukan antibodi immunoglobulin. Antibodi ini bereaksi dengan

reseptor TSH atau membran plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini antibodi

merangsang fungsi tiroid tanpa bergantung pada TSH hipofisis yang dapat

mengakibatkan hipertiroidisme. Imunoglobulin yang merangsang tiroid ini (TSI)

disebabkan suatu kelainan imunitas yang bersifat herediter, yang memungkinkan

kelompok limfosit tertentu dapat bertahan, berkembangbiak dan menyekresi

immunoglobulin stimulator sebagai respons terhadap beberapa faktor perangsang.

Manifestasi Klinis

Pada penyakit graves terdapat 2 kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan

ekstratiroidal. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hyperplasia kelenjar tiroid,

dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala

hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang

berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin

banyak bila panas, kulit lembab, berat badan turun, nafsu makan meningkat,

palpitasi, takikardia, kelemahan, dan atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa

oftalmopati dan infiltasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.

Pemeriksaan laboratorium

7

Page 8: benjolan di leher

Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada

skema dibawah ini :

Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit

Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada

penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic

hyperthyroid atau pada eksoftalmos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan

laboratorium yang jelas.

Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan

hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada

hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan

normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4) dan tri-iodo-tironin

(T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH).

8

Page 9: benjolan di leher

Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan

sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.

Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran

sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus

menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang

tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH

menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH

generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap

hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat

mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi

diagnostik, dapat diperiksa kadar T4 bebas (free T4/FT4). Pemeriksaan penunjang

lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis

penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin.

Tatalaksana

Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam

patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya

terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini

dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit

Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.

Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya

tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan

respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.

A. Obat-obatan

a. Obat Antitiroid: Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.

Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol

dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid

lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.

Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi

9

Page 10: benjolan di leher

biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan

organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur

molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan

mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T4

menjadi T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar

kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih dalam

pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di

perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis

hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis

tunggal.

Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan

jangka waktu pengobatan yang optimal dengan obat anti tiroid (OAT).

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan

metimazol) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat

berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.

Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat

antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan

eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan

secara tunggal pagi hari).

Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150

mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1

atau 2 kali sehari.

PTU mempunyai kelebihan dibandingkan metimazol karena dapat

menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar

hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.

Metimazol mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis

tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis metimazol 40 mg setiap

pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg

perhari.

10

Page 11: benjolan di leher

Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis

tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai

dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40

mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis

dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila

respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU

50mg/hari dan metimazol/tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat

mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas

normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan

biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu

dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien

minum obat, aktivitas fisis dan psikis.

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek

samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping

agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome,

yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis

merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan

OAT dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif..

Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk

mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.

Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi

dengan OAT antara lain ikterus kholestatik, angioneurotic edema,

hepatocellular toxicity dan atralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya

efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan

laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang

kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek

samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali

fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain

seperti I131 atau operasi.

11

Page 12: benjolan di leher

Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba

ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau

sebaliknya.

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit

Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan

terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk

menilai perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat

selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis

tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan

perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan

eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi.

Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang

diobati dengan OAT bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :

1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.

2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian OAT

dosis rendah.

3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila terdapat T3

toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis,

sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi,

sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan

parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah,

kelenjar tiroid, dan mata.

b. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat

bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis

(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas

melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,

obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T3

12

Page 13: benjolan di leher

melalui penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol

umumnya berkisar 80 mg/hari.

Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta

dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol.

Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari

mempunyai efek serupa dengan propranolol.

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek

samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue,

dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam,

agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini

dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal

jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga

dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada

pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.

c. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic

contrast, potasium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek

menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen

standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan

pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah

terapi iodium radioaktif.

B. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin

Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan

cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991

melaporkan bahwa angka kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada

kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi metimazol dan tiroksin.,

dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan

terapi metimazol.

Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :

13

Page 14: benjolan di leher

Pertama kali penderita diberi metimazol 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan,

selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100 μg perhari selama 1 tahun,

dan kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol

juga diberi metimazol dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin.

Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada kelompok yang

mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini

mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan OAT akan

merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang bersifat antigenik, yang

pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibodi terhadap reseptor

TSH. Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui

pemberian tiroksin eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun

intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi antigen.

Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah

agar penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu

dilakukan terlalu sering, terutama bila digunakan OAT dosis tinggi.

C. Pembedahan

Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma

yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid

dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2

minggu pre operatif, diberikan larutan lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali

sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan

mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai

seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat. Tiroidektomi total biasanya

tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif

dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan,

dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram

jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan

suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.

Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan

komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.

14

Page 15: benjolan di leher

D. Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50

tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek

ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi

lokal pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain

disekitarnya. Respon inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam

perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik.

Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan

tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi

hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1

tahun. Iodine-131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna

untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid.

Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman, tidak

mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak

ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah

mendapat pengobatan yodium radioaktif.

Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau

menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium

radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain

kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium

radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang

berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk

pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini

seringkali kambuh dengan OAT. Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif

murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak

pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil,

hanya 1 mikrogram.

Efek pengobatan baru terlihat setelah 8-12 minggu, dan bila perlu terapi

dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-

obat penyekat beta dan/atau OAT.

15

Page 16: benjolan di leher

Respon terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh

besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras

dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.

Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah

hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;

makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian

hipotiroidisme.

Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid,

didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan

sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.

Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :

- Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya

antigen tiroid dan peningkatan kadar antibodi terhadap reseptor TSH),

dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131

- Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya

sangat jarang terjadi)

- Gastritis radiasi (jarang terjadi)

- Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara

mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk

mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT

terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung.

Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3

sampai 6 bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup

dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya

hipotiroidisme.

E. Pengobatan oftalmopati Graves

Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis

dalam menangani oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat

pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments,

untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah

16

Page 17: benjolan di leher

dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu,

penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk

mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan

adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan

seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid.

Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti

dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata.

Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada

pasien yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibodi anti-TPO atau

antibodi antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis.

Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan

penyebab kelainan orbita lainnya.

F. Pengobatan krisis tiroid

Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme

(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat

konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan

plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi cairan, elektrolit

dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.

G. Penyakit Graves Dengan Kehamilan

Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan

hipertiroidismenya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada

hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status

eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis

terendah yang dapat mencapai kadar FT4 pada kisaran angka normal tinggi atau

tepat di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita

hamil dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih

sedikit, dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak

dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping

karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan

hipotiroidisme.

17

Page 18: benjolan di leher

Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada

trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang - dengan mekanisme yang

belum diketahui- terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar

thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan,

dan dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang

masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman.

Komplikasi

1) Krisis tiroid (Thyroid storm)

Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat

sehingga dapat mengancam kehidupan penderita.

Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara

lain :

- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain

- Terapi yodium radioaktif

- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati

secara adekuat.

- Stres yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi

akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.

Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme

berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :

- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C

disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.

- Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung.

- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.

- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah, diare dan ikterus.

Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan

hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian

menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis

18

Page 19: benjolan di leher

tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita

tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.

Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat

peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi

terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap

katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif terhadap

katekolamin yang ada didalam sirkulasi.

Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari

seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu

terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin.

Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan preeklampsi pada

kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis

pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan

angka kematian perinatal.

1.4. HIPOTIROIDISME

Hipotiroidisme merupakan istilah yang menunjukkan adanya defisiensi

hormone tiroid. Hipotiroidisme merupakan akibat dari produksi hormon tiroid

yang inadekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh yang diperlukan untuk

semua jaringan. Produksi hormon tiroid bisa normal, tetapi bisa timbul

hipotiroidisme karena adanya gangguan pada aktivitas reseptor hormon tiroid.

Etiologi

Hipotiroidisme dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau

hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar

HT yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar TSH dan TRH karena

tidak adanya umpan balik negatif oleh HT pada hipofisis anterior dan

hipotalamus. Apabila hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis, maka

kadar HT yang rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH dari

hipotalamus tinggi karena tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSH

maupun HT. Hipotiroidisme yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus

19

Page 20: benjolan di leher

akan menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH. Berikut ini etiologi

hipotiroid secara umum.

Berbagai gangguan pada hipotiroid ini sangat terkait dengan kelainan

atau etiologi yang mendasarinya yang membentuk jenis atau tipe

hipotiroid tertentu. Untuk itu perlu dibahas masing-masing bagaimana tipe-

tipe dari hipotiroid ini, baik itu dari gejala dan ciri khas, perjalanan

penyakit diagnosis serta penatalaksanaannya. Berikut ini beberapa jenis

hipotiroid berdasarkan etiologinya yang umumnya paling banyak

ditemukan dalam praktik kesehatan sehari-hari.20

Page 21: benjolan di leher

CONG E N IT A L H Y P OT HY RO I D

Prevalensi Kejadian

‐ Hipotiroid kongenital umumnya terjadi pada sekitar 1:4000 kelahiran di

Amerika Serikat

‐ Kondisi paling sering bersifat hipotiroidisme permanen, sedangkan pada

beberapa kasus bersifat transien, khususnya pada anak dengan ibu yang

memiliki TSH-R antibody blocker atau mendapatkan pengobatan antitiroid.

‐ Angka kejadian terkait etiologi dasarnya, pada disgenesis kelenjar tiroid

sekitar 80-85%, gangguan sintesis hormon tiroid sekitar 10-15% kasus, dan

kerusakan terkait TSH-R antibody menyebabkan kejadian sekitar 5%.

Etiologi

Penyebab tersering dari kondisi hipotiroid kongenital ini adalah disgenesis

dari kelenjar tiroid dan gangguan sintesisnya, akan tetapi terdapat juga beberapa

kelainan lain yang ikut berpartisipasi terhadap terbentuknya kelainan kongenital

ini, walaupun dalam jumlah sedikit. Berikut ini beberapa kelainan yang

mendasari hipotiroid kongenital:

‐ Disgenesis kelenjar tiroid

‐ Defek sintesis dari tiroksin

‐ Thyrotropin receptor-blocking antibody (TSH-R antibody blocer)

‐ Defek dari transport iodine

‐ Defek pada thyroid peroxisade yang menggangu proses coupling

‐ Defek dari sintesis tiroglobulin

‐ Defek dari proses deiodinasi

‐ Defek dalam transport hormon tiroid

‐ Penggunaan radioiodine

‐ Defisiensi tirotropin

‐ Thyrotropin hormone unresponsiveness

‐ Abnormal dari reseptor TRH

21

Page 22: benjolan di leher

Manifestasi Klinis

Sebagian besar infan, umumnya menunjukkan penampakan yang normal

saat lahir, dan <10% yang dapat didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis,

dimana beberapa kondisi yang dapat ditemukan ketika lahir ini antara lain

perpanjangan jaundice, terdapat masalah dalam makan (tidak mau makan),

hipotonia, pembesaran lidah, keterlambatan maturasi tulang, dan umbilical

hernia. Selain itu kerusakan neurologis juga sering didapatkan khususnya pada

anak yang tidak mendapatkan terapi yang adekuat. Kelainan tipikal seperti yang

sering ditemukan pada orang dewasa juga beberapa dapat ditemukan sebagai

berikut:

Tabel di atas menunjukkan beberapa kondisi yang juga dapat ditemukan

pada masa infan yang mendukung diagnosis kearah hipotiroid kongenital. 22

Page 23: benjolan di leher

Sedangkan gambar dibawahnya, memperlihatkan contoh anak dengan hipotiroid

kongenital, dimana pada gambar A terlihat serorang anak yang menunjukkan

beberapa gejala seperti puffy face (wajah bengkak), dull expression (tidak ada

ekspresi), dan hirsute forehead. Kemudian gambar B, menunjukkan

perkembangan setelah pengobatan selama 4 bulan.

Seandainya kondisi hipotiroid ini tidak terdeteksi atau tidak mendapatkan

pengobatan, maka progresifitas gangguannya dapat menyebabkan gangguan

pertumbuhan dan perkembangan, yang umumnya nanti akan menyebabkan

kelambatan pertumbuhan dan retradasi mental.

Diagnosis

Hampir sama dengan hipotiroid secara umum, terapi diagnosis definitifnya

dapat dilakukan dengan pemeriksaan kadar T4 atau F T4, dan juga pemeriksaan

kadar TSH, untuk membedakan apakah kelainannya bersifat primer ataupun

sekunder.

Untuk diagnosis penunjang, dapat dilakukkan dengan pemeriksaan radiologi

untuk melihat perkembangan tulang. Dimana biasanya terjadi retardasi

pertumbuhan pada anak dengan hipotiroid kongenital yang tidak mendapatkan

pengobatan yang adekuat. Beberapa temuan antara lain pada distal femoral

epiphysis, yang normalnya ditemukan ketika lahir, tidak ditemukan. Seiring

perkembangan juga terjadi epiphyses dysgenesis. Berikut ini gambaran radiologis

yang dimaksud;

23

Page 24: benjolan di leher

Gambar A menunjukkan tidak ditemukannya distal femoral epiphyses pada anak

usia 3 bulan. Sedangkan gambar B menunjukkan anak pada usia 9 tahun yang

sudah mendapatkan pengobatan tiroid yang adekuat menunjukkan adanya

epiphyseal disgenesis pada kepala humerusnya.

Tatalaksana

Setelah diagnosis dapat ditegakkan, selanjutnya dilakukan pemberian T4

pada dosis awal sekitar 10-15 mcg/kg per hari, dan dosis terus disesuaikan

dengan monitoring ketat pada kadar TSHnya. Kebutuhan T4 umumnya sangat

tinggi selama tahun pertama kehidupan, dan T4 sirkulasi ini biasanya dibutuhkan

untuk menormalisasi kadar TSH. Tatalaksana awal dengan T4 ini dapat

menghasilkan IQ dalam batasan normal, akan tetapi abnormaliatas dalam

neurodeplovemental dapat terjadi pada kondisi hipotiroid yang berat.

H IP O T IROID A U T O IM U N E

Klasifikasi

Pada tahap awal umumnya hipotiroid autoimun ini terkait dengan goiter

(hasimoto/goitrous thyroiditis), yang pada tahapan selanjutnya akan menjadi

minimal residual thyroid tissue (atropihic thyroiditis).

Angka Kejadian

‐ 4:1000 wanita, 1:1000 laki-laki

‐ Rata-rata usia untuk penegakan diagnosis biasanya pada usia 60

tahun, dengan angka kejadian semakin meningkat seiring meningkatnya

usia

‐ Kondisi subclinical hypothyroid (6-8% pada wanita, dan 3% pada laki-

laki)

Patogenesis

Penyebab Tiroiditis otoimun tidak diketahui, tetapi tampaknya terdapat

kecenderungan genetik untuk mengidap penyakit ini. Penyebab yang paling

sering ditemukan adalah tiroiditis Hashimoto. Pada tiroiditis Hashimoto,

24

Page 25: benjolan di leher

kelenjar tiroid seringkali membesar dan hipotiroidisme terjadi beberapa bulan

kemudian akibat rusaknya daerah kelenjar yang masih berfungsi.

Manifestasi Klinis

Bagaimana ringkasan gejala dan tanda yang ditemukan pada pasien

hipotiroid dapat dilihat pada bagan gejala dan tanda sebelumnya di hipotiroid

kongenital. Onset dari gangguan ini biasanya berisifat tersembunyi dan

membahayakan, dan pasien baru mulai khawatir dengan gejalanya apabila

kondisi eutiroid telah dilalui. Yang perlu menjadi pusat perhatian disini yaitu

biasanya pasien Hashimoto tiroiditis dapat terlihat karena goiter (gondok)

daripada gejala hipotiroidnya. Goiter yang terbentuk tidak selalu besar, akan

tetapi umumnya bersifat irregular dan konsintensi yang keras, dan jarang

disertai nyeri.

Kemudian ditemukan juga gejala-gejala hipotiroid berupa:

‐ Kulit yang kering

‐ Keringat kurang

‐ Penipisan epidermis

‐ Hiperkeratosis dari stratum korneum menyebabkan kulit tampak pucat

dan kuning

‐ Penumpukan glycosaminoglycan yang menyebabkan trap water

(terperangkapnya air) yang akan meningkatkan ketebalan kulit [mixedema

(edema non-pitting)]

‐ Konstipasi dan peningkatan berat badan

‐ Penurunan libido

‐ Diffuse alopecia

‐ Gangguan kardiovaskular berupa peningkatan myocardial contractility, yang

ditandai dengan (↓ pulse rate, ↓ stroke volume yang menyebabkan

bradicardia, ↑ peripheral resistance menyebabkan hipertensi, cool

extremitas, 30% pasien terjadi pericardial effusion)

‐ Carpa Tunel Syndrome (rasa kaku, kejang dan sakit pada otot) dan

25

Page 26: benjolan di leher

juga delayed tendon reflex relaxation.

26

Page 27: benjolan di leher

Berikut ini ringkasan bagaimana proses timbulnya beberapa gejala utama

pada hipotiroid;

27

Page 28: benjolan di leher

Diagnosis

Gambar diatas memperlihatkan bagaimana proses investigasi yang

dilakukan dalam pemeriksaan laboratorium. Nilai TSH yang normal dapat

mengeksklusi penyebab primer dari hipotiroid. Sebaliknya, seandainya terjadi

peningkatan kadar TSH, maka perlu dilihat nilai FT4 untuk benar-benar

memastikan terjadinya hipotiroid klinis, akan tetapi nilai T4 ini tidak dapat

digunakan untuk menentukan kondisi hipotiroid subklinis. Hipotiroid subklinis

merujuk kepada fakta-fakta bikemikal dari defisiensi hormon tiroid pada pasien

yang memiliki manifestasi hiporitoid yang sedikit bahkan tak ada sama sekali.

Sirkulasi T3 juga dapat diperiksa dimana menunjukkan angka normal pada

25% pasien, menunjukkan mekanisme adaptasi dari proses deiodinasi pada

hipotiroid, untuk itu pemeriksaan T3 tidak terlalu bermakna.

Setelah kondisi klinis atau subklinis dari hipotiroid dapat ditegakkan,

selanjutnya kita perlu memikirkan etiologi yang mendasari kelainan tersebut.

Yang paling sering terutama yaitu karena kejadian autoimmune, untuk itu

28

Page 29: benjolan di leher

diperlukan pemeriksaan untuk mendeteksi TPO antibodi, dimana ditemukan pada

>90% pasien dengan autoimun hipotiroid. Apabila terdapat kasus dimana masih

terdapat keraguan pada pasien goiter setelah pemeriksaan ini dilakukan, maka

FNA biopsy dapat digunakan untuk melihat terjadinya tiroiditis autoimun.

Beberapa kondisi abnormal lain terkait dengan hipotiroid ini yaitu peningkatan

creatine phosphokinase, peningkatan kolesterol dan trigliserida, dan anemi

(normoytic atau macrocytic).

Tatalaksana

Secara umum digunakan livelong levothyroxone (T4), kecuali pada beberapa

kondisi seperti (transient hypothyroid dan reversible hypothyroid). Tujuan terapi

ini yaitu untuk mencapai kondisi eutiroid, dimana ditandai dengan nilai normal

dari T4 dan TSH.

1.1. MASSA LEHER NON ENDOKRIN

Secara garis besar, jika suatu benjolan timbul pada daerah leher, maka organ

yang bisa dicurigai mengalami gangguan adalah:

a. Kelenjar getah bening (KGB)

Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita.

Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya

didaerah submandibular (bagian bawah rahang bawah; sub: bawah;

mandibula:rahang bawah), ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang

sehat. 

Sistema Lympathica Colli Facialis

 Gugusan superficialis berjalan mengikuti vena superficialis dan gugusan

profunda berjalan mengikuti arteria atau seringkali mengikuti vena profunda.

Gugusan superficialis membentuk suatu lingkaran pada perbatasan leher dan

kepala yang dinamakan lingkaran pericervicalis atau cervical Collar, meliputi

l.n.occipitalis, l.n.mastoideus (l.n.retro auricularis), l.n.preauricularis

(l.n.parotideus superficialis), l.n.parotideus profundus, l.n.submandibularis dan

l.n.submentalis.

29

Page 30: benjolan di leher

L.n.occipitalis

Terletak pada serabut-serabut cranialis m.trapezius, ditembusi oleh

v.occipitalis, kira-kira 2,5 cm di sebelah infero-lateralis inion. Menerima aliran

lymphe dari bagian belakang kepala dan mengirimkannya kepada lymphonodi

cervicales profundi dengan melewati bagian profunda m.sternocleidomastoideus. 

L.n.pre-auricularis

Terletak pada glandula parotis sepanjang vena temporalis superficialis dan

vena facialis transversa. Menerima pembuluh afferen dan kepala (scalp), auricula,

palpebra dan pipi. Dan mengirim pembuluh afferen menuju ke l.n.cervicalis

superficialis. 

L.n.submentalis

Berada di antara kedua venter anterior m.digasticus, pada permukaan inferior

dari m.mylohyoideus, membawa lymphe dari lidah bagian tengah (juga apex

lingua) dan dari labium inferius. 

L.n.submandibularis

Biasanya dikelompokkan pada gugusan superficialis, meskipun membawa

drainage dari lidah dan glandula submandibulare. Lymphonodus ini terletak pada

vena facialis di sebelah caudal dari mandibula, dimana vena ini menerima

v.retromandibularis. pembuluh efferen membawa aliran lymphe menuju ke

l.n.cervicalis profundus pars cranialis.

Masih ada lymphonodus lainnya, yaitu :

L.n.facialis

Yang merupakan perluasan ke cranialis dari l.n.submandibularis dengan

mengikuti vena facialis, berada pada facies. 

L.n.cervicalis anterior

Berada sepanjang v.jugularis anterior, menerima lymphe dari bagian tengah

(linea mediana) leher dan mengalirkan lymphenya menuju ke l.n.cervicalis

profundus; gugusan ini dapat dianggap menerima afferen dari l.n.submentalis. 

30

Page 31: benjolan di leher

L.n.cervicalis superficialis

Berada sepanjang v.jugularis externa. Menerima aliran lymphe dari kulit pada

angulus mandibulae, regio parotis bagian caudal dan telinga, dan membawa aliran

lymphenya menuju ke l.n.cervicalis profundus. Semua lymphonodi akan memberi

aliran lymphenya kepada l.n.cervicalis profundus. Diantara gugusan superficial

dan gugusan profunda terdapat gugusan intermedis, yang terdiri atas :

- L.n.infrahyoideus

Yang berada pada membrana thyreo-hyoidea, menerima afferen yang

berjalan bersama-sama dengan a.laryngea superior dan berasal dari laring

di bagian cranialis plica vocalis.

- L.n.prelaryngealis

Yang berada pada ligamentum cricothyreoideum, menerima lymphe dari

larynx di bagian cranialis plica vocalis, berada pada vasa thyreoidea

superior. 

- L.n.paratrachealis

Yang berada pada celah di antara trachea dan oesophagus, menerima

lymphe dari glandula thyreoidea dan struktur di sekitarnya, pembuluh

efferennya mengikuti vasa thyreoidea inferior menuju ke l.n.cervicalis

profundus (dan l.n.mediastinalis superior).

L.n.cervicalis profundus

Terletak di sebelah profunda m.sternocleidomastoideus sepanjang carotid

sheath. Terdiri atas banyak lymphonodus, berada pada vena jugularis interna,

mulai dari basis cranii sampai di sebelah cranialis clavicula dan dibagi oleh

venter inferior m.omohyoideus menjadi gugusan superior dan gugusan infeior.

Gugusan superior atau l.n.cervicalis profundus pars superior tereltak di

sebelah cranialis cartilago thyreoidea, menerima afferen dari cavum cranii, regio

pterygoidea, l.n.parotideus dan l.n.submandibularis, radix linguae, pars cranio-

lateralis glandula thyreoidea, larynx dan pharynx bagian caudal. Mengirimkan

efferennya menuju ke l.n.cervicalis profundus pars inferior. Terdapat perluasan

dari l.n.cervicalis profundus pars superior yang menuju ke arah medial dan

31

Page 32: benjolan di leher

membentuk l.n.retropaharyngealis (berada di dalam spatium retropharyngeum),

menerima lymphe dari nasopharynx, tuba auditoria dan dari vertebra cervicalis,

mengirimkan lymphenya menuju kepada l.n.cervicalis profundus pars superior

dengan mengikuti vena pharyngealis. L.n.cervicalis profundus pars superior dan

juga dari l.n.cervicalis superficialis, pars caudalis glandula thyreoidea, larynx

bagian cudal, trachea pars cervicalis dan oesophagus. Pembuluh-pembuluh

efferen membentuk sebuah pembuluh besar (jugular trunk) dan bermuara ke

dalam ductus thoracicus (dibagian kiri) serta ductus lymphaticus dexter (bagian

kanan). Pada tempat persilangan antara m.digastricus dan vena jugularis interna

terdapat l.n.juguladigastricus.

Gugusan lymphonodus yang terletak di sebelah cranialis venter inferior

m.omhyoideus pada saat otot ini menyilang v.jugularis interna membentuk

l.n.jugulo-omohyoideus.

Limfatikus

Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk

pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari

pembuluh-pembuluh getah bening yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe

akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB akan diketahui aliran pembuluh

limfe yang melewatinya. Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening

yang dapat membawa antigen (mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan

tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening

dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi

antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran kelenjar

getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal

dari KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena

datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah

bening (limfadenitis), infiltrasi (masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari

penyakit metabolit makrofag (gaucher disease) Dengan mengetahui lokasi

pembesaran KGB maka kita dapat mengerahkan kepada lokasi kemungkinan

terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran KGB.

32

Page 33: benjolan di leher

b. Faring 

Nasopharynx

Merupakan bagian yang paling luas dari cavum pharyngis. Terletak di

belakang cavum nasi dan cranialis dari palatum molle (palatum molle dapat

dianggap membentuk lantai nasopharynx). Ruangan ini dapat dipisahkan sama

sekali dari oropharynx dengan mengangkat palatum molle ke arah dinding

posterior pharynx. Kearah anterior berhubungan dengan cavum nasi dengan

melalui choanae. Bagian ini semata-mata dilalui oleh udara respirasi. Pada setiap

dinding lateral nasopharynx terdapat muara dari tuba auditiva (tuba

pharyngotympanica). Lubang ini terletak ssetinggi concha nasalis inferior dan

dibatasi di sebelah postero-superior oleh torus tubarius, yaitu suatu penonjolan

yang disebabkan oleh pars medialis dari tuba auditiva. Di sebelah dorsal dari

tonjolan ini terdapat recessus pharyngeus (rosenmuelleri) yang berjalan vertikal.

Pada ostium pharyngeum tubae auditivae terbentuk labium anterius dan labium

posterior, dan labium posterius melanjutkan diri ke caudal pada plica

salpingopharyngealis, yaitu suatu plica yang dibentuk oleh membrana mucosa

yang membungkus m.salpingo pharyngeus. Di bagian cranialis dinding posterior

nasopharynx terdapat tonsilla pharyngea, yang bertumbuh sampai usia anak 6

tahun, lalu mengalami retrogresi. Bilamana terjadi hypetrophi maka nasopharynx

dapat tertutup dan memberi gangguan respirasi. Di sebelah dorsal tuba auditiva

terdapat kumpulan jaringan lymphoid yang membentuk tonsilla tubaria.

Pembesaran dari tonsilla ini dapat menekan tuba auditiva dan menghalangi aliran

udara yang menuju ketelinga bagian tengah. Pembesaran dari tonsilla pharyngea

dan tonsilla tubaria akan membentuk adenoid.

Oropharynx

Terletak di sebelah dorsal cavum oris, di sebelah caudal dari palatum molle

dan di sebelah cranialis aditus laryngis. Mempunyai hubungan dengan cavum

oris melalui isthmus oropharyngeum (= isthmus faucium). Batas lateral isthmus

faucium dibentuk oleh arcus palatoglossus, yang melekat dari palatum molle

menuju ke sisi lidah (kira-kira di bagian posterior pertengahan lidah). Di sebelah

33

Page 34: benjolan di leher

posteriornya lagi terdapat arcus palatopharyngeus yang berasal dari tepi posterior

palatum molle menuju ke caudo-dorsal mencapai dinding lateral pharynx. Arcus

palatopharyngeus, arcus palatopharyngeus dan bagian posterior sisi lingua

membentuk fossa tonsillaris yang ditempati oleh tonsilla palatina.

Laryngopharynx

Bagian ini berada di sebelah dorsal larynx. Ke arah cranialis berhubungan

dengan oropharynx (hubngan bebas) dan ke arah caudalis melanjutkan diri

menjadi oesophagus. Aditus laryngis terletak pada dinding anterior

laryngopharynx. Facies posterior dari cartilago arytaenoidea dan cartilago

cricoidea membentuk dinding anterior laryngopharynx.

  Vascularisasi, innervasi dan lymphonodus

Dinding pharynx mendapat suplai darah dari a.pharyngea ascendens (sebagai

cabang dari a.carotis externa), a.palatina ascendens (cabang dari a.facialis) dan

a.palatina major (cabang dari a.maxillaris). Pembuluh vena membentuk plexus

pharyngeus pada dinding posterior dan dinding lateral pharynx dan memberi

aliran darahnya kepada v.jugularis interna. Innervasi motoris untuk otot-otot

pharynx diperoleh dari plexus pharyngeus terkecuali m.stylopharyngeus yang

mendapatkan innervasi dari r.muscularis n.glossopharyngeus. Kelenjar

pharyngealis (terutama pada nasopharynx) mendapatkan serabut secretomotoris

dari r.pharyngealis yang dikeluarkan oleh ganglion pterygopalatinum. Innervasi

sensibel untuk membrana mucosa diperoleh dari plexus pharyngeus. 

c. Karsinoma nasofaring

Karsinoma nasofaring disebut juga tumor kanton. Menurut WHO,sekitar 80%

dari kasus karsinoma nasofaring didunia terjadi di china.

Anatomi

Nasofaring terletak diantara basis cranial dan pallatum mole,

menghubungkan rongga hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai

sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing

masing sekitar 3 cm, diameter depan belakang 2-3 cm,dapat dibagi menjadi

dinding anterior, superior, inferior dan 2 dinding lateral yang simetri bilateral.

34

Page 35: benjolan di leher

Dinding supero-posterior. Dinding superior dan posterior bersambung dan miring

membentuk lengkungan, diantara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis

yang jelas

Epidemiologi

Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala umur, tapi umumnya menyerang

usia 30-60 tahun, menduduki 75-90 %. Proporsi pria dan wanita 8:1.

Etiologi

Terjadinya kanker nasofaring mungkin multifaktor, proses karsinogenesisnya

mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya

kanker nasofaring adalah :

1) Kerentanan genetic

Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen

pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan

terhadap kanker nasofaring.

2) Virus EB

Metode imunologi membuktikan antigen spesifik seperti antigen kapsid virus

(VCA) antigen membrane (MA), antigen dini(EA), antigen nuklir, dll.

3) Faktor lingkungan

Penelitian akhir akhir ini menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya

kanker nasofaring:

Golongan nitrosamine: ini dapat menilbulkan kanker pada hewan.

Diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin kandungannya agak

tinggi pada ikan asin Guangzhou. Tikus putih yang diberi pakan ikan asin

dapat timbul kanker rongga nasal atau sinus nasal.

Hidrokarbon aromatic: pada keluarga di area insiden tinggi kanker

nasofaring, kandungan 3,4-benzpiren

Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinogenesis pada proses

timbulnya kanker nasofaring pada tikus akibat dinitrosopiperazin dosis

kecil.

35

Page 36: benjolan di leher

Patologi

Rongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa

epitel skuamosa, epitel torak bersilia berlapis semu dan epitel transisional. Di

dalam lamina propria mukosa sering terdapat sebukan limfosit, di submukosa

terdapat kelenjar serosa dan musinosa. Kanker nasofaring adalah tumor ganas

yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring.

Manifestasi klinis

1. Epistaksis :sekitar 70 % pasien mengalami gejala ini,diantaranya 23,2 %

pasien dating dengan gejala awal ini.

2. Hidung tersumbat : Sering hanya sebelah dan secara progresif bertambah

hebat.Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior,insiden

sekitar 48 %.

3. Tinitus dan pendengaran menurun : masing masing menempati 51,6-62,5 %

dan 50 %.Penyebabnya adalah tumor diresesus faringeus dan dinding lateral

nasofaring menginfiltrasi,menekan tuba eustaki,menyebabkan tekanan

negative di dalam kavum timpani,hingga terjadi otitis media transudatif.

4. Sefalgia : Menempati 57,68,6 %,kekhasannya adalah nyeri kontinu di region

temporoparietal atau oksipital satu sisi.Ini sering disebabkan desakan

tumor,infiltrasi saraf cranial atau os basis cranial,juga mungkin karena infeksi

local atau iritasi pembuluh darah yng menyebabkan sefalgia reflektif.

5. Pembesaran kelenjar limfe leher : sekitar 40 % pasien dating dengan gejala

pertama pembesaran kelenjar limfe leher,pada waktu diagnosis

ditegakkan,sekitar 60-80 % sudah metastasis kelenjar limfe.

6. Gejala metastasis jauh : karena 95 % lebih sel kanker nasofaring

berdiferensiasi buruk.Lokasi metastasis paling sering ke tulang,paru,hati.

Pemeriksaan untuk tegakkan diagnosis

1. Perhatikan keluhan utama

Pasien dengan epistaksis aspirasi balik,hidung tersumbat menetap,tuli

unilateral,limfadenopati lehet tapi tidak nyeri, dll.

2. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.

36

Page 37: benjolan di leher

Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna,rantai

nervus aksesoris dan rantai arteri vena transversalis koli apakah ada

pembesaran.

3. Pemeriksaan saraf cranial.

Terdapat saraf cranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai

prosedur rutin satu per satu,tapi pada kecurigaan paralisis otot mata kadang

dilakukan pemeriksaan berulang barulah ditemukan hasil positif.

4. Pemeriksaan serologi virus EB.

Parameter rutin yang diperiksa untuk enapisan kanker nasofaring adalah VC-

IgA,EA-IgA,EBV-DNAseAb.Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan

dengan kadar dan perubahan antibody tersebut.

5. Pemeriksaan CT untuk memastikan lesi,penetapan stadium secara

akurat,pemeriksaan MRI untuk memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan

lunak,dapat melihat lapisan struktur nasofaring dan luas lesi

Tatalaksana

Radioterapi

Terapi terhadap kanker nasofaring berprinsip pada individualisasi dan tingkat

keparahan. Pasien stadium 1 ataupun 2 dengan radioterapi eksternal ditambah

brakiterapi kavum nasofaring; pasien stadium 3 ataupun 4 dengan kombinasi

radioterapi dan kemoterapi.

Kemoterapi

Kemoterapi yang dimaksud berupa kemoterapi adjuvant dan kemoradioterapi

.Koemoterapi yang sering dipakai adalah PF (DDP + 5FU),karboplatin + 5FU,

paklitaksel +DDP.

Terapi Bedah

- Dilakukan operasi residif local nasofaring pasca radioterapi,lesi relative

terlokalisasi

- 3 bulan pasca radioterapi kuratif terdapat residif lesi primer nasofaring

- Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe

leher.          

37

Page 38: benjolan di leher

d. Karsinoma Tiroid

Epidemiologi

Penderita wanita lebih banyak dari pria, ratio pria terhadap wanita adalah 1:2-

4, penyakit tersering terjadi pada usia 20-40 tahun.

Etiologi

Etiologi kanker tiroid belum jelas, pada umumnya beranggapan karsinoma

tiroid berkaitan dengan banyak faktor, termasuk radiasi ionisasi, perubahan

genetik dan onkogen, jenis kelamin, faktor diet,dll.

1) Radiasi Ionisasi

Kontak dengan radiasi merupakan satu-satunya faktor karsinogen terhadap

tiroid. Populasi terpapar sinar X dan radiasi Ɣ, insiden karsinoma papilar dan

folikular tiroid lebih tinggi.

2) Genetik dan Onkogen

Sebagian Karsinoma medular tiroid bersifat herediter dan familial.

Timbulnya karsinoma medular tiroid familial berkitan dengan mutasi gen RET

pada kromosom nomor 10.

3) Jenis Kelamin dan Hormonal

Pada kelenjar tiroid normal, tumor jinak dan tumor ganas tiroid terdapat

reseptor estrogen dalam jumlah bervariasi. Pada Jaringan karsinoma papilar tiroid

kandungan reseptor estrogen dan reseptor progesteron tertinggi, disimpulkan

bahwa reseptor estrogen , reseptor progesteron merupakan faktor penting yang

mempengaruhi insiden karsinoma tiroid pada wanita.

4) Faktor Diet

Defisiensi iodium dianggap berakitan dengan timbulnya tumor tiroid

termasuk karsinoma tiroid.

5) Lesi Jinak Tiroid

Transformasi ganas adenomaberhubungan dengan tipe patologik, adenoma

folikuler tipe embrional dan tipe fetal lebih mudah menjadi ganas.

38

Page 39: benjolan di leher

Penyebaran d an Metastasis

1) Penyebaran intraglandular tiroid : kelenjar tiroid kaya akan jaringan limfatik,

tumor dapat menyebar di dalam kelenjar.

2) Penyebaran ekstraglandular tiroid : tumor dapat menembus kapsul tiroid,

menyerang jaringan sekitar tiroid, ke medial, posterior menginfiltrasi trakea,

esofagus, nervus laringeus rekuren dan kartilago tiroidea.

3) Metastasis kelenjar limfe : kanker tiorid sering bermetastasis ke kelenjar

limfe anterior laring, pre-trakea, paratrakea, kelompok kelenjar limfe

profunda leher superior, media, inferior, lebih sering ke kelompok media dan

inferior.

4) Metastasis jauh : kanker tiroid sering bermetastasis jauh, tersering ke paru,

lalu ke tulang.

Manifestasi Klinis

1) Tumor atau nodul tiroid : ditemukan adanya nodul keras dalam kelenjar tiroid,

bergerak naik turun sesuai gerakan menelan.

2) Gejala infiltasi dan desakan lokal: ketika tumor membesar sampai batas

tertentu, sering mendesak trakea hingga posisisnya berubah disertai gangguan

bernapas yang bervariasi intensitasnya. Ketika tumor menginfiltrasi trakea,

dapat timbul dispnea atau hemoptoe; bila tumor mendesak esofagus dapat

timbul disfagia; bila tumor menginfltrasi nervus laringeus rekuren dapat

timbul suara serak.

3) Metastasis jauh : kanker tiroid sering bermestasis jauh, tersering ke paru, lalu

ke tulang.

Pemeriksaan klinis

- Anamnesis :

Dalam anamnesis harus menitikberatkan pada : usia pasien, jenis kelamin,

ada tidaknya riwayat paparan radiasi daerah kepala dan leher, ukuran dan laju

pertumbuhan tumor di leher,ada tidaknya gejala desakan atau infiltrasi lokal,

ada tidaknya manifestasi sindrom karsinoid, ada tidaknya riwayat keluarga

39

Page 40: benjolan di leher

adenoma tiroid, kromafinoma, karsinoma medular tiroid atau tumor endokrin

multiple, dll.

- Pemeriksaan fisik :

Pemeriksaan fisik harus menitikberatkan perharian pada jumlah, ukuran,

bentuk, konsistensi, mobilitas, permukaan licin atau tidak, ada tidak nyeri

tekan, apakah bergerak turun naik sesuai gerakan menelan, kelenjar limfe

leher membesar atau tidak, gerakan pita suara, dll.

Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan serologi : terutama mmencakup pemeriksaan fungsi tiroid, kadar

kalsitonin serum, dll.semua pasien dengan tumor tiroid harus diperiksa fungsi

tiroid, termasuk TSH, T4, T3 serum dll. Sebagian terbesar pasien kanker tiroid

memiliki fungsi tiroid yang normal.

2) Pemeriksaan USG : mencakup USG biasa dan dopler warna, USG merupakan

cara cukup sensitif untuk memeriksa ukuran dan jumlah tumor tiroid, dapat

menunjukkan ada tidak adanya tumor ,sifatanya padat atau kistik, ada tidaknya

kalsifikasi, dll.

3) Pemeriksan radioisotop : sebagian besar karsinoma berdiferensiasi tiroid

memiliki fungsi mengambil iodium, tampak sebagai nodul hangat.

4) Pemeriksaan sinar X : termasuk foto trakea anteroposterior dan lateral, foto

barium esofagus, foto toraks, dll.

5) Pemeriksaan CT : dapat menunjukkan lokasi, jumlah tumor, ada tidaknya

kalsifikasi kondisi struktur internalnya, keteraturan batasnya, dll.

6) Pemeriksaan MRI : dapat menampilkan  potongan koronal, sagital, tranversal,

dengan lapisan multipel, sangat baik dalam diagnosis lokalisaisi karsinoma

tiroid dan hubungannya dengan organ, vaskular dan jarinagn sekitarnya.

7) Pemeriksaan PET : dalam diagnsois lesi tiroid jinak atau ganas memiliki

akurasi relatif tinggi, tapi ini bukan cara diagnosis pasti.

8) Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus (FNAC): merupakan cara diagnosis

sifat yang tersering dipakai pra-operasi untuk nodul tiroid dewasa ini,

kelebihannya adalah aman, praktis, murah dan akurasinya relatif tinggi.

40

Page 41: benjolan di leher

Terapi

1. Terapi operatif

Penanganan terhadap kanker primer

1) Lobektomi unilateral plus ismektomi: bila tumor terbatas pada satu sisi

tiroid .ketika melalukan lobektomi unilateral dan ismektomi,harus

memamparkan dan memperhatikan proteksi nervus rekuren laringeus.

2) Tireidoktomi total atau subtotalbila lesi tiroid mengenai kedua lobus, atau

kanker tiroid sudah memngenai metaastasis jauh, memerlukam terapi

dengan isotop pasca operasi, harus terkebih dahulu dilakukan

tireoidektomi.

3) Reseksi diperluas lobus residual unilateral: terhadap tumor tiroid dengan

sifat tak jelas dilakukan eksisi lokal tumor, pasca operasi secara patologik

terrnyata ganas, dilakukan operasi lagi untuk mengangkat lobus residual.

Penanganan  terhadap kelenjar limfe regional

2. Terapi non-operatif

Radioterapi

1) Radioterapi eksternal : kanker tiroid berdiferensiasi tidak peka terhadap

radioterapi rutin.

2) Radioterapi internal : radiasi I131 berefek destruktif terhadap jaringan

tiroid, sedangkan sebagian besar karsinoma tiroid berdiferensiasi bersifat

mengambil I131.

Terapi hormonal : pasca operasi karsinoma tiroid berdiferensiasi pada

dasarnya secara rutin diberikan tiroksin. Dasar teorinya adalah tiroksin dapat

menghambat sekresi TSH sehingga mengurangi rekurensi dan metastasis

karsinoma tiroid berdiferensiasi.

Kemoterapi : secara klinis kemoterapi hanya dipakai secara selektif untuk

pasien stadium lanjut yang tidak dapat dioperasiatau pasien dengan metastasis

jauh.

41

Page 42: benjolan di leher

Prognosis

Prognosis karsinoma tiroid bervariasi besar, ada yang tumbuh lambat, sangat

sedikit membawa kematian, ada yang tumbuh cepat, angka kematian.

KESIMPULAN

Setelah mendiskusikan skenario ini, kelompok kami mendapatkan beberapa

diagnosis untuk pembesaran pada daerah leher. Baik itu jinak maupun ganas.

Pembesaran tersebut harus diperiksa lebih lanjut. Baik dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang yang mendukung dan tanpa

kontraindikasinya.

42

Page 43: benjolan di leher

DAFTAR PUSTAKA

Aru W, Sudoyo dkk 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV,

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Ganong. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 22. Jakarta: EGC

Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC

Price SA dan Wilson LM 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit Edisi 6, Volume 2, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Robbins, Cotran, Kumar, 2007, Buku Ajar Patologi Edisi 7, Volume 2, Jakarta:

EGC.

Sherwood & Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 6.

Jakarta: EGC

43