40
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apendisitis merupakan salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering terjadi di dunia. Sebanyak 40% bedah emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi apendisitis akut (Lee et al., 2010; Shrestha et al., 2012). Di Indonesia penderita apendisitis sekitar 27% dari jumlah pasien jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya (Depkes 2011). Apendisitis dapat disebabkan karena gaya hidup dan kebiasaan sehari-hari yang tidak sehat. Makanan rendah serat salah satunya, karena memicu terbentuknya fecalith yang dapat menyebabkan obstruksi pada lumen appendiks (Marianne, Susan & Loren, 2007). Peradangan akut pada apendiks memerlukan tindakan pembedahan segera untuk mencegah terjadinya komplikasi berbahaya ( Schwartz et al. 2014). Apendisitis yang tidak tertangani segera akan meningkatkan risiko terjadinya perforasi dan pembentukan masa periapendikular (Tzanakis, 2005;

bedahfkuns-elearning.combedahfkuns-elearning.com/.../1/219/tesis_ind_revisi_3.docxWeb viewdiperlukan tindakan operasi laparatomi. Tindakan pasca bedah untuk mengatasi masalah apendisitis

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendisitis merupakan salah satu kasus bedah abdomen yang paling

sering terjadi di dunia. Sebanyak 40% bedah emergensi di negara barat

dilakukan atas indikasi apendisitis akut (Lee et al., 2010; Shrestha et al.,

2012). Di Indonesia penderita apendisitis sekitar 27% dari jumlah pasien

jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Insidens

apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan

abdomen lainnya (Depkes 2011).

Apendisitis dapat disebabkan karena gaya hidup dan kebiasaan sehari-

hari yang tidak sehat. Makanan rendah serat salah satunya, karena memicu

terbentuknya fecalith yang dapat menyebabkan obstruksi pada lumen

appendiks (Marianne, Susan & Loren, 2007). Peradangan akut pada apendiks

memerlukan tindakan pembedahan segera untuk mencegah terjadinya

komplikasi berbahaya ( Schwartz et al. 2014).

Apendisitis yang tidak tertangani segera akan meningkatkan risiko

terjadinya perforasi dan pembentukan masa periapendikular (Tzanakis, 2005;

Vasser, 2012; Riwanto et al., 2010; Brunner & Suddarth, 2014). Perforasi

dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke dalam rongga abdomen, lalu

memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis.

Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka akan

memberikan manifestasi nyeri lokal akibat akumulasi abses dan akan

memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi

apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan

bawah (Tzanakis, 2005; Brunner & Suddarth, 2014).

Perforasi apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang

tinggi. Pasien yang mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya

1,5%, tetapi ketika telah mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai

20%-35% (Riwanto et al., 2010; Vasser, 2012). Apendisitis perforasi

2

diperlukan tindakan operasi laparatomi. Tindakan pasca bedah untuk

mengatasi masalah apendisitis perforasi dapat meningkatkan risiko lebih

tinggi komplikasi pasca bedah dibandingkan dengan apendisitis akut (St Peter

et al 2008a, b ; Fraser et al 2010; Brunner & Suddarth, 2014). Abses intra-

abdominal merupakan komplikasi yang paling umum setelah apendisitis

perforasi. Pemasangan drain diharapkan mampu menurunkan risiko

komplikasi abses intra-abdominal (Lund dan Murphy 1994; Fishman et al.

2000; St Peter et al 2008a, b; Fraser et al 2010).

Drain intraabdomen banyak digunakan oleh ahli bedah di praktek

klinis saat ini (Curran dan Muenchow 1993; Lund dan Murphy 1994;

Fishman et al. 2000). Namun demikian, drain intraabdomen setelah operasi

apendisitis dalam kasus apendisitis perforasi masih kontroversi (Narci et al.

2007; Akoyun, 2012). Ada beberapa ahli bedah yang memilih untuk tidak

memasang drain pasca bedah. Banyak ahli bedah secara selektif

menggunakan drain intraabdomen (Dandapat dan Panda 1992; Yamini et al.

1998 ; Schwartz et al. 2014). Hasil penelitian yang pernah dilakukan

sebelumnya tindakan pasca operasi apendisitis perforasi yang dipasang drain

mempunyai risiko lebih rendah terjadinya komplikasi dibandingkan dengan

yang tidak dipasang drain, sehingga proses penyembuhan luka pasien yang

dipasang drain lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak dipasang

(Memon, et al, 2002; Beek, at al, 2015). Akan tetapi hasil penelitian yang

dilakukan oleh Song (2015), mengatakan sebaliknya bahwa pemasangan

drain dapat memperlama pasien dirawat di rumah sakit dan meningkatkan

risiko mengalami abses dan infeksi.

Dampak lain dari abses juga memengaruhi lama pasien dirawat di

rumah sakit dan meningkatkan biaya di rumah sakit (Gasior et al. 2013). Oleh

karena itu, pencegahan abses intra-abdominal setelah apendektomi sangat

penting. Meskipun banyak penelitian telah melaporkan hasil paska operasi

apenddisitis perforasi, masih terdapat kontroversi besar mengenai

pengelolaan yang optimal dari apenddisitis perforasi. Dalam penelitian ini

3

peneliti ingin membandingkan pasien operasi apendisitis perforasi dipasang

drain dengan yang tanpa dipasang drain intra abdomen.

RSUD Moewardi merupakan salah satu Rumah Sakit Tipe A di Jawa

Tengah, yang menerima pasien rujukan dari berbagai daerah di Jawa Tengah.

Salah satu penyakit yang ditangani dan dilakukan pembedahan di RSUD

Moewardi adalah apendiksitis perforasi. Di Indonesia sebelumnya belum

pernah ada penelitian penelitian tentang efektifitas terjadinya komplikasi

antara pasien paska operasi apendisitis yang dipasang drain dengan yang

tidak dipasang drain. Dimana dengan tidak adanya komplikasi akan

mempercepat proses penyembuhan pasien. Sehingga perlu dilakukan

penelitian untuk mmembandingkan penggunaan drain intraabdomen terhadap

komplikasi pasca operasi pada kasus appendicitis perforasi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah apakah ada

perbandingan penggunaan drain intra abdomen dan tanpa penggunaan drain

intra abdomen terhadap komplikasi pasca operasi pada apendisitis perforasi.

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah ada perbandingan penggunaan drain

intra abdomen dan tanpa penggunaan drain intra abdomen terhadap

komplikasi pasca operasi pada apendisitis perforasi .

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan tambahan informasi

mengenai perbandingan penggunaan drain intra abdomen dan tanpa

penggunaan drain intra abdomen terhadap komplikasi pada apendisitis

perforasi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan pertimbangan dalam

menggunakan drain intra abdomen dan tanpa penggunaan drain intra

abdomeni terhadap komplikasi pasca operasi pada apendisitis perforasi.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Apendisitis

Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada

kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab

paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer dan Bare, 2008).

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang

berbahaya jika tidak ditangani dengan segera. Jika ada keterlambatan

dapat terjadi infeksi berat yang bisa menyebabkan pecahnya lumen usus

(Williams & Wilkins, 2012).

a. Anatomi dan Fisiologi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung yang

mempunyai panjang kira-kira 10 cm (antara 3-15 cm), dan

berpangkal pada sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan

melebar di bagian distal. (Soybel, 2001).

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar.

Kelenjar submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis.

Diantaranya berjalan melalui pembuluh darah dan kelenjar limfe.

Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang

berjalan melalui pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam

mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup

oleh peritoneum viserale (Soybel, 2001).

Gambar 2.1. Apendiks

5

Sumber: Indonesian Children, 2009

b. Klasifikasi Apendisitis

1) Apendisitis Akut

Peradangan pada appendiks dengan gejala yang khas dan

menetap. Gejala apendisitis akut antara lain seperti nyeri samar-

samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah

epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini disertai rasa mual

dan muntah serta penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam

nyeri akan berpindah ke titik McBurney. Pada titik ini nyeri

yang dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga

merupakan nyeri somatik setempat (Sjamsuhidayat, 2010).

Apendisitis akut dibagi menjadi 6 yaitu:

a) Apendisitis Akut Sederhana (Grade 1)

Proses peradangan baru akan terjadi di mukosa dan

sub mukosa yang disebabkan oleh obstruksi. Sekresi

mukosa menumpuk dalam lumen 9 appendiks dan terjadi

peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran

limfe, mukosa appendiks yang menebal, edema, dan

kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah

umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam

ringan (Rukmono, 2011).

b) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis/ Grade

2)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai

edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada

dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini

memperberat iskemia dan edema pada apendiks.

Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam

dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga

serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.

Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan

6

di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Keadaan

ini ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti

nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans

muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan

defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai

dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).

c) Apendisitis Akut Gangrenosa (Grade 3)

Apendistis Akut Gangrenosa terjadi jika tekanan

dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai

terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain

didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami

gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna

ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis

akut gangrenosa terdapat mikro perforasi dan kenaikan

cairan peritoneal yang purulen (Rukmono, 2011).

d) Apendisitis Infiltrat (Grade 4)

Apendisitis infiltrat adalah proses peradangan

apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum,

usus halus, sekum, kolon, dan peritoneum sehingga

membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat

satu dengan yang lainnya (Rukmono, 2011).

e) Apendisitis Abses (Grade 5)

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang

terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan,

lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal

(Rukmono, 2011).

f) Apendisitis Perforasi

Pecahnya apendiks yang sudah gangren yang

menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga

terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak

7

daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik

(Rukmono, 2011).

Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah

nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan

bawah (Tzanakis, 2005). Tanda-tanda perforasi meliputi

meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran

kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses

yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis

semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau

pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertama kali

datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.

Pada kasus apendisitis dengan perlekatan apalagi

jika apendiks nya sudah pecah / perforasi, masa perawatan

di RS jauh lebih lama. Komplikasi setelah operasi yang

sering terjadi adalah perdarahan, infeksi bisa infeksi di luka

operasi atau berupa nanah yang mengantong dikemudian

hari.

Appendisitis akut grade I dan II belum terjadi perforasi

(Appendisitis sederhana) sedangkan appendisitis akut grade

III,IV dan V telah terjadi perforasi/appendisitis komplikata

(Burkitt H. G, et. al., 2007).

2) Apendisitis Kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika

ditemukan 3 hal yaitu

a) Pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah

abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif

diagnosis lain.

b) Setelah dilakukan appendiktomi gejala yang dialami pasien

akan hilang

8

c) Secara histopatologik gejalanya dibuktikan sebagai akibat

dari inflamasi kronis yang aktif pada dinding appendiks

atau fibrosis pada appendiks

(Santacroce & Craig, 2007).

c. Etiologi

Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal yang berperan

sebagai penyebabnya adalah (obstruksi lumen apendiks faktor yang

diajukan sebagai faktor pencetus, kebiasaan makan-makanan rendah

serat dan pengaruh konstipasi, erosi mukosa apendiks karena parasit)

(Sjamsuhidayat, 2010).

d. Patofisiologi

Penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel

limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat

peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut

menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami

bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun

elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga

menyebabkan peningkatan tekanan intralumen (Price, 2006;

Mansjoer, 2010).

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan

pada bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi

normal dari mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus

karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan

mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin lama, mukus

tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks

terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas

lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2014).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran

limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi

mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai

oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan

9

akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena,

edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan

yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga

menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut

apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan

terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.

Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding

yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila

semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu

massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada

apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-

anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,

maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah

dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan

terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah

terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2010).

e. Penangananan Apendisitis

1) Penanganan Konservatif

Penanggulangan konservatif diberikan pada penderita

yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa

pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk

mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi, sebelum

operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta

pemberian antibiotik sistemik (c)

2) Penanganan Operatif.

Apabila penegakan diagnosa sudah tepat dan jelas

ditemukan apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah

operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi dengan

pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.

Pada abses apendiks dilakukan drainase (Oswari, 2005).

10

Pembedahan diidikasikan jika terdiagnosa appendicitis,

lakukan apendiktomi secepat mungkin untuk mengurangi resiko

perforasi. Metode insisi abdominal bawah di bawah anestesi

umum atau spinal (laparoskopi) (Brunner & Suddarth, 2014).

Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa

mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase

dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila

abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3

bulan

3) Penanganan pasca bedah

Pasca operasi yaitu metronidazol supositoria

(Sjamsuhidayat, 2010). Pengisapan nasogastrik harus digunakan

jika ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik

harus mencakup organisme yang sering ditemukan (Bacteroides,

Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies).

Regimen yang sering digunakan secara intravena adalah

ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam),

dan klindamisin (40 mg/kg/24 jam), atau metrobnidazole

(Flagyl) (30 mg/kg/24 jam). Apendiktomi dilakukan dengan

atau tanpa drainase cairan peritoneum, dan antibiotik diteruskan

sampai 7-10 hari (Hartman, 2005).

Pemasangan drainase digunakan untuk mengurangi

risiko terjadinya komplikasi paska apendektomi. Akan tetapi

masih ada beberapa ahli yang tidak sepemahaman dengan teknik

ini dan memilih untuk tetap tidak memasng drainse.

Hasil penelitian Rather (2013), mengungkapkan bahwa

tidak ada beda secara signifikan antara tindakan pemasangan

drainase dan tanpa drainase terhadap komplikasi dan

penyembuhan luka.

f. Komplikasi

11

Komplikasi apendisitis terjadi pada 25-30% anak dengan

apendisitis, terutama komplikasi yang dengan perforata (Hartman,

2005). Menurut Smeltzer dan Bare (2008), komplikasi potensial

setelah apendiktomi antara lain:

1) Perforasi

Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi

appendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau

abses. Insidensi perforasi 10-32%. Perforasi terjadi 24 jam

setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,7° C atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri abdomen

atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Haryono, 2012).

Pada kasus usus buntu yang sudah pecah/mengalami

perforasi sayatan luka operasi biasanya agak cukup lebar (bisa

disamping/kanan bawah perut atau di bagian tengah perut -

tegak lurus) dan umumnya disertai pemasangan drain (selang) di

perut kanan bawah. Drain/selang ini fungsinya adalah untuk

mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan darah/ nanah yang

berasal dari rongga perut.

2) Peritonitis

Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam,

muntah, kekakuan abdomen, dan takikardia. Lakukan

penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki dehidrasi sesuai

program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.

3) Abses pelvis atau lumbal

Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan

diaforesis. Observasi adanya diare, yang dapat menunjukkan

abses pelvis, siapkan pasien untuk pemeriksaan rektal. Siapkan

pasien untuk prosedur drainase operatif.

4) Abses Subfrenik (abses dibawah diafragma)

12

Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam,

diaforesis. Siapkan untuk pemeriksaan sinar X. Siapkan drainase

bedah terhadap abses.

5) Ileus

Kaji bising usus. Lakukan intubasi dan pengisapan

nasogastrik. Ganti cairan dan elektrolit dengan rute intravena

sesuai program. Siapkan untuk pembedahan, bila diagnosis ileus

mekanis ditegakkan.

g. Luka Apendektomi

Luka appendiktomi adalah luka bersih dari tindakan pembedahan

yang dilakukan untuk mengangkat atau membuang apendik yang

terinfeksi secara mendadak atau apendicitis akut. Luka irisan tepat di

abdomen kanan bawah,dengan posisi irisan benar-benar samping

atau miring, ke arah tengah dari spina anterior superior, bukan

langsung ke titik Mc Burnay dengan ukuran 2 – 3 cm (Dudley,1992).

Otot oblique kemudian ditoreh atau di iris lalu irisan dilebarkan

sekitar 4 cm kedua arah. Dengan demikian panjang keseluruhan luka

irisan berkisar 8 cm. Hal ini untuk memudahkan pengangkatan dan

pemotongan appendik yang terinfeksi. Luka appendiktomi adalah

luka bersih yang termasuk luka akut dimana proses penyembuhan

lukanya akan berlangsung secara alami menurut fase penyembuhan

luka (Taylor,1997). Dengan demikian, proses penyembuhan luka

appendiktomi akan mengikuti tahapan penyembuhan luka secara

alami, dimana kondisi luka tetap dalam keadaan tertutup balutan

steril.

2. Operasi Appendiktomi Perforasi

Peradangan akut pada apendiks memerlukan tindakan

pembedahan segera untuk mencegah terjadinya kompilkasi berbahaya

(Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Apendiktomi merupakan tindakan

pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan segera mungkin

13

untuk mengurangi risiko perforasi (Brunner & Suddarth, 2001).

Apendisitis yang tidak tertangani segera maka dapat terjadi perforasi dan

diperlukan tindakan operasi laparatomi.

Pada apendisitis perforasi atau yang telah mengalami rupture

appendiks memiliki tata laksana antara lain; rehidrasi intra vena,

antibiotic sistemik, dan dekompresi saluran gastro intestinal dengan

menggunakan selang naso gastric sebelum operasi, serta tindakan bedah

laparatomi appendiktomi. Sedangkan tata laksana perawatan post operasi

dengan perforasi antara lain; management nyeri, penggantian cairan dan

elektrolit, antibiotic sitemik, dekompresi usus sampai kembalinya fungsi

normal usus (Hockenberry & Willson, 2007).

Teknik Operasi Laparatomi Appendectomy tidak ada standar

insisi pada operasi ini. Hal ini disebabkan karena apendiks merupakan

bagian yang bergerak dan dapat ditemukan diberbagai area pada kuadran

kanan bawah. Ahli bedah harus menentukan lokasi apendiks dengan

menggunakan beberapa penilaian fisik agar dapat menentukan lokasi

insisi yang ideal. Tindakan laparatomi apendiktomi merupakan tindakan

konvensional dengan membuka dinding abdomen. Tindakan ini juga

digunakan untuk melihat apakah ada komplikasi pada jaringan apendiks

maupun di sekitar apendiks. Tindakan laparatomi dilakukan dengan

membuang apendiks yang terinfeksi melalui suatu insisi di regio kanan

bawah perut dengan lebar insisi sekitar 2 hingga 3 inci. Setelah

menemukan apendiks yang terinfeksi, apendiks dipotong dan dikeluarkan

dari perut (Hockenberry & Willson, 2007).

3. Drain Intra Abdomen

Pada kasus usus buntu yang sudah pecah/mengalami perforasi

sayatan luka operasi biasanya agak cukup lebar (bisa disamping/kanan

bawah perut atau di bagian tengah perut-tegak lurus) dan umumnya

disertai pemasangan drain (selang) di perut kanan bawah. Drain/selang

ini fungsinya adalah untuk mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan

darah/nanah yang berasal dari rongga perut (Jeo, 2003).

14

Tehnik operasi yang dilakukan pemasangan drainase:

a. Teknik drainase abses apendik dapat dilakukan dengan USG/CT

scan sebagai guiding melalui perkutaneous.

b. Bila gagal dilakukan surgical langsung dengan apendektomi

c. Penderita posisi supine dan narkose umum kemudian desinfeksi pada

lapangan operasi dan dipersempit dengan linen steril.

d. Insisi diatas massa abses kemudian diperdalam sampai tampak

aponeurosis MOE (Muskulus Oblikus Eksternus), kemudian dibuka

secara tajam, MOI (Muskulus Oblikus Internus) di splitting sampai

tampak fascia transversalis dan peritoneum dibuka secara tajam.

e. Identifikasi caecum dan taenia coli untuk mencari apendik,

kemudian dilakukan apendektomi.

f. Daerah caecum dipasang drain yang lunak dan lembut.

g. Luka operasi ditutup lapis demi lapis dan kemudian kulit dapat

ditutup.

Angka mortalitas pasca drainase sangat jarang sekali ditemukan

apalagi sejak ditemukan antibiotik paten. Pasca drainase pasien dirawat

diruangan selama 1-2 hari, balans cairan dan pemberian antibiotic, posisi

setengah duduk. Apabila klinis membaik dan cairan yang keluar melalui

drain berkurang atau tidak keluar lagi maka drain dapat dicabut,

apendektomi dapat direncanakan jika belum (Hong JJ, 2002).

Pemasangan drain adalah salah satu cara untuk menghindari

terjadinya peningkatan tekanan intra-abdomen. Ini sesuai dengan laporan

dari Offner P.J. (2001) dkk. dengan menghindari primary facial clossure

pada initial laparotomy dapat meminimalisasi risiko terjadinya ACS

(Abdominal Compartment Syndrome). Sindrom kompartemen merupakan

masalah medis akut setelah cedera pembedahan,di mana peningkatan

tekanan (biasanya disebabkan oleh peradangan) di dalam ruang tertutup

(kompartemen fasia) di dalam tubuh mengganggu suplai darah atau lebih

dikenal dengan sebutan kenaikan tekanan intra-abdomen. Tanpa

15

pembedahan yang cepat dan tepat, hal ini dapat menyebabkan kerusakan

saraf dan otot kematian.

Ada beberapa kasus apendektomi untuk mengeluarkan sekresi

dilakukan pemasangan drainase. Dengan dipasangnya drainase kadang

memberikan masalah baru seperti timbulnya komplikasi sehingga

menghambat penyembuhan luka. Penumpukan sekresi dapat membantu

proses penyembuhan luka. Untuk mengatasi masalah ini dengan

memantau sistem drainase portable atau tertutup lainnya terhadap

ketepatan fungsi. Cara lain dengan melakukan tindakan pembuangan

sekresi yang menumpuk (InEtna, 2004).

4. Komplikasi Pasca Bedah

Lama hari rawat pasien post operasi apendisitis antara 5-7 hari.

Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat

tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dilatih untuk berdiri

dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien

diperbolehkan pulang (Mansjoer, 2010). Proses mengangkat jahitan pada

luka post operasi bersih 5-7 hari atau sesuai dengan penyembuhan luka

yang terjadi (Kusyati, 2010). Terjadinya komplikasi paska bedah,

berkontribusi terhadap lamanya pasien paska bedah untuk tinggal di

rumah sakit.

a. Jenis-jenis komplikasi

Komplikasi terbagi menjadi 2 yaitu:

1) Komplikasi karena gejala sisa pembedahan

Penyimpangan keadaan paska bedah dari keadaan normal yang

melekat akibat pembedahan dan diperkirakan akan terjadi.

Seperti rasa sakit atau terjadi bekas luka di area pembedahan

2) Komplikasi kegagalan untuk menyembuhkan

Penyakit yang tidak sembuh atau tidak berubah setelah operasi

dilakukan atau kambuh kembali.

Kejadian komplikasi masih penanda yang paling sering

digunakan untuk menilai kualitas bedah. Namun, para ahli masih

16

merasa ada kekurangan konsensus tentang bagaimana

mendefinisikan dan membagi kelas atau grading komplikasi bedah.

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengklasifikasikan

komplikasi bedah, namun masih tetap belum bisa diterima oleh ahli

secara luas. Beberapa ahli bedah menganjurkan bahwa intuisi adalah

panduan yang tepat untuk mendefinisikan kemungkinan komplikasi

dan gradasi. Namun, dalam menilai komplikasi harus terbebas dari

kesalahan dan interpretasi tidak dilakukan secara subjektif. Oleh

karena itu, tantangan jika menggunakan sistem skala harus sederhana

tetapi tidak harus menghambat akurasi atau klinis penerapan umum

(Dindo, 2014).

b. Klasifikasi Komplikasi

Untuk standarisasi pelaporan hasil bedah Dindo (2014),

memperkenalkan klasifikasi untuk menilai komplikasi paska bedah

yang disebut dengan Clavien–Dindo Classification. Prinsip dasar

klasifikasi ini berdasarkan pada terapi yang diperlukan untuk

mengobati komplikasi. Klasifikasi ini terutama berfokus pada

perspektif medis, dengan penekanan utama pada risiko dan invasif

dari terapi yang digunakan untuk memperbaiki komplikasi.

Perspektif ini meminimalkan subjektif dan kecenderungan untuk

komplikasi tingkat rendah karena didasarkan pada data objektif.

17

Tabel 2.1 Klasifikasi Komplikasi Pasca Bedah

No Grade Definisi1 Grade 1 Setiap penyimpangan dari keadaan normal pasca operasi tanpa

perlu terapi farmakologi atau bedah, endoskopi, dan intervesi radiologi.Rezimen terapi yang dapat diterima seperti antiemetik, antipiretik,analgetika, diuretik, dan elektrolit dan fisioterapi. Grade ini termasuk infeksi luka terbuka

2 Grade 2 Membutuhkan terapi farmakologi dengan obat lain selain terapi pada komplikasi grade 1, transfusi darah dan nutrisi parenteral total

3 Grade 3 Membutuhkan bedah, endoskopi atau intervensi radiologiGrade 3a Intervensi tidak berada di bawah anestesi umumGrade 3b Intervensi berada di bawah anestesi umum

4 Grade 4 Komplikasi Mengancam jiwa (termasuk komplikasi CNS) membutuhkan IC/manajemen ICU

Grade 4a Disfungsi organ tunggal (termasuk dialisis)Grade 4b Disfungsi multi organ

5 Grade 5 Pasien meninggal6 Tanda ‘X’

jika cacatJika pasien menderita komplikasi pada saat debit, tandai dengan x "D" (untuk "cacat") ditambahkan ke grade masing-masing komplikasi.Label ini menunjukkan perlunya tindak lanjut untuk sepenuhnya mengevaluasi komplikasi.

Sumber: Dido, 2014

Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat

mengakibatkan keterbatasan gerak, dalam bentuk tirah baring,

pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal,

pembatasan gerakan volunter dan kehilangan fungsi motorik (Potter

& Perry, 2010). Dengan mobilisasi dini masa pemulihan untuk

mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat.

Hal ini tentu akan mengurangi waktu rawat inap di rumah sakit,

menekan biaya perawatan dan mengurangi stres psikis (Majid,

2011).

Smeltzer dan Bare (2008) menyebutkan tujuan mobilisasi

untuk mencegah terjadinya bronkopneumonia, kekakuan sendi,

mencegah tromboplebitis, atrofi otot, penumpukan sekret,

memperlancar sirkulasi darah, mencegah kontraktur, dekubitus serta

memelihara faal kandung kemih agar tetap berfugsi secara baik dan

18

pasien dapat beraktivitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi

proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan apendiks

(apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini.

Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat

pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah.

Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari rawat dan

mengurangi resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya

dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh,

gangguan sirkulasi darah, gangguan pernapasan dan gangguan

peristaltik maupun berkemih.

Apendisitis Perforasi

Laparotomy Appendicitis

Pasang Drainase Tanpa Drainase

Observasi Pasca Operasi

Komplikasi

Jenis Komplikasi:Gejala sisaKegagalan penyembuhan

Klasifikasi Komplikasi Clavien–Dindo :Grade 1Grade 2Grade 3Grade 4Grade 5

Lama Penyembuhan

Lama Rawat Inap di RS

19

B. Kerangka Teori

Gambar 2.3 Kerangka Teori

20

Keterangan Skema:

Tindakan untuk pasien dengan appendicitis yang sudah mengalami perforasi

akan dilakukan laparotomy appendiktomi (Hockenberry & Willson, 2007).

Tindakan laparatomi apendiktomi merupakan tindakan konvensional dengan

membuka dinding abdomen. Tindakan ini juga digunakan untuk melihat

apakah ada komplikasi pada jaringan apendiks maupun di sekitar apendiks.

Tindakan laparatomi dilakukan dengan membuang apendiks yang terinfeksi

melalui suatu insisi di regio kanan bawah perut dengan lebar insisi sekitar 2

hingga 3 inci. Setelah menemukan apendiks yang terinfeksi, apendiks

dipotong dan dikeluarkan dari perut (Hockenberry & Willson, 2007). Pasca

operasi laparotomy apendiktomi, biasanya dilakukan tindakan pemasangan

drainase untuk mencegah terjadinya komplikasi. Drain/selang ini fungsinya

adalah untuk mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan darah/nanah yang

berasal dari rongga perut (Jeo, 2003). Akan tetapi tindakan ini belum

sepenuhnya disetujui oleh ahli bedah di dunia (Narci et al. 2007; Akoyun,

2012). Ada beberapa ahli bedah yang memilih untuk tidak memasang drain

pasca bedah. Banyak ahli bedah secara selektif menggunakan drainase

peritoneal (Dandapat dan Panda 1992; Schwartz et al. 1983; Yamini et al.

1998). Obeservasi paska bedah dilakukan untuk menilai terjadinya

komplikasi secara objektif. Untuk mengkaji komplikasi paska bedah dengan

menggunakan Clavien–Dindo Classification. Klasifikasi ini terbagi menjadi 5

grade (Dindo, 2014). Terjadinya komplikasi akan memengaruhi lama

penyembuhan pasien paska bedah, hal itu tentunya juga akan berdampak pada

lama rawat inap di rumah sakit.

C. Hipotesis

Tidak Ada perbedaan perbandingan penggunaan drain intra abdomen dan

tanpa penggunaan drain intra abdomen terhadap komplikasi pasca operasi

pada apendisitis perforasi.

21

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi

experiment) dengan metode Posstest-Only Control Design. Dalam rancangan

ini sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu, kelompok I dilakukan

pemasangan drain intra abdomen dan kelompok II tidak dilakukan

pemasangan drain kemudian dilakukan follow up untuk menilai terjadinya

komplikasi pasca operasi pada appendicitis perforasi.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian akan dilakukan di RSUD dr. Moewardi Surakarta

Jawa Tengah. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari 2017 sampai

dengan jumlah sampel terpenuhi.

C. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

observasi.

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien apendisitis perforasi

yang melakukan apendektomi.

2. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel dengan random sampling, dengan

kriteria sebagai berikut:

a) Kriteria inklusi

(1) Pasien/ keluarga yang menyetujui untuk ikut penelitian dan

menandatangani surat persetujuan.

(2) Pasien dengan appendicitis perforasi yang dilakukan tindakan

laparotomy appendiktomy

22

(3) Usia 18-60 tahun

b) Kriteria eksklusi:

(1) Penderita dengan apendisitis perforasi disertai penyakit jantung

dan diabetes melitus.

(2) Pasien dengan kelainan imunologi dan gizi buruk.

(3) Mengundurkan diri sebagai responden penelitian

3. Estimasi Besar Sampling

Besar sampling yang digunakan berdasarkan teori sampel minimal

untuk penelitian eksperimen adalah 15 sampel per kelompok (Murti,

2010). Dalam penelitian ini terdapat 2 kelompok, sehingga jumlah sampel

yang akan digunakan yaitu 30 sampel dengan rincian sebagai berikut:

a. Kelompok yang dipasang drain intra abdominal sebanyak 15 sampel.

b. Kelompok yang tanpa dipasang drain intra abdominal sebanyak 15

sampel.

E. Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu

pemasangan drain sebagai variabel bebas dan komplikasi pasca operasi

Appendiktomi Perforasi sebagai variabel terikat.

F. Definisi Operasional

1. Variabel terikat: Komplikasi pasca operasi Appendiktomi Perforasi

Definisi: Penyimpangan keadaan dari keadaan normal pasca

Appendiktomi Perforasi dengan menggunakan klasisfikasi Clavien–

Dindo dengan lama observasi selama 5 hari

Alat ukur: Lembar Observasi

Skala pengukuran: Ordinal

Kategori: 1. Grade 1

2. Grade 2

3. Grade 3

23

4. Grade 4

5. Grade 5

2. Variabel Bebas: Penggunaan Drain

Definisi: tindakan paska operasi laparotomi appendicitis dengan

memasangkan selang/drainase pada intra abdomen melalui sayatan

laparotomy apendiktomi.

Alat ukur: Lembar Observasi

Skala Pengukuran: Nominal

Kategori: 1. Tidak dipasang drain intra abdomen

2. Dipasang drain intra abdomen

Pasien Apendisitis Perforasi

Operasi Laparotomy Apendektomi

Tindakan Pasca Operasi Laparotomy Apendektomi

Pasang Drain Intra Abdominal

Tanpa Pasang Drain Intra Abdominal

Observasi Pasca Operasi selama 5 Hari

Observasi Pasca Operasi selama 5 Hari

Kelompok 1:Klasifikasi Clavien–

Dindo

Kelompok 2:Klasifikasi Clavien–

Dindo

Perbandingan antara Kelompok I dan Kelompok IIBerdasarkan hasil observasi berdasarkan

Klasifikasi Clavien–Dindo

Uji Mann Whitney

24

G. Skema Penelitian

Gambar 3.1 Skema Penelitian

25

Keterangan:

Pasien dengan apendicitis dengan perforasi yang dilakukan operasi

laparotomy apendiktomi, kemudian secara random dilakan tindakan paska

bedah dengan dua cara, 1 kelompok dilakukan pemasangan drainase intra

abdomen dan kelompok yang kedua tanpa dipasang drainase intra abdomen.

Kemudian keduanya diobservasi selama 5 hari dilihat komplikasi yang terjadi

dengan menggunakan Klasifikasi Clavien–Dindo, kemudian hasilnya ditulis

dalam lembar observasi. Dari hasil observasi klasifikasi Clavien-Dindo

tersebut kemudian dibandingkan antara kelompok yang dipasang drain intra

abdomen dengan kelompok yang tidak dipasang drain. Dari hasil tersebut

akan tampak metode mana yang menunjukkan terjadinya komplikasi paska

pembedahan.

H. Analisis Data

Uji statistik yang digunakan uji Mann Whitney, untuk

membandingkan atau komparasi 2 kelompok sampel. Teknik ini digunakan

untuk membandingkan dua variabel terukur berskala kategorikan (nominal

atau ordinal) (Dahlan, 2013).

26

I. Jadwal Penelitian

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

N Kegiatan Bulan/Tahun 2016/2017Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

1 Penyusunan proposal

2 Konsultasi dan penyusunan

3 Seminar proposal

4 Revisi proposal6 Pengumpulan

data7 Analisis data8 Penyusunan

laporan dan konsultasi

9 Ujian tesis10 Revisi tesis