61
1 23BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benjolan yang ditemukan pada leher bisa bermacam- macam asal dan penyebabnya, mulai dari kulit sampai dengan organ yang paling dalam daerah leher. Jika ditinjau dari asalnya, benjolan tersebut bisa berasal dari kulit, jaringan otot, jaringan saraf, jaringan pembuluh darah, jaringan tulang dan tulang rawan, kelenjar getah bening, kelenjar tiroid atau bisa juga berasal dari kelenjar parotis. Penyebab benjolan tersebut pun bisa karena infeksi dan inflamasi, neoplasia, kista, metastasis dan penyebab lainnya. Dari beberapa keadaan tersebut di atas, kondisi yang sering ditemukan dalah pembesaran kelenjar tiroid (struma). Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang dapat menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh, namun ada pula yang tidak mempengaruhi fungsi tubuh. Struma merupakan penyakit yang sering dijumpai pada masyarakat di daerah pegunungan, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara tepat(Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).

Bedah Umum - SKD 3A - Struma Nodusa Non-Toksik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

struma

Citation preview

1

23BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benjolan yang ditemukan pada leher bisa bermacam-macam asal dan

penyebabnya, mulai dari kulit sampai dengan organ yang paling dalam daerah

leher. Jika ditinjau dari asalnya, benjolan tersebut bisa berasal dari kulit, jaringan

otot, jaringan saraf, jaringan pembuluh darah, jaringan tulang dan tulang rawan,

kelenjar getah bening, kelenjar tiroid atau bisa juga berasal dari kelenjar parotis.

Penyebab benjolan tersebut pun bisa karena infeksi dan inflamasi, neoplasia, kista,

metastasis dan penyebab lainnya.

Dari beberapa keadaan tersebut di atas, kondisi yang sering ditemukan

dalah pembesaran kelenjar tiroid (struma). Struma adalah pembesaran kelenjar

tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar tiroid itu sendiri.

Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang dapat menyebabkan perubahan fungsi

pada tubuh, namun ada pula yang tidak mempengaruhi fungsi tubuh. Struma

merupakan penyakit yang sering dijumpai pada masyarakat di daerah

pegunungan, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan

atau tanpa kelainan fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara tepat(Jong W. &

Sjamsuhidajat R., 2005).

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan laporan ini adalah mengetahui

perjalanan penyakit salah seorang pasien, sehingga dapat menilai kondisi pasien

dari awal terjadinya penyakit hingga post diberikan tindakan.

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan khususnya yaitu :

1. Mengetahui anatomi dan histologi kelenjar tiroid

2

2. Mengetahui fisiologi kelenjar tiroid

3. Memahami definisi, epidemiologi, etiologi, gejala klinik, patofisiologi,

diagnosis, terapi serta komplikasi struma

1.3 Manfaat

Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan laporan ini adalah

menjadikan calon dokter terlatih untuk menangani pasien serta mengetahui dan

mengawasi perkembangan penyakit pasien dari hari ke hari. Di samping itu,

melatih skill berkomunikasi baik secara verbal maupun non-verbal demi mencapai

hasil perawatan yang maksimal bagi kesembuhan pasien.

3

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. Y S N

Usia : 18 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : K, RT 1, RW 12, Kel. B, Kec. G, Kabupaten Magelang

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Datang ke Rumah Sakit pada Tanggal : 18 Oktober 2012

Bangsal : Seruni

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 18 Oktober 2012 di

ruang Poliklinik Bedah Rumah Sakit Tingkat II Dr. Soedjono, Magelang.

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Benjolan di leher bagian depan sisi tengah, sebesar telur ayam kampung.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien menyatakan benjolan sudah ada sejak lebih dari 5 bulan yang lalu,

membesar secara perlahan, selaim itu disertai adanya perubahan suara yang

menjadi serak. Pasien menyatakan tidak berdebar-debar, tidak gemetaran

(tremor), tidak banyak berkeringat dan tidak demam.

4

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya, riwayat radiasi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit yang sama disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2012 di ruang Poliklinik

Bedah :

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran/GCS : Compos Mentis / 15

Kepala (mata) : CA -/-; SI -/-; Exopthalmus (-)

Leher

o I : tampak benjolan sebesar telur ayam kampung, warna kulit sama

dengan sekitar

o P : teraba massa soliter berukuran 4 x 3 x 2 cm, konsistensi kenyal,

permukaan rata, batas tegas, nyeri tekan (-), mobile, massa ikut

bergerak saat pasien menelan, pembesaran KGB di servikal,

submandibular atau supraklavikular (-).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah Lengkap

Tanggal 23 Oktober 2012

Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi

WBC 8.4 103/mm3 3,5 – 10

RBC 4,95 106/mm3 3,8 – 5,8

HB 13,6 g/dl 11,0 – 16,5

HCT 40,5 % 35 – 50

PLT 296 103/mm3 150 – 390

PCT 0.242 % 0.100 – 0.500

MCV 82 um3 80 – 97

5

MCH 27,4 pg 26.5 – 33.5

MCHC 33,5 g/dl 31.5 – 35

RDW 15,3 % 10 – 15

MPV 8.2 um3 6,5 – 11

PDW 13,2 % 10 – 18

Diff Count

Jenis Hasil Referensi Jenis Hasil Referensi

% Lym 27,9 % 17 – 48 # Lym 2,3 103/mm3 1,2 – 3,2

% Mon 3,7 L% 4 – 10 # Mon 0,3 103/mm3 0,3 – 0,8

% Gra 68,4 % 43 – 76 # Gra 5,8 103/mm3 1,2 – 6,8

CT/BT : 4 menit/3 menit 30 detik

Tanggal 26 Oktober 2012

Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi

WBC 16.9 103/mm3 3,5 – 10

RBC 4,24 106/mm3 3,8 – 5,8

HB 10,7 g/dl 11,0 – 16,5

HCT 35 % 35 – 50

PLT 234 103/mm3 150 – 390

PCT 0.26 % 0.10 – 0.28

MCV 82,6 um3 80 – 97

MCH 25.2 pg 26.5 – 33.5

MCHC 30,5 g/dl 31.5 – 35

RDW 10,1 % 10 – 15

MPV 11,5 um3 6,5 – 11

PDW 15,8 % 10 – 18

Diff Count

6

Jenis Hasil Referensi Jenis Hasil Referensi

% Lym 6,2 % 17 – 48 # Lym 1,1 103/mm3 1,2 – 3,2

% Mon 2,3 L% 4 – 10 # Mon 0,4 103/mm3 0,3 – 0,8

% Gra 91,5 % 43 – 76 # Gra 15,4 103/mm3 1,2 – 6,8

Pemeriksaan Kimia Klinik

Tanggal 23 Oktober 2012

Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi

Urea 28 mg/dl 0 – 50

Creatinine 1,2 mg/dl 0 – 1,3

Pemeriksaan Seroimunologi

Tanggal Maret 2012 [pemeriksaan I]

Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi

TSH Serum 0,06 μIU/mL 0,4 – 7,0

FT4 5,83 ng/dL 0,8 – 2,0

Tanggal 4 Juni 2012 [pemeriksaan II]

Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi

TSH Serum 0,31 μIU/mL 0,4 – 7,0

FT4 0,77 ng/dL 0,8 – 2,0

Tanggal 11 September 2012 [pemeriksaan III]

Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi

7

TSH Serum 1,80 μIU/mL 0,4 – 7,0

Pemeriksaan EKG

Gambaran kelistrikan jantung normal, tak tampak kelainan

E. DIAGNOSIS BANDING

Struma nodosa non toksik

Tiroiditis

Karsinoma tiroid

F. DIAGNOSIS KERJA

Struma Nosoda Non-Toksik Bilateral, gambaran klinis tidak ada hyperthyroid

G. PLANNING

Planning Tindakan

o Near Total Thyroidectomi pada hari Senin, 22 Oktober 2012

Pasien baru datang kembali pada tanggal 23 Oktober 2012 ke Poli Bedah dan

direncakan ulang untuk operasi pada tanggal 25 Oktober 2012.

F. FOLLOW-UP

Tanggal 24 Oktober 2012

VS : TD 100/60 mmHg; Nadi 76x/menit; Suhu 36,2°C

S : pusing (-), mual (-), muntah (-), sesak (-)

O :

o Keadaan umum : sakit ringan

o Kesadaran : compos mentis

o Kepala/Leher : CA -/-, SI +/+, pembesaran KGB leher –, teraba

benjolan yang ikut bergerak saat menelan, nyeri tekan (-)

Planning Terapi

8

o Infus RL 20 tpm

o Injeksi Ceftriaxon 1 gram i.v., ½ jam pre op, test di ruangan

suntikan di OK

Tanggal 25 Oktober 2012 [Pre Op]

VS : TD 120/70 mmHg; Nadi 88x/menit; Suhu 36,4°C

S : pusing (-), mual (-), muntah (-), berdebar-debar (-), sesak (-),

menggigil (-)

O :

o Keadaan Umum : sakit ringan

o Kesadaran : compos mentis

o Kepala/Leher : CA -/-, SI +/+, pembesaran KGB leher –, teraba

benjolan yang ikut bergerak saat menelan, nyeri tekan (-)

Planning Terapi

o Infus RL 20 tpm

Tanggal 25 Oktober 2012 [Post Op]

Post Operasi Near Total Thyroidectomi

Rawat ICU, pasien potensial mengalami tracheomalasia

Awasi airway, keadaan umum, tanda vital dan cairan drain

Planning Terapi

o Infus RL; D5

o Injeksi Ceftriaxon 1 x 1 gram

o Injeksi ketorolac 3 x 30 mg

Tanggal 26 Oktober 2012

Post Operasi Near Total Thyroidectomi hari ke-1

KU : sedang; TD : 101/65 mmHg; SO2 : 97%; V6 : 11,3%

Terapi diteruskan, pasien dipuasakan tidak boleh minum, drain

ganti/24 jam pasif, awasi KU dan TV, cek Calcium darah

Planning Terapi

9

o Infus RL; D5

o Injeksi Ceftriaxon 1 x 1 gram

o Injeksi ketorolac 3 x 30 mg

Tanggal 27 Oktober 2012 [Cek oleh Anastesi]

B1 : CM

B2 : RR 27 x/menit

B3 : TD 130/79 mmHg; N : 95x/menit; S : 36,8°C

B4 : DC (+)

B5 : dbN

B6 : pasca tiroidektomi

Balance Cairan IN = 2.400 cc; Output = 2.775 cc - 0.375 cc

Pk : 10.05 WIB

KU : Baik

Menelan (+), suara (+), drain 25 cc/24 jam

Planning Terapi : terapi lanjut

o Injeksi ceftriaxon 1 x 1 gram

o Injeksi ketorolac 2 x 30 mg

jika kesakitan : injeksi Pethidin 25 mg i.m.

o Dobutamin tapp-off

Pasien boleh minum dengan hati-hati

Pk : 18.00 WIB [Cek oleh Anastesi]

B1 : CM

B2 : RR 20 x/menit

B3 : TD 116/72 mmHg; N : 105x/menit; S : 38,5°C

B4 : DC (+)

B5 : dbN

B6 : pasca tiroidektomi

10

Pk : 20.00 WIB [Cek oleh Anastesi]

B1 : CM

B2 : RR 32 x/menit

B3 : TD 126/80 mmHg; N : 104x/menit

B4 : DC (+)

B5 : dbN

B6 : pasca tiroidektomi

Balance Cairan IN = 250 cc; Output = 275 cc - 25 cc

Tanggal 28 Oktober 2012 [Cek oleh Anastesi Pk : 06.00 WIB]

B1 : CM

B2 : RR 27 x/menit

B3 : TD 130/79 mmHg; N : 116x/menit; S : 39,3°C

B4 : DC (+)

B5 : dbN

B6 : pasca tiroidektomi

S : keluhan (-)

O :

o Keadaan umum : baik

o Kepala/Leher : CA -/-, SI +/+, pembesaran KGB –

o Thorax :

Cor : BJ I/II reguler

Pulmo : SD vesiculer, Rh -/-, wh -/-

o Abdomen :

Bising usus (+), nyeri (-), timpani

o Ekstremitas : Edema (-), teraba hangat

A : Post Near Total Thyroidectomi

Pk : 18.00 WIB [Cek oleh Anastesi]

B1 : CM; GCS : 15

B2 : RR 28 x/menit

11

B3 : TD 132/85 mmHg; N : 70x/menit

B4 : DC (+)

B5 : dbN

B6 : pasca tiroidektomi

Tanggal 29 Oktober 2012 [Cek oleh Anastesi Pk : 06.00 WIB]

B1 : CM; KU: lemah

B2 : RR 20 x/menit

B3 : TD 134/73 mmHg; N : 55x/menit; S : 39,3°C

B4 : DC (+)

B5 : dbN

B6 : pasca tiroidektomi

Balance Cairan IN = 2.700 cc; Output = 1.900 cc + 800 cc

Bicara (+); menelan (+)

Infus RL/D5 20 tpm

Diet cair lunak (bubur halus)

Ganti Oral pulveres 3x/hari :

o Amoxicillin

o Parasetamol

o Dexamethason

Mobilisasi duduk

Tanggal 30 Oktober 2012 (Post Op Hr Ke-5)

KU : baik, tensi stabil

Pindah ruangan

Planning Terapi

o Infus RL/D5 20 tpm

o Obat-obat oral

o Pk. 11.48 suhu 39,5°C injeksi antrain 3 x 1

o Aff drain; ganti perban

12

Pk : 17.45 WIB

Pindah dari ICU

KU : sadar, batuk, dahak (+), demam (+)

Aff DC

Planning Terapi

o Infus RL/D5 20 tpm

o Injeksi Ciprofloksasin 2x

o Injeksi bisolvon 2x/amp i.v.

o Diet lunak bubur saring

o Mobilisasi/duduk/berdiri/jalan-jalan

o Jika demam extra antrain 1 ampul i.v.

Tanggal 31 Oktober 2012 (Post Op Hr Ke-6)

TD : 100/70, N : 80 x/menit; S : 36,2

Mobilisasi/duduk/berdiri/jalan-jalan

DC lepas

Planning Terapi

Terapi lanjut

Tanggal 1 November 2012 (Post Op Hr Ke-7)

TD : 120/90, N : 80 x/menit; S : 36,5

Kejang akral (tangan)

Mobilisasi jalan-jalan; ganti perban/rawat luka

Planning Terapi

o Injeksi Calcium glucoronas 1 amp 10 mg dalam D5 500 cc

loading

o Ganti per oral :

Cefadroksil 3x/hari

Dexamethason 3x/hari

Paracetamol 3x/hari

13

Neurobion 2x/hari

Tanggal 2 November 2012 (Post Op Hr Ke-8)

TD : 180/100, N : 80 x/menit; S : 36

KU : Baik

S : suara masih serak, menelan (+), kejang akral (-)

Mobilisasi jalan-jalan

Planning Terapi

o Terapi teruskan

o Calcium lactat tablet 2x/hari

G. PROGNOSIS

o Quo ad vitam : dubia at bonam

o Quo ad functionam : dubia at bonam

14

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III. 1. Kelenjar Thyroid

III. 1. 1. Embriologi Kelenjar Thyroid

Glandula thyroidea mula-mula berkembang dari penonjolan endodermal

pada garis tengah dasar pharynx, di antara tuberculum impar dan copula.

Nantinya penebalan ini berubah menjadi divertikulum yang disebut ductus

thyroglossalis. Dengan berlanjutnya perkembangan, ductus ini memanjang dan

ujung distalnya menjadi berlobus dua. Ductus ini berubah menjadi tali padat dan

bermigrasi menuruni leher, berjalan di sebelah anterior atau posterior terhadap os

hyoideum yang sedang berkembang. Pada minggu ke tujuh, tiba pada posisi

akhirnya di dekat larynx dan trachea. Sementara itu tali padat yang

menghubungkan glandula thyroidea dengan lidah terputus dan berdegenerasi.

Tempat asal ductus thyroglossalis pada lidah menetap sebagai suatu sumur yang

disebut foramen caecum linguae. Kemudian, dua lobus pada ujung terminal

ductus thyroglossalis akan membesar sebagai akibat proliferasi epitel dan

membentuk glandula thyroidea (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).

III. 1. 2. Anatomi Kelenjar Thyroid

Glandula thyroidea terletak di daerah servikal, anterior terhadap laring, di

belakang musculus sternothyroideus dan musculus sternohyoideus setinggi

vertebra cervicalis V sampai vertebra thoracica I. Kelenjar ini terdiri dari lobus

dexter dan lobus sinister yang terletak anterolateral terhadap larynx dan trachea.

Kedua lobus dihubungkan oleh isthmus yang biasanya terletak di depan

cartilagines tracheales II-III (Moore K. & Agur A., 2002). Sebuah lobus

pyramidalis dapat berasal dari isthmus, biasanya ke sebelah kiri dari bidang

median. Glandula thyroidea terbungkus dalam capsula fibrosa yang tipis dan

15

memancarkan sekat-sekat ke dalam jaringan kelenjar. Di sebelah luar capsula

fibrosa ini terdapat selubung longgar yang berasal dari fascia pretrachealis fasciae

cervicalis profundae. Glandula thyroidea melekat pada cartilago cricoidea dan

cartilagines tracheales atas dengan perantaraan jaringan ikat padat. Kelenjar ini

berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan

berkisar 10-20 gram (Moore K. & Agur A., 2002).

Glandula thyroidea yang vaskularisasinya amat luas, memperoleh darah

dari arteria thyroidea superior dan arteria thyroidea inferior. Pembuluh-

pembuluh ini terletak antara capsula fibrosa dan fascia pretrachealis fasciae

cervicalis profundae. Arteriae thyroidea superior, cabang pertama arteria carotis

externa, melintas turun ke kutub atas masing-masing lobus glandula thyroidea,

menembus fascia pretrachealis dan membentuk ramus glandularis anterior dan

ramus glandularis posterior. Arteria thyroidea inferior, cabang truncus

thyrocervicalis, melintas ke superomedial di belakang sarung karotis dan

mencapai aspek posterior glandula thyroidea. Arteria thyroidea inferior terpecah

menjadi cabang-cabang yang menembus fascia pretrachealis fasciae cervicalis

profundae dan memasok darah kepada kutub bawah glandula thyroidea (Moore K.

& Agur A., 2002).

Gambar 3.1 Letak Anatomis Kelenjar Thyroid

16

Tiga pasang vena thyroidea biasanya menyalurkan darah dari pleksus vena

pada permukaan anterior glandula thyroidea dan trachea. Vena thyroidea superior

menyalurkan darah dari kutub atas, vena thyroidea media menyalurkan darah dari

bagian tengah kedua lobus, dan vena thyroidea inferior menyalurkan darah dari

kutub bawah. Vena thyroidea superior dan vena thyroidea media bermuara ke

dalam vena jugularis interna dan vena thyroidea inferior ke dalam vena

brachiocephalica (Moore K. & Agur A., 2002).

Pembuluh limfe glandula thyroidea melintas di dalam jaringan ikat antar-

lobul, seringkali mengitari arteri-arteri dan berhubungan dengan anyaman

pembuluh limfe kapsular. Dari sini pembuluh limfe menuju ke nodi lymphoidei

cervicales anteriores profundi prelaryngeales, nodi lymphoidei cervicales

anteriores profundi pretrecheales dan nodi lymphoidei cervicales anteriores

profundi paratracheales.Di sebelah lateral, pembuluh limfe mengikuti vena

thyroidea superior melintas ke nodi lymphoidei cervicales profundi. Kelenjar

tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas

normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4)

Gambar 3.2 Vaskularisasi (Arteriae dan Venae) Kelenjar Thyroid

17

dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran darah.

Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom yodium pada setiap

molekul T3 (Moore K. & Agur A., 2002).

III. 1. 3. Histologi Kelenjar Thyroid

Jaringan tiroid terdiri atas ribuan folikel yang mengandung bulatan

berepitel selapis dengan lumen berisikan suatu substansi gelatinosa yang disebut

koloid. Pada sediaan, sel-sel folikel berbentuk gepeng sampai silindris dan folikel

mempunyai diameter yang sangat bervariasi. Kelenjar dibungkus oleh simpai

jaringan ikat longgar yang menjulurkan septa ke dalam parenkim. Septa ini

berangsunr-angsur menipis dan mencapai semua folikel, yang saling terpisah oleh

jaringan ikat halus tidak teratur yang terutama terdiri atas serat retikulin

(Sherwood, 2001).

Tampilan morfologi folikel tiroid bervariasi berdasarkan bagian kelenjar

dan aktivitas fungsionalnya. Pada kelenjar yang sama, folikel yang lebih besar

penuh dengan koloid dan mempunyai epitel kuboid atau gepeng dan dijumpai

bersebelahan dengan folikel yang dilapisi epitel silindris. Meskipun ada variasi

ini, kelenjar dikatakan hipoaktif bila komposisi rata-rata folikel ini berupa epitel

Gambar 3.3 Susunan Sel Kelenjar Thyroid berdasar Gambaran Histologis

18

gepeng. Tirotropin merangsang sintesis hormon tiroid sehingga epitel folikel

tersebut meninggi. Keadaan tersebut diikuti pengurangan jumlah koloid dan

ukuran folikel. Membran basal sel-sel folikel memiliki banyak reseptor tirotropin

(Junqueira & Carneiro, 2007).

Epitel tiroid terdapat di atas lamina basal. Epitel folikel memiliki semua

ciri sel yang secara serentak menyintesis, menyekresi, mengabsorpsi dan

mencerna protein. Bagian basal sel-sel ini kaya akan retikulum endoplasma kasar.

Intinya biasanya bulat dan terletak di pusat sel. Kutub apikal memiliki kompleks

golgi yang jelas dan granula sekresi kecil dengan ciri morfologi koloid folikel. Di

daerah ini terdapat banyak lisosom yang berdiameter 0,5-0,6 μm dan beberapa

fagosom besar. Membran sel kutub apikal memiliki cukup banyak mikrovili.

Mitokondria dan sisterna retikulum endoplasma kasar tersebar di seluruh

sitoplasma (Junqueira & Carneiro, 2007).

Jenis sel lain, yaitu sel parafolikel atau sel C, terdapat sebagai bagian dari

epitel folikel atau sebagai kelompok tersendiri di antara folikel-folikel tiroid. Sel

parafolikel mengandung sedikit kompleks Golgi yang besar. Ciri yang paling

mencolok dari sel ini adalah banyaknya granuyla kecil berisi hormon. Sel-sel ini

berfungsi membuat dan menyekresikan kalsitonin, yakni suatu hormon yang

pengaruh utamanya adalah penurunan kadar kasium darah dengan cara

menghambat resorpsi tulang. Sekresi kalsitonin dipacu oleh peningkatan kadar

kalsium darah (Junqueira & Carneiro, 2007; Lauralee, 2001).

III. 1. 4. Fisiologi Kelenjar Thyroid

Sel-sel sekretorik

utama tiroid tersusun

menjadi gelembung-

gelembung berongga, yang

masing-masing membentuk

unit fungsional yang disebut

folikel. Dengan demikian,

sel-sel sekretork ini sering

Gambar 3.4 Sel-Sel Kelenjar Thyroid secara Mikroskopik

19

disebut sebagai sel folikel. Pada potongan mikroskopik, folikel tampak sebagai

cincin sel folikel yang meliputi lumen bagian adalam yang dipenuhi koloid, suatu

bahan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstrasel untuk hormon-

hormon tiroid (Lauralee, 2001).

Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang dikenal

sebagai tiroglobulin, yang di dalamnya berisi hormon-hormon tiroid dalam

berbagai tahapan pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan dua hormon yang

mengandung iodium, yang berasal dari asam amino tirosin : tetraiodotironin (T4

atau tiroksin) dan triiodotironin (T3). Kedua hormon ini yang secara kolektif

disebut sebagai hormon tiroid, merupakan regulator penting bagi laju metabolisme

basal keseluruhan (Lauralee, 2001).

Bahan dasar untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium, yang

keduanya harus diserap dari darah oleh sel-sel folikel. Tirosin, suatu asam amino,

disintesis dalam jumlah memadai oleh tubuh, sehingga bukan merupakan

kebutuhan esensial dalam makanan. Di pihak lain, iodium, yang diperlukan untuk

sintesis hormon tiroid, harus diperoleh dari makanan (Lauralee, 2001).

Pembentukan, penyimpanan dan sekresi hormon tiroid terdiri dari langkah-

langkah berikut :

1. Semua langkah sintesis hormon tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin

di dalam koloid. Tiroglobulin itu sendiri dihasilkan oleh kompleks

Golgi/retikulum endoplasma sel folikel tiroid. Tirosin menyatu ke dalam

molekul tiroglobulin sewaktu molekul besar ini diproduksi. Setelah

diproduksi, tiroglobulin yang mengandung tirosin dikeluarkan dari sel

folikel ke dalam koloid melalui eksositosis.

2. Tiroid menangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam

koloid melalui suatu “pompa iodium” yang sangat aktif atau “iodine-

trapping mechanism”-protein pembawa yang sangat kuat dan memerlukan

energi yang terletak di membran luar sel folikel. Hampir semua iodium di

tubuh dipindahkan melawan gradien konsentrasinya ke kelenjar tiroid

untuk mensintesis hormon tiroid.

20

3. Di dalam tiroid, iodium dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di dalam

molekul tiroglobulin. Perlekatan sebuah iodium ke tirosin menghasilkan

monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan

diiodotirosin (DIT).

4. Kemudian, terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin

beriodium untuk membentuk hormon tiroid. Penggabungan dua DIT

menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau tiroksin), yaitu bentuk hormon

tiroid denagn empat iodium. Penggabungan satu MIT dan satu DIT

menghasilkan triiodotironin atau T3.

Hormon-hormon tiroid tetap disimpan dalam bentuk ini di koloid sampai

mereka dipecah dan disekresikan. Proses sekresi hormon tiroid pada dasarnya

melibatkan “penggigitan” sepotong koloid oleh sel folikel, sehingga molekul

tiroglobulin terpecah menjadi bagian-bagiannya, dan pengeluaran T4 dan T3

bebas ke dalam darah. Apabila terdapat rangsangan yang sesuai untuk

mengeluarkan hormon tiroid, sel-sel folikel memasukkan sebagian dari

kompleks hormon-tiroglobulin dengan memfagositosis sekeping koloid. Di

dalam sel, butir-butir koloid terbungkus membran menyatu dengan lisoso,

yang enzim-enzimnya kemudian memisahkan hormon tiroid yang aktif secara

biologis, T4 dan T3 serta iodotirosin yang nonaktif, MIT dan DIT. Hormon-

hormon tiroid, karena sangat lipofilik, dengan mudah melewati membran luar

sel folikel dan masuk ke dalam darah. Sel-sel folikel mengandung suatu enzim

yang dengan cepat mengeluarkan iodium dari MIT dan DIT, sehingga iodium

yang dibebaskan dapat didaur ulang untuk sintesis lebih banyak hormon.

Gambar 3.5 Pembentukan, Penyimpanan dan Pengeluaran Hormon Tiroid

21

Di dalam darah sebagian besar T3 dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu

albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin

(TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam

mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh Thyroid-Stimulating

Hormone (TSH) yang dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan

pelepasannya dipengaruhi oleh Thyrotropine-Releasing Hormone (TRH).

Kelenjar tiroid juga mengeluarkan calcitonin dari parafolicular cell, yang dapat

menurunkan kalsium serum dan berpengaruh pada tulang.

Gambar 3.6 Regulasi Umpan Balik terhadap Sekresi Hormon Tiroid

22

III. 2. Struma

III. 2. 1. Definisi Struma

Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi

karena folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun

sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar

tersebut menjadi noduler.

III. 2. 2. Klasifikasi Struma

Terdapat beberapa macam morfologi, berdasarkan gambaran makroskopik

dibedakan :

1. Bentuk kista : struma kistik

2. Bentuk noduler : struma nodosa

3. Bentuk difus : struma difusa

4. Bentuk vaskuler : struma vaskulosa

Berdasarkan fisiologisnya dibedakan menjadi :

1. Eutiroid

2. Hipotiroid

3. Hipertiroid

Istilah lain dalam klinik :

1. Non-toksik : yang dimaksud adalah eutiroid atau hipotiroid

2. Toksik : yang dimaksud adalah hipertiroid

III. 3. Struma Nodosa Non-Toksik

III. 3. 1. Definisi

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar thyroid yang secara

klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.

23

III. 3. 2. Epidemiologi

Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah

pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah

pegunungan lainnya juga terlihat di dataran rendah seperti Finlandia, Belanda dan

sebagainya.. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita

dibanding pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita, sedangkan

pria 1-5 dari 1.000 pria.

III. 3. 3. Etiologi

Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid

merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroid, beberapa gangguan

tersebut diantaranya :

1. Defisiensi Iodium

Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang

kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya

daerah pegunungan.

2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesis hormon tiroid

a. Penghambatan sintesis hormon oleh zat kimia (seperti substansi

dalam kol, lobak, kacang kedelai)

b. Penghambatan sintesis hormon oleh obat-obatan (misalnya :

thiocarbamide, sulfonylurea dan litium)

3. Hiperplasia dan involusi kelenjar tiroid

Pada umunya ditemui pada masa pertumbuhan, puberitas, menstruasi,

kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana

menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang

dapat berkelanjutan dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut.

24

III. 3. 4. Klasifikasi

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu :

1. Berdasarkan jumlah nodul

Bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa)

dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.

2. Berdasarkan kemampuan menangkap iodium aktif, dikenal 3 bentuk tiroid,

yaitu : nodul dingin, nodul hangat dan nodul panas

3. Berdasarkan konsistensinya

Nodul lunak, kistik, keras dan sangat keras

III. 3. 5. Patofisiologi

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk

pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,

masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid.

Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang

distimuler oleh Tiroid Stumulating Hormone (TSH), kemudian disatukan menjadi

molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam

molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yodotironin (T3).

Tiroksin menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid

Stimulating Hormone (TSH) dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang

tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan

keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus

menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif

meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan

pembesaran kelenjar tiroid

III. 3. 6. Gejala Klinik

Pada umumnya pasien struma nodosa non-toksik datang berobat karena

keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Biasanya penderita tidak

25

mengalami keluhan karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Sebagian kecil

pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala

mekanis, yaitu penekanan pada esofagus atau trakea sehingga pasien merasa sakit

untuk menelan (disfagia) dan sesak nafas. Penyempitan yang berarti menyebabkan

gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.

Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.

Peningkatan metabolisme karena klien hiperaktif dengan meningkatnya denyut

nadi. Peningkatan simpatis, seperti : jantung menjadi berdebar-debar, gelisah,

berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar dan kelelahan.

III. 3. 7. Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis pada pasien dengan benjolah di daerah leher sangatlah penting

untuk mengetahui patogenesis/macam kelainan dari struma nodosa non toksik

tersebut. Perlu ditanyakan :

a. Umur, jenis kelamin dan asal penderita

Penting sekali menanyakan asal penderita, apakah penderita tinggal di

daerah pegunungan atau dataran rendah bertujuan apakah berasal dari

daerah endemik struma.

b. Pembengkakan

Yang perlu ditanyakan dari pembengkakan tersebut adalah kapan

(jangka waktu) dan kecepatan tumbuh.

c. Keluhan penekanan

Pada keluhan penekanan, hal yang perlu diketahui adalah apakah ada

dysphagia, dyspnea dan suara serak.

d. Keluhan Toksik

Dalam hal ini keluhan tersebut meliputi tremor, banyak keringat,

penurunan berat badan dan nafsu makan, palpitasi,

nervous/gelisah/tidak tenang.

e. Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dan

meninggal

26

2. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Posisi penderita duduk dengan leher terbuka, sedikit hiperekstensi. Bila

terlihat adanya pembengkakan, maka hal yang harus di deskripsikan

antara lain, yaitu :

Bentuk : difus atau lokal

Ukuran : besar atau kecil

Permukaan : halus atau modular

Keadaan : kulit dan sekitarnya

Gerakan : pada saat menelan

Adanya pembesaran tiroid dapat dipastikan dengan menelan ludah

dimana kelenjar tiroid akan mengikuti gerakan naik turunnya trakea

untuk menutup glotis.

b. Palpasi

Diperiksa dari belakang dengan kepala difleksikan diraba perluasan

dan tepinya

Ditentukan lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri,

kanan atau keduanya)

Konsistensi (lunak, kistik, keras atau sangat keras)

Mobilitas

Infiltrasi terhadap kulit/jaringan sekitar

Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak

Nyeri pada penekanan atau tidak

c. Perkusi

Jarang dilakukan

Hanya untuk mengetahui apakah pembesaran sudah sampai ke

retrosternal

d. Auskultasi

Jarang dilakukan

Dilakukan hanya jika ada pulsasi pada pembengkakan

27

3. Pemeriksaan Tambahan

a. Pemeriksaan Sidik Tiroid

Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk,

lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada

pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara

fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh

tiroid. Dari hasil sidik tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu :

1. Nodul dingin bila penangkapan iodium nihil atau kurang

dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang

rendah.

2. Nodul panas bila penangapan iodium lebih banyak dan sekitarnya.

Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.

3. Nodul hangat bila penangkapan iodium banyak dari sekitarnya. Ini

berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.

b. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan antara yang padat dan

cair. Gambaran USG dapat dibedakan atas dasar derajat echo-nya, yaitu

hipoechoic, isoechoic atau campuran. Dibandingkan sidik tiroid dengan

radioisotop, USG lebih menguntungkan karena dapat dilakukan tanpa

persiapan dan kapan saja, pemeriksaan lebih aman dan lebih dapat

dibedakan antara yang jinak dan yang ganas.

c. Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Pada masa sekarang dilakukan dengan jarum halus biasa yaitu Biopsi

Aspirasi Jarum Italis (Bajah) atau Fine Needle Aspiration (FNA)

mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Cara ini mudah, aman, dapat

dilakukan dengan berobat jalan, biopsi jarum halus tidak nyeri, tidak

menyebabkan dan hampir tidak ada bahaya penyebaran sel-sel ganas.

Ada beberapa kerugian pada biobsi jarum ini, yaitu dapat memberikan

hasil negatif palsu atau positif palsu. Negatif palsu biasanya karena lokasi

28

biopsi yang kurang tepat, teknik biopsi yang kurang benar atau preparat

yang kurang baik dibuatnya. Hasil positif palsu dapat terjadi karena salah

interpretasi oleh ahli sitologi.

d. Termografi

Adalah suatu metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit

pada suatu tempat. Alatnya adalah Dynamic Telethermography. Hasilnya

disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9°C dan

dingin apabila < 0,9°C. Pada penelitian Alves dkk, didapatkan bahwa

yang ganas semua hasilnya ganas. Dibandingkan dengan cara

pemeriksaan yang lain ternyata termografi ini.

e. Petanda Tumor (Tumor Marker)

Petanda tumor yang telah diuji hanya peninggian tiroglobulin (Tg)

serum yang mempunyai nilai yang bermakna. Kadar Tg normal adalah

antara 1,5-30 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml dan pada

keganasan rata-rata 424 ng/ml.

III. 3. 8. Terapi

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Adapun

indikasi untuk melakukan tindakan bedah diantaranya adalah :

1. Terapi : pengurangan masa fungsional dan pengurangan massa yang menekan

2. Ekstirpasi : penyakit keganasan

3. Palisi : eksisi massa tumor yang tidak dapat disembuhkan, yang menimbulkan

gejala penekanan mengganggu

Kontraindikasi operasi pada struma yaitu :

1. Struma toksik yang belum dipersiapkan sebelumnya

2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sisteik yang lain yang belum

terkontrol

29

3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan

yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering

dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea laring

dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi pelekatan

dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik

4. Stuma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena

metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan

sternotomi dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan

sering hasilnya tidak radikal.

Macam-macam tekhnik operasinya antara lain :

Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjarnya

disisakan seberat 3 gram

Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus

Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan

dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan

untuk mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. rekurens

laryngeus

Namun disamping tindakan operatif, beberapa cara lain untuk mengatasi

SNNT yaitu dengan cara :

1. Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di

daerah endemik sedang dan berat.

2. Edukasi

Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan

dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.

3. Penyuntikan lipidol

Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik

diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan

30

anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc –

0,8 cc.

4. L-tiroksin selama 4-5 bulan

Preparat ini diberikan apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan

pemeriksaan sidik tiroid ulang. Apabila nodul mengecil, terapi dianjutkan

apabila tidak mengecil bahkan membesar dilakukan biopsy atau operasi.

5. Biopsy aspirasi jarum halus

Dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang dari 10mm.

III. 3. 9. Komplikasi

Meskipun struma nodosa non-aktif tidak membahayakan, namun terdapat

beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh struma ini, yaitu :

1. Gangguan menelan atau bernafas

2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung

kongestif (jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)

3. Osteoporosis, terjadi akibat peningkatan proses penyerapan tulang sehingga

tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.

Selain kondisi penyakit itu sendiri yang dapat menimbulkan komplikasi,

tindakan operatif tiroidektomi itu sendiri dapat menimbulkan beberapa

komplikasi, diantaranya adalah :

a. Perdarahan

b. Masalah terbukanya vena besar dan menyebabkan embolisme udara

c. Trauma pada nervus laryngeus recurrens

d. Memaksa sekresi glandula ini dalam jumlah abnormal ke dalam sirkulasi

dengan tekanan

31

e. Sepsis yang meluas ke mediastinum

f. Hipotiroidisme pasca bedah akibat terangkatnya kelenjar paratiroid

g. Trakeomalasia (melunaknya trakea)

Trakea mempunyai rangka tulang rawan, bila tiroid demikian besar dan

menekan trakea, tulang-tulang rawan akan melunak dan tiroid tersebut

menjadi kerangka bagian trakea

32

BAB IV

ANALISA KASUS

Diagnosis pada pasien ini adalah :

Struma Nodosa Non Toksik

Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan :

Subjektif :

Anamnesis :

Pasien adalah seorang wanita berusia 18 tahun, datang dengan keluhan

adanya benjolan pada daerah leher (bagian depan sisi tengah) yang terlihat secara

kasat mata. Pasien menyatakan bahwa benjolan tersebut sudah ada sejak 5 bulan

yang lalu, membesar secara perlahan. Benjolan yang dialami pada pasien ini dapat

mengarahkan pada pemikiran adanya kelainan pada organ yang terdapat di sekitar

leher, diantaranya yaitu kelainan pada kulit, jaringan otot, jaringan saraf, jaringan

pembuluh darah, jaringan tulang dan tulang rawan, kelenjar getah bening, kelenjar

tiroid atau bisa juga berasal dari kelenjar parotis. Namun, melihat predileksi dari

letak benjolan tersebut serta dilihat dari karakteristik benjolannya, lebih

mengarahkan kelainan pada kelenjar tiroid.

Perjalanan penyakit yang relatif lama, pertumbuhan nodul yang terjadi

secara perlahan, tidak disertai nyeri, tidak disertai demam atau riwayat trauma

dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab penyakit adalah infeksi atau trauma.

Tidak ada riwayat keluarga atau masyarakat di lingkungan sekitar yang mengidap

penyakit yang sama atau masyarakat di lingkungan sekitar yang mengidap

penyakit yang sama dapat membantu menyingkirkan diagnosis bahwa kasus ini

adalah penyakit endemik. Kemungkinana bahwa kasus ini adalah hipertiroidime

33

juga dapat disingkirkan karena tidak ditemukannya gejala tremor, tangan

berkeringat atau jantung berdebar-debar. Selain itu, pasien tidak mengalami

demam maupun sesak atau gangguan saat menelan.

Objektif :

Pemeriksaan Fisik :

Pada pemeriksaan fisik didapatkan sebuah nodul soliter, berukuran sebesar

telur ayam kampung, dengan konsistensi kenyal, permukaan rata, terfiksir, ikut

dalam gerakan menelan, tanpa disertai nyeri. Disimpulkan bahwa penyakit yang

diderita pasien ini adalah suatu pembesaran kelenjar. Tidak didapatkannya nodul

lain baik di servikal, submandibular, supraklavikular maupun pada tulang

tengkorak atau ekstremitas, mengarahkan diagnosis bahwa neoplasma tersebut

mungkin bersifat jinak atau dapat juga ganas namun belum terdapat metastasis

jauh.

Pemeriksaan Penunjang :

Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan

laboratorium, dari pemeriksaan tersebut hasil yang didapatkan menunjukkan

angka yang normal, menandakan bahwa tidak terdapat gangguan dalam sintesis

hormon tiroid, tidak terjadi hipo- maupun hipertiroid.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

yang telah dilakukan, maka disimpulkan diagnosis kerja pada pasien Nn. Y ini

adalah struma nodosa non toksik (SNNT). Penatalaksanaan yang tepat untuk

pasien ini adalah tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian

lobus kanan dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior

dilakukan untuk mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. rekurens

laryngeus.

Teknik Operasi

Persiapan sebelumnya, pasien dalam kondisi eutiroid.

34

Menjelang operasi

Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi

yang akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan

persetujuan dan permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi.

(Informed consent)

Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi,

persiapan ruang ICU untuk monitoring setelah operasi.

Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi

Tahapan operasi

Pembiusan dengan endotrakeal, posisi kepala penderita hiperekstensi

dengan bantal di bawah pundak penderita.

Desinfeksi dengan larutan antiseptik, kemudian dipersempit dengan doek

steril.

Insisi collar dua jari di atas jugulum, diperdalam memotong m. platisma

sampai fascia kolli superfisialis

Dibuat flap keatas sampai kartilago tiroid dan kebawah sampai jugulum,

kedua flap di teugel keatas dan kebawah pada doek steril.

Fascia kolli superfisial dibuka pada garis tengah dari kartilago hioid

sampai jugulum.

Otot pretrakealis (sternohioid dan sternotiroid) kanan kiri dipisahkan

kearah lateral dengan melepaskannya dari kapsul tiroid.

Tonjolan tiroid diluksir keluar dan dievaluasi mengenai ukuran,

konsistensi, nodularitas dan adanya lobus piramidalis.

Ligasi dan pemotongan v. tiroidea media, dan a. tiroidea inferior sedikit

proksimal dari tempat masuk ke tiroid, hati-hati jangan mengganggu

vaskularisasi dari kel. paratiroid.

Identifikasi N. rekuren pada sulkus trakeoesofagikus. Syaraf ini diikuti

sampai menghilang pada daerah krikotiroid.

Identifikasi kel. paratiroid pada permukaan posterior kel. tiroid berdekatan

dengan tempat a. tiroidea inferior masuk ke tiroid.

35

Kutub atas kel. tiroid dibebaskan dari kartilago tiroid mulai dari posterior

dengan identifikasi cabang eksterna n. laringikus superior dengan

memisahkannya dari a. & v. tiroidea superior. Kedua pembuluh darah

tersebut diligasi dan dipotong.

Kemudian lobus tiroid dapat dibebaskan dari dasarnya dengan

meninggalkan intak kel. paratiroid beserta vaskularisasinya dan n. rekuren.

Untuk melakukan prosedur subtotal maka dengan menggunakan klem

lurus dibuat “markering” pada jaringan tiroid di atas n. rekuren dan gld.

paratiroid atas bawah dan jaringan tiroid disisakan sebesar satu ruas jari

kelingking penderita

Prosedur yang sama dilakukan juga pada satu lobus tiroid kontralateral.

Perdarahan yang masih ada dirawat, kemudian luka pembedahan ditutup

lapis demi lapis dengan meninggalkan drain Redon.

Terapi [maintenance] :

1. Ceftriaxone (Gunawan S. G, 2008)

Gambar 3.7 Thyroidectomi

36

Golongan : sefalosporin generasi ketiga

Menghambat sintesis dinding sel mikroba dengan cara menghambat rekasi

transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukkan dinding

sel

ESO : reaksi anafilaktik dengan spasme bronkus dan urtikaria, nefrotoksik

Sediaan : bentuk bubuk obat suntik 0,25; 0,5 dan 1 gram.

2. Ketorolac (Gunawan S. G, 2008)

Analgesik poten dengan efek anti inflamasi sedang

Selektif menghambat COX-1

ESO : gangguan GIT, pusing

Dosis : oral = 5 – 30 mg, IM = 30 – 60 mg, IV = 15 – 30 mg

3. Phetidin (Meperidin HCl)

Analgesik golongan opioid

Merupakan narkotika sintetik derivat fenilpiperidinan, terutama berefek

terhadap susunan saraf pusat

MK : menghambat kerja asetilkolin yaitu pada sistem saraf (SSP dan SST)

serta dapat mengaktifkan reseptor, terutama pada reseptor μ dan sebagian

kecil pada reseptor kappa

Indikasi : analgesia untuk semua tipe nyeri yang sedang sampai berat,

misal : suplemen sedasi sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokard,

nyeri post operasi

Sediaan : tablet 50 dan 100 mg; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml,

75 mg/ml, 100 mg/ml; larutan oral 50 mg/ml

Dosis : melalui parenteral 100 mg

ESO : sakit kepala ringan, kepala terasa berputar, mual, muntah, gangguan

aliran darah, alergi, gangguan koordinasi otot, gangguan jantung serta

dapat menekan sistem pernafasan

Dosis : 250-500 mg setiap 8 jam

37

4. Amoxicillin (Gunawan S. G, 2008)

Indikasi : digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri

gram negatif (H. influenza, E. coli, Proteus mirabilis, Salonella) dan

bakteri gram posititf (S. pneumoniae, Listeriae)

KI : pasien yang hipersensitif terhadap amoksisilin, penisilin dan

komponen lain dalam obat

ESO :

o Pada SSP : hiperaktif, agitasi, ansietas, insomnia, konfusi, kejang,

o perubahan perilaku, pening

o Kulit : acute exanthematous pustulosis, rash, erytema multiform,

o SSJ, dermatitis, NET, urticaria

o GI : mual, muntah, diare, hemorrhagic colitis, pseudomembranous,

o colitis

o Hematologi : anemia, anemia hemolitik, trombositopenia, TTP,

leukopenia, agranulositosis

o Hepatic : SGOT/SGPT meningkat, cholestatic joundice

o Renal : Cristalluria

5. Parasetamol (Gunawan S. G, 2008)

Penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah, bersifat analgesik dan

antipiretik

Sediaan : tab 500 mg

Dosis : 300 – 1000 mg/hari, maksimal 4 gr/hari

6. Dexamethason (Gunawan S. G, 2008)

Golongan : glukokortikoid

Indikasi : imunosupresan/antialergi, antiinflamasi, gangguan kolagen,

reaksi alergik, gangguan dermatologik, gangguan pernapasan, gangguan

gastrointestinal

KI : pasien dengan hipersensitif terhadap deksametason dan penderita

infeksi jamur sistemik

38

ESO : penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kelemahan otot,

mudah terinfeksi, gangguan keseimbangan cairan tubuh, gangguan sistem

endokrin, gangguan saluran pencernaan, sakit kepala atau atropi kulit

Dosis : 0-75 – 9 mg sehari

7. Antrain (Gunawan S. G, 2008)

Metamizole Na

Indikasi : meredakan nyeri pasca operasi, nyeri kolik

KI : psikosis berat, kecenderungan perdarahan, porfiria, hipersensitif

derivat pirazolon

ESO : agranulositosis, reaksi alergi

Sediaan : 500 mg

Dosis : tablet : dewasa 1 tab tiap 6-8 jam, maks 4 tab/hari

Injeksi : dewasa 500 mg tiap 6-8 jam, maks 3x/hari i.m. atau i.v.

8. Siprofloksasin (Gunawan S. G, 2008)

Aktivitas antibakteri : >> Bakteri Gram (-) [E. coli, Klebsiella,

Enterobacter, Proteus sp., H. Influenzae, Salmonella sp., Neisseria,

Yersinia, Mikobakterium]

Mekanisme kerja : menghambat topoisomerase II (DNA Girase) dan IV di

kuman menghambat replikasi kuman

ESO : mual, muntah, sakit kepala

Kontraindikasi : ibu hamil, anak < 18 tahun

Sediaan : tab 250 & 500 mg, inf. 200 & 400 mg

Dosis : oral = 2 x 250 - 500 mg, parenteral = 2 x 200 – 400 mg IV

9. Bisolvon

Indikasi : tracheobronkitis, emfisema disertai bronkitis, pnemokonosis,

paru meradang kronik, bronkitis disertai bronkospasmus

Dosis : injeksi 2-3 sehari 1 ampul, SK, IM atau IV dengan waktu

penyuntikan 2-3 menit, larutan dewasa dan anak di atas 10 tahun 2-3 x

sehari 4 ml

39

10. Cefadroksil (Gunawan S. G, 2008)

Golongan : sefalosporin generasi 1

Indikasi : infeksi bakteri gram positif dan gram negatif, ISK, infeksi

saluran reproduksi

ESO : diare, nausea, nyeri perut dan muntah, kemerahan pada kulit

Dosis : 1,04 gram

11. Neurobion

Indikasi : untuk pencegahan dan pengobatan penyakit karena kekurangan

vitamin neurotropik (B1, B6 dan B12) yang berguna untuk mengatasi

pegal, kram dan kesemutan, dapat mengatasi penyakit seperti beri-beri,

neuritis perifer dan neuralgia

Dosis 1 kali sehari

12. Calcium Laktat

Indikasi : kalsium tambahan pada masa pertumbuhan, masa hamil,

menyusui dan untuk pertumbuhan tulang, serta sebagai antasida

Kontraindikasi : gangguan ginjal berat, hiperkalsemia

Dosis : Dewasa 2 kali sehari 2-4 tablet, Anak-anak 2 kali sehari 1-2 tablet

BAB V

40

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang

berbatas jelas dan tanpa gejala-gejala hipertiroid. Klasifikasi dari struma nodosa

non toksik didasarkan atas beberapa hal, yaitu berdasarkan jumlah nodul,

berdasarkan kemampuan menangkap iodium aktif dan berdasarkan

konsistensinya. Etiologi dari struma nodosa non toksik adalah multifaktorial

namun kebanyakan struma di seluruh dunia diakibatkan oleh defisiensi yodium

langsung atau akibat makan goitrogen dalam dietnya. Gejala klinis tidak khas,

biasanya penderita datang dengan keluhan kosmetik atau ketakutan akan

keganasan tanpa keluhan hipo atau hipertiroid. Diagnosis ditegakkan dari hasil

anamnesa, pemeriksaan sidik tiroid, pemeriksaan USG, Biopsi Asporasi Jarum

Halus (BAJAH), termografi dan petanda tumur (tumor marker). Penatalaksanaan

meliputi terapi dengan I-thyroksin atau terapi pembedahan yaitu tiroidektomi

berupa reseksi subtotal atau lobektomi total dengan komplikasi dari tindakan

pembedahan (tiroidektoi) meliputi perdarahan, terbukanya vena besar dan

menyebabkan embolisme udara, trauma pada nervus laryngeus recurrens, sepsis,

hipotiroidisme dan traceomalaisa. Komplikasi dari penyakit ini sendiri

diantaranya adalah gangguan menelan atau bernafas, gangguan pada jantung

maupun terjadinya osteoporosis akibat peningkatan proses penyerapan tulang.

Penatalaksanaan yang tepat dan adekuat diperlukan untuk menjamin

kesembuhan pasien dengan prognosis yang baik, serta menghindari komplikasi

maupun terjadinya relaps.

DAFTAR PUSTAKA

41

Gunawan S. G., 2008, Farmakologi dan Terapi Edisi 5., Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta

Jong W., Sjamsuhidajat R., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta

Moore K., Agur A., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta

Sherwood, L., 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2. Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta

42

LAMPIRAN

43

Kondisi Pre-

Operasi

[23-11-2012]

Kondisi Post-Operasi

[8-11-2012]