35
Beberapa Kritik atas Islamisme Novriantoni (Aktivis Jaringan Islam Liberal) Kalimat Pembuka Beberapa tahun ini, pergulatan wacana keagamaan di tanah air, mengalami perkembangan pesat (terutama) secara kuantitatif, kalaupun belum dapat disebut maju secara kualitatif. Secara kuantitatif disebut berkembang pesat, karena tingginya intensitas wacana dan perdebatan yang muncul. Selain itu, juga oleh sebab banyaknya literatur pemikiran keagamaan yang menjadi trend bacaan. Kita menyaksikan, adanya lonjakan mood luar biasa di kalangan terpelajar Islam di Indonesia untuk membuka akses lebih luas lagi demi penyebaran wacana keagamaan, --dan itu dikontestasikan secara massif dan lebih terbuka. Perdebatanpun terjadi, kran-kran dialog terbuka. Semaraknya perdebatan itu, tentu saja menemukan berbagai corak, bentuk, dan warna warni respon. Di kalangan pemikir dan peminat wacana keagamaan, ada keyakinan kuat bahwa kondisi ini harus diteruskan mengingat usaha pembaruan pemikiran keagamaan ibarat rantai yang sambung menyambung (silsilah muttashil al-halaqât) dan kerja tak kenal henti, mengingat masih banyaknya “peer” yang belum dituntaskan -- mungkin tak akan pernah tuntas. Kira-kira, arus demokratisasi yang sedang berjalan, ikut memberikan kesempatan memadai bagi terjadinya proses dialog keagamaan yang sempat mengalami stagnasi di masa-masa Orde Baru. Salah satu aktor cukup penting dalam pergulatan pemikiran dan proses dialog tersebut, sebut saja kalangan penyokong Islamisme. Secara defenisi, Islamisme diartikan oleh laporan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Jakarta, sebagai suatu faham atau keyakinan tentang Islam

Beberapa Kritik Atas Islamisme

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kritik

Citation preview

Page 1: Beberapa Kritik Atas Islamisme

Beberapa Kritik atas Islamisme

Novriantoni(Aktivis Jaringan Islam Liberal)

Kalimat Pembuka

Beberapa tahun ini, pergulatan wacana keagamaan di tanah air, mengalami perkembangan pesat (terutama) secara kuantitatif, kalaupun belum dapat disebut maju secara kualitatif. Secara kuantitatif disebut berkembang pesat, karena tingginya intensitas wacana dan perdebatan yang muncul. Selain itu, juga oleh sebab banyaknya literatur pemikiran keagamaan yang menjadi trend bacaan. Kita menyaksikan, adanya lonjakan mood luar biasa di kalangan terpelajar Islam di Indonesia untuk membuka akses lebih luas lagi demi penyebaran wacana keagamaan, --dan itu dikontestasikan secara massif dan lebih terbuka. Perdebatanpun terjadi, kran-kran dialog terbuka.

Semaraknya perdebatan itu, tentu saja menemukan berbagai corak, bentuk, dan warna warni respon. Di kalangan pemikir dan peminat wacana keagamaan, ada keyakinan kuat bahwa kondisi ini harus diteruskan mengingat usaha pembaruan pemikiran keagamaan ibarat rantai yang sambung menyambung (silsilah muttashil al-halaqât) dan kerja tak kenal henti, mengingat masih banyaknya “peer” yang belum dituntaskan --mungkin tak akan pernah tuntas. Kira-kira, arus demokratisasi yang sedang berjalan, ikut memberikan kesempatan memadai bagi terjadinya proses dialog keagamaan yang sempat mengalami stagnasi di masa-masa Orde Baru.

Salah satu aktor cukup penting dalam pergulatan pemikiran dan proses dialog tersebut, sebut saja kalangan penyokong Islamisme. Secara defenisi, Islamisme diartikan oleh laporan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Jakarta, sebagai suatu faham atau keyakinan tentang Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan sosial politik. PPIM sengaja memilih istilah Islamisme, karena dinilai lebih baik dibanding istilah “fundamentalisme Islam” atau “radikalisme Islam”. Orang atau kelompok yang mengusung faham ini, biasa disebut kalangan Islamis atau al-Islâmiyyûn maupun al-Islâmawiyyûn dalam padanan Arab-nya. Sekedar menyebutkan beberapa saja, tokoh Islam seperti Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Imam Khomaini, dapat disebut sebagai para ideolog Islamisme.

Secara sosiologis, selain dipicu meningkatnya kesadaran keberagamaan, perkembangan Islamisme juga tidak lepas dari faktor krisis yang sedang dialami bangsa Indonesia. Sudah pasti banyak faktor lain yang perlu diteliti lebih lanjut ihwal mengapa terjadi lonjakan mood Islamisme, kini dan di sini. Banyak kalangan yakin, bahwa meningkatnya gaung Islamisme juga merupakan sebentuk reaksi atas kegagalan banyak rezim “sekuler” di dunia muslim. Kalau dihubungkan dengan gerak sejarah revivalisme Islam, Islamisme belakangan ini juga bisa dilihat sebagai “kesadaran tahap kedua” umat Islam. Kesadaran itu tersimpulkan dalam pandangan bahwa agama perlu memainkan peran atau misi-misi

Page 2: Beberapa Kritik Atas Islamisme

sosial yang lebih kuat dan dominan (Mahmud, 1999: 137). Tahap pertama kesadaran adalah fase ketercengangan atau kebangunan akan realitas objektif dunia muslim yang menyedihkan sampai-sampai banyak orang malu menjadi muslim. Sementara tahap kedua ditandai dengan menguatnya kesadaran akan perlunya mengukuhkan identitas keislaman, sembari tidak lagi terlalu terkesima dengan peradaban Barat yang jauh lebih maju. Demikian Zaki Naguib Mahmud memberikan ciri.

Agaknya kesadaran tahap kedua inilah yang menuntun umat Islam di banyak negara untuk kembali bangkit melakukan aksi-aksi ke arah aktualisasi agama dan pemikiran keagamaan secara lebih mendalam. Bentuk-bentuk manifestasi dari itu sangat beragam di Indonesia, mulai dari majlis taklim dan majlis zikir kelas menengah-atas di kota-kota besar, tabligh di tingkat grassroot, sampai diskusi dan dakwah kampus di kalangan terpelajar di universitas-universitas “sekuler”. Sebatas aksi-aksi tersebut berlangsung secara kultural, nampaknya tak terjadi banyak masalah. Persoalan muncul manakala bentuk kesadaran tersebut didengungkan dengan kuat oleh kelompok-kelompok yang mengusung slogan “Islam adalah solusi”, sembari menebar implikasi strukturalnya pada tingkat kenegaraan atau pemerintah.

Kita tidak berkepentingan memprediksi dan menilai bagaimana nasib aksi-aksi tersebut nantinya. Yang ingin kita diskusikan dalam makalah ini hanya menyangkut beberapa gagasan pokok kelompok Islamisme saja. Kita berkepentingan terhadap mindset atau worldview yang mereka bangun. Ini penting, karena gagasan-gagasan tersebut tidak hanya problematis ketika sudah mengideologi, tapi juga bermasalah dari sisi substansinya, karena dominasi sifat sloganistiknya. Kebutuhan untuk melakukan kritik atas wacana Islamisme semakin mendesak, agar tidak terlanjur menjadi –maaf-- “pepesan kosong” yang suatu saat malah menipu dan mengelabui publik.

Kiranya, menyadari bahwa impian-impian besar sering mengecewakan (Kuntowijoyo, 2001: 64) penting kembali diingatkan di sini. Harapan bahwa “Islam adalah solusi”, tidak serta merta akan betul-betul menjadi jawaban atas kondisi objektif kita yang centang perenang, jika tidak disertai dengan pemahaman dan diagnosa yang tepat atas problem dan kemungkinan tetapinya. Maka dari itu, kritik yang tidak selamanya mudah dilakukan, menjadi penting dikemukakan di sini. Agar kritik lebih terinci, kita akan membahas isu-isu pokok Islamisme itu bagian per bagian.

Islamisme dan KrisisSecara historis, generasi yang paling awal tergugah kesadarannya akan krisis yang menimpa dan menghimpit umat Islam adalah kalangan terdidik muslim yang nota bene cukup mendalami legasi Islam, sekaligus berkesempatan mengintip peradaban lain (Barat). Di antara mereka itu, sebutlah nama-nama semisal Al-Afghani (pada lapangan politik) yang mengusung jargon “muwajahat al-isti’mâr min al-khârij wa al-istibdâd fi al-dâkhil” (menentang imprealisme dari luar dan depotisme di dalam); Muhammad Abduh (di lapangan pendidikan Islam) dengan gagasan pembaruan pendidikan Islam (tathwîr al-Azhar) dan penyegaran pemikiran keislaman; dan Al-Thahtâwi yang disebut-sebut sebagai representasi liberal Islam yang banyak berkiprah memperkenalkan gagasan-

Page 3: Beberapa Kritik Atas Islamisme

gagasan modern Barat di penghujung abad ke-19. Mereka-mereka ini penting disebut, karena peran mereka sebagai pelecut kesadaran umat paling awal, ditambah lagi banyaknya gagasan-gagasan mereka yang diadopsi dunia muslim umumnya.

Dari merekalah tersimpul suatu pertanyaan mendasar: limâdzâ taakkhara al-muslimûn wa taqaddama ghairuhum, mengapa umat Islam mundur dan Barat maju?

Kesadaran akan krisis dunia Islam dan pemikiran Islam menjadi penting setelah mereka. Sejak saat itu, kita mengenal fase keterbangunan (‘asr al-nahdlah). Kesadaran akan krisis telah merangsang timbulnya gagasan-gagasan tentang reformasi pemikiran keagamaan, bahkan reformasi agama itu sendiri. Ini disebabkan, selain faktor agama dan pemikiran keagamaan disinyalir ikut berperan memperkukuh krisis, juga diyakini mampu dipergunakan untuk menanggulanginya. Masalahnya terletak pada bagaimana peran dan fungsi agama diposisikan.

Jika generasi awal yang tercerahkan itu menyoroti krisis pada bagian-bagian parsialnya, kalangan Islamisme yang datang belakangan justeru memandang krisis secara lebih total dan menyeluruh. Al-Afghani menyoroti krisis secara spesifik dari sudut tatanan politik yang ada; Abduh menitikberatkan pendidikan; dan Al-Tahtawi memandang perlunya mengadopsi beberapa sistim Barat yang diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dunia muslim. Tapi, ideolog Islamisme semisal Sayyid Qutb, lebih jauh dari mereka, menganggap semua tatanan sudah salah dan semuanya serba krisis. Dia menyoroti krisis pada semua dimensinya (azmat al-jism kakull). Menurut Sayyid Qutb dan kalangan Islamisme lainnya, krisis yang sedang terjadi bukan sekedar pelencengan dari jalur Islam, tapi sudah merupakan kudeta yang menimpa sendi-sendi kehidupan umat dalam semua aspeknya: budaya, politik, ekonomi, seni, hukum, pola pikir dan lain-lain. Dengan begitu, kalangan Islamisme yang belakangn ini, bahkan sampai menyimpulkan bahwa umat Islam masih berada pada fase Mekkah atau sedang menjalani era jahiliyyah modern, seperti judul buku Muhammad Qutb, Jâhiliyyat al-Qarn al-Isyrîn (Al-Jursyi, 2000: 35-36).

Pemahaman serupa ini sedikit banyak juga diadopsi beberapa penganut Islamisme di tanah air. Hizbut Tahrir (partai liberal?) misalnya, dalam booklet bertajuk “Selamatkan Indonesia dengan Syariat Islam”, menyoroti totalitas krisis yang sedang dialami Indonesia kini. Mereka menanggapi krisis secara multidimensional, menyeluruh sejak dari krisis ekonomi, identitas, moral, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Pendek kata, nyaris tak ada tatanan yang masih bisa dibenarkan menurut perspektif Hizbut Tahrir. Oleh sebab itu, mereka mengajukan solusi yang fundamental dan integral: menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan syariat Islam. Bisa diprediksi, bahwa Hizbut Tahrir berasumsi bahwa “ketidakberislaman” itulah pangkal semua krisis.

Problem yang muncul di kalangan Islamisme, justeru terjadi ketika mereka memandang Islam terpisah dengan realitas sejarah, dan realitas peradaban kemanusiaan secara keseluruhan. Padahal, Islam tidak pernah memperkenalkan dirinya dalam kerangka khusus sebagai sistim unik dalam kehidupan sosial yang lebih unggul, sembari

Page 4: Beberapa Kritik Atas Islamisme

mempertentangkan dan memperbandingkannya dengan sistim lain secara tegas (Al-Jabiri, 1992: 28-29). Persoalan tidak berhenti di situ, ketika Islam dipandang sebagai sesuatu yang khas dan terpisah dari realitas kekinian, dia tidak hanya dituntut untuk mampu menunjukkan tingkat kecanggihan dan kemampuannya guna bersaing dengan sistim-sistim lainnya, tapi juga dipaksakan untuk memberikan solusi-solusi kongkrit atas problem yang tidak selamanya perlu didekati dengan pola pikir Islamisme.

Justeru ketika hendak mengajukan “jawaban” itulah Islamisme nampak tergagap, meskipun mereka seringkali sangat yakin dengan gagasan-gagasan mereka. Sayangnya, sampai kini kita belum menyaksikan proyek yang memberikan harapan yang mampu membuat kita yakin akan gagasan-gagasan Islamisme. Akankah Islamisme menjadi semacam “radikalisme pelipur lara” --meminjam istilah Ignas Kleden— masih perlu dibuktikan oleh sejarah.

Gagasan tentang negara Islam, khilafah Islamiyyah, tathbiqus syariah, dan Islamisasi struktural dan kultural yang disinyalir mampu menjadi solusi atas krisis, walau sudah menjadi ideologi, masih sangat rapuh bila dipertanyakan dan diperdebatkan landasan epistimologisnya. Nampaknya, mobilisasi massa masih menjadi tumpuan kekuatan kalangan Islamisme. Hanya saja, ini dapat dimengerti karena masyarakat pada umumnya segan berdebat perihal keagaaman, terlebih bila sudah ditopang dengan teks-teks suci yang dikutip secara harfiah. Ini juga ditunjang karena faktor masih banyaknya orang yang memandang agama dan pemikiran keagamaan sebagai bagian yang harus diyakini saja, bukan dinalar dan diperdebatkan. Dari persoalan pertama ini, kita tergiring untuk membicarakan bagaimana kalangan Islamisme memandang teks-teks keagamaan.

Islamisme dan TeksPersoalan bagaimana memperlakukan teks-teks keagamaan --meminjam istilah dua buku Al-Qardlâwiy: Kaifa Nataâmal Ma‘a Al-Qur’ân dan Ma‘a Al-Sunnah-- juga menjadi permasalahan mendasar di kalangan Islamisme. Tak disangkal lagi, kalangan Islamisme adalah orang-orang yang mempunyai gairah keislaman yang tak diragukan lagi. Tingginya gairah keislaman ini, membuat mereka sangat loyal terhadap teks-teks keagamaan (yang primer adalah Alqur’an, yang sekunder adalah Sunnah), yang oleh nabi disebut sebagai penuntut agar umatnya tidak tersesat (lan tadillû abadan). Dapat disaksikan, kalangan Islamisme adalah kalangan yang sangat kuat berpegang pada teks-teks suci agama. Secara kategorial, mereka dapat dikatakan sebagai generasi penerus tradisi mazhab al-nushûshi (mazhab tekstual) dalam Islam, yang sangat terkesima dan setia dengan teks-teks suci agama.

Kalangan Islamisme yakin bahwa Tuhan tidak mengalfakan satu perkarapun di dalam teks, kecuali dia bertutur tentangnya (mâ farratnâ fi al-kitâb min al-syai’). Baik Alquran maupun Sunnah, dianggap tidak hanya memuat nilai-nilai moral universal, tapi --bagi kalangan ini— bisa menjadi buku hukum, buku sains dan lain sebagainya. Maka tak heran, kalau kalangan ini selalu memuat banyak teks suci untuk membahas permasalahan-permasalahan yang tidak selamanya relevan ditanggapi dengan landasan normatif teks-teks suci agama.

Page 5: Beberapa Kritik Atas Islamisme

M. Imarah dalam bukunya Al-Turâts fî Dlau Al-Aql, menyebutkan tahapan-tahapan mazhab tekstual dalam menanggapi permasalahan-permasalahan aktual. Pertama-tama mereka mencari rujukan teks-teks Alquran dan Sunnah. Jika tak ada, mereka beranjak ke fatwa para sahabat. Kalau sahabat tidak bersepakat dalam suatu perkara, mereka mengambil pendapat yang paling mendekati isi Alquran dan Sunnnah dari mereka. Kalau “permata” mereka tak juga ditemukan, mereka mengambil hadits mursal dan hadits dlaîf. Adapun qiyâs yang menggunakan mekanisme nalar dalam operasionalisasinya, akan mereka gunakan hanya dalam kondisi emergensi. Bagi kelompok ini, hadits dlaîf lebih selamat sebagai pegangan ketimbang nalar (Emarah, 1980: 229-230).

Tak ada salahnya setia pada teks-teks suci agama. Hanya saja, kalangan Islamisme nampaknya lupa, bahwa teks selalu terbatas, sementara kehidupan manusia berjalan cepat tanpa dapat dikendalikan oleh teks-teks yang tidak memadai itu. Diperlukan semacam -–meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla— wahyu perogressif untuk dapat menangggapi permasalahan-permasalah aktual dan kontekstual yang sedang kita hadapi sekarang ini. Kebutuhan itu tidak dapat terpenuhi sekiranya teks-teks agama dijadikan sesembahan, bukan sebagai inspirasi yang mengandung nilai-nilai universal yang mungkin relevan untuk menanggapi permasalahan kontekstual (Al-Baghdadi, 1999: 383).

Sedikit permisalan nampaknya perlu dikemukakan disini. Kalangan Islamisme, masih saja sibuk membedah wacana-wacana kekinian --contohnya demokrasi dan hak asasi manusia— dari sudut landasan-landasan normatif tektual agama. Selalu saja muncul keragu-raguan apakah demokrasi itu halal, mubah, dan bisa dibenarkan oleh Islam atau sebaliknya. Bahkan pada tingkat yang ekstrim, kalangan Islamisme menyimpulkan bahwa demokrasi yang saat ini menjadi dambaan banyak negara muslim, adalah sistim kafir yang tidak bisa dibenarkan oleh landasan-landasan normatif Islam, sebab dia berasal dari Barat. Akibatnya, wacana kita menjadi tidak naik kelas, hanya berkutat pada apakah itu bisa dibenarkan agama atau tidak dengan landasan normatif teks-teks suci yang terkadang berkesan dipaksakan bisa mengintervensi pembahasan-pembasahan kekinian.

Adanya jurang pemisah antara teks dengan kenyataaan juga masalah lain yang tidak disadari kalangan Islamisme. Perlu ditegaskan bahwa, dalam realitas sejarah, tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab teks-teks agama. Persoalan umat manusia, sejak Adam sampai kini, tidak sepenuhnya berjalan atas landasan tekstual agama. Para pengamat yang jeli melihat adanya hubungan dialektikal antara teks dengan sejarah (realitas) yang tak jarang dimenangkan sejarah (Abd. Rasul, 2000: 37).

Ambillah contoh untuk penjelas dialektika teks dan sejarah. Dalam teks-teks primer dan sekunder Islam, perihal sistim politik tidak dijelaskan secara terperinci. Diamnya teks ini tentu mempunyai maksud-maksud tertentu. Sebagian pemikir memandang hal itu memang tidak perlu, karena baik Alquran maupun nabi sendiri, sadar kalau hal sedemikian selalu tunduk pada realitas manusia yang berkembang dinamis, progresif dan memerlukan inovasi tiada henti. Pasca runtuhnya “sistim khilafah” tahun 1924, --sebetulnya kesultanan-- umat Islam bangun, sadar akan adanya kebutuhan mendesak guna mencari sistim yang lebih mungkin --sekali lagi, lebih mungkin-- memberikan

Page 6: Beberapa Kritik Atas Islamisme

kehidupan kenegaraan yang lebih baik dan maju. Dari tumbuhnya kesadaran ini, gap antara teks dengan konteks tampak semakin menganga.

Teks berbicara tentang negara yang tersusun atas dasar identitas agama (pembagian muslim dan zimmi, misalnya), konteks menunjukkan negara bangsa terbangun bukan atas fondasi identitas keagamaan. Teks, oleh kalangan Islamisme disangka berbicara tentang “hukum Tuhan”, “kedaulatan Tuhan”, sementara konteks membutuhkan adanya mekanisme sosial-politik yang lebih demokratis untuk mewujudkan perangkat hukum yang mengatur kehidupan publik.

Permaslahan yang paling krusial menyangkut teks adalah penggunaan teks-teks keagamaan untuk mengutuk lawan diskusi mereka dalam tema-tema keagamaan. Ada kesan, kelangan Islamisme memandang bahwa pandangan pribadinya tentang suatu persoalan menjadi valid dengan sendirinya bila sudah ditunjang oleh berjibun teks. Diskusi kemudian seakan digembok “kebenaran mutlak” teks. Kebenaran mutlak teks ini, kemudian seolah memancarkan kebenaran pengguna teks. Kebalikannya, yang tidak menggunakan teks, meski lebih masuk akal dalam pandangan-pandangan keagamaannya, akhirnya berarti menentang teks itu sendiri. Akal selalu dipertentangkan dengan naql.

Islamisme dan Realitas KekinianKesenjangan antara realitas kekinian dengan masa lampau dalam retorika keagamaan kalangan Islamisme juga dapat dicermati. Penganut Islamisme, selalu saja mengidealisaikan masa lampau sembari menyumpah masa kini. Mereka meletakkan masa lampau sebagai fundamen dan masa kini mesti menuruti masa lampau itu. Bila masa kini melenceng dari gambaran ideal masa lampau yang (terlalu) diidealisasikan itu, maka kesimpulannya adalah anomali (inhirâf), kebodohan (jâhiliyyah) dan kekeliruan (al-dlalâl). Makanya retorika keagaaam ala salafi ini, menginginkan rekonstruksi masa kini dengan menggunakan photo copy masa lalu. Nasr Hamid menegaskan bahwa cara berpikir demikian adalah sebuah mimpi yang mustahil berwujud (hilm mustahîl).

Agaknya, apa yang dikatakan Shorous juga menjadi relevan sebagai kritik atas watak Islamisme yang terlalu mengidealisasi masa lampau ini. Bagi Shoroush, keterperosok kita dalam problem keterpautan antara teori dan praktik keagamaan dewasa ini, juga disebabkan karena secara gradual dan material kita sudah beranjak menuju zaman modern, sedangkan pemikiran kita tertinggal di belakang (Soroush, 2002: 77-78). Selain ketertinggalan itu, ketidakmampuan menetapkan secara jeli prinsip-prinsip hubungan antara masa kini dan masa lalu secara dialektikal, juga menyebabkan hubungan antar masa lampau dengan kini seperti teka-teki ayam dan telur. (Abu Zaid, Naqd …, 1995: 157-162).

Pembedaan antara Islam ideal (al-islâm al-namûdzajiy) dengan Islam historis (al-Islâm fi al-wâqi’) bagi kalangan Islamisme menjadi tidak penting sebagai kategorisasi konseptual guna memahami hakikat masyarakat. Pada akhirnya, banyak pemikir heran, hanya umat Islam yang sangat bangga dengan masa lampaunya. Karena kebanggaan yang berlebihan pada masa lampau itu, umat Islam tidak memiliki masa kini, sekaligus gamang akan masa

Page 7: Beberapa Kritik Atas Islamisme

depan. Pendek kata, mereka tidak mampu membedakan antara agama dalam kandungan-kandungan teks orisinal dan fundamentalnya, dengan praktiknya sebagai produk pembumian teks-teks kandungan wahyu ke dunia nyata dan sejarah.

Kalimat Akhir

Perdebatan sepuat wacana keagamaan, selalu relevan untuk dilakukan. Ini diperlukan agar wacana keagamaan tidak membeku dan menjadi monopoli satu pihak dan aliran pemikiran saja. Iklim yang menjamin ke arah terus terjaganya kondisi yang memungkinkan dialog secara damai, harus terus dijaga agar dapat dimanfaatkan guna pematangan wacana keagamaan itu sendiri. Demokrasi dan kebebasan berekspresi nampaknya tak dapat dikesampingkan dalam hal ini. Hanya dalam iklim demokrasi dan tersedianya ruang publik yang memadai, kita dapat melakukan dialog dan kritik. Tak ada kata lain, al-hurriyyah fî sabîlillâh, kebebasan dijalan Allah perlu juga dikumandangkan sebagi tandingan slogan jihad fisabilillah belakangan lebih berkonotasi kekerasan itu. Wallâhu a’lam!

Bahan Bacaan:

Abd. Rasul, Aiman. Majalah Adab wa Naqd. Kairo: edisi Juli 2000.

Abu Zaid, Nasr Hamid. Al-Khitâb wa al-Takwîl. Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqâfi Al-Araby, 2000.

Abu Zaid, Nasr Hamed, Naqd al-Khitâb al-Dinî. Kairo: Maktabah Al-Madbûlî, 1995.

Al-Baghdadi, Ahmad, Tajdîd al-Fikr al-Dînî, Damaskus: Dâr al-Madâ li Al-Tsaqâfah wa Al-Nasy, 1999.

Al-Jâbirî, Muhammad Abid. Wijhat Nazr. Beirut: Markaz Dirâsat Al-Wihdah Al-‘Arabiyah, 1992.

Al-Jursyi, Shalah. Al-Islâmiyyûn Al-Taqaddumiyyûn. Kairo: Markaz Al-Qâhirah li Dirâsat Huqûq Al-Insân, 2000.

Emarah, Muhammad. Al-Turâts fi Dlau Al-Aql, Beirut: Dâr Al-Wihdah, 1980.

Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan, 2001.

Mahmud, Zaki Naguib. Qiyam min Al-Turâts. Kairo: Dâr Al-Syurûq, 1999.

Soroush, Abdul Karim. Menggungat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan, 2002.

Page 8: Beberapa Kritik Atas Islamisme

Utan Kayu, 25 Januari 2002.

PEMBUKAAN:Diskusi dibuka pada pukul 09.30 WIB oleh pembawa acara (Lusila Anjela Bodroani, SH) dengan ucapan selamat datang, pembacaan susunan acara dan pengantar sbb:

Di sini kita akan membahas atau mengkritisi suatu topik yang bagi kami menarik, karena ini menyangkut hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum manakah yang dianggap adil di Indonesia. Menurut Nonet dan Selznick, hukum yang memiliki keadilan yang substantif itu berarti hukum yang responsive artinya, hukum yang menjangkau perkembangan masyarakat dalam tataran sosiologi, philosofi, sejarah, dll., dan yang hukum itu dapat hidup walaupun sudah berlaku secara dogma. Hukum Islam sebagai salah satu hukum yang hidup di Indonesia tentu tidak terlepas dari suatu konteks. Manusia hidup dalam suatu konteks, diharapkan dapat hidup demi perkembangan hidup, tetapi tiap manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda sehingga memiliki penafsiran yang berbeda-beda pula yang dihubungkan dengan spiritualitas masing-masing. Persoalannya adalah sejauhmana kita bisa memberi dan menerima sesuatu itu menjadi sesuatu yang berguna dan membangun kemaslahatan bersama. Diskusi ini akan menyangkut nilai perbedaan yang ada dengan thema seperti yang terpampang di atas, yaitu LIBERALISME ISLAM VIS A VIS KONSERVATISME ISLAM. Tetapi kita tidak akan membenturkan ke dua perbedaan itu melainkan untuk melihat bahwa perbedaan itu ada, dan itulah realitas. Sebenarnya yang paling pokok adalah mau kita bawa ke mana perbedaan itu, dan kini sudah hadir di tengah-tengah kita beberapa narasumber yaitu Novriantoni dari Jaringan Islam liberal, memang rencana dari panitia sebenarnya yang akan hadir adalah Ulil, tetapi karena ada kendala teknis dan yuridis yaitu karena beliau tidak diijinkan ke luar kota kaitannya dengan tulisan-tulisan yang dia buat beberapa saat di mass media. Yang kedua adalah M. Jadul Maula, dari LkiS, yang ketiga Bp. KH Santosa ketiganya akan mengajak kita berdiskusi dalam tataran wacana ilmiah.

Adapun Susunan Acara diskusi ini adalah sebagai berikut:

1. Pembukaan (sudah saya sampaikan)

2. Sambutan dari panitia yang akan disampaikan Sdr. Adib KH Zaman

Page 9: Beberapa Kritik Atas Islamisme

3. Diskusi interaktif yang akan dipandu Sdr. Muslim Aisha.

Acara akan diakhiri pukul 13.00 WIB

SAMBUTAN PANITIA: Sambutan disampaikan oleh Adib. Beberapa hal yang disampaikan dalam prakata adalah sbb: Ucapan terima kasih pada para narasumber yang telah hadir untuk mengisi diskusi tentang sebuah wacana yang akhir-akhir ini sedang ramai-ramainya dibicarakan, yaitu tentang rasionalisasi agama, rasionalisasi syariat, dll., yang akhirnya harus ada fatwa mati bagi para pencetus ide ini, tak lupa terima kasih kepada para hadirin atas partisipasinya pada diskusi kali ini. Kami (panitia) bersyukur karena pada akhirnya acara diskusi ini bisa terlaksana, sebetulnya kami hampir tidak diijinkan untuk menyelenggarakan diskusi ini, tetapi diskusi yang kami adakan ini hanya sederhana, yaitu untuk mendiskusikan sebuah wacana yang sedang berkembang. Namun akhirnya, kita juga nggak ngerti angin apakah yang membawa para narasumber kita yang hadir saat ini dari Jakarta, Yogyakarta dan Solo. Nanti kita akan bicara warna-warni dan aneka ragam pendapat yang ada di Indonesia ini. Dengan adanya acara ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua teman-teman yang terlibat dalam terselenggaranya acara ini. Harapan kami forum ini akan menjadi awal membuka wacana bahwa semakin lebarnya perbedaan yang ada di masyarakat Jepara yang konon katanya sangat sulit menerima berbedaan, dan semoga diskusi kali ini tidak akan terhenti begitu saja melainkan akan mungkin muncul diskusi-diskusi yang lain untuk kita saling membuka diri hingga tidak terjadi ke-aku-an dalam diri masing-masing. Sekali lagi terima kasih dan minta maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan selama diskusi ini, mohon maaf pula karena kami tidak bisa menghadirkan Sdr. Ulil karena ada kendala teknis dan diwakilkan kepada Sdr. Novriantoni. Yang kedua pembicara dari Lkis, Sdr. Jadul, dan pembicara ketiga yang rencananya dihadiri Bp. Farid pimpinan Ponpes Ngruki, tetapi digantikan Bp. Santosa. Yang keempat sebenarnya kita mengundang Bp. St. Sunardi, untuk melihat dari luar Islam sendiri karena wacana dari para narasumber kita semuanya dari Islam, tetapi beliau berhalangan hadir karena harus menghadiri pemakaman Bp. Th. Sumartana hari ini.

DISKUSI INTERAKTIFModerator : Muslim Aisha

Pembicara : 1. Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Jakarta

2. Jadul dari Lembaga Kajian Islam & Sosial (LKiS) Yogyakarta

Page 10: Beberapa Kritik Atas Islamisme

3. Drs. H. Santosa dari Ponpes Al Mu’min Ngruki Sukoharjo

Diskusi dimulai pukul 09.30

Muslim menyampaikan pengantar dan memperkenalkan para panelis.

Sebagaimana yang telah dipaparkan tadi inilah kehadiran para narasumber yang akan bersama-sama kita berdiskusi. Melihat judulnya sebenarnya cukup berat untuk kita bisa memahami apa itu liberalisme Islam, konservatisme Islam, tetapi kita akan coba diskusikan dengan lebih luas bersama para narasumber, yaitu:

Novriantoni, lahir tahun 1975, asli Riau, sekarang di Jl. Utan Kayu 68H Jakarta Timur (markas JIL), alumnus Gontor tahun 90/96, 96/97, alumni Al Azhar Kairo th. 97-2001 sekarang di pascasarjana UI jurusan Sosiologi th. 2001 hingga sekarang.

Bp. Santosa, lahir di Sukoharjo, 10 Februari 1945, Jl. RE. Martadinata 250 Solo, sekarang tinggal di belakang Kantor Radio Imanuel Surakarta, Alumnus SR, Gontor, PGAA, IAIN, UMII, organisasi: PII, IKPN, Pemuda Muhamadiyah, NU, LPBH NU Surakarta, Golkar, PKB, IFC, FSHKB, LKMD, MUI Jebres.

Muhammad Jadul Maula (Kang Jadul), lahir di Pekalongan, 3 September 1969, Rumah: Kota Gede Yogyakarta, Kantor: LKiS: Jl. Sorowajan, Yogyakarta, pendidikan: IAIN Sunan Kalijaga, Sanata Darma program religi dan budaya. Organisasi: Lembaga Kajian Islam dan Sosial Yogyakarta.

Sebagai pengantar:

Memang akhir-akhir ini menyeruak kembali wacana keIslaman yang sekarang ditandai dengan dua kecenderungan, untuk menyebut yang pertama adalah sebagian umat yang memahami Islam sebagai sebuah spirit kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang tidak segan-segan mencari formula baru terhadap apa yang dipahami oleh masyarakat. Mereka sering menyebut bahwa Islam harus di reinterpretasi ulang agar tidak ketinggalan jaman yang semakin mengglobal ini. Maka isu-isu seperti kebebasan, HAM, Lingkungan Hidup, kesetaraan Gender, dsb, yang kemudian menjadi isu utama oleh kelompok ini, Islam akan diterjemahkan menjadi konteks yang sekarang berkembang. Di sisi yang lain, ada kecenderungan sebagian umat Islam kita yang berpikir bagaimana negara kita ini bisa diberi suatu kebijakan yang sesuai dengan Islam atau bagaimana Islam diperjuangkan menjadi sebuah syariat di negara kita. Sementara itu Di sisi yang lain, ada fenomena keberagaman dalam kehidupan kita ini muncul suatu tudingan terhadap Islam: teroris, fundamentalis, dsb., oleh adanya beberapa kejadian yang luar biasa, baik yang terjadi di AS maupun di Indonesia (di Bali), yang kemudian “menggeret” perhatian dunia kepada dunia Islam bahwa ada watak pada agama Islam

Page 11: Beberapa Kritik Atas Islamisme

yang menjurus ke tindakan-tindakan yang anarkhis yang lalu disebut terorisme.

Bagaimana sesungguhnya sorotan dunia terhadap gambaran seperti ini. Ok, kita akan dengarkan dari para narasumber, saya kira akan dengan arif dan bijaksana memaparkan gagasannya.

Panelis I: Novriantoni (Jaringan Islam Liberal)

Saya merasa kecil diri, berhadapan dengan Kang Jadul yang mestinya Ulil yang ada di sini. Dan tentu harapan dari para hadirin di sini adalah berjumpa dg Ulil, tetapi karena akhir-akhir ini banyak sekali undangan kepada Ulil yang agak berbentuk pertanggungjawaban dari gagasan-gagasan Ulil yang dimuat di Koran, baik itu berbentuk diskusi maupun mencari bahan untuk tambahan pemberatannya di Pengadilan nanti, dan itu selalu dilayani oleh beliau. Sedangkan tugas saya di sini bertambah berat karena mewakili orang yang kapasitasnya lebih besar dari saya. Kedua, saya agak kurang paham dengan apa yang dimaui dalam diskusi ini, apa yang diminta tentang liberalisme Islam vis a vis konservatisme Islam ini.

Dalam beberapa hari ini, saya membaca di beberapa media Arab, ada sebuah kecenderungan saat ini di dunia-dunia Arab; Pertama, di Iran, saat ini ada kabar yang agak konyol: mulai dari kaum perempuan yang diperbolehkan jadi suporter sepakbola, dalam revolusi Iran th 1979, itu tidak diperbolehkan, alasannya agak lucu juga jika ini benar, yaitu karena meningkatnya kebrutalan supporter sepakbola di sana. Jadi karena kebrutalan supporter sepakbola yang adalah laki-laki itu, akan menjadi berkurang brutalnya kalau supporternya adalah perempuan. Tapi jika berita itu benar, saya kira akan ada implikasi-implikasi lain lagi tentunya. Kedua, Putra mahkota Arab Saudi (Amir Abdullah) mengatakan bahwa negara Arab perlu mengadakan reformasi sistem politik, agar ada asas keterbukaan dan perlu ada partisipasi publik yang lebih luas. Di pers-pers Arab, sekarang ini berkembang sebuah teka-teki: apakah ini hanyalah sebuah isu politik yang tidak relevan, karena selama ini Arab Saudi menjadi negara yang sangat tidak terbuka secara politik dan partisipasi publik bisa dikatakan nihil, yang ada hanya keputusan-keputusan elit, keputusan-keputusan keluarga kerajaan. Bagaimana ide itu muncul dari sebuah rejim yang nota bene mereka adalah orang-orang yang banyak melecehkan partisipasi publik. Fenomena yg lain, di Arab juga muncul tuntutan-tuntutan atas kekebasan publik yang lebih luas lagi (civil liberty), seperti misalnya perempuan tidak boleh menyetir mobil, KTP perempuan mengikuti suami, keluar rumah harus ijin suami, itu semua syariat, artinya konstruksi dari hukum fikih Islam yang selama ini sering didengung-dengungkan orang agar diperbaharui. Sebenarnya baru dua kasus ini yang saya soroti. Selain itu juga kasus mullah-mullah Islam yang selama ini malu menunjukkan identitasnya sebagai mullah karena para pemuda Iran yang meningkat brutalitasnya dan protesnya terhadap para mullah, yang mereka sinyalir sebagai orang yang mestinya paling bertanggung jawab terhadap bobroknya system perekonomian dan politik di negaranya. Kita tahu misal adanya kasus Hasyim Agari, seorang Iran yang mengkritik habis-habisan system politik yang dimunculkan para mullah, politik yang

Page 12: Beberapa Kritik Atas Islamisme

sangat-sangat bergandengan dengan agama yang berarti sangat kritis, sehingga Hasyim menyatakan bahwa ketaatan kepada system politik ini seakan menjadi keataatan terhadap agama itu sendiri, sehingga ketika kita mengkritik system politik maka kita dianggap mengkritik agama itu sendiri. Statement Agari saat itu: hanya monyet yang akan mau mengikuti aturan-aturan begitu saja tanpa mau mendiskusikan itu.

Dari beberapa kasus itu, sekiranya pemberitaan itu benar, maka kita dapat menyimpulkan bahwa di beberapa negara yang saat ini meningkat kecenderungan Islamismenya, negara-negara yang sudah menerapkan syariat Islam dalam negaranya, ternyata menginginkan adanya semacam kelonggaran yang lebih, menuntut adanya civil liberties yang lebih professional kepada masyarakatnya. Fenomena ini berbalikan dengan fenomena di negara yang belum menerapkan syariat Islam di negaranya. Indonesia misalnya, Indonesia sebenarnya berpengalaman karena beberapa perundang-undangan kita itu kan sangat Islam, seperti pernikahan, dsb. Fenomena di Indonesia pasca reformasi adalah wacana Islamisme, di mana berkembang isu-isu Islam, adanya wacana ttg negara Islam, kekilafahan universal, ada semacam wacana bahwa negara Islam dipahami sebagai negara yang tersusun atas keyakinan umat-umatnya/keyakinan rakyatnya.

Akhirnya saya teringat dg buku Abdul Karim seorang Iran yang terbit di misan: tantangan umat beragama saat ini jauh lebih berat daripada tantangan umat beragama pada fase-fase sebelumnya.

Bahkan beberapa pakar menyebutkan bahwasanya Islam adalah agama sebelum abad industri, Setelah abad industri Islam menjadi semakin tidak relevan, karena ada tantangan yg lebih besar yang dihadapi oleh para pemikir agama sejak jaman revivalisme agama, misalnya pada jamannya Jamaludin Al afghani, permasalahan pokoknya adalah bagaimana memposisikan agama dalam struktur social politik dan budaya yang sudah sama sekali berbeda dengan struktur social politik dan budaya pada jaman nabi atau jaman di mana umat Islam berada di bawah payung yang bernama filafah Islamiah. Ini problem serius. Umat Islam pernah bermasalah dengan nasionalisme. Bagaimana menghadapi dan menyikapi nasionalisme, saat ini Islam berhadapan dengan ketidak adilan global. Bagaimana memposisikan agama? Sebuah Teori yg menarik dari Abdul Karim adalah teori Albqodulwaba… (yaitu teori penyempitan dan pelapangan dalam ilmu agama) menyatakan secara tegas adanya pembedaan antara agama dg ilmu agama atau interpretasi terhadap agama. Teori ini juga menginginkan agar kita membedakan antara nilai-nilai konstan di dalam agama,nilai-nilai fundamental, juga nilai-nilai yang ada di dalam agama, atau kalau di Indonesia bagaimana melihat nilai-nilai keberagamaan yang substantif dan yang formalistic. Walaupun keduanya akan selalu tumpang tindih.

Dalam makalah saya, saya memberikan sebuah kritik terhadap fenomena tentang Islamisme yang sedang berkembang di indonesia. Saya ambil definisi dari Pusat penelitian Islam dan masyarakat. Islamisme adalah sebuah paham yg mengatakan bahwa Islam mampu mengatur banyak hal mampu mengatur kehidupan social dan politik dalam konteks kenegaraan. Banyak permasalahan yang muncul dan muncul kontradiksi misalnya kita ingin agar agama ikut berperan dalam pembangunan, dalam pemberdayaan masyarakat, dalam kebijakan politik, dalam perkembangan sosial masyarakat. Sementara,

Page 13: Beberapa Kritik Atas Islamisme

ada kutub lain yang menginginkan agama sangat riskan ketika agama sudah memainkan peran-peran publik, ketika agama sudah memainkan pengaruhnya terhadap kebijakan-kebijakan publik, terhadap kebijakan-kebijakan kenegaraan, maka akan muncul semacam totalitarianisme agama dalam bungkus agama itu sendiri. Akhirnya dari sinilah muncul pemikiran apakah agama itu perlu dipisahkan dari politik, atau agama perlu berkolaborasi dengan system politik untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan dan lain sebagainya. Abdulah An Naim, Hasan Hanafi, dan banyak tokoh lain berpendapat bahwa agama Islam adalah agama yang sekularistik (wataknya), argumen-argumennya selalu merunjuk kepada nabi sebagaimana orang yang menolak Islam sebagai agama yang sekularistik, juga menggunakan argumen-argumen yang historic pada jaman nabi. Argumen-argumen itu sama-sama kuat, misalnya orang-orang yang mengatakan bahwa Islam itu sekularistik, mengatakan bahwa dalam sunah nabi dulu, nabi sangat tegas membedakan mana wilayah-wilayah di mana para sahabat nabi saat itu tidak boleh membantah di mana itu adalah wahyu dari Tuhan, dan itu menjadi sebuah legislasi hukum yang harus ditaati umat, dan wilayah-wilayah di mana bisa bernegosiasi dengan nabi tentang bagaimana baiknya menghadapi sebuah problem kehidupan. Yang kita tahu selama ini dalam kajian-kajian keIslaman, yang namanya sunah nabi itu yang popular hanya ada 3: sunah dalam bentuk ucapan, dalam bentuk perilaku, dan dalam bentuk ketetapan-ketetapannya. Tapi Muhamad Imaroh mengatakan bahwa ada satu bentuk sunah nabi yang semestinya juga diketahui dan bisa dibedakan oleh umat Islam. Sunah ini menyangkut apakah perilaku nabi itu akan berimplikasi terhadap legislasi hukum Islam atau tidak? Sunah tasriiyah = perilaku nabi yang nantinya punya implikasi hukum (hukum agama). Sunah yang tidak termasuk kategori sunah legislasi hukum misalnya hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari nabi yang merupakan hajat primer ttg kehidupan kita seperti makan, minum, mandi, pakaian, dll. Inilah yang tidak termasuk sunah tasriiyah.

Dan kita tahu hadits itu banyak menunjukkan tentang apa yang dilakukan oleh nabi. Problem yang kita hadapi sekarang ini adalah sebuah pertanyaan: apakah ketika nabi melakukan sebuah perbuatan kita harus mengikutinya secara harafiah atau tidak? Tentu akan ada kategorisasi. Ketika nabi memakai jubah, nabi berjenggot, sementara orang di Indonesia jarang memakai jenggot, jadi apakah di Indonesia itu menjadi sebuah keharusan? Kalau di Thaliban, itu harus. Lalu setelah jatuhnya rejim Thaliban, pemuda di sana mulai ramai-ramai mencukur jenggotnya, karena mereka merasa lebih ganteng. Saya pernah bertemu di Saudi Arabia, di sana orang-orang berjenggot dan itu menunjukkan muka-muka orang berperang, apakah seperti itu yang diinginkan nabi? Sementara kelompok Islamisme menganggap itu sebagai keteladanan yang berarti sekali bagi mereka. Itulah sebabnya Ulil Ab’dala menggagas bahwa kita perlu membeda-bedakan antara nilai-nilai fundamental Islam yang bisa diberlakukan untuk konteks ruang dan waktu yang berjalan, beragam-ragam, berubah-ubah dengan nilai-nilai situasional, particular dan local. Pembedaan-pembedaan seperti ini termasuk pemikiran-pemikiran keagamaan. Apa salah kita berpikir seperti ini? Islam akan berhadapan dengan modernitas, globalisasi, modernisasi, dsb. Banyak sekali permasalahan kita ketika harus hidup dalam jaman modern. Maka tidak heran jika seorang pemikir Mesir bernama Zakinah bin Mahmud, menulis buku, yang berjudul tentang nilai-nilai legasi Islam. Ia menulis ada kira-kria 2 fase respon umat Islam terhadap dunia yang sudah berubah ini.

Page 14: Beberapa Kritik Atas Islamisme

Fase pertama, adalah keterkejutan. mereka merasa sangat terbelakang, tertinggal, miskin, sementara yang lain sangat maju, kaya, berkembang sewaktu-waktu bisa menyerang mereka dengan alat perang yang canggih sementara mereka hanya bisa berdoa, dsb. Lalu muncul adanya gagasan tentang perlunya reformasi pemikiran Islam. Beberapa pelajar Islam disekolahkan ke barat. Akhirnya mereka punya pengetahuan Islam yang memadai sekaligus bisa melihat apa kelebihan-kelebihan, kekurangan-kekurangan peradaban-peradaban lain “yang jauh meninggalkan peradaban Islam ketika itu”. Oleh karena itu muncul gagasan-gagasan untuk reformasi ajaran-ajaran keagamaan bahkan reformasi agama itu sendiri bagi mereka. Karena agama disinyalir akan berperan dalam memundurkan umat ataupun mengeluarkan umat dari kemunduran. Bayangkan saja ketika kita harus menggunakan hukum yg sudah ketinggalan jaman, yang tidak sesuai dengan konteks, apakah sesuai dengan kehidupan masyarakat yang sudah berubah sedemikian rupa. Permasalahanannya memang agak rumit, bagaimana mendamaikan antara apa yg disebut Ulil sebagai ke”baka”an hukum-hukum/nilai-nilai fundamental Islam yang sifatnya transhistoris dengan nilai-nilai yang sifatnya particular-lokal tadi?

Jadi permasalahan-permasalahan tadi terjadi pada fase “ketercengangan”, saat ini ada trend lain, di mana umat Islam mengalami fase kepercayaan diri yang begitu tinggi (melonjak-lonjak) sehingga merasa cukup. Islam cukup bagi kita. Ada kecenderungan seperti begini jika anda berbicara masalah struktur ekonomi, social, budaya, politik dengan menggunakan metodologi-metodologi “pinjaman”, kita akan dikatakan sekuler, dikatakan barat, dikatakan tidak Islami. Sementara apa yang disebut metodologi Tuhan, hukum tuhan, dsb., Itu yang ditantang Ulil dalam kolom tulisannya dia mengatakan tidak ada hukum Tuhan. Dia kemukakan antitesisnya, karena sekalipun ada hukum Tuhan, Hukum-hukum tersebut adalah hukum-hukum fundamental yang nantinya akan diterjemahkan menurut Kemampuan akal manusia dan proses negosiasi antar manusia juga. Ada hal-hal yang tidak disadari oleh kelompok-kelompok Islamisme misalnya, betapa banyak hukum-hukum dalam Alquran yang tidak bisa diterapkan di jaman sekarang. Ulama Fikih mengatakan itu tidak bisa diterapkan, dan tidak bisa dilaksanakan secara temporal. Misalnya, teks Alquran bicara ttg adanya pembagian kewargaan negara berdasarkan keyakinan agama, sampai masa kesultanan Islam Turki Usmani, pada penghujungnya Usmani akan mengamandemen hukum Tuhan itu, sampai mereka akhirnya menerima kewarganegaraan bukan lagi atas dasar agama dan keyakinan tetapi atas dasar wilayah pemukiman. Teks-teks dalam Alquran ada yang bicara tentang ahli lilmi dengan ahli Islam masyarakat protektorat yang harus diproteksi umat Islam dalam sebuah negara yang mayoritas muslim dan Moslem itu sendiri.

Umat Islam selalu mengatakan mereka bukan second class dalam masyarakat, tapi sekarang ini, konotasinya selalu second class. Dalam kehidupan negara bangsa “(nation state) di mana sebuah negara telah terbentuk atas dasar kesepakatan, kesamaan nasib, keseperjuangan dalam mewujudkan sebuah bangsa, akhirnya konsep-konsep lama ttg kenegaraan sekalipun ada dalam teks itu, akhirnya berbenturan dg realitas sejarah. Bagaimana menyikapi mermasalahan seperti begini? Di sini harus ada interpretasi ulang atau kita akan memaksakan di mana hukum Tuhan harus berjalan? Saya kira kalau kita paksakan akan kembali pada masa kemunduran. Permasalahan menjadi sangat rumit

Page 15: Beberapa Kritik Atas Islamisme

ketika kita berhadapan dengan kenyataan-kenyataan social, budaya dan politik sekarang yang sudah amat jauh berbeda dengan kenyataan social, budaya, politik umat Islam dulu. Dan tentunya kita sekarang membutuhkan semacam mekanisme ataupun kondisi yang lebih memungkinkan kita untuk mengadakan diskusi-diskusi dan dialog-dialog yang lebih terbuka dan bebas untuk memperdebatkan wacana-wacana keagamaan yang amata sensitive sekalipun. Kran-kran dialog dan wacana itu harus kita pertahankan agar kita tidak kembali lagi menerima apa adanya apa-apa yang mungkin dalam perspektif orang tertentu hukum Tuhan. Take it or leave it (ambill semuanya atau tinggalkan semuanya), dalam perspektif Islamisme. Dalam perspektif kita, harus mendapatkan penafsiran-penafsiran ulang, dan pada hakekatnya teks-teks keagamaan itu tidak berbunyi sendiri, dia diam, yang membicarakannya adalah manusia (memusabaqoh tilawatil, melantunkan, mengucapkan, membaca, dst) tetapi menafsirkan teks-teks yang Illahi itu adalah proses yang dilakukan manusia. Ketika manusia yang menafsirkan itu punya kecenderungan konservatifisme, punya kecenderungan yang berlebihan untuk mengunci dari kebebasan sipil yang kurang, maka pembacaannya akan menjadi sangat ketat. Ketika Teks itu pertama kali datang kepada nabi Muhamad dan dibaca, maka sebenarnya teks itu telah memanusia, sudah merasuk dalam proses penafsiran manusia. Jadi ada problem di dalam penafsiran teks alquran sekarang. (pukul 10.22)

Moderator Menarik sekali tadi apa yang disampikan oleh mas Novri, intinya adalah memberikan kritik terhadap kecendrungan prilaku Islamesme yang jika dibahasan dengan agak bercanda kira-kira begini: kalau Islam dianggap jawaban, lantas pertanyaannya apa. Baik kita akan masih mendengarkan lagi pemaparan bapak Santoso, sekali lagi, beliau adalah teman dari ustadz Baasyir, dan menurut informasi yang saya terima merupakan salah satu pendiri ponpes Al mukmin Ngruki solo.

Panelis II: Drs. Santosaharjo, SH (Ponpes Ngruki-Sukoharjo- SOLO)(bercerita panjang lebar tentang pengalaman organisasinya, termasuk keterlibatannya dalam kerukunan hidup antar umat beragama di Solo (Interfaith community)).

Membahas ttg liberalisme Islam dan konvervatisme Islam, yang sebenarnya adalah tugas Ustad Makruf, yang kemudian diberikan kepada saya tadi malam, saya diminta berbicara ttg Islam fundamentalis. Saya tidak membuat makalah karena saya tidak cukup waktu untuk mempersiapkannya, terlalu mendadak. Perlu diketahui, bahwa dalam Koran disebutkan Abu Bakar Ba’asyir adalah direktur Ponpes Ngruki, sesungguhnya sejak tahun 1980an beliau pergi ke Malaysia dan sudah melepaskan jabatan, lalu digantikan oleh Farid Makruf.

Paham Islam fundamentalis sebagaimana konsep beliau ketika beliau ditangkap di PKU Muhamadiyah, sejak itu berita tentang fundamentalisme Islam dan ponpes Ngruki sangat santer, hingga saya kedatangan seorang wartawati dari Canada, dari Minonite community

Page 16: Beberapa Kritik Atas Islamisme

yang menanyakan siapa sesungguhnya Ba’asyir? Saya katakan beliau adalah seorang guru agama, seorang mubaligh yang menerangkan Islam secara apa adanya. Yaitu berdasarkan syariat muslim yang dia yakini (dia juga seorang alumnus gontor) dia ingin membuat masyarakat yang rukun dan sejahtera. Dan tanpa melibatkan pemikiran beliau tentang politik dan kenegaraan, Cuma karena dari murninya pendapat syariat sampai kepada hal-hal yang mestinya meragukan akidah atau mengganggu ketauhidan, beliau berikan kepada siswa atau jamaah untuk tidak dilaksanakan, seperti hormat bendera, seperti menolak apa yang pernah ditawarkan oleh rejim orde baru, sehingga karena ada perlawanan terhadap pemerintah maka beliau dianggap sebagai orang yang menentang, yang kemudian beliau dipersalahkan. Saya sampaikan juga kepada wartawan itu bahwa di ajaran Islam, setahu saya tidak ada istilah fundamentalis, istilah teroris dan tidak ada istilah liberal. Islam yang ada adalah orang yang konsekwen dengan syariat Islam dan orang yang tidak mampu menjalankan syariat Islam. Ada suatu hadits yang mengatakan siapa yang mendengar panggilan adzan, haruslah dia berangkat jamaah. Dalam hal ini ada yang mendengar lalu pergi berjamaah, ada yang mendengar namun tidak mampu bangkit untuk pergi berjamaah. Beliau (Abu Bakar Ba’asyir) selalu mampu berangkat berjamaah. Seperti saya tidak mampu. Jadi yang ada adalah antara menjunjung tinggi kedisiplinan syariat pada diri beliau dan ketidakmampuan orang-orang lain dalam bersyariat, sperti saya ini. Beliau bisa menganalisa, apabila bertamu pada seseorang yang memberi dia suguhan, dan dia merasa ragu, dia selalu katakan: “maaf saya tidak berani makan”, beda dengan saya, tidak berani mengatakan seperti itu.

Dari berita wartawan tersebut alhamdulilah tulisannya tersebar di Koran di Amerika juga sehingga saya bisa menganalisir bahwa umat Islam di Indonesia tidak seperti yang mereka siarkan atau mereka pikirkan.

Sejauh pengetahuan saya, Abu Bakar Ba’asyir selalu membina kerukuman umat dalam lingkungan jamaahnya, dan beliau mengadopsi apa yang dipakai oleh LDII sekarang. Yaitu setiap 10 – 20 keluarga menjadi sebuah kelompok, untuk saling menolong. Itulah yang dikembangkan beliau yang dikenal dengan sebutan pengajian musroh, artinya keluarga kecil dalam masyarakat yang luas. Jadi karena disiplinnya beliau menjunjung tinggi syariat Islam dan mengabaikan yang lain, karena beliau punya faham bahwa yang ada hanyalah Islam dan kafir, di antara keduanya adalah munafik. Dengan ini beliau ingin menjaga keIslaman jamaah sebagai uma yang dia ajak, yang kemudian oleh orang lain dinilai sebagai sesuatu yang keras. Karena kerasnya itu, diniali vokal, karena vokalnya itu dinilai fundamentalis, karena fundamentalis itu lalu belia diseret-seret untuk dilibatkan dalam isu teroris. Seperti pengalaman saya terhadap Abu Bakar Ba’asyir. Dan perlu diketahui, di Ponpes Ngruki, 90 % kyainya alumnus Gontor, yang punya prinsip KERUKUNAN, di mana saja kamu berada, harus menjadi perekat umat baik dengan sesama muslim maupun di luar muslim. Dan itu mampu dijujung tinggi oleh beliau, dkk. Dan sekarang Pimpinan ponpes Ngruki dipegang oleh Drs. Moch. Farid Mahruf wakilnya adalah Drs. Wahyudi dari Cirebon. Masalah dengan jenggotnya yang panjang saya sendiri tidak tahu apakah itu sebuah budaya, tetapi menurut saya yang jelas adalah keberanian dan kedisiplinan belian menjalani syariat Islam sangat tinggi, beda dengan saya dan kawan lain.

Page 17: Beberapa Kritik Atas Islamisme

Mungkin selintas tentang Abu Bakar Ba’asyir dan ponpes Ngruki, yang alhamdulilah sekarang berkembang pesat seiring dengan berita yang beredar.

ModeratorOke, meskipun tidak secara jelas dikemukakan, bagaimana dan apa sesungguhnya yang disebut konservatisme Islam oleh beliau, barangkali inilah yang menarik untuk dilacak lebih lanjut di sessi dialog nanti. Ok, Masih ada satu lagi dari kang jadul, dipersilahkan untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya

Panelis III: Jadul (LKiS- Yogyakarta)

Diskusi ini merupakan bagian dari ajaran tentang ukhuwah Islamiah, ukhuwah watoniah, dan ukhuwah basariah, jadi ini merupakan forum persaudaraan, kerukunan.

Namun juga, saya ingin bertanya: mengapa harus ada diskusi ini (liberalisme Islam vis a vis konservatisme Islam), mengapa juga saya harus membicarakannya? Dan akhirnya muncul kesan bahwa sedang terjadi “geger” perdebatan yang marak di mana-mana, secara kuantitatif tentang topik itu (seperti ditulis dalam makalah Novri). Sebenarnya yang terjadi di Indonesia, perdebatan ini bukan merupakan hal yang baru dan juga tidak semakin banyak, maka jika dirunut ke belakang, justru belum seberapa dengan sejarah perjalanan umat Islam di Indonesia. Dan menurut saya, temanya justru mengalami penyempitan. Panitia menyebut Liberalisme dan konservatisme yang seolah-olah hanya ada dua kutub itu.

Dulu, awal abad 20-an kutubnya Islam NU dan Muhamadyah, lalu tahun 50 - 60an ttg santri dan abangan, lalu sekarang ini liberal dan konservatif, jadi dalam tiap fase perjalanan bangsa ini, kita diguncang oleh isu-isu agama. Kenapa bangsa ini selalu diguncang oleh 2 kutub yang selalu bertengkar yang kadang-kadang, kita hanya dengar namanya belum ketemu orangnya. Kita sering hanya mendengar sesuatu, dan ketika kita berjumpa ternyata tidak seperti yang kita pikirkan. Komentar Gus Mus, jangan-jangan bangsa Indonesia ini sebenarnya hanya kurang silaturohmi saja, sehingga orang belum mengenal sungguh-sungguh, belum pernah ketemu, hanya mendengar kisah tentang seseorang, tapi sudah bermusuhan. Tapi mungkin juga karena di luar kita terjadi pembesaran yang merupakan efek media yang membesarkan dan di sisi lain menyederhanakan.

Awal abad 20, Umat Islam di Indonesia senang bereksperimen masalah-masalah yang luar biasa, mengikuti permasalahan dunia. Umat Islam bereksperimen dengan marxisme, syariat Islam, tapi lalu ada dialog. Lalu umat Islam bergelut dengan gagasan nasionalisme, ini hal yang luar biasa, dengan munculnya tokoh-tokoh gerakan nasionalisme seperti Cokroaminoto, Suparno. Islam di Indonesia juga memasukkan gagasan tentang Islamisme dan itu terjadi pergulatan yang sungguh-sungguh yang

Page 18: Beberapa Kritik Atas Islamisme

memunculkan perdebatan yang amat seru, media masapun lebih ramai, lebih berkualitas, dan frekwensinya lebih sering, karena masing-masing orang yang bereksperimen dengan gagasan tidak sekedarnya, tetapi lalu memiliki suatu gerakan-gerakan, punya partai, lalu tiap partai punya Koran, yang mampu melakukan publikasi yang mampu menjadi suatu gerakan yang mendukung. Di luar eksperimentasi umat Islam dengan gagasan-gagasan dunia, yang itu pada umumnya datang dari luar, itu merupakan fenomena modern, jadi sebenarnya gerakan modernis Islam tidak hanya di Muhamadiyah. Fenomena modern mewarnai perkembangan Islam, di berbagai daerahpun lalu muncul seiring dengan kolonialisme. Awal abad 20 kolonialisme sampai pada tahap pemnyempurnaan dirinya, menyusun system pemerintahan, pendidikan, gerakan-gerakan social yang lain, di situ mulai ada tanda universalisme yang kuat. Kemudian muncul identitas-identitas Islam yang lain, ada Islam jawa, Islam sasak, Islam sunda, Islam dayak, dst., ada sejenis eksperimentasi juga pada Abad 13-14. Kita bisa menangkap jejak-jejaknya, bahwa ini juga proses pergulatan Islam membangun kesadaran, membangun tatanan sosial ekonomi, tatanan social politik, dsb. jadi Islam luar biasa plural. Sebaliknya, sekarang nampaknya ada wacana pluralisme tapi kenyataannya justru makin miskin, karena semakin banyak orang ngomong ttg pluralisme tetapi makin nggak ada pluralitas, lalu yang terjadi mengkutupnya Islam yang ada di Indonesia. Saya membuka sejarah ini mengajak semua untuk melihat bahwa ada penyempitan pengkutuban lalu penyempitan ini dibesar-besarkan, lalu berujung pada konfrontasi, yang dalam sejarah Indonesia itu sama sekali tidak menguntungkan. Jadi ketika Islam adat dan kolonial perang, yang menang kolonial Belanda karena hancurlah otoritas kerajaan-kerajaan. Kalau dulu Islam di tengah, lalu adat di luar, lalu dijaga oleh suatu otoritas politik, ketika Islam adat diserang dari dalam lalu tercerai berai dan Islam adat kehilangan legitimasinya. Bersamaan dengan itu pemerintah kolonial Belanda memberlakukan undang-undang pemerintahan, kerajaan diganti kelurahan, kewenangan diganti, dsb. Yang akhirnya hilanglah otoritas politik, otoritas ekonomi dan otoritas budaya. Dan saya tidak tahu, akhir-akhir ini muncul Islam liberal dan moderat muncul, misalnya perdebatan di televisi, dsb, yang ngotot kok orang seperti Sidney Jhon, ketika dia bicara tentang Islamisme, jamaah Islamiah, ketika menyampaikan fakta-fakta hasil penelitiannya, saya tidak ingin menilai benar atau salah, tapi sikapnya ketika menerima b,antahan sikapnya sebagai intelekktual hilang, karena dia menolak kemungkinan bahwa kesimpulannya bisa salah. Ketika menghadapi bantahan, dia ngotot: tidak ! pokoknya ada.

Minggu lalu saya diwawancarai wartawan New York Times. Mula-mula wawancara biasa, gimana ponpes-ponpes di Indonesia, sikap pesantren besar terhadap pesantren Ngruki, terhadap pesantren Amrozi. Saya cerita, sebelum Amerika perang melawan Islam garis keras, pesantren-pesantren itu sejak abad 20 sudah perang terus, bertengkar tiap hari, di pengajian-pengajian, dst. Lalu komentarnya, kok tidak berbicara di media masa? Lalu saya jawab media masa kan baru ada tahun berapa? Itupun proyeknya siapa? Dsb. Ketika pada akhirnya saya bilang pada umumnya umat di Indonesia tidak percaya bahwa Amrozi, Imam samodra, dsb. Pelaku terror bom itu sendirian kalau tidak ada pihak lain yang lebih kuat yang memback-up mereka. Di luar dugaan, dia berubah tidak wawancara dan mengatakan: Saya percaya. Maka komentar saya. Jika anda percaya, itu memang bukan hal yang mustahil, bangsa Indonesia yang ngomong-ngomong atau yang tidak percaya Amrozi pelakunya, itupun karena mereka tak punya bukti. Ini memang bukan hal

Page 19: Beberapa Kritik Atas Islamisme

yang mustahil, terjadinya pengeboman itu memang ada, jaringan itu memang ada, tetapi tidak bisa dihilangkan bahwa di bawah alam sadar bangsa Indonesia tidak sesederhana itu persoalannya, tentu ada kekuatan besar yang memback-up aktivitas itu. Yang ingin saya tekankan adalah adanya media massa dan Intelektual yang sudah punya semacam plot yang kemudian diterapkan secara deduktif, lalu jika di periksa dan dicari bukti-bukti secara induktif tidak akan ketemu, lalu tidak ada ruang lagi untuk mengatakan ya atau tidak, lalu muncul pemikiran yang lebih kompleks lagi, begitu seterusnya. Jadi menurut saya ini adalah efek dari cara berpikir konspirasi, di mana antara ya dan tidak masih selalu menjadi wilayah yang memungkinkan. Wacana ilmiah kan selalu memberi ruang antara ya dan tidak. Ada tokoh yang mengatakan bahwa sebuah wacana dikatakan ilmiah kalau wacana itu masih memberi ruang untuk sesuatu bisa dikatakan salah. Kalau tidak ada ruang untuk mengatakan sesuatu itu salah, maka itu tidak bisa dikatakan ilmiah lagi. Contohnya agama, betapapun janji memberikan kesejahteraan dunia dan akherat tidak terpenuhi, maka tidak bisa disalahkan (yang salah itu orangnya), sama juga dengan Marxis di Eropa. Walaupun janji ideologisnya tidak dipenuhi, menciptakan masyarakat tanpa kelas, masyarakat tanpa negara dan sebagainya, mereka mengatakan bukan marxisme-nya yang salah tapi prakteknya atau pelaksananya yang salah, jika seperti ini tidak bisa dibilang ilmiah lagi. Saya memposisikan diri untuk mulai menyadari. Misalnya jaman Santri dan Abangan, th 60an ada sebuah penelitian yang menulis tentang Religion of Java (agama Jawa), santri – abangan – priyayi, dia mengklaim ketiga itu merupakan bagian dalam masyarakat Jawa. Kalau kita lihat di tahun 65 terjadi saling membunuh yang luar biasa antara santri dan abangan, saya berpikir apakah tahun 60an itu bukan sebuah kanalisasi dari sebetulnya kenyataan itu tidak jelas (simpang siur) tidak bisa didefinisikan. Sama seperti kita katakan Islam liberal misalnya, para penganut liberalpun belum tentu bisa mendefinisikan apa itu liberal, banyak tokoh liberal dan tidak akan sama pendapatnya. Islam radikal juga tak bisa didefinisikan dengan jelas, misalnya DI/TII, Jamaah Islamiah, Majlis mujahidin, ada berbagai macam laskar jihad, dst. Jadi ketika kita masuk dan melihat pada kenyataan, ternyata sangat simpang siur dan tidak bisa didefinisikan dengan satu kalimat, sama sulitnya seperti kita membedakan antara santri dan abangan. Jadi seringkali pemetaan wacana, tipologi, dan kategorisasi jika diperhadapkan pada kenyataan/praktek social sebenarnya merupakan kanalisasi. Satu diperhadapkan dengan yang lain, lalu jika terjadi masalah/konflik maka akan terjadi perbenturan yang luar biasa. Kalau kita lacak, sebetulnya kata abangan itu konon adalah sebutan untuk pengikut Syeikh lemah abang (syeiikh Siti Jenar), putihan adalah sebutan untuk menyebut umat Islam pengikutnya walisongo, hal inipun masih sangat kompleks dan simpang siur. Misalnya, sejauh mana bedanya Islam pengikut walisongo (yang formalis) dan Islam pengikut Jenar (yang sinkretis). Konon yang mengeksekusi Jenar itu Sunan Kudus (padahal sunan Kudus sangat formalis). Kalau kita lihat peninggalan Sunan Kudus, yaitu masjid Kudus, lalu umat Islam di Kudus tidak boleh menyembelih sapi, bukankah itu menunjukkan sinkretisme? Artinya ada apresiasi yang luar biasa terhadap agama lain, kultur yang sudah ada dan sudah mengakar, baik dari sisi arsitektur maupun kultur bahkan mungkin ritual-ritual agama. Inipun masih kompleks. Seandainya kita simplifikasi bahwa abangan itu pengikut sinkretis dan putihan pengikut yang formalis (syariat Islam), itupun konflik yang terjadi adalah bagaimana sebetulnya Islam diajarkan. Berarti bisa berbelok sedemikian rupa bahwa pada 65-an itu abangan menjadi bukan Islam. Hal ini akan sangat menjadi soal, belum lagi kalau kita melihat secara

Page 20: Beberapa Kritik Atas Islamisme

fenomenologis saja misalnya, ketika saya berjumpa dengan seseorang dan bertanya apa agamanya, lalu dijawab abangan. Pertanyaan berikut apa artinya abangan, dia jawab: pokoknya tidak setuju kalau agama itu menjadi partai. Jadi artinya, dia mau mengatakan bahwa agama itu persoalan spiritualitas, persoalan membentuk kepribadian dan bukan untuk partai. Jadi dalam konteks definisi seperti itu, bisa saja Islam liberal ini dibilang abangan, meskipun mereka mengaku dirinya sendiri santri. Lalu pengalaman lain tentang definisi abangan, seseorang mengaku dirinya abangan karena bukan seorang santri, (sesorang kan tidak akan tahu orang yang menjalankan agamanya dengan sempurna atau tidak, jadi rasanya terlalu sombong kalau saya mengaku seorang santri). Dalam ensiklopedi Yogyakarta, disebutkan abangan adalah orang Islam yang tidak menjalankan syariat Islam secara sempurna. Lalu siapa yang paling sempurna menjalankan syariat Islam? Kita tidak ada yang tahu, yang tahu hanya Allah, dan memang yang sempurna Allah. Dan ada contoh lain yang akan menunjukkan bahwa ketika kita berhadapan dengan pengalaman masyarakat, sangat tidak beraturan dan tidak bisa ditangkap dalam sebuah definisi yang tunggal. Itu sekedar gambaran.

Lemah Abang dulu mengajarkan syariat, tarikat, hakikat, makrifat itu secara bersamaan, jadi itu bukan menunjukkan tingkatan, sehingga dalam hakekat, beliau tidak membeda-bedakan baju, mungkin sama-sama pakai sorban, bersholat, tetapi bukan Islam sejati atau bukan saudara karena ternyata dia itu seorang yang memperdagangkan budak, misalnya. Tapi ada seorang pendeta/brahmana, sholatnya menghadap ke timur, pakai macam-macam, tetapi dia ikhlas untuk sungguh-sungguh menghadap Tuhan, maka Jenar menyebutnya saudara. Jadi identifikasi ajaran agama itu boleh diambil oleh kelompok manapun dengan kepentingan yang berbeda-beda. Jadi sangat simpang siur. Jenar tidak mau melembagakan umat/kelompok.

Itulah beberapa ilustrasi agar kita lebih berhati-hati supaya jangan sampai wacana-wacana dikotomi memaksakan kita memperbincangkan sesuatu yang mungkin tidak kita alami. Inilah bahayanya wacana yang lain. Saya setuju Gus Mus mengatakan, saat menanggapi ribut-ribu tentang gagasan Ulil, dia memilih tidak menanggapi substansinya, lebih baik menanggapi caranya, dan mengingatkan bahwa ada agenda lain yang lebih penting bagi bangsa Indonesia. Jadi masih banyak persoalan yang ada di Indonesia yang masih membutuhkan pemikiran, sehingga bahayanya adalah kalau wacana dikotomi itu bisa mengalihkan kita kepada sesuatu yang sebenarnya tidak kita alami. Dan kita masih sangat bisa mendiskusikan hal itu berdasarkan pengalaman-pengalaman kita sendiri.

Itulah pengantar dari saya, dan sebenarnya saya mengajak bahwa diskusi ini akan menarik kalau kita juga memahami Islam saat ini dan bagaimana sesungguhnya Islam mengaktualisasikan dirinya, tapi biarlah itu berkembang dalam diskusi/dialog.

Page 21: Beberapa Kritik Atas Islamisme

DIALOG :

Penanya 1 (Mustaqim Umar, dari Anshor Jepara) :

Saya tidak setuju dengan judul di sini. Segala istilah ini menimbulkan pertanyaan. Kita ini didikte oleh siapa yang bisa menentukan wacana-wacana keIslaman, dan ini tentunya adalah mereka yang berkuasa atas media masa dan duit. Menurut saya lebih penting untuk diibicarakan adalah ttg Islam Amerika. Para Jariah itu harus didekati ditanya maunya apa, dan ini Amerika yang menentukan, lalu konsep mana yang disetujui digulirkan ke seluruh dunia. Kita harus sedikit taktis, misalnya kalau tadi Gus Mus disanjung-sanjung, hendak kita giring supaya Gus Mus bisa menjadi warna Amerika serikat yang bisa menjadi juru bicaranya Bush. Jadi menurut saya yang ada hanya Islam, saya tidak setuju istilah-istilah Islam yang macam-macam. Apa sih sebenarnya yang dibutuhkan Islam? Amariah memang benar tapi tafsir dan pemahamannya memang berbeda-beda. Sebenarnya sah-sah saja perbedaan itu sepanjang tidak menafikkan yang lain. Islamisme yang dipahami di sini adalah bagaimana masyarakat Islam bisa melaksanakan ajaran Islam dengan seluruh terak potensinya yang mengupayakan bumi ini menjadi benar-benar Rohmad. Mungkin sebenarnya semuanya ke arah sana tetapi karena penafsiran yang berbeda-beda. Usul saya tetap ada istilah Islam Amerika, ini hanya istilah yang taktis-strategis saja untuk kehidupan seluruh dunia. Suatu saat Israel memang paling menantang yang istilahnya Islam Israel.

Penanya 2 (Adi dari PD Pemuda Muhammadiyah Jepara)

Diskusi ini masih sulit diikuti/dipahami. Dari buku yang saya baca, th 90-an, muncul sikap yg ramai sekali dan menantang, sebelumnya th 80-an cak Nur mendeklarasikan Islam liberal tetapi tidak secara kenyataan seperti ini, begitu juga Munawir Sajali, sekarang muncul lagi, jadi saya setuju ini bukan hal baru, persoalan lama tetapi kemasannya yang baru. Kalau di lihat, yang muncul di kalangan-kalangan ponpes, seperti di Bogor, ada sebuah Institut agama Islam yg satu kelas isinya perempuan dan berjilbab semua. Itu pada tahun 90-an digagas oleh IPB, UI, ITB, yang mendirikan lembaga dakwah kampus dan sekarang berkembang pesat sekali. Masalah Islam liberal, gender, hak waris, Islam dianggap produk local semua bukan hal yang baru. Arahnya ke mana sebenarnya liberalisme Islam ini. Dan banyak orang Islam yang juga tidak tahu Islam liberal, Islam fundamentalis, dsb. Jadi diskusi ini tidak akan ditangkap oleh masyarakat di Jepara (nggak mudheng).

Penanya 3 (Umi Nadliroh dari IPNU-IPNU Cab. Pati) :

a. Ditujukan kepada Mas Novri :Ulil/JIL punya pemikiran-pemikiran baru ttg

Page 22: Beberapa Kritik Atas Islamisme

pemahaman atas teks alquran, spt ttg jilbab, hukuman potong tangan, dsb. Ketika memahami teks itu, quran diposisikan di mana, atau ini hanya sebagai pembelaan thd budaya lokal, atau melihat budaya Arab saja atau mungkin ada alasan lain?

b. Untuk pembicara kedua, Ketika mendengar ttg gagasan Ulil yang sangat diramaikan bahkan memunculkan ancaman, bagaimana tanggapan bapak atas pemahaman ttg aurat, Ulil berpendapat, aurat itu masalah kesepakatan sosial, tidak hrs bereferensi dari quran, ketika masyarakat menyepakati, misalnya pengalaman budaya local (pemakaian koteka di Papua) dianggap lebih tepat jika disepakati masyarakat di sana daripada memakai jilbab seperti orang Islam di tempat lain, dsb)

c. Kepada Jadul. Anda tidak setuju adanya liberalisme Islam dan konservatisme Islam, gagasan anda sendiri Islam yang baik itu seperti apa dan mesti bagaimana?

Penanya 4 (Musyafa) :

Diskusi ini adalah persoalan lama yang diangkat kembali. Sebenarnya sebutan itu hanya ada satu saja yaitu ISLAM. Seperti diutarakan Kang Jadul dengan sebutan kanalisasi. Tapi kanalisasi itu memunculkan otoritarianisme, yg pada gilirannya akan kelompok-kelompok yang akhirnya muncul oposan-oposan yang kemudian memunculkan saling bentrokan. Ini berbahaya karena bentrokan adalah sesuatu yang tidak disukai Islam. Melihat sejarah ketika Islam dibawa oleh nabi Muhamad dan

URL: http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=253---------------------Copyright ©2003 Jaringan Islam Liberal. Dilarang menerbitkan dan atau menyebarluaskan artikel ini dalam bentuk dan media apa pun, kecuali:a) menyebutkan penulis dan sumbernya (www.islamlib.com)b) untuk kepentingan non-komersialc) tanpa mengubah isinya

Hak penerbitan ada pada JIL, hak cipta ada pada penulis artikel. Untuk mendapatkan ijin dan hak pemuatan selain kepentingan di di atas, silakan hubungi [email protected].