32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Lupus eritematosus sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. 2 B. Epidemiologi LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1. Pada lupus eritematosus yang 3

BAlalalalalalalaB II.doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lalalalalaala

Citation preview

Page 1: BAlalalalalalalaB II.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Lupus eritematosus sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus

(SLE) merupakan prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi

antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan

manifestasi klinis yang luas.2

B. Epidemiologi

LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina,

dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi

dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat

ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa

reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria

berkisar antara (5,5-9) : 1. Pada lupus eritematosus yang disebabkan obat

(drug induced LE), rasio ini lebih rendah yaitu 3:2.2

Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000

penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per

100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.

Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah

Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,

didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik

Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung

3

Page 2: BAlalalalalalalaB II.doc

4

terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat

kepoliklinik reumatologi selama tahun 2010.1

C. Etiologi

Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun

diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun,

kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.3

Autoimun :

Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks

dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T

menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha

mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi

limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk

untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel

tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin.

Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang

peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh

sel B.3

Genetik :

Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi

penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga

menderita SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien

memiliki manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika

Page 3: BAlalalalalalalaB II.doc

5

seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk

menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25.

Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode

unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama

HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah

terbukti. 3,4

Faktor lingkungan 3,5

Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun

pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu,

kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa

obat-obatan.

Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T

adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus

Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian

lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus,

misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan

menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak

mempengaruhi ginjal.

Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu

tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari

sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai

antigen asing dan memberikan respon autoimun.

Page 4: BAlalalalalalalaB II.doc

6

Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan

tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom

ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi

nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat

terjadi perbaikan manifestasi klinik dan hasil laboratorium.

Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan

menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi.

Sitokin berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE

biasanya memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang

menderita SLE memiliki level androgen yang abnormal. Penelitian lain

menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.

D. Patogenesis

Gambar 1. Patogenesis SLE

Page 5: BAlalalalalalalaB II.doc

7

Pada SLE ketika terdapat predisposisi maka akan mengaktifkan sel T yang

autoreaktif sehingga mengakibatkan induksi dan ekspansi dari sel B baik yang

produksi autoantibodi atau berupa sel memori.1

Autoantibodi yang terbentuk ditujukan untuk antigen di nukleoplasma

yang meliputi DNA, proteih histon dan non histon. Dimana antigen tersebut

dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA

(ribonukleoprotein RNA).1

ANA (Anti Nuklear Antibody) akan membentuk komplek imun yang

beredar dalam sirkulasi sehingga mengakibatkan :

- Gangguan klirens kompleks imun.

- Gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati.

- Penurunan uptake kompleks imun limpa.

Hal tersebut akan membentuk deposit kompleks imun diluar sistem fagosit

mononuklear. Mengakibatkan kompleks imun mengendap pada berbagai

macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ dan

menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab

timbulnya reaksi radang.1

E. Manifestasi Klinik

Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau

lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :1

1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan

penurunan berat badan.

Page 6: BAlalalalalalalaB II.doc

8

3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis.

4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi

membran mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,

vaskulitis.

5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik.

6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen.

7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.

9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,

hepatomegali).

10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia.

11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis

transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap

penyakit Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita yang

memiliki 2 atau lebih kriteria kewaspadaan SLE.

Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik :1

1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada

daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat

nasolabial.

2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan

sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat

Page 7: BAlalalalalalalaB II.doc

9

ditemukan parut atrofik.

3. Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal

terhadap sinar matahari, baik dari anmnesis pasien

atau yang dilohat oleh dokter pemeriksa.

4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring umunya tidak nyeri

5. Atritis Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih

sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak

atau efusi.

6. Serositis

Pleuritis

Perikarditis

Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub

yang didengar oleh dokter atau terdapat bukti efusi

pleura.

Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial

friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium.

7. Gangguan Renal Proteinuri menetap > 0,5 gram per hari atau > +3

bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif.

Atau

Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,

hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

8. Gangguan Neurologi Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan

atau gangguan metabolik (misalnya uremia,

ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

Page 8: BAlalalalalalalaB II.doc

10

Atau

Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan

atau gangguan metabolik.

9. Gangguan

hematologi

Anemia hemolitik dengan retikulosis, lekopeni <

4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih,

limfopenia < 1.500/mm3 pada dua kali

pemeriksaan atau lebih, trombositopenia <

100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan.

10. Gangguan imunolgi Anti DNA : antibody terhadap native DNAdengan

titer yang abnormal.

Anti Sm: terdapatnya antibosi terhadap antigen

nuclear Sm.

Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid

yang didasarkan atas:

- kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal

baik IgG atau IgM.

- Tes lupus antikoagulan positif mengguanakan

metode standard.

- Hasi tes serologi positif palsu terhadap sifilis

sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan

dikonfirmasi dengan tes imobilisasi

Treponema pallidum atau tes fluoresensi

Page 9: BAlalalalalalalaB II.doc

11

absorpsi antibody treponema.

11. Antibody antinuklear

positif (ANA)

Titer abnormal dari antibody antinuklear

berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau

pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu

perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang

diketahui berhubungan dengan sindroma lupus

yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki

sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan

salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis

bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi

klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang

diperlukan.1

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama

menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan

pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya

yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah

dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE. Penyakit SLE dapat

dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.1

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:1

1. Secara klinis tenang

Page 10: BAlalalalalalalaB II.doc

12

2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,

gastrointestinal,

susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:

1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

3. Serositis mayor

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan

sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,

miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.

b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli

paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.

c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).

f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati

transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma

demielinasi.

Page 11: BAlalalalalalalaB II.doc

13

g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),

trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,

thrombosis vena atau arteri.9

F. Pemeriksaan Penunjang6

1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus

Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin.

Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia

hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;

erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif,

Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-

globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil

pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria,

hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular

atau sel darah merah pada urin.

2. Pemeriksaan Autoantibodi.

Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai

proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut

tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di

dalamnya LES, Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya.

Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai dalam upaya

membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit

dan terapi yang diberikan.

Page 12: BAlalalalalalalaB II.doc

14

3. Antibodi Antinuklear.

Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok

autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein,

ditemukan pada connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik,

Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer.

ANA pertama kali ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada

sumsum tulang penderita LES. Dengan perkembangan pemeriksaan

imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm,

nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B.

ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode

imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada

connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita

LES menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom

Sjogrens dan 40% pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10%

populasi normal yang berusia > 70 tahun.

4. Antibodi terhadap DNA.

Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi

yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA

positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai

arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan

pada sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA

menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES,anti ds-DNA

mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit

Page 13: BAlalalalalalalaB II.doc

15

SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode

radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.

5. Pemeriksaan Komplemen.

Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak

spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif.

Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan

menghasilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen

tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari

20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti

model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis.

Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada

lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan

derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial

pada penderita dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat

lebih dahulu dibanding gejala klinis.

G. Penatalaksanaan

I. Edukasi / Konseling1,10

1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.

2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing pe tersebut.�

3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang

terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat,�

Page 14: BAlalalalalalalaB II.doc

16

pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya

maupun pemakaian kontrasepsi.

4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien

SLE, mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah

terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri,

mengatasi rasa nyeri.

5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.

Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang

dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa

jenis lainnya termasuk antibiotikum.

6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah

kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan

SLE dan sebagainya.

II.Terapi Medikamentosa1,11

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada

pasien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak

laporan efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai

sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga

bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini

maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan

farmakokinetiknya.

Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :

Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari

Page 15: BAlalalalalalalaB II.doc

17

Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari

Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari

Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari

Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau

beberapa hari

Indikasi Pemberian Kortikosteroid

Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus

rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif

tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis

sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti

pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.

Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu,

dengan meminimalkan jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek

samping. Efek samping yang sering ditemui pada pemakaian

kortikosteroid adalah:

Skeletal :Osteoporosis, osteonekrosis, miopati �

Gastrointestinal :Penyakit ulkus peptikum (kombinasi dengan OAINS),

Pankreatitiss, Perlemakan hati. �

Immunologi :Predisposisi infeksi, menekan hipersensifitas tipe

lambat

Kardiovaskular :Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan

aterosklerosis, aritmia

Ocular :Glaukoma, katarak

Page 16: BAlalalalalalalaB II.doc

18

Kutaneous :Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka

terganggu, jerawat, buff alo hump,hirsutism

Endokrin :Penampilan cushingoid, diabetes melitus, perubahan

metabolisme lipid, perubahan nafsu makan dan

meningkatnya berat badan, gangguan elektrolit,Supresi

HPA aksis, supresi hormon gonad

Tingkah laku :Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif

Cara Pemberian Kortikosteroid

Pulse Terapi Kortikosteroid

Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang

mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini

biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon

(MP). Diberikan selama 3 hari berturut-turut.

Cara pengurangan dosis kortikosteroid

Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS

mulai dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus

dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas

penyakit, dan defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis

hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap

memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari

penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis.

Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg

sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu.

Page 17: BAlalalalalalalaB II.doc

19

Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20

mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila

dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis

rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.

Sparing agen kortikosteroid

Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk

memudahkan menurunkan dosis KS dan berfungsi juga mengontrol

penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini

adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotrexate.

Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping

KS.

Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.1

a. Pengobatan SLE Ringan

Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan

berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting

agar tujuan di atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

- Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis

dan pengelolaan nyeri dan in lamasi.

- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat

dengan potensi ringan)

Page 18: BAlalalalalalalaB II.doc

20

- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet

klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa

mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,

sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400

mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.

- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang

setara.

Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor

sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)

b. Pengobatan SLE Sedang

Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan

kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa

rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang

telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison

atau yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada

penggunaan obat-obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam

nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.

Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus

SLE mencakup:1

- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama

5 hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia

Page 19: BAlalalalalalalaB II.doc

21

hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau

demam yang refrakter dengan terapi konvensional.

- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan

lupus serberitis.

- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.

- Danazol pada trombositopenia refrakter.

- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring

effect pada SLE ringan.

- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang

refrakter dengan obat lainnya.

- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE

yang berat.

- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas

stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42

(saat ini belum tersedia di Indonesia)

- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan

CD40(CD40LmAb).

- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

H. Prognosis

Pada tahun 1950an, sebagian besar pasien yang didiagnosis SLE hidup kurang

dari lima tahun. Perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan

meningkatkan angka harapan hidup, lebih dari 90% pasien bertahan hidup

lebih dari sepuluh tahun dan banyak yang relatif tanpa gejala. Penyebab

Page 20: BAlalalalalalalaB II.doc

22

kematian yang paling sering adalah infeksi akibat imunosupresan sebagai hasil

dari pengobatan penyakit ini. Prognosis normalnya lebih buruk pada pria dan

anak-anak dibandingkan pada wanita. Untungnya, bila gejala timbul setelah

umur 60 tahun, penyakitnya menjadi lebih jinak.

Algoritma penatalaksanaan SLE dapat dilihat dibawah ini