bahan perenc kota

Embed Size (px)

Citation preview

TINJAUAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DALAM RANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUT Written by Suryaningsih, S.H., M.H. *) Saturday, 16 February 2008Pendahuluan Secara geografis letak dan kedudukan Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beberapa pulau atau negara kepulauan yang sangat strategis baik bagi kepentingan nasional maupun international. Kondisi alamiah Indonesia yang mempunyai kekhususan bila dibandingkan dengan negara lain, yaitu berada pada posisi silang katulistiwa antara dua benua dan dua samudra yang mempunyai cuaca, musim dan iklim tropis. Pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur adalah pembangunan nasional yang menciptakan kemajuan-kemajuan di berbagai bidang kehidupan baik fisik maupun non fisik seperti kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, industri, penyediaan sarana prasarana dan sebagainya Di dalam keterkaiatan antara pembangunan nasional dengan daerah maka kedudukan pembangunan perkotaan memiliki manfaat yang sangat penting yaitu kota sebagai pusatnya kegiatan penduduk mempunyai peran yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pembangunan perkotaan ini bertujuan untuk meningkatakan kinerja pengelolaan kota dalam rangka mewujudkan kota layak huni, menanggulangi masalah kemiskinan dan kerawanan sosial, memperkuat fungsi internal dan eksternal kota, serta mengupayakan sinergi pembangunan antar perkotaan dan pedesaan. Pembangunan perumahan dan permukiman yang harus mencerminkan perwujudan manusia seutuhnya dan peningkatan kualitas manusia meniadakan kecemburuan sosial dan secara positif menciptakan perumahan dan permukiman yang mencerminkan kesetiakawanan serta keakraban sosial. Pembangunan perumahan dan permukiman dalam PJPT II harus mencerminkan ke Indonesiaan, persatuan dan kesatuan bangsa, memadukan nilai-nilai arsitektur daerah dengan kemajuan teknologi konstruksi dibidang perumahan dan permukiman. Disamping itu harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kemampuan masyarakat serta berwawasan lingkungan. (Komarudin, 1997, 51) Hak atas perumahan di Indonesia tercantum dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23) yang berlaku mulai tanggal 10 Maret 1992 yaitu dalam pasal 5 ayat (1) dimana disebutkan bahwa : Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati atau menikmati dan atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar (basic need) manusia, yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan oleh manusia untuk melindungi diri dari cuaca, iklim dan gangguan lainya. Adapun fungsi lain dari rumah adalah sebagai lingkungan tempat tinggal untuk mengembangkan kehidupan dan penghidupan keluarga. Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kehidupan semata, akan tetapi merupakan proses berfikir dalam menciptakan ruang kehidupan untuk kehidupan masyarakat. Dengan demikian rumah dan permukiman mempunyai peranan

yang sangat strategis untuk mewujudkan pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. Pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman khususnya di kawasan perkotaan harus senantiasa memperhatikan penataan ruang yang berlaku di kota yang bersangkutan sehingga terdapat sinkronisasi atau kesesuaian antara pembangunan perumahan dan permukiman dengan penataan ruang kota.

Aspek Hukum dan Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Konsep Dasar Penataan Ruang

Dalam UUD 1945 Pasal 33, disebutkan bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu ketiga komponen yang merupakan elemen ruang kehidupan harus dimanfaatkan dan dikembangkan secara berencana sehingga dapat menunjang kegiatan pembangunan secara berkelanjutan dalam rangka kelangsungan kemakmuran rakyat. Dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Dasar Pokok Agraria yang sering disebut dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 14 ayat (1), disebutkan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk keperluan negara; untuk keperluan peribadatan; untuk keperluan pusat pusat kehidupan masyarakat; untuk keperluam memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan dan sejalan dengan itu; untuk keperluan memperkembangnkan industri, transmigrasi dan pertambangan. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara, sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melangsungkan hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam Pasal 1 Undang - undang penataan ruang tersebut memberikan pengertian rencana tata ruang adalah hasil dari perencanaan tata ruang yang kesemuanya itu untuk sebesar basarnya kemakmuran rakyat (tentunya dalam artian rakyat disini bukan segelintir rakyat tetapi rakyat pada umumnya). Kesemua rakyat akan merasakan suatu kenikmatan hidup di sesuatu kota ataupun di daerah. (A.P Parlindungan, 1993;12) Hal ini sesuai dengan ajaran Jeremy Bentham yaitu : 1. Tujuan hukum dan wujud keadilan menurut Jeremy Bentham adalah untuk mewujudkan the greatest happiness for the greatest number of people (kebahagiaan yang sebesar besarnya untuk sebanyak banyaknya orang) Tujuan perundang undangan menurut Jeremy Bentham adalah untuk

2.

menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu perundang undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan yaitu ; a). b). c). d). to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup) to provide abudance (untuk memberikan makanan yang berlimpah) to provide security (untuk memberikan perlindungan) to provide equility (untuk mencapai persamaan). (Achmad Ali, 2002; 278-279).

Dalam mencapai tujuan tersebut, maka dalam tataran operasional perencanaan tata ruang menurut Ginandjar Kartasasmita paling tidak ada 3 (tiga) tahapan yang harus ditempuh yaitu : 1. 2. Pengenalan kondisi tata ruang yang ada dengan melakukan pengkajian untuk melihat pola dan interaksi unsur pembentuk ruang, manusia, sumber daya alam; Pengenalan masalah tata ruang serta perumusan kebijakan pengembangan tata ruang wilayah nasional menekankan masalah dikaitkan dengan arahan kebijakan pemanfaatan ruang masa datang serta kendalanya;

3. Penyusunan strategi pemanfaatan ruang (Imam Koeswahyono, 2000; 55)

Perencanaan tata ruang itu mencakup perencanaan struktural dan pola pemanfatan ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Perencanaan struktur dan pola pemanfatan ruang merupakan kegiatan penyusunan rencana tata ruang yang produknya menitikberatkan kepada pengaturan hierarkhi yang menurut Hans Kelsen bahwa suatu norma hukum dibuat menurut norma hukum yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi ini pun dibuat menurut norma hukum yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya sampai kita berhenti pada norma hukum yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dahulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat. Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersaebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm (Norma Dasar), dan grundnorm pada dasarnya tidak berubah ubah. (Esmi Warasih, 2005; 31-32) Di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004 2009, rencana tata ruang merupakan landasan atau acuan kebijakan spasial bagi pembangunan lintas sektor maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis dan berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) telah menetapkan norma norma spatial pemanfaatan ruang nasional. Penjabaran RTRWN dilakukan dalam RTRW Pulau untuk setiap pulau besar/kepulauan di Indonesia. RTRW Pulau berisikan : (a) pola pemanfatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya; (b) struktur pengembangan jaringan prasarana wilayah, termasuk pusat pusat

pemukiman (perkotaan). Oleh karena itu, sangat penting untuk memanfaatkan RTRW Nasional dan RTRW Pulau sebagai acuan penataan ruang daerah, yang kemudian dijabarkan kedalam RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota. Adapun fungsi penataan ruang wilayah nasional adalah; sebagai alat keterpaduan dalam pengembangan wilayah dan pembangunan daerah; sebagai alat untuk usaha pemanfaatan ruang kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan agar terintegrasi; sebagai alat untuk mewujudkan kesatuan pembangunan Ipoleksosbudhankam dan wilayah dalam wawasan nusantara; sebagai arahan/rujukan kegiatan pembangunan sektor, antar daerah, daerah daerah, dunia usaha dan masyarakat secara menyeluruh. (R. Bambang Irawan, 2000;73) Dalam penataan ruang wilayah kota memang sungguh rumit dan pelik karena mau tidak mau menyangkut benturan antara pendekatan teknokratik, komersial dan humanis. Pernyataan yang sering muncul adalah: untuk melayani siapa sebetulnya tata ruang wilayah kota dan lingkungan hidup itu, dan bagimana cara yang sebaik baiknya untuk pengelolaannya. Maka para perencana tata ruang wilayah dan pengelolaan lingkungan hidup mesti harus memiliki tingkat kepekaan sosio - kultural yang tinggi. Tanpa kepekaan terhadap pluralisme kultur dan sub kultur, maka kota kota yang ada di Indonesia akan menjadi kota yang serba seragam, tidak memiliki jati diri, kepribadian, kekhasan, atau karakter yang spesifik. (Eko Budihardjo dan Djoko Sujarto, 2005; 202-203)

Aspek Hukum Penataan Ruang

Bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar basarnya kemakmuran rakyat, adalah amanat Pasal 33 Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang harus dipegang dan dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah dalam mengatur tata ruang perkotaan. Dua pesan kunci yang terkandung dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah negara menguasai berarti mengatur penggunaan, peruntukan dan alokasi lahan melalui perundang undangan dan kebijakan tertulis lainnya. Dalam menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan) bagaimana seharusnya hubungan antara orang atau badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan sikap ini jelaslah bahwa wewenang agraria dalam sistem UUPA adalah pada pemerintahan sentral dan pemerintah daerah tidak boleh melakukan tindakan kewenangan agraria jika tidak ditunjuk ataupun didelegasi wewenang oleh pemerintah kepada daerah daerah otonom. (A.P Parlindungan, 1993; 39) Konsepsi asas hak menguasai negara tersebut secara formal dirumuskan dalam pasal 2 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Dasar Pokok Agraria yang berbunyi sebagai berikut : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan hal hal yang dimaksud dalam Pasal 1 bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta ruang angkasa, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara

sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam Ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. c. menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara orang orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara orang orang dengan perbuatan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3)

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai kemakmuran yang sebesar besarnya bagi rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia. Hak menguasai dari negara tersebut diatas, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah daerah swatantra dan masyarakat masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan peraturan pemerintah.

(4)

Mengenai tugas kewenangan yang disebut dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf a terdapat ketentuannya yang khusus dalam Pasal 14 yang mewajibkan Pemerintah untuk menyusun suatu rencana umum, yang kemudian akan dirinci lebih lanjut dalam rencana rencana regional dan daerah oleh pemerintah daerah. (Boedi Harsono,1999, 261) Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, kegiatan pembangunan dan laju urbanisasi yang tidak terkendali di perkotaan telah mempersempit ruang gerak warga kota. Kebutuhan akan lahan untuk pemukiman, industri, perdagangan, pemerintahan dan prasaran perkotaan meningkat dengan tajam dan sementara kondisi lahan relatif tetap, disinilah akan melahirkan benturan berbagai kepentingan antara berbagai pihak. (Bagong Suyanto, 1996; 38). Namun tragisnya dalam konflik tersebut, justru rakyat kecil selalu sebagai pihak yang terkalahkan. Sedangkan kepentingan pemodallah yang ternyata lebih diuntungkan dalam pertarungan memperebutkan ruang (lahan) perkotaan. Fakta konkrit dari permasalahan perebutan ruang (spasial) di atas nampak jelas dalam masalah masalah di bawah ini : a. b. Mulai terlihat adanya pergeseran lahan pertanian yang subur menjadi tempat industri; Perebutan kepentingan publik (public interest) yakni fungsi ruang terbuka hijau, trotoar dan jalan dengan kepentingan pribadi (individual interest) yakni pemanfaatan lahan resapan air untuk tujuan ekonomi yaitu pusat perdagangan

seperti pusat perbelanjaan, perumahan mewah dan sebagainya sehingga karakteristik ruang menjadi bertolak belakang; c. Mulai ditemukannya kasus kasus pencemaran lingkungan dan beberapa aliran sungai yang sudah terkontaminasi limbah limbah cair yang berbahaya, banjir dimana mana jika musim penghujan tiba; Timbulnya daerah daerah kumuh (slum area) di sekitar pusat pusat kegiatan industri, terutama disebabkan perencanaan kegiatan industri tidak diikuti dengan perencanaan perumahan buruh maupun jasa penunjang lainnya.

d.

Melihat fenomena di atas, merupakan suatu paradoks dari asas dan tujuan penataan ruang. Prinsip efisiensi menyatakan bahwa: ruang yang ada harus dimanfaatkan secara optimal sejalan dengan nilai ekonomisnya. Sedangkan perinsip equality atau pemerataan menyatakan bahwa: pemanfaatan ruang harus memperhatikan nilai nilai sosial, terutama untuk menjamin kemungkinan akses yang setara bagi masyarakat untuk memanfaatkan ruang sebagai sumber utama pembangunan. Relokasi pemukiman pemukiman kumuh untuk supermarket, hotel, perumahan mewah ataupun perkantoran dalam beberapa segi menunjukan kepentingan efisiensi yang berlebihan di atas kepentingan pemerataan atau equality. (Imam Koeswahyono, 1999; 94) Melihat realitas tersebut di atas, setidaknya ada 5 (lima) pertimbangan yang melatarbelakangi lahirnya Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yaitu : (1) Ruang wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan merupakan sumber daya alam, aset besar bangsa Indonesia yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola untuk mewujudkan pembangunan nasional; Undang Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional antara lain mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat; Ruang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan dan kelangsungan hidup; Peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang selama ini belum menampung tuntutan perkembangan pembangunan. Karena itu perlu adanya satu Undang Undang yang memberi kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang dalam satu kesatuan sistem yang memberi sandaran yang jelas, tegas dan menyeluruh untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan demi kelangsungan hidup yang berkualitas; Mengingat semakin pesatnya laju pembangunan di berbagai sektor dan di seluruh tanah air yang memerlukan pemanfaatan ruang secara tertib dan terarah. (Mahendara, 1997; 59-60)

(2)

(3) (4)

(5)

Di Kota Malang mengenai penataan ruang ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) Kota Malang Tahun 20012011. Peraturan Daerah tersebut disusun dengan tujuan untuk mengarahkan penyelenggaraan pembangunan di Kota Malang dengan cara memanfaatkan ruang wilayah

yang tersedia secara berdaya guna, berhasil guna, selaras, seimbang dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat Kota Malang. Namun mengingat kondisi di Kota Malang yang terus menerus mengalami perkembangan yang sangat pesat maka Rencana Tata Ruang yang berlaku tersebut harus senantiasa disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada sehingga dapat dilakukan perubahan jika dirasa perlu. Karena hal itu Peraturan Daerah nomor 7 Tahun 2001 tersebut pernah dilakukan evaluasi dan revisi pada tahun 2002.

Wewenang Kabupaten/Kota dalam Perencanaan Wilayah Kota

Secara esensial ruang dan tanah merupakan modal dasar dan potensi sumber daya alam yang sangat mahal dan semakin langka. Hal tersebut disebabkan karena tanah dibutuhkan dan dimanfaatkan untuk berbagai macam pembangunan. Tanah harus dapat dimanfaatkam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Agar ruang dan tanah dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien dalam pemenuhan kebutuhan perumahan serta permukiman yang terus meningkat secara dinamis dan progresif, perlu dilakukan pembinaan serta pengelolaan ruang dan pertanahan secara terarah dan terkendali. Selain itu tanah merupakan salah satu unsur penting dalam perencanaan kota, lokasi tanah yang mewadai dan wajar untuk setiap kegiatan, dengan ukuran tanah yang terbatas serta dengan kepadatan penduduk, dalam jangka panjang pengaruhnya telah mewarnai sebagian besar konsep konsep perencanaan kota. Sehingga perencanaan tata ruang merupakan kegiatan menentukan berbagai kebutuhan manusia dengan cara memanfaatkan rencana lokasi berbagai kegiatan dalam ruang, agar memenuhi sumber daya yang tersedia. (Muchsin,1998; 28-30) Dengan memperhatikan hal hal diatas, maka jelas bahwa persoalan yang berkaitan dengan penataan ruang ini mengandung dimensi yang sangat luas, apalagi ruang itu sendiri meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara termasuk sumber daya alam yang terkandung di dalamnya yang sangat vital bagi kehidupan dan penghidupan. Oleh sebab itu aspek aspek Hukum Administrasi Negara Dalam Penataan Ruang sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 dianggap penting, karena persoalan penataan ruang tersebut, disamping mengandung aspek hukum lingkungan dan hukum agraria juga sangat berkaitan dengan wewenang dari Badan/Pejabat Administrasi Negara sebagai alat perlengkapan negara dalam menentukan arah kebijaksanaan pembangunan yang diatur dalam Hukum Administrasi Negara. Hal yang terakhir ini sekaligus mencerminkan adanya campur tangan pemerintah (alat alat Administrasi Negara) dalam kehidupan masyarakat sehari hari khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya. (B. Hestu Cipto Handoyo, 1995; 9). Dalam masalah perumahan dan permukiman yang merupakan kebutuhan hidup masyarakat, maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengaturnya.

Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang

Dalam setiap pelaksanaan penataan ruang, peranan masyarakat sangat menentukan keberhasilan dan kesinambungan penataan ruang yang diinginkan. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat yang bersangkutan, hanya masyarakat itu sendiri yang mengetahui kebutuhan berkenaan penataan ruang yang perlu diprioritaskan. Demikian pula peran serta masyarakat dalam suatu penataan ruang harus sudah dimulai sejak saat perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Peran serta masyarakat dalam penyusunan tata ruang mulai dari penyusunan tata ruang wilayah nasional, tata ruang wilayah propinsi dan tata ruang wilayah kabupaten/kota, dengan adanya Undang Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 yang telah memberikan otonomi seluas luasnya tersebut, memberikan peluang kepada masyarakat baik para cendekiawan ataupun anggota masyarakat pada umumnya untuk dapat berperan serta aktif dalam penyusunan tata ruang wilayah dengan sebaik baiknya. Peran serta masyarakat dalam penataan ruang wilayah sangat penting kedudukannya, sehingga ada 3 (tiga) alasan utama mengapa peran serta masyarakat mempunyai sifat yang penting, yaitu : 1. Peran serta masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh suatu informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat yang tanpa kehadirannya, program pembangunan serta proyek proyek akan gagal; Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya; Yang mendorong adanya peran serta masyarakat umumnya di banyak negara karena anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan itu sendiri. (Conyers, 1994; 154)

2. 3.

Dalam peran serta masyarakat tersirat makna, dan integritas keseluruhan dari proyek tata ruang yang merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain, peran serta berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek tata ruang sehubungan dengan kehidupan masyarakat. Peran serta adalah kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak pihak lain untuk suatu kegiatan. Peran serta sebagai sarana pembangunan dimaksudkan agar tersaranakan potensi dan kemungkinan dari peran serta itu sendiri.

Perencanaan Pembangunan Perumahan Dan Permukiman

Masalah perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang bersifat multi sektor, yang hasilnya langsung menyentuh salah satu kebutuhan dasar masyarakat, sehingga konsepsi urutan pembangunan untuk mengantarkan pembangunan yang berdaya guna dan

berhasil guna, maka sebagai salah satu syarat utama ialah keharusan adanya perencanaan. Selanjutnya melalui perencanaan tersebut dilaksanakan pembangunan dan harus selalu disertai pengawasan (Muchsin, 1998; 45) Aspek aspek yang mendasari perencanaan perumahan tersebut di atas dalam Peraturan Daerah kota Malang Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2001 2011 telah sesuai dengan direncanakannya alokasi lahan yang dapat dikembangkan sebagai areal perumahan dan permukiman. Sedangkan dalam Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) Kota Malang bersifat sangat teknis, implementatif dan strategis, khususnya dalam perencanaan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman. Dengan adanya RP4D skenario mewujudkan program pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman semakin jelas. Kedudukan RP4D berada di bawah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dibandingkan dengan produk produk perencanaan tata ruang lainnya, seperti Rencana Detai Tata Ruang Kota (RDTRK) atau Rencana Tata Ruang Kota (RTRK), maka RP4D ini dapat disetarakan dengan RDTRK/RTRK karena sifat substasinya yang teknis. Namun dalam hal ini, RP4D hanya membicarakan perihal Perumahan dan Permukiman beserta dengan saran/prasarana yang terkait erat. Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Perumahan dan Permukiman Nomor 09/KPTS/M/IX/1999 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D), jangka waktu perencanaan dibuat untuk 10 (sepuluh) tahun dengan dijabarkan kedalam rencana lima tahunan dan rencana pelaksanaan tahunan untuk lima tahun pertama. Selain itu pedoman penyusunan RP4D juga untuk memantapkan pelaksanaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (RP4D Kota Malang, 2004; VI-2)

Aspek Hukum dan Kebijakan Pengembangan Wilayah Perumahan Permukiman

Dan

Struktur perwilayahan pembangunan meliputi struktur pusat pertumbuhan perkotaan dan perdesaan, sarana dan prasarana sosial ekonomi maupun kepariwisataan. Wilayah pembangunan tidak akan berdiri sendiri dan terlepas dari pusat pembangunan wilayah lainnya. Hubungan internal dan eksternal antara pusat pembangunan justru lebih tinggi tingkatannya dan menjadi hubungan fungsional secara hirarkhis menyeluruh dalam satu kesatuan wilayah nusantara. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf a Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah. Wewenang mengatur misalnya bersangkutan dengan perencanaan pembangunan daerah. Wewenang menyelenggarakan misalnya berupa tindakan mematangkan tanah untuk disiapkan guna tempat pembangunan perumahan rakyat, industri dan lain sebagainya. Untuk itu Pemerintah Daerah misalnya dapat menyelenggarakan suatu perusahaan tanah, yang selain bertugas mematangkan tanah yang tersedia, juga mengatur penyediaan tanah bagi pihak pihak yang memerlukan. Dengan demikian tanah yang tersedia dapat

digunakan sebaik - baiknya sesuai dengan rencana pembangunan yang sudah ditetapkan. (Boedi Harsono, 1999; 266). Wewenang dalam bidang agraria disini dimaksudkan dapat merupakan sumber keuangan daerah itu, tetapi harus lebih mengutamakan kepentingan umum dan tidak semata mata mencari keuntungan. Pengembangan konsep pembangunan perumahan dan permukiman yang diambil dalam bentuk kebijaksanaan Pemerintah Daerah pada awal Pembangunan Jangka Panjang Tahap I untuk pembangunan perumahan dan permukiman bersifat stimultan dan hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana dasar. Hal ini dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah Pusat. Pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II pemerintah mulai mengembangkan konsep subsidi silang, suatu konsep pengembangan perumahan dan permukiman yang berupa suatu tindakan dimana kapling tanah matang yang berupa kapling ukuran besar dijual dengan harga tinggi sehingga dapat dipakai untuk memberikan subsidi pada rumah rumah inti sederhana.

Konsep Dan Strategi Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengembangan Wilayah Perumahan Dan Permukiman

Dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun1992 tentang perumahan dan permukiman, dalam konsideran Undang Undang tersebut menyebutkan bahwa dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam meningkatkan harkat dan martabat, mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Untuk meningkatkan harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, berencana, dan berkesinambungan. Berkembangangnya suatu kota secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya. Pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman harus diupayakan sebagai satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik kehidupan ekonomi dan sosial budaya yang mampu menjamin pelestarian kemampuan fungsi lingkungan hidup perumahan dan permukiman tersebut. (Koesnadi Hardjasoemantri, 2004; 223) Perumahan juga harus dilengkapi dengan fasilitas penunjang, baik yang meliputi aspek ekonomi (antara lain : bangunan perniagaan atau perbelanjaan yang tidak mencemari lingkungan), maupun aspek sosial budaya (antara lain : bangunan pelayanan umum dan pemerintahan, pendidikan dan kesehatan, peribadatan, rekreasi dan olahraga, pemakaman dan pertamanan). (Jarot E. Sulistyo, 2004; 1). Untuk mencapai ini semua, maka sasaran dan arah kebijakan pembangunan perumahan permukiman meliputi kegiatan pokok melalui 2 (dua) program, yaitu : program pengembangan perumahan dan permukiman serta program pemberdayaan komunitas perumahan. (RPJMN, 2004 2009; 453) Prinsip Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) di KTT Rio menjadi dasar pembicaraan. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

tersebut adalah pembangunan yang memenuhi kebutuahn generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Definisi ini diberikan oleh Word Commision on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan). (N. H. T. Siahaan, 2004; 147) Dalam perkembangan konsep selanjutnya, pembangunan berkelanjutan dielaborasi oleh Stren, While dan Whitney dalam Eko Budihardjo dan Djoko Sujarto (2005; 18) yaitu sebagai suatu interaksi antara tiga sistem : sistem biologis dan sumberdaya, sistem ekonomi, dan sistem sosial. Memang dengan kelengkapan konsep berkelanjutan dalam trilogi : ekologi ekonomi sosial tersebut semakin menyulitkan pelaksanaannya, namun jelas lebih bermakna dan gayut dengan masalah khususnya di negara berkembang. Supaya tercipta penataan lingkungan yang baik, serasi dan seimbang, hendaknya hal tersebut didasarkan pada sistem perencanaan yang baik. Sistem tata ruang merupakan pengelolaan lingkungan dalam berbagai kegunaan/fungsi yang didasari pada karakter, sifat, corak, dan potensi dari tata lingkungan itu sendiri. Disini perlu dilakukan pengaturan perencanaan sistem tata ruang, karena penataan ruang yang tidak sesuai akan mengakibatkan timbulnya banjir di berbagai wilayah termasuk di Kota Malang, suatu contoh perubahan daerah resapan air di wilayah Kota Malang antara lain yang ada di belakang Musium Brawijaya dan saluran air yang membentang sepanjang jalan Jakarta jalan Gede dan jalan Pulosari sudah berubah menjadi kawasan perumahan dan permukiman mewah dan beberapa pertokoan. Dengan demikian kota Malang yang dahulunya tidak pernah mengalami banjir, saat ini fenomena yang terjadi adalah apabila musim penghujan tiba, jalan jalan menjadi tergenang air dan terjadi banjir (walaupun banjir ini sifatnya sementara). Pembangunan perumahan masa datang yang bertumpu pada kemandirian masyarakat dengan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, kelestarian lingkungan hidup, penataan perumahan dan permukiman, yang berdimensi sosial ekonomi,politik, budaya, falsafah, hukum dan perundang undangan, dilaksanakan dalam suatu kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba), diharapkan selain untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar (basic need), juga dapat mendukung peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional, dan menunjang pembangunan di bidang bidang lain. Asas kelestarian lingkungan hidup, memberikan landasan untuk menunjang pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Untuk mendukung pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan yang brewawasan lingkungan, penataan ruang (UU Penataan Ruang dan UU Perumahan dan Permukiman) perlu ditaati dan kemampuan Pemerintah Daerah Tingkat II ditingkatkan. (Komarudin, 1997; 286 287).

Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Penyelenggaraan Pembangunan Pengembangan Wilayah Perumahan Dan Permukiman Kota Malang

dan

Dalam suatu proses pembangunan, tanah merupakan suatu hal yang memegang peranan penting termasuk dalam penyelenggaraan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman. Hal ini sejalan dengan kenyataan yang ada di mana lahan yang tersedia

semakin lama semakin sempit terutama di daerah perkotaan sedangkan jumlah penduduk selalu mengalami peningkatan. Dengan demikian pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat akan perumahan dan permukiman dapat mengalami hambatan jika tidak dilakukan pemanfatan lahan secara tertib dan efisien. Oleh karena itu diperlukan adanya penataan ruang dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Di Kota Malang pelaksanaan penataan ruang dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Kota Malang tahun 2001 2011. Ruang lingkup dari Peraturan Daerah tersebut mencakup ; a.Strategi dan kebijaksanaan pengembangan wilayah Kota Malang b.Rencana tata ruang wilayah Kota Malang c. Ketentuan pemanfaatan dan pengandalian ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang ini menjadi pedoman dalam penerbitan perizinan lokasi pembangunan. Sehingga dalam melakukan pembangunan perumahan dan permukiman harus memperhatikan peruntukan lahan yang telah ditetapkan karena apabila tidak akan dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman menyangkut aspek legalitas dimana legalitas rencana tata ruangnya tercantum dalam Pasal 54 Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang Tahun 2001 2011 yaitu : 1.Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) 2.Rencana Detail tata Ruang Kota dan rencana tata Ruang Kawasan Khusus / Sektoral ditetapkan dengan Keputusan Walikota dengan persetujuan Ketua DPRD 3.Rencana Tata Ruang Kota dan rencana tata ruang sejenisnya ditetapkan dengan Keputusan Walikota 4.Dalam penataan ruang Kota, untuk angka (2) dan (3) merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota dan apabila terdapat perubahan yang secara esensial atau memiliki indikasi esensial merubah kualitas dan stuktur ruang kota maka perubahan itu harus diketahui oleh DPRD Kota Malang. Dengan melihat tabel 7. Penggunaan lahan eksisting Kota Malang dan tabel 8. Luasan Lahan Cadangan Kota Malang dapat diketahui bahwa sebagian besar penggunaan lahan yang ada di Kota Malang digunakan sebagai kawasan perumahan dan permukiman bagi masyarakat Kota Malang guna memenuhi kebutuhan akan tersedianya perumahan dan permukiman yang layak. Yang mana untuk hal tersebut telah ditentukan lokasi lokasi mana yang diperbolehkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman guna menghindari terjadinya tumpang tindih penggunaan lahan. Pada kondisi riil ada ketimpangan penggunaan lahan di Kota Malang dimana penggunaan lahan masih terpusat pada tiga kecamatan saja yaitu; Kecamatan Klojen, kecamatan Lowokwaru dan Kecamatan Blimbing. Kondisi tiga kecamatan tersebut bertolak

belakang dengan penggunaan lahan di Kecamatan Sukun dan Kecamatan Kedungkandang, dimana pada kedua kecamatan tersebut lahan yang tersedia untuk kawasan perumahan dan permukiman sangat luas, namun pembangunan perumahan dan permukiman di kecamatan tersebut masih jarang dilakukan. Hal ini terjadi karena masyarakat Kota Malang menganggap bahwa lokasi di kedua kecamatan tersebut jauh dari pusat kota sehingga di rasa kurang strategis untuk pembangunan perumahan dan permukiman. Dengan terjadinya penumpukan perumahan dan permukiman di perkotanan seperti diatas, terdapat pula perumahan dan permukiman permukiman liar yang berdiri di Kota Malang antara lain di Daerah Aliran Sungai (DAS), di sekitar derah pusat perdagangan dan di sekitar rel kereta api yang semuanya mengakibatkan pemandangan di Kota Malang terlihat tidak sedap. Penumpukan perumahan dan permukiman liar terbanyak berada di Kecamatan Klojen, Kecamatan Blimbing dan Kecamatan Lowokwaru. Untuk mengatasi keberadaan perumahan dan permukiman liar tersebut upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah kota Malang yaitu melalui badan Perencanaan Kota (BAPPEKO) dan Kantor Petanahan adalah dengan memberikan kemudahan pengurusan perijinan bagi pihak pengembang yang ingin membangun perumahan dan permukiman di dua kecamatan tersebut yaitu Kecamtan Sukun dan Kecamatan Kedungkandang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan dan permukiman. Disamping kemudahan perijinan juga perlu diberikan pula bantuan berupa pembangunan infrastuktur guna membuka kawasan yang semula terisolasi tersebut. Pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang memerlukan perhatian yang sungguh sungguh dalam hal penataannya sehingga bisa sesuai dengan apa yang direncanakan dalam Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D) Kota Malang. Untuk mewujudkan pembangunan dan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman sesuai dengan apa yang telah direncanakan tersebut dirasakan sangatlah sulit mengingat kebutuhan penduduk akan perumahan dan permukiman yang layak di Kota Malang dari tahun ketahun senantiasa mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan pertumbuhan penduduk di Kota Malang yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk ke arah positif dengan deskripsi bahwa tingkat pertumbuhan penduduk kota sebesar 1,368 % tiap tahunnya, sebagaiman yang terlihat dalam gambar 2 di atas. Menanggapi kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang semakin tahun mengalami peningkatan tersebut, maka Pemerintah Daerah Kota Malang melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) membuat rencana pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Malang sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pasal 18 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2001 2011 yang mana pengembangannya harus meliputi beberapa hal berikut ini : 1 Permukiman yang akan dikembangkan di Kota Malang terdapat pada : a b c 2 permukiman yang dibangun oleh pribadi permukiman yang dibangun oleh pengembang permukiman atau rumah dinas

Permukiman yang akan dikembangkan di Kota Malang sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) harus memiliki ijin lokasi dari dinas terkait 3 Permukiman yang dibangun oleh pengembang sebagimana yang dimaksud pada ayat (1) butir b harus mengikuti ketentuan sebagai berikut a. pengembangan perumahan harus sesuai dengan jangka waktu ijin lokasinya dan jika pengembangannya tidak dilakukan sampai batas waktu yang telah ditentukan atau ijin lokasinya habais dan tidak diperpanjang, maka ijin lokasiny dicabut oleh dinas yang berwenang pengembang hartus menyediakan sarana dan prasarana yang ada dikawasan permukiman tersebut meliputi : 1) fasilitas umum dikawasan permukiman tersebut minimal terdapat lapangan olah raga, taman dan makam/kuburan 2) prasarana jalan, baik jalan yang menghubungkan antar rumah di dalam kawasan perumahan itu sendiri maupun jalan yang menghubungkan dengan kampung kampung disekitarnya, serta jalan yang menghubungkan dengna jalan jalan uatama yang ada di Kota Malang yang dibuat dengan desain jalan boulevard untuk jalan utama masuk perumahan pelayanan dan jalinan utilitas terutama pada pelayanan listrik, telepon, air bersih/minum, drainase (drainase sekunder dan tersier) dan persampahan menyediakan ruang untuk perdagangan, jasa maupun perkantoran dalam satu kawasan, apabila perumahan yang dikembangkan dalam skala besar pengembangan permukiman oleh pengembang ini lebih diutamakan dengan perbandingan 1 : 3 : 6 yaitu 1 rumah besar, 3 rumah sedang dan 6 rumah kecil ukuran kapling sebagaimana diksud pada huruf b butir 5 yaitu : rumah besar minimal 500 m2, rumah sedang minimal 300 m2, rumah kecil minimal 150 m2 dan rumah sangat sederhana dibawah 150 m2 sarana dan prasarana yang ada di dalam kawasan perumahan sebagaimana dimaksud pada huruf b butir 1, butir 2 dan butir 3 dalam batas waktu tertentu pengelolaannya harus diserahkan dan menjadi aset pemerintah Daerah

b.

3) 4) 5) 6)

7)

c. pengembangan tidak boleh meniadakan saluran irigasi, maupun saluran saluran drainase atau sungai sungai kecil yang ada d.Pengembangan tidak boleh meniadakan lahan konservasi yang telah terbentuk. 4 pengembangan permukiman yang dimaksud dalam ayat (1) Butir a baik yang ada di perkampungan maupun tidak serta butir c pengembangannya maupun ukuran kaplingnya disesuaikan dengan kebutuhan permukiman sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) terutama huruf b, pengembangannya di Kota Malang lebih diutamakan di daerah pinggiran Kota Malang sebelah Barat, Utara, dan Timur untuk merangsang perkembangan Kota Malang secara

5

menyeluruh. (RTRW Kota Malang, 2001; pasal 18)

Untuk melaksanakan ketentuan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman tersebut, maka pembangunan perumahan dan permukiman Kota Malang harus dilakukan pada lahan kosong yang mempunyai aksesibilitas yang tinggi dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan perumahan. Adapun arahan lokasi pengembangan perumahan dan permukiman untuk ke depan adalah sebagai berikut; Pada bagian Utara Kota Malang lokasi pengembangan kawasan perumahan dan permukiman diarahkan di sekitar Kelurahan Balearjosari, Taksimadu, Tunjungsekar, Tunggulwulung, Mojolangu, Arjosari, Purwantorodan Sebagian Pandanwangi Pada bagian Barat Kota Malang lokasi pengembangan kawasan perumahan dan permukiman diarahkan di sekitar Kelurahan Merjosari, Karangbesuki, Pisangcandi, Bandungrejosari, Bangkalankrajan dan Mulyorejo Pada bagian Selatan Kota Malang lokasi pengembangan kawasan perumahan dan permukiman diarahkan di sekitar Kelurahan Gadang, Bumiayu, Tlogowaru dan Wonokoyo Pada bagian Timur Kota Malang lokasi pengembangan kawasan perumahan dan permukiman diarahkan di sekitar Kelurahan Sawojajar, Madyopuro, Cemorokandang, Lesanpuro, Kedungkandang dan Buring.

-

-

-

Peran Dan Kedudukan Rencana Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D) Kota Malang

Masalah perumahan dan permukiman di perkotaan dan di perdesaan merupakan masalah yang sangat kompleks. Hal tersebut berkaitan dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (dana, lahan permukiman, dan lain lain) namun di salah satu sisi, tingkat permintaan / kebutuhan akan rumah dan permukiman selalu mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan ketidakberimbangan antara supply dan demand. Oleh karena itu dibutuhkan satu skenario yang lengkap dan utuh untuk melaksanakan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman dapat berjalan dengan optimal, tertib dan terorganisir dengan baik. Untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang inilah perlu disusun suatu Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) di Kota Malang. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) juga merupakan implementasi pengisian Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2001 2011 khususnya dalam masalah

perumahan dan permukiman. Dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2001 2011 telah direncanakan alokasi lahan lahan yang dapat dikembangkan sebagai areal perumahan dan permukiman. Nampaknya alokasi yang termuat dalam Rencana Tata Guna Tanah belum mampu menjabarkan secara teknis, bagaimana mewujudkannya. Seperti diketahui bahwa kondisi permasalahan dan potensi perumahan dan permukiman di wilayah Kota Malang sangat beragam. Keberagaman permasalahan tersebut membutuhkan berbagai cara penanganan yang spesifik , disesuaikan dengan karakter kawasan. Jadi diperlukan satu tahap lagi untuk mengimplementasikan rencana rencana tata ruang tersebut. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) yang pada esensinya merupakan penjabaran dari rencana tata ruang yang ada menjadi satu skenario yang utuh yang diharapkan dapat memberi gambaran tentang bagaimana teknis mewujudkan rencana tata ruang khususnya dalam perumahan dan permukiman. Dengan adanya Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) dibandingkan dengan realitas di lapangan, skenarionya mewujudkan program pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Malang menjadi lebih jelas, sehingga hasil hasil yang dibuat dalam rencana tata ruang menjadi aplikatif dan implementatif. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) bersifat sangat teknis, implementatif dan strategis, khususnya dalam perencanaan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman. Teori Hans Kelsen akan digunakan penulis untuk menjawab permasalahan mengenai peran Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) di Kota Malang dimana Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) harus sesuai dengan norma dasar atau grundnorm yang dimiliki Indonesia dan memenuhi jenjang hirarki peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan. Ini berarti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm) (Hans Kelsen dalam Maria Indradi Soeprapto, 1998 : 25). Masih menurut Hans Kelsen dalam bukunya the Pure Theory of Law yang terilhami muridnya bernama Adolf Merkl bahwa suatu norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku yang relatif karena norma hukum itu berlaku pada norma yang diatasnya. Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen melalui Theorie vom Stufenbau der Rechtsornung mengemukakan pandangan yang berbeda dengan pendahulunya bahwa jenjang tata norma itu dibagi ke dalam beberapa jenjang, yaitu mulai dari Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara, sebagai jenjang norma tertinggi), Staatsgrundgesetz (Undang-undang Dasar Negara), Formellgesetz (Undang-undang dalam arti formal), sampai Verordnung und Autonomesatzung (Peraturan Pelaksanaan serta Peraturan Otonom, sebagai jenjang norma yang terendah) . Abdul Hamid Attamimi membandingkan antara kedua pendapat diatas dengan ilustrasinya, bahwa dalam hal ini Nawiasky mengkritik Kelsen, bahwa norma tertinggi dalam negara sebaiknya tidak disebut staasgrundnorm, melainkan staatsfundamentalnorm.

Pertimbangannya adalah karena Grundnorm dari suatu tatanan norma pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi suatu negara masih dimungkinkan untuk dilakukan suatu perubahan. Teori Hans Nawiasky inilah yang dijadikan dasar bagi hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini . (Hans Kelsen dalam Jazim Hamidi, 2006 : 55). Menurut analisa penulis telah ditegaskan bahwa Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) merupakan penjabaran dan pengisian tata ruang, khususnya zona perumahan dan permukiman. Dengan demikian maka kedudukan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) berada di bawah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dibandingkan dengan produk produk rencana tata ruang lainnya, seperti Rencana Detail Tata Ruang kota (RDTRK) atau Rencana Tata Ruang Kota (RTRK), maka kedudukan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) ini dapat disetarakan dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) atau Rencana Tata Ruang Kota (RTRK), karena sifat substansinya yang teknis. Namun dalam hal ini Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) hanya membicarakan perihal perumahan dan permukiman beserta dengan sarana dan prasarana yang terkait. Berdasarkan pasal 7 Undang-undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa jenjang hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia adalah : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah Berdasarkan tata urutan perundang-undangan diatas dapat dikatakan bahwa Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) tidak terdapat dalam hierarki tersebut tetapi menurut Peter Mahmud bukan hanya peraturan perundang-undangan yang dihasilkan yang dijadikan dasar sebagai ketentuan yang berlaku dalam suatu hierarki peraturan perundang-undangan tetapi didasari oleh lembaga yang membuatnya (Peter Mahmud Marzuki, 2005). Sehingga menurut penulis Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Malang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Daerah yang terletak di bawah Peraturan Presiden, maka Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) sebagai salah satu kebijakan yang dirumuskan oleh Pemerintah Daerah harus tetap mengacu kepada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2001 2011, dimana Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) secara spesifik mengatur mengenai tata cara pembangunan dan pengembangan perumahan dan pemukiman secara teknis. Dalam penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) juga harus mempunyai tujuan agar pelaksanaan kegiatan

pembangunan perumahan dan permukiman dapat berjalan dengan optimal, tertib dan terorganisir dengan baik. Tujuan dari penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) Kota Malang adalah : menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman yang mengacu pada suatu kerangka penataan ruang wilayah, sehingga dapat berlangsung secara tertib, terorganisir dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) sudah dapat dibaca sebagaimana skenario pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman untuk setiap wilayah / kawasan / blok perencanaan hingga ke tingkat mikro, seperti yang dapat dilihat dalam bagan dibawah ini : Disamping harus mempunyai tujuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) Kota Malang, juga harus mempunyai sasaran yang hendak dicapai antara lain : 1. 2. 3. Tersedianya rencana pembangunan perumahan dan permukiman yang aspiratif dan akomodatif; Tersedianya skenario pembangunan perumahan dan permukiman dalam jangka waktu 10 tahun; Tersedianya stok perumahan untuk memenuhi kebutuhan hunian yang layak dengan lingkungan sehat dan sinergi dengan perkembangan penduduk di Kota Malang; Terpadunya berbagai rencana pembangunan antar kawasan perumahan dan permukiman, antar sarana dan prasarana; Tersedianya peraturan perundangan yang dibutuhkan untuk memperlancar penyelengaraan pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang; Tersedianya informasi pembangunan perumahan dan permukiman. (RP4D, 2004; I-2)

4. 5. 6.

Lembaga Pelaksana Pembangunan Perumahan dan Permukiman Kota Malang Perumahan telah berkembang sebagai suatu proses bermukim bagi manusia yang pada hakekatnya membutuhkan tempat untuk tinggal serta berinteraksi antara satu dengan yang lainnya sehingga manusia dalam segala aktivitasnya menciptakan ruang di dalam lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya. Salah satu landasan yang digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan peran kelembagaan dalam pembangunan perumahan dan permukiman adalah Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Permukiman. Kebutuhan akan perumahan sering menjadi persoalan yang rumit, apalagi di perkotaan. Ketidakseimbangan antara persediaan tanah yang ada dengan meningkatnya

jumlah penduduk yang memerlukan perumahan menyebabkan timbulnya ancaman terhadap lingkungan di permukiman perkotaan. Menurut Undang Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman pasal 5 disebutkan bahwa Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan / atau menikmati dan / atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Sehingga perumahan dan permukiman serta sarana dan prasarana pendukungnya merupakan kebutuhan mendasar dari suatu masyarakat. Kebutuhan tersebut semakin hari seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan penyebarannya tidak merata terutama dengan pemusatan urbanisasi di kota kota maka masalah pembangunan dan penyediaan perumahan dan permukiman menjadi semakin mendesak untuk diadakan. Perumahan dan Permukiman disamping harus memperhatikan lingkungan fasilitas serta utilitas pendukungnya juga harus memberikan kenyamanan bagi kehidupan manusia yang mendiaminya sehingga fungsi dari perumahan dan permukiman dapat dimaksimalkan. Inilah yang sering dikatakan sebagai social engineering dimana orientasi hukum dimaksudkan untuk menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam tingkah laku anggota masyarakat. Ini berarti bahwa sistem hukum yang ada sebisa mungkin mempertahankan kelangsungan hidup di tengah-tengah tarikan perubahan-perubahan. Tantangan ini bisa dijawab dengan memberikan jawaban, atau hancur, atau mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan tersebut sehingga bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang diarahkan untuk pemenuhan perumahan yang layak huni dan manusiawi untuk berbagai lapisan masyarakat. Disamping itu juga untuk mendukung Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah (GN PSR) yang dideklarasikan oleh Presiden pada peringatan Hari Habitat se - Dunia pada tanggal 9 Desember 2003 di Denpasar Bali, sebagai upaya untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah bagi semua lapisan masyarakat dengan mendorong keterlibatan semua komponen bangsa baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, kalangan dunia usaha, dan masyarakat. Program Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah (GN PSR) untuk masyarakat berpenghasilan rendah meliputi : a. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS) bersubsidi;

b. Pengembangan Rumah Sususn Sederhana (Rusuna); c. Pembangunan Perumahan Swadaya; d. Peningkatan Sarana dan Prasarana Dasar Lingkungan Permukiman; e. Program Penunjang. Agar Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah (GN PSR) dapat terealisasi dengan hasil yang optimal, maka Pemerintah Kota Malang sementara ini memprioritaskan pada lingkup Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit pemilikan Rumah Sederhana (KPRS) bersubsidi dengan memanfaatkan fasilitas Bappertarum Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pengendalian Dan Pengawasan Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Kota Malang

Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman melalui program pemanfaatan ruang, perlu adanya pengendalian agar tetap sesuai dan selaras dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan telah disahkan. Upaya pengendalian pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman terdiri atas kegiatan pengawasan dan penertiban. Kegiatan pengawasan dilakukan dalam bentuk pelaporan, pemantauan, dan evaluasi, sedangkan untuk kegiatan penertiban dilakukan dalam bentuk pengenaan sanksi langsung dan tidak langsung, sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Kembali kepada persoalan Kegiatan pengawasan disini dimaksudkan untuk mengikuti dan mendata perkembangan pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kawasan perumahan dan permukiman yang dilakukan oleh semua pihak, baik pihak swasta, pihak masyarakat, maupun pihak Pemerintah Daerah selaku pelaksana pembangunan perumahan dan permukiman. Sehingga apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kawasan perumahan dan permukiman dari rencana yang telah ditetapkan, dapat segera diketahui dan dilakukan upaya penyelesaiannya. Adanya penyimpangan harus diukur, secara kualitatif dan atau kuantitatif, berdasarkan aspek administratif, manfaat, teknis, dampak lingkungan (fisisk, sosial budaya). Kegiatan pemabngunan dan pengembangan kawasan perumahan dan permukiman yang mempunyai dampak atau diduga mempunyai dampak terhadap lingkungan, maka proses pemanfatan ruang harus disertai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Upaya penyelesaian penyimpangan pembangunan dan pengembangan kawasan perumahan dan permukiman dilakukan melalui jalur administrasi dan hukum, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan kegiatan antara lain : 1.Pemantauan Dalam rangaka penataan ruang perlu dikembangkan sistem pemantauan terhadap perubahan perubahan dan perkembangan yang terjadi dilapangan berkenaan dengan pembangunan dan pengembangan kawasan perumahan dan permukiman. Pemantauan dilakukan oleh instansi yang berwenang dan dilakukan sekurang kurangnya sekali dalam setahun. 2.Pelaporan Hasil kegiatan pemantauan ahrus disusun dalam bentuk laporan maupun pembaharuan (updating) data dan informasi pada rencana pengembangan kawasan perumahan dan permukiman yang telah ditetapkan. Pelaporan dapat dilakukan secara rutin dan periodik maupun dalam waktu waktu tertentu bila dipandang perlu. Pelaporan sekurang kurangnya satu kali dalam satu tahun oleh instansi yang berwenang. 3.Evaluasi

Berdasarkan hasil pemantauan dan pelaporan, maka setiap tahun diadakan evaluasi rutin dan setiap lima tahun diadakan evaluasi periodik. Apabila berdasarkan hasil evaluasi ternyata terdapat penyimpangan yang mendasar terhadap pengembangan kawasan perumahan dan permukiman, maka berdasarkan hasil evaluasi periodik dapat diadakan revisi / penyesuaian rencana dan pengembangan kawasan perumahan dan permukiman sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Kegiatan penertiban berkenaan dengan penyimpangan terhadap pengembangan kawasan perumahan dan permukiman dapat dilakukan secara langsung melalui mekanisme penegakaan hukum, maupun dapat dilakukan secara tidak langsung melalui pemberlakuan sanksi disinsentif. Sanksi disinsentif secara umum mencakup ketentuan sebagai berikut : 1.Terhadap seseorang atau badan hukum yang mendapatkan ijin pembebasan tanah untuk kepentingan tertentu dan telah malaksanakan pembebasan tanah sesuai dengan ketentuan, namun tidak segera dimanfaatkan atau dibangun sesuai dengan ijin yang ada (diterlantarkan) dapat dikenakan restribusi penundaan pemanfatan ruang secara progresif sebelum terkena ketentuan pencabutan hak atas tanah sesuai dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Hak Atas Tanah dan Benda Benda yang ada di Atasnya. 2.Bagi seseorang atau badan usaha yang menelantarkan tanah yang dikuasai dalam jangka waktu tertentu dapat dikenakan restribusi penundaan pemanfatan ruang secara progresif sebelum terkena ketentuan pencabutan hak atas tanah sesuai dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Hak Atas Tanah dan Benda Benda yang ada di Atasnya. 3.Terhadap bangunan (yang dimiliki oleh seseorang atau badan usaha) yang menyimpang dari ketentuan penataan ruang yang telah ditetapkan, seperti misalnya pelanggaran sempadan bangunan, sempadan pagardan lainnya yang untuk penyesuaiannya memerlukan partisipasi langsung dari pemilik bangunan, dapat diberlakukan pengenaan restribusi penundaan tertib sempadan (atau tertib lainnya) secara progresif. (RP4D, 2004; V-4)

Dalam konteks perubahan sosial melalui pembenahan permukiman dan perumahan di Kota Malang diharapkan Hukum ditempatkan melegitimasi perjalanan perubahan sosial yang terjadi sesuai harapan masyarakat akan keadilan dan ketertiban, terutama bagi masyarakat Kota Malang. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) di Kota Malang ditujukan untuk melindungi kepentingan masyarakat dalam hal ini kebutuhan masyarakat Kota Malang terhadap pemukiman dan perumahan melalui jalan Hukum. Dan sebaliknya Perubahan Sistem Hukum juga dipengaruhi oleh perubahan sosial yang terjadi. Sehingga sesungguhnya keduanya berfungsi secara timbal balik dalam menuju perubahan. Hukum harus mampu mengelaborasi mandat institusiinstitusi hukum dalam pencapaian hasil-hasil akhir yang substantif dan hal-hal faktual yang dibutuhkan dalam pelaksanaan efektif tanggung jawab institusional yang berorientasi pada hasil melalui pengefektifan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) di Kota Malang.

*) Suryaningsih, S.H., M.H. adalah dosen DPK Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang

Daftar Rujukan Ali, Acmad. 2002. Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian filosofisdan sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta Budihardjo, Eko dan Djoko Sujarto. 2005. Kota Berkelanjutan, PT Aluni, Bandung. Conyers, Diana. 1994. Perencanaan Sosial Di Dunia Ketiga, Gajah Mada University Press, Yogjakarta. Erawan, R. Bambang. 2000. Mewujudkan Tata Ruang Nasional Berwawasan Lingkungan Dalam Konteks Otonomi Daerah, (Arena Hukum No 12 tahu 4, November 2000) Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System a Social Science Perpective, Russell Sage Foundation, New York. Hadi, Sudharto P. 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. Handoyo, B. Hestu Cipto. 1995. Aspek Aspek Hukum Administrasi Negara Dalam Penataan Ruang, Universitas Atmajaya Jogjakarta, jogjakarta. Hanitijo, Rony Soemitro. 1990. Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta. Harsono, Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah, Penerbit ITB, Bandung. Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law and State, Russell and Russell, New York. Koeswahyono, Imam. Dan Anshari, Tunggul. 1999. Bunga Rampai Politik dan Hukum Agraria Di Indonesia, IKIP Malang, Malang. Koeswahyono, Imam. 2000. Hukum dan Administrasi Perencanaan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang Komarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan Dan Pemukiman, Yayasan Real Estat Indonesia PT. Rakasindo, Jakarta Mahendra, Oka A.A., H. Hasanudin. 1997. Tanah dan Pembangunan, Tinjauan dari Segi Yuridis Dan Politis, Pustaka Manik Geni, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta Muchsin. 1996. Keefektifan Hukun Tentang Tata Guna Tanah Dalam Pembangunan Pemukiman Perkotaan Di Jawa Timur, Desertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga (S3) -------, 1998, Menggagas pelaksanaan Tata Guna Tanah, Dunia Ilmu, Surabaya -------,. 1998. Pembangunan Pemukiman Perkotaan, Implementasi dan Efektifitasnya, Dunia Ilmu, Surabaya. -------,. 1999. Nilai Nilai Hukum Dan Implementasinya Dalam Pembangunan hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Universitas Sunan Giri Surabaya --------, 2005, Aspek Hukum Perencanaan Wilayah Dan Kota, Materi Kuliah Hukum Tata Ruang. --------. 2005. Seputar Permasalahan Kota, Materi Kuliah Hukum Tata Ruang dan Wilayah -------,. 2006. Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta Parlindungan A.P. 1993. Komentar Atas Undang Undang Penataan Ruang (UU No. 24 Th 1992), Mandar Maju, Bandung. Sastra M., Suparno dan Marlina, Endy. 2005. Perencanaan Dan Pengembangan Perumahan, C.V Andi Offset, Jogjakarta. Soemantri, Koesnadi, Hardja. 2004. Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, P.T Alumni, Bandung. Soeprapto, R. 1968. Undang Undang Pokok Agraria dalam Praktek, UI Press, Jakarta. Sulistyo, Jarot E. 2005. Pembangunan Perumahan Dan Permukiman di Kota Malang, Makalah Seminar UMM, Malang.

Suparlan, Parsudi. 1998. Keanekaragaman Kebudayaan Strategi Pembanguan Dan Transformasi Orang Irian Jaya Ke Dalam Masyarakat Indonesia, Makalah (Mimeo), Jakarta. Suryanto, Bagong. 1996. Pembangunan Kota dan Sengketa Tanah, Prisma, September 1996. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan Presiden R I Nomor 7 Tahun 2005, 2005, Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 2009, Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2001 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2001 - 2011 Rencana Pembangunan Perumahan Pemukiman di Daera (RP4D) Kota Malang, 2001 2010, BAPPEDA, Malang. Laporan Fakta Dan analisa Rencana Pembangunan dan Pengambangan Perumahan Dan Permukiman Di Daerah (RP4D) Kota Malang, 2004