54
225 BAB VII PROGRAM, DAN MOTIF MISI GKPB PERIODE 2012-2016 PADA BIDANG PERSEKUTUAN, PELAYANAN DAN KESAKSIAN DALAM PERSPEKTIF PANCASILA Satu periode pelayanan GKPB berdurasi empat tahun. Dalam pelayanan pada periode 2012-2016, GKPB terdiri dari 67 jemaat dan 18 Balai Pembinaan Iman (BPI) 14 ribu jiwa. 1 Seluruh jemaat GKPB itu yang terdiri dari suku Bali, Jawa, Ambon, Timor, Toraja, Menado, Batak, Dayak, Sumba, Sunda, Papua, Tionghoa, Warga Negara Indonesia Keturunan Asing, dan Warga Negara Asing tersebar di delapan kabupaten dan satu kota madya yang ada di provinsi Bali. 2 Daftar jemaat-jemaat dan BPI GKPB beserta dengan lokasinya di provinsi Bali tertera dalam lampiran 3 dari disertasi ini. Pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 ada dalam alur sebagaimana diperlihatkan oleh struktur GKPB periode 2012-2016 seperti tertera dalam lampiran 4 dari disertasi ini. Kemudian dengan maksud agar pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 dapat berjalan mumpuni, GKPB. sebenarnya telah menetapkan arah dari pelayanan itu. Program-program pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 diarahkan: Pertama, oleh visi dan misi GKPB dalam kurun waktu 2008-2028. Kedua, oleh tema GKPB 2012-2016. Visi GKPB untuk kurun waktu 20 tahun, terhitung dari tahun 2008-2028 ialah: “Bumi Bersukacita Dalam Damai Sejahtera”. Visi ini ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinodenya ke 41 Juni 2008. Melalui visi ini GKPB berupaya menselaraskan cita-cita luhurnya dengan kehendak Sang Transenden agar bumi ini secara keseluruhan ada pada keadaan bersukacita dalam damai sejahtera. Mengenai misi GKPB juga untuk kurun waktu 20 tahun yaitu dari tahun 2008-2028 ialah: “Membangun Peradaban Yang Dijiwai Oleh Kasih Terhadap Tuhan, Sesama dan Lingkungan”. Misi ini 1 GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode 2012-2016 Kepada Sinode ke 45 GKPB Tentang Perbendaharaan GKPB(Mangupura : Percetakan MBM,2016),67-69. Laporan Bishop I Nengah Suama, dalam ceramahnya pada pertemuan antara Majelis Sinode Harian GKPB dan mahasiswa teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 29 Juli 2017 di Kantor Sinode GKPB. 2 Ada 35 jemaat dan 2 Balai Pembinaan Iman GKPB yang berlokasi di daerah perkotaan dan di daerah yang bersentuhan langsung dengan pariwisata. Sedangkan 34 jemaat dan 14 Balai Peminaan Iman lainnya berlokasi di daerah pedesaan. Strata sosial dan sumber daya manusia jemaat-jemaat GKPB yang terdiri dari berbagai suku yang ada di indonesia dan juga beberapa orang Warga Negara Asing itu, sangat beragam. Ada pengusaha besar dan pengusaha kecil, ada pejabat tinggi dan pejabat rendah, ada pegawai negeri dan pegawai swasta, ada petani dan peternak, ada buruh dan tukang, ada tentara dan polisi, ada dosen dan ada guru, ada juga yang tidak bekerja karena difabel, lanjut usia dan sakit.

BAB VII PROGRAM, DAN MOTIF MISI GKPB PERIODE 2012 …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13363/7/D_762012001_BAB VII... · setiap kebaktiam umum, kebaktian hari raya gerejawi,

Embed Size (px)

Citation preview

225

BAB VII

PROGRAM, DAN MOTIF MISI GKPB PERIODE 2012-2016

PADA BIDANG PERSEKUTUAN, PELAYANAN DAN KESAKSIAN

DALAM PERSPEKTIF PANCASILA

Satu periode pelayanan GKPB berdurasi empat tahun. Dalam pelayanan pada periode

2012-2016, GKPB terdiri dari 67 jemaat dan 18 Balai Pembinaan Iman (BPI) 14 ribu jiwa.1

Seluruh jemaat GKPB itu yang terdiri dari suku Bali, Jawa, Ambon, Timor, Toraja, Menado,

Batak, Dayak, Sumba, Sunda, Papua, Tionghoa, Warga Negara Indonesia Keturunan Asing,

dan Warga Negara Asing tersebar di delapan kabupaten dan satu kota madya yang ada di

provinsi Bali.2 Daftar jemaat-jemaat dan BPI GKPB beserta dengan lokasinya di provinsi

Bali tertera dalam lampiran 3 dari disertasi ini. Pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 ada

dalam alur sebagaimana diperlihatkan oleh struktur GKPB periode 2012-2016 seperti tertera

dalam lampiran 4 dari disertasi ini. Kemudian dengan maksud agar pelayanan GKPB pada

periode 2012-2016 dapat berjalan mumpuni, GKPB. sebenarnya telah menetapkan arah dari

pelayanan itu.

Program-program pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 diarahkan: Pertama, oleh

visi dan misi GKPB dalam kurun waktu 2008-2028. Kedua, oleh tema GKPB 2012-2016.

Visi GKPB untuk kurun waktu 20 tahun, terhitung dari tahun 2008-2028 ialah: “Bumi

Bersukacita Dalam Damai Sejahtera”. Visi ini ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang

ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinodenya ke 41 Juni 2008. Melalui visi ini GKPB

berupaya menselaraskan cita-cita luhurnya dengan kehendak Sang Transenden agar bumi ini

secara keseluruhan ada pada keadaan bersukacita dalam damai sejahtera. Mengenai misi

GKPB juga untuk kurun waktu 20 tahun yaitu dari tahun 2008-2028 ialah: “Membangun

Peradaban Yang Dijiwai Oleh Kasih Terhadap Tuhan, Sesama dan Lingkungan”. Misi ini

1GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode 2012-2016 Kepada Sinode ke 45 GKPB Tentang

Perbendaharaan GKPB(Mangupura : Percetakan MBM,2016),67-69. Laporan Bishop I Nengah Suama, dalam

ceramahnya pada pertemuan antara Majelis Sinode Harian GKPB dan mahasiswa teologi Universitas Kristen

Satya Wacana, 29 Juli 2017 di Kantor Sinode GKPB. 2Ada 35 jemaat dan 2 Balai Pembinaan Iman GKPB yang berlokasi di daerah perkotaan dan di daerah

yang bersentuhan langsung dengan pariwisata. Sedangkan 34 jemaat dan 14 Balai Peminaan Iman lainnya

berlokasi di daerah pedesaan. Strata sosial dan sumber daya manusia jemaat-jemaat GKPB yang terdiri dari

berbagai suku yang ada di indonesia dan juga beberapa orang Warga Negara Asing itu, sangat beragam. Ada

pengusaha besar dan pengusaha kecil, ada pejabat tinggi dan pejabat rendah, ada pegawai negeri dan pegawai

swasta, ada petani dan peternak, ada buruh dan tukang, ada tentara dan polisi, ada dosen dan ada guru, ada juga

yang tidak bekerja karena difabel, lanjut usia dan sakit.

226

ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinode

ke 41 Juni 2008. Melalui misi ini, GKPB bertekad bersama dengan semua sesamanya

manusia, mewujudkan bumi yang damai sejahtera, dengan jalan menciptakan suatu tata

kehidupan yang harmonis dengan Tuhan, sesama dan lingkungan.3

Tentang tema GKPB pada periode 2012-2016 yang juga ditetapkan oleh GKPB

berbarengan dengan ditetapkannya visi dan misi, yang berfungsi untuk memandu perjalanan

misi GKPB sepanjang periode 2012-2016, ialah: “Menjadi Gereja Yang Bertumbuh Bersama

Masyarakat”. Melalui tema ini GKPB mengakui bahwa masyarakat bukanlah orang lain,

melainkan kawan seperjalanan sehingga melalui misinya pada periode 2012-2016, GKPB

berupaya untuk menciptakan interaksi antara GKPB dan masyarakat bukan saling

menegasikan tetapi justru saling menumbuhkan. Dengan berpayungkan tema “Menjadi

Gereja Yang Bertumbuh Bersama Masyarakat”, GKPB berharap warganya semakin merasa

menjadi bagian dari satu masyarakat majemuk dan tidak melihat sesamanya manusia yang

berbeda-beda itu, sebagai orang lain yang harus dikotak-kotakan. Sebaliknya agar mereka

menikmati kepelbagian itu sebagai anugerah Tuhan sehingga mereka dimungkinkan untuk

bertumbuh bersama dalam keperbedaan.4

VII.A.Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016

Dalam mengimplementasikan misi GKPB pada periode 2012-2016, GKPB

menuangkan misinya itu melalui program-program pada bidang Persekutuan, Pelayanan dan

Kesaksian. Tentang motif misi GKPB pada periode 2012-2016, diduga terbenam dalam

pemahaman dan cara berpikir GKPB dalam melaksanakan program-program misi itu di

bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian. Program dan motif misi GKPB periode 2012-

2016 seperti termaksud ialah sebagai berikut:

VII.A.1. Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Persekutuan

Dalam mengeksekusi misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang persekutuan,

majelis sinode GKPB melalui departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB menuangkan

misinya itu ke dalam beberapa mata program. Tidak semua program itu dikemukakan di sini.

3Gereja Kristen Protestan Di Bali,Buku Visi dan Misi GKPB(Mangupura: Percetakan MBM,2006),7-

15. 4Gereja Kristen Protestan Di Bali,Posisi GKPB Dan Isi Pelayanannya (Mangupura:Percetakan

MBM,2010),10.

227

Yang dibahas di sini, hanya beberapa mata program misi yang motifnya diduga bermasalah

ketika disorot dari perspektif nilai kesatuan, nilai kemanusiaan dan nilai kesetaraan Pancasila.

Beberapa dari mata program termaksud ialah sebagai berikut:

VII.A.1.a. Program Dan Motif Pemantapan Spiritualitas Kristen Bagi Warga Jemaat

Dalam menelisik program pemantapan spiritualitas Kristen bagi warga jemaat, penulis

menemukan bahwa majelis sinode GKPB melalui Departemen Persekutuan dan Pembinaan

mengedukasi jemaat-jemaat GKPB untuk memposisikan Alkitab itu sebagai harta rohani

orang Kristen yang menginspirasi kerohanian orang Kristen. Tidak jarang GKPB menuturkan

warganya bahwa semua buku pada umumnya berisi pengetahuan bukan kebenaran. Hanya

Alkitab yang berisi kebenaran. Hal itu terjadi demikian karena Alkitab adalah firman Allah.

Dalam banyak momen GKPB menuntun warganya untuk senang membaca dan menggali isi

Alkitab karena sebagai firman Allah Alkitab adalah pelita dan suluh yang memantapkan

kehidupan rohani. Dengan maksud untuk menanamkan di hati warga jemaat betapa sucinya

Alkitab itu, warga jemaat sering diajak menyanyikan lagu “baca kitab suci doa tiap hari kalau

mau hidup”.

Pengajaran menanamkan di hati warga jemaat tentang betapa mulianya Alkitab,

sehingga patut dihormati, nampaknya cukup berhasil. Hal itu dikatakan demikian sebab

hampir di seluruh jemaat GKPB ada tindakan-tindakan warga jemaat yang memperlihatkan

betapa Alkitab itu diagungkan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini: Pertama, dalam

setiap kebaktiam umum, kebaktian hari raya gerejawi, dan kebaktian khusus seperti kebaktian

hari ulang tahun gereja, selalu ada prosesi lilin dan Alkitab mengawali ibadah. Lilin dipakai

sebagai simbol Tuhan, dan Alkitab ditempatkan sebagai firman Tuhan. Pada saat prosesi ini,

jemaat berdiri dengan sikap khidmat.

Kedua, dalam setiap kebaktian peneguhan nikah dan peneguhan iman, majelis jemaat

selalu memberikan Alkitab kepada pasangan suami-istri dan kepada para warga yang

diteguhkan imannya dengan ucapan “selamat beriman karena itu tetaplah berpegang pada

Alkitab”. Ketiga, tiga belas tahun belakangan ini menjelang pembacaan teks Alkitab bahan

khotbah, jemaat-jemaat dengan semangat menyanyi lagu “Kusiapkan hatiku Tuhan, tuk

dengar firmanMu saat ini....”. Keempat, beberapa kali juga terjadi dalam kebaktian

penghiburan dan penguburan, pada peti jenasah ditaruh oleh keluarga dari orang yang

meninggal, Alkitab bukan Alkitab baru tetapi Alkitab milik dari orang yang meninggal. Hal

228

itu dilakukan demikian didasarkan pada harapan keluarga dari orang yang meninggal, bahwa

dia yang meninggal itu berjalan bersama firman Tuhan sehingga tenang menuju bumi abadi.

Berdasarkan pada tindakan dari jemaat-jemaat GKPB seperti tersebut di atas, penulis

berinterpretasi bahwa bagi jemaat-jemaat GKPB Alkitab itu adalah segala-galanya.

Interpretasi yang penulis buat ini, menjadi tidak salah sebab semua informan ketika diajak

berdiskusi mengenai hubungan antara Alkitab dan konteks, mempunyai cara berpikir dari

Alkitab ke konteks.5 Maksud mereka Alkitab menjadi norma untuk menerangi dan menilai

konteks. Mereka berpendirian demikian karena pengajaran GKPB sendiri tentang Alkitab

sebagaimana tertuang dalam buku “Inti Pemahaman Iman GKPB” dan buku “Katekesasi

GKPB”, menyatakan bahwa sebagai firman Allah Alkitab itu bersifat mutlak,6 sumber iman

orang Kristen satu-satunya.7Tindakan jemaat-jemaat GKPB terhadap Alkitab seperti

demikian ini, sudah merupakan sebuah sikap penyembahanterhadap Alkitab.

Sebuah sikap penyembahan terhadap Alkitab akan cendrung mengutamakan Alkitab

sebagai sumber kebenaran-kebenaran mutlak yang menafikan eksistensi kitab suci atau

kebenaran-kebenaran keberagamaan lainnya. Sikap yang demikian telah dan akan membuat

jemaat-jemaat GKPB menjadi fanatik. Fanatisme yang berlebihan hanya akan menimbulkan

kebutaan rohani. Kemudian rohani yang buta cendrung mendorong orang bersikap

manipulatif yang pada akhirnya hipokrit dengan dalil agama. Sikap yang demikian ini

mengarah kepada pembekuan keberagamaan yang seharusnya dinamis dan responsif terhadap

konteks masyarakat pluralistik.

VII.A.1.b. Program Dan Motif Pemantapan Persekutuan Keluarga Kerajaan Allah

Dalam mengobservasi program pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah,

penulis menemukan bahwa dengan berpayung pada Roma 8:29, 1 Korintus 1:9, 8:6, GKPB

dalam pemahaman imannya merumuskan kerajaan Allah yang telah datang dan yang akan

datang itu, sebagai persekutuan orang-orang yang percaya dan menerima karya penyelamatan

5Hasil wawancara dengan Pdt. Pieter Alexander Lestuny, seorang pendeta GKPB yang menjadi

pendeta di jemaat penulis menjadi warga jemaat, dengan Guntur Tateang seorang majelis jemaat GKPB Yudea

Padang Luwih, dengan I Wayan Ruspendi wakil rektor II Universitas Dhyana Pura majelis jemaat GKPB

Legian, dengan I Made Gunawan, seorang guru sekolah minggu di GKPB. wilayah Badung Selatan. 6Gereja Kristen Protestan Di Bali,Inti Pemahaman Iman(Mangupura:Percetakan MBM,tanpa

tahun),39-40. 7Departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB,Buku Pelajaran Katakesasi GKPB

(Mangupura:Percetakan MBM,tanpa tahun),1.

229

Allah dalam Kristus.8 Nampaknya dengan berpayungkan pada dogma ini dan dalam rangka

memantapkan program persekutuan keluarga kerajaan Allah, di jemaat-jemaat GKPB ada

ungkapan “Keluarga Kerajaan Allah”. Ungkapan ini pada umumnya merupakan suatu sapaan

yang muncul dari para pemimpin kebaktian atau pertemuan dan dialamatkan kepada warga

jemaat. Warga jemaat agaknya tidak hanya suka tetapi juga menerima bahkan membenarkan

ungkapan “Keluarga Kerajaan Allah” sebagai suatu sapaan yang tepat buat mereka, karena

bagi warga jemaat, kerajaan Allah itu tidak berbeda dengan gereja itu sendiri yang di

dalamnya mereka ada seperti sebuah keluarga. Bagi mereka, seluruh warga gereja menjadi

satu keluarga yaitu keluarga kerajaan Allah.9

Dalam pengamatan penulis hampir di seluruh jemaat-jemaat GKPB, setiap kali

menaikkan doa persembahan kepada Tuhan dalam kebaktian-kebaktian, wargajemaat selalu

memohon agar uang yang telah dikumpulkan berguna untuk pelebaran Kerajaan Allah, tetapi

tidak pernah bersikap kritis walaupun dalam prakteknya uang persembahan itu lebih banyak

digunakan untuk pekerjaan dan kepentingan gereja. Hal ini terjadi demikian adalah karena

ketika warga jemaat mendoakan agar uang persembahan itu berguna untuk pelebaran

Kerajaan Allah, mereka memang maksudkan agar uang persembahan itu berguna bagi

pelebaran dan kepentingan gereja.Dalam hal ini, bagi warga jemaat, sesuatu yang mereka

bawa bagi gereja mereka lihat sebagai sesuatu yang mereka bawa bagi kerajaan Allah.10

Ketika menjawab pertanyaan penulis apakah kata “kerajaan” dalam kalimat yang

berbunyi “dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan” (Wahyu 1:6) dan dalam

kalimat yang berbunyi ,”dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan” (Wahyu

5:10), hendak menerangkan bahwa kerajaan Allah itu adalah gereja, warga GKPB

mengatakan ya. Menurut mereka kata “kerajaan” dalam kitab Wahyu 1:6 dan Wahyu 5:10

dikaitkan dengan Allah dan dikaitkan dengan orang-orang yang dibeli atau ditebus oleh

Yesus Kristus bagi Allah. Jadi kerajaan Allah itu adalah gereja karena yang dibeli atau

ditebus oleh Yesus Kristus bagi Allah dari segala bangsa adalah gereja itu sendiri11

.

Menjawab pertanyaan apakah ungkapan “Kerajaan Allah” dalam lagu “Sungguh Kerajaan

8Gereja Kristen Protestan Di Bali,Inti Pemahaman . . . , 28,30. Departemen Persekutuan dan

Pembinaan GKPB,Buku Pelajaran . . . , 97. 9Hasil wawancara dengan I Wayan Murdana, majelis jemaat GKPB. Sabda Bayu Singaraja

10Hasil wawancara dengan I Nyoman Tri Amerta majelis jemaat GKPB. Gunung Muria Gitgit,

Sukasada, Buleleng, Bali utara. I Gusti Putu Sukma Wibawa warga GKPB. Jemaat Yudea Padang Luwih,

Badung. 11

Hasil wawancara dengan I Wayan Agus Wiratama, pendeta GKPB. jemaat Filia Amlapura,

Karangasem, Bali timur. I Wayan Suarta, majelis jemaat GKPB Marga Pakerti Padangtawang, Canggu, Kuta

utara, Badung. Very Mou, majelis jemaat GKPB. Jemaat Yudea, Padang Luwih, Kuta utara, Badung.

230

Allah di bumi tak kalah “(Kidung Jemaat Nomer 247) mau menerangkan dan harus dihayati

bahwa kerajaan Allah itu adalah gereja, semua warga GKPB yang ditanyakan menjawab ya.

Mereka berpendapat demikian karena menurut mereka dalam lagu itu disebutkan bahwa

Yesus yang adalah kepala gereja dilantik menjadi kepala kerajaan Allah. Jadi ungkapan

“Kerajaan Allah” dalam lagu “Sungguh Kerajaan Allah di bumi tak kalah” menunjuk kepada

gereja.12

Kepada beberapa warganya yang malas bergereja dan yang kebetulan banyak

mengalami penderitaan, dan dengan maksud supaya mereka menjadi warga yang rajin

bergereja, kebanyakan para pendeta dan majelis jemaatGKPB sering merujukpada Matius

6:33 yang mengatakan : “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan KebenaranNya, maka semuanya

akan ditambahkan kepadamu, sebagai nasihat. Hal itu dilakukan karena mereka

berpandangan bahwa kerajaan Allah dan kebenaranNya harus dicari di gereja dan dengan

jalan bergereja. Gereja itulah kerajaan Allah dan di luar gereja tidak ada kerajaan

Allah.13

Ketika menjawab pertanyaan penulis apakah kerajaan sorga sama dengan sorga,

warga GKPB mengatakan bahwa kerajaan sorga tidak sama dengan sorga. Menurut mereka

kerajaan sorga adalah sebuah lembaga Allah yang ada di dunia. Sedangkan sorga dipahami

sebagai tempat dimana Allah dan orang kudus yang telah meninggal dunia bersemayam.14

Pada waktu ditanyakan apakah kerajaan sorga sama dengan kerajaan- kerajaan dunia,

dijawab bahwa kerajaan sorga tidak sama dengan kerajaan-kerajaan dunia. Kerajaan sorga

dimengerti sebagai lembaga Allah yang dipimpin oleh Allah, yang masih ada di dunia tetapi

berasal dari Allah.Sedangkan kerajaan-kerajaan dunia dimengerti sebagai kerajaan-kerajaan

yang tidak hanya berada di dunia tapi juga berasal dari dunia.15

Dalam menjawab pertanyaan

apakah kerajaan Allah sama dengan semua agama yang ada di dunia, dikatakatan bahwa

kerajaan Allahsesuai dengan kesaksian Alkitab dan dogma gereja, tidak sama dengan semua

agama yang ada di dunia. Kerajaan Allah adalah gereja itu sendiri, yaitu lembaga dimana

Allah di dalam Yesus Kristus menjadi rajanya dan orang-orang yang percaya kepadaNya

12

Hasil wawancara dengan I Nengah Jebolyasa, majelis jemaat GKPB. Katung, Bangli, Bali Timur.

I Ketut Sarjana, warga GKPB. jemaat Filia, Amlapura, Karangasem, Bali timur. I Gusti Putu Sukma Wibawa,

warga GKPB Jemaat Yudea Padang luwih, Kuta utara, Badung. Ni Ketut Lipur, warga GKPB jemaat

Blimbingsari di Salatiga 13

Hasil wawancara dengan Ni Gusti Ayu Negari, warga GKPB.Jemaat Mandira Santi Negara,

Jembrana, Bali barat. I Dewa Nyoman Sudarta, majelis jemaat GKPB Belatungan, Tabanan 14

Hasil wawancara dengan Obed Dartha, warga GKPB. Jemaat Mandira Santi Negara, Jembrana,

Bali barat. 15

Hasil wawancara dengan Hematang Jermias, warga GKPB.Jemaat Mandira Negara, Jembrana,

Bali barat

231

menjadi warganya.Sedangkan semua agama yang ada di dunia, selain agama Kristen (gereja)

dipahami bukan sebagai keluarga kerajaan Allah, sebab agama-agama tersebut tidak dipimpin

oleh Yesus Kristus dan penganut-penganutnya tidak percaya kepadaNya sebagai juru selamat

dunia.16

Pada waktu ditanyakan apakah berbuat sesuatu bagi gereja tidak berbeda dengan

berbuat sesuatu bagi kerajaan Allah, dan apakah memberitakan gereja tidak berbeda dengan

memberitakan kerajaan Allah, warga GKPB menjawab tidak, dengan alasan karena kerajaan

Allah dan gereja itu tidak berbeda. Bagi mereka apa yang kita buat bagi gereja kita buat bagi

kerajaan Allah. Memberitakan kerajaan Allah adalah memberitakan gereja.17

Ketika

ditanyakan apakah para pendeta mengajarkan dan mewariskan kepada mereka bahwa

kerajaan Allah itu sama saja dengan kerajaan dunia, dijawab tidak.Menurut mereka para

pendeta mengajarkan dan mewariskan kepada mereka bahwa kerajaanAllah adalah

pemerintahan Allah, sedangkan kerajaan dunia adalah pemerintahan dunia. Oleh karena itu

keluarga kerajaan Allah adalah orang-orang yang telah ada dalam pemerintahan Allah dalam

Kristus yaitu gereja. Orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus yang adalah juru

selamat dan kepala gereja, belum masuk sebagai keluarga kerajaan Allah dan masih berada di

dalam kerajaan dunia. Demikian juga orang-orang yang meninggalkan imannya kepada

Kristus sebab menikah dengan orang yang tidak seiman, tidak lagi menjadi keluarga kerajaan

Allah.18

Dengan mengamati perkataan, tindak tanduk warga GKPB, penulis menemukan bahwa

dalam rangka memantapkan persekutuan keluarga kerajaan Allah di bawah terang dogma

gereja dimana gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan oleh Kristus,

banyak warga GKPB menasehati anak-anaknya untuk hati-hati dan pilih-pilih kawan dalam

pergaulan agar jangan sampai menikah dengan orang lain atau orang luar yaitu orang yang

berbeda agama. Kalau ada warga jemaat yang meninggalkan imannya karena menikah,

keluarga besar dari warga tersebut sangat sedih dan sebagian besar jemaat menilai pernikahan

itu sebagai suatu kemalangan. Sebaliknya bila ada warga jemaat yang karena melalui

pernikahannya bisa membawa pasangannya menjadi warga gereja, keluarga besar dan seluruh

warga jemaat sangat bersukacita, sebab pernikahan yang demikian itu dinilai sebagai suatu

16

Hasil Wawancara dengan I Wayan Yohanes, majelis jemaat GKPB.Selabih, Tabanan, Bali. 17

Hasil wawancara dengan I Wayan Murtiyasa majelis jemaat GKPB. Blimbingsari, Melaya,

Jembrana. 18

Hasil wawancara dengan I Gusti Ketut Sudiatmika, warga GKPB, Jemaat Gunung Muria, Gitgit,

Sukasada, Buleleng, Bali utara. I Gede Sudigda, warga GKPB. jemaat Blimbingsari, Melaya, Jembrana.

232

keberhasilan, membawa seseorang dari gelap kepada terang. Berdasarkan pada penemuan ini,

penulis menafsirkan bahwa program pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah GKPB

adalah sebuah pemujaan dogma gereja. Dalam memperilah dogma gereja senyatanya GKPB

tertuntun untuk memandang sesamanya manusia yang hanya karena berbeda agama, sebagai

orang lain. Dogmalatry mendiskriminasi manusia bukan menyatukan. Pemujaan terhadap

dogma gereja membentuk persekutuan gerejawi yang eksklusif dan mendominasi bukan

persekutuan gerejawi yang inklusif dan transformatif.

VII.A.1.c. Program Dan Motif Pemantapan Kekudusan Dan Ketertiban Gereja

Dalam menelisik program pemantapan kekudusan dan ketertiban gereja, penulis

menemukan bahwa GKPB menetapkan tata gereja dan peraturan gereja dimana beberapa

pasal darinya merupakan hukum gereja yang berpotensi dijadikan instrumen untuk memenuhi

hasrat pribadi warga gereja untuk mendishumanisasi dan menstigmatisasi warga gereja.19

Majelis sinode dan majelis jemaat menerapkan beberapa pasal tata gereja dan peraturan

gereja dengan sangat keras kepada beberapa pekerja, pejabat dan warga gereja tertentu.

Kepada beberapa pekerja dan pejabat gereja yang secara resmi sampai dibahas ditetapkan

melakukan pelanggaran terhadap tata gereja dan peraturan gereja, dijatuhi masa pendisiplinan

berupa tidak boleh menerima sakramen perjamuan kudus dan dibebastugaskan, dan tidak

diperbolehkan menjadi pejabat gereja dalam waktu tertentu. Kepada beberapa warga gereja

yang tidak menghadiri dan tidak menerima kegiatan-kegiatan gerejawi secara berturut-turut

dalam kurun waktu setahun diposisikan dan didaftar sebagai warga gereja tidak aktif.

Mencermati perkataan, bahasa tubuh, dan sikap majelis sinode, majelis jemaat dan

warga jemaat; baik dari pihak yang menjatuhi pendisiplinan maupun dari pihak mereka yang

dijatuhi pendisiplinan, baik dari mereka yang menyebut sesamanya sebagai warga gereja non

aktif maupun dari mereka yang ditulis namanya dalam buku induk sebagai warga gereja tidak

aktif, penulis berinterpretasi bahwa masa pendisplinan dan penertiban itu sekalipun dalam

tata gereja dan peraturan gereja disebut sebagai masa gereja melakukan pembinaan,20

namun

dalam penerapannya adalah lebih banyak ditungngangi oleh mens rea warga gereja, untuk

menghakimi, meremehkan, melukai bahkan menghancurkan sesamanya yang dikenakan

pendisiplinan.

19

Gereja Kristen Protestan di Bali,Tata Gereja GKPB(Mangupura: Percetakan MBM,2006),7. Lihat

juga Gereja Kristen Protestan di Bali,Peraturan GKPB (Mangupura: Percetakan MBM,2007),12-14. 20

Ibid.,7.

233

Analisa penulis mendapat pembenaran ketika atas pertanyaan penulis bagaimana

pelaksanaan pendisiplinan dijalankan di GKPB, beberapa pekerja dan warga GKPB

mengatakan bahwa penerapan pendisiplinan di GKPB tidak banyak berupa pengembalaan,

tetapi justru lebih banyak bersifat dan berbentuk pendishumanisasian dan penstigmatisasian

sesama manusia yang ditetapkan bersalah sebagai orang yang harus dijauhi dan dilepaskan

dari gereja. Oleh karena begitu rupa dan praktek pendisiplinan, maka tidak sedikit pekerja,

pejabat dan warga gereja yang setelah mendapat perlakukan seperti itu dari gereja dalam

menjalani masa pendisiplinan, bukan menjadi warga yang mendekatkan diri ke gereja malah

menjauhkan diri dari gereja.21

VII.A.1.d. Program Dan Motif Penerapan Fungsi Jabatan Gerejawi

GKPB menetapkan lima jabatan gerejawi yang berfungsi untuk mengatur kehidupan

gereja yaitu: bishop, pendeta, penatua, diaken dan penginjil.22

Dalam meneliti program

penerapan fungsi jabatan gerejawi, penulis menemukan bahwa dalam setiap upacara

gerejawi, warga gereja yang berjabatan gerejawi mengenakan pakaian dan atribut yang

khusus serta duduk atau berdiri di tempat yang khusus pula. Warga gereja yang berjabatan

bishop memegang tongkat, mengenakan jubah yang berbeda dengan jubah pendeta dan

berkalung salib emas lagi besar, sementara pendeta berkalung salib dari perak dan dalam

ukuran lebih kecil. Pada waktu ada warga jemaat biasa meninggal dunia, ia dikubur oleh

pendeta setempat. Tetapi ketika ada warga jemaat dari keluarga pendeta yang meninggal, ia

dikubur oleh bishop. Upacara pernikahan warga jemaat biasa dilayankan oleh pendeta

setempat, sedangkan upacara pernikahan pendeta atau vikaris dilayankan oleh bishop. Pada

waktu ada upacara-upacara seperti pemakaman pendeta dan pentahbisan vikaris ke dalam

jabatan pendeta, selalu ada prosesi para pendeta dengan mengenakan pakaian seragam,

berkalungkan salib dan mereka juga duduk berpisah dari warga jemaat lain yang disebutnya

warga jemaat biasa.

Berdasar pada realita tersebut di atas, penulis berinterpretasi bahwa program penerapan

fungsi jabatan gerejawi di GKPB membuat warga gereja: Pertama, memandang spiritualitas

gerejawi itu lebih sebagai upacara yang bersifat ritualistik daripada sebuah perilaku dan

kinerja yang bersifat humanis. Kedua, membentuk warga gereja melihat organisasi gerejawi

21

Hasil wawancara dengan I Wayan Yasa, Hengki Henkrisliono, I Wayan Gari Viryadama. 22

Gereja Kristen Protestan di Bali,Tata Gereja Pasal 78 ayat 2(Mangupura:Percetakan

MBM,2006),12.

234

itu lebih sebagai lembaga keagamaan yang berstruktur hirarkhis daripada sebagai lembaga

keagamaan yang bersifat egaliter. Dalam interpretasi penulis, program penerapan fungsi

jabatan gerejawi di GKPB menuntun warga GKPB untuk melihat keberagamaan itu sebagai

kegiatan yang bersifat formalistik, ornamental dan show off, sehingga lebih mementingkan

uniformity ketimbang unity; dan organisasi gerejawi itu sebagai lembaga keagamaan yang

berstruktur hirarkis dari pada sebagai lembaga keagamaan yang berstruktur non hirarkis,

sehingga sangat mendiskriminasi warga gereja dan bukan mensederajatkannya.

Interpretasi penulis menampak tervalidasi ketika terhadap pertanyaan penulis, untuk

siapa kira-kira para warga gereja yang berjabatan gerejawi dengan segala seragam dan atribut

jabatannya melayankan dan terlibat dalam upacara-upacara gerejawi, beberapa warga gereja

mengatakan bahwa itu semua dilakukan bukan sebagai sebuah tindakan kemanusiaan, tetapi

sebagai sebuah tindakan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Sebagai contoh, demikian

kata para informan, pada waktu koleganya masih hidup, tidak jarang ia mendapat perlakuan

yang melukai batinnya justru dari para koleganya. Pada waktu kawan sekerjanya jatuh sakit

sampai masuk rumah sakit berulangkali, mereka tidak mengunjungi apalagi memberi

bantuan. Tetapi ketika koleganya telah menjadi jenasah, mereka datang dengan pakaian

seragam dan bermuka duram durja, seolah-olah mereka sangat sayang kepada koleganya,

padahal motif mereka berbuat demikian, sebatas hanya untuk menunjukkan kepada publik

bahwa mereka kaum rohaniwan-rohaniwati yang mempunyai solidaritas.23

VII.A.1.e. Program Dan Motif Pemantapan Persekutuan Dengan Gereja-Gereja Di Bali

Dalam meneliti program pemantapan persekutuan warga GKPB dengan gereja-

gereja yang ada di Bali, penulis menemukan bahwa majelis sinode GKPB melalui

departemen persekutuan dan pembinaan GKPB senantiasa mempelopori dan mengajak

jemaat-jemaat GKPB untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan yang

diselenggarakan oleh lembaga persekutuan gereja-gereja Protestan yang ada di daerah

provinsi Bali, yang bernama Musyawarah Pelayanan Antar Gereja (MPAG),24

yaitu sebuah

lembaga yang nampaknya memang dikehendaki oleh kementrian agama,25

baik di tingkat

23

Hasil wawancara dengan Dwi Adnyana, Anik Yuesti, I Nyoman Rubin, I Nyoman Sukarya, I Made

Sukariata, Ni Komang Ester, Ni Gusti Ratna. 24

MPAG,Pedoman Dasar Musyawarah Pelayanan Antar Gereja Propinsi Bali (Denpasar:tanpa

penerbit,2010),1. 25

Sebagai bukti MPAG lembaga yang dikehendaki oleh pemerintah, ia melalui kementrian agama

kantor wilayah provinsi Bali mendaftarkan MPAG sebagai lembaga resmi keagamaan umat Kristen Protestan

235

provinsi maupun tingkat kabupaten dan kodya. Sebagaimana terbaca dalam buku “Pedoman

Dasar MPAG Provinsi Bali”, penulis juga menduga bahwa seluruh gereja-gereja anggota

MPAG menyadari bahwa: Pertama, mereka adalah orang-orang yang dipanggil oleh satu juru

selamat yaitu Yesus Kristus, sehingga mereka bertekad untuk merealisasikan tri panggilan

gereja bersekutu, melayani dan bersaksi secara bersama-sama. Kedua, mereka menyadari

bahwa ia bukan saja warga-warga kerajaan Allah tetapi juga adalah warga Indonesia yang

berazaskan Pancasila, sehingga mereka juga bertekad untuk mewujudkan tri kerukunan umat

beragama.26

Dalam mengamati perjalanan pimpinan GKPB dan jemaat-jemaat GKPB dalam

mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh MPAG seperti rapat pengurus

MPAG untuk mencari solusi bersama atas masalah-masalah gerejawi yang mereka hadapi,

kebaktian Natal bersama dan kebaktian kebangunan rohani, dan berdasarkan informasi dari

beberapa informan,27

penulis mendapat kesan bahwa konten dari partisipasi GKPB dalam

kegiatan-kegiatan MPAG yang dimaksudkan sebagai pemantapan persekutuan GKPB dengan

gereja-gereja Protestan, baru sebatas upaya untuk saling mengenal akan keberadaan masing-

masing gereja. Kegiatan-kegiatan dengan konten seperti itu, dalam perkiraan penulis banyak

menguras tenaga dan waktu gereja-gereja anggota MPAG, untuk mendisain acara-acara dan

liturgi yang merepresentasikan dan mengakomodir tradisi masing-masing gereja. Penulis

berkira demikian, karena dalam pengamatan penulis, masing-masing gereja anggota MPAG

dalam setiap kegiatan MPAG, memiliki kepentingan yang bersifat denominasi sentris, berupa

keperluan untuk diterima dan diakui keberadaannya.

Mencermati kegiatan persekutuan gerejawi yang GKPB ikuti dalam MPAG seperti

terurai di atas, kualifikasi dari program pemantapan persekutuan GKPB dengan gereja-gereja

di Bali dalam interpretasi penulis, justru adalah sebuah partisipasi GKPB yang mendukung

kepentingan gereja-gereja melalui lembaga MPAG untuk mendapat pengakuan dan legitimasi

sebagai gereja dari sesama komunitas Kristiani, masyarakat dan pemerintah. Dalam

keadaannya yang demikian, GKPB belum mempunyai upaya, daya dan jalan konkrit untuk

mengajak gereja-gereja dalam wadah MPAG Bali mengembangkan makna persekutuan

gereja-gereja MPAG dalam perspektif Pancasila, yaitu persekutuan gereja-gereja MPAG

dan kadang-kadang melalui Pembimas Kristen Protestan memfasilitasi kegiatan-kegiatan MPAG. Pada tahun

2016 ada 55 gereja (denominasi)Protestan di Bali yang menjadi anggota MPAG Bali. 26

MPAG,Pedoman Dasar . . . , pengantar. 27

I Ketut Suyaga Ayub, I Nengah Ripa, I Nyoman Sukaya, I Made Putra Wibawa, I Wayan

Damyana, Pieter Lestuny.

236

yang mencintai dan merawat keindonesiaan, padahal lembaga ini menyatakan bahwa ia

berazaskan Pancasila. Interpretasi penulis dibenarkan oleh pendeta GKPB Januar Togatorop

Simatupang yang menjadi Pembimas KristenProtestan pada Kantor Kementrian Agama

Wilayah Provinsi Bali. Dengan merujuk buku Pedoman Dasar MPAG Bali,28

dia mengatakan

setiap gereja anggota MPAG Bali tidak terkecuali GKPB memang hanya dipanggil untuk

mengakui, menerima dan menghormati perbedaan doktrin dan keberadaan masing-masing

gereja. Lebih jauh dia mengatakan, pengurus MPAG pun tidak diperbolehkan sehingga tidak

dibenarkan mencampuri urusan rumah tangga masing-masing gereja.29

VII.A.1.f. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Masyarakat

Dalam menelisik program pemantapan relasi gereja dengan masyarakat, penulis

menemukan bahwa majelis sinode melalui departemen persekutuan dan pembinaan GKPB

dan para pendeta GKPB selalu mengedukasi dan mengajak jemaat-jemaat untuk membangun

relasi yang baik dengan masyarakat melalui etika gerejayang baik. Dengan maksud untuk

menciptakan relasi yang baik dengan masyarakat, tidak sedikit jemaat-jemaat GKPB

melakukan kunjungan rumah dan membawa dana aksi sosial (uang diakonia) kepada warga

masyarakat yang tengah menderita sebagaimana mereka perbuat kepada warga jemaat. Masih

terkait dengan upaya menciptakan relasi yang baik dengan masyarakat, hampir semua jemaat-

jemaat GKPB melakukan kunjungan pelayatan dan membawa “uang tali kasih” atau

“bingkisan belasungkawa” kepada anggota masyarakat yang berduka atas kematian sanak

saudaranya, seperti yang mereka lakukan kepada anggota jemaat.

Dalam mencermati apa yang dikatakan, gerak-gerik dan mimik, serta tindakan yang

dilakukan oleh jemaat-jemaat GKPB ketika melakukan kedua jenis kegiatan yang

dimaksudkan untuk pemantapan hubungan baik jemaat dengan masyarakat seperti tersebut di

atas, penulis berasumsi bahwa dalam membangun relasi harmonis gereja dengan masyarakat,

ternyata hubungan jemaat dengan masyarakat substansinya sangat berbeda dengan relasi

jemaat dengan sesama warga jemaat. Bertolak dari data yang faktual ini, penulis menafsirkan

bahwa walaupun dalam program pemantapan hubungan jemaat dengan masyarakat,etika

28

Januar Togatorop Simatupang merujuk Pedoman Dasar MPAG Bali BAB III Saling Mengakui Dan

Saling Menghormati, pada pasal 7 yang berbunyi “Anggota MPAG saling mengakui dan saling menghormati

doktrin setiap anggotanya”, pada pasal 9 yang berbunyi “Anggota MPAG saling mengakui dan saling menerima

keberadaan dan perbedaan masing-masing anggota. Dan pada pasal 11 yang mengatakan: “MPAG tidak

mencampuri urusan rumah tangga masing-masing anggotanya”. 29

Hasil wawancara dengan Januar Togatorop Simatupang pada hari Senin 12 Desember 2016.

237

jemaat-jemaat GKPB ternyata diskriminatif. Mereka melihat dan memperlakukan antara

warga gereja dengan warga masyarakat sebagai saudara-saudara yang berbeda.

Interpretasi penulis seperti termaksud di atas, tidak keliru setelah mendengar jawaban

beberapa orang atas pertanyaan yang penulis kemukakan. Ketika penulis menanyakan apakah

kunjungan dan pemberian uang diakonia yang jemaat-jemaat GKPB lakukan terhadap

anggota masyarakat, substansinya sama dengan kunjungan dan pemberian diakonia yang

jemaat-jemaat lakukan kepada anggota gereja, semua informan sejumlah 8 orang dari

masing-masing majelis wilayah menjawab hal itu tidak sama. Menurut mereka, kunjungan

dan pemberian uang diakonia ke warga jemaat dilakukan sebagai tanda persaudaraan di

dalam Tuhan. Sedangkan kunjungan dan pemberian uang diakonia kepada anggota

masyarakat dilakukan untuk memperkenalkan kasih Yesus kepada masyarakat.30

Selanjutnya dalam menjawab pertanyaan apakah pelayatan dan pemberian “uang tali

kasih” yang jemaat-jemaat GKPB lakukan terhadap sesama warga jemaat itu, sama

substansinya dengan yang diperbuat jemaat untuk warga masyarakat, semua informan

sejumlah 8 orang perempuan dari masing-masing wilayah pelayanan GKPB menjawab bahwa

hal itu berbeda. Menurut mereka pelayatan ke warga jemaat adalah pelayatan dimana warga

jemaat berperan sebagai tuan rumah yakni menyambut dan melayani para pelayat,

mengusahakan dan menyediakan segala yang diperlu sebagai tanda jemaat satu saudara

dengan keluarga yang berduka. Sedangkan dalam pelayatan dan pemberian “uang tali kasih”

kepada warga masyarakat dikatakan oleh mereka bahwa dalam pelayatan itu jemaat hanya

berperan sebagai hadirin saja, dan “bingkisan belasungkawa” yang diberikannya itu sebagai

tanda empati semata.31

30

Hasil Wawancara dengan I Gusti Ngurah Suryawan(Wilayah Buleleng),I Made Suarna (Wilayah

Jembrana), I Wayan Ardana (Wilayah Tabanan), I Made Widiadana (Wilayah Badung utara), I Nyoman Subaga

(Wilayah Badung Selatan), I Nyoman Jefri Sutarsa (Wilayah Kota Denpasar), I Wayan Sutarja (Wilayah Bali

timur laut), I Nyoman Wira Saputra(Wilayah Bali timur ). 31

Hasil wawancara dengan: Ni Luh Mastri (Wilayah Badung selatan),Rai Suryawati (Wilayah

Badung utara), Sri Rejeki (Wilayah kota Denpasar), Ni Luh Susanti (Wilayah Tabanan ),Ni Luh Mudrasih

(Wilayah Buleleng), Ni Wayan Sumarni (Wilayah Jembrana), Endang Pasaribu (Wilayah Bali timur laut),

Yanik Yasmini ( Wilayah Bali timur ).

238

VII.A.1.g. Program Dan Motif Penciptaan Upacara-Upacara Gerejawi Yang Kreatif

Membaca Buku Arah Pelayanan GKPB periode 2012-2016,32

penulis menemukan

bahwa program penciptaan upacara-upacara gerejawi kreatif dicanangkan oleh GKPB

dengan tujuan agar ibadah-ibadah yang diselenggarakan oleh jemaat-jemaat menjadi berkat

bagi masyarakat, menarik, kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi dimana upacara itu

dilayankan.Tujuan yang demikian ini dipandang sangat relevan karena beberapa jenis

upacara gerejawi seperti ibadah peneguhan nikah, ibadah memasuki rumah baru dan ibadah

pemakaman, tidak hanya dihadiri oleh umat kristiani saja, tetapi juga oleh umat beragama

lain dan pada umumnya dalam jumlah yang tidak sedikit.

Menelisik empat kali upacara peneguhan nikah dan mengobservasi dua kali kebaktian

pemakaman di jemaat-jemaat GKPB dalam kurun waktu tujuh bulan terhitung dari 5 Agustus

2016 sampai dengan 24 Pebruari 2017, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama,

warga jemaat duduk berkelompok dengan sesama warga jemaat. Kedua, semua warga jemaat

memegang buku liturgi beserta lagu-lagu yang dinyanyikan dalam ibadah, sedangkan

sebagian besar umat beragama lain tidak diberi liturgi. Ketiga, warga jemaat menyanyi

dengan suara keras karena mereka sudah terbiasa menyanyikan lagu-lagu yang tersedia. Umat

beragama lain diam karena tidak mengenal lagu-lagu yang dinyanyikan jemaat. Keempat,

pendeta berkhotbah dengan sangat semangat tentang “kebahagiaan hidup orang percaya

kepada Kristus”. Kelima, kebanyakan umat beragama lain menampakkan wajah kebingungan

karena merasa asing dan karena sama sekali tidak bisa menikmati isi ibadah. Berdasarkan

pada temuan-temuan seperti tersebut di atas, penulis menafsir bahwa GKPB sekalipun

berpayungkan pada tema bertumbuh bersama masyarakat, dan walaupun berprogram supaya

upacara-upacara gerejawi itu kontekstual, ternyata ibadah GKPB sangat bercorak eksklusif

dan menginjili, sehingga memisahkan dan menggurui, bukan merangkul apalagi

mempersekutukan antara warga jemaat dan warga masyarakat.

Interpretasi penulis sebagaimana tergambar di atas, menampak tidak salah ketika dua

pendeta dan satu orang majelis jemaat atas pertanyaan penulis kenapa gereja dalam

kebaktian-kebaktian yang dihadiri oleh banyak umat beragama lain, tidak membuat liturgi

yang berkarakter humanis saja, mengatakan bahwa justru ketika banyak orang dari umat

beragama lain hadir dalam kebaktian Kristen, gereja harus memakai kesempatan itu untuk

32

Gereja Kristen Protestan Di Bali, Arah Pelayanan GKPB Periode 2012-2016,

(Mangupura:Percetakan MBM,2012), 3-4.

239

mengkumandangkan keunikan dan keunggulan ajaran-ajaran Kristen lewat lagu-lagu, doa dan

khotbah, supaya mereka boleh mendengar dan menjadi percaya.33

Jemaat-jemaat GKPB dan

masyarakat Bali sebenarnya memiliki banyak lagu dan ceritera daerah yang sarat dengan

nilai-nilai kemanusiaan. Bila saja jemaat-jemaat GKPB mengkomposisi semua itu dalam

ibadah-ibadah mereka yang dihadiri oleh umat beragama lain, sangat bisa jadi ibadah jemaat

itu akan menjadi ibadah bersama yang sangat mempersekutukan masyarakat.

VII.A.1.h. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama

Lain

Dalam mengobservasi program pemantapan hubungan gereja dengan agama-agama

lain, penulis menemukan bahwa majelis sinode melalui departemen persekutuan dan

pembinaan GKPB mengkondisikan para pendeta yang bekerja di tingkat sinode menjadi

pengurus Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) tingkat provinsi, dan para

pendeta yang menjadi pengurus wilayah menjadi pengurus Komunikasi Antar Umat

Beragama tingkat kabupaten. FKUB Bali adalah wadah yang dibentuk pemerintah Bali

melalui kementerian agama republik Indonesia kantor wilayah provinsi Bali dengan

menempatkan lima orang dari masing-masing agama duduk sebagai pengurusnya. Sebagai

hasil bentukan pemerintah yang mendapat sambutan dari agama-agama, kegiatan FKUB

difasilitasi dan diarahkan tujuannya oleh pemerintah, yakni untuk membantu pemerintah

menciptakan masyarakat beragama yang hidup berdampingan rukun. Sesuai dengan nama

dan peruntukannya, FKUB selalu menjadi jalan bagi pemerintah berkomunikasi dan

membuat masing-masing agama melalui perwakilannya saling berdialog dalam sebuah

forum, untuk membahas peristiwa yang akan terjadi dan masalah yang telah terjadi, guna

untuk menciptakan adanya harmoni di antara umat beragama.

Mengamati model dialog FKUB provinsi dan kabupaten/kodya yang ada di Bali,

berupa diskusi berbagi pemahaman terhadap suatu topik dari sudut pandang masing-masing

agama, dan mencermati beberapa materi dialog yang disampaikan oleh para pendeta GKPB

di tingkat provinsi dan kabupaten/kodya, penulis menafsirkan bahwa dalam dialog-dialog

FKUB, GKPB yang berprogram untuk memantapkan hubungan baik dengan agama-agama

lain, ternyata hanya mengulang atau menegaskan apa yang sesungguhnya telah merupakan

ketetapan atau kebenaran konstitusional yaitu kebhinneka tunggal ikaan agama-agama

33

I Made Sukarta, pendeta GKPB. jemaat Kaba-Kaba, Tabanan. Pieter Lestuny, pendeta GKPB.jemaat

Yudea Padang Luwih, I Wayan Sudarma, majelis jemaat GKPB. Suluh Kasih Tibu Biu, Tabanan.

240

Indonesia, dan seraya dengan dengan itu melakukan pemberitaan yang bersifat apologetik

atas kekristenan. Interpretasi penulis ini menampak benar, ketika empat informan yaitu para

pimpinan dan pendeta GKPB yang kerap menjadi pembicara dalam dialog antar agama,

mengatakan bahwa dalam paper-paper dialognya, mereka selalu hanya berangkat dari Alkitab

sehingga memilih dan mengurai teks-teks Alkitab yang dipandangnya mendukung hubungan

antar agama dan yang diduganya membentangkan keunggulan kekristenan.34

Di mata penulis, program pemantapan hubungan gereja dengan agama-agama lain,

yang dibangun berdasarkan pada gaya dialog yang melihat keindonesiaan itu atau kebhinneka

tunggal ikaan agama itu, dari sudut pandang agama masing-masing, memperlihatkan bahwa

keindonesiaan itu, atau Pancasila itu, seolah-olah belum final atau belum menjadi sebuah

ideologi atau konstitusi bangsa. Padahal kebhinneka tunggal ikaan agama-agama itu sudah

final dalam ideologi dan konstitusi Indonesia. Artinya ajaran dari semua agama sudah

terakomodasi dalam Pancasila dan UUD’45. Oleh karena begitu keadaannya, maka dalam

rangka memantapkan hubungan dengan agama-agama lain yang otentik dan juga dalam

rangka memajukan kualitas hubungan dengan agama-agama lain, yang mensejahterakan

bangsa, GKPB semestinya mempelopori gerakan untuk menginovasi model gaya dialog

FKUB, bukan lagi membahas tujuan kerukunan dari sudut pandang masing-masing agama

yang pada memiliki titik tengkar, tetapi justru melihat keberadaan masing-masing agama dari

perspektif titik temu yang mendamaikan yaitu konstitusi.

Menurut penulis dialog yang melihat keindonesiaan dari perspektif Alkitab, membuka

ruang bagi gereja untuk tergoda melakukan apologetik, dimana sifat itu pada umumnya tidak

mendukung upaya penciptaan hubungan baik dengan agama-agama. Sedangkan dialog yang

melihat Alkitab atau dogma gereja dari perspektif Pancasila, sangat bisa jadi akan membantu

gereja untuk berbuka diri, berintrospeksi diri dan bertransformasi diri dalam beretika dan

berupacara, dimana perilaku demikian dalam imaginasi penulis, akan sangat kondusif dalam

penciptaan hubungan baik dengan agama-agama lain.

34

Hasil wawancara dengan I Ketut Suyaga Ayub, I Wayan Damayana, I Nengah Ripa, I Nyoman

Yohanes.

241

VII.A.1.i. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Negara Dan

Bangsa

Dalam mengobservasi program pemantapan hubungan gereja dengan negara, penulis

menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, jemaat-jemaat GKPB secara institusional selalu

mengindahkan setiap undangan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Kedua, jemaat-

jemaat GKPB senantiasa mengundang para pemerintah untuk menghadiri upacara-upacara

peringatan hari raya gerejawi yang mereka selenggarakan dan mereka sangat senang sekali,

ketika para pemerintah bisa memenuhi undangan itu. Ketiga, jemaat-jemaat GKPB sangat

bangga sekali ketika dalam setiap upacara-upacara gerejawi, para pemerintah menyampaikan

bahwa agama Kristen adalah salah satu dari agama resmi Indonesia yang dilindungi oleh

negara dan yang diharap peran sertanya bersama dengan agama-agama lain dan pemerintah

dalam menyukseskan pembangunan nasional. Keempat, kehadiran para pemerintah dan

pernyataan mereka tentang keberadaan gereja sebagai bagian integral yang diperlu oleh

negara dan bangsa, oleh jemaat-jemaat GKPB dinilai sebagai penentu atau puncak

keberhasilan sebuah upacara gerejawi.

Dalam mencermati perkaataan jemaat-jemaat GKPB, penulis menemukan bahwa

mereka mengenal semua hari raya nasional seperti: 2 Mei hari pendidikan nasional, 20 Mei

hari kebangkitan nasional, 17 Agustus hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, 28 Oktober

hari sumpah pemuda, 10 Nopember hari pahlawan, dan 20 Nopember hari peringatan puputan

Margarana. Mendengar perkataan jemaat-jemaat GKPB penulis juga menemukan bahwa

tidak sedikit diantara mereka mengetahui lagu-lagu kebangsaan seperti: Indonesia Raya, Satu

Nusa Satu Bangsa, Padamu Negeri, Maju Tak Gentar, Garuda Pancasila, Dari Sabang

sampai Merauke. Namun dalam mengamati tindakan jemaat-jemaat GKPB, penulis

menemukan bahwa di gereja mereka hanya menyelengarakan upacara peringatan hari

proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam sebuah kebaktian minggu pada tanggal yang

bersamaan atau berdekatan dengan 17 Agustus. Peringatan itupun dibuat sangat sederhana.

Mereka hanya menyanyikan lagu Indonesia Raya saja, lalu menaikkan doa syukur atas

kemerdekaan Indonesia. Peringatan yang sangat sederhana itu disisipkan dalam liturgi

minggu. Jemaat-jemaat tidak membuat tata ibadah khusus untuk peringatan kemerdekaan

Indonesia.

Berdasarkan pada temuan-temuan di atas, penulis menafsir bahwa melalui program

pemantapan hubungan gereja dengan negara dan bangsa, ternyata keinginan GKPB lebih

242

banyak untuk mendapat pengakuan dan legitimasi diri dari negara dan bangsa, daripada untuk

menggelorakan semangat kebangsaan warga jemaat dan kecintaan warga jemaat akan tanah

air. Analisa penulis bahwa program GKPB dalam pemantapan hubungan gereja dengan

negara dan bangsa bermotifkan untuk mendapat pengakuan dan legitimasi diri, mendapat

pembenaran ketika beberapa informan atas pertanyaan penulis mengapa pemerintah diundang

dan dimintakan memberi sambutan dalam upacara-upacara gerejawi, mengatakan bahwa

pemerintah diundang supaya pemerintah yang adalah penguasa negara dan pengayom

masyarakat bisa mengenal lalu memperhitungkan keberadaan gereja.35

Interpretasi penulis bahwa pelaksanaan program GKPB dalam pemantapan hubungan

gereja dengan negara dan bangsa, tidak banyak bertujuan untuk membangkitkan semangat

nasionalisme dan kecintaan akan tanah air. juga mendapat pembenaran ketika beberapa

informan atas pertanyaan penulis mengapa peringatan hari proklamasi kemerdekaan

Indonesia sangat sederhana dan mengapa GKPB tidak memperingati hari-hari raya nasional

lainnya, mengatakan bahwa urusan inti gereja yang adalah lembaga keagamaan berbeda

dengan urusan inti negara dan bangsa yang adalah lembaga politik. Mendengar jawaban para

informan seperti tersebut di atas, penulis juga berinterpretasi bahwa GKPB walaupun

mempunyai program pemantapan hubungan gereja dengan negara dan bangsa, ternyata

warganya belum melihat Indonesia itu sebagai karya keselamatan Allah buat seluruh rakyat

Indonesia.

Analisa penulis seperti termaksud di atas, tidak meleset ketika beberapa warga GKPB

atas pertanyaan penulis apakah lembaga gereja itu berbeda sekali dengan negara dan bangsa,

memberi jawab bahwa gereja itu sangat berbeda dengan bangsa. Gereja itu adalah lembaga

keagamaan hasil karya keselamatan Allah di dalamYesus. Sedangkan bangsa adalah lembaga

politik hasil perjuangan para pahlawan bangsa. Lebih jauh mereka mengatakan urusan inti

gereja sebagai lembaga rohani harus lebih banyak memberitakan tentang karya keselamatan

Allah di dalam Yesus. Olehnya, hal-hal yang menyangkut negara dan bangsa tidak perlu

banyak dibahas apalagi diupacarakan di dalam gereja, tegas mereka.36

Penyebab dari realita

ini, sebagaimana ditemukan dalam pemeriksaan penulis atas dokumen-dokumen pengajaran

35

Ni Nyoman Switrini warga GKPB. Jemaat Mandira Santi negara Jembrana Bali barat. Ni Luh Erni

Kesuma wati warga GKPB. Jemaat Bukit Palma Sanggulan Tabanan. Yohanes Ano majelis jemaat GKPB

Mandira Asih, Tegal Badeng, Jembrana, Bali barat. Ni Luh Mudrasih warga GKPB. Jemaat Sabda Bayu

Singaraja, Bali utara. 36

I Ketut Lias Wirawantha warga GKPB. Jemaat Efrata Buduk, Mengwi, Badung. I Gusti Made

Samekto Putra, majelis jemaat GKPB Kristus Kasih Denpasar. I Made Wibawa warga GKPB. jemaat Gabriel

Pegending, Dalung, Kuta utara, Badung, I Gusti Ngurah Ketut Jaya Puta Majelis Jemaat GKPB Piling, Tabanan.

243

GKPB seperti Inti Pemahaman Iman dan Buku Katakesasi, nampaknya karena GKPB sendiri,

memang belum merumuskan secara iman Indonesia itu sebagai karya keselamatan Allah bagi

seluruh rakyat Indonesia.

VII.A.1.j.Program Dan Motif Partisipasi Pembentukkan Gereja Kristen Indonesia

YangEsa

Dalam meneliti program partisipasi GKPB dalam pembentukkan gereja Kristen

protetan Indonesia, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, kata Di dalam

nama Gereja Kristen Protestan Di Bali sekalipun tidak muncul dalam singkatannya (GKPB)

sangat ditekankan oleh para pemimpin dan pekerja GKPB ketika mereka berbicara atau

memperkenalkan GKPB. Kedua, warga GKPB, para pendeta GKPB dan para pekerja GKPB

lainnya tidak hanya terdiri dari suku Bali saja, tetapi dari berbagai suku yang ada di Indonesia

bahkan juga ada beberapa orang yang berasal dari negara-negara di luar Indonesia. Ketiga,

suku Bali yang beragama Kristen Protestan di luar wilayah provinsi Bali seperti di wilayah

Provinsi Sulawesi Tengah, di wilayah provinsi Sumatera Selatan, di wilayah provinsi

Bengkulu, di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara jumlahnya lebih banyak daripada seluruh

warga GKPB, namun GKPB dari dulu dan khususnya pada periode pelayanan 2012-2016,

tidak pernah berikhtiar untuk mendirikan GKPB di luar wilayah provinsi Bali. Keempat, suku

Bali yang beragama KristenProtestan yang menggereja di wilayah mereka tinggal, khususnya

di daerah-daerah transmigrasi cendrung untuk menetap di sana, bekerja optimal membangun

diri dan negeri, sampai ajal menjemput mereka.

Interpretasi penulis atas hasil temuan tersebut di atas ialah GKPB memiliki sikap politis

bahwa warga gereja Kristen Protestan dari manapun ia berasal harus melebur diri dan

menyatu dengan gereja Kristen Protestan di suatu wilayah Indonesia dimana dia tinggal,

untuk memperkuat gereja Kristen Protestan pada tingkat wilayah, dalam rangka menciptakan

gereja Kristen Protestan Indonesia yang bersatu dan kuat di tingkat nasional, seraya dengan

itu pula memperkuatwawasan kebangsaan dari warga gereja. Interpretasi bahwa GKPB

berpandangan “memperkuat gereja KristenProtestan di wilayah akan membantu gereja-gereja

KristenProtestan Indonesia menjadi gereja-gereja bersatu dan kuat di tingkat nasional”,

menampak benar, karena beberapa informan ketika penulis menanyakan pandangan mereka

tentang beberapa gereja anggota Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang

mendirikan gereja di beberapa wilayah Indonesia, mengatakan bahwa itu adalah tindakan

yang hanya mementingkan diri sendiri, namun tidak memperkuat gereja KristenProtestan di

244

wilayah, sehingga olehnya juga cita-cita didirikannya Dewan Gereja Indonesia (DGI) kini

PGI pada tahun 1950 agar gereja-gereja Kristen Protestan di seluruh wilayah Indonesia,

bukan hanya sekedar membentuk hubungan kerjasama gereja-gereja Indonesia seperti yang

terjadi sekarang ini, namun bersatu menjadi gereja-gereja Kristen Protestan di tingkat

nasional, menjadi semakin kabur.37

Analisa penulis bahwa GKPB berpandangan dan berprediksi “dengan menyatu dan

melebur diri dalam memperkuat gereja Kristen Protestan di sebuah wilayah Indonesia, akan

memperluas wawasan kebangsaan warga gereja”, menampak benar pula karena atas

pertanyaan penulis kepada empat suku Bali yang menjadi warga gereja di wilayah

transmigrasi “mengapa tidak pulang saja ke Bali lagi, karena Bali sekarang sudah sangat

maju sekali”, mengatakan bahwa mereka memang tidak lupa Bali, tetapi mereka tidak punya

keinginan untuk pulang ke Bali. Kalaupun mereka ke Bali hanya sebentar saja untuk tujuan

menegok keluarga dan berobat kalau sakit. Sesudah itu mereka ingin cepat-cepat pulang ke

rumah mereka. Daerah dimana mereka kini tinggal, menjadi rumah mereka. Mereka tidak

merasa asing sebaliknya sangat kerasan di sana karena tanah dan air di sana sama dengan

tanah dan air yang ada di Bali yakni bagian dari Tanah Air Indonesia, yaitu sama-sama

memberi mereka penghidupan, tempat mereka berbakti kepada ibu pertiwi, tempat mereka

belajar hidup bersama dengan orang-orang dari berbagai suku, ras dan agama, tempat mereka

beranak pianak, tempat perlindungan mereka di hari tua sampai mereka menutup mata.38

VII.A.2. Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Pelayanan

Dalam mengeksekusi misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang Pelayanan,

majelis sinode GKPB melalui departemen pelayanan dan usaha menuangkan misinya itu ke

dalam beberapa mata program. Tidak semua program itu dikemukakan di sini. Yang

dibicarakan di sini, hanya beberapa mata program yang pelaksanaannya diduga bermasalah

ketika dikaji dari perspektif nilai-nilai: kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan Pancasila.

Beberapa dari program termaksud ialah sebagai berikut:

37

Hasil wawancara denganI Wayan Mastra, I Ketut Suyaga Ayub, Kristantius Dwiatmaja, I Wayan

Damayana, I Nengah Ripa. 38

I Made Cukra dan Ni Ketut Darwati warga GEKESIA di Bengkulu. I Nyoman Yohanes warga

Gereja Kristen Sulawesi Tengah. I Nyoman Andreas warga Gereja Protestan Indonesia Donggala.

245

VII.A.2.a. Program Pemberdayaan Warga GKPB Untuk Berjiwa Wira Usaha

Program pemberdayaan warga GKPB untuk berjiwa wira usaha, sebagaimana telah

disebutkan di atas, dikelola oleh departemen pelayanan GKPB yang selengkapnya bernama

departemen pelayanan dan usaha. Filosofi yang ada dalam penamaan itu, ialah GKPB akan

bisa melayani dengan baik yakni bisa membantu ekonomi dan kesehatan masyarakat, bila

GKPB sendiri terlebih dahulu telah maju dalam hal ekonomi dan kesehatan. Dalam

mempelajari program pemberdayaan warga GKPB untuk berjiwa enterpreneur, yang dikelola

oleh departemen pelayanan dan usaha, penulis menemukan bahwa berangkat dari falsafah

termaksud di atas, para pimpinan GKPB yang mengelola departemen pelayanan dan usaha,

selalu menanamkan di hati warga GKPB; semangat kewirausahaan melalui ceramah-ceramah

yang dibawakan oleh para motivator, dan pengusaha-pengusaha yang berhasil secara

ekonomi. Disamping pemberian motivasi, majelis sinode GKPB melalui departemen

pelayanan dan usahanya, juga memberikan contoh kepada warga gereja dan masyarakat

bagaimana berwirausaha yang berpotensi sukses, melalui pendirian dan pengelolahan usaha

percetakan, usaha peternakan babi, usaha perkebunan, usaha perkayuan, usaha Bank

Perkreditan Rakyat dan usaha penginapan.

Mengobservasi perkataan, gerak tubuh, dan sikap para pekerja GKPB di departemen

pelayanan dan usaha dan warga GKPB binaan mereka, penulis menemukan bahwa

pemberdayaan tentang kewirausahaan yang dilakukan oleh departemen pelayanan dan usaha

GKPB, telah mampu membangkitkan semangat enterpreneurship warga gereja. Sebagian

besar warga GKPB menjadi orang-orang yang memiliki usaha-usaha disamping mereka telah

mempunyai pekerjaan tetap. Bahkan tidak sedikit warga GKPB meninggalkan pekerjaan

tetap mereka ketika dalam berwirausaha dan merebut pasar, hasil usaha mereka

memenangkan pasar, sehingga hasil usaha mereka mendatangkan keuntungan materiil yang

jauh lebih besar. Kebanyakan warga GKPB yang telah berhasil dalam usaha mereka yang

satu, membangun usaha yang lain lagi dan mereka dengan gigih melakukan segala cara untuk

mempertahankan keberhasilan usahanya. Pada umumnya mereka juga sangat bangga dan

merasa telah berjasa membantu masyarakat miskin dengan cukup memberi mereka pekerjaan

di perusahan-perusahan mereka dengan gaji sesuai dengan standar upah minimum regional.

Membaca keadaan warga GKPB yang telah terjun di dunia bisnis seperti tergambar di

atas, dengan mata kepala dan mata hati, penulis beranalisa bahwa roh kapitalisme yakni

semangat berebut untuk memperoleh harta benda sebanyak-banyaknya, telah sangat merasuk

246

kedalam tubuh warga GKPB dan mengendalikan perilaku mereka. Analisa penulis

dibenarkan oleh beberapa pembisnis dan warga GKPB, sebab terhadap pertanyaan penulis

bagaimana caranya menjadi kaya dan untuk apa menjadi kaya, mereka mengatakan bahwa

kalau kita tidak bisa dan tidak kuat dalam bersaing di dunia bisnis, kita tidak akan bisa

menjadi kaya, dan kalau kita tidak kaya harta, kita tidak akan bisa memenuhi kebutuhan

hidup kita yang kian hari kian meningkat dan kita juga tidak akan bisa menolong ekonomi

dan kesehatan, anak-anak, keluarga dan sesama kita yang miskin.39

VII.A.2.b. Program Dan Motif Pemberian Modal Sebagai Sarana Usaha Bagi

Masyarakat Miskin

Mendengar perkataan dan menyimak tindakan para pekerja GKPB pada departemen

pelayanan dalam program pembekalan kewirausahaan dan pemberian pinjaman modal kredit

uang sebagai sarana usaha bagi masyarakat miskin, seraya mencermati sikap para stake

holdersnya dan menyimak beberapa dokumen terkait,40

penulis menemukan data dan fakta

sebagai berikut: Jumlah penduduk miskin di Bali pada bulan Maret tahun 2015 mencapai

4.74 % dari total penduduk Bali. Penduduk Bali miskin yang berjumlah sekitar 197 ribu jiwa

itu, adalah mereka yang potensi dirinya belum tergali, mereka yang motivasi dan ketrampilan

dirinya dalam berusaha sangat rendah, mereka yang memiliki keterbatasan atas akses modal

usaha. Pemerintah belum memiliki skema yang memungkinkan penduduk miskin bisa dengan

mudah mendapatkan akses modal.

Sepanjang periode 2012-216, departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan

pihak pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat baik dari luar maupun dari dalam

negeri, sudah melakukan pengidentifikasian, pembekalan kewirausahaan, pendampingan dan

pemberian kredit yang jumlahnya disesuaikan dengan jenis usaha yang dibuat, berkisar

antara Rp 500.000,- sampai Rp.40.000.000,- dengan bunga sebesar 1 % tanpa jaminan,

kepada 3.525 orang dari keluarga miskin yang tersebar di 20 desa di kabupaten Buleleng,

Jembrana dan Bangli. Para penerima pembekalan tentang kewirausahaan, pendampingan dan

kredit sejumlah 3.525 orang itu, memanfaatkan pemberdayaan departemen pelayanan GKPB

itu, untuk usaha-usaha yang produktif seperti: perkebunan, peternakan, tukang jahit, bengkel,

39

. I Wayan Mastra, I Wayan Kayun Sudirsa, I Ketut John Panca, I Ketut Putra Suartana, I Wayan

Sudirman, I Made Matius, I Made Kornelius 40

.Beberapa dari dokumen termaksud ialah : Buku laporan penelitian departemen pelayanan GKPB

tentang Keadaan Sosial Dan Ekonomi Masyarakat Bali Tahun 2015. Buku Laporan Kerja Majelis Sinode

Periode 2012-2016 Kepada Sinode Ke 45.

247

perdagangan, transportasi, depot makanan, dan pendirian salon kecantikan. Para pekerja

GKPB di departemen pelayanan sangat bahagia ketika menyaksikan bahwa pada akhir

Desember 2016, masing-masing pengembang usaha mikro kecil dampingannya dapat

menaikkan taraf kehidupan mereka sehingga menunjukkan kegairahan hidup karena telah

mencapai pendapatan rata-rata Rp1.824.292 per bulan.

Berbekal pada temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB

melalui kerja sama dengan banyak pihak, dalam bidang pelayanan berupa pemberian

pembekalan tentang kewirausahaan dan pinjaman modal sebagai sarana usaha bagi

masyarakat miskin guna untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka, agar mereka bisa

memenuhi kebutuhan hidup primer mereka berupa pangan, sandang dan papan adalah hanya

sebuah solidaritas terbatas terhadap kaum miskin. Melalui solidaritas yang terbatas itu,

tersirat GKPB memang bisa merasakan betapa tertekannya hidup orang miskin, yaitu orang

yang belum bisa mengatasi tiga kebutuhan pokok mereka seperti tersebut di atas, sehingga

GKPB memberdayakan mereka di bidang ekonomi agar mereka memiliki pendapatan untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Namun sementara berasa dan berbuat demikian, sedikitpun

tidak ada terlintas dalam pikiran sebagian besar warga GKPB sebuah mimpi luhur agar

pemerintah dan pengusaha di negeri ini, mendesain sistem ekonomi dan mencipta beberapa

badan usaha yang tidak berpihak dan berorientasi kepada para pemilik modal, tetapi berpihak

kepada masyarakat umum dan berorientasi pada kemajuan ekonomi masyarakat miskin.

Analisa penulis sebagaimana terurai di atas, mendapat validasi, karena atas pertanyaan

penulis, apakah mungkin kita bisa mengatasi kemiskinan dari sesama kita sementara kita di

negeri ini tidak pernah bercita-cita agar di negeri ini, ada sistem ekonomi dan ada badan

usaha milik negara bahkan badan usaha milik swasta pun, yang tidak berpihak dan tidak

berorientasi pada keuntungan bagi pemilik modal tetapi berpihak kepada masyarakat umum

dan berorientasi pada kemajuan ekonomi kaum miskin, seperti menyelengarakan transportasi

masal yang berbiaya murah terjangkau oleh masyarakat miskin, membangun pasar rakyat

yang menggairahkan lapisan masyarakat miskin untuk berekonomi, membuat desa wisata

yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan banyak bagi penduduk desa dan meyebabkan desa

mendapat pendapatan secara langsung dari kunjungan wisata, membangun koperasi yang

mampu menerima produksi masyarakat dan mendistribusikannya dengan hasil yang

menguntungkan masyarakat miskin, semua informan memberi jawaban bahwa setiap badan

usaha baik milik negara terlebih lagi milik swasta, tidak mungkin tidak mengejar profit

248

sebanyak mungkin. Kemudian sebagai pemilik modal yang memburu kekayaan pribadi, baik

pemerintah maupun pengusaha pasti mencipta sistem ekonomi dan badan usaha yang lebih

banyak berpihak pada kemajuan ekonomi mereka yang tidak kenal batas daripada

keuntungan ekonomi masyarakat miskin. Bila sistem ekonomi dan badan usaha negara dan

swasta tidak berorientasi pada keuntungan, kedua badan usaha itu tidak hanya berpotensi

untuk segera gulung tikar, tetapi juga tidak akan melatih masyarakat untuk bersaing dalam

dunia ekonomi dengan jalan kerja keras dan kerja cerdas, agar semua lapisan masyarakat

menjadi manusia pembangun dan bukan manusia parasit. Manusia benalu yang tidak mau

bekerja keras dan tidak berani bersaing, justru akan mengganggu tatanan ekonomi

masyarakat dan negara.41

VII.A.2.c. Program Dan Motif Pemberdayaan Dan Pelayanan Kesehatan Bagi

Masyarakat Miskin

Mendengar apa yang dikatakan dan mengamati apa yang dilakukan para pekerja GKPB

pada departemen pelayanan dalam program pemberdayaan dan pelayanan kesehatan bagi

masyarakat miskin,42

sembari menyimak sikap para stake holdernya, penulis menemukan hal-

hal sebagai berikut: Dalam mempersiapkan rencana kerjanya, departemen pelayanan GKPB

melalui kerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat,

mengidentifikasi dan menetapkan 24 desa atau kelompok masyarakat yang kepadanya akan

diberi pendampingan dalam pelayanan kesehatan.43

Kemudian mengawali kerjanya,

departemen pelayanan mengutus dua buah tim pelayanan kesehatan keliling ke desa-desa

dampingan itu. Masing-masing tim itu terdiri dari seorang dokter, dan empat orang perawat.

Sekali sebulan kedua tim termaksud di atas, mengadakan perkunjungan sehari penuh,

sehingga dalam setahun ke 24 desa atau kelompok dampingan itu terlayani. Dalam setiap

kunjungannya, tim kesehatan GKPB memberi penjelasan tentang pemeliaraan kesehatan

seperti mengkonsumsi makanan yang sederhana namun sehat dan gaya hidup yang sehat

seperti banyak bergerak dan hidup sederhana tapi bersih, memberi penjelasan tentang jenis-

jenis penyakit yang bisa menimpa masyarakat dan penyebabnya, memberi nasehat tentang

41

I Wayan Mastra, I Ketut Arka, I Nengah Ripa, I Gede Mustika,I Nyoman Sunarta, I Nyoman

Dirgayusa, I Gede Suarna, I Ketut Mertayasa. 42

Masyarakat desa yang penghasilannya belum mampu mengatasi kebutuhan primernya, sehingga

sering tidak punya kemampuan untuk meningkatkan kondisi dan derajat kesehatannya. 43

Beberapa dari desa-desa atau kelompok masyarakat tersebut dapat disebutkan di sini yaitu:

Candikusuma, Manistutu, Perancak,Yehkuning, Sepang, Galungan, Pengejaran,Bayunggede, Pingan, Apuan,

Taman Bali, Bunutin, Abuan, Blimbingsari, dan Panti Asuhan.

249

pentingnya program keluarga berencana, dan memberi pengajaran tentang pencegahan

penularan Human Immune deficiency Virus (HIV) dari ibu ke anak.Terhadap penyakit-

penyakit yang ditemukan dalam kunjungannya, tim pelayanan kesehatan melakukan

pemeriksaan, imunisasai, pelayanan pengobatan secara langsung, dan rujukan ke rumah sakit

bagi orang-orang yang penyakitnya perlu mendapat penanganan rumah sakit.

Selama periode pelayanan 2012-2016, tim kesehatan GKPB telah memberikan edukasi

dan pelayanan kesehatan dasar kepada 34.074 orang. Kepada masyarakat yang telah

mendapat pemberdayaan tentang hidup sehat, telah memiliki kemampuan dasar untuk

meningkatkan derajat kesehatannya. Kepada masyarakat yang mendapat pelayanan

kesehatan, sebagian besar telah mendapat kesembuhan. Sebagai contoh, 88 % dari 133 ibu

hamil yang dilayani sudah bebas anemia saat melahirkan, padahal pada awal pemeriksaan

29,3 % anemia. Pada akhir tahun 2016, 84,4 % dari 2.047 anak yang dilayani sudah bebas

anemia, padahal pada tahun 2014 20 % dari anak-anak tersebut ditemukan anemia. Sejumlah

7 bayi yang dilahirkan oleh para ibu yang terinfeksi HIV tidak terinfeksi HIV. Masyarakat

desa dampingan sangat berbahagia, terlebih lagi departemen pelayanan GKPB ketika kini,

melihat sebagian besar masyarakat dampingan memiliki kemampuan dasar dalam

meningkatkan derajat kesehatan keluarga dan sebagaian besar masyarakat dampingan

memiliki kondisi hidup sehat.

Bertolak dari temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB

dalam bidang pelayanan berupa pemberian edukasi dan pelayanan kesehatan dasar bagi

masyarakat miskin, guna untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah sebuah

misi yang mengagungkan kemanusiaan. Dalam misi itu tersirat GKPB bisa merasakan betapa

menderitanya hidup orang miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk hidup sehat dan

tidak sanggup untuk membiayai kesehatan bila mereka sakit. Dalam misi yang

mengagungkan kemanusiaan, nampaknya GKPB bisa merasakan bahwa orang yang

kesehatannya terganggu dalam waktu yang berkepanjangan, bisa menjadi orang yang

kehilangan akan harkat dan martabat diri sebagai manusia. Dalam misinya berupa

pemberdayaan dan pemberian pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, mudah

terinterpretasi bahwa departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan pihak

pemerintah dan lembaga-lembaga sosial, berempati dengan sesamanya yang tidak memiliki

kemampuan untuk meningkatkatkan derajat kesehatannya, dan yang tidak mempunyai

kesanggupan untuk membiayai pengobatan penyakitnya, lalu membantu mereka

250

meningkatkan derajat kesehatannya dan membebaskan mereka dari penyakitnya, karena

ketidaksehatan itu cendrung mendegradasi kemanusiaan seseorang.

Analisa penulis sebagaimana terurai di atas, mendapat validasi ketika atas pertanyaan

penulis tentang tujuan utama dari pemberdayaan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat

miskin, semua informan mengatakan bahwa departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama

dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, melakukan pemberdayaan dan

pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, dimaksudkan agar sebagaimana sebagian besar

warga GKPB dengan kemampuannya dalam meningkatkan derajat kesehatan, tidak

terdegradasi kemanusiaanya oleh ketidaksehatan, biarlah juga sesamanya manusia yang

miskin, memiliki kemampuan untuk meningkatkan kondisi hidup sehat dan biarlah mereka

juga sembuh dari penyakitnya, sebab hidup dengan penyakit yang tidak bisa tertangulangi

sangat mendegradasi kemanusiaan.44

VII.A.2.d.Program Dan Motif Pendampingan Sosial Bagi Orang Dengan Human

Immune Deficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency Syndrom

(AIDS) Dan Disable

Dalam menelisik program pendampingan sosial departemen pelayanan GKPB bagi

orang dengan HIV/AIDS dan disable, dengan jalan mendengarkan perkataan dan mengamati

tindakan para pekerja GKPB pada departemen pelayanan dalam program pendampingan

sosial bagi orang dengan HIV/AIDS dan disable, sembari mencermati sikap para stake

holdernya dan menyimak dokumen-dokumen terkait,45

penulis menemukan beberapa

fenomena sebagai berikut: Peningkatan kasus HIV dan AIDS per tahun di Bali pada semua

umur sekitar 25 %. Sampai Januari 2017 kasus HIV dan AIDS di Bali telah sebanyak 12.341.

Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) demikian juga orang yang cacat fisik (diable) sering

merasa terstigmatisasi oleh masyarakat sebagai orang yang tidak normal sehingga tidak

jarang juga menjadi kelompok manusia yang merasa terpinggirkan, merasa menjadi manusia

yang tidak dihargai kemanusiaannya.

Dalam merespon masalah kemanusiaan yang tidak ringan seperti termaksud di atas,

departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga

sosial masyarakat merancang sedemikian rupa pos-pos pelayanannya yang ada di Kapal,

44

Ni Luh Debora Murthy, Vera Manurung, Ni Nengah Widiasih, Ni Gusti Ratna, Ni Gusti Ratih. 45

GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode Periode 2012-2016 Kepada Sinode Ke 45, (Mangupura:

Percetakan MBM,2016),78-79.

251

Mengwi Badung, di Abianbase Mengwi Badung dan di Bongan Tabanan lalu

mensosialisasikannya sebagai “rumah sehat” tempat penyelenggaraan pendampingan sosial

bagi para ODHA dan disable. Di rumah-rumah sehat ini, para ODHA dan disable tidak

dilihat sebelah mata, melainkan diterima sebagai sesama manusia yang berpotensial untuk

mengisi lembaran hidupnya di masa-masa mendatang sebagai lembaran penuh guna bagi

banyak orang. Dalam penerimaan yang demikian, para ODHA dan disable disamping diberi

pendidikan dan pelayanan kesehatan, mereka juga diberi pendidikan dan pelatihan

ketrampilan seperti tata rias, tata boga, dan menjahit. Sebagian besar para ODHA dan disable

setelah mendapat pendampingan sosial dari departemen pelayanan GKPB, berangsur-angsur

terhapus traumanya sebagai orang yang tertolak, lalu dengan percaya diri menunjukkan

eksistensinya dihadapan publik sebagai sesama manusia yang sama-sama punya rasa dan

kebutuhan untuk aktualisasi diri, lewat kerja dan usaha yang sepadan dengan kondisinya.

Berangkat dari temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB

dalam bidang pelayanan berupa pemberian pendampingan sosial bagi para ODHA dan

disable, adalah sebuah misi yang memeliara kemanusiaan seseorang. Melalui misi ini

terproyeksi lugas bahwa GKPB bisa merasakan betapa merananya hidup seseorang, bila

hanya karena ia ODHA atau disable ia tertolak atau termarginalisasikan dalam kehidupan

sosial. Orang yang merasa hidupnya dipinggirkan dalam sebuah kelompok sosial, pada

umumnya mudah kehilangan akan harkat dan martabat diri sebagai manusia, mengingat

manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup nyaman tanpa memiliki interaksi sosial yang

kondusif. Analisa penulis yang demikian ini tidak menyimpang, sebab ketika penulis

bertanya mengapa GKPB melaksanakan pendampingan sosial bagi para ODHA dan disable,

semua orang yang penulis wawancarai mengatakan GKPB melaksanakan pendampingan

sosial bagi para ODHA dan disable karena GKPB ingin berbela rasa dengan para ODHA dan

disable, bahwa keberadaan mereka sebagai ODHA dan disable tidak membuat sedikitpun

kemanusiaannya berkurang.46

VII.A.2.e. Program Dan Motif Pengelolahan Sampah Dan Pelestarian Lingkungan

Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pengelolahan

sampah, melalui mendengar perkataan para pekerja dan stake holder dari departemen

46

Ni Luh Debora Murthy, Vera Manurung, I Gusti Alit Purya.

252

pelayanan GKPB pada program tersebut, dan juga dengan menyimak dokumen terkait,47

penulis terinformasi bahwa Bali dengan penduduk 4,1 jiwa menghasilkan 10.030 m3 sampah

tiap harinya.13 % atau 1.304 m3 darinya merupakan sampah plastik yang hanya akan terurai

secara sempurna hingga ribuan tahun. Sampah plastik yang didaur ulang sampai saat ini baru

mencapai sekitar 2% dan sisanya masih mencemari lingkungan disamping juga mengancam

daya tarik Bali sebagai destinasi pariwisata utama Indonesia. Penerapan aturan penggunaan

kantong plastik berbayar seharga Rp 200.- per kantong di toko ritel sangat terbatas dan tidak

efektif untuk mengubah perilaku masyarakat dalam menggunakan kantong plastik.

Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pelestarian lingkungan,

melalui mendengar perkataan para pekerja dan stake holdernya departemen pelayanan GKPB

pada program termaksud, penulis terinformasi bahwa jumlah penebangan pohon lebih banyak

dari penanamannya, sehingga olehnya daya dukung alam Bali baik dalam penyiapan lahan,

air dan udara yang tidak tercemar bagi penduduk, menjadi sangat menurun.

Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pengelolahan

sampah, dengan jalan mencermati tindakan para pekerja departemen pelayanan GKPB

beserta dengan stake holdernya, penulis menemukan bahwa melalui kerjasama dengan pihak

pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, departemen pelayanan GKPB pada

periode pelayanan 2012-2016, membentuk lembaga bank sampah di kecamatan Mengwi dan

Kuta utara dimana pada akhir 2016 anggotanya sudah berjumlah 725 orang. Dalam

pendampingan departemen pelayanan GKPB lembaga bank sampah ini bertugas untuk

mengidentifikasi, memilah dan memposisikan antara sampah anorganik dan sampah organik.

Dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2015, bank sampah departemen pelayanan GKPB telah

mengumpulkan 87.591 kg sampah anorganik dari wilayah Mengwi dan Kuta utara dan telah

menyalurkannya ke pendaur ulang sehingga tidak mencemari lingkungan dari mana sampah

itu di ambil. Sedangkan sampah organik oleh 278 orang dari anggota bank sampah diolah

menjadi kompos baik dengan metode tradisional dalam bentuk galian lubang di tanah

maupun dengan komposter.Sampah organik yang menjadi kompos sangat membantu

komposisi dan pori-pori tanah dan sangat menyuburkan tanaman yang tumbuh di atasnya.

Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pelestarian

alamdengan jalan mengamati tindakan para pekerja departemen pelayanan GKPB beserta

47

GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode Periode 2012-2016 Kepada Sinode ke 45 (Mangupura:

Percetakan MBM,2016),76-77.

253

dengan stake holdernya, penulis menemukan bahwa melalui kerjasama dengan pihak

pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, departemen pelayanan GKPB sepanjang

periode pelayanan 2012-2016 telah mendistribusikan 26.170 bibit pohon yang terdiri atas 16

jenis pohon buah-buahan dan juga 5.599 bibit tanaman terong ke 20 desa dampingan, ke 43

jemaat-jemaat GKPB dan juga ke masyarakat desa di Kapal, Mengwi, Badung. Pemberian

bibit-bibit pohon ini sangat menggairahkan naluri pertanian dari masyarakat dampingan dan

juga naluri pertanian para pekerja departemen pelayanan GKPB, karena dengan menanam

bibit pohon, mereka sama-sama memiliki pengharapan untuk menuai dari pohon itu, sesuatu

yang bermanfaat bagi mereka yang menanam dan bagi banyak umat manusia lainnya.

Berpegang pada informasi dan temuan yang didapat dalam meneliti program

departemen pelayanan GKPB pada pengelolahan sampah dan pelestarian lingkungan seperti

terpapar di atas, penulis menganalisa bahwa program itu adalah sebuah misi untuk

kemanusiaan. Nampaknya penulis tidak salah beranalisa demikian, karena atas pertanyaan

penulis apakah program departemen pelayanan GKPB dalam pengelolahan sampah dan

pelestarian lingkungan memiliki dimensi kemanusiaan, semua informan dari departemen

pelayanan GKPB dan masyarakat dampingannya memberi jawab bahwa program departemen

pelayanan GKPB baik dalam pengelolahan sampah maupun dalam pelestarian lingkungan,

senyatanya adalah sebuah dharma bakti penyelamatan manusia melalui penyelamatan bumi.

Dalam menjawab seperti tersebut di atas, beberapa dari informan itu beragumentasi

bahwa program pengelolahan sampah non organik dengan mendaurnya kembali menciptakan

lingkungan tanah yang tidak tercemar, sehingga tidak mencelakakan kehidupan manusia.

Program pengelolahan sampah organik dengan menjadikannya kompos membuat tanah

menjadi subur, sehingga dari padanya tumbuh pepohonan dan bahan makanan yang

menjamin keberlangsungan hidup manusia. Program pelestarian alam dengan melakukan

penghijauan menciptakan udara yang bersih, memproduksi daun dan buah yang bisa

dikonsumsi untuk kesehatan umat manusia. Lebih jauh para informan itu juga dengan tegas

mengatakan bahwa program pengelolahan sampah dan pelestarian lingkungan departemen

pelayanan GKPB adalah sebuah pengakuan GKPB akan kebenaran filosofi tri hita karana,

bahwa hanya jika manusia menyelamatkan bumi, bumi akan menyelamatkan manusia.48

48

I Nengah Ripa, I Gede Mustika, I Gede Efrayim, I Wayan Budayasa, I Ketut Bagiada, Dewa Ketut

Astana, I Ketut Yokanan, I Ketut Sariana Edi, I Wayan Tunas, I Nengah Duduk.

254

VII.A.3. Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Kesaksian

Dalam mewujudkan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang kesaksian,

majelis sinode GKPB melalui departemen kesaksian dan pengembangan menjabarkannya ke

dalam beberapa program. Tidak semua program itu ditayangkan di di sini. Yang dibahas di

sini hanya beberapa program yang eksekusinya diduga bermasalah ketika dikaji dari sudut

pandang nilai kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan Pancasila. Beberapa dari program

termaksud ialah sebagai berikut:

VII.A.3.a. Program Dan Motif Penginjilan

Mendengar perkataan dan mengamati tindakan para pekerja GKPB pada departemen

kesaksian dan pengembangan dalam program penginjilan, mencermati sikap para stake

holdernya dan menyimak beberapa dokumen GKPB tentang penginjilan,49

penulis

menemukan beberapa hal sebagai berikut: Beberapa pimpinan GKPB berpandangan bahwa

gereja yang tidak berkembang secara kwantitas dan kualitas bahkan punah adalah karena

gereja itu tidak setia melakukan penginjilan. GKPB pada periode 2012-2016 melalui

departemen kesaksian membentuk Yayasan Tabur Tuai dimana para pengurusnya adalah

orang-orang yang tertarik dengan program yayasan ini yaitu melakukan penjelasan tentang

kekristenan kepada publik yang bermuara pada penanaman gereja.

Dengan karakter seperti termaksud di atas, yayasan tabur tuai melalui kerja sama

dengan lembaga-lembaga penginjilan dari dalam dan luar negeri, dalam pendekatan yang

diupayakan agar sopan dan santun, tidak arogan dan tidak menghakimi, secara rutin

melayankan tindak siar kekristenan lewat pelayanan radio, kebaktian kebangunan rohani dan

doa penyembuhan yang terbuka bagi publik, pengajaran-pengajaran pemuridan, pelayanan

doa bagi masyarakat yang memiliki pergumulan dan pendampingan lanjutan bagi masyarakat

yang memerlukan.50

Para pekerja GKPB pada bidang penginjilan ini sangat senang sekali bila

mendengar ada orang-orang yang tertarik dengan kekristenan, lalu terkesan agresif untuk bisa

menuntun orang-orang tersebut menjadi Kristen. Terhadap sikap para pekerja GKPB yang

demikian, membuat tidak sedikit pemerintah dan masyarakat Bali masih sulit menghapus

kecurigaannya yang dikonstruksi berdasarkan sejarah kelam penginjilan di Bali bahwa gereja

49

Beberapa dari dokumen termaksud: Tata Gereja GKPB, Buku Pemuridan Dan Pekabaran Injil

GKPB 2008-2028. 50

GKPB, Laporan Kerja Majelis sinode Periode 2012-2016 Kepada Sinode Ke 45(Mangupura:

Percetakaan MBM,2016),54-61.

255

sebagai lembaga agama nampaknya memang tidak pernah bisa absen dari keinginan untuk

berekspansi diri.

Berangkat dari temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB

dalam bidang penginjilan yang berkonten penjelasan kekristenan dan yang bermuara pada

perluasan gereja, adalah sebuah misi yang yang bertolak dari dan berorientasi pada

pemahaman gereja sebagai pemilik akan kebenaran tunggal, sehingga ia cendrung

mendominasi kebenaran agama-agama lain karena dipandangnya sebagai kebenaran yang

tidak setara. Dengan maksud untuk menguji kevalidan interpretasi ini, penulis mewawancarai

beberapa pekerja dan warga GKPB guna untuk mendapat pandangan mereka tentang

penginjilan yang bermotifkan pada perluasan gereja. Para pekerja dan warga GKPB yang

setuju dengan motif penginjilan sebagai perluasan gereja, mengatakan bahwa gereja memiliki

kebenaran yang khas yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain sehingga harus melakukan

penginjilan dan kristenisasi lewat kata dan tindakan yang sopan santun,51

demikian juga

gereja tidak boleh mengingkari identitasnya sebagai tubuh Kristus. Mereka menegaskan,

sebagaimana Kristus membangun gereja, para pengikut Kristus juga harus membangun

gereja52

. Sedangkan para pekerja dan warga GKPB yang tidak sejalan dengan tujuan

penginjilan sebagai penanaman gereja, mengatakan bahwa gereja apalagi perluasan gereja

bukan tujuan dari misi Kristus. Mereka menambahkan, gereja dalam arti yang sebenarnya

yaitu para pengikut jalan Kristus dari berbagai agama adalah agen dari Sang khalik untuk

membangun bumi yang bersukacita dalam damai sejahtera.53

VII.A.3.b. Program Dan Motif Pemberdayaan Warga GKPB Untuk Mengagungkan

Pendidikan

Departemen kesaksian GKPB yang mengelola program pemberdayaan warga GKPB

untuk mengagungkan pendidikan dinamakan departemen kesaksian dan pengembangan.

Filosofi yang terbenam dalam nama itu ialah GKPB akan bisa bersaksi bagi masyarakat, bila

warga GKPB terlebih dahulu telah maju dalam pendidikan. Dalam meneliti program

pemberdayaan warga GKPB untuk mengagungkan pendidikan, penulis menemukan bahwa

dengan berbekal falsafah seperti tersebut di atas, para pimpinan GKPB baik yang ada tingkat

sinode maupun yang ada di tingkat jemaat selalu menanamkan di hati warganya bahwa

51

I Made Putra Wibawa, Ni Luh Siska. I Made Evan, Ni Wayan Enni, Very Mou, I Gusti Putu Sukma

Wibawa. 52

I Wayan Sudarma, I Gede Trisna Putra, I Nyoman Budi Hartawan. 53

Ni Luh Suartini, Ni Luh Ratna Kumala, I Made Nyandra, I Nyoman Urbanus.

256

pengetahuan itu sama bergunanya dengan warisan, bekal bagi manusia yang memperolehnya

untuk menjamin kelangsungan hidupnya, sehingga sembari dengan itu selalu memacu

semangat warga GKPB untuk menimba ilmu pengetahuan setinggi-tingginya.

Dalam mengobservasi perkataan, gerak tubuh dan sikap warga GKPB, penulis

menemukan bahwa pemberdayaan warga GKPB untuk mengagungkan ilmu pengetahuan,

telah mampu menyadarkan warga GKPB akan pentingnya ilmu pengetahuan, sehingga

mereka bersemangat untuk mengejarnya dan mendorong anak-anak mereka untuk

menuntutnya pula dengan sebaik-baiknya. Tidak sedikit warga GKPB dari keluarga miskin,

berani hidup dalam keprihatinan selama mereka bersekolah guna untuk meraih ilmu

pengetahuan. Tidak terbilang banyaknya warga GKPB berani bekerja keras dan juga rela

menjual beberapa propertinya demi anak-anaknya bisa tetap bersekolah sampai ke jenjang

pendidikan yang paling tinggi. Banyak warga GKPB yang berada, menyekolahkan anak-

anaknya di sekolah-sekolah yang sangat mahal karena berkualitas, dan seraya itu pula

mengirim anak-anaknya untuk mendapat tambahan ilmu pengetahuan ke lembaga-lembaga

kursus yang biayanya juga tidak murah.

Mencermati keadaan warga GKPB dalam mengejar ilmu pengetahuan dan dalam

menyekolahkan anak-anak mereka, seperti terdiskripsi di atas, penulis berinterpretasi bahwa

roh kapitalisme yakni semangat untuk meraih ilmu sebagai sebuah investasi agar kelak bisa

memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan, kekuasaan dan kekayaan, telah juga sangat

merasuk ke dalam tubuh warga GKPB dan mengendalikan perilaku mereka. Analisa penulis

dibenarkan oleh beberapa warga GKPB, sebab terhadap pertanyaan penulis apakah biaya

pendidikan sekarang sangat mahal, mereka memberi jawaban bahwa pendidikan itu wajar

mahal dan kita harus berani membayarnya, sebab nanti bila kita dan anak-anak kita sudah

memiliki pengetahuan yang tinggi, kita akan memenangkan persaingan untuk mendapat

pekerjaan yang lebih baik, jabatan dan kekuasaan yang lebih tinggi, lalu pendapatan yang

lebih banyak.54

VII.A.3.c. Program Dan Motif Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Dan Menengah

Mendengar perkataan dan mengamati tindakan para pekerja GKPB pada departemen

kesaksian dalam program penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, mencermati

54

I Wayan Mastra, I Wayan Sudirman, I Made Nyandra, I Nyoman Urbanus, I Putu Bagiarta, I Dewa

Nyoman Sudarta, Ni Nyoman Murtini.

257

sikap para stake holdernyasembari menyimak beberapa dokumen tentang penyelenggaraan

pendidikan GKPB, penulis menemukan bahwa banyak pihak swasta telah membantu negara

melaksanakan tugas konstitusionalnya yaitu menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat

dalam rangka mencerdaskan dan memajukan kehidupan semua anak bangsa, namun baik

negara maupun swasta sama-sama memiliki keterbatasan dalam mewujudkan tugas itu.

Kondisi yang demikian ini membuat penyelenggaraan pendidikan di pulau Bali seperti

sebuah komoditi berharga yang disuguhkan oleh penyelenggara lalu diperebutkan oleh putra-

putri bangsa dan dibayar tinggi baik dengan kemampuan intelektualnya maupun dengan

kemampuan material orang tuanya. Dalam kondidi dunia pendidikan yang demikian ini,

melalui kerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga sosial masyarakat,

GKPB dengan berpedoman pada undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah tentang

pendidikan, menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah bagi masyarakat umum

lewat 11 sekolah.

Kesebelas sekolah yang dijalankan GKPB itu terdiri dari: tiga sekolah taman kanak-

kanak, dua sekolah dasar, tiga sekolah menengah pertama, dan tiga sekolah menengah atas.

Dari kesebelas sekolah yang dijalankan GKPB itu lima berlokasi di kodya Denpasar dengan

jumlah siswa rata-rata 3000 orang pertahun, tiga sekolah berlokasi di kabupaten Badung

dengan kisaran jumlah siswa 1300 orang pertahun, dan tiga sekolah lagi berlokasi di desa

Blimbingsari, kecamatan Melaya, kabupaten Jembrana dengan jumlah siswa kurang lebih 200

orang pertahun. Peserta anak didik sekolah-sekolah GKPB yang ada di kodya Denpasar dan

di kabupaten Badung adalah anak-anak yang orangtuanya dari golongan ekonomi menengah

ke bawah, sedangkan anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah GKPB yang ada di desa

Blimbingsari dan Melaya Bali barat 97% darinya adalah anak-anak Panti Asuhan milik

GKPB. Dengan keadaan dan jumlah siswa seperti tersebut di atas, sepanjang periode

pelayanan 2012-2016 sekolah-sekolah GKPB yang ada di kodya Denpasar dan di kabupaten

Badung bisa membiayai dirinya sendiri, namun sekolah-sekolah yang diselenggarakan GKPB

di desa Blimbingsari dan Melaya 97% pembiayaannya di subsidi oleh GKPB.

Dengan mengantongi dan mengolah temuan-temuan tersebut di atas, penulis menilai

bahwa program GKPB dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah bagi

masyarakat umum, yang senyatanya membantu anak didik dari masyarakat ekonomi kelas

menengah ke bawah, dan anak-anak panti asuhan adalah sebuah misi pengagungan akan nilai

kesetaraan. Dalam penafsiran penulis, GKPB melihat penyelenggaran pendidikan dasar dan

258

menengah yang dijalankannya itu adalah sebagai wujud ia belajar mencintai kesetaraan dan

sekaligus sebagai upaya ia mengantar anak bangsa kelak hidup dalam kesetaraan. Analisa

penulis ini tidak menyimpang karena ketika atas pertanyaan penulis mengapa sekolah-

sekolah GKPB yang ada di kabupaten Jembrana yang harus dibiayai oleh GKPB sekitar 400

juta rupiah per tahun tidak ditutup saja, semua informan memberi jawaban bahwa untuk

menjunjung tinggi nilai kesetaraan, GKPB harus berani berkurban. Kita harus berani

berkurban dalam menyelengarakan sekolah, sebab hanya dengan demikian, anak-anak dari

keluarga miskin bisa setara sama-sama bisa sekolah dengan anak-anak dari keluarga kaya.

Dan hanya dengan penyelenggaraan sekolah, kita bisa mewariskan ilmu pengetahuan kepada

anak-anak dari keluarga miskin yang kelak bisa membuat mereka memiliki hidup setara

dengan anak-anak dari keluarga berada yang diwariskan banyak harta benda.55

VII.A.3.d. Program Dan Motif Penyelenggaraan Panti Asuhan Dan Beasiswa

Dalam mendengarkan apa yang dikatakan oleh para pekerja GKPB di departemen

kesaksian pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) sejumlah 37orang dan

membaca apa yang diperbuatnya, menyimak sikap para stake holdernya dan membaca

beberapa dokumen tentang pelayanan panti asuhan GKPB,56

penulis menemukan data dan

fakta sebagai berikut: GKPB memiliki enam lembaga kesejahteraan soial anak yang diberi

nama “Widhya Asih” yang masing-masing darinya berlokasi di desa Blimbingsari Jembrana,

di desa Melaya Jembrana, di banjar Cica, kelurahan Abianbase Badung, di kota Bangli, di

kota Amlapura, di kota Singaraja. Melalui lembaga ini GKPB menyelenggarakan pelayanan

pengasuhan bagi anak-anak dari usia pra sekolah sampai mahasiswa agar terjamin

kesejahteraan diri mereka dan terpenuhi kebutuhan mereka dalam meraih masa depannya dan

demi masa depan bangsa.

Keseluruhan anak yang diasuh GKPB dalam LKSAnya pada periode pelayanan 2012-

2016 sejumlah 364 orang.57

Kebanyakan dari mereka ini adalah anak-anak dari keluarga tidak

mampu, sebagian ada yang yatim, piatu, yatim piatu, dan sebagian lagi ada yang berasal dari

keluarga dimana ayah dan ibunya bercerai. Biaya penyelenggaraan LKSA ini, bersumber dari

setoran wajib GKPB sebesar 5% dari hasil usahanya, 2% dari total pendapatan jemaat-jemaat

55

I Made Suwirya, I Nyoman Murtiadi, I Gede Mustiadi, I Wayan Kornelius, I Ketut Tadius, I Gusti

Putu Sukma. 56

GKPB,Laporan Kerja Majelis Sinode Periode 2012-2016 Kepada Sinode Ke

45(Mangupra:Percetakan MBM,2016),49. 57

Ibid., 50.

259

GKPB, bantuan natura rutin dari jemaat-jemaat GKPB di wilayah LKSA, sumbangan pribadi

warga GKPB, usaha ekonomi kreatif masing-masing LKSA, dan pemberian sukarela dari

personal dan lembaga mitra LKSA baik dari dalam dan luar negeri.

Memperhatikan perkataan dan tindakan para pekerja GKPB di departemen kesaksian

dalam penyelenggaraan program beasiswa, mencermati sikap para stake holdernya dan

menyimak dokumen-dokumen tentang pelayanan beasiswa GKPB, penulis menemukan data

dan fakta seperti berikut: GKPB memberikan beasiswa bagi warga jemaat dan masyarakat

yang hendak melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri atau swasta, pada disiplin ilmu

yang sesuai dengan pilihannya dari jenjang strata 1 sampai strata 3, dengan prioritas utama

bagi mereka yang berprestasi namun berasal dari keluarga tidak berada harta, dalam rangka

mempersiapkan mereka memiliki pendidikan yang baik guna untuk berpartisipasi dalam

meraih masa depan bangsa yang sejahtera. Biaya penyelenggaraan program beasiswa ini

bersumber dari Dana Peduli Pendidikan Anak (DPPA) GKPB baik yang pengadaannya

diupayakan dari kemandirian GKPB berupa pemberian masing-masing pribadi warga jemaat,

masing-masing jemaat dan lembaga-lembaga sinode GKPB, maupun yang keterhimpunannya

itu diusahakan dari adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga mitra GKPB.

Dengan berpegang pada temuan-temuan termaksud di atas, penulis beranalisa bahwa

misi GKPB dalam bidang kesaksian berupa penyelenggaraan panti asuhan dan beasiswa bagi

anak-anak miskin, agar mereka memiliki pendidikan yang maju sebagai modal untuk

mensejahterakan diri dan bangsa,memang adalah sebuah misi solidaritas yang mengangkat

anak-anak dari kemiskinannya agar kelak mereka mempunyai masa depan yang maju demi

kesejahteraan bangsa; namun misi yang demikian itu belum merupakan misi solidaritas sosial

yang radikal dalam menjunjung tinggi nilai kesetaraan manusia. Analisa penulis tervalidasi

karena atas pertanyaan penulis, mengapa GKPB membiayai penyelenggaraan panti asuhan

dan beasiswa ini hanya sebesar 2% dari pendapatannya dan mengapa tidak banyak warga

GKPB yang membantu secara rutin pembiayaan penyelenggaran panti asuhan dan beasiswa,

semua yang terwawancara mengatakan; tidak semua warga GKPB memiliki pendapatan

yang besar, namun semua warga GKPB mempunyai kebutuhan yang tidak sedikit. Lalu kita

memang wajar membantu secukupnya saja penyelenggaraan panti asuhan dan beasiswa,

dalam rangka kita melatih anak-anak untuk hidup prihatin dalam masa pendidikannya. Hal

itu patut dilakukan demikian sebab dengan pengalaman hidup prihatin, seperti pengalaman

260

dari orang-orang sukses, kelak mereka akan menjadi pekerja yang rajin, hemat, kaya lalu

bisa memenuhi semua keinginannya.58

VII.B.Pelaksanaan Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Persekutuan,

Pelayanan Dan Kesaksiaan Dalam Perspektif Pancasila

Dalam mengkaji pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang

Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian sebagaimana terpapar pada Bab VII. Point A di atas,

dari perspektif nilai-nilai Pancasila yang mengagungkan kesatuan, kemanusiaan dan

kesetaraan; maka kajian itu dapat diklasifikasi dan dideskripsi sebagai berikut:

VII.B.1.Pelaksanaan Misi GKPB Pada Periode 2012-2016 Ditinjau Dari Nilai Kesatuan

Membedah pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang

Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian dengan pisau analisis nilai kesatuan Indonesia, maka

dapat dikatakan bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, sebagaimana

terimplementasi dalam program-program: Pemantapan persekutuan dengan gereja-gereja se

provinsi Bali, Pemantapan hubungan gereja dengan negara dan bangsa, Partisipasi dalam

pembentukan gereja Kristen Indonesia yang esa, Pengelolahan sampah dan pelestarian

lingkungan, belum optimal bermuara pada pengagungan akan kesatuan Indonesia. Hal itu

dikatakan demikian, karena GKPB melalui pelaksanaan misinya pada periode 2012-2016,

hanya melihat Indonesia itu, sebatas sebagai satu tanah air yang menjamin seluruh

masyarakat Indonesia, bisa tinggal di dalamnya untuk melangsungkan hidup dan melakukan

misi, sehingga Indonesia dihayati hanya sebagai ladang misi saja. GKPB belum memahami

secara mendalam bahwa Indonesia yang mengagungkan kesatuan itu adalah karya

penyelamatan Tuhan, sehingga kesatuan Indonesia itu adalah subyek misi yang harus

dihidupi gereja.

Dalam rangka melaksanakan misi yang dijiwai oleh nilai kesatuan Indonesia, GKPB

bersama dengan gereja Indonesia lainnya, patut memahami dan mensossialisasikan

pemahaman tentang Indonesia sebagai karya penyelamatan Tuhan. Gagasan untuk

membangun dan mensosialisasikan teologi keindonesiaan bahwa Indonesia dan

keindonesiaan itu adalah karya penyelematan Tuhan, bisa diwujudkan melalui alat-alat

58

Hasil pertemuan dan diskusi dengan I Wayan Diksa, I Ketut Firman, I Ketut Suartana, Rai Wira

Dana, Ni Gusti Ayu Stiti, Franky Wardana, I Nengah Swikrama, I Nyoman Yohanes, I Putu Suranata, I Nyoman

Murdita, I Ketut Philipus Arya Wijaya, I Wayan Bagia, I Made Suastiana Adi dan Ni Nyoman Puri.

261

kelengkapan organisasinya seperti: pemahaman iman, liturgi, tata gereja, peraturan, struktur,

tradisi dan kegiatan gerejawi. Dalam membangun dan mensosialisasikan pemahaman

tentangIndonesia dan terutama keindonesiaan sebagai karya penyelamatan Tuhan, gereja

dapat mengingatkan seluruh warganya, bahwa pembentukkan Indonesia dan keindonesiaanitu

terjadi bukan terutama karena kehebatan para pendiri bangsa, tetapi justru karena pertama

dan utama adanya campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Bahwa terlahirnya Indonesia terutama karena adanya campur tangan Tuhan terproyeksi

dari keyakinan bangsa Indonesia, bahwa kemerdekaan yang diperolehnya per 17 Agustus

1945 itu merupakan bagian dari karya penyelamatan Tuhan. Keyakinan tersebut mempunyai

dasar dalam sejarah lahirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejarah itu memperlihatkan

bahwa, paling sedikit ada dua disain proklamasi kemerdekaan yang direncanakan sehingga

nyaris terjadi.Desain proklamasi pertama adalah disain proklamasiyang dipersiapkan oleh

BPUPKI, yang dilaporkan oleh Soekarno-Hatta kepada Laksamana Terauchi di Dalat dekat

Saigon pada tanggal 15 Agustus 1945.Menurut disain itu, proklamasi kemerdekaan akan

dilaksanakan sekitar tanggal 22 Agustus 1945. Pada disainitu, proklamasi kemerdekaan akan

dilakukan dengan naskah proklamasi yang disebut denganPernyataan Indonesia Merdeka.

Disain proklamasi itu oleh para pemuda waktu itu disebut sebagai “proklamasi hadiah

Jepang”.Disain proklamasi kedua adalah proklamasi para pemuda yang ingin dilaksanakan

oleh para pemuda sendiri tanggal 16 Agustus 1945.

Dalam kenyataannya, kedua disaintermaksud di atas gagal dilaksanakan.Yang terjadi

adalah proklamasi kemerdekaan yang bukan kedua disain itu. Proklamasi kemerdekaan yang

terjadi yakni disain ketiga,yangmerupakan hasil dari percakapan panjang tanggal 16 Agustus

1945 antara para pemuda dengan Soekarno-Hatta. Naskah proklamasi pada disain ketiga ini

sangat sederhana namun bermakna dalam.Disain ketiga ini oleh Mohamad Roem disebut

sebagai proklamasi “kemerdekaan sebagai rahmat Tuhan.”59

Berdasarkan pada sejarah yang

demikian ini, kemerdekaan Indonesia itu bukan rekaan panitia BPUPKI ataupun rekaan para

pemuda. Kemerdekaan Indonesia terjadi senyatanya karena adanya campur tangan Tuhan

sendiri, sesuatu yang terjadi di luar rencana sebelumnya. Dengan naskah proklamasi yang

sangat sederhana itu, kemerdekaan yang diproklamirkan membawa mandat yang lebih

59

Muhamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah(Jakarta:Bulan Bintang,1972),50.

262

terbuka ketimbang naskah proklamasi yang sudah disiapkan oleh BPUPKI sebelumnya, yang

lebih kental dengan muatan mandat-mandat tertentu.60

Bahwa Indonesia merdeka sebagai karya penyelamatan Tuhan adalah Indonesia dengan

Pancasila sebagai dasarnya dan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan moralnya,

adalah suatu bangsa dimana manusia Indonesia memandang manusia Indonesia lainya

sebagai sesama manusia yang setara, yang sama-sama memiliki kemerdekaan politik. Pada

masa pemerintahan penjajahan tidak ada kemerdekaan politik di Indonesia.Yang ada

keterbatasan politik.Oleh karena itu keselamatan secara rohani yang terjadi ketika ada orang

Indonesia menjadi Kristen di bawah pemerintahan penjajahan bangsa Barat yang pada

dasarnya adalah Kristen, tidak memberikan kepada orang Indonesia Kristen itu, kesamaan

kemanusiaan yang utuh. Dalam hal ini, keselamatan di dalam agama saja tidak mempunyai

makna apa pun terhadap kemanusiaan seseorang, bila tiada di dalamnya kemerdekaan politik.

Hanya bila ada kemerdekaan politik, keselamatan itu akan menjadi penuh. Di dalam alam

Indonesia merdeka, batasan-batasan politik yang diberlakukan oleh pemerintahan penjajah

bisa diatasi. Dalam pemahaman bahwa Indonesia adalah karya keselamatan Tuhan, seluruh

rakyatIndonesiadari agama manapun mereka berasal adalah umatNya.Perlakuan anak bangsa

yang tidak setara antara satu terhadap yang lainnya, merupakan sikap yang sangat tidak

menghormati Tuhan Sang Penyelamat atau Penganugerah Indonesia.61

Dari sudut pandang teologiKristen, karya keselamatan Tuhan atas Indonesia seperti

tersebut di atas bisa mengacu pada Roh Tuhan yang ada di dalam Yesus untuk membebaskan

manusia dari perlakuan diskriminatif sesamanya (Yohanes 8:1-11). Pekerjaan Tuhan

menurunkan roh kesetaraan dalam keindonesiaan lebih termanifestasi nyata dalam:

Perubahan 7 kata dalam Piagam Jakarta, Pembukaan UUD 1945, batang tubuh UUD 1945

pasal 6 ayat 1, dan pasal 29 ayat 1.Sebagai karya penyelamatan Tuhan, Indonesia

diselamatkanNya melalui roh kesetaraan politik, sehingga seluruh rakyat Indonesia yang

sangat majemuk di dalam Indonesia merdeka, bisa hidup sederajat sebagai bangsa yang satu

dalam keragaman dan beragam dalam kesatuan. Sebagai karya keselamatan Tuhan, kesatuan

Indonesia ialah Indonesia untuk semua dan semua untuk Indonesia. Sebagai karya

60

John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 12. 61

Ibid., 13.

263

keselamatan Tuhan, Indonesia adalah negara yang beragama, tetapi bukan negara agama.

Semua agama Indonesia berketuhanan satu yaitu Tuhanya bangsa Indonesia.62

Keagamaan Indonesiasebagaimana telah ditunjukkan oleh Pembukaan UUD’45 dan

sila pertama dari Pancasila adalah sarat dengan muatan signifikansi kemanusiaan.

Religiositas Indonesia melampaui batas-batas konvensional dari pemahaman

keberagamaannya sendiri.Religiositas Indonesia yang demikian ini bukanlah religiositas yang

eksklusif, atau inklusif, atau pluralis, tetapi transformatoris. Sebagai religiositas yang

transformatoris, religiositas Indonesia menuntut pemahaman yang melewati batas-batas

kebenaran ajaran dan dogma hasil pergumulan manusia dalam agamanya masing-masing, dan

menempatkan dirinya sebagai manusia yang bertuhan satu saja Tuhannya semua manusia

Indonesia, yaitu Tuhan Pencipta, sumber dari segala kehidupan dan kemanusiaan manusia.Di

depan Tuhan yang satu itu, manusia Indonesia dengan agamanya masing-masing

menempatkan dirinya dalam kerendahan da kesadaran bahwa bersama-sama mereka adalah

anak-anak dari Tuhan yang satu itu, dengan segala kekuatan dan kelemahan mereka,

kemuliaan dan kehinaan mereka.

Berpayungkan pada keagamaan yang demikian, manusia Indonesia adalah manusia

yang berjanji dan berusaha dengan segala kekuatannya untuk memahami dengan lebih baik

Tuhan yang satu itu, dan kehendakNya bagi umat manusia, lewat pengalaman bersama dan

pengenalan terhadap sesamanya dengan agamanya, tentang penghayatan mereka terhadap

Tuhan itu. Dengan berreligiositas Indonesia yang seperti ini, manusia Indonesia

dimungkinkan untuk semakin mengenal Tuhan dengan lebih baik sehingga mereka juga akan

menjadi semakin baik. Bila gereja dan semua agama Indonesia lainnya melihat Indonesia

sebagai karya keselamatan Tuhan, seluruh masyarakat Indonesia memiliki panggilan untuk

mengagungkan kesatuan Indonesia.63

Berdasar pada teologi bahwa kesatuan Indonesia

adalah karya penyelamatan Tuhan, maka kesatuan Indonesia itu patut dihidupi sebagai misi

gereja.

Dalam mengkonstruksi misi gereja yang berdasar pada teologi bahwa Indonesia adalah

karya keselamatan Tuhan, GKPB dan gereja Indonesia lainnya terpanggil untuk memandang

dirinya bersama dengan semua agama lain yang ada di Indonesia, sebagai bagian dari

religiositas yang sama yakni religiositas Indonesia. Sebagai bagian dari religiositas Indonesia

62

John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 3-4.. 63

Ibid., 15-16.

264

itu, semua agama Indonesia bersama-sama adalah umat yang mengakui Tuhan yang sama

itu, yakni Tuhannya bangsa Indonesia, yang dalam tradisi kekristenan Tuhan itu dipahami

sebagai Tuhan yang karakterNya dikenal dalam Yesus Kristus. Dalam konstruksi misi gereja

yang berreligiositas Indonesia, gereja Indonesia terpanggil untuk menyadari bahwa

pemahaman gereja tentang Tuhan yang dikenalnya melalui Yesus Kristus, tidaklah berarti

mentiadakan pemahaman terhadap Tuhan yang sama itu, menurut dan dalam tradisi-tradisi

keagamaan yang lainnya. Misi gereja yang dibangun di atas teologi bahwa Indonesia adalah

karya keselamatan Tuhan, akan menuntun gereja bersama-sama dengan semua agama

Indonesia lainnya, melalui keberadaan kebangsaan Indonesia, menyaksikan dan

mengembangkan sebuah religiositas yang menghormati Tuhan namun yang bersignifikansi

dan berimplikasi pada kemanusiaan.64

Edukasi dan sosialisasi tentang Indonesia dan keindonesiaan sebagai karya

penyelamatan Tuhan, nampaknya akan menuntun seluruh masyarakat kristiani Indonesia

untuk semakin menyadari dan memaknai Indonesia sebagaimodal nasional dimana mereka

bisa mengembangkan dirinya dengan keluhuran keindonesiaan, dan melihat Indonesia

sebagai rumah bersama mereka, untuk mereka pelihara bersama, karena hanya bila rumah

bersama mereka masih kokoh berdiri, mereka juga sebagai komponen bangsa masih

dimungkinkan bisa tinggal nyaman dan berdiri kokoh di dalam rumah itu.

Bertolak dari kesatuan Indonesia sebagai karya keselamatan Tuhan dalam pemahaman

seperti termaksud di atas, GKPB bersama dengan gereja Indonesia lainnya, akan tertuntun

untuk melihat bahwakebesaran Indonesia bukannya terletak pada luasnya negara Indonesia

itu, atau besarnya jumlah penduduk yang dimilikinya, atau kekayaan sumber daya alam yang

dipunyainya. Melainkanterletak dalam kenyataan bahwa sekalipun pada dasarnya negara ini

terbentuk dari suku bangsa yang bearagam dengan latar belakang sejarah, kebudayaan, dan

agama yang juga beraneka, namun negara ini mempunyai misi bahwa di negeri ini ada suatu

kehidupan kemanusiaan yang demokratis yang tidak didasarkan kepada asas mayoritas, tetapi

musyawarah untuk mufakat, suatu bentuk demokrasi politis yang lebih dapat menjamin

kemanusiaan setiap warga negaranya.65

Dengan berbekalpemahaman bahwa kesatuan Indonesia adalah karya penyelamatan

Tuhan, diharap GKPB dan gereja Indonesia lainnya, akan memiliki kesadaran untuk

64

John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 15. 65

Ibid.,3-4.

265

menempatkan dirinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari fenomena kesatuan

Indonesia.Kesadaran untuk menempatkan diri sebagai bagian dari kesatuan Indonesia, akan

memampukan mereka menjadi gereja Indonesia yang mempunyai nuansa-nuansa yang

berbeda dari umat Kristendi luar Indonesia seperti kristianitas di Belanda dan Amerika.

Perbedaan itu tentu sesuatu yang wajar. Justru menjadi tidak wajar apabila kekristenan itu

lalu menjadi sama diseluruh tempat dan disepanjang masa. Perbedaan itu harus terjadi, karena

konteks sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari umat Kristen yang ditempatkan oleh

Tuhan di Indonesia berbeda dengan konteks gereja di luar negeri seperti di Belanda dan

Amerika.Salah satu contoh perbedaan itu adalah konteks keragaman agama.

Gereja Indonesia mempunyai konteks keragaman agama yang lebih kaya katimbang

gereja Belanda atau gereja Amerika. Perjumpaan dengan agama yang beragam itu sendiri,

telah membuat gereja Indonesia lebih kreatif seperti dalam memahami makna Ketuhanan

Yang Maha Esa secara teologis antropologis, yang sangat menolong gereja menghayati

bahwa Indonesia senyatanya adalah Karya Penyelamatan Tuhan yang memuliakan

kemanusiaan.66

Demi bertumbuhkembangnya teologi gereja tentang Indonesia sebagai karya

keselamatan Tuhan, maka penyelenggaraan edukasi dan sosialisasi tentang Indonesia sebagai

negara beragama tetapi bukan sebagai negara agama, nampaknya sangat kondusif untuk

dilakukan. Hal itu diperkirakan demikian, karena melalui edukasi dan sosialisasi termaksud,

seluruh warga gereja diingatkan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler yang terpisah

dari agama, tetapi juga bukan negara beragama yang menyatu dengan agama.67

Peringatan bahwa agama tidak terpisah dari negara, setidaknya akan menuntun setiap

warga gereja tentu bersama dengan agama-agama lainnya dan dengan negara untuk

menyadari bahwa mereka mempunyai panggilan untuk membimbing, memelihara dan

mengembangkan setiap agama secara aktif dan dinamis.Peringatan bahwa agama tidak

menyatu dengan negara, akan menuntun warga gereja untuk mengetahui bahwa posisi negara

tidak mewakili agama tertentu, sehingga negara tidak boleh didikte oleh agama tertentu, dan

juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Dalam Indonesia

negara beragama namun bukan negara agama, setiap warga negara mempunyai hak dan

kewajiban yang sama tanpa ada perbedaan. Setiap agama yang hidup di alam Indonesia

66

John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 11-15. 67

A. Sunarko, “Agama di Ruang Publik Demokrasi Indonesia”,dalamBasis,(Jakarta:No,03-04,Tahun

ke 62,2013),11.

266

adalah anak masyarakat Indonesia, tidak ada anak emas diantara mereka.Semuanya tanpa

terkecuali adalah anak Indonesia.

Dalam menjaga kesatuan Indonesia, GKPB bersama dengan semua gereja dan agama

Indonesia, lewat kritik dan koreksinya yang bersifat kreatif dan konstruktif bukan reaktif,

patut membantu para pejabat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ada di lembaga

legislatif, eksekutif dan yudikatif untuk mempersembahkan keteladanan politik dan

kenegaraan, yang mengedukasi dan menginspirasi seluruh rakyat Indonesia lebih mengenal

dan menghayati kesatuan dalam kebhinnekaan Indonesia. Bila pejabat negara tidak

mencerminkan semangat kebhinnekaan dalam fungsi-fungsi mereka sebagai penyelenggara

negara, dampak negatif yang akan timbul adalah sesama anak bangsa bisa kehilangan rasa

saling percaya yang akan berbuntut saling mencurigai. Bila anak bangsa kehilangan rasa

saling percaya bahkan sampai menjadi saling mencurigai, maka realitas kesatuan Indonesia

akan sangat terancam.

VI.B.2. Pelaksanaan Misi GKPB Periode 2012-2016 Ditinjau Dari Nilai Kemanusiaan

Mengkaji pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang Persekutuan,

Pelayanan dan Kesaksian dari sudut pandang nilai kemanusiaan Pancasila, maka dapat

dikatakan bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, sebagaimana

teraktualisasi dalam program-program: Pemantapan spiritualitas Kristen bagi warga jemaat,

Pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah, Pemantapan kekudusan dan ketertiban

gereja, Penerapan fungsi jabatan gerejawi, Penciptaan upacara-upacara gerejawi yang kreatif,

Pemantapan hubungan gereja dengan masyarakat, Pemantapan hubungan gereja dengan

agama-agama lain, Pendampingan sosial bagi orang dengan HIV dan AIDS dan juga bagi

orang dengan kebutuhan khusus; Penginjilan, lebih banyak sebagai karya yang berorientasi

pada penguatan gereja, dan kalaupun ada karya yang bermuara pada kemaslahatan

masyarakat, karya itu hanya berupa sebuah aksi solidaritas terbatas dari GKPB terhadap

sesama manusianya.

Bertolak dari fakta seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan

misi GKPB pada periode 2012-2016, belum sepenuhnya sebagai gerakan yang berkiprah

secara totalitas pada pemuliaan akan harkat kemanusiaan setiap sesama manusia. Hal itu

dinilai demikian, karena dalampelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, GKPB

belum bisa melepaskan dirinya dari kungkungan religiolatry, bibliolatry, dogmalatry, yang

diwariskan kepadanya pada masa lalu dan yang masih diajarkan kepadanya pada masa

267

sekarang.Ketidakberaniannya melepaskan diri dari kungkungan-kungkungan tersebut di atas,

menyebabkan GKPB dalampelaksanaan misinya pada periode 2012-2016, masih memandang

dan memperlakukan sesamanya manusia secara tidak manusiawi. Bila GKPB bersama

dengan gereja Indonesia lainnya, hendak membagun peradaban dan melaksanakan misi yang

dijiwai oleh nilai kemanusiaan, gerejapatut membentuk dirinya dan pelayanannya

berspiritualitas humanis. Berspiritualitas humanis maksudnya memiliki dan menghadirkan

kesalehan yang bersifat sosial, yakni sebuah kualitas keagamaan yang tidak menistakan

kemanusiaan sesama manusia, tetapi justru yang menghargainya.

Beberapa hal yang GKPB bersama dengan gereja Indonesia lainnya, dapat lakukan

dalam pembentukkangereja berspiritualitas humanis adalah seperti:Pertama,

membebaskanwarga GKPB dan umat kristiani Indonesia lainnya dari: religionisme,

bibliotarisme dan dogmatolarisme. Kedua, membentuk umat Kristiani yangterbuka dan

berdialog dengan semua umat beragama lain. Ketiga, melatih warga gereja melaksanakan

kerja sama lintas agama yang berguna bagi masyarakat luas.

Dalam membebaskan warga gereja dari religionisme Kristen, yaitu sebuah pemahaman

dan sikap bahwa agama Kristen itu adalah sebuah agama tentang penyataan ilahi sehingga

kebenarannya bersifat absolut, gereja harus melakukan edukasi dan sosialisasi bahwa agama

itu selain memang memiliki sisi ilahi. pada dirinya juga ada sisi manusiawi yang sosial

sifanya. Hal itu terjadi demikian, sebab agama itu adalah penghayatan terhadap yang ilahi

dalam konteks sosial budaya dari manusia. Dalam keadaannya yang demikian, faktor sosial

budaya dari manusia turut membentuk pemahaman terhadap yang ilahi itu. Jadi dalam hal ini,

agama adalah suatu kenyataan sosial dan historis. Dalam bahasa Titaley, terbentuknya suatu

agama sangat tergantung pada bagaimana masyarakat tersebut menyapa yang Sang ilahi

melalui dan membawanya masuk dalam imajinasi budaya mereka.Dinamika sosial, politik

dan ekonomi masyarakat darimana kitab suci itu berasal, sangat mempengaruhi terbentuknya

teks-teks kitab suci itu.68

Dalam keadaannya yang demikian, bukannya tidak mungkin terjadi bahwa pada suatu

saat tertentu pengaruh dari faktor sosial budaya itu sedemikian kuatnya, sehingga keinginan

manusia lalu dirumuskan dengan bahasa ilahi. Sebagai akibatnya, atas nama agama tertentu,

sekelompok manusia tertentu dapat menciptakan kelas manusia, yang pada asasnya

68

John A.Titaley,Religiositas di Alinea Tiga:Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-

Agama(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),1,19.

268

merupakan pengingkaran terhadap keberadaan manusia itu sendiri.Berdasar pada fenomena

ini, faktor sosial budaya yang manusiawi sifatnya tidak bisa diabaikan dalam penghayatan

terhadap agama itu.69

Ketidaksadran terhadap faktor inilah yang masih memicu tumbuhnya

fanatisme buta di kalangan warga GKPB dan nampaknya di kalangan gereja Indonesia

lainnya juga dalam melakukan misi, sehingga pelaksanaan misi GKPB dan gereja Indonesia

lainnya, tidak sepenuhnya mengagungkan kemanusiaan bahkan tidak jarang mengabaikan

dan menistakannya.

Misi GKPB dan misi gereja Indonesia lainnya, yang hanya memperhatikan dimensi

ilahi dari agama dan tidak memperhatikan sisi sosial-budaya, baik dari masyarakat tempat

lahirnya kristianisme maupun masyarakat tempat dikembangkannya lebih lanjut

kekristenanitu, akan selalu menghasilkan konsepsi dan pelaksanaan misi gereja yang sempit

dan destruktif. Ketidaksadaran terhadap realitas sosial dari agamaKristen inilah, yang sering

menjadi salah satu sebab munculnya konflik antara gereja dengan agama-agama lain, karena

perasaan superioritas gereja terhadap agama-agama yang lainnya. Konflik antara gereja

Indonesia dan agama-agama Indonesia lainnya, tidak akan terjadi bila dalam melakukan

misinya, gereja dan semua agama lain melakukan suatu pedalaman pemahaman tentang

agama dengan melihat agama itu dari kedua dimensinya, yaitu dimensi yang ilahi dan sosial.

Pendalaman pemahaman tentang agama dengan melihat agama itu dari kedua

dimensinya yaitu dimensi yang ilahi dan sosial, dalam rangka membebaskan warga gereja

dari religionisme dan bibliotarianisme, yaitu sebuah sikap penyembahan terhadap agama

Kristen dan Alkitab karena diyakini sebagai penyataan Tuhan, gereja mesti berani melakukan

dekonstruksi Alkitab, sebelum di atasnya direkonstruksi suatu teologi misi.Dalam proses

hermeneutik yang demikian, GKPB dan gereja Indonesia lainnya patut: Pertama,

menempatkan Alkitab bukan sebagai “medium keselamatan” kelak di akhirat, melainkan

sebagai sarana untuk memahami peristiwa sosial-politik-keagamaan yudaisme dan

kristianisme di masa silam. Kedua, melepaskan diri dari kungkungan budaya Yahudi yang

melekat dalam tradisi gereja.Perilaku yang demikian ini,akan memungkinkan gereja

Indonesia membebaskan diri dari religionisme dan bibliotarisme, sehingga bisa membangun

konsepsi dan pelaksanaan misi yang bermuara pada pemuliaan akan kemanusiaan.70

69

John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 2,5. 70

Ibid., 3.

269

Dekonstruksi teks Alkitab guna untuk membebaskan warga gereja dari religionisme

dan bibliotarisme, guna untuk membentuk warga gereja yang berspiritualitas humanis mutlak

dilakukan, karena akar-akar tindakan dehumanisasi, kekerasan, anti-pluralisme yang

dilakukan oleh para misionaris dan gereja di masa lalu dan juga masih berlanjut sampai

sekarang, bersumber pada sejumlah teks Alkitab yang tidak demokratis dan sangat eksklusif,

seperti Yohanes 3:16,71

Yohanes 14:6,72

Kisah Para Rasul 4:1273

dan Matius 28:19,2074

.

Teks-teks Alkitab yang seeksklusif seperti itulah, yang terus-menerus diproduksi dan

direproduksi oleh kelompok gereja dan rezim politik tertentu untuk dijadikan sebagai basis

atau fondasi teologis guna melakukan tindakan yang berlawanan dengan harkat dan martabat

kemanusiaan serta kontra terhadap esensidan fungsi agama sebagaiintegrator sosial. Teks-

teks Alkitab yang sedemikian itu, harus dibongkar, dilihat ulang dan dikaji dengan seksama

melalui pendekatan sosio-historis, agar gereja mengetahui konteks dan asal-muasal lahirnya

teks-teks itu, dan tidak terperangkap ke dalam ketaatan buta terhadap doktrin dan apologetik

gereja.

Dalam mendekonstruksi sejumlah teks-teks Alkitab, dengan maksud untuk

membebaskan warga gereja dari religionisme dan bibliotarianisme, sesungguhnya GKPB dan

gereja Indonesia lainnya tengah melakukan demokratisasi dalam pengkajian dan penafsiran

teks-teks Alkitab yang selama ini dibekukan dan dibakukan oleh sekelompok kristianitas

tertentu. Dalam melakukan upaya demokratisasi yang demikian, GKPB dan gereja Indonesia

lainnya, sesungguhnya mulai menjadikan antroposentrisme sebagai watak dan bukan lagi

teosentrisme dalam pengkajian dan penafsiran teks-teks Alkitab.Pengkajian dan penafsiran

teks-teks Alkitab yang berwatak antroposentris, akan membantu GKPB dan gereja Indonesia

lainya mengembangkan tafsir dan pemahaman terhadap teks-teks Alkitab, yang akan

mematangkan pemahaman GKPB dan gereja Indonesia lainnya bahwa, agama bukanlah

merupakan kekuatan pembelah yang diskriminan, melainkan justru ia adalah kekuatan

pemersatu.

71

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang

tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. 72

Akulah jalan, kebenaran dan hidup.Tidak ada seorangpun yang sampai kepada Bapa, kalau tidak

melalui Aku. 73

Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong

langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehNya kita dapat diselamatkan. 74

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan

Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan

ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.

270

Dengan terbebasnya warga GKPB dari religionisme dan biblitarianisme, GKPB dan

gereja Indonesia lainnya, akan dimungkinkan untuk berpandangan dan sekaligus mampu

bersiar seperti Dalai Lama bersaksi bahwa semua agama itu hanyalah jalan belaka.75

Dampak

dari pembebasan umat dari sikap religiolatry dan bibliotalatryseperti termaksud di

atas,diharap akan menumbuhkembangkan spiritualitas warga gereja Indonesia yang

menghormati Allah berupa sikap membiarkan Allah menjadi Allah,76

dan sekaligus

menghormati semua manusia yang beragama lain dengan berpandangan bahwa, “people take

different roads seeking fulfillment and happiness. Just because they are not on our road does

not mean they are lost.”77

Selanjutnya dalam program pendampingan dan pendidikan untuk pembebasan umat

kristiani dari dogmatolarisme, gereja patut membantu warganya agar memahami dan

memposisikan dogma gereja bukan sebagai sesuatu yang baku, apalagi sebagai sesuatu yang

bersifat ilahi. Hal itu patut dilakukan, karena sebuah dogma agama sebagaimana juga

dipandang oleh Raymondo Panikkar, hanyalah instrument lewat mana kita menjelaskan apa

yang kita imani. Oleh karena itu, tidak salah bila kita selalu mereformasinya untuk

menghadapi situasi baru78

dan demi transformasi sosial yang mengagungkan kemanusiaan.

Sebaliknya kita justru tetap akandimungkinkan melakukan kesalahan demi kesalahan yang

menistakan kehidupan dan kemanusiaan, bila kita memandang sebuah doktrin agama yang

senyatanya sangat mendegradasi martabat kemanusiaan, sebagai sebuah kebenaran yang

bersifat absolut.

Terhadap masyarakat kristiani yang telah berangsur-angsur membuang sikap

religiolatry,bibliotalatry dan dogmatalatrynya, program pembentukkan komunitas kristiani

yang terbuka dan berdialog dengan semua masyarakat beragama lain, tidak hanya sangat

kondusif untuk dilakukan, tetapi program itu juga diperkirakan akan sangat membantu gereja

membangun spiritualitas humanis. Bahwa dialog dikatakan sebagai program pembentuk

75

Sumanto Al Qurtuby, “John Titaley di Mataku”. . . . , 97. 76

M.Thomas Thangaraj, “Let God Be God:Crossing Boundariers as aTheological Practice” dalam

D.N.Premnath(ed.),Border Crossing:Cross-Cultural Hermeneutics(New York:Orbis Books),100. 77

People take different roads seeking fulfillment and happiness, Just because they are not on your

road does not mean they are lost”. Ini adalah pandangan Dalai Lama terhadap eksistensi masing-masing

agama.Dikutip oleh Sumanto Al Qurtuby. Lihat Sumanto Al Qurtuby, "John Titaley di Mataku” dalam Steve

Gaspersz, Tedi Kholiludin(eds.),Nyantri Bersama John Titaley(Salatiga:SatyaWacana University

Press,2014),85. 78

Ebenhaizer I.Nuban Timo,Gereja Lintas Agama,Pemikiran-Pemikiran Bagi

PembaharuanKekristenan di Asia(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),281-282. Lihat juga,

Raymondo Panikkar,The Unknown Christ of Hinduism,Completely Revised and Enlarge Edition(New

York:Orbis Book,1981),52-55.

271

spiritualitas humanis, karena dalam dialog masyarakat Kristiani bersama dengan umat

bergama laindimungkinkan melakukan langkah praksis untuk menyeberang atau melintas

batas, dengan membawa identitas yang berkarakter dinamis, karenadisadarinya identitas itu

bisa berubah, dalam interaksi dan negosiasi yang terjadi.79

Bahwa program dialog diduga akan sangat menumbuhkembangkan spiritualitas

humanis, adalah karena dengan saling mendialogkan dirinya dan keyakinannya, masing-

masing agama baik agama-agama dunia maupun agama-agama suku Indonesia, akan semakin

meyadari bahwa mereka semua adalah manusia kepunyaan Tuhan, yang sama-sama

memiliki kebenaran agama yang berbilang sifatnya, tetapi juga bersamaan dengan itu sama-

sama mempunyai keterbatasan dalam memahami Tuhan. Konsekuensi logis dari kesadaran

yang demikian ini, dapat diraba akan menuntun umat beragama Indonesia untuk bisa saling

merendahkan diri atas keterbatasan pemahaman mereka, dan seraya dengan itu saling

menghormati karena mereka bisa saling belajar satu sama lain, dari kelebihan dan

kekurangan mereka masing-masing. Cara beragama yang menghormati Tuhan dalam bentuk

mau saling belajar pemahaman tentang Tuhan dari umat beragama lain,akan sangat

membantu gereja bersama dengan umat beragama lainmewujudkan bahkan menggelorakan

spiritualitas yang manusiawi

Dalam dialog agama, semua agama melakukan praksis “ menyeberang atau melintas

batas”. Tindakan menyeberang batas ini, oleh Pui-Lan disebut sebagai “border passage”,

yaitu sesuatu yang mengindikasikan sebuah proses yang sedang berlangsung dalam

perjalanan yang sementara ditempuh, dan sekaligus sebagai bagian penting dari sejarah

kehidupan yang sangat mempengaruhi kepribadian manusia.80

Dalam “border passage” ini,

GKPB dan gereja Indonesia lainnya mesti menyadari bahwa identitas yang dibawanya dalam

perjumpaan itu, adalah identitas dinamis yang bisa berubah, sebagai akibat dari interaksi dan

relasi yang terjadi. Kesadaran yang demikian ini, dibangun berdasarkan pada pemahaman,

bahwa Tuhan tidak dapat dibatasi dalam suatu budaya, doktrin atau praktek agama tertentu

saja, karena keagungan Tuhan tidak bisa direduksi oleh keterbatasan pemikiran dan

pengetahuan manusia. Kesadaran gereja akan identitas dinamis yang dibawanya dalam

kehidupan bermasyarakat, menunjukkan pula bahwa gereja Indonesia secara tidak langsung

terpanggil untuk bersikap membiarkan Tuhan menjadi Tuhan. Panggilan untuk bersikap

79

Pui-Lan,dalam D.N.Premnath(ed.),Border Crossing:Cross-Cultural Hermeneutics(New York:Orbis

Books), 104. 80

Ibid.

272

membiarkan Tuhan menjadi Tuhan sebagaimana diungkap oleh M. Thomas Thangaraj, “Let

God be God,”81

adalah sebuah spiritualitas yang sangat humanis.

Panggilan gereja Indonesia untuk bersikap “membiarkan Tuhan menjadi Tuhan” dalam

berdialog dan bernegosiasi dengan semua agama di Indonesia, adalah sebuah tuntutan

pemahaman dan pengakuan bahwa hakikat Tuhan yang sebenarnya tidak akan mampu

ditangkap oleh gereja dan oleh semua agama lainnya secara sendiri-sendiri karena senyatanya

masing-masing pemikiran setiap agama tentang Tuhan hanyalah sebuah pengambilan

kebenaran berdasarkan perspektif yang digunakan.Apa yang bisa dilakukan oleh setiap

agama hanyalah menerka atau meraba-raba saja dari zat Tuhan itu. Produk dari hasil rabaan

manusia inilah yang membuat masing-masing umat beragama memiliki ide atau konsep

tentang “Tuhan budaya”.Tuhan budaya hasil rabaan manusia tentu tidak bisa diklaim sebagai

“Tuhan” yang sebenarnya.

Demikian pula kebenaran agama berbilang sifatnya, sebab yang sungguh-sungguh tahu

bahwa suatu kebenaran itu betul-betul benar hanyalah Tuhan sendiri.Oleh karena begitu

keadaan gereja dan semua agama lainnya dalam memahami Tuhan, maka dalam berdialog

dan bernegosiasi dengan semua agama di Indonesia, gereja patut mempelopori dan mengajak

semua umat beragama untuk bisa saling memahami keterbatasan masing-masing dan

sekaligus saling belajar satu dengan yang lainnya dengan penuh hormat dan rasa tanggung

jawab. Pembentukkan gereja yang berspiritualitas humanis lewat dialog dan negosiasi

dengan semua agama Indonesia, seperti termaksud di atas, akan membantu gereja bersama

dengan semua agama lainnya untuk semakin menyadari bahwa sikap keberagamaan yang

cendrung fanatik dan tertutup terhadap kebenaran agama lain justru akan menyebabkan

kemunduran kita dalam beragama. Perjuangan menjadi gereja berspiritualitas humanis

melalui dialog dan negosiasi, nampaknya akan mengarahkan gereja untuk berhenti melulu

melihat jalan yang mereka biasanya lalui dan juga berhenti untuk selalu mengabaikan

bahkan menyalahkan jalan-jalan lain. Pembentukkan gereja yang berspiritualitas humanis

lewat dialog dan negosiasi, mengantar gereja bersama dengan semua agama lainnya untuk

bisa bersuara seperti Dalai Lama berkata: “People take different roads seeking fulfillment

and happiness. Just because they are not on our road does not mean they are lost.”82

81

M.Thomas Thangaraj, “Let God Be God:Crossing Boundariers as a Theological Practice” dalam

D.N.Premnath(ed.),Border Crossings: Cross-Cultural Hermeneutics(New York: Orbis Books),100. 82

Sumanto Al Qurtuby, “John Titaley di Mataku” dalam Steve Gaspersz, Tedi

Kholiludin(eds.),Nyantri Bersama John Titaley(Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014),85.

273

Upaya membentuk gereja berspiritualitas humanislewat dialog dan negosiasi sungguh

akan memperkaya wawasan teologi dan kearifan sosial gereja bersama dengan semua umat

beragama lainnya. Panggilan hidup beragama untuk berdampingan dalam relasi saling

memperkaya oleh Raymondo Panikkar sebagaimana direiterasi oleh Ebenhaizer I Nuban

Timo, dinamakan dengan beberapa istilah seperti: interpenetration (saling mendiami), mutual

fecundation (saling menghidupkan dan menyuburkan),dan mutation in the self-interpretation

(penyesuaian dalam hal interpretasi diri). Kemudian lebih jauh Raymondo Panikkar juga

mengemukakan bahwa dalam rangka mentibakan diri pada relasi saling memperkaya diri

yang demikian, masing-masing agama patut menjauhkan empat sikap korup dalam hidup

bersama antara pemeluk agama.

Keempat sikap yang dimaksud Panikkar itu adalah sebagai berikut: Pertama, sikap

isolasi diri dari tiap agama sembari merendahkan atau meremehkan agama lain. Sikap

beragama yang demikian, menurut Panikkar merupakan tanda kebertuhanan yang egois dan

akan berakhir pada kepunahan agama itu. Kedua, sikap subsitusi dari tiap agama dimana

agama yang satu dianggap sebagai pengganti agama yang lain. Sikap agama ini oleh Panikkar

dinilai a-religius, hanya akan menciptakan kekacauan diantara agama. Ketiga, sikap ecletic

unity, yakni sikap menyatukan agama berdasarkan prinsip-prinsip yang sama pada agama

yang berbeda. Sikap seperti ini, bagi Panikkar tidak realistik karena mengabaikan situasi riil

dan sejarah yang sesungguhnya dari agama-agama. Keempat,sikap koeksistensi damai, yaitu

sikap memperlihatkan adanya perdamaian antar agama yang dimotivasi oleh adanya

kepentingan politis. Sikap yang demikian ini, oleh Panikkar dinilai dangkal tidak akan

mampu menciptakan hubungan yang benar dan lestari antara agama-agama.83

Gagasan untuk menjadi gereja berspiritualitas humanis lewat dialog dan negosiasi

dengan semua agama, diperkirakan akan mampu membangkitkan kearifan sosial gereja.

Dengan kata lain, gagasan termaksud idealnya akan menuntun gereja Indonesia untuk

menjadi lebih inklusif dan toleran terhadap komunitas agama lain, serta meyakini bahwa

fakta kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh gereja saja tetapi itu juga ada pada agama dan

kepercayaan lain.84

Dalam spiritualitas yang demikian, gereja belajar untuk mengakui bahwa

83

Ebenhaizer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan

Keristenan di Asia(Salatiga: Satya Wacana University Press,2013),261-263. Lihat juga, Raymondo Panikkar,

The Unknown Christ of Hinduism, Completely Revised and Enlarge Edition(New York:Orbis Book,1981),32. 84

Andreas A. Yewangoe sebagaimana dituturkan oleh Ebenhaizer I. Nuban Timo berpandangan

bahwa agama-agama adalah pemberian Allah kepada manusia.Sebagai pemberian Allah, Yewangoe lebih jauh

menegaskan bahwa ada unsur kebenaran dalam agama-agama.Oleh karena dalam agama-agama ada unsur

kebenaran, Yewangoe mengajak gereja Indonesia untuk menggiatkan upaya-upaya mendalami agama-agama

274

menjadi Kristen atau bukan, tidaklah hal yang penting, karena setiap individu memiliki latar

belakang dan pengalaman sejarah yang berlainan, dimana halitu membentuk struktur teologi

dan kultur keagamaan yang berlainan pula. Melanjutkan pengakuan itu, gereja Indonesia juga

akan mendapat pencerahan sehingga bisa menegaskan bahwa yang paling penting dalam

beragama di Indonesia adalah bagaimana gereja bersama dengan semua agama Indonesia itu

hidup.85

Selanjutnya masih dalam gagasan untuk membentuk gereja yang berspiritualitas

humanis, program kerja sama gereja dengan semua agama Indonesia untuk kemanusiaan,

sangat strategis untuk dilakukan. Dengan melaksanakan program tersebut, gereja bersama

dengan semua agama Indonesia melakukan edukasi yang menuntun masyarakat Indonesia

menjadi insan yang semakin memiliki kepekaan terhadap masalah kemanusiaan, semakin

ramah terhadap perbedaan, semakin tergerak menjadi pengayom kemajemukan, dan semakin

bergairah untuk menjadi manusia Indonesia yang bermanfaat bagi orang banyak.

Terbentuknya insan Indonesia yang demikian, sebagai hasil dari program kerja sama lintas

agama untuk kemanusiaan, akan semakin membuat masyarakat Indonesia menyadari bahwa

yang paling penting dalam beragama, adalah bagaimana penganut masing-masing agama itu

menjalani hidup yang berguna bagi kemanusiaan. Sikap keagamaan yang tidak menempatkan

agama sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan kebajikan bagi

kemanusiaan adalah sebuah manifestasi dari spiritualitas humanis.

Dadalam mewujudkan kebajikan berupa kemajuan manusia dalam hal-hal

kemanusiaan, gereja Indonesia bersama dengan semua agama di Indonesia, patut membantu

pemerintah dan masyarakat Indonesia, menciptakan kehidupan demokrasi yang

secara teologis. Ajakan untuk mendalami agama-agama secara teologis memimpin Yewangoe membuat seruan

agar komunitas Kristen tidak memandang orang dari agama lain sebagai orang asing melainkan tetangga.

Teologi kita terhadap saudara-saudara dari agama lain, kata Yewangoe, bukan lagi teologi permusuhan

melainkan teologi keramahan. Masing-masing agama di Indonesia, di mata Yewangoe, adalah mitra dalam

perjalanan bersama sejarah umat manusia, khususnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Lihat, Ebenhaizer I.

Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan Kekristenan di

Asia(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),44-46. Lihat juga,Andreas A. Yewangoe, Agama dan

Kerukunan(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2006),76,84. Andreas A. Yewangoe,Tidak Ada Penumpang

Gelap(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2009),53. 85

Bahwa agama itu adalah sarana dan bukan tujuan, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh

Emmanuel Gerrit Singgih sebagaimana direiterasi oleh Ebenhaizer I Nuban Timo, bahwa agama tidak absolut.

Hanya Tuhan yang absolut. Justru karena agama tidak absolut, maka masing-masing agama patut terbuka satu

sama lain dalam hal kemanusiaan dan juga dalam hal pemahaman tentang Tuhan. Singgih mengajak kita untuk

melihat bahwa orang beragama lain bukanlah orang yang tidak beriman. Dia mengatakan ini dalam hubungan

analisa dan pemahamannya mengenai kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Siro-Fenesia seperti yang

dituturkan oleh Markus 7:24-30. Lihat, Ebenhaizer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama,Pemikiran-Pemikiran

Bagi Pembaharuan Kekristenan di Asia (Salatiga: Satya Wacana University Press,2013),106-107.

275

menghargaiagama, dan kehidupan agama yang menghormatidemokrasi. Dalam kehidupan

yang demikian, demokrasi tidak boleh mengabaikan agama dan agama tidak boleh alergi

terhadap demokrasi.Negara harus mendorong agar agama masuk ke dalam diskusi politik

guna untuk mengemukkakan aspirasi-aspirasinya dalam bahasa particular mereka, yang bisa

dimengerti oleh publik.Agama patut berbuat demikian karena dari segi rasional agama

merupakan intuisi moral yang mengagungkan hak-hak asasi manusia dan keadilan, dan dari

sudut pandang motivasional, agama memelihara solidaritas hidup bersama dan persaudaraan

universal umat manusia.

VI.B.3. Pelaksanaan Misi GKPB Periode 2012-2016 Ditinjau Dari Nilai Kesetaraan

Membedah pelaksanaan misi GKPB periode 2012-2016 pada bidang Persekutuan,

Pelayanan dan Kesaksian, dengan pisau analisis nilai kesetaraan Pancasila, maka dapat

diungkapkan bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 sebagaimana

teraktualisasi dalam program-program: Pemberdayaan warga GKPB untuk berjiwa wira

usaha, Pemberian modal sebagai sarana usaha bagi masyarakat miskin, Penyelenggaraan

panti asuhan dan beasiswa, Pemberdayaan warga GKPB untuk mengagungkan pendidikan,

Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, baru berupa sebuah pelayanan sosial

terbatas GKPB terhadap sesama manusia yang miskin, belum sebagai kepedulian sosial

radikal yang berorientasi pada terciptanya kesetaraan masyarakat Indonesia secara nyata. Hal

itu dinilai demikian, karena pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, di Indonesia

yang bermoralitaskan kesetaraan, masih sangat kuat dipengaruhi bukan oleh roh kegotong-

royongan, tetapi justru oleh semangat kapitalisme. Dengan kata lain, pelaksanaan misi GKPB

pada periode 2012-2016, di Indonesia yang berjiwa gotong-royong, justru masih dijiwai oleh

kapitalisme yang tidak mengenal sambung rasa itu.

Dalam rangka membangun peradaban yang dijiwai oleh nilai kesetaraan Pancasila,

maka GKPB bersama dengan gereja Indonesia lainnya patut membentuk warganya menjadi

anak bangsa yang beretika sambung rasa. Hal ini patut dilakukan, sebab kesenjangan

masyarakat Indonesia di bidang ekonomi dan sosial,yang nampaknya disebabkan oleh adanya

sikap ketidakpedulian di antara anak bangsa, sangat mencolok. Kemudian kesenjangan

ekonomi dan sosial ini sering menjadi akar masalah terjadinya tindakan-tindakan kekerasan

dalam masyarakat.

Dalam rangka membentuk gereja yang beretika sambung rasa, melalui alat-alat

kelengkapan organisasinya dan kegiatan-kegiatannya, gereja dapat melakukan beberapa hal

276

sebagai berikut: Pertama, melakukan edukasi dan sosialisasi tentang sistem ekonomi

Indonesia. Kedua, memberdayakan warga gereja untuk berpandangan kritis dan kreatif dalam

berpartisipasi untuk memposisikan pembangunan nasional itu,sebagai pembangunan yang

berkiblat pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, mengkarakterisasi dan

memotivasi lembaga-lembaga pelayanan gerejawi sebagai lembaga yang memberdayakan

masyarakat miskin untuk menjadi masyarakat pembangun dengan memberikan mereka

bantuan yang bersifat transformatif bukan karitatif. Keempat, membentuk warga gereja untuk

memiliki karakter kesederhanaan dan pola hidup cukup. Kelima, memberdayakan gereja

untuk memiliki lembaga-lembaga pemberi bantuan karitatif, sebagai lembaga yang

menyalurkan bantuan urgen kepada masyarakat yang sangat memerlukannya secara

mendesak.

Melalui edukasi dan sosialisasi tentang sistem ekonomi Indonesia, gereja mengajarkan

warganya bahwa Indonesia adalah negara yang berekonomi dengan sistemsosialis ala

Indonesia, yaitu sebuah sistem ekonomi hasil perpaduan apa yang baik dari kapitalisme dan

sosialisme. Dalam sistem ekonomi sosialis ala Indonesia, negara sangat menghargai

kebebasan setiap individu untuk membangun ekonomi dan mendapat hak milik, namun

dengan penekanan bahwa setiap individu itu adalah individu yang koperatif dengan sikap

altruis yang mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif.

Dengan sistem ekonomi “sosialis ala Indonesia”, negara menghendaki setiap aktivitas

ekonomi rakyat Indonesia, harus dijiwai oleh semangat: kekeluargaan, tolong-menolong,

kooperasi, gotong royong, guna untuk mengupayakan keuntungan bersama bagi seluruh

rakyat Indonesia. Dengan mengajarkan sistem ekonomi Indonesia yang demikian, kita bisa

membentuk warga gereja berkarakter gotong royong dalam berekonomi, yaitu rajin bekerja

dan berusaha untuk keuntungan ekonomi, yang bermuara bukanpada pengumpulan kekayaan

pribadi namun pada kesejahteraan bersama.

Setelah berbekal pengetahuan tentang ekonomi Indonesia bersistem sosialisme gotong

royong, yakni sebuah sistem usaha pembangunan ekonomi yang bebas, tetapi dalam rangka

mensejahterakan orang banyak, gereja dapat memberdayakan warganya untuk memiliki

gagasan-gagasan kritis dan kreatif tentang esensi pembangunan nasional. Dengan memiliki

pikiran-pikiran yang konstruktif tentang pembangunan naional, warga gereja diharap mampu

berpartisipasi aktif bersama dengan semua komponen bangsa lainnya dan bersama dengan

pemerintah, dalam memposisikandan memfungsikan pembangunan nasional itu, sebagai

pembangunan bersama seluruh rakyat Indonesia, yang berorientasi pada kesejahteraan

277

seluruh rakyat Indonesia. Dalam kontribusinya yang demikian, gereja dapat menyuarakan

bahwa tidak dibenarkan seorang atau satu golongan kecil menguasai penghidupan orang

banyak. Sebaliknya keperluan seluruh rakyat Indonesia, yang harus menjadi pedoman bagi

seseorang atau kelompok dalam membangun usaha ekonomi. Dengan bermental ekonomi

sosialis ala Indonesia, gereja juga bisa berpartisipasi dengan semua anak bangsa dan

pemerintah, untuk merencanakan dan mengawasai pembangunan nasional dalam

mengelolasumber daya alam Indonesia, agar dari padanya seluruh manusia Indonesia

memperoleh manfaat yang mensejaterakan.

Berpayungkan pada sistem ekonomi Indonesia berupa sosialisme koperasi, gereja perlu

mengkaraterisasi lembaga-lembaga pelayanangerejawi sebagai lembaga yang

memberdayakan masyarakat berekonomi lemah. Hal itu patut dilakukan, karena sampai sat

ini lembaga pemberdayaan masyarakat lebih banyak hanya berpihak kepada masyarakat

yang sudah mampu dan mengabaikan masyarakat yang lemah. Kebijakan yang demikian ini

membuat masyarakat yang mampu bertambah mampu, dan masyarakat yang lemah semakin

tidak berdaya. Memiliki lembaga-lembaga pelayanan yang berorientasi pada pemberdayaan

masyarakat lemah, akan memungkinkan terciptanya kesempatan yang sama, bagi semua

golongan masyarakat untuk sama-sama berkembang. Kepedulian warga gereja untuk

menyelengaraakan pemberdayaan masyarakat yang lemah, sementara masyarakat yang kuat

bisa melakukan pemberdayaan diri dengan kekuatannya, akan melahirkan tatanan ekonomi

yang berkeadilan.

Hidup di negara yang bersistem ekonomi “sosialisme yang bersambung rasa” gereja

patut membentuk warganya untuk berkarakter peduli sosial dalam berpola hidup sederhana

dan berpola hidup cukup. Sebagai gereja yang berpola hidup sederhana, gereja tidak

mengidealkan hidup miskin, namun hidup bersahaja. Dalam hidup bersahaja, kekayaan tidak

menyilaukan gereja, dan kemiskinan tidak menjadi obsesinya. Dalam berpola hidup

sederhana, warga gereja boleh menghasilkan pendapatan, sebab itu merupakan

pengembangan dan pemanfaatan talenta yang ada padanya. Namun setiap warga gereja patut

mengumpulkan dan mengkonsumsinya berdasarkan pada kebutuhannya dan bukan pada

keinginannya. Dalam hal ini, gereja harus menyadari bahwa produksi akan menghasilkan

pertumbuhan ekonomi yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup manusia,

tetapi konsumsi berdasarkan keinginan akan menghasilkan ketidakpedulian, keserakahan dan

pada akhirnya kesenjangan ekonomi masyarakat.

278

Hidup di negara yang bersistem ekonomi “sosialisme tolong-menolong”, gereja patut

membentuk dirinya menjadi lembaga keagamaan dengan solidaritas sosial yang bergaya

hidup “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” dalam menghadapi dan menyikapi

penderitaan masyarakat demi tidak pupusnya harapan masyarakat untuk menanti

kesejahteraan bersama. Dengan bergaya hidup “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”,

gereja dapat membentuk lembaga pemberian bantuan karitatif bagi anak bangsa yang tengah

menderita, karena ditimpa berbagai bencana. Pelayananan pemberian bantuan kemanusiaan

yangberorientasi pada keperluan dari masyarakat yang dibantu sangat memungkinkan

terciptanya keejahteraan bersama.