20
455 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Penelitian ini berupaya untuk menemukan relevansi hermeneutik dalam aktivitas penalaran hukum khususnya penalaran hukum yang dilakukan oleh pengemban profesi Notaris terkait dengan kewenangan yang dimilikinya. Konsep-konsep yang ada pada pemikiran tentang hermeneutik tersebut digunakan juga untuk menjelaskan fenomena-fenomena atau kecenderungan atau suatu hal tertentu yang ada pada aktivitas penalaran hukum. Penelitian ini diawali dengan meneliti kategori dan kekhasan kewenangan yang dimiliki oleh pengemban profesi Notaris. Berkaitan dengan hal tersebut, Akta Notaris sebagai wujud dari putusan hukum atau pendapat hukum yang dibuat oleh pengemban Notaris seyogyanya hanya mengikat para pihak yang berkepentingan di dalam Akta Notaris tersebut, tetapi yang menarik untuk diteliti adalah dampak publik dari Akta Notaris tersebut, termasuk meneliti tanggung jawab hukum dan non-hukum dari Notariat terhadap Akta Notaris tersebut terkait kewenangannya dan perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Notariat. Selanjutnya telah diteliti juga mengenai asas hukum yang ada di dalam atau di belakang Pasal 15 UUJN No. 2/2014 yang mengatur mengenai kewenangan Notariat. Penelitian diteruskan dengan meneliti bagaimana proses berpikir dari penalar hukum yang dalam penelitian ini subyek penalaranya adalah pengemban

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

455

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Penelitian ini berupaya untuk menemukan relevansi hermeneutik dalam

aktivitas penalaran hukum khususnya penalaran hukum yang dilakukan oleh

pengemban profesi Notaris terkait dengan kewenangan yang dimilikinya.

Konsep-konsep yang ada pada pemikiran tentang hermeneutik tersebut digunakan

juga untuk menjelaskan fenomena-fenomena atau kecenderungan atau suatu hal

tertentu yang ada pada aktivitas penalaran hukum.

Penelitian ini diawali dengan meneliti kategori dan kekhasan kewenangan

yang dimiliki oleh pengemban profesi Notaris. Berkaitan dengan hal tersebut,

Akta Notaris sebagai wujud dari putusan hukum atau pendapat hukum yang

dibuat oleh pengemban Notaris seyogyanya hanya mengikat para pihak yang

berkepentingan di dalam Akta Notaris tersebut, tetapi yang menarik untuk diteliti

adalah dampak publik dari Akta Notaris tersebut, termasuk meneliti tanggung

jawab hukum dan non-hukum dari Notariat terhadap Akta Notaris tersebut terkait

kewenangannya dan perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Notariat.

Selanjutnya telah diteliti juga mengenai asas hukum yang ada di dalam atau di

belakang Pasal 15 UUJN No. 2/2014 yang mengatur mengenai kewenangan

Notariat.

Penelitian diteruskan dengan meneliti bagaimana proses berpikir dari

penalar hukum yang dalam penelitian ini subyek penalaranya adalah pengemban

Page 2: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

456

profesi Notaris, termasuk bagaimana melakukan pengkualifikasian dan pengujian

informasi dan fakta, bagaimana membangun suatu pendapat hukum, dan

bagaimana suatu pendapat hukum dapat digugurkan. Penelitian ini juga telah

menemukan posisi penalaran hukum terhadap hermeneutik dan relevansi

hermeneutik dalam penalaran hukum yang dilakukan oleh Notaris. Penelitian ini

juga telah menemukan mengapa hasil pendapat hukum atau argumentasi yuridik

final dari suatu aktivitas penalaran hukum dapat berbeda antara satu penalar

dengan penalar yang lainnya, yang dalam hal ini difokuskan penalar hukumnya

adalah Notaris selaku subyek penafsir. Pembahasan terakhir dari penelitian ini

adalah mengenai kewenangan Notariat dalam perspektif ‘paradigma ilmu hukum

Indonesia’.

Dengan mengacu pada pernyataan masalah yang telah diteliti, kiranya dapat

disimpulkan beberapa hasil penelitian. Berdasarkan penelitian terhadap

pernyataan masalah pertama yang berkaitan dengan kewenangan Notariat

ditemukan beberapa hal.

Kategori kewenangan yang melekat pada pengemban profesi Notaris adalah

‘delegasi’. Simpulan ini diambil karena terjadi pelimpahan kewenangan dari

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang sebelumnya telah mendapatkan

kewenangan secara atribusi serta terjadi pengalihan tanggung jawab dan tanggung

gugat kepada pengemban profesi Notaris. Pada beberapa peraturan perundang-

undangan pada intinya memang menyebutkan bahwa suatu perbuatan hukum

tertentu harus dibuktikan dengan Akta Notaris, tetapi pengaturan tersebut bukan

merupakan pemberian kewenangan kepada Notaris, melainkan perintah bahwa

suatu perbuatan hukum tertentu harus dilakukan dihadapan Notaris dan dibuktikan

Page 3: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

457

dengan Akta Notaris. Kekhasan dari kewenangan yang dimiliki Notaris yang

ditemukan adalah: kewenangannya bersifat delegatif, kewenangannya mandiri,

kewenangannya terbatas pada bidang hukum perdata, kewenangannya dibatasi

oleh suatu wilayah jabatan tertentu, kewenangannya termasuk dalam ranah non-

litigasi dan bukan kewenangan yang dimiliki penegak hukum, kewenangannya

menciptakan hukum dalam wujud Akta Notaris, serta kewenangannya harus

dijalankan dengan kewajiban untuk tidak berpihak. Sekalipun Akta Notaris

sebagai wujud dari putusan hukum atau pendapat hukum yang dibuat oleh

pengemban profesi Notaris hanya mengikat para pihak yang berkepentingan di

dalam Akta Notaris tersebut, tetapi sebagai alat bukti baik dalam ranah hukum

pidana maupun dalam ranah hukum perdata, membawa konsekuensi bahwa

ternyata Akta Notaris juga memiliki dampak publik.

Penelitian ini juga membuktikan bahwa pengemban profesi Notaris dapat

diminta pertanggungjawaban baik secara hukum maupun non-hukum.

Pertanggungjawaban secara hukum dapat dimintakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan Notaris, yaitu UUJN No.

30/2004 juncto UUJN No. 2/2014, maupun berdasarkan peraturan perundang-

undangan di luar peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan

Notaris baik yang terkodifikasi maupun tidak terkodifikasi, yaitu: Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (‘KUHP’), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (‘KUH

Perdata’), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (‘UU No. 31/1999’) juncto Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (‘UU No. 20/2001’), dan

Page 4: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

458

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang (‘UU PP TPPU’) juncto Peraturan Pemerintah

Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (‘PP No. 43/2015’).

Pertanggungjawaban secara non-hukum dapat dimintakan kepada pengemban

profesi Notaris berdasarkan kaidah moral yang khusus diberlakukan bagi

pengemban profesi Notaris yang telah dituangkan dalam Kode Etik Ikatan Notaris

Indonesia.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terbukti bahwa hukum

memberikan perlindungan kepada pengemban profesi Notaris berdasarkan: Pasal

50 KUHP (Tidak dipidana karena melaksanakan undang-undang), Kewajiban

Ingkar yang diatur dalam: Pasal 4 ayat (2) UUJN No. 30/2004 (Sumpah Jabatan

Notaris), Pasal 16 ayat (1) huruf f. UUJN No. 2/2014 (Rahasia Jabatan), Pasal 54

ayat (1) UUJN No. 2/2014 (Memperlihatkan dan memberikan Akta Notaris),

Pasal 44 (1) huruf g, huruf h, dan huruf i juncto Pasal 44 (2) UU 43/2009

(pencipta arsip dapat menutup akses dan wajib menjaga kerahasiaan arsip), dan

Pasal 322 (1) KUHP (tindak pidana karena membuka rahasia yg wajib disimpan

karena jabatannya). Penelitian ini juga menemukan bahwa terhadap ‘kewajiban

ingkar’ tersebut diberikan suatu pengecualian atau dapat dikesampingkan,

diantaranya adalah berdasarkan: UU No. 21/1997 (wajib lapor BPHTB), UU No.

28/2007 (kewajiban rahasia Pajak dikesampingkan), dan UU PP TPPU juncto PP

43/2015 (Notaris sebagai pelapor).

Penelitian ini juga telah menemukan ‘asas hukum’ yang ada di dalam atau

di belakang Pasal 15 UUJN No. 2/2014 yang mengatur mengenai kewenangan

Page 5: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

459

Notaris, yaitu: ‘Asas Delegatif Konstantir Non-Distorsif’. ‘Delegatif’ karena

kewenangan yang dimiliki pengemban profesi Notaris merupakan pelimpahan

kewenangan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang sebelumnya telah

mendapatkan kewenangan secara atribusi serta terjadi pengalihan tanggung jawab

dan tanggung gugat kepada pengemban profesi Notaris. ‘Konstantir’ karena

pengemban profesi Notaris akan menggunakan kewenangannya bila diminta oleh

klien yang berhadapan dengannya dan menuliskan apa yang merupakan

keinginan, kepentingan, dan kebutuhan klien tersebut setelah melalui proses

penalaran hukum serta prosedur dan teknik pembuatan Akta Notaris. ‘Non-

Distorsif’ karena untuk mewujud-nyatakan Akta Notaris atau putusan hukum

dalam wujud lain sesuai dengan kewenangnnya, pengemban profesi Notaris harus

waspada terhadap adanya penyimpangan atau kekacauan atau gangguan, baik

dalam aktivitas penalaran hukum, penggunaan kewenangannya, maupun prosedur

standar pembuatan Akta Notaris.

Berdasarkan penelitian terhadap pernyataan masalah kedua yang berkaitan

dengan relevansi hermeneutik dalam penalaran hukum terkait kewenangan

Notariat di Indonesia ditemukan beberapa hal. Penggunaan kewenangan yang

dilimpahkan kepada pengemban profesi Notaris dilaksanakan oleh Notaris dengan

melakukan aktivitas penalaran hukum. Penalaran hukum adalah penalaran yang

diterapkan pada bidang hukum. Penalaran merupakan suatu kegiatan

merumuskan pendapat yang benar sebagai suatu hasil dari proses berpikir yang

dilakukan oleh Notaris untuk merangkai fakta-fakta atau evidensi menuju pada

suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh akal sehat (rasional). Hasil dari

penalaran adalah argumentasi yang merupakan salah satu bentuk dari retorika

Page 6: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

460

yang berusaha untuk mempengaruhi setiap sikap atau pendapat orang lain,

sehingga timbul kepercayaan atau bertindak sesuai dengan yang diinginkan

pengemban profesi Notaris. Hasil dari penalaran hukum adalah argumentasi

yuridik. Argumentasi yuridik merupakan pendirian hukum yang bermuatan

penentuan secara umum atau secara konkret tentang status, hak, dan kewajiban

subyek hukum, serta tentang status obyek hukum yang disebut dengan putusan

hukum. Wujud-nyata putusan hukum dari pengemban profesi Notaris adalah

Akta Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (7) UUJN No. 2/2014 dan

wujud lain sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN No. 2/2014.

Putusan hukum itu sendiri sesungguhnya adalah pendapat hukum yang

dibangun oleh beberapa argumentasi yuridik yang merupakan hasil dari penalaran

hukum. Beberapa argumentasi yuridik dibangun oleh beberapa proposisi hukum

yang merupakan hasil dari keputusan dan beberapa proposisi hukum dibangun

oleh beberapa konsep hukum yang merupakan hasil dari aprehensi sederhana di

bidang hukum.

Aktivitas penalaran hukum dilakukan dengan menggunakan cara berpikir

yang seringkali disebut sebagai berpikir yuridik, dengan model berpikir

problematik tersistematisasi (gesystematiseerd probleemdenken), yang memiliki

kecenderungan backward thinking yang kemudian dinilai kembali dan

diungkapkan dengan proses berpikir forward thinking. Aktivitas dari penalaran

hukum tidak terlepas dari aktivitas pengkualifikasian fakta dan aktivitas

penemuan sumber hukum yang pada keduanya terjadi lingkaran hermeneutik.

Pada aktivitas pengkualifikasian fakta terdapat pengujian terhadap informasi atau

data dengan alat ujinya adalah: evidensi, konsistensi dan koherensi, dan relevansi

Page 7: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

461

yuridik. Aktivitas penalaran hukum juga dipengaruhi oleh ilmu logika disebut

sebagai fallacy (kesesatan berpikir), tetapi dalam hukum ada beberapa fallacy

yang layak atau diperkenankan untuk digunakan dalam situasi yuridikal tertentu.

Hermeneutik menawarkan suatu cara lain untuk melihat bahasa (yang

diperspektif dalam fungsi atau sifat transformatifnya dan bukan sekedar bahasa

representatif atau bahasa deskriptif) yang merupakan cara kita mengalami dan

memahami kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita. Karenanya

hermeneutik juga merupakan kegiatan untuk mengungkap makna mengenai segala

sesuatu yang merupakan jejaring makna atau struktur simbol-simbol, entah

tertuang sebagai tulisan maupun bentuk-bentuk lain dan berada pada tataran

filsafat. Bila diterapkan pada ranah hukum, akan menjadi ‘hermeneutik hukum’.

Area kerja ‘hermeneutik’ tentunya lebih luas dari ‘hermeneutik hukum’.

‘Hermeneutik hukum’ adalah interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi

yang lebih luas dan berada pada tataran filsafat hukum. ‘Hermeneutik hukum’

area kerjanya lebih luas dari ‘penafsiran hukum’ yang berada pada tataran praktik

hukum. ‘Penafsiran hukum’ area kerjanya terbatas pada kaidah hukum, termasuk

peraturan perundang-undangan dan pada perjanjian, sedangkan ‘hermeneutik

hukum’ dapat digunakan untuk menafsir struktur simbol-simbol lain dalam bentuk

yang tidak tertulis, bahkan dapat digunakan untuk ‘membongkar pandangan

formalistik terhadap hukum, meskipun tidak secara total’. ‘Penafsiran hukum’

merupakan salah satu metode yang ada pada ‘penemuan sumber hukum’ yang

berada pada tataran dogmatik hukum, selain ‘konstruksi hukum’. ‘Penemuan

sumber hukum’ itu sendiri adalah salah satu aktivitas yang ada pada ‘penalaran

hukum’ yang berada pada tataran teori hukum, selain ‘pengkualifikasian fakta’.

Page 8: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

462

‘Penalaran hukum’ menghasilkan ‘argumentasi yuridik’ final atau pendapat

hukum, yang tidak lain adalah juga merupakan jejaring makna. Bahkan semua

aktivitas yang disebutkan adalah juga kegiatan yang pada akhirnya berupaya

untuk menemukan jejaring makna.

Konsep-konsep yang ada pada pemikiran tentang hermeneutik dapat

digunakan untuk memberikan pengertian dan menjelaskan mengapa suatu

fenomena atau hal-hal tertentu atau kecenderungan tertentu dalam aktivitas

penalaran hukum pada penggunaan kewenangan Notariat terjadi. Fenomena

‘backward thinking’ dapat dimengerti dan dijelaskan dengan menggunakan salah

satu konsep dalam pemikiran tentang hermeneutik yang disampaikan oleh Hans-

Georg Gadamer, yaitu konsep ‘Horizontverschmelzung’ (fusi horison atau

peleburan horison), khususnya mengenai ‘proyeksi’ (Entwurf) atau ‘pra-struktur

pemahaman’. Proses backward thinking ini juga dapat menjebak subyek

penalarnya memberikan pendapat hukum yang tendensius dan subyektif.

Fenomena tersebut dapat dimengerti dan dijelaskan dengan menggunakan salah

satu konsep dalam pemikiran tentang hermeneutik yang disampaikan oleh

Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, yaitu konsep ‘Nach-Erleben’ (mengalami

kembali). ‘Nach-Erleben’ (mengalami kembali) apa yang diinginkan klien ini juga

terkadang dapat menjebak pengemban profesi Notaris pada konsep yang dalam

ilmu logika disebut sebagai ‘kesesatan berpikir’, sehingga berpengaruh hasil

penalaran hukumnya diarahkan untuk suatu pendapat hukum tertentu. Fenomena

atau kondisi tersebut terkadang juga dihasilkan dari apa yang disebut oleh Jürgen

Habermas sebagai ‘komunikasi yang terdistorsi secara sistematis’ dan ‘siasat

tersembunyi’ yang dikemukakannya pada ‘Hermeneutik Kedalaman’. Fenomena

Page 9: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

463

dialektis yang saling mencari dan memberi antara fakta dan kaidah hukum dapat

dimengerti dan dijelaskan dengan menggunakan salah satu konsep dalam

pemikiran tentang hermeneutik yang dikemukakan oleh Friedrich Daniel Ernst

Schleiermacher, yaitu konsep ‘lingkaran hermeneutik’.

Aktivitas penalaran hukum yang dilakukan oleh penalar hukum yang

berbeda, termasuk dalam pembahasan ini yang dihasilkan oleh para pengemban

profesi Notaris sebagai subyek penafsir, sangat dimungkinkan untuk

menghasilkan argumentasi yuridik yang berbeda pula; bahkan sekalipun informasi

dan data yang diperolehnya sama, kaidah hukum yang digunakannya sama, dan

penalaran hukum yang dilakukannya sama. Potensi perbedaan ini dapat dipahami

dan dijelaskan dari cara pandang hermeneutik dan proses yang terdapat dalam

penalaran hukum itu sendiri. Potensi perbedaan yang dapat dijelaskan oleh

hermeneutik adalah karena berbedanya orientasi atau fokus, yaitu pada: subyek

penulis dan/atau subyek penafsir dan/atau teks. Potensi perbedaan yang

disebabkan karena penalaran hukum diantaranya bila ada fallacy saat bernalar

hukum, ada distorsi, pengujian terhadap informasi atau data yang tidak tepat dan

benar, penggunaan interpretasi yang berbeda, serta adanya kepentingan-

kepentingan lain.

Konsep ‘proses triadik menafsir’ yang disampaikan oleh Emilio Betti

dikolaborasi dengan konsep keberadaan makna yang terkait dengan teks atau

‘totalitas teks’ yang disampaikan oleh Paul Ricouer didapat padanan sebagai

berikut: ‘subyek penulis’ identik dengan perspektif ‘makna di belakang teks’,

‘teks’ identik dengan perspektif ‘makna di dalam teks’, dan ‘subyek penafsir’

identik dengan perspektif ‘makna di depan teks’. Karena berkaitan dengan

Page 10: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

464

‘makna di belakang teks’ yang merupakan makna yang dimaksud oleh ‘subyek

penulis’ yang fokusnya lebih ke makna di masa lalu atau reproduktif makna

aslinya, maka pembahasannya akan sangat relevan bila dijelaskan dengan konsep-

konsep yang ada pada pemikiran tentang hermeneutik yang dikemukakan oleh

Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Friedrich Daniel

Ernst Schleiermacher mengemukakan konsep ‘Nach-Erleben’ (mengalami

kembali) dan konsep ‘Lingkaran hermeneutik Schleiermacher‘, sedangkan

Wilhelm Dilthey menawarkan suatu konsep bahwa menafsir adalah ‘life meets

life’ atau suatu ‘transposisi’ dan ketiga konsep yang disebutnya sebagai:

penghayatan atau pengalaman (Erleben), ungkapan (Ausdruck), dan memahami

(Verstehen). Karena berkaitan juga dengan ‘makna di dalam teks’ yang

merupakan makna yang ada pada ‘teks’ itu sendiri, maka pembahasannya akan

sangat relevan bila dijelaskan dengan pemikiran tentang hermeneutik yang

dikemukakan oleh Jürgen Habermas dan Paul Ricoeur. Jürgen Habermas

mengemukakan konsep ‘Hermeneutik Kedalaman’ yang di dalamnya juga

terdapat konsep ‘komunikasi yang terdistorsi secara sistematis’ berikut dengan

cara yang ditawarkan untuk mengatasinya dan ‘siasat tersembunyi’, sedangkan

Paul Ricoeur mengemukakan konsep ‘hermeneutik reflektif’ yang di dalamnya

terdapat juga konsep ‘apropriasi’, dan jembatan hermeneutik ‘hermeneutical arc’.

Karena berkaitan juga dengan ‘makna di depan teks’ yang merupakan makna

yang ditafsirkan oleh ‘subyek penafsir’ yang fokusnya lebih ke makna yang

dilihat pada masa sekarang atau produksi makna baru, maka pembahasannya akan

sangat relevan bila dijelaskan dengan pemikiran tentang hermeneutik yang

dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer, Emilio Betti, dan Paul Ricouer. Hans-

Page 11: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

465

Georg Gadamer mengemukakan konsep ‘Wirkungsgeschichte’ (effective history

atau sejarah yang berdampak atau berpengaruh), konsep ‘Horizontverschmelzung’

(fusi horison atau peleburan horison), dan konsep subtilitas intellegendi, subtilitas

explicandi, dan subtilitas applicandi. Emilio Betti mengemukakan konsep ‘4

(empat) macam penafsiran yang didasarkan pada tahapan-tahapan momen’. Paul

Ricouer mengemukakan konsep ‘hermeneutik reflektif’ yang di dalamnya terdapat

juga konsep ‘jembatan hermeneutik’ (hermeneutical arc), dan konsep ‘apropriasi’.

Pemanfaatan hermeneutik dalam penalaran hukum terkait penggunaan

kewenangan Notariat tidak boleh terlepas dari suatu asas umum sebagai pedoman,

norma kritik (kaidah evaluasi), dan faktor yang memotivasi setiap penalaran

hukum yang dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut, pengemban profesi Notaris

memiliki kesempatan yang sangat besar untuk dapat mewujudkan unsur-unsur

dari cita-hukum Pancasila yang merujuk pada keadilan, kepastian hukum, dan

kehasil-gunaan (doelmatigheid) yang diwujudkan dalam putusan hukum yang

dihasilkannya. Pengemban profesi Notaris juga dapat memanfaatkan kaidah

hukum lain yang tidak hanya bersumber hukum dari peraturan perundang-

undangan tetapi juga didapat dari hukum kebiasaan dan hukum adat yang

termasuk sebagai Hukum Pancasila. Pengemban profesi Notaris dalam

melaksanakan kewenangan dan melakukan akitvitas penalaran hukum seyogyanya

terarah menuju pada suatu tujuan hukum yang sesuai dengan cita-hukum

Pancasila, yaitu: pengayoman atau perlindungan. Pengemban profesi Notaris

sebagai personifikasi dari sebagian kekuasaan negara di bidang hukum perdata

hendaknya mampu menjadi pamong untuk mengarahkan perilaku kliennya serta

menciptakan kondisi yang tertib dan adil melalui pendapat hukum yang

Page 12: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

466

dikemukakannya dan senantiasa meningkatkan kualitas keilmuannya, khususnya

ilmu hukum agar senantiasa dapat memberikan bantuan hukum untuk dapat

memberikan solusi hukum yang terbaik bagi klien yang berhadapan dengannya.

B. SARAN

Pengemban profesi Notaris dalam kedudukannya selaku pejabat umum

adalah pengemban hukum praktikal yang mendapatkan delegasi dari Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melaksanakan sebagian kekuasaan negara

di bidang hukum perdata dengan membuat Akta Notaris dan melakukan

kewenangan lain berdasarkan Pasal 15 UUJN No. 2/2014. Sekalipun dalam

melaksanakan sebagian kekuasaan negara di bidang hukum perdata pengemban

profesi Notaris mendapatkan perlindungan hukum, tetapi karena pada delegasi

terdapat pengalihan tanggung jawab dan tanggung gugat, maka pengemban

profesi Notaris dapat diminta pertanggung jawaban baik secara hukum maupun

secara kaidah moral yang berlaku baginya. Oleh karenanya saran pertama dari

penelitian ini adalah pengemban profesi Notaris harus melaksanakan tugas

jabatannya sesuai dengan kaidah hukum dan kaidah moral yang berlaku baginya,

tidak bekerja melampaui kewenangannya, dan senantiasa bersikap waspada dalam

menjalankan kewenangannya.

Pengemban profesi Notaris harus memiliki kemahiran hukum agar mampu

memberikan pendapat hukum atau putusan hukum yang baik, benar, tepat. Salah

satu kemahiran hukum yang diperlukan oleh pengemban profesi Notaris dalam

menggunakan kewenangannya adalah kemahiran dalam melakukan penalaran

hukum. Kemahiran bernalar hukum ini diperlukan karena hasil dari penalaran

Page 13: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

467

hukum itu sendiri adalah argumentasi yuridik final atau putusan hukum atau

pendapat hukum yang salah satunya diwujud-nyatakan dalam bentuk Akta

Notaris. Berkaitan dengan hal tersebut, saran kedua dari penelitian ini adalah

pengemban profesi Notaris harus senantiasa meningkatkan kemahirannya dalam

melakukan penalaran hukum dan memperlengkapi pemahaman terhadap aktivitas

penalaran hukum yang dilakukannya dengan konsep-konsep yang aplikatif-praktis

yang ada pada pemikiran tentang hermeneutik serta melaksanakan penalaran

hukum dengan mengacu pada konsep-konsep yang ada pada paradigma ilmu

hukum Indonesia dalam melaksanakan kewenangannya.

Page 14: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

468

Page 15: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

469

DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN SEJENISNYA

A.A. Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa Notaris di

Indonesia?, Cet. I, Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010.

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2004.A. Hamid S. Attamimi, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa

Indonesia” dalam Pancasila sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan

Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, disunting oleh: Oetojo Oesman &

Alfian, BP-7 Pusat, Jakarta, 1992.

Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,

Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Anthon F. Susanto, Penelitian Hukum – Transformatif-Partisipatoris – Fondasi

Penelitian Kolaboratif dan Aplikasi Campuran (Mix Method) dalam

Penelitian Hukum, Malang: Setara Press, 2015.

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum – Sebuah

penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat kelimuan Ilmu Hukum

sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Cet.

Ketiga, Bandung: Mandar Maju, 2009.

B. Arief Sidharta, Pengantar Logika – Sebuah Langkah Pertama Pengenalan

Medan Telaah, Cet. Ketiga, Bandung: Refika Aditama, 2010.

Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia – Upaya Pengembangan Ilmu

Hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Cet.

Pertama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.

Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics : Hermeneutics as Method,

Philosophy and Critic, Rouledge & Keagen Paul, London-Boston-Henley,

1980.

Bruggink, JJ.H., Rechts-Reflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie, 1993,

yang dialih bahasakan oleh: B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum –

Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Cet. Ke IV, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2015.

Page 16: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

470

Catalano, John, Francis Lieber: Hermeneutics and Practical Reason, Lanham-

New York-Oxford: University Press of America, 2000.

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-

20, Bandung: Alumni, 2006.

Chalmers, A.F., What is thing called Science?, University of Queeensland Press,

St Lucia, Queensland, Edisi Baru September 1982, diterjemahkan oleh

Hasta Mitra, Apa itu yang dinamakan Ilmu?, Hasta Mitra, 1983.

Chandra Kusuma, Penelitian Interdisipliner Tentang Hukum, Jakarta: Epistema

Institute, 2013.

E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Cet. Ke-12, Yogyakarta:

Kanisius, 2016.

Esmi Warassih et. all, Penelitian Hukum Interdisipliner sebuah pengantar menuju

sosio-legal, Cet. I, Yogyakarta: Thafa Media, 2016.

F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis

tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius,

2003.

F. Budi Hardiman, Seni Memahami – Hermeneutik dari Schleiermacher sampai

Derrida, Cet. Ke-4, Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Gadamer, Hans-Georg, Truth and Methode, London: Sheed & Ward, 1975.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1983.

Harris, J.W., Law and Legal Science, Clarendon Press, Oxford, 1979.

Haryo Damardono et. All., Seri Tokoh Hukum Indonesia – Bernard Arief Sidharta

– Peziarah Hukum Indonesia, Jakarta: Epistema Institute – HuMa, 2016.

Herlien Budiono, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2013.

Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,

Bandung: Mandar Maju, 1995.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata usaha

Negara, Buku II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme – Tantangan Bagi Filsafat, Cet. Ke-11,

Yogyakarta: Kanisius, 2016.

Jerzy Stelmach and Bartosz Brozek, Methods of Legal Reasoning, Nederlands

(Springer): Dodrecht, 2006.

Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi – Penelitian Hukum Normatif, Edisi

Revisi, Cet. Kedua, Malang: Bayumedia Publishing, 2006.

Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), Pustaka Sinar

Harapan, 2010.

K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata (RBg/HIR), Jakarta: Ghalia Indonesia,

1981.

Leyh, Gregory, Legal Hermeneutics, University of California, 1992, yang

diterjemahkan oleh M. Khozim, Hermeneutika Hukum – Sejarah, Teori

dan Praktik, Cetakan II: Oktober 2011, Bandung: Nusa Media, 2011.

Page 17: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

471

Merryman, John Henry dan Perdomo, Regolio Perez, The Civil Law Tradition an

Indroduction to the Legal Systems of Europe and Latin America,

California: Standart University Press, 2007.

Nicolai, P. et.al., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994.

Nyana Wangsa dan Kristian, Hermeneutika Pancasila - Orisinalitas dan Bahasa

Hukum Indonesia, Cetakan Kesatu, Bandung: Refika Aditama, 2015.

M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum

Acara Perdata Setengah Abad, Jakarta: Swa Justitia, 2005.

Palmer, Richard E., Hermeneutics : Interpretation Theory in Schleiermacher,

Dilthey, Heiddeger, and Gadamer, Evaston: Northwestern University,

1969 (cetakan kedelapan, 1988), hlm. 38; yang telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia; lihat: Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori

Baru Mengenai Interpretasi, penerjemah: Musnur Hery & Damanhuri

Muhamed, Pustaka Pelajar, 2005.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia

Group - Kencana, 2005.

Piaget, Jean, General Problems of Interdisciplinary Research and Common

Mechanism. Main Trends of Research in the social and Human Sciences.

Part one: Social Sciences, the Hague: Mouton/Unesco, 1970.

Posner, Richard A., How Judges Think, London: Harvard University Press, 2008.

Repko, Allen F., Interdisciplinary Research: Process and Theory, London: SAGE

Publications, 2008.

Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan. Ajaran Sosial Gereja dan prakis Sosial

Iman, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Ricoeur, Paul, Hermeneutics & Human Sciences, Editor: John B. Thompson,

Canbrige-NY- Melbourne: Press Syndicate of The University of

Candridge, 1981.

Ricouer, Paul, Teori Interpretasi: Membedah Makna dalam Anatomi Teks (Judul

asli: Theory of Interpretation: Discourse and The Surplus of Meaning;

penerjemah: Mansur Hery), Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.

Ridwan H R, Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisi, Cet. 8, Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2013.

Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, Bandung: Sinar

Baru, 1984.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Cetakan kedua, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1985.

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan,

Jakarta: Rajawali, 1982.

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1989.

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata –

Comparative Civil Law, Cet. Ke-2, Jakarata: RajaGrafindo Persada, 2015.

Page 18: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

472

Schleiermacher, F.D.E., “Foundations: General Theory and Art of

Interpretation”, dalam: Mueller-Vollmer, Kurt (ed.), The Hermeneutics

Reader. Texts of the German Tradition from the Enlightenment to the

Present, New York: Continuum, 2006.

Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Cet. I, Yogyakarta: Genta

Publishing, 2013.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan 2015, Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu

Tinjauan Singkat, Ed. 1, Cet. 17, Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya (ed. : Ifdhal Kasim et.al.), Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat (ELSAM) & Perkumpulan untuk Pembaharuan

Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa), 2002.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,

1988.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cet. Ke-5,

Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014.

Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Jakarta: Ichtiar baru

van Hoeve, 1994.

van Wijk, H.D., en Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht,

Vuga, s’Gravenhage, 1995.

Zaprulkhan , Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, RajaGrafindo Persada,

2015.

KAMUS, JURNAL, DISERTASI, MAKALAH, TULISAN LEPAS, KORAN,

DAN SEJENISNYA

A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia DalamPenyelenggaraan Pemerinahan Negara, Disertasi Program Studi DoktorIlmu Hukum, Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1990.

B. Arief Sidharta, Penalaran Hukum, karya yang tidak dipublikasikan, terdapatpada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila, tidak dipublikasikan.B. Arief Sidharta, Pengembanan Hukum dewasa ini di Indonesia, makalah yang

tidak diterbitkan, terdapat pada Fakultas Hukum Universitas KatolikParahyangan 2011.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ketujuh,

Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014.

Page 19: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

473

Rachmani Puspitadewi, Peran Hermeneutika dalam Pengujian Undang-Undangoleh Mahkamah Konstitusi, Disertasi Program Pascasarjana Doktor IlmuHukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2016.

R.B. Budi Prastowo, Penalaran Hukum, makalah yang tidak diterbitkan, terdapatpada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2017.

Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas HukumNasional, dalam Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 TahunPembangunan Nasional) No. 1 Tahun 1995, Pusat Dokumentasi HukumBPHN Departemen Kehakiman.

Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”,(Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2004).

http://kbbi.web.id/notariat, diunduh pada tanggal 4 Maret 2017.http://kbbi.web.id/kewenangan, diunduh pada tanggal 9 Maret 2017.http://kbbi.web.id/teks, diunduh pada tanggal 26 Mei 2017.http://kbbi.web.id/akta, diunduh pada tanggal 26 Mei 2017.http://kbbi.web.id/konstatir, diunduh pada tanggal 9 Juli 2017.http://www.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt573298b2a4142/7-hal-

yang-sering-menyeret-notaris-ke-pusaran-kasus, diunduh pada tanggal 12Oktober 2017.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidata

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan.

Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Page 20: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

474

Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan, Tugas, dan

Fungsi Eselon I Kementerian Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pembuat

Akta Tanah.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 Tentang Pejabat Lelang

Kelas II.

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5September 1973.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3199 K/Pdt/1992, tanggal27 Oktober 1994.