Upload
vonhi
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
89
BAB IV
SOLIDARITAS ANTAR PEREMPUAN
DALAM BUDAYA PATRIARKI
Diskusi teori dalam bab dua telah memaparkan beberapa konsep, seperti
solidaritas sosial dalam masyarakat, solidaritas antar perempuan dalam hubungan
persaudarian, tafsir feminis, serta kajian mengenai kehidupan kaum perempuan dalam
dunia Israel Kuno. Sedangkan, dalam bab tiga telah menyajikan tafsiran teks Hakim-
hakim 4 dan 5 dengan memperhatikan latar belakang sosio-historis yang mempengaruhi
teks dan karakter para tokoh perempuan. Dalam bab ini penulis akan menganalisa
hubungan solidaritas antar perempuan dengan mengacu pada tokoh Debora, Yael dan
ibu Sisera yang hidup di dunia Israel Kuno dengan menggunakan teori-teori pada bab
dua dan digabungkan dengan penemuan pada bab tiga.
Hal penting yang harus dilakukan dalam upaya untuk analisa ini adalah
pertama-tama melihat hubungan-hubungan sosial yang tercipta dalam masyarakat di
dunia Israel Kuno, baik laki-laki maupun perempuan; diikuti oleh pembahasan
mengenai hubungan solidaritas perempuan dalam kisah Debora, Yael dan ibu Sisera;
kemudian diakhiri dengan kontribusi dari penelitian ini bagi perempuan di Indonesia.
A. SOLIDARITAS PEREMPUAN
Kehidupan sosial di dunia Israel Kuno sangat patriarki dan diatur dari bawah ke
atas sehingga menjadikan rumah tangga sebagai unit utama. Laki-laki memiliki otoritas
yang kuat dan menjadi kepala keluarga yang mengatur berbagai aturan dalam rumah
tangga. Rumah tangga sebagai pusat seluruh kegiatan Israel Kuno menyebabkan fungsi
ini diatur sedemikian rupa sehingga setiap anggota keluarga berpartisipasi dengan
90
melakukan berbagai tugas untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pembagian
tugas di dalam rumah tangga menempatkan perempuan berada dalam ranah domestik,
sementara laki-laki dalam ranah publik.
Pembagian kerja dalam masyarakat Israel Kuno sebagai masyarakat agraris
berdasarkan pada dua hal, yaitu jenis jelamin dan tenaga kerja. Dalam tiga aktivitas
yang dilakukan dalam rumah tangga, yaitu prokreasi, produksi dan proteksi, pembagian
ini sangat jelas. Kaum laki-laki menjadi prajurit untuk melindungi orang Israel
(proteksi) dan melakukan melakukan kegiatan pertanian, seperti membuka lahan baru
(produksi); sementara kaum perempuan bercocok tanam dan memanen (produksi),
melahirkan dan merawat anak (prokeasi), serta menyediakan kebutuhan jasmani bagi
seluruh anggota rumah tangga. Dengan memahami pembagian kerja dan peranan ini,
maka terdapat nilai moral yang menunjukkan bahwa masyarakat Israel Kuno memiliki
hubungan yang saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain. Hal ini disebut
Durkheim sebagai prinsip solidaritas sosial, yaitu suatu ikatan atau keadaan hubungan
antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan
yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Nilai moral
yang tampak dalam kehidupan masyarakat Israel Kuno adalah orientasi kehidupan yang
berpusat pada keluarga, klan maupun suku dalam melakukan berbagai aktivitas.
Orientasi kehidupan masyarakat Israel Kuno juga mengindikasikan adanya
suatu kesadaran kolektif atau ikatan moral bersama dalam masyarakat. Hubungan ini
tercermin sebagai bentuk implementasi dari teori solidaritas mekanik Durkheim yang
didasarkan pada persamaan yang ada di dalam masyarakat agraris. Kesadaran kolektif
ini menyebabkan masyarakat Israel Kuno menganut kepercayaan dan pola normatif
yang sama sebagai ikatan utama sehingga cenderung melakukan aktivitas yang sama
dan memiliki tanggung jawab yang sama. Masyarakat Israel Kuno tidak memerlukan
kelompok lain untuk memenuhi kebutuhan mereka
oleh laki-laki dan perempuan merupakan usaha unt
kebutuhan hidup. Unit-unit
dan memperkuat solidaritas sosial mereka
Hal penting yang ditemukan dari pembahasan mengenai
di Israel Kuno ini adalah adanya sinergi antara kaum perempuan dalam melakukan
berbagai aktivitas. Hal ini merupakan nilai moral yang tampak dalam hubungan
solidaritas sosial, khususnya solidaritas perempuan.
berbagai aktivitas di sekitar maupun di luar rumah dengan dan di sekitar perempuan
Kaum perempuan bersosialisasi dengan perempuan lainnya, baik
keluarga maupun anggota
pengalaman dan pengetahuan yang dapat dikelola bersama untuk keberlang
hidup. Wujud nyata dari hubungan ini kemudian melahirkan pengalaman emosional
bersama yang memperkuat hubungan mereka.
solidaritas mekanik Durkhe
gambar berikut.
Kelompok perempuan yang melakukan aktivitas rumah tangga.
(Sumber: King dan Stager, 2012.)
kelompok lain untuk memenuhi kebutuhan mereka, karena pelayanan yang dilakukan
laki dan perempuan merupakan usaha untuk melangsungkan dan memenuhi
unit sosial menjadi dimensi sosial masyarakat yang membentuk
dan memperkuat solidaritas sosial mereka dari pengalaman yang dirasakan bersama
Hal penting yang ditemukan dari pembahasan mengenai kehidupan perempuan
adalah adanya sinergi antara kaum perempuan dalam melakukan
Hal ini merupakan nilai moral yang tampak dalam hubungan
solidaritas sosial, khususnya solidaritas perempuan. Para perempuan melakukan
di sekitar maupun di luar rumah dengan dan di sekitar perempuan
bersosialisasi dengan perempuan lainnya, baik
anggota dari rumah tangga yang lain sehingga memiliki berbagai
pengetahuan yang dapat dikelola bersama untuk keberlang
Wujud nyata dari hubungan ini kemudian melahirkan pengalaman emosional
memperkuat hubungan mereka. Hal ini juga mempresentasikan
solidaritas mekanik Durkheim. Aktivitas kelompok perempuan Israel
Kelompok perempuan yang melakukan aktivitas rumah tangga.
(Sumber: King dan Stager, 2012.)
Kelompok perempuan yang memanen(Sumber:
http://www.womeninthebible.net/Bathseba_her_world.htm, diakses pada Kamis, 14 Mei 2015 pukul 20.38 WIB)
91
, karena pelayanan yang dilakukan
uk melangsungkan dan memenuhi
masyarakat yang membentuk
dari pengalaman yang dirasakan bersama.
kehidupan perempuan
adalah adanya sinergi antara kaum perempuan dalam melakukan
Hal ini merupakan nilai moral yang tampak dalam hubungan
Para perempuan melakukan
di sekitar maupun di luar rumah dengan dan di sekitar perempuan.
bersosialisasi dengan perempuan lainnya, baik dengan anggota
sehingga memiliki berbagai
pengetahuan yang dapat dikelola bersama untuk keberlangsungan
Wujud nyata dari hubungan ini kemudian melahirkan pengalaman emosional
Hal ini juga mempresentasikan
perempuan Israel dapat dilihat pada
Kelompok perempuan yang memanen gandum. (Sumber:
http://www.womeninthebible.net/Bathseba_her_world.h, diakses pada Kamis, 14 Mei 2015 pukul 20.38 WIB)
92
Hubungan solidaritas antar perempuan dalam dunia Israel kuno memang sudah
terbentuk di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Akan tetapi, terdapat pola hubungan
solidaritas yang berbeda yang muncul dalam kisah Debora, Yael dan ibu Sisera dalam
kitab Hakim-hakim 4 dan 5. Ketiga perempuan ini memiliki konteks kehidupan sosial
yang berbeda satu sama lain. Debora merupakan perempuan Israel, Yael sebagai
perempuan Keni, sedangkan ibu Sisera adalah perempuan Kanaan. Debora tampil di
ranah publik dengan berbagai peranan, sedangkan Yael dan ibu Sisera berada di ranah
domestik. Ketiga perempuan ini sama sekali tidak berhubungan dan berinteraksi secara
langsung. Hubungan langsung yang ditunjukkan dalam teks hanyalah antara Debora
dengan Barak, Yael dengan Sisera, serta ibu Sisera dengan dayang-dayangnya.
Penulis menemukan dua pola hubungan solidaritas antara ketiga perempuan ini
yang menarik untuk dikaji. Pertama, solidaritas antara Debora dan Yael; kedua, anti-
solidaritas dalam hubungan Debora/Yael dengan ibu Sisera.
1. Solidaritas antara Debora dan Yael
Hubungan antara Debora dan Yael dalam kitab Hakim-hakim digambarkan
pada penggenapan nubuat Yahweh. Debora bernubuat bahwa Sisera akan diserahkan ke
tangan seorang perempuan (Hakim-hakim 4:9) dan Yael adalah perempuan yang
dimaksudkan. Teks menunjukkan dengan sangat jelas bahwa Barak mengejar Sisera,
akan tetapi ia hanya mendapatkan mayat Sisera di dalam kemah Yael (Hakim-hakim
4:22).
Hubungan antara kedua perempuan ini tidak dapat dibatasi pada hal tersebut,
karena terdapat fenomena sosial yang mendasari hubungan dan ikatan di antara mereka.
Debora dan Yael digambarkan dalam beberapa hal sebagai perempuan yang otonom
dan memiliki kekuasaan penuh yang egaliter. Kekuasaan ini tampak dalam beberapa
93
aspek, yaitu sosial, religius dan politis. Debora merupakan pemimpin orang Israel yang
berperan sebagai hakim, nabi, pemimpin perang, ibu di Israel dan penyanyi.
Peranannya ini memberikan gambaran tentang statusnya sebagai perempuan karismatik
yang berada di kelas atas dan dihormati oleh orang Israel. Di pihak lain, Yael
merupakan perempuan domestik yang berasal dari kelas bawah, hidup mengembara
bersama kaumnya dan tinggal di dalam tenda.
Terdapat satu kesamaan yang menonjol dalam kisah Debora dan Yael ini.
Kedua perempuan ini berada dalam konteks sosial masyarakat yang marginal dan
tertindas. Debora bersama-sama dengan orang Israel berada dalam posisi yang sukar
dan terpinggirkan di antara bangsa sekitar yang berkuasa. Akibat kejahatan yang
dilakukan, orang Israel dihukum oleh Tuhan melalui penindasan bangsa Kanaan. Di sisi
lain, Yael sebagai orang Keni juga merupakan kelompok yang marginal di tanah
Kanaan. Kelompok Heber yang memisahkan diri dari suku Keni dan suku Israel
sebagai klan yang baru masih berada dalam situasi yang rentan terhadap berbagai
ancaman dan serangan dari luar. Ada indikasi lain mengenai keberadaan mereka.
Hubungan baik yang terjalin antara Yael dan keluarga Heber dengan raja Kanaan dapat
disebabkan oleh status orang Keni sebagai habiru yang terikat pada kontrak sosial. Ada
masa di mana orang Keni pernah bekerja sama dengan raja Kanaan, namun pada satu
waktu mereka memberontak dan melawan kembali raja Kanaan akibat dari kontrak
sosial yang dilanggar dan merugikan mereka. Jika demikian, maka jelas bahwa orang
Keni merupakan kelompok yang terancam, bahkan tertindas sehingga tindakan Yael
terhadap Sisera adalah tanda pemberontakan terhadap bangsa Kanaan.
Keadaan yang dialami Debora dan Yael menggambarkan situasi politis. Mereka
berjuang bersama melawan pergolakan politik pada masa itu demi mempertahankan
kelompoknya dari tekanan bangsa Kanaan. Solidaritas yang terjalin antara Debora
dengan Yael justru disatukan dari pengalaman ketertindasan mereka, dari pengalaman
mereka yang terancam
Solidaritas yang lahir dari kedua perempuan ini
untuk memperoleh kebebasan dengan cara mengalahkan
nilai moral yang mengikat dan
Debora dan Yael dapat digambarkan pada bagan berikut.
Peranan dan kedudukan
oleh pengalaman yang sama
Hal inilah yang mendasari solida
kolektif yang mengikat mereka
Peranan Debora dan Yael
umumnya yang bergerak dalam aktivitas prokreasi dan produksi. Dua perempuan ini
justru telah melampaui
dilakukan oleh laki-laki.
(Diadaptasi dari Sansay, 1974
• Orang Israel• Perempuan
karismatis• Pemimpin politik,
religi dan perang• Ibu di Israel• Perempuan kelas atas
Proteksi
justru disatukan dari pengalaman ketertindasan mereka, dari pengalaman
dan dari keadaan ketika mereka melawan musuh yang sama.
Solidaritas yang lahir dari kedua perempuan ini menunjukkan bahwa visi yang sama
untuk memperoleh kebebasan dengan cara mengalahkan bangsa Kanaan merupakan
mengikat dan mempersatukan mereka. Hubungan solidaritas antara
Debora dan Yael dapat digambarkan pada bagan berikut.
Peranan dan kedudukan Debora dan Yael jelas berbeda, akan tetapi mereka disatukan
yang sama sebagai kelompok marginal dan tertindas di tanah Kanaan
l inilah yang mendasari solidaritas mereka, dan disebut Durkheim sebagai kesadaran
mereka dalam konsep solidaritas mekanik.
Debora dan Yael tidak terbatas seperti perempuan Israel Kuno pada
umumnya yang bergerak dalam aktivitas prokreasi dan produksi. Dua perempuan ini
aktivitas tersebut dan melakukan aktivitas proteksi
. Hal ini dapat digambarkan dalam bagan berikut.
Diadaptasi dari Sansay, 1974 dalam Meyers, 1996)
DeboraOrang IsraelPerempuan karismatisPemimpin politik, religi dan perangIbu di IsraelPerempuan kelas atas
Yael• Orang Keni• Berada dalam ranah domestik
• Tinggal dalam tenda• Perempuan kelas bawah
Debora dan Yael
perempuan laki-laki
Produksi
kelompok marginal
& tertindas
94
justru disatukan dari pengalaman ketertindasan mereka, dari pengalaman
dan dari keadaan ketika mereka melawan musuh yang sama.
menunjukkan bahwa visi yang sama
Kanaan merupakan
Hubungan solidaritas antara
Debora dan Yael jelas berbeda, akan tetapi mereka disatukan
sebagai kelompok marginal dan tertindas di tanah Kanaan.
dan disebut Durkheim sebagai kesadaran
seperti perempuan Israel Kuno pada
umumnya yang bergerak dalam aktivitas prokreasi dan produksi. Dua perempuan ini
melakukan aktivitas proteksi yang biasa
berikut.
Prokreasi
95
Tindakan Debora dan Yael dalam ranah proteksi harus dipahami dalam
kerangka berikut. Pada umumnya kehidupan perempuan telah diatur untuk berada
dalam aktivitas prokreasi dan produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ketika perempuan terlibat dalam ranah proteksi, ini menunjukkan bahwa kaum
perempuan berada pada posisi yang terdesak akibat dari berbagai pergolakan sosial
yang terjadi. Ada saat di mana mereka harus keluar dari ruang privat masing-masing
ketika terjadi ancaman bagi lingkungan dan kelangsungan hidup mereka. Perempuan
keluar untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai usaha untuk
mempertahankan kehidupannya. Hal inilah yang ditunjukkan oleh Debora dan Yael.
Solidaritas mereka merupakan solidaritas yang bergerak keluar. Debora dan Yael tidak
hanya bersimpati dengan situasi sosial dan politik yang terjadi, namun mereka juga
berempati dengan kelompok masing-masing yang ditunjukkan dengan tindakan nyata
untuk keluar dari zona nyaman mereka: Debora memimpin perang, sedangkan Yael
mengambil patok kemah dan palu kemudian membunuh Sisera dengan segala resiko
yang dapat membahayakan kehidupan mereka. Tindakan Debora yang turun ke medan
perang memiliki resiko bahwa kemungkinan ia akan mati dalam peperangan. Begitu
pulaYael ketika membunuh Sisera, seorang panglima perang.
Hubungan lain yang ditunjukkan oleh Debora dan Yael adalah pujian Debora
kepada Yael sebagai perempuan yang paling diberkati di antara perempuan lain, tidak
menutup kemungkinan dari diri Debora sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa
tindakan Debora telah meruntuhkan batas-batas atau tembok pemisah antara Debora
dan Yael sebagai dua perempuan yang berasal dari suku dan status sosial yang berbeda.
Debora tidak melihat Yael sebagai orang Keni dan perempuan domestik yang tidak
memiliki peran yang lebih baik darinya sebagai perempuan Israel yang tampil sebagai
pemimpin di ranah publik. Sebaliknya, di dalam kedomestisisannya Yael telah
96
melakukan pekerjaan besar yang menyumbangkan kebebasan bagi Israel. hooks
menyebutkan bahwa faktor-faktor seperti ras dan kelas sosial dapat menjadi penghalang
jalan solidaritas perempuan. Akan tetapi, dalam kasus Debora dan Yael, keduanya
memiliki tujuan dan cita-cita yang sama yang menjadikan mereka terikat dalam
perjuangan yang sama, sehingga mengabaikan bahkan mengatasi berbagai isu sosial
yang ada.
2. Anti-solidaritas dalam Hubungan antara Debora/Yael dan ibu Sisera
Teks secara jelas menggambarkan interaksi antara ibu Sisera dengan dayang-
dayangnya dalam sebuah percakapan (Hakim-hakim 5:28-30). Ini merupakan satu-
satunya gambaran yang jelas mengenai interaksi langsung antara perempuan dengan
perempuan lain dalam cerita Debora, Yael dan ibu Sisera. Meskipun demikian, hal ini
sama sekali tidak menjadi perhatian penulis untuk menjawab permasalahan penelitian.
Situasi sosial yang dihadapi oleh Debora maupun Yael jelas bertolak belakang
dengan situasi ibu Sisera. Debora, Yael dan ibu Sisera berada pada posisi yang
berlawanan, yaitu sebagai kelompok tertindas dan kelompok penindas. Seperti yang
telah diungkapkan, Debora pada awalnya menaruh simpati terhadap ibu Sisera yang
menanti kepulangan anaknya dengan cemas. Perasaan ini menunjukkan adanya
solidaritas antar ibu. Simpati yang ditunjukkan Debora bahkan mengabaikan status ibu
Sisera sebagai ibu yang berasal dari Kanaan. Akan tetapi, hal ini berubah ketika ibu
Sisera digambarkan sebagai sosok yang tidak sabar menunggu kekalahan Israel dan
mengharapkan hasil jarahan bagi bangsa Kanaan, yaitu perempuan-perempuan Israel,
kain berwarna dan kain sulaman (Hakim-hakim 5:30). Ia hanya berpusat pada dirinya
sendiri dan masih terkurung dalam ruang privat sehingga tidak menaruh simpati dengan
pihak yang menjadi korban penindasan. Hal ini dapat disebabkan karena kedudukan ibu
sisera yang berada dalam keadaan yang menguntungkan dalam kapasitas bangsanya
sebagai bangsa yang berkuasa
dapat digambarkan pada bagan
Hubungan antara Debora/Yael dan ibu Sisera merupakan
hubungan solidaritas antara Debora dan Yael. Hal ini jelas disebabkan oleh konteks
sosial ibu Sisera yang berbeda dengan Debora dan Yael. Ibu Sisera berada dalam
kelompok yang eksklusif dan tidak ada
ranah tersebut. Ia bahkan
sebagai kaum pemenang
kepentingan dirinya sendiri
sosial dapat memberikan kesulitan dalam solidaritas antar perempuan.
Ibu Sisera masih berada dalam peranan tradisional perempuan yang justru
ditinggalkan oleh Debora dan Yael.
memiliki tujuan yang sama
• Orang Israel• Perempuan
karismatis• Pemimpin politik,
religi dan perang• Ibu di Israel• Perempuan yang
dihormati kaumnya
berada dalam keadaan yang menguntungkan dalam kapasitas bangsanya
berkuasa dan tidak memiliki tekanan dari pihak lain.
dapat digambarkan pada bagan berikut.
Hubungan antara Debora/Yael dan ibu Sisera merupakan
hubungan solidaritas antara Debora dan Yael. Hal ini jelas disebabkan oleh konteks
sosial ibu Sisera yang berbeda dengan Debora dan Yael. Ibu Sisera berada dalam
kelompok yang eksklusif dan tidak ada faktor yang mendorongnya untuk keluar dar
bahkan berada pada posisi yang aman dan memposisikan dirinya
sebagai kaum pemenang, sehingga orientasi kehidupan ibu Sisera hanya berpusat pada
kepentingan dirinya sendiri. Hal inilah yang disebutkan hooks bahwa kelas
sosial dapat memberikan kesulitan dalam solidaritas antar perempuan.
Ibu Sisera masih berada dalam peranan tradisional perempuan yang justru
ditinggalkan oleh Debora dan Yael. Meskipun demikian, Debora dan ibu Sisera
memiliki tujuan yang sama dalam status sebagai seorang ibu: kedua
DeboraOrang IsraelPerempuan karismatisPemimpin politik, religi dan perangIbu di IsraelPerempuan yang dihormati kaumnya
Yael• Orang Keni• Berada dalam ranah domestik
• Tinggal dalam tenda• Perempuan kelas bawah
Ibu Sisera
• Orang Kanaan• Kelompok penindas• Kelompok elit• Berada dalam ranah
domestik
kelompok marginal
& tertindas
97
berada dalam keadaan yang menguntungkan dalam kapasitas bangsanya
tekanan dari pihak lain. Hubungan ini
Hubungan antara Debora/Yael dan ibu Sisera merupakan antitesis dari
hubungan solidaritas antara Debora dan Yael. Hal ini jelas disebabkan oleh konteks
sosial ibu Sisera yang berbeda dengan Debora dan Yael. Ibu Sisera berada dalam
yang mendorongnya untuk keluar dari
memposisikan dirinya
, sehingga orientasi kehidupan ibu Sisera hanya berpusat pada
disebutkan hooks bahwa kelas atau strata
sosial dapat memberikan kesulitan dalam solidaritas antar perempuan.
Ibu Sisera masih berada dalam peranan tradisional perempuan yang justru telah
Debora dan ibu Sisera
eduanya mengharapkan
98
keselamatan bagi “anak” masing-masing. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan
politis setiap pihak. Debora peka terhadap nasib Israel yang menderita sehingga
membebaskan mereka dari penindasan bangsa Kanaan, sementara ibu Sisera
mengutamakan keselamatan anaknya di medan perang dan kemenangan bangsa
Kanaan. Di sisi lain, Yael dan ibu Sisera juga memiliki satu persamaan status yang
dapat ditonjolkan yaitu sebagai ibu bagi Sisera. Yael merupakan ibu yang membawa
kematian, dan ibu Sisera yang memberikan kehidupan. Seperti Debora, Yael memiliki
kepentingan untuk membebaskan kelompoknya dari bangsa Kanaan, sehingga ia dapat
melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya. Ketiga perempuan ini memiliki cara
kerja yang berbeda. Debora dipresentasikan sebagai ibu yang aktif dan berjuang
bersama dengan Israel, demikian juga Yael yang berjuang bagi orang Keni. Sebaliknya,
ibu Sisera hanya menunggu dengan pasif dan mengharapkan kemenangan yang akan
diperoleh Sisera.
Pembahasan ini jelas menunjukkan bahwa tidak ada pengalaman sosial yang
sama antara Debora/Yael dengan ibu Sisera yang mengikat dan mempersatukan mereka
dalam hubungan solidaritas. Berbagai kepentingan politis yang menjadi prioritas
Debora/Yael dan ibu Sisera juga menghalangi jalan solidaritas di antara mereka. Hal
inilah yang menjadi tembok pemisah dan perusak hubungan antara Debora/Yael dan
ibu Sisera. hooks telah mengungkapkan perihal ini dalam kajian teoritisnya. Selain
perbedaan suku, ras dan kelas sosial yang memisahkan kaum perempuan, perbedaan
kepentingan untuk menjamin keberadaan mereka masing-masing juga mendasari dan
menjadi penghalang hubungan solidaritas antara perempuan.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan, tampak jelas bahwa dalam
kasus Debora, Yael dan ibu Sisera hubungan solidaritas antara perempuan dengan
99
perempuan dipersatukan oleh adanya persamaan, yaitu pengalaman sosial yang sama.
Perempuan terikat oleh perjuangan dan tujuan yang sama sehingga membentuk dan
memperkokoh ikatan ini dengan mengabaikan berbagai kedudukan sosial yang berbeda
dalam masyarakat. Di sisi lain, ketika perempuan tidak terikat oleh satu kesamaan,
maka kecenderungan yang terjadi adalah para perempuan masih berorientasi pada
kehidupan privatnya dan mengabaikan pihak lain yang berada dalam situasi sosial yang
tidak menguntungkan.
Terlepas dari pembahasan mengenai solidaritas perempuan, kisah tentang
Debora dan Yael dalam teks tidak memberikan indikasi adanya dominasi dari kaum
laki-laki terhadap perempuan meskipun berada dalam budaya patriarki yang sangat
kental. Terdapat lima nama laki-laki yang disebutkan dalam teks, yaitu raja Yabin,
Sisera, Barak, Lapidot dan Heber. Raja Yabin merupakan raja Kanaan yang
memerintah pada saat itu. Namanya hanya disebutkan sebagai pemimpin bangsa yang
menindas orang Israel. Sisera sebagai panglima perang Kanaan ditampilkan sebagai
sosok yang melarikan diri dari medan perang dan menemui ajalnya di tangan Yael.
Barak digambarkan sebagai prajurit, tokoh yang dipanggil Tuhan untuk melawan
bangsa Kanaan, tapi kedudukannya berada di bawah Debora. Sementara, Lapidot
sebagai suami Debora sama sekali tidak disebutkan kegiatannya, begitu pula Heber,
suami Yael. Tampaknya nama Lapidot dan Heber hanya ditampilkan untuk
mengindikasikan sistem patriarki yang menempatkan kedudukan perempuan di bawah
laki-laki. Selain itu, peranan Debora yang vital telah menunjukkan kesejajarannya
dengan tokoh laki-laki lain yang disebutkan dalam Alkitab dengan peranan yang sama.
Hal-hal ini jelas menunjukkan bahwa teks dalam Hakim-hakim pasal 4 dan 5,
khususnya cerita tentang Debora dan Yael merupakan antitesis dari berbagai cerita
perempuan dalam Alkitab yang cenderung menempatkan perempuan dalam pencitraan
100
yang buruk. Cerita Debora dan Yael ini mampu mematahkan gambaran tradisional
tersebut dengan mempresentasikan dan menonjolkan sosok perempuan sebagai
pemimpin, memiliki karakter yang tegas, berani bertindak, otonom, berwibawa,
berempati dan juga memiliki strategi untuk mencapai tujuan, meskipun berada di dalam
budaya patriarki yang sangat kental.
Di pihak lain, ada pendapat yang dikemukakan oleh para teolog bahwa kisah
ketiga perempuan ini dibuat seperti laki-laki dan laki-laki ditonjolkan seperti
perempuan agar dapat diterima di tengah budaya patriarki. David J. Zucker dan Moshe
Reiss berargumen bahwa peranan Debora, Yael dan ibu Sisera ini menunjukkan sisi
perempuan yang maskulin (manly women), sedangkan Barak dan Sisera menunjukkan
sosok laki-laki yang feminin (womanly men). Karakter para perempuan dan laki-laki
dalam teks terbalik satu sama lain. Ketiga perempuan memiliki karakter laki-laki,
seperti kekuatan, keberanian, kepemimpinan, tidak bersimpati dengan pihak lain;
berbeda dengan Barak dan Sisera yang takut, tunduk, membutuhkan perlindungan dan
lemah.1
Karakter maskulin yang lebih menonjol dalam peranan dan tindakan Debora
dan Yael memang tidak dapat disangkal. Akan tetapi di dalam tradisi Israel Kuno
terdapat beberapa peristiwa yang mengharuskan perempuan melakukan tindakan laki-
laki. Kaum perempuan juga dapat terinspirasi dari dewi-dewi Kanaan sehingga
memberikan kontribusi bagi perempuan untuk melaksanakan tugas-tugas di dalam
masyarakat. Peranan perempuan dan laki-laki pada umumnya memang telah diatur:
perempuan berada di ranah domestik, sedangkan laki-laki di ranah publik; namun
jangan sampai kita mengabaikan gambaran lain tentang karakter dan peranan
perempuan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial.
1 David J. Zucker dan Moshe Reiss, ”Subverting Sexuality: Manly Women; Womanly Men in
Judges 4-5,” Biblical Theology Bulletin Vol. 45, No. 1 (2015), 33-35.
101
B. KONTRIBUSI BAGI PEREMPUAN INDONESIA
Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan beribu pulau besar dan kecil
tentunya memiliki berbagai keanekaragaman. Kemajemukan ini menjadikan Indonesia
sebagai Negara yang kaya akan hasil alam dan budaya. Namun di sisi lain,
kemajemukan ini menyebabkan kurangnya rasa persatuan dan solidaritas di dalam
masyarakat karena kecenderungan masyarakat untuk berada di dalam ruang privat
masing-masing dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan
bersama.
Indonesia juga merupakan salah satu Negara dengan populasi terbesar di dunia,
dengan jumlah perempuan yang hampir sebanding dengan jumlah laki-laki.2 Akan
tetapi, sistem patriarki telah mengakar kuat sehingga budaya yang didominasi adalah
budaya laki-laki. Itulah sebabnya perempuan Indonesia adalah perempuan yang
eksistensinya sangat dipengaruhi oleh sosialisai budaya ini. Perempuan dianggap
sebagai kaum yang lemah dan selalu bergantung kepada laki-laki sehingga
berkedudukan di bawah laki-laki di dalam tatanan sosial. Akibatnya, perempuan sering
mendapatkan perlakuan yang tidak adil di dalam berbagai aspek kehidupan, baik di
ranah domestik maupun di ranah publik.
Dunia perpolitikan Indonesia memberikan kesempatan 30% kepada perempuan
untuk berpartisipasi. Sementara, Kabinet Kerja Jokowi-Jk tahun 2014-2019 diisi oleh
delapan perempuan (23%), yang merupakan kenaikan 100% dari kabinet SBY
sebelumnya yang hanya berjumlah empat orang.3 Hal ini menandakan era baru dalam
sejarah Indonesia yang sarat dengan postur-postur patriarki. Meskipun belum ada
2 Berdasarkan data Susenas BPS tahun 2009-2012, persentasi penduduk laki-laki Indonesia
tahun 2013 adalah 50,25%, sementara perempuan sebesar 49,75%. Data diambil dalam http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1601 pada Kamis, 14 Mei 2015 pukul 20.57 WIB.
3 Dewi Candraningrum, “Raison d’être Pengarusutamaan gender dalam Kabinet Kerja 2014-2019: Perempuan, Nalar Keadilan & Tata Kelola Pemerintahan,” Jurnal Perempuan: Untuk Pencerahan dan Kesetaraan edisi 83 Vol. 19, No. 3 (Agustus 2014), 130-131.
102
kesamaan kuota dengan laki-laki, ini telah menjadi langkah awal yang baik bagi
perempuan Indonesia untuk melaksanakan peran dan tanggung jawabnya sebagai warga
Negara yang setara. Problematikanya adalah apakah kehadiran perempuan di dunia
politik ini memberikan jaminan bagi mereka untuk bersolider dan mengangkat nasib
saudari-saudarinya yang tertindas? Apakah jalur politik merupakan jalur yang tepat
bagi kaum perempuan untuk berjuang bagi saudari-saudarinya? Yang harus diingat oleh
para perempuan politisi adalah bahwa kehadiran mereka di ranah publik seharusnya
bertujuan untuk membela hak-hak saudari-saudarinya yang selama ini menjadi korban
dan berada di bawah bayang-bayang patriarki.
Kecenderungan lain yang terjadi di antara perempuan adalah jika ada seorang
perempuan yang menonjol atau menduduki posisi yang tinggi, bahkan berada pada
posisi yang sama, maka perempuan lain akan berusaha untuk menjatuhkan atau
menghalangi. Perempuan kurang bahkan tidak mendukung sesamanya untuk maju dan
berkembang. Mereka justru melihat perempuan lain sebagai saingan atau lawan yang
harus dikalahkan. Perempuan yang sudah menonjol dan memiliki posisi yang bagus
pun tidak ingin berbagi peluang dan kesempatan dengan perempuan lain dan hanya
memfokuskan pada keberhasilan dan kepentingannya sendiri. Perempuan masih
memiliki prasangka yang buruk terhadap sesamanya karena begitu terhisap ke dalam
budaya patriarki. Persaingan seperti ini jelas menghambat perkembangan kualitas
perempuan menuju ke arah yang lebih baik dan menghalangi jalan solidaritas
perempuan.
Perjuangan perempuan untuk memperhatikan sesamanya, terlebih yang
diharapkan dari para perempuan pemimpin dan perempuan politisi sepertinya
menghadapi jalan buntu. Meskipun banyak perempuan yang memiliki jabatan yang
tinggi dalam pemerintahan, perempuan-perempuan ini tidak sadar gender sehingga
103
mereka tidak mengerti dan tidak peduli dengan apa yang seharusnya diperjuangkan
bagi saudari-saudarinya. Alasan lainnya adalah para perempuan pemimpin dan
perempuan politisi kebanyakan berasal dari kaum elit dan memposisikan diri sebagai
kelompok elit, sehingga mereka tidak dapat bersolider dengan perempuan lain yang
berada di kelas bawah karena tidak mengalami pengalaman ketidakdilan perempuan
kelas bawah.
Solidaritas antar perempuan yang justru ditampilkan di Indonesia saat ini adalah
solidaritas yang berasal dari bawah yang dipresentasikan oleh perempuan-perempuan
yang termarginalisasikan, seperti Aleta Baun. Sebelum menjabat sebagai anggota
DPRD provinsi NTT periode 2014-2019, perempuan yang akrab disapa mama Aleta
dan peraih penghargaan Goldman Environmental Prize Award tahun 2013 ini berhasil
menggerakkan masyarakat adat Mollo untuk menolak pertambangan marmer di Timor,
NTT yang merusak lingkungan hidup. Usaha mama Aleta ini tidak hanya untuk
melindungi alam, tapi juga perempuan dan anak-anak yang sering menjadi korban.
Kerusakan hutan yang disebabkan oleh penambangan marmer menyebabkan aktivitas
perempuan menjadi terancam, karena kegiatan perempuan banyak bergantung pada
alam. Usaha penolakan pertambangan ini dilakukan mama Aleta bersama-sama dengan
para perempuan dengan cara menduduki tempat-tempat penambangan marmer secara
damai dengan aksi yang disebut “protes sambil menenun.”4 Perjuangan mama Aleta
dan masyarakat Timor selama sebelas tahun akhirnya membuahkan hasil pada tahun
2007 dengan dihentikannya operasi tambang.
Jabatan legislatif yang sekarang dipangku mama Aleta sebagai anggota DPRD
provinsi NTT periode 2014-2019 menjadi jalan baginya untuk membuat babak baru
4 Arfi Bambani Amri, “Aleta Baun, Perempuan Pahlawan Lingkungan dari NTT: Perjuangan
Mama Aleta Membuahkan Hasil setelah 11 Tahun” dalam http://fokus.news.viva.co.id/news/read/405691-aleta-baun--perempuan-pahlawan-lingkungan-dari-ntt, diakses pada Sabtu,16 Mei 2015.
104
dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Ia akan mendorong masyarakat adat dan
perempuan untuk menyelamatkan alam dan menjaga lingkungan. Menurutnya, dampak
dari lingkungan yang rusak pertama-tama akan dirasakan oleh kaum perempuan karena
perempuan selalu bersentuhan dengan pangan dan air. Oleh karena itu, Mama Aleta
akan mendorong peraturan daerah yang mengatur tentang dampak lingkungan dengan
memperhatikan kebutuhan kaum perempuan.5
Mama Aleta merupakan presentasi dari perempuan (sekarang perempuan
politisi) yang berjuang untuk sesamanya. Ia telah mempresentasikan kondisi sosial
yang terjadi dalam konteksnya, serta menunjukkan semangat kepada kaum perempuan
untuk memperhatikan saudari-saudarinya dan melihat apa yang menjadi kebutuhan
perempuan pada saat itu. Perjuangan mama Aleta sama dengan perjuangan Debora dan
Yael yang berawal dari situasi sosial yang terancam dan tertindas. Tidak ada pihak lain
yang menolong dan memperjuangkan kehidupan mereka, sehingga ketiga perempuan
ini harus keluar dari ranah domestik dan melindungi kelangsungan hidup mereka dan
kelompok masing-masing. Seperti Debora, mama Aleta menempatkan dirinya sebagai
ibu bagi masyarakat adat suku Timor yang memperjuangkan kehidupan masyarakat
Timor dengan menanggung segala resiko, termasuk kematian.
Debora, Yael dan mama Aleta telah bergerak dari posisi “pinggiran” ke “pusat”
untuk memperjuangkan kehidupan mereka. Sudah saatnya perempuan Indonesia dari
berbagai kelompok dan golongan meniru apa yang dilakukan oleh para tokoh
perempuan ini untuk keluar dari zona nyaman masing-masing, memikirkan hal-hal
yang lebih luas dari dirinya, kemudian memperjuangkannya. Perempuan Indonesia
sudah seharusnya memiliki empati dengan penderitaan sesamanya yang tertindas dan
saling membagikan pengalaman mereka. Perempuan Indonesia yang berada di pusat
5 Tomy Apriando, “Babak baru Perjuangan Penyelamatan Lingkungan Mama Aleta Baun lewat DPRD NTT,” dalam http://www.mongabay.co.id/2015/01/06/babak-baru-perjuangan-penyelamatan-lingkungan-mama-aleta-lewat-dprd-ntt/, diakses pada Rabu, 22 April 2015 pukul 18.40 WIB.
105
juga seharusnya berempati dengan perempuan yang berada di pinggiran untuk
menciptakan perubahan yang signifikan terhadap kaum perempuan di bangsa ini. Jika
perempuan pusat tidak mengubah gerakan perjuangannya, maka mereka akan terikat
dan tetap berada dalam bayang-bayang patriarki. Sikap seperti ini ditunjukkan oleh ibu
Sisera dengan pola hidup yang hanya terorientasi pada kepentingan dirinya sendiri.
Berdasarkan analisa ini, penulis mengusulkan satu upaya berteologi feminis
yang dapat dikembangkan dalam konteks Indonesia, yaitu teologi solidaritas. Teologi
ini menyerukan setiap orang untuk menjadi solider, berempati dan merasa senasib
dengan kaum perempuan maupun laki-laki yang menjadi sasaran keprihatinan, yaitu
mereka yang tertindas, yang termarginalkan, yang malang, yang menderita, yang sakit
dan yang miskin. Teologi ini bergerak dari bawah dan berpangkal pada iman bahwa
Yesus dalam rupa-Nya sebagai manusia telah bersolider, sehingga solidaritas kemudian
menjadi wujud iman yang terungkap dalam tindakan kasih, berbagi keprihatinan dan
tindakan mendukung upaya perjuangan untuk membebaskan kaum perempuan maupun
laki-laki yang mengalami ketidakadilan sosial dalam berbagai tatanan kehidupan.