22
114 BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI PRESPEKTIF HUBUNGAN ISLAM DAN KRISTEN DALAM PELA GANDONG A. Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo Sebelum Konflik 1. Praktik Pela Gandong Batumerah-Passo Praktik hubungan berpela antara negeri Batumerah-Passo sebelum konflik merupakan serangkaian peristiwa adatis eksklusif (moment khusus) yang dilakukan -diatur dan dikerjakan- (saling bahu-membahu atau sepenanggungan) bersama oleh kedua komunitas. Peristiwa dimaksud antara lain, yakni: pelantikan raja; pembangunan rumah adat (Baileu), rumah ibadah (Mesjid dan Gereja), acara panas-pela. Adapun proses inti dalam praktik adatis Pela ini diisi dengan beberapa muatan ritual yang berhubungan dengan historitas pembentukan hubungan Pela tersebut, diantaranya: akta minum sopi oleh tua-tua adat, sejarah pembentukan pela antar kedua negeri didramatisir, diceritakan, dibacakan kembali. Kedua ritual tersebut dilakukan dengan tujuan yakni agar hubungan ini abadi menjadi peringatan bersama oleh kedua komunitas, dan memediasi keterhubungan mereka dengan para leluhur yang dianggap sebagai sumber kebijaksanaan yang memiliki andil dalam proses pembentukan hubungan Pela tersebut. Praktik adat bermuatan ritual historis pembentukan hubungan Pela Batumerah Passo dengan tujuan memediasi keterhubungan masyarakat dengan para leluhur tersebut sejalan dengan gagasan Ruhulessin 1 mengenai sejarah tradisi Pela. Hal tersebut penting, karena secara historis hubungan Pela tidak dapat dilepaskan dari latar keyakinan masyarakat Maluku umumnya dan di Pulau Seram khususnya bahwa hubungan Pela yang dibentuk oleh para Leluhur. Selanjutnya, yang unik berkaitan dengan pelaksanaan peristiwa adatis tersebut, bahwa praktik pela Batumerah-Passo ini, tidak mengabaikan fakta keber- 1 John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: Menggali Dari Tradisi Pela di Maluku, (Salatiga: Satya Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama. 2007),255

BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

114

BAB IV

KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI

PRESPEKTIF HUBUNGAN ISLAM DAN KRISTEN

DALAM PELA GANDONG

A. Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo Sebelum Konflik

1. Praktik Pela Gandong Batumerah-Passo

Praktik hubungan berpela antara negeri Batumerah-Passo sebelum konflik

merupakan serangkaian peristiwa adatis eksklusif (moment khusus) yang

dilakukan -diatur dan dikerjakan- (saling bahu-membahu atau sepenanggungan)

bersama oleh kedua komunitas. Peristiwa dimaksud antara lain, yakni: pelantikan

raja; pembangunan rumah adat (Baileu), rumah ibadah (Mesjid dan Gereja), acara

panas-pela. Adapun proses inti dalam praktik adatis Pela ini diisi dengan

beberapa muatan ritual yang berhubungan dengan historitas pembentukan

hubungan Pela tersebut, diantaranya: akta minum sopi oleh tua-tua adat, sejarah

pembentukan pela antar kedua negeri didramatisir, diceritakan, dibacakan

kembali.

Kedua ritual tersebut dilakukan dengan tujuan yakni agar hubungan ini

abadi menjadi peringatan bersama oleh kedua komunitas, dan memediasi

keterhubungan mereka dengan para leluhur yang dianggap sebagai sumber

kebijaksanaan yang memiliki andil dalam proses pembentukan hubungan Pela

tersebut.

Praktik adat bermuatan ritual historis pembentukan hubungan Pela Batumerah

Passo dengan tujuan memediasi keterhubungan masyarakat dengan para leluhur

tersebut sejalan dengan gagasan Ruhulessin1 mengenai sejarah tradisi Pela. Hal

tersebut penting, karena secara historis hubungan Pela tidak dapat dilepaskan dari

latar keyakinan masyarakat Maluku umumnya dan di Pulau Seram khususnya

bahwa hubungan Pela yang dibentuk oleh para Leluhur.

Selanjutnya, yang unik berkaitan dengan pelaksanaan peristiwa adatis

tersebut, bahwa praktik pela Batumerah-Passo ini, tidak mengabaikan fakta keber-

1 John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: Menggali Dari Tradisi Pela di Maluku, (Salatiga: Satya

Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama. 2007),255

Page 2: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

115

agama-an kedua belah pihak. Hal tersebut nampak ketika dalam kegiatan

pembangunan rumah Ibadah, baik Mesjid di Batumerah dan Gereja di Passo,

proses pengerjaan diawali dengan serangkaian ritual keagaman –dilakukan dalam

gedung gereja atau masjid- yang sesuai dengan keyakinan masing-masing pihak di

mana pekerjaan tersebut dilangsungkan. Pada saat itu, orang Batumerah masuk

dalam gereja dan sebaliknya orang Passo ke Mesjid untuk berdoa. Perilaku

demikian sejalan dengan yang diungkapkan Ruhulessin2 tentang pemaknaan

hakekat hubungan Pela sebagai kesatuan Persaudaraan (Orang Basudara) yang

paling jelas terlihat dalam relasi Islam-Kristen. Dikatakan sejalan karena secara

religius, kebersamaan dan kesatuan Islam-Kristen merefleksikan kesatuan dan

kesamaan: kesetaraan dihadapan Tuhan. Olehnya masyarakat Batumerah-Passo

adalah masyarakat yang secara historis telah mengakui, menerima dan

menghargai adanya perbedaan agama sebagai ciri masyarakat yang majemuk.

Karakter masyarakat Batumerah-Passo berwatak komunitas kultur yang khas

telah menuntun kedua untuk memahami kepentingan individu-komunitas masing-

masing yang berbeda menjadi satu kepentingan bersama yang dikerjakan dan

dipelihara bersama. Hal tersebut masih sejalan dengan gagasan Ruhulessin3,

bahwasannya makna penting dari hubungan sebagai “orang basudara”

terimplementasi manakala masing-masing pihak memposisikan diri sebagai yang

setara, harus dihormati. Perbuatan yang dilakukan terhadap sesama anggota

komunitas yang berPela dipahami sebagai sebuah tindakan yang dilakukan

terhadap diri sendiri secara pribadi.

Tindakan yang dilakukan oleh orang Batumerah (Islam) yang bekerjasama

dan membantu orang Passo (Kristen) untuk mengerjakan gedung Gereja -yang

walaupun bukan untuk kepentingan bersama atau hanya sepihak- tidak hanya

dimaknai sebagai sebuah tindakan yang dilakukan bagi dirinya sendiri tetapi lebih

daripada itu yakni untuk kepentingan komunitas masyarakat secara keseluruhan.

Hal tersebut terjadi karena secara historis hubungan Pela Batumerah-Passo

sebagai orang basudara sebagaimana orang yang dilahirkan sekandung (Gandong)

terbentuk dari suatu pengakuan dan kesepakatan bersama untuk hidup saling

mensejahterakan.

2 John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik…. (2007),259

3 John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik…( 2007), 260

Page 3: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

116

Selain itu, khususnya berkaitan dengan praktek adat panas pela, hubungan

Batumerah-Passo tidak hanya berfungsi sebagai momentum mempererat ikatan

hubungan berpela. Tetapi juga sebagai sebuah pendekatan penyelesaian konflik

antar sesama negeri yang berpela. Faktual dalam pengalaman kedua negeri

Batumerah-Passo, sebagaimana diungkapkan oleh seorang informan: ...ketika

keduanya pernah terlibat dalam persoalan perkelahian, orang Passo memukul

orang Batumerah di negeri Passo, yang mengakibatkan orang Passo mengalami

wabah penyakit... . Untuk menyelesaikan konflik tersebut maka, Orang

Batumerah-Passo, dengan perantara tokoh-tokoh adat negerinya melakukan

perjumpaan dan menggelar pertemuan bersama, berkompromi, bernegosiasi,

mencari solusi menyelesaikan masalah tersebut. Adapun praktik ritus yang

dilakukan kedua komunitas yakni, orang Passo mengambil air dari “Mesjid

Batumerah“ dan memberikan kepada warga Passo yang menderita penyakit. Dan

akhirnya wabah penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.

Upaya penyelesaian konflik hubungan antar warga berPela dalam

pengalaman negeri Batumerah dengan metode negosiasi yang termediasi melalui

perjumpaan tokoh-tokoh adat seperti yang telah diungkapkan di atas sejalan

dengan gagasan Galtung4 tentang perdamaian dengan tipe peacemaking. Artinya,

konflik “horisontal“ dapat diselesaikan lebih tepat melalui peacemaking. Hal

tersebut termungkinkan karena secara kultural, hubungan Pela sangat memiliki

muatan konsep perdamaian yang ampuh dalam penyelesaian konflik dalam

sebuah organisasi atau kelompok secara internal.

Penyelesaian konflik melalui pendekatan kultur dalam pengalaman negeri

Batumerah-Passo yang seperti demikian akhirnya menegaskan apa yang telah

diungkapkan oleh Wirawan5 tentang rekonsilasi sebagai proses tua yang telah

berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia, dengan metode

pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan

konflik. Mengapa demikian, karena secara sosio-religio, relasi berpela dengan

4 Yulius Hermawan, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan

Metodologi, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007), 9393 dan Jhon. Galtung. “Three Approaches to

Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and Peacebuilding””. In Editor, J. Galtung. Peace, War

and Defence: Essays in Peace Research. (Copenhagen: Christian Ejlders, 1976), 284-288 5 Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Salemba Humanika,

2010),177

Page 4: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

117

aspek perjanjian yang teraktakan melalui ritus minum darah dan bersumpah untuk

saling mengasihi dalam persaudaraan telah menjadi spirit: keyakinan dan perilaku

yang dapat melahirkan kedamaian.

Akhirnya, praktek hubungan Pela Gandong Batumerah –Passo yang berakar

secara historis dan pada kenyataannya memiliki guna (nilai) bagi masyarakat

kedua negeri. Hal tersebut sejalan dengan pikiran Van peursen6, tentang realitas

fakta dan nilai, maka budaya Pela Gandong dalam hubungan Batumerah-Passo

instrinsik memperlihatkan realitas nilai kultural, agama dan sosial yang saling

berkaitan, terdapat relasional antara seluruh komponen adat Pela Gandong,

masyarakat-ritual-leluhur yang terwujud dalam perilaku antar sesama komunitas

yang saling membantu, menolong (solider), penghargaan, dan penerimaan fakta

keragaman, perbedaan keberagamaan tidak memisahkan masyarakat untuk

bersekutu, bekerjasama demi kepentingan bersama.

Berdasarkan kajian diatas, maka salah satu hal penting berkaitan dengan

pemaknaan terhadap hubungan Pela dalam praktik Batumerah-Passo terpahami

dalam dua segi. Pertama, hubungan Pela Gandong sebagai hubungan yang

didasari oleh pengakuan bahwa kedua negeri berasal dari keturunan yang sama

(geneologis); dan Kedua, sebagai sebuah kontrak sosial. Keduanya secara

bersamaan mengarahkan individu-komunitas untuk berperilaku inklusif, kolektif,

dan aktif bagi pemenuhan kepentingan bersama.

2. Dampak Praktik Pela Gandong Batumerah-Passo Terhadap hubungan

Islam-Kristen

Hubungan antar Islam-Kristen di Kota Ambon sebelum peristiwa pecahnya

konflik berdarah tahun 19 januari 1999 sangat rukun. Hal tersebut ditandai ketika

pada masing-masing negeri Batumerah (Mayoritas Islam)- Passo (Mayoritas

Kristen) terdapat penduduk Kristen dan pemeluk Islam, yang walaupun minoritas

tetapi keduanya dapat hidup berbaur erat dalam kebersamaan yang saling percaya,

menghargai dan berbagi antar sesama yang berbeda keyakinan. Keadaan ini turut

didukung dengan jalinan komunikasi antar umat maupun pimpinan umat kedua

agama untuk memediasi silaturahmi, khusus pada moment-moment perayaan hari

6 Van Peursen, Fakta, Nilai dan Peristiwa. (Terj) (Jakarta: Gramedia, 1990,),viii

Page 5: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

118

besar keagamaan masing-masing. Dengan demikian maka, interaksi Pela

Batumerah-Passo memiliki dampak yang luas terhadap hubungan antar agama. di

dalam relasi komunitas berPela, semua orang (warga) yang berbeda keyakinan,

tanpa membedakan latar budaya, suku, asal usulnya mengalami dinamika

hubungan layaknya orang basudara (bersaudara) yang saling tolong-menolong

atau membantu dalam memenuhi kebutuhan fisik (individual), dan spiritual

(komunal).

Dinamika hubungan antar agama dalam pengalaman Islam-Kristen di Kota

Ambon menyiratkan kedudukan dan peran Pela Batumerah-Passo dengan

kandungan nilai persaudaraan orang Maluku, khususnya di Kota Ambon sangat

tinggi. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Coley7 tentang fungsi sosial Pela.

Dikatakan sejalan karena secara sosiologis adat Pela menghubungkan anak negeri

Maluku dengan anak negeri yang lain sebagai satu persekutuan masyarakat adat.

Pada titik ini, nilai dasar Pela Gandong: persaudaraan seperti yang telah

diungkapkan Ruhulessin8 terimplementasi secara praksis dalam aktivitas-aktivitas

kerjasama lintas masyarakat berPela, lintas masyarakat agama, Islam-Kristen

membawa kesejahteraan bersama. Praksis tersebut tidak saja berguna bagi

hubungan berpela tetapi bagi masyarakat Islam-Kristen secara keseluruhan.

Dengan demikian maka, kajian terhadap dampak hubungan Pela Islam-

Kristen Batumerah-Passo melahirkan satu pemahaman akan adanya dimensi

pemberdayaan yang mewujud dalam dinamika relasional mutual lintas masyarakat

dan agama di Ambon.

B. Hubungan Pela Gandong Pada Saat Konflik

1. Faktor Pemicu, Penyebab dan dampak Konflik Islam Kristen di Ambon

Hubungan Islam-Kristen pada negeri Batumerah-Passo sebelum pecahnya

konflik secara internal sangat rukun, tetapi pada sisi lain terdapat fenomena

konflik antar warga (individual) desa tetangga seperti yang terjadi antar pemuda

Batumerah (Islam) - Mardika (Kristen), dan konflik antar penduduk asli (Islam-

Kristen) dengan para pendatang. Konflik (di luar hubungan Pela Gandong atau

bukan konflik antar warga berpela) komunal terjadi karena faktor kecemburuan

7 Frank.L. Coley, Mimbar dan Tahta, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1987), 238

8 John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik…. (2007), 257-258

Page 6: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

119

sosial, atau orang asli merasa ingin menguasai dan tidak ingin dikuasai pendatang.

Konflik berlatar kecemburuan ekonomi ini sejalan dengan penjelasan Wirawan

tentang konflik ekonomi9, atau konflik karena perebutan wilayah pasar oleh para

pedagang pada satu daerah. Keadaan ini sesuai dengan fakta demografi,

kependudukan di negeri Batumerah sebelum konflik yang tidak hanya warga asli

tetapi juga terdapat penduduk dari berbagai suku, yakni orang bugis, buton,

makasar, cina, arab, dan jawa yang yang mendominasi aktifitas perdagangan.

Konflik tahun 1999 yang awalnya terjadi di Batumerah bertepatan dengan

moment perayaan hari besar keagamaan umat Muslim, yakni hari Idul Fitri.

Ketika itu, masyarakat Ambon saling bersilaturahmi, mengunjungi kediaman

masing-masing untuk berjabat tangan. Konflik yang terjadi bertepatan dengan

momentum Gerejawi (protestan), ketika, para pemimpin umat Protestan sementara

melangsungkan persidangan Klasis di jemaat GPM Bethara di wilayah Batumerah

Dalam. Pada saat konflik pecah, orang Kristen di Batumerah tiba-tiba dikagetkan

dengan huru hara dan sejumlah penyerangan yang dilakukan oleh kelompok

Muslim.

Konflik berkepanjangan di Ambon yang berlangsung hampir seabad akhirnya

telah memposisikan orang Ambon, individu dua komunitas agama yang dominan

jumlah pemeluknya (Islam-Kristen) sebagai yang saling berlawanan satu dengan

yang lain. Pihak Islam maupun Kristen berkepentingan untuk saling

mengalahkan, saling menyerang memperebutkan kantong-kantong minoritas pada

kedua wilayah. Kenyataannya di Batumerah, pihak Islam berhasil

mengkosongkan penghuni Kristen wilayah Batumerah dengan menghancurkan

perumahan dan gedung ibadah (Gereja) Kristen, Gereja Bethara (Batumerah

Dalam), Gereja Petra (GPM) dan Yakobus (Katolik) (Ahuru). Sementara itu, di

Passo, pihak Kristen mengkosongkan penghuni Islam wilayah Larier dan

menghancurkan salah satu mesjid (Batu Gong).

Perilaku ekspresif yang diperlihatkan kedua pemeluk agama (Islam-Kristen)

dalam situasi konflik diatassejalan dengan gagasan Thomas & Kilmann dan

Rahim10

tentang gaya manajemen konflik, secara khusus Kompetisi atau

dominasi. Dikatakan sejalan karena secara politis baik pihak Islam maupun

9 Wirawan, Konflik dan Manajemen… (2010), 62-105

10 Wirawan, Konflik dan Manajemen… (2010), 138-144

Page 7: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

120

Kristen pada wilayah-wilayah mayoritas berkeinginan untuk membangun basis-

basis kekuatan yang dengannya dapat digunakan untuk memenangkan konflik. Di

satu sisi, penyerangan dan pengrusakan harta milik pribadi apalagi sarana

peribadahan sebagai simbol eksistensi keagamaan memupuk amarah reaktif

masing-masing komunitas.

Konflik yang melibatkan warga Islam-Kristen hendak menjelaskan tentang

bagaimana kekerasan dapat terjadi karena warga terpicu oleh merebaknya isu-isu,

simbolisasi keagamaan yang berakar pada fanatisme keagamaan yang kuat baik di

pihak Islam maupun Kristen. Isu-isu agama yang muncul dalam konflik, yakni

seruan “…tolong. . tolong tolong orang Kriten mau potong beta…. ”; orang Islam

telah dibunuh di wilayah Kristen; ketika orang Kristen menyerang komunitas

muslim, seorang wanita Islam dipaksa untuk membuka jilbabnya. Sedangkan

simbol-simbol agama yang digunakan ketika konflik yaitu, Islam dengan kain

atau jubah putih dan orang Kristen yang berikatkan kain merah. Ada juga

teriakan atau yel-yel: Allah huakbar…. dan tagbir oleh komunitas Islam yang

akhirnya membakar semangat juang individu untuk berperang melawan orang

Kristen.

Konflik dan kekerasan komunal Islam-Kristen yang terjadi karena dipicu oleh

adanya isu-isu simbolisasi keagamaan sekiranya sejalan dengan pemikiran

Aritonang11

tentang fenomena konflik dalam perjumpaan Islam-Kristen di

Indonesia. Gejala-gejala yang nampak sama yakni, kerusuhan dipicu oleh

peristiwa yang sepele dan tidak punya hubungan dengan masalah agama, konflik

semakin meluas ketika ada muatan keagamaanya. Konflik 1999 yang melibatkan

warga Islam-Kristen di Ambon tak lepas dari gejolak politik: transisi

kepemimpinan negara, jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Dikatakan demikian

karena faktanya, konflik pada dasarnya hanya bermula pada perseteruan atau

perkelahian antar pribadi. Persoalan individu ini kemudian menjadi persoalan

komunitas ketika tersusupi dengan isu-isu identitas komunal.

Selanjuntya, konflik juga dilatari oleh keterlibatan pihak TNI, Laskar Jihat

(pihak Islam) dan Kelompok Agas (pihak Kristen) yang “bermain” langsung

dalam aksi kekerasan dan penyerangan terhadap masing-masing komunitas. Pada

11

Jan.S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia. (Jakarta:BPK. G.

Mulia. 2006),2006,532

Page 8: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

121

beberapa momentum, digambarkan tentang indikasi konspirasi antara TNI dengan

kelompok-kelompok militan. Keberadaan dan keterlibatan TNI pada satu sisi telah

menyadarkan kedua belah pihak (Islam Kristen) tentang adanya unsur

“permainan” atau konflik telah diskenariokan oleh pihak-pihak tertentu.

Menanggapi situasi yang demikian, individu-komunitas GPM dan Katolik di

Ahuru memilih untuk mempertahankan wilayah huniannya, dan tidak melakukan

penyerangan. Perilaku seperti demikian sejalan dengan gagasan Thomas &

Kilmann dan Rahim12

tentang gaya manajemen konflik menarik diri atau

menghindar. Mengapa demikian, karena bagi masyarakat yang tidak memiliki

kepentingan, konflik hanya dipahami sebagai kondisi yang jelas-jelas mengancam

dan merugikan dirinya. Pengetahuan tentang adanya faktor-faktor eksternal yang

melatarbelakangi konflik ini telah berpengaruh pada pola perilaku masyarakat.

Pada lain sisi, keberadaan dan keterlibatan TNI yang seperti demikian

menunjukan ketidakefektifan pemerintah dalam mengupayakan penyelasaian

konflik. Kenyataan ini apabila dikaji dari pemikiran Galtung13

, perihal pendekatan

peacekeeping, dalam hal ini intervensi militer yang jelasnya tidak bisa

menghentikan konflik horisontal. Secara faktual, pendekatan penyelesaian

konflik: kekerasan oleh pihak pemerintah melalui TNI sebagai aparatur negara

sebaliknya justru melanggengkan konflik, manakala pihak militer tidak netral dan

bahkan terlibat menjadi aktor kekerasan yang tidak memihak terhadap salah satu

pihak tetapi malah menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa dari pihak Islam

maupun Kristen. Akhirnya tidak dapat dipungkiri jika ada pandangan bahwa

konflik adalah bisnis kerusuhan. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya,bahwa

konflik di Ambon terjadi karena kepentingan pihak-pihak tertentu (pemerintah

dan kelompok-kelompok tertentu) yang dengan kekuasaanya ingin meraup

keuntungan dari peristiwa konflik.

Selanjutnya, tentang keberadaan dan keterlibatan kelompok-kelompok

radikal (Laskar Jihad (Islam) dan Pasukan Agas (Kristen) dalam arena konflik

sebagai aktor kekerasan semakin memperuncing pemahaman tentang konflik

Ambon sebagai sebuah konflik yang berwatak agama, manakala agama

bertumbuh menjadi identitas kelompok, dan karena itu memicu sentimen-

12

Wirawan, Konflik dan Manajemen… (2010), 138-144. 13

Jhon. Galtung. Three Approaches to Peace… (1976), 284-288,

Page 9: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

122

sentimen keagamaan para pemeluknya. Individu dan kelompok keagamaan

masing-masing berkonflik untuk mempertahankan identitas agamanya yang

terancam. Hal tersebut sejalan dengan tinjauan Goddard14

tentang fenomena

konflik yang melibatkan komunitas agam-agama (Islam-Kristen) dalam konteks

sejarah timur tengah-eropa. Secara historis, konflik yang nampak langsung

melalui sikap dan perilaku kekerasan (saling berperang) yang dilakukan dan

dialami kedua belah pihak pada akhirnya menjadi ladang bagi bangkitnya

gerakan-gerakan berbasis keagamaan. Masing-masing gerakan keagamaan

merepresentasikan sudut pandang kedua komunitas sebagai pihak-pihak yang

harus dilawan, diperangi demi mempertahankan identitas keagamaannya.

Lebih lagi, konflik antar pemeluk agama yang terjadi di Ambon dilatari oleh

beberapa faktor, antara lain: kecemburuan sosial-ekonomi; terkait pembagian

kuasa dan jabatan struktur: birokrasi dan akademisi. Bagi pihak Islam, minimnya

keterwakilan mereka dalam menduduki posisi-posisi kunci dalam birokratif

dibandingkan dengan pihak Kristen mengindikasikan hegemoni politik Kristen

yang ingin menguasai Maluku (Ambon). Karena itu, dalam proses mediasi yang

dilakukan oleh pemerintah (Malino II tahun 2002), kepentingan pihak Islam

mengusung satu point mengenai pemerataan dan penyeimbangan proporsi Islam-

Kristen dalam jabatan-jabatan struktur pemerintahan. Jadi, bagi mereka,

kepemimpinan publik harus dipilih sesuai dengan jumlah orang atau penduduk

berdasarkan agama, bukan berdasarkan kemampuan intelektual, professional dan

manajerial. Sebagaimana yang terungkap dalam penelitian: “orang menjadi

pimpinan bukan karena kualitas, tetapi semata-mata karena alasan keadilan:

seimbang atau sama rata”.

Konflik dalam hubungan antar agama dengan latar belakang kecemburuan

ekonomi antar penduduk asli versus pendatang yang terjadi sebelum konflik

bergeser keranah politik kepentingan pihak-pihak tertentu dalam hal ini Islam

kelas menegah (pegawai negeri sipil) yang merasa dinomor duakan,

terdiskriminasi dalam kebersamaan ditengah-tengah masyarakat. Indikator

kecemburuan sosial-ekonomi yang melatarbelakangi konflik antar agama di

Ambon tersebut sejalan dengan gagasan Wirawan dan Liliweri tentang penyebab

14

Hugh. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua

Komunitas Agama Terebesar di Dunia. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013),164.

Page 10: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

123

konflik.15

Secara sosiologis, konflik dan kekerasaan dalam sebuah organisasi:

masyarakat dapat terjadi karena adanya “kondisi objektif” atau objek konflik.

Keduanya sama-sama melihat konflik dengan dimensi ekonomi dilatari oleh

adanya pertentangan terhadap sumberdaya yang terbatas. Bagi Liliweri, konflik

dapat terjadi ketika salah satu pihak merasa tidak puas atas ketidakadilan

distribusi sumberdaya tersebut.

Dengan demikian, konflik antar agama di Ambon tidak disebabkan karena

persoalan kepentingan agama, melainkan agama hanya dikambing hitamkan

(menjadi alat) untuk tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari satu kelompok atau

individu tertentu(baca: elite lokal). Dimensi “politik kepentingan” sebagai faktor

primer yang melatarbelakangi konflik sebagaimana yang telah dipaparkan diatas

sekiranya sejalan dengan gagasan Wirawan16

tentang jenis-jenis konflik dalam

kehidupan terkhusus dalam konteks Indonesia. Konflik antar agama sebagaimana

yang terjadi di Maluku adalah konflik yang tidak dilatarbelakangi oleh satu fator

tunggal, tetapi bermulti dimensional, diantaranya yakni politik-ekonomi-sosial.

Karena itu, konflik Ambon dapat dipahami sebagai konflik antar agama yang

bermuatan politik yang berkepentingan menguasai Ambon. Dengan demikian

maka dapat dipahami bahwa Agama hanya dipakai sebagai sumbu yang

dinyalakan, karena faktanya ketika sentimen keagamaan disinggung, dan atau

secara sengaja dilibatkan sebagai faktor yang memicu ketegangan, maka konflik

itu akan terjadi lebih cepat dan dengan eskalasi tinggi.

Kajian diatas hendak menjelaskan tentang bagaimana konflik dan kekerasan

yang terjadi di Ambon dengan isu-isu pemicu SARA yang telah mengiring kedua

pemeluk agama Islam-Kristen untuk saling bertindak keras, saling berkompetisi

dan mendominasi. Konflik tidak hanya bersifat horizontal-primordial (masyarakat

vs masyarakat: individu-kelompok ekstrimis berlabel keagamaan ) tetapi juga

vertikal-nasional (masyarakat-negara: aparatur penegak Hukum atau TNI).

Kondisi demikian melahirkan pemahaman dan reaksi sikap masyarakat untuk

menghindar. Konflik dilatar belakangi oleh faktor-faktor eksternal yang multi

15

Wirawan, Konflik dan Manajemen... 7-14. Lht. juga Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik…. .

(2005), 256-261 16

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010),55-93

Page 11: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

124

dimensional, diantaranya: ekonomi, dalam hal ini kecemburuan sosial antar orang

asli dan pendatang, kepentingan politik dan kekuasaan aras lokal.

2. Dampak Konflik terhadap hubungan Islam-Kristen Di Kota Ambon

Pada permulaannya, hubungan Islam-Kristen di Kota Ambon pada saat

konflik terjalin dalam interaksi yang saling menjaga. Di Batumerah, warga yang

mayoritas Islam mengamankan pihak Kristen. Sementara itu, di Passo, warga

Islam-Kristen bekerjasama menjaga jalur perbatasan Passo-Leihitu bahkan juga

rumah-rumah ibadah kedua komunitas. Namun, kondisi ini tidak dapat

dipertahankan ketika kedua belah pihak telah memahami konflik sebagai konflik

antar agama. Alhasil, konflik melahirkan perubahan yang signifikan terhadap

relasi antar agama (Islam-Kristen).

Kerekatan hubungan antar masyarakat yang dibingkai dalam budaya orang

Basudara di Maluku sebelum konflik telah menjadi renggang pada masa konflik.

Hubungan antar agama menjadi eksklusif, tidak ada komunikasi yang terbangun.

Masing-masing pemeluk agama enggan untuk bersilatuharmi. Hal ini diperparah

dengan munculnya dampak psikologi-sosial yang diakibatkan oleh konflik, antara

lain: warga minoritas yang tetap memilih untuk tinggal menetap atas dasar

kesalingpercayaan yang telah lama terbangun menjadi tertekan, takut dan

terancam akibat teror dari para pendatang (pengungsi) dari wilayah luar negeri

(desa).

Dampak perubahan demografis (kependudukan) pada saat terjadinya konflik,

seperti yang disebabkan oleh arus masuknya para pengungsi korban konflik dari

luar yang kemudian berdomisili tetap pada katong-katong Muslim maupun

Kristen pada umumnya, dan di negeri Passo khususnya secara langsung

menciptakan kendala sosial berupa melemahnya fungsi kontrol pemerintah negeri

untuk menjaga stabilitas keamanan warga lokal. Kenyataan tersebut sejalan

dengan gagasan wirawan tentang dampak negatif konflik, salah satunya yakni

bahwa konflik menciptakan rasa tidak tenang, dan keterancaman. Dikatakan

sejalan karena secara psikologis, pengungsi yang tadinya adalah korban konflik

telah membawa emosi negatif yang terpendam dan sekali-kali dapat

melampiaskan emosinya: amarah dan kebencian terhadap warga lokal, sehingga

mau tidak mau keadaan ini pada akhirnya berpengaruh dalam bagaimana

Page 12: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

125

membangun relasi sosial yang baik dan kondusif antar pemeluk yang berbeda

agama pada saat konflik. Hal mana juga telah terungkap dalam gagasan

Wirawan17

tentang pengaruh konflik, dalam hal ini mengarah pada pengaruh atau

dampak negatif bagi komunitas masyarakat. Dikatakan demikian karena kondisi

dampak psiko-sosial konflik telah merusak hubungan komunikasi dan hilangya

rasa saling percaya antar masyarakat Islam-Kristen di Ambon.

Kajian diatas melahirkan beberapa pemahaman mendasar tentang seluk beluk

konflik antar pemeluk agama (yang bukan disebabkan atau dilatarbelakangi oleh

persoalan agama (ajaran dan dogmatik) yang terjadi di Ambon. Pertama, konflik

di Ambon yang telah “menyeret”individu-komunitas Islam-Kristen sebagai aktor

sekaligus korban pada akhirnya menciptakan perubahan pola relasi sosial antar

kedua agama. Hubungan-hubungan internal pemeluk agama(komunitas

masyarakat setempat) yang dulunya rekat: harmonis menjadi renggang:

disharmonis, komunikasi terhenti, kehilangan saling percaya, saling curiga, rasa

takut dan terancam. Alhasil kerekatan hubungan yang telah terbangun sebelum

konflik menjadi renggang. Hubungan antar agama menjadi eksklusif, tidak ada

komunikasi yang terbangun. Masing-masing pemeluk agama enggan untuk

bersilatuharmi.

Kedua, Konflik dipicu oleh maraknya isu-isu simbolisasi agama sehingga

Islam-Kristen yang berhasil memunculkan sentimen-sentiman keagamaan yang

berakibat fatal bagi hubungan antar agama. Orang Islam adalah musuh orang

Kristen dan sebaliknya orang Kristen adalah musuh orang Islam. Agama sebagai

sebuah keyakinan memang telah membedakan orang ambon “orang basudara”

tetapi tidak menjadi alasan penyebab konflik melainkan agama digunakan atau

dipolitisasi, pemeluk agama dibodohi, diberdayakan oleh pihak-pihak yang

berkepentingan. Ketiga, konflik disebabkan karena faktor-faktor yang tidak

tunggal, yakni berdimensi ekonomi, antara lain: kecemburuan sosial, pada

wilayah perdagangan yang melibatkan penduduk asli dan para pendatang dari luar

daerah; antara warga komunitas Islam-Kristen (Batumerah Mardika), serta politik

kepentingan.

17

Wirawan, Konflik dan Manajemen. . . (2010),109-110

Page 13: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

126

C. Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo sebagai resolusi terhadap

konflik berdarah Islam-Kristen di Ambon

Hubungan Pela Gandong pada masa konflik dalam praktiknya merupakan

serangkaian aktifitas bersama yang tidak hanya terlaksana dalam peristiwa-

peristiwa ritual adat yang eksklusif sebagaimana yang terjadi sebelum konflik.

Akan tetapi, cenderung terarah pada bagaimana mengupayakan penyelesaian

konflik.

Beberapa praktek hubungan Pela Gandong Batumerah Passo yang terkait

dengan itu yakni: pertama, orang Batumerah-Passo saling melindungi dan

menyelamatkan ketika masing-masing pihak secara individu-komunitas terbekuk

dalam kondisi krisis. Kedua, para tokoh adat saling berkomunikasi, bertukar

informasi. Ketiga, saling mengkondisikan suasana kedamaian dan ketentraman

pada wilayah-wilayah kedua negeri. Keempat, saling berdialog, berkompromi

untuk mendudukan pemaknaan tentang konflk dengan muatan-muatan

penyebabnya. Keputusan bersama yang dilaksanakan yakni, bahwa hanyalah

orang Ambon yang bisa menyelesaikan konflik. Kelima, Pada konteks yang luas,

praktek hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo yang berhasil terbangun dalam

konflik kemudian menjadikan negeri Batumerah-Passo sebagai sampel

perdamaian. Beberapa upaya mediasi perdamian yang dilakukan oleh pemerintah:

perjanjian Malino 2 juga telah mengakomodir keterwakilan komponen masyarakat

Adat berpela Batumerah-Passo.

Keseluruhan praktek Pela gandong Batumerah-Passo seperti yang telah

diuraikan diatas sejalan dengan pemikiran Galtung18

tentang proses penyelesaian

konflik: resolusi konflik, yang meliputi: peacekeeping, peacemaking, dan

peacebuilding. Dikatakan sejalan karena secara sosio-kultur hubungan Pela

Gandong secara substansial telah menyumbangkan alternatif penyelesaian konflik

dan kekerasan di aras internal (konflik horisontal) sekutu Pela Gandong yang

dalam praksisnya semua orang Maluku terhususnya di Ambon termediasi melalui

mekanisme hubungan kerjasama komunal pada tingkat warga hingga tokoh-tokoh

masyarakat. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam menjalankan peran sebagai

penjaga perdamaian yang netral, yang membatasi masuknya milisi-milisi sipil dari

18

Yulius Hermawan, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional… (2007), 93

Page 14: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

127

luar kota ambon: Leihitu dan menolak kekerasan dalam wilayahnya; kedua belah

pihak terlibat dalam serangkaian upaya penyelesaian konflik pihak ketiga diaras

nasional: pemerintah maupun di aras lokal; dan yang paling mendasar yakni telah

berupaya membuka ruang pemberdayaan potensi dan kapasitas personal, yang

mana terkait dengan hasil keputusan Malino yang mengakomodir keterlaksanaan

sistem rekruitmen pejabatan akademis dalam upaya rehabilitasi Universitas

Pattimura yang mesti berlandaskan pada prinsip keterbukaan, keadilan dan

profesosionalitas.

Pengkajian terhadap praktek hubungan Pela Gandong diatas mengartikan

bahwasalah satu fungsi pela yang penting pada saat konflik adalah fungsi

pemersatu, antara masyarakat berpela menyikapi konflik yang mengakibatkan

perpecahan sosial. Hubungan pela merupakan suatu yang unik, ia berkembang

menjadi satu identitas kultural yang mengusung nilai inti kemanusiaan yang

universal lewat saling mengamanakan dan menyelamatkan antar sesama

masyarakat yang berpela. Hal mana pada akhirnya melahirkan pemahaman

bahwa budaya Pela Gandong tetap bertahan, dan terus mengalami kebangkitan

yang menjadi institusi yang batasan dan peraturannya paling dipatuhi.

Dengan demikian, hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebagai

proses resolusi konflik telah nampak sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan

bersama melalui kerjasama yang terbangun antara pihak-pihak yang berkonflik

dalam hal ini Islam-Kristen di Batumerah-Passo sebagai bagian internal dari

komunitas dua agama yang berkonflik. Prosedur resolusi konflik berawal dari

penguraian masalah (menentukan penyebab konflik) untuk dipecahkan dan

dihilangkan secara bersama-sama. Olehnya itu, resolusi konflik melalui

intervensi pihak ketiga dalam hal ini masyarakat adat dua negeri (Batumerah-

Islam-Kristen-Passo) dapat dilihat sebagai bentuk upaya penanganan konflik

dalam rangka membangun hubungan baru diantara kelompok-kelompok yang

berkonflik yang berseteru.

Secara khusus berkaitan dengan upaya penyelesaian konflik Islam-Kristen

dalam hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo di Ambon, maka metode

resolusi konflik yang dilakukan pun mengarah pada dua sisi pengaturan secara

bersamaan. Pada satu sisi, penyelsaian konflik diatur sendiri oleh pihak-pihak

Page 15: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

128

yang terlibat konflik (Islam-Kristen di Batumerah-Passo). Dan pada sisi yang

lain, komponen masyarakat adat Batumerah-Passo juga terlibatan pada proses

penyelesaian konflik yang diatur melalui intervensi pihak ketiga: pemerintah

melalui Malino 2. Hanya saja, pengaturan intervensi pihak ketiga unsich melalui

pendekatan perselisihan alternatif. Yang mana kedua belah pihak, serta pihak

ketiga terlibat dalam proses negosiasi dan atau mediasi bersama yang

menghasilkan suatu kerjasama atau konsensus. Secara metodik, hubungan Pela

Gandong Batumerah-Passo sebagai resolusi konflik menegaskan kembali gagasan

Wirawan19

tentang metode resolusi konflik dapat dikelompokan menjadi:

pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan

konflik, dan atau pengaturan intervensi pihak ketiga, dalam hal ini melalui

perselisihan alternatif.

Selain itu, pengalaman Islam-Kristen khususnya di Batumerah-Passo,

mengungkapkan bahwa ada upaya masyarakat adat untuk mengembalikan

komunitas Katolik di Ahuru (Batumerah), dan menjaga eksistensi keIslaman,

melalui pemerilaharaan salah satu Mesjid yang ada di Larier (Passo) hingga

sekarang. Mesjid tersebut memang belum dapat digunakan secara maksimal.

Akan tetapi, bagi orang Passo, berdirinya Mesjid tersebut merupakan wujud

kehendak masyarakat untuk merajut kembali hubungan kehamonisan antar

agama-agama yang bertikai (Islam-Kristen).

Upaya penyelesaian konflik melalui pendekatan kultural yang telah nampak

diatas melahirkan satu pemahaman bahwasannya, masyarakat adat Batumerah-

Passo dalam Pela Gandong yang menjamin ketentraman dan hak kebebasan

individu dan komunitas agama-agama yang berbedatelah sampai pada upaya

menghargai eksistensi keberagamaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak.

Bahkan Hubungan tersebut muncul sebagai salah satu metode resolusi konflik.

Praktik penyelesaian konflik dengan metode rekonsiliatif hubungan Pela Gandong

Batumerah-Passo seperti demikian telah mampu mengobati derita psikologis,

yakni rasa takut dan kehilangan yang dialami oleh kedua belah pihak. Olehnya

itu, masyarakat adat Batumerah-Passo dapat dikatan memiliki mekanisme

penyelesaian konflik yang berdimensi pemulihan, yang mana hubungan tersebut

19

Wirawan, Konflik dan Manajemen. . . (2010), 177

Page 16: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

129

telah mampu mengubah keadaan dari yang tadi-tadinya konflik kembali kepada

keadaan yang semula, yaitu keadaan kehidupan yang harmonis dan damai.

D. Hubungan Islam-Kristen Dalam Pela Gandong Dari Prespektif

Konseling Lintas Agama Dan Budaya

Hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong pada hakekatnya dapat

dipahami sebagai relasional individu-komunitas yang berbeda secara identitas

keagamaannya yang dipersatukan dalam sebuah masyarakat adat Pela Gandong:

sebagai orang basudara. Secara real Islam-Kristen baik individu maupun

komunitas dalam Pela Gandong yang terdiri dari berbagai etnis, agama

berkewajiban untuk hidup berdampingan, saling memperhatikan, saling

menolong, saling bekerjasama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masing-

masing komunitas secara menyeluruh. Praktik kemanusiaan yang saling

memberdayakan dalam hubungan Pela Gandong seperti demikian telah menjadi

suatu hal yang terwariskan,dan menjadi landasan berperilaku dalam hidup

bermasyarakat. Praktik hubungan Pela Gandong merupakan representasi dari

spiritualitas masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Stoyles20

tentang

spiritualitas sebagai kapasitas serta keunikan, yang mendorong individu mencari

dan mengenali hubungan antara diri dan orang lain. Dikatakan sejalan karena

secara sosiologis Pela Gandong sebagai sebuah kearifan lokal telah memediasi

keterhubungan individu-komunitas berPela Gandong untuk berpikir,

bertingkahlaku sosial untuk mengupayakan kesejahteraan bersama.

Selanjutnya, pengalaman Konflik di Ambon telah menciptakan perubahan dan

menuntut Orang Ambon(individu-Komunitas Islam-Kristen dalam hubungan pela

gandong) secara sadar untuk sedapatnya bersama memecahkan akar persoalan

demi meningkatkan kualitas hidupnya. Kausalitas konflik turut mengiringi

perubahan yang terjadi di setiap aspek kehidupan. Permasalahan kehidupan

ditengah konflik sangatlah kompleks. Berawal dari permasalahan pribadi,

kemudian berkembang menjadi permasalahan komunal. Konflik sebagai sebuah

permasalahan bersama yakni, kehancuran atau keretakan sosial, ketidakberdayaan,

keterpurukan sosial yang dihadapi oleh semua orang Ambon tanpa membedakan

20

Stanford. Stoyles, A Measure of Spirituality Sensitif of Children, dalam J. D. Engel, Konseling

Pastoral. . . . ,(2016), 12

Page 17: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

130

latarbelakang identitas etnis dan agama, telah mendorong mereka untuk segera

menyelesaikannya, karena secara sadar atau tidak, individu akan selalu berupaya

untuk keluar dari masalah yang tengah dihadapinya. Hal tersebut muncul dari

kesadaran spiritual masyarakat. Sejalan dengan gagasan Krauss21

tentang spritual

sebagai energi kehidupan. Dikatakan sejalan karena secara historis kultur

masyarakat Ambon dalam hubungan pela gandong padanya telah memiliki visi

kemanusiaan tersimpul dalam gagasan dan praktik sosial yang tidak lain

merupakan kehendak bersama yang disepakati bersama pula.

Konflik juga telah membelajarkan tentang pentingnya kesadaran akan

perbedaan, dan bahwa perbedaan dapat berbuah konflik. Artinya bahwa sebesar

apapun kesamaan latarbelakang identitas, dalam hal ini Pela Gandong sebagai

kultur yang dapat menyatuhkan individu-komunitas tetapi toh tidak dapat

diacuhkan bahwa setiap individu yang adalah bagian dari komunitas itu adalah

manusia yang unik. Hubungan antar agama (Islam-Kristen) dalam konflik di

Ambon yang seperti demikian hendak mengartikan bahwa manusia (individu-

kelompok Islam-Kristen) adalah berbeda atau unik sekaligus sama-sama

menempati posisi yang saling melakukan dan membutuhkan pertolongan satu

dengan yang lain. Hubungan Islam-Kristen dalam Pela gandong sebagai relasi

mutual tolong-menolong tersebut sejalan dengan gagasan Engel tentang konseling

lintas agama dan budaya. Menurut Engel, Konseling dalam prespektif lintas

budaya dan agama merupakan relasi saling memberikan bantuan atau pertolong

antar konselor dan klien yang berbeda latar belakang agama dan budaya. Dengan

demikian, hubungan Islam-Kristen dalam Pela gandong merupakan suatu relasi

konseling.

Praktis hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong tidak hanya semata-mata

merupakan relasi tolong menolong, tetapi lebih daripada itu hubungan tersebut

telah mampu menciptakan harmonisasi melalui saling percaya, menerima dan

menghargai kepelbagaian, dan bekerjasama memenuhi kepentingan kesejahteraan

individu-komunitas secara menyeluruh. Hal mana sejalan dengan gagasan Engel22

21

Ralph.W. Kraus, Religion, Spiritual, Condurcth of Life: Manners Customs dalam J. D. Engel,

Konseling Pastoral. . . ,(2016), 12 22

J.D. Engel, Konseling Dasar dan Pendampingan Pastoral: Pemahaman dan Pengalaman

Dalam Praktek (Salatiga: Widya Sari Press, 2003),1

Page 18: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

131

tentang hakekat hubungan konseling. Dikatakan sejalan karena secara psikologis-

sosial hakekat konseling tidak hanya sebatas pada sebuah relasi tolong-menolong,

melainkan juga sebagai sebuah proses pemberdayaan diri konselor-konseli untuk

memberdayakan sesama.

Perbedaan dan kesamaan dalam hubungan antara Islam-Kristen (konselor-

konseli) menunjukan adanya interaksi lintas budaya. Hal tersebut sejalan dengan

gagasan Vontres23

tentang relasi konseling prespektif lintas budaya yang

mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas. Dikatakan sejalan

karena secara sosiologis hubungan Islam-Kristen di Ambon adalah perjumpaan

individu-komunitas yang berbeda identitas keagamaannya dan sekaligus sama

(terintegrasi) dalam identitas budaya (sebagai “orang basudara”) menyiratkan

adanya unsur kesamaan sekaligus perbedaan.

Aspek kesamaan dan perbedaan yang dimiliki Islam-Kristen dalam hubungan

Pela Gandong merupakan konteks di mana konseling lintas agama dan budaya

dapat terjadi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sulistyarini & Mohamad

Jauhar24

tentang praktik konseling lintas budaya dapat muncul pada suatu suku

bangsa yang sama, sebab dalam kesamaan jelasnya terdapat indikasi perbedaan.

Mengapa demikian, karena secara sosiologis, perbedaan adalah sebuah

keniscayaan, perbedaan merupakan fakta eksistensial individu-komunitas sebagai

pribadi yang unik. Sementara itu, aspek kesamaan Islam-Kristen dalam hubungan

Pela Gandong dari prespektif konseling lintas budaya merupakan unsur penting

menentuan keberhasilan proses konseling, hal mana pula telah diungkapkan

Prayitno dan Erman Amti25

bahwa kesamaan harapan tentang tujuan konseling

lintas budaya, saling ketergantungan, keterbukaan, penuh dengan nuansa

emosional memungkinkan keefektifan dan keberhasilan konseling. Dikatakan

sejalan karena secara kultural hubungan Islam-Kristen dalam bingkai tradisi

budaya Pela Gandong berpijak dari kesadaran ekisistensi ke-manusia-an yang

berdimensi (nilai) sosial-spiritual.

23

C. E. Vontress. Existentialism as a cross-culturalcounseling modality. In P. Pedersen (Ed. ),

Handbook of cross-culturalcounseling and therapy. (New York: Praeger. 1987), 207-212 24

Sulistyarini & Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling…. . (2014), 274. 25

Prayitno & Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling…, (1999), 175-176

Page 19: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

132

Kekerabatan Pela Gandong: semua orang mengaggap orang lain sebagai

sama-sama orang basudara merupakan suatu kedekatan emosional yang sangat

mendalam. Hal tersebut telah terbukti dalam pengalaman konflik yang dihadapi

bersama, orang Ambon sadar bahwa sebagai pihak kawan maupun lawan, entah

Islam-Kristen tidak lain adalah keluarganya sendiri. Karena itu, peperangan dan

perlawanan Islam-Kristen di Ambon adalah perlawanan dan peperangan antar

orang basudara. Kesadaran tersebut pada akhirnya juga menggerakan individu-

komunitas (masyarakat Ambon) untuk membangun hubungan kerjasama bagi

upaya penyelesaian konflik. Faktanya, hubungan Pela Gandong telah menjadi

sebuah pendekatan berbasis kultural resolusi konflik antar Islam-Kristen di

Ambon.

Kajian diatas hendak memberikan pemamahaman tentang nilai guna hubungan

Pela Gandong yang tidak hanya sebatas sebagai resolusi konflik: individu-

komunitas berPela Gandong sebagai agen perdamaian konflik Islam-Kristen di

AMbon namun sekaligus juga dapat dikembangkan sebagai sebuah pendekatan

konseling lintas agama dan budaya (berbasis nilai-nilai spiritual).

E. RANGKUMAN

Keseluruhan isi kajian yang telah terpaparkan pada Bab ini menjelaskan

tentang peranan Pela Gandong dalam proses konflik Islam-Kristen di Ambon

sebagai Resolusi konflik (Agen Perdamaian) dan sebagai pendekatan konseling

lintas agama dan budaya, yang dapat digambarkan dalam bangan dibawah ini:

Page 20: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

133

BAGAN I PROSES KONFLIK ISLAM-KRISTEN DAN HUBUNGAN PELA GANDONG

SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK (AGEN PERDAMAIAN) SERTA PENDEKATAN KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA

Fase Laten:

- Perkelahian antar

warga (pemuda)

anggota komunitas

Muslim dan Kristen

(Batumerah-Mardika).

- Perkelahian antar

warga asli dan

pendatang di wilayah

pasar

Fase Pemicu :

- Perkelahian antar individu dari suku pendatang dan asli Maluku

- Merebaknya isu & simbolissi agama yang membentuk kognisi masyarakat untuk memahami konflik sebagai konflik antar agama

- Keterlibatan TNI yang tidak netral, bahkan menjadi aktor kekerasan: penyerangan, pembunuhan warga dan komunitas Islam-Kristen

Penyebab Konflik:

- Kecemburuan sosial:

- Pihak Islam merasa

dinomorduakan dalam

masyarakat dengan

adanya ketidakseimbangan

keterwakIlan Islam dalam

posisi struktural

masyarakat.

- Masyarakat asli tidak ingin

dikuasai oleh warga

pendatang dibidang

prekonomin: perdagangan

Eskalasi konflik:

- Polarisasi agama: Islam vs

Kristen: individu-

kelompok Islam-Kristen

tergerak untuk terlibat

berkonflik satu dengan

yang lain.

- Konflik antar individu

berevolusi pada konflik

antar kelompok (individu-

komunitas Islam-Kristen)

Fase Resolusi Konflik:

I. Hubungan Pela-Gandong (Batumerah-

Passo),rekonsiliasi dan pendekatan

konseling orang basudara:

- Saling menjaga perdamaian,

menciptakan iklim bermasyarakat yang

kondusif, serta terjalin komunikasi dan

kompromi membangun perdamaian

sebagai orang basudara

II. Keterlibatab tokoh-tokoh Adat dan

tukoh agama Batumerah-Passo dalam

mediasi Malino 2.

- Meningkatnya kerjasama antar warga

masyarakat berPela Gandong.

Fase Krisis : - Kekerasan langsung antar kedua

komunitas: agresi, saling menyerang, membunuh dan merusak bahkan membakar rumah dan gedung ibadah.

- Pihak-pihak yang berkonflik: pemeluk Islam-Kristen ditambah dengan TNI dan kelompok-kelompok milisi sipil: Pasukan Jihad dan Agas bersekongkol, bekerjasama merebut wilayah-wilayah atau kantong-kantong komunitas lawan konflik.

Fase Pasca Konflik : - Hubungan antar pemeluk agama

rukun dan harmonis kembali melalui serangkaian kegiatan keagamaan yang digagas dan dilaksanakan bersama.

- Gejolak-gejolak konflik dalam hubungan antar warga dikelola dan diminimalisir dengan kerjasama orang basudara.

- Saling bersilaturahmi, berbagai, dan bekerjasama memenuhi kebutuhan psikis, fisik, ekonomi, dan spiritual

Hubungan Islam-Kristen

(Batumerah-Passo)

sebelum konflik

- Harmonis: saling

berdampingan, rukun,

toleransi,dan saling

berbagi

- Fenomena konflik internal

hubungan Pela-Gandong

Batumerah-Passo dan

penyelesaian

berpendekatan kultur

(upacara panas pela)

Pendekatan

konseling Lintas

Agama dan

Budaya

Falsafah

Pela

Gandong:

Orang

Basudara

Nilai –nilai Spiritual:

- Saling menghargai

- Saling menerima

- Saling berbagi

- Saling melengkapi

- Saling memberdayakan

Page 21: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

134

Bagan diatas menggambarkan keterkaitan proses konflik Islam-Kristen dan hubungan Pela

Gandong sebagai resolusi konflik (Agen Perdamaian) yang membentuk lingkaran.

Pertama, hubungan Islam-Kristen (Batumerah-Passo) sebelum konflik,yang mana

menunjukan dua kenyataan yang kontra. Pada satu sisi terbangun harmonisasi dalam

interaksi sosial mutual: saling berdampingan, saling toleran, dan saling berbagi antar

individu-komunitas (masyarakat) yang lintas agama dan etnis. Sementara pada sisi yang

lain ada juga pengalamaan konflik internal yang melibatkan sesama masyarakat berpela

Gandong. Akan tetapi, konflik tersebut dapat terselesaikan secara Adatis, dalam hal ini

termediasi melalui pertemuan dan negosiasi para tokoh Adat, dan akta ritual panas pela

antar kedua masyarakat; kedua, penyebab konflik,khusus menyorotikondisi objektif yang

melatarbelakangi terjadinya konflik antar agama 1999 dalam konteks komunitas

Batumerah-Passo, yakni: fenomena kecemburuan sosial, pada wilayah publik: posisi

politis, yang mana pihak Islam merasa dinomorduakan dalam kebersamaan masyarakat.

Pihak Islam menilai adanya ketidakseimbangan keterwakilan umat Islam dalam posisi

struktural masyarakat, sebelum konflik hanya orang-orang Kristen yang mendominasi

dalam kursi kepemimpinan di instansi-instansi birokratif dan akademisi. Karena itu, dalam

proses penyelesaian konflik, pihak Islam yang dilibatkan mengusung satu point

persetujuan yang disepakati bersama terkait dengan hal tersebut. Selain itu, pada bidang

ekonomi, ketika masyarakat asli tidak ingin dikuasai oleh warga pendatang dari suku

bugis, yang mendominasi pasar. Para pendatang sendiri telah mengembangkan

perserekitan-perserikatan yang sukuisme.

Ketiga, Fase Laten atau konflik tidak terlihat, yakni: terdapat perkelahian antar warga

pemuda anggota komunitas Muslim dan Kristen (Batumerah-Mardika) dan perkelahian

antar warga asli dan pendatang di wilayah pasar, antara sesama Islam dan juga antar suku.

Bagi keduabelah pihak, hal ini adalah fenomena yang biasa dan dianggap tidak memiliki

kaitan dengan konflik. Keempat, Fase pemicu, yakni: konflik berawal dari perseteruan

antar individu masing-masing dari pihak Muslim, pemuda makasar (Sulawesi).

Sedangkan, dari pihak Kristen, pemuda Aboru (Maluku Tenggah); kemudian berkembang

dengan merebaknya isu-isu dan simbolisasi agama yang membentuk kognisi masyarakat

untuk memahami konflik sebagai konflik antar agama; ada juga keterlibatan TNI yang

tidak netral, bahkan menjadi aktor kekerasan: penyerangan, pembunuhan warga dan

komunitas Islam-Kristen. Kelima, Fase Eskalasi. Pada fase ini terjadi polarisasi agama:

Islam vs Kristen: individu-kelompok Islam-Kristen tergerak untuk terlibat berkonflik satu

Page 22: BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,

135

dengan yang lain; konflik yang awalnya perseteruan antar individu berevolusi menjadi

konflik antar kelompok (komunitas Islam-Kristen).

Keenam, Fase Krisis. Pada fase ini, kedua komunitas terlibat dalam kekerasan

langsung, agresi, saling menyerang, membunuh dan merusak bahkan membakar rumah dan

gedung ibadah; ditambah dengan keterlibatan TNI dan kelompok-kelompok milisi sipil:

“orang luar” pasukan Jihad dan Agas, “yang bermain” merebut wilayah-wilayah atau

kantong-kantong Islam maupun Kristen; ketujuh, Fase Resolusi. Pada fase ini konflik

kekerasan dapat diminimalisir melalui serangkaian tindakan rekonsiliatif -peacekeeping

dan peacemaking- antar komunitas Batumerah-Passo sebagai upaya penyelesaian konflik

melalui relasi kerjasama, komunikasi: membatasi eskalasi kekerasan dan memciptakan

iklim bermasyarakat yang kondusif; mediasi Malino 2 yang diupayakan oleh pemerintah –

intervensi pihak ketiga- melibatkan tokoh-tokoh adat dan agama Batumerah-Passodalam

rangkamembangun perdamaian: peacebuilding sebagai orang basudara.

Kedelapan, Fase Pasca Konflik, pada fase ini hubungan antar pemeluk agama rukun

dan harmonis kembali melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang digagas dan diatur

bersama; konflik dikelola dan diminimalisir dalam kerjasama sebagai orang basudara;

meski demikian, saling bersilaturahmi dan bekerjasama menjawab kebutuhan masing-

masing; kesembilan, pendekatan konseling lintas agama dan budaya, merupakan sebuah

pendekatan yang berbasis pada filosofis Pela Gandong: sebagai “orang basudara” dengan

kandungan nilai-nilai spiritual, yakni: saling menghargai, saling menerima, saling berbagi,

saling melengkapi, dan saling memberdayakan.