37
29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Setting Penelitian 4.1.1 Proses Penelitian Pada penelitian ini, peneliti melewati berbagai tahap dalam proses penelitian. Tahap-tahap tersebut, meliputi: tahap penentuan partisipan, dan tahap pengumpulan data dari partisipan. 4.1.1.1 Penentuan partisipan Penentuan partisipan pada penelitan ini berada di daerah Jawa Tengah, yaitu di Desa Watuagung (Partisipan I) dan Desa Protomulyo (Partisipan II). Pada tanggal 28 Juli 2016 berangkat ketempat penelitian. Tiba ditempat penelitian, peneliti memilih partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah dibuat oleh peneliti sebelumnya. 4.1.1.2 Pengumpulan Data Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam untuk mengumpulkan data. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan panduan wawancara yang telah dibuat peneliti

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Setting Penelitian 4.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14242/4/T1_462012062_BAB IV... · lakukan diperoleh 6 tema besar yang akan peneliti

  • Upload
    vohanh

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Setting Penelitian

4.1.1 Proses Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti melewati berbagai tahap

dalam proses penelitian. Tahap-tahap tersebut, meliputi:

tahap penentuan partisipan, dan tahap pengumpulan data

dari partisipan.

4.1.1.1 Penentuan partisipan

Penentuan partisipan pada penelitan ini

berada di daerah Jawa Tengah, yaitu di Desa

Watuagung (Partisipan I) dan Desa Protomulyo

(Partisipan II). Pada tanggal 28 Juli 2016 berangkat

ketempat penelitian. Tiba ditempat penelitian,

peneliti memilih partisipan yang sesuai dengan

kriteria yang telah dibuat oleh peneliti sebelumnya.

4.1.1.2 Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan

teknik wawancara mendalam untuk mengumpulkan

data. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan

panduan wawancara yang telah dibuat peneliti

30

sebelumnya. Selain itu, peneliti juga menyiapkan

informed consent yang berisi surat penjelasan

penelitian dan surat persetujuan menjadi partisipan.

Dalam proses wawancara, peneliti menggunakan

handphone sebagai alat untuk merekam proses

percakapan antara peneliti dengan partisipan terkait

dengan penyebab TB MDR. Selain itu juga, peneliti

menyiapkan alat tulis untuk menunjang proses

wawancara.

4.1.2 Gambaran Umum Riset Partisipan

Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini

terdiri dari 2 pasien yang sedang menjalani

pengobatan Multi Drugs Resistance (MDR) dan 1

triangulasi sumber yaitu perawat yang bekerja di

Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga

(RSPAW).

4.1.2.1 Karakteristik Riset Partisipan 1

Nama : Bapak R

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 45 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Status : Menikah

31

Bapak R awalnya terdiagnosa TB paru sejak

bulan Januari 2014. Selama menjalani proses

pengobatan partisipan putus dalam berobat,

sehingga mengakibatkan kambuh kemudian

terdiagnosa TB MDR pada bulan Oktober 2014

dan harus menjalani pengobatan sampai

sekarang.

Riset partisipan merupakan anak ke dua

dari 3 bersaudara. Masing-masing sudah

berkeluarga dan hidup terpisah-pisah hanya adik

kandung partisipan yang tinggal bersebelahan

dengan rumah partisipan. Jumlah anggota

keluarga yang ada di rumah partisipan berjumlah

tiga orang yaitu riset partisipan istri partisipan, dan

ibu partisipan. Riset partisipan tidak mempunyai

pekerjaan semenjak partisipan mengalami sakit.

Riset partisipan hanya menempuh pendidikan

sampai jenjang Sekolah Dasar, anak partisipan

tinggal bersama pamannya di Jakarta untuk

menempuh jenjang pendidikan.

4.1.2.3 Gambaran Umum Riset Partisipan 2

Nama : Ibu F

Jenis kelamin : Perempuan

32

Usia : 32 Tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Status : Nikah

Ibu F merupakan seorang ibu rumah tangga

dan mempunyai riwayat terkena TB paru sekitar 1

tahun yang lalu kemudian terdiagnosa TB MDR

sejak bulan Agustus 2015. Riset partisipan tidak

mempunyai pekerjaan semenjak partisipan

mengalami sakit dan hanya melakukan aktivitas

didalam rumah. Selain itu riset partisipan

menempuh pendidikan sampai jenjang Sekolah

Menengah Atas/SMA.

4.1.2.3 Gambaran Umum Riset Partisipan 3 (Triangulasi

sumber)

Nama : Ibu B

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 40 tahun

Pekerjaan : Perawat

Status : Nikah

Triangulasi sumber pada penelitian ini

merupakan salah satu tenaga kesehatan di

Rumah Sakit dr Ario Wirawan Salatiga, latar

33

belakang Ibu B tentu mempunyai perbedaan

dengan partisipan lainya. Hal itu yang menjadi

menarik bagi peneliti, karena Ibu B sering

menemukan pasien terdiagnosa TB MDR diruang

dahlia 2.

4.2 Hasil Penelitian

Dari penelitian dan analisa data yang peneliti

lakukan diperoleh 6 tema besar yang akan peneliti bahas

dan jabarkan pada hasil penelitian ini. Diantara enam tema

besar tersebut, diantaranya menjadi pengantar dalam

menjelaskan tentang faktor penyebab TB MDR (Multi Drugs

Resistance). Sehingga dari hal ini, peneliti dapat

mengetahui apa saja yang menjadi faktor penyebab TB

MDR.

4 .2.1 Pengetahuan

Kata Kunci Kategori Sub Tema Tema

Awalnya saya nda tau mas, lantaran saya diberikan penjelasan oleh dokter makanya saya tau TB MDR P1 (48-49)

Kurangnya

pengetahuan

kedua riset

partisipan

tentang gejala

penyakitnya

Kurangnya

pengetahuan

tentang TB

MDR

Pengetahuan

34

Berdasarkan hasil wawancara yang diterima,

peneliti akan memaparkan beberapa hal tentang

kurangnya pengetahuan terhadap Multi Drugs

Resistance (MDR). Pengetahuan akan MDR oleh

partisipan sangat rendah, dan baru mengetahui

tentang MDR setelah menjalani pengobatan. Hal

tersebut, sesuai dengan pernyataan kedua partisipan

sebagai berikut :

“Awalnya saya nda tau mas,

lantaran saya diberikan penjelasan

oleh dokter makanya saya tau,

sebelumnya saya tidak tau apa itu

MDR, ketika saya berobat di

BKPM saya diberitahu dokter

kalau MDR itu kuman kebal sama

obat di situ saya baru tahu tentang

MDR” (P1, 48-49), (P2, 39-42)

Hasil wawancara menunjukkan bahwa kedua

partisipan mempunyai tingkat pengetahuan yang

kurang tentang penyakit TB MDR. Pengetahuan-

pengetahuan tersebut diketahui setelah terdiagnosa

TB MDR dan mendapatkan penjelasan dari petugas

kesehatan. Pada penelitian ini peneliti mencari

35

penyebab terkena MDR. Kurangnya pengetahuan

yang dimiliki kedua partisipan tentang TB MDR

menyebabkan mereka terkena MDR. Disamping itu,

pasien diberikan penjelasan tentang TB MDR seperti

lamanya proses pengobatan dan efek samping obat

yang diminum. Hal ini dapat dilihat dari penyataan

yang dikemukakan oleh Triangulasi Sumber, yaitu :

“untuk cirinya, dilakukan anamnesis

kemudian cek laboratorium dulu,

kira-kira ada MDR atau nda”

“iya mas itu dijelaskan kepada

pasien, pasien harus tanda tangan

informed consent untuk persediaan

diterapi jadi di dalam informed

consent itu dijelaskan lamanya

proses pengobatan, jumlah obat

dan efek samping obat”

“tentunya ada mas seperti ruangan

diberikan ventilasi udara, ajarkan

pola hidup sehat, cara

pembuangan dahak (P3, 18-74)

Berdasarkan hasil wawancara yang

diungkapkan oleh triangulasi sumber dalam

36

penelitian ini mengatakan bahwa sebelum pasien

dilakukan pemeriksaan dari petugas kesehatan.

Pasien mendapatkan penjelasan tentang tanda-

tanda dari MDR dari petugas kesehatan pada saat

pasien yang bersangkutan telah terdiagnosa TB

MDR. Upaya yang dilakukan untuk mengetahui

pasien tersebut terkena MDR atau tidak, maka

petugas kesehatan seperti dokter atau perawat

melakukan anamnesis dan pemeriksaan

laboratorium. Setelah selesai anamnesis dan

laboratorium, pasien dinyatakan terdiagnosa MDR

pasien diwajibkan untuk tanda tangan informed

consent. Tujuan dari informed consent sendiri

bentuk persetujuan pasien untuk diberikan terapi

selama proses pengobatan.

Dari pernyataan diatas peneliti berpendapat

bahwa kurangnya program penyuluhan tentang TB

khususnya TB MDR yang dilakukan oleh petugas

kesehatan berdampak pada kurangnya

pengetahuan. Hal tersebut diungkapkan oleh kedua

partisipan, kedua partisipan mengatakan bahwa

sebelumnya mereka tidak mengatahui tentang TB

MDR, namun setelah kedua partisipan terdiagnosa

37

TB MDR dan diberikan penjelasan oleh tenaga

kesehatan P1 dan P1 baru mendapatkan

pemahaman tentang TB MDR. Sehingga

menyebabkan keterlambatan dalam penegakan

diagnosis, mengakibatkan penderita sulit untuk

disembuhkan dan memerlukan proses pengobatan

yang lama.

4.2.2 Sikap

Kata Kunci Kategori Sub Tema Tema

Yah bisa 1

bungkus lebih

mas sehari,

kadang juga

lebih mas,

Yaah buat

nyenangin diri

aja mas,

soalnya nda

ada kerjaan

(P1,39-41)

saya

merasakan

berimajinasi,

badan lemas,

saya juga

nggak sadar

biasanya mas

P2 (78-114)

Perilaku yang

tidak sehat

serta

mengabaikan

perintah

dokter

Perilaku

mengabaikan

perintah

petugas

kesehatan

Sikap

38

Berdasarkan hasil wawancara, bahwa

kedua partisipan sebelumnya mempunyai perilaku

tidak sehat seperti kebiasaan merokok dan

mengabaikan perintah dokter ketika terdiagnosa TB

paru. Seperti yang diungkapkan oleh P1 bahwa

sebelumnya mempunyai kebiasaan merokok

sedangkan P2 mempunyai sikap yang mengabaikan

perintah dokter dalam proses pengobatan,

dikarenakan merasa kondisi fisik yang sudah

membaik sehingga memutuskan untuk

memberhentikan pengobatan, yang dijelaskan

dengan pernyataan sebagai berikut :

“Yah bisa 1 bungkus lebih mas sehari,

kadang juga lebih mas, Yaah buat

nyenangin diri aja mas, soalnya nda

ada kerjaan” (P1,39-41)

“Iya pernah mas tapi cuman sebantar,

tau lah mas orang kalau udah agak

mendingan udah malas lagi untuk

berobat, itu saya merasakan

berimajinasi, badan lemas, saya juga

39

nggak sadar biasanya mas” P2 (78-

114)

“Selain karna bosan selain itu juga nda

tahan dengan efek samping dari obat

misalanya efek samping kategori satu

mual muntah itu menjadi khawatir kalau

mengalami efek samping itu” P3 (58-

65)

Sikap yang tidak sehat seperti merokok dan

menghentikan pengobatan akan menyebabkan

ketidakpatuhan dalam berobat. Hal ini dibuktikan

dengan pernyataan kedua partisipan. P1

mengatakan bahwa salah satu cara untuk membuat

diri senang dan tidak bosan adalah merokok, karena

dengan merokok dia merasa lebih nyaman. Selain

itu, partisipan sudah berulang kali diingatkan oleh

dokter untuk memberhentikan kebiasaan merokok

namun P1 tetap melakukannya dengan alasan sulit

untuk menghilangkan kebiasaan merokok.

Sedangkan P2 mengatakan yang menyebabkan

sikap tidak patuh dalam berobat adalah ketika P2

menjalani pengobatan selama berapa bulan dan

40

merasakan kondisi badan mulai membaik. P2

memberhentikan pengobatan tidak sesuai pada

waktu yang telah ditetapkan oleh dokter, P2

beralasan bahwa kondisi fisiknya mulai membaik.

Padahal, kondisi fisik yang mulai membaik

seharusnya disertai dengan hasil pemeriksaan dari

tenaga kesehatan, bukan hanya anggapan dari

pasien. Hal inilah yang menyebabkan P2 melakukan

pengobatan dari tahap awal lagi. Selain itu juga P2

mengatakan efek samping dari obat tersebut

membuat sikap untuk menyerah, dikarenakan tidak

kuat menahan efek OAT (Obat Anti Tuberkulosis)

yang diminumnya setiap hari. P2 mengatakan

bahwa ketika minum OAT dia merasakan

berimajinasi bahkan hilang kesadaran.

Hal tersebut tersebut juga didukung oleh

pernyataan triangulasi sumber yang mengatakan

salah satu faktor penyebab mereka tidak patuh yaitu

efek samping dari obat anti tuberkulosis. Efek

samping OAT yang dirasakan oleh penderita seperti

mual muntah menimbulkan rasa khawatir dalam diri

penderita ketika mengkonsumsi obat tersebut.

41

Dari pernyataan diatas peneliti berpendapat

bahwa, perilaku yang tidak sehat sebelumnya

seperti merokok dan mengabaikan perintah dokter

seperti menghentikan pengobatan dikarenakan

merasa kondisi fisik mulai membaik akan

menyebabkan terjadinya resiko TB MDR. Selain itu,

efek samping OAT seperti mual muntah,

berimajinasi dan hilangnya kesedaran akan

menimbulkan perilaku menyerah dalam

menyelesaikan pengobatan. Sehingga

menyebabkan resistance terhadap obat dan harus

menjalani pengobatan ulang.

4.2.3 Ekonomi Rendah

Kata Kunci Kategori Sub Tema Tema

Yahh kaya gini

lah mas,

mungkin

keadaan nda

memungkinkan

saya juga nda

punya askes

mas P1 (115-

119)

Keterbatasan

dalam biaya

pengobatan

Ekonomi Ekonomi

rendah

42

Berdasarkan hasil wawancara kedua partisipan

menyatakan bahwa status ekonomi mempengaruhi

ketika melakukan pengobatan, hal tersebut

dikarenakan P1 dan P2 sudah tidak bisa melakukan

aktivitas seperti biasanya sehingga berdampak pada

penghasilan. Selain itu, kedua partisipan juga tidak

mempunyai askes seperti sehingga hanya

bergantung kepada keluarga untuk biaya kebutuhan

sehari-hari dan biaya pengobatan. Hal itu dibuktikan

dengan dengan kedua partisipan, sebagai berikut :

“Yaah kaya gini lah mas, mungkin keadaan

yang nda memungkinkan, saya juga nda punya

askes, saya juga dari keluarga yang ekonominya

kurang mas, (P1,115-119)

“Ada sih mas soalnya suami saya kan kerja

sendiri, jadi penghasilanya pas-pasan, kami juga

nda punya askes mas” (P2, 104-106)

Salah satu yang mengahambat pasien yaitu

latar belakang ekonomi yang kurang

misalnya dalam hal biaya pemeriksaan lain-

lain, karena kebanyakan mereka tidak

memiliki akses, tapi kalau untuk obat

mereka mendapatkan secara gratis P3 (28)

43

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa

kedua partisipan mempunyai masalah dalam hal

biaya dikarenakan kedua partisipan mempunyai latar

belakang ekonomi yang kurang serta tidak memiliki

askes untuk melakukan pengobatan. Hal itu

disebabkan karena kedua patisipan sudah tidak

mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mempunyai

penghasilan sendiri. Sehingga kedua partisipan

hanya bergantung kepada keluarga terdekat untuk

proses biaya pengobatan dan biaya untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hal tersebut didukung oleh pernyataan

triangulasi sumber yang menyatakan bahwa

ekonomi mempengaruhi tingkat kepatuhan penderita

TB MDR untuk melakukan pengobatan, dikarenakan

kebanyakan pasien MDR yang berobat tidak

memiliki askes sehingga mereka harus membayar

biaya lain seperti rontgen, pemeriksan dahak, dan

lain-lain. Meskipun mereka mendapatkan obat

secara gratis dari pemerintah.

Dari pernyataan diatas peneliti berpendapat

bahwa status ekonomi dapat mempengaruhi

seseorang dalam melakukan pengobatan. Hal

44

tersebut disebabkan karena mengalami penurunan

kondisi tubuh yang dialami, menyebabkan

ketidakmampuan bekerja seperti biasanya dan

berdampak pada penghasilan. Sehingga hanya

bergantung kepada keluarga dalam biaya

pengobatan seperti rotgen, dan pemeriksaan lainya

dan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.

4.2.4 Jarak yang jauh

Kata Kunci Kategori Sub Tema Tema

Menurut hasil wawancara, P2 memilki

kendala ketika menuju Rumah sakit. Hal tersebut

disebabkan jarak dari rumah menuju kerumah sakit

yang jauh ± 69,3 km. Hal ini sesuai dengan

pernyataan kedua riset partisipan, yaitu:

Sebenarnya iya

mas, disana

kan lebih dekat

dengan

puskesmas

lagian suami

saya kan kerja

kalau pagi P2

(130-134)

Akses

pelayanan

yang jauh

serta tidak

tersedianya

sarana

transportasi

Akses

pelayanan

kesehatan

Jarak yang jauh

45

“Eemm nda sih mas,soal e jarak dari rumah

kalo mau kerumah sakit kan deket mas, nda

terlalu jauh” ( P1, 128-131)

“Sebenarnya ia mas, soalnya kalo dari

semarang sini lumayan jauh mas e, itu pun

kalo nda macet dijln” (P2-130-134).

“iya mas kebanyakan rumah mereka jauh-

jauh itu menyebabkan mereka malas” P3

(67-70)

Akses pelayanan kesehatan merupakan

keterjangkauan tempat yang berhubungan dengan

lokasi sarana pelayanan kesehatan. P2 mengatakan

mempunyai kendala dalam mengakses pelayanan

kesehatan dikarenakan jarak yang ditempuh ± sejauh

69,3 km dari rumah partisipan menuju rumah sakit.

Semakin jauh jarak antara tempat tinggal dengan

tempat kegiatan akan semakin menurunkan motivasi

seseorang dalam melakukan aktivitas.

P3 (Triangulasi Sumber) mengatakan bahwa

akses pelayanan yang jauh dari rumah menjadi

penyebab untuk tidak patuh sehingga menyebabkan

rasa malas dari penderita.

46

Dari pernyataan di atas, peneliti berpendapat

bahwa jarak yang jauh dari salah satu faktor

mempengaruhi seseorang dalam melakukan

pengobatan. Dengan demikian, jarak tempuh yang

jauh akan menurunkan motivasi seseorang dalam

melakukan pengobatan ke rumah sakit sehingga

dapat menimbulkan rasa malas dalam melakukan

pengobatan.

4.2.5 Pengawasan minum obat

Kata Kunci Kategori Sub Tema Tema

Pengawasan minum obat merupakan kegiatan

yang dilakukan untuk menjamin kepatuhan penderita

untuk minum obat secara teratur sesuai dengan dosis

dan jadwal yang sudah ditetapkan, tetapi kedua

partisipan memilki perbedaan dalam pengawasan

Iya saya

diawasi, Ooh

kalau itu tidak

pernah mas,

soalnya saya

kalau berobat

di RSPAW

Salatiga cuman

minum obat aja

P1 (87-135)

Pengontrolan

yang

dilakukan oleh

petugas

atapun

keluarga

Petugas

kesehatan

yang

mengawasi

minum obat.

Pengawasan

minum obat

47

minum obat, hal tersebut sesuai dengan pernyataan

kedua partisipan, sebagai berikut:

“Iya saya diawasi, Ooh kalau itu tidak pernah

mas, soalnya saya kalau berobat di RSPAW

Salatiga cuman minum obat aja “ P1 (87-135)

“Kalau di RSPAW Salatiga saya diawasi

kalau minum obat mas, beda kaya di BKPM

Semarang kalau disana kita ambil ambil obat

untuk sekian hari dan minum obatnya

dirumah terus diawasi sama suami” P2 (88-

92)

“Perlu diketahui bahwa obat MDR boleh

dibawa pulang oleh pasien tetapi dengan

syarat persetujuan dari petugas dan

keluarga. Makanya disitu ada kerja sama

rumah sakit satelit atau puskesmas yang

menjadi rujukan untuk pasien MDR” P3 (54-

61)

Peran pengawasan minum obat tidak sepenuhnya

diawasi oleh petugas kesehatan. Namun melibatkan

pihak keluarga penderita agar mampu memotivasi

penderita ketika mengonsumsi obat Anti Tuberkulosis

48

(OAT). Pengawasan minum obat (PMO) juga

berfungsi untuk mencegah terjadinya putus berobat

P1 menyatakan setiap kali penderita minum obat di

RSPAW Salatiga selalu diawasi oleh petugas

kesehatan, sedangkan P2 mengatakan ketika dia

menjalani pengobatan di RSPAW Salatiga selalu

diawasi oleh petugas. Namun saat para partisipan

berobat di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)

Semarang, mereka menyatakan bahwa kurang

mendapatkan perhatian dari petugas pengawas

minum obat. Partisipan mengungkapkan bahwa obat

selalu dibawa kerumah dan yang menjadi pengawas

minum obat adalah suami. Partisipan juga

menyatakan bahwa ketika melakukan pengobatan di

BKPM. Petugas dari BKPM menyarankan agar obat

anti tuberkulosis (OAT) diminum dirumah, dikarenakan

minimnya petugas yang mengawasi minum obat

sehingga P2 diputuskan untuk minum obat dirumah

dan diawasi oleh suami

Menurut P3 mengatakan setiap kali pasien

mengkonsumsi obat MDR, obat tersebut boleh dibawa

pulang atas persetujuan petugas dan keluarga,

didalam lembar. persetujuan tersebut petugas

49

kesehatan menunjuk salah satu anggota keluarga

yang bersedia mengawasi penderita dalam minum

obat ketika dirumah. Pengawasan yang dilakukan oleh

keluarga hanya sementara. Tujuan dari pengawasan

yang dilakukan oleh keluarga atau orang terdekat agar

mampu memberikan dorangan atau motivasi kepada

penderita agar mampu menyelesaikan pengobatan

sampai tuntas dan mencegah terjadinya putus dalam

berobat.

Dari pernyataan diatas peneliti berpendapat

bahwa pengawasan minum obat (PMO) sangat

penting dalam memotivasi pasien untuk mengonsumsi

obat OAT dan memantau proses pengobatan.

4.2.5 Dukungan sosial pada pasien penderita TB MDR

Kata Kunci Kategori Sub Tema Tema

Mereka selalu

memberikan

semangat dan

motivasi buat

saya, soalnya

mereka selalu

mengingatkan

saya untuk

minum obat P1

(143-145)

Dukungan

serta motivasi

dari keluarga

adalam

proses

pengobatan

Keluarga Dukungan

keluarga pada

penderita TB

MDR

50

Kedua partisipan mendapat dukungan penuh dalam

menjalani proses pengobatan. Hal itu didukung oleh

pernyataan kedua dan P3 (Triangulasi Sumber)

partisipan selama menjalani proses pengobatan.

“Mereka selalu memberikan

semangat dan motivasi buat saya,

soalnya mereka yang memberikan

biaya pengobatan saya, mereka juga

selalu mengingatkan saya untuk

minum obat“ (P1,143-47)

“Yah paling pertama dari suami saya,

pertama dia menyuruh saya untuk

berhenti bekerja, Ada, dia bilang kamu

berhenti bekerja terus kamu berobat

soalnya kasian anak mu ni lo masih

kecil, mereka masih membutuhkan ibu,

sih bapak juga selalu mengingatkan

saya jangan lupa minum obat pokoknya gitu

lah mas” (P12, 155-159)

“ya yang pertama itu motivasi kepada

pasien, terus melibatkan keluarga” P3

(69-71)

51

Kedua partisipan mengatakan bahwa tidak

ada masalah dengan keluarga dalam proses

pengobatan, kedua partisipan selalu mendapat

dukungan untuk sembuh, P1 dan P2 mengatakan

dukungan merupakan salah satu faktor yang

memberikan semangat untuk partisipan dalam

menghadapi dan melakukan pengobatan sampai

selesai. Selain itu juga P3 berpendapat bahwa untuk

membantu proses pangobatan pasien dalam jangka

panjang yaitu motivasi dari keluarga yang

merupakan orang terdekat pasien dengan tujuan

mampu memberikan semangat agar menyelesaikan

pengobatan sampai tuntas.

Dari pernyataan ditatas peneliti berpendapat

bahwa dukungan atau motivasi dari keluarga

merupakan hal yang penting dalam membantu

penderita menyelesaikan pengobatan. Motivasi yang

diberikan orang terdekat bertujuan agar penderita

mampu bersikap patuh dalam menyeleasaikan

pengobatan sampai selesai.

52

4.3. Hasil Data Pendukung

4.3.1 Data Pendukung Observasi

a. Observasi Riset Partisipan P1 dan P2

Pada saat peneliti melakukan observasi rumah

kedua partisipan, peneliti melihat kondisi rumah kedua

partisipan sangat kekurangan ventilasi udara dikamar,

seperti kamar kedua partisipan yang tidak mempunyai

ventilasi udara, sehingga kurang mendapatkan

pencahayaan pada siang hari. Hasil data-data pada

saat peneliti melakukan observasi seperti ruang tamu,

kamar, terlampir dihalaman lampiran.

4.4 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui faktor

penyebab TB MDR di RSPAW Salatiga. Dalam penelitian ini

ditemukan bahwa sebagain besar dari kedua partisipan memiliki

faktor penyebab yang sama terkait dengan TB MDR, untuk

mengetahui faktor penyebab TB MDR akan dirangkum dalam

enam tema besar yang akan dibahas oleh peneliti, yaitu : (1)

Pengetahuan, (2) Sikap, (3) Ekonomi Rendah, (4) Jarak yang

jauh , (5) Pengawasan minum obat, (6) Dukungan Keluarga

pada penderita TB. Keenam tema tersebut telah ditentukan oleh

53

peneliti berdasarkan tujuan penelitian untuk mencari tahu faktor

penyebab TB MDR di RSPAW Salatiga.

4.4.1 Pengetahuan

Berdasarkan analisa hasil penelitian diketahui

bahwa kedua partisipan memiliki pengetahuan yang

kurang tentang penyakit TB MDR yang mereka derita,

pengetahuan tersebut didapatkan setelah mendapatkan

penjelasan dari petugas kesehatan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Maesaroh

(2009), bahwa kurangnya pengetahuan penderita dapat

menyebabkan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB

serta dapat kambuh dengan kuman yang resisten

terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). P1 dan P2

mengatakan bahwa sebelumnya mereka tidak

mengetahui tentang TB MDR. Pengetahuan tersebut

diketahui ketika mendapatkan penjelasan dari tenaga

kesehatan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Erawatyningsih, dkk (2012) yang

mengatakan bahwa tingkat pengetahuan penderita yang

rendah akan berisiko lebih dari dua kali terjadi kegagalan

pengobatan dibandingkan dengan penderita yang

54

memiliki pengetahuan tinggi. Ketidakpatuhan pengobatan

ini meliputi keteraturan pengobatan, pemeriksaan dahak

ulang pada akhir pengobatan fase awal dan satu bulan

sebelum akhir pengobatan fase lanjutan. Kepatuhan

adalah kesesuaian antara perilaku pasien dengan

ketentuan yang diberikan obat sesuai jangka waktu yang

ditentukan dan rutin kontrol ke instansi kesehatan.

Peneliti berpendapat bahwa kurangnya

pengetahuan tentang TB akan menyebabkan

keterlambatan dalam pemberian terapi pengobatan dan

mengakibatkan resistance terhadap obat anti

tuberkulosis. Dalam penelitian terdahulu didapati bahwa

pengetahuan pasien berkaitan erat dengan kepatuhan

berobat. Pengetahuan yang kurang, tentu saja

berpengaruh pada saat pasien melakukan pengobatan.

Sedangkan pengetahuan, dalam penelitian ini peneliti

mendapati bahwa begitu minimnya pengetahuan pasien

akan penyakit yang dideritanya. Hal ini dikarenakan

kurangnya pendidikan kesehatan yang diberikan, seperti

penyuluhan tentang TB khusunya TB MDR baik di rumah

sakit ataupun puskesmas. Pengetahuan pasien sebelum

terdiagnosa MDR hanyalah pengetahuan umum tentang

TB. Kurangnya pengetahuan tersebut menyebabkan

55

pasien terkena TB MDR. Sehingga membutuhkan waktu

yang lama dalam melakukan proses pengobatan dan

harus melakukan pengobatan dari tahap awal.

4.6.1 Sikap

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa P2

mengungkapkan beberapa alasan yang mempengaruhi

perilaku pengobatan yaitu setelah mendapatkan

pengobatan dan merasakan gejala dan kondisi fisik mulai

membaik sehingga menyebabkan untuk memberhentikan

pengobatan. Merujuk pada teori Green, (2005) yang

menyatakan bahwa, sikap merupakan faktor predisposisi

untuk terjadinya suatu perilaku seseorang bersikap

negatif atau kurang setuju terhadap suatu pengobatan,

akan mendorong penderita tersebut untuk berperilaku

tidak patuh dalam berobat ulang maupun dalam hal

minum obat. Hal ini juga didukung oleh Zoebir (1997)

dalam Rosiana (2013). Perilaku berobat akan terjadi

bila hilangnya atau kurangnya gejala penyakit,

merupakan ukuran kesembuhan bagi penderita

sehingga penderita menghentikan pengobatannya.

Disamping hal tersebut, berat atau ringannya gejala

penyakit mempengaruhi kepatuhan penderita berobat.

56

Selain dikarenakan gejala penyakit mulai membaik atau

berkurang ada hal lain yang menyebabkan perilaku tidak

patuh dalam berobat yaitu efek samping obat.

P1 dan P2 mengatakan salah satu yang

membuat mereka memberhentikan pengobatan jangka

panjang yaitu karena tidak kuat dengan efek samping

OAT yang diminum, karena setelah mengkonsumsi obat

mereka selalu berimajinasi dan kadang sampai hilang

kesadaran. Pendapat ini berkaitan dengan Safarino

(1990) dalam Maesaroh (2009), mengatakan bahwa

ketidakpatuhan menelan obat dapat menurunkan efek

samping obat. Dapat diartikan ketidakpatuhan dalam

menelan obat bisa berawal dari adanya efek samping

obat yang dirasakan, tidak jauh berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Erawatyningsih, dkk

(2012) bahwa ada pengaruh signifikan antara efek

samping obat dengan ketidakpatuhan berobat penderita

TB paru. Hasil penelitian ini menunjukkan, adanya

keterkaitan antara keluhan penderita dengan kepatuhan

penderita untuk berobat. Dengan kata lain, semakin

banyak keluhan penderita sebagai akibat dari efek

samping obat, maka semakin besar kemungkinan

penderita tidak patuh untuk berobat.

57

Pada umumnya gejala efek samping obat yang

ditemukan pada penderita adalah sakit kepala, mual-

mual, muntah serta sakit sendi tulang. Gejala efek

samping OAT dapat terjadi pada fase awal pengobatan.

Hal ini juga didukung oleh teori Notoadmojo (2007)

yang mengatakan bahwa sikap merupakan faktor

predisposisi untuk terjadinya suatu perilaku seseorang,

sikap negatif atau kurang setuju terhadap suatu

pengobatan akan mendorong penderita tersebut

berperilaku tidak patuh dalam berobat.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, perilaku

kedua partisipan tergambar dalam sebuah sikap tidak

patuh. Sikap tidak patuh tersebut meliputi kebiasaan

merokok dan mengabaikan perintah dokter. Kebiasaan

merokok tersebut bagi peneliti merupakan sebuah sikap

negative atau kurang setuju yang diperlihatkan partisipan

baik secara tidak sadar maupun sengaja terhadap suatu

pengobatan. Sikap seperti ini akan mendorong perilaku

tidak patuh dalam berobat, karena meskipun telah

dilarang, partisipan tetap saja melakukan kebiasaan

tersebut. Selain itu, sikap tidak patuh yang kedua adalah

anggapan bahwa telah sembuh juga dilakukan partisipan

58

dan menghentikan pengobatan yang tidak sesuai dengan

anjuran dokter. Padahal, kesembuhan seorang pasien

ditentukan melalui pemeriksaan medis terhadap penyakit

yang diderita pasien.

Selain itu juga yang menyebabkan perilaku tidak

patuh disebabkan efek samping Obat anti tuberkulosis

(OAT) yang diminum, OAT yang diminum setiap hari

menimbulkan banyak keluhan dari penderita seperti

mual, hilangnya nafsu makan, dan hilangnya kesadaran

seperti yang dialami oleh partisipan kedua. Sehingga

menimbulkan rasa khawatir ketika mengkonsumsi OAT.

4.6.3 Ekonomi Rendah

Pada penelitian ini peneliti mendapatkan satu

masalah yang mempengaruhi ketidakpatuhan dalam

pengobatan TB MDR yaitu ekonomi. Berdasarkan hasil

wawancara dari kedua partisipan, P1 dan P2

menyatakan bahwa setelah terdiagnosis TB MDR

mereka tidak mempunyai penghasilan tetap dan hanya

bergantung kepada keluarga untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari serta tidak mempunyai askes. Sehingga harus

menggunakan biaya sendiri untuk melakukan

pemeriksaan seperti rontgen, dahak serta biaya

59

transportasi. Hal ini sejalan dengan penelitian

Erawatyningsih,dkk (2012) yang mengatakan bahwa ada

pengaruh signifikan antara pendapatan terhadap

ketidakpatuhan berobat pada penderita TB. Pendapatan

yang rendah dapat menyababkan ketidakpatuhan

penderita dalam berobat. Penderita TB paling banyak

menyerang masyarakat yang berpenghasilan rendah,

sehingga dalam pengobatan TB selain penghasilannya

untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, mereka

harus mengeluarkan biaya transportasi untuk berobat di

puskesmas. Hal ini yang menyebabkan mereka tidak

patuh dalam pengobatan. Disisi lain sosial ekonomi juga

mempengaruhi kemampuan pembiayaan dalam bidang

kesehatan karena masih terfokus kebutuhan pokoknya.

Peneliti berpendapat bahwa status ekonomi

mempengaruhi dalam melakukan pengobatan. Hal

tersebut dikarenakan kedua partisipan karena tidak

mempunyai pengasila serta tidak mempunyai askes. Hal

tersebut yang menyebabkan penderita TB MDR tidak

patuh dalam melakukan pengobatan karena masih

terfokus untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sehingga

hanya bergantung kepada keluarga untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari dan biaya untuk kontrol,

60

pemeriksaan rotgen, pemeriksaan dahak, dan biaya

kehidupan sehari-hari dipenuhi oleh keluarga.

4.6.4 Jarak yang jauh

Pada penelitian ini, ditemukan juga faktor lain yang

menyebabkan tidak patuh dalam minum obat dan

melakukan pemeriksaan. Hal itu diungkapkan P2

mengatakan bahwa selain faktor pengetahuan, perilaku,

dan ekonomi, Salah satu faktor yang menghambat

dalam proses pengobatan menuju puskesmas ataupun

rumah sakit, adalah jarak yang jauh. Menurut P2 jarak

rumah yang lumayan jauh dari akses pelayanan

kesehatan seringkali muncul sikap malas berobat.

Pernyataan diatas berkaitan dengan pendapat Astuti

(2008) yang mengatakan bahwa kesulitan akses

pelayanan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak

adanya kemampuan sarana ekonomi dikarenakan biaya

kesehatan yang mahal, kondisi geografis yang sulit

untuk menjangkau sarana kesehatan. Peneliti

berpendapat semakin jauh jarak yang ditempuh oleh

penderita dalam mengakses pelayanan kesehatan maka

akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pengobatan

61

dan akan menimbulkan sikap malas untuk melakukan

pengobatan.

4.6.5 Pengawasan minum obat

Menurut Depkes RI (1999) PMO (Pengawas Minum

Obat) adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya

untuk mengawasi dan memantau penderita TB dalam

meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa

berasal dari keluarga, tetangga, kader atau tokoh

masyarakat atau petugas kesehatan.

Pengawasan minum obat merupakan kegiatan yang

dilakukan untuk menjamin kepatuhan penderita

penderita untuk minum obat sesuai dengan dosis dan

jadwal yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil

penelitian, ada perbedaan P1 dan P2 dalam

pengawasan minum obat dimana P1 selalu diawasi oleh

petugas Kesehatan. Sedangkan P2 diawasi oleh suami.

Dalam prakteknya, P2 selalu teratur minum obat

dikarenakan ada pengawasan dari suami yang sering

mengontrol serta mengingatkan jadwal meminum obat di

rumah.

Hal ini juga didukung oleh WHO (1998) dalam

Maesaroh (2009), mendefinisikan PMO (pengawasan

62

minum obat) adalah orang pertama yang selalu

berhubungan dengan pasien sehubungan dengan

pengobatannya. PMO bertugas untuk mengingatkan

agar pasien meminum obat, mengawasi sewaktu

menelan obat, membawa pasien untuk kontrol secara

berkala, dan menolong pada saat ada efek samping. Hal

ini juga didukung oleh teori Mangunnegoro dan

Suryatenggoro (1994) bahwa dalam pengawasan

pengobatan, petugas harus mengikut sertakan keluarga

supaya pasien dapat berobat secara berkelanjutan.

Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil

yang besar dalam meningkatkan kepatuhan penderita.

Namun demikian, peneliti berpendapat bahwa tidak

menutup kemungkinan terjadi kegagalan. Hal ini

dikarenakan faktor yang mempengaruhi kesembuhan

TB tidak hanya dari kinerja PMO saja melainkan dari

faktor pasien, faktor lingkungan serta kepatuhan untuk

minum obat dan pemeriksaan rutin untuk memantau

perkembangan pengobatan. Faktor lingkungan yang

bersih sangat terkait dengan keberadaan kuman dan

proses timbul serta penularan. Faktor perilaku sangat

berpengaruh pada kesembuhan yang dimulai dari

perilaku sehat, makan makanan yang bergizi hindari

63

rokok dan alkohol. Hal ini didukung oleh Kulsum (2014),

menyatakan bahwa pengawas menelan obat merupakan

faktor eksternal yang ada di lingkungan individu yang

akan berpengaruh terhadap menyelesaikan seluruh

pengobatannya hingga tuntas, mengingat jangka waktu

pengobatan yang cukup lama sehingga berpotensi

terhadap ketidakteraturan dalam pengobatan.

4.6.6 Dukungan keluarga pada pasien penderita TB MDR

Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa

dukungan keluarga tidak ada pengaruh terhadap

kepatuhan dalam menjalani pengobatan, dikarenakan

P1 dan P2 selalu mendapatkan motivasi dan dukungan

dari keluarga untuk dapat menyelesaikan pengobatan

secara tuntas.

Friedman (1998) dalam dhewi, dkk (2012)

mengungkapkan bahwa keluarga memiliki peran seperti

memberikan dukungan dan mengajarkan segala

sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga

berhubungan dengan orang lain dalam

mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga

agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Sedangkan

menurut Iriyanto dalam (Maesaroh) 2009, sikap keluarga

64

terhadap penderita merupakan faktor penguat agar tetap

berperilaku patuh dalam menjalankan pengobatan. Ini

berarti bahwa sikap keluarga merupakan motivasi untuk

mendorong penderita dalam melakukan pengobatan

serta meningkatkan kepatuhan berobat.

Dalam penelitian ini peneliti berpendapat

bahwa dukungan dari keluarga sangat mempengaruhi

tingkat keberhasilan keluarga, Hal ini dikarenakan saat

menjalani proses pengobatan penderita sangat

membutuhkan orang terdekat seperti keluarga, ataupun

suami untuk memberikan dorongan atau motivasi

selama menjalani proses pengobatan, sehingga

mendukung perilaku untuk patuh dalam menyelesaikan

pengobatan sampai tuntas.

4.5 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak semua rumah

sakit melayani pasien TB MDR, dan jumlah penderita MDR

juga terbatas. Hal ini menyebabkan sangat spesifiknya kasus

tersebut, yang berimplikasi pada jumlah partisipan yang

sesuai dengan kriteria peneliti sangat terbatas. Kemudian,

faktor lingkungan menjadi salah satu faktor yang menjadi

keterbatasan peneliti. Hal itu disebabkan karena peneliti tidak

65

melakukan penelitian mengenai lingkungan penderita TB

MDR. Sehingga peneliti tidak bias menggali informasi lebih

mendalam dari partisipan tentang faktor penyebab TB MDR.