56
41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal terletak di Kecamatan Panekan dan Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Kecamatan Panekan merupakan kecamatan yang terletak di bagian utara Kabupaten Magetan dan berada pada ketinggian antara 400 sampai dengan 750 mdpl. Batas wilayah Kecamatan Panekan di sebelah timur adalah Kecamatan Sukomoro dan Kecamatan Karas, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Magetan dan Kecamatan Sidorejo. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Ngawi dan sebelah barat dengan Kabupaten Karanganyar. Kecamatan Panekan berbatasan langsung dengan Kecamatan Sidorejo. Sebelum tahun 2003 beberapa wilayah di Kecamatan Sidorejo merupakan wilayah di Kecamatan Panekan. Setelah tahun 2003, Kecamatan Panekan mengalami pemekaran sehingga beberapa desa di wilayahnya bergabung dengan Kecamatan Sidorejo. Kecamatan Sidorejo berada pada ketinggian 487 – 779 mdpl. Batas kecamatan di sebelah timur adalah Kecamatan Magetan, sebelah selatan Kecamatan Plaosan, dan sebelah utara berbatasan langsung dengan Kecamatan Panekan. Peta kecamatan dan desa dapat dilihat pada lampiran 9. Wilayah kelola Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Lawu Manunggal terdiri dari 5 desa yaitu: Desa Sukowidi, Desa Tapak, dan Desa Sumberdodol di Kecamatan Panekan, serta Desa Sumbersawit dan Desa Sidomulyo di Kecamatan Sidorejo. Walaupun secara administratif wilayah kelola berada di dua kecamatan, kelima desa tersebut berada dalam satu hamparan wilayah yang sama. Luas wilayah di kelima desa terbagi dalam luas wilayah lahan basah (sawah) dan lahan kering (tegal dan pekarangan). Di kawasan tegal dan pekarangan inilah masyarakat mengembangkan hutan rakyat, baik dengan pengelolaan khusus maupun secara tumpangsari. Letak kelima desa berada dalam satu hamparan mempunyai kecenderungan karakteristik masyarakat yang sama. Pada awal perkembangan, wilayah kelima desa tersebut tergabung dalam satu wilayah administratif yaitu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

  • Upload
    habao

  • View
    227

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

41

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

1. Letak Geografis

Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal terletak di Kecamatan

Panekan dan Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.

Kecamatan Panekan merupakan kecamatan yang terletak di bagian utara

Kabupaten Magetan dan berada pada ketinggian antara 400 sampai dengan 750

mdpl. Batas wilayah Kecamatan Panekan di sebelah timur adalah Kecamatan

Sukomoro dan Kecamatan Karas, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan

Magetan dan Kecamatan Sidorejo. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten

Ngawi dan sebelah barat dengan Kabupaten Karanganyar.

Kecamatan Panekan berbatasan langsung dengan Kecamatan Sidorejo.

Sebelum tahun 2003 beberapa wilayah di Kecamatan Sidorejo merupakan

wilayah di Kecamatan Panekan. Setelah tahun 2003, Kecamatan Panekan

mengalami pemekaran sehingga beberapa desa di wilayahnya bergabung dengan

Kecamatan Sidorejo. Kecamatan Sidorejo berada pada ketinggian 487 – 779

mdpl. Batas kecamatan di sebelah timur adalah Kecamatan Magetan, sebelah

selatan Kecamatan Plaosan, dan sebelah utara berbatasan langsung dengan

Kecamatan Panekan. Peta kecamatan dan desa dapat dilihat pada lampiran 9.

Wilayah kelola Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Lawu Manunggal

terdiri dari 5 desa yaitu: Desa Sukowidi, Desa Tapak, dan Desa Sumberdodol di

Kecamatan Panekan, serta Desa Sumbersawit dan Desa Sidomulyo di

Kecamatan Sidorejo. Walaupun secara administratif wilayah kelola berada di

dua kecamatan, kelima desa tersebut berada dalam satu hamparan wilayah yang

sama. Luas wilayah di kelima desa terbagi dalam luas wilayah lahan basah

(sawah) dan lahan kering (tegal dan pekarangan). Di kawasan tegal dan

pekarangan inilah masyarakat mengembangkan hutan rakyat, baik dengan

pengelolaan khusus maupun secara tumpangsari.

Letak kelima desa berada dalam satu hamparan mempunyai

kecenderungan karakteristik masyarakat yang sama. Pada awal perkembangan,

wilayah kelima desa tersebut tergabung dalam satu wilayah administratif yaitu

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

42

Kecamatan Panekan. Kondisi penutupan vegetasi kelima desa didominasi oleh

tanaman yang hampir seragam. Lokasi ketinggian dengan kelembaban yang

tidak terlalu tinggi, menjadi lokasi tumbuh sengon laut yang sangat baik.

Pengelolaan tanaman pertanian berupa tanaman sayur dan palawija di tegalan

juga cukup berkembang. Kearifan lokal masyarakat dalam kesantunan menjaga

kawasan untuk sumber mata air serta pengembangan hutan rakyat sebagai pola

menjaga alam dan sebagai tabungan berupa hasil kayu untuk kepentingan jangka

panjang merupakan pola yang sudah berlangsung lama. Kondisi ini menjadi

modal sosial penting menuju pengelolaan hutan rakyat secara lestari.

Tabel 2. Luas tanah menurut penggunaan

No Kecamatan/Desa Jumlah

(Ha)

Luas Tanah (Ha)

Sawah Bukan

Sawah

Lainnya

A. Kec. Panekan

1 Desa Sukowidi 435,00 19,11 131,59 284,30

2 Desa Tapak 716,00 22.31 221,14 472,55

3 Desa Sumberdodol 244,10 122,13 92,54 244,10

B Kec. Sidorejo

1 Sumber Sawit 291,20 67,35 139,80 83,95

2 Sidomulyo 2.205,85 74,00 257,50 1.874,35

Jumlah : 4.163,15 304,90 842,57 2.959,25

Sumber: Kecamatan Panekan dan Sidorejo dalam angka tahun 2013

Tabel 2 menjelaskan luas tanah secara keseluruhan dari 5 desa yang

mengajukan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel adalah seluas 4.163,15 ha

dirinci sebagai tanah sawah 304,90 ha (7,32%), tanah bukan sawah seluas

842,57 ha (20,23%) dan tanah untuk penggunaan lainnya seperti bangunan, jalan

dan hutan negara seluas 2.959,25 ha (71.08%). Data ini merupakan data awal

terkait dengan luas tanah/lahan dari 5 desa. Namun, untuk mengetahui berapa

luas hutan rakyat yang terdiri dari luas lahan tegal, pekarangan, dan sawah yang

difungsikan sebagai hutan masih harus dipilah dalam proses pendampingan

sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 11.

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

43

2. Pemanfaatan Hasil Hutan

Beragam hasil hutan yang diproduksi oleh KTHR Lawu Manunggal

menunjukkan tingkat kesuburan lahan dan potensi yang ada. Secara umum hasil

hutan dikelompokan menjadi dua macam yaitu hasil hutan kayu (HHK) dan

hasil hutan bukan kayu (HHBK). Jenis komoditas kayu yang dominan di

wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal adalah Sengon (Paraseriantes

falcataria), Mindi (Melia azedarach), Mahoni (Switenia Mahagoni), dan Jati

(Tectona grandis). Pemanfaatan HHK pada umumnya dimanfaatkan untuk dijual

dan dipakai sendiri, misalnya untuk membuat rumah dan bangunan lain.

Kebiasaan masyarakat menjual kayu pada umumnya dilakukan apabila

kebutuhan mereka sudah tidak bisa tercukupi dari hasil pertanian dan

peternakan. Dengan demikian, penebangan kayu merupakan solusi ekonomi

pada barisan akhir. Kebiasaan masyarakat yang menempatkan penjualan atau

panen kayu sebagai langkah akhir, merupakan solusi efektif agar pohon kayu

memberikan waktu lebih lama untuk melakukan fungsi konservasi. Di sisi lain

umur kayu yang semakin panjang memberikan harga yang lebih baik. Dalam

perdagangan kayu, biasanya ada pedagang yang menawar kayu ke desa-desa

yang dilakukan langsung kepada pemilik pohon.

Selain hasil hutan kayu, masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan bukan

kayu. Jenisnya beragam, diantaranya kopi, coklat, cengkeh, durian, rambutan,

mangga, alpukat, jahe, kunyit dll. Jahe dan kunyit merupakan tanaman yang

dikembangkan di bawah tegalan. Jenis buah-buahan (Multipurpose Trees

Species) biasanya banyak dihasilkan dari lahan pekarangan.

3. Sosial Ekonomi, Kependudukan dan Budaya Masyarakat

Sebagain besar masyarakat anggota KTHR Lawu Manunggal

bermatapencaharian sebagai petani termasuk ternak. Sebagian juga melakukakan

usaha sebagai pedagang, industri kecil, buruh bangunan, dan buruh tani.

Tanaman pangan yang umumnya dikembangkan adalah padi dan palawija,

seperti jagung dan kacang tanah. Selain itu, juga menanam tanaman palawija di

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

44

luar musim tanam padi. Masyarakat juga memelihara hewan ternak, diantaranya

kambing, sapi, dan ayam serta sebagian beternak ikan.

Namun, di sebagian masyarakat juga berkembang pemikiran bahwa

mereka juga membutuhkan tabungan jangka panjang yang dapat mereka

gunakan sewaktu-waktu. Salah satu bentuk tabungan itu adalah tanaman kayu.

Masyarakat menanam kayu untuk mempersiapkan pemenuhan kebutuhan jangka

panjang. Penebangan kayu pola “tebang butuh” pada prinsipnya mereka akan

panen jika telah membutuhkan kayu untuk membangun atau uang hasil

penjualan kayu. Penebangan kayu sebelum masa tebang akan dilakukan

manakala terjadi kebutuhan mendesak. Kondisi ini tentu cenderung merusak

lingkungan. Namun, di sisi lain apabila pemilik pohon kondisi ekonominya

cukup baik, pohon-pohon yang mereka miliki dibiarkan lama menjadi besar dan

sangat baik bagi konservasi lingkungan. Dengan demikian, kata kunci agar

pepohonan yang mereka miliki dapat bertahan lama menjaga lingkungan adalah

dengan cara memperbaiki kondisi ekonomi mereka.

Dari sisi demografi jumlah penduduk kelima desa berjumlah 16.347 jiwa

terdiri laki-laki 7.947 jiwa (48%) dan perempuan 8.400 jiwa (52%). Dengan

jumlah kepala keluarga sebanyak 3.782 KK, maka rerata setiap KK

beranggotakan 4,3 jiwa. Tabel berikut menjelaskan jumlah KK dan jumlah

penduduk kelima desa yang tergabung dalam KTHR Lawu Manunggal.

Tabel 3. Jumlah kepala keluarga (KK) dan penduduk

No Kecamatan/Desa Jumlah

KK

Jumlah penduduk (Jiwa)

Laki-

Laki

Perempuan Jumlah

A. Kec. Panekan

1 Desa Sukowidi 510 1.064 1.188 2.252

2 Desa Tapak 631 1.188 1.237 2.425

3 Desa Sumberdodol 849 1.812 1.911 3.723

B Kec. Sidorejo

1 Sumber Sawit 767 1.682 1.739 3.421

2 Sidomulyo 1.025 2.201 2.325 4.526

Jumlah : 3.782 7.947 8.400 16.347

Sumber: Kecamatan Panekan dan Sidorejo dalam angka tahun 2013

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

45

Karakteristik budaya masyarakat kedua kecamatan mempunyai

kecenderungan yang hampir sama. Nilai-nilai sosial yang dijunjung salah

satunya adalah kebersamaan. Hal itu terwujud dalam kegiatan-kegiatan bersih

desa, hajatan, gotong royong, dll. Musyawarah, saling membantu juga menjadi

nilai yang dipegang oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut merupakan modal yang

dapat digunakan dalam kegiatan pengelolaan hutan lestari. Kebersamaan dalam

menyusun rencana pengelolaan, musyawarah dalam menghadapi masalah dan

saling membantu dalam penyelesaiannya. Kearifan lokal mempunyai peranan

yang sangat penting yaitu dapat mengikat setiap individu yang ada walaupun

dengan perbedaan karakter yang dimiliki masing-masing individu.

B. Kondisi Awal Kelompok Tani Hutan Lawu Manunggal

Potret kondisi awal KTHR Lawu Manunggal merupakan pijakan dasar

dalam penelitian ini untuk mengetahui kondisi hutan, kelembagaan dan kesiapan

dokumen-dokumen sebelum dilakukan pemberdayaan melalui proses

pendampingan oleh PERSEPSI sebuah institusi pegiat lingkungan dan dari Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan. Berikut adalah potret kondisi awal

KTHR Lawu Manunggal yang dilihat dari sejarah pengelolaan hutan rakyat,

kondisi kelembagaan dan kondisi dokumen dari sisi produksi, ekologi, dan sosial.

1. Sejarah Pengelolaan Hutan Rakyat

Sampai menjadi kondisi hutan rakyat yang secara ekologis dan ekonomis

telah mampu meningkatkan kondisi lingkungan dan ekonomi masyarakat seperti

sekarang, maka tidak terlepas dari sejarah atau proses pembentukannnya.

Berikut adalah sejarah perkembangan pengelolaan hutan rakyat di 5 (lima) desa

yaitu Desa Sukowidi, Desa Tapak, Desa Sumberdodol di Kecamatan Panekan,

serta Desa Sumbersawit dan Desa Sidomulyo di Kecamatan Sidorejo, Kabupaten

Magetan, sebagaimana diuraikan pada Tabel berikut.

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

46

Tabel 4. Sejarah Pengelolaan Hutan Rakyat KTHR Lawu Manunggal.

Periode

(tahun) Uraian/Kejadian

1980-1990 Kondisi di wilayah Kec. Panekan dan Kec. Sidorejo pada masa

ini masih didominasi oleh jenis tanaman bambu dan dibeberapa

lokasi sudah terdapat jenis tanaman komersial seperti Jati dan

Sengon. Pengelolaan kawasan masih dilakukan secara sederhana

dan jenis tanaman yang sengaja ditanam masih terbatas.

Pada periode ini terdapat program pemerintah berupa Program

Terasering dengan tanaman kaliandra. Saat itu juga terdapat

bantuan pemerintah untuk pengembangan sektor perkebunan

dengan tanaman cengkeh.

1991-2000 Periode ini, pelaksanaan program pemerintah masih pada upaya

konservasi tanah dan air. Sehingga program yang dikembangkan

masih sama yaitu Program Terasering dengan jenis tanaman

Mahoni. Selain itu juga mulai dikembangkan jenis tanaman

MPTS (Multipurpose Trees Species) yang meliputi rambutan

dan durian.

2001-2009 Pengembangan hutan rakyat tidak semata dilakukan dengan

penanaman tanaman komersil kayu. Pada periode ini Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kab. Magetan memberikan bantuan

berupa bibit kelapa kepada masyarakat. Jenis yang

dikembangkan di kawasan hutan rakyat semakin beragam mulai

dari tanaman kayu komersil seperti sengon, mahoni dan jati, juga

dikembangkan tanaman produktif lain yang dipanen buahnya

seperti cengkeh, durian, alpokat dan lain-lain.

Sejak tahun 2003–2008 secara besar-besaran pengembangan

hutan rakyat didorong oleh program pemerintah yakni Gerakan

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN), yaitu pada lahan-

lahan yang kritis diberikan bantuan bibit tanaman, bangunan

sipil teknis (terasering, sumur resapan) upah penggarapan lahan

sampai dengan teknis pendampingan dari unsur pemerintah dan

swasta misalnya dari LSM.

2010-2015 Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan melalui GERHAN

selanjutnya diteruskan secara masif oleh pemerintah dengan

penyediaan bibit tanaman berbasis masyarakat dengan program

pembuatan Kebun Bibit Rakyat (KBR). Jenis bibit apa yang

disiapkan di kebun tergantung kebutuhan masyarakat dan proses

pembuatan bibitnya dilakukan oleh masyarakat. Peran

pemerintah adalah membantu kebutuhan dana dan

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

47

Periode

(tahun) Uraian/Kejadian

pendampingan teknis cara pembuatan bibit. Melalui program

KBR diharapkan petani hutan mampu membuat bibit sendiri dan

tidak harus tergantung kepada para penangkar dan penjual bibit.

Jenis tanaman yang dikembangkan, diantaranya mindi, mahoni,

sengon, jati, jabon, alpokat, durian.

Pihak swasta juga mulai menunjukkan kepedulian terhadap

kondisi hutan rakyat. Ditunjukkan dengan pemberian bantuan

bibit jabon dalam program penghijauan oleh PT Telkom. Sejak

tahun 2014 bersama dengan Dinas HUTBUN Kab. Magetan

dilakukan pendampingan oleh LSM PERSEPSI dalam

pengelolaan hutan untuk mendapatkan pengakuan berupa

sertifikat ekolabel Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Lestari (PHBML) menurut skema dari Lembaga Ekolabel

Indonesia (LEI).

Sumber : Hasil FGD dan analisis data primer, 2015

Masih bersumber dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dan hasil

wawancara secara personal, hal-hal yang melatarbelakangi pengembangan hutan

di Kecamatan Panekan dan Sidorejo adalah sebagai berikut:

1) Adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan peningkatan

kesejahteraan sekaligus berupaya meningkatkan produktivitas lahan dan

perbaikan lingkungan.

2) Meningkatnya kesadaran tentang manfaat hutan, seperti hasil hutan kayu,

sumber hijauan pakan ternak, mencegah tanah longsor, meningkatkan

kualitas udara dan dapat menjaga serta meningkatkan debit mata air yang

telah ada di beberapa tempat.

3) Membangun hutan dengan bertanam kayu merupakan tabungan masa depan

dan dapat diwariskan kepada anak cucu, baik potensi produksinya (hasil

kayu dan non kayu) serta perbaikan lingungan.

4) Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang arti penting hutan dan

kewajiban mereka dalam ikut menjaga kelestarian hutan.

5) Adanya kepedulian dari pihak lain baik pemerintah maupun swasta dalam

pelestarian hutan.

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

48

2. Sejarah Perkembangan Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

Sejarah terbentuknya Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Lawu

Manunggal di Kecamatan Panekan dan Kecamatan Sidorejo, Kabupaten

Magetan dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantaranya sejarah pengelolaan

hutan rakyat di tingkat kecamatan yang dimulai dari program-program

pemerintah yang kemudian mulai muncul kesadaran masyarakat dalam hal

pengelolaan hutan dengan perbaikan secara vegetasi dan sipil teknis. Sejarah

terbentuknya KTHR Lawu Manunggal tidak lepas dari perkembangan

kelembagaan kelompok tani yang ada ditiap desa. Di masa awal yaitu

kelembagaan kelompok tani yang kemudian berkembang dan bergabung

menjadi KTHR Lawu Manunggal sebagaimana dijelaskan pada Tabel berikut.

Tabel 5 . Alur Sejarah KTHR Lawu Manunggal

Periode

(tahun)

Uraian Kejadian

1986 – 2002 Awal tahun 1986 merupakan awal mula pembentukan

kelompok tani di wilayah Kecamatan Panekan dan Kecamatan

Sidorejo. Inisiasinya dilakukan Balai Penyuluh Pertanian

(BPP). Tujuan dibentuknya kelompok tani kala itu adalah

sebagai wahana bermusyawarah dalam hal pembagian air

pengairan, pemilihan benih unggul, pemupukan dan masalah

panca usaha tani lainnya

Hasilnya kemudian terbentuk kelompok tani tingkat desa

yakni: 1) Kelompok Tani Suko Maju di Desa Sukowidi, 2)

Kelompok Tani Lawu Makmur di Desa Tapak, 3) Kelompok

Tani Sumber Rejeki di Desa Sumberdodol, 4) Kelompok Tani

Mulyo di Desa Sumbersawit dan 5) Kelompok Tani Mulyo

Abadi di Desa Sidomulyo.

2003 – 2008 Pada masa ini melalui program nasional rehabilitasi hutan dan

lahan (GERHAN) terbentuk kelompok tani penghijauan.

Melalui kelompok tani yang sudah terbentuk sebelumnya,

mulai mengembangkan kegiatan dibidang kehutanan dan

mendapatkan bantuan bibit Jati (Tectona grandis), Mahoni

(Swietenia mahagoni), Sengon (Paraseriantes falcataria) dan

Durian (Durio zhibetinus).

Sebagai upaya untuk meningkatkan koordinasi antar kelompok

tani, selanjutnya BPP membentuk sebuah gabungan kelompok

yaitu Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) yang berdiri di

setiap desa.

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

49

Periode

(tahun)

Uraian Kejadian

2008 – 2012 Melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan,

masyarakat mendapat rekomendasi untuk membentuk

kelompok tani kopi dengan kegiatan yang dilakukan meliputi

penyemaian bibit, cara penanaman dan pemeliharaan.

2013 –

sekarang

Selain program kelompok tani kopi, pada masa ini juga

berkembang kelompok tani kakao dengan program kegiatan

masih berupa pencanangan yang diwujudkan dengan kegiatan

studi banding ke Blitar.

Dengan berkembangnya kegiatan pengelolaan lahan di

kawasan hutan hak dan meningkatnya kesadaran masyarakat

dengan turut serta menjaga kelestarian hutan maka dibentuk

sebuah kelompok tani hutan gabungan 5 desa di 2 kecamatan

yakni KTHR Lawu Manunggal yang dipersiapkan untuk

mendapatkan sertifikat ekolabel dalam hal pengelolaan hutan

rakyat secara lestari yang mendapatkan pendampingan dari

PERSEPSI dan dari Dinas HUTBUN Kabupaten Magetan. Sumber: Hasil FGD dan analisis data primer, 2015

Dengan demikian maka kondisi awal kelembagaan KTHR Lawu

Manunggal sebelum dilakukan pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat

ekolabel hutan rakyat, keberadaan kelompok menyebar pada lima desa, belum

ada pertemuan secara bersama dan struktur organisasi kelompok pengelola hutan

serta model manajemen yang belum fokus kepada pendekatan pengelolaan

ekosistem dengan pendekatan satuan wilayah.

3. Kondisi Dokumen Bidang Produksi, Ekologi dan Sosial

Keberadaan dokumen yang dimiliki kelompok tani dari sisi dokumen yang

terkait dengan bidang produksi, ekologi dan sosial secara umum dikatakan

belum lengkap, misalnya belum memiliki data tentang jenis, jumlah dan potensi

volume kayu yang dimiliki, Tidak ada anggaran dasar dan anggaran rumah

tangga organisasi, tidak memiliki panduan atau Standard Operating Procedure

(SOP) seperti panduan tentang penanaman, pemeliharaan, pemanenan pohon

atau penebangan, panduan kelola lingkungan, resolusi konflik serta tidak adanya

dokumen terkait rencana kelola hutan.

Terkait dengan struktur organisasi belum tertata yang mengarah pada

pengelolaan hutan. Sistem administrasi yang dimiliki lebih banyak terkait

dengan keuangan kelompok misalnya buku arisan, buku simpan pinjam dan

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

50

buku kas. Daftar keanggotaan kelompok tani belum disusun sehingga berapa

jumlah pasti anggota kelompok tidak diketahui. Dokumen terkait bidang

produksi seperti perhitungan tebang lestari, jumlah penebangan pohon 5 tahun

terakhir, data tentang kecenderungan harga kayu serta daftar pedagang kayu di

desa juga belum tersedia.

Dari sisi dokumen bidang lingkungan seperti sejarah terbentuknya hutan

rakyat, daftar sumber mata air, daftar keberadaan tumbuhan dilindungi dan

satwa liar juga belum ada. Terkait data/dokumen bidang sosial seperti; profil

kelompok, daftar pendidikan dan pelatihan anggota dan daftar harga hasil hutan

bukan kayu serta daftar pedagang dan pengrajin kayu juga belum tersedia.

C. Kondisi yang harus dipenuhi untuk mendapatkan sertifikat ekolabel

Untuk bisa mendapatkan sertifikat ekolabel dalam pengelolaan hutan rakyat

secara lestari, maka KTHR Lawu Manunggal harus menata manajemen hutan dan

kelembagaannya mengikuti dan dapat memenuhi skema, pengertian-pengertian,

standar, kriteria dan indikator yang ditetapkan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia

(LEI) dalam sistem sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari

(PHBML) sebagaimana diuraikan sebagai berikut.

1. Skema Sertifikasi Sumber Daya Hutan

Meskipun ada keberagaman dalam prakteknya, sertifikasi PHBML yang

dikembangkan ada dua macam, yaitu: sertifikasi sumberdaya hutan (forest

resource certification) yang menilai kinerja pengelolaan hutan, dan sertifikasi

lacak balak (chain of custody) yang menelusuri asal-usul produk berbasis hasil

hutan yang masuk ke pasaran dengan segala macam bentuk dan perubahan-

perubahannya. Namun dalam kontek penelitian ini disampaikan terkait dengan

skema sertifikasi sumber daya hutan saja.

Sertifikasi sumber daya hutan akan menilai kinerja unit pengelola hutan

dalam rangka memelihara kelestarian fungsi-fungsi hutan. Sesuai dengan

standar kelestarian PHBM (Standar LEI 5000-3) ada tiga aspek kelestarian

yang akan dinilai, yaitu aspek kelestarian produksi, ekologi dan kelestarian

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

51

sosial. Intensitas penilaian akan berbeda-beda pada ketiga aspek itu,

bergantung pada tuntutan sesuai dengan kategori PHBM yang bersangkutan.

Dalam hal ini ada dua skema yang dikembangkan untuk menilai kinerja

kelestarian PHBM. Skema-skema tersebut adalah: (1) skema sertifikasi dengan

penilaian lapangan oleh pihak ketiga (certification under third party

assessment), dan (2) skema sertifikasi dengan pengakuan atas klaim

(certification under recognition over claim).

Perbedaan pokok kedua skema adalah dalam pelaksanaan penilaian kinerja

pengelolaan menurut standar yang telah ditetapkan. Seperti namanya, skema

sertifikasi dengan penilaian lapangan oleh pihak ketiga, penilaian dilakukan

dengan pemeriksaan lapangan oleh pihak ketiga, yakni asesor (penilai

lapangan) yang mewakili pihak lembaga sertifikasi. Sementara untuk skema

kedua, penilaian dilakukan oleh pihak ketiga, yakni lembaga pendamping yang

mewakili masyarakat pengelola (pihak pertama) berdasarkan informasi

pendukung yang telah dipublikasikan. Jadi, boleh dikatakan bahwa klaim

kelestarian ini berasal dari pihak pertama.

Pada skema sertifikasi dengan penilaian lapangan oleh pihak ketiga,

terdapat tiga jalur, yaitu jalur: A, jalur B, dan jalur C. Perbedaan dari ketiga

jalur ini terletak pada penggunaan kriteria dan indikator yang berbeda,

meskipun sama-sama diperlukan proses penilaian lapangan oleh pihak ketiga.

Perbedaan pemakaian kriteria dan indikator ini disebabkan oleh perbedaan

katagori praktek PHBM seperti yang diuraikan di atas, yang selanjutnya

mengakibatkan adanya perbedaan pada beberapa kriteria dan indikator, sehingga

menimbulkan pemisahan jalur dalam sertifikasinya. Terkait dengan skema

penilaian untuk KTHR Lawu Manunggal maka termasuk skema penilaian jalur

C, karena kawasan hutan yang dikelola termasuk dalam kawasan budidaya non

kehutanan yang diusahakan secara komersial.

2. Standar Sistem PHBML

Untuk mendapatkan sertifikat ekolabel PHBML maka KTHR Lawu

Manunggal harus dilakukan pendampingan untuk dapat memenuhi standar

sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) yang

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

52

merupakan turunan dari Standar LEI 5000-3. Mengacu kepada standar ini,

panduan pelaksanaan sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari

dijelaskan dalam Pedoman LEI 99 Seri 40, Dokumen LEI-05 dan Dokumen

LEI-06.

Adapun ruang lingkup standar ini merupakan kerangka penilaian

sertifikasi PHBML dan menjadi acuan bagi unit manajemen dalam

melaksanakan PHBML. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBML)

diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang

dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara tradisional baik dalam bentuk

unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas),

maupun individual berskala kecil sampai sedang, yang dilakukan secara lestari.

Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh KTHR Lawu Lestari termasuk dalam

kategori pada tanah-tanah yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan

sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang

diproduksi berupa kayu atau non kayu, dan orientasi usahanya komersial.

3. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari

Masih menurut pedoman dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), standar

kriteria dan indikator yang digunakan untuk menilai KTHR Lawu Manunggal

dibatasi pada ukuran-ukuran kelestarian PHBM dengan produk utama kayu.

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari akan dapat diwujudkan apabila

dimensi hasil (outcome) dapat dicapai melalui serangkaian strategi dan kegiatan

manajemen yang tepat (dimensi manajemen). James W (2003) menerangkan

bahwa kriteria dan indikator menjelaskan tujuan yang diinginkan untuk

pengelolaan hutan lestari. Rincian Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan

Berbasis Masyarakat Lestari adalah sebagai berikut :

a. Kelestarian Fungsi Produksi

Kelestarian fungsi produksi dalam suatu unit manajemen hutan

dimaksudkan untuk memastikan bahwa hutan telah dikelola dengan prinsip-

prinsip kelestarian yang menjamin bahwa hasil hutan, terutama kayu akan

diperoleh secara terus menerus. Untuk itu dibutuhkan kriteria dan indikator

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

53

sebagai tolak ukur sebagaimana tersaji pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Kriteria dan indikator kelestarian fungsi produksi

Kriteria Indikator

P.1. Kelestarian

Sumberdaya

P.1.1. Status dan batas lahan jelas

P.1.2. Perubahan luas lahan yang ditumbuhi

tanaman

P.1.3. Manajemen pemeliharaan hutan

P.1.4. Sistem silvikultur sesuai daya dukung

hutan

P.2. Kelestarian

Hasil

P.2.1. Penataan areal pengelolaan hutan

P.2.2. Kepastian adanya potensi produksi untuk dipanen

lestari

P.2.3. Pengaturan hasil

P.2.4. Efisiensi pemanfaatan hutan

P.2.5. Keabsyahan Sistem Lacak Balak dalam hutan

P.2.6. Prasarana pengelolaan hutan

P.2.7. Pengaturan manfaat hasil

P.3. Kelestarian

Usaha

P.3.1. Kesehatan usaha

P.3.2. Kemampuan akses pasar

P.3.3. Sistem informasi manajemen

P.3.4. Tersedia tenaga kerja terampil

P.3.5. Investasi dan reinvestasi untuk

pengelolaan hutan

P.3.6. Kontribusi terhadap peningkatan kondisi

sosial dan ekonomi setempat Sumber: Standar LEI 5000-3

Dari Tabel 6 bahwa suatu unit manajemen hutan untuk mendapatkan

kepastian bahwa pengelolaannya lestari secara produksi maka harus dinilai

dengan 3 kriteria dan 18 indikator yang harus dibuktikan dengan penilaian

lapang maupun ditunjukkan dengan adanya dokumen-dokumen bidang

produksi.

b. Kelestarian Fungsi Ekologi

Kelestarian fungsi ekologi dalam suatu unit manajemen hutan

dimaksudkan untuk memastikan bahwa hutan yang dikelola telah memenuhi

prinsip-prinsip kelestarian lingkungan terkait dengan stabilitas ekosistem hutan

serta terlindungi dan berkembangnya species langka. Untuk itu kriteria dan

indikator sebagai tolak ukur sebagaimana tersaji pada Tabel 7 berikut.

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

54

Tabel 7. Kriteria dan indikator kelestarian fungsi ekologi

Kriteria Indikator

E.1. Stabilitas

Ekosistem

hutan dapat

dipelihara

dan gangguan

terhadapnya

dapat

diminimalisir

dan dikelola

E1.1 Tersedianya aturan kelola produksi yang

meminimasi gangguan terhadap integritas

lingkungan

E1.2 Ketersediaan informasi dan dokumentasi dampak

kelola produksi terhadap lingkungan

E1.3 Adanya kegiatan kelola lingkungan yang efektif

Sumber: Standar LEI 5000-3

Dengan demikian suatu unit manajemen hutan rakyat untuk mendapatkan

kepastian bahwa pengelolaan lingkungan telah dikelola memenuhi prinsip

kelestarian secara ekologi maka dinilai dengan 1 kriteria dengan 3 indikator

yang bisa dibuktikan dengan penilaian lapang maupun ditunjukkan dengan

keberadaan dokumen terkait bidang ekologi.

c. Kelestarian Fungsi Sosial

Kelestarian fungsi sosial dimaksudkan untuk memastikan bahwa dalam

pengelolaan hutan secara lestari tidak terjadi permasalahan-permasalahan sosial

seperti soal tenurial (kepastian hak), terjaminnya ketahanan dan pengembangan

ekonomi komunitas, terbangunnya pola interaksi sosial yang baik serta keadilan

manfaat dalam pengelolaan hutan. Untuk itu dibutuhkan kriteria dan indikator

sebagai tolak ukur sebagaimana tersaji pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Kriteria dan indikator kelestarian fungsi sosial

Kriteria Indikator

S.1. Kejelasan tentang

hak penguasaan

dan pengelolaan

lahan atau areal

hutan yang

dipergunakan

S1.1. Pengelola hutan/lahan adalah warga komunitas

S1.2. Pengelola hutan/lahan adalah pemilik hutan

S1.3. Status lahan tidak dalam sengketa dengan

warga anggota komunitasnya yang lain

maupun dengan pihak lain di luar komunitas

S1.4. Kejelasan batas-batas areal hutan/lahan yang

digunakan

S1.5. Digunakannya tata cara atau mekanisme

penyelesaian sengketa yang berkeadilan

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

55

Kriteria Indikator

terhadap sengketa klaim yang terjadi

S.2. Terjaminnya

ketahanan dan

pengembangan

ekonomi

komunitas

S2.1. Sumber-sumber ekonomi komunitas terjaga

dan mampu mendukung kelangsungan

hidup komunitas secara lintas generasi

S2.2. Penerapan teknologi produksi dan sistem

pengelolaan dapat mempertahankan tingkat

penyerapan tenaga kerja laki-laki maupun

perempuan

S.3. Terbangun pola

hubungan sosial

yang setara

dalam proses

produksi

S3.1. Pola hubungan sosial yang terbangun antara

berbagai pihak dalam pengelolaan hutan

merupakan hubungan sosial relatif sejajar.

S3.2. Pembagian kewenangan jelas dan demokratis

dalam organisasi penyelenggara PHBM

S.4. Keadilan manfaat

menurut

kepentingan

komunitas

S4.1. Ada kompensasi atas kerugian yang

diderita komunitas secara keseluruhan

akibat pengelolaan hutan oleh kelompok

dan disepakati seluruh warga komunitas

Sumber : Standar LEI 5000-3

Untuk itu suatu unit manajemen hutan rakyat agar mendapatkan

kepastian bahwa pengelolaan sosial telah dilakukan secara baik dalam rangka

menjamin kelestarian hutannya maka harus dinilai 4 kriteria dengan 10

indikator sebagaimana diuraikan pada Tabel 8 diatas.

Dengan demikian suatu unit manajemen hutan rakyat yang akan

mendapatkan sertifikat ekolabel menurut sistem PHBML dari Lembaga

Ekolabel Indonesia harus dinilai standar kelestarian produksi dengan 3 kriteria,

17 indikator. Untuk kelestarian ekologi 1 kriteria, 3 indikator dan untuk

kelestarian sosial 4 kriteria dengan 10 indikator atau secara total dinilai oleh 8

kriteria dengan 30 indikator.

d. Standar Kelulusan

Masih menurut standar LEI, setiap indikator atau “n” akan mendapatkan 3

kemungkinan predikat yakni nilai baik (B), cukup (C) dan jelek (J). Unit

manajemen hutan rakyat dikatakan Lulus, apabila nilai B lebih besar 50% x n,

dan nilai C lebih besar 25% x n. Sedangkan predikat Lulus dengan Catatan,

apabila nilai B lebih besar 25% x n, dan nilai C lebih besar 50% x n, dan Tidak

Lulus, apabila tidak termasuk keduanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

56

Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Kelulusan sertifikasi ekolabel skema PHBML – LEI

No Predikat Nilai Keterangan

1 Lulus B>50% x n dan

C>25% x n

Diberikan sertifikat

2 Lulus dengan

Catatan

B>25% x n dan

C>50% x n

Diberikan sertifikat

setelah memperbaiki

hingga nilai B mencapai

minimal 50% dalam

waktu maksimal 6 bulan

sejak penilaian

3 Tidak Lulus Tidak termasuk

keduanya

Dilakukan penilaian ulang

setelah perbaikan

dokumen dan manajemen

oleh unit manajemen

Sumber: Standar LEI 5000-3

Berdasarkan standar kelulusan tersebut maka KTHR Lawu Manunggal

akan dinilai dengan 8 kriteria dengan 30 indikator (n). Untuk mendapatkan

penilaian dengan hasil lulus maka sekurangnya nilai B harus diatas 16 dan nilai

C diatas 8. Sedangkan lulus dengan catatan maka nilai B harus diatas 8 dan nilai

C diatas 16. Sedangkan apabila hasil penilaian tidak termasuk kedua hal

tersebut makan KTHR Lawu Manunggal dinyatakan tidak lulus dan dilakukan

penilaian ulang setelah dilakukan perbaikan.

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

57

D. Model Pemberdayaan Sertifikasi Ekolabel Hutan Rakyat

Sebagai suatu model pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel

dalam pengelolaan hutan rakyat maka diperlukan suatu input, proses dan output.

Input yang dibutuhkan diantaranya adalah keberadaan atau kondisi hutan,

ketersediaan sumber daya manusia (SDM) baik dari masyarakat maupun

pendamping, ekspektasi KTHR (masyarakat), kebijakan, dan sistem atau standar

sertifikasi ekolabel. Setelah ada proses pemberdayaan melalui serangkaian kegiatan

pendampingan maka dihasilkan keluaran (output) berupa kepastian wilayah kelola

hutan, kelembagaan pengelola hutan, sistem manajemen hutan, dokumen ajuan,

sertifikat ekolabel, dan pengakuan publik. Untuk mengetahui secara skematik

model pemberdayaan ekolabel hutan rakyat dapat dilihat pada gambar 3 berikut.

Gambar 3. Model Pemberdayaan Ekolabel Hutan Rakyat

INPUT PROSES OUTPUT

- Kondisi Hutan

- Ekspekstasi

Masyarakat

- SDM

- Kebijakan

- Standar Ekolabel

Identifikasi

Pemangku

Kepentingan

- Wilayah Kelola

Hutan

- Kelembagaan

KTHR

- Sistem Manajemen

Hutan

Sosialisasi Sertifikasi

Ekolabel

Pendampingan:

- Aspek Produksi

- Aspek Ekologi

- Aspek Sosial

Penentuan Satuan

Wilayah Kelola

Penyiapan Kelembagaan

KTHR

Penilaian Lapang (Internal Audit)

Pengambilan Keputusan

Sertifikasi Ekolabel

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

58

Selanjutnya untuk mengetahui secara lebih rinci dari sisi proses model

pemberdayaan KTHR Lawu Manunggal sampai mendapatkan sertifikat ekolabel

PHBML diuraikan sebagai berikut.

1. Identifikasi Pemangku Kepentingan

Terkait dengan pengelolaan hutan rakyat maka banyak pihak yang

berkepentingan sejak saat penanaman, pembinaan teknis budidaya, kepastian

hak kepemilikan, pendampingan kelembagaan, sampai dengan perdagangan

hasil kayu bahkan pengolahannya. Para pemangku kepentingan (stakeholder)

adalah semua pihak yang terkait baik langsung maupun tidak langsung.

Suporahardjo (2005) pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan

termasuk dalam manajemen kolaborasi dan merupakan respon akan tuntutan

manajemen sumber daya yang baru. Pemangku kepentingan dapat

dikelompokkan menjadi 2 (dua). Pertama, pemangku kepentingan utama

(primary stakeholder), mereka yang secara langsung akan mempengaruhi

proses dan keberhasilan hutan rakyat mereka yang akan mendapatkan manfaat

dan dampak langsung dari kegiatan pengelolaan hutan. Kelompok ini

diantaranya adalah pemilik hutan/lahan, kelompok tani, masyarakat, pedagang

dan perajin kayu desa serta masyarakat sekitar hutan. Suara atau aspirasi

mereka umumnya akan mempengaruhi keputusan-keputusan dalam pengelolaan

hutan rakyat. Kedua pemangku kepentingan sekunder (secondary stakeholder),

mereka yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi proses dan

keberhasilan dalam pengelolaan hutan rakyat. Kelompok kedua ini umumnya

tidak terkena dampak langsung dari pengelolaan hutan. Tabel 10 berikut adalah

hasil identifikasi pemangku kepentingan dan perannya dalam pengelolaan hutan

rakyat.

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

59

Tabel 10. Pemangku kepentingan dan perannya dalam hutan rakyat

No Pemangku

Kepentingan

Peran

A. Utama

1 Petani Petani terdiri dari; pemilik, penyewa, penggarap

dan penyakap mereka sangat menentukan dalam

pengolahan lahan serta jenis tanaman apa yang

akan ditanam. Penikmat utama hasil hutan.

2 Kelompok Tani Berperan dalam mengorganisir anggota,

pengembangan kapasitas anggota dan

penyediaan sarana produksi (bibit, pupuk).

3 Pedagang kayu dan

industri

Komoditas kayu yang dibutuhkan sangat

menentukan terhadap jenis kayu yang ditanam

petani. Usaha mereka lancar jika panen kayu

dapat dilakukan secara lestari

4 Masyarakat sekitar

hutan

Penikmat manfaat lingkungan (udara, air) dan

membantu keamanan hutan.

B Sekunder

1 Lembaga Legislatif Keputusan terkait dengan persetujuan anggaran

dalam pembangunan hutan rakyat dan

lingkungan

2 Dinas Kehutanan dan

Perkebunan

Berperan dalam bimbingan dan penyuluhan

terkait pengembangan komoditas kehutanan dan

perkebunan

3 Dinas Pertanian Membantu dalam pengembangan komoditas

tanaman pangan bawah tegakan sehingga sangat

membantu pendapatan petani dan menunda

penebangan kayu sebelum umur (masak tebang).

4 Dinas Peternakan dan

Perikanan

Berperan dalam pengembangan ternak dan ikan

sehingga membantu peningkatan pendapatan

petani dan mampu menunda penebangan kayu

sebelum umur (masak tebang)

5 Dinas Perindustrian,

Perdagangan,

Koperasi dan UKM

Dinas ini berperan membantu dalam hal

perdagangan dan pengolahan hasil hutan baik

kayu maupun non kayu.

6 Bappeda Berperan dalam perencanaan yang mendukung

pengembangan hutan rakyat

7 BPDAS Solo Memiliki peran dalam penyediaan bibit-bibit

tanaman kehutanan dan perkebunan melalui

bantuan langsung bibit maupun program Kebun

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

60

No Pemangku

Kepentingan

Peran

Bibit Rakyat (KBR) yang dikelola oleh

masyarakat

8 Pemerintah Desa Peran yang sangat penting terkait dengan

kepastian hak lahan, usulan pembangunan hutan

rakyat dan keamanan hutan

9 LSM Membantu dalam manajemen hutan, penguatan

kelompok tani dan mendorong mendapatkan

sertifikat pengelolaan hutan secara legal dan

lestari.

Sumber: FGD dan analisis data primer, 2015

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa banyak pihak yang berperan dalam

pengembangan hutan rakyat yang berada di Kabupaten Magetan baik dari

kelompok peneriman manfaat utama ataupun kelompok sekunder. Menurut

PERSEPSI sebagai pendamping KTHR Lawu Manunggal, kejelian dalam

memetakan mana pemangku kepentingan utama dan kedua akan sangat

mempengaruhi kelancaran dalam pendampingan KTHR untuk menyiapkan

kelembagaan, manajemen dan dokumen untuk mendapatkan sertifikat ekolabel

dalam pengelolaan hutan. Dengan seefektif mungkin pelibatan para pihak maka

akan mendorong lahirnya perasaan saling memiliki (sense of belonging) dalam

pengelolaan hutan rakyat menuju kelestarian fungsi dan manfaatnya bagi para

pihak secara lebih luas.

2. Sosialisasi Sertifikasi Ekolabel

Sebelum dilakukan pemberdayaan kepada Kelompok Tani Hutan (KTHR)

melalui kegiatan pendampingan lebih lajut dari PERSEPSI, maka dilakukan

sosialisasi kepada para pemangku kepentingan. Sosialisasi ini dilaksanakan

kepada Masyarakat, kalangan Pedagang, Industri, Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas

Pertanian dan Ketahanan Pangan, Diperindag, pemerintah desa, pemerintah

kecamatan dan lain-lain. Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah agar

diketahuinya rencana dari PERSEPSI untuk melakukan pendampingan kepada

kelompok tani hutan dalam rangka mendapatkan sertifikat ekolabel dalam

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

61

pengelolaan hutan rakyat secara lestari.

Sisi lain yang lebih mendasar dari kegiatan sosialisai ini adalah agar

dalam pelaksanaan pendampingan selanjutnya mendapatkan dukungan dari para

pihak serta menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman dan tumpang tindih

program atau kegiatan dengan para pihak lainnya. Dalam pelaksanaan di lapang

tumpang tindih kegiatan tidak terjadi namun justru terjadi sinergi dimana

kegiatan pengkayaan tanaman tegakan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan

dan Perkebunan Kabupaten Magetan serta kegiatan serupa yang dilakukan oleh

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Solo menambah jumlah

populasi tanaman sangat mendukung pada kelestarian secara produksi dan

lingkungan.

Sertifikasi ekolabel memang diabdikan untuk meningkatkan dan menjaga

kelestarian fungsi hutan dari sisi produksi, ekologi dan sosial, namun dalam

sosialisasi disampaikan bahwa tujuan utamanya adalah untuk memenuhi

kehendak dan tuntutan internasional atau pasar eksport. Oleh sebab itu kalangan

pedagang kayu desa merasa kawatir dengan adanya sertifikasi ekolabel kelak

dalam perdagangang kayu tidak melibatkan mereka. Kekhawatiran serupa juga

muncul dari industri kecil berbasis kayu rakyat sebab setelah sertifikasi ekolabel

kayu tidak lagi dijual kepada mereka.

3. Penentuan Satuan Wilayah Kelola

Kegiatan ini merupakan kegiatan untuk memastikan berapa hektar luas

hutan rakyat yang akan dikelola dan diajukan untuk mendapatkan sertifikat

ekolabel, dimana saja sebaran wilayahnya serta berapa jumlah petani dalam

satuan kepala keluarga (KK) yang terlibat. Penentuan satuan wilayah kelola

atau sering disebut sebagai Forest Management Unit (FMU) menjadi dasar

penting bagi proses-proses pendampingan yang akan dilakukan berikutnya.

Proses penentuan satuan wilayah kelola dimulai dengan survei

pendahuluan yang dikoordinir oleh PERSEPSI melibatkan Dinas Kehutanan

dan Perkebunan Kabupaten Magetan, perangkat desa, ketua/pengurus kelompok

tani desa serta masyarakat lokal. Metode yang digunakan adalah dengan

penggalian data primer (observasi, wawancara) serta melengkapi dengan data

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

62

sekunder. Survei awal ini memegang peran strategis karena sebagai pintu

masuk untuk proses komunikasi dan koordinasi dengan para pihak penting

untuk menunjang kegiatan pendampingan selanjutnya.

Secara umum informasi awal yang dikumpulkan adalah yang berkaitan

dengan (1) kondisi umum wilayah. (2) potensi tegakan kayu komersial, (3)

legalitas kepemilikan lahan/hutan, (4) rantai perdagangan dan kondisi pasar

kayu serta (5) kondisi kelembagaan kelompok tani sebagai unit manajemen.

Penajaman data/informasi terkait hal tersebut selanjutnya akan diteruskan dalam

proses pendampingan. Namun yang paling utama dalam kegiatan ini adalah

untuk memastikan berapa luas unit manajemen dan anggota yang akan

didampingi oleh PERSEPSI. Tabel 11 berikut menjelaskan luas hutan rakyat

dan jumlah anggota (KK) KTHR Lawu Manunggal yang akan didampingi

untuk mendapatkan sertifikat ekolabel hutan.

Tabel 11. Luas Hutan Rakyat dan Jumlah Anggota (KK) KTHR

No. Desa Dusun Jumlah

KK

Luas Hutan Rakyat (Ha)

Tegal Pe

karangan Jumlah

1 Sukowidi Sukowidi 105 18.36 4.13 22.49

Sempu 158 30.16 3.38 33.54

Nerang 172 53.09 7.17 60.26

Sub Total

(a) 435 101.61 14.69 116.29

2 Tapak Guting 259 35.95 15.52 51.47

Sekarung 348 78.46 17.41 95.88

Banteran 378 87.42 8.95 96.37

Sub Total

(b) 985 201.83 41.89 243.72

3 Sumberdodol Gelang 233 0 34.08 34.08

Metegal 134 0 1.28 1.28

Ngablak 123 0 14.75 14.75

Blanten 116 0 10.24 10.24

Sub Total

(c) 606 0.00 60.35 60.35

4 Sumbersawit Godoh 261 21.56 21.69 43.25

Baran 345 66.20 8.47 74.68

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

63

No. Desa Dusun Jumlah

KK

Luas Hutan Rakyat (Ha)

Tegal Pe

karangan Jumlah

Mitir 373 81.48 15.26 96.74

Sub Total

(d) 979 169.25 45.42 214.67

5 Sidomulyo Gondang 448 41.00 55.81 96.81

Ngrobyong 513 48.52 17.92 66.43

Ngijo 368 92.42 30.67 123.09

Sub Total

(e) 1.329 181.94 104.40 286.34

Total (a,b,c,d,e) 4.334 654.63 266.74 921.37

Sumber: Buku II Dokumen Pengajuan KTHR Lawu Manunggal

Berdasarkan Tabel 11 diatas maka satuan wilayah kelola atau unit

manajemen yang didampingi adalah pada hutan rakyat seluas 921,37 ha, terdiri

hutan rakyat yang dikembangkan pada lahan tegal seluas 654,63 ha (71%) dan

pada lahan pekarangan seluas 266.74 (29%). Dari luas hutan rakyat tersebut

dimiliki oleh 4.334 petani anggota sekaligus sebagai anggota KTHR Lawu

Manunggal. Dengan demikian rerata kepemilikan hutan adalah seluas 0,21 ha

setiap anggota.

4. Menyiapkan Kelembagaan

Dalam sistem sertifikasi ekolabel Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Lestari (PHBML) yang diberikan kepada komunitas, maka sertifikat hanya akan

diberikan kepada kelompok sebagai lembaga pengelola hutan atau unit

manajemen. Dalam konteks KTHR Lawu Manunggal mereka menggunakan

nama Forest Management Unit (FMU) Lawu Manunggal.

Secara kelembagaan KTHR Lawu Manunggal merupakan gabungan dari

kelompok tani 5 desa yakni: Desa Sukowidi, Tapak, Sumberdodol,

Sumbersawit, dan Desa Sidowayah yang mengkoordinir pengelolaan hutan

seluas 921,37 ha tersebar pada 16 dusun di 2 kecamatan. Keberadaan

kelembagaan sebagai satuan pengelola hutan menjadi sangat penting karena dari

sinilah proses-proses pendampingan dan penyiapan dokumen dimulai dan

digerakkan oleh kepengurusan yang telah dibentuk bekerjasama dengan

Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

64

pendamping dari PERSEPSI dan dari Dinas HUTBUN Kabupaten Magetan.

Terkait dengan susunan pengurus dan Struktur organisasi KTHR Lawu

Manunggal dapat dilihat pada Tabel dan gambar berikut.

Tabel 12. Susunan Pengurus KTHR Lawu Manunggal

No Jabatan Nama Asal Desa

1 Ketua Suwito Sumberdodol

2 Sekretaris Sujar Sidomulyo

3 Bendahara Purwanta Sumbersawit

4 Seksi-seksi :

A. Seksi Budidaya

dan Konservasi

1. Suwadi

2. Sugiyarto

Sukowidi

Tapak

B. Seksi Pengembangan

Organisasi

1. Sutrisno

2. Sukirno

Sukowidi

Sumbersawit

C. Seksi Pengembangan

Usaha dan Jaringan

1. Agung

Gunawan

2. Suwatiningsih

Sidomulyo

Tapak

D. Seksi Humas dan

Keamanan

1. A. Nur Zailani

2. Sunarso

Sumberdodol

Sumbersawit

5 Koordinator Desa

A. Desa Sukowidi Jumadi

B. Desa Tapak Warsiti

C. Desa Sumberdodol Haryono

D. Desa Sumbersawit Pamuji

E. Desa Sidomulyo Agus

Sumber: KTHR Lawu Manunggal, 2015

Dari susunan pengurus KTHR Lawu Manungal yang dipercayakan kepada

16 orang terdiri dari jabatan ketua, sekertaris dan bendahara serta seksi-seksi

dan koordinator desa yang berasal dari 5 desa sebagai wilayah kerja kelompok.

Bagaimana hubungan dan pola kerja dapat dilihat pada gambar 4 berikut.

Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

65

Gambar 4. Struktur Organisasi Lawu Manunggal

Terkait dengan susunan pengurus dan struktur diatas telah

menggambarkan pola kinerja kelembagaan yang mengarah kepada

pengelolaan hutan yang dilihat dari sisi pengembangan budidaya dan

konservasi, pengembangan kelembagaan, usaha serta publikasi dan

keamanan hutan. Untuk mengetahui secara lebih detail profil KTHR Lawu

Manunggal terkait dengan tanggal berdiri, kedudukan, keanggotaan, waktu

pertemuan kelompok luas hutan yang dikelola serta potensi kayu komersial

yang ada dapat dilihat pada lampiran 1.

KOORDINATOR DESAKOORDINATOR DESAKOORDINATOR DESAKOORDINATOR DESA

1. DESA SUKOWIDIDESA SUKOWIDIDESA SUKOWIDIDESA SUKOWIDI

2. DESA TAPAKDESA TAPAKDESA TAPAKDESA TAPAK

3. DESA SUMBERDODOLDESA SUMBERDODOLDESA SUMBERDODOLDESA SUMBERDODOL

4. DESA SUMBERSAWITDESA SUMBERSAWITDESA SUMBERSAWITDESA SUMBERSAWIT

5. DESA SIDOMULYODESA SIDOMULYODESA SIDOMULYODESA SIDOMULYO

KETUAKETUAKETUAKETUA

BENDBENDBENDBENDAHARAAHARAAHARAAHARA SEKRETARISSEKRETARISSEKRETARISSEKRETARIS

SEKSI BUDIDAYA SEKSI BUDIDAYA SEKSI BUDIDAYA SEKSI BUDIDAYA

DAN DAN DAN DAN

KONSERVASIKONSERVASIKONSERVASIKONSERVASI

SEKSI HUMAS DAN SEKSI HUMAS DAN SEKSI HUMAS DAN SEKSI HUMAS DAN

KEAMANANKEAMANANKEAMANANKEAMANAN

SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI

PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN

ORGANISASIORGANISASIORGANISASIORGANISASI

SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI

PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN

USAHA &USAHA &USAHA &USAHA & JARINGANJARINGANJARINGANJARINGAN

RAPAT RAPAT RAPAT RAPAT

ANGGOTAANGGOTAANGGOTAANGGOTA

Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

66

5. Pendampingan Bidang Produksi, Ekologi dan Sosial

Pendampingan dalam rangka pemberdayaan masyarakat menyiratkan

sebuah pola hubungan yang penting antara pendamping dengan masyarakat itu

sendiri. Sebenarnya ada kata lain yang sering dipergunakan seperti pembinaan

atau pengajaran. Dua kata terkhir ini mulai tersingkir karena tidak menjadikan

masyarakat secara lebih baik tetapi justru menjadikan masyarakat tergantung,

tidak percaya diri, dan merasa dibodohkan. Padahal masyarakatlah yang lebih

tahu tentang sejarah, runtutan peristiwa dan realitas yang berkembang di sekitar

komunitas mereka. (Hasantoha Adnan, 1998).

Pendampingan menunjukkan posisi kesetaraan antara yang didampingi dan

mendampingi. Kesetaraan itu sekaligus menunjukkan kemitraan. Proses

pendampingan baik dalam bidang produksi, ekologi dan sosial yang berperan

utama adalah dari Tenaga Pendamping Lapang (TPL) dari PERSEPSI Proses

pemberdayaan KTHR Lawu Manunggal melalui pendampingan dilakukan

melalui pertemuan kelompok secara terjadwal yang dilaksanakan setiap hari

sabtu minggu ke empat, mulai pukul 09.00 wib bertempat di sekretariat

kelompok maupun menurut kebutuhan (insidental) tergantung pada tema yang

akan dibahas. Pendampingan juga dilakukan secara langsung dengan cara

memberikan asistensi kepada pengurus ataupun langsung kepada anggota.

Sebagaimana mengacu pada Tabel 3 tentang kriteria dan indikator

kelestarian fungsi produksi menurut standar dari LEI, maka pendampingan

dalam bidang produksi diarahkan untuk menyiapkan dan memenuhi dokumen

yang bisa memberikan informasi berkaitan dengan pemenuhan 3 kriteria dengan

18 indikator yang dimaksud. Terhadap 3 kriteria yang dimaksud adalah:

kelestarian sumber daya, kelestarian hasil, dan kelestarian usaha.

Sebagaimana dalam buku II dukomen pengajuan sertifikasi PHBML KTHR

Lawu Manunggal, maka pendampingan dalam bidang produksi yang dilakukan

diantaranya: 1) pengelolaan hutan, 2) sistem silvikultur, 3) inventarisasi hutan,

4) inventarisasi jumlah pedagang dan pengrajin kayu serta 5) inventarisasi

perkembangan harga kayu.

Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

67

a. Pendampingan Bidang Produksi

1) Pengelolaan hutan

Pengelolaan hutan secara lestari merupakan materi besar yang

terus dijadikan bahan oleh tenaga pendamping lapang dalam setiap

pendampingan baik disampaikan saat pertemuan kelompok maupun

pendampingan kepada pengurus dan anggota kelompok. Terdapat

beberapa definisi tentang pengelolaan hutan, namun secara umum

didefinisikan sebagai “ sutu sistem pengelolaan hutan yang menjamin

kelestarian fungsi secara produksi, ekologi dan sosial. Menurut

Muhtaman dan Djatmiko (2005), bahwa pengelolaan hutan adalah

serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengatur pemanfaatan hasil

hutan secara berkelanjutan dan mencegah dampak negatif dari

pengelolaan yang dilakukan.

Proses pengelolaan hutan rakyat yang dikoordinir oleh KTHR

Lawu Manunggal sebenarnya adalah berbasis keluarga petani. Artinya

segala keputusan pengusahaan terkait jenis tanaman dan pola

budidayanya ditentukan oleh keluarga yang mayoritas juga sekaligus

sebagai pemilik hutan dan lahan. Proses pengelolaan hutan yang

dilakukan sudah berlangsung lama jauh sebelum terbentuk kelompok tani

dengan pola utama pengelolaan secara wanatani (agroforestry) yang

mengarah kepada kepentingan hasil untuk peningkatan pendapatan

sekaligus dalam rangka memperbaiki lingkungan karena lahan yang

mereka kelola sebagian besar memiliki topografi lereng sampai dengan

perbukitan. Dengan demikian telah terbentuk suatu sistem pengelolaan

hutan rakyat yang baik menuju hutan lestari yang menjamin

keberlangsungan produksi dan terjaganya ekosistem.

Namun demikian di dalam pendampingan yang dilakukan oleh

PERSEPSI bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan

melalui Petugas Kehutanan Lapang (PKL) yang ada proses pengelolaan

hutan rakyat melalui KTHR Lawu Manungal terus dijaga dan diarahkan

menuju pada pengelolaan secara lestari dengan menetapkan jenis-jenis

kegiatan yang akan dilakukan seperti; sistem silvikultur, penataan batas

Page 28: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

68

pemilikan, inventarisasi hutan, regenerasi hutan, perlindungan hutan dan

lain-lain.

2) Sistem Silvikultur

Menurut Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007, Tentang Tata

Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau sistem bercocok

tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai,

menanam, memelihara tanaman dan memanen. Bagi petani hutan rakyat

yang tergabung di KTHR Lawu Manunggal bibit tanaman hutan berasal

dari pemudaan alami, bantuan dari pemerintah maupun swasta serta

untuk beberapa tanaman yang memiliki nilai komersial tinggi seperti

sengon maka banyak petani membeli bibit sendiri.

Pemeliharaan hutan biasa dilakukan bersamaan dengan

memelihara tanaman semusim lainnnya sebagai tanaman tumpangsari

ataupun secara khusus dilakukan untuk yang lahannya ditanamai kayu

saja dengan melakukan penjarangan dan perempelan. Tanaman hutan

berkayu ditanam secara kombinasi dengan tanaman semusim. Tanaman

kayu biasa ditanam pada pinggir batas pemilikan atau di punggung

tersering serta untuk penanaman baru di letakkan pada ruang lahan yang

masih kosong sehingga jarak tanaman keliharan acak dan tidak seumur.

Sementara sistem silvikultur untuk pemanenan kayu terbagi atas

sistem silvikultur tebang pilih dan tebang habis. Secara umum sistem

silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat oleh petani

adalah tegakan tidak seumur dan tebang pilih, dimana pohon yang

ditebang dipilih dari pohon yang telah masak tebang dan laku dijual.

Namun bagi petani dikenal juga dengan sistim silvikultur “ tebang

butuh” dimana mereka akan menebang atau memanen pohonnya

tergantung dari kebutuhan yang diperlukan.

Page 29: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

69

3) Inventarisasi Hutan

Inventarisasi hutan diartikan sebagai suatu kegiatan untuk

mengetahui kekayaan (potensi) yang terkandung di dalam suatu hutan

pada saat tertentu (baik potensi kayu maupun non kayu) sebagai bahan

untuk penyusunan rencana pengelolaan sumber daya hutan di masa

depan. Karena hutan yang tersusun dari asosiasi tumbuh-tumbuhan dan

pohon-pohonan bersifat dinamis artinya selalu mengalami perkembangan

dari waktu ke waktu sehingga inventarisasi hutan harus dilakukan secara

berkala dalam rentang waktu tertentu. (Purwanto dan Ris Hadi 2006).

Ditinjau dari aspek kegiatan inventarisasi, metode dan teknik

inventarisasi di hutan rakyat akan berbeda dengan metode inventarisasi

di hutan negara. Di kawasan hutan negara ditanam monokultur dan

satu umur dalam suatu hamparan, teknik inventarisasi yang digunakan

menggunakan sampel berupa petak ukur dengan intensitas sampling

tertentu. Akan tetapi untuk hutan rakyat tidak memiliki karakteristik

sebagaimana di atas tidaklah memungkinkan apabila menggunakan

pendekatan teknik sampling di hutan negara.

Terkait dengan penyiapan dokumen bidang produksi bagi

KTHR Lawu Manunggal maka secara garis besar tujuan kegiatan

inventarisasi di hutan rakyat adalah untuk mengetahui potensi (volume)

dari tegakan hutan rakyat sebagai dasar untuk menyusun rencana

pemanenan hutan menuju pengelolaan hutan lestari. Data potensi tegakan

ini akan menentukan perhitungan Jatah Tebang Tahunan (JTT)

selanjutnya bagi KTHR bermanfaat untuk melakukan pengendalian

jumlah penebangan agar produksi kayu yang dihasilkan tetap lestari.

Namun berdasarkan penuturan dari Tyas Asmarawati,

pendamping KTHR Lawu Manunggal dari PERSEPSI bahwa

inventarisasi yang dilakukan mempriotaskan pada perhitungan potensi

kayu komersial dari 4 (empat) jenis yang ada yaitu, sengon, mahoni,

mindi dan jati untuk menentukan JTT dengan metode Von Mantel

(dalam Hasanu Simon, 1996). Hal ini dilakukan karena hanya empat

jenis tersebut jenis kayu yang paling banyak ditanam, dipergunakan dan

Page 30: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

70

diperdagangkan selain juga karena pertimbangan biaya untuk

melakukan inventarisasi. Tabel 13 berikut adalah hasil inventarisasi

potensi tegakan 4 jenis pohon komersial dan perhitungan jatah tebang

lestari di wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal.

Tabel 13. Potensi Kayu dan Perhitungan Jatah Tebang Lestari

No Jenis kayu Jumlah

(Btg)

Volume

(M3)

Daur

Tebang

(Th)

JTT

(M3/th)

JTB

(M3/th)

1 Sengon 15.856 3.958 7 1.131 94

2 Mahoni 21.824 3.267 15 435 36

3 Mindi 12.224 2.336 7 667 55

4 Jati 29.800 3.809 20 380 31

Jumlah: 79.704 13.372 2.615 217

Sumber : Hasil inventarisasi tegakan pohon komersial, 2015

Keterangan:

JTT: Jatah Tebang Tahunan

JTB: Jatah Tebang Bulanan

Dari Tabel 13 maka total jumlah 4 jenis pohon komersial di

wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal sebanyak 79.704 batang dengan

jumlah pohon jati paling banyak 29.800 batang (37%). Tegakan pohon

yang dihitung dalam inventarisasi ini adalah pohon yang telah memiliki

diameter 7 cm keatas. Perkiraan jumlah volume tegakan sebesar 13.372

M3 dengan jumlah volume terbanyak pada kayu sengon sebesar 3.958

M3 (29%). Namun, jika dilihat dari daur tebang yang diperhitungkan

dari rata-rata masyarakat memanen atau menebang pohon maka untuk

pohon sengon kebiasaan dipanen umur 7 tahun, mahoni 15 tahun, mindi

7 tahun dan untuk pohon jati ditebang umur 20 tahun.

Dalam pengelolaan hutan lestari, maka parameter kelestarian

ditentukan oleh pemilik hutan untuk tidak menebang pohon melebihi

volume jatah tebang lestari. Dari analisis yang mendasarkan hasil

inventarisasi yang telah dilakukan maka kawasan hutan yang dikelola

Page 31: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

71

oleh KTHR Lawu Manunggal akan tetap diperoleh kelestarian produksi

apabila volume penebangan atau pemanenan khususnya untuk 4 jenis

pohon komersial tersebut tidak melebihi 2.615 M3 per tahun atau 217

M3 setiap bulan. Untuk mengetahui lebih rinci rekapitulasi penebangan

secara lestari untuk tanamaman kayu komersial dapat dilihat pada

lampiran 2, rekapitulasi penebangan kayu 5 tahun terakhir pada lampiran

3 dan hasil perhitungan kelas diameter pada lampiran 4 serta jumlah dan

volume kayu pada lampiran 5.

4) Inventarisasi Jumlah Pedagang dan Pengrajin Kayu

Jumlah pedagang dan pengrajin kayu pada suatu wilayah

menggambarkan tingkat produktivitas kayu pada wilayah tersebut. Sisi

lain semakin banyak anggota kelompok tani dan warga masyarakat lain

yang bekerja sebagai pedagang atau pengrajin kayu maka nilai tambah

(value aded) yang diperoleh akan semakin besar memberikan tambahan

penghasilan. Penelitian Teguh Suprapto 2015, tentang tata niaga kayu

rakyat di Wonogiri, sebagaimana dipublikasi oleh Dewan Riset Daerah

(DRD) Kabupaten Wonogiri terdapat 5 model perdagangan kayu rakyat

yang semuanya melibatkan para pedagang atau industri di desa. Dari

total 100 persen keuntungan yang dihasilkan hari proses tataniaga ini

maka; sebesar 79,4 % kue keuntungan dinikmati eksportir, 14 %

pengolah/ perajin kayu lokal, 4 % dinikmati pedagang pengumpul dan

2,6 % dinikmati pedagang perantara di desa.

Kesenjangan pembagian kue keuntungan yang sangat menyolok

antara eksportir dengan para pelaku lain dalam tataniaga kayu

menggambarkan betapa masih minimnya pengetahuan dan keterampilan

petani dan masyarakat pengembang hutan rakyat dalam pengelolaan

pasca panen kayu. Namun demikian dalam studi tersebut bahwa

keuntungan yang dinikmati para pedagang dan pelaku industri kayu di

desa masih jauh lebih besar dari pada keuntungan yang diperoleh oleh

petani hutan yang memerlukan masa tunggu panen hingga bertahun-

tahun.

Page 32: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

72

Hasil identifikasi jumlah pedagang dan pengrajin kayu pada 5

desa di wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal ditemukan sebanyak 31

pelaku usaha. Dari jumlah tersebut di Desa Sukowidi terdapat 5 orang,

Desa Tapak 10 orang, Desa Sumberdodol 5 orang, Desa Sumbersawit 6

orang dan dari Desa Sidomulyo sebanyak 5 orang. Dari 31 orang pelaku

usaha tersebut sebanyak 13 orang (42%) sebagai pedagang kayu dan

sebanyak 18 orang (58%) sebagai perajin kayu dengan hasil produk

berupa almari, meja, kursi, pintu dan lain-lain yang mayoritas dipasarkan

secara lokal pada wilayah Kabupaten Magetan, Ponorogo dan Madiun.

Para pedagang umumnya menjual dalam bentuk kayu bulat (glondong)

dari 4 jenis tanaman kayu yang sering diperdagangkan yaitu: sengon,

mahoni, mindi dan jati. Dalam sistem penilaian sertifikasi ekolabel

standar dai LEI keberadaan jumlah pedagang dan industri atau pengarjin

kayu dalam suatu wilayah menjadi indikator penting terkait kelestarian

produksi dari hutan yang dikelola utamanya terkait dengan kriteia

kelestarian hasil dan kelestarian usaha .

5) Inventarisasi Perkembangan Harga Kayu

Perkembangan harga kayu menjadi indikator dinamika ekonomi

suatu wilayah dan nilai tukar produk kayu terhadap komoditas lain.

Perkembangan harga kayu yang baik berpengaruh langsung terhadap

peningkatan pendapatan petani hutan dan ini akan mempengaruhi laju

penebangan pohon. Dalam konsep “tebang butuh pilih” sebagaimana

yang dianut para petani hutan rakyat, mereka akan menebang pohon

secara terpilih (masak tebang) dan memanen secukupnya. Dengan

demikian harga kayu yang baik mampu mengurangi jumlah pohon yang

ditebang karena kebutuhannya telah tercukupi dari jumlah pohon yang

ditebang lebih sedikit. Hasil wawancara dengan pedagang dan

masyarakat mampu memetakan perkembangan harga kayu komersial

selama 5 tahun terakhir 2010 -2014 sebagaimana dalam Tabel 14 berikut.

Page 33: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

73

Tabel 14. Perkembangan harga kayu 5 tahun terakhir 2010 -2014

No Jenis Kayu Harga kayu /M3

2010 2011 2012 2013 2014

1 Sengon 500.000 550.000 650.000 750.000 800.000

2 Mahoni 700.000 800.000 950.000 1.100.000 1.200.000

3 Mindi 1.000.000 1.150.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000

4 Jati 1.900.000 2.100.000 2.300.000 2.500.000 2.800.000

Sumber: Hasil wawancara dengan pedagang dan masyarakat 2015

Dari Tabel 14 terlihat bahwa perkembangan harga kayu selama 5

tahun mengalami kenaikan yang signifikan. Untuk kayu sengon

mengalami kenaikan 60 % atau rerata 12 % per tahun, kayu mahoni 100

% (20% per tahun), mindi 60% (12% per tahun) dan perkembangan

untuk kayu jati mengalami kenaikan sebesar 47% (9 % per tahun).

Kenaikan harga untuk 4 jenis kayu diatas paling tinggi untuk

kayu mahoni disusul sengon dan mindi selanjutnya perkembangan harga

kayu paling rendah justru untuk harga kayu jati.. Jenis kayu mahoni dan

mindi paling banyak dibutuhkan untuk kebutuhan furniture untuk

kepentingan eksport, kayu sengon banyak dibutuhkan untuk industri

kayu lapis sedangkan kayu jati rakyat paling banyak dibutuhkan untuk

perabotan rumah tangga dan bangunan rumah yang banyak digunakan

untuk masyarakat sekitar. Kenaikan harga kayu terkait kriteria

kelestarian hasil dan usaha dalam standar PBML LEI.

b. Pendampingan Bidang Ekologi

Kelestarian fungsi ekologi dalam suatu unit manajemen hutan

dimaksudkan untuk memastikan bahwa hutan yang dikelola telah memenuhi

prinsip-prinsip kelestarian lingkungan terkait dengan stabilitas ekosiostem

hutan serta terlindungi dan berkembangnya species langka. Hal ini senada

dengan konsep pembangunan berkelanjutan dimana akan tercapai jika mampu

membangun masyarakat beragam dan sadar lingkungan (Johan Silas, 2014).

Page 34: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

74

Untuk itu pendampingan bidang ekologi diarahkan untuk dapat menyajikan

data atau dokumen yang dapat menjawab dari 3 indikator yang dibutuhkan

yakni: (1) tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi gangguan

terhadap integritas lingkungan, (2) ketersediaan informasi dan dokumentasi

dampak kelola produksi terhadap lingkungan dan, (3) adanya kegiatan kelola

lingkungan yang efektif.

Dengan pola dan strategi yang sama dalam pendampingan bidang

produksi, tenaga pendamping lapang dari PERSEPSI melakukan identifikasi,

menyiapkan dan melengkapi data/informasi yang dibutuhkan terkait bidang

ekologi diantarnya : 1) aturan kelola hutan rakyat, 2) keberadaan sumber

mata air, 3) keberadaan sungai dan 4) Keberadaan tumbuhan dan satwa yang

dilindungi.

1) Aturan Kelola Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan oleh petani yang

dikoordinir oleh KTHR Lawu Manunggal ini berada pada Kawasan

Budidaya Non Kehutanan (KBNK). Ini berbeda dengan hutan Negara

yang memang dikembangkan di Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK).

Dengan demikian, pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat adalah

berada di lahan hak milik perorangan dan keluarga yang biasanya

diabdikan selain untuk tanaman kayu juga tanaman pangan semusim

dan tanaman perkebunan. Pada lahan –lahan tertentu atas kesadaran

sendiri, masyarakat mengambil keputusan mengubah penggunaan lahan

dari semula untuk tanaman pangan menjadi tanaman kehutanan.

Praktek-praktek pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh

masyarakat telah lama dilakukan namun mereka jarang sekali

menuliskan pengalaman-pengalaman tersebut menjadi sebuah dokumen

yang dapat dibaca, difahami dan dipelajari dan dapat dikembangkan

oleh pihak lain bahkan oleh para anak cucu. Aturan kelola hutan rakyat

yang disusun oleh KTHR Lawu Manunggal selain berfungsi sebagai

syarat dokumen yang harus dipenuhi dalam rangka mendapatkan

sertifikat ekolabel PHBML juga merupakan dokumen pengalaman

Page 35: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

75

berharga dari para leluhur dalam pengusahaan hutan yang terbukti

mampu mengantarkan kesejahteraan hingga saat ini.

Oleh pendamping dari PERSEPSI proses penyusunan aturan

kelola hutan rakyat ini dilakukan dengan cara menuliskan praktek-

praktek terbaik dalam pengelolaan hutan yang difasilitasi melalui

pertemuan kelompok, wawancara maupun penugasan penulisan kepada

pengurus yang mereka adalah bagian dari tim penyiap dokumen untuk

mendapatkan sertifikat ekolabel. Setelah semua pengalaman terkumpul,

oleh pendamping selanjutnya ditulis menjadi sebuah aturan kelola hutan

rakyat yang selanjutnya digunakan acuan bersama dalam pengelolaan

hutan. Aturan kelola hutan untuk tanaman kayu dan non kayu yang

telah dibuat dalam bentuk panduan menjadi dokumen dan menjadi

acuan yang disimpan di kelompok.

2) Keberadan Sumber Mata Air

Keberadaan hutan rakyat di Kecamatan Panekan dan Sidorejo

dimana sebagian wilayahnya merupakan wilayah kelola KTHR Lawu

Manunggal menghasilkan banyak titik-titk sumber mata air. Hasil

identifikasi yang dilakukan oleh KTHR Lawu Manunggal untuk wilayah

kelola yang mencakup 5 desa ditemukan sekurangnya 24 sumber mata

air. Untuk tiap sumber mata air masyarakat memberikan nama untuk

memudahkan menyebut dan mengenalnya. Terkait nama sumber mata

air, alamat dan penggunaannya yang berada pada wilayah kelola KTHR

Lawu Manunggal dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.

Page 36: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

76

Tabel 15. Daftar Sumber Mata Air

No

Nama Sumber

Mata Air

Alamat Desa

Penggunaan

Irigasi Rumah

Tangga

Lainnya

1 Sumber Bulu Tapak √ √

2 Nglumbur Sumbersawit √ √ -

3 Selangsang Sumbersawit √ √ PDAM

4 Sekatesan Sumbersawit √ √

5 Sendang Sumbersawit √ √ -

6 Seledok Kilen Sumbersawit - √ -

7 Sedoyo Sumbersawit √ - -

8 Santu Sumbersawit √ - -

9 Nganten Sukowidi √ √ PDAM

10 Sekarung Sukowidi √ √ -

11 Dongaron Sukowidi √ √ -

12 Ndempul Sukowidi √ √ -

13 Ngemplak Sumberdodol √ √ -

14 Serumbut Sumberdodol √ √ -

15 Tirto Mudo Sumberdodol √ √ PDAM

16 Sendang Sumberdodol √ - -

17 Salam Sumberdodol √ √ -

18 Sepletok Sumberdodol √ √ -

19 Dampit Sumberdodol √ √ -

20 Ngembak Sumberdodol √ - -

Page 37: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

77

No

Nama Sumber

Mata Air

Alamat Desa

Penggunaan

Irigasi Rumah

Tangga

Lainnya

21 Gangging Sidomulyo √ √ -

22 Jumok Sidomulyo √ - -

23 Ngijo Sidomulyo - √ -

24 Sentul Sidomulyo √ - PDAM

Jumlah : 22 19 4

Sumber: Hasil wawancara dengan anggota dan pengurus KTHR , 2015

Dilihat dari sebaran sumber mata air menurut desa, maka yang

paling banyak adalah di Desa Sumberdodol dengan 8 sumber mata air,

Desa Sumbersawit 7 sumber mata air dan yang paling sedikit adalah di

Desa Tapak dengan 1 sumber mata air. Dari sisi penggunaan sebanyak

22 sumber mata air (91,6%) untuk kepentingan irigasi, 19 mata air (79%)

untuk keperluan air rumah tangga dan sebanyak 4 sumber mata air

(16,6%) dari 24 sumber mata air yang ada dikelola oleh Perusahaan

Daerah Air Minum (PDAM).

Sumber mata air yang dipergunakan untuk pertanian dikelola

dengan membuat saluran –saluran irigasi untuk mengairi padi sawah,

palawija dan sayuran. Untuk keperluan rumah tangga dengan cara

menyalurkan air melalui pipa-pipa kecil langsung kerumah yang

umumnya dilakukan secara swadaya. Sedangkan untuk sumber

Selangsang, sumber Nganten, sumber Tirto Mudo dan sumber Sentul

selain dimanfaatkan untuk irigasi dan keperluan rumah tangga

dimanfaatkan oleh PDAM untuk mencukupi kebutuhan air di kota

Magetan dan sekitarnya. Khusus untuk mata air atau sumber Tirto Mudo

di Desa Sumberdodol dikelola oleh pemerintah desa dan dijual untuk air

isi ulang yang hasilnya sebagai pendapatan desa.

Page 38: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

78

3) Keberadaan Sungai

Hutan berperan sebagai spons raksasa menyerap air hujan selama

musim hujan dan perlahan-lahan melepaskannya selama musim kering.

Hutan menyediakan sistem penyaringan (infiltrasi) secara alami dan

penyimpanan yang memasok sekitar 75 persen air yang dapat digunakan

secara global (GEF, 2011). Perakaran pohon dan seresah dedaunan

menciptakan kondisi yang mendorong infiltrasi air hujan kedalam tanah

dan kemudian keluar dalam bentuk mata air ataupun langsung ke sungai.

Sementara pepohonan dan hutan meningkatkan kualitas aliran sungai

dengan mengurangi air limpasan dan mengurangi sedimen.

Terdapat 7 (tujuh) sungai yang melewati wilayah kelola hutan di

KTHR Lawu Manunggal yang mengalir saat musim penghujan maupun

kemarau. Namun sebagaimana diakui oleh Suwito ketua kelompok tani,

bahwa pada ujung akhir musim kemarau saja aliran air di sungai-sungai

tersebut masih tetap mengalir sekalipun dengan aliran yang kecil. Hal

ini menurutnya ada kaitan dengan keberadaan hutan rakyat yang

dikelola bersama teman-teman anggota kelompok tani dimana hutan

semakin menunjukkan kondisi baik dan terjaga. Tabel 16 berikut adalah

nama-nama sungai yang melewati wilayah hutan yang dikelola.

Tabel 16. Daftar nama – nama sungai

No Nama Sungai Desa yang

dilewati

Keterangan

1 Segue Sukowidi,

Tapak

Sungai Segue dan Sungai Sondo

merupakan satu aliran yang sama,

melewati 3 desa lainnya yaitu Desa

Manjung, Desa Sumberdodol dan

Desa Tanjungsari

2 Sondo Sumberdodol Alirannya bersatu dengan Sungai

Glagah menuju sungai Madiun

3 Segeger Sumberdodol Sungai Segeger dan Sungai

Slangsang merupakan satu aliran

yang sama, dengan kondisi air yang

jernih

4 Slangsang Sumbersawit Alirannya berlanjut ke sungai

Segeger kemudian menuju Sungai

Tinil dan langsung ke sungai

Madiun dan Bengawan Solo.

5 Glagah Sumbersawit Hampir sama dengan sungai

Page 39: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

79

No Nama Sungai Desa yang

dilewati

Keterangan

Sidomulyo lainnya Aliran airnya banyak

dimanfaatkan untuk irigasi

6 Sejumok Sumbersawit

Sidomulyo

Merupakan aliran yang berasal dari

Sumber Mata Air Sekatesan dan

Sumber Mata Air Slangsang

7 Sejetis Sidomulyo Dalam badan sungai banyak

dibangun bangunan untuk

mengalirkan air kepentingan

pertanian Sumber: Hasil wawancara dengan anggota dan pengurus KTHR , 2015

Hasil pengamatan di lapang bahwa ketujuh sungai tersebut

termasuk sungai berdiri karena mengalir pada wilayah perbukitan

Gunung Lawu sisi timur sehingga air yang ada dapat dimanfaatkan

secara maksimal dengan dibuat beberapa bangunan untuk

memanfaatkan airnya dan disalurkan untuk kepentingan irigasi. Aliran

air sungai yang sebagian telah dibelokkan untuk irigasi maka kelebihan

air dari lahan pertanian masuk kembali kesungai dan pada bagian

bawahnya dibangun lagi bangunan untuk membelokkan dan

mengambail sebagian air sungai untuk pertanian dan keperluan lain.

Jika dicermati pada ujung sungai maka ketujuh sengai tersebut

selanjutnya bermuara di kali Madiun selanjutnya bergabung dengan

aliran sungai bengawan Solo yang bermuara dilaut Jawa.

4) Keberadaan Satwa Langka

Keberadaan satwa langka dalam habitat hutan sebagai petunjuk

bahwa ekosistem hutan telah terjaga dengan baik. Menurut Peraturan

Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan

dan Satwa, inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya

mengetahui kondisi dan status populasi secara lebih rinci serta daerah

penyebarannya yang dilakukan di dalam dan di luar habitatnya maupun

di lembaga konservasi. Dalam Pasal 5 Suatu jenis tumbuhan dan satwa

wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah

memenuhi kriteria: (a). mempunyai populasi yang kecil; (b). adanya

penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; dan (c) daerah

Page 40: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

80

penyebaran yang terbatas (endemik). Terhadap jenis tumbuhan dan

satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud wajib dilakukan

upaya pengawetan.

Terkait dengan hal tersebut maka KTHR Lawu Manunggal dalam

rangka untuk mendapatkan sertifikat ekolabel, telah melakukan

inventarisasi tumbuhan dan satwa langka/dilindungi yang merupakan

bagian dari dokumen bidang ekologi yang harus dipenuhi. Hasil

identifikasi ditemukan bahwa terdapat 2 (dua) jenis tumbuhan yakni

Mojo (Aegele marmelos ) dan Trembesi (Samania saman) sudah sangat

sedikit ditemukan. Sedangkan masih ditemukan 14 (empat belas) jenis

satwa langka /dilindungi yang masih hidup pada hutan rakyat. Tabel 17

adalah hasil identifikasi jenis-jenis satwa langka yang ditemukan.

Tabel 17. Daftar satwa langka/dilindungi di KTHR Lawu Manunggal

No

. Jenis Hewan

Lokasi

Ditemukan

Kondisi

Keberadaan

1 Ayam Alas (Gallus gallus) Hutan Sering dijumpai

2 Babi Hutan (Sus scrofa) Hutan Sering dijumpai

3 Rusa (Cervus elaphus ) Hutan Jarang

4 Trenggiling (Manis

javanica)

Tegalan,

Pemukiman Sering dijumpai

5 Landak (Hystrix

brachyuran) Tegalan Sering dijumpai

6 Luwak (Paradoxurus

hermaphroditus)

Hutan,

Pemukiman Sering dijumpai

7 Garangan (Vulpes vulpes ) Hutan Sering dijumpai

8 Kera (Macaca

fascicularis) Hutan Sering dijumpai

9 Burung Hantu (Blak otus

migicus beccaril) Hutan Jarang

10 Harimau (Panthers tigris) Hutan Jarang

11 Ular Sanca (Phyon

morulus) Sawah Jarang

12 Ular Hijau (Trimeresurus

albbolabris) Pemukiman Jarang

13 Tupai (Tupala javanica ) Pemukiman Sering dijumpai

14 Elang Jawa (Spizaetus

bartelsi)

Pemukiman,

Hutan Jarang

Sumber : Hasil wawancara dengan masyarakat, 2015

Jenis hewan yang teridentifikasi di atas, rata-rata ditemukan di

seluruh wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal yakni di desa

Page 41: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

81

Sukowidi, Tapak, Sumberdodol, Sumbersawit, dan Sidomulyo.

Masyarakat sering menjumpai satwa tersebut pada hutan rakyat (tegalan

atau wono) lahan sawah atau bahkan pada pemukiman warga dengan

intensitas jarang sampai sering dijumpai. Dengan ditemukannya 14

jenis satwa langka/dilindungi tersebut menjadi indikasi bahwa hutan

rakyat yang dikelola telah menjadikan habitat yang cocok bagi tumbuh

dan berkembangnya satwa-satwa tersebut.

c. Pendampingan Bidang Sosial

Kelestarian fungsi sosial dimaksudkan untuk memastikan bahwa

dalam pengelolaan hutan secara lestari tidak terjadi permasalahan-

permasalahan sosial seperti soal tenurial (kepastian hak), terjaminnnya

ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas, terbangunnya pola

interaksi sosial yang baik serta keadilan manfaat dalam pengelolaan hutan.

Oleh sebab itu pendampingan kepada KTHR Lawu Manunggal

diarahkan untuk dapat menyajikan data/dokumen dalam rangka pemenuhan

kriteria dan indikator bidang sosial. Terdapat 4 (empat) kriteria yang harus

dipenuhi yakni: (1) kejelasan tentang hak penguasaan dan pengelolaan lahan

atau areal hutan yang dipergunakan, (2) terjaminnya ketahanan dan

pengembangan ekonomi komunitas , (3) terbangun pola hubungan sosial

yang setara dalam proses produksi dan (4) keadilan manfaat menurut

kepentingan komunitas.

Dengan pola dan strategi yang sama dalam pendampingan bidang

produksi dan ekologi, tenaga pendamping lapang dari PERSEPSI melakukan

identifikasi, menyiapkan dan melengkapi data yang dibutuhkan terkait

bidang sosial diantarnya: 1) pendampingan kelembagaan KTHR Lawu

Manunggal, 2) kalender musim dan riwayat sengketa lahan, 3)

pengembangan sumber daya manusia (SDM), 4) dinamika harga hasil hutan

bukan kayu dan upah tenaga kerja.

Page 42: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

82

1) Pendampingan Kelembagaan KTHR Lawu Manunggal

Menurut Arifin (2005) bahwa definisi kelembagaan mencakup

dua demarkasi penting, yaitu (1) norma dan konvensi (norm and

convention), serta (2) aturan main (role of the game). Selanjutnya

dikatakan bahwa kelembagaan dapat secara tidak tertulis maupun

secara tertulis formal seperti pada aturan adat dan norma yang dianut

masyarakat. Keberadaan kelembagaan petani sangat penting dalam

pengembangan hutan rakyat .

Pendampingan kelembagaan yang dilakukan oleh tenaga

pendamping lapang dari PERSEPSI dilakukan dengan 3 pendekatan,

yakni (1) dilakukan bersamaan saat pertemuan kelompok, (2)

memberikan penugasan untuk mengisi formulir tertentu terkait

dokumen kelembagaan, dan (3) melakukan asistensi langsung kepada

pengurus dan atau anggota yang dilakukan sesuai kebutuhan.

Dalam konteks pendampingan penyiapan dokumen kelembagaan

dihasilkan tiga dokumen penting, yakni: (1) profil kelembagaan KTHR

Lawu Manunggal, (2) anggaran dasar KTHR Lawu Manunggal dan (3)

anggaran rumah tangga KTHR Lawu Manunggal. Profil kelembagaan

menjelaskan terkait dengan identitas kelembagaan, tanggal berdiri,

tempat sekertariat, keanggotaan, waktu pertemuan, luas kelola hutan,

potensi hutan dan susunan pengurus. Lebih rinci tentang profil

kelembagaan dapat dilihat pada lampiran 1.

Adapun penyiapan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah

tangga (ART) lebih menyiapkan kelompok tani hutan terkait dengan

aturan main yang perlu disusun, disepakati dan dilaksanakan bersama

untuk menjaga dan meningkatkan fungsi hutan rakyat untuk

kesejahteraan bersama. Sebagaimana tertuang dalam maksud dan

tujuan dibentuknya KTHR Lawu Manunggal adalah (1) untuk

meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melestarikan hutan

rakyat, (2) meningkatkan nilai jual hasil hutan rakyat dan (3) sebagai

forum untuk meningkatkan jaringan kerjasama kelompok tani yang ada

di 5 desa. Bagaimana bentuk dan isi anggaran dasar dan anggaran

Page 43: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

83

rumah tangga KTHR Lawu Manunggal dapat dilihat lebih rinci pada

lampiran 6 dan lampiran 7.

2) Kalender Musim dan Riwayat Sengketa Lahan

Salah satu dokumen penting yang harus disiapkan untuk

mendapatkan sertifikat ekolabel dalam pengelolaan hutan rakyat adalah

tentang kalender musim. Kalender musim adalah sebuah kalender yang

disusun secara partisipatif atas masukan dari banyak warga dan tokoh

masyarakat yang menjelaskan tentang tahapan dan kapan dilaksanakan

terkait budidaya tanaman semusim dan tanaman hutan atau tanaman

kayu. Kalender ini adalah memotret kebiasaan masyarakat dalam hal

bertanam mulai sejak penyiapan bibit, pengolahan tanah, penanaman

sampai dengan panen, dan pada tahapan tersebut biasa dilakukan pada

bulan apa. Sisi lain bahwa kalender ini juga memetakan kegiatan sosial

budaya yang berlaku di masyarakat seperti; kapan dilakukan bersih desa,

sadranan makam, musim hajatan atau orang punya kerja, musim anak

masuk sekolah dan lain-lain. Dengan demikian memahami kalender

musim kita secara mudah dapat memahami dinamika pengelolaan hutan

rakyat dan dinamika sosial budaya yang berlaku dimasyarakat

sebagaimana dapat dilihat pada lampiran 8..

Aspek penting lain dalam dokumen sosial yang dicermati dalam

penilaian kelestarian fungsi sosial adalah terkait dengan konflik lahan.

Konflik tersebut diantaranya menyangkut status kepemilikan lahan,

kejelasan batas pemilikan dan bentuk-bentuk sengketa lain atas lahan.

Berdasarkan surat keterangan yang dikeluarkan oleh lima kepala desa

yang hutannya tergabung dalam wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal,

maka dinyatakan; (1) jika terdapat sengketa atas lahan yang ada di

masing-masing desa maka akan diselesaikan secara kekeluargaan dan

apabila tidak tercapai mufakat maka baru akan diselesaikan sampai

tingkat desa yang melibatkan aparat bidang pertanahan, (2) selama kurun

waktu 5 tahun terakhir yakni 2010 -2014, pada masing-masing desa tidak

pernah terjadi sengketa warga atas lahan termasuk batas pemilikan.

Page 44: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

84

3) Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor penting dalam suatu

organisasi. Organisasi dibentuk untuk tujuan manusia dan berjalannya

organisasi dikendalikan oleh manusia. Jadi keberadaan dan kualitas SDM

menjadi sangat penting dalam suatu organisasi. Menurut Tadjudin

(2000:63): masyarakat lokal di Indonesia memiliki kearifan dan

pengetahuan lokal yang unggul dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Keunggulan tersebut ditunjukkan dengan praktek kebun-kebun

(agroforest) yang memiliki ciri umumnya: produktif, ramah lingkungan,

selaras dengan keanekaragaman sumberdaya hayati, dan berjalan secara

berkelanjutan.

Pengelolaan hutan rakyat (agroforest) sebagaimana telah dilakukan

oleh petani yang tergabung dalam KTHR Lawu Manunggal telah

mencapai pada kondisi pengelolaan yang baik. Untuk terus dapat

menjaganya maka dibutuhkan kemampuan SDM yang memiliki tingkat

keterampilan dan pengetahuan yang baik diantaranya mengikuti berbagai

jenis pendidikan dan pelatihan yang bersifat keterampilan teknis terkait

dengan pertanian dan kehutanan, pengelolaan organisasi, wirausaha,

penatausahaan hasil hutan dan lain-lain.

Dalam lima tahun terakhir saja yakni tahun 2010 – 2014, sebanyak

38 petani sebagai anggota dan pengurus KTHR telah mengikuti kegiatan

pendidikan dan pelatihan yang ditunjukkan dengan mendapatkan

sertifikat dan diselenggarakan dari berbagai pihak. Diantaranya adalah:

1) pembinaan pengurus kelembagaan usaha pertanian yang

diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Penyuluh dan Sumberdaya

Manusia Pertanian, tahun 2010. 2) In hause training “ Peningkatan

Kualitas Sumberdaya Pengelola Lingkungan, yang diselenggarakan

PPLH Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2011. 3) pelatihan

manajemen dan administrasi organisasi yang diselenggarakan oleh

PERSEPSI tahun 2014 serta jenis-jenis pelatihan lainnya yang terkait

dengan pengembangan organisasi dan pengelolaan hutan rakyat. Lebih

Page 45: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

85

rinci mengenai peserta, jenis pelatihan yang pernah diikuti,

penyelenggara dan waktu pelaksanaan dapat dilhat pada lampiran 8.

Setelah mereka selesai mengikuti kegiatan pelatihan umumnya

disampaikan dalam kegiatan pertemuan kelompok, ditularkan kepada

sesama petani atau langsung dipraktekkan dalam pengelolaan hutan dan

lahan yang mereka kelola.

Peningkatan kemampuan SDM yang ditempa dari pengalaman dalam

mengelola hutan rakyat dan organisasi selama ini serta hasil pendidikan

dan latihan yang diikuti dan fasilitasi pendampingan dari PERSEPSI

maka mereka telah mampu menyusun beberapa panduan atau pedoman

diantaranya; pedoman penanaman, pedoman pemeliharaan tanaman,

pedoman penyelesaian konflik , rencana kelola hutan lestari dan lain-lain.

4) Hasil Hutan Bukan Kayu

Pengelolaan hutan secara lestari diantaranya ditunjukkan dengan

keberadaan hasil hutan bukan kayu yang memiliki sifat dapat dipanen

dalam jangka pendek, segera dapat diolah, dipasarkan dan mampu

menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan petani. Dari hasil

identifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini maka terdapat 16 (enam

belas) jenis komoditas yang ternyata pada tahun 2014 saja memiliki

dinamika harga yang fluktuatif sebagaimana tertuang pada Tabel 18

berikut.

Tabel 18. Perkembangan harga tanaman hasil hutan bukan kayu

No. Jenis Komoditas

Harga Rupiah (per kg)

Rata-

rata

Terendah Tertinggi

1. Jagung (pipil) 2.900 1.900 3.400

2. Singkong 1.400 500 1.700

3. Jahe 8.500 2.000 15.000

4. Kunyit 1.000 500 2.500

5. Lengkuas 1.000 500 2.000

6. Alpokat 8.250 1.500 15.000

7. Durian 50.000 25.000 70.000

8. Rambutan 1.750 500 3.000

9. Kopi (robusta) 7.500 4.000 11.000

10. Cengkeh Basah 36.000 25.000 47.000

Page 46: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

86

No. Jenis Komoditas

Harga Rupiah (per kg)

Rata-

rata

Terendah Tertinggi

11. Kakao Kering 13.500 12.000 15.000

12. Janggelan Kering 8.750 1.500 16.000

13. Ketela 1.350 200 2.500

14. Kubis 3.125 250 6.000

15. Tembakau 5.500 4.000 7.000

16. Cabai Hijau 20.750 1.500 40.000

Sumber : Hasil wawancara dan analisis data primer, 2015

Dari Tabel 18 terlihat bahwa hasil tanaman hutan bukan kayu

sangat dinamis atau fluktuatif dan kondisi ini dipengaruhi oleh musim

panen, musim tanam, kegagalan panen dan pengaruh lain yang sifatnya

diluar kendali petani. Hasil hutan bukan kayu sebagaimana ditampilkan

pada Tabel diatas belum mencakup semua komoditas. Komoditas lain

seperti pisang, bambu, kelapa dan lain-lain tidak terdeteksi harganya

dalam penelitian ini.

Berdasarkan data yang ada di KTHR, sekurangnya terdapat 66

(enam puluh enam) anggota kelompok yang mengelola hasil panen dari

produk hutan bukan kayu menjadi usaha sampingan dalam skala rumah

tangga. Produk produk tersebut diantaranya adalah; tempe, keripik, gula

kelapa, emping gadung dan berbagai produk dari anyaman bambu

seperti besek, caping dan lain-lain. Berdasarkan penelitian ini maka

hasil hutan non kayu nilainya jauh lebih besar daripada dari hasil berupa

kayu.

6. Penilaian Lapang

Dalam pelaksanaan sertifikasi ekolabel yang dilakukan pada KTHR

Lawu Manunggal sistem yang digunakan adalah sistem Sertifikasi

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) menurut standar

dari LEI. Menurut sistem tersebut maka penilai lapang dilakukan sendiri oleh

lembaga pendamping yaitu Perhimpunan Untuk Studi dan Pengembangan

Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI) sedangkan pengambilan keputusan dilakukan

Page 47: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

87

dari Lembaga Sertifikasi (LS) yang telah mendapatkan akreditasi dari Lembaga

Ekolabel Indonesia.

Penilaian lapang atau audit internal yang dilakukan oleh PERSEPSI

selanjutnya dibentuk tim yang telah memiliki kapasitas sebagai assessor yang

dibuktikan telah mengikuti pelatihan standar PHBML dan telah

berpengalaman dalam pendampingan hutan rakyat. Tim penilai lapang terdiri

dari 3 orang yang akan menilai dari aspek produksi, aspek ekologi dan aspek

sosial.

Berdasarkan hasil penilaian lapang yang dilakukan, maka ditetapkan

bahwa skema sertifikasi PHBML menggunakan skema 2 jalur C. Skema 2

adalah skema sertifikasi dengan pengakuan atas klaim (certification under

recognition over claim). Pada skema ini penilaian lapangan dan pengajuan

(aplikasi) kepada lembaga sertifikasi dilakukan oleh lembaga

pemohon/pendamping yang merupakan wakil dari masyarakat pengelola hutan.

a. Metode

Metode penilaian lapang dilakukan melalui tiga cara. Pertama,

studi dokumen yang ada di KTHR Lawu Manunggal. Kedua pengecekan

di lapangan, serta ketiga diskusi kelompok terfokus. Studi dokumen

dilakukan untuk menilai bagaimana fakta-fakta lapang didokumentasikan

secara obyektif. Pengecekan lapang dilakukan untuk menilai konsistensi

antara apa yang dilaporkan dalam dokumen dengan kenyataan yang ada di

lapang. Metode diskusi kelompok terfokus dilakukan sebagai bentuk

triangulasi data, dan memberi kesepakatan kepada unit manajemen untuk

mengkritisi kinerja pengelolaan mereka dan mencari masukan dari

berbagai pihak tentang hubungan kenyataan tersebut dengan kepentingan

berbagai pihak.

Melalui studi dokumen maka diperoleh berbagai informasi untuk

menentukan tipologi PHBM dan tipologi Unit Manajemen, jalur dan

skema pengajuan. Setelah itu barulah ditentukan kriteria, indikator dan

verifier yang akan dipakai dalam penilaian. Sekaligus dengan metode ini

diperoleh keakuratan data dan informasi, kemudian dipahami pihak dalam

Page 48: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

88

dan luar KTHR sebagai para pihak penting terkait dengan pengelolaan

hutan rakyat. .

Pengecekan lapang dimaksudkan sebagai cara untuk mendapatkan

gambaran berbagai informasi yang terdokumentasi dengan realita lapang.

Dengan demikian, konsistensi data menjadi sesuatu yang bisa

dipertanggung jawabkan. Pengecekan lapang ini sekaligus memberi

kesempatan bagi unit manajemen dalam memahami apa yang mungkin

terjadi pada gejala alam, batas alam, perubahan yang terjadi pada berbagai

musim, dan dampaknya bagi pengelolaan hutan oleh unit manajemen.

Metode focus group discussion (FGD) dimaksudkan sebagai cara

untuk mendapatkan pandangan berbagai pihak yang terkait langsung

maupun tidak langsung dengan unit manajemen. Dari pihak unit

manajemen dengan cara ini berkesempatan memberikan masukan

sekaligus sebagai upaya cross chek terhadap berbagai informasi yang akan

ditulis dalam dokumen pengajuan sertifikasi ekolabel PHMBL. Ketiga

metode yang diterapkan untuk dapat menilai ketiga aspek (kelestarian

produksi, ekologi dan sosial) secara lebih baik. Gambar 4 berikut adalah

metode yang diterapkan dalam penilaian lapang di KTHR Lawu

Manunggal.

Gambar 5. Metode penilaian sertifikasi ekolabel

b. Hasil Penilaian Lapang

1) Tipe PHBM

KTHR Lawu Manunggal melakukan pengelolaan hutan di

kawasan budidaya non kehutanan (KBNK). Kawasan yang dikelola

unit manajemen ini berada disekitar rumah dan lahan pertanian

mereka. Di situlah tumpuan hidup mereka. Selalu diyakini sebagai

Studi Dokumen

Cek Lapang

FGD

Produksi

Ekologi

Sosial

Temuan

lapang

Penilaian

Skala

intensitas

Page 49: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

89

nilai yang hidup dimasyarakat bahwa hidup di lingkungan hutan

menjadikan mereka dekat dengan alam dan arif dalam menyikapi

alam. Pada kawasan itulah mereka bertempat tinggal dan

bermasyarakat, membuat rumah dan mengembangkan hubungan

sosial, ekonomi dan politik. Terbuka bagi masyarakat setempat

untuk mengkonversi lahan hutan mereka untuk pengembangan

pertanian, pemukiman, maupun prasarana umum desa di kawasan

lahan yang dikuasai. Pada kawasan itulah masyarakat

mengembangkan budidaya berbagai tanaman pangan untuk

konsumsi dan dijual.

Tanaman yang dikembangkan adalah jenis kayu dan bukan

kayu. Jenis kayu yang dominan adalah jati, mindi, sengon dan

mahoni. Lahan pada bawah tegakan digunakan untuk budidaya

empon – empon (tanaman obat, jahe, kunir, kunci) dan tanaman

pangan (uwi, gembili, suwek) dan dari jenis tanaman MPTS

(mangga, rambutan, durian). Hasil kayu sedikit dikonsumsi sendiri

untuk memenuhi kebutuhan pembuatan rumah, perabot rumah

tangga dan kayu bakar. Sebagian besar adalah dijual (komersial)

untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam jumlah besar dan

mendesak (pendidikan, hajatan, dll).

Berdasar dokumen yang ada di KTHR, semua lahan yang

dikelola oleh petani berada di atas hak milik formal. Hal ini

dibuktikan dengan kepemilikan leter C, sertifikat hak milik atau girik

yang dalam dokumen ajuan ditunjukkan dengan Surat

Pemberitahuan Pajak Terhutang SPPT sebagai bukti pembayaran

pajak atas tanah yang dimiliki. Meskipun dari pemilik lahan dari segi

posisi tempat tinggalnya bervariasi dari dusun, desa, serta

kecamatan, tetapi pengakuan kedaulatan kepemilikan tetap dihormati

antar dan oleh pemilik lahan. Terhadap pemilik lahan yang tinggal di

luar desa praktek yang berlaku dimasyarakat dan sudah mentradisi

adalah menyerahkan pengelolaannya kepada saudara yang tinggal di

Page 50: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

90

dusun tersebut atau orang kepercayaan yang tinggal berbatasan

dengan lahannya dan memberi bagi hasil.

Berdasar informasi tersebut, maka tipologi PHBM untuk

KTHR Lawu Manunggal termasuk dalam kawasan budidaya non

kehutanan (KBNK), dengan orientasi usaha untuk komersial dan

dilakukan diatas lahan hak milik formal atau sama dengan tipologi

PHBM nomer 20. Ini penting ditegaskan agar berbagai pihak

memiliki informasi yang utuh dan akurat dalam memahami dan

mengambil keputusan penilaian tentang KTHR Lawu Manunggal.

Untuk mengetahui posisi tipe PHBM nomer 20 atau tipe PHBM

pada KBNK secara komersial yang berada pada tanah formal dapat

dilihat pada Tabel 19 berikut.

Tabel 19. Matriks Tipologi PHBM dengan produk utama kayu

I. Orientasi

Pengelolaan

II. Status Penguasaan Tanah/ Lahan

Lahan/Hutan Hutan/ Tanah Tanah Adat Tanah

Hak

dan Penetapan

Kawasan

Publik/

Negara

Komunal Individual Milik

Formal

Kawasan

Dilindungi

Komersial 01 02 03 04

Subsisten 05 06 07 08

Kawasan

Budidaya

Kehutanan

Komersial 09 10 11 12

Subsisten 13 14 15 16

Kawasan

Budidaya

Non

Kehutanan

Komersial 17 18 19 20

Subsisten 21 22 23 24

2) Tipologi Unit Manajemen.

Tipologi unit manajemen di sini adalah karakteristik kerja suatu

unit manajemen yang diakibatkan oleh kenyataan biofisik dan sosial

yang timbul akibat kenyataan / kondisi wilayah dimana pengelolaan

hutan/ lahan dilakukan / terjadi.

Page 51: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

91

3) Tipologi Unit Manajemen menurut aspek Ekologi.

Derajad fragmentasi habitat.

Kawasan hutan yang dikelola oleh unit manajemen ini tidak

berbatasan langsung dengan hutan alam ataupun kawasan yang

dilindungi atau termasuk kategorisasi yang fragmentet. Kondisi ini

menjadi penghalang tetap bagi terjadinya pergerakan penyebaran

(distribusi), pemencaran (dispersal) dan aliran genetik dari sub

populasi ke sub populasi lain disekitarnya. Kelerengan antara 25 % -

60 % solum tanah relatif tipis serta tidak berbatasan dengan flora dan

fauna yang dilindungi.

Dapatlah dipahami, semakin terfragmentasi habitat semakin berat

beban tanggungan unit manajemen untuk mempertahankan fungsi

ekologi/ lingkungan atau ekosistem daerah tersebut semakin sensitif.

Kondisi fragmentasi habitat menentukan tatatan (seting) unit

manajemen yang secara inheren akan mempengaruhi intensitas

menejemen hutan berbasis masyarakat lestari menurut prinsip

ekologi/lingkungan. Fragmentasi menciptakan halangan tetap bagi

pergerakan/aliran dalam tiga hal, yaitu : distribusi (penyebaran),

dispersal (pemencaran) dan aliran genetik dari suatu sub populasi ke

populasi lain diseputarnya. Untuk itu, derajad fragmentasi ditetapkan

berdasarkan kriteria berikut :

• Berhubungan (connected) : bila lebih dari 50 % batas areal unit

manajemen berhubungan langsung dengan ekosistem hutan lain

disekitarnya.

• Semi – Berfragmen ( Semi – Fragmented ) : Bila kurang dari 50

% batas areal unit manajemen berhubungan langsung dengan

ekosistem hutan lain disekitarnya.

• Berfragmen ( Fragmented ) : Bila tidak ada hubungan antara arel

unit manajemen dengan ekosistem hutan lain disekitarnya.

Page 52: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

92

Ditinjau dari segi fregmentasi habitat, unit manajemen

diklasifikasikan menurut tiga skala orginal sensitivitas ekosistem

sebagai mana tertera dalam matrik berikut :

Tabel 20. Skala Sensitivitas untuk setiap Derajad Fragmentasi

Derajad Fragmentasi Skala sensitivitas

Berfragmen ( Fragmented ) 3

Semi Berfragmen

( Semi – Fragmented )

2

Berhubungan ( Connected) 1

Catatan : Makin besar skala ordinalnya, makin sensitif ekositem hutan

terhadap gangguan secara ekologis

Letak Kawasan tempat Unit Manajemen Beroperasi

Tipologi unit manajemen juga dipengaruhi oleh letak kawasan hutan

yang dikelolanya. Unit Manajemen yang dikelola KTHR Lawu

Manunggal berada di daerah hulu Sub Daerah Aliran Sungai (DAS)

kali madiun, dengan tipe tanah yang mudah tererosi serta tidak

berbatasan langsung dengan kawasan konservasi. Unit manajemen

ini hanya berbatasan dengan hutan rakyat yang ada di wilayah desa

sebelahnya dengan cara pengelolaan yang hampir sama. Batas

kawasan di alam ditandai dengan tumpukan batu, terasering serta

deretan pepohonan yang tumbuh rapat sepanjang garis perbatasan.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa unit manajemen

hutan rakyat yang dikelola KTHR Lawu Manunggal ini berada

dikawasan yang berfragmentasi ( fragmented ), yang menurut skala

ordinal memiliki skala sensitivitas 3, dan terletak pada wilayah yang

rawan fisik serta rawan biologis, sebagaimana dijelaskan pada Tabel

berikut.

Tabel 21. Skala Sensitivitas Letak Unit Manajemen

Letak Rawan Biologis Aman Biologis

Rawan Fisik 3 2

Aman Fisik 2 1 Catatan : Makin besar skala ordinalnya, makin sensitif ekositem hutan terhadap

gangguan secara ekologi

Page 53: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

93

4) Tipologi Unit Manajemen Menurut Aspek Sosial

Sedangkan tipologi unit manajemen menurut aspek sosial untuk

tipologi Unit Manajemen hutan rakyat yang dikelola KTHR Lawu

Manunggal menurut standar dari LEI adalah E, yang

rekomendasinya berarti kondisi tidak perlu penguatan kelembagaan

sosial budaya dan ekonomi, tetapi perlu inovasi teknologi konservasi

tanah dan air.

5) Tipologi Unit Manajemen menurut aspek produksi

Sebagaimana untuk Skema I – A/B, Tipologi unit manajemen

menurut aspek produksi untuk Skema I – C ditetapkan dengan

mempertimbangkan inovasi teknologi yang diperlukan dalam

pelaksanaan kelola produksi, kelola lingkungan dan kelola sosial.

Dengan kata lain, tipologi unit manajemen dari aspek produksi untuk

skema I-C ditetapkan untuk menilai proses pelaksanaan kerja di

lapangan dan bukan hasil akhir kinerjanya. Tipologi unit manajemen

dari aspek produksi untuk Skema I-C merupakan hasil perkawinan

antara aspek sosial dan aspek lingkungan. Sebagai hasil perkawinan

antara aspek sosial dan aspek lingkungan, tipologi unit manejemen

dari aspek produksi untuk skema I-C dapat disusun sebagaimana

Tabel berikut.

Tabel 22. Perkawinan aspek sosial dan ekologi

Tipologi UM

Aspek Sosial

Tipologi UM Aspek Ekologi

1 2

1 A E

2 B F

3 B F

4 C G

5 C G

6 D H

Berdasarkan pada Tabel diatas maka tipologi Unit Manajemen

menurut aspek produksi untuk KTHR Lawu Manunggal masuk

dalam kategori E, dimana Kondisi tidak perlu inovasi penguatan

Page 54: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

94

kelembagaan sosial budaya dan ekonomi, tetapi perlu inovasi

teknologi dalam konservasi tanah dan air.

7. Pengambilan Keputusan Sertifikasi

Pada dasarnya proses pengmbilan keputusan dilakukan oleh Tim Panel

Pengambil Keputusan (TPPK) adalah melalui pendekatan sebagaimana telah

diatur dalam pedoman LEI 99-44 tentang Pedoman Pengambilan Keputusan

Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Dimana

sistem sertifikasi pada KTHR Lawu Manunggal mengacu pada skema 2 jalur C,

maka proses sertifikasi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi sebatas pada

pengambilan keputusan sertifikasi oleh TPPK, karena proses penilaian lapangan

telah dilakukan oleh Tim Penilai Lapangan dari lembaga pendamping, yaitu

PERSEPSI.

TPPK melakukan proses pengambilan keputusan atas dasar verifikasi

terhadap laporan penilaian lapangan dari tim PERSEPSI disamping melakukan

verifikasi kepada pengurus KTHR Lawu Manunggal dan mempelajari dokumen

pendukung. Disamping itu untuk memperkuat terhadap keputusan yang akan

diambil, maka TPPK melakukan kunjungan lapangan pada areal kelola hutan

rakyat yang dikelola dan komunitas masyarakat pengelola hutan. TPPK terdiri

dari 3 orang pakar kehutanan yang telah terakreditasi pada Lembaga Ekolabel

Indonesia yaitu; pakar bidang ekonomi dan produksi, pakar bidang ekologi dan

pakar bidang sosial dan budaya.

Secara garis besar tahapan proses dalam pengambilan keputusan

sertifikasi ekolabel hutan melalui 5 tahapan yaitu: 1) konsolidasi Tim Panel

Pengambilan Keputusan sekaligus pembahasan tipologi PHBM di KTHR Lawu

Manunggal, 2) pemaparan atas hasil penilaian lapang dari lembaga pendamping

PERSEPSI selanjutnya dibahas oleh panel pakar untuk mennetukan nilai aktual

dari masing-masing indikator, 3) kunjungan lapang oleh TPPK kepada cakupan

areal sertifikasi untuk melihat secara sekilas (overview) dari kondisi sumberdaya

hutan yang dikelola, 4) sesuai dengan bidangnya TPPK meneliti, menilai

diskripsi skala intensitas setiap indikator serta melakukan klarifikasi dan

Page 55: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

95

verifikasi atas hasil penilaian kepada pengurus KTHR Lawu Manunggal dan 5)

pengambilan keputusan sertifikasi.

Berdasarkan metode pengambilan keputusan sertifikasi serta standar

kelulusan sebagaimana diatur dalam pedoman dari LEI maka diperoleh hasil

perhitungan keputusan untuk aspek produksi, aspek ekologi dan aspek sosial

terhadap unit manajemen yang dikelola KTHR Lawu Manunggal sebagaimana

ditampilkan pada Tabel 23 berikut.

Tabel 23. Kalkulasi perhitungan kelulusan sertifikasi ekolabel

Nilai Baik Nilai Cukup Nilai Jelek Total (n)

Aspek Produksi 9 8 - 17

Aspek Ekologi 1 2 - 3

Aspek Sosial 7 3 - 10

Jumlah : 17 13 - 30 Sumber: Laporan Pengambilan Keputusan Sertifikasi, PT MAL, 2015

Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa total indikator yang digunakan

dalam penilaian ini (n) sebanyak 30 indikator. Dengan jumlah indikator

bernilai baik sebanyak 17 indikator, bernilai cukup 13 indikator dan

bernilai jelek tidak ada. Dengan demikian maka KTHR Lawu Manunggal

dinyatakan LULUS sertifikasi PHBML karena skor yang bernilai baik

sebesar 56,6 % sedangkan yang bernilai cukup adalah sebesar 43,4 %.

Keputusan tersebut merupakan keputusan yang telah menjadi

kesepakatan dari Tim Panel Pengambilan Keputasan (TPPK) sehingga

direkomendasikan kepada Lembaga Sertifikasi dalam hal ini PT

Mutuagung Lestari untuk menerbitkan sertifikat ekolabel dalam

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) untuk

Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal di Kecamatan Panekan

dan Sidorejo untuk masa 15 tahun mendatang periode tahun 2015 – 2030

dengan sedikitnya setiap 5 (lima) tahun sekali dilakukan penilikan

(survailance) dari Lembaga Sertikasi.

Menurut PERSEPSI, sebagai lembaga pendamping bahwa proses

pemberdayaan KTHR Lawu Manunggal sejak melakukan identifikasi awal,

penyiapan kelembagaan, penyiapan dokumen untuk aspek produksi,

ekologi dan sosial sampai dengan lulus mendapatkan sertifikat ekolabel

Page 56: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · 41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal

96

membutuhkan waktu selama 18 bulan. Adapun terkait dengan biaya yang

dibutuhkan untuk biaya penilikan dan penilaian kembali setelah masa

sertifikasi berakhir (resertifikasi) maka masing masing anggota KTHR

Lawu Manunggal mencadangkan minimal 1 pohon yang dimiliki untuk

dijual. Keputusan ini telah disepakati bersama dan jika pada akhirnya

dampak dari sertifikat ekolabel yang diperoleh mampu meningkatkan

volume penjualan dan harga kayu secara signifikan.