Click here to load reader
View
223
Download
1
Embed Size (px)
BAB IV
Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan Buton
a. Terbentuknya Barata Kulisusu
1. Pengertian Barata dan Awal Terbentuknya
Dalam penelitian ini mengapa masih perlu penjelasan tentang Buton Utara
setelah terintegrasi dengan Kesultanan Buton karena dengan pertimbangan bahwa
Buton Utara pada masa prabarata baru berdiri satu pemerintahan yang terstruktur
setelah terintegrasi dengan Kesultanana Buton yakni dengan terbentuknya barata
Kulisusu. Dalam masa ini, dengan adanya ancaman dari arah buritan maupun
dari haluan, sebagaiman digambarkan tradisi lokal, mencerminkan analogi
negara Buton (darul butuni) dengan sebuah perahu (the ship of state) tradisi lokal
menyebutkan bahwa penyusunan birokrasi Kesultanan Buton dilakukan pada
masa sultan La Elangi. (waktu itu pula, perluasan pengaruh Ternate dan Gowa
dilakukan keluar wilayahnya). Ada hubungan perluasan antara pengaruh Ternate
dan Gowa dengan penerapan struktur kekuasaan Buton bagi wilayah-wilayah
yang di kendalikannya the ship of state Buton dalam penerapannya adalah barata,
perahu bercadik ganda. Dalam konteks itu, dapat dipahami munculnya gagasan
bahwa konsepsi mengenai kerajaan buton diambil dari struktur perahu. Perahu di
anggap dapat membawa seluruh penumpang warga negara berlayar menuju cita-
cita yang di harapkan.
Layaknya sebuah perahu yang mempunyai keseimbangan sehingga tidak
mudah goyang apalagi sampai terbalik. Konsepsi perahu yang dibayangkan
Kerajaan Buton adalah perahu bercadik ganda, yang mempunyai dua sayap di
kanan dan dua sayap di kiri. Pada setiap pertemuan dua sayap dan pengapitnya
ada ikatan berfungsi sebagai penguat. Ke empat penguat tersebut barata. Dalam
bahasa Wolio, barata selain berarti tenaga atau kekuatan juga berarti ikatan
pasak pengapung sayap perahu dengan tangannya. Barata yang dimaksud dengan
penopang kesultanan Buton adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
(Zuhdi, 2010:120). Ke empat barata itu dinamakan barata patapalena artinya
barata yang ke empat. Antara Buton dan daerah barata tersebut saling bantu
membantu dalam segala hal demi kepentingan bersama, terutama dalam bidang
pertahanan dan keamanan.
Dalam buku dokumenta yang diterbitkan oleh DPD Sulawesi Tenggara
dinyatakan bahwa barata dalam arti politis adalah kerajaan-kerajaan yang bersiri
sendiri dalam lingkungan Kesultanan Buton, terdiri dari Kerajaan Muna, kerjaan
Tiworo, Kerajaan Kulisusu dan Kerajaan Kaledupa, yang masing mempunyai dan
mengatur pemerinthannya sendiri (Anonim, tt:198). La Ode Zaenu menjelaskan
bahwa barata artinya diberikan kekuasaan otonom untuk langsung bertindak
apabila ada musuh yang mengganggu Buton, bertanggung jawab atas keamanan
masing-masing. (La Ode Zaenu, 1985:36) selanjutnya ia mengatakan pula bahwa
barata berarti susah (bergabung) yabarata yolipu artinya negara berkabung bukan
berarti ada kematian akan tetapi berkabung di sini berarti menghadapi huru hara
besar sebagai keadaan Buton saat itu (La Ode Zaenu, 1985:36) walaupun agak
berbeda redaksinya, arti kedua pernyataan di atas sebenarnya mempunya maksud
yang sama, yaitu barata adalah suatu basis pertahanan keamanan yang dibentuk
terutama untuk mengantisipasi segala macam ancaman dan gangguan terhadap
integritas wilayah dan kedaulatan Kesultanan Buton. Istilah yabarata yolipu boleh
jadi muncul pada waktu buton mendapat serangan dari luar sehingga ketika itu di
anggap berkabung.
Keempat barata itu berkewajiban melindungi dari serangan musuh yang
datang dari luar. Kulisusu dan Kaledupa berkewajiban menjaga serangan dari arah
timur sementara itu Tiworo dan Muna menjaga keamanan kerajaan dari arah
barat. Kedudukan dari ke empat barata itu juga merupakan fasal atau daerah
taklukan yang memberi keuntungan bagi Buton.
Pada umumnya ke empat barata itu masuk kedalam kekuasaan Buton
melalui penaklukan kecuali Kulisusu. Wilayah bagian timur Buton ini masuk
kedalam kekuasan Buton dengan jalan damai. Penduduk Kulisusu menyatakan
diri memeluk Islam sekitar awal abad ke-17, ketika sultan La Elangi mengadakan
kunjungan ke Kulisusu. Ketika itu sudah ada dua kampung yang berdiri yakni
Lampani dan Kancuancua. Pada masa La Ode Ode di Kulisusu yang tidak lain
adalah putra Sultan La Elangi, mulailah ditetapkan hak kekusaan sendiri Kulisusu.
b. Latar Belakang Terbentuknya Barata Kulisusu
Kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa dikukuhkan sebagai
barata atau basis pertahanan kesultanan buton setelah pemerintahan sultan Dayanu
Ikhsanudin (sultan ke-4 Buton), namun kerja sama dibidang pertahanan antara
wilayah-wilayah barata dengan Buton jauh sebelum sudah terjalin yakni sejak
Sultan Murhum (Sultan I). Kerja sama ini dilatarelakangi gangguan dari serangan
bajak laut Tobelo (Ternate). Berdasarkan sumber-sumber sejarah bahwa Buton
pernah mengalami tiga kali serangan dahsyat dari bajak laut Tobelo. Serangan
pertama terjadi pada masa pemeriritahan Tua Rade (Raja IV), serangan kedua
yang dipimpin La Bolontio, terjadi pada masa pemenintahan Raja Mulae (Raja V),
sedangkan serangan ketiga terjadi setelah Sultan Murhum berkuasa di Buton.
Serangan ketiga dipimpin Iangsung oleh Sultan Ternate, Baabullah. Narnun
serangan ketiga ini tanpa diperkirakan sebelumnya (unintended resuIt) pada
akhirnya menimbulkan persahabatan yang erat antara Buton dan Ternate.
1. Serangan Tobelo Masa Pemerintahan Tua Rade (Raja IV)
Meskipun Ternate menjadi sekutu bagi Buton akan tetapi Ternate sewaktu-
waktu menjadi ancaman dan gangguan Buton selama beratus-ratus tahun. Susanto
Zuhdi mengatakan bahwa di bawah komando VOC, Buton dan Ternate bersekutu
melawan Gowa. Akan tetapi pada waktu yang lain, keduanya berseteru. Ternate
selalu berusaha menganeksasi Kulisusu dan Pulau Wawoni yang dianggapnya
sebagai wilayah bagian utara kekuasaan Buton (Zuhdi, 2010: 11). Sampai abad
ke-19 ada tiga wilayah yang menjadi sumber sengketa Buton dan Ternate, yaitu
Wawoni, Tiworo, dan Kulisusu (Zuhdi, 2010 : 38-39).
Pasukan Ternate yang selalu mengganggu wilayah Buton adalah bajak
laut Tobelo. Susanto Zuhdi mengatakan bahwa bajak laut merupakan gejala yang
rnenjadi ancaman bagi kedaulatan Buton, terutarna dalarn segi ekonomi dan
peduduk. Bajak laut merampok dn merampas harta benda dan menculik orang-
orang sebagai budak maupun untuk komoditas perdagangan. Dalam ingatan orang
Buton, yang juga didukung sumber VOC, bajak laut merupakan trauma yang
berkepanjangan. Ancaman itu dirasakan baik oleh penguasa, maupun orang
kebanyakan terutama yang tinggal di pantai. Sumber tradisional banyak mencatat
kisah tentang kepahlawanan di lingkungan kekuasaan Baton yang berhasil
membebaskan suatu negeri dan serangan bajak laut, yaitu Tobelo (Zuhdi, 2013 :
14).
Di masa pemenintahan Tua Rade atau Raja IV untuk pertamakali Tobelo
melakukan serangan ke Buton. Sasaran utama dalam serangan ini adalah daerah-
daerah pesisir, utamanya Siompu dan Kadatua. Rakyat kedua daerah ini
rnenyelamatkan diri dari marabahaya dengan cara meminta perlindungan di
Kraton Buton. Orang-orang yang melarikan diri mendapat perlindungan dari raja
dan diberikan tempat pemukiman di Kraton Buton. Perkampungan-perkampungan
itu kemudian dikenal dengan nama Limbo Sambali, Limbo Melai, Limbo Rakia,
Limbo Gama, Limbo Wandailolo. Seluruh kekuatan kerajaan bersatu padu
menumpas bajak laut tersebut melalui pertempuran yang sengit. Penamaan limbo
(kampung) tersebut masing-masing rnengandung pengertian tersendiri sesuai
peristiwa yang terjadi pada saat itu.
Limbo Sambali artinya kampung luar (limbo=kampung; sambali=Iuar).
Dinamakan demikian karena bajak laut datangnya dari luar. Limbo Melai artinya
kampung mulai (melai=mulai), artinya bajak laut mulai menggempur Buton.
Limbo Rakia artinya kampung bagian (turakia=bagian) artinya bahwa orang-orang
yang ada di Siompu dan Kadatua adalah bagian dari Wolio (Buton) karena itu
harus dibela. Limbo Gama artinya kampung gema (goma=gema), artinya bahwa
peristiwa yang menggemparkan tersebut menggema di seluruh penjuru kerajaan.
Limbo Wandailolo artinya kampung angin laut (wondailolo=angin laut)
mengingatkan bahwa peristiwa tersebut datangnya dari arah laut, diantar oleh
angin laut (La Ode Zaenu, 1990 dalam Amasa, 1991: 45). Dalam pertempuran
tersebut para bajak laut dapat ditaklukan oleh pasukan Buton.
Setelah keadaan stabil kembali maka struktur pemerintahan mengalami
perubahan sesuai dengan pertambahan limbo-limbo tersebut. Sebelum kedatangan
bajak laut wilayah kerajaan hanya dibagi atas empat limbo (kampung) yaitu
kampung-kampung; Baluwu, Peropa, Gundu-gundu, dan Barangkatopa yang biasa
disebut dengan istilah Pato Limbona (empat kampung). Dari Pata Limbona
ditingkatkan menjadi Sio Limbona (sembilan kampung) yang ditambah dengan
limbo-limbo tersebut di atas sehingga dijadikan sebagai Bonto Sio Limbona, yang
terdiri dari; Bontona Baluwu, Bontona Peropa, Bontona Gundu-gundu, Bontona
Barangkatopa, Bontona Siompu, Bontona Melai, Bontona Rakia, Bontona Ga