16
62 BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN KEARIFAN EKOTEOLOGIS MASYARAKAT TERUSAN 4.1. Analisa Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit: Produk Kapitalisme Global Hasil penelitian yang telah dideskripsikan pada bab tiga yang menjadi ciri khas pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi ruang dan jalan atas ekspansi perkebunan kelapa sawit di kecamatan Kembayan, Sanggau, yaitu: 1. Bersifat materialistis Pemahaman kearifan lokal menjadi tergerus arus kapitalisme dan pola pikir ini yang melegalkan aktivitas eksploitasi terhadap alam. Akhirnya hutan dirusak karena dianggap tidak memiliki keuntungan materi yang memadai dan diganti dengan perkebunan kelapa sawit yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Banyak masyarakat adat lokal di wilayah Sanggau telah berubah dari cara pandang tradisional ke modern, termasuk di sekitar dusun Terusan yang bersedia mengkonversi wilayah hutannya menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada awalnya warisan nenek moyang dalam bidang pertanian dan pengelolaan hutan adalah cara untuk pemenuhan kebutuhan hidup kemudian bertransformasi menjadi sarana memperoleh kentungan materi yang sebesar-besarnya. Penelitian ini sejalan dengan pemikiran Wasef dan Ilyas tentang industri sawit memang awalnya didesain sebagai industri besar yang melibatkan kekuatan modal besar dalam jaringan global yang mengakibatkan hingga kini kecenderungan para pemiliknya masuk dalam

BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

62

BAB IV

ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN KEARIFAN

EKOTEOLOGIS MASYARAKAT TERUSAN

4.1. Analisa Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit: Produk Kapitalisme Global

Hasil penelitian yang telah dideskripsikan pada bab tiga yang menjadi ciri khas

pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi ruang dan jalan

atas ekspansi perkebunan kelapa sawit di kecamatan Kembayan, Sanggau, yaitu:

1. Bersifat materialistis

Pemahaman kearifan lokal menjadi tergerus arus kapitalisme dan pola pikir ini

yang melegalkan aktivitas eksploitasi terhadap alam. Akhirnya hutan dirusak

karena dianggap tidak memiliki keuntungan materi yang memadai dan diganti

dengan perkebunan kelapa sawit yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Banyak

masyarakat adat lokal di wilayah Sanggau telah berubah dari cara pandang

tradisional ke modern, termasuk di sekitar dusun Terusan yang bersedia

mengkonversi wilayah hutannya menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada awalnya

warisan nenek moyang dalam bidang pertanian dan pengelolaan hutan adalah cara

untuk pemenuhan kebutuhan hidup kemudian bertransformasi menjadi sarana

memperoleh kentungan materi yang sebesar-besarnya. Penelitian ini sejalan dengan

pemikiran Wasef dan Ilyas tentang industri sawit memang awalnya didesain

sebagai industri besar yang melibatkan kekuatan modal besar dalam jaringan global

yang mengakibatkan hingga kini kecenderungan para pemiliknya masuk dalam

Page 2: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

63

daftar orang terkaya.1 Artinya penumpukan keuntungan materi diperoleh sebesar-

besarnya untuk pemilik dan pemodal. Pengalaman pemiskinan masyarakat dayak di

kecamatan tetangga meyakinkan masyarakat untuk menolak kehadiran perkebunan

kelapa sawit di wilayah mereka. Agenda memberantas kemiskinan hanya jargon

ilusi, nyatanya yang terjadi justru kesenjangan sosial yang mewujud dalam sistem

yang memiskinkan.

2. Menciptakan sistem ekonomi pasar yang rakus

Obsesi berlebihan untuk mengejar surplus membutuhkan peningkatan produksi dan

perluasan wilayah perkebunan kelapa sawit dengan membuka kawasan hutan.

Untuk meraih surplus produksi tanah pasti dipaksakan untuk berproduksi dan lahan

yang dibutuhkan juga semakin luas. Dalam upaya itu kerap terjadi sengketa agraria

dan tata ruang antara masyarakat adat, pemerintah dan pengusaha. Wilayah hutan

yang dianggap sebagai tanah ulayat dan hutan lindung kadang dialihfungsikan

menjadi hutan tanaman industri oleh pemerintah yang kemudian dikelola

perusahaan. Dalam beberapa kasus juga terjadi di Kembayan, perusahaan mengolah

lahan diluar dari izin yang diberikan kepadanya. Masyarakat adat yang dari sejak

dulu mengelola hutan secara arif akhirnya menjadi korban. Ketika masyarakat

global menganut pola hidup konsumtif, tuntutan kebutuhan pasar akan semakin

tinggi sehingga memerlukan areal yang luas, untuk mencapai tampak terjadi praktik

“jual beli izin”. Meningkatnya permintaan global untuk lemak nabati tetap menjadi

faktor utama yang mendorong investasi dan produksi lebih tinggi, perdagangan

perusahaan minyak sawit di bursa saham dan mempercepat pengambil-alihan

1 Mouna Wasef & Firdaus Ilyas, Merampok Hutan dan Uang Negara: Kajian Penerimaan

Keuangan Negara dari Sektor Kehutanan dan Perkebunan : Studi Kasus di Kalimantan Barat dan

Kalimantan Tengah (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2011), 17-18.

Page 3: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

64

lahan.2 Produktifitas yang dituntut dalam sistem ini hanya dianggap sebagai

aktivitas untuk menghasilkan laba dan menumpuk modal. Sistem ekonomi pasar

yang rakus pemicu terjadinya penindasan terhadap alam semakin kejam. Daerah

pedalaman yang memiliki hutan “perawan” menjadi target pasar produksi. Dari sini

dapat ditemukan istilah ekspansi yang didasari atas kebutuhan pasar yang juga

semakin meningkat.

3. Berpola pikir reduksionis

Perkebunan kelapa sawit di Sanggau, baik dimanapun, selalu bercorak monokultur

yang berakibat cepatnya kerusakan ekosistem lingkungan. Corak perhutanan

monokultur merupakan produk kolonial3yang datang untuk mengambil keuntungan

bagi diri mereka sendiri. Telaah demikian mengalami pembenaran secara historis di

Indonesia yang hadirnya pertama kali kelapa sawit berada pada masa penjajahan

Belanda. Monokultur ditolak karena kesempatan untuk hidup bagi jenis tumbuhan

dan binatang lain yang sudah menjadikan hutan sebagai habitat aslinya terancam

punah. Keseimbangan ekosistem akan menjadi rusak bila sistem pertanian

monokultur kelapa sawit diberlakukan. Pohon di dalam hutan dengan nilai jual

rendah pasti akan dimusnahkan, sedangkan pohon sawit yang laku, dibutuhkan dan

memiliki harga beli mahal akan terus dipertahankan dan diperluas arealnya. Pola

pikir ini dapat mengorbankan mahluk lain dalam ekosistem yang memiliki hak

untuk hidup. Masyarakat Terusan memandang hutan sebagai sebuah keutuhan yang

tidak dapat dikecilkan dan dikucilkan. Mahluk hidup lain memiliki nilai instrinsik

pada dirinya. Paham reduksionis akhir-akhir ini dipromosikan oleh gerakan tertentu

2 Marcus Colchester & Sophie Chao (editor), Ekspansi Kelapa Sawit di Asia Tenggara:

Kecenderungan dan implikasi bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat (Bogor: Sawit Watch & Forest

People Programme, 2011), 19. 3 Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (London: Zed Book Ltd,

1988), 6.

Page 4: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

65

yang difasilitasi pebisnis sawit untuk mensosialisasikan perkebunan kelapa sawit

adalah “proyek penghijauan” dan berjuang agar perkebunan kelapa sawit dianggap

sebagai sebuah “hutan”.

4. Berpola pikir dualistis-dikotomis dalam suasana kompetitif

Alam terpisah dengan manusia dan mempertentangkan keduanya yang berimplikasi

menjadikan alam sebagai sumber pemuasan diri dan dapat dieksploitasi. Pola pikir

dualistis-dikotomis berbahaya karena dapat melahirkan kebijakan dominatif, sebab

kedudukan manusia sebagai mahluk otonom dipisahkan secara tegas dengan alam.

Pemisahan ini dapat melemahkan ikatan emosional diantara keduanya. Manusia

dianggap lebih tinggi dari segala mahluk di bumi karena kepentingannya harus

dinomor satukan. Ketika manusia memandang diri sebagai subjek penguasa

sedangkan alam dijadikan sebagai objek pasif, maka melahirkan tindakan

penindasan. Ketika masyarakat Terusan memahami bahwa alam ibarat “Ibu”

semakain mempertegas hubungan emosional dengan kedekatan mereka dengan

alam yang jelas tidak memisahkannya.

5. Dekat dengan budaya kematian

Dengan munculnya perusahaan pembibitan kelapa sawit yang dibuka persis

bersebelahan dengan dusun Terusan mengindikasikan pola kapitalisme itu semakin

mewabah. Bibit tanaman dipandang sebagai kontiunitas kehidupan, sebaliknya

bagi perusahaan nilai bibit terletak pada diskontiunitas kehidupan. Perusahaan

pembibitan sengaja mengembangkan bibit yang tidak dapat dikembangbiakan

supaya petani selalu bergantung padanya.4 Wujud konkrit dari cara pandang ini

dalam konteks hutan adalah nilai pohon tidak diukur ketika pohon tersebut masih

4 Bernadus Wibowo Suliantoro & Caritas Woro Murdiati, Konsep Keadilan Sosial yang

Berwawasan Ekologis Menurut Vandana Shiva (Kajian dari perspekif Etika Lingkungan, Laporan

Penelitian, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, 2013), 70.

Page 5: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

66

hidup melainkan ketika sudah mati, ditumbangkan, diolah dan diproduksi. Pohon

kelapa sawit juga dapat mematikan masa depan kesuburan tanah. Berbeda kontras

dengan pengalaman masyarakat Dayak dengan sistem ladang berpindah untuk

memberi kesempatan tanah bereproduksi.

Dari penjelasan diatas membuktikan perkebunan kelapa sawit yang terus

berekspansi ke wilayah Sanggau merupakan produk dari kapitalisme global. Kerusakan

dan ekologis di Indonesia atas berekspansinya perkebunan kelapa sawit jelas merupakan

dampak dari sistem kapitalisme global. Agen-agen globalisasi melalui perusahaan trans

nasional terus mengebaskan sayap industrinya. Perkebunan sawit di Indonesia yang

mulai hadir pada masa kolonial Belanda dan terus merambah ke berbagai wilayah

terisolir termasuk Sanggau hingga kini merupakan sebuah sistem eksploitasi yang lahir

dari proses penjajahan yang diwujudkan dalam bentuk mengelola tanah dengan tanaman

homogen, mengekspansi wilayah, memobilisasi tenaga kerja, dan melaksanakan

diskriminasi.5 Akhirnya kapitalisme global telah dengan deras merasuki wilayah-

wilayah terpencil termasuk Kalimantan yang sumber daya alam menjanjikan.

Seperti dikatakan oleh Ress dan Wackernagel: “Globalisasi ekonomi berarti

globalisasi krisis ekologi,”6 artinya ada keterhubungan pasti antara peningkatan

ekonomi dengan peningkatan krisis ekologi. Dalam mencapai tujuan ekonomi itu terjadi

kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global, Penguasa dan Pengusaha sehingga

muncul yang disebut Adji Samekto “koalisi kepentingan” yang semakin membuat

5Marcus Colchester,dkk, Tanah Yang Dijanjikan: Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di

Indonesia: Implikasi Terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat (Bogor: Sawit Watch, HuMa,

Forest People Programme, The World Agroforestry Centre, 2006), 49. 6 Wiliam E. Rees dan Mathis Wackernagel “Ecological Footprints and Approach to

Sustainability dalam Larry L. Rasmussen, Komunitas Bumi: Etika Bumi. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2010), 214.

Page 6: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

67

masyarakat lokal dan lingkungan akan sangat mudah dikorbankan.7 Koalisi juga

melibatkan aktor-aktor pemerintah, swasta, makelar dan pimpinan adat yang kerap

bermain untuk melancarkan izin dan hak pengelolaan hutan menjadi industri kelapa

sawit.

Proses pembebasan lahan tanah dari masyarakat adat lokal ke tangan swasta

terjadi melalui pemerintah daerah, elite partai politik lokal dan pengusaha yang terlibat

dalam pendirian perkebunan kelapa sawit. Terdapat “perdagangan” akses terhadap izin

perkebunan dan menjanjikan kemakmuran kepada masyarakat lokal. Banyak

perusahaan lokal menghasilkan keuntungan besar dari penjualan kayu yang diperoleh

dari konversi hutan, setelah itu perusahaan dan izin perkebunannya sering dijual ke

konglomerat kelapa sawit nasional atau asing.8 Pada era otonomi, pemimpin daerah

merasa sebagai “raja kecil” yang memiliki kewenangan besar untuk mengelola alam

yang ada di daerah kekuasaannya. Ketika terjadi “kesepakatan gelap” pemerintah

daerah maupun pusat dengan pihak perusahaan (penguasa dan pemodal) dengan

melibatkan pemimpin adat, maka izin pembukaan hutan untuk perkebunan semakin

mudah dikeluarkan. Hutan ulayat masyarakat lokal yang dianggap sebagai milik pusaka

akhirnya berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang semakin meluas. Hal ini

terbukti dengan begitu banyak tawaran dan janji kekayanan yang disampaikan pihak

perusahaan kepada pimpinan adat dan dusun di Terusan dengan imbalan persetujuan

masuknya perkebunan kelapa sawit.

4.2. Analisa Kearifan Ekoteologis Masyarakat Terusan menghadapi ekspansi

perkebunan kelapa sawit

7 FX Adji Samekto, Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan (Yogyakarta:

Penerbit Genta, 2008), 89-90. 8 Martua T. Sirait, Indigenous Peoples and Oil Palm Plantation Expansion in West Kalimantan,

Indonesia (Amsterdam: Universiteit van Amsterdam and Cordaid Memisa, 2009), 6-7.

Page 7: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

68

Praktik kapitalisme dalam jaringan yang terkoneksi secara global ibarat arus

deras yang sulit dibendung. Masyarakat adat lokal yang selama ini hidup dan dihidupi

oleh kepercayaan nilai-nilai kultural yang diwarisi leluhur yang sejak lama melekat

tidak sedikit telah berubah dan terseret gelombang globalisasi. Dalam menghadapi

kekuatan besar kapitalisme global itu dapat dilakukan bukan dengan perlawanan

represif gerakan “angkat senjata”, melainkan melalui penguatan nilai-nilai kearifan

lokal yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang ditanamkan sistem kapitalisme di

era globalisasi ini.

Menghadapi tantangan globalisasi yang sudah memasuki wilayah perdesaan

berimplikasi pada memudarkan kebudayaan lokal, masyarakat Terusan tidak

menggunakan budaya orang lain atau menciptakan budaya baru bahkan tidak

menyesuaikan diri dengan budaya global yang secara khusus berdampak destruktif

terhadap lingkungan. Punontu Pumuduap Nganpengasua (Penjaga Kehidupan) adalah

konsep kehidupan kultural masyarakat Terusan membangun hidup dalam hubungan

yang integral dengan alam. Konsep itu didasari atas pemahaman teologis bahwa alam

adalah “ibu” yang melahirkan, merawat dan melindungi kehidupan. Agar kehidupan itu

terus ada dalam keseimbangan dan keutuhan, maka sang “Ibu” harus dijaga dan

dilindungi. Bila alam rusak, hidup manusia yang bergantung dalam sebuah rantai juga

akan ikut rusak. Konsep Punontu Pumuduap Nganpengasua mewujudkan satu kesatuan

antara manusia, alam dan Tuhan. Ekoteologis masyarakat Terusan yang tercermin

dalam konsep Punontu Pumuduap Nganpengasua adalah:

1. Memiliki pandangan Mugu kudo To mo (Tuhan terhubung dengan ciptaanNya)

Beberapa pandangan Mugu kudo To mo dalam masyarakat Terusan ditemukan pada

praktik Ngawei Minah Rangka dan ritual Lioa Puno yang melihat keterkaitan

dengan Allah melalui rangka kayu dan tanah yang dianggap menghubungkan

Page 8: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

69

bagian dengan Tuhan. Ada peristiwa mistis yang dialami masyarakat Terusan

terhadap rangka dan tradisi menebas. Pengalaman itu melahirkan pemahaman dan

tindakan baru bagi mereka bahwa rangka dan tanah itu bukan disembah melainkan

untuk dihormati. Tindakan merusak berakibat buruk dan menjaga rangka serta

tanah akan beroleh pertolongan. Keterhubungan Allah melalui kayu dan tanah itu

menjadi nampak. Kayu dan tanah dalam pandangan masyarakat Terusan bukan

sesuatu yang bernilai ekonomis dan terpisah dari unsur apapun. Keduanya dianggap

memiliki sakralitas karena terhubung dengan Tuhan yang memengaruhi tindakan

hormat dan santun terhadapnya. Pandangan To no torut ngan du muduap no selaras

dengan panenteisme dalam dunia teologi yang salah satunya dikembangkan oleh

Sallie Mcfague yang mengatakan bumi adalah tubuh Tuhan. Panenteisme adalah

keyakinan bahwa semua ciptaan adalah bagian dari Allah. Dalam Panenteisme

Allah berbeda dengan ciptaan, namun terhubung dengan ciptaanNya.9 Pandangan

kontemporer dalam dunia teologi tentang panenteisme tampaknya sudah sejak lama

dipahami dan diyakini oleh masyarakat Terusan. Pola pikir barat yang melihat

panenteisme sesuatu yang baru karena sejak zaman pencerahan manusia dipandang

terpisah dengan alam, sedangkan dalam konsep masyarakat Dayak Bisomu di

Terusan pada budayanya memiliki kosmologi terkait dengan alam dan Tuhan.

Pemahaman ini mendorong masyakat untuk tidak melukai tubuh Allah melalui

perusakan sumber daya alam di dalam hutan.

2. Memosisikan diri sipantar ngan to no torut (setara dengan alam)

Sipantar ngan to no torut adalah sebuah relasi yang dibangun setara dengan alam.

Keyakinan dalam pandangan keterhubungan Allah dengan alam diatas tadi

9 Evelyn Tucker and John Grim, Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup.(Yogyakarta: Kanisius,

2003), 83.

Page 9: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

70

menunjukkan bahwa yang menguasai alam lingkungan adalah kekuatan Ilahi dan

bukan manusia. Dalam konsep hutan tembawang yang dikelola masyarakat Terusan

tidak dikenal istilah kepemilikan tunggal, yang ada hanya kepemilikan komunal

dalam ikatan kekeluargaan. Satu tembawang dimiliki oleh berbagi sub keluarga

dengan pembagian wilayah yang jelas melalui kesepakatan bersama. Bagi

masyarakat dianggap tabu bila tanah adalah milik pribadi. Hasil kerja panen

dianggap sebagai kemurahan Tuhan melalui alam yang diekspresikan melalui

gawei banua. Alam adalah pemberi hidup sehingga hutan, sungai, tanah, dan hujan

adalah tanda-tanda nyata kemurahan alam dan Tuhan. Pandangan masyarakat

bahwa manusia bukan berada sebagai subjek yang otonom, tetapi ada sesuatu diluar

dirinya yang diakuinya ada dan memiliki otoritas dalam hidupnya yaitu Tuhan.10

Ada sikap hormat terhadap tempat dan barang yang dianggap “suci”. Manusia

merupakan bagian yang integral dari dunianya dan bukan subjek yang terpisah dari

dunia. Makna diri dan keberadaannya terdapat dalam kesatuan dengan komunitas

sukunya. Istilah pemilik dan penguasa tidak ada dalam kamus hidup masyarakat

Terusan, yang mereka tahu adalah sebagai penjaga agar hidup manusia dan alam

tetap utuh dan seimbang. Pandangan itu tercermin dari cara pengambilan keputusan

yang selalu melibatkan keluarga besar dan dalam skala yang lebih luas melalui

hasil pertemuan komunitas adat. Dari pemahaman tersebut masyarakat Terusan

menempatkan diri setara dengan alam bukan pemilik bahkan penguasa diatas dari

alam.

3. Mempertahankan To no torut ngan du muduap no (ekosistem)

Cara pandang kesatuan dengan alam dan Tuhan yang bukan dualisme menunjukkan

sikap dan tindakan masyarakat Terusan untuk mempertahankan ekosistem alam

10 Peter C. Aman, “Hidup Bersama Alam”, 158.

Page 10: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

71

yang berkaitan juga dengan dirinya sendiri. Sistem pengelolaan hutan tembawang

harus dilakukan dengan pola multikultur, terdiri dari buah-buahan, kayu besar,

tanaman obat-obatan, dan sebagaian karet. Hutan juga merupakan “apotek”

kehidupan sumber obat-obatan. Pola pertanian agroforestry ini merupakan

pengakuan terhadap hakikat realitas yang beragam. Di dalam wilayah heterogen itu

dijamin keberlangsungan hidup mahluk lain yang memiliki hak sama untuk hidup.

Setiap komponen pembentuk ekosistem dijaga untuk memastikan semua elemen

dapat berfungsi dengan baik dalam jaringan kehidupan yang lestari. Berdasarkan

pertimbangan demikian salah satu alasan penolakan hadirnya perkebunan kelapa

sawit karena mengganti hutan yang campur sari dengan corak monokultur. Selama

ini kehidupan masyarakat Terusan yang agraris bergantung dari petunjuk dan tanda

alam. Pada penggalan hari ketujuh, dua puluh dan dua puluah lima bulan

merupakan “hari istirahat”, yakni suatu cara yang dilakukan masyarakat untuk

menghormati tanaman yang tidak boleh dikelola pada waktu tertentu. Sistem rotasi

ladang berpindah sebenarnya bermaksud agar tanah tidak dipaksa untuk

memproduksi. Tanah diberi kesempatan waktu beberapa tahun untuk memperbaiki

kualitasnya agar dapat kembali memberi kesuburan. Pemahaman ini menegaskan

bahwa masyarakat Dayak bukanlah perusak hutan karena sistem ladang berpindah.

Bagi mereka memberi kesempatan tanah untuk mereproduksi adalah bentuk

penghormatan dan jauh dari tindakan eksploitasi. Untuk melaksanakan aktivitas di

luar, masyarakat sering mendapat petunjuk burung coku. Bila hutan hilang diganti

dengan kebun tunggal kelapa sawit, rumah bagi burung coku sebagai pemberi

isyarat juga akan punah, masyarakat dapat kehilangan „roh” pemberi petunjuk

kehidupan. Etika hidup yang menjaga ekosistem adalah pola kerja masyarakat

Terusan. Pada saat pandangan kapitalisme berusaha memisahkan manusia dengan

Page 11: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

72

alam yang profan, masyarakat Terusan memandang alam merupakan sesuatu yang

holistik dan alam merupakan “the sacred canopy”, dalam istilah Peter L. Berger.11

Pemahaman eklesiologi dalam terang ekoteologi dalam kaitan yang utuh dengan

alam semesta menegaskan upaya untuk mempertahankan ekosistem sebagai suatu

kesatuan dengan manusia. Keyakinan yang dipahami dalam kesadaran masyarakat

Terusan yang bergantung hidupnya dari alam dan melalui alam mereka terhubung

dengan Tuhan. Pemahaman dasar itu mengkonstruksi pemikiran dalam praksis

tindakan mereka untuk mempertahankan kelangsungan ekosistem alam khususnya

hutan. Kedatangan Yesus ke dalam bumi dalam rangka menyelamatkan dunia

termasuk manusia, karena itu masa depan ciptaan bukanlah kehancuran justru

mengalami penyempurnaan. Pemahaman teologis antroposentris dan biosentris

yang berimplikasi pada tindakan memisahkan manusia dengan alam dan

menempatkan manusia pada posisi berkuasa dapat terbantahkan dalam kajian ini.

4. Memiliki spritualitas Poro Bata Muduap

Poro Bata Muduap adalah spiritualitas hidup sederhana. Bagi masyarakat Terusan

tanah, air, dan kayu tidak dipandang sebagai aset ekonomi karena dianggap

memiliki unsur yang “suci”, namun dipahami juga sebagai dasar berada komunitas

masyarakat dan seluruh mahluk untuk memperoleh kehidupan. Tidak ditemukan

tindakan komersialisasi terhadap bagian dari alam itu. Masyarakat adat Terusan

melihat hubungan kekeluargaan jauh lebih penting daripada hubungan produksi.

Ikatan emosional identitas kekeluargaan itu akan terasa semakin erat ketika “ibu

memanggil pulang” pada waktu musim buah di hutan tembawang. Keluarga besar

11

Peter L Berger & Thomas Luckmann, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial

(Jakarta: Pustaka LP3ES, 1994)

Page 12: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

73

yang berada di daerah jauh akan pulang untuk makan bersama dalam ikatan darah

kekeluargaan. Tanaman buah memang tidak bernilai ekonomis tinggi, tetapi tetap

dipertahankan sebagai alat menyambung rasa kekeluargaan dalam kesederhanaan.

Orientasi kerja lebih tertuju pada pemenuhan kebutuhan pokok dan bukan demi

pengumpulan harta kekayaan. Walaupun bisnis kelapa sawit menjanjikan perbaikan

ekonomi, masyarakat tetap menjaga hidup kesederhanaan dan menjaga diri menjadi

hamba materi. Bagi masyarakat keberlanjutan keutuhan hidup masa depan lebih

utama daripada harta. Nilai spiritualitas ugahari yang kuat mengakar dalam karakter

masyarakat lokal Terusan menjauhkan mereka untuk mengelola alam dengan cara

mengekspolitasi. Pemikiran dan pengalaman masyarakat Terusan ini sama dengan

istilah yang saat ini gencar dipromosikan yaitu spiritualitas ugahari. Sifat

ketamakan dan kerakusan merupakan awal dari tindakan eksploitatif terhadap alam.

Gaya hidup sederhana mengarahkan mereka untuk mengelola alam secukupnya

berdasarkan kebutuhan.

5. Membangun jejaring dalam partisipasi di ruang publik

Persoalan menjaga alam bukan hanya urusan internal sesama masyarakat Terusan

sendiri, sebab mereka akan berhadapan dengan sistem dan aktor-aktor dominan

yang kerap diskriminatif. Peran dalam ruang publik menjadi keharusan untuk dapat

menghadapi ketidakadilan. Menyikapi berbagai kebijakan yang tidak pro terhadap

eksistensi masyarakat adat lokal melalui pengalihfungsian hutan dan penyerobotan

lahan oleh “koalisi kepentingan”, masyarakat Terusan merajut jaringan antar

komunitas masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk

memperjuangkan hak-hak masyarakat. Banyak kasus ditemukan masyarakat lokal

kerap kalah ketika berhadapan dengan penguasa dan sistem kapitalisme dengan

modal yang berlimpah. Konflik sosial antara pihak perusahaan dengan warga selalu

Page 13: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

74

ada dan tidak kunjung usai. Pemetaan wilayah hutan desa dan adat Terusan yang

sudah dilakukan menjadi salah satu cara yang baik untuk mempertegas legalitas

kawasan masyarakat. Usaha untuk pencanangan Terusan sebagai kampung budaya

merupakan perjuangan dalam ruang publik untuk melemahkan pihak luar dalam

rangka mengusai wilayah mereka karena sudah ada pengakuan dan penetapan

publik agar kawasan yang sakral itu dan komunitas Terusan selalu dilindungi dan

dilestarikan. Partisipasi aktif ini melibatkan banyak pihak lintas komunitas agama

dan berjejaring dengan lembaga-lembaga yang memiliki misi perjuangan yang

sama.

Masyarakat Terusan dari awal memandang manusia di dalam hidupnya berada

dalam kesatuan yang integral dengan alam dan Tuhan. Konsep penjaga kehidupan

merupakan refleksi dari kesadaran demikian. Relasi yang integral ini tercermin bahwa

manusia sebagai mahluk yang tercipta dari To no (tanah) dan Allah terhubung melalui

alam ciptaan-Nya (Mugu kudo To mo). Pemahaman ini berimplikasi pada melakukan

tindakan pelestarian terhadap alam juga berarti melindungi kehidupan manusia dan

merawat “tubuh Allah”. Sebaliknya tindakan eksploitasi terhadap alam juga akan

menciderai tubuh “Allah” dan merusak hidup manusia dalam ekosistem kehidupannya.

Masyarakat Terusan akan mampu bertahan atas arus kuat ekspansi perkebunan

kelapa sawit di sekitarnya dengan merevitalisasi kearifan ekoteologisnya dengan alam.

Model gereja yang terlalu asing dengan konteksnya juga perlu belajar dari pengalaman

dan pemahaman demikian. Gereja perlu mengadopsi pemahaman teologis dan berada

dalam “titik temu” dengan budaya lokalitas masyarakat untuk membangun model

gerejanya agar lebih relevan. Perjumpaan penginjilan barat dengan budaya lokal

Page 14: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

75

masyarakat yang menganggap kearifan lokal sebagai suatu kekafiran12

perlu dikaji

kembali. Model gereja yang diwarisi terkesan duplikasi dari para pembawanya.

Persekutuan mistis tubuh Kristus sebagai model gereja yang populer di gereja Indonesia

kurang dapat menjawab dan merespon dengan tegas keberpihakan terhadap kerusakan

ekologis. Gereja belum banyak melihat konteks kerusakan ekologis dari perspektif

masyarakat lokal dan masih menempatkan diri dari sudut pandang gereja warisan

kolonial.

Sudut pandang barat yang melihat keterpisahan manusia dengan alam dan Tuhan

akan terus meminggirkan masyarakat lokal dan dianggap inferior, primitif 13

bahkan

irasional. Pada sisi yang lain gereja juga tampak banyak berperan sebagai “pasar” yang

merupakan realitas tentang praktik keseharian gereja dari pendekatan ekonomi14

, selain

hanya banyak mengurusi persoalan internalnya. Contoh terlibatnya gereja dalam

budidaya perkebunan kelapa sawit secara mandiri, termasuk GPIB induk dari pos pelkes

Terusan, dan contoh kasus yang ditulis oleh Stepanus Djuweng menunjukkan gereja

berada dalam sistem yang terlibat dalam kerusakan ekologi. Dimana ketika masyarakat

Dayak protes kepada perusahaan sawit di Sanggau seorang pejabat tinggi gereja lokal

malah menulis surat rekomendasi agar masyarakat Dayak setempat bekerja kembali.15

Pendekatan ini jelas dapat melemahkan fungsi suara kenabian gereja sebagai mercusuar

yang harus kritis atas setiap realitas. Gereja harus dapat memisahkan gen kapitalis

12 Chr de Jonge & Jan Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah Eklesiologi

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 91. 13 A. Wati Longchar , Returning to Mother Earth Theology, Christian Witness and Theological

Education An Indigenous Perspective (Taiwan: Programme for Theology and Cultures in Asia, 2013), 68. 14

Abraham Silo Wilar, “Mundus Imaginalis dalam, Teologi Tanah: Persepektif Kristen terhadap

ketidakadilan sosi-ekologis di Indonesia, Zakarias Ngelow (Editors) (Makasar: Oase Intim, 2015), 368. 15

Stepanus Djuweng, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi”. Dalam Hairus Salim

(ed.). Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan.Yogyakarta:

Dian/Interfi dei, 2006), 26.

Page 15: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

76

bawaannya dan bermetamorfosis menjadi gereja yang kontekstual dan fungsional

dimanapun Tuhan mengutusnya.

Pemahaman masyarakat ekoteologis Terusan yang melihat hubungan integral

tentang kesatuan hubungan manusia, alam dan Tuhan dapat menjadi jalan masuk untuk

membangun sebuah model gereja dalam peran yang lebih kuat terhadap keutuhan

ciptaan dan keseimbangan ekologis yang selama ini telah menjadi rusak oleh karena

kepentingan bisnis ekonomi. Gereja sebagai komunitas eskatologis yang percaya akan

keselamatan alam semesta, mengarahkan perhatiannya bukan hanya berkarya pada

manusia semata. Pandangan kristen umumnya melihat alam sebagai objek pelayanan

dan kesaksian Gereja, pada model ini alam dirangkul menjadi bagian persekutuan

dengan Tuhan. Argumen teologis demikian menegaskan kembali jejak biblis yang

jarang diungkapkan dalam kajian ekoteologi yaitu: “Biarlah segala yang bernafas

memuji Tuhan” (Mazmur 150:6), dan “biarlah langit bersukacita dan dan bumi

bersorak-sorak, biarlah gemuruh laut serta isinya biarlah beria-ria padang dan segala

yang ada diatasnya, maka segala pohon di hutan bersorak-sorai” (Mazmur 96:11-12).

Rangkuman

Masyarakat Terusan memiliki kearifan ekoteologis dalam menghadapi ekspansi

perkebunan kelapa yang berimplikasi pada kerusakan keseimbangan ekologi. Punontu

Pumuduap Nganpengasua (Penjaga Kehidupan) adalah landasan hidup yang ramah

terhadap pelestarian lingkungan, yaitu memiliki spritualitas Poro Bata Muduap,

memosisikan diri sipantar ngan to no torut, memiliki pandangan Mugu kudo To mo,

mempertahankan To no torut ngan du muduap no, dan membangun jejaring dalam

partisipasi di ruang publik. Berdasarkan temuan dan kajian itu perlu memngembangkan

model yang relevan dan kontekstual dari perjumpaan kearifan ekoteologis masyarakat

Terusan.

Page 16: BAB IV ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16944/4/T2_752016207_BAB IV...pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi

77