76
87 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi 1. Kronologi Kasus Polda Jateng melakukan Penyidikan dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga diduga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah), dengan Pelaku Bahwa dalam perkara ini Notaris tersebut dapat diduga telah melakukan kesewenang-wenangan, kelalaian karena yang seharusnya Notaris tersebut selaku orang yang dipercaya oleh kliennya untuk menyetorkan pembayaran pajak-pajak yang telah dipercayakan pengurusannya terhadap Notaris tersebut akan tetapi yang terjadi Notaris tersebut dengan tidak menyetorkannya akan tetapi memfiktifkan setoran pajak tersebut. Bahwa dengan tidak menyetorkannya pembayaran pajak-pajak yang telah dipercayakan pengurusannya tersebut selanjutnya Setoran Bank Persepsi berikut validasi Bank Persepsi dan validasi Bank Persepsi pada

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/3/T2_322013035_BAB... · A. Kasus Posisi 1. Kronologi Kasus ... pemalsuan bukti setor dan

Embed Size (px)

Citation preview

87

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kasus Posisi

1. Kronologi Kasus

Polda Jateng melakukan Penyidikan dugaan tindak pidana korupsi atas

pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB /

SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan

SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN

Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga

diduga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus

dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah), dengan Pelaku

Bahwa dalam perkara ini Notaris tersebut dapat diduga telah

melakukan kesewenang-wenangan, kelalaian karena yang seharusnya Notaris

tersebut selaku orang yang dipercaya oleh kliennya untuk menyetorkan

pembayaran pajak-pajak yang telah dipercayakan pengurusannya terhadap

Notaris tersebut akan tetapi yang terjadi Notaris tersebut dengan tidak

menyetorkannya akan tetapi memfiktifkan setoran pajak tersebut.

Bahwa dengan tidak menyetorkannya pembayaran pajak-pajak yang

telah dipercayakan pengurusannya tersebut selanjutnya Setoran Bank

Persepsi berikut validasi Bank Persepsi dan validasi Bank Persepsi pada

88

formulir SSB (BPHTB) dan SSP (PPh Final) untuk 2 peralihan hak tersebut

adalah tidak benar/ dipalsukan, ditemukan fakta bahwa uang pembayaran

pajak BPHTB dan PPh Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan

S.HM No. 295/ Kalibanteng Kulon senilai total Rp 823.536.000,00 tidak

dibayarkan ke Bank Persepsi dan tidak masuk ke Kas Negara yang diduga

dilakukan oleh Pelaku dengan kronologi perkara sebagai berikut:

Bahwa pada pembayaran BPHTB di Bank BPD Jateng Cab. Semarang,

diduga telah terjadi peralihan hak atas tanah dan bangunan HM 295/

Kalibantengkulon, Kota Semarang sebanyak 2 (dua) kali yaitu

a) Tanggal 25 Nopember 2010 dari Penjual ke Pembeli I sesuai AJB

No. : 747/2010, tanggal 25 Nopember 2010 dengan nilai transaksi

sebesar Rp 4.000.000.000,00.

b) Tanggal 3 Desember 2010 dari Pembeli I ke Pembeli II sesuai

dengan AJB No. : 764/2010, tanggal.3 Desember 2010 dengan

nilai transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.

Atas 2 peralihan hak (AJB) tersebut di atas timbul kewajiban para

pihak untuk pembayaran pajak, dengan penghitungan besaran masing-masing

sebagai berikut :

a) PPh Final/SSP = 5%xNJOPPBB

Yaitu 5 % x 4.127.000.000,00 = Rp 206.384.000,00

b) BPHTB / SSB = NJOP PBB - NPOP TKP (Rp 20.000.000,00) x

5% Yaitu 4.127.000.000,00 - Rp 20.000.000,00 x 5% = Rp

205.384.000,00.

Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) pada masing-masing AJB

tersebut selaku wajib pajak telah menyerahkan/menitipkan uang pembayaran

89

pajaknya kepada Notaris dan PPAT Pelaku selaku PPAT yang menangani

proses peralihan hak;

Total pembayaran pajak yang diserahkan melalui Notaris dan PPAT

Pelaku sebesar Rp.823.536.000,00 yang dibayarkan oleh masing-masing

pihak dalam 2 (dua) tahap sesuai pelaksanaan penandatanganan AJB yaitu

tanggal 25 Nopember 2010 dan 3 Desember 2010, masing-masing sebesar

Rp.411.768.000,00 di Kantor Notaris dan PPAT Pelaku, Jl. Kartini Raya No.

77 Semarang.;

Sebagaimana diuraikan diatas dimana proses peralihan hak atas

sertifikat HM No. 295/ Kalibanteng Kulon, Pelaku secara sadar melakukan

proses peralihan hak atas tanah dan bangunan sekaligus menawarkan diri

untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.

Namun alih-alih Pelaku membayarkan pajak BPHTB dan PPh (Final)

tersebut, justru Pelaku meminta kepada Pemalsu untuk dibuatkan bukti setor

pembayaran BPHTB dan PPh (Final) tidak benar/palsu(fiktif) dan

menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan PPh (Final) yang tidak

benar/palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui oleh Pelaku .

Bahwa uang setoran pajak BPHTB dan PPh Final sejumlah

Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku

Notaris/PPAT dari para wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang

seharusnya milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara

90

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 tahun

2003 Tentang Keuangan Negara.

Akibat perbuatan Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu dan Karyawan

Pelaku I telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yaitu diri Pelaku dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar

Rp.823.536.000,- (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh

enam ribu rupiah) .

2. Hasil Penyidikan

Dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi

bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada

proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon,

Kota Semarang tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp

823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam

ribu rupiah) yang diduga dilakukan oleh Pelaku dengan kronologi perkara

sebagai berikut :

1. Pada tahun 2010 telah terjadi peralihan hak atas tanah dan

bangunan HM 295/ Kalibantengkulon, Kota Semarang sebanyak

2 (dua) kali yaitu :

a. Tanggal 25 Nopember 2010 dari Penjual ke Pembeli I sesuai

AJB No. : 747/2010, tanggal 25 Nopember 2010 dengan nilai

transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.

b. Tanggal 3 Desember 2010 dari Pembeli I (penjual) ke

Pembeli II sesuai dengan AJB No. : 764/2010, tanggal 3

Desember 2010 dengan nilai transaksi sebesar Rp

4.000.000.000,00.

91

2. Atas 2 peralihan hak (AJB) tersebut di atas timbul kewajiban para

pihak untuk pembayaran pajak, dengan penghitungan besaran

masing-masing sebagai berikut :

a. PPh Final / SSP = 5% x NJOP PBB

Yaitu 5 % x 4.127.000.000,00 = Rp 206.384.000,00

b. BPHTB / SSB = NJOP PBB – NPOP TKP (Rp

20.000.000,00) x 5%

Yaitu 4.127.000.000,00 – Rp 20.000.000,00 x 5% =

Rp 205.384.000,00

3. Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) pada masing-masing

AJB tersebut selaku wajib pajak telah menyerahkan / menitipkan

uang pembayaran pajaknya kepada Notaris dan PPAT Pelaku

selaku PPAT yang menangani proses peralihan hak ;

4. Total pembayaran pajak yang diserahkan melalui Notaris dan

PPAT Pelaku sebesar Rp.823.536.000,00 yang dibayarkan oleh

masing-masing pihak dalam 2 (dua) tahap sesuai pelaksanaan

penandatanganan AJB yaitu tanggal 25 Nopember 2010 dan 3

Desember 2010, masing-masing sebesar Rp.411.768.000,00 di

Kantor Notaris dan PPAT Pelaku , Jl. Kartini Raya No. 77

Semarang ;

5. AJB No. : 747/2010 tanggal 25 Nopember 2010, Setelah

menerima uang pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final sebesar

Rp.411.768.000,00 pada tanggal 25 Nopember 2010 tersebut,

PPAT Pelaku selanjutnya menghubungi Pemalsu (oknum broker

pemalsu dan pengurusan peralihan hak di Kantor

Pertanahan/pensiunan pegawai BPN Kota Semarang) untuk

meminta tolong dibuatkan slip setoran pajak dari Bank Persepsi

dan validasi formulir SSB dan SSP dengan kompensasi 10% dari

nilai pajak ;

6. Kemudian berkas formulir SSB dan SSP yang sudah diisi nominal

pajaknya serta sudah ditandatangani oleh PPAT Pelaku, tetapi

belum ada validasi pembayaran dari Bank Persepsi diserahkan ke

Pemalsu melalui Karyawan Pelaku I (karyawan PPAT Pelaku) di

tempat kos nya Pemalsu ;

7. Pemalsu dalam memalsukan slip setoran dan validasi Bank

Persepsi tersebut, bekerja sama dengan Karyawan Pelaku I

(pelaku pemalsuan) ;

92

8. Selang 2 hari, formulir SSP dan SSB tersebut diserahkan kembali

dari Pemalsu kepada Karyawan Pelaku I di kantor Notaris dan

PPAT Pelaku dan kedua formulir tersebut sudah ada dilengkapi

validasi Bank persepsi (stempel Bank, nama & tanda tangan

Teller, Cap lunas) serta resi/ Slip setoran pembayaran pajak dari

Bank Persepsi), kemudian Pemalsu menerima amplop coklat

berisi uang melalui Karyawan Pelaku I sebagai kompensasi / fee

dari Pelaku atas pekerjaan pemalsuannya tersebut ;

9. Untuk AJB No. : 764/2010 tanggal 3 Desember 2010, proses

pembayaran pajak dari wajib pajak dan pemalsuannya sama

dengan proses pada AJB No. : 747/2010 tanggal 25 Nopember

2010 , namun transaksi yang terakhir ini, Pemalsu tidak mendapat

upah/ fee dari Pelaku sebagaimana yang telah dijanjikan karena

terdapat kesalahan penulisan ;

10. Selanjutnya bukti pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final

tersebut (SSP, SSB dan resi/ Slip Setoran dari Bank Persepsi)

dijadikan lampiran pendaftaran balik nama Sertifikat di Kantor

Pertanahan Kota Semarang dan sertifikat telah beralih nama ke

pembeli ;

11. Setelah menerima berkas SSP dan SSB tersebut Pemalsu

kemudian menghubungi Karyawan Pelaku I (pelaku pemalsuan

validasi pembayaran pajak) untuk mengambil berkas SSP dan

SSB tersebut di kosnya Pemalsu di Jl. Singa Semarang (belakang

pom bensin Majapahit), pada saat Karyawan Pelaku I mengambil

berkas blangko SSB dan SSP tersebut, Pemalsu memberikan uang

sebesar Rp.1.000.000,00 kepada Karyawan Pelaku I sebagai

imbalan jasa memalsukan validasi pembayaran pajak tersebut;

12. Selang 2 hari, setelah proses pemalsuan validasi bank persepsi

selesai, formulir SSP dan SSB yang sudah divalidasi/ stempel

palsu bank persepsi berikut slip setoran palsunya tersebut

diserahkan kembali kepada Pemalsu oleh Karyawan Pelaku I di

kosnya Pemalsu di Jl. Singa Semarang (belakang pom bensin Jl.

Majapahit), selanjutnya dokumen SSP dan SSB yang telah

divalidasi palsu berikut slip setoran palsu Bank Persepsi di

serahkan oleh Pemalsu melalui Karyawan Pelaku I di kos Pak

Pemalsu Jl. Singa Semarang (belakang pom bensin Jl. Majapahit)

93

13. Oleh Pelaku uang fee yang akan diberikan kepada Pemalsu

tersebut dimasukkan ke dalam amplop coklat besar dan

memerintahkan kepada Karyawan Pelaku I untuk memberikannya

kepada Pemalsu, kemudian ketika Pemalsu datang ke Kantor

Pelaku di Jl. Kartini Raya No. 77 Semarang, amplop coklat berisi

uang tersebut diserahkan kepada Pemalsu ;

14. Setelah berkas SSP dan SSB berikut slip setoran palsunya tersebut

diambil oleh Karyawan Pelaku I dari kosnya Pemalsu, selanjutnya

diserahkan kepada Pelaku di ruang kerjanya dan oleh Pelaku

dokumen SSB da SSP yang telah divalidasi/ distempel palsu Bank

Persepsi berikut slip setoran palsunya kemudian diserahkan

kepada Karyawan Pelaku II guna pengurusan di kantor

Pertanahan Kota Semarang

15. Dalam proses pendaftaran peralihan hak SHM No. 295/

Kalibanteng Kulon dari Penjual ke Pembeli I, PPAT Pelaku

menugaskan stafnya bernama Karyawan Pelaku II untuk

mengurus proses peralihan hak dengan lampiran pendaftaran

sebagai berikut:

a. Surat Pengantar dari PPAT;

b. Akta Jual Beli;

c. Foto copy Kartu Keluarga (KK), atau Surat Nikah;

d. Foto copy KTP penjual dan pembeli;

e. Blangko bukti pembayaran pajak BPHTB setoran SSB

lembar ke 5;

f. Blangko bukti pembayaran pajak PPH setoran SSP lembar ke

5;

g. Sertifikat Aslinya.

16. Karyawan Pelaku II mendaftarkan proses peralihan hak tersebut

pada tanggal 29 November 2010 dan proses peralihan hak selesai

(sertifikat telah beralih nama menjadi a.n. Pembeli I) pada tanggal

1 desember 2010.

17. Pada proses peralihan hak yang pertama ini, proses pendaftaran

peralihan hak di kantor Pertanahan Kota Semarang tanggal 29

Nopember 2010 dan selesai tanggal 1 Desember 2010 ;

18. Untuk proses peralihan hak yang kedua (AJB No. : 764/2010

tanggal 3 Desember 2010) dari Pembeli I ke Pembeli II, proses

94

pemalsuannya juga sama melalui Pemalsu dan Karyawan Pelaku I

dengan janji fee atau imbalan sebesar 10%, namun sampai dengan

proses peralihan hak selesai (sertifikat telah beralih kepemilikan

dari Pembeli I menjadi atas nama Pembeli II) dan hingga perkara

ini disidik) Pemalsu dan Karyawan Pelaku I belum mendapatkan

fee dari Pelaku atas jasanya memalsukan validasi pembayaran

pajak tersebut karena terdapat kesalahan penulisan ;

19. Pada proses peralihan hak yang kedua ini juga proses pendaftaran

peralihan haknya juga sama dilakukan oleh Karyawan Pelaku II

atas perintah dari Pelaku dengan menggunakan syarat

kelengkapan salah satunya adalah bukti pembayaran pajak palsu

(SSB dan SSP berikut resi setoran pajak Bank Persepsi) pada

tanggal 6 Desember 2010 dan selesai tanggal 9 Desember 2010;

20. Berdasarkan hasil penyidikan ditemukan fakta bahwa Slip setoran

Bank Persepsi berikut validasi Bank nya pada formulir SSB

(BPHTB) dan SSP (PPH Final) telah dipalsukan, dan uang

pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final atas peralihan hak atas

tanah dan bangunan SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon senilai

total Rp 823.536.000,00 tidak pernah dibayarkan ke Bank

Persepsi dan tidak masuk ke Kas Negara (MPN).

Sebagaimana diuraikan diatas dimana proses peralihan hak atas

sertifikat HM No. 295/ Kalibanteng Kulon, Pelaku secara sadar melakukan

proses peralihan hak atas tanah dan bangunan sekaligus menawarkan diri

untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.

Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh (Final)

tersebut, justru Pelaku meminta kepada Pemalsu untuk dibuatkan bukti setor

pembayaran BPHTB dan PPh (Final) tidak benar/palsu(fiktif) dan

menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan PPh (Final) yang tidak

benar/palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui oleh Pelaku .

95

Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah

Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan terdakwa Pelaku selaku

Notaris/PPAT dari para wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang

seharusnya milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 tahun

2003 Tentang Keuangan Negara.

Akibat perbuatan Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu dan Karyawan

Pelaku I telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yaitu diri Pelaku. dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar

Rp.823.536.000,-

Perbuatan Pelaku merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam

Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan pasal 9 UU RI No. 31 Tahun 1999 yang telah

dirubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi jo Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan

UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo

Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

96

B. Analisis Tidak Disetorkan Uang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan Dalam kategori sebagai Tindak Pidana

Korupsi

1. Dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Penggelapan uang

pajak pada proses peralihan hak atas jual beli tanah dan

bangunan

Dalam hasil penyidikan proses peralihan hak atas tersebut di atas,

Pelaku telah dengan sadar telah melakukan proses peraihan atas tanah

tersebut sekaligus menawarkan diri untuk membayarkan BPHTB da PPh

Final atas peralihan ha tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak pernah

dilakukan oleh Pelaku. Yang terjadi adalah Pelaku meminta kepada Pemalsu

untuk membuat bukti pembayaran BPHTB dan PPh (Final) palsu, sementara

uang sejumlah Rp. 823.536.000 yang diberikan oleh wajib pajak yang

semestinya di setorkan ke kas negara berada dalam penguasaan Pelaku .

Secara hukum uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah

Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku , sudah menjadi

uang negara sejak terjadinya peralihan hak atas tanah, oleh karena itu adalah

hak negara untuk menerima uang tersebut. Sehingga Pelaku sebagai pejabat

yang dititipkan berkewajiban (diharuskan) untuk menyetorkan uang tersebut

ke kas negara.

97

Tindakan lain yang mungkin dilakukan dimana perbuatan tesebut

dilakukan dengan melanggar kewajiban hukum atau menyalahgunakan

kewenangan dan jika perbuatan tersebut dapat mengakibatkan lenyap/ hilang

sebagaian atau seluruhnya uang tersebut, maka sama artinya dengan

melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara.

Dalam proses pembalikan nama berikut pembayaran pajak BPHTB

pada Negara terdapat perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum

yaitu uang setoran pajak PPh Final dan BPHTB sejumlah Rp 823.536.000,00

yang berada dalam kekuasaan Notaris dan PPAT Pelaku dari para wajib

pajak tersebut, Penguasaan notaris/PPAT disebabkan karena kedudukannya

sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, namun

notaris/PPAT bukan sebagai pemiliknya. Sifat uang Negara menjadi melekat

/ timbul atas sejumlah uang Rp 823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib

pajak yang in casu pihak wajib pajak mempercayakan dan menyerahkan uang

itu pada dan diterima notaris/PPAT, sebagai pejabat yang karena

kedudukannya sebagai PPAT boleh menerima titipan untuk disetor ke kas

Negara sehingga pertanggungjawaban pidana atas perbuatan tersebut adalah

Notaris / PPAT Pelaku; Pemalsu (pensiunan pegawai BPN), dan Karyawan

Pelaku I, Notaris / PPAT berwenang dan boleh menerima titipan pajak PPh

Final dan pajak BPHTB sesuai tugasnya sebagai PPAT yang menyelesaikan

akta-akta peralihan hak atas tanah berdasarkan atas kepercayaan menurut

98

hukum kebiasaan yang berlaku terus menerus dan diakui dan diterima

masyarakat dan berlaku dalam praktik, dan telah diterima dalam birokrasi

pengurusan hak-hak atas tanah dan peralihannya, maka dibenarkan notaris /

PPAT menerima titipan pajak BPHTB yang langsung berhubungan dengan

tugasnya hal tersebut bisa masuk pada ranah tindak pidana korupsi, karena

uang pajak PPh Final dan pajak BPHTB sejak diserahkan/dipotong oleh

notaris / PPAT dan berada dalam kekuasannya telah berubah sifat menjadi

uang Negara. Maka terhadap uang Negara tidak dibenarkan melakukan

perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan hukum yang menjadi

kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan oleh seseorang

pejabat in casu notaris/PPAT terhadap uang itu in casu menyetorkannya ke

kas Negara. Apabila melakukan perbuatan yang lain itu sama dengan

perbuatan melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan perbuatan

menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat) menimbulkan

lenyap/hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat dari perbuatan

itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian

keuangan negara, sehingga peristiwa tersebut bisa disangkakan Pasal 2 ayat

(1) UU TPK, dengan analisis hukumnya bahwa rangkaian perbuatan

Notaris/PPAT tidak membayarkan uang tersebut ke bank persepsi, tetapi

memberikan dokumen berupa formulir SSP / PPh Final dan SSB / BPHTB

yang telah diisi data wajib pajak kepada Pemalsu (pensiunan pegawai BPN)

99

untuk divalidasi / dipalsukan validasinya (stempel bank persepsi) dengan

perjanjian diberi imbalan 10% oleh Pelaku; Kemudian Pemalsu menghubungi

Karyawan Pelaku I untuk memvalidasi / dipalsukan validasinya (stempel

bank persepsi) formulir SSP / PPh Final dan SSB / BPHTB dan akan

memberikan imbalan kepadanya, selanjutnya bukti pembayaran pajak SSB /

BPHTB dan SSP / PPh Final tersebut dijadikan lampiran pendaftaran balik

nama Sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Semarang dan sertifikat telah

beralih nama ke pembeli, adalah merupakan wujud dari perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain, dimana karena perbuatan itu

masing-masing mereka mendapatkan kekayaan dari sebagian uang Negara

tersebut, yang karena itu menimbulkan kerugian uang Negara, yang kedua

rangkaian perbuatan itu telah mengandung sifat melawan hukum karena

bertentangan dengan kewajiban hukumnya, dimana seorang notaris itu

menyandang kewajiban hukum terhadap/mengenai perlakuan terhadap uang

Negara, yang bila dilanggarnya itu sama artinya dengan mengandung sifat

melawan hukum, sama artinya juga dengan penyalahgunaan kewenangan

jabatan. Pada setiap penyalahgunaan wewenang jabatan selalu mengandung

sifat melawan hukum, dan Bisa juga disangkakan Pasal 3 UU TPK, dengan

analisis hukum Bahwa seluruh rangkaian perbuatan yang terjadi yang

dilakukan notaris/PPAT tadi dapat dikualifiser sebagai perbuatan

menyalahgunakan kewenangan jabatan, Sementara perbuatan Sdr. Pemalsu

100

dan Karyawan Pelaku I dapat dikualifiser sebagai perbuatan turut serta dalam

perbuatan notaris/PPAT menyalahgunakan kewenangan jabatan.

Sebagaimana diketahui bahwa bagi pelaku peserta tidak harus berkualitas

yang sama dengan orang yang melakukan (pelaku pelaksanaannya), yang in

casu sebagai Notaris/PPAT. Kedua orang itu bisa berkualitas sebagai pelaku

peserta dalam hal Notaris/PPAT menyalahgunakan kewenangan jabatannya,

meskipun kedua orang lainnya itu bukan seorang notaris ; Perbuatannya itu

(dapat) menimbulkan kerugian keuangan Negara;

Berdasarkan hasil penelitian, bahwa proses peralihan hak atas jual beli

tanah dan bangunan di Jalan Siliwangi 440 Kalibantengkulon semarang,

dilaporkan bahwa uang pajak pada proses peralihan hak atas jual beli tanah

dan bangunan telah disalahgunakan oleh PPAT dimana terjadinya Tindak

Pidana Korupsi Penggelapan uang pajak pada proses peralihan hak atas jual

beli tanah dan bangunan. Dengan cara memalsukan dokumen setoran SSB di

bank BPD Jateng dan Setoran SSP di bank BTN Cab. Semarang seakan-

akan sudah terjadi Pembayaran Pajak BPHTB setoran SSB &

SSP sebesar Rp.411.768.000,-(empat ratus sebelas juta tujuh ratus

enam puluh delapan rupiah) Oleh karena itu kasus ini dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi bukan kasus tindak

pidana perpajakan, karena bukan dilakukan oleh wajib pajak.

101

2. Kewenangan PPAT dikaitkan dengan Uang Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Uang

Negara dan Tindak Pidana Korupsi

Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat (1) UU BPHTB, menyebutkan

bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak

dan bukan kewajiban PPAT/Notaris, karena dalam pasal tersebut dikatakan

bahwa Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan

hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah Wajib Pajak menyerahkan

bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB. Dalam

penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyerahan bukti pembayaran

pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak (SSB) dan

menunjukkan aslinya.

Oleh karena itu Notaris disini hanya berperan untuk membantu klien

untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-undang juga tidak mengatur,

bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran

BPHTB. Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah dengan melakukan

verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada.

Dengan demikian, kewenangan maupun tanggung jawab PPAT

berkaitan dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang

Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sesungguhnya hanya sebatas

melakukan penandatanganan atau pengesahan terhadap SPPD-BPHTB

102

sebelum ditanda tanganinya akta peralihan yang diinginkan para pihak. Jadi

tanggung jawab PPAT bukan menjadi tempat pembayaran pajak BPHTB,

maka sebaiknya PPAT menolak dan menyarankan serta menghimbaukan

kepada para kliennya untuk melakukan pembayaran pajak BPHTB di Dinas

Pendapatan Daerah terlebih dahulu sebelum menandatangani akta peralihan

hak atas tanah.

Lebih lanjut, dalam pelaksanaan pembayaran BPHTB, PPAT sebagai

salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta perolehan hak atas

tanah dan bangunan selain berperan dalam membantu tugas kantor pelayanan

pajak guna mengamankan penerimaan Negara dari sektor pajak, juga dapat

menimbulkan akibat hukum bagi PPAT jika melanggar ketentuan Pasal 24

ayat (1) Undang-undang BPHTB.

Dalam suatu transaksi jual beli tanah dan atau bangunan, pembeli

biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran BPHTB kepada

notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk melakukan pemalsuan terjadi.

Dari hasil penelitian penulis kasus Pelaku, SH Ssebagai Notaris/PPAT

telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk

disetorkan. Akan tetapi tidak pernah mebayarkannya ke kas negara

sebaliknya notaris telah melakukan pemalsuan surat setoran bea (SSB)

perolehan hak atas tanah dan bangunan dan surat setoran pajak (SSP).

103

Sebagaimana dalam Undang-undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB) menentukan beberapa Pejabat yang berwenang

dalam pemenuhan ketentuan BPHTB atas suatu perolehan hak atas tanah dan

bangunan. PPAT/Notaris ini diberi kewenangan untuk memeriksa apakah

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang sudah

disetorkan ke Kas Negara oleh Pihak yang memperoleh hak sebelum pejabat

yang berwenang menandatangani dokumen yang berkenaan dengan

perolehan dimaksud.

Pejabat yang dimaksud tersebut ditunjuk karena kewenangannya dalam

pembuatan akta dan pengesahan terjadinya perolehan hak. Pejabat tersebut

adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang dan Pejabat

Pertanahan. Pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud oleh

Undang-undang, dalam pelaksanaannya mempunyai tugas pokok dan fungsi

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 dan UU PDRD:

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pelaksanaan

Undang-Undang tentang BPHTB mempunyai tugas pokok dan

fungsi membuat serta menandatangani akta peralihan hak atas

tanah dan atau bangunan setelah subyek/wajib pajak BPHTB

menyerahkan bukti penyetoran biaya pajak ke Kas Negara.

Kemudian Pejabat Pembuat Akta Tanah melaporkan pembuatan

akta Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan tersebut

104

kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada

tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.1

Menurut Habib Adjie, apabila akta PPAT telah dapat menjawab

pertanyaan mengenai telah terpenuhi kecakapan dan kewenangan sedang

Kantor Pertanahan masih memerlukan persyaratan yang berkaitan dengan

terpenuhinya kecakapan dan kewenangan, maka Kantor Pertanahan akan ikut

bertangung jawab atau setidak-tidaknya telah mengurus sesuatu hal yang

seharusnya menjadi tanggung jawab PPAT.2

Dalam UU No. 28 tahun 2009 disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta

Tanah atau Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas

tanah dan atau bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti setoran

pajak berupa SSB. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa

penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi

pembayaran pajak (SSB) dan menunjukkan aslinya.

Berdasarkan UU PDRD, bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah

kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris, karena

dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat

menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada

saat setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB

berupa Surat Setoran BPHTB. Oleh karena itu, salah satu tugas Notaris disini

1 Adjie, Habib, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT Citra

Aditya

Bandung, Bandung, 2009, h 16. 2 Ibid

105

berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-

undang juga tidak mengatur bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui

kebenaran pembayaran BPHTB.3 Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah

dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran

dengan data yang ada.4

Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaris

telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk

disetorkan. Maka berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang BPHTB,

Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris maka kewajiban

pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan

kewajiban PPAT/Notaris akan tetapi karena notaris tersebut telah menerima

penitipan uang pembayaran BPHTB tersebut dari kliennya maka Notaris

tersebut bertanggung jawab dalam jabatannya untuk menyetorkan pajak

BPHTB tersebut karena telah dipercaya oleh kliennya.

Oleh karena itu notaris dalam menjalankan jabatannya serta

melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada kliennya tetap

menghormati dan menjunjung tinggi kode etik profesi dan senantiasa

menghayati dan mengingat sumpah jabatannya.

Sebelum menjelaskan lebih lanjut terkait adanya penyalahgunaan

wewenang dalam pemungutan BPHTB dalam kasus Pelaku, ada baiknya

3 Hasil wawancara dengan Pelaku, Notaris/PPAT, Semarang, 4 April 2016 4 Hasil wawancara dengan Pelaku, Notaris/PPAT, Semarang, 4 April 2016

106

disamakan persepsi bahwa pemungutan pajak apapun harus berdasarkan

hukum. Selanjutnya, harus pula disepakati bahwa dasar hukum atau legalitas

pajak dan retribusi daerah adalah peraturan daerah. Artinya, selama tidak ada

peraturan daerah, maka pungutan apapun bentuknya termasuk pungutan liar,

ilegal, dan masuk kategori perbuatan melawan hukum.

Untuk menyamakan persepsi tersebut, maka menurut Pasal 23A

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, pajak dan pungutan lain

yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-

Undang. Artinya, negara dengan kekuasaannya tidak bisa sewenang-wenang

memungut pajak apapun tanpa ada dasar hukum atau undang-undang.

Menurut Sugiharto bahwa peningkatan pendapatan dari bidang pajak,

dapat dilakukan dengan menetapkan strategi yang tepat dalam pemungutan

pajak, banyak hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemungutan pajak

antara lain adalah asas dalam pemungutan pajak.5 Dalam pemungutan pajak

terkait beberapa asas yakni asas yuridis, ekonomis dan finansial:

1) Asas Yuridis

Menurut asas ini untuk menjamin bahwa pemungutan pajak

mencerminkan keadilan maka hukum pajak harus memberikan jaminan

hukum yang nyata bagi Negara maupun bagi warganya, oleh karena itu

maka pajak yang dipungut untuk kepentingan negara harus berdasarkan

5 Sugiharto, Op. cit, 2003, hal 37

107

undang-undang. Di Indonesia landasan hukum pemungutan pajak untuk

kepentingan negara adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945.

2) Asas Ekonomi

Asas ekonomi lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara

menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat,

untuk itu maka pemungutan pajak diupayakan tidak menghambat

kelancaran perkembangan ekonomi juga akan selalu memperhitungkan

biaya untuk melakukan pemungutan pajak (collection ratio) relevan

dengan jumlah penerimaan yang diharapkan. Selain itu tidak kalah

pentingnya asas ekonomi dalam pemungutan pajak ini justru lebih

dekat dengan fungsi pengaturan (regulerred).

3) Asas Finansial

Suatu pemahaman bahwa fungsi pajak adalah fungsi budget, yaitu

fungsi pajak untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam

kas negara, sehubungan dengan itu agar hasil pemungutan pajak besar

maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.

Mengingat bahwa pajak adalah pungutan paksa yang dilakukan oleh

pemerintah kepada wajib pajak tanpa kontraprestasi secara langsung yang

dapat ditunjuk, menurut Miyasto dalam Dewi Kania Sugiharti bahwa

pungutan pajak harus memenuhi asas-asas sebagai berikut:

108

1) Asas legal, berdasarkan asas ini setiap pemungutan pajak harus

didasarkan pada undang-undang. Oleh karena itu setiap peraturan

perpajakan, baik yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah, maupun

peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus ada referensinya dalam

undang-undang”.

2) Asas kepastian hukum, menurut asas ini ketentuan-ketentuan

perpajakan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan dan kebingungan,

tetapi harus jelas dan mempunyai pengertian sehingga tidak bersifat

ambigu. Ketentuan-ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda akan

menimbulkan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para

penyelundup pajak.

3) Asas efisien, dimana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian

digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintah

dan pembangunan. Oleh karena itu suatu pungutan pajak harus efisien,

jangan sampai biaya pemungutannya justru lebih besar dari hasil

penerimaan pajaknya sendiri.

4) Asas non distorsi, berdasarkan asas ini Pajak yang dipungut harus tidak

menimbulkan distorsi di dalam masyarakat, terutama distorsi ekonomi,

pengenaan pajak seharusnya tidak menimbulkan dampak kelesuan

ekonomi dan menghambat perkembangan ekonomi tetapi sebaliknya

dapat memberikan stimulasi terhadap perkembangan dunia usaha.

109

5) Asas kesederhanaan, dalam hal ini yang dimaksud bahwa aturan-aturan

perpajakan, harus dibuat secara sederhana sehingga mudah dimengerti

oleh masyarakat wajib pajak, maupun oleh fiskus sebagai pihak-pihak

yang terkait dengan perpajakan. Sederhana dalam sistem maupun tata

caranya sehingga wajib pajak mudah dalam melaksanakan

kewajibannya maupun haknya. Aturan-aturan pajak yang rumit

disamping akan menyulitkan dalam pelaksanaan perpajakan juga akan

menimbulkan penafsiran yang berbeda sehingga dapat celah hukum

(loopholes) dan memudahkan terjadinya penghindaran pajak,

disamping itu juga dapat menimbulkan keengganan bagi wajib pajak.6

Asas-asas tersebut akan dijadikan notaris, untuk memposisikan diri,

menimbang kebenaran informasi yang diberikan, hal ini berkaitan dengan

landasan logis dari Notaris dalam menilai suatu transaksi, logis dalam

mengkaji nilai riil dari transaksi tersebut.

Lebih lanjut, dengan pertimbangan Undang-Undang 22 tahun 1999

yang disempurnakan oleh Undang-Undang 32 tahun 2004 yang intinya

terdapat pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah, diharapkan terciptanya kemandirian pengelolaan

pemerintahan daerah melalui sistem otonomi daerah. Atas dasar itulah, maka

Pemerintah Pusat mengalihkan beberapa pemungutan pajaknya kepada

6 Miyasto dalam Dewi Kania Sugiharti , Op. cit, 2005, hal 20

110

Pemerintah Daerah, salah satunya adalah Pajak BPHTB dengan dasar

Undang-Undang 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Merujuk dalam kasus ini, maka suatu transaksi jual beli tanah dan atau

bangunan, pembeli biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran

BPHTB kepada Notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk

menggunakan uang titipan tidak sebagaimana mestinya. Namun demikian,

belum tentu kesalahan selalu ada pada notaris. Karena, bisa saja pemalsuan

dilakukan justru oleh pembelinya sendiri.

Dengan cara memalsukan SSB dan SSP tersebut, yang mana telah

dilaporkan dan dilakukan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Daerah Jawa

Tengah yang dapat dianalisis, sebagai berikut :

Bahwa pada bulan November sampai dengan Desember

2010 atau setidak-tidaknya pada tahun 2010 di Kota Semarang

telah diduga terjadi tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti

setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB

dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan

bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun

2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00

(delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu

rupiah) yang dilakukan oleh Pelaku. Pelaku, dkk, sebagaimana

dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau pasal

9 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan

ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU Rl No. 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU

Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana

korupsi jo Pasal 88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaris

Pelaku melakukan proses pembalikan nama berikut pembayaran pajak

111

BPHTB dan PPh (Final) sebagaimana diuraikan diatas terdapat perbuatan

yang mengandung sifat melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang di

mana proses pembalikan nama sertifikat HM No. 295 Kalibanteng Kulon

tersebut, Pelaku secara sadar menyalahgunakan kewenangan selaku PPAT

yang mempunyai kewenangan melakukan proses peralihan hak atas tanah dan

bangunan tetapi sekaligus menawarkan diri untuk jasa pembayaran BPHTB

dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.

Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh (Final)

tersebut, Pelaku justru meminta bantuan sdr. Pemalsu (Pensiuan pegawai

BPN Kota Semarang) untuk dibuatkan bukti setor pembayaran BPHTB dan

PPh (Final) palsu dan menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan

PPh (Final) yang palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui

oleh Pelaku . Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah

Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris /

PPAT dari wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya

disetorkan ke Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib

disetorkan ke Kas Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang

wajib disetorkan ke Kas Negara oleh Pelaku selaku Notaris / PPAT, dalam

jumlah yang sama. Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final)

sejumlah Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku

Notaris/ PPAT adalah merupakan uang yang seharusnya disetorkan ke

112

Negara atau masuk keuangan Negara karena uang setoran pajak BPHTB dan

PPh (Final) adalah menjadi hak Negara, meskipun secara fisik belum dalam

penguasaan Negara melainkan masih dalam penguasaan Pelaku selaku

Notaris/ PPAT disebabkan karena kedudukannya sebagai PPAT yang

menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, yang menawarkan diri

kepada para wajib pajak untuk membayarkan uang pajak tersebut.

Sifat uang Negara menjadi melekat / timbul atas sejumlah uang Rp.

823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib pajak yang in casu pihak wajib

pajak mempercayakan dan menyerahkan uang itu pada dan diterima Notaris /

PPAT, sehingga pejabat yang karena kedudukannya sebagai PPAT boleh

menerima titipan untuk disetor ke Kas Negara tentunya melalui Bank

Persepsi.

Maka terhadap uang yang seharusnya disetorkan ke Negara tidak

dibenarkan melakukan perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan

hukum yang menjadi kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan

oleh seorang pejabat in casu notaris / PPAT (Pelaku ) terhadap uang itu in

casu menyetorkannya ke Kas Negara. Maka apabila melakukan perbuatan

tidak menyetorkan uang titipan yang seharusnya milik Negara sama dengan

perbuatan yang melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan

perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat)

menimbulkan lenyap / hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat

113

perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan

kerugian keuangan Negara, sama artinya dengan tindak pidana korupsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 UU No. 31

Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Akan tetapi, permasalahan yang dibahas dalam kasus yang Penulis

uraikan di atas juga merupakan kasus penggelapan uang titipan pembayaran

pajak BPHTB dan PPh yang diduga dilakukan oleh Pelaku terhadap proses

jual SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon serta menggunakan bukti setor palsu

BHTB / SSB dan PPh (final)/ SSP tersebut untuk syarat kelengkapan berkas

pendaftaran peralihan hak SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon. Akibat

perbuatan tersebut, Negara mengalami kerugian sebesar Rp.823.536.000,00,.

Mengkaji kembali terhadap sejak diberlakukannya Undang-Undang 28

tahun 2009, pemungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat dialihkan kepada

Pemerintah Daerah sejak 1 Januari 2011, seperti yang tercantum dalam Pasal

180, bahwa Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21

Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tetap

berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang

ini. Ketentuan Pasal 180 tersebut tidak serta merta pada 1 Januari 2011 itu

114

Pemda bisa langsung memungutnya, sebab ada syarat yang harus dipenuhi,

sebagaimana isi Pasal 184, bahwa peraturan pelaksanaan atas Undang-

undang ini ditetapkan paling lambat satu tahun sejak Undang-undang ini

diundangkan.

Dalam penjelasan dari Pasal 184 yang menyebutkan, peraturan

pelaksanaan atas Undang-undang ini (Undang-Undang 28 tahun 2009) ada

dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-495/MK/2010, bahwa persiapan

yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB antara lain : Landasan hukum

pemungutan BPHTB berupa Peraturan Daerah tentang BPHTB; Sistem dan

Prosedur pemungutan BPHTB, yang ditetapkan dengan peraturan Kepala

Daerah; Data NJOP, untuk validasi pembayaran BPHTB; dan Melakukan

sosialisasi tentang tata cara pemungutan BPHTB kepada pihak terkait

termasuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Notaris, Kantor Lelang, dan

kantor Pertanahan.

Dalam praktek sehari-hari, Wajib Pajak yang mewakilkan kepada

Notaris/PPAT, menyetorkan BPHTB yang terhutang atas transaksi yang

dibuat dihadapannya ( Jual Beli) ke Bank persepsi yaitu Bank BPD Jateng

dan Bank Rakyat Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan Walikota

Nomor 24 Tahun 2011, Surat Setoran BPHTB ini harus diteliti lebih dahulu

(verifikasi) oleh Dinas Pendapatan Kota Semarang, baru dapat dipergunakan

sebagai lampiran dari akta pemindahan hak untuk didaftarkan di Kantor

115

Pertanahan Kota Semarang. Saat ini kegiatan verifikasi ini sudah mulai

mengarah kepada hal-hal yang sifatnya kolektif. Penelitian dilakukan

mencakup 2 hal, yaitu :

1) Kebenaran dari informasi yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak

Daerah (SSPD),

2) Kelengkapan Dokumen pendukung Surat Setoran BPHTB.

Berdasarkan pada Kasus Pelaku, dimana masalah yang timbul

disebabkan karena tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan

Notaris/PPAT melalui kedudukan tugas dan tanggungjawabnya sebagai

pejabat umum untuk menunjang tata cara pembayaran BPHTB.

Faktor utama tersebut, lahir dari praktek notaris, karena memang

permasalahan-permasalahan tersebut sangat menghambat tugas/kerja notaris.

Sanksi terhadap notaris sangat jelas tetapi kenyataannya dukungan

administrasi guna mengefektifkan peran notaris dalam pemungutan BPHTB

hadiah tidak maksimal, contoh lain adalah ketentuan praktek harus dibayar

dulu BPHTB baru dilakukan penandatangan akta, padahal ketentuan lain

sebelum akta ditandatangani belum terjadi peralihan hak, sehingga status

kepemilikan antara pembayaran BPHTB dan sebelum penandatangan akta,

tanah masih milik penjual, karena BPHTB belum merupakan bukti terjadinya

peralihan objek tanah dan bangunan yang dimaksud. Dasar-dasar pemikiran

116

tersebut yang perlu direvisi kembali dalam pola administrasi baru

menyangkut pengaturan dalam pemungutan BPHTB.

Secara hukum, untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang

(penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari segi

sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di

dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu

tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan” (geen

bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no authoritu without

responbility).7 Ini membuktikan bahwa dalam hukum administrasi di setiap

penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun

tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis

memikul tanggung jawab karena harus dapat melihat apakah pejabat yang

bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara

memperoleh dan menjalankan wewenang. Menurut L.J.A Damen, yang

mengatakan bahwa “ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji

dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan

bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan

tertentu”. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap

sebagai penyalahgunaan wewenang.8

7 Nur Basuki, Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana

Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama, hal

75-76 8 L.J.A Damen, 2005, hal 57

117

Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit

beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang,

prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi

harus berdasarkan peraturan perundang–undangan (asas legalitas), karena

pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan

diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur

untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.

Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan

wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam

kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”,

penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam

3 (tiga) wujud yaitu :

1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-

tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk

menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau

golongan,

2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan

pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan

umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan

tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-

peraturan lainnya,

3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan

prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan

tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar

terlaksana.

Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat

merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru

118

sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak

ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.9

Cara dan metode tindak kejahatan korupsi juga semakin canggih,

kejahatan ini semakin bisa mengikuti perkembangan zaman dan juga

mengikuti perkembangan aturan yang ada. Kejahatan ini bermetamorfosis

dengan baik dan semakin rapi dalam prakteknya. Perilaku kejahatan ini

mewabah tidak hanya dalam sisi masyarakat yang secara financial

membutuhkan uang atau dengan kata lain melakukan kejahatan korupsi

berdasarkan terdesak kebutuhan ekonomi, bahkan cenderung mewabah pada

pegawai pemerintah yang dalam sisi ekonomi lebih mapan dan memiliki

pendapatan yang tetap.

Public officials’ excessive desire for material wealth has been

deemed as among the major causes of the rampaging corruption

in Indonesia. This is believed to have contributed to the high

demand for civil servant positions in the government. In fact,

evidence suggests that there is even an underground market for

those who are willing to pay a huge amount of money to succeed

in civil servant recruitments.10

Sudut pandang ini timbul atas terlalu banyaknya kegagalan dalam

upaya pemberantasan korupsi yang hanya melihat korupsi merupakan

kejahatan yang didasarkan pada subjeknya yaitu manusia yang merupakan

makhluk ekonomi yang memiliki kebutuhan. Salah satu upaya yang marak

dilakukan adalah dengan berbagai perubahan kebijakan pemerintah secara

9 Lilik Mulyadi, Op. cit, 2007, hal 5 10 Hendi Yogi Prabowo, Op. cit, 2014, hal 313

119

merata maupun pihak swasta untuk meningkatkan gaji Pemalsu, yang

terbukti belum maksimal untuk menekan angka kejahatan korupsi. Oleh

karena itu, menempatkan korupsi dalam kerangka manusia sebagai makhluk

ekonomi atau homo economicus sungguh tidak memadai.

Barangkali karena kerangka pemikiran ini, pemberantasan korupsi

tidak bisa dilakukan secepat harapan kita semua. Praktis hampir semua

kebijakan pemberantasan korupsi dirancang berdasarkan kerangka pemikiran

yang menggunakan asumsi homo economicus itu. Korupsi diberantas dengan

menaikkan gaji dan meningkatkan hukuman untuk membuat efek jera. Bila

penghasilan resmi dinaikkan, maka seseorang tidak akan tergoda untuk

mencari tambahan penghasilan melalui cara-cara korupsi. Demikian juga

ketika ancaman hukuman diperberat, seseorang tidak akan berani lagi

melakukan korupsi.11

Namun penegakan hukum tidak akan pernah berhenti begitu saja, sebab

bagaimanapun juga hukum akan terus mengikuti kemajuan jaman dan

kebutuhan masyarakat. Metamorfosis hukum sama halnya juga dengan

kejahatan, selalu akan berubah seiring jaman. Dalam hal ini yaitu

permasalahan kejahatan korupsi, hukum di Indonesia juga terus berkembang.

Berdasar pada salah satu tuntutan dari rakyat Indonesia adalah pemberanasan

korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang diawali dengan adanya Ketetapan

11 J Danang Widoyoko, Op. cit, 2013, hal v

120

MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan

Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lalu secara yuridis normatif

berbagai peraturan perundang-undangan sebagai sarana pemberantasan

korupsi mulai tercipta, dinataranya yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, selanjutnya

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang telah dirubah ke dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

Sehingga saat ini Indonesia memakai Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagai salah satu cara untuk memberantas korupsi dengan

pendayagunaan hukum pidana.

Dalam tata hukum Indonesia, istilah Korupsi sudah dikenal setelah

diundangkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tentang

Pemberantasan Korupsi, yang selanjutnya mengalami perubahan dan

pembaharuan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 tentang

Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, hingga

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kini Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sejak berlakunya KUHP

(sejak Pemerintah Kolonial Belanda Wetboek van Strafrecht voor

Nederlandsch, S 1915 No. 732, mulai berlaku 1 Januari 1918) sudah ada

121

pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi. Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana (termasuk

dalam hukum pidana khusus) didayagunakan untuk menanggulangi tindak

pidana korupsi. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu sarana

(penal) yang memerlukan sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan

kesemuanya itu sebagai pengoperasian perundang-undangan pidana dalam

masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari problema kemasyarakatan

menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya.12

Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan,

lebih konkretnya mengoperasikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka

penanggulangan tindak pidana korupsi akan menghadapi problema

keterbatasan kemampuannya. Mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni

korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dilihat dari

pelaku dan modus operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar

crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama

sudah seharusnya dimanfaatkan. Bahkan dalam perkembangannya, bukan

hanya secara peraturan perundang-undangan saja yang dimaksimalkan dan

12 http://dickyfh.blogspot.com/2012/06/vbehaviorurldefaultvmlo_6184.html

122

semakin berkembang, namun juga instansi dan metode dari para aparat

penegak hukum untuk dapat memberantas korupsi yang merajalela di

Indonesia.

C. Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Korupsi Pada

Penyimpangan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah

Dan Bangunan (BPHTB)

Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila

perbuatan tersebut telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal atau aturan

yang mengatur dimana perbuatan tersebut dinyatakan dilarang. Dalam hal

adanya suatu dugaan tindak pidana, penegak hukum harus dapat menyidik

untuk memperoleh kejelasan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku

benar merupakan suatu tindak pidana. Proses hukum lalu berlanjut dengan

penerapan sanksi untuk mengetahui peraturan apa saja yang telah dilanggar

serta sejauh mana perbuatan pelaku melanggar perturan tersebut. Pada

akhirnya, setelah melalui proses pembuktian, diputuskanlah sanksi pidana

yang akan diterapkan kepada pelaku.

Menurut Utrecht Hukum adalah himpunan peraturan (baik berupa

perintah maupun larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat

dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh

karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan

dari pihak pemerintah. Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti

123

ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam

tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara

dapat di selesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim

berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk

menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas

dirinya sendiri.

Dalam tata hukum Indonesia, istilah Korupsi sudah dikenal setelah

diundangkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tentang

Pemberantasan Korupsi, yang selanjutnya mengalami perubahan dan

pembaharuan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 tentang

Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, hingga

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kini Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sejak berlakunya KUHP

(sejak Pemerintah Kolonial Belanda Wetboek van Strafrecht voor

Nederlandsch, S 1915 No. 732, mulai berlaku 1 Januari 1918) sudah ada

pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi. Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana (termasuk

dalam hukum pidana khusus) didayagunakan untuk menanggulangi tindak

pidana korupsi. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu sarana

124

(penal) yang memerlukan sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan

kesemuanya itu sebagai pengoperasian perundang-undangan pidana dalam

masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari problema kemasyarakatan

menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya.13

Dalam upaya pembuktian Tindak Pidana Korupsi, terjadi perbedaan

pendapat diantara praktisi hukum mengenai apakah Perkara Pokok dari

Tindak Pidana Korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu atau tidak? apa yang

sebenarnya menjadi sumber permasalahannya hingga menyebabkan

perbedaan pandangan tersebut. Dalam hal ini, mencoba menemukan dan

mengkaji sumber permasalahan tersebut, yang dimulai dari penguraian unsur

tersebut.

(1). Setiap orang yang dengan sengaja:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah).

Unsur "Dengan Sengaja":

Jika dalam suatu perumusan tindak pidana digunakan istilah dengan

sengaja, menurut doktrin harus ditafsirkan secara luas, artinya mencakup:

13 http://dickyfh.blogspot.com/2012/06/vbehaviorurldefaultvmlo_ 6184.html

125

kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan dengan kesadaran pasti

atau keharusan (opzet bij zekerheids ofnoodzalijkheids bewustzqn),

kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis). Sehingga

pengertian dengan sengaja sebagai dikehendaki dan diinsyafi telah diperluas.

Jadi menghendaki dan atau menginsyafi tidak hanya berarti apa yang betul-

betul dikehendaki dan atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi juga hal-hal yang

mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu.14

Penempatan unsur kesengajaan, dalam Pasal 2 ditempatkan pada awal

perumusan delik sangat berpengaruh dalam pembuktian unsur-unsur

selanjutnya dalam Pasal yang bersangkutan. Unsur kesengajaan diletakkan

pada awal perumusan delik, atau dengan perkataan lain dibelakang unsur

kesengajaan terdapat unsur-unsur : tindakan terlarang dan diancam pidana

oleh undang-undang, bersifat melawan hukum dan keadaan-keadaan tertentu.

Maka ketiga unsur tersebut harus diliputi oleh unsur kesengajaan. Misalnya :

delik dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999:

“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit I (satu)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling

sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"."

14 Sianturi, EY Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni

AHMPTHM, Jakarta 1982

126

Penempatan unsur kesengajaan di depan perumusan delik

tersebut berarti pelaku harus mengetahui dan/atau menginsyafi :

tindakannya dalam menempatkan harta kekayaan.

sifat melawan hukum dari harta kekayaan tersebut.

Unsur Diketahui dan Patut diduga:

Dilihat dari uraian unsur-unsur diketahui dan patut diduga dalam pasal

3 diatas, dapat dikatakan bahwa pasal tersebut diliputi oleh kesengajaan

(diketahui), 46 tetapi mungkin pula diliputi kealpaan (patut diduga), atau

dalam bahasa latinnya disebut (PRO PARTUS DOLUS PRO PARTUS

CULPA (1/2 Dolus 1/2 Culpa).

Apabila perbuatan menempatkan harta kekayaan itu diketahui bahwa

harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan, maka perbuatan tersebut

disengaja (DOLUS), sedangkan apabila asal-usul harta kekayaan yang

ditempatkannya itu tidak diketahui berasal dari kejahatan tetapi si pelaku lalai

dan kurang hati-hati dalam menilainya maka perbuatan tersebut menjadi lalai

(CULPA).;

Akan tetapi dikarenakan pada awal perumusan delik dalam Pasal 3

telah dicantumkan unsur dengan sengaja, maka akan berakibat lain dengan

unsur patut diduga, sehingga unsur kesengajaan harus termasuk didalamnya.

Misalnya : dalam hal ini Jaksa hanya dapat mendakwa seseorang yang

127

sengaja menempatkan harta kekayaan (diatas 50 juta rupiah) yang dia ketahui

bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari suatu kejahatan korupsi.

Apabila unsur patut diduga dalam Pasal 3 tidak diliputi unsur

kesengajaan, maka Jaksa dapat membarengkan pembuktiannya, si pelaku

yang menempatkan harta kekayaan tersebut mengetahui bahwa harta tersebut

berasal dari korupsi atau seharusnya si pelaku patut menduga bahwa harta

kekayaan tersebut berasal dari kejahatan korupsi, sehingga Jaksa dalam hal

ini dapat membuktikan secara alternatif yaitu harta kekayaan yang diketahui

pelaku tersebut berasal dari korupsi atau dapat memfokuskan pada kealpaan

si pelaku dalam menilai pengetahuannya terhadap harta kekayaan tersebut.

Kemudian dibantu dengan penjelasan Pasal 3 yang menyebutkan yang

dimaksud dengan merupakan hasil tindak pidana yaitu sudah terdapat bukti

permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana, penjelasan tersebut

bertujuan untuk dapat lebih mempermudah pembuktian korupsi dalam hal

adanya perkara pokok tanpa menunggu proses perkara pokoknya tersebut ke

tingkat pengadilan. Hal tersebut dapat diperbandingkan dalam pembuktian

Pasal 480 KUHP soal Penadahan yang dalam rumusan pasal tersebut

sebagian unsurnya diliputi oleh kesengajaan tetapi mungkin pula diliputi oleh

kealpaan (Pro Partus Dolus Pro Partus Culpa), dimana perkara penadahan

dapat diajukan dan diputus dalam sidang pengadilan tanpa menunggu

pembuktian Perkara Pencuriannya.

128

Pasal 480 KUHP

Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun

atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah :

1. barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai,

menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,

menyewakan, menukarkan, menggadai, mengangkut,

menyimpan atau menyembunyikan, sesuatu benda, yang

diketahui atau sepatutnva harus diduga bahwa diperoleh dari

kejahatan penadahan.

Namun ada prinsip dasar dalam Pasal 480 KUHP yang

membedakannya dengan korupsi, yaitu: Pelaku Kejahatan Pokoknya

(misalnya si Pencurinya) tidak dapat dikenakan penadahan walaupun ia

sendiri yang menjual barang hasil curiannya dengan hasrat mendapat untung

(utwinsbejag). Dimana menurut Arrest Hoge Raad tahun 1927 mengenai

Pasal 480 KUHP, ditentukan bahwa pencuri yang dengan hasrat untuk

mendapat untung menjual sendiri barang curiannya, tidak dapat dikatakan

penadahan (helen), sekalipun itu memenuhi unsur yang tersebut dalam Pasal

480 KUHP. Sebab Pasal 480 KUHP dinamakan “kejahatan yang

mempermudah orang melakukan kejahatan”.15

Sedangkan yang dimaksud dengan korupsi adalah suatu proses untuk

menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari

hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan atau penyitaan, dengan

15 M Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan, Edisi

Kedua, Grafika 1991

129

hasil akhir dari proses itu adalah hasil tindak pidana "menjelma" seolah-olah

menjadi harta yang sah.

Sehingga pelaku korupsi selain dikenakan dakwaan Pasal 365 KUHP

tetapi juga dapat dikenakan Dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang,

apabila ia sendiri yang menempatkan harta kekayaan yang berasal dari hasil

korupsi tersebut.

Berkaitan dengan kasus yang diteliti, bahwa Pelaku merupakan

PPAT/Notaris yang terbukti melakukan tindak pidana dengan berbagai

macam rentetan kasus diantarnya Penggelapan uang Pajak, Korupsi dalam

hal ini penyalahgunaan wewenang dalam jabatan.

Atas kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pelaku melalui pemalsuan

SSB dan SSP, telah dilakukan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Wilayah

Polda Jateng yang dapat dianalisis, sebagai berikut :

Bahwa pada bulan November sampai dengan Desember 2010 atau

setidak-tidaknya pada tahun 2010 di Kota Semarang telah diduga terjadi

tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi

pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan

hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang

tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00

(delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah)

yang dilakukan oleh Pelaku, dkk, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat

130

(1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau pasal 9 UU Rl No. 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU Rl No. 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 88 KUHP

jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP,

Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam perbuatan Pelaku kasus

tersebut Notaris Pelaku melakukan proses pembalikan nama berikut

pembayaran pajak BPHTB dan PPh (Final) sebagaimana diuraikan diatas

terdapat perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum dan

penyalahgunaan wewenang di mana proses pembalikan nama sertifikat HM

No. 295 Kalibanteng Kulon tersebut, Pelaku secara sadar menyalahgunakan

kewenangan selaku PPAT yang mempunyai kewenangan melakukan proses

peralihan hak atas tanah dan bangunan tetapi sekaligus menawarkan diri

untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.

Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh (Final)

tersebut, Pelaku justru meminta bantuan sdr. Pemalsu (Pensiunan Pegawai

BPN Kota Semarang) untuk dibuatkan bukti setor pembayaran BPHTB dan

PPh (Final) palsu dan menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan

PPh (Final) yang palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui

oleh Pelaku . Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah

131

Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris /

PPAT dari wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya

milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan

ke Kas Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib

disetorkan ke Kas Negara oleh Pelaku selaku Notaris / PPAT, dalam jumlah

yang sama. Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah Rp.

823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPT

adalah merupakan uang Negara atau masuk keuangan Negara karena uang

setoran pajak BPHTB dan PPh (Final) adalah menjadi hak Negara, meskipun

secara fisik belum dalam penguasaan Negara melainkan masih dalam

penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPAT disebabkan karena kedudukannya

sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, yang

menawarkan diri kepada para wajib pajak untuk membayarkan uang pajak

tersebut.

Sifat uang Negara menjadi melekat / timbul atas sejumlah uang Rp.

823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib pajak yang in casu pihak wajib

pajak mempercayakan dan menyerahkan uang itu pada dan diterima Notaris /

PPAT, sehingga pejabat yang karena kedudukannya sebagai PPAT boleh

menerima titipan untuk disetor ke Kas Negara tentunya melalui Bank

Persepsi.

132

Maka perlakuan terhadap uang Negara tidak dibenarkan melakukan

perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan hukum yang menjadi

kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan oleh seorang pejabat

in casu notaris / PPAT (Pelaku ) terhadap uang itu in casu menyetorkannya

ke Kas Negara. Maka apabila melakukan perbuatan yang lain itu sama

dengan perbuatan melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan

perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat)

menimbulkan lenyap / hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat

perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan

kerugian keuangan Negara, sama artinya dengan tindak pidana korupsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 UU No. 31

Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Selain itu, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Pol. : SP.

Sidik/96 a/III/2012/Reskrimsus dan No. Pol. : SP.Sidik/485/VII/2014/

Reskrimsus, serta No. Pol. : SP.Sidik/664/X/2014/ Reskrimsus, Pelaku

ditetapkan sebagai Pelaku dalam kasus dugaan tindak pidana Korupsi atas

proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon,

Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh

Final / SSP dan BPHTB / SSB (dan uang pajaknya dipergunakan secara

pribadi oleh Pelaku ) sehingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp

133

823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam

ribu rupiah).

Perbuatan Pelaku telah memenuhi unsur delik pidana korupsi

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1), pasal 3 dan pasal 9 UU Rl No.

31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999

yang telah dirubah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dengan uraian analisa

pembuktian yuridis sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah

dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bunyi pasal

"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,

dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling

banyak Rp 1.000.000.000,00".

Pembahasan dan Analisa Yuridis Unsur-Unsur Pasal di atas, sebagai

berikut :

134

a. Setiap orang

Terdapat adanya orang yang bernama Pelaku sebagai

Notaris/PPAT yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi

dengan cara memalsukan bukti setor dan validasi bank persepsi

pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses

peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon,

Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya

pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB ke Kas Negara sementara

Negara telah berprestasi menyelesaikan proses peralihan (proses balik

nama Sertifkan Hak Milik telah selesai menjadi atas nama pembeli)

sehingga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00

(delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu

rupiah).

b. Unsur melawan hukum :

Unsur melawan hukum dalam hukum pidana terdapat ajaran

tentang “sifat melawan hukum” (SMH) terdiri dari SMH formil dan

SMH materil. SMH formil, hukum adalah hukum tertulis yaitu

peraturan perundang-undangan (wet). Terpenuhinya sifat melawan

hukum apabila pelaku melanggar atu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan (onwetmatigedaad). SMH materil, hukum tidak

hanya hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritten

135

law) hukum adalah recht. Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila

pelaku melanggar atau bertentangan dengan hukum

(onrechtmatigedaad).

SMH materil terdiri dari SMH materil dalam fungsinya yang

positif dan SMH materil dalam fungsinya yang negatif. SMH materil

dalam fungsinya yang negatif sebagaimana tercantum dalam Penjelasan

Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang

Pemberantasan tindak pidana korupsi (UUTPK)

“Yang dimaksud dengan secara melawan hukum

dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam

arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun

perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap

tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-

norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana”.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK ini telah dicabut dengan

putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2006, sehingga UUTPK

tidak menganut ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsinya

yang positif. Oleh karena itu, terpenuhinya unsur melawan hukum

apabila perbuatan pelaku melanggar atau bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif

terdapat dalam yurisprudensi, yaitu putusan MA No. 42/KR/1965 yang

pada intinya menyatakan bahwa suatu perbuatan yang memenuhi

136

unsur-unsur tindak pidana korupsi, dapat hilang sifat melawan

hukumnya, sehingga pelaku tidak dapat dipidana apabila:

1. Negara tidak dirugikan;

2. Terdakwa tidak dapat untung;

3. Kepentingan umum dilayani.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur

melawan hukum terpenuhi apabila perbuatan pelaku bertentangan atau

melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Unsur

melawan hukum tidak terpenuhi apabila:

1. Negara tidak dirugikan;

2. Terdakwa tidak dapat untung;

3. Kepentingan umum dilayani.

Berdasarkan kasus tindak pidana korupsi yang didakwakan dalam

penggelapan pajak yang ada, bahwa perbuatan Pelaku tersebut telah

melawan hukum formil, sebagai berikut :

1) Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB

a) Pasal 24 (1) : PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani

Akta Pemindahan Hak atas tanah dan atau Bangunan setelah

wajib pajak menyerahkan Bukti Pembayaran Pajak;

137

Penjelasan Pasal 24 (1) tersebut menyebutkan bahwa

penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan

menyerahkan fotokopi pembayaran pajak dan menunjukkan

aslinya.

b) Pasal 24 (3) : Kepala Kantor Pertanahan Kab./ Kota hanya

dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran

peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan

bukti pembayaran pajak.

Pasal 25 (1) : PPAT/ Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara

melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas

tanah dan bangunan kepada Dirjen Pajak selambat-lambatnya tanggal

10 bulan berikutnya;

1) PP No. 37 tahun 1998 tentang PPAT, Pasal 26 (3) : PPAT Wajib

mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang

diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor

Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang –

undang atau PP yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10

bulan berikutnya.

2) Bahwa dalam penjelasan pasal 2 Undang-undang No. 31 tahun

1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang

dimaksud dengan unsur melawan hukum adalah mencakup

138

perbuatan melawan hukum dalam arti formil, maka perbuatan

Pelaku . Pelaku yang menggunakan bukti setor (termasuk

validasi bank persepsinya) palsu untuk dipergunakan sebagai

syarat dalam pendaftaran proses peralihan hak SHM 295 di

kantor pertanahan kota Semarang, sementara Pelaku mengetahui

dan sadar bahwa bukti setor BPHTB dan validasinya tersebut

palsu adalah telah memenuhi unsur/ delik formil.

c. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi

Pelaku dengan sengaja tidak membayarkan uang setoran pajak

yang dititipkan oleh wajib pajak kepadanya sebesar Rp.

823.536.000.,00 dan menggunakan bukti setoran pajak palsu untuk

pendaftaran proses peralihan hak atas tanah SHM No. 295/Kalibanteng

Kulon, Kota Semarang di Kantor Pertanahan Kota Semarang adalah

merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri, karena dengan tidak

disetorkannya uang tersebut untuk pembayaran pajak, maka

kekayaannnya bertambah Rp 823.536.000,00 yang kemudian sebagian

diserahkan kepada Pemalsu sebesar Rp. 30.000.000 dan Karyawan

Pelaku I sebagai fee atas jasa mereka membuatkan bukti setor pajak dan

validasi palsu, adalah merupakan perbuatan memperkaya orang lain,

139

karena pada akhirnya kekayaan Pelaku dan Karyawan Pelaku I

bertambah sebesar bagian yang mereka terima;

Karena besarnya pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan

ketentuan, dimana perbuatan ini telah “memperkaya suatu diri sendiri”

Akibat diterimanya permohonan keberatan pajak dari wajib pajak,

Pelaku tersebut menerima keuntungan dalam hal ini jelas telah

merugikan Negara.

d. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

Negara

Bahwa dengan terjadinya transaksi jual beli yang menimbulkan

kewajiban pajak bagi para pihak selaku wajib pajak tersebut, kemudian

tidak disetorkannya uang pembayaran pajak PPh (final) dan

BPHTB yang sudah dititipkan oleh wajib pajak kepada Notaris

ke Kas Negara tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi

Notaris/PPAT Pelaku tersebut, maka dengan mengacu pada definisi

tentang kerugian negara bahwa kerugian negara terjadi karena

berkurangnya aset negara baik yang diakibatkan oleh perbuatan

melawan hukum seseorang, dimana berkurangnya asset tersebut

terjadi karena uang yang seharusnya tidak keluar dari kas negara tetapi

ternyata keluar dari kas negara ataupun uang yang seharusnya

masuk ke kas negara ternyata tidak dimasukan ke kas Negara, maka

140

kejadian tersebut setidak tidaknya dapat mengakibatkan terjadinya

kerugian keuangan negara.

Dengan demikian akibat perbuatan Pelaku . Pelaku bersama-

sama Pemalsu dan Karyawan Pelaku I dengan melakukan pemalsuan

bukti setor Pajak dan validasinya dan tidak menyetorkan uang

titipan pembayaran pajak dari wajib pajak sebesar Rp 823.536.000,00

tersebut ke kas Negara, maka berakibat Negara dirugikan sebesar

Rp.823.536.000,00.

Dari hasil uraian analisa pembuktian yuridis tersebut di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa terhadap Pelaku telah cukup bukti

melakukan perbuatan pidana yang memenuhi unsur/ delik Pidana

Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang

No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah

dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bunyi Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah

dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi:

141

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara

atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00".

a. Setiap orang

Terdapat adanya orang yang bernama Pelaku sebagai

Notaris/PPAT yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi

terkait terkait pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi

pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses

peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon,

Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak

PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB ke Kas Negara sementara Negara

telah berprestasi menyelesaikan proses peralihan (proses balik nama

Sertifkan Hak Milik telah selesai menjadi atas nama pembeli) sehingga

mengakibatkan kerugian Negara Rp. 823.536.000,00 (delapan ratus

dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah).

b. Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang

Lain Atau Suatu Korporasi

Pelaku dengan sengaja tidak membayarkan uang setoran pajak

yang dititipkan oleh wajib pajak kepadanya sebesar Rp 823,536.000,00

142

dan menggunakan bukti setoran pajak palsu untuk pendaftaran proses

peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon, Kota

Semarang di Kantor Pertanahan Kota Semarang adalah merupakan

perbuatan menguntungkan diri sendiri, karena dengan tidak

disetorkannya uang tersebut untuk pembayaran pajak, maka Pelaku

diuntungkan sebesar Rp 823.536.000,00 yang kemudian sebagian

diserahkan kepada Pemalsu sebesar Rp. 30.000.00 dan Karyawan

Pelaku I sebagai fee atas jasa mereka membuatkan bukti setor pajak

dan validasi palsu, adalah merupakan perbuatan menguntungkan orang

lain, karena pada akhirnya kekayaan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I

bertambah diuntungkan dengan fee yang mereka terima;

c. Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan atau Sarana Yang

ada Padanya Karena Jabatan atau Kedudukan.

Bahwa perbuatan Pelaku tersebut telah melawan hukum formil,

sebagai berikut :

‐ Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 Ttg BPHTB

1. Pasal 24 (1) : PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani

akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah

wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak;

2. Penjelasan Pasal 24 (1) tersebut menyebutkan bahwa

penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan

143

menyerahkan fotokopi pembayaran pajak dan menunjukkan

aslinya.

3. Pasal 24 (3) : kepala kantor pertanahan kab./ kota hanya

dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran

peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan

bukti pembayaran pajak.

4. Pasal 25 (1) : PPAT/ Notaris dan Kepala Kantor Lelang

Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang

perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada dirjen pajak

selambat-lambatnya tgl. 10 bulan berikutnya;

‐ PP No. 37 Tahun 1998 tentang PPAT , Pasal 26 (3) : PPAT wajib

mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang

diambil dari buku daftar akta PPAT kepada kepala kantor

pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang-

undang atau PP yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10

bulan berikutnya.

Bahwa melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan

melanggar kewajiban hukum sama artinya dengan perbuatan,

menyalahgunakan kewenangan jabatan. Dimana Pelaku telah

menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya dalam jabatannya

selaku Notaris/ PPAT dalam memproses pendaftaran peralihan hak atas

144

para pihak (selaku wajib pajak) di Kantor Pertanahan Kota Semarang

dengan cara menawarkan diri kepada para pihak (penjual dan pembeli)

selain mengurus proses pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan

Kota Semarang, juga bersedia menerima titipan uang pembayaran PPh

(Final) dan BPHTB atas peralihan hak tersebut untuk dibayarkan ke

Bank Persepsi, namun oleh Pelaku uang titipan pembayaran PPh

(Final) dan BPHTB tersebut tidak dibayarkan dan pada saat melakukan

pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan, Pelaku selaku Notaris/

PPAT menggunakan bukti setor BPHTB dan PPh (final) palsu yang

didapatkannya dari sdr. Pemalsu atas permintaan Pelaku Padahal yang

bersangkutan tahu dan paham mengenai aturan, larangan dalam proses

peralihan hak. Sehingga menurut penyidik unsur menyalahgunakan

Kewenangan, Kesempatan atau Sarana Yang ada Padanya Karena

Jabatan atau Kedudukan TELAH TERPENUHI.

d. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

Negara

Bahwa dengan terjadinya transaksi jual beli yang menimbulkan

kewajiban pajak bagi para pihak selaku wajib pajak tersebut, kemudian

tidak disetorkannya uang pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB

yang sudah dititipkan oleh wajib pajak kepada Notaris ke Kas Negara

tetapi digelapkan digunakan untuk kepentingan pribadi Notaris/ PPAT

145

Pelaku tersebut, maka dengan mengacu pada definisi tentang kerugian

negara bahwa kerugian negara terjadi karena berkurangnya aset negara

baik yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum seseorang,

dimana berkurangnya asset tersebut terjadi karena uang yang

seharusnya tidak keluar dari kas negara tetapi ternyata keluar dari kas

negara ataupun uang yang seharusnya masuk ke kas negara ternyata

tidak masuk ke kas negara, maka kejadian tersebut telah

mengakibatkan terjadinya kerugian negara.

3. Pasal 9 Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah dirubah

dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bunyi pasal:

"Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri

atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan

suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar daftar

yang khusus untuk pemeriksaan admintstrasi"

Pembahasan unsur - unsur pasal:

a. Orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan

suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu

146

Bahwa Pelaku adalah seorang Notaris dan PPAT di Kota

Semarang;

Sebagai seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah / PPAT, sesuai

pasal 1 PP No. 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah,

menyebut bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan

untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah / hak milik atas satuan rumah susun;

Jabatan Umum adalah tugas yang diberikan kepada

seseorang berdasarkan keputusan pejabat administratif didasarkan

pada perundang-undangan untuk melaksanakan fungsi pelayanan.

b. Dengan sengaja

PPAT Pelaku mengetahui bahwa bukti setoran pajak PPh

Final / SSP & BPHTB / SSB dipalsukan dengan cara meminta bantuan

Pemalsu untuk memvalidasi (cap tanda lunas dan stempel) pada blanko

setoran SSP & SSB tanpa memberikan uang pembayaran pajak kepada

Pemalsu;

Uang pajak senilai Rp 823.536.000,00 yang dititipkan oleh wajib

pajak tidak disetorkan oleh Pelaku ke bank persepsi / ke kas Negara,

namun terbit bukti pembayaran SSP dan SSB;

PPAT Pemalsu membubuhkan legalisir tanda tangan dan cap

stempel pada FC bukti setoran SSP & SSB yang menerangkan tentang

147

penegsahan FC tersebut sesuai dengan aslinya yang digunakan untuk

lampiran syarat peralihan hak ke BPN sedangkan diketahui validasi,

cap, stempel,tanda tangan, tanda lunas pada SSP & SSB di

palsukan;

Bahwa Pelaku selaku PPAT dalam pembuatan laporan bulanan

untuk bulan November 2010 dan Desember 2010 yang ditujukan ke

kantor Pertanahan Kota Semarang dan kantor KPP Pratama Semarang

Barat tidak mencantumkan AJB 747/2010 tanggal 25 Nopember 2010

dan AJB 764/2010 tanggal. 3 Desember 2010, karena khawatir akan

dikroscek dengan data yang ada di Modul Penerimaan Negara (MPN),

yang jelas tidak mencantumkan transaksi penyetoran pajak dimaksud.

c. Memalsukan buku - buku atau daftar - daftar khusus untuk

pemeriksaan administrasi

PPAT Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu (berkas sendiri) dan

Karyawan Pelaku I (berkas sendiri) telah melakukan perbuatan

melawan hukum dengan cara membuat bukti setoran pajak SSP dan

SSB yang seolah - olah telah dibayarkan di bank persepsi dengan

menggunakan cap tanda lunas, cap stempel bank, nama dan tanda

tangan teller, serta resi setoran palsu;

Bukti pembayaran setoran pajak SSB & SSP yang dipalsukan

tersebut digunakan oleh Notaris dan PPAT Pelaku sebagai syarat

148

kelengkapan administrasi permohonan berkas peralihan hak atas tanah

dan bangunan di BPN kota Semarang, sehingga telah terjadi 2 (dua)

kali peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 Kalibanteng

kulon pada bulan Nopember dan Desember 2010;

Bahwa blangko bukti pembayaran SSP dan SSB tersebut

merupakan bukti transaksi penerimaan pajak yang digunakan sebagai

dasar untuk pemeriksaan administrasi atas kebenaran realisasi

penerimaan pajak dan merupakan kelompok penerimaan Negara yang

berasal dari pajak yang wajib dibayarkan ke bank persepsi, oleh

karenanya merupakan keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam

perundang -undangan;

Bahwa blangko bukti pembayaran SSB dan SSP tersebut

dipalsukan agar seolah-olah uang pajak tersebut telah dibayarkan ke

bank persepsi dan masuk dalam Modul Penerimaan Negara (MPN);

Bahwa prosedur yang ditetapkan oleh Menteri pertanahan

dalam proses penerbitan sertifikat dalam pendaftaran hak karena

pemindahan hak mengatur secara kelengkapan administrasi yang wajib

dilengkapi dalam mengajukan permohonan peralihan hak yaitu bukti

pembayaran pajak SSP dan SSB;

149

4. Pasal 15 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah

diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bunyi pasal:

"Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau

pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi

dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal

2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14"

Pada Pasal tersebut terdapat beberapa unsur yaitu "Setiap orang yang

melakukan :

1. Percobaan; atau

2. Pembantuan; atau

3. Pemufakatan jahat.

Untuk melakukan tindak pidana korupsi

1) bahwa pengertian percobaan adalah menuju ke suatu hal, akan

tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju, sehingga dalam perkara

ini melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi

tidak tepat dipersangkakan kepada Pelaku maupun para Pelaku

yang lain yaitu Pemalsu dan Karyawan Pelaku I, karena masing-

masing dari mereka telah melakukan perbuatan-perbuatannya dan

menginsyafi untuk tujuan yang sama yaitu menggunakan bukti

setor pajak PPh (final) dari BPHTB palsu untuk proses peralihan

150

hak, meskipun dari mereka tidak semuanya melakukan seluruh

anasir deliknya, masing-masing melakukan sebagian dari anasir

delik pidana korupsinya, yaitu Karyawan Pelaku I bertugas

membuat slip setoran Bank Persepsi untuk pembayaran pajak PPh

(final) dan BPHTB berikut validasi bank persepsinya dan tanda

tangan tellernya yang semuanya dipalsukan, sedangkan Pemalsu

bertugas sebagai broker yang menerima pesanan dari Pelaku untuk

membuat slip setoran dan validasi bank persepsi untuk bukti

setorar pembayaran pajak (PPh final dan BPHTB) palsu yang

kemudian menyerahkan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada

Karyawan Pelaku I.

Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku

yang memesan bukti setor palsu tersebul selanjutnya

menggunakannya untuk proses pendafatran peralihan hak atas

tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon di Kantor Pertanahan

Kota Semarang.

Ketiganya masing-masing memperoleh keuntungan dan

kekayaan yaitu Pelaku sebesar Rp 823.536.000,00, dikurangi Rp.

30.000.000,00 atau setidak-tidaknya sebagiannya dipergunakan

untuk membayar fee kepada Pemalsu dan Karyawan Pelaku I

sebagai imbalan atas pelaksanaan pemalsuan tersebut.

151

2) Bahwa pengertian pembantuan adalah memberi bantuan sebelum

pelaksanaan perbuatan itu terjadi, artinya delik pembantuan adalah

tidak bagian dari anasir perbuatan pidana itu, melainkan hanya

bertujuan memperlancar perbuatan pidana itu terlaksana, sehingga

penyidik berkesimpulan bahwa unsur pembantuan untuk para

Pelaku tidak tepat dalam perkara ini karena masing-masing para

Pelaku ( Pelaku dan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I) masing-

masing telah melakukan perbuatan-perbuatan yang dipandang

sebagai bagian elemen/ anasir perbuatan pidana korupsi yang

dipersangkakan sebagai diuraikan diatas;

3) Kemudian pengertian pemufakatan jahat dalam ketentuan pasal 88

KUHP terjadi apabila terdapat dua orang atau lebih bermufakat

untuk melakukan kejahatan. sementara "bermufakat untuk

melakukan kejahatan" mengandung arti bahwa kedua orang atau

lebih tersebut mempunyai kehendak, maksud dan tujuan yang sama

dan sadar atau saling menginsyafi untuk melakukan suatu

kejahatan yang dalam hal ini adalah kejahatn atau tindak pidana

korupsi.

Bahwa mengingat dalam perkara ini para Pelaku yaitu Pelaku

, selaku Notaris/PPAT, Pemalsu selaku broker/ perantara

pemalsuan dan Karyawan Pelaku I selaku yang memalsukan bukti

152

setor PPh (Final) dan BPHTB, masing-masing menyadari dan

menginsyafi bahwa perbuatan mereka adalah mempunyai tujuan

yang sama yaitu menggunakan bukti setor pajak PPh (final) dan

BPHTB yang dipalsukan tersebut untuk proses peralihan hak, yang

pada akhirnya adalah bertujuan untuk tidak terbayarnya uang pajak

tersebut ke Kas Negara akibat tidak dibayarkannya uang pajak

(BPHTB dan PPh (Final)) tersebut melalui bank persepsi oleh

salah satu dari mereka yaitu Pelaku dan bukti pembayarannuya

digantikan dengan bukti pembayaran yang palsu. Dan selanjutnya

bukti setor BPHTB dan PPh (Final) yang palsu / fiktif tersebut oleh

Pelaku dipergunakan untuk kelengkapan syarat dalam lampiran

pendaftara peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota Semarang.

Bahwa meskipun dari mereka tidak semuanya melakukan

seluruh anasir deliknya, dimana masing-masing melakukan

sebagian dari anasir delik pidana korupsinya, yaitu Karyawan

Pelaku I bertugas membuat slip setoran Bank Persepsi untuk

pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB berikut validasi Bank

Persepsinya dan tanda tangan tellernya yang semuanya dipalsukan,

sedangkan Pemalsu bertugas sebagai broker yang menerima

pesanan dari Pelaku untuk membuat slip setoran dan validasi bank

persepsi untuk bukti setoran pembayaran pajak (PPh final dan

153

BPHTB) palsu yang kemudian menyerahkan pekerjaan pemalsuan

tersebut kepada Karyawan Pelaku I. Sementara Pelaku selaku

PPAT adalah bertindak selaku yang memesan bukti setor palsu

tersebut selanjutnya menggunakannya untuk proses pendafatran

peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon di

Kantor Pertanahan Kota Semarang. Dan Ketiganya masing-masing

memperoleh keuntungan dan kekayaan yaitu Pelaku sebesar Rp

823.536.000,00, dikurangi Rp.30.000.000,00 atau setidak-tidaknya

sebagiannya dipergunakan untuk membayar fee kepada Pemalsu

dan Karyawan Pelaku I sebagai imbalan atas pelaksanaan

pemalsuan tersebut. Namun ketiganya sebelum melakukan

perbjjatannya masing-masing tersebut, saling mengerti dan

menginsyafi bahwa perbuatan mereka tersebut adalah bertujuan

untuk membuat dan menggunakan bukti setor BPHTB dan PPh

(Final) palsu sebagai syarat pendaftaran peralihan hak yang

tentunya berakibat tidak usah dibayarkannya hak Negara yaitu

uang pembayaran PPh (final) dan BPHTB tersebut ke Bank

Persepsi.

Sehingga menurut Penyidik unsur melakukan pemufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi tepat dipersangkakan

kepada para Pelaku sebagaimana dimaksud dalam unsur Pasal 15

154

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah Undang-

undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

5. Pasal 88 KUHP

Bunyi pasal

"Pemufakatan jahat (samenspanning) dianggap ada, bila saja dua

orang atau lebih bermufakat untuk melakukan kejahatan itu".

Syarat pemufkatan jahat dalam Pasal 88 KUHP di atas adalah :

1) adanya dua orang atau lebih;

2) bermufakat untuk melakukan kejahatan

bermufakat untuk melakukan kejahatan mengandung arti bahwa kedua

orang atau lebih tersebut mempunyai kehendak, maksud dan tujuan yang

sama dan sadar atau saling menginsyafi untuk melakukan suatu kejahatan.

Sebagaimana telah diuraikan dalam analisa yuridis pasal 15 Undang-

undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi, maka pemufakaatan jahat yang diinsyafi oleh para Pelaku yaitu

Pelaku, Pemalsu dan Karyawan Pelaku I adalah pemufakatan jahat untuk

melakukan tindak pidana korupsi melalui Pemalsuan Bukti Setor BPHTB dan

PPh (Final) yang mempunyai tujuan menggunakan bukti setor pajak PPh

(final) dan BPHTB yang dipalsukan tersebut untuk proses peralihan hak,

yang pada akhirnya adalah bertujuan untuk tidak terbayarnya uang pajak

tersebut ke Kas Negara akibat tidak dibayarkannya uang pajak (BPHTB dan

155

PPh (Final)) tersebut melalui bank persepsi oleh salah satu dari mereka yaitu

Pelaku dan bukti pembayarannya digantikan dengan bukti pembayaran yang

palsu. Dan selanjutnya bukti setor BPHTB dan PPh (Final) yang palsu/ fiktif

tersebut oleh Pelaku dipergunakan untuk kelengkapan syarat dalam lampiran

pendaftara peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota Semarang.

Bahwa meskipun dari mereka tidak semuanya melakukan seluruh

anasir deliknya, dimana masing-masing melakukan sebagian dari anasir delik

pidana korupsinya, yaitu Karyawan Pelaku I bertugas membuat slip setoran

Bank Persepsi untuk pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB berikut

validasi Bank Persepsinya dan tanda tangan tellernya yang semuanya

dipalsukan, sedangkan Pemalsu bertugas sebagai broker yang menerima

pesanan dari Pelaku untuk membuat slip setoran dan validasi bank persepsi

untuk bukti setoran pembayaran pajak (PPh final dan BPHTB) palsu yang

kemudian menyerahkan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada Karyawan

Pelaku I. Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku yang

memesan bukti setor palsu tersebut selanjutnya menggunakannya untuk

proses pendafatran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng

Kulon di Kantor Pertanahan Kota Semarang. Dan Ketiganya masing-masing

memperoleh keuntungan dan kekayaan yaitu Pelaku sebesar Rp

823.536.000,00, dikurangi Rp.30.000.000,00 atau setidak - tidaknya

sebagiannya dipergunakan untuk membayar fee kepada Pemalsu dan

156

Karyawan Pelaku I sebagai imbalan atas pelaksanaan pemalsuan tersebut.

Namun ketiganya sebelum melakukan perbuatannya masing-masing tersebut,

saling mengerti dan menginsyafi bahwa perbuatan mereka tersebut adalah

bertujuan untuk membuat dan menggunakan bukti setor BPHTB dan PPh

(Final) palsu sebagai syarat pendaftaran peralihan hak yang tentunya

berakibat tidak usah dibayarkannya hak Negara yaitu uang pembayaran PPh

(final) dan BPHTB tersebut ke Bank Persepsi.

Sehingga menurut Penyidik unsur pemufakatan iahat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 88 KUHP telah terpenuhi dalam perkara ini.

6. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP

Bunyi pasal:

“Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana, orang

yang melakukan, menyuruh melakukan dan yang turut serta

melakukan perbuatan itu”

Pada Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tersebut terdapat beberapa elemen

pasal, yaitu setiap orang yang :

a. orang yang melakukan (plager)

b. orang yang menyuruh lakukan (doenplager);

c. orang yang turut serta melakukan (made palger)

Perbuatan itu (pidana)

Bahwa mengingat pengertian dari masing-masing unsur delik pasal 55

ayat (1) ke 1 KUHP tersebut dijelaskan berikut:

157

a. orang yang melakukan (plager) adalah orang yang secara sendirian

telah berbuat mewujudkan segala anasir/ elemen dari peristiwa

pidana.

Dari pengertian orang yang melakukan (plager) dalam pasal 55 ayat

(1) ke 1 KUHP ini bila dikaitkan dengan uraian peran serta masing-

masing Pelaku , dimana masing-masing Pelaku hanya melakukan

sebagian anasir perbuatan dari keseluruhan delik pidana korupsi

yang dipersangkakan, maka tidak tepat untuk dipersangkakan

kepada para Pelaku ;

b. orang yang menyuruh lakukan (doen plager) adalah orang yang

menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana, bukan

orang itu sendiri yang melakukan perbuatan pidana melainkan

menyuruh orang lain, jadi dipersyaratkan 2 orang atau lebih. Orang

yang disuruh melakukan hanya sebagai alat (instrument) saja dan

terhadapnya tidak dapat dihukum karena tidak dapat

dipertanggungjawaban pidana dengan alasan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 44, 48 dan Pasal 51 KUHP serta tidak ada kesalah sama

sekali darinya. Sehingga terhadap orang yang menyuruh lakukan

bisa dipandang sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana itu

sendiri.

158

c. orang yang turut melakukan (made plager) atau dalam arti kata turut

serta atau bersama-sama melakukan perbuatan pidana,

dipersyaratkan sedikitnya 2 orang dalam unsur delik turut

melakukan. Ada 3 kategori dalam pengertian turut serta yaitu :

1) Semuanya melakukan seluruh anasir perbuatan pidana;

2) Salah satu orang melakukan seluruh anasir perbuatan pidana,

dan lainnya hanya melakukan sebagain anasir perbuatan

pidana;

3) Semuanya hanya melakukan sebagian anasir perbuatan pidana.

Melihat pengertian made plager tersebut bila dikaitkan dengan uraian

perbuatan para Pelaku dimana masing-masing Pelaku hanya melakukan

sebagian anasir dari keseluruhan delik pidana korupsi yang di

persangkakakan, maka unsur “orang yang turut serta” khususnya pengertiaan

nomor 3 yaitu kesemua Pelaku hanya melakukan sebagian anasir perbuatan

pidana, maka sangatlah tepat untuk dipersangkakan kepada para Pelaku .

Sehingga dari uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur

turut serta atau secara bersama-sama melakukan perbuatan pidana korupsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP telah terpenuhi

dalam perkara ini.

Bahwa Pasal 55 dipersangkakan dalam perkara ini adalah bertujuan

untuk mengetahui peran serat masing-masing Pelaku mengingat perbuatan

159

yang dilakukan oleh masing-masing Pelaku yaitu Pelaku , Pemalsu (diajukan

dalam berkas perkara tersendiri) dan Karyawan Pelaku I (diajukan dalam

berkas perkara tersendiri) adalah satu rangkaian perbuatan yang tidak dapat

dipisahkan satu dengan yang lainnya untuk tujuan yang sama yaitu

menggunakan bukti setor pajak PPh (final) dan BPHTB Palsu untuk proses

peralihan hak, yang pada akhirnya adalah tidak terbayarnya uang pajak

tersebut ke Kas Negara akibat tidak dibayarkannya uang pajak (BPHTB dan

PPh (Final)) tersebut dan bukti pembayarannya digantikan dengan bukti

pembayaran yang palsu. Bahwa perbuatan Pelaku satu dengan Pelaku lainnya

tidak dapat dipjsahkan sebagai perbuatan sendiri-sendiri, dengan kata lain

Pelaku tidak dapat melakukan anasir delik pidana secara keseluruhan tanpa

adanya bukti setor pajak BPTHB dan PPh (final) palsu yang dibuat oleh

Karyawan Pelaku I, begitu juga Karyawan Pelaku I yang membuat bukti

setor palsu tidak dapat menjadi pidana apabila bukti setor palsu tersebut tidak

dipergunakan oleh Pelaku untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak

atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon yang pada akhirnya merugikan

keuangan Negara sebesar Rp. 823.536.000,00 karena tidak dibayarkannya

uang setoran pajak PPh (final) dan BPHTB atas peralihan hak tersebut yang

dititipkan oleh para pihak (penjual dan pembeli) selaku wajib pajak kepada

Pelaku karena jabatannya selaku PPAT yang mempunyai kewenangan dan

tugas memproses pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota

160

Semarang. Sementara antara keduanya (Pelaku dan Karyawan Pelaku I) tidak

akan terjalin kerja sama atau persekongkolan jahat apabila tidak ada Pemalsu

yang bertugas sebagai broker yang menerima order/ pesanan dari Pelaku

dan memberi pekerjaan kepada Karyawan Pelaku I untuk memalsukan bukti

setor pajak tersebut.

Bahwa masing-masing Pelaku melakukan sebagian dari anasir delik

pidana korupsinya, yaitu Karyawan Pelaku I bertugas membuat slip setoran

Bank Persepsi untuk pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB berikut

validasi Bank Persepsinya dan tanda tangan tellernya yang semuanya

dipalsukan, sedangkan Pemalsu bertugas sebagai broker yang menerima

pesanan dari Pelaku untuk membuat slip setoran dan validasi bank persepsi

untuk bukti setoran pembayaran pajak (BPHTB dan PPh Final) palsu yang

kemudian mekerjakan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada Karyawan

Pelaku I. Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku yang

memesan bukti setoran palsu tersebut selanjutnya menggunakannya untuk

proses pendafatran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng

Kulon di Kantor Pertanahan Kota Semarang.

Ketiganya masing-masing memperoleh keuntungan dan kekayaan yaitu

Pelaku sebesar Rp 823.536,000,00, dikurangi Rp.30.000.000,00 atau

setidak-tidaknya sebagiannya dipergunakan untuk membayar fee kepada

161

Pemalsu dan Karyawan Pelaku I sebagai imbalan atas pelaksanaan pemalsuan

tersebut.

Sebagaimana telah dibahas pada uraian analisa kasus dan analisa

yuridis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pelaku dapat diduga telah

melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dengan cara menggunakan bukti

setor dan validasi bank persepsi atas pembayaran pajak BPHTB / SSB dan

PPh Final / SSP dan validasi Bank Persepsi Bank BIN Cab. Semarang dan

Bank BPD Jateng Cab. Semarang yang telah dipalsu pada proses peralihan

hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang

tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan

BPHTB / SSB (dan uang pajaknya dipergunakan secara pribadi oleh Pelaku )

sehingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 823.536.000,00 yang

dilakukan secara bersama - sama dengan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau

Pasal 9 Undang-undang Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan

ditambah dengan Undang-undang Rl No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 Undang-undang Rl No. 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang

Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal

88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

162

Berbagai penjelasan terkait kasus Pelaku memenuhi beberapa unsur-

unsur dalam pasal-pasal yang disangkakan bahwa kejahatan korupsi di

Indonesia sebenarnya dapat diberantas dengan baik melalui implementasi

peraturan-peraturan yang tersedia, salah satunya yaitu melalui Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti yang telah

dipaparkan melalui berbagai penjelasan diatas, bahwa kasus yang melibatkan

Pelaku tersebut sebenarnya telah membuka mata publik tentang bagaimana

tindak pidana korupsi itu dijalankan.

Korupsi dalam pandangan mainstream dianggap merupakan

penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Korupsi adalah

pengalihan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi. Korupsi terjadi di

sektor publik dan dilakukan oleh pejabat nakal yang melanggar hukum.16

Sehingga berkaca dari kasus Pelaku ini, bahwa hukum dapat ditegakkan

melalui sebuah kerja sama dan skema yang apik dari aparat penegak hukum

serta masyarakat yang aktif melawan korupsi. Kerja sama tersebut sejatinya

dapat tercipta dengan adanya sistem yang baik serta kesadaran akan

pemberantasan korupsi yang baik pula.

16 J. Danang Widoyoko, Op. cit, 2013, hal 115