Upload
duongbao
View
233
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
87
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kasus Posisi
1. Kronologi Kasus
Polda Jateng melakukan Penyidikan dugaan tindak pidana korupsi atas
pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB /
SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan
SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN
Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga
diduga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus
dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah), dengan Pelaku
Bahwa dalam perkara ini Notaris tersebut dapat diduga telah
melakukan kesewenang-wenangan, kelalaian karena yang seharusnya Notaris
tersebut selaku orang yang dipercaya oleh kliennya untuk menyetorkan
pembayaran pajak-pajak yang telah dipercayakan pengurusannya terhadap
Notaris tersebut akan tetapi yang terjadi Notaris tersebut dengan tidak
menyetorkannya akan tetapi memfiktifkan setoran pajak tersebut.
Bahwa dengan tidak menyetorkannya pembayaran pajak-pajak yang
telah dipercayakan pengurusannya tersebut selanjutnya Setoran Bank
Persepsi berikut validasi Bank Persepsi dan validasi Bank Persepsi pada
88
formulir SSB (BPHTB) dan SSP (PPh Final) untuk 2 peralihan hak tersebut
adalah tidak benar/ dipalsukan, ditemukan fakta bahwa uang pembayaran
pajak BPHTB dan PPh Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan
S.HM No. 295/ Kalibanteng Kulon senilai total Rp 823.536.000,00 tidak
dibayarkan ke Bank Persepsi dan tidak masuk ke Kas Negara yang diduga
dilakukan oleh Pelaku dengan kronologi perkara sebagai berikut:
Bahwa pada pembayaran BPHTB di Bank BPD Jateng Cab. Semarang,
diduga telah terjadi peralihan hak atas tanah dan bangunan HM 295/
Kalibantengkulon, Kota Semarang sebanyak 2 (dua) kali yaitu
a) Tanggal 25 Nopember 2010 dari Penjual ke Pembeli I sesuai AJB
No. : 747/2010, tanggal 25 Nopember 2010 dengan nilai transaksi
sebesar Rp 4.000.000.000,00.
b) Tanggal 3 Desember 2010 dari Pembeli I ke Pembeli II sesuai
dengan AJB No. : 764/2010, tanggal.3 Desember 2010 dengan
nilai transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.
Atas 2 peralihan hak (AJB) tersebut di atas timbul kewajiban para
pihak untuk pembayaran pajak, dengan penghitungan besaran masing-masing
sebagai berikut :
a) PPh Final/SSP = 5%xNJOPPBB
Yaitu 5 % x 4.127.000.000,00 = Rp 206.384.000,00
b) BPHTB / SSB = NJOP PBB - NPOP TKP (Rp 20.000.000,00) x
5% Yaitu 4.127.000.000,00 - Rp 20.000.000,00 x 5% = Rp
205.384.000,00.
Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) pada masing-masing AJB
tersebut selaku wajib pajak telah menyerahkan/menitipkan uang pembayaran
89
pajaknya kepada Notaris dan PPAT Pelaku selaku PPAT yang menangani
proses peralihan hak;
Total pembayaran pajak yang diserahkan melalui Notaris dan PPAT
Pelaku sebesar Rp.823.536.000,00 yang dibayarkan oleh masing-masing
pihak dalam 2 (dua) tahap sesuai pelaksanaan penandatanganan AJB yaitu
tanggal 25 Nopember 2010 dan 3 Desember 2010, masing-masing sebesar
Rp.411.768.000,00 di Kantor Notaris dan PPAT Pelaku, Jl. Kartini Raya No.
77 Semarang.;
Sebagaimana diuraikan diatas dimana proses peralihan hak atas
sertifikat HM No. 295/ Kalibanteng Kulon, Pelaku secara sadar melakukan
proses peralihan hak atas tanah dan bangunan sekaligus menawarkan diri
untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.
Namun alih-alih Pelaku membayarkan pajak BPHTB dan PPh (Final)
tersebut, justru Pelaku meminta kepada Pemalsu untuk dibuatkan bukti setor
pembayaran BPHTB dan PPh (Final) tidak benar/palsu(fiktif) dan
menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan PPh (Final) yang tidak
benar/palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui oleh Pelaku .
Bahwa uang setoran pajak BPHTB dan PPh Final sejumlah
Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku
Notaris/PPAT dari para wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang
seharusnya milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara
90
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 tahun
2003 Tentang Keuangan Negara.
Akibat perbuatan Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu dan Karyawan
Pelaku I telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yaitu diri Pelaku dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar
Rp.823.536.000,- (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh
enam ribu rupiah) .
2. Hasil Penyidikan
Dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi
bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada
proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon,
Kota Semarang tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp
823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam
ribu rupiah) yang diduga dilakukan oleh Pelaku dengan kronologi perkara
sebagai berikut :
1. Pada tahun 2010 telah terjadi peralihan hak atas tanah dan
bangunan HM 295/ Kalibantengkulon, Kota Semarang sebanyak
2 (dua) kali yaitu :
a. Tanggal 25 Nopember 2010 dari Penjual ke Pembeli I sesuai
AJB No. : 747/2010, tanggal 25 Nopember 2010 dengan nilai
transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.
b. Tanggal 3 Desember 2010 dari Pembeli I (penjual) ke
Pembeli II sesuai dengan AJB No. : 764/2010, tanggal 3
Desember 2010 dengan nilai transaksi sebesar Rp
4.000.000.000,00.
91
2. Atas 2 peralihan hak (AJB) tersebut di atas timbul kewajiban para
pihak untuk pembayaran pajak, dengan penghitungan besaran
masing-masing sebagai berikut :
a. PPh Final / SSP = 5% x NJOP PBB
Yaitu 5 % x 4.127.000.000,00 = Rp 206.384.000,00
b. BPHTB / SSB = NJOP PBB – NPOP TKP (Rp
20.000.000,00) x 5%
Yaitu 4.127.000.000,00 – Rp 20.000.000,00 x 5% =
Rp 205.384.000,00
3. Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) pada masing-masing
AJB tersebut selaku wajib pajak telah menyerahkan / menitipkan
uang pembayaran pajaknya kepada Notaris dan PPAT Pelaku
selaku PPAT yang menangani proses peralihan hak ;
4. Total pembayaran pajak yang diserahkan melalui Notaris dan
PPAT Pelaku sebesar Rp.823.536.000,00 yang dibayarkan oleh
masing-masing pihak dalam 2 (dua) tahap sesuai pelaksanaan
penandatanganan AJB yaitu tanggal 25 Nopember 2010 dan 3
Desember 2010, masing-masing sebesar Rp.411.768.000,00 di
Kantor Notaris dan PPAT Pelaku , Jl. Kartini Raya No. 77
Semarang ;
5. AJB No. : 747/2010 tanggal 25 Nopember 2010, Setelah
menerima uang pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final sebesar
Rp.411.768.000,00 pada tanggal 25 Nopember 2010 tersebut,
PPAT Pelaku selanjutnya menghubungi Pemalsu (oknum broker
pemalsu dan pengurusan peralihan hak di Kantor
Pertanahan/pensiunan pegawai BPN Kota Semarang) untuk
meminta tolong dibuatkan slip setoran pajak dari Bank Persepsi
dan validasi formulir SSB dan SSP dengan kompensasi 10% dari
nilai pajak ;
6. Kemudian berkas formulir SSB dan SSP yang sudah diisi nominal
pajaknya serta sudah ditandatangani oleh PPAT Pelaku, tetapi
belum ada validasi pembayaran dari Bank Persepsi diserahkan ke
Pemalsu melalui Karyawan Pelaku I (karyawan PPAT Pelaku) di
tempat kos nya Pemalsu ;
7. Pemalsu dalam memalsukan slip setoran dan validasi Bank
Persepsi tersebut, bekerja sama dengan Karyawan Pelaku I
(pelaku pemalsuan) ;
92
8. Selang 2 hari, formulir SSP dan SSB tersebut diserahkan kembali
dari Pemalsu kepada Karyawan Pelaku I di kantor Notaris dan
PPAT Pelaku dan kedua formulir tersebut sudah ada dilengkapi
validasi Bank persepsi (stempel Bank, nama & tanda tangan
Teller, Cap lunas) serta resi/ Slip setoran pembayaran pajak dari
Bank Persepsi), kemudian Pemalsu menerima amplop coklat
berisi uang melalui Karyawan Pelaku I sebagai kompensasi / fee
dari Pelaku atas pekerjaan pemalsuannya tersebut ;
9. Untuk AJB No. : 764/2010 tanggal 3 Desember 2010, proses
pembayaran pajak dari wajib pajak dan pemalsuannya sama
dengan proses pada AJB No. : 747/2010 tanggal 25 Nopember
2010 , namun transaksi yang terakhir ini, Pemalsu tidak mendapat
upah/ fee dari Pelaku sebagaimana yang telah dijanjikan karena
terdapat kesalahan penulisan ;
10. Selanjutnya bukti pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final
tersebut (SSP, SSB dan resi/ Slip Setoran dari Bank Persepsi)
dijadikan lampiran pendaftaran balik nama Sertifikat di Kantor
Pertanahan Kota Semarang dan sertifikat telah beralih nama ke
pembeli ;
11. Setelah menerima berkas SSP dan SSB tersebut Pemalsu
kemudian menghubungi Karyawan Pelaku I (pelaku pemalsuan
validasi pembayaran pajak) untuk mengambil berkas SSP dan
SSB tersebut di kosnya Pemalsu di Jl. Singa Semarang (belakang
pom bensin Majapahit), pada saat Karyawan Pelaku I mengambil
berkas blangko SSB dan SSP tersebut, Pemalsu memberikan uang
sebesar Rp.1.000.000,00 kepada Karyawan Pelaku I sebagai
imbalan jasa memalsukan validasi pembayaran pajak tersebut;
12. Selang 2 hari, setelah proses pemalsuan validasi bank persepsi
selesai, formulir SSP dan SSB yang sudah divalidasi/ stempel
palsu bank persepsi berikut slip setoran palsunya tersebut
diserahkan kembali kepada Pemalsu oleh Karyawan Pelaku I di
kosnya Pemalsu di Jl. Singa Semarang (belakang pom bensin Jl.
Majapahit), selanjutnya dokumen SSP dan SSB yang telah
divalidasi palsu berikut slip setoran palsu Bank Persepsi di
serahkan oleh Pemalsu melalui Karyawan Pelaku I di kos Pak
Pemalsu Jl. Singa Semarang (belakang pom bensin Jl. Majapahit)
93
13. Oleh Pelaku uang fee yang akan diberikan kepada Pemalsu
tersebut dimasukkan ke dalam amplop coklat besar dan
memerintahkan kepada Karyawan Pelaku I untuk memberikannya
kepada Pemalsu, kemudian ketika Pemalsu datang ke Kantor
Pelaku di Jl. Kartini Raya No. 77 Semarang, amplop coklat berisi
uang tersebut diserahkan kepada Pemalsu ;
14. Setelah berkas SSP dan SSB berikut slip setoran palsunya tersebut
diambil oleh Karyawan Pelaku I dari kosnya Pemalsu, selanjutnya
diserahkan kepada Pelaku di ruang kerjanya dan oleh Pelaku
dokumen SSB da SSP yang telah divalidasi/ distempel palsu Bank
Persepsi berikut slip setoran palsunya kemudian diserahkan
kepada Karyawan Pelaku II guna pengurusan di kantor
Pertanahan Kota Semarang
15. Dalam proses pendaftaran peralihan hak SHM No. 295/
Kalibanteng Kulon dari Penjual ke Pembeli I, PPAT Pelaku
menugaskan stafnya bernama Karyawan Pelaku II untuk
mengurus proses peralihan hak dengan lampiran pendaftaran
sebagai berikut:
a. Surat Pengantar dari PPAT;
b. Akta Jual Beli;
c. Foto copy Kartu Keluarga (KK), atau Surat Nikah;
d. Foto copy KTP penjual dan pembeli;
e. Blangko bukti pembayaran pajak BPHTB setoran SSB
lembar ke 5;
f. Blangko bukti pembayaran pajak PPH setoran SSP lembar ke
5;
g. Sertifikat Aslinya.
16. Karyawan Pelaku II mendaftarkan proses peralihan hak tersebut
pada tanggal 29 November 2010 dan proses peralihan hak selesai
(sertifikat telah beralih nama menjadi a.n. Pembeli I) pada tanggal
1 desember 2010.
17. Pada proses peralihan hak yang pertama ini, proses pendaftaran
peralihan hak di kantor Pertanahan Kota Semarang tanggal 29
Nopember 2010 dan selesai tanggal 1 Desember 2010 ;
18. Untuk proses peralihan hak yang kedua (AJB No. : 764/2010
tanggal 3 Desember 2010) dari Pembeli I ke Pembeli II, proses
94
pemalsuannya juga sama melalui Pemalsu dan Karyawan Pelaku I
dengan janji fee atau imbalan sebesar 10%, namun sampai dengan
proses peralihan hak selesai (sertifikat telah beralih kepemilikan
dari Pembeli I menjadi atas nama Pembeli II) dan hingga perkara
ini disidik) Pemalsu dan Karyawan Pelaku I belum mendapatkan
fee dari Pelaku atas jasanya memalsukan validasi pembayaran
pajak tersebut karena terdapat kesalahan penulisan ;
19. Pada proses peralihan hak yang kedua ini juga proses pendaftaran
peralihan haknya juga sama dilakukan oleh Karyawan Pelaku II
atas perintah dari Pelaku dengan menggunakan syarat
kelengkapan salah satunya adalah bukti pembayaran pajak palsu
(SSB dan SSP berikut resi setoran pajak Bank Persepsi) pada
tanggal 6 Desember 2010 dan selesai tanggal 9 Desember 2010;
20. Berdasarkan hasil penyidikan ditemukan fakta bahwa Slip setoran
Bank Persepsi berikut validasi Bank nya pada formulir SSB
(BPHTB) dan SSP (PPH Final) telah dipalsukan, dan uang
pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final atas peralihan hak atas
tanah dan bangunan SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon senilai
total Rp 823.536.000,00 tidak pernah dibayarkan ke Bank
Persepsi dan tidak masuk ke Kas Negara (MPN).
Sebagaimana diuraikan diatas dimana proses peralihan hak atas
sertifikat HM No. 295/ Kalibanteng Kulon, Pelaku secara sadar melakukan
proses peralihan hak atas tanah dan bangunan sekaligus menawarkan diri
untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.
Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh (Final)
tersebut, justru Pelaku meminta kepada Pemalsu untuk dibuatkan bukti setor
pembayaran BPHTB dan PPh (Final) tidak benar/palsu(fiktif) dan
menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan PPh (Final) yang tidak
benar/palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui oleh Pelaku .
95
Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah
Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan terdakwa Pelaku selaku
Notaris/PPAT dari para wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang
seharusnya milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 tahun
2003 Tentang Keuangan Negara.
Akibat perbuatan Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu dan Karyawan
Pelaku I telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yaitu diri Pelaku. dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar
Rp.823.536.000,-
Perbuatan Pelaku merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan pasal 9 UU RI No. 31 Tahun 1999 yang telah
dirubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi jo Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan
UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
96
B. Analisis Tidak Disetorkan Uang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan Dalam kategori sebagai Tindak Pidana
Korupsi
1. Dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Penggelapan uang
pajak pada proses peralihan hak atas jual beli tanah dan
bangunan
Dalam hasil penyidikan proses peralihan hak atas tersebut di atas,
Pelaku telah dengan sadar telah melakukan proses peraihan atas tanah
tersebut sekaligus menawarkan diri untuk membayarkan BPHTB da PPh
Final atas peralihan ha tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak pernah
dilakukan oleh Pelaku. Yang terjadi adalah Pelaku meminta kepada Pemalsu
untuk membuat bukti pembayaran BPHTB dan PPh (Final) palsu, sementara
uang sejumlah Rp. 823.536.000 yang diberikan oleh wajib pajak yang
semestinya di setorkan ke kas negara berada dalam penguasaan Pelaku .
Secara hukum uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah
Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku , sudah menjadi
uang negara sejak terjadinya peralihan hak atas tanah, oleh karena itu adalah
hak negara untuk menerima uang tersebut. Sehingga Pelaku sebagai pejabat
yang dititipkan berkewajiban (diharuskan) untuk menyetorkan uang tersebut
ke kas negara.
97
Tindakan lain yang mungkin dilakukan dimana perbuatan tesebut
dilakukan dengan melanggar kewajiban hukum atau menyalahgunakan
kewenangan dan jika perbuatan tersebut dapat mengakibatkan lenyap/ hilang
sebagaian atau seluruhnya uang tersebut, maka sama artinya dengan
melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara.
Dalam proses pembalikan nama berikut pembayaran pajak BPHTB
pada Negara terdapat perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum
yaitu uang setoran pajak PPh Final dan BPHTB sejumlah Rp 823.536.000,00
yang berada dalam kekuasaan Notaris dan PPAT Pelaku dari para wajib
pajak tersebut, Penguasaan notaris/PPAT disebabkan karena kedudukannya
sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, namun
notaris/PPAT bukan sebagai pemiliknya. Sifat uang Negara menjadi melekat
/ timbul atas sejumlah uang Rp 823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib
pajak yang in casu pihak wajib pajak mempercayakan dan menyerahkan uang
itu pada dan diterima notaris/PPAT, sebagai pejabat yang karena
kedudukannya sebagai PPAT boleh menerima titipan untuk disetor ke kas
Negara sehingga pertanggungjawaban pidana atas perbuatan tersebut adalah
Notaris / PPAT Pelaku; Pemalsu (pensiunan pegawai BPN), dan Karyawan
Pelaku I, Notaris / PPAT berwenang dan boleh menerima titipan pajak PPh
Final dan pajak BPHTB sesuai tugasnya sebagai PPAT yang menyelesaikan
akta-akta peralihan hak atas tanah berdasarkan atas kepercayaan menurut
98
hukum kebiasaan yang berlaku terus menerus dan diakui dan diterima
masyarakat dan berlaku dalam praktik, dan telah diterima dalam birokrasi
pengurusan hak-hak atas tanah dan peralihannya, maka dibenarkan notaris /
PPAT menerima titipan pajak BPHTB yang langsung berhubungan dengan
tugasnya hal tersebut bisa masuk pada ranah tindak pidana korupsi, karena
uang pajak PPh Final dan pajak BPHTB sejak diserahkan/dipotong oleh
notaris / PPAT dan berada dalam kekuasannya telah berubah sifat menjadi
uang Negara. Maka terhadap uang Negara tidak dibenarkan melakukan
perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan hukum yang menjadi
kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan oleh seseorang
pejabat in casu notaris/PPAT terhadap uang itu in casu menyetorkannya ke
kas Negara. Apabila melakukan perbuatan yang lain itu sama dengan
perbuatan melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan perbuatan
menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat) menimbulkan
lenyap/hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat dari perbuatan
itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian
keuangan negara, sehingga peristiwa tersebut bisa disangkakan Pasal 2 ayat
(1) UU TPK, dengan analisis hukumnya bahwa rangkaian perbuatan
Notaris/PPAT tidak membayarkan uang tersebut ke bank persepsi, tetapi
memberikan dokumen berupa formulir SSP / PPh Final dan SSB / BPHTB
yang telah diisi data wajib pajak kepada Pemalsu (pensiunan pegawai BPN)
99
untuk divalidasi / dipalsukan validasinya (stempel bank persepsi) dengan
perjanjian diberi imbalan 10% oleh Pelaku; Kemudian Pemalsu menghubungi
Karyawan Pelaku I untuk memvalidasi / dipalsukan validasinya (stempel
bank persepsi) formulir SSP / PPh Final dan SSB / BPHTB dan akan
memberikan imbalan kepadanya, selanjutnya bukti pembayaran pajak SSB /
BPHTB dan SSP / PPh Final tersebut dijadikan lampiran pendaftaran balik
nama Sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Semarang dan sertifikat telah
beralih nama ke pembeli, adalah merupakan wujud dari perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, dimana karena perbuatan itu
masing-masing mereka mendapatkan kekayaan dari sebagian uang Negara
tersebut, yang karena itu menimbulkan kerugian uang Negara, yang kedua
rangkaian perbuatan itu telah mengandung sifat melawan hukum karena
bertentangan dengan kewajiban hukumnya, dimana seorang notaris itu
menyandang kewajiban hukum terhadap/mengenai perlakuan terhadap uang
Negara, yang bila dilanggarnya itu sama artinya dengan mengandung sifat
melawan hukum, sama artinya juga dengan penyalahgunaan kewenangan
jabatan. Pada setiap penyalahgunaan wewenang jabatan selalu mengandung
sifat melawan hukum, dan Bisa juga disangkakan Pasal 3 UU TPK, dengan
analisis hukum Bahwa seluruh rangkaian perbuatan yang terjadi yang
dilakukan notaris/PPAT tadi dapat dikualifiser sebagai perbuatan
menyalahgunakan kewenangan jabatan, Sementara perbuatan Sdr. Pemalsu
100
dan Karyawan Pelaku I dapat dikualifiser sebagai perbuatan turut serta dalam
perbuatan notaris/PPAT menyalahgunakan kewenangan jabatan.
Sebagaimana diketahui bahwa bagi pelaku peserta tidak harus berkualitas
yang sama dengan orang yang melakukan (pelaku pelaksanaannya), yang in
casu sebagai Notaris/PPAT. Kedua orang itu bisa berkualitas sebagai pelaku
peserta dalam hal Notaris/PPAT menyalahgunakan kewenangan jabatannya,
meskipun kedua orang lainnya itu bukan seorang notaris ; Perbuatannya itu
(dapat) menimbulkan kerugian keuangan Negara;
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa proses peralihan hak atas jual beli
tanah dan bangunan di Jalan Siliwangi 440 Kalibantengkulon semarang,
dilaporkan bahwa uang pajak pada proses peralihan hak atas jual beli tanah
dan bangunan telah disalahgunakan oleh PPAT dimana terjadinya Tindak
Pidana Korupsi Penggelapan uang pajak pada proses peralihan hak atas jual
beli tanah dan bangunan. Dengan cara memalsukan dokumen setoran SSB di
bank BPD Jateng dan Setoran SSP di bank BTN Cab. Semarang seakan-
akan sudah terjadi Pembayaran Pajak BPHTB setoran SSB &
SSP sebesar Rp.411.768.000,-(empat ratus sebelas juta tujuh ratus
enam puluh delapan rupiah) Oleh karena itu kasus ini dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi bukan kasus tindak
pidana perpajakan, karena bukan dilakukan oleh wajib pajak.
101
2. Kewenangan PPAT dikaitkan dengan Uang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Uang
Negara dan Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat (1) UU BPHTB, menyebutkan
bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak
dan bukan kewajiban PPAT/Notaris, karena dalam pasal tersebut dikatakan
bahwa Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan
hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah Wajib Pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB. Dalam
penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyerahan bukti pembayaran
pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak (SSB) dan
menunjukkan aslinya.
Oleh karena itu Notaris disini hanya berperan untuk membantu klien
untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-undang juga tidak mengatur,
bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran
BPHTB. Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah dengan melakukan
verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada.
Dengan demikian, kewenangan maupun tanggung jawab PPAT
berkaitan dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sesungguhnya hanya sebatas
melakukan penandatanganan atau pengesahan terhadap SPPD-BPHTB
102
sebelum ditanda tanganinya akta peralihan yang diinginkan para pihak. Jadi
tanggung jawab PPAT bukan menjadi tempat pembayaran pajak BPHTB,
maka sebaiknya PPAT menolak dan menyarankan serta menghimbaukan
kepada para kliennya untuk melakukan pembayaran pajak BPHTB di Dinas
Pendapatan Daerah terlebih dahulu sebelum menandatangani akta peralihan
hak atas tanah.
Lebih lanjut, dalam pelaksanaan pembayaran BPHTB, PPAT sebagai
salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta perolehan hak atas
tanah dan bangunan selain berperan dalam membantu tugas kantor pelayanan
pajak guna mengamankan penerimaan Negara dari sektor pajak, juga dapat
menimbulkan akibat hukum bagi PPAT jika melanggar ketentuan Pasal 24
ayat (1) Undang-undang BPHTB.
Dalam suatu transaksi jual beli tanah dan atau bangunan, pembeli
biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran BPHTB kepada
notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk melakukan pemalsuan terjadi.
Dari hasil penelitian penulis kasus Pelaku, SH Ssebagai Notaris/PPAT
telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk
disetorkan. Akan tetapi tidak pernah mebayarkannya ke kas negara
sebaliknya notaris telah melakukan pemalsuan surat setoran bea (SSB)
perolehan hak atas tanah dan bangunan dan surat setoran pajak (SSP).
103
Sebagaimana dalam Undang-undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) menentukan beberapa Pejabat yang berwenang
dalam pemenuhan ketentuan BPHTB atas suatu perolehan hak atas tanah dan
bangunan. PPAT/Notaris ini diberi kewenangan untuk memeriksa apakah
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang sudah
disetorkan ke Kas Negara oleh Pihak yang memperoleh hak sebelum pejabat
yang berwenang menandatangani dokumen yang berkenaan dengan
perolehan dimaksud.
Pejabat yang dimaksud tersebut ditunjuk karena kewenangannya dalam
pembuatan akta dan pengesahan terjadinya perolehan hak. Pejabat tersebut
adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang dan Pejabat
Pertanahan. Pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud oleh
Undang-undang, dalam pelaksanaannya mempunyai tugas pokok dan fungsi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 dan UU PDRD:
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pelaksanaan
Undang-Undang tentang BPHTB mempunyai tugas pokok dan
fungsi membuat serta menandatangani akta peralihan hak atas
tanah dan atau bangunan setelah subyek/wajib pajak BPHTB
menyerahkan bukti penyetoran biaya pajak ke Kas Negara.
Kemudian Pejabat Pembuat Akta Tanah melaporkan pembuatan
akta Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan tersebut
104
kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.1
Menurut Habib Adjie, apabila akta PPAT telah dapat menjawab
pertanyaan mengenai telah terpenuhi kecakapan dan kewenangan sedang
Kantor Pertanahan masih memerlukan persyaratan yang berkaitan dengan
terpenuhinya kecakapan dan kewenangan, maka Kantor Pertanahan akan ikut
bertangung jawab atau setidak-tidaknya telah mengurus sesuatu hal yang
seharusnya menjadi tanggung jawab PPAT.2
Dalam UU No. 28 tahun 2009 disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta
Tanah atau Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas
tanah dan atau bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti setoran
pajak berupa SSB. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa
penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi
pembayaran pajak (SSB) dan menunjukkan aslinya.
Berdasarkan UU PDRD, bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah
kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris, karena
dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat
menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada
saat setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB
berupa Surat Setoran BPHTB. Oleh karena itu, salah satu tugas Notaris disini
1 Adjie, Habib, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT Citra
Aditya
Bandung, Bandung, 2009, h 16. 2 Ibid
105
berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-
undang juga tidak mengatur bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui
kebenaran pembayaran BPHTB.3 Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah
dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran
dengan data yang ada.4
Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaris
telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk
disetorkan. Maka berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang BPHTB,
Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris maka kewajiban
pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan
kewajiban PPAT/Notaris akan tetapi karena notaris tersebut telah menerima
penitipan uang pembayaran BPHTB tersebut dari kliennya maka Notaris
tersebut bertanggung jawab dalam jabatannya untuk menyetorkan pajak
BPHTB tersebut karena telah dipercaya oleh kliennya.
Oleh karena itu notaris dalam menjalankan jabatannya serta
melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada kliennya tetap
menghormati dan menjunjung tinggi kode etik profesi dan senantiasa
menghayati dan mengingat sumpah jabatannya.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut terkait adanya penyalahgunaan
wewenang dalam pemungutan BPHTB dalam kasus Pelaku, ada baiknya
3 Hasil wawancara dengan Pelaku, Notaris/PPAT, Semarang, 4 April 2016 4 Hasil wawancara dengan Pelaku, Notaris/PPAT, Semarang, 4 April 2016
106
disamakan persepsi bahwa pemungutan pajak apapun harus berdasarkan
hukum. Selanjutnya, harus pula disepakati bahwa dasar hukum atau legalitas
pajak dan retribusi daerah adalah peraturan daerah. Artinya, selama tidak ada
peraturan daerah, maka pungutan apapun bentuknya termasuk pungutan liar,
ilegal, dan masuk kategori perbuatan melawan hukum.
Untuk menyamakan persepsi tersebut, maka menurut Pasal 23A
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-
Undang. Artinya, negara dengan kekuasaannya tidak bisa sewenang-wenang
memungut pajak apapun tanpa ada dasar hukum atau undang-undang.
Menurut Sugiharto bahwa peningkatan pendapatan dari bidang pajak,
dapat dilakukan dengan menetapkan strategi yang tepat dalam pemungutan
pajak, banyak hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemungutan pajak
antara lain adalah asas dalam pemungutan pajak.5 Dalam pemungutan pajak
terkait beberapa asas yakni asas yuridis, ekonomis dan finansial:
1) Asas Yuridis
Menurut asas ini untuk menjamin bahwa pemungutan pajak
mencerminkan keadilan maka hukum pajak harus memberikan jaminan
hukum yang nyata bagi Negara maupun bagi warganya, oleh karena itu
maka pajak yang dipungut untuk kepentingan negara harus berdasarkan
5 Sugiharto, Op. cit, 2003, hal 37
107
undang-undang. Di Indonesia landasan hukum pemungutan pajak untuk
kepentingan negara adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945.
2) Asas Ekonomi
Asas ekonomi lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara
menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat,
untuk itu maka pemungutan pajak diupayakan tidak menghambat
kelancaran perkembangan ekonomi juga akan selalu memperhitungkan
biaya untuk melakukan pemungutan pajak (collection ratio) relevan
dengan jumlah penerimaan yang diharapkan. Selain itu tidak kalah
pentingnya asas ekonomi dalam pemungutan pajak ini justru lebih
dekat dengan fungsi pengaturan (regulerred).
3) Asas Finansial
Suatu pemahaman bahwa fungsi pajak adalah fungsi budget, yaitu
fungsi pajak untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam
kas negara, sehubungan dengan itu agar hasil pemungutan pajak besar
maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.
Mengingat bahwa pajak adalah pungutan paksa yang dilakukan oleh
pemerintah kepada wajib pajak tanpa kontraprestasi secara langsung yang
dapat ditunjuk, menurut Miyasto dalam Dewi Kania Sugiharti bahwa
pungutan pajak harus memenuhi asas-asas sebagai berikut:
108
1) Asas legal, berdasarkan asas ini setiap pemungutan pajak harus
didasarkan pada undang-undang. Oleh karena itu setiap peraturan
perpajakan, baik yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah, maupun
peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus ada referensinya dalam
undang-undang”.
2) Asas kepastian hukum, menurut asas ini ketentuan-ketentuan
perpajakan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan dan kebingungan,
tetapi harus jelas dan mempunyai pengertian sehingga tidak bersifat
ambigu. Ketentuan-ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda akan
menimbulkan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para
penyelundup pajak.
3) Asas efisien, dimana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian
digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintah
dan pembangunan. Oleh karena itu suatu pungutan pajak harus efisien,
jangan sampai biaya pemungutannya justru lebih besar dari hasil
penerimaan pajaknya sendiri.
4) Asas non distorsi, berdasarkan asas ini Pajak yang dipungut harus tidak
menimbulkan distorsi di dalam masyarakat, terutama distorsi ekonomi,
pengenaan pajak seharusnya tidak menimbulkan dampak kelesuan
ekonomi dan menghambat perkembangan ekonomi tetapi sebaliknya
dapat memberikan stimulasi terhadap perkembangan dunia usaha.
109
5) Asas kesederhanaan, dalam hal ini yang dimaksud bahwa aturan-aturan
perpajakan, harus dibuat secara sederhana sehingga mudah dimengerti
oleh masyarakat wajib pajak, maupun oleh fiskus sebagai pihak-pihak
yang terkait dengan perpajakan. Sederhana dalam sistem maupun tata
caranya sehingga wajib pajak mudah dalam melaksanakan
kewajibannya maupun haknya. Aturan-aturan pajak yang rumit
disamping akan menyulitkan dalam pelaksanaan perpajakan juga akan
menimbulkan penafsiran yang berbeda sehingga dapat celah hukum
(loopholes) dan memudahkan terjadinya penghindaran pajak,
disamping itu juga dapat menimbulkan keengganan bagi wajib pajak.6
Asas-asas tersebut akan dijadikan notaris, untuk memposisikan diri,
menimbang kebenaran informasi yang diberikan, hal ini berkaitan dengan
landasan logis dari Notaris dalam menilai suatu transaksi, logis dalam
mengkaji nilai riil dari transaksi tersebut.
Lebih lanjut, dengan pertimbangan Undang-Undang 22 tahun 1999
yang disempurnakan oleh Undang-Undang 32 tahun 2004 yang intinya
terdapat pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah, diharapkan terciptanya kemandirian pengelolaan
pemerintahan daerah melalui sistem otonomi daerah. Atas dasar itulah, maka
Pemerintah Pusat mengalihkan beberapa pemungutan pajaknya kepada
6 Miyasto dalam Dewi Kania Sugiharti , Op. cit, 2005, hal 20
110
Pemerintah Daerah, salah satunya adalah Pajak BPHTB dengan dasar
Undang-Undang 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Merujuk dalam kasus ini, maka suatu transaksi jual beli tanah dan atau
bangunan, pembeli biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran
BPHTB kepada Notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk
menggunakan uang titipan tidak sebagaimana mestinya. Namun demikian,
belum tentu kesalahan selalu ada pada notaris. Karena, bisa saja pemalsuan
dilakukan justru oleh pembelinya sendiri.
Dengan cara memalsukan SSB dan SSP tersebut, yang mana telah
dilaporkan dan dilakukan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Daerah Jawa
Tengah yang dapat dianalisis, sebagai berikut :
Bahwa pada bulan November sampai dengan Desember
2010 atau setidak-tidaknya pada tahun 2010 di Kota Semarang
telah diduga terjadi tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti
setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB
dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan
bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun
2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00
(delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu
rupiah) yang dilakukan oleh Pelaku. Pelaku, dkk, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau pasal
9 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU Rl No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU
Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana
korupsi jo Pasal 88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaris
Pelaku melakukan proses pembalikan nama berikut pembayaran pajak
111
BPHTB dan PPh (Final) sebagaimana diuraikan diatas terdapat perbuatan
yang mengandung sifat melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang di
mana proses pembalikan nama sertifikat HM No. 295 Kalibanteng Kulon
tersebut, Pelaku secara sadar menyalahgunakan kewenangan selaku PPAT
yang mempunyai kewenangan melakukan proses peralihan hak atas tanah dan
bangunan tetapi sekaligus menawarkan diri untuk jasa pembayaran BPHTB
dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.
Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh (Final)
tersebut, Pelaku justru meminta bantuan sdr. Pemalsu (Pensiuan pegawai
BPN Kota Semarang) untuk dibuatkan bukti setor pembayaran BPHTB dan
PPh (Final) palsu dan menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan
PPh (Final) yang palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui
oleh Pelaku . Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah
Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris /
PPAT dari wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya
disetorkan ke Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib
disetorkan ke Kas Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang
wajib disetorkan ke Kas Negara oleh Pelaku selaku Notaris / PPAT, dalam
jumlah yang sama. Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final)
sejumlah Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku
Notaris/ PPAT adalah merupakan uang yang seharusnya disetorkan ke
112
Negara atau masuk keuangan Negara karena uang setoran pajak BPHTB dan
PPh (Final) adalah menjadi hak Negara, meskipun secara fisik belum dalam
penguasaan Negara melainkan masih dalam penguasaan Pelaku selaku
Notaris/ PPAT disebabkan karena kedudukannya sebagai PPAT yang
menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, yang menawarkan diri
kepada para wajib pajak untuk membayarkan uang pajak tersebut.
Sifat uang Negara menjadi melekat / timbul atas sejumlah uang Rp.
823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib pajak yang in casu pihak wajib
pajak mempercayakan dan menyerahkan uang itu pada dan diterima Notaris /
PPAT, sehingga pejabat yang karena kedudukannya sebagai PPAT boleh
menerima titipan untuk disetor ke Kas Negara tentunya melalui Bank
Persepsi.
Maka terhadap uang yang seharusnya disetorkan ke Negara tidak
dibenarkan melakukan perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan
hukum yang menjadi kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan
oleh seorang pejabat in casu notaris / PPAT (Pelaku ) terhadap uang itu in
casu menyetorkannya ke Kas Negara. Maka apabila melakukan perbuatan
tidak menyetorkan uang titipan yang seharusnya milik Negara sama dengan
perbuatan yang melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan
perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat)
menimbulkan lenyap / hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat
113
perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan
kerugian keuangan Negara, sama artinya dengan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 UU No. 31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Akan tetapi, permasalahan yang dibahas dalam kasus yang Penulis
uraikan di atas juga merupakan kasus penggelapan uang titipan pembayaran
pajak BPHTB dan PPh yang diduga dilakukan oleh Pelaku terhadap proses
jual SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon serta menggunakan bukti setor palsu
BHTB / SSB dan PPh (final)/ SSP tersebut untuk syarat kelengkapan berkas
pendaftaran peralihan hak SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon. Akibat
perbuatan tersebut, Negara mengalami kerugian sebesar Rp.823.536.000,00,.
Mengkaji kembali terhadap sejak diberlakukannya Undang-Undang 28
tahun 2009, pemungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat dialihkan kepada
Pemerintah Daerah sejak 1 Januari 2011, seperti yang tercantum dalam Pasal
180, bahwa Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tetap
berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang
ini. Ketentuan Pasal 180 tersebut tidak serta merta pada 1 Januari 2011 itu
114
Pemda bisa langsung memungutnya, sebab ada syarat yang harus dipenuhi,
sebagaimana isi Pasal 184, bahwa peraturan pelaksanaan atas Undang-
undang ini ditetapkan paling lambat satu tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan.
Dalam penjelasan dari Pasal 184 yang menyebutkan, peraturan
pelaksanaan atas Undang-undang ini (Undang-Undang 28 tahun 2009) ada
dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-495/MK/2010, bahwa persiapan
yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB antara lain : Landasan hukum
pemungutan BPHTB berupa Peraturan Daerah tentang BPHTB; Sistem dan
Prosedur pemungutan BPHTB, yang ditetapkan dengan peraturan Kepala
Daerah; Data NJOP, untuk validasi pembayaran BPHTB; dan Melakukan
sosialisasi tentang tata cara pemungutan BPHTB kepada pihak terkait
termasuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Notaris, Kantor Lelang, dan
kantor Pertanahan.
Dalam praktek sehari-hari, Wajib Pajak yang mewakilkan kepada
Notaris/PPAT, menyetorkan BPHTB yang terhutang atas transaksi yang
dibuat dihadapannya ( Jual Beli) ke Bank persepsi yaitu Bank BPD Jateng
dan Bank Rakyat Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan Walikota
Nomor 24 Tahun 2011, Surat Setoran BPHTB ini harus diteliti lebih dahulu
(verifikasi) oleh Dinas Pendapatan Kota Semarang, baru dapat dipergunakan
sebagai lampiran dari akta pemindahan hak untuk didaftarkan di Kantor
115
Pertanahan Kota Semarang. Saat ini kegiatan verifikasi ini sudah mulai
mengarah kepada hal-hal yang sifatnya kolektif. Penelitian dilakukan
mencakup 2 hal, yaitu :
1) Kebenaran dari informasi yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak
Daerah (SSPD),
2) Kelengkapan Dokumen pendukung Surat Setoran BPHTB.
Berdasarkan pada Kasus Pelaku, dimana masalah yang timbul
disebabkan karena tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
Notaris/PPAT melalui kedudukan tugas dan tanggungjawabnya sebagai
pejabat umum untuk menunjang tata cara pembayaran BPHTB.
Faktor utama tersebut, lahir dari praktek notaris, karena memang
permasalahan-permasalahan tersebut sangat menghambat tugas/kerja notaris.
Sanksi terhadap notaris sangat jelas tetapi kenyataannya dukungan
administrasi guna mengefektifkan peran notaris dalam pemungutan BPHTB
hadiah tidak maksimal, contoh lain adalah ketentuan praktek harus dibayar
dulu BPHTB baru dilakukan penandatangan akta, padahal ketentuan lain
sebelum akta ditandatangani belum terjadi peralihan hak, sehingga status
kepemilikan antara pembayaran BPHTB dan sebelum penandatangan akta,
tanah masih milik penjual, karena BPHTB belum merupakan bukti terjadinya
peralihan objek tanah dan bangunan yang dimaksud. Dasar-dasar pemikiran
116
tersebut yang perlu direvisi kembali dalam pola administrasi baru
menyangkut pengaturan dalam pemungutan BPHTB.
Secara hukum, untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang
(penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari segi
sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di
dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu
tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan” (geen
bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no authoritu without
responbility).7 Ini membuktikan bahwa dalam hukum administrasi di setiap
penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun
tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis
memikul tanggung jawab karena harus dapat melihat apakah pejabat yang
bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara
memperoleh dan menjalankan wewenang. Menurut L.J.A Damen, yang
mengatakan bahwa “ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji
dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan
bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan
tertentu”. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap
sebagai penyalahgunaan wewenang.8
7 Nur Basuki, Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama, hal
75-76 8 L.J.A Damen, 2005, hal 57
117
Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit
beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang,
prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi
harus berdasarkan peraturan perundang–undangan (asas legalitas), karena
pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan
diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur
untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.
Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan
wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam
kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”,
penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam
3 (tiga) wujud yaitu :
1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-
tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau
golongan,
2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan
pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan
umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan
tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-
peraturan lainnya,
3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan
prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan
tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.
Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat
merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru
118
sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak
ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.9
Cara dan metode tindak kejahatan korupsi juga semakin canggih,
kejahatan ini semakin bisa mengikuti perkembangan zaman dan juga
mengikuti perkembangan aturan yang ada. Kejahatan ini bermetamorfosis
dengan baik dan semakin rapi dalam prakteknya. Perilaku kejahatan ini
mewabah tidak hanya dalam sisi masyarakat yang secara financial
membutuhkan uang atau dengan kata lain melakukan kejahatan korupsi
berdasarkan terdesak kebutuhan ekonomi, bahkan cenderung mewabah pada
pegawai pemerintah yang dalam sisi ekonomi lebih mapan dan memiliki
pendapatan yang tetap.
Public officials’ excessive desire for material wealth has been
deemed as among the major causes of the rampaging corruption
in Indonesia. This is believed to have contributed to the high
demand for civil servant positions in the government. In fact,
evidence suggests that there is even an underground market for
those who are willing to pay a huge amount of money to succeed
in civil servant recruitments.10
Sudut pandang ini timbul atas terlalu banyaknya kegagalan dalam
upaya pemberantasan korupsi yang hanya melihat korupsi merupakan
kejahatan yang didasarkan pada subjeknya yaitu manusia yang merupakan
makhluk ekonomi yang memiliki kebutuhan. Salah satu upaya yang marak
dilakukan adalah dengan berbagai perubahan kebijakan pemerintah secara
9 Lilik Mulyadi, Op. cit, 2007, hal 5 10 Hendi Yogi Prabowo, Op. cit, 2014, hal 313
119
merata maupun pihak swasta untuk meningkatkan gaji Pemalsu, yang
terbukti belum maksimal untuk menekan angka kejahatan korupsi. Oleh
karena itu, menempatkan korupsi dalam kerangka manusia sebagai makhluk
ekonomi atau homo economicus sungguh tidak memadai.
Barangkali karena kerangka pemikiran ini, pemberantasan korupsi
tidak bisa dilakukan secepat harapan kita semua. Praktis hampir semua
kebijakan pemberantasan korupsi dirancang berdasarkan kerangka pemikiran
yang menggunakan asumsi homo economicus itu. Korupsi diberantas dengan
menaikkan gaji dan meningkatkan hukuman untuk membuat efek jera. Bila
penghasilan resmi dinaikkan, maka seseorang tidak akan tergoda untuk
mencari tambahan penghasilan melalui cara-cara korupsi. Demikian juga
ketika ancaman hukuman diperberat, seseorang tidak akan berani lagi
melakukan korupsi.11
Namun penegakan hukum tidak akan pernah berhenti begitu saja, sebab
bagaimanapun juga hukum akan terus mengikuti kemajuan jaman dan
kebutuhan masyarakat. Metamorfosis hukum sama halnya juga dengan
kejahatan, selalu akan berubah seiring jaman. Dalam hal ini yaitu
permasalahan kejahatan korupsi, hukum di Indonesia juga terus berkembang.
Berdasar pada salah satu tuntutan dari rakyat Indonesia adalah pemberanasan
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang diawali dengan adanya Ketetapan
11 J Danang Widoyoko, Op. cit, 2013, hal v
120
MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lalu secara yuridis normatif
berbagai peraturan perundang-undangan sebagai sarana pemberantasan
korupsi mulai tercipta, dinataranya yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, selanjutnya
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang telah dirubah ke dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Sehingga saat ini Indonesia memakai Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai salah satu cara untuk memberantas korupsi dengan
pendayagunaan hukum pidana.
Dalam tata hukum Indonesia, istilah Korupsi sudah dikenal setelah
diundangkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tentang
Pemberantasan Korupsi, yang selanjutnya mengalami perubahan dan
pembaharuan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, hingga
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kini Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sejak berlakunya KUHP
(sejak Pemerintah Kolonial Belanda Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch, S 1915 No. 732, mulai berlaku 1 Januari 1918) sudah ada
121
pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi. Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana (termasuk
dalam hukum pidana khusus) didayagunakan untuk menanggulangi tindak
pidana korupsi. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu sarana
(penal) yang memerlukan sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan
kesemuanya itu sebagai pengoperasian perundang-undangan pidana dalam
masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari problema kemasyarakatan
menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya.12
Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan,
lebih konkretnya mengoperasikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka
penanggulangan tindak pidana korupsi akan menghadapi problema
keterbatasan kemampuannya. Mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni
korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dilihat dari
pelaku dan modus operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar
crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama
sudah seharusnya dimanfaatkan. Bahkan dalam perkembangannya, bukan
hanya secara peraturan perundang-undangan saja yang dimaksimalkan dan
12 http://dickyfh.blogspot.com/2012/06/vbehaviorurldefaultvmlo_6184.html
122
semakin berkembang, namun juga instansi dan metode dari para aparat
penegak hukum untuk dapat memberantas korupsi yang merajalela di
Indonesia.
C. Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Korupsi Pada
Penyimpangan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan (BPHTB)
Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila
perbuatan tersebut telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal atau aturan
yang mengatur dimana perbuatan tersebut dinyatakan dilarang. Dalam hal
adanya suatu dugaan tindak pidana, penegak hukum harus dapat menyidik
untuk memperoleh kejelasan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
benar merupakan suatu tindak pidana. Proses hukum lalu berlanjut dengan
penerapan sanksi untuk mengetahui peraturan apa saja yang telah dilanggar
serta sejauh mana perbuatan pelaku melanggar perturan tersebut. Pada
akhirnya, setelah melalui proses pembuktian, diputuskanlah sanksi pidana
yang akan diterapkan kepada pelaku.
Menurut Utrecht Hukum adalah himpunan peraturan (baik berupa
perintah maupun larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat
dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh
karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan
dari pihak pemerintah. Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti
123
ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam
tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara
dapat di selesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk
menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas
dirinya sendiri.
Dalam tata hukum Indonesia, istilah Korupsi sudah dikenal setelah
diundangkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tentang
Pemberantasan Korupsi, yang selanjutnya mengalami perubahan dan
pembaharuan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, hingga
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kini Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sejak berlakunya KUHP
(sejak Pemerintah Kolonial Belanda Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch, S 1915 No. 732, mulai berlaku 1 Januari 1918) sudah ada
pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi. Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana (termasuk
dalam hukum pidana khusus) didayagunakan untuk menanggulangi tindak
pidana korupsi. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu sarana
124
(penal) yang memerlukan sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan
kesemuanya itu sebagai pengoperasian perundang-undangan pidana dalam
masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari problema kemasyarakatan
menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya.13
Dalam upaya pembuktian Tindak Pidana Korupsi, terjadi perbedaan
pendapat diantara praktisi hukum mengenai apakah Perkara Pokok dari
Tindak Pidana Korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu atau tidak? apa yang
sebenarnya menjadi sumber permasalahannya hingga menyebabkan
perbedaan pandangan tersebut. Dalam hal ini, mencoba menemukan dan
mengkaji sumber permasalahan tersebut, yang dimulai dari penguraian unsur
tersebut.
(1). Setiap orang yang dengan sengaja:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Unsur "Dengan Sengaja":
Jika dalam suatu perumusan tindak pidana digunakan istilah dengan
sengaja, menurut doktrin harus ditafsirkan secara luas, artinya mencakup:
13 http://dickyfh.blogspot.com/2012/06/vbehaviorurldefaultvmlo_ 6184.html
125
kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan dengan kesadaran pasti
atau keharusan (opzet bij zekerheids ofnoodzalijkheids bewustzqn),
kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis). Sehingga
pengertian dengan sengaja sebagai dikehendaki dan diinsyafi telah diperluas.
Jadi menghendaki dan atau menginsyafi tidak hanya berarti apa yang betul-
betul dikehendaki dan atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi juga hal-hal yang
mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu.14
Penempatan unsur kesengajaan, dalam Pasal 2 ditempatkan pada awal
perumusan delik sangat berpengaruh dalam pembuktian unsur-unsur
selanjutnya dalam Pasal yang bersangkutan. Unsur kesengajaan diletakkan
pada awal perumusan delik, atau dengan perkataan lain dibelakang unsur
kesengajaan terdapat unsur-unsur : tindakan terlarang dan diancam pidana
oleh undang-undang, bersifat melawan hukum dan keadaan-keadaan tertentu.
Maka ketiga unsur tersebut harus diliputi oleh unsur kesengajaan. Misalnya :
delik dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999:
“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit I (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"."
14 Sianturi, EY Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
AHMPTHM, Jakarta 1982
126
Penempatan unsur kesengajaan di depan perumusan delik
tersebut berarti pelaku harus mengetahui dan/atau menginsyafi :
tindakannya dalam menempatkan harta kekayaan.
sifat melawan hukum dari harta kekayaan tersebut.
Unsur Diketahui dan Patut diduga:
Dilihat dari uraian unsur-unsur diketahui dan patut diduga dalam pasal
3 diatas, dapat dikatakan bahwa pasal tersebut diliputi oleh kesengajaan
(diketahui), 46 tetapi mungkin pula diliputi kealpaan (patut diduga), atau
dalam bahasa latinnya disebut (PRO PARTUS DOLUS PRO PARTUS
CULPA (1/2 Dolus 1/2 Culpa).
Apabila perbuatan menempatkan harta kekayaan itu diketahui bahwa
harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan, maka perbuatan tersebut
disengaja (DOLUS), sedangkan apabila asal-usul harta kekayaan yang
ditempatkannya itu tidak diketahui berasal dari kejahatan tetapi si pelaku lalai
dan kurang hati-hati dalam menilainya maka perbuatan tersebut menjadi lalai
(CULPA).;
Akan tetapi dikarenakan pada awal perumusan delik dalam Pasal 3
telah dicantumkan unsur dengan sengaja, maka akan berakibat lain dengan
unsur patut diduga, sehingga unsur kesengajaan harus termasuk didalamnya.
Misalnya : dalam hal ini Jaksa hanya dapat mendakwa seseorang yang
127
sengaja menempatkan harta kekayaan (diatas 50 juta rupiah) yang dia ketahui
bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari suatu kejahatan korupsi.
Apabila unsur patut diduga dalam Pasal 3 tidak diliputi unsur
kesengajaan, maka Jaksa dapat membarengkan pembuktiannya, si pelaku
yang menempatkan harta kekayaan tersebut mengetahui bahwa harta tersebut
berasal dari korupsi atau seharusnya si pelaku patut menduga bahwa harta
kekayaan tersebut berasal dari kejahatan korupsi, sehingga Jaksa dalam hal
ini dapat membuktikan secara alternatif yaitu harta kekayaan yang diketahui
pelaku tersebut berasal dari korupsi atau dapat memfokuskan pada kealpaan
si pelaku dalam menilai pengetahuannya terhadap harta kekayaan tersebut.
Kemudian dibantu dengan penjelasan Pasal 3 yang menyebutkan yang
dimaksud dengan merupakan hasil tindak pidana yaitu sudah terdapat bukti
permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana, penjelasan tersebut
bertujuan untuk dapat lebih mempermudah pembuktian korupsi dalam hal
adanya perkara pokok tanpa menunggu proses perkara pokoknya tersebut ke
tingkat pengadilan. Hal tersebut dapat diperbandingkan dalam pembuktian
Pasal 480 KUHP soal Penadahan yang dalam rumusan pasal tersebut
sebagian unsurnya diliputi oleh kesengajaan tetapi mungkin pula diliputi oleh
kealpaan (Pro Partus Dolus Pro Partus Culpa), dimana perkara penadahan
dapat diajukan dan diputus dalam sidang pengadilan tanpa menunggu
pembuktian Perkara Pencuriannya.
128
Pasal 480 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah :
1. barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai,
menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadai, mengangkut,
menyimpan atau menyembunyikan, sesuatu benda, yang
diketahui atau sepatutnva harus diduga bahwa diperoleh dari
kejahatan penadahan.
Namun ada prinsip dasar dalam Pasal 480 KUHP yang
membedakannya dengan korupsi, yaitu: Pelaku Kejahatan Pokoknya
(misalnya si Pencurinya) tidak dapat dikenakan penadahan walaupun ia
sendiri yang menjual barang hasil curiannya dengan hasrat mendapat untung
(utwinsbejag). Dimana menurut Arrest Hoge Raad tahun 1927 mengenai
Pasal 480 KUHP, ditentukan bahwa pencuri yang dengan hasrat untuk
mendapat untung menjual sendiri barang curiannya, tidak dapat dikatakan
penadahan (helen), sekalipun itu memenuhi unsur yang tersebut dalam Pasal
480 KUHP. Sebab Pasal 480 KUHP dinamakan “kejahatan yang
mempermudah orang melakukan kejahatan”.15
Sedangkan yang dimaksud dengan korupsi adalah suatu proses untuk
menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari
hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan atau penyitaan, dengan
15 M Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan, Edisi
Kedua, Grafika 1991
129
hasil akhir dari proses itu adalah hasil tindak pidana "menjelma" seolah-olah
menjadi harta yang sah.
Sehingga pelaku korupsi selain dikenakan dakwaan Pasal 365 KUHP
tetapi juga dapat dikenakan Dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang,
apabila ia sendiri yang menempatkan harta kekayaan yang berasal dari hasil
korupsi tersebut.
Berkaitan dengan kasus yang diteliti, bahwa Pelaku merupakan
PPAT/Notaris yang terbukti melakukan tindak pidana dengan berbagai
macam rentetan kasus diantarnya Penggelapan uang Pajak, Korupsi dalam
hal ini penyalahgunaan wewenang dalam jabatan.
Atas kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pelaku melalui pemalsuan
SSB dan SSP, telah dilakukan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Wilayah
Polda Jateng yang dapat dianalisis, sebagai berikut :
Bahwa pada bulan November sampai dengan Desember 2010 atau
setidak-tidaknya pada tahun 2010 di Kota Semarang telah diduga terjadi
tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi
pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan
hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang
tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00
(delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah)
yang dilakukan oleh Pelaku, dkk, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
130
(1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau pasal 9 UU Rl No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU Rl No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 88 KUHP
jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP,
Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam perbuatan Pelaku kasus
tersebut Notaris Pelaku melakukan proses pembalikan nama berikut
pembayaran pajak BPHTB dan PPh (Final) sebagaimana diuraikan diatas
terdapat perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum dan
penyalahgunaan wewenang di mana proses pembalikan nama sertifikat HM
No. 295 Kalibanteng Kulon tersebut, Pelaku secara sadar menyalahgunakan
kewenangan selaku PPAT yang mempunyai kewenangan melakukan proses
peralihan hak atas tanah dan bangunan tetapi sekaligus menawarkan diri
untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.
Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh (Final)
tersebut, Pelaku justru meminta bantuan sdr. Pemalsu (Pensiunan Pegawai
BPN Kota Semarang) untuk dibuatkan bukti setor pembayaran BPHTB dan
PPh (Final) palsu dan menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan
PPh (Final) yang palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui
oleh Pelaku . Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah
131
Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris /
PPAT dari wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya
milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan
ke Kas Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib
disetorkan ke Kas Negara oleh Pelaku selaku Notaris / PPAT, dalam jumlah
yang sama. Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah Rp.
823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPT
adalah merupakan uang Negara atau masuk keuangan Negara karena uang
setoran pajak BPHTB dan PPh (Final) adalah menjadi hak Negara, meskipun
secara fisik belum dalam penguasaan Negara melainkan masih dalam
penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPAT disebabkan karena kedudukannya
sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, yang
menawarkan diri kepada para wajib pajak untuk membayarkan uang pajak
tersebut.
Sifat uang Negara menjadi melekat / timbul atas sejumlah uang Rp.
823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib pajak yang in casu pihak wajib
pajak mempercayakan dan menyerahkan uang itu pada dan diterima Notaris /
PPAT, sehingga pejabat yang karena kedudukannya sebagai PPAT boleh
menerima titipan untuk disetor ke Kas Negara tentunya melalui Bank
Persepsi.
132
Maka perlakuan terhadap uang Negara tidak dibenarkan melakukan
perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan hukum yang menjadi
kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan oleh seorang pejabat
in casu notaris / PPAT (Pelaku ) terhadap uang itu in casu menyetorkannya
ke Kas Negara. Maka apabila melakukan perbuatan yang lain itu sama
dengan perbuatan melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan
perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat)
menimbulkan lenyap / hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat
perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan
kerugian keuangan Negara, sama artinya dengan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 UU No. 31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Selain itu, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Pol. : SP.
Sidik/96 a/III/2012/Reskrimsus dan No. Pol. : SP.Sidik/485/VII/2014/
Reskrimsus, serta No. Pol. : SP.Sidik/664/X/2014/ Reskrimsus, Pelaku
ditetapkan sebagai Pelaku dalam kasus dugaan tindak pidana Korupsi atas
proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon,
Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh
Final / SSP dan BPHTB / SSB (dan uang pajaknya dipergunakan secara
pribadi oleh Pelaku ) sehingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp
133
823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam
ribu rupiah).
Perbuatan Pelaku telah memenuhi unsur delik pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1), pasal 3 dan pasal 9 UU Rl No.
31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999
yang telah dirubah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dengan uraian analisa
pembuktian yuridis sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah
dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi pasal
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00".
Pembahasan dan Analisa Yuridis Unsur-Unsur Pasal di atas, sebagai
berikut :
134
a. Setiap orang
Terdapat adanya orang yang bernama Pelaku sebagai
Notaris/PPAT yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi
dengan cara memalsukan bukti setor dan validasi bank persepsi
pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses
peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon,
Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya
pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB ke Kas Negara sementara
Negara telah berprestasi menyelesaikan proses peralihan (proses balik
nama Sertifkan Hak Milik telah selesai menjadi atas nama pembeli)
sehingga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00
(delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu
rupiah).
b. Unsur melawan hukum :
Unsur melawan hukum dalam hukum pidana terdapat ajaran
tentang “sifat melawan hukum” (SMH) terdiri dari SMH formil dan
SMH materil. SMH formil, hukum adalah hukum tertulis yaitu
peraturan perundang-undangan (wet). Terpenuhinya sifat melawan
hukum apabila pelaku melanggar atu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan (onwetmatigedaad). SMH materil, hukum tidak
hanya hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritten
135
law) hukum adalah recht. Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila
pelaku melanggar atau bertentangan dengan hukum
(onrechtmatigedaad).
SMH materil terdiri dari SMH materil dalam fungsinya yang
positif dan SMH materil dalam fungsinya yang negatif. SMH materil
dalam fungsinya yang negatif sebagaimana tercantum dalam Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi (UUTPK)
“Yang dimaksud dengan secara melawan hukum
dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-
norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana”.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK ini telah dicabut dengan
putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2006, sehingga UUTPK
tidak menganut ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsinya
yang positif. Oleh karena itu, terpenuhinya unsur melawan hukum
apabila perbuatan pelaku melanggar atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif
terdapat dalam yurisprudensi, yaitu putusan MA No. 42/KR/1965 yang
pada intinya menyatakan bahwa suatu perbuatan yang memenuhi
136
unsur-unsur tindak pidana korupsi, dapat hilang sifat melawan
hukumnya, sehingga pelaku tidak dapat dipidana apabila:
1. Negara tidak dirugikan;
2. Terdakwa tidak dapat untung;
3. Kepentingan umum dilayani.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur
melawan hukum terpenuhi apabila perbuatan pelaku bertentangan atau
melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Unsur
melawan hukum tidak terpenuhi apabila:
1. Negara tidak dirugikan;
2. Terdakwa tidak dapat untung;
3. Kepentingan umum dilayani.
Berdasarkan kasus tindak pidana korupsi yang didakwakan dalam
penggelapan pajak yang ada, bahwa perbuatan Pelaku tersebut telah
melawan hukum formil, sebagai berikut :
1) Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB
a) Pasal 24 (1) : PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani
Akta Pemindahan Hak atas tanah dan atau Bangunan setelah
wajib pajak menyerahkan Bukti Pembayaran Pajak;
137
Penjelasan Pasal 24 (1) tersebut menyebutkan bahwa
penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan
menyerahkan fotokopi pembayaran pajak dan menunjukkan
aslinya.
b) Pasal 24 (3) : Kepala Kantor Pertanahan Kab./ Kota hanya
dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran
peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak.
Pasal 25 (1) : PPAT/ Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara
melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas
tanah dan bangunan kepada Dirjen Pajak selambat-lambatnya tanggal
10 bulan berikutnya;
1) PP No. 37 tahun 1998 tentang PPAT, Pasal 26 (3) : PPAT Wajib
mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang
diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor
Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang –
undang atau PP yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10
bulan berikutnya.
2) Bahwa dalam penjelasan pasal 2 Undang-undang No. 31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
dimaksud dengan unsur melawan hukum adalah mencakup
138
perbuatan melawan hukum dalam arti formil, maka perbuatan
Pelaku . Pelaku yang menggunakan bukti setor (termasuk
validasi bank persepsinya) palsu untuk dipergunakan sebagai
syarat dalam pendaftaran proses peralihan hak SHM 295 di
kantor pertanahan kota Semarang, sementara Pelaku mengetahui
dan sadar bahwa bukti setor BPHTB dan validasinya tersebut
palsu adalah telah memenuhi unsur/ delik formil.
c. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi
Pelaku dengan sengaja tidak membayarkan uang setoran pajak
yang dititipkan oleh wajib pajak kepadanya sebesar Rp.
823.536.000.,00 dan menggunakan bukti setoran pajak palsu untuk
pendaftaran proses peralihan hak atas tanah SHM No. 295/Kalibanteng
Kulon, Kota Semarang di Kantor Pertanahan Kota Semarang adalah
merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri, karena dengan tidak
disetorkannya uang tersebut untuk pembayaran pajak, maka
kekayaannnya bertambah Rp 823.536.000,00 yang kemudian sebagian
diserahkan kepada Pemalsu sebesar Rp. 30.000.000 dan Karyawan
Pelaku I sebagai fee atas jasa mereka membuatkan bukti setor pajak dan
validasi palsu, adalah merupakan perbuatan memperkaya orang lain,
139
karena pada akhirnya kekayaan Pelaku dan Karyawan Pelaku I
bertambah sebesar bagian yang mereka terima;
Karena besarnya pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan
ketentuan, dimana perbuatan ini telah “memperkaya suatu diri sendiri”
Akibat diterimanya permohonan keberatan pajak dari wajib pajak,
Pelaku tersebut menerima keuntungan dalam hal ini jelas telah
merugikan Negara.
d. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
Negara
Bahwa dengan terjadinya transaksi jual beli yang menimbulkan
kewajiban pajak bagi para pihak selaku wajib pajak tersebut, kemudian
tidak disetorkannya uang pembayaran pajak PPh (final) dan
BPHTB yang sudah dititipkan oleh wajib pajak kepada Notaris
ke Kas Negara tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi
Notaris/PPAT Pelaku tersebut, maka dengan mengacu pada definisi
tentang kerugian negara bahwa kerugian negara terjadi karena
berkurangnya aset negara baik yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum seseorang, dimana berkurangnya asset tersebut
terjadi karena uang yang seharusnya tidak keluar dari kas negara tetapi
ternyata keluar dari kas negara ataupun uang yang seharusnya
masuk ke kas negara ternyata tidak dimasukan ke kas Negara, maka
140
kejadian tersebut setidak tidaknya dapat mengakibatkan terjadinya
kerugian keuangan negara.
Dengan demikian akibat perbuatan Pelaku . Pelaku bersama-
sama Pemalsu dan Karyawan Pelaku I dengan melakukan pemalsuan
bukti setor Pajak dan validasinya dan tidak menyetorkan uang
titipan pembayaran pajak dari wajib pajak sebesar Rp 823.536.000,00
tersebut ke kas Negara, maka berakibat Negara dirugikan sebesar
Rp.823.536.000,00.
Dari hasil uraian analisa pembuktian yuridis tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa terhadap Pelaku telah cukup bukti
melakukan perbuatan pidana yang memenuhi unsur/ delik Pidana
Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah
dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah
dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi:
141
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara
atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00".
a. Setiap orang
Terdapat adanya orang yang bernama Pelaku sebagai
Notaris/PPAT yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi
terkait terkait pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi
pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses
peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon,
Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak
PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB ke Kas Negara sementara Negara
telah berprestasi menyelesaikan proses peralihan (proses balik nama
Sertifkan Hak Milik telah selesai menjadi atas nama pembeli) sehingga
mengakibatkan kerugian Negara Rp. 823.536.000,00 (delapan ratus
dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah).
b. Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang
Lain Atau Suatu Korporasi
Pelaku dengan sengaja tidak membayarkan uang setoran pajak
yang dititipkan oleh wajib pajak kepadanya sebesar Rp 823,536.000,00
142
dan menggunakan bukti setoran pajak palsu untuk pendaftaran proses
peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon, Kota
Semarang di Kantor Pertanahan Kota Semarang adalah merupakan
perbuatan menguntungkan diri sendiri, karena dengan tidak
disetorkannya uang tersebut untuk pembayaran pajak, maka Pelaku
diuntungkan sebesar Rp 823.536.000,00 yang kemudian sebagian
diserahkan kepada Pemalsu sebesar Rp. 30.000.00 dan Karyawan
Pelaku I sebagai fee atas jasa mereka membuatkan bukti setor pajak
dan validasi palsu, adalah merupakan perbuatan menguntungkan orang
lain, karena pada akhirnya kekayaan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I
bertambah diuntungkan dengan fee yang mereka terima;
c. Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan atau Sarana Yang
ada Padanya Karena Jabatan atau Kedudukan.
Bahwa perbuatan Pelaku tersebut telah melawan hukum formil,
sebagai berikut :
‐ Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 Ttg BPHTB
1. Pasal 24 (1) : PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani
akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah
wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak;
2. Penjelasan Pasal 24 (1) tersebut menyebutkan bahwa
penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan
143
menyerahkan fotokopi pembayaran pajak dan menunjukkan
aslinya.
3. Pasal 24 (3) : kepala kantor pertanahan kab./ kota hanya
dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran
peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak.
4. Pasal 25 (1) : PPAT/ Notaris dan Kepala Kantor Lelang
Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang
perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada dirjen pajak
selambat-lambatnya tgl. 10 bulan berikutnya;
‐ PP No. 37 Tahun 1998 tentang PPAT , Pasal 26 (3) : PPAT wajib
mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang
diambil dari buku daftar akta PPAT kepada kepala kantor
pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang-
undang atau PP yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10
bulan berikutnya.
Bahwa melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan
melanggar kewajiban hukum sama artinya dengan perbuatan,
menyalahgunakan kewenangan jabatan. Dimana Pelaku telah
menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya dalam jabatannya
selaku Notaris/ PPAT dalam memproses pendaftaran peralihan hak atas
144
para pihak (selaku wajib pajak) di Kantor Pertanahan Kota Semarang
dengan cara menawarkan diri kepada para pihak (penjual dan pembeli)
selain mengurus proses pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan
Kota Semarang, juga bersedia menerima titipan uang pembayaran PPh
(Final) dan BPHTB atas peralihan hak tersebut untuk dibayarkan ke
Bank Persepsi, namun oleh Pelaku uang titipan pembayaran PPh
(Final) dan BPHTB tersebut tidak dibayarkan dan pada saat melakukan
pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan, Pelaku selaku Notaris/
PPAT menggunakan bukti setor BPHTB dan PPh (final) palsu yang
didapatkannya dari sdr. Pemalsu atas permintaan Pelaku Padahal yang
bersangkutan tahu dan paham mengenai aturan, larangan dalam proses
peralihan hak. Sehingga menurut penyidik unsur menyalahgunakan
Kewenangan, Kesempatan atau Sarana Yang ada Padanya Karena
Jabatan atau Kedudukan TELAH TERPENUHI.
d. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
Negara
Bahwa dengan terjadinya transaksi jual beli yang menimbulkan
kewajiban pajak bagi para pihak selaku wajib pajak tersebut, kemudian
tidak disetorkannya uang pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB
yang sudah dititipkan oleh wajib pajak kepada Notaris ke Kas Negara
tetapi digelapkan digunakan untuk kepentingan pribadi Notaris/ PPAT
145
Pelaku tersebut, maka dengan mengacu pada definisi tentang kerugian
negara bahwa kerugian negara terjadi karena berkurangnya aset negara
baik yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum seseorang,
dimana berkurangnya asset tersebut terjadi karena uang yang
seharusnya tidak keluar dari kas negara tetapi ternyata keluar dari kas
negara ataupun uang yang seharusnya masuk ke kas negara ternyata
tidak masuk ke kas negara, maka kejadian tersebut telah
mengakibatkan terjadinya kerugian negara.
3. Pasal 9 Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah dirubah
dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi pasal:
"Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar daftar
yang khusus untuk pemeriksaan admintstrasi"
Pembahasan unsur - unsur pasal:
a. Orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu
146
Bahwa Pelaku adalah seorang Notaris dan PPAT di Kota
Semarang;
Sebagai seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah / PPAT, sesuai
pasal 1 PP No. 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah,
menyebut bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah / hak milik atas satuan rumah susun;
Jabatan Umum adalah tugas yang diberikan kepada
seseorang berdasarkan keputusan pejabat administratif didasarkan
pada perundang-undangan untuk melaksanakan fungsi pelayanan.
b. Dengan sengaja
PPAT Pelaku mengetahui bahwa bukti setoran pajak PPh
Final / SSP & BPHTB / SSB dipalsukan dengan cara meminta bantuan
Pemalsu untuk memvalidasi (cap tanda lunas dan stempel) pada blanko
setoran SSP & SSB tanpa memberikan uang pembayaran pajak kepada
Pemalsu;
Uang pajak senilai Rp 823.536.000,00 yang dititipkan oleh wajib
pajak tidak disetorkan oleh Pelaku ke bank persepsi / ke kas Negara,
namun terbit bukti pembayaran SSP dan SSB;
PPAT Pemalsu membubuhkan legalisir tanda tangan dan cap
stempel pada FC bukti setoran SSP & SSB yang menerangkan tentang
147
penegsahan FC tersebut sesuai dengan aslinya yang digunakan untuk
lampiran syarat peralihan hak ke BPN sedangkan diketahui validasi,
cap, stempel,tanda tangan, tanda lunas pada SSP & SSB di
palsukan;
Bahwa Pelaku selaku PPAT dalam pembuatan laporan bulanan
untuk bulan November 2010 dan Desember 2010 yang ditujukan ke
kantor Pertanahan Kota Semarang dan kantor KPP Pratama Semarang
Barat tidak mencantumkan AJB 747/2010 tanggal 25 Nopember 2010
dan AJB 764/2010 tanggal. 3 Desember 2010, karena khawatir akan
dikroscek dengan data yang ada di Modul Penerimaan Negara (MPN),
yang jelas tidak mencantumkan transaksi penyetoran pajak dimaksud.
c. Memalsukan buku - buku atau daftar - daftar khusus untuk
pemeriksaan administrasi
PPAT Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu (berkas sendiri) dan
Karyawan Pelaku I (berkas sendiri) telah melakukan perbuatan
melawan hukum dengan cara membuat bukti setoran pajak SSP dan
SSB yang seolah - olah telah dibayarkan di bank persepsi dengan
menggunakan cap tanda lunas, cap stempel bank, nama dan tanda
tangan teller, serta resi setoran palsu;
Bukti pembayaran setoran pajak SSB & SSP yang dipalsukan
tersebut digunakan oleh Notaris dan PPAT Pelaku sebagai syarat
148
kelengkapan administrasi permohonan berkas peralihan hak atas tanah
dan bangunan di BPN kota Semarang, sehingga telah terjadi 2 (dua)
kali peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 Kalibanteng
kulon pada bulan Nopember dan Desember 2010;
Bahwa blangko bukti pembayaran SSP dan SSB tersebut
merupakan bukti transaksi penerimaan pajak yang digunakan sebagai
dasar untuk pemeriksaan administrasi atas kebenaran realisasi
penerimaan pajak dan merupakan kelompok penerimaan Negara yang
berasal dari pajak yang wajib dibayarkan ke bank persepsi, oleh
karenanya merupakan keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam
perundang -undangan;
Bahwa blangko bukti pembayaran SSB dan SSP tersebut
dipalsukan agar seolah-olah uang pajak tersebut telah dibayarkan ke
bank persepsi dan masuk dalam Modul Penerimaan Negara (MPN);
Bahwa prosedur yang ditetapkan oleh Menteri pertanahan
dalam proses penerbitan sertifikat dalam pendaftaran hak karena
pemindahan hak mengatur secara kelengkapan administrasi yang wajib
dilengkapi dalam mengajukan permohonan peralihan hak yaitu bukti
pembayaran pajak SSP dan SSB;
149
4. Pasal 15 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi pasal:
"Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal
2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14"
Pada Pasal tersebut terdapat beberapa unsur yaitu "Setiap orang yang
melakukan :
1. Percobaan; atau
2. Pembantuan; atau
3. Pemufakatan jahat.
Untuk melakukan tindak pidana korupsi
1) bahwa pengertian percobaan adalah menuju ke suatu hal, akan
tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju, sehingga dalam perkara
ini melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi
tidak tepat dipersangkakan kepada Pelaku maupun para Pelaku
yang lain yaitu Pemalsu dan Karyawan Pelaku I, karena masing-
masing dari mereka telah melakukan perbuatan-perbuatannya dan
menginsyafi untuk tujuan yang sama yaitu menggunakan bukti
setor pajak PPh (final) dari BPHTB palsu untuk proses peralihan
150
hak, meskipun dari mereka tidak semuanya melakukan seluruh
anasir deliknya, masing-masing melakukan sebagian dari anasir
delik pidana korupsinya, yaitu Karyawan Pelaku I bertugas
membuat slip setoran Bank Persepsi untuk pembayaran pajak PPh
(final) dan BPHTB berikut validasi bank persepsinya dan tanda
tangan tellernya yang semuanya dipalsukan, sedangkan Pemalsu
bertugas sebagai broker yang menerima pesanan dari Pelaku untuk
membuat slip setoran dan validasi bank persepsi untuk bukti
setorar pembayaran pajak (PPh final dan BPHTB) palsu yang
kemudian menyerahkan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada
Karyawan Pelaku I.
Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku
yang memesan bukti setor palsu tersebul selanjutnya
menggunakannya untuk proses pendafatran peralihan hak atas
tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon di Kantor Pertanahan
Kota Semarang.
Ketiganya masing-masing memperoleh keuntungan dan
kekayaan yaitu Pelaku sebesar Rp 823.536.000,00, dikurangi Rp.
30.000.000,00 atau setidak-tidaknya sebagiannya dipergunakan
untuk membayar fee kepada Pemalsu dan Karyawan Pelaku I
sebagai imbalan atas pelaksanaan pemalsuan tersebut.
151
2) Bahwa pengertian pembantuan adalah memberi bantuan sebelum
pelaksanaan perbuatan itu terjadi, artinya delik pembantuan adalah
tidak bagian dari anasir perbuatan pidana itu, melainkan hanya
bertujuan memperlancar perbuatan pidana itu terlaksana, sehingga
penyidik berkesimpulan bahwa unsur pembantuan untuk para
Pelaku tidak tepat dalam perkara ini karena masing-masing para
Pelaku ( Pelaku dan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I) masing-
masing telah melakukan perbuatan-perbuatan yang dipandang
sebagai bagian elemen/ anasir perbuatan pidana korupsi yang
dipersangkakan sebagai diuraikan diatas;
3) Kemudian pengertian pemufakatan jahat dalam ketentuan pasal 88
KUHP terjadi apabila terdapat dua orang atau lebih bermufakat
untuk melakukan kejahatan. sementara "bermufakat untuk
melakukan kejahatan" mengandung arti bahwa kedua orang atau
lebih tersebut mempunyai kehendak, maksud dan tujuan yang sama
dan sadar atau saling menginsyafi untuk melakukan suatu
kejahatan yang dalam hal ini adalah kejahatn atau tindak pidana
korupsi.
Bahwa mengingat dalam perkara ini para Pelaku yaitu Pelaku
, selaku Notaris/PPAT, Pemalsu selaku broker/ perantara
pemalsuan dan Karyawan Pelaku I selaku yang memalsukan bukti
152
setor PPh (Final) dan BPHTB, masing-masing menyadari dan
menginsyafi bahwa perbuatan mereka adalah mempunyai tujuan
yang sama yaitu menggunakan bukti setor pajak PPh (final) dan
BPHTB yang dipalsukan tersebut untuk proses peralihan hak, yang
pada akhirnya adalah bertujuan untuk tidak terbayarnya uang pajak
tersebut ke Kas Negara akibat tidak dibayarkannya uang pajak
(BPHTB dan PPh (Final)) tersebut melalui bank persepsi oleh
salah satu dari mereka yaitu Pelaku dan bukti pembayarannuya
digantikan dengan bukti pembayaran yang palsu. Dan selanjutnya
bukti setor BPHTB dan PPh (Final) yang palsu / fiktif tersebut oleh
Pelaku dipergunakan untuk kelengkapan syarat dalam lampiran
pendaftara peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota Semarang.
Bahwa meskipun dari mereka tidak semuanya melakukan
seluruh anasir deliknya, dimana masing-masing melakukan
sebagian dari anasir delik pidana korupsinya, yaitu Karyawan
Pelaku I bertugas membuat slip setoran Bank Persepsi untuk
pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB berikut validasi Bank
Persepsinya dan tanda tangan tellernya yang semuanya dipalsukan,
sedangkan Pemalsu bertugas sebagai broker yang menerima
pesanan dari Pelaku untuk membuat slip setoran dan validasi bank
persepsi untuk bukti setoran pembayaran pajak (PPh final dan
153
BPHTB) palsu yang kemudian menyerahkan pekerjaan pemalsuan
tersebut kepada Karyawan Pelaku I. Sementara Pelaku selaku
PPAT adalah bertindak selaku yang memesan bukti setor palsu
tersebut selanjutnya menggunakannya untuk proses pendafatran
peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon di
Kantor Pertanahan Kota Semarang. Dan Ketiganya masing-masing
memperoleh keuntungan dan kekayaan yaitu Pelaku sebesar Rp
823.536.000,00, dikurangi Rp.30.000.000,00 atau setidak-tidaknya
sebagiannya dipergunakan untuk membayar fee kepada Pemalsu
dan Karyawan Pelaku I sebagai imbalan atas pelaksanaan
pemalsuan tersebut. Namun ketiganya sebelum melakukan
perbjjatannya masing-masing tersebut, saling mengerti dan
menginsyafi bahwa perbuatan mereka tersebut adalah bertujuan
untuk membuat dan menggunakan bukti setor BPHTB dan PPh
(Final) palsu sebagai syarat pendaftaran peralihan hak yang
tentunya berakibat tidak usah dibayarkannya hak Negara yaitu
uang pembayaran PPh (final) dan BPHTB tersebut ke Bank
Persepsi.
Sehingga menurut Penyidik unsur melakukan pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi tepat dipersangkakan
kepada para Pelaku sebagaimana dimaksud dalam unsur Pasal 15
154
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah Undang-
undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
5. Pasal 88 KUHP
Bunyi pasal
"Pemufakatan jahat (samenspanning) dianggap ada, bila saja dua
orang atau lebih bermufakat untuk melakukan kejahatan itu".
Syarat pemufkatan jahat dalam Pasal 88 KUHP di atas adalah :
1) adanya dua orang atau lebih;
2) bermufakat untuk melakukan kejahatan
bermufakat untuk melakukan kejahatan mengandung arti bahwa kedua
orang atau lebih tersebut mempunyai kehendak, maksud dan tujuan yang
sama dan sadar atau saling menginsyafi untuk melakukan suatu kejahatan.
Sebagaimana telah diuraikan dalam analisa yuridis pasal 15 Undang-
undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, maka pemufakaatan jahat yang diinsyafi oleh para Pelaku yaitu
Pelaku, Pemalsu dan Karyawan Pelaku I adalah pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi melalui Pemalsuan Bukti Setor BPHTB dan
PPh (Final) yang mempunyai tujuan menggunakan bukti setor pajak PPh
(final) dan BPHTB yang dipalsukan tersebut untuk proses peralihan hak,
yang pada akhirnya adalah bertujuan untuk tidak terbayarnya uang pajak
tersebut ke Kas Negara akibat tidak dibayarkannya uang pajak (BPHTB dan
155
PPh (Final)) tersebut melalui bank persepsi oleh salah satu dari mereka yaitu
Pelaku dan bukti pembayarannya digantikan dengan bukti pembayaran yang
palsu. Dan selanjutnya bukti setor BPHTB dan PPh (Final) yang palsu/ fiktif
tersebut oleh Pelaku dipergunakan untuk kelengkapan syarat dalam lampiran
pendaftara peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota Semarang.
Bahwa meskipun dari mereka tidak semuanya melakukan seluruh
anasir deliknya, dimana masing-masing melakukan sebagian dari anasir delik
pidana korupsinya, yaitu Karyawan Pelaku I bertugas membuat slip setoran
Bank Persepsi untuk pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB berikut
validasi Bank Persepsinya dan tanda tangan tellernya yang semuanya
dipalsukan, sedangkan Pemalsu bertugas sebagai broker yang menerima
pesanan dari Pelaku untuk membuat slip setoran dan validasi bank persepsi
untuk bukti setoran pembayaran pajak (PPh final dan BPHTB) palsu yang
kemudian menyerahkan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada Karyawan
Pelaku I. Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku yang
memesan bukti setor palsu tersebut selanjutnya menggunakannya untuk
proses pendafatran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng
Kulon di Kantor Pertanahan Kota Semarang. Dan Ketiganya masing-masing
memperoleh keuntungan dan kekayaan yaitu Pelaku sebesar Rp
823.536.000,00, dikurangi Rp.30.000.000,00 atau setidak - tidaknya
sebagiannya dipergunakan untuk membayar fee kepada Pemalsu dan
156
Karyawan Pelaku I sebagai imbalan atas pelaksanaan pemalsuan tersebut.
Namun ketiganya sebelum melakukan perbuatannya masing-masing tersebut,
saling mengerti dan menginsyafi bahwa perbuatan mereka tersebut adalah
bertujuan untuk membuat dan menggunakan bukti setor BPHTB dan PPh
(Final) palsu sebagai syarat pendaftaran peralihan hak yang tentunya
berakibat tidak usah dibayarkannya hak Negara yaitu uang pembayaran PPh
(final) dan BPHTB tersebut ke Bank Persepsi.
Sehingga menurut Penyidik unsur pemufakatan iahat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 KUHP telah terpenuhi dalam perkara ini.
6. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP
Bunyi pasal:
“Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana, orang
yang melakukan, menyuruh melakukan dan yang turut serta
melakukan perbuatan itu”
Pada Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tersebut terdapat beberapa elemen
pasal, yaitu setiap orang yang :
a. orang yang melakukan (plager)
b. orang yang menyuruh lakukan (doenplager);
c. orang yang turut serta melakukan (made palger)
Perbuatan itu (pidana)
Bahwa mengingat pengertian dari masing-masing unsur delik pasal 55
ayat (1) ke 1 KUHP tersebut dijelaskan berikut:
157
a. orang yang melakukan (plager) adalah orang yang secara sendirian
telah berbuat mewujudkan segala anasir/ elemen dari peristiwa
pidana.
Dari pengertian orang yang melakukan (plager) dalam pasal 55 ayat
(1) ke 1 KUHP ini bila dikaitkan dengan uraian peran serta masing-
masing Pelaku , dimana masing-masing Pelaku hanya melakukan
sebagian anasir perbuatan dari keseluruhan delik pidana korupsi
yang dipersangkakan, maka tidak tepat untuk dipersangkakan
kepada para Pelaku ;
b. orang yang menyuruh lakukan (doen plager) adalah orang yang
menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana, bukan
orang itu sendiri yang melakukan perbuatan pidana melainkan
menyuruh orang lain, jadi dipersyaratkan 2 orang atau lebih. Orang
yang disuruh melakukan hanya sebagai alat (instrument) saja dan
terhadapnya tidak dapat dihukum karena tidak dapat
dipertanggungjawaban pidana dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 44, 48 dan Pasal 51 KUHP serta tidak ada kesalah sama
sekali darinya. Sehingga terhadap orang yang menyuruh lakukan
bisa dipandang sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana itu
sendiri.
158
c. orang yang turut melakukan (made plager) atau dalam arti kata turut
serta atau bersama-sama melakukan perbuatan pidana,
dipersyaratkan sedikitnya 2 orang dalam unsur delik turut
melakukan. Ada 3 kategori dalam pengertian turut serta yaitu :
1) Semuanya melakukan seluruh anasir perbuatan pidana;
2) Salah satu orang melakukan seluruh anasir perbuatan pidana,
dan lainnya hanya melakukan sebagain anasir perbuatan
pidana;
3) Semuanya hanya melakukan sebagian anasir perbuatan pidana.
Melihat pengertian made plager tersebut bila dikaitkan dengan uraian
perbuatan para Pelaku dimana masing-masing Pelaku hanya melakukan
sebagian anasir dari keseluruhan delik pidana korupsi yang di
persangkakakan, maka unsur “orang yang turut serta” khususnya pengertiaan
nomor 3 yaitu kesemua Pelaku hanya melakukan sebagian anasir perbuatan
pidana, maka sangatlah tepat untuk dipersangkakan kepada para Pelaku .
Sehingga dari uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur
turut serta atau secara bersama-sama melakukan perbuatan pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP telah terpenuhi
dalam perkara ini.
Bahwa Pasal 55 dipersangkakan dalam perkara ini adalah bertujuan
untuk mengetahui peran serat masing-masing Pelaku mengingat perbuatan
159
yang dilakukan oleh masing-masing Pelaku yaitu Pelaku , Pemalsu (diajukan
dalam berkas perkara tersendiri) dan Karyawan Pelaku I (diajukan dalam
berkas perkara tersendiri) adalah satu rangkaian perbuatan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya untuk tujuan yang sama yaitu
menggunakan bukti setor pajak PPh (final) dan BPHTB Palsu untuk proses
peralihan hak, yang pada akhirnya adalah tidak terbayarnya uang pajak
tersebut ke Kas Negara akibat tidak dibayarkannya uang pajak (BPHTB dan
PPh (Final)) tersebut dan bukti pembayarannya digantikan dengan bukti
pembayaran yang palsu. Bahwa perbuatan Pelaku satu dengan Pelaku lainnya
tidak dapat dipjsahkan sebagai perbuatan sendiri-sendiri, dengan kata lain
Pelaku tidak dapat melakukan anasir delik pidana secara keseluruhan tanpa
adanya bukti setor pajak BPTHB dan PPh (final) palsu yang dibuat oleh
Karyawan Pelaku I, begitu juga Karyawan Pelaku I yang membuat bukti
setor palsu tidak dapat menjadi pidana apabila bukti setor palsu tersebut tidak
dipergunakan oleh Pelaku untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak
atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon yang pada akhirnya merugikan
keuangan Negara sebesar Rp. 823.536.000,00 karena tidak dibayarkannya
uang setoran pajak PPh (final) dan BPHTB atas peralihan hak tersebut yang
dititipkan oleh para pihak (penjual dan pembeli) selaku wajib pajak kepada
Pelaku karena jabatannya selaku PPAT yang mempunyai kewenangan dan
tugas memproses pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota
160
Semarang. Sementara antara keduanya (Pelaku dan Karyawan Pelaku I) tidak
akan terjalin kerja sama atau persekongkolan jahat apabila tidak ada Pemalsu
yang bertugas sebagai broker yang menerima order/ pesanan dari Pelaku
dan memberi pekerjaan kepada Karyawan Pelaku I untuk memalsukan bukti
setor pajak tersebut.
Bahwa masing-masing Pelaku melakukan sebagian dari anasir delik
pidana korupsinya, yaitu Karyawan Pelaku I bertugas membuat slip setoran
Bank Persepsi untuk pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB berikut
validasi Bank Persepsinya dan tanda tangan tellernya yang semuanya
dipalsukan, sedangkan Pemalsu bertugas sebagai broker yang menerima
pesanan dari Pelaku untuk membuat slip setoran dan validasi bank persepsi
untuk bukti setoran pembayaran pajak (BPHTB dan PPh Final) palsu yang
kemudian mekerjakan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada Karyawan
Pelaku I. Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku yang
memesan bukti setoran palsu tersebut selanjutnya menggunakannya untuk
proses pendafatran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng
Kulon di Kantor Pertanahan Kota Semarang.
Ketiganya masing-masing memperoleh keuntungan dan kekayaan yaitu
Pelaku sebesar Rp 823.536,000,00, dikurangi Rp.30.000.000,00 atau
setidak-tidaknya sebagiannya dipergunakan untuk membayar fee kepada
161
Pemalsu dan Karyawan Pelaku I sebagai imbalan atas pelaksanaan pemalsuan
tersebut.
Sebagaimana telah dibahas pada uraian analisa kasus dan analisa
yuridis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pelaku dapat diduga telah
melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dengan cara menggunakan bukti
setor dan validasi bank persepsi atas pembayaran pajak BPHTB / SSB dan
PPh Final / SSP dan validasi Bank Persepsi Bank BIN Cab. Semarang dan
Bank BPD Jateng Cab. Semarang yang telah dipalsu pada proses peralihan
hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang
tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan
BPHTB / SSB (dan uang pajaknya dipergunakan secara pribadi oleh Pelaku )
sehingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 823.536.000,00 yang
dilakukan secara bersama - sama dengan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau
Pasal 9 Undang-undang Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-undang Rl No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 Undang-undang Rl No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang
Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal
88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
162
Berbagai penjelasan terkait kasus Pelaku memenuhi beberapa unsur-
unsur dalam pasal-pasal yang disangkakan bahwa kejahatan korupsi di
Indonesia sebenarnya dapat diberantas dengan baik melalui implementasi
peraturan-peraturan yang tersedia, salah satunya yaitu melalui Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti yang telah
dipaparkan melalui berbagai penjelasan diatas, bahwa kasus yang melibatkan
Pelaku tersebut sebenarnya telah membuka mata publik tentang bagaimana
tindak pidana korupsi itu dijalankan.
Korupsi dalam pandangan mainstream dianggap merupakan
penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Korupsi adalah
pengalihan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi. Korupsi terjadi di
sektor publik dan dilakukan oleh pejabat nakal yang melanggar hukum.16
Sehingga berkaca dari kasus Pelaku ini, bahwa hukum dapat ditegakkan
melalui sebuah kerja sama dan skema yang apik dari aparat penegak hukum
serta masyarakat yang aktif melawan korupsi. Kerja sama tersebut sejatinya
dapat tercipta dengan adanya sistem yang baik serta kesadaran akan
pemberantasan korupsi yang baik pula.
16 J. Danang Widoyoko, Op. cit, 2013, hal 115