Upload
doankhanh
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM
PELANGGARAN SAFETY RIDING
2.1 Pidana
2.1.1 Jenis-jenis Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah menetapkan jenis-jenis pidana
yang termaktub dalam Pasal 10 KUHP berupa dua jenis pidana yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas empat jenis pidana, dan pidana
tambahan terdiri atas tiga jenis pidana. Pengertian dari sanksi-sanksi pidana adalah
sebagai berikut.
a. Pidana Pokok
Pidana pokok sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri atas:
1. Pidana Mati
Pidana mati adalah pidana terberat dari semua pidana yang dicantumkan
terhadap berbagai kejahatan di dalam hukum positif Indonesia. Hukuman
mati adalah pidana yang terberat menurut peerundang-undangan pidana kita
dan tidak lain berupa sejenis pidana yang merampas kepentingan umum yaitu
jiwa dan nyawa manusia1. Dikatakan terberat hal ini dapat dilihat dalam
sistematika dan urutan pidana pokok pada Pasal 10 KUHP yang dalam hal
tersebut pidana mati berada pada urutan teratas. Namun, sanksi ini tidak
1 Tolib Setiady, Op.cit, h. 79.
dikenakan kepada semua jenis tindak pidana, di dalam KUHP hanya beberapa
Pasal saja yang menjatuhkan pidana mati sebagai sanksinya, yakni:
a. Kejahatan terhadap Negara yakni pada Pasal 104, 111 ayat (2), dan Pasal
124 ayat (3) KUHP.
b. Pembunuhan dengan berencana, yakni pada Pasal 140 ayat (3) dan Pasal
340 KUHP.
c. Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dengan keadaan yang
memberatkan yakni pada Pasal 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2)
KUHP.
d. Pembajakan di laut, pantai pesisir dan sungai yang dalam keadaan seperti
apa yang disebut pada Pasal 444 KUHP.
Selain itu di luar KUHP juga terdapat beberapa peraturan perundangan-
undangan yang mengancam pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana
mati, biasanya tindak pidana yang masuk dalam kategori extraordinary crime
yakni psikotropika narkotika dan pada Undang-Undang No. 5 dan 22 Tahun
1997, terorisme pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, dan pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) berat Undang-Undang 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM.
2. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang membatasi kemerdekaan atau
kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman
penjara lebih berat karena diancam terhadap berbagai kejahatan. Adapun
kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau
kejahatan yang dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimal satu
hari dan maksimal seumur hidup. Pidana penjara yang paling berat adalah
penjara seumur hidup sedangkan yang paling ringan adalah minimum 1 hari.
Pidana penjara pada KUHP selain diatur pada Pasal 10 KUHP, diatur pula
secara lebih terperinci pada Pasal 12 KUHP, yakni:
(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling
lama lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh
tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh
memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara
selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan
pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima
belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan,
pengulangan, atau karena ditentukan Pasal 52 KUHP.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi
duapuluh tahun.
Jadi inti dari pasal tersebut adalah hukuman penjara lamanya seumur hidup
atau sementara dan pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu
yakni minimal 1 hari dan paling lama 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama
20 tahun, tapi tidak boleh lebih dari 20 tahun. Pidana penjara banyak dianut
oleh negara-negara sebagai salah satu sanksi kepada pelaku tindak pidana,
beberapa negara-negara tersebut adalah Indonesia, Perancis, Filipina,
Argentina, Korea, Jepang dan Amerika.
Indonesia menggunakan istilah lain sebagai pengganti kata penjara,
yakni lembaga pemasyarakatan (LP). Hal ini pertama kali muncul dan
dikonsep pada Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan yang pertama di
Lembang, Bandung pada tanggal 27 April 1964.2 Pada konferensi tersebut
pada intinya adalah LP merupakan tempat bagi narapidana untuk dibina dan
dibimbing secara mental dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan bukan
disiksa seperti penjara jaman kolonial lalu, sehingga dari pembinaan di dalam
LP tersebut diharapkan narapidana ketika keluar dari LP bisa berguna di
masyarakat, diterima di masyarakat (tidak dikucilkan), dan diharapkan tidak
akan melakukan tindak pidana apapun lagi.
3. Pidana Kurungan
Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan
kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan
hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan
hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang.
Namun pidana kurungan dapat dikatakan lebih ringan dibandingkan dari
pidana penjara. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18
KUHP yang mengatur :
2 Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Cet.I, P.T.Refika Aditama, Bandung, h. 102.
a. Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling
lama satu tahun.
b. Hukuman tersebut dapat dijatuhkan paling lama satu tahun empat
bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan
kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada Pasal 52 dan 52 (a)
KUHP.
c. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat
bulan.
Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana kurungan
minimal hanya 1 hari dan paling lama 1 tahun, tapi batas maksimal adalah 1
tahun 4 bulan (bila ada pemberatan seperti pada Pasal 52 KUHP). Hal ini
tentunya berbeda dengan lama waktu ancaman pidana penjara yaitu minimal
satu hari dan maksimal hukuman hanya 15 tahun penjara tapi bisa
diperpanjang hingga 20 tahun.
Perbedaan lainnya terletak pada, hak pistole yang dimiliki oleh
penerima sanksi pidana kurungan. Hak pistole adalah hak terpidana untuk
membawa fasilitas dan kemudahan bagi dirinya sendiri dengan biayanya
sendiri.3 Sanksi pidana kurungan dapat digantikan denda pengganti kurungan,
hal ini tentu tidak dapat dilakukan oleh penerima sanksi pidana penjara. Hal
lain yang menjadi pembeda antar keduanya terkait pelaksanaan pidana
3 Tolib Setiady, Op.cit, h. 102.
penjara dapat dilakukuan di luar wilayah/daerah hukum terpidana, sedangkan
pidana kurungan tidak bisa dilakukan di luar dari wilayah/daerah hukum
terpidana. Ditambahkan bahwa terpidana penjara wajib mengikuti pembinaan
sesuai aturan yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan (LP), namun hal
tersebut tidak dapat dipaksakan kepada penerima pidana kurungan karena
pelaksanaan pembinaan digantungkan kepada kemauan terpidana.
4. Pidana denda
Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk
mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus kesalahannya dengan
pembayaran sejumlah uang tertentu. Pada urutan sistematika pidana pokok
Pasal 10 KUHP dapat dilihat bahwa pidana denda berada pada urutan keempat
atau urutan terakhir setelah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan.
Hal ini dapat ditafsirkan bahwa pidana denda biasanya dijatuhkan terhadap
delik-delik ringan bisa berupa pelanggaran ataupun kejahatan ringan. Pidana
denda selain diatur pada Pasal 10 KUHP, juga diatur secara lebih rinci pada
Pasal 30 KUHP, yakni:
(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
(2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana
kurungan.
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan
paling lama enam bulan.
(4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti
ditetapkan demikian jika pidana dendanya tujuh rupiah lima
puluh sen atau kurang, dihitung satu hari, jika lebih dari tujuh
rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari demikian
pula sisanya tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
(5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena
perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52
KUHP, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan
bulan.
(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari
delapan bulan.
Sehingga pidana denda pada KUHP paling sedikit adalah Rp. 3,75.-
namun tidak ada batasan maksimalnya dan apabila terpidana tidak bisa
membayar pidana denda tersebut maka bisa diganti dengan pidana kurungan
sebagai pengganti yang minimal adalah 1 hari dan maksimal 6 bulan, namun
apabila terkait kasus pemberatan ataupun terkait Pasal 52 KUHP bisa
diperpanjang hingga 8 bulan.
Selain itu pidana denda tersebut bisa dibayarkan oleh orang lain sebagai
perwakilan terpidana. Pada Pasal 31 KUHP juga dapat dikatakan
keistimewaan lain dari pidana denda, bahwa apabila terpidana tidak bisa
membayar sebagian dari pidana denda tersebut maka pidana kurungannya pun
dikurangi dengan seimbang. Terkait penjatuhan pidana denda ini hakim dalam
putusannya harus menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi terpidana.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan adalah jenis pidana yang didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Pidana tutupan
ini berdasarkan undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai pidana
pengganti penjara dan biasanya pidana ini dijatuhkan bagi pelaku kejahatan
yang bersifat politik4.
b. Pidana tambahan dalam Pasal 10 KUHP terdiri atas :
1. Pencabutan hak-hak tertentu.
Pencabutan hak-hak tertentu dimaksudkan sebagai pencabutan segala
hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga disebut “burgerlijke
dood”. Hak-hak yang dapat dicabut dalam putusan hakim dari hak si bersalah
dimuat dalam Pasal 35 KUHP, yaitu:
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
b. Hak menjadi anggota angkatan bersenjata.
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum.
d. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum
(gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya
sendiri.
e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri.
4 Tolib Setiady, Op.cit, h. 144.
f. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu. Untuk berapa
lamanya hakim dapat menetapkan berlakunya pencabutan hak-hak
tersebut, hal ini dijelaskan dalam Pasal 38 KUHP, yaitu:
1. Dalam hal pidana atau mati, lamanya pencabutan seumur
hidup.
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan,
lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak
5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3. Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun
dan paling banyak 5 tahun.
2. Perampasan barang-barang tertentu
Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan
pidana denda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat
dirampas, yaitu:
a. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.
b. Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan
kejahatan.
Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus
diganti dengan kurungan. Lamanya kurungan ini paling sedikit satu hari dan
6 bulan paling lama. Jika barang itu dipunyai bersama, dalam keadaan ini,
perampasan tidak dapat dilakukan karena sebagian barang kepunyaan orang
lain akan terampas pula.
3. Pengumuman putusan hakim.
Pasal 43 KUHP menentukan bahwa apabila hakim memerintahkan
supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan
yang lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah
atas biaya terpidana. Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim
hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang.
Terhadap orang-orang yang melakukan peristiwa pidana sebelum berusia 16
tahun, hukuman pengumuman tidak boleh dikenakan.
Dasar hukum dari pidana tambahan selain dari apa yang tertera pada Pasal 10
KUHP adalah terdapat pada Pasal 43 KUHP dan untuk pidana tambahan ini hanya
khusus untuk beberapa tindak pidana saja, seperti:
1. Menjalankan tipu muslihat dalam barang-barang keperluan angkatan
perang dalam waktu perang.
2. Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang
membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpa.
3. Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain terluka atau
mati.
4. Penggelapan.
5. Penipuan.
6. Tindakan merugikan pemiutang5.
Pidana tambahan mengandung suatu tujuan dan manfaat yakni dengan
adanya pengumuman putusan hakim yang pengumuman tersebut disiarkan di media
5 Tolib Setiady, Op.cit, h. 109.
cetak ataupun elektronik maka masyarakat mengetahui pelaku serta hukuman dari
suatu tindak pidana. Sehingga diharapkan suatu saat nanti masyarakat tidak meniru
tindak pidana tersebut dan tidak akan terjadi tindak pidana yang sama ataupun
tindak pidana lain yang merugikan masyarakat.
2.1.2 Tujuan Pemidanaan
Pemidanaan merupakan suatu kata lain dari penghukuman yakni suatu
proses penjatuhan hukuman atau pidana yang meliputi seluruh rangkaian peristiwa
dan tahapan-tahapan dalam penjatuhan suatu pidana.6 Proses penjatuhan hukuman
atau pidana tersebut mempunyai banyak tujuan yang ingin dicapai dari proses
pemidanaan tersebut.
KUHP Indonesia saat ini tidak mengatur secara jelas apa saja tujuan yang
ingin dicapai dari suatu pemidanaan tersebut. Namun, dalam Rancangan Undang-
Undang KUHP tahun 2013 (selanjutnya disebut RKUHP 2013) mengatur tentang
tujuan yang ingin dicapai dari proses pemidanaan tersebut. Pada Pasal 54 RKUHP
2013 menyatakan bahwa:
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
6 Marlina, Op.cit, h. 39.
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
Pada Pasal 54 tersebut diatas jelas tertera bahwa pemidanaan sebagai suatu
proses mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut adalah bahwa dengan
adanya pemidanaan maka dapat dicegahnya tindak pidana dikemudian hari, karena
dengan adanya pidana yang muncul dari proses pemidanaan tersebut, terdapat
sanksi-sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban seseorang atas tindak pidana
yang dilakukannya. Dalam proses pelaksanaannya, pemidanaan tersebut
memasukkan unsur pembinaan yang dilakukan pemerintah melalui petugas
Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang nantinya diharapkan bahwa dari proses
pembinaan tersebut, terpidana tidak mengulangi perbuatannya lagi dan berguna di
masyarakat ketika ia telah menjalani masa hukuman. Proses pemidanaan
merupakan wujud pertanggungjawaban pidana dari seorang terpidana, dimana
terpidana merasa bahwa ada yang dia lakukan memang salah di mata hukum dan
untuk menghilangkan rasa bersalah terpidana atas segala perbuatan pidananya.
Perlu diingat bahwa pemidanaan bukan merupakan suatu proses untuk
merendahkan dan menyengsarakan seseorang, melainkan sebagai proses
pertanggungjawaban terpidana atas perbuatan pidananya dan sebagai upaya
preventif di kemudian hari serta proses pembinaan bagi terpidana. Selain dari apa
yang tertera dalam RUU KUHP tahun 2013 mengenai tujuan pemidanaan tersebut,
beberapa ahli juga mengungkapkan pendapatnya mengenai tujuan pemidanaan
yang ingin dicapai.
Terdapat 3 pokok pemikiran mengenai tujuan yang ingin dicapai dari suatu
pemidanaan, yaitu:
1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.
2. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-
kejahatan.
3. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan
kejahatan yang lain, yakni penjahat dengan cara-cara yang lain sudah
tidak dapat diperbaiki lagi7.
2.2 Pidana Denda
2.2.1 Pengertian Pidana Denda
Pidana denda adalah pemberian sejumlah uang tertentu sebagai ganti
kerugian atas pelanggaran yang dilakukan. Salah satu bentuk tindak pidana yang
dikenakan dengan pidana denda adalah tindak pidana terhadap pelanggaran lalu
lintas. Delik-delik yang terdapat dalam perkara pelanggaran lalu lintas hanya
bersifat ringan sehingga hakim lebih cederung menjatuhkan pidana denda kepada
setiap pelanggar lalu lintas.8 Di Indonesia pengaturan tentang lalu lintas dan
7 P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Op.cit, h. 11.
8 Niniek Suparni, Op.cit., h. 24.
angkutan jalan secara nasional diatur di dalam UU LLAJ. Undang-undang ini
menjadi dasar pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas.
Pidana denda yang berobjek uang mempunyai hubungan yang erat dengan
nilai mata uang suatu Negara yang menganut pidana denda sebagai salah satu
ancaman pidananya. Salah satunya Indonesia. Nilai mata uang yang tidak pernah
sama dari tahun ketahun dan terus berfluktuasi menyebabkan tidak adanya
pedoman tetap mengenai berapa jumlah uang untuk ditetapkan dalam suatu pidana
denda. Pada Pasal 30 ayat (1) KUHP besarnya pidana denda secara minimum
ditentukan sebesar Rp. 3,75.- (tiga rupiah tujuh puluh lima sen). Melihat nominal
pidana denda pada pasal tersebut, tentu menjadi suatu hal yang sudah tidak sesuai
lagi dengan nilai mata uang Indonesia saat ini, karena nilai mata uang dulu ketika
KUHP dibentuk oleh pemerintah Belanda sangat berbeda dengan nilai mata uang
pada masa kini. Artinya bahwa dulu uang sebesar tiga rupiah tujuh puluh lima sen
tersebut merupakan salah satu jumlah uang yang cukup besar, namun karena
berubahnya nilai mata uang sesuai dengan perkembangan jaman, maka uang
sebesar itu bukanlah jumlah yang banyak. Sehingga tidak menjadi suatu ancaman
berarti bagi pelaku tindak pidana. Oleh karena itulah besarnya pidana denda harus
diperbaharui dengan cara diperbesar dan dipertinggi besarnya nominal pidana
denda yang ada pada KUHP tersebut. Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun
1960, yang dalam Pasal 1 ayat (1) menentukan bahwa :
"Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambahdan diubah
dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang
dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah
sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti Undang undang ini harus dibaca
dengan mata uang rupiah dan dilipat gandakan menjadi lima belas kali."
Ayat (2) menentukan bahwa :
"Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah pidana denda
dalam ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam
tindak pidana ekonomi."
Jika dilihat Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960 tersebut, itu berarti bahwa besarnya pidana
denda pada KUHP diubah untuk terakhir kalinya pada tahun 1960 dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. Ini tentu
menjadi hambatan dan masalah bagi hukum pidana Indonesia, bahwa ketika ingin
menerapkan suatu ancaman pidana denda dengan tujuan memberi efek jera bagi
terpidana tetapi nilai pidana denda pada KUHP tidak sesuai dengan nilai mata uang
saat ini. Sehingga perlu ada suatu pembaharuan mengenai pidana denda tersebut.
2.2.2 Dasar Hukum Pidana Denda
Dasar hukum suatu sanksi pidana denda secara lex generalis adalah KUHP.
Pada KUHP terdapat pasal-pasal yang menjadi dasar dari penjatuhan pidana denda.
Pidana denda diatur pada Pasal 10 KUHP yang dimana pidana denda termasuk salah
satu pidana pokok setelah pidana mati, penjara dan kurungan. Selain Pasal 10
KUHP tersebut, pidana denda diatur pada Pasal 30 ayat (1) hingga ayat (6) dan
Pasal 31 ayat (1) hingga ayat (3) KUHP. Ketentuan pada Pasal 30 KUHP, yakni:
(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
(2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling
lama enam bulan.
(4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan
demikian jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang,
dihitung satu hari, jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung
paling banyak satu hari demikian pula sisanya tidak cukup tujuh rupiah
lima puluh sen.
(5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau
pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52 KUHP, maka pidana
kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan
bulan.
Ketentuan pada Pasal 31 KUHP, yakni:
(1) Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu
batas waktu pembayaran denda.
(2) Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan
pengganti dengan membayar dendanya.
(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah
mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana
dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang
dibayarnya.
Dilihat dari dua pasal pada KUHP tersebut di atas maka, timbul beberapa
keistimewaan dari suatu pidana denda bahwa pembayaran pidana denda dapat
diwakilkan oleh wakil terpidana dan apabila terpidana tidak bisa membayar
sebagian dari pidana denda tersebut maka pidana kurungannya pun dikurangi
dengan seimbang. Selain Pasal 10 KUHP, Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP tersebut,
pidana denda terdapat pada ketentuan Undang-Undang di luar KUHP. Hal ini
memungkinkan karena, ketentuan pidana tidak hanya diatur hanya pada KUHP atau
secara lex generalis tetapi juga secara ius specialis yakni pada Undang-Undang di
luar KUHP.
Peraturan Perundang-undangan di luar KUHP dimungkinkan, karena hal ini
dijamin dan diatur pada Pasal 103 KUHP yang menyatakan bahwa:
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku
bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh undang-undang
ditentukan lain”.
Ini berarti bahwa dasar hukum pidana denda tidak hanya diatur secara
mengkhusus pada KUHP tapi juga ada dasar hukum lain di luar KUHP yang
menjadi dasar hukum penjatuhan pidana denda atau asas hukum yang dipergunakan
adalah lex specialis derogate legi generalis yang berarti ketentuan khusus
mengesampingkan ketentuan umum.
Pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun
1960 misalnya, yang dimana Peraturan Pemerintah Pengganti ini mengatur kembali
mengenai besarnya nominal pidana denda agar sesuai dengan nilai mata uang saat
ini, mengingat bahwa nominal pidana denda pada KUHP sudah tidak sesuai dengan
nilai mata uang di Indonesia saat ini, yang dikarenakan KUHP merupakan warisan
hukum pidana pada masa kolonial Belanda terdahulu.
Selain Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut, dasar
hukum pidana denda ada pada Undang- Undang lainnya, salah satunya adalah UU
LLAJ. Pada UU LLAJ tersebut pidana denda menjadi salah satu ancaman
pidananya, bahkan ancaman pidana dendanya pun tidak main- main dan cukup
besar. Ancaman pidana denda ini dijatuhkan berdasarkan pelanggaran pada setiap
pasal pada UU LLAJ tersebut. Sehingga antara pelanggaran satu dengan
pelanggaran lainnya ditentukan berbeda pidana dendanya.
2.2.3 Perkembangan Pidana Denda
Pidana denda merupakan salah satu bagian dari pidana pokok yang
ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau
pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP, dalam perjalanannya
dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal, antara lain menurunnya nilai mata uang
yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda.
Selain itu, pidana penjara masih di nomor satukan dalam penetapan dan penjatuhan
pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama tercapainya efek jera
bagi pelaku dan tercapainya pencegahan umum.9
Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara yang selama ini
diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda dapat
menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan
tujuan pemidanaan yang diharapkan yaitu efek jera. Pidana denda akan selalu
menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus
perkara pidana. Pidana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi
pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan secara materi yang menimbulkan
kerugian karena merasa dirugikan dengan menyita harta benda untuk menutupi
denda yang belum atau tidak dibayar dengan cara pelelangan).
Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada
terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.10 Pelaku
dalam pidana denda seharusnya membayar sendiri pidana denda yang dijatuhkan,
9 AR. Suhariyono, 2012, Pembaruan Pidana Denda Indonesia, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h.
9.
10 Ibid, h. 11.
walaupun dengan pemaksaan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini jaksa
penuntut umum melakukan penyitaan (sementara). Pidana denda dapat dijadikan
salah satu pemasukan negara sebagai penghasilan negara bukan pajak (yang
selnjutnya disebut PNBP). Pola pidana denda harus ditetapkan dan dilaksanakan
secara konsisten dengan mendasarkan pada kepentingan hukum seseorang atau
masyarakat yang dilindungi. Penentuan pola pidana yang telah ditetapkan perlu
dijadikan dasar untuk melakukan pengharmonisasian peraturan perundang-
undangan, baik peraturan yang telah dibentuk maupun peraturan yang akan atau
sedang dibentuk.
Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang tertua di dunia selain
pidana mati yang juga dikenal dalam kitab Thaurat maupun Al-Qur’an11. Selain itu,
dalam hukum adat juga dikenal pidana denda yakni berupa pembayaran kepada
penguasa atau kerajaan maupun pembayaran pengganti kerugian kepada korban,
yang bisa berbentuk berupa uang, ternak, hingga hasil kebun12. Dalam sejarahnya,
pidana denda telah digunakan dalam hukum pidana selama berabad-abad. Semula
Negara Anglo Saxon secara sistematis menggunakan hukum finansial bagi pelaku
kejahatan. Pembayaran uang sebagai ganti kerugian diberikan kepada korban. Ganti
rugi tersebut menggambarkan keadilan swadaya yang sudah lama berlaku dan
memungkinkan korban untuk menuntut balas langsung terhadap mereka yang telah
berbuat salah dan akibatnya terjadi pertumpahan darah.
11 Niniek Suparmi, Op.cit, h. 46.
12 Niniek Suparmi, Op.cit, h. 47.
Sesungguhnya pidana denda memang sudah ada sejak jaman dahulu dan
berkembang di masyarakat adat. Pidana denda pun bahkan terdapat pada
masyarakat primitive, sehingga bentuk pidana dendanya pun primitive dan masih
sederhana sekali.13 Perkembangan pidana denda selanjutnya adalah pada abad ke-
12 yakni pidana denda bersumber pada hukum pidana Jerman Kuno. Pada abad ke-
20 di Belanda menerapkan konsep stelsel pidana dalam Wet Vermogenssanctie
tanggal 31 Maret 1983, Stb. 153 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1983. Pada
Wet Vermogenssanctie tersebut ditentukan bahwa pemerintah Belanda memperluas
dan melengkapi wewenang jaksa untuk menyelesaikan secara transaksi jenis-jenis
kejahatan yang diancam dengan pidana denda atau dengan pidana penjara yang
tidak lebih dari enam tahun.14
Sejarah dan perkembangan pidana denda di Indonesia berawal dari
munculnya KUHP sebagai sumber hukum pidana di Indonesia. KUHP merupakan
sumber hukum pidana warisan jaman kolonial Belanda yang dikodifikasikan
sehingga bisa berlaku di Indonesia. Pidana denda pada KUHP ini diatur pada Pasal
10 KUHP jo Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP. Pasal 10 KUHP menetapkan pidana
denda sebagai salah satu pidana pokok setelah pidana mati, penjara dan kurungan.
Sedangkan pada Pasal 30 KUHP menetapkan pola pidana denda, yakni bahwa
banyaknya pidana denda sekurang-kurangnya Rp. 3,75.- sebagai ketentuan
minimum umumnya, dan bila pidana denda tidak dibayar maka dijatuhi pidana
kurungan sebagai pidana penggantinya. Melihat nominal uang pada sanksi pidana
13Suhariyono, Op.cit, h. 165.
14Suhariyono, Op.cit, h. 169- 170.
denda pada Pasal 30 KUHP yang sudah tidak sesuai dengan nilai mata uang
Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.18 Tahun 1960 yang pada intinya menyatakan bahwa :
“Setiap pidana denda yang diancamkan baik dalam KUHP ataupun dalam
ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945, harus
dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi 15 kali”
Pidana denda yang berobjek uang tentu erat hubungannya dengan nilai mata
uang. Nilai mata uang suatu negara berubah dan berfluktuasi sesuai dengan
perkembangan jaman. Menjadikan pidana denda sebagai salah satu sanksi pidana
pokok dalam sistem pemidanaan Indonesia tidak lah hal yang mudah dilakukan
karena pidana denda berkaitan dengan nilai mata uang negara, maka besarnya uang
pada pidana denda juga bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi perekonomian
negara. Hal inilah yang menjadi salah satu hambatan penerapan pidana denda di
Indonesia. Satu sisi pidana denda telah diatur pada KUHP. Namun, di sisi lain
KUHP tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman terutama dilihat
dari besarnya nominal pidana denda yang diatur di dalamnya.
Pada RUU KUHP 2013 telah diatur suatu pola khusus untuk menyiasati
perkembangan nilai mata uang yang tidak dapat diprediksi. Pola tersebut berupa
pengkategorian pidana denda dalam 6 (enam) kategori yang berbeda satu sama
lainnya.
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 80 RUU KUHP tahun 2013, yaitu:
(1) Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar
oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu:
a. kategori I Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah);
b. kategori II Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
c. kategori III Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah);
d. kategori IV Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
e. kategori V Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan
f. kategori VI Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(4) Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi
berikutnya.
(5) Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana
yang diancam dengan:
a. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima
belas) tahun adalah pidana denda Kategori V;
b. pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI.
(6) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) adalah pidana denda Kategori IV.
(7) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Maksud dari pengkategorian itu untuk memperoleh pola yang jelas tentang
maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana dan memberikan
kemudahan bagi hakim dalam melakukan penyesuaian, apabila terjadi perubahan
ekonomi dan moneter dunia yang juga dapat mempengaruhi perubahan ekonomi
dalam negeri.
Pelaksanaan pengenaan pidana denda diatur dalam Pasal 82 RKUHP 2013
yang menyatakan,
(1) Pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil dalam jangka waktu
sesuai dengan putusan hakim.
(2) Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar penuh
dalam jangka waktu yang ditetapkan maka untuk pidana denda yang tidak
dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana.
Pada pasal tersebut disebutkan bahwa pidana denda dapat dicicil sesuai
dengan tenggang waktu yang diberikan hakim dalam putusannya, dan apabila
dalam tenggang waktu tersebut denda tidak habis dibayar maka dapat diambil dari
kekayaan atau pendapat terpidana.
Perkembangan sanksi pidana denda tidak hanya ada pada KUHP, tetapi juga
diluar KUHP, yakni Undang-Undang di luar KUHP. Hal ini dibenarkan karena pada
Pasal 103 KUHP menyatakan bahwa ketentuan lain di luar ketentuan Bab I hingga
Bab VIII pada KUHP ini bisa berlaku apabila undang-undang menentukan lain. Ini
berarti bahwa KUHP merupakan dasar hukum pidana secara umum, tapi secara
khusus diatur pula di luar KUHP. Salah satunya adalah UU LLAJ yang dalam
ketentuan pidananya juga menerapkan pidana denda sebagai ancaman pidananya.
Pada UU LLAJ tersebut pidana denda dijatuhkan sesuai dengan pelanggaran
serta akibat yang timbul dari pelanggaran lalu lintas. Pidana dendanya pun
bervariasi dan berbeda, mulai dari Rp.100.000.- hingga Rp. 50.000.000.- tergantung
pelanggaran apa yang dilakukan oleh pelanggar UU LLAJ tersebut.
2.3 Safety Riding
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya menurut pengaturan di dalam
KUHP perbuatan pidana diatur di dalam Buku II tentang Kejahatan dan Buku III
tentang Pelanggaran. Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan, meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang
menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah
kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat
didalam buku II KUHP pada pasal 104 sampai dengan pasal 488. Sedangkan
mengenai pelanggaran, yakni perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru
disadari hal tersebut merupakan tindak pidana karena perbuatan tersebut tercantum
dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang).15
Dimuat dalam buku III KUHP pada pasal 489 sampai dengan pasal 569. Termasuk
di dalam pelanggaran adalah pelanggaran lalu lintas khususnya pada pelanggaran
safety riding.
2.3.1 Pengertian Safety Riding
Safety Riding ialah istilah mengenai cara berkendara yang aman dan
nyaman baik bagi pengendara itu sendiri maupun pengendara lain. Safety riding
berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari 2 suku kata yaitu safety yang berarti
keselamatan dan riding yang berarti berkendaraan sepeda motor. Jadi safety riding
merupakan cara-cara menjaga keselamatan selama berkendaraan dengan sepeda
motor.
Sehingga dari safety riding ini muncul suatu usaha yang dilakukan untuk
meminimalisir tingkat bahaya dan memaksimalkan keamanan dalam berkendara,
demi menciptakan suatu kondisi, yang mana kita berada pada titik tidak
membahayakan diri sendiri dan pengendara lain serta menyadari kemungkinan
bahaya yang dapat terjadi di sekitar kita serta pemahaman akan pencegahan dan
penanggulangannya.
2.3.2. Ketentuan Safety Riding dalam UU No.22 Tahun 2009 Tentang LLAJ
Pelaksanaan Safety Riding ini telah diatur dalam UU LLAJ pada BAB XI
Pasal 203 Ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa:
15 Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edy K., 2013, Catatan Mahasiswa Pidana, Indie
Publishing, Depok, h. 94-95.
“Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi: a. Penyusunan program
Nasional Kegiatan Keselamatan dan Angkutan Jalan.”
Adapun penjelasan dari Pasal 203 Ayat 2 huruf a yaitu bahwa Program Nasional
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diantaranya yaitu tentang Cara
Berkendara dengan Selamat (Safety Riding).
Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa penerapan Safety Riding merupakan
program nasional yang harus didukung penuh dan dilaksanakan demi terciptanya
keselamatan dan keamanan di jalan raya. Ketentuan safety riding pada UU LLAJ
dibagi atas perlengkapan dan kelengkapan kendaraan bermotor dan tata cara berlalu
lintas (ketertiban dan keselamatan).
Perlengkapan dan kelengkapan kendaraan bermotor diatur pada pasal-pasal
sebagai berikut:
1) Pasal 48 ayat (2) huruf a mengenai kewajiban sepeda motor untuk
dilengkapi dua buah spion di bagian kiri dan kanan, lampu depan/ utama,
lampu rem, lampu penunjuk arah kanan dan kiri, serta klakson.
2) Pasal 57 UU LLAJ:
(1) setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib
dilengkapi dengan perlengkapan kendaraan bermotor.
(2) perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda
Motor berupa helm standar nasional Indonesia.
3) Pasal 58 UU LLAJ :
(1) setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan dilarang
memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan
berlalu lintas.
Perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas pada
penjelasan Pasal 58 UU LLAJ tersebut adalah pemasangan peralatan,
perlengkapan, atau benda lain pada kendaraan yang dapat membahayakan
keselamatan lalu lintas, antara lain pemasangan bumper tanduk dan lampu
menyilaukan.
4) Pasal 68 :
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi
dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor.
5) Pasal 77 :
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib
memiliki Surat Ijin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor
yang dikemudikan.
Sedangkan ketentuan mengenai tata cara berlalu lintas (ketertiban dan
keselamatan) pada UU LLAJ diatur pada pasal-pasal sebagai berikut:
1) Pasal 105
Setiap orang yang menggunakan jalan wajib:
a. Berperilaku tertib; dan/atau
b. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan
dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat
menimbulkan kerusakan jalan.
2) Pasal 106
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.
(3) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan.
(4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
mematuhi ketentuan:
a. Rambu perintah atau rambu larangan;
b. Marka jalan;
c. Alat pemberi isyarat lalu lintas;
d. Gerakan lalu lintas;
e. Berhenti dan parker;
f. Peringatan dengan bunyi dan sinar;
g. Kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau
h. Tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan
lain.
(5) Pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan setiap
orang yang mengemudikan kendaran bermotor wajib menunjukkan:
a. Surat Tanda Nomor Kendaraan atau Surat Tanda Coba
Kendaraan Bermotor;
b. Surat Ijin Mengemudi;
c. Bukti lulus uji berkala; dan/atau
d. Tanda bukti lain yang sah.
(6) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan Bermotor beroda empat
atau lebih di jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib
mengenakan sabuk keselamatan.
(7) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat
atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di jalan dan
penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk
keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi Standar Nasional
Indonesia.
(8) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda
motor wajib mengenakan helm yang memenuhi Standar Nasional
Indonesia.
(9) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta samping
dilarang membawa penumpang lebih dari 1 (satu) orang.
Pada Pasal 106 ayat (1) dapat dijelaskan pada bagian penjelasan UU LLAJ
bahwa yang dimaksud dengan “penuh konsentrasi” adalah setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor dengan penuh perhatian dan tidak
terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon
atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan atau meminum
minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga mempengaruhi
kemampuan dalam mengemudikan kendaraan.
3) Pasal 107
(1) Pengemudi Kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama
kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada
kondisi tertentu.
(2) Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
Pada Pasal 107 ayat (2) dikatakan bahwa pengendara sepeda motor wajib
menyalakan lampu utama pada siang hari. Maksud dan tujuan dari pasal tersebut
adalah bahwa lampu utama dihidupkan pada siang hari bertujuan sebagai penanda
dari kejauhan bagi pengendara kendaraan bermotor di depannya, sehingga lampu
tersebut sebagai penanda bahwa ada sepeda motor yang dari kejauhan akan
mendekat dan kendaraan bermotor di depan bisa antisipasi dengan melihat melalui
kaca spion