21
6 BAB II TINJAUAN TEORI A. Penyakit Ginjal Kronik 1. Pengertian Penyakit Ginjal Kronik adalah destruksi stuktur ginjal yang progesif dan terus menerus (Corwin, 2009). Menurut Sibuea, Panggabean, & Gultom (2005) Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tak dapat pulih dan dapat disebabkan berbagai hal. Penyakit Ginjal Kronik merupakan gejala yang muncul secara bertahap dan biasanya tidak menimbulkan gejala awal yang jelas, sehingga penurunan fungsi ginjal sering tidak dirasakan, namun tiba - tiba telah pada tahap yang sulit diobati (Alam & Hadibroto, 2007). Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan sindroma klinis karena penurunan fungsi ginjal secara menetap akibat kerusakan nefron. Proses penurunan ginjal ini berjalan secara kronis dan progesif sehingga pada akhirnya akan terjadi gagal ginjal terminal (GGT) (Tjokoprawiro, dkk., 2007). Penyakit ginjal kronik (PGK) disebut juga sebagai penyakit renal tahap akhir yang merupakan gangguan fungsi renal yang progesif dan irreversibel dimana terjadinya kegagalan kemampuan tubuh dalam mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (retensi urea) dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2002). Penyakit ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal secara bertahap tanpa gejala yang dapat mengakibatkan kegagalan fungsi tubuh dalam mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menimbulkan uremia dan penumpukan nitrogen dalam darah.

BAB II TINJAUAN TEORI A. Penyakit Ginjal Kronik 1. Pengertiandigilib.unimus.ac.id/files/disk1/144/jtptunimus-gdl-deniarifan... · 6 BAB II TINJAUAN TEORI A. Penyakit Ginjal Kronik

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Penyakit Ginjal Kronik

1. Pengertian

Penyakit Ginjal Kronik adalah destruksi stuktur ginjal yang

progesif dan terus menerus (Corwin, 2009). Menurut Sibuea, Panggabean,

& Gultom (2005) Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan faal

ginjal yang hampir selalu tak dapat pulih dan dapat disebabkan berbagai

hal.

Penyakit Ginjal Kronik merupakan gejala yang muncul secara

bertahap dan biasanya tidak menimbulkan gejala awal yang jelas, sehingga

penurunan fungsi ginjal sering tidak dirasakan, namun tiba - tiba telah

pada tahap yang sulit diobati (Alam & Hadibroto, 2007).

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan sindroma klinis karena

penurunan fungsi ginjal secara menetap akibat kerusakan nefron. Proses

penurunan ginjal ini berjalan secara kronis dan progesif sehingga pada

akhirnya akan terjadi gagal ginjal terminal (GGT) (Tjokoprawiro, dkk.,

2007). Penyakit ginjal kronik (PGK) disebut juga sebagai penyakit renal

tahap akhir yang merupakan gangguan fungsi renal yang progesif dan

irreversibel dimana terjadinya kegagalan kemampuan tubuh dalam

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit

sehingga menyebabkan uremia (retensi urea) dan sampah nitrogen lain

dalam darah (Smeltzer & Bare, 2002).

Penyakit ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal secara

bertahap tanpa gejala yang dapat mengakibatkan kegagalan fungsi tubuh

dalam mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

elektrolit sehingga menimbulkan uremia dan penumpukan nitrogen dalam

darah.

7

Penyakit ginjal kronik adalah kelainan fungsi ginjal dengan atau

tanpa penurunan GFR < 60 ml/men/1,73 m² lebih dari 3 bulan (DOQI,

2002).

2. Etiologi

Menurut Morton & Fontaine (2009) penyebab penyakit ginjal

kronik adalah diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonephritis, nefritis

interstitial (alerginefritis interstitial, pyelonefritis), penyakit vakuler

mikroangiopati (penyakit atheroembolic, skleroderma), penyakit bawaan,

penyakit genetik, obstruktif uropathi, penolakan transplantasi, neoplasma

atau tumor, sindrom hepatorenal.

3. Patofisiologi

Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting dalam

mempertahankan kestabilan tubuh. Ginjal bertugas untuk menyaring zat-

zat buangan yang dibawa oleh darah, dan membuang sampah metabolik

agar sel-sel tubuh tidak mengalami keracunan. Organ ginjal mengatur

keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit serta asam basa dengan cara

menyaring darah, reabsorbsi air, elektrolit dan elektrolit. Dari fungsinya

tersebut ginjal merupakan salah satu sistem detoksifikasi utama setelah

hati, dengan membuang racun tubuh yang telah dilarutkan dalam air oleh

hati agar dapat dibawa oleh darah, kemudian dibuang bersama kelebihan

cairan tubuh melalui urine (Smeltzer & Bare, 2002).

Penyakit ginjal terjadi ketika ginjal sudah tidak dapat melakukan

fungsi regulernya. Kegagalan ginjal dalam melaksanakan fungsi-fungsi

vital tersebut akan menimbulkan keadaan uremia atau penyakit ginjal

stadium akhir (Smeltzer & Bare, 2002). Sedangkan penyakit ginjal kronik

merupakan perkembangan dari penyakit ginjal yang progresif dan lambat,

dan biasanya berlangsung beberapa tahun. Penyakit ginjal kronik terjadi

setelah berbagai macam penyakit merusak nefron ginjal. Umumnya

penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsik difus dan

8

menahun. Biasanya penyakit di luar ginjal, misalnya nefropati obstruktif

dapat menyebabkan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit

ginjal kronik. Glomerulonefritis, hipertensi essensial dan pielonefritis

merupakan penyebab paling sering dari penyakit ginjal kronik, kira-kira

60%. Sedangkan penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan

penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15% hingga 20%

(Sukandar, 2006).

Penyakit ginjal kronik pada awalnya memang tergantung pada

penyakit yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya

proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal

mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih

tersisa sebagai suatu upaya kompensasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya

hiperfiltrasi, dan diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah

glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti

oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses

ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun

penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi. Peningkatan aktivitas

renin, angiotensin-aldosteron ikut memberikan kontribusi terjadinya

hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas. Beberapa hal yang juga dianggap

berperan pada terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah

albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Pada stadium paling

dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada

keadaan dimana laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau justru

meningkat. Kemudian secara perlahan, akan terjadi penurunan fungsi

nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin

serum dan urea (Suwitra, 2009).

9

4. Manifestasi

Beberapa gejala penyakit ginjal kronik menurut Alam & Hadibroto

(2007) sebagai berikut :

a. Perubahan frekuensi kencing, sering ingin berkemih pada malam hari

b. Pembengkakan pada bagian pergelangan kaki

c. Kram otot pada malam hari

d. Lemah dan lesu, kurang berenergi

e. Nafsu makan turun, mual dan muntah

f. Sulit tidur

g. Bengkak seputar mata pada waktu bangun pagi hari atau mata merah

dan berair (uremic red eye) karena deposit garam kalsium fosfat yang

dapat menyebabkan iritasi hebat pada selaput lendir mata

h. Kulit gatal dan kering

5. Gambaran klinis penyakit ginjal kronik

Menurut Wilson (1995) dalam Suwitra (2009), gambaran klinis

perjalanan penyakit ginjal kronik dapat dilihat melalui hubungan antara

bersihan kreatinin dan laju filtrasi glomerulus (LFG) terhadap kreatinin

serum dan kadar urea darah dengan rusaknya massa nefron secara

progresif oleh penyakit ginjal kronik. Perjalanan klinis penyakit ginjal

kronik dapat dibagi menjadi 5 stadium, yaitu:

a. Stadium I

Stadium I dinamakan penurunan cadangan ginjal. Secara

perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang

ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai

pada LFG ≥ 90 %, pasien masih belum merasakan keluhan, tetapi telah

terjadi peningkatan urea dan kreatinin serum.

10

b. Stadium II

Pada derajat ini pasien akan mengalami kerusakan ginjal

dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) mengalami penurunan ringan,

dimana LFG sebesar 60% sampai 89%.

c. Stadium III

Pada derajat ini pasien akan mengalami kerusakan ginjal

dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) mengalami penurunan sedang,

dengan LFG 30% sampai 59%.

d. Stadium IV

Stadium IV atau pasien mengalami kerusakan ginjal dengan

laju filtrasi glomerulus (LFG) mengalami penurunan berat, pada

stadium ini LFG sebesar 15% sampai 29%.

e. Stadium V

Pada stadium akhir LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan

komplikasi yang lebih serius yaitu gagal jantung, dan pada tahap ini

pasien sangat memerlukan terapi pengganti ginjal, seperti dialisis

ataupun tranplantasi ginjal.

6. Penatalaksanaan

Menurut Tjokoprawiro, dkk. (2007) dalam praktek sehari – hari

penatalaksanaan pada penyakit ginjal adalah sebagai berikut :

a. Pengobatan penyakit dasar

b. Pengendalian keseimbangan air dan garam

c. Diet rendah protein, tinggi kalori

d. Pengendalian tekanan darah

e. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa

f. Pencegahan dan pengobatan osteodistrofi renal (ODR)

g. Pengobatan gejala uremi spesifik

h. Deteksi dini dan pengobatan infeksi

11

i. Penyesuaian pemberian obat

j. Deteksi dan pengobatan komplikasi

k. Persiapan dialisis dan transplantasi

B. Hemodialisa

1. Pengertian

Dialisis adalah proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan

dan produk limbah didalam tubuh ketika ginjal tidak mampu

melaksanakan proses tersebut (Smeltzer & Bare, 2002). Hemodialisa

adalah suatu proses mengeluarkan produk sisa metabolisme berupa larutan

(ureun dan kreatinin) dan air pada darah melalui membran semipermeabel

atau yang disebut dengan dialyzer (Thomas, 2002 dalam syamsiah, 2011).

2. Fungsi hemodialisa

Hemodialisa berfungsi untuk mengambil zat-zat nitrogen dan

toksin dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada

hemodialisa, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen

dialirkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan

dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien (Smeltzer & Bare, 2002).

3. Komplikasi pada hemodialisa

Komplikasi terapi hemodialisa menurut Smeltzer & Bare (2002)

mencakup hal – hal sebagai berikut :

a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan

b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja

terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien

c. Nyeri dada dapat terjadi karena PCo2 menurun bersamaan dengan

terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh

d. Pruritas dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir

metabolisme meninggalkan kulit

12

e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan

serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini

memungkinkan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang

berat

f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat

meninggalkan ruang ekstrasel

g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi

C. Keseimbangan Cairan

1. Komposisi cairan tubuh

Berat badan orang dewasa pada umumnya terdiri dari 60 %

cairan. Faktor – faktor yang mempengaruhi cairan tubuh adalah umur,

jenis kelamin, dan kandungan lemak didalam tubuh (Smeltzer & Bare,

2002). Cairan tubuh dibagi menjadi dua yaitu : cairan ekstrasel (CES)

dan cairan intrasel (CIS). Cairan ekstrasel 20 % atau 1/3 berat tubuh

terdiri dari intersitial ¾ cairan ekstraseluler, plasma ¼ cairan

ekstraseluler, transeluler. Cairan intrasel adalah cairan didalam

membrane sel yang berisi substansi terlarut atau solute yang penting

untuk keseimbangan cairan dan elektrolit serta untuk metabolisme.

Cairan intrasel membentuk 40 % atau 2/3 berat tubuh (Morton &

Fontaine, 2009). Misal berat badan orang dewasa 70 kg cara

menghitungnya sebagai berikut :

Berat padat : 70 kg x 0,40 = 28 kg

Berat cairan : 70 kg x 0,60 = 42 kg

Cairan intrasel : 42 L x 2/3 = 28 L

Cairan ekstrasel : 42 L x 1/3 = 14 L

Cairan intersitial : 14 L x 3/4 = 10,5 L

Plasma : 14 L x 1/4 = 3,6 L

13

2. Ketidaksembangan cairan

Pasien penyakit ginjal sering mengalami gangguan keseimbangan

cairan sehingga memerlukan pemantauan ketat untuk mendeteksi setiap

tanda yang akan terjadi. Pada pasien penyakit ginjal kronik, ginjal

kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urin

(hipothenuria) dan kehilangan cairan secara berlebihan (poliuria).

Hipothenuria disebabkan karena keutuhan nefron yang membawa zat

tersebut dan kelebihan air untuk nefron – nefron tersebut tidak dapat

berfungsi lama. Terjadi osmotik diuretik yang dapat menyebabkan

dehidrasi.

Peningkatan jumlah nefron yang tidak berfungsi akan

menyebabkan ketidakmampuan ginjal dalam menyaring urin

(isothenuria). Tahap ini akan terjadi kekakuan glomerulus dan plasma

tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus, sehingga

menyebabkan kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium. Tanda

ketidakseimbangan ringan memiliki tanda seperti sakit kepala, pusing,

mual, dan muntah. Sedangkan ketidakseimbangan yang berat tandanya

seperti penyakit saraf, koma, dan potensi kematian (syamsiah, 2011).

Menurut Smeltzer & Bare (2002) tanda – tanda gangguan cairan

pada kelainan renal adalah sebagai berikut :

a. Kelebihan volume cairan ditunjukan dengan kenaikan berat badan

yang cepat (melebihi 5%), edema, ronchi basah dalam paru- paru,

kelopak mata bengkak dan sesak nafas.

b. Kurangnya volume cairan ditunjukan dengan penurunan berat badan

yang cepat (melebihi 5%), penurunan suhu tubuh, kulit serta

membran mukosa kering , lipatan atau garis – garis alur longitudinal

pada lidah, dan oliguria atau anuria.

c. Kekurangan cairan ditunjukan dengan kram perut, pasien tampak

khawatir, kejang – kejang, oliguria atau anuria.

14

3. Pengaturan cairan tubuh

a. Asupan cairan

Hipotalamus di otak adalah suatu pusat pengendali rasa haus.

Stimulus fisiologi utama terhadap pusat rasa haus adalah

peningkatan konsentrasi plasma dan penurunan volume darah. Sel-

sel reseptor yang disebut osmoreseptor secara terus-menerus

memantau osmolalitas. Pusat rasa haus diaktifkan dan dideteksi oleh

osmoreseptor saat tubuh kehilangan cairan terlalu banyak. Faktor

lain yang mempengaruhi pusat rasa haus adalah keringnya membran

mukosa faring dan mulut, angiotensin II, kehilangan kalium, dan

faktor-faktor psikologis (Sari, 2009).

Asupan cairan pasien penyakit ginjal kronik harus

disesuaikan dengan batas asupan cairan yang sudah ditentukan, rasa

haus yang dialami pasien menyebabkan terjadinya fenomena

kelebihan cairan pada klien yang menjalani terapi hemodialisis.

Berat badan harian merupakan parameter penting yang dipantau,

selain catatan yang akurat mengenai asupan dan keluaran. Kenaikan

BB diantara waktu HD (IDWG) < 5% BB kering (Almatsier, 2006).

Sebelum dan sesudah hemodialisis berat badan pasien ditimbang

secara rutin dan IDWG diukur dengan cara menghitung selisih antara

berat badan setelah HD pada periode hemodialisis pertama dikurangi

berat badan pasien sebelum pre HD kedua dibagi berat badan setelah

HD pada periode hemodialisis pertama dikalikan 100%. Misalnya

BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke 2 adalah

58 kg, prosentase IDWG (58 -54) : 58 x 100% = 6,8 % (Istanti,

2009).

Mempertahankan keseimbangan cairan yaitu dengan

mengukur masukan dan haluaran cairan. Asupan cairan diberikan

sesuai dengan pengukuran yang kebutuhan dalam 24 jam. Kebutuhan

pasien akan air dapat dilakukan melalui pengukuran urin yang

dikeluarkan dalam 24 jam menggunakan gelas silinder dan ditambah

15

air 500 ml. Jumlah ini akan mengganti jumlah air yang hilang dari

dalam tubuh (volume urin + 500 cc) (Tjokoprawiro, dkk., 2007).

Kegiatan yang dilakukan dalam upaya mengatur keseimbangan

cairan, dilakukan kegiatan memonitor penambahan berat badan

setiap hari, mencatat asupan dan keluaran cairan secara akurat;

memonitor distensi vena leher, bunyi ronkhi pada paru, adanya

edema perifer, membatasi dan mengatur asupan cairan dan

melakukan dialisis (Syamsiyah, 2011).

Pembatasan asupan cairan bisa menjadi hal yang sulit bagi

klien penyakit ginjal kronik untuk dipertahankan, khususnya jika

klien mengalami kehausan. Menurut Kozier (1995) dan Crisp &

Tailor (2001) dalam Sari (2009) terdapat beberapa intervensi

keperawatan yang dapat dilakukan perawat untuk mengurangi rasa

haus pada klien dengan pembatasan asupan cairan yaitu:

1. Menjelaskan alasan pembatasan cairan, berapa banyak cairan

yang dibatasi dan jenis cairan apa yang diperbolehkan untuk

diminum.

2. Mengatur alokasi waktu dan interval minum untuk 24 jam.

3. Alternative pengganti air untuk mengurangi rasa haus dengan

memberikan kepingan atau potongan es.

4. Menyediakan wadah atau tempat air minum yang berukuran

kecil untuk minum.

5. Bantu klien untuk membilas mulut mereka dengan air tanpa

menelannya bila klien merasa haus.

6. Melakukan perawatan mulut.

7. Menginstruksikan klien untuk menghindari menelan atau

mengunyah makanan yang terlalu asin atau manis, karena

makanan tersebut cenderung menyebabkan sensasi haus.

8. Jika memungkinkan instruksikan klien mencatat cairan yang

masuk pada buku catatan untuk memantau jumlah cairan yang

masuk.

16

b. Haluaran cairan

Menurut Kozier, dkk. (2011) terdapat 4 rute haluaran cairan:

1. Urine

2. Kehilangan cairan yang tidak dirasakan dari kulit sebagai keringat

dan melalui paru sebagai uap air dalam udara yang diekspirasikan

3. Kehilangan cairan yang terlihat jelas melalui kulit

4. Kehilangan cairan melalui usus lewat feses

Tabel 2.1 Haluaran Urin

Rute Jumlah (mL)

Urine 1.400 sampai 1.500

Kehilangan yang tidak dirasakan

Paru 350 sampai 400

Kulit 350 sampai 400

Keringat 100

Feses 100 sampai 200

Total 2.300 sampai 2.600

Menurut Smeltzer & Bare (2002) Cairan terutama dikeluarkan

oleh organ – organ tubuh sebagai berikut :

1. Ginjal

Ginjal memiliki peran utama dalam mengatur

keseimbangan cairan dan elektrolit. Ginjal mengekskresikan urin

1,5 liter, selain itu ginjal berfungsi untuk mempertahankan

keseimbangan cairan sebagai berikut :

a. Pengaturan volume dan osmolaritas CES melalui retensi dan

ekskresi selektif cairan tubuh.

b. Pengaturan kadar elektrolit dalam CES dengan retensi selektif

substansi yang dibutuhkan dan ekskresi selektif substansi yang

tidak dibutuhkan.

17

c. Ekskresi sampah metabolik dan substansi toksik.

Dari hal diatas dapat diketahui bahwa penyakit ginjal akan

mengakibatkan permasalahan dalam keseimbangan cairan dan

elektrolit.

2. Paru – paru

Paru – paru merupakan salah satu organ yang juga

mempertahankan homeostasis. Melalui ekshalasi, paru – paru

membuang kira – kira 300 ml air setiap hari.

3. Kelenjar pituitari

Hormon anti diuretik (ADH) yang dihasilkan oleh

hipotalamus yang disimpan dalam kelenjar pituitari posterior dan

dilepaskan jika diperlukan. ADH disebut sebagai hormon

penyimpanan air, mempertahankan tekanan osmotik sel dengan

mengendalikan retensi atau ekskresi air oleh ginjal dan mengatur

volume darah.

4. Kelenjar adrenal

Aldosteron, suatu mineralokortikoid yang disekresikan oleh

zona glomerulosa dari korteks adrenal. Mempunyai pengaruh

dalam keseimbangan cairan. Peningkatan aldosteron menyebabkan

retensi natrium dan kehilangan kalium.

5. Kelenjar paratiroid

Kelenjar ini memiliki fungsi mengatur keseimbangan

kalsium dan fosfat melalui hormon paratiroid (PTH). PTH

mempengaruhi resorpsi tulang, absorpsi kalsium dari usus halus,

dan reabsorpsi kalsium dari tubulus ginjal.

D. Pembatasan Asupan Cairan

Pembatasan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik sangat perlu

dilakukan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular.

Air yang masuk kedalam tubuh harus seimbang dengan air yang keluar, baik

melalui urin maupun insensible water loss. Pembatasan asupan cairan

18

bergantung pada haluaran urine. Berasal dari insensible water loss ditambah

dengan haluaran urin per 24 jam yang diperbolehkan untuk pasien dengan

penyakit ginjal kronik yang menjalani dialisis (Almatsier, 2006; Smeltzer &

Bare, 2002).

Kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lama tanpa asupan

cairan dibandingkan dengan makanan. Namun pasien dengan penyakit

penyakit ginjal kronik harus melakukan pembatasan asupan cairan untuk

meningkatkan kualitas hidupnya. Mengontrol asupan cairan merupakan salah

satu masalah utama bagi pasien dialisis. Ginjal sehat melakukan tugasnya

menyaring dan membuang limbah dan racun di tubuh kita dalam bentuk urin

24 jam sehari. Apabila fungsi ginjal berhenti maka terapi dialisis yang

menggantikan tugas dari ginjal tersebut. Mayoritas klien yang menjalani

terapi hemodialisis di Indonesia menjalani terapi 2 kali seminggu antara 4 – 5

jam pertindakan, itu artinya tubuh harus menanggung kelebihan cairan

diantara dua waktu terapi (Sari, 2009).

Apabila pasien tidak membatasi jumlah asupan cairan maka cairan

akan menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan edema di sekitar

tubuh seperti tangan, kaki dan muka. Banyak juga penumpukan cairan terjadi

di rongga perut yang membuat perut disebut ascites . Kondisi ini akan

membuat tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung.

Penumpukan cairan juga akan masuk ke paru – paru sehingga membuat

pasien mengalami sesak nafas, karena itulah pasien perlu mengontrol dan

membatasi jumlah asupan cairan yang masuk dalam tubuh. Pembatasan

tersebut penting agar pasien tetap merasa nyaman pada saat sebelum, selama

dan sesudah terapi hemodialisis (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Sari, 2009).

Penilaian umum mengenai berat badan bersih adalah penting untuk

mempermudah perawat dan pasien dalam mengurangi kelebihan cairan

selama pelaksanaan dialisis. 1 kg BB sebanding dengan 1 L cairan, artinya

berat badan pasien adalah metode yang sederhana dan akurat untuk menilai

pertambahan maupun pengurangan cairan (Morton & Fontaine, 2009).

19

E. Kepatuhan

1. Pengertian

Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap

intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang

ditentukan, diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan

dokter (Stanley, 2007 dalam maryati, 2011). Kepatuhan adalah tingkat

seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dan perilaku yang disarankan.

Kepatuhan ini dibedakan menjadi dua yaitu kepatuhan penuh (total

compliance) dimana pada kondisi ini penderita penyakit ginjal kronik

patuh secara sungguh – sungguh terhadap diet asupan cairan dan penderita

yang tidak patuh (non compliance) dimana pada keadaan ini penderita

tidak melakukan diet terhadap asupan cairannya.

2. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Carpenito (2002) dalam Maryati (2011) berpendapat bahwa faktor

yang dapat meningkatkan kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat

berpegaruh positif sehingga penderita tidak mau lagi mempertahankan

kepatuhannya. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan antara lain

sebagai berikut:

a. Pemahaman tentang instruksi

Kesalahpahaman dalam pemberian instruksi menyebabkan

tidak seorangpun mematuhi instruksi tersebut. Ley dan Spelman

tahun 1967 menemukan bahwa lebih dari 60% responden yang di

wawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang

instruksi yang diberikan kepada mereka. Kadang hal ini disebabkan

oleh kegagalan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan

istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus

diingat oleh penderita.

20

b. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan,

jika pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang

diperoleh secara mandiri atau lewat tahapan tertentu.

c. Kesakitan dan pengobatan

Penderita penyakit kronis memiliki perilaku kepatuhan lebih

rendah (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau

resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama,

pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping,

perilaku yang tidak pantas sering terabaikan.

d. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang

tidak patuh tentu berbeda. Orang yang tidak patuh adalah orang yang

mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan kesehatannya,

memiliki sosial yang lebih, memusatkan perhatian kepada dirinya

sendiri. Kekuatan ego yang lebih ditandai dengan kurangnya

penguasaan terhadap lingkungannya.

e. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat

berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan

individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka

terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan

mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit.

f. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk

memenuhi segala kebutuhan hidup, tetapi ada kalanya seseorang

yang sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber

keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program

pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi

menengah kebawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya

tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.

21

g. Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari

anggota keluarga, teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting

dalam kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi

ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat

menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka seringkali

dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.

F. Dukungan Sosial

1. Pengertian

Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat, adanya bantuan

dan tindakan yang diberikan dimana kehadiran mereka mempunyai

manfaat emosional atau perilaku bagi pihak penerimanya (Nursalam &

Kurniawati, 2007). Dukungan sosial yaitu mengacu pada kenyamanan,

perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau

kelompok kepada individu (Gentry & Kobasa, 1984; Wallston dkk., 1983;

Wills & Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2006). Neergaard, Shaw, dan Carter

dalam Suhita (2005) mengartikan dukungan sosial sebagai sumber yang

tersedia terdiri dari jaringan teman dan kenalan (jaringan sosial) yang

membantu seseorang untuk mengatasi masalah sehari-hari atau krisis yang

serius.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

dukungan sosial adalah adanya bantuan atau dukungan yang diterima

individu dari orang lain dalam kehidupannya sehingga individu tersebut

merasa bahwa orang lain memperhatikan, menghargai, dan mencintainya.

Pada penderita penyakit ginjal kronik adanya dukungan dari orang

disekelilingnya akan memperkuat kemauan untuk selalu patuh dalam

membatasi cairannya.

22

2. Bentuk Dukungan Sosial

Bentuk dukungan sosial menurut Sarafino (2006) yaitu:

a. Dukungan emosional

Dukungan emosional dapat berupa ungkapan empati,

perhatian, maupun kepedulian terhadap individu yang bersangkutan.

Dukungan emosi memberikan rasa nyaman, jaminan, kepemilikan dan

dicintai ketika seseorang dalam situasi stres, misalnya memberikan

dukungan emosi pada seseorang yang kehilangan pasangan hidupnya.

b. Dukungan penghargaan

Dukungan berupa ungkapan hormat (penghargaan) untuk

orang lain atau individu yang bersangkutan, dorongan atau

persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan

positif individu tersebut dengan orang lain.

c. Dukungan instrumental

Dukungan ini mencakup bantuan langsung misal berupa

bantuan uang bisa juga berupa bantuan dalam pekerjaan sehari-hari.

d. Dukungan informasi

Dukungan berupa nasihat, saran, pengetahuan, informasi serta

petunjuk mengenai apa yang dilakukan individu yang bersangkutan,

contohnya seseorang yang sedang sakit mendapat informasi dari

keluarga atau dokter bagaimana mengatasi penyakit.

e. Dukungan persahabatan

Dukungan berupa adanya kebersamaan, kesediaan dan

aktivitas sosial yang sama mengacu pada ketersediaan orang lain

untuk menghabiskan waktu bersama orang tersebut, dengan demikian

memberikan perasaan keanggotaan dalam kelompok untuk berbagi

ketertarikan dan aktivitas sosial.

23

3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial

Menurut Reis dalam Suhita (2005) ada tiga faktor yang

mempengaruhi penerimaan dukungan sosial pada individu yaitu:

a. Keintiman

Dukungan sosial lebih banyak diperoleh dari keintiman dari

pada aspek-aspek lain dalam interaksi sosial, semakin intim

seseorang maka dukungan yang diperoleh seseorang semakin besar.

b. Harga Diri

Individu dengan harga diri memandang bantuan dari orang lain

merupakan suatu bentuk dalam penurunan harga diri karena dengan

menerima bantuan orang lain diartikan bahwa individu yang

bersangkutan tidak mampu dalam berusaha mencapai sesuatu.

c. Keterampilan Sosial

Individu dengan pergaulan yang luas akan memiliki

keterampilan sosial yang tinggi, sehingga akan memiliki jaringan

sosial yang luas pula, sedangkan individu yang memiliki jaringan

individu yang kurang luas memiliki keterampilan sosial rendah.

4. Mekanisme Dukungan Sosial

Menurut Pearlin dan Anelshensel, 1986 dalam dalam Nursalam &

Kurniawati (2007) ada tiga mekanisme social support yang secara

langsung atau tidak berpengaruh terhadap kesehatan seseorang, yaitu:

a. Mediator perilaku

Mengajak individu untuk mengubah perilaku yang jelek dan

meniru perilaku yang baik (misalnya, berhenti merokok).

b. Psikologis

Meningkatkan harga diri dan menjembatani suatu interaksi

yang bermakna.

24

c. Fisiologis

Membantu relaksasi terhadap sesuatu yang mengancam dalam

upaya meningkatkan sistem imun seseorang.

G. Kerangka Teori

Skema 1.1 kerangka teori

(Maryati, 2011; Sarafino, 2006; Smeltzer & Bare, 2002)

Faktor-faktor yang

mempengaruhi

kepatuhan:

a. Pemahaman tentang

instruksi

b. Tingkat pendidikan

c. Kesakitan dan

pengobatan

d. Keyakinan, sikap dan

kepribadian

e. Dukungan Keluarga

f. Tingkat ekonomi

g. Dukungan sosial:

1) Dukungan

emosional

2) Dukungan

penghargaan

3) Dukungan

instrumental

4) Dukungan

informasi

5) Dukungan

persahabatan

Kepatuhan pembatasan

asupan cairan Kelebihan cairan

Hemodialisa Penyakit ginjal

kronik

25

H. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Skema 2.2 Kerangka Konsep

I. Variabel Penelitian

Variabel - variabel yang diteliti meliputi :

1. Variabel Independen (bebas)

Variabel Independen dalam penelitian ini adalah dukungan sosial

yang meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan

instrumental, dukungan informasi dan dukungan persahabatan.

2. Variabel Dependen (terikat)

Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan

pembatasan asupan cairan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD Kota Semarang.

J. Hipotesis

Hipotesis awal (Ha) dalam penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan dukungan sosial terhadap kepatuhan pembatasan asupan

cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di

RSUD Kota Semarang

2. Ada hubungan dukungan emosional terhadap kepatuhan pembatasan

asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD Kota Semarang

Dukungan Sosial :

a. Dukungan emosional

b. Dukungan penghargaan

c. Dukungan instrumental

d. Dukungan informasi

e. Dukungan persahabatan

Kepatuhan pembatasan

asupan cairan

26

3. Ada hubungan dukungan penghargaan terhadap kepatuhan pembatasan

asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD Kota Semarang.

4. Ada hubungan dukungan instrumental terhadap kepatuhan pembatasan

asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD Kota Semarang.

5. Ada hubungan dukungan informasi terhadap kepatuhan pembatasan

asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD Kota Semarang.

6. Ada hubungan dukungan persahabatan terhadap kepatuhan pembatasan

asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD Kota Semarang.