Upload
dinhnguyet
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Setiap kegiatan industri akan menghasilkan limbah sebagai sisa hasil
proses produksi, baik limbah padat, cair, maupun gas. Limbah dari kegiatan
industri mempunyai potensi cukup besar pada pencemaran lingkungan, salah satu
diantaranya adalah limbah cair.
Limbah cair dihasilkan dari air bersih yang telah digunakan untuk berbagai
keperluan. Penggunaan air untuk berbagai kegiatan menghasilkan limbah cair
karena tidak semua air yang digunakan terikut sebagai bagian dari barang atau
bahan yang diproduksi.
Dalam limbah cair terdapat bahan kimia yang sukar untuk dihilangkan dan
berbahaya. Jika air limbah tidak terolah terakumulasi, akan terjadi dekomposisi
material organik yang terkandung dalam limbah tersebut dan akan menyebabkan
air bersifat septik dan bau. Air limbah tidak terolah biasanya mengandung
berbagai jenis mikroorganisme patogen dan bahan-bahan kimia yang dapat
memberi kehidupan bagi kuman-kuman penyebab penyakit.
Industri Tahu dan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan industri
bahan makanan yang banyak ditemui di Indonesia. Kedua jenis industri bahan
makanan tersebut merupakan penghasil limbah cair yang memiliki kandungan zat
organik sangat tinggi. Apabila langsung dibuang ke badan air tanpa dilakukan
pengolahan maka dapat menyebabkan pencemaran air dan penurunan kualitas
lingkungan. Constructed wetland diharapkan dapat mengatasi masalah limbah cair
yang berasal dari RPH dan Industri Tahu.
2.2 Air Limbah RPH
Rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu fasilitas perkotaan
yang menyediakan kebutuhan pangan masyarakat, khususnya kebutuhan akan
daging. Di kota Bandung terdapat ± 7 RPH yang mengolah ternak potong rata-rata
II-2
sejumlah 84.000 ekor setiap tahunnya, baik ternak besar maupun ternak kecil
(Nuraini, 2002). RPH yang ada, pada umumnya tidak memiliki sarana pengolahan
limbah yang memadai. Hal ini bisa berdampak pada menurunnya kualitas
lingkungan.
Limbah yang dihasilikan RPH dapat mencemari lingkungan karena
industri ini menghasilkan air buangan dengan konsentrasi parameter-parameter
tertentu yang lebih tinggi dibandingkan dengan air buangan domestik. Oleh
karena itu, pengolahannya tidak dapat disatukan dengan air buangan domestik.
Sebagai upaya untuk menghindari pencemaran air dibutuhkan suatu standar untuk
buangan industri yang akan bervariasi tergantung pada tempat pembuangan
efluen, tingkat pengenceran dalam badan air penerima, dan ketersediaan fasilitas
kota untuk penampungan dan penanganan air buangan tersebut. Apabila tidak
tersedia fasilitas pengolahan limbah kota, maka RPH tersebut harus menyediakan
sendiri sistem penanganan dan pembuangan limbahnya.
Air buangan dari RPH biasanya mengandung zat organik tinggi, senyawa
nitrogen relatif tinggi, serta mengandung zat padat dan lemak (Azad, 1976).
Kandungan bahan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan untuk
pertumbuhan mikroba. Hal ini dapat mereduksi kandungan O2 terlarut dalam air.
Bila O2 terlarut dalam air habis sama sekali karena kadar bahan organik yang
tinggi, maka akan timbul bau busuk dan warna air menjadi gelap. Bila protein
yang terdapat dalam air mengandung sulfur atau kandungan sulfat alamiah dalam
air tinggi, maka akan dihasilkan gas H2S yang menimbulkan bau.
Indikator polutan lain yang terlihat dari limbah RPH adalah warnanya
yang merah dan coklat gelap. Hal ini dapat menyebakan protes masyarakat sekitar
karena mengganggu pemandangan dan nilai estetika bagi pihak yang ingin
memanfaatkan badan air tersebut.
Kegiatan RPH yang dapat memberikan dampak terhadap kualitas
lingkungan sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 2.1.
II-3
Tabel 2.1 Sumber Dampak Kegiatan RPH terhadap Lingkungan
SUMBER LIMBAH ASAL BENTUK FISIK
Limbah Padat
- Kotoran/tinja
- Kotoran perut
- Sisa daging, lemak, dan lain-
lain
Kandang hewan
Pembersihan isi perut
Pembersihan daging
Gumpalan
Limbah Cair
- Pemotongan hewan
- Pembersihan
Rumah Pemotongan Hewan
(RPH)
Darah
Darah campur air
Pencemaran Udara
- Bau
Kandang hewan
Gas
Sumber : Rumah Pemotongan Hewan Dago Bengkok, Bandung
2.2.1 Proses Terbentuknya Limbah RPH
Sumber utama air limbah RPH adalah kandang hewan dan ruang
pemotongan hewan. Sumber air limbah yang pertama yaitu kandang hewan. Di
RPH Dago Bengkok kandang hewan berupa kandang terbuka berlantai tanah
kotor, ada juga yang sudah tertutup dan berlantai beton. Bagian dari kandang ini
terdiri dari kotoran cair dan padat yang dibuang dari kandang pada waktu
pembersihan atau pada saat hujan turun (pada kandang terbuka). Volume dan
kadar buangan ini bervariasi tergantung frekuensi pembersihan dan intensitas
hujan.
Sumber air limbah yang kedua yaitu ruang pemotongan hewan. Buangan
utama yang dihasilkan dari ruang pemotongan ini berasal dari pemotongan,
pembersihan bulu hewan dan bagian dalam, pemotongan daging, dan pencucian.
Dari proses-proses ini, ruang pemotongan biasanya menghasilkan buangan
terbanyak sebagian besar terdiri dari darah. Kotoran perut dan cairannya dibuang
atau digunakan sebagai pupuk, sedangkan darah dan air pencuci masuk ke saluran
pembuangan.
Sesuai ruang lingkup pemeriksaan, maka inventarisasi limbah yang
dilakukan hanya pada proses pemotongan ayam. Limbah yang dihasilkan dari
proses pemotongan ayam antara lain :
II-4
� Limbah darah dari proses pemotongan ayam
� Limbah dari sisa bak air panas
� Limbah darah dan kotoran dari bak pencucian
Proses kerja pada RPH ayam Dago Bengkok ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Skematik proses kerja pada RPH ayam Dago Bengkok (sonie,
2007)
2.2.2 Karakteristik Air Limbah RPH
Air limbah RPH berwarna merah-kecoklatan, limbah tersebut mengandung
darah, lemak, padatan organik dan anorganik, campuran bulu dan kotoran hewan.
Kandungan COD dan konsentrasi padatan dalam efluen RPH akan tergantung
pada pengawasan terhadap air yang digunakan, pemisahan limbah, dan
manajemen RPH dalam mengelola limbahnya.
Efluen dari RPH mengandung air limbah dengan konsentrasi sedang
sampai tinggi. Efluen ini mengandung organik terlarut (45%) dan tersuspensi
(55%). Kebanyakan organik dihasilkan dari darah dan kotoran. Komposisi dan
besarnya aliran umumnya tergantung dari jumlah hewan yang dipotong.
(Manjunath et.al, diambil dari TA Sonie, 2007). Karakteristik air buangan RPH
dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Pemotongan ayam
Dimasukkan ke dalam air panas Air panas bercampur darah dan
bulu ayam
Bulu, kotoran perut dan air pencucian
Siap dipasarkan
Sisa air pencucian akhir
Pembersihan bulu dan bagian dalam
Ayam yang telah bersih
Pencucian
Darah dan air pencucian
II-5
Tabel 2.2 Karakteristik Limbah RPH
Parameter Konsentrasi
Manjunath, 2000 (*)
RPH Ciroyom (*)
RPH Mis Chicken (*)
RPH Dago Bengkok (**)
Suhu - 27.4 oC 25.2 oC 27 � 33 0C
pH 6.5-7.3 6.6 8.05 6,64 � 7,9
TSS 300-2300 mg/l 1244 mg/l 172.4 mg/l 20 � 1492 mg/l
BOD5 600-3500 mg/l 1100 mg/l 2943-3160 mg/l 1165 � 3740 mg/l
Lemak 400-725 mg/l 1.4 mg/l - 29,4 � 41 mg/l
NTK 90-150 mg/l - - 39,2 � 214,36 mg/l
Fosfat 8-15 mg/l - 3.72 mg/l 19,72 - 27,231 mg/l
COD 1100-7250 mg/l 2460 mg/l 3205 mg/l 2451 � 9344 mg/l
Sumber: (*) Danielaini, 2002 dan Elyzabeth, 2002 (**) Sonie,2007
2.3 Air Limbah Industri Tahu
Industri Tahu merupakan industri kecil yang termasuk kelompok industri
pangan. Di Jawa Barat, industri kecil berkembang pesat dengan tingkat
perkembangan 4,78 % per tahun dengan 24,12 % merupakan kelompok industri
pangan, termasuk Industri Tahu (Departemen Perindustrian, 1994). Perkembangan
Industri Tahu ini membawa dampak positif bagi masyarakat yaitu mampu
menyerap tenaga kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun di sisi
lain, Industri Tahu ini pun memberikan dampak negatif bagi lingkungan yaitu
meningkatnya air buangan dari pembuatan tahu.
Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu
maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah tahu keruh dan berwarna kuning
muda keabu-abuan, bila dibiarkan akan berwarna hitam dan berbau busuk.
Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan cair. Limbah padat belum
dirasakan dampaknya terhadap lingkungan karena dapat dimanfaatkan untuk
makanan ternak, tetapi limbah cair dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan
karena pada umumnya limbah tersebut memiliki kandungan bahan organik yang
tinggi.
Potensi pencemaran badan air akibat tercemar air buangan cukup besar
karena dalam pembuatan tahu diperlukan air sekitar 75 � 150 liter untuk tiap kg
II-6
Kacang Kedelai
Pembersihan
Perendaman Air sisa perendaman Air dingin
Pencucian Air sisa pencucian Air dingin
Penggilingan Air dingin
Perebusan Air hangat
Penyaringan Air hangat
Pencetakan Air sisa pencetakan
Tahu
Pewarnaan Tahu Air sisa pewarnaan
kedelai dan sebagian besar air ini dibuang. Air yang digunakan kembali hanya air
bekas fermentasi yang digunakan sebagai bibit untuk pembutan tahu berikutnya
sekitar 50-70 liter. Pada umumnya pembuat tahu membuang air buangannya
langsung ke badan air penerima karena ketidaktahuan atau ketidakmampuan
untuk mengolah limbah tersebut.
2.3.1 Proses Terbentuknya Limbah Tahu
Limbah cair pada Industri Tahu ini berasal dari proses-proses yang terlibat
dalam pembuatan tahu, mulai dari proses awal yaitu pencucian kedelai, sampai
tahu yang telah jadi. Gambar 2.2 memperlihatkan proses pembuatan tahu.
Gambar 2.2 Proses pembuatan tahu secara konvensional (Royanti, 2001)
Secara sistematis, proses-proses yang terdapat dalam pembuatan tahu
dapat dilihat pada Gambar 2.3.
II-7
Gambar 2.3 Skema proses pembuatan tahu
Dari berbagai tahapan proses pembuatan tahu tersebut dihasilkan limbah
yang berpotensi mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan. Limbah yang
dihasilkan dari proses pembuatan tahu antara lain :
Air dari proses perendaman dan pencucian kedelai.
Sisa air tahu yang tidak menggumpal.
Potongan tahu yang hancur pada saat proses karena kurang sempurnanya
proses penggumpalan.
Air sisa perebusan tahu dengan kunyit dan garam (apabila diproduksi juga
tahu kuning).
2.3.2 Karakteristik Air Limbah Tahu
Air limbah tahu mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut yang
akan mengalami perubahan secara fisika, kimia, dan hayati menghasilkan zat
beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit yang
II-8
merugikan baik pada tahu sendiri maupun tubuh manusia. Air limbah akan
berubah warnanya menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk. Bau busuk ini
akan mengakibatkan sakit pernapasan. Apabila air limbah ini merembes ke dalam
tanah yang dekat dengan sumur, maka air sumur itu tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka akan mencemari sungai dan bila
masih digunakan akan menimbulkan penyakit gatal, diare, dan penyakit lainnya.
Hasil pemeriksaan air buangan dari Industri Tahu dengan mengambil
sampel Industri Tahu dari dua tempat, yaitu Industri Tahu Tauhid Lembang pada
tahun 2001, dan Industri Tahu Cibuntu pada tahun 2000 dan 2001 dapat dilihat
pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Air Buangan Industri Tahu
Parameter Satuan Kualitas Air Buangan Industri Tahu
Tauhid Cibuntu Dago Bengkok
(*) Gol. Baku
Mutu tahun '01 tahun '00 tahun '01 2007 III
pH - 5.3 4.5 � 5 3.61 4,1 � 5,15 6.0 - 9.0
Temperatur ºC 78 36 60 25 � 41 - Daya Hantar Listrik µmhos >1000 19390 5320 - -
3 -
400 1000
- 50
Oksigen Terlarut (DO) mg/l 2.3 - - - Warna Pt-Co 15000 - - - TSS mg/l 950 2319.6 148 460 � 1272 TDS mg/l 46338 13468 13050 -
Kekeruhan NTU 136.5 190 - - COD mg/l 1000 400 118000 8333,4 � 8409,6
BOD mg/l 3231 378,621 3400 - 3650 6
NTK mg/l 616.352 - 565.6 26,6 � 202,48 - - -
20 0.06
N � Ammonium mg/l 112.064 - 44.8 - N � Organik mg/l 504.288 - 520.8 -
Nitrat mg/l - 2.269 12.16 - Nitrit mg/l - 1.753 0 -
Zat Organik mg/l KmnO4 - - 3370.67 - - 1 Total fosfat mg/l - - - 0,523 � 2.998
Lemak mg/l - - - 10,52 � 30 -
Sumber : Katharina Oginawati, Bahan Kuliah Teknologi Bersih, 2006 (*)Sonie, 2007
Dari Tabel 2.3 diketahui bahwa parameter-parameter air buangan Industri
Tahu yang melewati baku mutu PP No.82 tahun 2001 untuk golongan III adalah :
pH, TSS, TDS, COD, BOD, Nitrit, total fosfat. Dengan demikian, jika air buangan
tahu ini langsung dibuang ke badan air dapat mengganggu keseimbangan
ekosistem air. Jika kandungan nitrogen atau fosfor dalam air tinggi maka akan
II-9
mengakibatkan tertutupnya perairan oleh tanaman air. Jika keadaan ini dibiarkan
perairan dapat menjadi anaerob. Kondisi anaerob ini dapat mengganggu
kehidupan pada ekosistem air terutama bagi satwa air.
2.4 Wetland
Wetland atau lahan basah merupakan zona transisi antara tanah kening
(terrestrial) dan sistem perairan. Wetland mempunyai ciri khusus dengan adanya
air yang menggenangi daerah tersebut, dan memiliki tanah yang berbeda
dibanding daratan kening yang berdekatan dengan air, serta mendukung vegetasi
yang dapat beradaptasi pada kondisi basah dan tergenang.
Menurut Hammer (1992) wetland didefenisikan sebaagai sistem
pengolahan air limbah yang memenuhi tiga faktor:
a. Area yang tergenang air dan mendukung hidupnya tumbuhan air.
b. Media tempat tumbuh tumbuhan air, berupa tanah yang selalu digenangi air.
c. Media tumbuh tumbuhan air, bisa juga bukan tanah, tetapi media yang jenuh
dengan air.
Secara garis besar wetland dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Natural Wetland
Natural wetland merupakan pengolahan air yang terjadi secara alami,
seperti yang terjadi di rawa-rawa dekat pesisir pantai, ataupun sepanjang aliran
sungai yang lambat. Tumbuhan airnya tidak diperlakukan secara terencana, debit
air limbah yang mengalir tidak direncanakan, dan kehidupan biota sangat
beraneka ragam. Natural wetland, terutama pada daerah tropis, memiliki
perubahan level muka air yang cukup tinggi dan sering sehingga vegetasi harus
beradaptasi dengan keadaan hidrologi tersebut.
Natural wetland memiliki karakteristik yang spesifik terhadap komponen
fungsionalnya. Hasil pengolahan limbah yang diperoleh dari suatu tipe natural
wetland pada suatu daerah belum tentu memberikan hasil yang sama pada daerah
yang berbeda meskipun jenis limbahnya sama. Meskipun dapat diamati
peningkatan kualitas limbah cair yang telah melewati suatu natural wetland, tidak
II-10
mungkin untuk memperoleh hitungan yang tepat terhadap kemampuan penguraian
dari natural wetland tersebut.
Sebagai bahan pertimbangan dalam sistem natural wetland, yang harus
diperhatikan yaitu:
a. Pengolahan air Iimbah terbatas hanya untuk pengolahan lanjutan.
b. Tidak diketahui secara jelas bagaimana kondisi area untuk natural wetland ini.
Pada umumnya daerah tersebut sudah menerima beban air limbah dalam
waktu yang cukup lama, sehingga kondisinya sudah jenuh dan tidak dapat
menerima tambahan beban lagi.
c. Adanya eutrofikasi karena pembuangan air limbah domestik maupun industri
meningkatkan konsentrasi nutrien dalam area natural wetlan sehingga
menimbulkan peningkatan pertumbuhan tumbuhan air dalam area tersebut.
2. Constructed Wetland
Pada prinsipnya hampir sama dengan natural wetland, namun sistem
pengolahannya memilik struktur yang direncanakan seperti :
a. Debit aliran
b. Beban organik tertentu
c. Kedalaman media tanah maupun air < 0,6 m
d. Dilakukan pemeliharaan terhadap tumbuhah air selama proses pengolahan
berlangsung.
Pada constructed wetland level muka air sepanjang tahun hampir seragam,
tidak mengalami perubahan yang signifikan, kecuali pengaruh dari ketersediaan
limbah cair yang akan diolah.
Constructed wetland memiliki susunan media yang jauh berbeda dengan
natural wetland karena telah didesain seoptimal mungkin untuk memudahkan
pergerakan air. Sistem ini memakai berbagai konfigurasi yang berbeda seperti
jenis media dan jenis tumbuhan air.
Perbedaan yang paling jelas yaitu pada keanekaragaman hayati. Natural
wetland memiliki tingkat keanekaragaman dan kerapatan vegetasi yang tinggi
dibandingkan constructed wetland karena vegetasi yang ada telah terbentuk dan
II-11
dibiarkan tumbuh secara alami. Sedangkan untuk constructed wetland biasanya
didesain hanya memiliki satu jenis vegetasi. Meskipun tiap tahun kerapatannya
semakin bertambah, kerapatan pada constructed wetland tetap rendah karena
dilakukan pembersihan (panen) untuk mengurangi kepadatan pada constructed
wetland.
Pada pertengahan tahun 1970-an, sudah banyak dilakukan penelitian,
pemanfaatan, perencanaan, dan pengontrolan kapasitas kemampuan penguraian
dari beberapa natural wetland untuk mengetahui kualitas air yang tepat. Penelitian
ini telah menghasilkan desain rekonstruksi atau ciptaan lahan basah untuk
mengolah limbah cair. Kenyataannya, cenderung untuk mempertahankan natural
wetland yang sudah ada dan untuk merancang constructed wetland yang sesuai
untuk purifikasi. Constructed wetland memiliki kemampuan efisiensi yang lebih
tinggi, jika dimanfaatkan untuk pengolahan air limbah. Hal ini disebabkan karena
constructed wetland lebih mudah dikontrol dan konstruksinya dapat didesain
sesuai dengan fasilitas yang dikehendaki seperti komposisi substrat, jenis
vegetasi, kecepatan aliran, dan debit aliran.
2.5 Constructed Wetland
Constructed wetland merupakan sistem pengolahan terencana atau
terkontrol yang telah didesain dan dibangun dengan menggunakan proses alami
yang melibatkan vegetasi wetland, media, dan mikroorganisme untuk mengolah
air limbah.
Aplikasi wetland saat ini sudah banyak digunakan di berbagai negara untuk
pengolahan limbah cair, baik domestik maupun non-domestik. Umumnya
constructed wetland digunakan sebagai kolam penyimpanan sebelum air limbah
dibuang ke lingkungan atau badan air sehingga diperlukan pengolahan awal
sebelum dialirkan ke dalam constructed wetland.
Constructed wetland sangat cocok diaplikasikan di negara-negara
berkembang karena sangat fleksibel dalam ukuran maupun fungsi yang
diperlukan. Sistem ini cocok diterapkan di Indonesia, karena selain lahan yang
dibutuhkan masih tersedia, juga iklim tropis yang sangat mendukung,
II-12
menyediakan lingkungan yang sangat baik untuk lahan basah buatan karena
temperatur yang lebih hangat dapat meningkatkan aktivitas biologis dan efisiensi
penyisihan.
Keunggulan constructed wetland dibandingkan dengan fasilitas pengolahan
limbah konvensional adalah :
1. Biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan yang lebih murah.
2. Pengoperasian dan perawatan lebih mudah sehingga dapat dilakukan oleh
tenaga lokal.
3. Mempunyai efisiensi yang cukup tinggi.
4. Relatif toleran terhadap berbagai tingkat konsentrasi bahan pencemar sebagai
akibat fluktuasi hidrolis.
5. Bahan pencemar di dalam air limbah dapat didaur ulang untuk menjadi
biomassa yang bernilai ekonomis.
6. Cocok dikembangkan di pemukiman kecil, daerah pertanian, dan daerah
pertambangan yang mampunyai lahan cukup luas.
7. Memberikan keuntungan yang tidak langsung seperti pemanfaatan tanaman
yang digunakan pada constructed wetland (bahan dasar untuk pakan ternak,
kosmetik, obat-obatan, kertas, pupuk, tanaman hias), mendukung fungsi
ekologis, kawasan hijau, habitat satwa, dan juga untuk pendidikan dan
kawasan rekreasi.
Walaupun memiliki sejumlah keunggulan, teknologi constructed wetland
seperti teknologi pengolah air limbah lainnya juga mempunyai keterbatasan
(Hammer, 1989). Beberapa keterbatasan constructed wetland dibandingkan
dengan fasilitas pengolahan limbah konvensional adalah :
1. Memerlukan lahan yang luas.
2. Kriteria desain dan operasi masih belum jelas.
3. Kompleksitas biologis dan hidrologis belum dipahami dengan baik.
4. Kemungkinan berkembangnya vektor penyakit dalam sistem constructed
wetland seperti nyamuk.
II-13
2.5.1 Tipe Constructed Wetland
Pada dasarnya aliran air dalam sistem constructed wetland terdiri dari dua
aliran (EPA, 1988), yaitu aliran permukaan (Free Water Surface) dan aliran
bawah permukaan (Subsurface Flow System). Pada subsurface flow system ada
dua macam pola aliran yaitu aliran horizontal (Horizontal subsurface flow, HSF),
dan aliran vertikal (vertical flow system, VFS).
2.5.1.1 Free Water Surface (FWS)
Pada sistem ini air mengalir dari satu kolam ke kolam lain dengan
permukaan air yang terbuka. Pada bagian dasar tanah telah dilapisi dengan bahan
yang kedap air, misalnya lapisan tanah liat, dan plastik.
Pengolahan awal biasanya digunakan terlebih dahulu dan selanjutnya
terjadi pengolahan dimana air limbah mengalir pelan melewati batang dan akar
tanaman yang ditanam di atas kolam. Proses pengendapan merupakan mekanisme
pengolahan utama pada tipe ini.
Kolam berisi tanaman terapung, lapisan tanah di dasar kolam berfungsi
sebagai media akar. Kedalaman air berkisar dari 0,3 m sampai 0,8 m, tergantung
dari tujuan dibangunnya lahan basah buatan ini. dengan debit air limbah cair
berkisar 4 - 75.000 m3/detik. Bentuk penampang dan pola aliran pada sistem ini
dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Pola aliran pada FWS Sumber: http://www.iridra.com/index_eng.htm
Pada prakteknya, free water system jarang digunakan karena sistem ini
dapat menjadi sarang bagi vektor penyakit (seperti nyamuk) serta menimbulkan
bau. Jenis constructed wetland yang sering digunakan yaitu HSF dan VSF.
II-14
2.5.1.2 Vertical Flow System (VFS)
Pada dasarnya tipe ini hampir sama dengan tipe HSF, hanya berbeda pada
arah aliran air. Sistem pengalirannya tidak dilakukan secara kontinu tetapi dengan
batch. Air limbah cair yang masuk dari atas akan mengalir ke bawah dengan
melewati zona akar dengan gaya gravitasi akhirnya keluar dari dasar media. Tipe
vertical flow system dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Pola aliran pada VFS Sumber: http://www.iridra.com/index_eng.htm
VFS baik digunakan untuk proses nitrifikasi karena kemampuan transfer
oksigen yang tinggi, serta penyisihan BOD dan COD. VFS kurang bagus untuk
penyisihan partikel tersuspensi dan dapat mengakibatkan clogging jika pemilihan
pasir tidak tepat.
2.5.1.3 Horizontal Subsurface Flow (HSF)
Horizontal subsurface flow (HSF) berupa kolam atau reservoir yang berisi
material dasar yang dipilih secara granulometry dengan tujuan untuk memastikan
hydraulic conductivity (media yang digunakan umumnya pasir dan kerikil).
Fungsi dari material dasar tersebut untuk mendukung pertumbuhan akar. Dasar
kolam harus kedap air dengan tujuan untuk mencegah terjadinya presipitasi ke
dalam tanah sebelum sempat diolah pada constructed wetland, biasanya dilapisi
dengan tanah liat atau membran sintetis (HDPE atau LDPE 2 mm). Dasar
constructed wetland biasanya diberi slope (sekiatr 1%) untuk memastikan pada
constructed wetland terjadi aliran dari inlet ke outlet. Tipe horizontal subsurface
flow dapat dilihat pada Gambar 2.6.
II-15
Gambar 2.6 Pola aliran pada HSF Sumber: http://www.iridra.com/index_eng.htm
Kedalaman media berkisar antara 0,3-0,6 m. Tinggi permukaan air
dipertahankan selalu berada sekitar 15 cm di bawah permukaan media dengan
mengatur ketinggian outlet agar berada di bawah permukaan media. Tanah atau
media dalam HSF akan menjadi anaerob karena penggenangan yang terus
menerus.
Vegetasi dari HSF ini ditanam di media lapisan paling atas. Tanaman yang
berada di atas media memilki kemampuan dalam mengadsorbsi oksigen dengan
menggunakan daun dan batang yang berada diatas permukaan media. Oksigen
ditransfer ke akar sehingga keadaan di sekitar akar dapat menjadi aerob. Tanaman
dapat mentransfer oksigen sekitar 5-45 g oksigen per hari per meter persegi luas
permukaan constructed wetland, tergantung pada kepadatan tanaman dan oxygen
stress levels pada zona akar. Sebagian dari oksigen yang berada di dalam akar
dapat mencapai permukaan akar atau rhizome sehingga membentuk aerobic
microsites. Aerobic microsites dapat membantu proses aerobik yang terjadi pada
mikroorganisme, seperti proses nitrifikasi. Untuk meningkatkan efisiensi HSF
sangat penting untuk memperluas penetrasi akar ke dalam media sehingga
menciptakan kontak yang lebih besar antara akar dan limbah.
Keuntungan dari tipe HSF ini adalah tidak adanya genangan air yang dapat
menimbulkan bau dan menjadi tempat nyamuk berkembang biak. HSF baik
digunakan untuk penyisihan partikel tersuspensi karena kemampuannya untuk
menyaring, penyisihan BOD, dan denitrifikasi (selama masih tersedia oksigen
dalam bentuk nitrat). Bila didesain dan dibuat konstruksi yang baik operasinya
II-16
akan mudah dan proses pengolahannya berjalan secara alamiah dalam kurun
waktu yang cukup lama yaitu 15-20 tahun.
Kekurangan dari HSF yaitu tidak bagus untuk proses nitrifikasi karena
keterbatasan kemampuan transfer oksigen. Selain itu bakteri menghasilkan
biofilm yang dapat menyumbat pori-pori media sehingga menyebabkan clogging.
Sering terjadi aliran pendek yang menyebabkan menurunnya efisiensi pengolahan.
HSF tidak cocok digunakan untuk pengolahan air limbah yang mempunyai beban
suspended solid sangat tinggi. Oleh karena itu dianjurkan adanya unit pengolahan
pendahuluan seperi bak sedimentasi, tangki septik, tangki imhoff, dll. Biaya
konstruksi yang dibutuhkan untuk tipe ini juga jauh lebih tinggi dari tipe free
water surface.
Untuk mendesain wetland horizontal subsurface flow ada beberapa kriteria
desain yang telah ditetapkan melalui beberapa percobaan. Pada Tabel 2.4 dapat
dilihat kriteria desain yang dapat digunakan pada susbsurface wetland.
Tabel 2.4 Kriteria Desain Pada Horizontal Subsurface Flow
Parameter Desain Satuan Metcalf Eddy,
1991 Crites &
Tchobanouglous, 1998
Waktu detensi hidrolis
Hari 4-15 3-4 (BOD)
6-10 (N)
Tinggi muka air Cm 30-75 30-60
Beban BOD g/m2.h <6,65 <11,2
Beban hidrolis m3/m2.h 0,014-0,047 -
Berdasarkan US-EPA (1993) langkah pertama yang perlu diketahui untuk
mendesain constructed wetland yaitu menghitung nilai KT yang berguna untuk
menentukan luas permukaan constructed wetland. KT merupakan konstanta
temperatur yang diperoleh dari konversi konstanta pada saat suhu 20oC dengan
faktor koreksi 1,1. Persamaan untuk menghitung nilai KT dapat dilihat pada
persamaan 2-1. Suhu yang digunakan untuk menghitung nilai KT yaitu suhu
terendah yang dimiliki oleh limbah cair pada saat musim dingin. Hal ini dilakukan
karena pada saat musim dingin, aktivitas penguraian zat organik oleh
II-17
mikroorganisme berjalan lambat Sehingga akan dibutuhkan waktu detensi lebih
lama untuk menghasilkan efluen yang diinginkan.
KT = K20 (1,06)(T-20) (2-1)
(USEPA, 1993)
KT = konstanta temperatur (/hari)
K20 = 1,104/hari
T = suhu air (oC)
Nilai KT yang diperoleh dapat digunakan untuk menghitung waktu detensi
(t) untuk penyisihan BOD serta luas permukaan dengan menggunakan rumus 2-2
dan 2-3. Ada beberapa literatur yang langsung memberikan nilai KT sehingga
persamaan 2-4 langsung dapat digunakan. Menurut (Arceivala,1998), nilai KT
untuk daerah yang hangat seperti India memiliki nilai KT berkisar 0,18-0,2/hari.
Namun, data ini masih harus diteliti lebih lanjut.
t = T
oe
K
CC )/ln( (2-2)
AS = dn
Qt (2-3)
Persamaan 2-2 dan 2-3 dapat ditulis menjadi persamaan 2-4. Untuk nilai n
dapat dilihat pada Tabel 2.4.
AS = dnK
CCQ
T
eo )ln(ln (2-4)
AS = luas permukaan constructed wetland (m2)
Q = debit (m3/hari)
Ce = efluen BOD (mg/l)
Co = influen BOD (mg/l)
KT = konstanta temperatur (/hari)
d = kedalaman media (m)
n = porositas media
Untuk penampang melintang dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan 2-5. Nilai Ks dapat dilihat pada Tabel 2.5.
II-18
Ac = SK
Q
s
(2-5)
AC = luas penampang constructed wetland (m2)
Q = debit (m3/hari)
KS = Hydraulic konductivity (m3/m2/hari)
S = Slope
Setelah memperoleh nilai Ac dapat dihitung lebar constructed wetland (W)
dengan menggunakan persamaan 2-6. Serta juga dapat diperoleh panjang
constructed wetland (L) dengan menggunakan persamaan 2-7.
W = AC / d (2-6)
L = AS / W (2-7)
Setelah dimensi constructed wetland dan debit diketahui maka dapat
dihitung waktu detensi (t) yang digunakan pada constructed wetland dengan
menggunakan persamaan 2-8.
QLWdnt (2-8)
Tabel 2.5 Karakteristik Media pada Subsurface Flow System
Tipe media Max 10%
Ukuran butiran (mm)
Porositas (n)
(%)
Ks
(m3/m2/hari)
Coarse Sand
Gravelly Sand
Fine Gravel
Medium Gravel
Coarse Rock
2
8
16
32
128
32
35
38
40
45
1000
5000
7500
10000
100000
Sumber: USEPA, 1993
2.5.2 Komponen-komponen Constructed wetland
Agar pengolahan air limbah efektif maka constructed wetland
membutuhkan beberapa komponen penting (Hammer, 1989), yaitu:
1. Substrat/ media (tanah, pasir, kerikil, dll) dengan berbagai tingkat
konduktivitas hidrologis.
II-19
2. Tumbuhan akuatik, baik yang tumbuh melekat pada substrat maupun yang
mengapung dalam air.
3. Genangan air baik yang mengalir di atas atau di bawah permukaan tanah.
4. Mikroorganisme aerob dan anaerob.
5. Hewan yang bertulang belakang dan tidak bertulang belakang.
Komponen biotik dan abiotik pada constructed wetland saling berinteraksi
membentuk keseimbangan jaring-jaring makanan dan perpindahan energi. Ketika
air limbah masuk ke dalam sistem tersebut, bahan pencemar yang terkandung di
dalamnya akan menjadi salah satu bahan baku dalam mata rantai makanan yang
akan didegradasi oleh mikroorganisme dan diserap oleh tanaman.
2.5.2.1 Substrat/Media
Substrat/media yang sering digunakan dalam constructed wetland adalah
tanah, pasir, kerikil. Media ini mempunyai nilai konduktivitas tertentu yang akan
mempengaruhi waktu detensi sistem. Konduktivitas hidrolis merupakan
kemampuan media untuk menghantarkan atau melewatkan cairan. Semakin besar
nilai konduktivitas maka nilai waktu detensi semakin kecil. Pemilihan media
yang akan digunakan tergantung pada karakteristik air limbah, tujuan utama
pengolahan yang diinginkan, dan karakteristik desain yang akan digunakan.
Masing-masing media memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu
sehingga pada prakteknya seringkali digunakan kombinasi dari beberapa media.
Tanah baik untuk pertumbuhan tanaman, menyediakan dukungan fisik yang
diperlukan bagi sistem perakaran dan juga berfungsi sebagai reservoir udara, air,
dan nutrien yang juga penting bagi tanaman. Tanah juga dapat menyerap
senyawa- senyawa organik dan nutrien yang terdapat pada air buangan (tanah liat
sering digunakan sebagai media untuk penyisihan fosfor). Pasir baik untuk
pertumbuhan tanaman, penetrasi akar tanaman dapat menjadi lebih dalam. Media
pasir akan cepat mengalami clogging jika beban suspended solid pada air buangan
cukup tinggi. Kerikil dapat mengatasi masalah clogging, akan tetapi kurang baik
untuk aktivitas dan perkembangbiakan bakteri dibandingkan tanah dan pasir.
II-20
2.5.2.2 Vegetasi dalam Constructed Wetland
Tanaman adalah komponen penting dalam constructed wetland yaitu
mentransfer oksigen melalui akar dan sistem rhizome menuju bagian dasar media
dan meyediakan suatu media di bawah air untuk tempat melekatnya
mikroorganisme. Selain itu tanaman air juga menyerap bahan pencemar dari air
limbah untuk menjadi biomassa yang dapat bernilai ekonomis tergantung jenis
tanamannya.
Beberapa tanaman air dapat menyerap zat-zat organik dan beberapa
komponen organik dalam air. Tanaman akan melahirkan suatu micro ecosystem
yang menghasilkan sinergi yang positif terhadap proses pengolahan limbah.
Tanaman tersebut mengarsorbsi dan meleburkan material-material terlarut
tersebut ke dalam struktur metabolisme mereka sendiri.
Kadar unsur hara anorganik ideal yang dibutuhkan oleh tanaman
ditunjukkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Kadar Unsur Hara Anorganik Ideal yang Dibutuhkan Tanaman
Unsur hara anorganik Komposisi ideal bagi tanaman (mg/l) Nitrat (sebagai N)
Ammonia nitrogen (sebagai N) Fosfor (sebagai P)
Kalium Kalsium
Magnesium Besi
Mangan Natrium
Klor
40-45 0,1
90-100 90-100
125 85
8-12 1
60 50
Sumber : Wheatley, 1987
Fungsi tanaman air dalam pengolahan air limbah dengan constructed
wetland adalah sebagai berikut :
1. Akar atau batang yang terendam dalam air :
sebagai tempat tumbuhnya bakteri
sebagai media absorbsi dan filtrasi dari solid
2. Batang atau daun pada atau di atas permukaan air :
mengurangi sinar matahari sehingga dapat mencegah pertumbuhan alga
II-21
mengurangi efek angin dari air
meningkatkan transfer oksigen ke akar
Tujuan utama pemanfaatan tanaman ini adalah untuk menjaga kondisi
konduktivitas hidrolis dari bidang pengolahan dan menyediakan sarana transfer
oksigen dari udara ke akar. Tanaman mengkonversi energi sinar matahari menjadi
energi kimia dan membawa oksigen dari permukaan daun dan batang untuk
dilepaskan di akar, sehingga dapat memungkinkan terjadinya degradasi senyawa
organik dan anorganik. Zona akar tanaman pada constructed wetland dapat dilahat
pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Zona akar tanaman pada wetland
(Sumber : www.Constructed wetland /wastewater treatment system.com)
Pada daerah akar terjadi degradasi materi organik secara aerob dan anaerob.
Selama limbah cair melewati rizosfer dari tanaman, materi organik akan
terdekomposisi akibat aktivitas mikroba, nitrogen terdenitrifikasi, jika tersedia
materi organik yang cukup, phosphor dan logam berat akan teradsorpsi oleh
media.
Vegetasi berperan sebagai tempat terjadinya proses penguraian dengan
pengembangan mikroba aerobik pada rizosfer dan transfer oksigen dari atmosfer
ke bagian akar serta mengisi pori-pori tanah dengan oksigen mengakibatkan
terjadinya proses oksidasi yang baik pada limbah cair.
II-22
2.5.2.3 Mikroorganisme
Beberapa jenis mikroorganisme yang terdapat dalam construced wetland
antara lain bakteri aerob dan anaerob, actinomycetes, jamur, dan alga. Distribusi
mikroorganisme pada profil memanjang tanah dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Distribusi Mikroorganisme pada Profil Memanjang Tanah
Kedalaman (cm)
Organisme / gr tanah *103
Bakteri Aerob
Bakteri Anaerob
Actinomycetes Jamur Alga
3-8 20-25 35-40 65-75
135-145
7800 1800 472 10 1
1950 379 98 1
0,4
2080 248 49 5 -
119 50 14 6 3
25 5
0,5 0,1 -
Sumber : Alexander, 1961
Bakteri
Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme dalam tanah yang paling
dominan dan lebih setengah dari biomassa mikroba dalam tanah. Bakteri terdapat
dalam segala tipe tanah tetapi populasinya menurun dengan bertambahnya
kedalaman. Dalam kondisi anaerob, bakteri mendominasi tempat dan
melaksanakan kegiatan mikrobiologi dalam tanah karena jamur dan actinomycetes
tidak dapat tumbuh baik tanpa adanya oksigen.
Ketika bahan pencemar memasuki sistem constructed wetland, bakteri
yang ingin memperoleh energi akan menguraikan bahan pencemar yang kompleks
seperti senyawa organik untuk menjadi senyawa yang lebih sederhana dan dapat
diserap oleh tumbuhan.
Bakteri aerob menguraikan bahan organik dengan menggunakan oksigen
dan menghasilkan air, karbondioksida, dan energi. Bakteri anaerob menggunakan
ion nitrat dan sulfat untuk menguraikan bahan organik dan hasil yang diperoleh
adalah karbondioksida, energi, gas nitrogen bagi bakteri yang menggunakan ion
nitrat, atau gas asam sulfida bagi bakteri yang menggunakan ion sulfat. Bakteri
fakultatif dapat mencerna bahan organik baik dalam keadaan ada oksigen maupun
tidak ada oksigen. Bakteri fakultatif bersama dengan bakteri anaerob menguraikan
senyawa-senyawa organik menjadi gas metana, karbondioksida, dan energi.
II-23
Jamur
Jamur memiliki kemampuan menguraikan bahan organik sisa-sisa
makhluk hidup dengan cara menggunakan enzim untuk menjadi senyawa yang
lebih sederhana dan menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman.
Bersama-sama dengan bakteri, jamur merupakan organisme yang berperan
mengembalikan bahan yang terbentuk dari sintesa oleh tumbuhan dan hewan
tingkat tinggi untuk kembali menjadi senyawa yang sederhana. Dalam lingkungan
air, jamur hifomisetes mampu menguraikan sisa-sisa tumbuhan yang
mengandung lignin untuk menjadi senyawa yang lebih sederhana yang
memudahkan mikroorganisme untuk mengkonsumsinya. Tanpa organisme
pengurai ini bahan organik tersebut akan bertahan lama di lingkungan.
Actinomycetes
Actinomycetes adalah organisme tanah yang memiliki sifat-sifat mirip
bakteri dan jamur, tetapi juga mempunyai ciri khas cukup berbeda yang
menjadikannya menjadi satu kelompok yang berbeda. Kelompok ini memiliki
kemiripan dengan jamur tidak sempurna, dalam hal medium aerialnya yang
membentuk spora sebanyak-banyaknya dan dalam hal pembentukan suatu
gumpalan atau butiran yang jelas dalam kultur cair. Actinomycetes berbeda dari
jamur dalam hal komposisi dinding selnya. Actinomycetes tidak memiliki kitin
dan selulosa yang umum dijumpai dalam dinding sel jamur.
Actinomycetes hadir secara luas dalam tanah maupun air dan hampir
semuanya aerobik. Jumlah actinomycetes meningkat dengan adanya bahan
organik yang mengalami dekomposisi. Biasanya actinomycetes tidak toleran
terhadap asam dan jumlahnya menurun pada pH 5,0. Rentang pH yang optimum
adalah antara 6,5-8,0.
Algae
Pada umumnya alga bersel banyak dan hanya beberapa diantaranya yang
bersel tunggal. Kebanyakan organisme ini hidup dalam air dan merupakan
produsen zat organik terbesar dalam lingkungan akuatik. Zat-zat anorganik seperti
karbondioksida, ammonia, nitrat, dan fosfat merupakan sumber makanan baku
bagi algae untuk membentuk sel-sel baru dan memproduksi oksigen. Alga dapat
berupa sel tunggal yang mungkin bergerak (motile) dengan bantuan flagellata atau
II-24
diam (non motile), atau dapat juga berupa jaringan sel banyak. Alga dan bakteri
yang hidup dalam lingkungan yang sama tidak akan berkompetisi dalam hal
memperoleh makanan, bahkan mereka mempunyai simbiose, yaitu alga
memanfaatkan end-product dari dekomposisi zat organik yang dilakukan oleh
bakteri dan alga menghasilkan oksigen untuk menjaga kondisi aerobik yang
diperlukan oleh bakteri.
2.5.2.4 Kehidupan hewan
Sistem constructed wetland sangat mendukung kehidupan hewan, baik
hewan bersel tunggal maupun bersel jamak. Hewan-hewan besel tunggal seperti
protozoa dan flagellate mengkonsumsi bakteri, alga, protozoa lain yang lebih
kecil, dan partikel organik padat yang tesuspensi dalam air. Karena itu, organisme
bersel tunggal juga berperan serta dalam pengolahan air limbah pada sistem
constructed wetland.
2.5.3 Mekanisme Penyisihan Parameter Pencemar
Prinsip utama pengolahan dalam constructed wetland adalah
memanfaatkan mikroorganisme dan tanaman dalam menguraikan limbah. Air
limbah yang dialirkan ke media constructed wetland, akan diserap dan dicerna
oleh mikroorganisme dan tanaman air yang hidup dalam constructed wetland.
Tumbuhan yang hidup di constructed wetland membutuhkan unsur hara yang
terkandung dalam air. Selain itu rapatnya tumbuhan akuatik memperlambat aliran
air yang masuk ke perairan sehingga membantu proses pengendapan partikel
tersuspensi dalam air buangan.
Secara tidak langsung tanaman berperan penting dalam mendukung
kehidupan mokroorganisme pengurai limbah seperti bakteri, jamur, alga, dan
protozoa. Batang, cabang, daun, dan akar tanaman akuatik menyediakan
kebutuhan oksigen untuk mikroorganisme dan habitat bagi tempat hidup dan
berkembangnya mikroorganisme.
Akar tanaman akuatik di dalam media tanah akan mengeluarkan oksigen
sehingga akan terbentuk zona rhizosfer yang kaya oksigen. Zona rhizosfer ini
II-25
akan terbentuk di seluruh permukaan rambut akar, sehingga semakin besar luas
permukaan akar maka zona rhizosfer yang terbentuk akan semakin besar. Oksigen
akan mengalir ke akar melalui batang setelah berdifusi dari atmosfer melalui pori-
pori daun (Brix, 1987). Diperkirakan oksigen yang dilepas oleh akar tumbuan
akuatik berkisar antara 5-45 mg tiap satu meter persegi luas permukaan akar
(Reed, et, al, 1995). Tumbuhan akuatik mampu memasok oksigen ke dalam tanah
di bawah permukaan air sebanyak 0,2-10 cm3 oksigen per batang per menit (Brix,
et al, 1992)
Dalam constructed wetland terdapat suatu saling ketergantungan yang erat
antara tanaman dan mikroorgansime. Tanaman menyediakan tempat hidup dan
memasok oksigen ke dalam media sehingga membantu mikroorganisme dalam
mendegradasai bahan pencemar. Sebaliknya tumbuhan membutuhkan
mikroorganisme untuk menguraikan bahan pencemar menjadi unsur hara yang
dapat diserap oleh tanaman.
Ditinjau secara fisik kimiawi, dan biologis, mekanisme penyisihan bahan
pencemar dari air buangan dapat terjadi melalui proses-proses berikut (Wildeman
dan Laudon, 1989) :
1. Filtrasi suspended solid dan koloidal yang terdapat dalam air.
2. Asimilasi bahan pencemar ke dalam jaringan akar dan daun tanaman.
3. Pengikatan bahan pencemar dengan substrat seperti tanah dan pasir.
4. Presipitasi dan netralisasi melalui pembentukan NH3 dan HCO3- (bikarbonat)
dari penguraian bahan biologis oleh aktivitas bakteri.
5. Presipitasi logam dengan oksidasi dan reduksi yang dikatalisir oleh aktivitas
bakteri.
Proses di atas dapat terjadi secara simultan, atau didominasi oleh salah
satu diantaranya tergantung dari keadaan fisik, kimia, dan biologis yang terdapat
di lingkungan constructed wetland.Beberapa mekanisme penghilangan bahan
pencemar dan bahan pencemar yang diolah ditunjukkan pada Tabel 2.8
II-26
Tabel 2.8 Mekanisme Penghilangan Bahan Pencemar dalam Wetland
Mekanisme Bahan Pencemar (a) Keterangan Fisika:
* Sedimentasi P -Partikel padat yang dapat mengendap S -Koloida partikel padat
I -BOD, nitrogen, fosfor, logam berat, bahan organic yang sukar terurai,
bakteri dan virus
Pengaruh gravitasi bumi
* Penyaringan S -Partikel padat yang dapat mengendap Partikel tersaring secara mekanis ketika air melewati
substrat/media, massa akar, atau fauna air.
Mekanisme Bahan Pencemar (a) Keterangan Kimiawi :
* Presipitasi P -Fosfor, logam berat Pembentukan partikel padat dalam bentuk yang tidak terlarut
atau bersama-sama dengan bahan lain (ko-presipitasi)
* Adsorbsi P -Fosfor, logam berat
S -Bahan organik yang sukar terurai Adsorpsi pada permukaan
substrat/media atau tanaman
* Penguraian P -Bahan organik yang sukar terurai
Proses penguraian senyawa yang kurang stabil karena pengaruh sinar matahari, oksidasi, dan
reduksi Biologi:
* Metabolisme mikroba
P -Koloida partikel padat, BOD, nitrogen, bahan organik yang sukar terurai, logam
berat.
Penghilangan koloida partikel padat oleh bentos yang
tersuspensi dalam air. Degradasi senyawa organic oleh mikroba. Nitrifikasi dan denitrifikasi oleh
bakteri. Oksidasi logam yang diperantarai oleh mikroba.
* Metabolisme tanaman (b)
S -Bahan organik yang sukar terurai, bakteri, dan virus
Pengangkatan dan metabolisme bahan organik oleh tanaman. Sejumlah eskskresi oleh akar bersifat toksik bagi organisme
yang berasal dari usus manusia/
* Absorbsi oleh tanaman
S -Nitrogen, fosfor, logam berat, bahan organik yang sukar terurai
Dalam keadaan yang sesuai , bahan-bahan pencemar tersebut
akan diserap oleh tanaman dalam jumlah yang signifikan.
* Kematian alami P -Bakteri dan virus Dalam lingkungan yang tidak
mendukung, organisme tersebut akan mengalami kematian.
Sumber : Stowell, et al., 1980
Keterangan : (a) P: efek primer, S: efek sekunder, I: efek tambahan (efek
sampingan yang terjadi bersamaan dengan proses penghilangan
bahan pencemar lain)
(b) Metabolisme termasuk reaksi biosintesis dan katabolisme
II-27
Constructed wetland memiliki kemampuan untuk mengolah berbagai air
limbah domestik dan non domestik (pertanian dan peternakan, tambak,
pertambangan, leachate landfill, air limbah rumah sakit, dan lain-lain).
Kemampuan constructed wetland dipengaruhi oleh iklim dan temperatur.
Perbandingan kemampuan constructed wetland dalam menyisihkan beberapa
parameter pencemar di daerah empat musim dan daerah tropis dapat dilihat pada
Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Kemampuan Constructed Wetland dalam Menyisihkan Parameter
Pencemar
Parameter
Efisiensi Penyisihan (%) Daerah empat musim Daerah tropis
BOD COD T-N T-P
Coliform
73-90 80-95 35-64 25-55
99
80-95 73-97 58-95 67-94
99 Sumber: Meutia, 2002
Kemampuan constructed wetland di daerah tropis lebih baik karena tidak
adanya musim dingin yang menurunkan aktivitas mikroorganisme dan tanaman.
Khususnya untuk penyisihan senyawa nitrogen dan fosfor, constructed wetland di
daerah tropis mempunyai kemampuan lebih tinggi daripada yang berada di daerah
empat musim (Meutia, diambil dari TA Sonie, 2007).
2.5.3.1 Penyisihan Suspended Solid
Penyisihan suspended solid terjadi melalui proses sedimentasi dan filtrasi.
Pengendapan partikulat yang diakibatkan oleh gaya gravitasi dikategorikan
sebagai pengendapan diskrit atau pengendapan flokulan. Pemisahan ini tergantung
pada ukuran partikel, massa jenis, bentuk, massa jenis fluida, dan viskositas.
Pengendapan diskrit tidak dipengaruhi oleh partikel lain, perubahan ukuran atau
densitas.
Sedimentasi pada sistem constructed wetland aliran horiozontal menjadi
lebih efektif karena kecepatan aliran yang rendah, luas permukaan yang besar,
adsorbsi pada biofilm yang melekat pada media dan sistem akar.
II-28
Mekanisme filtrasi pada sistem constructed wetland tergantung pada
ukuran solid dan media yang digunakan pada constructed wetland. Jika ukuran
media yng digunakan semakin kecil maka efisiensi filtrasi semakin besar.
Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan total solid dapat
dilihat pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihkan Total Solid
Reaktor COD
Influen ABR (mg/L)
HRT (hari)
Influen (mg/L)
Effluent (mg/L)
Efisiensi (%)
HSF bersekat
Sagittaria lancifolia 400
3 374 266 28,8
5 250 214 14,4
HSF bersekat
Sagittaria lancifolia 600
3 550 414 24,73
5 328 272 17,07
HSF tanpa sekat
Sagittaria lancifolia 400
3 378 252 33,33
5 270 196 27,41
HSF tanpa sekat
Sagittaria lancifolia 600
3 556 420 24,46
5 400 258 35,5
Sumber : Sonie, 2007
2.5.3.2 Penyisihan Senyawa Organik
Konversi biokimia merupakan mekanisme yang sangat penting dalam
degradasi senyawa organik dalam constructed wetland. Penyisihan senyawa
organik dapat melalui mineralisasi dan pembentukan biomassa yang baru.
Mikroorganisme akan mengkonsumsi senyawa organik untuk bertahan hidup dan
reproduksi. Senyawa organik menjadi sumber energi untuk sintesa biomassa.
Metabolisme dapat terjadi secara aerobik dan anaerobik tergantung pada
tersedianya oksigen. Metabolisme aerobik merupakan konversi yang lebih efisien.
Reaksi anoxic (respirasi anaerobik) menggunakan nitrat, karbonat, dan sulfat
sebagai akseptor elektron (seperti fungsi oksigen pada reaksi aerob).
II-29
Senyawa organik dapat ditetapkan dengan COD (Chemical Oksygen
Demand) yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa
organik secara kimia dan BOD (Biochemical Oxygen Demand) yaitu jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian senyawa organik pada
kondisi aerob.
Pada oksidasi materi organik secara aerob, karbon merupakan sumber
energi bagi bakteri yang akan direspirasikan dalam bentuk karbondioksida.
Bakteri tersebut menggunakan sisa karbon bersama dengan fosfor dan nitrogen
membentuk sel-sel baru dan sebagian menjadi energi. Oksigen berfungsi sebagai
akseptor elektron selama oksidasi zat organik berlangsung dan reaksi akan
terhenti jika oksigen tidak tersedia.
Meknisme dekomposisi anaerob merupakan mekanisme yang sangat
kompleks. Proses yang terjadi terdiri dari 2 tahap. Pada tahap pertama yang
dikenal sebagai tahap fermentasi asam, zat organik kompleks akan didegradasi
menjadi asam berantai lebih pendek, alkohol, aldehid, dan lain-lain. Kemudian
pada tahap kedua yang dikenal sebagai fermentasi metan, materi pada tahap
pertama dikonversikan menjadi gas metan (CH4), ammonia (NH3),
karbondioksida (CO2), dan hidrogen (H2). Seperti halnya proses aerob, proses
anaerob mengkonversi karbon, nitrogen, fosfor, dan nutrien lainnya menjadi sel-
sel baru.
Kemampuan constructed wetland yang sudah diterapkan di berbagai
tempat baik skala lapangan, pilot project, maupun skala laboratorium untuk
penyisihan COD dapat dilihat pada Tabel 2.11. Pada Tabel dapat dilihat bahwa
penyisihan COD cukup tinggi baik untuk constructed wetland skala lapangan
maupun skala pilot project.
Tabel 2.11 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan COD
Jenis Air Limbah
Sistem Pengolahan
Konsentrasi Awal (mg/l)
Penyisihan Keterangan
Domestik Vertikal 467 mg/l 92 % CW Hof Mohr, Jerman
Domestik Horizontal, dgn
Phragmites 393
98 %
CW Germerswang, Jerman
Industri Kentang
Kombinasi, dgn Typha, Scirpus
2986 95% Skala pilot project, 4
stage, USA Leachate Landfill
Horizontal, dgn Phragmites
1264 68 % Skala pilot project, 2
stage, Slovenia
II-30
Jenis Air Limbah
Sistem Pengolahan
Konsentrasi Awal (mg/l)
Penyi sihan
Keterangan
Limbah Pertanian
Kombinasi, dgn Phragmites
1465 97,6 % CW Rugeley, 4 satge,
UK.
Domestik Horizontal, dgn
Typha 146 96,5 %
1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya
Limbah Rumah Sakit
Kombinasi, dgn Phragmites
768 95 % 2 stage, Nepal
*Limbah Domestik
Horizontal, dgn Typha,
kangkung 50-500 15-75%
2 stage&kolam ikan, Pesantren Arafah. Kab
Bandung
** Limbah RPH, Tahu
HSF bersekat (td=5 hari), dgn
Sagittari lancifolia
106-128 81,82-
84,38% Skala lab, 2 stage, Dago
Bengkok Bandung
Sumber: Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, 2007
Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan BOD dapat dilihat
pada Tabel 2.12. Kemampuan constructed wetland dalam penyisihan BOD
cukup tinggi.
Tabel 2.12 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan BOD
Jenis Air Limbah
Sistem Pengolahan
Konsentrasi Awal (mg/l)
Penyisihan Keterangan
Domestik Horizontal, dgn
Phragmites 191
100 %
CW Germerswang, Jerman
Leachate Landfill
Horizontal, dgn Phragmites
60 46 % Skala pilot project, 2
satage, Slovenia Limbah
Pertanian Kombinasi, dgn
Phragmites 1100 72,3 %
CW Rugeley, 4 satge, UK.
Domestik Horizontal, dgn
Typha 103 98,4 %
1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya
Limbah Rumah Sakit
Kombinasi, dgn Phragmites
328 98 % 2 stage, Nepal
*Limbah Lab. Kimia
Horizontal bawah
permukaan 50 95%
Skala lab, 2 stage, LIPI Cibinong
*Limbah Lab. Kimia
Horizontal permukaan
(FWS) 50 94%
Skala lab, 2 stage, LIPI Cibinong
*Limbah Domestik
Horizontal, dgn Typha,
kangkung 29-518 15-95%
2 stage, kolam ikan, Pesantren Arafah. Kab
Bandung
** Limbah RPH, Tahu
HSF bersekat (td=5 hari), dgn
Sagittari lancifolia
58,5 85,14% Skala lab, 2 stage, Dago Bengkok Bandung
Sumber: Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, 2007
II-31
2.5.3.3 Penyisihan Nitrogen
Secara umum tanaman menyerap nitrogen, tetapi peran tanaman pada
constructed wetland secara langsung dalam penghilangan senyawa nitrogen relatif
kecil. Penyerapan nitrogen oleh tanaman yang tumbuh di constructed wetland
hanya berkisar sekitar 10-16 % dari senyawa nitrogen yang terlarut di dalam air
(Gersbeg, 1983). Sebagian besar penghilangan senyawa nitrogen dilakukan oleh
bakteri melalui proses amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi.
Tanaman akuatik mempunyai peran yang tidak langsung tetapi sangat
penting dalam proses tersebut yaitu sebagai tempat pelengketan mikroorganisme
dan menyuplai oksigen melalui akar sehingga mendukung pertumbuhan bakteri
aerob. Sisa-sisa bagian tanaman yang mati menjadi sumber karbon organik yang
diperlukan oleh bakteri sebagai sumber energi dalam proses denitrifikasi, yaitu
perubahan nitrat menjadi gas N2. Selain proses biologis, proses penghilanagn
senyawa nitrogen dalam constructed wetland juga terjadi melalui volatisasi ion
ammonium (NH4+) menjadi gas NH3 bila pH lebih besar dari 8; sedimentasi dan
penyaringan partikel padat yang mengandung nitrogen; serta proses adsorbsi ion
ammonium ke dalam sedimen organik dan anorganik melalui pertukaran ion
(Liehr, et al., 2000)
Nitrifikasi
Nitrifikasi merupakan bio-oksidasi ammonia menjadi nitrat, konversi
tersebut merupakan suatu proses dua tahap yang dilakukan oleh dua kelompok
bakteri yang sejenis yang memperoleh karbon dari karbondioksida dan energinya
dari oksidasi senyawa anorganik (dalam hal ini ammonia dan nitrat). Bakteri
tersebut adalah Nitrosomonas yang mengoksidasi ammonia menjadi nitrit, dan
Nitrobakter yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Reaksi berlangsung pada
kondisi aerobik. Nitrat merupakan senyawa stabil dan dapat berada pada air dan
juga pada endapan. Nitrat tersebut diabsorbsi oleh tanaman atau mikroba pada
proses reduksi nitrat.
Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:
Nitrosomonas
55 NH4+ + 76O2 + 5CO2 → C5H7NO2 + 54 NO2
- + 52H2O + 109 H+
Sel Bakteri
II-32
Nitrobacter
400 NO2- + 195O2 + 5CO2 + NH3+ H2O → C5H7NO2 + 400 NO3
-
Sel Bakteri
Pada umumnya bakteri nitrifikasi aktif dengan tingkat yang nyata hanya
dalam reaktor dengan waktu detensi yang panjang atau jika konsentrasi senyawa-
senyawa organik rendah.
Reaksi berlangsung pada kondisi aerobik. Nitrat merupakan senyawa
stabil dan dapat berada pada air dan juga pada endapan. Nitrat tersebut diabsorbsi
oleh tanaman atau mikroba pada proses reduksi nitrat.
Kebutuhan oksigen dalam proses nitrifikasi secara sempurna dalam arti
sampai menjadi bentuk nitrat, yaitu untuk mengoksidasi 1 mg/ NH4+, menjadi
NO3- sebesar 4,33 mg O2; dengan perincian bahwa untuk mengoksidasi 1 mg
NH4+ menjadi NO2
- dibutuhkan 3,22 mg O2 dan 1,11 mg O2 untuk
mengoksidasi NO2- menjadi NO3
- untuk setiap miligramnya.
Denitrifikasi
Disimilasi reduksi nitrat atau denitrifikasi oleh mikroorganisme terjadi
pada kondisi anaerobik dengan nitrat sebagai akseptor elektron dan karbon
organik sebagai donor elektron (EPA, 1993), oleh karena itu reaksi ini terjadi pada
kondisi anaerobik dan membutuhkan karbon organik. Produk dari denitrifikasi
adalah gas N2 dan N2O yang dapat keluar dari system constructed wetland.
Perbandingan karbon-nitrat nitrogen sekitar 1 gr C/NO3-N. Proses denitrifikasi
pada endapan akan menyuplai N2 untuk fiksasi oleh bakteri dan penyerapan oleh
tanaman melalui akar.
Secara umum persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:
NO3- → NO2
- → N2
Fiksasi Nitrogen
Gas nitrogen dapat dikonversi menjadi nitrogen organik oleh
mikroorganisme tertentu yang memiliki enzim nitrogenase. Reaksi dapat terjadi
secara aerob dan anaerob oleh bakteri dan alga hijau-biru. Fiksasi nitrogen terjadi
pada permukaan air, endapan, rhizosfer tanaman, dan pada permukaan daun serta
II-33
batang. (Reddy & Graetz, 1998). Nitrogen tersebut menjadi sumber nitrogen yang
signifikan jika sistem kekurangan oksigen, tetapi tidak terlalu penting jika
nitrogen dalam sistem tersedia banyak.
Pengambilan Nitrogen oleh Tanaman / Asimilasi
Tanaman wetland akan mengasimilasi nitrogen sebagai elemen yang
penting unuk metabolisme tanaman. Nitrogen anorganik akan direduksi oleh
tanaman menjadi senyawa nitrogen organik yang digunakan untuk jaringan
tanaman. Pada masa pertumbuhan, pengambilan nitrogen dari air dan sedimen
oleh tanaman sangat tinggi. Diperkirakan pengambilan nitrogen oleh tanaman
pada wetland bervariasi sekitar 0,5-3,3 gN/m2/tahun (Burgoon et,al., 1991).
Nitrogen pada Sistem constructed wetland
Partikulat nitrogen organik masuk ke constructed wetland dari influen air
limbah atau dari tanaman pada constructed wetland. Senyawa yang biodegradable
diamonifikasi oleh mikroorganisme aerob dan anaerob. Ammonium yang
dilepaskan dari partikulat nitrogen organik dalam endapan dapat digunakan oleh
tanaman sebagai nutrien yang penting. Pengambilan ini akan meningkat pada
masa pertumbuhan tanaman. Proses nitrifikasi ammonium membutuhkan oksigen
terlarut, oleh karena itu terbatas pada area yang mempunyai oksigen yang cukup.
Nitrat yang dihasilkan dari nitrifikasi atau berasal dari efluen sistem
mungkin akan diambil oleh tumbuhan dan plankton-plankton. Pada kondisi
anaerobik dan dengan adanya senyawa organik, mikroba akan mengkonversi
nitrat menjadi gas nitrogen (NO2, N2) melalui proses denitrifikasi. Sebagian nitrat
juga akan berdifusi pada endapan yang akan dapat diambil langsung oleh
tanaman. Sehingga penyisihan dapat melalui pengambilan oleh tanaman,
nitrifikasi dan denitrifikasi, volatisasi dan ion exchange. Proses volatisasi dan ion
exchange hanya mempunyai dampak yang sangat kecil dalam penyisihan nitrogen
ini.
Constructed wetland aliran horizontal bawah permukaan yang
konvensional akan menjadi lebih cocok untuk proses denitrifikasi dari influen
yang telah mengalami nitrifikasi. Hal ini disebabkan karena kondisi pada media
sebagian besar adalah anaerob.
II-34
Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan senyawa nitrogen
baik nitrogen total, ammonia, nitrat, dan nitrit dapat dilihat pada Tabel 2.13. pada
Tabel dapat dilihat bahwa penyisihan nitrogen cukup efektif dengan pengolahan
constructed wetland tetapi efisiensinya lebih rendah daripada penyisihan BOD
dan COD. Efiensi penyisihan nitrat bernilai negative karena jumlah nitrat
meningkat yang menujukkan terjadinya proses nitrifikasi dalam constructed
wetland.
Tabel 2.13 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan Nitrogen
Jenis Air Limbah
Sistem Pengolahan
Konsentrasi Awal (mg/l)
Penyi sihan
Keterangan
Domestik Vertikal 116 NH4-N 90 % CW Hof Mohr, Jerman
Domestik Horizontal, dgn
Phragmites 108 N-Tot
90 %
CW Germerswang, Jerman
Industri Kentang
Kombinasi, dgn Typha, Scirpus
164 N-Tot 75 % Skala pilot project, 4
stage, USA Leachate Landfill
Horizontal, dgn Phragmites
88 NH3-N 81 % Skala pilot project, 2
satage, Slovenia Limbah
Pertanian Kombinasi, dgn
Phragmites 330 NH4-N 93,1 %
CW Rugeley, 4 satge, UK.
Domestik Horizontal, dgn
Typha 1,4 NO3-N -(95) %
1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya
Limbah Rumah Sakit
Kombinasi, dgn Phragmites
0,8 NO3-N -(98,8) % 2 stage, Nepal
*Limbah Lab. Kimia
Horizontal bawah permukaan
10,5 N-Tot 90,4 % Skala lab, 2 stage, LIPI
Cibinong Jenis Air Limbah
Sistem Pengolahan
Konsentrasi Awal (mg/l)
Penyi sihan
Keterangan
*Limbah Lab. Kimia
Horizontal permukaan (FWS)
6 N-Tot 58% Skala lab, 2 stage, LIPI
Cibinong
*Limbah Domestik
Horizontal, dgn Typha, kangkung
90-260 NH4-N 10-82% 2 stage, kolam ikan,
Pesantren Arafah. Kab Bandung
** Limbah RPH, Tahu
HSF bersekat (td=5 hari), dgn Sagittari
lancifolia 1,792 NTK 95,31%
Skala lab, 2 stage, Dago Bengkok
Bandung Sumber: Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, 2007
2.5.3.4 Penyisihan Fosfor
Partikulat fosfat akan terkumpul ke endapan pada sistem constructed
wetland melalui pengendapan, pengambilan oleh tanaman, sorbsi oleh biofilm
pada media. Fosfat terlarut akan diserap ke biofilm pada tanaman, biofilm pada
media, dan pada endapan.
II-35
Pertukaran fosfat antara fosfat pada sedimen dalam pori air dengan yang
ada dalam air bagian permukaan melalui proses difusi dan sorbsi merupakan
bagian utama fosfat terlarut dalam sistem wetland. Pada sedimen dalam pori air,
fosfat akan terpresipitasi sebagai besi fosfat, kalsium fosfat, aluminium fosfat
yang tidak terlarut, atau diabsorbsi oleh besi, aluminium oksida dan hidroksida.
Pada kondisi anaerob besi fosfat yang tidak terlarut akan direduksi menjadi besi
terlarut dan fosfat dilepaskan. Pelepasan fosfat dari garam-garam tidak terlarut
terjadi jika pH menurun dan sebagai hasilnya adalah asam organik, sulfat.
Transformasi Fosfat secara Biologi
Fosfat organik terlarut dan fosfat anorganik tidak terlarut serta organik
fosfat biasanya dapat diserap oleh tanaman setelah diubah menjadi bentuk fosfat
anorganik terlarut. Perubahan ini kemungkinan berlangsung pada kolom air oleh
mikroba tersuspensi atau oleh biofilm yang terlekat pada permukaan tanaman dan
media serta pada endapan. Pengambilan fosfat oleh mikroorganisme termasuk
bakteri, algae berlangsung cepat. Tumbuhan juga mengambil fosfat melalui sistem
akar. Diperkirakan pengambilan fosfat oleh tanaman bervariasi dari 1,8-18 g
P/m2/tahun. (Burgoon, et al., 1991).
Tanaman akuatik mempunyai kemampuan menyerap bahan pencemar
fosfor dan nitrogen. Kemampuan tanaman akuatik untuk menyerap bahan
pencemar fosfor dan nitrogen ditunjukkan dalam Tabel 2.14.
Tabel 2.14 Kemampuan Tanaman Akuatik dalam Menyerap Bahan Pencemar
Nitrogen dan Fosfor.
Jenis Tanaman Kemampuan penyerapan (kg/hektar/tahun)
N P Cyperus papyrus
Phragmites australis Thypa latifolia
Eichornia crasssipes Pistia srtatiotes
Potamogeton pectinatus Ceratophylum demersum
1.100 2.500 1.000 2.400 900 500 100
50 120 180 350 40 40 10
Sumber : Brix, 1994
Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan fosfor dapat dilihat
pada Tabel 2.15. Dari Tabel dapat dilihat bahwa efisiensi penyisihan fosfor
bervariasi. Pada constructed wetland pengolahan air limbah rumah sakit di Nepal
II-36
dengan sistem pengolahan kombinasi aliran horizontal dan vertikal hanya dapat
menyisihkan fosfor sebesar 38 %, sedangkan pada constructed wetland di
Germerswang, Jerman untuk pengolahan air limbah domestik dapat mencapai
98%.
Tabel 2.15 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan Fosfor
Jenis Air Limbah
Sistem Pengolahan
Konsentrasi Awal
(mg/l) Penyisihan Keterangan
Domestik Horizontal, dgn
Phragmites 13,71
98 %
CW Germerswang, Jerman
Leachate Landfill
Horizontal, dgn Phragmites
10 63 % Skala pilot project, 2 stage,
Slovenia Limbah
Pertanian Kombinasi, dgn
Phragmites 70,4 55,1 % CW Rugeley, 4 stage, UK.
Domestik Horizontal, dgn
Typha 9,4 88,2 %
1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya
Limbah Rumah Sakit
Kombinasi, dgn Phragmites
9,1 38 % 2 stage, Nepal
*Limbah Domestik
Horizontal, dgn Typha, kangkung
8-20 27-44% 2 stage, kolam ikan, Pesantren
Arafah. Kab Bandung
** Limbah RPH, Tahu
HSF bersekat (td=5 hari), dgn Sagittari
lancifolia 0,21 75,19 %
Skala lab, 2 stage, Dago Bengkok Bandung
Sumber : Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, 2007
2.5.4 Pengelolaan dan Pemeliharaan Constructed Wetland
Penyumbatan merupakan salah satu masalah utama dalam constructed
wetland yang sering membuat sistem ini tidak berfungsi. Bila didesain,
dilaksanakan, dan dioperasikan dengan baik maka sistem ini akan berfungsi
secara optimum selama 15-20 tahun. Umur constructed wetland sangat
dipengaruhi oleh ukuran dari media yang digunakan, karakeristik dan �strength�
dari limbah. Menurunnya fungsi sistem constructed wetland ditunjukkan dengan
menurunnya efisiensi pengolahan dan menurunnya hydraulic conductivity.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memfungsikan kembali
sistem constructed wetland yang efisiensinya telah menurun, antara lain:
1 Resting, yaitu Mengistirahatkan sistem constructed wetland untuk beberapa
waktu. Selama proses �resting�, berbagai elemen yang mengakibatkan
penyumbatan dapat terdekomposisi hingga hydraulic conductivity dapat
ditingkatkan kembali.
II-37
2 Setelah itu dilakukan pengisian secara bergantian (alternate charging) pada
setiap bagin bad constructed wetland. Setelah dianggap cukup dapat
difungsikan kembali.
3 Apabila menurunnya hydraulic conductivity disebabkan oleh partikel-partikel
padat yang tidak dapat terurai maka tidak ada jalan lain selain membongkar
media dan menggantinya. Bila hal ini terpaksa dilakukan maka lebih baik
dilakukan pada bagian inlet, karena bagian inilah yang paling sering
mengalami penyumbatan.
4 Kepadatan tanaman di dalam constructed wetland ini juga perlu diperhatikan.
Jika sudah padat maka perlu dikeluarkan atau dipanen untuk menghindari
penyumbatan media dan menurunnya supplai oksigen.
Kontrol Vektor
Pada constructed wetland, terutama sistem free water surface,
menyediakan habitat breeding yang ideal untuk nyamuk. Masalah kontrol vector
dapat menjadi faktor yang kritis dalam menentukan kelayakan penggunaan
constructed wetland. Pada umumnya untuk kontrol biologis digunakan ikan
pemangsa larva nyamuk yang turut dipelihara dalam constructed wetland free
water surface. Idealnya yang dipelihara adalah ikan yang dapat memangsa larva
nyamuk dan sanggup hidup pada kondisi air yang mengandung oksigen terlarut
yang rendah, mengingat larva nyamuk dapat berkembang dalam air limbah yang
kotor sedangkan kebanyakan ikan tidak dapat bertahan jika kadar oksigen kurang
dari 3 mg/l. Ikan mujair sangat cocok untuk dipelihara sebagai pemangsa larva
nyamuk dalam constructed wetland karena dapat bertahan hidup hingga pada
kadar oksigen terlarut 0,1 mg/l, (Stickney, 1986).
Dalam aliran subsurface flow, nyamuk tidak menjadi masalah. Pada sistem
ini air mengalir di bawah permukaan media sekitar 10-15 cm dari permukaan
sehingga mencegah akses nyamuk masuk ke dalam zona air. Selain itu bagian atas
media ditutupi dengan pea gravel atau coarse sand untuk memenuhi tujuan ini.