Upload
dangphuc
View
255
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persalinan Preterm
2.1.1. Batasan persalinan preterm
Persalinan preterm menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists, 1995, adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari
37 minggu (Cunningham, 2010). Sedangkan definisi Badan Kesehatan Dunia
(WHO) untuk persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi antara umur
kehamilan 20 mingggu sampai dengan umur kehamilan kurang dari 37 minggu
(Widjayanegara, 2009).
Berdasarkan The American Academy of Pediatrics and the Americans
College of Obstrecians indikator yang sering dipakai untuk mengetahui awal
terjadinya persalinan adalah kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4
kali setiap 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan disertai perubahan serviks
yang progressif, dilatasi serviks > 1 cm dan penipisan > 80% (Cunningham,
2010).
Pada penelitian ini dignosis persalinan preterm berdasarkan prosedur tetap
(protap) tahun 2003 yang berlaku di bag/SMF Obstetri Ginekologi Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar.
6
2.1.2. Insiden persalinan preterm
Sekitar 5-10% dari semua persalinan ialah persalinan preterm, jumlah ini
tidak berkurang dalam beberapa dekade terakhir (Haram, 2003). Angka kejadian
persalinan preterm berbeda-beda di beberapa negara, di Amerika Serikat pada
tahun 2000, sekitar 1 dari 9 bayi dilahirkan prematur (11,9%). Di negara
berkembang angka kejadian masih lebih tinggi, misalnya di india sekitar 30%,
Afrika Selatan sekitar 15%, dan Malaysia 10%. Belum didapatkan data angka
kejadian persalinan preterm di Indonesia, namun angka kejadian Bayi dengan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) nasional sekitar 27,9% dapat memberikan
gambaran kasar angka kejadian prematuritas (Widjayanegara, 2009). Sedangkan
angka kejadian persalinan preterm di beberapa Rumah Sakit pemerintah pada
tahun-tahun terakhir menunjukkan persentasi yang bervariasi. Di RSU Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makasar periode 1 Juli 2000 sampai 31 Juli 2003 dari
1171 persalinan didapatkan sebanyak 86 kasus persalinan preterm (7,3%)
(Suhartini, 2004). Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2001 tercatat
angka kejadian persalinan preterm sebesar 6,7% (Santoso, 2002). Di RSUP
Sanglah sendiri, kejadian persalinan preterm periode Januari 2008 sampai dengan
Oktober 2011 sebesar 9,33% dari seluruh persalinan (SMF OBGIN, RSUP
Sanglah, Denpasar, 2011).
7
2.1.3. Klasifikasi persalinan preterm
Menurut kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi (Moutquin,
2003)
1. Idiopatik/Spontan
Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui, oleh karena itu
digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan preterm spontan.
Termasuk kedalam golongan ini antara lain persalinan preterm akibat
persalinan kembar, poli hidramnion atau persalinan preterm yang didasari oleh
faktor psikososial dan gaya hidup. Sekitar 12,5% persalinan preterm spontan
didahului oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan
karena faktor infeksi (korioamnionitis).
2. Iatrogenik/Indicated Preterm Labor
Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran
menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya
(Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat
membahayakan janin, janin akan dipindahkan kedalam lingkungan luar yang
dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya.
Kondisi tersebut menyebabkan persalinan preterm buatan/iatrogenik yang
disebut juga sebagai elective preterm atau indicated preterm labor. Sekitar
25% persalinan preterm termasuk kedalam golongan ini.
a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan preterm adalah :
- Preeklamsi berat dan eklampsi,
- Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solusio plasenta),
- Korioamnionitis,
8
- Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru atau ginjal yang berat.
b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan preterm adalah :
- Gawat janin,
- Infeksi intrauterin,
- Pertumbuhan janin terhambat (IUGR),
- Isoimunisasi Rhesus.
Menurut usia kehamilannya, maka persalinan preterm digolongkan
menjadi (Moutquin 2003) :
1. Persalinan preterm (preterm), yaitu usia kehamilan 32-36 minggu.
2. Persalinan sangat preterm (very preterm), yaitu usia kehamilan 28-32
minggu.
3. Persalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu usia kehamilan 20-27
minggu.
Menurut berat badan lahir, maka bayi prematur dibagi dalam kelompok
(Widjayanegara, 2009) :
1. Berat badan bayi 1500 – 2500 gram disebut bayi dengan berat badan lahir
rendah.
2. Berat badan bayi 1000 – 1500 gram disebut bayi dengan berat badan lahir
sangat rendah.
3. Berat badan bayi <1000 gram disebut bayi dengan berat badan lahir
ekstrim rendah.
9
2.1.4. Faktor resiko terjadinya persalinan preterm
Persalinan preterm dapat terjadi pada setiap kehamilan,tetapi pada
sebagian wanita hal ini lebih cenderung terjadi dari yang lainnya. Beberapa faktor
risiko yang diketahui meningkatkan persalinan preterm dibagi dalam dua kriteria
(Hole, 2001), yaitu:
1. Kriteria Mayor:
a. Kehamilan ganda
b. Hidramnion
c. Anomali uterus
d. Pembukaan serviks ≥ 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu.
e. Panjang serviks < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan
TVS)
f. Riwayat abortus pada trimester II > 1x
g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm
i. Riwayat konisasi
j. Iritabilitas uterus
k. Penggunaan cocaine atau amfetamin
2. Kriteria Minor
a. Penyakit-penyakit yang disertai demam
b. Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu
c. Riwayat pielonefritis
d. Merokok lebih dari 10 batang per hari
e. Riwayat abortus pada trimester II
10
f. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2x
Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan
preterm jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor atau dua atau lebih
faktor risiko minor, atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor).
2.1.5. Komplikasi persalinan preterm
Persalinan preterm merupakan masalah penting di bidang obstetri, 70%
kasus kematian perinatal/neonatal disebabkan oleh persalinan preterm (Hole,
2001). Di Amerika Serikat 54% kematian bayi preterm terjadi pada umur
kehamilan kurang dari 32 minggu. Berbagai usaha telah dilakukan dalam
mempertahankan kelangsungan hidup bayi lahir prematur, terutama difokuskan
bagi bayi yang lahir setelah 28 minggu, dimana angka kelangsungan hidup akan
meningkat hingga 95% pada umur kehamilan 28 minggu (perempuan) dan 30
minggu (laki-laki) atau berat badan lahir diatas 1000 g. (Cunningham, 2010)
Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan
imaturitas sistem organnnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir
preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress syndrome (RDS),
perdarahan otak atau intraventricular hemorrhage (IVH), bronchopulmonary
dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing enterocolitis
(NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP) (Iam, 2003). Untuk
jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko retardasi mental berat,
cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di samping itu juga sering
dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi terhadap lingkungannya,
dan gangguan motoris. Morbiditas jangka panjang ini kemudian menjadi masalah
sosial baik pada keluarga yang terlibat maupun biaya yang dikeluarkan untuk
11
perawatannya. (Hole, 2001; Cunningham, 2010). Karena adanya morbiditas
jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas, maka akan dapat
menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan
datang.
Morbiditas dan mortalitas tersebut berhubungan erat dengan umur
kehamilan dan berat badan lahir. Makin besar umur kehamilannya dan berat
bayinya, makin menurun angka morbiditas dan mortalitasnya. Tingginya biaya
perawatan intensif bayi baru lahir dan pengelolaan penyulit jangka panjang pada
bayi yang lahir preterm tersebut menyebabkan tindakan pencegahan sebelum
terjadi persalinan akan memberikan hasil yang lebih bermanfaat dan lebih
menghemat biaya.
2.1.6. Mekanisme terjadinya persalinan preterm
Persalinan yang terjadi pada kehamilan aterm dan preterm merupakan
proses yang sama (common pathway), namun persalinan aterm melalui proses
yang normal (physiologic activation), sedangkan persalinan preterm melalui
proses abnormal (phatologic processes). Perbedaan mendasar antara persalinan
spontan aterm dan preterm adalah aktivasi fisiologis komponen-komponen
pathway tersebut pada persalinan aterm, sedangkan pada persalinan preterm
berasal dari proses patologis yang mengaktivasi salah satu atau beberapa
komponen pathway tersebut. Common pathway yang dimaksud adalah kejadian-
kejadian klinis, anatomi, biokimia, imunologi, endokrinologi, yang terjadi pada
ibu maupun janinnya baik pada persalinan aterm ataupun preterm. Komponen di
dalam common pathway ialah peningkatan kontraksi uterus, pematangan servik,
dan aktivasi desidua/membran (Romero, 2006).
12
Terdapat 4 mekanisme umum yang mengatur terjadinya persalinan preterm
(Nesin, 2007; Gravet, 2010) yaitu:
1 Aktivasi dari poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) fetus maternal
yang dicetuskan oleh stress.
Pada janin dapat sebagai respon dari keadaan intra uterine yang tidak
bersahabat seperti aliran uteroplasenta tergangggu dan hipoksia. Aktivasi
poros HPA yang meningkatkan kadar sekresi CRH, yang akan
merangsang ekspresi ACTH (Adrenocorticotropic hormone) pada organ
pituitary janin dan produksi kortisol serta androgen oleh organ adrenal
janin. Senyawa androgen pada janin kemudian diaromatisasi menjadi
estrogen oleh plasenta. Hal ini akan menyebabkan rangkaian proses
biologis yang mengarah pada jalur umum terjadinya proses
persalinan,yang ditandai oleh terjadinya kontraksi uterus, pematangan
serviks dan aktivasi desidua janin (Gayatri, 2013).
2 Inflamasi dan infeksi.
Sumber infeksi yang telah dihubungkan dengan kelahiran preterm
termasuk infeksi intauterin ( bertanggung jawab sampai 50% kelahiran
preterm pada usia kehamilan < 28 minggu), infeksi sistemik maternal,
bakteriuria asimtomatik, dan periodontitis maternal. Produk-produk
bakteri merangsang produksi sitokin proinflamasi ( IL-1,TNF, IL-6, dan
IL-8) oleh sel- sel desidua. Sitokin- sitokin ini, kemudian merangsang
produksi prostaglandin oleh amnion dan desidua. Prostaglandin E2
(PGE2) menyebabkan kontraksi miometrium melalui pengikatan reseptor
EP-1 dan EP-3, yang menyebabkan kontraksi miometrium melalui
13
mekanisme peningkatan mobilisasi kalsium dan menurunkan tingkat
produksi penghambat cAMP intraseluler. Prostaglandin juga
meningkatkan produksi matriks metalloproteinase (MMP) dalam serviks
dan desidua untuk meningkatkan pematangan serviks serta aktivasi
membran janin. Prostaglandin F2α (PGF2α) mengikat reseptor FP yang
menyebabkan kontraksi miometrium. Sitokin yang diproduksi selama
infeksi dapat pula mengaktifkan ekspresi dari matriks metalloproteinase
dalam serviks dan desidua yang berperan dalam degradasi matriks
ekstraseluler, pecahnya selaput amnion, dan perubahan serviks uteri.
Keseluruhan proses tersebut menstimulasi terjadinya persalinan preterm
(Handono, 2009)
3 Trombosis Uteroplasental dan Perdarahan desidua.
Pada solusio plasenta, perdarahan desidua dan aktivitas uterotonik dari
fibrin dapat menstimulasi kontraksi uterus. Meskipun patofisiologinya
belum jelas namun thrombin dicurigai memiliki peranan besar. Thrombin
adalah suatu protease multifaktorial yang merangsang aktivitas kontraksi
dari otot polos vaskuler, intestinal dan miometrium. Thrombin
mengaktifkan sederetan reseptor yang unik termasuk protease-activated
receptor 1, protease-activated receptor 3 dan protease-activated receptor
4. Reseptor-reseptor transmembran ini adalah bagian dari superfamili
protein heptahelical-G. Interaksi dengan thrombin menghasilkan
perubahan konfirmasi yang menghasilkan pasangan G-protein dan aktivasi
fosfolipase C. Aktivasi Fosfolipase C mengawali reaksi biokimia yang
berakhir pada pelepasan kalsium intraseluler dari reticulum endoplasma.
14
Kombinasi antara pelepasan kalsium intraseluler dan influx kalsium
ekstraseluler menyebabkan osilasi sitosolik kalsium yang mengaktivasi
kalmodulin, Myosin Light Chain Kinase (MLCK), aktin dan myosin yang
menghasilkan kontraksi uterus secara fasik. Perdarahan desidua
diasosiasikan dengan infiltrasi desidua oleh netrofil dan merupakan
sumber yang kaya akan protease dan matrik metalloproteinase. Ini dapat
menjadi dasar bagi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) yang
selanjutnya menyebabkan persalinan preterm. (Handono, 2009)
4. Peregangan uterus. Distensi uterus berlebihan memerankan peran kunci
pada onset persalinan preterm yang berhubungan dengan gestasional
ganda, polihidramnion, dan makrosomia. Peregangan uterus
mengakibatkan ekspresi dari celah hubungan protein, seperti Conexin-43
(CX-43) dan Conexin-26 (CX-26), seperti halnya kontraksi yang
berhubungan dengan protein lain seperti reseptor oksitosin. Peregangan
dari miometrium juga meningkatkan PGHS-2 dan PGE. Peregangan dari
otot segmen bawah rahim telah menunjukan peningkatan dari IL-8 dan
produksi kolagenase yang pada akhirnya akan memfasilitasi pematangan
serviks. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi terjadinya persalinan
preterm (Handono, 2009).
15
Gambar 2.1 Pathway persalinan preterm dan mediator – mediatornya
(Dikutip dari : Perkin Elmer, 2009)
Beberapa studi yang lain juga menambahkan faktor kelainan pada uterus
atau serviks dan faktor fetus sebagai penyebab timbulnya persalinan preterm
(Krisnadi, 2009). Walaupun masih jarang, adanya jalur oksidatif pada persalinan
preterm mulai diteliti, dimana terdapat hubungan antara persalinan preterm
dengan radikal bebas, stres oksidatif, dan kadar antioksidan endogen. Beberapa
penelitian mengaitkan terbentuknya ROS dengan kejadian persalinan preterm
melalui suatu mekanisme yang mempengaruhi fungsi dari pompa ion kalsium
yang dapat memicu terjadinya kontraksi uterus sehingga pada akhirnya
menyebabkan terjadinya persalinan preterm (Burton, 2006). Dalam suatu
penelitian pemberian radikal bebas berupa hidrogen peroksida (H2O2) dapat
16
meningkatkan kontraksi uterus pada tikus akibat meningkatnya produksi
prostaglandin (Cherouny, 1989).
2.2 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah setiap unsur yang mempunyai satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan di orbit yang paling luar. Adanya molekul
dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat mereka sangat reaktif yang
artinya mempunyai spesifisitas yang rendah sehingga mampu bereaksi dengan
molekul-molekul yang berada disekitarnya seperti protein, lipid, karbohidrat dan
DNA. Untuk mempertahankan kestabilan kimia, radikal bebas tidak dapat
mempertahankan bentuk asli dalam waktu lama dan segera berikatan dengan
mengambil satu elektron dari molekul stabil yang terdekat. Molekul yang diambil
elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari
molekul lain, sehingga akan memulai reaksi berantai yang akhirnya
mengakibatkan terjadi kerusakan sel tersebut (Burton, 2006).
Terdapat 2 radikal bebas yang utama, yaitu ROS (Reactive Oksigen
Spesies) dan RNS (Reactive Nitrogen Spesies) (Agarwal, 2005). Radikal bebas
yang paling penting di dalam tubuh adalah radikal yang berasal dari oksigen yang
disebut reactive oxygen species (ROS). ROS merupakan produk normal yang
dihasilkan pada metabolisme seluler. 95% dari mekanisme ini tanpa kerusakan,
sedangkan 5% dari reaksi molekul oksigen hanya tereduksi partial, yang memiliki
peranan penting pada produksi Reactive Oxygen Species (ROS) (Slavic, 2006).
Secara garis besar umber ROS dapat dibagi dua : sumber endogenous
misalnya dari sel (netrofil), direct-producing ROS enzymes (NO synthase),
17
indirect-producing ROS enzymes (xanthin oxidase), metabolisme (mitokondria),
serta penyakit (proses iskemia). Sumber eksogenous misalnya iradiasi gamma,
iradiasi UV, ultrasound, makanan, obat-obatan, polutan, xenobiotik dan toksin
(Kohen, 2002). Berlanjutnya paparan ROS baik dari dalam maupun dari luar
mengakibatkan berlanjutnya kerusakan oksidatif terhadap komponen sel dan
mengubah beberapa fungsi sel. Di antara target biologi yang paling peka adalah
protein-protein enzim, membran lipid dan DNA, sehingga ROS mampu
menyebabkan kerusakan seluler. (Burton, 2006).
Gambar 2.2 Sumber eksogenous dan endogenous ROS
(Dikutip dari : Kohen, 2002)
Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu
radikal dan nonradikal. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal
bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik
atau molekulernya. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai bahan yang
18
beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan radikal
(Kohen, 2002).
Tabel 2.1 Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen (Kohen, 2002)
Radikal oksigen
Nama Simbol
Oxygen (bi-radical)
Superoxide ion
Hydroxyl
Peroxyl
Alkoxyl
Nitric oxide
O2-.
O2.
OH.
ROO.
RO.
NO.
Turunan nonradikal oksigen
Nama Simbol
Hydrogen peroxide
(Organic peroxide)
Hypochlorou s acid
Ozone
Aldehydes
Singlet oxygen
Peroxynitrite
H2O2
ROOH
HOCL
O3
HCOR
/O2
ONOOH
Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini
sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan
19
pada dua orbit yang berbeda. Penambahan satu elektron pada dioksigen akan
membentuk radikal superoksid (O2•¯
). Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan
dalam bentuk ion superoksid (O2•¯
) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai
hidroperoksil (HO2). Hidroperoksil lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran
biologis. Dalam keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai
bahan pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan
organik, kelarutan O2•¯
lebih tinggi dan kemampuannya sebagai pereduksi
meningkat. Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2
radikal superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan
bantuan enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen, 2002).
Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi
yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan
penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak
langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO.
Efek langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi
enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto. Dalam reaksi Fenton,
Ion Ferro (Fe+2
) bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri
(Fe+3
) dan radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara
radikal superoksid (O2•¯
) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian
menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil (OH•). Adanya logam transisi
inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan
oleh radikal hidroksil (Kohen, 2002).
20
Gambar 2.3 Fisiologi pembentukan dan katalisasi radikal bebas
(Dikutip dari : Jauniaux, 2000)
2.3 Antioksidan
Antioksidan adalah zat kimia dengan konsentrasi rendah, secara signifikan
dapat mencegah atau mereduksi suatu zat yang teroksidasi. Disebut antioksidan
karena zat tersebut dapat melawan proses oksidasi. Zat-zat ini melindungi bahan
kimia lain dari reaksi oksidasi yang dapat merusak sel. Antioksidan bekerja
dengan cara bereaksi dengan radikal bebas yang ada di dalam tubuh. Sehingga
bila radikal bebas (oksidan) adalah penerima elektron maka antioksidan secara
kimia adalah semua senyawa yang mampu memberikan elektron.
Dalam arti biologis, antioksidan mempunyai pengertian yang luas yaitu
semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-
enzim dan protein pengikat logam. Dalam meredam efek negatif dari oksidan
dilakukan dengan dua cara yaitu mencegah terjadinya dan tertimbunnya senyawa
oksidan secara berlebihan, serta mencegah terjadinya reaksi rantai yang
berkelanjutan (Burton, 2006).
21
Gambar 2.4 Klasifikasi Mekanisme Pertahanan Antioksidan Seluler
( Dikutip dari : Kohen, 2002)
Pengelompokan antioksidan berdasarkan mekanisme proteksi endogen
terhadap radikal bebas (Kohen, 2002) yaitu:
1. Antioksidan Non-enzimatik
Antioksidan non enzimatik dapat digolongkan menjadi Low-Molecular-
Weight Antioxidant (LMWA) yang disintesis sendiri oleh sel, misalnya histidine
di-peptides, carnosine, serta gluthathione, dan indirect-acting LMWA yang
didapatkan dari diet sehari misalnya tokoferol, karoten, dan asam askorbat
(Kohen, 2005).
Antioksidan nonenzimatik ada yang larut dalam lemak dan yang larut
dalam air. Antioksidan nonenzimatik bekerja langsung berikatan dengan radikal
22
bebas sehingga mengurangi reaktifitasnya Beta karoten dan vitamin E adalah
antioksidan yang larut dalam lemak sedangkan asam askorbat dan glutation larut
dalam air (Kohen, 2005).
Alfa tokoferol (Vitamin E) adalah nutrisi esensial yang berfungsi sebagai
antioksidan, dalam mencegah peroksidasi membran fosfolipid dan membersihkan
radikal bebas sebelum radikal bebas bereaksi dengan protein membran sel atau
bereaksi membentuk lipid peroksidasi. Beta karoten (Vitamin A) berfungsi
sebagai antioksidan adalah karena kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal
bebas walaupun karotenoid sendiri dapat mengalami oksidasi (auto-oksidasi).
Fungsi antioksidan Asam askorbat (vitamin C) adalah kemampuannya sebagai
agen pereduksi (donor elektron) radikal bebas. Pemberian satu elektron yang
berasal dari asam askorbat membentuk radikal semi-dehidroaskorbat (DHA).
Askorbat bereaksi dengan O2
-
dan OH untuk membentuk DHA (Tegelli, 2014).
2. Antioksidan Enzimatik
Pada sistem pertahanan enzymatik, glutathione peroxidase (GPx), Katalase
(CAT), dan superoxide dismutase (SOD) memainkan peranan yang utama.
Superoksid dismutase (SOD) bereaksi dengan radikal bebas sebagai pereduksi
superoksid untuk membentuk H2O
2. Enzim katalase dan glutathione peroxidase
mereduksi H2O
2 menjadi H
2O. Peningkatan superoksid akan menghambat
glutathione peroxidase dan katalase. Peningkatan H2O
2 akan menurunkan aktifitas
CuZn-SOD. Sementara katalase dan glutathione peroxidase dengan mereduksi
H2O
2 akan menghemat SOD. SOD dengan mereduksi superoksid akan menghemat
katalase dan glutathione peroxidase. Melalui sistem umpan balik ini tercapailah
23
keadaan SOD, katalase, glutathione peroxidase, superoksid dan H2O
2 dalam
keadaan seimbang (Tegelli, 2014).
Enzim SOD akan merubah superoksid, O2ˉ menjadi H2O2:
2O2ˉ + 2H+
SOD
O2 + H2O2
Katalase dan glutathione peroxidase mengubah hidrogen peroksida
menjadi air dan oksigen. Peningkatan produksi hidrogen peroksida oleh enzim
SOD tanpa diikuti peningkatan katalase atau glutathione peroxidase akan
menyebabkan penumpukan hidrogen peroksida. Kapasitas reduksi katalase tinggi
pada suasana H2O2 konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah
kapasitasnya menurun. Hal ini disebabkan karena katalase memerlukan reaksi dua
molekul H2O2 dalam proses reduksinya, sehingga hal ini lebih jarang ditemukan
pada konsentrasi substrat rendah (Miwa, 2008).
Katalase akan merubah H2O2 menjadi air dan oksigen:
2 H2O2 Katalase
H2O + O2
c. Enzim Glutathione peroxidase
Glutahione peroxidase (GPx) merupakan enzim yang paling penting
untuk mengikat hidrogen peroksida (H2O2) dari sel manusia. Glutathione
peroxidase mereduksi H2O
2 menjadi H
2O dan glutathione disulfide (GSSG)
dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH).
H2O2 + 2 GSH Glutation peroxidase
2 H2O + GSSG
Sesungguhnya dalam keadaan normal, sistem pertahanan tubuh sudah
mampu meredam radikal atau oksidan yang timbul dengan memproduksi
24
antioksidan dalam jumlah yang memadai. Tetapi apabila keseimbangan tersebut
terganggu dalam artian oksidan atau radikal bebas diproduksi dalam jumlah yang
melebihi kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan maka akan terjadi
suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif yang selanjutnya akan diikuti
perusakan jaringan (Kohen, 2002).
2.4 Stress Oksidatif
Sistem pertahanan antioksidan ialah keseimbangan, dimana bila
keseimbangan ini terganggu dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Stress
oksidatif dapat didefinisikan sebagai perubahan pada keseimbangan antara pro-
oksidan (radikal bebas) dan antioksidan yang dapat menyebabkan kerusakan
potensial sel. Dengan kata lain, stress oksidatif terjadi akibat reaksi metabolik
yang menggunakan oksigen dan menunjukkan gangguan keseimbangan status
reaksi oksidan dan antioksidan pada mahluk hidup. ROS yang berlebihan akan
merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel
(Kohen, 2002).
25
Gambar 2.5 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies.
(Dikutip dari : Kohen, 2002)
Gangguan keseimbangan antara pro-oksidan dan antioksidan dapat
disebabkan oleh produksi ROS berlebih atau defisiensi pada pertahanan
antioksidan. Keseimbangan kedua faktor ini yang dikenal dengan nama redoks
potensial, bersifat spesifik untuk tiap organel dan lokasi biologis. Perubahan
keseimbangan ke arah peningkatan pro-oksidan yang disebut stress oksidatif akan
menyebabkan kerusakan oksidatif (Kohen, 2002). Stress oksidatif ditenggarai
memiliki peran utama dalam patofisiologi berbagai penyakit termasuk komplikasi
pada kehamilan (Burton, 2006)
2.5. Peran Stress Oksidatif terhadap Persalinan Preterm
Beberapa keadaan dapat berperan dalam terjadinya persalinan preterm.
Salah satunya adalah terjadinya ketidakseimbangan antara produksi ROS
(Reactive Oxygen Species) dengan antioksidan sebagai mekanisme pertahanan
pertama dalam mencegah timbulnya stress oksidatif. Jika terdapat keseimbangan
antara produksi ROS dengan antioksidan maka tidak akan terbentuk stress
oksidatif, sehingga proses kehamilan dapat berjalan sebagai mestinya. Namun
pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar ROS tanpa disertai mekanisme
pertahanan antioksidan yang adekuat maka akan memicu terjadinya stress
oksidatif.
Hidrogen peroksida ( H2O2) merupakan salah satu ROS non radikal yang
sangat reaktif, yang dihasilkan pada metabolisme seluler. H2O2 dihasilkan dari
dismutasi 2 radikal Superoksid secara spontan maupun dengan bantuan enzim
26
Superoksid Dismutase dimana radikal superoksid sendiri dihasilkan dari Reaksi
Fosforilasi Oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria dimana 1-5%
oksigen keluar dari jalur ini dan mengalami reduksi univalent membentuk radikal
superoksid. Disamping itu, dapat dihasilkan melalui system oksidase NADPH-
dependen, yang jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, akan
mengkatalisis reaksi reduksi mendadak dari oksigen menjadi hydrogen peroksida
dan O2- ( Kohen, 2002 ).
Efek buruk H2O2 secara kimiawi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu efek
langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak langsung,akibat bahan lain
yang dihasilkan dari H2O2 seperti OH- dan HClO. Kedua efek inilah yang
menyebabkan degradasi protein, lipid, asam amino,oksidasi DNA dan inaktivasi
enzim. Yang selanjutnya berefek pada banyak sel target yang meliputi channels
ion membrane. (Kohen, 2002)
Penelitian yang dilakukan oleh Cherouny (1989), ditemukan bahwa
pemberian H2O2 sebagai ROS pada tikus dapat memicu kontraksi uterus akibat
meningkatnya pelepasan prostaglandin (PGE2 dan PGF2). Pada penelitian yang
sama, tikus juga di beri butylated hydroxyl anisole (BHA) sebagai antioksidan dan
terbukti dapat menurun kontraksi otot uterus dan kadar prostaglandin
dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian antioksidan.
27
PGF-2α bertanggung jawab terhadap kontraksi miometrium sedangkan
PGE-2 menurunkan resistensi jaringan servik, merupakan dua proses yang penting
dalam kemajuan persalinan, bersama-sama estrogen bekerja pada miometrium
meningkatkan pembentukan gap junction PGF-2α dan reseptor oksitosin. Saat
mekanisme tersebut terjadi maka akan terjadi penjalaran depolarisasi antar sel
yang akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium di dalam sel. Ion kalsium di
dalam sel berperan pada Calmodulin membentuk Ca-Calmodulin mengaktifkan
enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang berperan pada proses fosforilasi
dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin akan menyebabkan pemendekan
dari serat otot sehingga terjadi kontraksi miometrium (Burton, 2006).
Gambar 2.6 Peran PGF-2α pada kontraksi miometrium
(dikutip dari: Cunningham et al, 2010)
28
H2O2 dapat mengubah struktur dan fungsi dari Ca2+ channel yang akan
menyebabkan kehilangan homeostasis dari Ca2+. Hal ini akan diikuti pelepasan
ion Ca2+ dari retikulum endoplasmik dan sumber penyimpanan lainnya.
Konsentrasi kalsium dalam lumen retikulum endoplasmik menjadi lebih tinggi
daripada yang terdapat pada sitosol. Kadar kalsium tersebut dipertahankan oleh
mekanisme pompa kalsium ATPase yang terdapat pada sarko dan retikulum
endoplasma. Pada saat terjadi peningkatan produksi stress oksidatif akan memicu
terjadinya peningkatan kadar Ca2+ intraselular. Kondisi ini kemudian akan
mengaktifkan ikatan Ca2+ dengan kalmodulin, suatu protein pengatur pengikatan
kalsium, yang selanjutnya akan mengaktifkan Myosin Light Chain Kinase
(MLCK) yang akan memodulasi reaksi aktin-miosin. Dengan cara ini, agen-agen
yang bekerja pada otot polos miometrium untuk meningkatkan konsentrasi Ca2+
intraseluler dapat memicu terjadinya kontraksi miometrium (Burton, 2006;
Warren, 2005; Haram, 2003)
Gambar 2.7 Cyclic AMP pathways pada jaringan miometrium
(dikutip dari: Yuan, 2005)
29
2.6 Glutathione Peroxidase Sebagai Mekanisme Pertahanan terhadap Stress
Oksidatif
Glutathione peroxidase (GPx) merupakan seleno-enzim yang pertama kali
ditemukan pada mamalia. Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan darah, sedang
pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan plasma darah. Glutathione
peroxidase (GPx) adalah protein dengan bentuk tetramer dan mempunyai berat
molekul sebesar 85.000 D. Setidaknya 6 tipe GPx telah diidentifikasi dan dibagi
sebagai berikut : cystosolic-glutathione peroxidase (cGPX1 atau GPX1),
gastrointestinal-glutathione peroxidase (GI-GPX atau GPX2), plasma-glutathione
peroxidase (pGPX atau GPX3), phospolipid hydroperoxide-glutathione
peroxidase (PHGPX atau GPX4), GPX5 dan GPX6 (Jurkovic, 2008)
Glutahione peroxidase (GPx) merupakan enzim yang paling penting
untuk mengikat hidrogen peroksida (H2O2) dari sel manusia. Enzim glutathione
peroxidase membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal
bebas dengan cara mengkatalisa berbagai hidroperoksida. Glutathione peroxidase
mereduksi H2O
2 menjadi H
2O dan glutathione disulfide (GSSG) dengan bantuan
glutathione tereduksi (GSH), sehingga aktifitas glutatione peroxidase bergantung
pada GSH sebagai donor hidrogen. (Burton, 2006). GPx memiliki afinitas yang
tinggi dalam mengkatalase H2O2 dan dapat bekerja pada konsentrasi H2O2 rendah.
Proses katalase oleh GPx terbilang ‘mahal’ karena mengunakan 2 molekul GSH
untuk menghilangkan 1 molekul H2O2. (Kohen, 2002)
Glutathione (GSH) adalah LWMA, merupakan sebuah tripeptida yang
terdiri dari glutamid acid, cysteine, dan glycine. Banyak terdapat pada sitosol,
nuclei, dan mitokondria. Disebut GSH dalam bentuk tereduksi dan GSSG dalam
30
bentuk teroksidasi. Sulfur dari cysteine merupakan bagian fungsional GSH.
Cysteine adalah asam amino yang memberikan fleksibilitas yang besar dalam
reaktivitas kimia karena adanya atom sulfur hadir sebagai thiol (-SH). Thiol ini
sangat penting untuk fungsi biologis hampir sebagian besar enzim. Sulfur dari
cysteine, baik dalam bentuk cysteine bebas, dalam protein, atau pada glutathione
hadir sebagai sebuah thiol (-SH) yang dapat teroksidasi menjadi sebuah disulfida.
Pada GSH, cysteine dioksidasi untuk membentuk disulfida (GSSG) saat GSH
berfungsi sebagai reduktan, dan juga digunakan untuk detoksifikasi kimia reaktif
elektrofilik dan sering dikatalisis oleh glutation S-transferase. Apabila kadar
cysteine berkurang maka terjadi penurunan kadar GSH dan sistem detoksifikasi
akan terganggu. Akan tetapi, karena terdiri dari kelompok amino bebas maka thiol
pada cysteine juga dapat dengan mudah teroksidasi menjadi ROS. Reaksi ini tidak
terjadi karena adanya glutamat yang dapat menangkap kelompok amino
sehingga fungsi dari glutamate pada GSH ialah untuk menurunkan reaktivitas dari
thiol sehingga pada konsentrasi tinggi tidak menimbulkan ROS .
Gambar 2.8 Reduksi GSH sebagai keseimbangan ROS dan antioksidan
( Dikutip dari : Jones , 2002, Handbook of Antioxidant)
31
Kadar GSH intraselular dipengaruhi faktor fungsional dan lingkungan
dalam hal ini keseimbangan antar pemakaian dan sintesa. Adanya paparan ROS
(terutama yang melibatkan H2O2), RNS, atau senyawa yang dapat meningkatkan
ROS dapat meningkatkan jumlah GSH dengan cara meningkatnya sintesis GSH.
(Jurkovic, 2008)
Gambar 2.9 Struktur GSH dan GSSG
( Dikutip dari : Jones , 2002, Handbook of Antioxidant)
GSH selain berperan sebagai substrat untuk enzim glutathione peroxidase
juga berperan sebagai substrat pada enzim detoksifikasi lain seperti glutathione
transferase. Sebagai komponen penting dalam sistem pertahan antioksidan
intraselular, GSH berperan dalam transport asam amino melewati membran
plasma, secara langsung sebagai scavenger terhadap radikal hidroksil dan singlet
oksigen, mencegah reaksi Haber-Weis, detoksifikasi hidrogen peroksida dan
peroksidasi lipid melalui proses katalitik dari GPx. (Jukorvic, 2008). GSH juga
melindungi organel cystosolic dari efek pengerusakan oleh hidroperoksida.Selain
32
itu GSH juga bekerja secara sinergis dengan ascorbic acid dan alphatocopherol
dalam mendaur ulang antioksidan vitamin tersebut ke bentuk aktifnya setelah
mengalami interaksi dengan senyawa kimia reduksi di dalam cell. (schneid-
kofman, 2009). GSH memiliki peran terbesar dalam reaksi detoxifikasi yang
menghasilkan glutathione disulfide (GSSG), yang mana nantinya akan dikonversi
kembali menjadi GSH melalui aksi glutathione reduktase dengan menggunakan
NADPH. (Burton, 2006)
Gambar 2.10 Katalisa hidrogen peroksida oleh GPx
( Dikutip dari : Jones , 2002, Handbook of Antioxidant)
Secara signifikan, GPx bersaing dengan catalase sebagai substrat dalam
mereduksi H2O2. Siklus redoks glutathione merupakan sumber utama dalam
perlindungan melawan stress oksidatif ringan, dimana catalase lebih berperan
dalam perlindungan melawan stress oksidatif yang parah. Akan tetapi pada sel,
terutama pada sel eritrosit manusia, GPx telah dianggap sebagai antioksidan
enzimatik dalam detoksifikasi H2O2 karena catalase memiliki afinitas yang lebih
rendah terhadap H2O2 dibandingkan dengan GPx (Jurkovic, 2008)
33
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarkar et al (2006) kadar SOD dan
Catalase menurun sedangkan kadar MDA meningkat pada persalinan preterm
dibandingkan kehamilan normal. Hal ini menunjukkan bahwa stress oksidatif
memiliki peranan dalam terjadinya persalinan preterm. Sedangkan aktivitas GPx
meningkat dan kadar GSH menurun menunjukkan sistem GPx/GSH menjadi
sangat penting dalam proses katabolis H2O2. Peningkatan aktivitas GPX
dikaitkan sebagai penyebab dari menurunnya GSH pada penelitian ini. Aktivitas
GPx dihitung melalui beberapa reaksi yang melibatkan gluthatione reductase
(GR), dimana GPx mereduksi H2O2 dan mengoksidase GSH menjadi GSSG
kemudian GSSG akan diubah kembali menjadi GSH oleh GR dengan memakai
NADPH. Penurunan kadar NADPH dihitung sebagai aktivitas GPx. Sedangkan
dalam beberapa penelitian didapatkan kadar selenium sebagai komponen GPx
mengalami penurunan pada abortus dan persalinan preterm dimana efek protektif
dari selenium diasosiasikan sejalan dengan aktifitas GPx (Jurkovic et al, 2008).
Sehingga perbedaan hasil dimana aktivitas GPx yang meningkat pada persalinan
preterm memerlukan penelitian lebih lanjut.