44
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian ini adalah penelitian yang berangkat dari keingintahuan mengenai nilai signifikansi cagar budaya Hotel Inna Bali dalam memenuhi kriteria cagar budaya yang disebutkan dalam Undang - Undang RI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yakni : berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Melalui kajian nilai signifikansi ini diharapkan dapat dipetik nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya guna dijadikan pedoman bagi masyarakat masa kini. Dijelaskan pula dalam Bab I mengenai sejarah awal mula kedatangan Belanda di Bali hingga bagaimana Belanda mengusai Bali sejak memenangkan perang Puputan Badung pada 1906 dan perang Puputan Klungkung pada 1908. Dimana setelahnya pemerintah kolonial Belanda mengintervensi sistem pemerintahan raja-raja di Bali dengan modernisasi lewat pembangunan perekonomian dan infrastruktur yang semata-mata dibuat untuk kepentingan Belanda. Hotel Inna Bali adalah salah satu peninggalan jejak penjajahan di Bali yang kini masih tersisa, namun sayangnya belum ada kajian yang mendukung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI ......adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  •  

      8  

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

    DAN MODEL PENELITIAN

    2.1 Tinjauan Pustaka

    Penelitian ini adalah penelitian yang berangkat dari keingintahuan mengenai

    nilai signifikansi cagar budaya Hotel Inna Bali dalam memenuhi kriteria cagar

    budaya yang disebutkan dalam Undang - Undang RI No. 11 Tahun 2010 Tentang

    Cagar Budaya yakni : berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih, mewakili masa

    gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun, memiliki arti khusus bagi

    sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, dan

    memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Melalui kajian nilai

    signifikansi ini diharapkan dapat dipetik nilai-nilai luhur yang terkandung di

    dalamnya guna dijadikan pedoman bagi masyarakat masa kini.

    Dijelaskan pula dalam Bab I mengenai sejarah awal mula kedatangan

    Belanda di Bali hingga bagaimana Belanda mengusai Bali sejak memenangkan

    perang Puputan Badung pada 1906 dan perang Puputan Klungkung pada 1908.

    Dimana setelahnya pemerintah kolonial Belanda mengintervensi sistem

    pemerintahan raja-raja di Bali dengan modernisasi lewat pembangunan

    perekonomian dan infrastruktur yang semata-mata dibuat untuk kepentingan

    Belanda. Hotel Inna Bali adalah salah satu peninggalan jejak penjajahan di Bali

    yang kini masih tersisa, namun sayangnya belum ada kajian yang mendukung

  •  

      9  

    posisi Hotel Inna Bali sebagai bangunan cagar budaya yang patut dijaga dan

    dilestarikan keberadaannya.

    Beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan terhadap kajian nilai

    signifikansi dalam rangka konservasi pernah dilakukan diantaranya oleh

    Mahastuti (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Konservasi Pura Maospahit

    Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka Budaya Identifikasi Signifikansi dan

    Aplikasinya”. Dalam penelitian tersebut berangkat dari latar belakang bahwa

    kurangnya perhatian pemerintah pada Pura Maospahit yang telah ditetapkan

    sebagai cagar budaya. Secara   umum   bentuk   areal   Pura   Maospahit   adalah  

    persegi   panjang   yang   memanjang   dari   Timur-‐Barat. Berdasarkan kegiatan

    menginventarisir nilai signifikansi Pura Maospahit dalam usaha pelestarian serta

    pengelolaan yang pernah dan telah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah dan

    masyarakat telah diketahui bahwa pendirian Pura Maospahit diawali dengan

    pembuatan arca batu sebanyak 33 buah oleh Kebo Iwa pada tahun caka 1185

    (Tahun 1263) yang selanjutnya dikembangkan pada tahun caka 1197 (Tahun

    1275) dengan memberi nama Dalem Maya pada pura tersebut dan akhirnya

    selesai dibangun pada tahun caka 1198 (Tahun 1276). Hal unik di Bale Kembar

    pada saat piodalan ada ritual pemisahan bagi kaum wanita dan pria pada saat

    melakukan persembahyangan. Periode perbaikan terhadap pura ini dimulai dari

    rentang waktu 195 - 2010, namun periode tersebut bukanlah periode yang konstan

    dalam pelaksanaannya, karena pada kenyataannya pekerjaan penataan pura ini

    dikerjaan secara bertahap dan tidak semua mendapat perbaikan yang sama. Untuk

    pemeliharaan sehari-hari pada pura secara tradisional ini dilakukan langsung oleh

  •  

      10  

    pengempon pura. Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi pura, metode dan

    teknik konservasi pada pura ini adalah metode dan teknik konservasi untuk yang

    bersifat ragawi (fisik) dan tak ragawi (non fisik).

    Selain itu masih mengenai konservasi yang berangkat dari kajian signifikansi,

    Subagio (2007) melalui penelitiannya yang berjudul “Penilaian Monumen Hidup

    Pabrik Gula Gedong Baru Sebagai Cagar Budaya.” Penelitian ini dilatar belakangi

    oleh keberadaan Pabrik Gula Gondang Baru di Surakarta, Jawa Tengah yang

    berdiri pada tahun 1860. Dimana di dalam kompleks Pabrik Gula Gondang Baru

    ini masih terdapat bangunan pabrik, kantor pabrik, perumahan administrasi, dan

    perumahan kongsi. Selain bangunan-bangunan tersebut, pabrik gula ini masih

    memiliki mesin-mesin yag kuat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dengan

    nilai sejarah, usia, dan keunikan yang dimiliki Pabrik Gula Gondang Baru maka

    dilakukan kajian nilai signifikansi sebagai langkah penilaiannya sebagai cagar

    budaya. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat disimpulkan Pabrik Gula

    Gondang Baru memiliki nilai signifikan sebagai benda cagar budaya dan layak

    untuk dilestarikan dan dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam upaya

    pengembangan Pabrik Gula Gondang Baru sebagai situs yang kaya tinggalan

    arkeologinya, sudah sepatutnya untuk dibuat peraturan daerah yang mendukung

    kekuatan hukum sebagai benda cagar budaya.

    Penelitian lainnya yang masih berhubungan dengan identifikasi fisik

    bangunan dalam rangka pengkajian nilai signifikansi budaya pada suatu bangunan

    bersejarah antara lain dilakukan oleh Almadani dan Gunawan (2013) dalam

    penelitiannya yang berjudul “Identifikasi Bangunan Cagar Budaya Bangunan

  •  

      11  

    Kuning Agung, Senghie, Pontianak.” Penilitian ini dilatarbelakangi oleh

    keberadaan bangunan tempat berkumpulnya marga Than Seng Hie atau dalam

    bahasa mandarin disebut dengan Huang, yakni pengusaha besar ternama yang

    berasal dari Cina pada masa pertumbuhan perdagangan di Kota Pontianak.

    Bangunan ini dipandang perlu dipertahankan sebagai bangunan dengan nilai

    historis dalam kawasan Seng Hie yang berkembang pesat sebagai kawasan

    perdagangan di Pontianak. Perlu adanya upaya atau tindakan pada Bangunan

    Kuning Agung Berupa suatu upaya bentuk pelestarian bangunan yang memiliki

    nilai historis di Kota Pontianak. Berdasarkan analisis Bangunan Kuning Agung

    secara fisik dapat dibagi 2 zona, yaitu zona depan dan zona belakang. Bagian zona

    depan dapat direkomendasikan sebagai cagar budaya berdasarkan penilaian umum

    karena sudah berdiri sejak tahun 1928. Zona ini meliputi area dari depan teras

    hingga altar. Sedangkan bagian belakang baru didirikan pada tahun 1980-an,

    sehingga tidak termasuk dalam kategori cagar budaya.

    Dari ketiga penelitian di atas, pada umumnya memiliki persamaan dalam latar

    belakang penelitian, yakni berangkat dari kondisi bangunan bersejarah yang

    belum mendapat perhatian dan perlindungan dari negara sesuai dengan undang-

    undang. Sehubungan dengan hal tersebut, ketiganya pula menggunakan metode

    penelitian kualitatif dalam rangka melakukan kajian untuk mengungkapkan nilai-

    nilai yang dimiliki bangunan bersejarah sebagai upaya memperjuangkan hak-hak

    bangunan tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Hubungan ketiga penelitian di

    atas dengan penelitian ini diringkas dalam Tabel 2.1.

  •  

      12  

    Tabel 2.1.

    Ringkasan tinjauan pustaka

    No

    Nama Peneliti

    Judul Penelitian

    Metode

    Hasil

    Kontribusi Terhadap Penelitian

    Yang Diambil

    1 Ni Made Mitha Mahastuti

    Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka Budaya Identifikasi dan Aplikasinya

    Kualitatif Penjelasan mengenai kondisi umum, nilai signifikan, dan usaha konservasi yang dapat diterapkan pada Pura Maospahit.

    Kemiripan dalam kerangka berpikir dan konsep.

    2 Didit Dwi Subagio

    Penilaian Monumen Hidup Pabrik Gula Gendong Baru Sebagai Cagar Budaya

    Kualitatif Penjelasan mengenai nilai signifikansi Pabrik Gula Gendong Baru dan pentingnya dukungan pemerintah terhadap keberadaan Pabrik Gula Gendong Baru dengan cara menetapkannya sebagai cagar budaya.

    Kemiripan dalam kerangka berpikir dan konsep.

    3 M. Ridha Almadani dan Ivan Gunawan

    Identifikasi Bangunan Cagar Budaya Bangunan Kuning Agung, Senghie, Pontianak

    Kualitatif Penjelasan mengenai identifikasi elemen bangunan secara detail yakni kolom, atap, dinding, lantai, plafond, pintu, jendela, ventilasi serta furnitur.

    Kemiripan dalam metode.

  •  

      13  

    2.2 Kerangka Berpikir dan Konsep

    2.2.1 Kerangka berpikir

    Diagram 2.1

    Kerangka berpikir

    ANALISIS

    RESEARCH PROBLEM

    LATAR BELAKANG

    RUMUSAN MASALAH

    TUJUAN

    STUDI AWAL dan SURVEY LAPANGAN

    ASPEK ESTETIKA

    ASPEK SEJARAH

    ASPEK SOSIAL

    ASPEK ILMU

    PENGETAHUAN

    STUDI PUSTAKA

    STUDI LAPANGAN

    SUBSTANSI ASPEK ESTETIKA, SEJARAH, SOSIAL, DAN ILMU PENGETAHUAN HOTEL INNA BALI JALAN VETERAN

    NILAI SIGNIFIKANSI CAGAR BUDAYA HOTEL INNA BALI JALAN VETERAN DENPASAR

    ANALISIS

  •  

      14  

    2.2.2 Konsep

    Konsep secara garis besar menjadi wadah untuk menyatukan persepsi

    mengenai istilah atau pun hal-hal terkait lainnya yang digunakan dalam penelitian.

    Konsep pada penelitian ini akan memaparkan : (1) Nilai signifikansi dan (2) cagar

    budaya.

    2.2.2.1 Nilai signifikansi

    Signifikansi budaya artinya nilai-nilai estetika, historis, ilmiah, sosial atau

    spiritual untuk generasi dahulu, kini atau masa datang. Signifikansi budaya

    tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya,

    asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan objek-objek

    terkait. Signifikansi budaya dapat berubah sebagai akibat dari kontiunitas sejarah

    sebuah tempat. Pengertian signifikansi budaya dapat berubah sesuai dengan

    informasi baru Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilindungi dan tidak

    dibiarkan terlantar atau ditinggalkan dalam kondisi yang mengkhawatirkan

    (Piagarm Burra, 1999:1). Definisi dari nilai-nilai signifikansi budaya dijelaskan

    dalam Guidelines to the Burra Charter (Australia ICOMOS Inc, 1988:12) sebagai

    berikut :

    a. Nilai estetika

    Mencangkup aspek-aspek persepsi sensorik dari bentuk, skala, tekstur,

    warna, kualitas material dan gaya seni yang berasosiasi dengan lokasi dan

    penggunaannya.

  •  

      15  

    b. Nilai sejarah

    Meliputi sejarah, dan kemasyarakatan yang mendasari sebagian besar

    konsepsi signifikansi cagar budaya. Misalnya suatu tempat memiliki nilai

    historis karena telah dipengaruhi oleh tokoh bersejarah, peristiwa, atau fase.

    c. Nilai ilmu pengetahuan

    Nilai ilmiah akan tergantung pada pentingnya data yang terlibat,

    kelangkaannya, kualitas, dan sejauh mana tempat dapat berkontribusi dalam

    memberikan informasi substansial lebih lanjut.

    d. Nilai sosial atau spiritual

    Nilai sosial mencakup kualitas suatu tempat atau lokasi yang menjadi

    fokus/pusat kegiatan spiritual, politik, nasional atau kegiatan budaya

    sentimental lainnya untuk kelompok mayoritas atau minoritas.

    Dalam Guidelines for Completing National Register of Historical Places

    Forms (U.S. Department of the Interior National Park Service Cultural Resources,

    1977:3) menyebutkan 4 (empat) aspek signifikansi yang wajib ditemukan dalam

    pemenuhan kriteria bangunan bersejarah, antara lain :

    a. Berasosiasi dengan peristiwa sejarah/aktifitas sejarah

    b. Berasosiasi dengan pelaku sejarah

    c. Mempunyai keunikan dalam desain fisik

    d. Berpotensi untuk membuktikan informasi penting baik tentang prasejarah

    maupun sejarah

    Suatu lokasi/tempat/benda harus memenuhi setidaknya salah satu dari empat

    kriteria yang disebutkan di atas. Integritas juga harus dibuktikan melalui

  •  

      16  

    pemaparan kualitas sejarah termasuk di dalamnya lokasi, desain, pengaturan,

    bahan, pengerjaan, perasaan, dan asosiasi yang terjadi. Umumnya kriteria usia

    lima puluh tahun atau lebih pada tempat bersejarah juga harus signifikan ketika

    dievaluasi dalam hubungannya terhadap trend sejarah utama di masyarakat,

    negara, atau bangsa. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan nilai

    signifikansi adalah :

    a. Nilai estetika adalah nilai yang mencangkup aspek-aspek sensorik dan visual

    yang terasosiasi dalam bentuk, tekstur, warna, material, dan gaya seni.

    b. Nilai sejarah adalah nilai yang melekat pada suatu lokasi/benda karena

    keterkaitannya terhadap peristiwa/aktifitas sejarah dan/atau pelaku sejarah.

    c. Nilai sosial adalah nilai yang melekat pada lokasi/benda berdasarkan

    manfaatnya bagi kegiatan masyarakat di sekitarnya, seperti kegiatan spiritual

    dan/atau dan budaya.

    d. Nilai ilmu pengetahuan adalah nilai yang keberadaannya tergantung pada

    kualitas data yang terlibat sehingga tempat/benda dapat berkontribusi dalam

    memberikan informasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

    2.2.2.2 Cagar budaya

    Cagar budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa

    cagar budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan

    perikehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan.

    Cagar budaya di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik

    Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dalam Undang-Undang

    Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan definisi cagar budaya

  •  

      17  

    adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan

    cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar

    budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena

    memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

    dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Disebutkan pula dalam Undang-

    Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

    kriteria dari cagar budaya adalah :

    1. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih.

    2. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun.

    3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

    dan/atau kebudayaan.

    4. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

    Dapat disimpulkan bahwa cagar budaya adalah suatu daerah yang dapat

    berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang kelestariannya

    dilindungi oleh undang-undang karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

    pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan yang ada di Indonesia

    yang ditetapkan dengan suatu penetapan. Dalam penelitian ini cagar budaya

    adalah suatu lokasi yang memenuhi kriteria cagar budaya menurut Undang-

    Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 yang keberadaannya perlu

    dilestarikan karena kriteria-kriteria tersebut memiliki nilai penting bagi sejarah,

    ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan yang ada di

    Indonesia.

  •  

      18  

    2.3 Landasan Teori

    Landasan teori memuat teori-teori yang dipandang relevan untuk

    menganalisis persoalan yang ada dengan pustaka teoritik yang ada. Landasan teori

    merupakan point penting untuk mendalami dan memahami topik penelitian lebih

    dalam.

    2.3.1 Konservasi

    Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

    menyebutkan pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan

    keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi,

    mengembangkan, dan memanfaatkannya. Dalam Piagam ICOMOS New Zealand

    (2010) menyebutkan bahwa konservasi adalah semua proses pemahaman dan

    merawat tempat untuk menjaga nilai warisan budayanya. Konservasi didasarkan

    pada penghormatan terhadap bahan, asosiasi, makna, dan penggunaan tempat.

    Dimana membutuhkan pendekatan dengan hati-hati dan melakukan pekerjaan

    yang diperlukan serta mempertahankan keaslian dan integritasnya untuk

    memastikan bahwa tempat dan nilai-nilainya dapat diwariskan kepada generasi

    mendatang.

    Piagam Burra (1999) menyebutkan bahwa konservasi adalah seluruh proses

    pemeliharaan sebuah tempat untuk mempertahankan signifikansi budayanya.

    Signifikansi budaya tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata

    letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait,

    dan objek-objek terkait. Di dalamnya termasuk pemeliharaan dan perbaikan.

  •  

      19  

    Widyati (1998) dalam Salain (2003) menyebutkan bahwa konservasi adalah

    pemugaran yang ditujukan pada suatu tindak lanjut atau langkah konkrit dari

    usaha pelestarian, yaitu berupa revitalisasi kawasan, perbaikan, restorasi atau

    revitalisasi bangunan. Prinsip-prinsip konservasi dan pengelolaanya disebutkan

    sebagai berikut :

    a. Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan.

    b. Tujuan dari konservasi adalah untuk mempertahankan signifikansi budaya di

    sebuah tempat.

    c. Konservasi adalah bagian dari integral pengelolaan yang baik bagi tempat-

    tempat bersignifikansi budaya.

    d. Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilindungi dan tidak dibiarkan

    terlantar atau ditinggalkan dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

    Feilden (1994) menyebutkan bahwa konservasi adalah aksi yang diambil atau

    dilakukan untuk mencegah kerusakan. Usaha konservasi ditujukan untuk

    memelihara dan jika memungkinkan meningkatkan pesan dan nilai dari warisan

    kebudayaan. Semua nilai secara sistematis membantu menempatkan keseluruhan

    prioritas di dalam menentukan tujuan intervensi seperti menetapkan kelanjutan

    dan perawatan. Jadi selain berupaya perlindungan, pencegahan atau mengurangi

    supaya tidak rusak atau lapuk. Kegiatan konservasi juga termasuk berbagai upaya

    lain untuk menjaga keberadaannya guna mempertahankan makna sejarah dan

    budaya yang dikandungnya agar dapat terpelihara dengan baik.

    Nilai-nilai yang terkandung dalam properti kebudayaan secara garis besar

    dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:

  •  

      20  

    1. Nilai – nilai emosional (emotional values), terdiri dari : (a) kekaguman, (b)

    identitas, (c) kelangkaan, serta (e) spiritual dan simbolis.

    2. Nilai – nilai budaya (cultural values), terdiri dari : (a) dokumenter, (b)

    sejarah, (c) arkeologi, umur, dan kelangkaan, (d) estetis dan simbolis, (e)

    arsitektural, (f) wajah perkotaan, lansekap, dan ekologi, (g) teknologi dan

    keilmuan.

    3. Nilai – nilai kegunaan (use values), terdiri dari : (a) fungsional, (b) ekonomis,

    (c) sosial, (d) politik dan etnis.

    Menganalisa keseluruhan nilai seharusnya disingkat kedalam sebuah

    statement tentang signifikansi dari properti kebudayaan tersebut. Dalam

    pelestarian arsitektur, permasalahan sering muncul karena penggunaan dari

    bangunan bersejarah yang mana secara ekonomis dan fungsional dibutuhkan,

    harus juga sesuai dengan nilai budaya yang ada.

    Sedangkan dalam ICOMOS New Zealand Charter (2010) tujuan dari

    konservasi adalah untuk merawat tempat nilai warisan budaya. Secara umum,

    tempat-tempat yang dimaksud seperti:

    1. Memiliki nilai abadi dan dapat dihargai.

    2. Dapat memberi informasi tentang masa lalu dan budaya orang-orang yang

    hidup di dalamnya.

    3. Memberikan bukti nyata dari kontinuitas antara masa lalu, sekarang, dan

    masa depan.

    4. Mendukung dan memperkuat identitas masyarakat dan hubungan tanah

    leluhur.

  •  

      21  

    5. Memberikan ukuran dikompensasi dengan indikator yang dapat dibandingkan

    saat ini.

    Tujuan konservasi untuk mempertahankan dan mengungkapkan nilai-nilai

    tersebut dan untuk mendukung makna yang sedang berlangsung dari fungsi

    tempat nilai warisan budaya demi kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

    Konservasi sebuah tempat harus didasarkan pada pemahaman dan apresiasi

    terhadap semua aspek nilai warisan budaya, baik yang berwujud maupun tidak

    berwujud. Semua bentuk pengetahuan dan sarana yang tersedia digunakan untuk

    memahami tempat dan nilai warisan budaya. Nilai warisan budaya harus dipahami

    melalui konsultasi pada orang-orang yang berkompeten, dokumenter yang

    sistematis, penelitian lisan, investigasi fisik dan pencatatan tempat, serta metode

    lain yang relevan. Semua nilai-nilai warisan budaya yang relevan harus diakui,

    dihormati, termasuk nilai-nilai yang berbeda. Kebijakan untuk mengelola semua

    aspek tempat, termasuk konservasi dan penggunaannya, dan implementasi

    kebijakan, harus didasarkan pada pemahaman tentang nilai warisan budaya.

    Konservasi harus tunduk pada penilaian sebelum didokumentasikan dan

    perencanaan. Semua pekerjaan konservasi harus didasarkan pada rencana

    konservasi yang mengidentifikasi warisan budaya nilai dan signifikansi warisan

    budaya, lokasi, kebijakan konservasi, dan sejauh mana karya direkomendasikan.

    Rencana konservasi harus memberikan prioritas tertinggi pada keaslian dan

    integritas tempat.

  •  

      22  

    2.3.2 Dasar-dasar pertimbangan konservasi

    Dasar-dasar pertimbangan dalam konservasi digunakan sebagai dasar dalam

    penyusunan kriteria dalam penilaian kelayakan dan/atau kelayakan suatu objek

    sebagai peninggalan yang harus dilestarikan. Sisi keaslian yang merupakan

    merupakan prinsip utama dalam upaya perlindungan dan pelestarian, dimengerti

    sebagai ukuran kebenaran dari kesatuan internal dari proses kreatif dengan

    realistik fisik dan karya, dan pengaruh dari keberadaan sepanjang masa sejarah.

    Proses kreatif sendiri dalam arsitektur terkait dengan gaya yang secara umum

    menyatakan perbedaan cara atau sikap yang terdapat dalam bangunan atau

    rancangan. Gaya dapat terlihat dari detail, bahan, atau bentuk tertentu. Dan

    keterkaitannya dengan sejarah adalah gaya menyimpulkan suatu konsep dari

    semua elemen perancangan konstruksi dan estetika dan mewakili satu kurun

    waktu tertentu. Sementara perubahan yang dilakukan dianggap sebagai

    konsekuensi dari upaya memberi interpretasi baru pada bangunan dan akan

    menjadi bagian dari lapisan sejarah pada bangunan tersebut (Sholeha, 2004 : 10).

    Perubahan yang dilakukan dharapkan tidak mengubah ataupun merusak

    karakter asli bangunan. Pengertian karakter secara umum yaitu bagian dari suatu

    objek atau ciri-ciri suatu objek yang menjadi pembeda dari objek lainnya.

    Karakter dapat memberikan deskripsi fisik maupun non fisik dengan

    mengkhususkan pada sifat, ciri khusus yang spesifik dari suatu objek sehingga

    objek tersebut mudah dikenali. Karakter dari sebuah objek arsitektural merupakan

    susunan dari keberagaman maupun intensitas ciri-ciri objek arsitektural,

    serangkaian susunan elemen dasar pembentuk objek (misalnya terdiri dari bentuk,

  •  

      23  

    garis, warna, dan tekstur) yang membuat objek tersebut memiliki kualitas yang

    dapat dibedakan dari objek lain (Suryasari, 2003 :11).

    Menurut Sholeha (2004) karakter bangunan tidak dapat hanya dilihat dari

    bentuk tanpa mengetahui penggunaannya. Karakter yang kuat terjadi jika bentuk

    dan kegunaan didapat satu kelayakan. Memasukkan unsur guna yang sesuai akan

    jadi salah satu upaya mempertahankan karakter pada bangunan itu sendiri. Maka

    dalam kegiatannya, integritas arsitektural adalah hal penting yang mesti

    dipertahankan kualitas bangunan beserta tapaknya yang memberi makna dan nilai.

    Enam unsur pembentuk integritas arsitektural menurut Budihardjo (1997) adalah

    langgam, kekriyaan, material, tipe bangunan, lokasi, dan kesinambungan.

    1. Langgam, terkait dengan aturan-aturan yang terdapat dalam langgam pada

    bangunan.

    2. Kekriyaan, terkait dengan kualitas penyelesaian detail bangunan.

    3. Bahan/material, sedapat mungkin bisa mempertahankan material semula.

    4. Tipe/bangunan, sangat penting melihat tipe bangunan yang akan diubah ke

    fungsi baru.

    5. Lokasi bangunan. melihat konteks tapak atau lingkungan sebagai faktor

    pendorong yang membantu menentukan guna pada bangunan, dan sebaliknya

    bagaimana guna bangunan dapat menunjanng keberadaan tapak.

    6. Kesinambungan, keberlanjutan kepemilikan bangunan, terutama apakah

    pemilik sekarang merupakan keturunan pemilik sebelumnya.

    Nurmala (2003) menjabarkan dasar-dasar pertimbangan pelestarian suatu

    objek dalam dua bagian, yakni fisik-visual dan non fisik.

  •  

      24  

    1. Fisik-visual

    a. Estetika, berkaitan dengan nilai estetis dan arsitektural, meiputi bentuk,

    gaya, struktur, tata ruang, dan ornamen.

    b. Keselamatan, berkaitan dengan pemeliharaan struktur bangunan tua agar

    tidak terjadi suatu yang membahayakan keselamatan penghuni maupun

    masyarakat sekitar bangunan tua berada.

    c. Kejamakan/tipikal, berkaitan dengan objek yang mewakili kelas dan jenis

    khusus.

    d. Kelangkaan, berkaitan dengan objek yang mewakili kelas dan jenis

    khusus.

    e. Keluarbiasaan/keistimewaan, suatu objek konservasi yang memiliki

    bentuk paling menonjol, tinggi, besar. Keistimewaan memberi tanda atau

    ciri suatu kawasan tertentu.

    f. Peranan sejarah, merupakan lingkungan kota atau bangunan yang

    memilki nilai historis suatu peristiwa yang mencatat peran ikatan simbolis

    suatu rangkaian sejarah masa lalu dan perkembangan suatu kota untuk

    dilestarikan dan dikembangkan.

    g. Penguat karakter kawasan, berkaitan dengan objek yang mempengaruhi

    kawasan-kawasan sekitar dan bermakna untuk meningkatkan kualitas dan

    citra lingkungan.

  •  

      25  

    2. Non fisik

    a. Ekonomi, dimana kondisi bangunan tua yang baik akan menjadi daya

    tarik bagi para wisatawan dan investor untuk mengembangkan sehingga

    dapat digali potensi ekonominya.

    b. Sosial dan budaya, dimana bangunan tua tersebut memiliki nilai agama

    dan spiritual, memilki nilai budaya dan tradisi yang penting bagi

    masyarakat.

    Dasar pertimbangan pelestarian oleh Rahardjo (2011) dituangkan dalam

    idenya mengenai penilaian, tipologi nilai, dan pemeringkatan untuk pengelolaan

    cagar budaya, adapun penjelasannya sebagai berikut.

    1. Nilai sejarah terdiri dari tokoh dan peristiwa.

    2. Nilai ilmu pengetahuan terdiri dari penemuan baru, munculnya ragam baru,

    penerapan teknologi baru, dan munculnya spesies baru.

    3. Nilai kebudayaan terdiri dari identitas dan seni.

    4. Nilai pendidikan dijelaskan sebagai benda memiliki potensi untuk dapat

    memberikan pengetahuan dan penanaman nilai moral bagi anak-anak dan

    dewasa.

    5. Nilai politik, peristiwa-peristiwa penting sejarah yang terjadi di objek

    tinggalan sejarah dan purbakala dapat dianggap penting bila memiliki

    kecocokan dengan prioritas politik masa kini. Makna penting tersebut dapat

    digunakan dalam upaya meningkatkan perhatian publik dalam upaya

    perlindungan dan pelestarian

    6. Nilai ekonomi terdiri dari nilai fungsional dan revitalisasi.

  •  

      26  

    7. Nilai keutuhan atau nilai integritas terdiri dari desain, tata lingkungan fisik,

    bahan, material, dan pengerjaan.

    2.3.3 Derajat intervensi konservasi

    Disebutkan dalam Piagam Burra (1999) sebuah tempat dan hal-hal lain yang

    berpengaruh pada masa depannya paling baik dipahami melalui serangkaian tahap

    pengumpulan dan analisis informasi sebelum membuat keputusan. Hal pertama

    adalah memahami signifikansi budayanya, kemudian membuat kebijakan dan

    akhirnya mengelola tempat tersebut sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan.

    Kebijakan dalam mengelola sebuah tempat harus berdasarkan pada pemahaman

    terhadap signifikansi budaya. Pembuat kebijakan harus juga mempertimbangkan

    faktor-faktor lain yang berpengaruh pada masa depan sebuah tempat seperti

    kebutuhan pemilik, sumber daya, keterbatasan eksternal, dan kondisi fisik tempat

    tersebut. Proses Piagam Burra dintunjukkan pada Diagram 2.2.

  •  

      27  

    Diagram 2.2

    Proses Piagam Burra

    Sumber : URL: http://www.icomos.org/charters/burra1999_indonesian.pdf

  •  

      28  

    Signifikansi budaya tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata

    letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait,

    dan objek-objek terkait. Di dalamnya termasuk pemeliharaan dan perbaikan.

    Ruang lingkup pemeliharaan yaitu :

    a. Preservasi : upaya mempertahankan bahan sebuah tempat dalam kondisi

    eksisting dan memperlambat pelapukan.

    b. Adaptasi : upaya memodifikasi sebuah tempat untuk disesuaikan dengan

    pemanfaatan eksisting atau pemanfaatan yang diusulkan.

    Sedangkan perbaikan memiliki ruang lingkup :

    a. Restorasi : upaya mengembalikan bahan eksisting sebuah tempat pada

    keadaan semula sebagaimana yang diketahui dengan menghilangkan

    tambahan atau dengan meniru kembali komponen eksisting tanpa

    menggunakan material baru.

    b. Rekonstruksi : upaya mengembalikan sebuah tempat pada keadaan semula

    sebagaimana yang diketahui dan dibedakan dari restorasi dengan

    menggunakan material baru sebagai bahan. Material baru boleh termasuk

    material daur ulang yang diselamatkan dari tempat-tempat lain.

    ICOMOS New Zealand Charter (2010) derajat intervensi dalam kegiatan

    pelestarian adalah sebagai berikut :

    a. Preservasi : melalui stabilisasi, perawatan, atau perbaikan

    Pelestarian tempat dengan intervensi sesedikit mungkin, untuk

    memastikan kelangsungan hidup jangka panjang dan kelanjutan dari nilai

  •  

      29  

    warisan budaya yang terkandung di dalamnya. Proses pelestarian dipandang

    seharusnya tidak mengaburkan atau menghapus patina usia, terutama di mana

    kontribusi keaslian dan integritas tempat, atau di mana ia memberikan

    kontribusi untuk stabilitas struktural bahan.

    b. Restorasi : melalui pemulihan dan pemindahan

    Proses pemulihan dan mungkin melibatkan penghapusan pada

    penambahan-penambahan yang berpotensi mengurangi nilai warisan budaya

    dari suatu tempat. Restorasi didasarkan pada penghormatan terhadap

    material/bahan yang ada, dan pada semua bukti hasil identifikasi dan

    analisis, sehingga nilai warisan budaya dari tempat pulih atau terungkap.

    c. Rekonstruksi

    Rekonstruksi dibedakan dari restorasi oleh pengenalan materi baru untuk

    menggantikan bahan yang telah hilang. Rekonstruksi adalah tindakan yang

    tepat jika yang menjadi sasaran adalah menjaga nilai penting untuk fungsi,

    integritas, nilai tidak berwujud, atau pemahaman tempat, jika bukti fisik dan

    dokumen yang ada cukup untuk meminimalkan dugaan, dan jika nilai warisan

    budaya yang dilestarikan terselamatkan.

    d. Adaptasi

    Proposal untuk adaptasi dari suatu tempat bisa timbul dari keinginan

    mempertahankan penggunaannya atau dari mengusulkan perubahan

    penggunaan. Perubahan dan penambahan mungkin dapat diterima di dalam

    adaptasi dimana mereka diperlukan untuk penggunaan yang kompatibel dari

  •  

      30  

    tempat. Setiap perubahan harus seminimal mungkin dan memiliki sedikit atau

    tidak ada efek buruk pada nilai warisan budaya dari tempat.

    Konservasi dianggap sebagai istilah yang menjadi payung dari semua

    kegiatan pelestarian. Konservasi dimengerti sebagai aktifitas multidisipliner yang

    didasarkan pada bukti ilmiah dan pengalaman empiris (Marks, 1996 : 67).

    Sedangkan preservasi kegiatannya terbatas pada perlindungan, pemeliharaan, dan

    jika diperlukan dengan stabilisasi tapi tanpa mengubah kandungan budayanya.

    Restorasi merupakan upaya menyingkap aspek signifikan budaya baru yang bisa

    jadi terkandung dalam bangunan, namun terbatas pada pengembalian komponen-

    komponen yang lepas dengan mempertahankan pentahapan pembangunan masa

    lalu. Untuk rekonstruksi, ada anggapan bahwa rekonstruksi seharusnya tidak

    digunakan pada material fisik, tetapi lebih pada konsep abstrak dari

    perancangannya. Memang harus merupakan hasil penelitian, akan tetapi bukan

    mengarah pada proses fisik bangunan melainkan konsep pemikirannya, sehingga

    bentuk rebuilding dan replikasi menjadi sesuatu yang lebih alami (Marks, 1996 :

    202). Di dalam adaptasi, beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan antara

    lain kepentingan visualnya, kepentingan sosial dari fungsi baru yang mungkin

    diberikan, dan kualitas perancangan dari perubahan (Cantacuzino, 1989 :11).

    Melalui revitalisasi dilakukan pelestarian dengan memberdayakan bangunan atau

    kawasan bersejarah dengan dilakukannya perbaikan lingkungan tempatnya berada

    yang menggabungkan bangunan lama dan baru.

    Berdasarkan beberapa sumber di atas, maka dapat disimpulkan tingkat

    perubahan dalam konservasi adalah sebagai berikut.

  •  

      31  

    Tabel 2.2.

    Tingkat perubahan dalam konservasi

    No Kegiatan Sedikit perubahan Perubahan

    Sedang Banyak

    perubahan Perubahan

    total 1 Preservasi 2 Restorasi 3 Rekonstruksi 4 Adaptasi/

    Revitalisasi

    5 Demolisi

    2.3.4 Ketentuan teknis arahan strategi konservasi

    Dwiyanto (2012), seorang arkeolog dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas

    Gajah Mada dalam forum Iktan Ahli Arkeolog Indonesia (IAAI) mengungkapkan

    di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya banyak

    hal baru dan berbeda dengan undang-undang sebelumnya (Undang-undang

    Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya) baik secara filosofis,

    sosiologis, maupun yuridis. Secara filosofis, tidak hanya terbatas pada benda

    tetapi juga meliputi bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya yang di

    darat dan/atau air. Secara sosiologis, undang-undang ini mencangkup

    kepemilikan, penguasaan, pengalihan, kompensasi, dan insentif. Secara yuridis,

    undang-undang ini mengatur hal-hal yang terkait dengan pelestarian yang

    meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Di dalamnya juga

    tercantum tugas dan wewenang para pemangku kepentingan serta kepentingan

    pidana. Namun, dalam praktek hukumnya undang-undang ini belum cukup

    operasional di lapangan karena masih diperlukan petunjuk pelaksanaan dan/atau

    petunjuk teknis untuk pelaksanaannya. Indikator penyusunan arahan strategi

    konservasi dibuat berdasarkan kondisi eksisting objek konservasi. Dua penelitian

  •  

      32  

    berikut yang dilakukan Antariksa (2011) dan Azuwar (2012) merumuskan strategi

    konservasi pada objek penelitiannya. Dalam penelitian yang mereka lakukan

    arahan strategi konservasi dibuat dengan melakukan penggolongan bangunan

    cagar budaya ke dalam 3 bagian kelas. Setiap kelas kemudian berisi arahan

    strategi konservasi yang isinya antara lain sebagai berikut.

    Tabel 2.3.

    Ketentuan teknis arahan strategi konservasi

    No

    Klasifikasi

    dan arahan

    teknis

    konservasi

    Antariksa (2011) Azuwar (2012)

    1 Bangunan

    potensial

    tinggi

    • Bangunan dilarang

    dibongkar atau

    diubah

    • Setiap adanya

    penambahan

    bangunan baru harus

    disesuaikan dengan

    bentuk bangunan

    lama

    • Boleh terjadi

    perubahan fisik

    tampilan, namun

    sangat kecil

    sehingga keaslian

    bangunan dapat

    terjaga

    • Arahan pelestarian

    fisik dilakukan

    • Bangunan dilarang dibongkar atau

    diubah

    • Apabila kondisi fisik buruk, roboh,

    terbakar atau tidak layak tegak

    harus dibangun kembali sama

    seperti semula sesuai dengan

    aslinya

    • Boleh terjadi perubahan fisik

    tampilan, namun sangat kecil

    ataupun kecil sehingga keaslian

    bangunan dapat terjaga

    • Pemeliharaan dan perawatan

    bangunan harus menggunakan

    bahan yang sama/sejenis atau

    memiliki karakter yang sama,

    dengan mempertahankan detail

    ornamen bangunan yang telah ada

    • Boleh terjadi perubahan fisik

  •  

      33  

    dengan preservasi

    dan konservasi

    tampilan, namun dalam tingkatan

    kecil ataupun sedang namun

    tampilan bangunan tidak

    terganggu

    • Di dalam persil atau lahan

    bangunan cagar budaya

    dimungkinkan adanya bangunan

    tambahan yang menjadi kesatuan

    utuh dengan bangunan utama,

    dengan ketentuan penambahan

    bangunan hanya dapat dilakukan

    di belakang atau di samping

    bangunan cagar budaya dalam

    keserasian lingkungan

    • Arahan pelestarian fisik adalah

    konservasi, preservasi, dan

    revitalisasi

    2 Bangunan

    potensial

    sedang

    • Setiap adanya

    penambahan

    bangunan baru harus

    disesuaikan dengan

    bentuk bangunan

    lama

    • Boleh terjadi

    perubahan fisik

    tampilan, kecil

    ataupun sedang

    namun tampilan

    bangunan tidak

    terganggu

    • Arahan pelestarian

    fisik dilakukan

    dengan rehabilitasi

    • Bangunan dilarang dibongkar

    secara sengaja dan apabila kondisi

    fisik buruk, roboh, terbakar atau

    tidak layak tegak harus dibangun

    kembali sama seperti semula

    seperti aslinya

    • Perubahan bangunan harus

    dilakukan tanpa mengubah

    karakter bangunan serta dengan

    mempertahankan detail dan

    ornamen bangunan penting

    • Boleh terjadi perubahan fisik

    tampilan, namun sangat kecil

    ataupun kecil sehingga keaslian

    bangunan dapat terjaga

    • Di dalam persil atau lahan

  •  

      34  

    dan rekonstruksi bangunan cagar budaya

    dimungkinkan adanya bangunan

    tambahan yang menjadi kesatuan

    yang utuh dengan bangunan utama

    • Arahan pelestarian fisik dilakukan

    konservasi, revitalisasi, dan

    rehabilitasi

    • Di dalam upaya rehabilitasi dan

    revitalisasi dimungkinkan

    perubahan fungsi dan tata ruang

    dalam asalkan tidak mengubah

    karakter struktur utama bangunan

    3 Bangunan

    potensial

    rendah

    • Bangunan dilarang

    dibongkar atau

    diubah

    • Boleh terjadi

    perubahan fisik

    tampilan dalam skala

    sedang atau besar

    namun masih

    tampak bangunan

    lama

    • Arahan pelestarian

    fisik dilakukan

    dengan rehabilitasi

    dan rekonstruksi

    • Bangunan dilarang dibongkar atau

    diubah

    • Boleh terjadi perubahan fisik

    tampilan dalam skala sedang atau

    besar namun masih tampak bagian

    bangunan lama

    • Detail ornamen dan bahan

    bangunan dapat disesuaikan

    dengan arsitektur bangunan di

    sekitarnya dalam keserasian

    lingkungan

    • Penambahan bangunan dalam

    perpetakan atau persil dapat

    dilakukan di belakang atau di

    samping bangunan cagar budaya

    dalam keserasian bangunan

    • Fungsi bangunan dapat diubah

    sesuai dengan rencana kota

    • Arahan pelestarian fisik dilakukan

    dengan rehabilitasi dan

  •  

      35  

    rekonstruksi

    2.3.5 Etika konservasi

    Beberapa standar etika harus diobservasi didalam usaha konservasi, antara

    lain (Feilden, 1994) :

    1. Kondisi bangunan harus direkam (recording) sebelum apapun bentuk

    intervensi atau campur tangan.

    2. Bukti-bukti sejarah tidak harus dirusak, dipalsukan atau dipindahkan.

    3. Segala bentuk intervensi harus seminimum mungkin sesuai dengan

    kebutuhan.

    4. Segala bentuk intervensi harus dilakukan dengan tidak menyimpang dari

    penghormatan terhadap nilai estetika, sejarah dan kesatuan fisikal dari

    properti kebudayaan.

    5. Semua metode dan material yang digunakan selama perbaikan harus semua

    didokumentasikan.

    2.3.6 Prosedur persiapan untuk usaha konservasi

    Prosedur persiapan konservasi dalam “Conservation of Historic Building”

    oleh Feilden (1994) antara lain :

    1. Inventarisasi

    Inventarisasi adalah prosedur permulaan dari konservasi. Kegiatannya

    berupa pembuatan sebuah inventory (inventarisasi) seluruh properti budaya

  •  

      36  

    dalam wilayah suatu negara. Ini merupakan tugas pemerintah secara

    administratif dan meliputi penetapan katagori yang tepat untuk properti

    budaya dan rekaman secara graphis dan deskriptif. Dalam hal ini dapat

    digunakan komputer dan mikrofilm yang bertujuan untuk membuat inventaris

    lebih bernilai atau berguna. Inventarisasi juga bertujuan sebagai dasar untuk

    alokasi bantuan atau penyediaan pajak khusus untuk menjaga bangunan

    bersejarah tersebut.

    2. Inspeksi awal

    Inspeksi awal merupakan langkah persiapan inspeksi visual dan studi dari

    setiap bangunan untuk mengetahui dan menentukan nilai bangunan secara

    keseluruhan. Kondisi sekarang dari bangunan yang harus direkam secara

    metodik dan segala studi lanjutan yang diperlukan dalam pelaporan.

    Dokumentasi dan studi harus menyeluruh dan teliti, yang berarti penyelidikan

    dilakukan secara cermat dari perekaman serta pengarsipan yang baik. Di

    beberapa negara rekaman wawancara diperbolehkan dimasukan dalam

    dokumen/catatan pembangunan dari setiap bangunan. Suatu negara sebaiknya

    memiliki statistik signifikansi tentang jumlah dan laporan bangunan

    bersejarahnya, hal ini bisa digunakan untuk menilai kemungkinan biaya dari

    kebijaksanaan konservasi untuk menentukan prioritas. Semua bangunan

    bersejarah seharusnya diinspeksi setiap lima tahun guna membuat rencana

    pemeliharaannya seperti pencegahan kerusakan dan pemeliharaannya.

  •  

      37  

    3. Dokumentasi

    Dokumentasi yang berkelanjutan yang memuat rekaman secara lengkap

    pada masa sebelum, selama dan setelah segala bentuk intervensi. Didalam

    semua pekerjaan preservasi, perbaikan atau ekskavasi dari properti

    kebudayaan harus selalu didokumentasi secara tepat dalam bentuk analisis

    dan laporan kritikal, ilustrasi dengan foto dan gambar-gambar. Setiap tahap

    dari pekerjaan pembersihan, konsolidasi dan integrasi disusun kembali,

    termasuk seluruh material serta teknis yang digunakan harus direkam.

    Laporan teknis ditempatkan sebagai arsip umum serta disediakan untuk

    pekerjaan penelitian. Terakhir, kadangkala dalam proyek yang besar langkah

    dokumentasi ini diambil dalam beberapa tahun untuk menulis laporan

    akademis sehingga tersedianya laporan persiapan atau tahunan dalam rangka

    menjaga ketepatan informasi kepada publik.

    2.3.7 Zonasi pada pelestraian cagar budaya

    Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 pasal 72 mengatur mengenai penetapan

    batas-batas keluasan dan pemanfaatan ruang dalam situs dan kawasan berdasarkan

    kajian. Sistem zonasi dapat terdiri dari:

    a. Zona inti : area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar

    budaya

    b. Zona penyangga : area yang melindungi zona inti.

    c. Zona pengembangan : area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi

    cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam,

  •  

      38  

    lansekap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan

    kepariwisataan.

    d. Zona penunjang : area yang diperuntukkan bagi sarana dan prasarana

    penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.

    Selain itu dalam pasal 73 (4) dijelaskan bahwa penetapan luas, tata letak, dan

    fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang

    peningkatan kesejahteraan rakyat. Kajian dalam zonasi cagar budaya dilakukan

    agar zonasi yang dihasilkan tetap berwawasan pada pelestarian. Pemahaman

    tentang konsep pelestarian menjadi hal yang sangat penting dalam kajian zonasi.

    Sebagaimana yang telah dikemukakan pelestarian tidak hanya dilakukan terhadap

    bukti bendawi (fisik) yang ada, tetapi juga nilai-nilai penting yang terkandung

    didalamnya. Agar kedua hal tersebut dapat tercapai maka pelestarian bukti

    bendawi harus dapat dipertahankan, karena tanpa bukti bendawi nilai-nilai penting

    yang ada hanya akan menjadi wacana saja atau bahkan dapat dianggap sebagai

    ‘dongeng’ atau ‘legenda’ belaka. Untuk menjamin agar bukti-bukti bendawi dapat

    merepresentasikan nilai-nilai, bukti-bukti itu harus terjaga kondisinya. Dua aspek

    fisik yang harus dapat dipertahankan kondisinya adalah keaslian (authenticity)

    dan keutuhan (integrity).

    Untuk mempertahankan keaslian, dapat dilakukan upaya-upaya

    mempertahankan kondisi unsur-unsur berikut ini :

    a. Bentuk dan rancangan (desain)

    b. Bahan

    c. Kegunaan dan fungsi

  •  

      39  

    d. Tradisi

    e. Teknik dan sistem manajemen

    f. Lokasi dan latar lingkungan

    g. Bahasa dan warisan budaya tak-bendawi lainnya

    h. Semangat dan perasaan yang melingkupinya.

    Sementara itu, untuk memenuhi kondisi keutuhan atau keterpaduan unsur,

    maka pelestarian harus mampu mempertahankan unsur-unsur karya budaya yang

    ada dalam keadaan cukup lengkap sedemikian rupa sehingga masih mampu

    memberikan gambaran yang utuh tentang cagar budaya yang ada dan

    mencerminkan nilai-nilai penting yang dikandungnya.

    Pada prinsipnya, penetapan wilayah-wilayah zonasi ditetapkan dengan

    mengacu pada nilai arkeologis dan keaslian lingkungan masa lalu yang

    merupakan satu kesatuan pada masanya. Hal ini dibutuhkkan untuk

    mempertahankan keaslian situs, baik yang berhubungan dengan keaslian bahan,

    bentuk, tata letak dan teknik pengerjaannya (Mulyadi, 2012:1-10). Bentuk dan

    jenis zoning serta luas areal yang dibutuhkan, didasarkan pada berbagai

    pertimbangan meliputi:

    1. Aspek sebaran temuan dan konteksnya.

    2. Aspek lingkungan sebagai pendukung keberadaan situs, baik lingkungan

    yang memiliki konteks masa lalu, maupun dukungan keserasian dan

    keselarasan antara situs dan lingkungannya pada saat ini.

    3. Aspek keamanan dan perlindungan situs.

  •  

      40  

    Pada penentuan batas zona penyangga ditetapkan berdasakan sumber

    ancaman, luas dihitung berdasakan jenis dan besar ancaman yang dihadapi dan

    disesuaikan dengan kondisi keruangan yang memungkinkan. Sedangkan zona

    pengembangan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kemungkinan bentuk

    pengelolaan yang akan dikembangkan atau berdasarkan pada perencanaan

    pengelolaan yang telah ada sekaligus mengatur standar pengelolaan ruang yang

    tidak mengganggu situs.

    2.3.8 Arsitektur kolonial

    Berbicara tentang arsitektur kolonial Belanda di Indonesia ibarat

    membicarakan anak yang hilang. Di Belanda sendiri arsitektur kolonial di

    Indonesia kurang mendapat perhatian. Hal ini mungkin disebabkan karena mereka

    sibuk akan masalahnya sendiri, serta iklim dan cara hidup yang memang berbeda.

    Di Indonesia, setelah kemerdekaan dan awal orde baru arsitektur kolonial juga

    kurang mendapat perhatian. Terbukti dengan miskinnya publikasi tentang

    arsitektur kolonial diterbitkan. Padahal arsitektur kolonial di Indonesia diakui oleh

    banyak arsitek Internasional seperti H.P. Berlage, Granpre Moliere dan

    sebagainya, mempunyai mutu yang sangat tinggi. Arsitektur kolonial Belanda di

    Indonesia sampai sekarang masih banyak mendominasi pemandangan kota-kota

    besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya (Handinoto, 2010 : 24).

    Kolonial berasal dari kata coloni atau koloni yang berarti adalah tanah

    permukiman atau tanah jajahan. Dalam pengertian yang lebih luas, koloni adalah

    daerah permukiman warga suatu negara di luar negara mereka, biasanya di

  •  

      41  

    seberang lautan, kemudian dinyatakan sebagai negara merdeka. Kolonial dalam

    Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan

    dengan sifat jajahan dan secara pemerintahan dengan mendirikan benteng dan

    menguasai jalur pelayaran di pulau itu. Arsitektur kolonial adalah lingkungan

    geografis yang diciptakan sehingga mirip dengan tanah air negara penjajah

    (Knight, 1975 : 423).

    Dalam bukunya yang berjudul “Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa

    Kolonial” Handinoto membicarakan bahwa sebelum tahun 1900, arsitektur

    kolonial Belanda punya mutu yang sangat rendah sekali. Hal ini disebabkan

    karena tidak adanya arsitek profesional yang berpendidikan akademis berpraktek

    di Indonesia sebelum tahun 1900. Gaya arsitektur kolonial sebelum tahun 1900 ini

    disebut sebagai “Empire Style” (gaya imperial), yang dipopulerkan oleh Daendels

    pada akhir abad ke-19. Gaya “Empire Style” yang berasal dari Perancis tersebut

    diterjemahkan secara bebas, dan terbentuklah gaya Hindia Belanda yang bercitra

    kolonial yang disesuaikan dengan lingkungan lokal dan iklim serta tersedianya

    material setempat. Prototype dari gaya bangunan tersebut bisa dilukiskan sebagai

    berikut :

    1. Denahnya simetri penuh.

    2. Temboknya tebal.

    3. Langit-langitnya tinggi.

    4. Lantainya dari marmer.

    5. Di tengah ruangan terdapat center room yang berhubungan langsung dengan

    beranda depan dan belakang.

  •  

      42  

    6. Beranda depan dan belakang terbuka tanpa tembok, yang biasanya sangat

    luas. Diujung beranda itu terdapat barisan kolom Yunani (doric, ionic, dsb),

    berfungsi sebagai pendukung atap yang menjulang ke atas.

    7. Di samping kiri – kanan central room tersebut terdapat kamar-kamar tidur.

    Kadang – kadang central room berhubungan dengan galeri samping, dapur,

    kamar mandi/wc.

    8. Fasilitas service lainnya seperti gudang dan sebagainya merupakan bagian

    tersendiri di belakang.

    9. Di samping bangunan utama bisanya juga terdapat paviliun yang digunakan

    sebagai kamar tidur tamu.

    10. Keseluruhan bangunan biasanya terletak pada sebidang tanah yang cukup

    luas dengan kebun di depan, samping, dan belakang rumah.

    11. Di bagian depan biasanya terdapat jalan yang melingkar untuk kendaraan

    yang disampingnya ditamani dengan pohon – pohon palem.

    Setelah tahun 1900 banyak arsitek Belanda yang berpendidikan akademis

    mulai berdatangan ke Hindia Belanda. Mereka ini mereka menyebut gaya

    arsitektur “Empire Style” tersebut seolah-olah seperti pohon tanpa akar. Tahun

    1920-an merupakan tahun pemantapan bagi kekuasaaan Belanda di Indonesia.

    Baik secara politis maupun ekonomi. Justru pada awal abad ke-20 ini di Eropa

    dan Amerika muncul beberapa teori desain, gaya arsitektur maupun apa yang

    diistilahkan sebagai “school”. Konsep kreasi dan organisasi yang muncul tersebut

    antara lain seperti: “Art Noveau” dari Belgia, “Art and Craft of the Machine”

    dari Frank Lyod Wright, juga “Organic Architecture” dari Frank. Walter

  •  

      43  

    Grophius dengan “Bauhaus”. “De Style” dengan “neo plastiscicm” “Amsterdam

    School” dengan ekspresionismenya dan sebagainya. Teori-teori tersebut sangat

    dikenal di Belanda, baik melalui wujud bangunannya sendiri maupun melalui

    publikasi. Kemajuan pelayaran dengan kapal api pada abad ke-20, membuat jarak

    antara Eropa dan Batavia menjadi lebih singkat.

    2.3.8.1 Ciri – ciri aristektur kolonial Belanda di Indonesia

    Secara umum ciri – ciri spesifik dari bangunan kolonial Belanda di Indonesia

    adalah dipengaruhi gaya arsitektur modern, klasik, tradisional dan beradaptasi

    dengan iklim tropis (Sumalyo, 1993 : 222).

    1. Arsitektur tradisional

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendefiniskan arsitektur

    tradisional sebagai salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan

    berkembang sejalan dengan perkembangan suatu bangsa, oleh karena itu

    arsitektur tradisional merupakan salah satu identitas dari pendukung

    kebudayaan. Dalam arsitektur tradisional terkandung secara terpadu wujud

    ideal, wujud sosial, dan wujud material suatu kebudayaan (Anonim, 1985 :

    1).

    2. Arsitektur klasik

    Bangunan beraksitektur klasik adalah bangunan yang elemen

    dekorasinya secara langsung maupun tidak langsung berasal dari kejayaan

    arsitektural zaman kuno (Summerson, 1980:8). Arsitektur klasik mempunyai

    akar pada kebudayaan Yunani dan Romawi. Ciri khususnya adalah bangunan

  •  

      44  

    terdiri dari kepala, badan, dan kaki, serta menampakkan bentuk yang simetris.

    Arsitektur klasik pada umumnya menciptakan kesan megah yang didapatkan

    dari kolom-kolom penyangga yang besar, detil ornamen pada fasad

    bangunan, dan skala massa bangunan yang berukuran besar.

    Era arsitektur klasik Indonesia yang dipandang ialah pada masa ekspansi

    besar kultur Hindu-Buddha hingga Asia Tenggara yang terjadi antara abad

    ke-2 sebelum masehi. Warisan yang kaya ini dicontohkan oleh bangunan

    monumental yang terbuat dari batu alam atau batu bata dalam berbagai

    ukuran yang dapat ditemukan di bagian barat Indonesia, Jawa, dan beberapa

    bagian Indonesia Timur. Sebagian besar bangunan ini digunakan sebagai

    tempat ritual, upacara, pemerintahan, atau hunian. Karena peradaban tinggi

    yang diekspresikan oleh warisan arsitektural ini, kadang-kadang peradaban

    itu disebut pula sebagai era arsitektur klasik Indonesia (Nas dan de Vietter,

    2009 : 30).

    3. Arsitektur tropis

    Arsitektur tropis adalah arsitektur yang berada di daerah tropis atau

    arsitektur yang beradaptasi terhadap iklim tropis. Secara umum, ciri – ciri

    dari arsitektur tropis adalah sebagai berikut (Trihayati, 2005: 27).

    1. Atap dibuat miring agar air hujan langsung turun ke bawah.

    2. Bahan atap yang sangat baik digunakan adalah genteng tembikar atau

    keramik, karena bahan tersebut rapat air dan cukup memperlambat

    penerusan panas ke bawah.

  •  

      45  

    3. Langit-langit atap ditinggikan agar dapat mendinginkan suhu ruangan di

    dalam bangunan.

    4. Penggunaan jalusi pada jendela.

    5. Memburamkan permukaan kaca jendela (misalnya dengan kaca berwarna

    pada sistem kaca patri).

    6. Penggunaan kanopi di atas jendela untuk melindungi bangunan dari

    tampias air hujan.

    7. Penggunaan elemen batu alam pada dinding akan menambah kesejukan

    di dalam ruangan.

    8. Warna terang pada dinding akan memantulkan cahaya siang dan

    menambah tingkat penerangan pada ruang.

    9. Beranda atau teras di sekeliling bangunan perlu diadakan sebagai transisi

    udara dari luar ke dalam bangunan

    4. Arsitektur modern

    Sekitar tahun 1920 saat terjadi Perang Dunia II di negara Eropa banyak

    bangunan hancur, sehingga dibutuhkan pembangunan yang cepat, sesuai

    fungsi, dan tidak memakan biaya. Pada akhirnya rumah yang dihasilkan

    memiliki gaya arsitektur yang dikenal sebagai arsitektur modern. Arsitektur

    modern adalah suatu gaya dalam arsitektur yang mengembangkan bentuk –

    bentuk arsitektur yang lebih ringan dan sederhana dibandingkan dengan

    karya-karya arsitektur zaman sebelumnya. Cikal bakal arsitektur modern

    mengusung sebuah paham yang terkenal yakni “form follow function” atau

  •  

      46  

    bentuk mengikuti fungsi. Prinsip arsitektur modern ini menimbulkan ciri –

    ciri umum pada bangunan modern (Alison dan Smithson, 1981:9), yakni :

    1. Bangunan berbentuk kubus.

    2. Denahnya tersusun secara geometrik.

    3. Menggunakan warna yang cerah dan terbuat dari material yang berkilau.

    4. Banyak menggunakan jenis material alam.

    Masuknya gaya arsitektur modern berangsur menggeser gaya neoklasik

    yang telah berkembang subur di Indonesia. Pada awalnya bentuk bangunan

    masih merupakan kombinasi arsitektur neoklasik dengan arsitektur modern

    namun telah banyak mengalami penyerderhanaan-penyederhanaan elemen

    dekoratif dan ornamen serta menampilkan corak abstrak geometrik belaka.

    Perkembangan arsiterktur modern mencapai puncaknya sekitar tahun 1930,

    dimana banyak dibangun bangunan dengan gaya ini. Gaya arsitektur modern

    terus berkembang sampai akhir masa penjajahan Belanda yaitu sekitar tahun

    1940.

    2.3.8.2 Perkembangan arsitektur kolonial di Bali

    Bali bukanlah daerah yang luas dan juga bukanlah pusat perdagangan

    maupun pusat pemerintahan penjajahan Belanda, sehingga tidak banyak fasilitas

    kantor perdagangan atau fasilitas kantor pemerintahan yang dibangun. Pasca

    jatuhnya Bali yang ditandai dengan kemenangan pihak Belanda pada perang

    Puputan Klungkung dan Badung. Arsitektur digunakan untuk mempertahankan

    kekuasaan kolonial, pembangunan ekonomi kolonial, dan kolonisasi. Sehingga

  •  

      47  

    bangunan kolonial Belanda di Bali sebagian besar adalah milik para bangsawan,

    punggawa, dan pejabat pemerintah Belanda pada waktu itu. Hal ini menunjukkan

    bahwa seseorang mampu membangun rumah tinggal yang sesuai dengan mode

    arsitektur saat itu adalah para bangsawan, pejabat pemerintah, dan yang memiliki

    kemampuan ekonomi yang cukup baik (Siwalatri, 1993:14). Berdasarkan laporan

    penelitian Ni Ketut Ayu Siwalatri yang berjudul “Identifikasi Arsitektur Kolonial

    di Bali” pada tahun 1993 menyebutkan bahwa berdasarkan perioda tahun

    pembangunannya, bangunan kolonial Belanda di Bali dapat dibagi menjadi 5

    (lima) periode, yaitu :

    1. Periode sebelum tahun 1900

    Pada periode ini bangunan yang milik orang Belanda nampak

    menggunakan corak Art Noveou, sedangkan bangunan milik pribumi masih

    menggunakan kombinasi konsep arsitektur tradisional Bali dengan konsep

    arsitektur barat. Sedangkan sistem struktur menggunakan sistem yang

    sederhana yaitu sistem dinding pemikul yang pelaksanaannya sangat

    sederhana sehingga dapat dikerjakan oleh tenaga terampil setempat. Dengan

    ketebalan dinding satu batu juga dapat berfungsi sebagai unsur isolator panas,

    sehingga penghawaaan di dalam ruangan lebih nyaman. Penggunaan plafon

    yang tinggi bertujuan untuk memperbesar volume ruangan sehingga udara

    terasa nyaman.

    Bahan bangunan yang digunakan semuanya menggunakan bahan

    bangunan kelas utama sehingga dapat bertahan sampai sekarang. Pemakaian

  •  

      48  

    ornamen, elemen dekoratif lainnya masih dijumpai pada perioda ini walaupun

    sudah banyak disederhanakan.

    2. Periode tahun 1900 – 1910

    Pada periode ini corak neoklasik masih nampak, walaupun tidak lengkap

    dan tidak terlalu dominan. Bentuk denah masih ditata dengan bentuk

    setangkup. Bahan bangunan menggunakan kualitas utama dan bahan import.

    Ornamen yang digunakan sudah lebih sederhana dan sedikit, penyelesaian

    tampak bangunan dengan corak art deco.

    3. Periode tahun 1911 – 1920

    Bentuk denah masih setangkup dan di beberapa tempat masih nampak

    sisa corak neoklasik. Pemakaian ornamen sudah mulai menghilang dan lebih

    banyak menggunakan permainan abstrak dan geometri saja. Penggunaan

    bahan bangunan dengan kualitas utama dan beberapa menggunakan bahan

    import dari Belanda.

    4. Periode tahun 1920 – 1930

    Pada periode ini konsep arsitektur modern telah diterapkan dengan tegas.

    Bentuk-bentuk diciptakan dengan bebas sesuai dengan keinginan pemilik dan

    fungsi yang akan diwadahinya. Ornamen dan elemen dekoratif lainnya sudah

    ditinggalkan diganti dengan permainan bidang, garis, dan warna. Penampilan

    bangunan masih diselesaikan dengan corak art deco

    .

  •  

      49  

    5. Periode tahun 1930 – 1940

    Pada periode ini konsep arsitektur modern masih diterapkan dengan

    sangat jelas dan bentuk yang berkembangdengan bebas. Pemakaian

    kombinasi warna semakin bervariasi sesuai dengan kebutuhan.

    Penelitian lainnya mengenai arsitektur kolonial Belanda di Bali juga pernah

    dilakukan Agus Kurniawan (2015), dalam tesisnya yang berjudul “Konservasi

    Fasade Bangunan Kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja Bali” menyebutkan

    ciri-ciri bangunan arsitektur peninggalan kolonial Belanda pada umumnya di jalur

    Belanda di Kota Singaraja adalah sebagai berikut :

    1. Luas kavling rumah relatif besar, sehingga KLB (koefisien luas

    bangunan)/KDB (koefisien dasar bangunan) sangat memenuhi standar layak

    untuk sebuah bangunan, dengan halaman rumah yang luas.

    2. Bentuk atap dari genteng (bentuk ujung atap segitiga) dengan motif gable

    (gaya atap klasik eropa), dengan cat rumah rata-rata berwarna putih dan

    minim akan ornamen/hiasan bangunan.

    3. Struktur bangunan sangat kokoh dengan ketebalan dinding satu batu (sekitar

    ± 30 cm) dengan bahan batu bata merah. Kedudukan plafon, kusen pintu,

    serta jendela yang sangat tinggi.

    4. Penggunaan daun jendela krepyak kayu (membentuk sirkulasi udara), sistem

    ventilasi atau oculus & lorong yang berfungsi sebagai isolasi panas.

    5. Bentuk masa bangunan induk simetris dan disertai dengan koridor (beratap)

    penghubung dengan bantuan servis.

  •  

      50  

    2.4 Model Penelitian

    Model penelitian adalah abstraksi dan sintesis dari landasan berpikir yang

    bersumber dari teori dengan permasalahan penelitian. Rumusan masalah

    merupakan indikator untuk menentukan teori yang akan digunakan untuk

    menganalisisnya. Konsep yang ada yakni mengenai nilai signifikansi dan cagar

    budaya akan menjadi sebuah penjelasan tentang hal yang dicari dalam penelitian

    ini yakni kondisi fisik, arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

    agama, dan kebudayaan, serta strategi konservasi yang dapat diterapkan di Hotel

    Inna Bali. Model penelitian ditunjukkan pada Diagram 2.3.

  •  

      51  

    Diagram 2.3

    Model penelitian