Upload
doanmien
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran tentang tinjauan kepustakaan atas diskresi yang Penulis uraikan
dalam bab ini tidak lain dimaksudkan yntuk menjawab pertanyaan dalam rumusan
masalah, yaitu bagaimana diskresi sebagai cara penyelesaiaan sengketa atau
perbedaan pendapat dengan keterlibatan investor asing dalam kegiatan penanaman
modal di Indonesia.
Gambaran tinjauan kepustakaan atas konsep diskresi tersebut terdiri dari
hakikat diskresi, pertanggung jawaban diskresi, bentuk diskresi yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban, pertanggungjawaban pengadilan pengguna
diskresi, dan arti penting dari studi kepustakaan diskresi.
2.1 Konsep Diskresi
Diskresi1
berasal dari bahasa Belanda “Discretionair” yang berarti
kebijaksanaan dalam hal seseorang pejabat yang berwenang memutuskan sesuatu
tindakan berdasarkan ketentuan-katentuan peraturan, Undang-undang atau hukum
yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan. Dalam
Bahasa Inggris mengartikan diskresi diartikan sebagai suatu kebijaksanaan,
keleluasaan.
1 Black Law Dictionary.
22
Sedangkan diskresi sendiri dalam kamus hukum memiliki pengertian sebagai
suatu “kebebasan seorang pejabat mengambil keputusan dalam setiap situasi yang
dihadapi menurut pendapatnya sendiri”.2
Ada dua bentuk diskresi yaitu (1) diskresi bebas, dalam diskresi bebas
undang-undang hanya menetapkan batas-batas dan Administrasi Negara bebas
mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui atau melanggar batas-batas
tersebut; sedangkan dalam yang ke dua (2) diskresi terikat, undang-undang
menetapkan bebarapa alternatif keputusan dan Administrasi Negara bebas memilih
salah satu alternatif keputusan yang disediakan oleh Undang-undang.3
Diskresi yang juga disebut sebagai freies ermessen adalah kebebasan untuk
bertindak atas inisiatif sendiri. Akan tetapi, Pustaka yang ada menerangkan bahwa
dalam pelaksanaan diskresi haruslah tindakan-tindakan Administrasi Negara itu
sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam negara hukum.4
Freies ermessen atau juga dikenal dengan istilah discretionary power adalah
kewenangan Administrasi Negara untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna
melaksanakan tugas-tugas mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial
atau warga negara.5
2 JCT Simorangkir, SH, dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 38.
3 Julista Mustamu, SH., MH., Diskresi & Tanggungjawab Administrasi Pemerintah, Jurnal Sasi
Vol.17 No. 2, 2011, hlm. 3.
4 Prof. Dr. Sjachran Basah, SH., CN., Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi Negara di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 3
5 Ridwan HR, SH., Mhum., Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 51.
23
Diskresi sendiri diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang
bergerak bagi pejabat atau badan-badan Administrasi Negara untuk melakukan
tindankan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang, atau tindakan yang
dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada sesuai
dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).6
Freies ermessen digunakan terutama karena; pertama, kondisi darurat yang
tidak memungkinkan untuk menerapkan ketentuan tertulis; kedua, tidak ada atau
belum ada peraturan yang mengaturnya; ketiga, sudah ada peraturannya namun
redaksinya samar atau multitafsir.
Kebebasan dalam diskresi tersebut adalah kebebasan Administrator yang
mencakup kebebasan Administrasi (interpretatieverijheid), kebebasan
mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan kebebasan mengambil kebijakan
(beleidsvrijheid).
Kebebasan interpretasi mengimplikasikan kebebasan yang dimiliki organ
pemerintah untuk menginterpretasikan suatu undang-undang.
Kebebasan mempertimbangkan muncul ketika undang-undang menampilkan
dua pilihan (alternatif) kewenangan terhadap persyaratan tertentu yang
pelaksanaannya dapat dipilih oleh organ pemerintahan. Sedangkan kebebasan
mengambil kebijakan lahir ketika pembuat undang-undang memberikan kewenangan
6 Ibid. hlm. 80-81.
24
kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan
inventarisasi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan.7
Freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada Alat
Administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan Alat
Administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada
berpegang teguh kepada ketentuan hukum.8 Yang sejatinya mengharuskan untuk
sebagai Alat Negara mengambil perkenan mengutamakan keefektifan tercapainya
tujuan yang sesuai dengan hukum.
Selanjutnya ada pula yang mengartikan freies ermessen yaitu freies ermessen
sebagai kemerdekaan bertindak administrasi negara atau pemerintah (eksekutif)
untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang
memaksa, dimana peraturan penyelesaian untuk masalah itu belum ada.9 Menurut
penulis belum ada aturan tertulis tetapi ada dalam hukum yang selalu tertulis.
Begitu pula ada yang mengatakan dengan bersandar kepada freies ermessen
Administrasi Negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai
tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan
kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen
hukum. Artinya, bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk
7 Ibid, hlm. 81-82.
8 Nata Saputra SH., Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, hlm. 15. .
9 Diana Halim Koentjoro SH., MHum., Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004,
hlm. 41.
25
bertindak, administrasi Negara juga diberikan kewenangan untuk membuat
instrumen hukumnya.10
Lebih jauh, dalam melaksanakan tugas, pada dasarnya Pemerintah tidak
hanya melaksanakan undang-undang tetapi juga melakukan perbuatan-perbuatan atau
tindakan-tindakan yang belum diatur secara tegas oleh undang-undang (Diskresi).11
Kekuasaan diskresi meng-ada sebagai kekuasaan pemerintah tersebut
berpotensi untuk terjadi tindakan diskresi oleh pemerintah, dalam situasi-kondisi
dimana hukum ceteris paribus (semua variable dalam keadaan sama) berlaku, maka
asas legalitas yang berlaku dan kekuasaan pemerintah di bawah asas legalitas adalah
kekuasaan terikat. Adapun dalam situasi kondisi abnormal dimana hukum citeris
paribus tidak berlaku, maka demi hukum asas legalitas tidak berlaku dan kekuasaan
pemerintah dalam situasi demikian kekuasaan bebas atau diskresi. 12
Pula, Diskresi ini merupakan refleksi pengakuan bahwa konsep penegakan
hukum secara total (total enforcement) dilaksanakan, sehingga yang terjadi adalah
diskresi menjadi sumber pembaharuan regulasi apabila direkam dan dipantau dengan
baik sistemis.13
10
Prof. Dr. Sukamto Satoto SH., MH., Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik
Magister Ilmu Hukum, Universitas Jambi, 2011, hlm. 1.
11
Prof. Dr. Phillipus M. Hadjon SH., dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 270- 278.
12
Khrisna D. Darumurti SH., MH., Kekuasaan Diskresi Pemerintahan (Kajian Konsep, Dasar
Pengujian, Dan Sarana Kontrol), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 6-8.
13
Hasil Penelitian Penulis, Membaca Undang-undang Kepolisisan.
26
Didalam undang-undang kepolisisan “diskresi” dalam Pasal 18 Ayat (1)
untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri.14
Sementara itu, menurut penjelasan Pasal 18 Ayat (1) yang dimaksud dengan
“bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat
dilakukan oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam
bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-
betul untuk kepentingan umum.
Memperhatikan berbagai pengertian diskresi tersebut di atas maka dapat
dikatakan bahwa pada hakikatnya diskresi adalah suatu kontrak (a contract), dimana
hukum memberikan wewenang kepada pejabat sebagai pihak menyangkut
pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan
keyakinan pribadi seseorang pejabat yang berwenang. Arti Kontrak menghakikati
diskresi sebagai suatu kontrak dirujuk dari karya tulis Jeferson Kameo S.H., LLM.,
PhD yaitu Kontrak Sebagai Nama Dari Ilmu Hukum yang pengertiannya adalah :
segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain
untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk
oranglain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh
hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat
sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki.
14
Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
27
2.2 Pihak yang Berwenang dalam Penggunaan Diskresi
Negara yang bermaksud atau bertujuan mensejahterakan rakyatnya seringkali
bertemu dengan suatu permasalahan yang memerlukan tindakan-tindakan di luar
kewenangannya yang bersifat terikat dalam suatu hukum. Tindakan nyata secara
normal terhadap penyelenggaraan pemerintahan agar service public dapat
dilaksanakan dan berjalan dengan maksimal. Agar servis publik dapat dilaksanakan
dan mencapai hasil maksimal, kepada Administrasi Negara diberikan suatu
kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai
permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara
terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum
penyelesaiannya oleh lembaga legislative,15
tetapi di dalam hukum.
Jawaban atas pertanyaan siapakah pihak-pihak yang berwenang (the parties
of the contract) untuk penggunaan diskresi adalah suatu pertanyaan dalam pengertian
legal issue yang sangat relevan apabila orang memandang bahwa diskresi itu pada
hakikatnya adalah suatu kontrak. Disini sudah barang tentu pihak tersebut adalah
milik badan atau para Pejabat Negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang
(inherent aan het bestuur).16
Badan atau Pejabat Negara tersebut di atas diberikan wewenang badan atau
pejabat pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya yang memungkinkan untuk
15
Patuan Sinaga SH., MH., Hubungan antara kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam buku Dr. SF Marbun SH., MHum. dkk, Dimensi-Dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 73.
16
Julista Mustamu, SH., MH., Op. Cit, Jurnal Sasi Vol.17 No. 2, 2011, hlm. 2.
28
melakukan pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan atau tindakan faktual
dalam administrasi pemerintahan.17
Badan yang memiliki kewenangan untuk
menetapkan keputusan diskresi adalah : (1) Presiden; (2) Para Menteri atau Pejabat
setingkat Menteri; (3) Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan
Udara; (3) Kepala Kepolisian Negara; (4) Ketua Komisi/Dewan dan Lembaga setara;
(4) Gubernur; (5) Bupati dan Walikota; (5) Pejabat Eselon I di Pemerintah Pusat dan
Provinsi; (6) Sekretraris Daerah Kabupaten/Kota; (7) Pimpinan Badan, Serta pejabat
operasional yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan diskresi karena
tugasnya berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat seperti: (a) Kepala
resort Kepolisian Negara; dan (b) Camat.
Selain jabatan-jabatan dan pejabat tersebut diatas, pada prinsipnya setiap
pejabat yang menjalankan urusan pemerintahan yang memiliki kewenangan secara
atributif maupun delegasi memiliki kewenangan diskresi atau dalam pandangan
penulis adalah pihak, karena kewenangan diskresi merupakan pelengkap dari asas
legalitas.18
2.3. Pertanggungjawaban Diskresi
Setiap penggunaan wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggung
jawab, sesuai dengan prinsip hukum kontrak pada umumnya yaitu “deen
bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid” (tidak ada kewenangan tanpa
17
Pasal 6, Draft, Rancangan Undang Undang tentang Administrasi Pemerintahan, Tahun 2008.
18
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan.
29
pertanggungjawaban). Karena wewenang itu melekat pada jabatan, namun dalam
implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan,
maka siapa yang harus memikul tanggung jawab hukum ketika terjadi penyimpangan
harus dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung
jawab jabatan dan dapat pula berupa tanggung gugat pribadi.19
Ada dua bentuk tanggung jawab terhadap penggunaan diskresi, yakni : (1)
Tanggung jawab jabatan terjadi ketika pembuat kebijakan menggunakan diskresi
untuk dan atas nama jabatan, (2) Tanggung jawab pribadi diterapkan dalam hal
pembuat kebijakan melakukan tindakan mal-administrasi,20
dan harus bertanggung
jawab secara pribadi.
Selanjutnya terhadap keputusan diskresi yang menimbulkan akibat tindakan
pidana, harus menjadi tanggung jawab Pejabat Administrasi Pemeritahan atau Badan
yang bersangkutan; dan Keputusan diskresi yang menimbulkan akibat pada kerugian
perdata bagi perorangan, kelompok masyarakat, atau organisasi menjadi tanggung
jawab Pejabat Pemerintah yang menetapkan keputusan diskresi serta keputusan
diskresi yang diakibatkan oleh kelalaian Pejabat Administrasi Pemerintahan atau
Badan, atau karena adanya kolusi, korupsi dan nepotisme, yang dapat merugikan
keuangaan Negara atau Daerah dan/atau bertentangan dengan kebijakan Negara,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah atau dapat menguntungkan pihak ketiga, dan
pihak lain menjadi tanggung jawab pribadi (foult de personale) yang mana Pejabat
19
Julista Mustamu SH., MH., Op. Cit, Jurnal Sasi Vol.17 No. 2, 2011, hlm. 6.
20
Ibid, hlm. 8.
30
Administrasi Pemerintahan yang tidak dapat dibebankan kepada negara baik perdata
maupun pidana.
2.4. Bentuk Diskresi yang Dimintakan Pertanggungjawaban
Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintah melakukan berbagai tindakan
hukum dengan menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan
kegiatan, mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan,
seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan
kebijaksanaan, perizinan, dan sebagainya.21
Dari beberapa instrumen yuridis tersebut di atas itu merupakan bentuk dari
diskresi yang dijalankan oleh pejabat dan terhadap pejabat yang menjalankan tugas
kontraktual itu lah dapat dimintakan pertanggungjawaban, baik dalam maupun di
luar pengadilan sesuai dengan prinsip equality before the law.
2.5. Pertanggungjawaban Pengadilan Pengguna Diskresi
Permintaan pertanggungjawaban pengadilan atas penggunaan diskresi oleh
badan atau pejabat Negara dapat dilakukan dengan berdasarkan atas asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AAUPB). Penyimpangan terhadap penggunaan diskresi
dapat diuji melalui peradilan dan pembuat kebijakan akan dibebani tanggung
21
Ridwan HR SH., MHum., Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 95
31
jawab.22
Di Inggris, pengertian terhadap hal itu disebut dengan konsep judicial
review.
Itu cara atau proses pengujiannya yaitu dengan asas spesialitas
(specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan
kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu. Jika menyimpang dari tujuan
diberikannya wewenang maka akan dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang
(abuse of power). Unsur sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau
kepantasan (redelijk). Suatu kebijakan dikategorikan mengandung unsur willekeur
jika kebijakan itu nyata-nyata tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk
onredelijk).23
Orang sering menggampangkan hal itu tidak adil atau unjust.
Pasal 6 Ayat (2) dan Ayat (3) dari Rancangan Undang-undang Administrasi
Pemerintahan pernah menyebutkan bahwa penggunaan diskresi wajib
dipertanggungjawabkan kepada Pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan
akibat keputusan diskresi yang telah diambil serta dapat diuji melalui upaya
administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.
Alasan atas dapat dimintakannya kegunaan diskresi itu sendiri didasarkan
pada persoalan penting yang mendesak, sekurang-kurangnya mengandung unsur-
unsur sebagai berikut : (1) Persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut
kepentingan umum,24
yang dimaksud adalah, kepentingan bangsa dan negara,
22
Ibid.
23
Ibid, hlm. 4-5.
32
kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak atau bersama, serta
kepentingan pembangunan; (2) Munculnya persoalan tersebut secara tiba-tiba, berada
diluar rencana yang telah ditentukan; (3) Untuk menyelesaikan persoalan tersebut,
peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara
umum, sehingga Administrasi Negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan
atas inisiatif sendiri; (4) Prosedurnya tidak dapat diselesaikan menurut administrasi
yang normal, atau jika diselesaikan menurut prosedur administrasi yang normal
justru kurang berdaya guna dan berhasil gunaatau dapat menciptakan ketidak adilan
dan penindasan yang membabi buta.; dan (5) Jika persoalan tersebut tidak
diselesaikan dengan cepat, maka akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan
umum.25
Dari beberapa penjelasan di atas permintaan pertanggungjawaban pengadilan
atas penggunaan diskresi oleh Badan atau Pejabat Negara dapat dilakukan dengan
berdasarkan atas asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) artinya, seperti
penulis telah kemukakan di atas penyimpangan terhadap penggunaan diskresi dapat
diuji melalui peradilan dan pembuat kebijakan akan dibebani tanggungjawab yang
mana suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu keputusan pada kondisi
tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang karena adanya hal
ikhwal kegentingan yang memaksa untuk segera dilakukannya tindakan-tindakan
24
Kepentingan umum menurut penjelasan Pasal 49 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau
kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
25
Dr. SF Marbun SH., MHum., dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII
Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 117.
33
tertentu demi kepentingan umum seperti yang dijelaskan oleh Pasal 49 Undang
Undang No. 5 tahun 1986.26
2.6. Arti Penting dari Studi Kepustakaan Terhadap Diskresi
Penulis di atas memberikan kejelasan terhadap doktrin-doktrin hukum terkait
dengan masalah atau objek yang akan diteliti oleh Penulis yaitu “Diskresi Sebagai
Cara Penyelesaian Sengketa yang Melibatkan Investor Asing yang Melakukan
Penanaman Modal di Indonesia”. arti penting atas studi kepustakaan terhadap
Diskresi yang dimaksud dalam skripsi ini.
Arti penting yang pertama dari tinjauan terhadap kepustakaan yang ada
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan diskresi untuk menjawaba rumusan masalah
penelitian ini adalah, yang terutama; diskresi itu adalah suatu kaontrak (a contract).
Sebagai suatu kontrak maka diskresi itu adalah suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pihak (a parti to contract), yang dalam hal ini, terutama adalah
dengan cara menurut pejabat Administrasi Negara yang telah diberikan (power to
contract) untuk itu hukum.
Pihak (a parti to contract) yang melaksanakan kesenangan diskresi tersebut
bertindak dalam batas-batas janji yang telah diucapkannya, demikian pula dengan
perjanjian yang telah dibuatnya dengan pihak warga masyarakat atau karena adanya
tuntutan hukum, yang antara lain ialah UU, Kepatutan, kesusilaan, kepantasan, dan
26
Lihat Catatan Kaki ke 23 di atas. UU No. 5 tahun 1986 yang juga telah dua kali dirubah.
34
juga tuntutan keadilan (justice) meskipun tidak ada perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya.