21
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan kajian teoritis dan kajian empiris. Kajian teoritis dalam penelitian ini terdiri dari grand theory dan supporting theori. Grand theory yang digunakan adalah teori kontijensi. Sedangkan supporting theory menggunakan teori harapan serta teori motivasi X dan Y, dan teori dua faktor motivasi, kepuasan kerja, kompetensi, komitmen organisasi, dan kinerja auditor. Kajian empiris yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. 2.1 Teori Kontijensi Teori kontinjensi menyatakan bahwa tidak ada sistem akuntansi manajemen yang dapat diterapkan secara universal. Keefektifan penerapan sebuah sistem bergantung kepada kesesuaian antara sistem tersebut dengan lingkungan dimana sistem tersebut diterapkan (Otley, 1980). Lebih lanjut, Otley (1980) menekankan bahwa desain sistem pengendalian dan perencanaan adalah keadaan khusus yang tidak ada ketentuan umum mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam situasi khusus tersebut, dan ada ketidakpastian atau kontinjensi (contingency) dari aktivitas dan teknik yang membangun sistem pengendalian dan sistem perencanaan suatu organisasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.pdf · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan kajian teoritis dan kajian empiris. Kajian teoritis dalam penelitian ini terdiri dari grand

Embed Size (px)

Citation preview

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini menggunakan kajian teoritis dan kajian empiris. Kajian

teoritis dalam penelitian ini terdiri dari grand theory dan supporting theori. Grand

theory yang digunakan adalah teori kontijensi. Sedangkan supporting theory

menggunakan teori harapan serta teori motivasi X dan Y, dan teori dua faktor

motivasi, kepuasan kerja, kompetensi, komitmen organisasi, dan kinerja auditor.

Kajian empiris yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian-penelitian

yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

2.1 Teori Kontijensi

Teori kontinjensi menyatakan bahwa tidak ada sistem akuntansi

manajemen yang dapat diterapkan secara universal. Keefektifan penerapan sebuah

sistem bergantung kepada kesesuaian antara sistem tersebut dengan lingkungan

dimana sistem tersebut diterapkan (Otley, 1980). Lebih lanjut, Otley (1980)

menekankan bahwa desain sistem pengendalian dan perencanaan adalah keadaan

khusus yang tidak ada ketentuan umum mengenai apa yang seharusnya dilakukan

dalam situasi khusus tersebut, dan ada ketidakpastian atau kontinjensi

(contingency) dari aktivitas dan teknik yang membangun sistem pengendalian dan

sistem perencanaan suatu organisasi.

12

Pada penelitian in pendekatan kontijensi dilakukan dengan cara

menetapkan variabel komitmen organisasi sebagai variabel moderasi yang

mungkin akan mempengaruhi secara kuat atau lemah hubungan antara motivasi,

kepuasan kerja, dan kompetensi auditor pada kinerja auditor. Pemilihan variabel

ini mengacu pada pandangan bahwa karyawan memiliki komitmen terhadap

organisasinya, dengan tujuan untuk menumbuhkan loyalitas serta mendorong

keterlibatan diri karyawan yang bersangkutan dalam mengambil berbagai

keputusan Pencapaian tujuan organisasi merupakan hasil kerja semua anggota

organisasi yang bersifat kolektif. Auditor yang memiliki komitmen dalam

menjalankan profesinya akan loyal terhadap pekerjaannya, sehingga keberhasilan

auditor sangat ditentukan oleh interaksi komitmen dengan kompetensi,

profesionalisme dan juga komitmen terhadap bidang yang ditekuninya (Loket al,

2004).

Asri, dkk (2013) mengatakan bahwa penelitian dalam bidang akuntansi

manajemen biasanya menguji hubungan variabel-variabel kontekstual seperti

ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, struktur dan kultur

organisasional, ketidakpastian strategi dengan desain sistem akuntansi

manajemen. Teori kontijensi mengargumenkan bahwa kompetensi, independensi,

objektivitas, akuntabilitas dan integritas yang dimiliki auditor dengan etika auditor

dalam mencapai suatu kualitas audit yang baik akan bergantung pada suatu

kondisi tertentu.

13

2.2 Teori Harapan

Salah satu teori motivasi adalah Teori Harapan yang dikemukakan oleh

Victor Vroom dalam Wahyuni (2009). Menurut teori ini, motivasi merupakan

akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang

bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya

itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya

terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya

mendapatkannya. Teori harapan merupakan bagian dari motivasi yang membahas

adanya hubungan antara upaya melaksanakan kerja (job effort) dengan kinerja dan

hasil kinerja (performance outcome). Teori harapan memprediksi bahwa

seseorang akan mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi apabila mereka merasa

bahwa ada hubungan yang kuat antara usaha dan kinerja, kinerja dan

penghargaan, serta penghargaan dan pemenuhan tujuan-tujuan pribadi. Teori

Harapan ini didasarkan atas:

a) Harapan (Expectancy), adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi

karena perilaku. Harapan akan berkisar antara nilai negatif (sangat tidak

diinginkan sampai dengan nilai positif (sangat diinginkan). Harapan negatif

menunjukkan tidak ada kemungkinan sesuatu hasil akan muncul sebagai

akibat dari tindakan tertentu, bahkan hasilnya bisa lebih buruk. Sedangkan

harapan positif menunjukkan kepastian bahwa hasil tertentu akan muncul

sebagai konsekuensi dari suatu tindakan atau perilaku;

14

b) Nilai (Valence), adalah kekuatan relatif dari keinginan dan kebutuhan

seseorang. Suatu intensitas kebutuhan untuk mencapai hasil, berkenaan

dengan preferensi hasil yang dapat dilihat oleh setiap individu. Bagi seorang

individu, perilaku tertentu mempunyai nilai tertentu. Suatu hasil mempunyai

valensi positif apabila dipilih, tetapi sebaliknya mempunyai valensi negatif

jika tidak dipilih.

c) Pertautan (Instrumentality), yaitu besarnya kemungkinan bila bekerja secara

efektif, apakah akan terpenuhi keinginan dan kebutuhan tertentu yang

diharapkannya. Indeks yang merupakan tolok ukur berapa besarnya

perusahaan akan memberikan penghargaan atas hasil usahanya untuk

pemuasan kebutuhannya.

Menurut Siagan dalam Wahyuni (2009), teori harapan mengatakan bahwa

seseorang akan termotivasi untuk mengeluarkan tingkat usaha yang lebih tinggi

ketika mereka yakin bahwa usaha tersebut akan menghasilkan penilaian kinerja

yang baik, penilaian yang baik akan menghasilkan penghargaan-penghargaan

organisasional seperti bonus, kenaikan imbalan kerja, atau promosi, dan

penghargaan-penghargaan tersebut akan memuaskan tujuan-tujuan pribadi para

karyawan. Oleh karenanya, teori tersebut berfokus pada tiga hubungan:

1) Hubungan usaha-kinerja. Kemungkinan yang dirasakan oleh individu yang

mengeluarkan sejumlah usaha akan menghasilkan kinerja.

15

2) Hubungan kinerja-penghargaan. Tingkat sampai mana individu tersebut yakin

bahwa bekerja pada tingkat tertentu akan menghasilkan pencapaian yang

diinginkan.

3) Hubungan penghargaan tujuan-tujuan pribadi. Tingkat sampai mana

penghargaan-penghargaan organisasional memuaskan tujuan-tujuan pribadi

atau kebutuhan-kebutuhan seorang individu dan daya tarik dari penghargaan-

penghargaan potensial bagi individu tersebut.

Setiap hubungan ini akan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu (Efendy,

2010). Agar mendukung dalam menghasilkan kinerja yang baik, individu harus

mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk bekerja, dan sistem penilaian

kinerja yang mengukur kinerja individu tersebut harus dipandang adil dan

objektif, dengan artian bahwa dengan adanya independensi dan kompetensi yang

baik serta memiliki kepekaan terhadap etika profesi diharapkan akan

mempengaruhi dalam peningkatan kinerja auditor dalam melaksanakan tugasnya.

Motivasi akan tinggi sampai tingkat di mana penghargaan yang diterima seorang

individu atas kinerja yang tinggi memenuhi kebutuhan-kebutuhan dominan yang

konsisten dengan tujuan-tujuan individual (Robbins, 1996).

16

2.3 Teori X dan Y

Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda

mengenai manusia. Pada dasarnya yang satu negatif, yang ditandai sebagai teori

X, dan yang lain positif, yang ditandai dengan teori Y (Robbins, 2008:225).

Menurut teori X, empat asumsi yang dipegang para manajer adalah sebagai

berikut.

1) Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja, dan bila dimungkinkan akan

mencoba menghindarinya.

2) Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau

diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran.

3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal

bila mungkin.

4) Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang

terkait dengan kerja dan akan menunjuk-kan ambisi yang rendah.

Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat manusia ini,

McGregor mencatat empat asumsi positif, yang disebut sebagai teori Y:

1) Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan

istirahat atau bermain.

2) Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika

mereka memiliki komitmen pada sasaran.

3) Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan,

tanggung jawab.

17

4) Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua

orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.

2.4 Teori Dua Faktor

Herzberg (Hasibuan, 1990 : 177) mengemukakan teori motivasi berdasar

teori dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Faktor higiene (faktor

kesehatan) adalah faktor pekerjaan yang penting untuk adanya motivasi di tempat

kerja. Faktor ini tidak mengarah pada kepuasan positif untuk jangka panjang.

Tetapi jika faktor-faktor ini tidak hadir, maka muncul ketidakpuasan.

Faktor ini adalah faktor ekstrinsik untuk bekerja. Faktor higienis juga

disebut sebagai dissatisfiers atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk

menghindari ketidakpuasan. Faktor higiene (faktor kesehatan) adalah gambaran

kebutuhan fisiologis individu yang diharapkan untuk dipenuhi. Faktor higiene

(faktor kesehatan) meliputi gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi

kerja, jaminan kerja, hubungan antar pribadi, kebijaksanaan dan administrasi

perusahaan. Menurut Herzberg, faktor higiene (faktor kesehatan) tidak dapat

dianggap sebagai motivator. Faktor motivasi harus menghasilkan kepuasan

positif. Faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan dan memotivasi karyawan

untuk sebuah kinerja yang unggul disebut sebagai faktor pemuas. Karyawan

hanya menemukan faktor-faktor intrinsik yang berharga pada motivation factors

(faktor pemuas). Para motivator melambangkan kebutuhan psikologis yang

dirasakan sebagai manfaat tambahan.

18

Faktor motivasi dikaitkan dengan isi pekerjaan mencakup keberhasilan,

pengakuan, pekerjaan yang menantang, peningkatan dan pertumbuhan dalam

pekerjaan. Dalam keyakinannya bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya

merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang terhadap kerja dapat

sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu itu. Menurutnya, faktor

intrinsik seperti kemajuan, prestasi, pengakuan, dan tanggung jawab tampaknya

terkait dengan kepuasan kerja. Disisi lain, bila mereka tidak puas, mereka

cenderung mengaitkan dengan faktor-faktor ekstrinsik, seperti misalnya

pengawasan, gaji, kebijakan perusahaan, dan kondisi kerja.

Menurut hasil penelitian Herzberg ada tiga hal penting yang harus

diperhatikan dalam memotivasi bawahan (Hasibuan, 1990 : 176) yaitu:

1) Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang yang

mencakup perasaan berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan, dapat

menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semua itu.

2) Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama pada faktor yang

bersifat embel-embel saja dalam pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan,

istirahat dan lain-lain sejenisnya.

3) Karyawan akan kecewa bila peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan

menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan.

19

2.5 Pengertian Auditing

Menurut Haryono (2010:11) auditing adalah suatu proses sistimatis untuk

mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang

tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara obyektif untuk

menentukan tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah

ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang

berkepentingan. Pengauditan dikelompokan menjadi tiga tipe audit yaitu :

1) Audit Laporan Keuangan adalah jenis laporan audit yang digunakan untuk

mementukan apakah laporan keuangan sebagai informasi kuantitatif yang

tetah ditetapkan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah diterapkan.

2) Audit Kesesuaian adalah jenis audit yang digunakan untuk menetukan apakah

pihak yang diaudit telah mengikuti aturan yang telah di berikan oleh pihak

yang berwenang didalam pelaksananya.

3) Audit Operasional adalah jenis audit ini di gunakan untuk mengkaji setiap

bagian dari prosedur dan metode yang telah dijalankan oleh suatu organisasi

dengan tujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dari penerapan

prosedur tersebut.

2.6 Pengertian Auditor

Auditor adalah seseorang yang menyatakan pendapat atas kewajaran

dalam semua hal yang material, posisi keuangan hasil usaha dan arus kas yang

sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesia (Mulyadi, 2002:23).

Ditinjau dari sudut profesi akuntan publik, auditor adalah pemeriksaan

20

(examination) secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau

organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan

tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi

keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.

Menurut Mulyadi (2002:26) orang atau kelompok dalam melaksanakan

audit dapat dikelompokan menjadi tiga tipe auditor yaitu :

1) Auditor Independen adalah auditor profesi yang menyediakan jasanya kepada

masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang

dibuat oleh kliennya.

2) Auditor Pemerintah adalah auditor profesi yang bekerja diinstansi pemerintah

yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggung jawaban keuangan

yang ditunjukan kepada pemerintah.

3) Auditor Intern adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (swasta atau

negara) yang tugasnya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur

yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau

tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menetukan efisiensi dan

efektifitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan

informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.

21

2.7 Profesi Akuntan Publik

Harefa (dalam Abdul, 2008:13), konsep profesi akuntan publik

mengandung dua dimensi pengertian. Dimensi pertama berkaitan dengan sifat

kegiatan dan dimensi kedua berkaitan dengan tingkat kemahiran. Profesi akuntan

adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang

akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja

pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di

pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.

Pemerintah mensyaratkan pengalaman kerja sekurang-kurangnya tiga

tahun sebagai akuntan dengan reputasi baik di bidang audit (SK Menteri keuangan

No. 43/KMK.017/1997 tanggal 27 januari 1997). Selain itu, agar mereka tetap

memperoleh izin praktik menurut SK Menteri keuangan No. 43/KMK.017/1997

tanggal 27 januari 1997 pasal 17 : akuntan publik wajib menjadi anggota Ikatan

Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik dan wajib mengikuti

pendidikan professional berkelanjutan sesuai dengan ketentuan IAI.

Menurut Abdul (2008:18) ada dua klasifikasi jasa yang diberikan kantor

akuntan publik yaitu :

1) Jasa Atestasi adalah suatu pertanyaan pendapat atau pertimbangan seseorang

independen dan kompeten mengenai kesesuaian, dalam segala hal yang

signifikan, asersi suatu entitas dengan kriteria yang telah ditetapkan.

2) Jasa Non Atestasi adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang di

dalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan

temuan, atau bentuk lain keyakinan.

22

2.8 Komitmen Organisasi

Robbins (2007:63) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan

dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan

keinginannya untuk mempertahankan keanggotannya dalam organisasi. Menurut

Sopiah (2008:29) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajat

dimana karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan

akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya. Terdapat tiga

aspek komitmen organisasi, yaitu :

1) Affective commitment, yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk

terikat pada organisasi. Individu menetap dalam organisasi karena

keinginan sendiri. Kunci dari komitmen ini adalah want to.

2) Continuance commitment, adalah suatu komitmen yang didasarkan akan

kebutuhan rasional. Dengan kata lain, komitmen ini terbentuk atas dasar

untung rugi, dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila akan

menetap pada suatu organisasi. Kunci dari komitmen ini adalah kebutuhan

untuk bertahan (need to).

3) Normative Commitment, adalah komitmen yang didasarkan pada norma

yang ada dalam diri karyawan, berisi keyakinan individu akan tanggung

jawab terhadap organisasi. Ia merasa harus bertahan karena loyalitas.

Kunci dari komitmen ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi

(ought to).

Komitmen merupakan sebuah sikap dan perilaku yang saling mendorong

(reinforce) antara satu dengan yang lain (Khan, 2010). Karyawan yang

23

berkomitmen terhadap organisasi akan menunjukkan sikap dan perilaku yang

positif terhadap lembaganya, karyawan akan memiliki jiwa untuk tetap membela

organisasinya, berusaha meningkatkan prestasi, dan memiliki keyakinan yang

pasti untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi (Yousef, 2000). Komitmen

akan menimbulkan rasa ikut memiliki (sense of belonging) bagi karyawan

terhadap organisasi. Menurut Khikmah (2005) komitmen organisasi sebagai nilai

personal, yang kadang-kadang mengacu sebagai sikap loyal pada perusahaan.

2.9 Kinerja Auditor

Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance).

Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:67) “Istilah kinerja berasal

dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi

sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan

kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan

yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu. Menurut

Mulyadi (2002:11) kinerja auditor adalah “Akuntan publik yang melaksanakan

penugasan pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan keuangan

suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah

laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip

akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan

dan hasil usaha perusahaan”.

24

2.10 Motivasi

Motivasi adalah keadaan pribadi seseorang yang mendorong keinginan

individu melakukan kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan (Handoko, 1995

dalam Trisnaningsih, 2004). Gibson (1995) menyatakan bahwa motivasi

merupakan hal yang mendorong individu ataupun kelompok untuk melakukan

sesuatu perbuatan baik itu faktor dari dalam diri individu maupun faktor dari luar.

Motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu.

Motivasi yang tinggi untuk menjadi seorang auditor, akan menimbulkan

komitmen yang tinggi terhadap organisasi auditor itu sendiri. Dari berbagai jenis

teori motivasi, teori yang sekarang banyak dianut adalah teori kebutuhan. Teori

ini beranggapan bahwa tindakan manusia pada hakikatnya adalah untuk

memenuhi kebutuhannya. Ahli yang mencoba merumuskan kebutuhan-kebutuhan

manusia, di antaranya adalah Abraham Maslow. Maslow telah menyusun

“tingkatan kebutuhan manusia”, yang pada pokoknya didasarkan pada prinsip,

bahwa (Wahjosumidjo, 1987):

1) Manusia adalah “ binatang yang berkeinginan”.

2) Segera setelah salah satu kebutuhannya terpenuhi, kebutuhan lainnya akan

muncul.

3) Kebutuhan-kebutuhan manusia nampak diorganisir ke dalam kebutuhan yang

bertingkat-tingkat.

4) Segera setelah kebutuhan itu terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai

pengaruh yang dominan, dan kebutuhan lain yang lebih meningkat mulai

mendominasi.

25

Maslow merumuskan lima jenjang kebutuhan manusia, sebagaimana

dijelaskan sebagai berikut (Wahjosumidjo, 1987):

1) Kebutuhan mempertahankan hidup (Physiological Needs). Manifestasi

kebutuhan ini tampak pada tiga hal yaitu sandang, pangan, dan papan.

Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer untuk memenuhi kebutuhan

psikologis dan biologis.

2) Kebutuhan rasa aman (Safety Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara lain

adalah kebutuhan akan keamanan jiwa, di mana manusia berada, kebutuhan

keamanan harta, perlakuan yang adil, pensiun, dan jaminan hari tua.

3) Kebutuhan social (Social Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara lain

tampakpada kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain (sense of

belonging), kebutuhan untuk maju dan tidak gagal (sense of achievement),

kekuatan ikut serta (sense of participation).

4) Kebutuhan akan penghargaan/prestise (esteem needs), semakin tinggi status,

semakin tinggi pula prestisenya. Prestise dan status ini dimanifestasikan dalam

banyak hal, misalnya mobil mercy, kamar kerja yang full AC, dan lain-lain.

5) Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja (self actualization), kebutuhan ini

bermanifestasi pada keinginan mengembangkan kapasitas mental dan kerja

melalui seminar, konferensi, pendidikan akademis, dan lain-lain.

Menurut Suwandi (2005), dalam konteks organisasi, motivasi adalah

pemaduan antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan personil. Hal ini akan

mencegah terjadinya ketegangan/konflik sehingga akan membawa pada

pencapaian tujuan organisasi secara efektif.

26

2.10.1 Jenis-Jenis Motivasi

Pada dasarnya motivasi dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu:

1) Motivasi Positif

Motivasi positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar

menjalankan suatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan

untuk mendapatkan hadiah. Motivasi positif berupa:

a) Penghargaan terhadap pekerjaan yang dilakukan.

b) Informasi yaitu berupa memberi penjelasan kepada karyawan tentang latar

belakang atau alasan pelimpahan tugas.

c) Pemberian perhatian yang tulus kepada karyawan sebagai seorang

individu.

d) Menimbulkan persaingan, misalnya dengan memberikan hadiah tertentu

apabila target tercapai.

e) Kebanggan yaitu dengan menghargai hasil kerja karyawan yang memiliki

prestasi yang baik sehingga dia akan bangga akan hasil kerjanya.

f) Partispasi yaitu dengan menerima usul dari karyawan dalam pengambilan

keputusan, atau dengan kata lain karyawan diikutsertakan dalam

pengambilan keputusan.

2) Motivasi Negatif

Motivasi negatif merupakan kebalikan dari semua tindakan yang diambil oleh

motivator dalam melaksanakan motivasi positif. Motivasi yang negatif

diperlukan agar setiap orang berusaha untuk menghindarinya, yang akan

menimbulkan dorongan di dalam diri karyawan tersebut untuk bekerja sebaik-

27

baiknya. Tetapi pemberian motivasi yang negatif hendaknya harus wajar dan

tepat, sebab jika diberikan secara berlebihan akan menimbulkan kebencian

dan dendam dalam hal ini dapat merusak moral karyawan

2.10.2 Faktor-Faktor Motivasi Kerja

Faktor-faktor yang terdapat dalam motivasi di antaranya:

1) Motivasi Intrinsik

Motivasi intrinsik merupakan bagian integral dari tugas yang dihadapi dan

ditentukan oleh individu yang melaksanakan tugas tersebut. Motivasi intrinsik

timbul karena imbalan-imbalan intrinsik potensial (Winardi, 2004:61). Yang

tergolong motivasi intrinsik antara lain kebutuhan-kebutuhan fisiologi, tujuan-

tujuan (goals), sikap (attitude), dan kemampuan aktualisasi diri dalam Maryati

(2008).

2) Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik tidak tergantung pada tugas yang dilaksanakan dan mereka

dikendalikan oleh pihak lain. Dapat dikatakan bahwa motivasi ekstrinsik

timbul karena antisipasi akan dicapainya imbalan-imbalan ekstrinsik (Winardi

2004:61). Yang tergolong motivasi ekstrinsik meliputi: pembayaran, kemanan

kerja, hubungan dengan rekan kerja, pengawasan, penghargaan, kebijakan

perusahaan dan pekerjaan itu sendiri.

28

2.11 Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah suatu sikap seseorang terhadap pekerjaan sebagai

suatu perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya

yang diyakini yang seharusnya diterima (Robbins, 1996). Luthans (1995)

mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu yang dapat memberikan kesenangan

atau suatu pernyataan emosional positif sebagai hasil dari penilaian terhadap suatu

pekerjaan.

Luthans (1995) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi.

Pertama, bahwa kepuasan kerja tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diduga.

Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh sejauhmana hasil kerja memenuhi

atau melebihi harapan seseorang. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan hubungan

dengan berbagai sikap lainnya dari para individual. Ward et.al, (1986), meneliti

tingkat kepuasan kerja wanita di lima area, yaitu pekerjaan secara umum,

supersive, rekan kerja, promosi, dan gaji. Kepuasan kerja merupakan orientasi

emosional individu untuk menjalankan peran dan karakteristik pekerjaan mereka

(Porter et.al, 1974). Menurut Locke et.al, (1993) proses pemikiran seseorang akan

mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan. Pendapat lain dikemukakan oleh

Ghiselli dan Brown (1950) dalam Moh. As’ad (1978). Mengemukakan ada lima

faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu antara lain kedudukan, pangkat

atau golongan, umur, jaminan finansial dan jaminan sosial serta mutu

pengawasan.

29

2.12 Kompetensi Auditor

Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1983) dalam Lastanti (2005)

mendefinisikan kompetensi sebagai ketrampilan dari seorang ahli. Dimana ahli

didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki tingkat ketrampilan tertentu atau

pengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu yang diperoleh dari pelatihan dan

pengalaman. Sedangkan Trotter (1986) dalam Saifuddin (2004) mendefinisikan

bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya

mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak

pernah membuat kesalahan.

Lee dan Stone (1995), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang

cukup yang secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara

objektif. Adapun Bedard (1986) dalam Lastanti (2005) mengartikan keahlian atau

kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan

prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Berdasarkan

uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah

pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan auditor untuk dapat

melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama. Hayes-Roth mendefinisikan

keahlian sebagai pengetahuan tentang suatu lingkungan tertentu, pemahaman

terhadap masalah yang timbul dari lingkungan tersebut, dan keterampilan untuk

memecahkan permasalahan tersebut (Mayangsari, 2003).

Kompetensi yang diperlukan dalam proses audit tidak hanya berupa

penguasaan terhadap standar akuntansi dan auditing, namun juga penguasaan

terhadap objek audit. Selain dua hal di atas, ada tidaknya program atau proses

30

peningkatan keahlian dapat dijadikan indikator untuk mengukur tingkat

kompetensi auditor.

Standar umum pertama menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh

seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup

sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga menyebutkan bahwa dalam

pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan

kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama (SPAP, 2011;150:1).

Halim (2008:49) menyatakan standar pertama menuntut kompetensi teknis

seorang auditor yang melaksanakan audit. Kompetensi ini ditentukan oleh tiga

faktor yaitu: 1) pendidikan formal dalam bidang akuntansi di suatu perguruan

tinggi termasuk ujian profesi auditor, 2) pelatihan yang bersifat praktis dan

pengalaman dalam bidang auditing, 3) pendidikan profesional yang berkelanjutan

selama menekuni karir auditor profesional. Aspek-aspek pribadi ini termasuk

sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan dimana

kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan

menghasilkan kinerja. Ashton (1991) menunjukkan bahwa dalam literatur

psikologi, pengetahuan spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor

penting untuk meningkatkan kompetensi. Ashton juga menjelaskan bahwa ukuran

kompetensi tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-

pertimbangan lain dalam pembuatan keputusan yang baik karena pada dasarnya

manusia memiliki sejumlah unsur lain di selain pengalaman. Agusti dan Putri

(2013) mengemukakan bahwa kompetensi auditor adalah auditor yang dengan

pengetahuan dan pengalamannya yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit

31

secara objektif, cermat dan seksama. Menurut DeAngelo (1981) kompetensi

memiliki 2 (dua) komponen yaitu pengetahuan dan pengalaman.

Menurut Kusharyanti (2003) secara umum ada lima jenis pengetahuan

yang harus dimiliki oleh seorang auditor, yaitu: (1) Pengetahuan pengauditan

umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3) Pengetahuan mengenai isu-isu

akuntansi yang paling baru, (4) Pengetahuan mengenai industri khusus, dan (5)

Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah. Tubbs (1992)

dalam Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan

dalam hal: (1) Mendeteksi kesalahan, (2) Memahami kesalahan secara akurat, (3)

Mencari penyebab kesalahan. Pengalaman merupakan akumulasi gabungan dari

semua yang diperoleh melalui berhadapan dan berinteraksi secara berulang-ulang

dengan sesama benda alam, keadaan, gagasan, dan penginderaan (Elfarini, 2007).

Nirmala dan Cahyonowati (2013) menemukan bahwa auditor berpengalaman

mempunyai pemahaman yang lebih baik.

Muliani dan Rangga (2010) mengatakan bahwa seseorang jika melakukan

pekerjaan yang sama secara terus menerus, maka akan menjadi lebih cepat dan

lebih baik dalam menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan dia telah benar-benar

memahami teknik atau cara menyelesaikannya, serta telah banyak mengalami

berbagai hambatan-hambatan atau kesalahan-kesalahan dalam pekerjaannya

tersebut, sehingga dapat lebih cermat dan berhati-hati menyelesaikannya.