22
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai prinsip kesantunan dan implikatur yang menggunakan pendekatan pragmatik sudah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian yang bersumber dari acara infotainment talkshow baru pertama kali dilakukan. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Sarah (2011) dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia dengan judul penelitian “Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesantunan dalam Facebook.” Penelitian tersebut membahas mengenai pematuhan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam facebook, pematuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam facebook, pelanggaran prinsip kerja sama manakah yang paling banyak ditemukan, pelanggaran prinsip kesantunan manakah yang paling banyak ditemukan, serta bagaimana hubungan alat kohesi terhadap pematuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam facebook. Penelitian tersebut menggunakan metode studi kasus. Data penelitian tersebut adalah status dan wall facebook mahasiswa sastra Indonesia angkatan 2007. Data penelitian tersebut merupakan data primer. Teknik penelitian ini menggunakan teknik pengamatan langsung. Hasil penelitian ini adalah maksim yang paling banyak banyak dilanggar adalah maksim kuantitas, sedangkan maksim yang paling banyak dipatuhi adalah maksim relevansi. Pada prinsip

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A ... - … · semantik; dan komplementarisme, yaitu melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi (2011: 8)

  • Upload
    ngodan

  • View
    236

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai prinsip kesantunan dan implikatur yang

menggunakan pendekatan pragmatik sudah banyak dilakukan, akan tetapi

penelitian yang bersumber dari acara infotainment talkshow baru pertama kali

dilakukan. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah

sebagai berikut.

Sarah (2011) dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia dengan judul penelitian

“Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesantunan dalam

Facebook.” Penelitian tersebut membahas mengenai pematuhan prinsip kerja

sama dan prinsip kesantunan dalam facebook, pematuhan dan pelanggaran prinsip

kerja sama dan prinsip kesantunan dalam facebook, pelanggaran prinsip kerja

sama manakah yang paling banyak ditemukan, pelanggaran prinsip kesantunan

manakah yang paling banyak ditemukan, serta bagaimana hubungan alat kohesi

terhadap pematuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan

dalam facebook. Penelitian tersebut menggunakan metode studi kasus. Data

penelitian tersebut adalah status dan wall facebook mahasiswa sastra Indonesia

angkatan 2007. Data penelitian tersebut merupakan data primer. Teknik penelitian

ini menggunakan teknik pengamatan langsung. Hasil penelitian ini adalah maksim

yang paling banyak banyak dilanggar adalah maksim kuantitas, sedangkan

maksim yang paling banyak dipatuhi adalah maksim relevansi. Pada prinsip

10

10

kesantunan, maksim yang paling banyak dilanggar adalah maksim kerendahan

hati, sedangkan maksim yang paling banyak dipatuhi adalah maksim kearifan.

Alat kohesi gramatikal yang paling sering muncul ialah referensi persona gue dan

loe, sedangkan alat kohesi leksikal yang paling sering muncul adalah repetisi.

Ardiansyam (2012) dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra

dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret yang menulis skripsi “Tindak Tutur dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Kolom Komentar Artikel Kompasiana.”.

Penelitian ini mengangkat mengenai realisasi tindak tutur dan pelanggaran prinsip

kesantunan dalam acara kolom komentar artikel Kompasiana. Penelitian tersebut

termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan pragmatik. Sumber data penelitian ini adalah laman

web Kompasiana yang dapat diakses melalui www.kompasiana.com. Adapun data

dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan ilokusi pada kolom komentar artikel

Kompasiana yang dipublikasikan antara bulan Mei 2011 sampai April 2012

beserta konteks yang melingkupinya. Metode pengumpulan data dalam penelitian

ini menggunakan teknik analisis padan pragmatik dan teknik analisis kontekstual.

Teknik penyajian analisis dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian

formal dan informal. Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah

terdapat 5 jenis tindak tutur ilokusi dalam penelitian ini yaitu asertif, direktif,

ekspresif, komisif, dan rogatif. Pelanggaran terhadap maksim kesantunan terdiri

atas maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim

kerendahan hati, dan maksim kesepakatan.

Widyaningrum (2013) dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas

Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret dengan judul penelitian “Tindak

11

11

Tutur Ekspresif dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan Pembawa Acara Insert

Trans Tv”. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana menentukan tindak

tutur ekspresif, bagaimana menentukan pelanggaran prinsip kesantunan serta

bagaimana menentukan implikatur percakapan pembawa acara Trans Tv.

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data bebas libat cakap, teknik

rekam, dan teknik catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah metode

analisis kontekstual dan teknik cara tujuan (mean-end). Dari analisis tersebut

dapat disimpulkan beberapa hal antara lain: Pertama, dalam tindak tutur pembawa

acara Insert Transtv terdapat tindak tutur ekspresif yang meliputi memuji,

menyalahkan, menyetujui, mengucapkan selamat, mengeluh, mengungkapkan

simpati, berterima kasih, meminta maaf, mendukung, mengungkapkan duka cita,

dan menyayangkan. Tindak tutur ekspresif yang paling sering digunakan oleh

pembawa acara Insert adalah tindak tutur ekspresif memuji. Kedua tuturan

pembawa acara Insert melanggar prinsip kesantunan yang terdiri dari maksim

kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati,

maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Pelanggaran prinsip kesantunan

yang paling banyak digunakan oleh pembawa acara Insert adalah pelanggaran

prinsip kesantunan maksim pujian. Ketiga, implikatur percakapan timbul akibat

terjadinya pelanggaran prinsip kesantunan, sehingga ditemukan adanya implikatur

percakapan dalam tuturan pembawa acara Insert Transtv, yaitu implikatur

percakapan menolak, menyindir, tidak setuju, menyatakan pemberitahuan,

mengejek, menyombongkan diri, dan menyuruh. Data implikatur percakapan yang

paling banyak adalah tidak setuju.

12

12

Nurhayati (2014) dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan

Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul penelitian

“Kesantunan dan Implikatur Percakapan dalam Acara Yuk Keep Smile Trans Tv.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah bentuk

pematuhan prinsip kesantunan dalam acara Yuk Keep Smile Trans Tv? (2)

bagaimana bentuk pelanggaran prinsip kesantunan dalam acara Yuk Keep Smile

Transtv? (3) bagaimana bentuk implikatur percakapan yang digunakan untuk

menciptakan kelucuan dalam acara Yuk Keep Smile Trans Tv?. Jenis penelitian ini

adalah penelitian kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah percakapan atau

dialog dalam tayangan humor YKS di Trans TV. Data dalam penelitian ini adalah

tuturan beserta konteks yang mengandung prinsip kesantuanan dan implikatur

percakapan dalam acara Yuk Keep Smile pada bulan Januari 2014. Pengumpulan

data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode simak, dengan beberapa teknik

lanjutannya yakni teknik simak libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat.

Metode analisis data yang digunakan menggunakan analisis cara-tujuan dan

metode analisis kontekstual. Penelitian ini menghasilkan bahwa dalam acara Yuk

Keep Smile pematuhan maksim kesantunan yan paling sering digunakan adalah

maksim pujian untuk menyenangkan perasaan dari mitra tutur agar humor tidak

terkesan selalu menyinggung perasaan. Bentuk pelanggaran yang paling sering

dilakukan adalah pada pelanggaran maksim pujian dan maksim kearifan. Penutur

cenderung melakukan kecaman, hinaan, dan celaan terhadap mitra tutur sebagai

bahan lelucon atau humor.

Wijayanti (2014) dengan judul penelitian “Pelanggaran Prinsip

Kesantunan dan Implikatur Percakapan dalam Talkshow Ada-Ada Aja di Global

13

13

Tv. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana wujud pelanggaran

prinsip kesantunan dalam talkshow Ada-Ada Aja di Global Tv dan (2) Bagaimana

wujud implikatur percakapan dalam talkshow Ada-Ada Aja di Global TV. Jenis

penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam

penelitian ini adalah media internet youtube yang menayangkan talkshow Ada-

Ada Aja di Global Tv episode dari bulan Agustus sampai bulan Oktober 2014.

Data dalam penelitian ini adalah tuturan yang mengandung pelanggaran prinsip

kesantunan dan implikatur percakapan dalam takshow Ada-Ada Aja di Global Tv.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik simak bebas libat

cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Teknik analisis yang digunakan adalah

metode padan pragmatik dan kontekstual. Penelitian ini menghasilkan bahwa

dalam acara Ada-Ada Aja terdapat pelanggaran maksim kearifan sebanyak 16

data, maksim pujian 11 data, maksim kerendahan hati 8 data, maksim kesepakatan

7 data, maksim kedermawanan 7 data, dan yang terakhir maksim simpati 2 data.

Terdapat pula implikatur yang sering muncul yaitu implikatur menghina sebanyak

21 data, implikatur sindiran 13 data, implikatur menyuruh 13 data, implikatur

kecewa 7 data, implikatur keraguan 7 data 6 data, serta implikatur ketidaksetujuan

dan implikatur ketidakpercayaan sebanyak 2 data.

Penelitian “Prinsip Kesantunan dan Implikatur dalam Acara Biang Rumpi

No Secret Trans Tv” ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas terletak pada objek yang diteliti.

Objek penelitian ini adalah pematuhan prinsip kerjasama, pelanggaran prinsip

kerjasama, dan implikatur dalam acara BRNS Trans Tv.

14

14

Penelitian mengenai prinsip kesantunan dan implikatur memang pernah

dilakukan, namun tidak sama dengan penelitian ini. Penelitian yang pernah

dilakukan oleh Julia Sarah meneliti prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan

serta menyertakan pembahasan mengenai alat kohesi yang muncul dalam

pematuhan maupun pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan.

Perbedaan dengan penelitian ini adalaha dari segi teori yang digunakan, data dan

sumber datanya, teknik pengumpulan data, dan teknik analisisnya. Selain itu

terdapat pula penelitian Hendry Ardiansyam mengenai tindak tutur dan prinsip

kesantuan serta implikatur dalam kolom kompasiana. Perbedaan dengan

penelitian ini adalah dari segi teori yang digunakan, penelitian ini tidak

memasukkan pembahasan mengenai tindak tutur dan penelitian ini menggunakan

data lisan, bukan data tulis. Selain itu penelitian oleh Maria Ana Widyanigrum

juga berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini dengan penelitian Ana sama-

sama menggunakan data lisan namun berbeda dari segi teori yang digunakan.

Selain tidak membahas mengenai tindak tutur, peneliti melakukan penelitian

terhadap pematuhan prinsip kesantunan yang tidak dilakukan oleh Maria.

Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ratna Nurhayati yang

membahas mengenai kesantunan dan implikatur dalam acara Yuk Keep Smile.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratna dapat

dilihat dari objek dan metode yang digunakan. Objek penelitian yang dilakukan

oleh Ratna adalah pematuhan, pelanggaran maksim kesantunan, dan implikatur

dalam acara komedi Yuk Keep Smile. Meskipun rumusan masalahnya sama,

namun hasilnya akan berbeda terutama terletak pada alasan dibalik penggunaan

pematuhan, pelanggaran, dan implikatur karena acara yang diteliti sangat berbeda

15

15

yaitu infotainment talkshow. Selain itu, teknik analisis yang digunakan juga

berbeda, penelitian ini menggunakan teknik analisis heuristik, teknik analisis cara-

tujuan dan teknik analisis kontekstual. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Reni

Wijayanti yang meneliti mengenai kesantunan dan implikatur dalam acara

talkshow. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Reni terletak pada masalah

yang diangkat. Penelitian ini juga membahas mengenai pematuhan maksim

kesantunan yang tidak dibahas dalam penelitian yang dilakukan oleh Reni. Selain

itu metode yang digunakan juga berbeda.

B. Landasan Teori

1. Pragmatik

Pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik mulai berkembang dalam

perkembangan linguistik di Amerika sejak tahun 1970-an. Pragmatik semakin

berkembang dengan banyaknya teori-teori yang dikeluarkan oleh para ahli

linguistik. Istilah linguistik sudah dikenal sejak masa hidupnya seorang filsuf

terkenal bernama Charles Morris (dalam Rahardi, 2005: 45). Charles Morris

membagi ilmu tanda dan ilmu lambang itu ke tiga dalam cabang ilmu yaitu (a)

Sintaktika (Syntactic) “studi relasi formal tanda-tanda”, (2) semantika (semantic)

“studi relasi tanda-tanda dengan objeknya, (3) pragmatika (pragmatic) “studi

relasi antara tanda-tanda dengan penafsirannya.” (dalam Rahardi, 2005: 47).

Leech mendefinisikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam

hubungannya dengan situasi-situsi ujar (speech situations). Leech melihat

pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan

semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat semantik sebagai

bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari

16

16

semantik; dan komplementarisme, yaitu melihat semantik dan pragmatik sebagai

dua bidang yang saling melengkapi (2011: 8).

George Yule menyebutkan empat definisi pragmatik antara lain pragmatik

sebagai studi tentang maksud penutur, pragmatik sebagai studi tentang makna

kontekstual, pragmatik sebagai studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang

disampaikan daripada yang dituturkan, serta pragmatik sebagai studi tentang

ungkapan dari jarak hubungan (Yule, 1996: 4).

Menurut I Dewa Putu Wijana, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang

mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan

digunakan dalam komunikasi. Jadi, makna yang dikaji pragmatik adalah makna

yang terikat konteks (context dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud

penutur. Pragmatik dapat dimanfaatkan oleh setiap penutur untuk memahami

maksud lawan tutur. Penutur dan lawan tutur dapat memanfaatkan pengalaman

bersama (background knowledge) untuk memudahkan pengertian bersama

(Wijana, 1996: 1-2).

Asim Gunarwan berpendapat, pragmatik adalah cabang linguistik yang

mempelajari maksud ujaran, bukan makna atau daya (force) ujaran. Pragmatik

juga mempelajari fungsi ujaran, yaitu untuk apa suatu ujaran ini dibuat atau

diujarkan (1994: 83-84).

2. Situasi Tutur

Situasi tutur dalam suatu tuturan sangat diperhitungkan. Maksud tuturan

yang sebenarnya hanya dapat didefinisikan melaui situasi tutur yang

mendukungnya. Leech menjelaskan bahwa pragmatik mengkaji makna dalam

hubungannya dengan situai-situasi ujar (speech situation) (Leech, 2011: 19).

17

17

Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan, pernyataan ini sejalan

dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur

merupakan sebabnya (Rustono, 1999: 26).

Leech menjelaskan mengenai aspek-aspek ujar untuk mengetahui apakah

suatu percakapan tersebut merupakan fenomena atau sistematis (2011: 19-21).

Berikut ini adalah aspek situasi ujar menurut Leech:

a. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)

Orang yang menyapa akan diberi simbol n „penutur‟, orang yang

disapa diberi simbol t „petutur‟. Simbol-simbol ini merupakan singkatan

untuk „penutur/penulis‟ dan „petutur/pembaca‟. Jadi penggunaan penutur

dan petutur tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja. Istilah

„penerima‟ (orang yang menerima atau menafsirkan pesan) dan „yang

disapa‟ (orang yang seharusnya menerima dan menjadi sasaran pesan)

juga perlu dibedakan. Si penerima bisa saja seorang yang kebetulan lewat

dan pendengar pesan, dan bukan orang yang disapa.

b. Konteks sebuah tuturan

Konteks diartikan sebagai aspek-aspek yang menyangkut dengan

lingkungan fisik dan sosial sebagai tuturan. Leech (2011: 20) mengartikan

konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama

dimiliki oleh penutur dan membantu petutur menafsirkan makna tuturan.

c. Tujuan sebuah tuturan

Tujuan sebuah tuturan adalah tujuan atau fungsi daripada makna

yang dimaksud atau maksud penutur mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan

dianggap lebih netral daripada maksud, karena tidak membebani

18

18

pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga

dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi

tujuan.

d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar.

Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-

performasi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan

demikian, pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih

konkret daripada tata bahasa.

e. Tuturan sebagai produk tindakan verbal

Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam

pragmatik kata „tuturan‟ dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu

sebagai produk suatu tindak verbal (sentence-instance) atau tanda

kalimat (sentence-token), tetapi bukanlah sebuah kalimat. Dalam artian

yang kedua ini tuturan-tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya

dikaji dalam pragmatik, sehingga dengan tepat pragmatik dapat

digambarkan sebagai suatu ilmu yang mengkaji makna tuturan.

3. Tindak Tutur

Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L

Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1959. Teori yang

berasal dari materi kuliah ini kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965)

dengan judul How to Do Things with Word? Teori tersebut baru menjadi terkenal

dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech

Act and Essay in The Philoshopy of Language (Wijana, 1996:50).

19

19

Rustono berpendapat, tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral.

Tindak tutur bersifat pokok di dalam pragmatik. Mengujarkan sebuah tuturan

tertentu bisa dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh)

di samping memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu (Rustono, 1999:

31).

Menurut I Dewa Putu Wijana, tindak tutur merupakan gejala individual,

bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa

si penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Wijana, 1996: 50).

Austin dan Searle mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga jenis

tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi

(melakukan tindakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak ilokusi (melakukan

tindakan dalam megatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan

dengan mengatakan sesuatu) (Leech, 2011: 316).

Searle membagi tindak tutur menjadi lima jenis (Searle, 1996: 147-149),

yaitu:

a. Asertif (Assertives)

Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat

penuturnya kepada kebenaran preposisi atas hal yang

dikatakannya. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak

tutur ini adalah tindak tutur menyatakan, melaporkan,

mempredikisi, menunjukkan, dan menyebutkan.

b. Direktif (Directives)

Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan

oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan

20

20

tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu atau berharap lawan

tutur melakukan sesuatu. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam

jenis tindak tutur ini misalnya tindak tutur menyuruh, memohon,

menuntut, menyarankan, memerintah, meminta, dan menantang.

c. Komisif (Commisives)

Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat

penuturnya pada suatu tindakan yang dilakukannya pada masa

mendatang dan melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam

tuturan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur

ini adalah berjanji, bersumpah, berkaul, menawarkan, menyatakan

kesanggupan, dan mengancam.

d. Ekspresif (Expressive)

Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan

dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang

hal yang disebutkan dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap

psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Tuturan yang termasuk

ke dalam jenis tindak tutur ini adalah memuji, mengucapkan terima

kasih, meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan

mengeluh.

e. Deklarasi (Declaration)

Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan

penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan,

dan sebagainya). Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak

21

21

tutur ini adalah memutuskan, membatalkan, melarang,

mengizinkan, mengangkat.

4. Prinsip Kesantunan

Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa antara lain Lakoff

(1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), serta Leech (1983). Teori

keempat pakar tersebut beranjak dari pengamatan yang sama, yaitu bahwa di

dalam komunikasi yang sebenarnya, penutur tidak selalu mematuhi prinsip kerja

sama Grice (Gunarwan, 1994:87).

Lakoff berpendapat bahwa ada tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan

itu santun, yaitu formalitas, ketidaktegasan, dan persamaan atau kesekawanan.

Kaidah formalitas maksudnya jangan memaksa atau jangan angkuh. Kaidah

ketidaktegasan maksudnya buatlah sedemikian buatlah sedemikian buatlah

sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihan. Kaidah

persamaan atau kiesekawanan maksudnya penutur hendaklah membuat mitra tutur

merasa senang (dalam Gunarwan, 1994: 87-88)

Fraser lebih mendasarkan konsep kesantunannya atas dasar strategi,

namun tidak merinci bentuk dan strategi kesantunannya. Fraser membedakan

kesantunan dari penghormatan. Menurutnya, kesantunan adalah properti yang

diasosiasikan dengan ujaran, dan menurut pendengar si penutur tidak melampaui

hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Di antara hak-hak

penutur di dalam sebuah interaksi adalah hak untuk bertanya. Sementara itu, di

antara kewajiban-kewajiban pendengar atau lawan bicara adalah kewajiban

menjawab. Di samping itu, ada hak dan kewajiban penutur-pendengar yaitu

menyangkut apa yang boleh diujarkan serta cara bagaimana mengujarkannya.

22

22

Dari sini dapat diketahui, bahwa pembedaan kesantunan dari penghormatan

seperti yang dibuat oleh Fraser sebenarnya terlalu dicari-cari, karena kewajiban

seorang penyerta percakapan dapat saja mencakup juga kewajiban untuk

menunjukan penghormatan (Gunarwan, 1994: 88-89).

Brown Levinson merumuskan prinsip kesantunan berkisar atas nosi muka,

yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah muka yang mengacu

pada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang

dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya, diakui orang

sebagai sesuatu hal yang baik, menyenangkan, dan patut dihaurgai. Sementara itu,

muka negatif adalah muka yang mengacu pada citra diri setiap orang (yang

rasional) yang berkeinginan agar dia dapat dihargai dengan jalan membiarkannya

bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu (dalam Gunarwan, 1994:90).

Menurut Brown dan Levinson, sebuah tindak tutur dapat mengancam

muka mitra tuturnya. Tindak tutur tersebut disebut sebagai face-threatening act

(FTA). Untuk mengurangi ancaman terhadap muka mitra, maka penutur

hendaknya menggunakan prinsip kesantunan. Karena ada dua sisi muka yang

terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesantunan pun dibagi dua,

yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif

(untuk menjaga muka positif). Berkenaan dengan hal tersebut, Brown dan

Levinson mengusulkan tesis dasar yaitu bahwa penutur “menghitung” derajat

keterancaman sebuah tindak tutur (yang akan dituturkan) dengan

mempertimbangkan jarak sosial, kekuasaan, satus relatif jenis tindak tutur di

dalam kebudayaan yang bersangkutan (dalam Gunarwan, 1994:90).

23

23

Brown dan Levinson kemudian mengemukakan strategi-strategi yang

dapat digunakan oleh penutur antara lain, melakukan tindak tutur secara apa

adanya, tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip kerja sama Grice, melakukan

tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif, melakukan tindak tutur

dengan menggunakan kesantunan negatif, melakukan tindak tutur secara off

record (berkata dengan tuturan tidak langsung), tidak melakukan tindak tutur atau

diam saja (Levinson, 1987:66).

Berbeda dengan Brown dan Levinson yang mendasarkan kesantunannya

pada nosi muka, Geoffrey Leech mendasarkan konsep kesantunannya pada empat

nosi yaitu biaya, keuntungan, kesetujuan, pujian, dan simpati/antipati (Gunarwan,

1994: 91). Leech juga mengemukakan bahwa prinsip kesantunan itu berhubungan

dengan dua pihak, yaitu diri dan lain. Diri adalah penutur, dan lain adalah mitra

tutur atau juga dapat menunjuk kepada pihak ketiga, baik yang hadir maupun

yang tidak hadir dalam situasi tutur (Leech, 2011: 206).

Leech mengungkapkan skala pengukur tingkat kesantunan sebuah tuturan

(dalam Rahadi, 2005: 66), antara lain:

a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada

besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah

tuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin

dianggap santun lah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu

menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah

tuturan itu. Begitupula sebaliknya apabila dilihat dari kacamata si mitra

tutur.

24

24

b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau

sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan si penutur kepada si

mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin petuturan itu

memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang

banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

Sebaliknya, apabila petuturan itu sama sekali tidak memberikan

kemungkinan memilih bagi si penutur dan mitra tutur, tuturan

tersebut akan dianggap tidak santun.

c. Inderectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada

peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.

Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak

santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya. Semakin tidak

langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah

tuturan itu.

d. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk pada hubungan

status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam

petuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara

penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung

santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat sosial status

sosial antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat

kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

e. Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada

peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang

terlibat dalam sebuah petuturan. Ada kecenderungan bahwa

25

25

semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan

menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian

sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial di antara keduanya,

akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Dengan kata

lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan mitra tutur

sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.

Leech merumuskan prinsip kesantunan ke dalam enam maksim, sebagai

berikut:

a. Maksim Kearifan (Tact Maxim)

Maksim kearifan menasihatkan peserta tutur untuk (1)

membuat kerugian orang lain sekecil mungkin, dan (2) membuat

keuntungan orang lain sebesar mungkin (Leech, 2011:206).

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanaan menasihatkan peserta tutur untuk

saling menghormati dengan (1) membuat keuntungan diri sendiri

sekecil mungkin, dan (2) membuat kerugian diri sendiri sebesar

mungkin (Leech, 2011: 206).

c. Maksim Pujian (Approbation Maxim)

Maksim pujian menasihatkan peserta tutur untuk (1)

mengecam orang lain sedikit mungkin, dan (2) memuji orang lain

sebanyak mungkin (Leech, 2011: 207).

d. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

26

26

Maksim kerendahan hati menasihatkan peserta tutur untuk

(1) memuji diri sendiri sedikit mungkin, dan (2) mengecam diri

sendiri sebanyak mungkin (Leech, 2011: 207).

e. Maksim Kesepakatan

Maksim kesepakatan menasihatkan peserta tutur untuk (1)

mengusahakan agar ketidaksepatkan antara diri dan orang lain

terjadi sesedikit mungkin, dan (2) mengusahakan agar kesepakatan

antara diri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin (Leech, 2011:

207).

f. Maksim Simpati

Maksim simpati menasihatkan peserta tutur untuk (1)

mengurangi rasa antipati antara diri dengan orang lain hingga

sekecil mungkin, dan (2) meningkatkan rasa simpati sebanyak-

banyaknya antara diri dengan orang lain (Leech, 2011: 207).

5. Implikatur

Implikatur adalah preposisi yang terimplikasi dalam suatu ujaran

meskipun preposisi tersebut bukan merupakan bagian atau akibat dari apa yang

dikatakan. Grize membedakan implikatur menjadi dua, yaitu implikatur

conventional dan implikatur conversational. Implikatur konvensional adalah

implikatur yang bersifat umum, sehingga maksud atau pengertian mengenai suatu

hal tertentu berdasarkan konvensi yang telah ada. Implikatur percakapan adalah

implikasi pragmatik yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai

akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Implikatur percakapan adalah

27

27

adalah preposisi atau pernyataan implikatif yaitu apa yang mungkin diartikan,

disiratkan atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dari apa yang sebenarnya

dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan (dalam Gadzar, 1979:49).

Nadar dalam bukunya “Pragmatik dan Penelitian Pragmatik” mengartikan

implikatur sebagai sesuatu yang diimplikasikan dalam suatu percakapan (2009:

60). Sementara itu, Mey menyatakan bahwa implikatur “implicature” berasal dari

kata kerja “to imply”, sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja itu

berasal dari bahasa Latin plicare yang berarti to fold “melipat” sehingga untuk

mengerti apa yang dilipat atau disimpan harus dilakukan dengan cara

membukanya. Artinya. Untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh penutur,

mitra tutur harus melakukan interpretasi terhadap tuturan-tuturannya (dalam

Nadar, 2009: 60).

Ahli lain Levinson, menyatakan bahwa implikatur merupakan salah satu

gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik. Adapun salah satu alasan

penting yang diberikan Levinson ialah bahwa implikatur memberikan penjelasan

eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan lebih banyak dari apa

yang dituturkan (dalam Nadar, 2009: 61).

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti

untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir yang terkait

dalam penelitian ini secara garis besar dilukiskan pada bagan di bawah ini.

28

28

Biang Rumpi No Secret Trans Tv

TTV

Tuturan Biang Rumpi dan Anabel

Tujuan

1. Mendiskripsikan realisasi pematuhan prinsip

kesantunan

2. Mendiskripsikan realisasi pelanggaran prinsip

kesantunan dan implikatur

Prinsip Kesantunan

1. Maksim Kearifan

2. Maksim Kedermawanan

3. Maksim Pujian

4. Maksim Kerendahan Hati

5. Maksim Kesepakatan

6. Maksim Simpati

Pematuhan Kesantunan Pelanggaran Kesantunan

Implikatur

Hasil Analisis:

1. Realisasi pematuhan prinsip kesantunan dalam Biang Rumpi No

Secret Trans Tv

2. Realisasi pelanggaran prinsip kesantunan dan implikatur dalam

Biang Rumpi No Secret Trans Tv

3

29

29

Bagan di atas menggambarkan bahwa sumber data pada penelitian ini adalah

acara BRNS Trans Tv. Data dalam penelitian ini adalah percakapan atau dialog

antara Biang Rumpi dan Anabel dalam acara tersebut. Permasalahan yang diteliti

dalam penelitian ini adalah realisasi pematuhan prinsip kesantunan, pelanggaran

prinsip kesantunan, dan implikatur yang merupakan akibat dari realisasi

pelanggaran prinsip kesantunan yang dituturkan oleh Biang Rumpi dan Anabel

dalam acara BRNS Trans Tv.

Tuturan yang disampaikan oleh penutur memiliki tujuan tertentu. Tujuan

tersebut disampaikan melalui tuturan yang disadari maupun tidak mengandung

nilai-nilai yang menguntugkan mitra tutur, merendahkan mitra tutur, maupun

merugikan mitra tutur. Berdasarkan hal tersebut tuturan dapat diklasifikasikan ke

dalam pematuhan dan pelanggaran maksim kesantunan.

Pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan dapat dipahami dengan

memperhitungkan konteks yang melingkupinya. Begitu pula tuturan yang

mengandung pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan oleh Biang Rumpi

dan Anabel BRNS dapat dipahami dan diketahui alasan di balik penggunaannya

dengan memahami konteks tuturan dalam acara tersebut. Oleh karena itu, tuturan-

tuturan tersebut akan dianalisis secara mendasar dengan memperhitungkan dan

mengaitkan dengan konteks yang ada sehingga akan diketahui pula tujuan

penggunaan pematuhan maupun pelanggaran prinsip kesantunan tersebut. Selain

memahami bentuk atau realisasi pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan,

30

30

akan dipahami pula realisasi implikatur sebagai akibat dari penggunaan tuturan

yang mengandung pelanggaran prinsip kesantunan.