37
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang E-Commerce 1. Pengertian E-Commerce Perkembangan teknologi informasi telah mengalami perkembangan yang kian pesat. Revolusi bisnis dengan menggunakan media elektronik seperti internet telah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat. Maraknya penggunaan internet menjadi sebuah peluang bagi perusahaan yang menerapkan sistem e-commerce dalam aktivitas bisnisnya. Aktivitas e-commerce sekarang ini telah digunakan pada setiap perusahaan berbasis internet atau perusahaan startup digital, tidak hanya lingkup penjualan atau pembelian. Aktifitas seperti pemasaran, penjualan, pembayaran produk dan jasa-jasa yang dibeli dengan menggunakan internet merupakan salah satu kegiatan e-commerce. 1 E-Commerce merupakan suatu sistem atau paradigma baru dalam dunia bisnis, yang menggeser paradigma perdagangan tradisional menjadi electronic commerce yaitu dengan memanfaatkan teknologi ICT (Information and Communication Technology), atau dengan katalain teknologi internet. Definisi e-commerce secara umum : “Proses membeli, menjual, baikdalam bentuk barang, jasa ataupun informasi yang dilakukan melalui media internet”. 2 Electronic commerce (EC) merupakan konsep baru yang bisa digambarkan sebagai proses jual-beli barang atau jasa dengan menggunakan World Wide Web Internet atau proses jual beli atau pertukaran produk, jasa dan informasi melalui jaringan informasi. 3 E- commerce merupakan transaksi yang dilakukan secara elektronik, salah 1 Mohd Ma’sum Billah, Islamic E-commerce Terapan, terj. Ahmad Dumyathi Bashori, Malayasia: Sweet& Maxwell Asia, 2010, h. 60. 2 Sri Haryanti, Tri Irianto, “Rancang Bangun Sistem Informasi E-Commerce Untuk UsahaFashionStudi Kasus Omah Mode Kudus” Journal SpeedSentra Penelitian Engineering dan Edukasi, Vol.3 No.1 (November 2011), h.10 3 I Gusti Made Karmawan, “Dampak Peningkatan Kepuasan Pelangan Dalam Proses Bisnis E- Commerce Pada Perusahaan Amazon.com” ComTech, Vol. 5 No.2 ( Desember 2014), h.749

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang E …

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang E-Commerce

1. Pengertian E-Commerce

Perkembangan teknologi informasi telah mengalami perkembangan

yang kian pesat. Revolusi bisnis dengan menggunakan media elektronik

seperti internet telah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat.

Maraknya penggunaan internet menjadi sebuah peluang bagi

perusahaan yang menerapkan sistem e-commerce dalam aktivitas

bisnisnya. Aktivitas e-commerce sekarang ini telah digunakan pada

setiap perusahaan berbasis internet atau perusahaan startup digital, tidak

hanya lingkup penjualan atau pembelian. Aktifitas seperti pemasaran,

penjualan, pembayaran produk dan jasa-jasa yang dibeli dengan

menggunakan internet merupakan salah satu kegiatan e-commerce.1

E-Commerce merupakan suatu sistem atau paradigma baru dalam

dunia bisnis, yang menggeser paradigma perdagangan tradisional

menjadi electronic commerce yaitu dengan memanfaatkan teknologi

ICT (Information and Communication Technology), atau dengan

katalain teknologi internet. Definisi e-commerce secara umum : “Proses

membeli, menjual, baikdalam bentuk barang, jasa ataupun informasi

yang dilakukan melalui media internet”.2

Electronic commerce (EC) merupakan konsep baru yang bisa

digambarkan sebagai proses jual-beli barang atau jasa dengan

menggunakan World Wide Web Internet atau proses jual beli atau

pertukaran produk, jasa dan informasi melalui jaringan informasi.3 E-

commerce merupakan transaksi yang dilakukan secara elektronik, salah

1 Mohd Ma’sum Billah, Islamic E-commerce Terapan, terj. Ahmad Dumyathi Bashori, Malayasia:

Sweet& Maxwell Asia, 2010, h. 60. 2 Sri Haryanti, Tri Irianto, “Rancang Bangun Sistem Informasi E-Commerce Untuk

UsahaFashionStudi Kasus Omah Mode Kudus” Journal SpeedSentra Penelitian Engineering dan

Edukasi, Vol.3 No.1 (November 2011), h.10 3 I Gusti Made Karmawan, “Dampak Peningkatan Kepuasan Pelangan Dalam Proses Bisnis E-

Commerce Pada Perusahaan Amazon.com” ComTech, Vol. 5 No.2 ( Desember 2014), h.749

10

satu media yang digunakan dalam e-commerce adalah internet. Menurut

Karmawan (Jauhari) e-commerce adalah suatu jenis dari mekanisme

bisnis secara elektronik yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis

berbasis individu dengan menggunakan internet (teknologi berbasis

jaringan digital) sebagai medium pertukaran barang atau jasa baik antara

dua buah institusi (business to business) dan konsumen langsung

(business to consumer), melewati kendala ruang dan waktu yang selama

ini merupakan hal-hal yang dominan.4

E-commerce (electronic commerce) merupakan transaksi komersial

yang dilakukan antara penjual dan pembeli dimana pada prosesnya

menggunakan media elektronik seperti internet yang secara fisik tidak

memerlukan pertemuan pihak yang bertransaksi.5 Sedangkan menurut

David Baum, ecommerce adalah satu set dinamis teknologi, aplikasi,

dan proses bisnis yang melibatkan perusahaan, konsumen dan

komunitas tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan

barang, pelayanan serta informasi yang disuguhkan secara elektronik.

Perkembangan e-commerce memungkinkan keuntungan bagi konsumen

dan perusahaan.

Kehadiran internet sebagai pendukung akses kemudahan dalam

berkomunikasi di masyarakat menjadi peluang bagi pihak-pihak

tertentu, seperti tidak adanya batas waktu dan ruang dalam pemasaran

produk, penurunan biaya operasional, dan peningkatkan pangsa pasar

dalam negeri maupun luar negeri merupakan bentuk peluang atau

keunggulan aktivitas penggunaan internet bagi perusahaan. Sedangkan

bagi konsumen, manfaat yang didapat yaitu kemudahan bertransaksi

tanpa terikat ruang dan waktu, dan kemudahan dalam proses

pembayaran elektronik semacam electronic cashs ebagai alat transfer

pembelian produk yang diinginkan.6

4 Jaidan Jauhari, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) denganmemanfaatkan

e- commerce” Jurnal Sistem Informasi Vol. 2 No.1 (April 2010), h.159-168 5 Haris Faulidi Asnawi, Transaksi Bisnis E-commerce Perspektif Islam, Yogyakarta: Magistra

Insania Press, 2004, h. 16. 6 Andi Sunarto, Seluk Beluk E-commerce, Yogyakarta: Garaiilmu, 2009, h. 27-31.

11

2. Peraturan-peraturan E-Commerce

a. E-Commerce dalam Undang-undang Perdagangan

Undang-Undang perdagangan ini merupakan manifestasi

dari keinginan untuk memajukan sektor perdagangan yang

dituangkan dalam kebijakan perdagangan dengan mengedepankan

kepentingan nasional. Hal ini sangat jelas dalam Pasal 2 huruf (a)

UU Perdagangan tersebut yang menyatakan bahwa: “Kebijakan

perdagangan disusun berdasarkan asas kepentingan nasional”.

Kepentingan nasional tersebut antara lain meliputi: mendorong

pertumbuhan ekonomi, mendorong daya saing perdagangan,

melindungi produksi dalam negeri, memperluas pasar tenaga kerja,

perlindungan konsumen, menjamin kelancaran/ketersediaan barang

dan jasa, penguatan UMKM dan lain sebagainya.7

Secara sistematis lingkup pengaturan mengenai perdagangan

yang diatur didalam UU perdagangan ini meliputi, Perdagangan

dalam negeri, perdagangan luar negeri, perdagangan perbatasan,

standarisasi, perdagangan melalui sistem elektronik, perlindungan

dan pengamanan perdagangan, pemberdayaan koperasi dan usaha

mikro kecil menengah, pengembangan ekspor, kerjasama

perdagangan internasional, sistem informasi perdagangan, tugas dan

wewenang pemerintah dibidang perdagangan, komite perdagangan

nasional, pengawasan dan penyidikan. Terkait dengan e-commerce,

dalam UU Perdagangan juga telah mengatur mengenai perdagangan

melalui sistem elektronik atau e-commerce, yang diatur dalam pasal

65 dan 66. Pemberlakuan aturan e-commerce yang tercantum di

dalam UU Perdagangan ini berlaku untuk skala internasional.

Maksudnya adalah seluruh transaksi elektronik yang dilakukan

pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri, yang menjadikan

Indonesia sebagai pasar wajib mematuhi aturan e-commerce yang

ada di dalam UU Perdagangan dan peraturan pelaksanaannya.8

7 Az. Nasution, “Revolusi Teknologi Dalam Transaksi Bisnis Melalui Internet”, (Jurnal Keadilan

Volume I No.3 September 2001), hal 29 8bid, hal 14

12

Dalam UU Perdagangan ini, Pemerintah mengatur

bagaimana transaksi elektronik dan bisnis online dapat

dipertanggungjawabkan oleh pelaku bisnis dan dapat memberikan

perlindungan terhadap konsumen. Tujuan dari pengaturan e-

commerce dalam UU Perdagangan adalah untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen dan juga bagi para pelaku usaha.

Dalam pasal 65 UU Perdagangan ini mewajibkan pelaku usaha e-

commerce untuk menyediakan data dan /atau informasi secara

lengkap dan benar sehingga akan memudahkan untuk menelusuri

legalitasnya. Hal ini sangat baik dalam segi perlindungan

konsumen namun, implementasi dari ketentuan ini akan sulit

terwujud jika aturan pelaksananya tidak segera diterbitkan oleh

pemerintah, karena e-commerce itu sendiri sangat kompleks dan

terjadi di lintas negara.

Dalam UU Perdagangan tersebut telah memuat beberapa

poin penting dalam hal perlindungan konsumen. Isu yang penting

dari perdagangan e-commerce dalam UU Perdagangan ini ini adalah

bagaimana UU ini dapat melindungi pelaku usaha mikro yang baru

berkembang tanpa mengenyampingkan perlindungan konsumen.

Adanya amanat dari Pasal 65 UU Perdagangan terkait pelaku usaha

e-commerce yang diharuskan menyediakan data dan informasi akan

memberikan dampak baik bagi perlindungan konsumen. Dalam

Pasal 65 ayat (4) UU Perdagangan di sebutkan:9

(4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

paling sedikit memuat:

a) identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau

Pelaku Usaha Distribusi.

b) persyaratan teknis Barang yang ditawarkan.

c) persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan.

d) harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa, dan

9 Indonesia, Undang-Undang Perdagangan, UU No. 7 tahun 2014, LN No. 45 Tahun 2014, TLN

No. 5512., Pasal 65 ayat (4)

13

e) cara penyerahan Barang.

Pasal 65 UU Perdagangan ini hampir selaras dengan ketentuan

Pasal 25 Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggara Sistem Transaksi Elektronik (PP PSTE). Harmonisasi

kebijakan ini penting untuk dapat menjamin adanya kepastian hukum

dalam menjalankan bisnis e-commerce baik bagi pelaku usaha maupun

bagi konsumen. Sehingga pelaku bisnis e-commerce dapat menjalankan

bisnisnya tanpa mengabaikan perlindungan sebagai konsumen.

b. E-Commerce dalam Undang-undang ITE

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

disebutkan bahwa transaksi elektronik yaitu perbuatan hukum yang

dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau

media elektronik lainnya. Transaksi jual beli secara elektronik

merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas. Pada transaksi

jual beli secara elektronik ini, para pihak yang terkait didalamnya,

melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk

perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan

sesuai ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), disebut sebagai kontrak

elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik

atau media elektronik lainnya, hal ini termasuk juga e-mail yang

digunakan sebagai “pemberitahuan tertulis” dalam transaksi

elektronik.

Terkait dengan data dan informasi pelaku usaha yang di

haruskan terdaftar dalam Pasal 65 UU Perdagangan sebenarnya

telah diatur dalam Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam Pasal 10 ayat

(1) UU ITE ditegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang

menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh

14

Lembaga Sertifikasi Keandalan.10 Kemudian pada Pasal 15 ayat (1)

menyatakan bahwa “setiap penyelenggara Sistem Elektronik harus

menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta

bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik

sebagaimana mestinya.”11

c. E-Commerce dalam Peraturan Pemerintah

Menurut Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019

“Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce) yang

selanjutnya disingkat PMSE adalah Perdagangan yang transaksinya

dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik,”

bunyi Pasal 1 ayat (2). Bahwa, ditegaskan dalam PP ini, dalam

melakukan PMSE (e-commerce), para pihak harus memperhatikan

prinsip:

1. Iktikad baik.

2. Kehati-hatian.

3. Transparansi.

4. Keterpercayaan.

5. Akuntabilitas.

6. Keseimbangan, dan

7. Adil dan sehat.

Pelaku PMSE (e-commerce), menurut PP ini dapat dilakukan

oleh Pelaku Usaha, Konsumen, Pribadi, dan instansi penyelenggara

negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang selanjutnya disebut para pihak. PP ini juga menjelaskan

mengenai Pelaku Usaha Dalam Negri dan Luar Negeri pada pasal

5, bahwa Pelaku Usaha Luar Negeri yang secara aktif melakukan

penawaran dan/atau melakukan PMSE (e-commerce) kepada

Konsumen yang berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang memenuhi kriteria tertentu dianggap

10 Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 11 Tahun 2008, LN No.

58, Pasal 10 ayat (1). 11 Ibid., pasal 15 ayat (1).

15

memenuhi kehadiran secara fisik di Indonesia dan melakukan

kegiatan usaha secara tetap di wilayah hukum Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dapat

berupa:

a. Jumlah transaksi.

b. Nilai transaksi.

c. Jumlah paket pengiriman, dan/atau

d. Jumlah traffic atau pengakses.

PMSE luar negeri yang memenuhi kriteria sebagaimana

dimaksud, menurut PP ini, wajib menunjuk perwakilan yang

berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang dapat bertindak sebagai dan atasnama Pelaku Usaha

dimaksud,” bunyi Pasal 7 ayat (3) PP ini. Serta pelaku usaha dalam

negri dan luar negri yang di maksud dalam PP ini, “Terhadap

kegiatan usaha PMSE (e-commerce) berlaku ketentuan dan

mekanisme perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan,” bunyi Pasal 8 PP ini.

d. E-Commerce dalam Peraturan Direktorat Jendral Pajak

Mengenai pajak penghasilan dari e-commerce, Direktur

Jenderal Pajak telah mengeluarkan beberapa surat edaran untuk

menegaskan kewajiban pembayaran pajak tersebut, diantaranya

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor S-429/PJ.22/1998

tanggal 24 Desember 1998 Tentang Imbauan Kepada Wajib Pajak

yang Melakukan Transaksi Melalui Electronic Commerce, Surat

Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 Tentang

Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-Commerce, dan

Surat Edaran Nomor SE-06/PJ/2015 tentang Pemotongan dan/atau

Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Transaksi E-Commerce.

Pemerintah melalui terbitnya Surat Edaran Dirjen Pajak SE

nomor 62/PJ/2013 tentang penegasan kembali mengenai pengenaan

pajak terhadap transaksi e-commerce ditekankan bahwa pengenaan

16

pajak terhadap transaksi e-commerce tetap mengacu kepada

peraturan perundang-undangan perpajakan yang dalam hal ini

berlaku seperti Undang-Undang tentang nomor 16 tahun 2009

tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang

nomor 5 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang-

undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan

Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (undang-

undang KUP), Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang pajak

penghasilan (undang-undang PPh) dan undang-undang nomor 42

tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah

(undang-undang PPN) yang terakhir.

Pada Lampiran Surat Edaran nomor 62/PJ/2013

memberikan gambaran tentang proses bisnis, revenue model, dan

contoh penerapan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan Undang-

Undang Pajak Pertambahan Nilai terkait dengan 4 (empat) model

transaksi e-commerce, yaitu Online Marketplace, Classified Ads,

Daily Deals, dan Online Retail.

3. Media Sosial

Media sosial kini memiliki peranan penting dalam kehidupan,

semula media sosial hanya digunakan untuk bersosialisasi dan

berinteraksi antar pengguna. Dalam perkembangannya, media sosial

digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari berbagi

pengetahuan, kegiatan sosial, menyebar undangan hingga jualan.

Pesatnya perkembangan teknologi sekarang membuat banyak aplikasi

media sosial baru yang bermunculan di dunia maya. Kini dengan

mengandalkan smartphone yang berhubungan dengan internet,

seseorang sudah bisa mengakses beberapa situs sosial media seperti,

facebook, instagram, twitter, line, wechat, kakao talk dan itu semua bisa

kita akses dimana saja dan kapan saja asalkan terhubung dengan

koneksi internet dan itu membuat arus informasi semakin besar dan

17

pesat. Perkembangan sosial media yang pesat ini tidak hanya terjadi

pada negara-negara maju saja, di negara berkembang seperti Indonesia,

banyak user atau pengguna sosial media dan perkembangan yang pesat

ini bisa menjadi pengganti peran media massa konvensiaonal dalam

menyebarkan berita atau informasi

Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya

bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi

blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.12 Blog, jejaring

sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum

digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Pendapat lain mengatakan

media sosial adalah situs yang menjadi tempat orang-orang

berkomunikasi dengan teman-teman yang mereka kenal di dunia nyata

dan dunia maya.13

Media Sosial dapat digunakan untuk berbagai hal, di antaranya

adalah sebagai media penyebaran informasi, media interaksi sosial, dan

media usaha jual beli. Haryanto menyebutkan dalam karya ilmiah nya

bahwa menggunakan media sosial sebagai sarana penyebaran informasi

dan interaksi sosial merupakan langkah efektif karena informasi dapat

ditemukan dengan cepat dan interaksinya tidak terbatas hanya untuk

individu, namun juga untuk kelompok.14

Kemudian untuk penggunaan Media Sosial sebagai media usaha

jual beli ada beberapa media sosial yang sangat berpengaruh terhadap

E-Commerce, yaitu salah satunya media sosial Instagram. Nama

instagram berasal dari kata insta yang artinya instan. Seperti kamera

polaroid yang pada masanya lebih dikenal dengan sebutan “foto instan”.

Instagram juga dapat menampilkan foto-foto secara instan, seperti

polaroid di dalam tampilannya. Sedangkan kata gram berasal dari kata

12 Anang Sugeng Cahyono, “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat Di

Indonesia” Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Tulungagung (2016): h. 142 13 Aditya, R. (2015). “Pengaruh Media Sosial Instagram Terhadap Minat Fotografi Pada

Komunitas Fotografi Pekanbaru”. Pekanbaru: Jom FISIP Volume 2 No 2 14 Haryanto, “Pemanfaatan Media Sosial Sebagai Media Komunikasi Komunitas Pustakawan

Homogen Dalam Rangka Pemanfaatan Bersama Koleksi Antar Perguruan Tinggi” EduLib (2015):

83-86

18

telegram dimana cara kerja telegram sedeiri berarti mengirimkan

informasi kepada orang lain dengan cepat. Sama halnya dengan

instagram yang dapat mengunggah foto dengan menggunakan jaringan

internet, sehingga informa si yang ingin disampaikan dapat diterima

dengan cepat.

Instagram memiliki lima menu utama yaitu sebagai berikut:

1. Home page

Home page adalah halaman utama untuk menampilkan (timeline)

foto-foto terbaru dari sesama pengguna yang telah diikuti. Cara

untuk melihat foto yaitu hanya dengan menggeser layar dari bawah

ke atas seperti saat scroll mouse di komputer. Instagram hanya akan

menampilkan foto-foto terbaru.

2. Comment

Instagram menyediakan fitur komentar, foto-foto yang ada di

Instagram dapat dikomentari di kolom komentar. Caranya tekan

ikon bertanda balon komentar di bawah foto, kemudian ditulis

kesan-kesan mengenai foto pada kotak yang disediakan setelah itu

tekan tombol send.

3. Explore

Explore merupakan tampilan dari foto foto populer yang paling

banyak disukai para pengguna Instagram. Baik foto yang berasal

dari pengguna yang diikuti ataupun yang belum diikuti.

4. Profil

Profil pengguna dapat mengetahui secara detail mengenai

informasi pengguna, baik itu dari pengguna maupun sesama

pengguna yang lainnya. Halaman profil bisa diakses melalui ikon

kartu nama di menu utama bagian paling kanan. Fitur ini

menampilkan jumlah foto yang telah diupload, jumlah follower dan

jumlah following.

5. News Feed

News feed merupakn fitur yang menampilkan notifikasi terhadap

berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pengguna Instagram. News

19

feed memiliki dua jenis tab yaitu “Following” dan “News”. Tab

“following” menampilkan aktivitas terbaru pada user yang telah

pengguna follow, sedangkan tab “news” menampilkan notifikasi

terbaru terhadap aktivitas para pengguna Instagram terhadap foto

pengguna, memberikan komentar atau foloow maka pemberitahuan

tersebut akan muncul di tab tersebut.

Dari berbagai fitur tersebut, sehingga memudahkan pealku usaha

dan calon customer. Bahwa mayoritas pembeli sudah sangat terbiasa

berbelanja online melalui Instagram, hal ini dikarenakan Instagram yang

mudah diakses.15 Responden bisa mengakses intagram kapanpun dan

dimanapun hanya dengan koneksi internet. Mereka juga dengan mudah

dapat memilih produk apa saja yang mereka inginkan tentunya dengan

harga yang bersaing.

Instagram adalah sebuah aplikasi berbasis Android yang

memungkinkan penggunanya mengambil foto, menerapkan filter

digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial,

termasuk milik instagram sendiri.16 Instagram juga dapat menampilkan

foto-foto secara instan, seperti polaroid di dalam tampilannya.

Sedangkan untuk kata “gram” berasal dari kata “telegram”, dimana

cara kerja telegram sendiri adalah untuk mengirimkan informasi

kepada orang lain dengan cepat. Sama halnya dengan Instagram yang

dapat mengunggah foto dengan menggunakan jaringan internet,

sehingga informasi yang ingin disampaikan dapat diterima dengan

cepat. Oleh karena itu Instagram berasal dari instan-telegram.

Instagram dapat menjadikan tempat untuk menemukan berbagai

macam informasi dari berita, hiburan, promosi produk, hingga

kegiatan sehari-hari orang lain. Instagram juga dapat menjadi wadah

untuk mendapatkan eksistensi bagi orang yang menggunakannya.17

15Ariestya Ayu Permata, “Pemanfaatan Media Sosial untuk Jual Beli Online di Kalangan Mahasiswa

FISIP Universitas Airlangga Surabaya melalui Instagram” Jurnal Unair (2017). 16 Agustina, “Analisis Penggunaan Media Sosial Instagram Terhadap Sikap Konsumerisme Remaja

Di Sma Negeri 3 Samarinda” eJournal Ilmu KomunikasiUniversitas Mulawarman(2016) h. 412 17 Puguh Kurniawan, “Pemanfaatan Media Sosial Instagram Sebagai Komunikasi Pemasaran

Modern Pada Batik Burneh” Kompetensi, Vol. 11, No. 2 (2017) h. 223

20

Selain itu, Instagram merupakan media sosial yang dinilai paling

efektif sebagai sarana promosi oleh pengelola industri di dunia.18

Pentingnya Instagram sebagai sarana promosi terlihat dari sebagian

besar pengelola yang menempatkan personil khusus untuk mengelola

Instagram dan menyediakan dana khusus untuk promosi melalui

Instagram.

B. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Barang/Jasa

1. Pengertian Jual Beli

Pengertian jual beli dalam hukum perlindungan konsumen sendiri

tidak dijelaskan secara langsung. Dalam sejarahnya, perlindungan

konsumen pernah secara prinsipal menganut asas the privity of

contract. Artinya, pelaku usaha hanya dapat dimintakan

pertanggungjawaban hukumnya sepanjang ada hubungan kontaktual

antara dirinya dan konsumen. Oleh karena itu, ada pandangan bahwa

hukum perlindungan konsumen berkolerasi erat dengan hukum

perikatan, khususnya perikatan perdata.19 Sebagaimana dalam hukum

perlindungan konsumen, terdapat aspek hukum yang mengaturnya

seperti salah satunya yaitu hukum perdata. Istilah perjanjian jual beli

berasal dari terjemahan cantract of sale. Perjanjian jual beli diatur

dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata. Yang

dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak

yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,

dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan (Pasal

1457 KUH Perdata).20

Salim mendefinisikan perjanjian jual beli dalam bukunya yaitu

sebagai suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli.

Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan

objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli

berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek

18 Ibid, h. 224 19 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonessia, (Jakarta: PT Grasindo, 2015), hal 13 20 Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta, Sinar Grafika: 2016),

hal. 48

21

tersebut. Sehingga unsur-unsur yang tercantum dalam definisi tersebut

adalah :

a. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli

b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang

dan harga

c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan

pembeli.

a) Syarat-syarat jual beli

Sebagaimana yang diuraikan dalam definisinya, dapat diketahui

bahwa jual beli adalah salah satu bentuk dari perjanjian. Syaratsyarat

sahnya suatu perjanjian tercantum pada Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dalam pasal 1320, supaya terjadi perjanjiaan yang

sah, perlu dipenuhi empat syarat, yaitu :21

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif,

karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan

perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat

obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari

perbuatan hukum yang dilakukan itu. Dengan sepakat atau juga

dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang

mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata

mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.

Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan

sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.22

21 Ibid, hal. 49 22 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015) , hal. 186-187

22

Sebagai syarat yang ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian

harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan

hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu

perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling

sedikit harus ditentukan jenisnya. Akhirnya oleh pasal 1320 KUH

Perdata tersebut di atas, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk

suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal.

Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa Latin causa) ini

dimaksudkan tiada lain pada isi perjanjian. Hukum pada asasnya

tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau

apa yang dicita-citakan seorang, yang diperhatikan oleh hukum atau

undang-undang hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat.

Jadi, yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian

adalah isi perjanjian itu sendiri seperti halnya dalam perjanjian jual

beli isinya adalah pihak satu menghendaki uang.23 Adapun yang

merupakan konsekuensi dari tidak terpenuhinya satu atau lebih dari

syarat sahnya perjanjian sebagai berikut:

1. Batal demi hukum (nietig, null and void). Dalam hal ini, kapan

pun perjanjian tersebut dianggap tidak pernah sah dan dianggap

tidak pernah ada, dalam hal ini jika tidak terpenuhi syarat

objektif dalam pasal 1320 KUH Perdata Indonesia.

2. Dapat dibatalkan (vernietigerbaar, voidable). Dalam hal ini,

perjanjian tersebut baru dianggap tidak sah, jika perjanjian

tersebut dibatalkan oleh yang berkepentingan, dalam hal ini jika

tidak terpenuhinya syarat subjektif dalam pasal 1320 KUH

Perdata Indonesia.

3. Perjanjian tidak dapat dilaksanakan (unenforceable). alam hal

ini, merupakan perjanjian yang tidak dilaksanakan adalah jika

perjanjian tersebut tidak begitu saja batal, tetapi juga tidak dapat

23 Ibid , hal. 190

23

dilaksanakan, tetapi perjanjian tersebut masih mempunyai status

hukum tertentu.

4. Dikenakan sanksi administratif. Dalam hal ini, ada syarat dalam

perjanjian, yang apabila syarat tersebut tidak dipenuhi tidak

mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut, melainkan hanya

mengakibatkan salah satu pihak atau kedua belah pihak terkena

semacam sanksi administratif

b) Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli Menurut Hukum Perdata

Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang

dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual), menyerahkan

atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan,

sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain, membayar harga

yang telah disetujuinya. Yang harus diserahkan oleh penjual kepada

pembeli adalah hak milik atas barangnya, jadi bukan sekedar

kekuasaan atas barang tadi.

Penjual diwajibkan menyatakan dengan tegas untuk apa ia

menyatakan dengan tegas untuk apa ia mengikatkan dirinya, segala

janji yang tidak terang dan dapat diberikan berbagai pengertian,

harus ditafsirkan untuk kerugian. Ia mempunyai dua kewajiban

utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya. (1473-

1474 KUHP). Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga

pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan

menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak

ditetapkan tentang itu, si pembeli harus membayar di tempat dan

pada waktu dimana penyerahan harus dilakukan. (1513-1514

KUHP).

2. Pengertian Barang

Barang merupakan produk yang berwujud fisik, sehingga bisa

dilihat, di sentuh, dirasa, dipegang, disimpan, dipindahkan, dan

perlakuan fisik lainnya.

24

Dalam KUHPerdata mengenal tiga macam barang dalam Pasal 503-

Pasal 505 KUHPerdata yaitu:

a. Ada barang yang bertubuh dan ada barang yang tak bertubuh.

b. Ada barang yang bergerak dan ada barang yang tak bergerak.

c. Ada barang yang bergerak yang dapat dihabiskan, dan ada yang

tidak dapat dihabiskan dan yang dapat dihabiskan adalah barang-

barang yang habis karena dipakai.

Penyerahan barang-barang tersebut diatur dalam KUHPerdata

sebagaimana berikut:

a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas

barang itu (Pasal 612 KUHPerdata).

b. Untuk barang tidak bergerak penyerahan dilakukan dengan

pengumuman akta yang bersangkutan yaitu dengan perbuatan yang

di namakan balik nama di muka pegawai kadaster yang juga

dinamakan pegawai balik nama (Pasal 616 dan Pasal 620

KUHPerdata).

c. Untuk barang tidak bertubuh dilakukan dengan membuat akta

otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas

barang-barang itu kepada orang lain (Pasal 613 KUHPerdata).

3. Pengertian Jasa

Pengertian jasa (service) adalah setiap tindakan atau kinerja yang

ditawarkanoleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak

berwujud dan tidakmenyebabkan perpindahan kepemilikan. Menurut

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen,Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau

prestasi yang disediakanbagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

konsumen.24

Para ahli yang telah mendefinisikan pengertian jasa sesuai dengan

sudut pandang mereka masing-masing, diantaranya:

24 Indonesia (Konsumen), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

Pasal 1 ayat (5).

25

Definisi jasa menurut Supranto25 menyebutkan bahwa “Jasa adalah

setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak

kepada pihak lain yang secara prinsip intangible dan tidak

menyebabkan perpindahan kepemilikan apa pun”.

Definisi jasa menurut Rambat Lupiyoadi menyebutkan bahwa “Jasa

adalah setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu

pihak kepada pihak lain yang secara prinsip intangible dan tidak

menyebabkan perpindahan kepemilikan apa pun”.26

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka jasa pada dasarnya

merupakan proses aktivitas yang diberikan kepada konsumen yang

tidak berwujud dan memiliki nilai bagi konsumen karena dapat

memenuhi kebutuhannya. Pengguna jasa merupakan suatu yang

khusus, karena merupakan sesuatu yang tidak nyata dan tentu saja

berbeda dengan barang (produk fisik). mengatakan bahwa “Jasa adalah

semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk dalam

bentuk fisik atau konstruksi, yang biasanya dikonsumsi pada saat yang

sama dengan waktu yang dihasilkan dan memberikan nilai tambah

(seperti misalnya kenyamanan, hiburan kesenangan atau kesehatan)

atau pemecahan akan masalah yang dihadapi konsumen.

C. Tinjauan Umum Tentang Pengawasan

1. Pengertian pengawasan

Pengawsan secara umum dapat diartikan sebagai aktivitas pokok

dalam manajemen untuk mengusahakan sedemikian rupa agar

pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana serta sesuai

denagan hasil yang dikehendaki. Pada dasarnya pengawasan

berlangsung mrngikuti pola sebagai berikut :

a. Menetapkan standar atas dasar kontrol.

b. Mengukur hasil pekerjaan secepatnya.

25 Supranto, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikan Pangsa Pasar, (Jakarta:PT.

Reinika Cipta, 2016), hlm 227. 26 Rambat Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa Berbasis Kompetensi, (Jakarta:Salemba Empat,

2016), hlm 5.

26

c. Membandingkan hasil pekerjaan dengan standar atau dasar yang

telah ditentukan semula.

d. Mengadakan tindakan koreksi.

Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu

administrasi yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan

pengelolaan. Istilah Bahasa Inggris disebut controlling yang

diterjemahkan dalam istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga

istilah controlling lebih luas artinya daripada pengawasan. Jadi

pengawasan adalah termasuk pengendalian.27 Pengawasan dapat juga

di definisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan

organisasi dan manajemen dapat tercapai. Ini berkernaan dengan cara-

cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan.Pengawasan

ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara perencanaan

dan pengawasan.

Pengawasan adalah suatu penilaian yang merupakan suatu proses

pengukuran dan verifikasi dari serangkaian proses yang telah

diselenggarakan secara berkelanjutan.28 Menurut Sujamto pengawasan

adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai

kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan,

apakah sesuai dengan semestinya atau tidak.29

Kemudian menurut Mc.Ferland pengawasan ialah suatu proses

dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan

yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah,

tujuan atau kebijaksanaan yang telah ditentukan. Pengawasan menurut

Bagir Manan merupakan pengikat kesatuan, agar bandul kebebasan

berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan

mengancam kesatuan, tetapi pengawasan sebagai pengikat tidak juga

27 Suriansyah Murhaini, Manajemen Pegawasan Pemerintahan Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

2015, hlm. 4 28 Jum Anggraini, Op.cit., Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2016, hlm. 78.

27

dapat ditarik begitu kencang, karena akan menyebabkan kebebasan

desentralisasi akan berkurang bahkan mungkin terputus.

Bagir Manan juga mengemukakan bahwa pengawasan atau control

mengandung dimensi pengendalian dan juga pembatasan. Pengawsan

dimaksud mengandung pembatasan-pembatasan antara kewenangan-

kewenangan pejabat dan juga lembaga /institusi yang berwenang

mengawasi. Selanjutnya Newman berpendapat bahwa “control is

assurance that the per formance confrom to plan”, ini berarti titikberat

pengawsan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu

tugas dapat sesuai dengan rencana.

Dengan demikian menurutnya pengawasan ini adalah suatu tindakan

yang berlangsung, bukan pada akhir dari suatu proses tersebut.

Sedangkan menurut SP.Siagian, memberikan definisi tentang

pengawasan sebagai proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh

kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang

dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.

Rumusan lain diberikan oleh Suyatno sebagai berikut “pengawasan

adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai

kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan,

apakah sesuai dengan semestinya atau tidak”.Pengawasan dari segi

hukum merupakan penilaian tentang sah atau tidaknya suatu perbuatan

pemerintah yang menimbulkan akibat hukum.

2. Macam-macam pengawasan

Macam-macam pengawasan menurut Siagian ada 2 (dua) yakni

pengawasan langsung dan tidak langsung :

a. Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan pimpinan

terhadapnya bawahannya, pengawasan ini biasanya dalam bentuk

inspeksi langsung.

b. Pengawasan tidak langsung adalah pengawsan yang dilakukan oleh

pimpinan terhadap bawahannya dari jauh berupa laporan yang telah

28

disampaikan oleh para bawahannya, laporan ini dapat berupa tertulis

dan lisan.

Senada dengan pendapat Siagian, Situmorang dan Juhir juga

berpendapat ada 2 (dua) macam pengawasan yaitu pengawasan

langsung dan pengawasan tidak langsung :

a. Pengawasan langsung (direct control) ialah apabila pimpinan

organisasi mengadakan sendiri pengawasan terhadap kegiatan

yang sedang dijalankan. Pengawasan langsung ini dapat

berbentuk : (a) inspeksi langsung, (b) on the spot observation,

(c) on the spot report, yang sekaligus berarti pengambilan

keputusan on the spot pula jika diperlukan. Akan tetapi karena

banyaknya dan kompleksnya tugas-tugas seorang pimpinan

terutama dalam organisasi yang besar seorang pimpinan tidak

mungkin dapat selalu menjalankan pengawasan langsung itu.

Karena itu sering pula ia harus melakukan pengawasan yang

bersifat tidak langsung.

b. Pengawasan tidak langsung (indirect control) ialah pengawasan

jarak jauh. Pengawasan ini dilakukan melaui laporan yang

disampaikan oleh para bawahan. Laporan itu berbentuk : (a)

tertulis, (b) lisan. Kelemahan daripada pengawasan tidak

langsung itu ialah bahwa sering para bawahan hanya melaporkan

hal-hal yang positif saja. Dengan perkataan lain, para bawahan

itu bawahan itu mempunyai kecenderungan hanya melaporkan

hal-hal yang diduganya akan menyenangkan pimpinan.

Menurut Daly Erni macam-macam pengawasan ada 2 macam

yaitu pengawasan intern dan pengawasan eksten :

a. Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh

orang dari badan/unit/instansi di dalam lingkungan unit tersebut.

Dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau

pengawasan melekat.

b. Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan di luar

badan/unit/instansi tersebut. UUD 1945 Pasal 23E “untuk

29

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan

negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas

dan mandiri.

3. Tujuan pengawasan

Adapun tujuan pengawasan menurut Sujamto adalah untuk

mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang

pelaksanaan tugas dan pekerjaan, apakah semestinya atau tidak.

Sedangkan tujuan pengawasan menurut Victor Situmorang dan Jusuf

Juhir adalah sebagai berikut :

a. Menjamin ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana,

kebijaksanaan dan perintah.

b. Menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatan.

c. Mencegah pemborosan dan penyelewengan.

d. Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang dan jasa

yang dihasilkan.30

Membina kepercayaan terhadap kepemimpinan organisasi. Menurut

Rachman juga mengemukakan tentang tujuan pengawasan, yaitu :

a. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan

rencana yang telah ditetapkan.

b. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu telah berjalan sesuai

dengan instruksi serta prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.

c. Untuk mengetahui apakah kelemahan-kelemahan serta kesulitan-

kesulitan dan kegagalan-kegagalannya, sehingga dapat diadakan

perubahanperubahan untuk memperbaiki serta mencegah

pengulangan kegiatankegiatan yang salah.

d. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan

apakah dapat diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut, sehingga

mendapat efisiensi yang lebih benar. Dari kedua pendapat diatas

dapat disimpulkan bahwa tujuan pengawasan adalah untuk

30 Herma Yanti, SH.,MH., Mekanisme Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah Menurut Unang-

Undang Nomor 32 Tahun 2018, hlm. 40.

30

mengetahui pelaksanaan kerja, hasil kerja, dan segala sesuatunya

apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak, serta mengukur

tingkat kesalahan yang terjadi sehingga mampu diperbaiki kearah

yang lebih baik

D. Tinjauan Umum Tentang Perpajakan

1. Pengertian pajak

Definisi pajak berdasrkan Undang-Undng Nomor 16 tahun 2009

tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 Ayat

1 berbunyi pajak yaitu kontribusi wajib kepada negara yang terutang

oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

serta digunakan untuk keperluan negara untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.31 Adapun pengertian pajak menurut para ahli,

misalnya menurut P. J. A Andriani “Pajak yaitu iuran kepada negara

(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya

menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi

kembali, yang langsung serta dapat ditunjuk, dan gunanya adalah untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubung dengan

tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Sedangkan menurut Rochmat Soemitro “Pajak yaitu peralihan

kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-

undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan

(tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang

digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan

sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai

tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara”.32 Dan menurut

Soeparman Soemohamijaya “Pajak yaitu iuran wajib berupa uang atau

barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum

guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif dalam

31 Mardiasmo, “Perpajakan”, (Yogyakarta: Andi, 2018), h.3 32 Untung Sukardji, “Pajak Pertambahan Nilai”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), Edisi

Revisi, h. 1-2

31

mencapai kesejahteraan umum”.33 Dari definisi diatas dapat ditarik

kesimpulan:

a. Pajak yaitu dibayarkan oleh orang pribadi atau badan

b. Pajak bersifat memaksa dan pembayaran pajak berdasarkan Undang

Undang

c. Pajak tidak ada kontra prestasi (imbalan) yang langsung dapat

dirasakan oleh si pembayar pajak tersebut.

d. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran

pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat

umum.

Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan

tentang ciri – ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain :

a. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah berdasarkan atas Undang-Undang serta aturan

pelaksanaannya.

b. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya)

dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor negara

(pemungut pajak/administrator pajak).

c. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum

pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah, baik rutin

maupun pembangunan.

d. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual

oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh

para wajib pajak.

e. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas

Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup

pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi

sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara

dalam laporan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulatif).

33 Diana Sari, “ Konsep Dasar Perpajakan”, (Bandung: Refika Aditama, 2015), h.34-35

32

2. Jenis-jenis Pajak

Pajak dibagi menjadi beberapa menurut golongannya, sifatnya, dan

lembaga pemungutnya:34

a. Menurut sifatnya, pajak dibagi menjadi dua, yaitu sebagai

berikut:

1) Pajak langsung ialah pajak yang pembebanannya tidak dapat

dialihkan oleh pihak lain dan menjadikam beban langsung

Wajib Pajak (WP) yang bersangkutan. Contoh: Pajak

Penghasilan (PPh).

2) Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya

dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak

Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah (PPnBM).

b. Menurut sasaran/objeknya, pajak dapat dikelompokan menjadi

dua, yaitu sebagai berikut:

1) Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau

berdasarkan pada subjeknya yang diteruskan dengan

mencari syarat objektifnya, dalam artian memperhatikan

keadaan dari WP. Contoh: PPh

2) Pajak Objektif yaitu pajak yang berpangkal atau

berdasarkan pada objek tanpa memperhatikan keadaan dari

WP. Contoh: PPN, PPNBM, Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB), dan Bea Materai (BM).

c. Menurut Pemungutnya, pajak dibagi menjadi 2, yaitu sebagai

berikut:

1) Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintapusat.

Contohnya: PPh, PN, PPnBM, PBB, BM.

2) Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah

daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga

pemerintah daerah. Contohnya: Pajak Reklame, Pajak

34 Sukrisno Agoes dan Trisnawati,” Akuntansi Perpajakan”, (Jakarta:2016), h. 7

33

Hiburan, Pajak Hotel dan Resoran, dan Pajak Kendaraan

Bermotor.

3. Penerimaan Pajak

Penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri

Pemerintah, dan hibah. Penerimaan dalam negeri Pemerintah terdiri

atas penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Dewasa ini pajak merupakan tumpuan pemerintah dalam menjalankan

roda pemerintahan, penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan

negara terbesar saat ini yaitu mencapai 80% dari penerimaan negara.

Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari Kementerian Keuangan

Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menarik pajak

dari masyarakat.

Belakangan ini masyarakat lebih kritis dan berani dalam

menyuarakan keinginannya akan pelayanan yang baik, khususnya

pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Seiring dengan

bertambahnya beban yang harus ditanggung masyarakat, bertambah

pula tuntutan masyarakat akan tersedia pelayanan publik yang

berkualitas tinggi. Direktorat Universitas Sumatera Utara Jenderal

Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi pemerintah di bawah

Kementerian Keuangan yang mengemban tugas untuk mengamankan

penerimaan pajak negara dituntut untuk selalu dapat memenuhi

pencapaian target penerimaan pajak yang senantiasa meningkat dari

tahun ke tahun di tengah tantangan perubahan yang terjadi dalam

kehidupan sosial maupun ekonomi di masyarakat.

Berdasarkan kewenangan dalam pemungutannya, pajak dapat

digolongkan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Dari kedua jenis

pajak tersebut, yang akan diuraikan berikut ini hanyalah jenis-jenis

pajak pusat karena hanya pajak pusat yang merupakan penerimaan

pemerintah pusat yang menjadi bagian dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN).

34

4. Kriteria Wajib Pajak

Wajib pajak harus memenuhi dua kriteria yang berdasarkan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan:

1. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk

bentuk usaha tetap.

2. Menerima penghasilan dari usaha, yang tidak termasuk penghasilan

dari jasa sehubungan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto

tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 dalam satu tahun pajak. Adapun

penghasilan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:

a. Pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai

dan aktuaris.

b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang

film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto

model, peragawan/ peragawati, pemain drama dan penari.

5. Cara Pemungutan Pajak

Pemungutan Pajak dilakukan berdasarkan tiga stelsel:35

a. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)

Pengenaan pajak berdasarkan pada objek (penghasilan yang nyata),

sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun

pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.

Stelsel nyata mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan

stelsel ini yaitu pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan

kekuranganya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode

(setelah penghasilan riil diketahui).

b. Stelsel Anggapan (Fictieve stelsel)

Pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu anggapan yang diatur

oleh undang-undang. Misalnya, Penghasilan suatu tahun dianggap

sama dengan tahun sebelumnya trsebut, sehingga pada awal tahun

pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk

35 Marihot Pahala Siahaan, “Hukum Pajak Elementer”, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 173-175

35

tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini yaitu pajak dapat dibayar

selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun,

sedangkan kelemahannya yaitu pajak yang dibayar tidak

berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.

c. Stelsel Campuran Stelsel

Merupakan gabungan antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.

Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu

anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan

dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut

kenyataan menurut kenyataan lebih besar dari pajak menurut

anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika

lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

6. Sistem Pemungutan Pajak

Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan,

yaitu Official Assessment System, Self Assessment System, Withholding

System. Adapun penjelasannya sebagai berikut:36

a. Official Assessment System

Sistem ini adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan

wewenang kepada fiskus atau aparata pajak dalam menentukan

besarnya pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan

ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.

b. Self Assessment System

Sistem ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang

memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada

setiap wajib pajak untuk memperhitungkan, membayar serta dapat

melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayarkan.

c. Withholding System

Sistem ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang

memberika wewenang terhadap pihak ketiga untuk memotong atau

memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Saat ini

36 Thomas Sumarsan. “Perpajakan Indonesia: Pedoman Perpajakan yang Lengkap Berdasarkan

Undang-Undang Terbaru”, (Jakarta: Indeks, 2010), h. 35

36

di Indonesia menerapkan sistem Self Assessment System, dimana

wajib pajak dianggap mampu menghitung pajak terutang serta

paham akan peraturan yang berlaku dan mempunyai kejujuran yang

tinggi serta menyadari akan arti dalam pentingnya membayar pajak.

Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan

pajak semacam ini sangat tergantung pada wajib pajak itu sendiri

(peran dominan ada pada wajib pajak).

7. Tarif Pajak (Tax Rate Structures)

Menurut Burton dan Ilyas (2013) 6 jenis tarif pajak, yaitu:

1. Tarif Progresif (meningkat) Tarif progresif merupakan tarif

pemungutan pajak yang presentasenya makin besar bila jumlah yang

dijadikan dasar pengenaan pajak juga makin besar.

2. Tarif Progresif (meningkat) Tarif progresif merupakan tarif

pemungutan pajak yang presentasenya makin besar bila jumlah yang

dijadikan dasar pengenaan pajak juga makin besar.

3. Tarif Progresif (meningkat) Tarif progresif merupakan tarif

pemungutan pajak yang presentasenya makin besar bila jumlah yang

dijadikan dasar pengenaan pajak juga makin besar.

4. Tarif Progresif (meningkat) Tarif progresif merupakan tarif

pemungutan pajak yang presentasenya makin besar bila jumlah yang

dijadikan dasar pengenaan pajak juga makin besar.

5. Tarif Progresif (meningkat) Tarif progresif merupakan tarif

pemungutan pajak yang presentasenya makin besar bila jumlah yang

dijadikan dasar pengenaan pajak juga makin besar.

6. Tarif Degresif Tarif degresif merupakan tarif pemungutan pajak

yang presentasenya makin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar

pengenaan makin besar.

7. Tarif Proporsional Tarif proposional merupakan tarif pemungutan

pajak yang menggunakan presentase tetap tanpa memperhatikan

jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.

37

8. Tarif Tetap Tarif pajak tetap adalah tarif pemungutan pajak yang

besar nominalnya tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan

dasar pengenaan pajak.

9. Tarif Advalorem Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan

presentase tertentu yang dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai

suatu barang.

10. Tarif Spesifik Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah

tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis

barang tertentu. Tarif pajak badan di Indonesia adalah sebesar 25%.

Hal ini sesuai dengan pasal 17 ayat (1) huruf b dan dijelaskan lagi di

ayat 2a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008

Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1983 Tentang Pajak Penghasilan.

E. Tinjauan Umum Pajak Penghasilan

1. Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan menurut pasal 1 Undang-undang Pajak

Penghasilan yaitu pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas

Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 berdasarkan Peraturan

Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 yaitu pajak atas

penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran

lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan

pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang

pribadi subyek pajak dalam negeri. Dalam Undang-undang Pajak

Penghasilan, subjek pajak yang menerima atau memperoleh

penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan

pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun

pajak serta dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam

bagian tahun pajak. Pajak penghasilan meliputi pajak penghasilan

umum, PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 24, PPh 25, PPh 26, PPh 29.

Penentuan pada besarnya PPh terutang dalam satu tahun pajak

dilakukan dengan cara mengalikan tarif PPh Pasal 17 Undang-Undang

38

Pajak Penghasilan terhadap penghasilan kena pajak. Wajib Pajak

orang pribadi berlaku tarif progresif mulai 5% sampai dengan 30%

sesuai dengan lapisan penghasilan yang kena pajaknya. Bagi Wajib

Pajak Badan beralaku tarif tunggal sebesar 25% dari laba bersih usaha

atau penghasilan kena pajaknya. Wajib Pajak badan berbentuk

perseroan terbuka yang memenuhi persyaratan yang dapat memperoleh

fasilitas penurunan tarif sebesar 5% dari tarif umum. Perlakuan khusus

PPh juga berlaku bagi pengusaha e-commerce baik orang pribadi atau

badan yang dalam satu tahun pajak mempunyai omzet tidak melebihi

jumlah Rp 4,8 miliar. Para pengusaha tersebut dikenakan PPh bersifat

final dengan tarif pajak sebesar 1% yang dihitung dari omzet setiap

bulan.

Objek Pajak yang menjadi sasaran PPh yaitu penghasilan

sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh1984, yang

lengkapnya berbunyi:

“Yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik

yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat

dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan Wajib Pajak

yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun”.

a. Subyek Pajak

Subjek pajak penghasilan yaitu sesuatu yang memiliki

potensi untuk memperoleh penghasilan menjadi sasaran untuk

dikenakan pajak penghasilan. Subjek pajak meliputi:37

1) Orang pribadi yaitu setiap orang yang tinggal di Indonesia atau

tidak bertempat tinggal di Indonesia yang mendapatkan

penghasilan di Indonesia.

2) Warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan, menggantikan

yang berhak yaitu warisan dari seseorang yang sudah

meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan,

maka pendapatan itu dikenakan pajak.

37 Diana Sari, “Konsep Dasar Perpajakan”, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h. 120-123

39

3) Badan yaitu sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan

kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak

melakuka usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan

komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau

Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk

apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,

perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial

politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan

bentuk badan lainnya.

4) Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh

orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia attau

berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puuh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang

tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,

untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

b. Obyek Pajak

Objek pajak terdapat di dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 36

tahun 2008 ialah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang

diterima ataupun diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal

dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai

untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak

yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun

termasuk:

1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau

jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah,

tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun

atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain

dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

2) Hadiah dari undian dan atau pekerjaan, kegiatan serta

penghargaan.

3) Laba usaha.

4) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk.

40

5) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,

persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau

penyertaan modal.

6) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan

lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham,

sekutu ataupun anggota.

7) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,

pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha.

8) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan

atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan

keagamaan atau badan pendidikan, badan sosial, pengusaha

kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan, sepanjang tidak adanya hubungan dengan usaha,

pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak

yang bersangkutan.

9) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau

seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan

serta permodalan dalam perusahaan pertambangan.

10) Penerimaan kembali pada pembayaran pajak yang telah

dibebankan sebagai biaya.

11) Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena

jaminan pengembalian utang.

12) Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk

dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan

pembagian sisa hasil usaha koperasi.

13) Royalty atau imbalan atas penggunaan hak.

14) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan

harta.

15) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

16) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan

jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

41

17) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

18) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

19) Premi asuransi.

20) Iuran yang diterima dan diperoleh perkumpulan dari anggotanya

yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan

bebas.

21) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang

belum dikenakan pajak;

c. Kesadaran Wajib Pajak

Kesadaran Wajib Pajak merupakan perihal kondisi dimana

Wajib Pajak mengerti dan memahami arti dan fungsi maupun

tujuan pembayaran pajak kepada negara. Dengan kesadaran Wajib

Pajak yang tinggi dapat memberikan pengaruh kepada

meningkatkan dalam kepatuhan pajak yang lebih baik lagi.38

Kesadaraan Wajib Pajak (Tax Consciouness) berkonsekuensi logis

untuk wajib pajak, yaitu kerelaan wajib pajak memberikan

kontribusi dana, dengan cara yaitu membayar kewajiban pajaknya

secara tepat waktu dan tepat jumlah.

Kewajiban perpajakan yang sudah tepat jumlah akan

berpengaruh terhadap kejujuran wajib pajak.39 Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa kesadaran Wajib Pajak adalah keadaan

dimana wajib pajak yang mengetahui dan mengerti perihal pajak.

Kesadaran Wajib Pajak sangatlah diperlukan, apabila Wajib Pajak

tersebut telah sadar untuk membayar pajak maka kepatuhan Wajib

Pajak akan terpenuhi, sehingga pembayaran pajak akan terus

mengalami peningkatan dan tidak ada lagi Wajib Pajak yang enggan

membayar pajaknya.

38 Siti Kurnia Rahayu, “Perpajakan: Konsep dan Aspek Formal”, (Bandung: Rekayasa Sains, 2017),

h. 191 39 Agustina Beti. “Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak (Tax Consciouness), Kejujuran Wajib Pajak

(Tax Honesty), Kemauan Membayar Dari Wajib Pajak (Tax Mindedness), Kedisiplinan Wajib Pajak

(Tax Disclipne) Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Tax Complience)” dalam

Journal Riset Mahasiswa Akuntansi(JRMA) ISSN: 2337- 56xx.Volume: xx, Nomor: xx, h. 3

42

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesadaran

Wajib Pajak yaitu keadaan dimana wajib pajak mengetahui dan

mengerti perihal pajak. Kesadaran Wajib Pajak sangat diperlukan,

apabila Wajib Pajak telah sadar dalam membayar pajak maka

kepatuhan Wajib Pajak akan terpenuhi, sehingga pembayaran pajak

akan terus mengalami peningkatan dan tidak ada lagi Wajib Pajak

yang enggan membayar pajaknya.

d. Kepatuhan Wajib Pajak

Kepatuhan Wajib Pajak merupakan ketaatan Wajib Pajak

dalam melaksanakan ketentuan perpajakan yang berlaku. Definisi

Kepatuhan Wajib Pajak menurut Safri Nurmantu adalah:

“Kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan sebagai suatu

keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban

perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.”

Adapun menurut Machfud Sidik mengemukakan bahwa:40

“Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara

sukarela (voluntary of complince) merupakan tulang punggung

sistem self assessment, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab

menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara

akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya

tersebut.”

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan,

bahwa pengertian kepatuhan wajib pajak adalah wajib pajak yang

taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Kesadaran itu sendiri merupakan bagian dari motivasi

instrinsik yaitu motivasi yang datangnya dalam diri individu itu

sendiri dan motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang datangnya dari

luar individu, seperti dorongan dari aparat pajak untuk

meningkatkan kepatuhan perpajakan. Salah satu cara yang

40 Rahayu, Siti Kurnia. 2017 . Perpajakan Indonesia : Konsep dan Aspek Formal, Graha Ilmu,

Yogyakarta. Hal 19

43

dilakukan pemerintah DJP dengan melakukan reformasi

modernisasi sistem administrasi perpajakan berupa perbaikan

pelayanan bagi Wajib Pajak melalui pelayanan yang berbasis e-

system seperti e-registration, e-filing, e-SPT, dan e-billing. Hal

tersebut dilakukan agar Wajib Pajak dapat melakukan pendaftaran

diri, melaksanakan penyetoran SPT, menghitung dan membayar

perpajakan dengan mudah dan cepat secara online.

2. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Usaha E-Commerce

Pada tarif pajak penghasilan usaha, pemerintah mempermudah

pemungutan tarid dengan ketentuan yang dikeluarkan pada Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 memuat tentang diberlakukannya

tarif PPh Final 1% yang ditujukan kepada Wajib Pajak pribadi dan

badan yang memiliki penghasilan dengan omzet usaha dibawah 4,8

miliar dalam satu tahun. Pungutan atas pajak tersebut diatur dalam PP

No. 46 Tahun 2013, sehingga penting bagi Anda pemilik usaha untuk

memahami peraturan tersebut.41

Dalam peraturan pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tersebut

dipaparkan poin-poin sebagai berikut. Besar penghasilan Wajib Pajak

yang diperoleh dari usaha memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 miliar

dalam 1 tahun pajak. Omzet atau peredaran bruto yang dimaksud

merupakan jumlah peredaran bruto semua gerai, outlet, maupun counter

atau semacamnya baik itu pusat ataupun cabang.

Ketentuan pembayaran pajak terutang harus dibayar sebesar 1%

dari jumlah peredaran bruto. Melalui peraturan tersebut bentuk-bentuk

usaha dagang dan jasa seperti kios, toko, los kelontong, warung makan,

salon dan sebagainya, harus disetorkan pajak atas penghasilan yang

diperoleh dari penjualan tersebut. Untuk Wajib Pajak Objek Pajak

(WPOP) yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 miliar tidak perlu

menyelenggarakan pembukuan karena boleh melakukan perhitungan

penghasilan netto dengan norma. Tetapi, mereka harus membuat

41 https://klikpajak.id/blog/tips-pajak/pp-no-46-tahun-2013-poin-penting/ di akses pafa 17 januari

2020 pukul 19.11 WIB

44

pencatatan atas peredaran usahanya setiap bulan. Berikut penjelasan

tentang pembukuan dan pencatatan yang harus dilakukan oleh Wajib

Pajak Objek Pajak (WPOP).

Pembukuan wajib dilakukan oleh Wajib Pajak Objek Pajak

(WPOP) dengan peredaran bruto di atas 4,8 miliar. Wajib Pajak Objek

Pajak (WPOP) yang memiliki peredaran bruto di bawah 4,8 miliar,

dapat melakukan perhitungan penghasilan nettonya dengan Norma

Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN). Pembukuan tidak perlu

dilakukan, tetapi pencatatan rutin usaha harus disediakan.

Wajib Pajak Objek Pajak (WPOP) yang memiliki peredaran bruto

di bawah 4,8 miliar namun tidak melakukan pemberitahuan kepada

Direktorat Jenderal Pajak, maka WPOP tersebut dianggap memilih

menyelenggarakan pembukuan. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 14 ayat

(3) UU PPh. Demikian pemaparan tentang Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2013 sebelum akhirnya sejak bulan Juli 2018 kemarin,

PP No. 46 Tahun 2013 telah digantikan dengan PP No. 23 Tahun 2018.

Pemerintah telah memutuskan untuk meringankan tarif PPh Final

menjadi 0,5%. Namun, ketentuan ini bersifat opsional karena wajib

pajak dapat memilih untuk mengikuti tarif dengan skema final 0,5%,

atau menggunakan skema normal yang mengacu pada pasal 17 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Sifat

opsional ini memberi keuntungan bagi wajib pajak karena:

1. Bagi wajib pajak (WP) pribadi dan badan yang belum dapat

menyelenggarakan pembukuan dengan tertib, penerapan PPh Final

0,5% memberikan kemudahan bagi mereka untuk melaksanakan

kewajiban perpajakan. Sebab, perhitungan pajak menjadi sederhana

yakni 0,5% dari peredaran bruto/omzet. Namun, penerapan PPh Final

memiliki konsekuensi yakni WP tetap harus membayar pajak meski

sedang dalam keadaan rugi.

2. WP badan yang telah melakukan pembukuan dengan baik dapat

memilih untuk dikenai Pajaj Penghasilan berdasarkan tarif normal

yang diatur pasal 17 UU No. 36 tentang Pajak Penghasilan.

45

Konsekuensinya, perhitungan tarif PPh akan mengacu pada lapisan

penghasilan kena pajak. Selain itu, WP juga terbebas dari PPh bila

mengalami kerugian fiskal.

Pajak Penghasilan yang terutang dapat dilunasi dengan cara disetor

sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu paling

lambat tanggal 15 bulan berikutnya atau dengan cara dipotong oleh

Pemotong atau Pemungut pajak dalam hal Wajib Pajak bersangkutan

melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai Pemotong

atau Pemungut Pajak.