28
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perundang-Undangan. 1. Pengertian Perundang-Undangan Teori perundang-undang dapat dipahami sebagai (gesetzgebungstheorie), paham perundang-undang lahir dari proses berhukum dalam aliran positifisme hukum yang berkembang di eropa daratan. Tujuan utama dibentuknya peraturan perundang-undangan sebagai sebuah kejelasan dan kepastian hukum terhadap proses peyelenggaran negara disegala aspek 16 Secara yuridis berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Taun 2011 menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.” 17 Lebih lanjut Bagir Manan memberikan pandanganya berkaitan dengan peraturan perundang-undangan sebagai sebuah keputusan tertulis dari pihak- pihalk tertentu. Ditetapkan atau dikeluarkan oleh lembaga negara atau pejabat yang memiliki wewenang sesuai dengantingkatan dari keberlakuan peraturan tersebut 18 . Maka untuk memahami peraturan perundag-unangan sebagai peraturan 16 Maria Farida , Laporan Kompedium Bidang Perundang-Undangan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Ri Badan Pembinaan Hukum Nasional Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Jakarta, 2008 , Hlm. 1 17 Lihat pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembetukan Peraturan perundang-Undangan. 18 Bagir Manan, Peranan Peraturan perundang-undangan dalam pembinaan hukum nasional, Armico, Bandung, 19798, Hlm. 89

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perundang

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perundang-Undangan.

1. Pengertian Perundang-Undangan

Teori perundang-undang dapat dipahami sebagai (gesetzgebungstheorie),

paham perundang-undang lahir dari proses berhukum dalam aliran positifisme

hukum yang berkembang di eropa daratan. Tujuan utama dibentuknya peraturan

perundang-undangan sebagai sebuah kejelasan dan kepastian hukum terhadap

proses peyelenggaran negara disegala aspek 16

Secara yuridis berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Taun

2011 menyatakan bahwa “peraturan perundang-undangan adalah peraturan

tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk

atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui

prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.”17

Lebih lanjut Bagir Manan memberikan pandanganya berkaitan dengan

peraturan perundang-undangan sebagai sebuah keputusan tertulis dari pihak-

pihalk tertentu. Ditetapkan atau dikeluarkan oleh lembaga negara atau pejabat

yang memiliki wewenang sesuai dengantingkatan dari keberlakuan peraturan

tersebut18. Maka untuk memahami peraturan perundag-unangan sebagai peraturan

16 Maria Farida , Laporan Kompedium Bidang Perundang-Undangan, Departemen Hukum Dan

Hak Asasi Manusia Ri Badan Pembinaan Hukum Nasional Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Jakarta, 2008 , Hlm. 1

17 Lihat pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembetukan Peraturan perundang-Undangan.

18 Bagir Manan, Peranan Peraturan perundang-undangan dalam pembinaan hukum nasional, Armico, Bandung, 19798, Hlm. 89

18

tertulis maka harus merujuk pada ketentuan pasal 7 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanga yaitu meliputi

hierarki peraturan perundang-undangan, meliputi (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia (2) TAP MPR (3) Undang-Undang atau PERPU (4)

Peraturan Pemerintah (5) Peraturan Daerah propinsi (6) Peraturan Daerah

Kabupaten atau Kota.

Maka dalam hal ini yang dimaksud dengan peraturan perundang-

undangan adalah hukum positif yang berlaku dalam suatu lingkup wilayah

keadaulan hukum Indonesia. Dibentuk dengan menggunakan mekanisme formal

sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan dalam undang-undang.

2. Teori Hirarki Perundang-Undangan

Hukum sebagai suatu produk keputusan negara merupakan satu kesatuan

sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya. Pada pokoknya

hukum merupakan suatu bentuk peraturan yang berisikan suatu larangan, anjuran

bahkan berisikan suatu kebolehan. 19disisi lain validitas hukum sebagaimana

Hans Kelsen dalam teori hukum menyatakan bahwa suatu norma adalah milik

suatu sistem norma dapat diuji hanya degan meyakinkan adanya bahwa norma

tersebut menderivasikan validitas dari norma dasar yang membentuk tata hukum20

Pengembangan terhadap pemikiran Hans kelsen tentang pemikiran

tentang hierarki dan validitas suatu norma yag membentuk piramida lebih lanjut

dijelaskan dalam Karya Hans Nawiaski Allgemeine Rechtslehre als system der

19 Jimly Ashidiqqie, Perihal undang-undang, Raja Grafindo Press, Jakarta, 2010, Hlm 70 20 Hans kelsen dalam jilmy Ashidiqqie, Perihal Undang-Undang, Raja grafindo Press, 2010,

Hlm 170

19

rechtlitchen grundbegriffe. dalam karyanya Hans Nawiaski membahas Theorie

von stuvenufbau der rechtsordnung, memberika susunan norma sebagai berikut :

21

1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm)

2. Aturan dasar negara (staatsgroundgesetz)

3. Undang-undang formal (formeel gesetz)

4. Peraturan pelaksanaq dan peraturan otonom (verordnung en autonome

satzung)

Staatsfundamentalnorm merupakan norma dasar yang dijadikan acuan

untuk membentuk norma yang ada dalam konstitusi, sehingga derajat dari norma

dasar memiliki validitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan konstitusi.

Sehingga keberadaan dari staatsfundamentalnorm lebih dulu ada jika di

bandingkan dengan konstitusi. 22

Terdapat perbedaa pemikiran yag dimiliki oleh Hans Kelsen dan Hans

Nawiaski tentang penyebutan bentuk norma sesuai dengan hierarkinya. Dalam

pandangan Hans Kelsen norma dasar dalam suatu negara disebut sebagai basic

norm, sedangkan dalam pemikiran Hans Nawiaski norma dasar dimaknai sebagai

Staatsfundamentalnorm. Norma fundamental negara sejatinya tidak dapt berubah-

ubah , berbeda dengan cara kudeta ataupun revolusi.

Dalam Konteks ke-Indonesiaan A. Hamid S Attamimi sebagaimana dikutip

oleh Maria Farida dalam Ilmu perundang-undangan mencoba untuk mencocokan

21 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 28 22 Ibid. hlm 170

20

teori yang dikemukakan oleh Hans Nawiaski dengan praktik yang ada di Indonesia.

Adapun tata hukum berdasarkan struktur pemikiran Hans Nawiaski yag dicocokan

oleh A. Hamid S Attamimi sebagai berikut:

a. Staatsfundamentalnorm, Pancasila (secara tertulis dalam Pembukaa UUD

NRI Tahun 1945

b. Staatsgrundgessetz, batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, TAP MPR ,

dan konvensi ketatanegaraan. 23

c. Formel gesertz, undang-undang.

d. Verordnung en autonome satzung, secara hierarkis dimulai dari perturan

pemerintah samia dengan peraturan bupati dan walikota.

Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm untuk pertama

kalinya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di kemukakan oleh Notonegoro,

Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtside) yang oleh Yudi Latif dalam

karyanya Negara Paripurna menyatakan bahwa kedudukan pancasila dalam

ketatanegaraan Indonesia layaknya bintang pengarah kehidupan24 masuknya

23 Penggunaan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum formal yang dimasukan dalam hierarki

perundang-undag menurut A. Hamid S Attamimi berdasarkan pada TAP MPR No III/MPR/ 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan peraturan perundang-undangan. Kemudian pada tahun 2004 TAP MPR tersebut dinyatakan tidak berlaku dengan sendirinya dengan disahkanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan. Salah satu materi mauatan UU tersebut mengapus TAP MPR sebagai salah satu bagian dari hierarki norma perundang-undagan. Hal tersebut didasarkan pada kedudukan MPR hasil reformasi yang bukan merupakan lembaga tertinggi negara lagi. Pandangan yang dikemukakan oleh A. Hamid S Attamimi tersebut diatas tentunya merupakan hal yag masih relevan untuk digunakn sebagai bahan dalam kepenulisan ini, hal tersebut didasarkan pada perkembangan regulasi Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 yng telah diubah dengan Undang-Undanng Nomor 12 tahun 2011 yang mencabut undang-undang sebelumnya dan kembali mengakomodir TAP MPR sebagai bagian dari hierarki norma perundang-undagan. Namun pengakomodiran TAP MPR sebagai bagian dari hierarki norma tidak dilakukan untuk menghidupkan kembali kewenangan MPR untuk mengeluarkan TAP MPR kembali. Namun politik hukum yang digunakan sebagai pertimbangan adalah untuk mengakomodir kepastian hukum berlakunya TAP MPR yang masih berlaku selama belum ada undang-undang yang menggantikanya.

24 Yudi Latif, Negara Paripurna: Sejarah, Rasionalitas dan aAktualitas dari Pancasila, Gramedia pustaka Utama, Jakarta, 2015, Hlm 1

21

Pancasila sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undang menurut Jimly

Ashidiqqie dapat dijadikan sebagai batu uji bagi hukum positif dalam hierarki

norma yang berada di bawahnya. 25

Secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tata urutan hierarki perundangan-

undangan diatur dalam pasal 7 ayat (1) dengan susunan sebagai berikut : 26

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan perundagan-undangan yang diakui dalam undang-undang tentang

pembenntukan peraturan perundang-undangan tidak hanya berhenti pada jenis

peraturan yang diatur dalam ketetuan pasal 7 ayat 1, namun juga dalam pasal 8

menjelaskan lebih lanjut peraturan yang mengakomodir jenis peraturan lainya

meliputi: peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Mahkamah Agung, Mahkamah

Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,

Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan

25Ibid, Hlm 2 26 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

22

Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.27 Peraturan

ini mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang

lebih tinggi.28 Dengan demikian menunjukan bahwa dalam undang-undang tersebut

mengakomodir dua jenis norma hukum yakni norma hukum yang berada dalam

hierarki dan norma hukum di luar hierarki Peraturan perundang-undangan yang

diakui dengan tingkat keberlakuan yang berbeda, dan tidak boleh bertentangan

dengan peraturan yang berada diatasnya.

3. Perihal Undang-Undang

Peraturan dalam tataran undang-undang berdasarkan pandangan Utrecht,

membagi undang-undang dalam dua hal yaitu undang-undang dalam pengertian

formil (wet in formele zin) dan undang-undang dalam pegertian materil (wet in

materiale zin) . rumusan pegertian undang-undang dalam arti formal yaitu berupa

van wet I formele zin frekens als de regering en de staten-generaal gezamenlijk

in besluit zemen volgens een in de groundweet ( yang dimaksud dengan undang-

undan dalam arti formil apabila pemerintah bersama dengan parlemen untuk

membuat keputusan untuk membentuk undang-undang.29 lebih lanjut

kewenangan untuk membentuk undang-undang yag diamanatkan oleh konstitusi

berada pada lembaga negara legislative dan juga eksekutif sesuai dengan political

27 Lihat pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan 28 Made Nurmawati, I Gede Marhaendra Wija Atmaja, Buku Saku Kuliah : Jenis Fungsi dan

Materi Muatan Peraturan Peundangan-undangan Fakultas hukum Universitas Udayana, 2017, Hlm 17 29 Jimly Ashidiqqie. Op.Cit, hlm 121

23

will dalam suatu negara. Secara nyata di Indonesia kekuasaan membentuk

undang-undang ada pada cabang kekuasaan legislative.

Sedangkan, Pemaknaan terhadap wet in material zin adalah van een wet in

materiele zin spereken we al een besluit van een organ met wetgevende

bevoegdeid algemene. Burgers bindende regels bevat (undang-undang dalam arti

materil jika suatu lembaga mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-

undang mengeluarkan suatu norma yang megikat masyarakat umum). perbedaan

secara fundamental terhadap kedua jenis undang-undang tersebut adalah:

pertama, undang-undag dalam arti formil dititik beratkan pada proses

pembuatanya. Kedua , undang-undang dalam arti materil yaitu berkaitan dengan

substansi hukum yang diatur yang mengikat masyarakat secara umum.30 pada

dasarnya kedua konsep tersebut dapat ditemukan dalam satu undang-undang,

namun menjadi anomali karena beberapa peristiwa pembentukan undang-undang

ternyata tidak merefleksikan norma yang ada dalam masyarakat, namun

disesuaikan dengan kehendak penguasa. Dengan demikian undang-undang dalam

arti formil belum tentu dapat disebut sebagai undang-undag dalam arti materil.

Di Indonesia sendiri terhadap suatu produk undang-undang dapat diujikan

di Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas dari undang-undang

tersbeut dengan konstitusi . Dengan adanya pemisahan antara pemaknaan undang-

undang secara materil dan secara formil, hal tersebutpun berimplikasi pada proses

pengujian undang-undang yang ada di Mahkamah Konstitusi di bedakan antara

30 Ibid, hlm 123

24

pengujian formil dan pengujian materil yang disesuaikan sifatnya berdasarkan

pengertianya.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Raz dalam jimly Ashidiqqie yang

mencoba merefleksikan pemikiran Hans Kelsen menyatakan bahwa norma

memiliki dua tingkatan, terdapat norma original dan norma derivative,

berdasarkan mekanisme pembentukanya dan berhentinya pengaturan dalam

norma tersebut. norma dasar adalah norma yang dibuat dengan cara

dipresuposisikan valid oleh pembentukya dan sebagai norma yag mengayomi

norma yang berada di bawahnya. Sedangkan norma derivative dibentuk

berdasarkan dua keadaan tertentu yakni : (1) adaya eksistensildari suatu norma

yang berada di atasnya (a norm creating norm), dan adanya peristiwa tertentu

yang melatar belakangi munculnya norma tersebut (norm creating by events) 31

Adanya norma derivasi sebagai norma yang muncul atas eksistensi dari

peraturan yang lebih tinggi atau norma yang dibentuk oleh pembentuk undang-

undangan dalam hal ini DPR tidak boleh bertentagan degan peraturan yang lebih

tinggi, keberlakua norma tersebut sesuai dengan asas keberlakuan hukum yakni

lex superior derogate lex inferiori ( hukum yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi)

4. Materi Muatan Undang-Undang.

Secara umum suatu produk hukum yang di bentuk dengan menggunakan

mekanisme formal memiliki derajat materi muatan yag berbeda beda, begitupun

dengan undang-undang yang memiliki materi muatan tersendiri. Namun secara

31 Ibid. Hlm 98

25

umum dalam tataran undang-undang dan peraturan yang berada di bawahnya

memiliki materi muatan yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Sejatinya

penentuan materi muatan dalam pembentukan perundang-undangan secara formal

merupakan kebebasan dari badan yang membentuknya sesuai dengan political

will dari lembaga atau badan yang bersangkutan, namun bandul kebebasan

pembentukan isi perundangan-undangan diikat oleh asas pembentukan peraturan

perundanga-undangan. Adapun Asas-asas pembentukan materi perundang-

undangan:

a. Pengayoman

b. Kemanusiaan

c. Kebangsaan

d. Kekeluargaan

e. Kenusantaraan

f. Bhinneka tunggal ika

g. Keadilan

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

i. Ketertiban dan kepastian hukum

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Menurut A. Hamid S. Attamimi dalam pengmbangan ilmu perundang-

undangan, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi materi muatan meliputi:32

32 Pandangan tentang materi muatan perundang-undangan yag dikemukakan oleh A. Hamid S.

Attamimi merupakan materi muatan perundang-ubndagan sebelum dihapusnya kewenangan MPR untuk mengeluarkan TAP MPR, dan sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang menghapus kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam A. Hamid S. Attamimi, Materi Muatan perundang-undangan, Jurnal Hukum dan Pembangunan, http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1175/1098, Vol 15, Tahun 1985, Hlm. 59.

26

a. Perintah yang diatur secara tegas didalam UUD 1945

b. Perintah untuk diatur dalam undang-undang yang dimuat dalam TAP

MPR

c. Mengatur hak asasi manusia secara universal

d. Mengatur hak dan kewajiban dari warga negara

e. Mengatur pembagian kekuasaan negara termasuk kekuasaan yudikatif

dan kebebasan hakim

f. Mengatur pokok-pokok lembaga tertinggi negara, lembaga tinggi

negara

g. Mengatur pembagian daerah berdasarkan pembagian daerah besar dan

daerah kecil

h. Mengatur cara mendapatkan kewarganegaraan

i. Hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang untuk diatur oleh

undang-undang.

Materi muatan berdasarkan pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan meliputi :

1. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undan

3. Pengesahan perjanjian internasional tertentu

4. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi

27

B. Tinjauan Umum Judiccial Review

“Pengujian” (toetsing/review) dalam konteks tulisan ini adalah pengujian

undang-undang (UU) dalam arti luas yaitu dalam arti formal dan material, sedangkan

pengujinya (lembaganya) tidak hanya lembaga peradilan saja melainkan juga

lembaga legislatif dan/atau ekskutif. Khusus untuk mengetahui apa yang dimaksud

dengan pengujian UU melalui lembaga peradilan(judicial review) kita lihat dalam

Kamus Hukum.

Menurut Kamus Black Law Dictionary:

Judicial review: A court’s power to review the actions or others branches or levels of government esp., the court’s power to invalidate legislative and executive actions as being unconstitutional. 2. The constitutional doctrine providing for this power. 3. A courts review of lower courts or an administrative bodys factual or legal findings33

Pada dasarnya, dalam kepustakaan ketatanegaraan sejarah awal pemikiran

tentang pengujian norma yang rendah terhadap norma yang tinggi merupakan ajaran

yang di kemukakan oleh John Locke. Termasuk proses pengujian terhadap undang-

undang dengan undang-undang. Seperti yang di terapkan di beberapa negara, dengan

dalil diterapkan di banyak negara untuk membentuk pemerintahan yang sesuai

dengan konstitusi (constitusional government). Pemikiran tersebut belum memiliki

praktik yang jelas terhadap proses pengujian peraturan yang rendah terhadap

peraturan yang tinggi haingga ahirnya, untuk pertama kalinya melalui Mahkamah

Agung Amerika Serikat melalui ketua pengadilan John P Marshal. John Marshal

(1803) melakukan pemeriksan terhadap kasus Merbury Dkk Vs Medisson.

33 Black Law Dictionary dalam Muchamad Aziz Pengujia Peraturan Perundang-undangan dan

dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia , Seventh Edition, Editor in Chief: Bryan A. Garner, West Group, St. Paul, Minn, 1999, hal. 853.

28

Dari kasus merbury vs Meddison tersebut pemikiran tentang konsep judicial

review lahir sebagai alat untuk melindungi hak hak yang dimiliki oleh warga negara

dari keotoritarian yang dilakukan oleh negara melalui produk hukum yang

dimilikinya. Lebih lanjut hal tersebut di jelaskan dalam pandangan Maruar Siahan

yang menyatakan bahwa kelahiran Mahkamah Konstitusi di seluruh dunia

menandakan adanya kemajuan peradaban untuk melindungi hak asasi yang dimiliki

manusia sebagai subyek hukum

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-

undang tidak hanya didasarkan pada adanya peraturan yang melanggar hak

konstitusional yang dimiliki oleh warga negara. Namun permasalahan perbedaan

makna dari penafsiran yang berbeda antara warga negara dengan warga negara

bahkan warga negara dengan pembentuk undang-undang.

Perbedaan makna konstitusi dalam kehidupan masyarakat dalam tingkat

paling ahir di putuskan oleh lembaga peradilan konstitusi atau di beberapa negara

termasuk di Indonesia dikenal sebagai Mahkamah kosntitusi (constitusional Court),

inilah kemudianm tradisi konstitusionalisme yaitu kondisi penyelenggaran negara

yang sesuai atau merujuk pada konstitusi. Peran peradilan konstitusi dalam

penyelenggaran negara sangat penting karena setiap orang dapat dan berhak untuk

menafsirakn makna dari setiap teks konstitusi. Tetapi perbedaan tersebut itu harus

berhenti ketika lembaga peradilan konstitusi menjadi satu-satunya penentu ahir atas

makna teks konstitusi yang diperebatkan (the sole interpreter of contitution) serta

menjadi pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dengan demikian

keputusan mengenai penafsiran mana yang benar tidak lagi berada pada lembaga

29

yang membentuknya. Karna kedudukan konstitusi sebagai hukum yang terus

berjalan menuju perbaikan (law in making)

Untuk memahami konstitusi sebagai konstitusi yang hidup perlu dilihat dari

dua perspektif yang berbeda. Pertama, konstitusi sebagai teks otoritatif yang

dilahirkan oleh para perumusnya, dengan keadaan kebatinan yang sesuai dengan cita

negara. Perubahan terhadap konstitusi dapat dilakukan melalui perubahan terhadap

norma yang dilakukan secara formal, ataupun

Perubahan makna dalam praktik ketatanegaraan tergantung pada konstitusi itu di

terapkan. Kedua, ketika konstitusi mengahadapi kehidupan real dalam

penyelenggaraan negara. Pada saat ini konstitusi bukan lagi menjadi milik dari

founding father tapi menjadi milik seluruh rakyat Indonesia dan seluruh

stakeholdernya. 34

Hal tersebut menjadikan konstitusi menjadi bergerak secara dinamis dan

hidup, dengan demikian penafsiran terhadap konstitusi menjadi banyak

diperdebatkan oleh masyarhakat sendiri, sehingga pada ahirnya negara menyerahkan

kewenangan untuk memberikan tafsir konstitusional suatu norma kepada lembaga

peradilan.

C. Mahkamah Konstitusi

Frame pemikiran tentang pengujian undang-undang terhadap norma yang lebih

tinggi telah ada sebelum kemerdekaan, pada saat pembahasan rancangan Undang-

Undang Dasar (UUD) di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaa Indonesia

(BPUPKI). Salah satu anggota BPUPKI, Muhammad Yamin memiliki pendapat

34 Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, Kontpress, Jakarta , 2016, Hlm 3

30

bahwa pengujian undang-undang harus dimiliki oleh Mahkamah Agung , namun

pemikiran tersdebut dianulir oleh Soepomo dengan dua alasan : pertama, pada

dasarnya pembentukan UUD pada masa itu tidak meganut sistem pemisahan

kekusaan berdasarkan paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah ahli hukum

yang paham akan konsep pengujian undang-undang sangat minim dan tidak ada

kesiapan negara untuk melaksanakan hal tersebut.

Pemikiran tetang judicial review tersebut kembali menggulir pada tahun 1955

pada saat sidang konstituante hasil pemilihan umum untuk pertama kalinya pada

masa itu, Baru pada gejolak pergantian kekuasaan yang terjadi pada tahun 1998,

runtuhnya rezim orde baru sekaligus titik anjak perubahan ketatanegaraan Indonesia

melalui amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam 4 tahap. Memasuki masa

reformasi tersebut melalui panitia Ad Hoc 1 badan pekerja MPR (PAH 1 BP MPR),

setelah melakukan study banding di 21 negara,35 melalui perubahan UUD 1945,

muncul usulan pembentukan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan utama

menguji undang-undang, untuk pertama kalinya pada saat perubahan pertama UUD

1945, namun tidak ada yang disepakati pada masa itu.

Pembahasan tentang pengujian undang-undang yang dilakukan oleh sebuah

badan khusus yang bernmama Mahkamah Konstitusi pada saat itu muncul kembali

pada saat perubahan ketiga UUD 1945, permasalahan besar terhadap kedudukan

Mahkamah Konstitusi pada perubahan ketiga yakni apakah Mahkamah Konstitusi

berada di bawah Mahkamah Agung atau berdiri sendiri sebagai salah satu pelaksana

kekuasaan kehakiman. Kemudian disepakati kedudukan Mahkamah Konstitusi

35 Ibid, Hlm 113

31

sebagai lembaga yang berdiri sendiri di luar dari rumpun Mahkamah Agung sebagai

Court Of justice dan berdiri sebagai Court of Connstitution atau juga disebut dengan

court of law. Pada perubahan ketiga ini kewenangan Mahkamah Konstitusi

ditentukan secara terbatas yakni hanya memilikin emat kewenagan utama dan 1

kewajiban yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan mhkamah Konstitusi dalam UUD 1945 hasil perubahan

termaktub dalam pasal 24 C ayat 1 UUD Tahun 194536 yang berbunyi

“Mahkamah konstitusi berwenanang mengadili pada tingkat pertama dan terahir yang putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undag-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya di berikan oleh Undang-Undang Dasar. Memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. “

Lebih lanjut kewenangan dalam ayat 2 terdapat satu kewajiban Mahkamah

Konstitusi yaitu “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil

Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penafsir konstitusi, satu -sataunya

lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan penafsiran yang sah

terhadap pemaknaan terhadap undang-undang yang ada di Indonesia. Progresifitas

Mahkamah dalam melaksanakan tugas utamanya sebagai judicial control . Dinamika

Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan melakukan tindakan-tindakan progresif

dalam mengeluarkan putusannya mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita,

hal tersebut dilakukan oleh Mahkamah berdasarkan pada hasil penafsira terhadap

pemaknaan undang-undang terhadap UUD Tahun 1945. Bukan sebagai pengekangan

36 Lihat pasal 24 C ayat 1 UUD Tahun 1945.

32

terhadap pemisahan kekuasaan ataupun campur tangan dalam domain kewenangan

dalam cabang kekuasaan lainya, namun hal tersebut sebagai rule breaking yang

dilakukan oleh mahkamah konstitusi.

Perubahan UU No 24 Tahun 2003 yang di gantikan dengan UU No 08 Tahun

2011 memberikan pembatasan terhadap mahkamah untuk mengeluarkan putusan

yang sifatnya membentuk norma yang baru,37 dalam pasal 57 ayat 2 UU No 11 Tahun

2008 berbunyi

“Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undangundang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

Regulasi tentang pembatasan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma

baru menimbulkan keresahan akademisis hukum Indonesia, keresahan tersebut

ditunjukan dengan dilakukaya penngujian pasal 57 ayat 2 UU No 8 Tahun 2011 oleh

Saldi Isra dan Zainal Arifin Muchtar . namun Mahkamah Konstitusi menolak

permohonan pemohon karena hal yang diujikan berkaitan erat dengan kewenangan

mahkamah, sedangkan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi dilarang untuk

menguji undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan mahkamah atau yag

disebut dengan “nemo judex indinius in propria causa”. 38

Menindak lanjuti tumpulnya Mahkamah Konstitusi Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono Mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang telah diundangkan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

37Muhammad fandi satria, Mahkamaha Konstitusi Sebagai Negatif Legislatur dan Positif

Legislatur, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c062fbc83162/mahkamah-konstitusi-sebagai-inegative-legislator-i-dan-ipositive-legislator-i/, diakses tanggal 06 Desember 2019.

38 Zainal Arifin Muchtar, Catatan Kemarahan DPR di RUU MK, Kompas 18 Juni 2011.

33

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi

Undang-Undang yang mengembalikan ruh Mahkamah Konstitusi tanpa harus berada

di bawah bayang-bayang pembetuk undang-undang39

D. Tinajuan umum tentang kebijakan hukum terbuka (open legal policy)

1. Pengertian Kebijakan Hukum Terbuka

Secara epistimologis makna kebijakan hukum terbuka dapat dilihat dari

rumusan penyusunan kata, dimana kebijakan hukum terbuka tediri dari tiga

konsep yang disatukan dalam istilah kebijakan hukum tebuka, atau yang

diterjeahkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Open Legal Policy. Pertama,

Kebijakan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang yang

memiliki kekuasaan. Kebijakan merujuk pada pemaknaan kata kebijakan yang

dimaksud dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) kebijakan dimaknai

sebagai : 40

(1) kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan. (2) rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagaianya), pernyataan cita-cita tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk managemen dalam usaha mencapai tujuan atau sasaran, garis haluan Pemaknaan terhadap kebijakan dalam legal meaning sebagaimana dalam

black law dictionary : the general principle by which a government is guide in

its management of public affairs (artinya dimaksukanya). Lebih lanjut Soleh

Lubis menjelaskan tentang pengertian dari kebijakan yaitu suatu keputusan yang

39 Detik news, isi lengkap perpu penyelamat MK, https://news.detik.com/berita/d-2388768/ini-

isi-lengkap-perpu-penyelamatan-mk, diakses tanggal 23-12/2019 40 Mardian Wibowo, Op. Cit, Hlm 303

34

diambil oleh pemegang kekuasaan sebagai bentuk pengambilan alternatif dalam

menjalankan penyelenggaran agar sesuai dengan tujuan yang telah disepakat.41

Dengan demikian berdasarkan pengertian di atas kebijakan harus berwujud

suatu tindakan, atau bermakna sebagai suatu yang nyata yang dapat dilihat dan

dirasakan.

Namun dalam praktik administrasi hukum administrasi negara kebijakan

tidak hanya berupa perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Namun kebijakan dapat dibagi menjadi dua yaitu kebijakan atau tindakan

pemerintah secara aktif dan tindakan pemerintah secara pasif. Tindakan

pemegang kekuasaan secara aktif adalah tindakan pemegang kekuasaan

menerbitkan surat keputusa dan mengeluarkan ketetapan (beschiking).

Sedangkan tindakan pemerintah secara pasif termasuk diamnya pemerintah

terhadap suatu permasalahan yang kongkrit.

Terhadap perbuatan pemegang kekuasaan dalam mengeluarkan ketetapa

E. Utrech dalam pendekatan hukum administasi di bagi menjadi dua jenis yaitu

ketetapan yang bersifat positif dan ketetapa yang bersifat negatif. Ketetapan

positif adalah ketetapan yang menimbulkan suatu keadaan baru (restituatie),

sedangkan ketatapan yang bersifat negatif adalahh ketetapan pemerintah yang

tidak mengubah substansi dan keadaan baru.

Dalam arti kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang muncul

dari proses pengujian undang-undang yang ada di Mahkamah Kostitusi harus

41 M. Solly lubis dalam Mardian Wibowo, Kebijakan hukum terbuka dalam putusan Mahkamah konstitusi, Raja Grafindo persada, 2019, Hlm 302.

35

diartikn secara positif, yaitu kebijakan yang dapat diuji yag dituangka dalam

bentuk peraturan perundang-undagan. Hal demikian tidak dapat diujikan pada

suatu yang tidak berwujud seperti kebijaka yang tidak tertulis dan kebijakan

yang tidak berwujud atau diamnya pemerintah.42

Kedua, terbuka atau bebas, Kata bebas dalam Bahasa Indonesia memiliki

makna free dan open dalam Bahasa inggris, padanan kata free atau open dalam

pendekatan hukum dapat kita lihat pengertianya dalam Black law Dictionary:

Open sebagai (1) manifest apparent : notorious (2) Visible, exposed to public view, not clandestine, (3) Not close, settled, fixed or terminated. Sedagkan untuk arti kata free dinyatakan sebagai : (1) having legal and political right, enjoying political and civil liberty (a citizen) (a populace). (2) not subject to the constraint or domination of another: enjoying personal freedom, emancipated (a free person). (3) characterized by choice , rather by compulsion or constrain (free will). (4) unburdened (the land was free of ay oncumbrances. (5) not confined by force or restrain (free from prison). (6) unrestrictedand unregulated (free trade). (7) costing nothing, gratuitous, (free tickets to the game)

Dalam arti kata open dan free terutama yang dicetak tebal dalam

kaitaya dengan open legal policy yang dikemukakan oleh mahkamah merupakan

suatu kekeliruan karena pada dasarnya kebijakan hukum terbuka yang dmksud

oleh Mahkamah Konstitusi adalah kebebasan -pembentuk udang-undang untuk

menentukan materi muatan dari undang-undang. namun lebih tepatnya akan

merujuk pada kata free yaitu characterized by choice , rather by compulsion or

constrain (free will).

Dengan berdasarkan pada penjelasan diatas makna kebijakan hukum

terbuka (open legal policy) yang dipenggal berdasarkan pemaknaan katanya

42 Mardian Wibowo, Op.cit, Hlm 318

36

kebijakan hukum terbuka dimaknai sebagai kebijakan pembentuk undang-

undang untuk menentukan materi muatan dari suatu norma tersebut. begitupun

dalam putusan Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa kebijakan hukum

terbuka (open legal policy) seperti tercantum dalam putusan Mahkamah

Konstitusi 072-073/PUU-II/2004 Dalam pengujian Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. mahkamah untuk pertama kalinya

dalam pertimbangan hukum menyatakan bahwa:43

“dipilih secara demokratis“, yang maksudnya adalah memberi kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk mempertimbangkan cara yang tepat dalam Pilkada. Pemilihan secara langsung telah ditetapkan untuk memilih Presiden sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6A UUD 1945, hal ini tidak dapat diartikan bahwa Pilkada secara langsung menjadi satu-satunya cara untuk memaknai frasa “dipilih secara demokratis” yang dimuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Sekiranya hal tersebut menjadi maksud (intent) yang terkandung dalam perubahan pasal UUD 1945 yang bersangkutan.

Pemaknaan kebijakan hukum terbuka dalam beberapa putusan

Mahkamah Konstitusi dimaknai dengan berbagai istilah yang berbeda namun

hampir sama, yaitu open legal policy, opened legal policy, dan legal policy.

Soethanto Soephiandi lebih lanjut dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

51-52-59/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian pasal 9 Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Memaknai

kebijakan hukum terbuka sebagai kebijakan hukum (legal policy)44, lebih lanjut

43 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang pemerintahan Daerah 44 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian pasal

9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

37

dijelaskan bahwa dalam pembentukan undang-undang selalu dipengaruhi oleh

kekuasaan yang berada di belakang pembentuk undang-undang.

Legal policy di bedakan dalam tiga sifat yaitu makro, messo dan mikro.

Legal policy yang bersifat makro dirumuskan dalam pembentukan norma dasar

(UUD NRI Tahun 1945) . Hal tersebut dalam pandangan Hans Kelsen tidak

membutuhkan norma acuan dalam tataran hierarki sebagai norma tertinggi,

namun cukup dengan menghimpun konvensi ketatanegaraan yang biasa

dilakukan dalam kehidupan masyarakat.

Tujuan legal policy bersifat makro digunakan sebagai acuan bagi legal

policy yang bersifat messo dalam tataran undang-undang. begitupun dengan

legal policy yang bersifat messo digunaka sebagai acuan untuk membentuk

aturan pelaksana, aturan pelaksana tersebut dimaknai sebagai legal policy yang

bersifat mikro45.

2. Kriteria Kebijakan Hukum Terbuka

Sebagai suatu konsep yang lahir mlelaui putusan Mahkamah Konstitusi

kebijakan hukum terbuka memiliki beberapa kriteria sebagai berikut: 46

a. Diatribusikan oleh UUD NRI Tahun 1945

b. Tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945

c. Tidak bertentangan dengan moral, dan nilai yang hidup dalam

masyarakat

45 Ibid 46 Ibid

38

d. Tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan tidak

merupakan penyalahgunaan wewenang

Maka selama undang-undang yang ddibentuk oleh DPR dan Presiden

sesuai dengan empat kriteria diatas maka undang-undang tersebut dikategorikan

sebagai kebijakan hukum terbuka dan mahkamah konstitusi tidak dapat

melakukan pengujian terhadap norma dang bersangkutan.47

3. Sifat Kontradiktif Kebijakan Hukum Terbuka

Kebijakan hukum terbuka sebagai sebuah konsep yang baru, belum

memiliki konsep tersendiri yang digagas secara matang, hal tersebut menjadikan

kebijakan hukum terbuka tidak memiliki landanan dan pondasi yang kuat.

Bahkan kebijakan hukum terbuka mengandung kotradiksi terhadap dirinya

sendiri, dan konsep hukum lainya.

Dalam hal kebebasan pembentuk undang-undang untuk menentukan

norma atau materi muatan pada undang-undang yang mengacu pada UUD NRI

Tahun 1945, maka hanya akan merujuk pada 38 pasal yang memberikan atribusi

kepada pembentuk undang-undang. secara a contrario, pembentuk undang-

undang hanya memiliki legitimasi yang tegas untuk membentuk 38 Undang-

undang yang diatribusikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Dari sekian banyak

norma hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat, hanya sedikit yang

diperintahkan langsung oleh konstitusi.

47 Lihat putusan mahkamah konstitusi omor 10/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tetang Pemerintah Daerah.

39

Kebutuhan masyarakat akan hukum dapat menjamin kebutuhan

masyarakat akan kepastian hukum. Masyarakat memberikan legitimasi kepada

pembentuk undang-undang, bahkan ketika UUD NRI Tahun 1945 tidak

memerintahkan untuk membentuk norma yang bersangkutan dan tidak juga

dilarang. Dengan berlakunya teori Stufenbau serta sifat kebebasan yang

paradoksial. Maka kebebasan untuk mengatur norma hukum harus di batasi.

Batasan kebebasan materi muatan undang-undang adalah UUD 1945.

Artinya norma hukum sebagai materi muatan undang-undang tidak boleh

bertentangan dengan noram hukum UUD NRI Tahun 1945, makna tidak boleh

bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak bertentangan secara

diametral. Hal tersebut sebagaimana pandangan Saldi Isra dalam dissenting

opinion putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XV/2017

Penolakan kami saat ini dikarenakan adanya inkonsistensi mahkamah dalam memberikan batasan tentang kebijakan hukum terbuka sebagai norma yang bebas di tentukan walaupun di dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak terdapat pasal rujukan, namun tidak bertentanga dengan UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian bagaimana bisa suatu norma yang tidak memiliki rujukan dalam UUD NRI Tahun 1945 namun di padankan dengan frasa tidak bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Dengan demikian kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk

membatalkan norma merupakan pengurangan terhadap kebebasan DPR untuk

membentuk undang-undang. sedangkan ketika Mahkamah Konstitusi

menegaskan bahwa norma tersebut kebijakan hukum terbuka yang selalu

bernilai konstitusional, dengan demikian mahkamah mendukung kebebasan

DPR yang bersifat absolut untuk membentuk undang-undang.

40

Selain makna kebijakan hukum terbuka yang bertentangan, namun

kebijakan hukum terbuka yang digagas oleh Mahkamah Konstitusi kebal

terhadap penilaian konstitusionalitas. Sehingga Mahkamah Konstitusi selalu

memberikan penilaian konstitusionalitas atau mendekati konstitusional.

Hukum pada dasarnya di bentuk oleh suatu badan atau lembaga dengan

tujuan untuk menciptakan ketertiban dalam mengatur kehidupan social,politik,

ekonomi dan budaya yang ada dalam maysrakat. Dalam kaitanya dengan

kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang berkaitan dengan

kewenangan untuk menguji undang-undang. maka undang-undang terlebii

dahulu harus dimaknai sebagai berikut :

1) Undang-undang dalam arti peraturan perundang-undangan yang

dibentuk Bersama DPR dan Presiden, serta DPD dalam hal otonomi

daerah dan pengembanganya. Bagina undang-undang yang dapat diuji

bukan hanya bagian batang tubuh yang mengandung norma hukum

saja. Melainkan semua bagian yang mengandung substansi hukum yang

bersifat mengikat umum.

2) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dalam arti

peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh presiden sebagai

kepala pemerintaha, untuk menggaantikan undang-undang yag

sebelumnya ada. Seperti halnya pengujian undang-undang yang

dijelaskan dalam poin 1.

41

E. Tinjauan Umum Teori Keadilan

Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat

sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-

wenang. Keadilan pada umunya di bagi menjadi dua yaitu keadilan umum dan

keadilan khusus, keadilan umum Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak

adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang

yang tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap

hukum (law-abiding) dan fair. Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota

masyarakat dalam suatu tindakan bersama-sama.

Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara “yang lebih” dan “yang

kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah titik tengah atau suatu persamaan

relatif (arithmetical justice). Dasar persamaan antara anggota masyarakat sangat

tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem

demokrasi, landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan

manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki dasar

persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat kelahiran.

Sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah keistimewaan

(excellent). Dasar yang berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih pada makna

persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik

tengah (intermediate) dan proporsi48

48Ali Safaat, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, Dan John Rawls) , diakses di

alisafaatublecture.ub.ac.id.

42

Keadilan, jika diruntut dari waktu pertama kali di kemukana oleh ahli

filsafat dari Yunani. Plato mendifinissikan keadilan sebagai the supreme virtue of

the good state” (Kebajikan tertinggi yang diciptakan dalam kondisi yang baik),

sedang orang yang adil adalah “the self diciplined man whose passions are

controlled by reasson” ( manusia yang berdisiplin diri yang dikenadalikan oleh

suatu alasan) . Bagi Plato keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan

hukum. Baginya keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu

masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.49 Plato mencoba untuk

membedah keadilan dari sudut pandang ilham yang diberikan tuhan kepada

manusia. Seiring dengan perkembangan waktu konsep keadilan dipisah –pisah

berdarkan jenisnya yaitu keadilan subtantif.

a. Keadilan Prosedural

Keadilan prosedural adalah keadilan organisasi yang berhubungan

dengan prosedur pengambilan keputusan oleh organisasi yang ditujukan

kepada anggotanya. Keadilan prosedural ialah persepsi keadilan terhadap

prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan sehingga setiap anggota

organisasi merasa terlibat di dalamnya. Keadilan prosedural (procedural

justice) berkaitan dengan proses atau prosedur untuk mendistribusikan

penghargaan50.

Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur

tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum- hukum,

49 The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Sumber sukses, Yogyakarta, 2002, hlm. 22 50 Siti Hidayah dan Haryani, “Pengaruh Keadilan Distributif dan Keadilan Prosedural terhadap

Kinerja Karyawan BMT Hudatama Semarang”, Jurnal Ekonomi Manajemen Akuntansi, No. 35/Th.XX/Oktober 2013, Hlm. 16.

43

undang-undang. Prosedur ini tidak bisa lepas dari upaya legitimasi tindakan.

Jika terdapat keadilan distributif yang bisa teraplikasikan secara baik maka

di dalam suatu lingkungan sosial atau organisasi keadilan prosedural yang

adil akan mampu menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan atau kontrol

yang semena-mena51. Terdapat tiga (3 )ciri utama dari keadilan prosedural

yaitu (1) terdapat konsistensi, yang menjamin beberapa kasus diperlakukan

serupa, terdapat kenetralan; (2) pihak yang menjadi obyek terwakili suaranya

dalam proses keputusan yang dibuat; (3) implementasi harus transparan.

b. Keadilan Subtantif

Antara keadilan subtantif dan keadilan prosedural beberapa ahli lebih

mengedepankan sistem keadilan subtantif, namun di Indonesia sudah

bergeser menjadi penegakan terhadap keadilan prosedural. Keadilan

subtantif adalah keadilan yang lebih menitik bertkan pada keadilan yang

didasarkan pada bunyi suatu peraturan perundang-undangan yang

didasarkan pada niai-nilai yang ada dalam masyarakat. Penilaian tertinggi

bagi suatu sistem hukum adalah apa yang dikerjakan bukan bagaimana cara

untuk mengerjakanya atau melalui siapa. substansi, bukanya prosedural atau

bentuk pelaksanaanya seperti apa. Secara terperinci bahwa siang yang

mengirim ke penjara menyatakan adil dan subtantifnya tidak adil hanya

sedikit membantu .

51 Haryatmoko, “Membangun Institusi Sosial yang Adil”, diambil dari

http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=773&coid=1& caid=34, diakses tanggal 15 2019.

44

Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan

hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus

dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak

memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani

(keyakinan hakim). Friedman kembali menegaskan bahwa 52 “ procedural,

then, is only a means to an end is whatever collective problem society means

to attack. Procedure follows substance tells us which areans of procedural

will become important”

Dengan demikian, prosedural hanya merupakan suatu sarana untuk

mencapai suatu tujuan , tujuan tersebutlah yang merupakan tujuan kolektive,

apapun dari masyarakat, yang dimaksud untuk diserang.

52 Ahmad Ali , menguak teori hukum (legal teori) dan teori peradilan (judicialprudence ) ,

Kencana Press, 2019, Jakarta . Hlm 214