41
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan 1. Pertimbangan Hukum Hakim Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan di mana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari dakwaan, tuntutan, eksepsi dari terdakwa yang dihubungkandengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang disampaikan dalam pembuktian, pledoi. Dalam pertimbangan hukum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hukum yang dijadikan dasar dalam putusan tersebut. 14 Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus kasus. Menurut Rusli Muhammad dalam melakukan pertimbangan hakim ada dua macam yaitu pertimbangan secara yuridis dan sosilogis: a. Pertimbangan Yuridis Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebutantara lain: 14 Damang, Definisi Pertimbangan Hukum, dalam http://www.damang.web.id , diakses 9 September 2016.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Pertimbangan ...eprints.umm.ac.id/36240/3/jiptummpp-gdl-sitiwuland-47469-3-babii.pdf · memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan

Embed Size (px)

Citation preview

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan

1. Pertimbangan Hukum Hakim

Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan di mana majelis hakim

mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung,

mulai dari dakwaan, tuntutan, eksepsi dari terdakwa yang

dihubungkandengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat

materil, yang disampaikan dalam pembuktian, pledoi. Dalam pertimbangan

hukum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hukum yang dijadikan

dasar dalam putusan tersebut.14

Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument atau

alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi

dasar sebelum memutus kasus. Menurut Rusli Muhammad dalam melakukan

pertimbangan hakim ada dua macam yaitu pertimbangan secara yuridis dan

sosilogis:

a. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan

pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh

Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam

putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebutantara lain:

14 Damang, Definisi Pertimbangan Hukum, dalam http://www.damang.web.id, diakses 9

September 2016.

14

1) Dakwaan Penuntut Umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena

berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan

selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana

yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana

itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah

dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan.

2) Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa menurut Pasal 184 butir e KUHAP,

digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang

dinyatakan terdakwa disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau

yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri. Keterangan terdakwa

sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, Penuntut

Umum ataupun dari penasihat hukum.

3) Keterangan Saksi

Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti

sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang

didengar, dilihat, alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam

sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi

menjadi pertimbangan utama oleh hakim dalam putusannya.

15

4) Barang-barang bukti

Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang dapat

dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan

sidang pengadilan, yang meliputi:

a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau

sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil

tindak pidana;

b) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan

tindak pidana atau untuk mempersiapkan;

c) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

tindak pidana;

d) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung tindak pidana

yang dilakukan.

5) Pasal-Pasal dalam Peraturan Hukum Pidana

Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu

selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini,

penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan

memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa

telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal

peraturan hukum pidana.

b. Pertimbangan Non-Yuridis

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pertimbangan non-yuridis

adalah sebagai berikut:

16

1) Latar Belakang Terdakwa

Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang

menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri

terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.

2) Akibat Perbuatan Terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti

membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat

dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat

pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak

keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

3) Kondisi Diri Terdakwa

Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun

psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status

sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik dimaksudkan

adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis

dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan yang dapat berupa:

tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan

lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah

predikat yang dimiliki dalam masyarakat.

4) Agama Terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila

sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan

harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para

17

hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para

pembuat kejahatan.15

Pertimbangan hakim secara non-yuridis juga disebut dengan

sosiologis. Pertimbangan hakim secara sosiologis diatur dalam Pasal 5

ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.16 Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara

sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu

kasus, antara lain:

a. Memperhatikan sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat.

b. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai

yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa.

c. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan,

peranan korban.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

15 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana kontemporer, Jakarta: Citra Aditya, hal

212-220. 16 Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan

Pasal 5 ayat (1) dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

18

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.17

2. Putusan

a. Pengertian Putusan

Putusan dalam Bahasa Belanda antara lain vonnis, vonnis een

eitspreken,18 dalam Bahasa Inggris verdict, dicision, sedangkan dalam

Bahasa Latin adalah veredictum.19 Putusan adalah kesimpulan atau

ketetapan hakim untuk mengakhiri suatu kasus yang dihadpkan

kepadanya. Putusan hakim merupakan akhir dari rangkaian proses

pemeriksaan suatu kasus.20

Dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP disebutkan bahwa putusan

pengadilan sebagai “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari

segala tuntutan hukum dalam serta menurut cara yang diatur dalam

Undang-Undang ini.” Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan

aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan kasus pidana untuk

memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan dapat mempersiapkan

untuk langkah selanjutnya, seperti upaya hukum.

Hakim merupakan salah satu anggota dari Catur Wangsa Penegak

Hukum di Indonesia. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas

17 HB. Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Gramedia Pustaka Utama,

hal 68. 18 Martin Basiang, 2009, The Contemporary Law Dictionary (First Edition), Red & White

Publisihing, hal 467. 19 Henry Campbel Black, 1968, Black’s is Law Dictionary (Revised Fourth Edition),

Minnesota: West Publishing, hal 1730. 20 Andi Hamzah, 1968, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal 624.

19

pokok di bidang jidisial yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan

menyelesaikan setiap kasus yang diajukan kepadanya. Dengan tugas

seperti itu, dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang

secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu

keberadaannya sangat penting dan determinan dalam menegakkan hukum

dan keadilan melalui putusan-putusannya.

Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan

kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-hakim

yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat

melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung legal justice,

tetapi juga berdimensikan moral justice dan moral justice.

Akan tetapi, dalam praktik seringkali dijumpai para pencari

keadilan merasa tidak puas dan kecewa terhadap kinerja hakim yang

dianggap tidak bersikap mandiri dan tidak profesional. Banyaknya

intervensi dan tekanan pihak luar terhadap hakim, terkadang membuat

kinerja hakim tidak lagi optimal atau bahkan memilih bersikap oportunis.

Tidak semua hakim dapat mengatakan yang benar adalah benar dan yang

salah adalah salah. Kondisi ini memnuculkan “mafia peradilan” yang

menghalalkan segala cara seperti jual beli kasus yang semakin menambah

coreng moreng dunia peradilan.21

21 Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, hal 5-6.

20

b. Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Kasus Pidana

Setelah menerima, memeriksa dan mengadili seorang pelaku tindak

pidana, maka selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusannya. Dalam

hukum pidana ada 2 (dua) jenis putusan hakim yang dikenal selama ini,

yaitu putusan sela dan putusan akhir:

1) Putusan Sela

Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai

surat dakwaan penuntut umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar

atau kerangka pemeriksaan terhadap terdakwa di suatu persidangan.

Terdakwa hanya dapat diperiksa, dipersalahkan dan dikenakan pidana

atas pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, dalam arti hakim

tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa di luar dari pasal

yang didakwakan tersebut. oleh karena itu, dalam membuat surat

dakwaan, penuntut umum harus memperhatikan syarat-syarat

limitative, sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang,

yaitu Pasal 143 KUHAP, yaitu syarat formil dan syarat materiil.22

Terhadap surat dakwaan penuntut umum tersebut, ada hak

secara yuridis dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa untuk

mengajukan keberatan (eksepsi), di mana dalam praktik persidangan

biasanya eksepsi yang diajukan meliputi eksepsi pengadilan tidak

22 Syarat formil suatu dakwaan sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP

(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. Adapun syarat materiil suatu dakwaan, terdapat dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, yaitu uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

21

berwenang mengadili (exeptie onbevoegheid) baik absolut maupun

relative, eksepsi dakwaan tidak dapat diterima, eksepsi pada yang

didakwakan bukan merupakan tindak pidana, eksepsi terhadap kasus

nebis in idem, eksepsi terhadap kasus telah kadaluarsa, eksepsi bahwa

apa yang dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang

dilakukan, eksepsi surat dakwaan kabur (obscure libel), eksepsi

dakwaan tidak lengkap ataupun eksepsi dakwaan error in persona.

Atas keberatan (eksepsi) yang menyangkut kewenangan

pengadilan negeri dalam mengadili suatu perakara atau dakwaan tidak

dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaimana

ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, hakim akan memberikan

kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya,

kemudian hakim akan mempertimbangkanny, selanjutnya akan

diambil suatu putusan oleh hakim. Dalam praktik peradilan putusan

hakim atas keberatan (eksepsi) tersebut, berbentuk putusan baik itu

berupa putusan sela ataupun akhir.

Adapun materi putusan hakim terhadap keberatan (eksepsi)

yang menyangkut kewenangan mengadili, dakwaan tidak dapat

diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaimana ketentuan

Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut:

a) Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Diterima

Apabila keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasehat

hukum terdakwa, maka pemeriksaan terhadap pokok kasus

22

bergantung kepada jenis eksepsi mana diterima oleh hakim, jika

eksepsi terdakwa yang diterima mengenal kewenangan relaltif,

maka kasus tersebut dikembalikan kepada penuntut umum untuk

dilimpahkan kembali ke wilayah pengadilan negeri yang

berwenang mengadilinya.

Jika keberatan (eksepsi) yang diterima menyangkut

dakwaan batal atau dakwaan tidak dapat diterima, maka secara

formal kasus tidak dapat diperiksa lebih lanjut atau pemeriksaan

telah selesai sebelum hakim memeriksa pokok kasus (Pasal 156

ayat (2) KUHAP).

Atau putusan tersebut, penuntut umum dapat mengajukan

perlawanan (verzet) ke pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri

(Pasal 156 ayat (3) KUHAP), jika perlawanan tersebut dibenarkan

oleh pengadilan tinggi, maka putusan pengadilan negeri tersebut

otomatis dibatalkan dan sekaligus memerintahkan pengadilan

negeri untuk membuka dan memeriksa pokok kasus (Pasal 56 ayat

(4) KUHAP).

b) Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Tidak Dapat Diterima

Apabila dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa

keberatan dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa,

dinyatakan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal

tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan kasus a

quo, maka dakwaan penuntut umum dinyatakan sah sebagaimana

23

ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan

persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok

kasus (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

Terhadap hal tersebut, upaya hukum yang dapat dilakukan

oleh terdakwa atau penasehat hukumnya adalah perlawanan

(verzet), tetapi dalam praktik peradilan, perlawanan (verzet) yang

diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya akan dikirim

bersamaan dengan upaya banding terhadap putusan akhir yang

dijatuhkan oleh pengadilan negeri (Pasal 156 ayat (5) huruf a

KUHAP).

2) Putusan Akhir

Setelah pemeriksaan kasus dinyatakan selesai oleh hakim,

maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan

yang akan memberikan penyelesaian pada suatu kasus yang terjadi

antara negara dengan warga negaranya, disebut putusan akhir.

Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir, sebagai berikut:

a) Putusan Bebas (Vrijspraak)

Putusan Bebas (Vrijspraak) adalah putusan yang dijatuhkan

oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak

pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang

diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan,

ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan,

tidak ditemukannya adanya bukti-bukti yang cukup menyatakan

24

bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud.

Maka kepada terdakwa haruslah dinyatakan secara sah dan

meyakinkan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan penuntut

umum, sehingga oleh karena itu terhadap terdakwa haruslah

dinyatakan dibebaskan dari segala dakwaan (Pasal 191 ayat (1)

KUHAP).23

23

Selain itu, putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum, berkaitan pula dengan adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf, yaitu menghapuskan kesalahan si pembuat menyangkut diri pribadi si pembuat, sehingga si pembuat tidak dapat dipidana dan oleh karenanya menghapus kesalahan dari si pembuat. Adapun alasan pembenar, yaitu menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan, meskipun perbuatan memenuhi rumusan delik UU, tetapi perbuatan tersebut dibenarkan. Alasan pemaaf ini terdiri sebagai berikut: a. Pasal 44 ayat (1) KUHP dalam hal orang yang pertumbuhan akalnya tidak sempurna atau

kurang sempurna misalnya: orang idiot, lemah akal, atau orang yang mengalami gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya, misalnya sakit ingatan/gila, kleptomania, piromania, nimformania.

b. Pasal 49 ayat (2) KUHP melampaui pembelaan terpaksa (noodweer excess) dengan syarat-syarat, yang pertama kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, yang kedua kelampauan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu paksaan hati yang sangat panas), dan yang ketiga kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan adanya serangan, dengan kata lain antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan sebab akibat/kausalitas.

c. Pasal 51 ayat (2) KUHP, yaitu melaksanakan perintah jabatan dari pembesar yang tidak berhak, tetapi dilakukan dengan itikad baik oleh orang yang disuruh tersebut. Sedangkan alasan pembenar terdiri atas: 1) Pasal 48 KUHP, yaitu melakukan tindak pidana karena daya paksa/overmacht, terdiri

dari: Vis Absoluta (paksaan yang absolut) atau overmacht yang bersifat luas, yang disebabkan oleh manusia atau alam (paksaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan) dan Vis Compulsiva (paksaan yang relatif/psikologis) atau overmacht yang bersifat sempit, yaitu suatu keadaan darurat, di mana terjadi perbenturan antara dua kepentingan hukum, perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum dan perbenturan antara dua kewajiban hkum.

2) Pasal 49 ayat (1) KUHP, yaitu untuk membela dirinya, diri orang lain, kesopanan, harta benda dari serangan melawan hukum dan seketika itu (pembelaan terpaksa/noodweer), dengan terlebih dahulu memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu yang pertama ada serangan yang seketika langsung mengancam, melawan hukum, dan sengaja ditujukan pada badan, nyawa, kesusilaan dan harta, yang kedua ada pembelaan yang perlu diadakan, yang harus menyangkut badan, nyawa, kesusilaan dan harta.

3) Pasal 50 KUHP, yaitu melaksanakan perbuatan karena menjalankan peraturan undang-undang (melaksanakan undang-undang).

4) Pasal 51 ayat (1) KUHP, yaitu melaksanakan perintah jabatan.

25

b) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag

van Alle Recht Vervolging)

Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum

yang dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata

terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, tetapi diketahui

perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana dan oleh

karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala

tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

Sebagai contoh dapat dilihat pada Putusan Mahkamah

Agung No. 645.K/Pid/1982, tanggal 15 Agustus 1983, di mana

dalam peristiwa konkret diketahui terdakwa menerima pinjaman

uang untuk modal usaha dagang dari seorang temannya, tetapi

dalam perkembangannya ternyata si terdakwa tidak mampu untuk

melunasi pinjaman itu seluruhnya dan oleh pemilik uang terdakwa

ini kemudian dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan

penipuan. Namun dalam persidangan, ternyata hakim menemukan

fakta hukum yang menyatakan tedakwa terbukti melakukan

pinjaman dari temannya, perbuatannya itu bukanlah merupakan

tindak pidana tetapi sudah memasuki ruang lingkup perbuatan

hukum perdata.

26

c) Putusan Pemidanaan

Dalam hal ini terdakwa telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap terdakwa harus

dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang

dilakukannya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Putusan Mahkamah

Agung RI No. 553.K/Pid/1982, tanggal 17 Januari 1983 menegaskan

bahwa ukuran pidana yang dijatuhkan merupakan kewenangan judex

facti untuk menjatuhkan pidana, di mana hal tersebut tidak diatur

dalam undang-undang dan hanya ada batasan maksimal pidana yang

dapat dijatuhkan, sebagaimana dalam KUHP atau dalam undang-

undang tertentu ada batas minimal, seperti dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 Tentang HAM.

Selanjutnya surat putusan pemidanaan, haruslah

mencantumkan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1)

KUHAP, yaitu sebagai berikut:

a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis

kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan

terdakwa.

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

27

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan

keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari

pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan

kesalahan terdakwa.

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai

keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim

kecuali kasus diperiksa oleh hakim tunggal.

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya

semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan

kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

i. Ketentuan kepada siapa biaya kasus dibebankan dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai

barang bukti.

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan

di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik

dianggap palsu.

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan

atau dibebaskan.

28

l. Hari dan tanggal putusan nama penuntut umum, nama hakim

yang memutuskan dan nama panitera.

Kemudian lebih lanjut dalam ayat (2) pasal tersebut dinyatakan

bahwa jika salah satu dari unsur tersebut, tidak terpenuhinya ketentuan

dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, I, j, k, dan l pasal ini, maka

putusan ini batal demi hukum.24

c. Teori Penjatuhan Putusan

Pemahaman atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak lepas

dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh John Locke dan

Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak,

adil, jujur atau netral (impartially). Apabila kebebasan tidak dimiliki oleh

kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan bersikap netral,

terutama apabila terjadi sengketa antara penguasa dan rakyat.

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan

kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim

melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan

perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha

menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat,

peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan

kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang

bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai

pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai

24 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,

Jakarta: Sinar Grafika, hal 113-118.

29

norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,

dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan

terhadap kasus yang dijatuhkan kepadanya, di mana dalam kasus pidana,

hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif (negative wetterlijke)25

yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau

kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti

menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi

dengan integrasi moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah semata-

mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan

pada hati nurani.

Menurut Gerhard Robbes secara konstektual ada 3 (tiga) esensi

yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan

kehakiman, yaitu:

Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.

Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi

atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim, dan

25

Hukum Pidana menganut asas pembuktian negative (negative wetterijke), di mana hal ini ditandai dengan isi Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa: “Alat-alat bukti yang sah (dalam kasus pidana) ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa”. Oleh karena itu, apabila minimum pembuktian, yaitu adanya 2 (dua) alat sudah terpenuhi dalam suatu kasus, tetapi ternyata hakim tidak mempunyai keyakinan akan tindak pidana suatu kasus, tetapi ternyata hakim tidak mempunyai keyakinan akan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa maka hakim dapat membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.

30

Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam

menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu kasus

merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati

oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang

dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim

dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik

itu yang berkaitan dengan kasus yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan

dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban

maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan

masyarakat.

Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat

dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan

dalam suatu kasus, yaitu sebagai berikut:

1) Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah

keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-

undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan

dengan kasus yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang

berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan

kepentingan korban dan kepentingan pihak penggugat dan tergugat.

31

2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau

kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan,

hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar

bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam kasus perdata, hakim akan

melihat keadaan pihak yang berkasus yaitu penggugat dan tergugat

(dalam kasus perdata), pihak terdakwa atau penuntut umum dalam

kasus pidana. Penjatuhan putusan, hakim mempergunakan pendekatan

seni, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan

dari hakim.

3) Teori Pendekatan Keilmuwan

Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses

penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh

kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan

terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.

4) Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat

membantunya dalam menghadapi kasus-kasus yang dihadapinya

sehari-hari.

5) Teori Ratio Decindendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar,

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok kasus

yang disengketakan kemudian mencari peraturan peraturan

32

perundang-undangan yang relevan dengan pokok kasus yang

disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta

pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk

menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang

berkasus.

6) Teori Kebijaksanaan

Aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat,

keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing,

membina, mendidik dan melindungi terdakwa, agar kelak dapat

menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan

bangsanya.26

B. Tinjauan Umum Tentang Disparitas Putusan Pengadilan

Disparitas (disparity: dis-parity) pada sasarnya adalah negasi dari konsep

paritas (parity) yang artinya kesetaraan jumlah atau nilai. Dalam konteks

pemidanaan paritas artinya adalah kesetaraan hukuman antara kejahatan serupa

dalam kondisi serupa.27 Dengan demikian disparitas adalah ketidaksetaraan

hukuman antara kejahatan yang serupa (same offence) dalam kondisi atau situasi

serupa (comparable circumstances).28 Konsep paritas ini sendiri tidak dapat

dipisahkan dari prinsip proporsionalitas, prinsip pemidanaan yang diusung oleh

26 Ibid, hal 102-113. 27 Allan Manson, 2001, The Law of Sentencing, Irwin Law, hal 92-93. 28 Litbang Mahkamah Agung, 2010, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk

Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, hal 6.

33

Beccaria di mana diharapkan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan

yang dilakukannya.29

Dalam suatu kasus yang sama, hukum tidak boleh dibenarkan untuk

menerapkan peraturan yang berbeda. Artinya suatu kasus hukum yang sama,

harus juga diterapkan peraturan yang sama. Selain untuk menghindarkan dari

diskriminasi yang harus dirasakan oleh para pelaku, menggugat ketidakadilan

publik juga memberikan kepastian hukum di tengah masyarakat (edukasi). Akibat

menerapkan suatu peraturan yang berbeda-beda, maka pubik akan kesulitan

memahami tindak pidana yang terjadi.

Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh negara

di dunia menghadapi masalah ini. disparitas pidana yang disebut sebagai the

disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian legislatif serta lembaga

lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk

memecahkannya.30

Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap

tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat

diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. Dari pengertian tersebut

dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan

hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini

tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak

29 Allan Manson, Op. cit, hal 82. 30 Muladi, 1985, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Bandung: Alumni,

hal 52.

34

pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya

disparitas pemidanaan sangat menentukan.31

Hakim sebagai salah satu Aparat Penegak Hukum, memiliki kebebasan

untuk menjatuhkan pidana terhadap kasus pidana yang disidangkannya. Sebagai

akibatnya, akan menimbulkan adanya disparitas putusan terhadap kasus-kasus

yang mempunyai kualifikasi yang sama maupun sejenis. Disparitas Putusan

adalah penerapan putusan yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama.

Dengan adanya disparitas putusan maka akan memunculkan disparitas

pidana yaitu penerapan pemidanaan yang berbeda terhadap tindak pidana yang

sama. Salah satu penyebab dari timbulnya disparitas pidana adalah sebagaimana

diuraikan oleh Sudarto, “KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana

(straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh

pembentuk Undang-Undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh

hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana”.32

Menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam

beberapa kategori yaitu:

1. Disparitas antara tindak pidana yang sama.

2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan

yang sama.

3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim.

31 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:

Alumni, hal 54. 32 Sudarto, 1983, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, hal 57.

35

4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang

berbeda untuk tindak pidana yang sama.33

a. Faktor-fator Penyebab Disparitas

Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah

tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.

Sudarto mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkan

hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa

telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.34

1) Faktor Hukum

Dalam hukum pidana di Indonesia Hakim mempunyai kebebasan

yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (straafsoort) yang

dikehendaki, sehubungan dengan pengunaan sistem altenatif di dalam

pengancaman pidana di dalam undang-undang, dari beberapa pasal di

KUHP tampak beberapa pidana pokok sering kali diancamkan kepada

pelaku tindak pidana yang sama secara alternatif, artinya hanya satu

diantara pidana pokok yang diancamkan tersebut dapat dijatuhkan hakim

dan hal ini diserahkan kepadanya untuk memilih beratnya pidana

(strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh perundang-

undangan hanyalah maksimum dan minimumnya.

2) Faktor Hakim

Faktor penyebab disparitas pidana yang bersumber dari hakim

meliputi sifat internal dan sifat eksternal. Sifat internal dan eksternal sulit

33 Harkristuti Harkrsnowo, Loc. cit. 34 Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni: Bandung, hal 9.

36

dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut

sebagai human equation atau personality of judge dalam arti luas

menyangkut pengaruh-pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama,

pengalaman, dan perilaku sosial.35

C. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan

kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat

tertentu.36 Sedangkan Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah reaksi

atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan

Negara kepada pembuat delik.37

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga

tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya

diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai

penghukuman.

Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah

kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan

memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari

pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat

nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku

35 Muladi dan Barda Nawawi, Op. cit, hal 5. 36 Tri Andrisman, 2009, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Bandar

Lampung, Unila, hal 8. 37 Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 81.

37

perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau

membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan

suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut,

namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman

dari kebebasan manusia itu sendiri.

2. Jenis-Jenis Pidana

KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci

jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut

stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pidana pokok

dan pidana tambahan. Adapun perbedaan antara jenis-jenis pidana pokok

dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah sebagai berikut:

a. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan

(imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif.

b. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian

menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi

menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan

menjatuhkan jenis pidana pokok.

c. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan

hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan

pelaksanaan (executive).

Berikut adalah jenis-jenis pidana:

Pidana pokok, terdiri dari:

1) Pidana mati;

38

2) Pidana penjara;

3) Pidana kurungan;

4) Pidana denda;

5) Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 1946).

Pidana tambahan, terdiri dari:

1) Pidana pencabutan hak-hak tertentu;

2) Pidana perampasan barang-barang tertentu;

3) Pidana pengumuman keputusan hakim.38

3. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief : bahwa

tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak

terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu

perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu

untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak

terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada.

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana

sematamata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak

pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang

menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada

38 Adami Chazawi, 2012, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Rajawali Pers, hal 25-

28.

39

adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi

untuk menghilangkan kejahatan tersebut.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk

melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak

mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan

masyarakat.

c. Teori Gabungan

Selain teori absolut dan teori relatif juga ada teori ketiga yang

disebut teori gabungan. Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori

sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai tujuan

dari pemidanaan.

Tokoh utama yang mengajukan teori gabungan ini adalah

Pellegrino Rossi (1787-1848). Teori ini berakar pada pemikiran yang

bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori

gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran

tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu:

1) Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas

pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas

dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang

pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas

kebenaran.

40

2) Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk

menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban

apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki.

3) Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni

mempertahankan tertib hukum.39

D. Tinjauan Umum Tentang Pasal Penjual Minuman Keras Oplosan

Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana

menggunakan dasar hukum yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.

Seperti dalam halnya tindak pidana menjual minuman keras oplosan, ada

beberapa pasal yang dipakai oleh hakim, diantaranya Pasal 204 ayat (2) KUHP,

Pasal 62 ayat (1) huruf b jo Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen dan Pasal 146 huruf a jo Pasal 137 UU Nomor 18 Tahun

2012 Tentang Pangan, yang kesemua pasal tersebut harus memenuhi unsur-unsur

yang sifatnya komulatif (semua unsur harus terpenuhi). Adapun pasal dan unsur-

unsur adalah sebagai berikut:

1. Pasal 204 ayat (2) KUHP yang mempunyai unsur-unsur sebagai

berikut:

a. Barang siapa

“Setiap orang” adalah setiap orang sebagai pendukung hak dan

kewajiban yang identitasnya jelas, diajukan ke persidangan karena telah

39 Muladi, 1995, KPIT Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Penerbit UNDIP, hal

149.

41

didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya;

b. Menjual, menawarkan, menerimakan atau membagi-bagikan barang

c. Diketahuinya bahwa barang itu berbahaya bagi jiwa atau kesehatan

orang dan sifat yang berbahaya itu didiamkannya, ada orang mati

lantaran perbuatan itu

Dalam hal ini yang dibahas adalah mengenai penjualan minuman

keras oplosan, yang sudah diketahuinya berbahaya bagi orang lain. Berikut

ulasan mengenai minuman keras oplosan:

Minuman keras atau minuman beralkohol tersebut sebenarnya

mengandung etanol. Terdapat 3 jenis minuman beralkohol atau minuman

keras, yaitu: bir, minuman anggur dan spiritus. Masing-masing dengan

kadar etanol berbeda-beda. Spiritus dan vodka mengandung etanol yang

telah mengalami proses pemurnian dan berada dalam kadar yang lebih

tinggi.

Kandungan etanol dalam minuman keras, seperti bir biasanya

berkisar antara 4%-6%, namun ada produk yang dapat mencapai hingga

12%. Minuman anggur dapat mengandung 9%-16% etanol. Sedangkan

produk dengan kadar etanol lebih tinggi seperti spiritus, dapat

mengandung 20% hingga mencapai 96% etanol.40 Adapun beberapa

macam “minuman keras oplosan”:

40 Jessica Florencia, Miras Oplosan dan Bahanyanya, dalam https://www.klikdokter.com,

diakses 9 September 2016.

42

1) Miras dengan minuman berenergi

Untuk mendapatkan cita rasa yang lebih baik, penggemar

minuman keras sering menambahkan suplemen minuman berenergi ke

dalam minumannya. Oplosan ini sering disebut 'Sunrise', dan bisa

mengurangi rasa pahit pada bir atau rasa menyengat pada alkohol yang

kadarnya lebih tinggi.

Meski kadar alkohol menjadi sedikit berkurang, efek samping

yang lain akan muncul dalam pengoplosan ini. Alkohol dan minuman

berenergi memiliki efek berlawanan. Alkohol bersifat menenangkan,

sedangkan suplemen berfungsi sebagai stimulan. Jika digabungkan,

efeknya bisa memicu gagal jantung.

2) Miras dengan susu

Salah satu jenis oplosan yang sering menyebabkan korban tewas

adalah “Susu macan” (Lapen), yakni campuran minuman keras yang

dicampur dengan susu. Jenis minuman ini banyak dijual di warung-

warung miras tradisional.

3) Miras dengan cola atau minuman bersoda

Salah satu oplosan yang cukup populer adalah “Mansion Cola”,

terdiri dari Vodka dicampur dengan minuman bersoda. Tujuannya

semata-mata untuk memberikan cita rasa atau menutupi rasa tidak enak

pada minuman keras.

43

4) Miras dengan spiritus atau jenis miras yang lain

Di warung-warung tradisional, pengoplosan beberapa jenis

minuman keras dilakukan untuk mendapatkan harga yang lebih murah.

Minuman yang harganya mahal seperti Vodka dicampur dengan spiritus,

atau jenis minuman keras lain yang tidak jelas kandungan alkoholnya.

Jenis alkohol yang aman dikonsumsi hingga jumlah tertentu

adalah alkohol dengan 2 atom karbon atau etanol. Sementara alkohol

dengan satu atom karbon atau metanol umumnya digunakan sebagai

pelarut atau bahan bakar, sehingga sangat beracun jika diminum. 10 mL

methanol cukup untuk menyebabkan kebutaan dan 30 mL akan

menyebabkan dampak lebih fatal termasuk kematian.

5) Miras dengan obat-obatan

Dengan anggapan akan mendongkrak efek alkohol, beberapa

orang menambahkan obat-obatan ke dalam minuman keras. Mulai dari

obat tetas mata, obat sakit kepala, hingga obat nyamuk. Karena akan

meningkatkan aktivitas metabolisme, efek samping paling nyata dari

jenis oplosan ini adalah kerusakan hati dan ginjal. Efek lainnya sangat

beragam, tergantung jenis obatnya.41

41 An Uyung Pramudiarja, Macam-macam Minuman Oplosan dan Bahayanya, dalam http://

health.detik.com, diakses 9 September 2016.

44

2. Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) Huruf a Undang-undang Nomor 8

tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mempunyai unsur-unsur

sebagai berikut:

a. Pelaku usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa;

b. Yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

3. Pasal 146 Huruf a jo Pasal 137 UURI No. 18 Tahun 2012 Tentang

Pangan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a. Setiap Orang;

b. Yang melakukan kegiatan atau Proses Produksi Pangan dengan

menggunakan Bahan Baku, Bahan Tambahan Pangan, dan/ atau Bahan

lain yang Dihasilkan dari Rekayasa Genetika Pangan yang belum

mendapatkan Persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) UURI No. 18 Tahun 2

E. Tinjauan Umum Tentang Tujuan Hukum

Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macamm hubungan antara

anggota masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-

kepentingan anggota masyarakat itu dan memerlukan aturan-aturan yang

menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi

kekacauan dalam masyarakat.

45

Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antara

anggota masyarakat dibutuhkan peraturan-peraturan hukum yang bersifat

mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk mentaatinya. Setiap pelanggar

peraturan hukum akan dikenakan sanksi, maka peraturan-peraturan hukum yang

ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan.

Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian

hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersedikan pada keadilan.

Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal pendapat sarjana ilmu hukum

yang di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Prof. Subekti, S.H

Dalam buku yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan”,

Prof. Subekti, S.H., mengatakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan

negara yang dalam pokoknya ialah: mendatangkan kemakmuran dan

kebahagiaan pada rakyatnya.

Hukum melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan

“keadilan” dan “ketertiban”, syarat-syarat yang pokok untuk mendatangkan

kemakmuran dan kebahagiaan. Ditegaskan selanjunya, bahwa keadilan itu

kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang

membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan

menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.

Keadilan selalu mengandung unsur penghargaan, penilaian atau

pertimbangan dan karena itu ia lazim dilambangkan dengan suatu neraca

46

keadilan. Dikatakan bahwa keadilan itu menutut bahwa dalam keadaan yang

sama tiap orang harus menerima bagian yang sama pula.

Menurut Prof. Subekti, S.H., keadilan itu berasal dari Tuhan Yang

Maha Esa, tetapi seorang manusia diberi kecakapan atau kemampuan untuk

meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil itu dan segala kejadian

di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasar-dasar keadilan itu

pada manusia.

Dengan demikian maka dapat kita lihat bahwa hukum tidak saja harus

mencarikan keseimbangan antara pelbagai kepentingan yang bertentangan satu

sama lain untuk mendapatkan keadilan, tetapi hukum juga harus mendapatkan

keseimbangan lagi antara tuntutan keadilann tersebut dengan tuntutan

ketertiban atau kepastian hukum.

2. Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn

Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de

studie van het Nederlandse recht” mengatakan bahwa tujuan hukum ialah

mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki

kedamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan

melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,

kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang merugikannya.

Adapun hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang

kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan keseimbangan

di antaranya, karena hukum hanya mencapai tujuan, jika ia menuju peraturan

yang adil artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara

47

kepentingan-kepentingan yang dilindungi. Keadilan tidak dipandang sama arti

dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang yang

memperoleh bagian yang sama.

Dalam tulisannya “Rhetorica”, Aristoteles membedakan dua macam

keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif

ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya

(pembagian menurut haknya masing-masing). Ia tidak menuntut supaya tiap-

tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan

melainkan kesebandingan.

Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang

sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Ia memegang

peranan dalam tukar menukar, pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa,

dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang

dipertukarkan. Jadi, keadilan komutatif lebih menguasai hubungan antara

perseorangan khusus, sedangkan keadilan distributif terutama menguasai

hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan khusus.

3. Teori Etis

Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukuman itu semata-mata

menghendaki keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan

teori etis, karena menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus

ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak

adil.

48

Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk

untuk orang-orang dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum semata-mata

mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka

ia tidak dapat membentuk peraturan-peraturan umum.

Tertib hukum yang tidak mempunyai peraturan hukum, tertulis atau

tidak tertulis, tidak mungkin kata Prof. van Apeldoorn. Tidak adanya peraturan

umum, berarti ketidaktentuan yang sungguh-sungguh mengenai apa yang

disebut adil atau tidak adil. Dan ketidaktentuan inilahh yang selalu akan

menyebabkan perselisihan antar anggota masyarakat, jadi menyebabkan

keadaan yang tidak teratur.

Dengan demikian hukum harus menentukan peraturan umum, harus

menyamaratakan. Tetapi keadilan melarang menyamaratakan, keadilan

menuntut supaya setiap perakara harus ditimbang tersendiri.

4. Geny

Dalam “Science et technique en droit prive positif” Geny mengajarkan

bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan dan sebagai

unsur daripada keadilan disebutkannya, kepentingan daya guna dan

kemanfaatan.

5. Bentham (Teori Utilitis)

Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduction to the morals and

legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-

mata apa yang berfaedah bagi orang.

49

Apa yang berfaedah bagi orang yang satu, mungkin merugikan bagi

orang lain, maka menurut teori utilitis tujuan hukum ialah menjamin adanya

kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian

melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama daripada hukum.

Dalam hal ini, pendapat Bentham dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah

dan bersifat umum, namun tidak memperhatikan unsur-unsur keadilan.

6. Prof. Mr J. van Kan

Dalam buku “Inleiding tot de Rechtswetenschap” Prof. van Kan

menulis antara lain sebagai berikut: jadi terdapat kaedah-kaedah agama,

kesusilaan, kesopanan yang semuanya bersama-sama ikut berusaha dalam

penyelenggaraan dan perlindungan kepentingan-kepentingan orang dalam

masyarakat.

Selanjutnya Prof. van Kan mengatakan, bahwa hukum bertujuan

menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu

tidak dapat diganggu.

Jadi, bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya

kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu dapat pula disebutkan bahwa

hukum menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas

dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi

hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Namun tiap

50

kasus, harus diselesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim

berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.42

Berdasarkan uraian di atas, itulah tujuan hukum menurut pendapat para

ahli. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tujuan hukum dari hukum itu

sangat beragam dan berbeda-beda menurut pendapat dari para ahli hukum. Dari

pendapat yang berbeda-beda tersebut jika disimpulkan maka akan dapat

diklasifikasikan adannya 3 (tiga) tujuan hukum yang selama ini berkembang,

yaitu sebagai berikut:

a. Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu

semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.

b. Aliran utilitis, yaitu menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu

hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat.

c. Aliran normatif, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum

itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum.

Pandangan yang menganggap tujuan hukum semata-mata hanyalah

keadilan belaka, diragukan karena keadilan itu sendiri sebagai sesuatu yang

abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus-

menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan

ada pula yang melihat keadilan itu sebagai pembenaran bagi pelaksanaan

hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan.

Aliran utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut

penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan

42 C.S. T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, hal 40-45.

51

yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat. Menurut

John Rawls dengan teorinya yang disebut teori Rawls atau Justice as Fairness

(keadilan sebagai kejujuran) menyatakan bahwa hukum itu haruslah

menciptakan suatu masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba

memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan (the greatest

happiness of the greatest number people).

Aliran normatif/yuridis dogmatis yang pemikirannya bersumber pada

positivistis yang beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom dan

mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan atau hukum yang tertulis saja, dan tujuan

hukum dalam hal ini untuk sekadar menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Menurut aliran ini selanjutnya, walaupun aturan hukum atau penerapan hukum

terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas

warga masyarakat, hal tersebut tidaklah menjadi masalah, asalkan kepastian

hukum yang ditegakkan.

Hukum itu untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan

kemanfaatan dari pelaksanaan atau penegakan hukum. Jangan sampai terjadi,

dalam pelaksanaan atau penegakan hukum ini timbul keresahan di dalam

masyarakat.

Selain itu masyarakat juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan

atau penegakan hukum itu memperlihatkan nilai-nilai keadilan. Hukum

bersifat umum, mengikat setiap orang dan bersifat menyamarakatan atau tidak

membeda-bedakan keadaan, status ataupun perbuatan yang dilakukan oleh

52

manusia. Bagi hukum, setiap kejahatan oleh pelaku tindak pidana atau

pelanggaran hukum oleh para pihak yang berkasus, maka dijatuhkan

pidana/hukuman yang sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal

undang-undangm sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama dengan

keadilan moral atau keadilan masyarakat.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka sebenarnya persoalan dari

tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 (tiga) sudut pandang, yaitu:

a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatis,

tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya.

b. Dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi

keadilan.

c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada

segi kemanfaatan.

Dengan demikian, tujuan hukum sebenarnya sama dengan apa yang

dikemukakan oleh Gustav Redbruch sebagai 3 (tiga) nilai dasar hukum yaitu

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Selanjutnya Redbruch

mengajarkan penggunaan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana

prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan terakhir

kepastian hukum.

Penekanan pada asas keadilan, berarti hakim harus mempertimbangkan

hukum yang hidup dalam masyarakat, yang terdiri atas kebiasaan dan

ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini harus dibedakan rasa

keadilan menurut individu, kelompok dan masyarakat. Selain itu keadilan dari

53

suatu masyarakat tertentu, belum tentu sama dengan rasa keadilan masyarakat

tertentu yang lainnya. Jadi dalam pertimbangan putusannya, hakim harus

mampu menggambarkan hal itu semua, manakala hakim memilih asas

keadilan, misalnya sebagai dasar menjatuhkan putusan. Penekanan pada asas

kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasar pemikiran

bahwa hukum itu ada untuk manusia, sehingga tujuan hukum itu harus

berguna bagi masyarakat banyak. Adapun penekanan pada asas kepastian

hukum lebih bernuansa pada terciptanya keteraturan dan ketertiban dalam

masyarakat.43

43 Ahmad Rifai, Op. cit, hal 129-135.