Upload
truongtruc
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan
1. Pertimbangan Hukum Hakim
Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan di mana majelis hakim
mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung,
mulai dari dakwaan, tuntutan, eksepsi dari terdakwa yang
dihubungkandengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat
materil, yang disampaikan dalam pembuktian, pledoi. Dalam pertimbangan
hukum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hukum yang dijadikan
dasar dalam putusan tersebut.14
Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument atau
alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi
dasar sebelum memutus kasus. Menurut Rusli Muhammad dalam melakukan
pertimbangan hakim ada dua macam yaitu pertimbangan secara yuridis dan
sosilogis:
a. Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan
pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh
Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam
putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebutantara lain:
14 Damang, Definisi Pertimbangan Hukum, dalam http://www.damang.web.id, diakses 9
September 2016.
14
1) Dakwaan Penuntut Umum
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena
berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan
selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana
itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah
dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan.
2) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa menurut Pasal 184 butir e KUHAP,
digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang
dinyatakan terdakwa disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau
yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri. Keterangan terdakwa
sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, Penuntut
Umum ataupun dari penasihat hukum.
3) Keterangan Saksi
Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti
sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang
didengar, dilihat, alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam
sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi
menjadi pertimbangan utama oleh hakim dalam putusannya.
15
4) Barang-barang bukti
Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang dapat
dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan
sidang pengadilan, yang meliputi:
a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil
tindak pidana;
b) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkan;
c) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana;
d) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung tindak pidana
yang dilakukan.
5) Pasal-Pasal dalam Peraturan Hukum Pidana
Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu
selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini,
penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan
memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa
telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal
peraturan hukum pidana.
b. Pertimbangan Non-Yuridis
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pertimbangan non-yuridis
adalah sebagai berikut:
16
1) Latar Belakang Terdakwa
Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang
menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri
terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.
2) Akibat Perbuatan Terdakwa
Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti
membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat
dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat
pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak
keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.
3) Kondisi Diri Terdakwa
Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun
psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status
sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik dimaksudkan
adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis
dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan yang dapat berupa:
tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan
lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah
predikat yang dimiliki dalam masyarakat.
4) Agama Terdakwa
Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila
sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan
harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para
17
hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para
pembuat kejahatan.15
Pertimbangan hakim secara non-yuridis juga disebut dengan
sosiologis. Pertimbangan hakim secara sosiologis diatur dalam Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.16 Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara
sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu
kasus, antara lain:
a. Memperhatikan sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
b. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai
yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa.
c. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan,
peranan korban.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
15 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana kontemporer, Jakarta: Citra Aditya, hal
212-220. 16 Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
18
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.17
2. Putusan
a. Pengertian Putusan
Putusan dalam Bahasa Belanda antara lain vonnis, vonnis een
eitspreken,18 dalam Bahasa Inggris verdict, dicision, sedangkan dalam
Bahasa Latin adalah veredictum.19 Putusan adalah kesimpulan atau
ketetapan hakim untuk mengakhiri suatu kasus yang dihadpkan
kepadanya. Putusan hakim merupakan akhir dari rangkaian proses
pemeriksaan suatu kasus.20
Dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP disebutkan bahwa putusan
pengadilan sebagai “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari
segala tuntutan hukum dalam serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini.” Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan
aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan kasus pidana untuk
memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan dapat mempersiapkan
untuk langkah selanjutnya, seperti upaya hukum.
Hakim merupakan salah satu anggota dari Catur Wangsa Penegak
Hukum di Indonesia. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas
17 HB. Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Gramedia Pustaka Utama,
hal 68. 18 Martin Basiang, 2009, The Contemporary Law Dictionary (First Edition), Red & White
Publisihing, hal 467. 19 Henry Campbel Black, 1968, Black’s is Law Dictionary (Revised Fourth Edition),
Minnesota: West Publishing, hal 1730. 20 Andi Hamzah, 1968, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal 624.
19
pokok di bidang jidisial yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan setiap kasus yang diajukan kepadanya. Dengan tugas
seperti itu, dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang
secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu
keberadaannya sangat penting dan determinan dalam menegakkan hukum
dan keadilan melalui putusan-putusannya.
Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan
kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-hakim
yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat
melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung legal justice,
tetapi juga berdimensikan moral justice dan moral justice.
Akan tetapi, dalam praktik seringkali dijumpai para pencari
keadilan merasa tidak puas dan kecewa terhadap kinerja hakim yang
dianggap tidak bersikap mandiri dan tidak profesional. Banyaknya
intervensi dan tekanan pihak luar terhadap hakim, terkadang membuat
kinerja hakim tidak lagi optimal atau bahkan memilih bersikap oportunis.
Tidak semua hakim dapat mengatakan yang benar adalah benar dan yang
salah adalah salah. Kondisi ini memnuculkan “mafia peradilan” yang
menghalalkan segala cara seperti jual beli kasus yang semakin menambah
coreng moreng dunia peradilan.21
21 Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, hal 5-6.
20
b. Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Kasus Pidana
Setelah menerima, memeriksa dan mengadili seorang pelaku tindak
pidana, maka selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusannya. Dalam
hukum pidana ada 2 (dua) jenis putusan hakim yang dikenal selama ini,
yaitu putusan sela dan putusan akhir:
1) Putusan Sela
Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai
surat dakwaan penuntut umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar
atau kerangka pemeriksaan terhadap terdakwa di suatu persidangan.
Terdakwa hanya dapat diperiksa, dipersalahkan dan dikenakan pidana
atas pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, dalam arti hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa di luar dari pasal
yang didakwakan tersebut. oleh karena itu, dalam membuat surat
dakwaan, penuntut umum harus memperhatikan syarat-syarat
limitative, sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang,
yaitu Pasal 143 KUHAP, yaitu syarat formil dan syarat materiil.22
Terhadap surat dakwaan penuntut umum tersebut, ada hak
secara yuridis dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa untuk
mengajukan keberatan (eksepsi), di mana dalam praktik persidangan
biasanya eksepsi yang diajukan meliputi eksepsi pengadilan tidak
22 Syarat formil suatu dakwaan sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. Adapun syarat materiil suatu dakwaan, terdapat dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, yaitu uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
21
berwenang mengadili (exeptie onbevoegheid) baik absolut maupun
relative, eksepsi dakwaan tidak dapat diterima, eksepsi pada yang
didakwakan bukan merupakan tindak pidana, eksepsi terhadap kasus
nebis in idem, eksepsi terhadap kasus telah kadaluarsa, eksepsi bahwa
apa yang dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukan, eksepsi surat dakwaan kabur (obscure libel), eksepsi
dakwaan tidak lengkap ataupun eksepsi dakwaan error in persona.
Atas keberatan (eksepsi) yang menyangkut kewenangan
pengadilan negeri dalam mengadili suatu perakara atau dakwaan tidak
dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaimana
ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, hakim akan memberikan
kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya,
kemudian hakim akan mempertimbangkanny, selanjutnya akan
diambil suatu putusan oleh hakim. Dalam praktik peradilan putusan
hakim atas keberatan (eksepsi) tersebut, berbentuk putusan baik itu
berupa putusan sela ataupun akhir.
Adapun materi putusan hakim terhadap keberatan (eksepsi)
yang menyangkut kewenangan mengadili, dakwaan tidak dapat
diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaimana ketentuan
Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut:
a) Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Diterima
Apabila keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasehat
hukum terdakwa, maka pemeriksaan terhadap pokok kasus
22
bergantung kepada jenis eksepsi mana diterima oleh hakim, jika
eksepsi terdakwa yang diterima mengenal kewenangan relaltif,
maka kasus tersebut dikembalikan kepada penuntut umum untuk
dilimpahkan kembali ke wilayah pengadilan negeri yang
berwenang mengadilinya.
Jika keberatan (eksepsi) yang diterima menyangkut
dakwaan batal atau dakwaan tidak dapat diterima, maka secara
formal kasus tidak dapat diperiksa lebih lanjut atau pemeriksaan
telah selesai sebelum hakim memeriksa pokok kasus (Pasal 156
ayat (2) KUHAP).
Atau putusan tersebut, penuntut umum dapat mengajukan
perlawanan (verzet) ke pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri
(Pasal 156 ayat (3) KUHAP), jika perlawanan tersebut dibenarkan
oleh pengadilan tinggi, maka putusan pengadilan negeri tersebut
otomatis dibatalkan dan sekaligus memerintahkan pengadilan
negeri untuk membuka dan memeriksa pokok kasus (Pasal 56 ayat
(4) KUHAP).
b) Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Tidak Dapat Diterima
Apabila dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa
keberatan dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa,
dinyatakan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal
tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan kasus a
quo, maka dakwaan penuntut umum dinyatakan sah sebagaimana
23
ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan
persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok
kasus (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
Terhadap hal tersebut, upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh terdakwa atau penasehat hukumnya adalah perlawanan
(verzet), tetapi dalam praktik peradilan, perlawanan (verzet) yang
diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya akan dikirim
bersamaan dengan upaya banding terhadap putusan akhir yang
dijatuhkan oleh pengadilan negeri (Pasal 156 ayat (5) huruf a
KUHAP).
2) Putusan Akhir
Setelah pemeriksaan kasus dinyatakan selesai oleh hakim,
maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan
yang akan memberikan penyelesaian pada suatu kasus yang terjadi
antara negara dengan warga negaranya, disebut putusan akhir.
Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir, sebagai berikut:
a) Putusan Bebas (Vrijspraak)
Putusan Bebas (Vrijspraak) adalah putusan yang dijatuhkan
oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak
pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang
diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan,
ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan,
tidak ditemukannya adanya bukti-bukti yang cukup menyatakan
24
bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud.
Maka kepada terdakwa haruslah dinyatakan secara sah dan
meyakinkan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan penuntut
umum, sehingga oleh karena itu terhadap terdakwa haruslah
dinyatakan dibebaskan dari segala dakwaan (Pasal 191 ayat (1)
KUHAP).23
23
Selain itu, putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum, berkaitan pula dengan adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf, yaitu menghapuskan kesalahan si pembuat menyangkut diri pribadi si pembuat, sehingga si pembuat tidak dapat dipidana dan oleh karenanya menghapus kesalahan dari si pembuat. Adapun alasan pembenar, yaitu menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan, meskipun perbuatan memenuhi rumusan delik UU, tetapi perbuatan tersebut dibenarkan. Alasan pemaaf ini terdiri sebagai berikut: a. Pasal 44 ayat (1) KUHP dalam hal orang yang pertumbuhan akalnya tidak sempurna atau
kurang sempurna misalnya: orang idiot, lemah akal, atau orang yang mengalami gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya, misalnya sakit ingatan/gila, kleptomania, piromania, nimformania.
b. Pasal 49 ayat (2) KUHP melampaui pembelaan terpaksa (noodweer excess) dengan syarat-syarat, yang pertama kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, yang kedua kelampauan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu paksaan hati yang sangat panas), dan yang ketiga kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan adanya serangan, dengan kata lain antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan sebab akibat/kausalitas.
c. Pasal 51 ayat (2) KUHP, yaitu melaksanakan perintah jabatan dari pembesar yang tidak berhak, tetapi dilakukan dengan itikad baik oleh orang yang disuruh tersebut. Sedangkan alasan pembenar terdiri atas: 1) Pasal 48 KUHP, yaitu melakukan tindak pidana karena daya paksa/overmacht, terdiri
dari: Vis Absoluta (paksaan yang absolut) atau overmacht yang bersifat luas, yang disebabkan oleh manusia atau alam (paksaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan) dan Vis Compulsiva (paksaan yang relatif/psikologis) atau overmacht yang bersifat sempit, yaitu suatu keadaan darurat, di mana terjadi perbenturan antara dua kepentingan hukum, perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum dan perbenturan antara dua kewajiban hkum.
2) Pasal 49 ayat (1) KUHP, yaitu untuk membela dirinya, diri orang lain, kesopanan, harta benda dari serangan melawan hukum dan seketika itu (pembelaan terpaksa/noodweer), dengan terlebih dahulu memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu yang pertama ada serangan yang seketika langsung mengancam, melawan hukum, dan sengaja ditujukan pada badan, nyawa, kesusilaan dan harta, yang kedua ada pembelaan yang perlu diadakan, yang harus menyangkut badan, nyawa, kesusilaan dan harta.
3) Pasal 50 KUHP, yaitu melaksanakan perbuatan karena menjalankan peraturan undang-undang (melaksanakan undang-undang).
4) Pasal 51 ayat (1) KUHP, yaitu melaksanakan perintah jabatan.
25
b) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag
van Alle Recht Vervolging)
Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum
yang dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, tetapi diketahui
perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana dan oleh
karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Sebagai contoh dapat dilihat pada Putusan Mahkamah
Agung No. 645.K/Pid/1982, tanggal 15 Agustus 1983, di mana
dalam peristiwa konkret diketahui terdakwa menerima pinjaman
uang untuk modal usaha dagang dari seorang temannya, tetapi
dalam perkembangannya ternyata si terdakwa tidak mampu untuk
melunasi pinjaman itu seluruhnya dan oleh pemilik uang terdakwa
ini kemudian dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan
penipuan. Namun dalam persidangan, ternyata hakim menemukan
fakta hukum yang menyatakan tedakwa terbukti melakukan
pinjaman dari temannya, perbuatannya itu bukanlah merupakan
tindak pidana tetapi sudah memasuki ruang lingkup perbuatan
hukum perdata.
26
c) Putusan Pemidanaan
Dalam hal ini terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap terdakwa harus
dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang
dilakukannya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Putusan Mahkamah
Agung RI No. 553.K/Pid/1982, tanggal 17 Januari 1983 menegaskan
bahwa ukuran pidana yang dijatuhkan merupakan kewenangan judex
facti untuk menjatuhkan pidana, di mana hal tersebut tidak diatur
dalam undang-undang dan hanya ada batasan maksimal pidana yang
dapat dijatuhkan, sebagaimana dalam KUHP atau dalam undang-
undang tertentu ada batas minimal, seperti dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 Tentang HAM.
Selanjutnya surat putusan pemidanaan, haruslah
mencantumkan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1)
KUHAP, yaitu sebagai berikut:
a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
terdakwa.
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
27
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim
kecuali kasus diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya
semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya kasus dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai
barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan
di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik
dianggap palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan.
28
l. Hari dan tanggal putusan nama penuntut umum, nama hakim
yang memutuskan dan nama panitera.
Kemudian lebih lanjut dalam ayat (2) pasal tersebut dinyatakan
bahwa jika salah satu dari unsur tersebut, tidak terpenuhinya ketentuan
dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, I, j, k, dan l pasal ini, maka
putusan ini batal demi hukum.24
c. Teori Penjatuhan Putusan
Pemahaman atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak lepas
dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh John Locke dan
Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak,
adil, jujur atau netral (impartially). Apabila kebebasan tidak dimiliki oleh
kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan bersikap netral,
terutama apabila terjadi sengketa antara penguasa dan rakyat.
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan
kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim
melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan
perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha
menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat,
peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan
kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang
bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai
pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai
24 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, hal 113-118.
29
norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.
Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan
terhadap kasus yang dijatuhkan kepadanya, di mana dalam kasus pidana,
hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif (negative wetterlijke)25
yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau
kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti
menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi
dengan integrasi moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah semata-
mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan
pada hati nurani.
Menurut Gerhard Robbes secara konstektual ada 3 (tiga) esensi
yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan
kehakiman, yaitu:
Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.
Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi
atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim, dan
25
Hukum Pidana menganut asas pembuktian negative (negative wetterijke), di mana hal ini ditandai dengan isi Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa: “Alat-alat bukti yang sah (dalam kasus pidana) ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa”. Oleh karena itu, apabila minimum pembuktian, yaitu adanya 2 (dua) alat sudah terpenuhi dalam suatu kasus, tetapi ternyata hakim tidak mempunyai keyakinan akan tindak pidana suatu kasus, tetapi ternyata hakim tidak mempunyai keyakinan akan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa maka hakim dapat membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.
30
Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam
menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu kasus
merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati
oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang
dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim
dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik
itu yang berkaitan dengan kasus yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan
dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban
maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan
masyarakat.
Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat
dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan
dalam suatu kasus, yaitu sebagai berikut:
1) Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah
keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan
dengan kasus yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan
kepentingan korban dan kepentingan pihak penggugat dan tergugat.
31
2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau
kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan,
hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar
bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam kasus perdata, hakim akan
melihat keadaan pihak yang berkasus yaitu penggugat dan tergugat
(dalam kasus perdata), pihak terdakwa atau penuntut umum dalam
kasus pidana. Penjatuhan putusan, hakim mempergunakan pendekatan
seni, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan
dari hakim.
3) Teori Pendekatan Keilmuwan
Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses
penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh
kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan
terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.
4) Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat
membantunya dalam menghadapi kasus-kasus yang dihadapinya
sehari-hari.
5) Teori Ratio Decindendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar,
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok kasus
yang disengketakan kemudian mencari peraturan peraturan
32
perundang-undangan yang relevan dengan pokok kasus yang
disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta
pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk
menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang
berkasus.
6) Teori Kebijaksanaan
Aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing,
membina, mendidik dan melindungi terdakwa, agar kelak dapat
menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan
bangsanya.26
B. Tinjauan Umum Tentang Disparitas Putusan Pengadilan
Disparitas (disparity: dis-parity) pada sasarnya adalah negasi dari konsep
paritas (parity) yang artinya kesetaraan jumlah atau nilai. Dalam konteks
pemidanaan paritas artinya adalah kesetaraan hukuman antara kejahatan serupa
dalam kondisi serupa.27 Dengan demikian disparitas adalah ketidaksetaraan
hukuman antara kejahatan yang serupa (same offence) dalam kondisi atau situasi
serupa (comparable circumstances).28 Konsep paritas ini sendiri tidak dapat
dipisahkan dari prinsip proporsionalitas, prinsip pemidanaan yang diusung oleh
26 Ibid, hal 102-113. 27 Allan Manson, 2001, The Law of Sentencing, Irwin Law, hal 92-93. 28 Litbang Mahkamah Agung, 2010, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk
Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, hal 6.
33
Beccaria di mana diharapkan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan
yang dilakukannya.29
Dalam suatu kasus yang sama, hukum tidak boleh dibenarkan untuk
menerapkan peraturan yang berbeda. Artinya suatu kasus hukum yang sama,
harus juga diterapkan peraturan yang sama. Selain untuk menghindarkan dari
diskriminasi yang harus dirasakan oleh para pelaku, menggugat ketidakadilan
publik juga memberikan kepastian hukum di tengah masyarakat (edukasi). Akibat
menerapkan suatu peraturan yang berbeda-beda, maka pubik akan kesulitan
memahami tindak pidana yang terjadi.
Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh negara
di dunia menghadapi masalah ini. disparitas pidana yang disebut sebagai the
disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian legislatif serta lembaga
lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk
memecahkannya.30
Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap
tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat
diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. Dari pengertian tersebut
dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan
hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini
tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak
29 Allan Manson, Op. cit, hal 82. 30 Muladi, 1985, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Bandung: Alumni,
hal 52.
34
pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya
disparitas pemidanaan sangat menentukan.31
Hakim sebagai salah satu Aparat Penegak Hukum, memiliki kebebasan
untuk menjatuhkan pidana terhadap kasus pidana yang disidangkannya. Sebagai
akibatnya, akan menimbulkan adanya disparitas putusan terhadap kasus-kasus
yang mempunyai kualifikasi yang sama maupun sejenis. Disparitas Putusan
adalah penerapan putusan yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama.
Dengan adanya disparitas putusan maka akan memunculkan disparitas
pidana yaitu penerapan pemidanaan yang berbeda terhadap tindak pidana yang
sama. Salah satu penyebab dari timbulnya disparitas pidana adalah sebagaimana
diuraikan oleh Sudarto, “KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana
(straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh
pembentuk Undang-Undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh
hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana”.32
Menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam
beberapa kategori yaitu:
1. Disparitas antara tindak pidana yang sama.
2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan
yang sama.
3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim.
31 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, hal 54. 32 Sudarto, 1983, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, hal 57.
35
4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang
berbeda untuk tindak pidana yang sama.33
a. Faktor-fator Penyebab Disparitas
Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah
tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.
Sudarto mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkan
hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa
telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.34
1) Faktor Hukum
Dalam hukum pidana di Indonesia Hakim mempunyai kebebasan
yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (straafsoort) yang
dikehendaki, sehubungan dengan pengunaan sistem altenatif di dalam
pengancaman pidana di dalam undang-undang, dari beberapa pasal di
KUHP tampak beberapa pidana pokok sering kali diancamkan kepada
pelaku tindak pidana yang sama secara alternatif, artinya hanya satu
diantara pidana pokok yang diancamkan tersebut dapat dijatuhkan hakim
dan hal ini diserahkan kepadanya untuk memilih beratnya pidana
(strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh perundang-
undangan hanyalah maksimum dan minimumnya.
2) Faktor Hakim
Faktor penyebab disparitas pidana yang bersumber dari hakim
meliputi sifat internal dan sifat eksternal. Sifat internal dan eksternal sulit
33 Harkristuti Harkrsnowo, Loc. cit. 34 Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni: Bandung, hal 9.
36
dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut
sebagai human equation atau personality of judge dalam arti luas
menyangkut pengaruh-pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama,
pengalaman, dan perilaku sosial.35
C. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan
1. Pengertian Pemidanaan
Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat
tertentu.36 Sedangkan Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah reaksi
atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan
Negara kepada pembuat delik.37
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga
tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya
diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai
penghukuman.
Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah
kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan
memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari
pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat
nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku
35 Muladi dan Barda Nawawi, Op. cit, hal 5. 36 Tri Andrisman, 2009, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Bandar
Lampung, Unila, hal 8. 37 Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 81.
37
perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau
membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan
suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut,
namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman
dari kebebasan manusia itu sendiri.
2. Jenis-Jenis Pidana
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci
jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut
stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan. Adapun perbedaan antara jenis-jenis pidana pokok
dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah sebagai berikut:
a. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan
(imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif.
b. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian
menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi
menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan
menjatuhkan jenis pidana pokok.
c. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan
pelaksanaan (executive).
Berikut adalah jenis-jenis pidana:
Pidana pokok, terdiri dari:
1) Pidana mati;
38
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda;
5) Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1946).
Pidana tambahan, terdiri dari:
1) Pidana pencabutan hak-hak tertentu;
2) Pidana perampasan barang-barang tertentu;
3) Pidana pengumuman keputusan hakim.38
3. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief : bahwa
tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak
terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu
untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak
terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada.
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana
sematamata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak
pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang
menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada
38 Adami Chazawi, 2012, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Rajawali Pers, hal 25-
28.
39
adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi
untuk menghilangkan kejahatan tersebut.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak
mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan
masyarakat.
c. Teori Gabungan
Selain teori absolut dan teori relatif juga ada teori ketiga yang
disebut teori gabungan. Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori
sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai tujuan
dari pemidanaan.
Tokoh utama yang mengajukan teori gabungan ini adalah
Pellegrino Rossi (1787-1848). Teori ini berakar pada pemikiran yang
bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori
gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran
tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu:
1) Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas
pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas
dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang
pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas
kebenaran.
40
2) Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk
menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban
apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki.
3) Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni
mempertahankan tertib hukum.39
D. Tinjauan Umum Tentang Pasal Penjual Minuman Keras Oplosan
Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana
menggunakan dasar hukum yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.
Seperti dalam halnya tindak pidana menjual minuman keras oplosan, ada
beberapa pasal yang dipakai oleh hakim, diantaranya Pasal 204 ayat (2) KUHP,
Pasal 62 ayat (1) huruf b jo Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dan Pasal 146 huruf a jo Pasal 137 UU Nomor 18 Tahun
2012 Tentang Pangan, yang kesemua pasal tersebut harus memenuhi unsur-unsur
yang sifatnya komulatif (semua unsur harus terpenuhi). Adapun pasal dan unsur-
unsur adalah sebagai berikut:
1. Pasal 204 ayat (2) KUHP yang mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Barang siapa
“Setiap orang” adalah setiap orang sebagai pendukung hak dan
kewajiban yang identitasnya jelas, diajukan ke persidangan karena telah
39 Muladi, 1995, KPIT Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Penerbit UNDIP, hal
149.
41
didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya;
b. Menjual, menawarkan, menerimakan atau membagi-bagikan barang
c. Diketahuinya bahwa barang itu berbahaya bagi jiwa atau kesehatan
orang dan sifat yang berbahaya itu didiamkannya, ada orang mati
lantaran perbuatan itu
Dalam hal ini yang dibahas adalah mengenai penjualan minuman
keras oplosan, yang sudah diketahuinya berbahaya bagi orang lain. Berikut
ulasan mengenai minuman keras oplosan:
Minuman keras atau minuman beralkohol tersebut sebenarnya
mengandung etanol. Terdapat 3 jenis minuman beralkohol atau minuman
keras, yaitu: bir, minuman anggur dan spiritus. Masing-masing dengan
kadar etanol berbeda-beda. Spiritus dan vodka mengandung etanol yang
telah mengalami proses pemurnian dan berada dalam kadar yang lebih
tinggi.
Kandungan etanol dalam minuman keras, seperti bir biasanya
berkisar antara 4%-6%, namun ada produk yang dapat mencapai hingga
12%. Minuman anggur dapat mengandung 9%-16% etanol. Sedangkan
produk dengan kadar etanol lebih tinggi seperti spiritus, dapat
mengandung 20% hingga mencapai 96% etanol.40 Adapun beberapa
macam “minuman keras oplosan”:
40 Jessica Florencia, Miras Oplosan dan Bahanyanya, dalam https://www.klikdokter.com,
diakses 9 September 2016.
42
1) Miras dengan minuman berenergi
Untuk mendapatkan cita rasa yang lebih baik, penggemar
minuman keras sering menambahkan suplemen minuman berenergi ke
dalam minumannya. Oplosan ini sering disebut 'Sunrise', dan bisa
mengurangi rasa pahit pada bir atau rasa menyengat pada alkohol yang
kadarnya lebih tinggi.
Meski kadar alkohol menjadi sedikit berkurang, efek samping
yang lain akan muncul dalam pengoplosan ini. Alkohol dan minuman
berenergi memiliki efek berlawanan. Alkohol bersifat menenangkan,
sedangkan suplemen berfungsi sebagai stimulan. Jika digabungkan,
efeknya bisa memicu gagal jantung.
2) Miras dengan susu
Salah satu jenis oplosan yang sering menyebabkan korban tewas
adalah “Susu macan” (Lapen), yakni campuran minuman keras yang
dicampur dengan susu. Jenis minuman ini banyak dijual di warung-
warung miras tradisional.
3) Miras dengan cola atau minuman bersoda
Salah satu oplosan yang cukup populer adalah “Mansion Cola”,
terdiri dari Vodka dicampur dengan minuman bersoda. Tujuannya
semata-mata untuk memberikan cita rasa atau menutupi rasa tidak enak
pada minuman keras.
43
4) Miras dengan spiritus atau jenis miras yang lain
Di warung-warung tradisional, pengoplosan beberapa jenis
minuman keras dilakukan untuk mendapatkan harga yang lebih murah.
Minuman yang harganya mahal seperti Vodka dicampur dengan spiritus,
atau jenis minuman keras lain yang tidak jelas kandungan alkoholnya.
Jenis alkohol yang aman dikonsumsi hingga jumlah tertentu
adalah alkohol dengan 2 atom karbon atau etanol. Sementara alkohol
dengan satu atom karbon atau metanol umumnya digunakan sebagai
pelarut atau bahan bakar, sehingga sangat beracun jika diminum. 10 mL
methanol cukup untuk menyebabkan kebutaan dan 30 mL akan
menyebabkan dampak lebih fatal termasuk kematian.
5) Miras dengan obat-obatan
Dengan anggapan akan mendongkrak efek alkohol, beberapa
orang menambahkan obat-obatan ke dalam minuman keras. Mulai dari
obat tetas mata, obat sakit kepala, hingga obat nyamuk. Karena akan
meningkatkan aktivitas metabolisme, efek samping paling nyata dari
jenis oplosan ini adalah kerusakan hati dan ginjal. Efek lainnya sangat
beragam, tergantung jenis obatnya.41
41 An Uyung Pramudiarja, Macam-macam Minuman Oplosan dan Bahayanya, dalam http://
health.detik.com, diakses 9 September 2016.
44
2. Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) Huruf a Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Pelaku usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa;
b. Yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. Pasal 146 Huruf a jo Pasal 137 UURI No. 18 Tahun 2012 Tentang
Pangan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a. Setiap Orang;
b. Yang melakukan kegiatan atau Proses Produksi Pangan dengan
menggunakan Bahan Baku, Bahan Tambahan Pangan, dan/ atau Bahan
lain yang Dihasilkan dari Rekayasa Genetika Pangan yang belum
mendapatkan Persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) UURI No. 18 Tahun 2
E. Tinjauan Umum Tentang Tujuan Hukum
Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macamm hubungan antara
anggota masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-
kepentingan anggota masyarakat itu dan memerlukan aturan-aturan yang
menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi
kekacauan dalam masyarakat.
45
Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antara
anggota masyarakat dibutuhkan peraturan-peraturan hukum yang bersifat
mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk mentaatinya. Setiap pelanggar
peraturan hukum akan dikenakan sanksi, maka peraturan-peraturan hukum yang
ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan.
Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian
hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersedikan pada keadilan.
Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal pendapat sarjana ilmu hukum
yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Prof. Subekti, S.H
Dalam buku yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan”,
Prof. Subekti, S.H., mengatakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan
negara yang dalam pokoknya ialah: mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan pada rakyatnya.
Hukum melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan
“keadilan” dan “ketertiban”, syarat-syarat yang pokok untuk mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan. Ditegaskan selanjunya, bahwa keadilan itu
kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang
membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan
menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.
Keadilan selalu mengandung unsur penghargaan, penilaian atau
pertimbangan dan karena itu ia lazim dilambangkan dengan suatu neraca
46
keadilan. Dikatakan bahwa keadilan itu menutut bahwa dalam keadaan yang
sama tiap orang harus menerima bagian yang sama pula.
Menurut Prof. Subekti, S.H., keadilan itu berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa, tetapi seorang manusia diberi kecakapan atau kemampuan untuk
meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil itu dan segala kejadian
di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasar-dasar keadilan itu
pada manusia.
Dengan demikian maka dapat kita lihat bahwa hukum tidak saja harus
mencarikan keseimbangan antara pelbagai kepentingan yang bertentangan satu
sama lain untuk mendapatkan keadilan, tetapi hukum juga harus mendapatkan
keseimbangan lagi antara tuntutan keadilann tersebut dengan tuntutan
ketertiban atau kepastian hukum.
2. Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn
Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de
studie van het Nederlandse recht” mengatakan bahwa tujuan hukum ialah
mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki
kedamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan
melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang merugikannya.
Adapun hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang
kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan keseimbangan
di antaranya, karena hukum hanya mencapai tujuan, jika ia menuju peraturan
yang adil artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara
47
kepentingan-kepentingan yang dilindungi. Keadilan tidak dipandang sama arti
dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang yang
memperoleh bagian yang sama.
Dalam tulisannya “Rhetorica”, Aristoteles membedakan dua macam
keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif
ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya
(pembagian menurut haknya masing-masing). Ia tidak menuntut supaya tiap-
tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan
melainkan kesebandingan.
Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang
sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Ia memegang
peranan dalam tukar menukar, pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa,
dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang
dipertukarkan. Jadi, keadilan komutatif lebih menguasai hubungan antara
perseorangan khusus, sedangkan keadilan distributif terutama menguasai
hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan khusus.
3. Teori Etis
Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukuman itu semata-mata
menghendaki keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan
teori etis, karena menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus
ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak
adil.
48
Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk
untuk orang-orang dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum semata-mata
mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka
ia tidak dapat membentuk peraturan-peraturan umum.
Tertib hukum yang tidak mempunyai peraturan hukum, tertulis atau
tidak tertulis, tidak mungkin kata Prof. van Apeldoorn. Tidak adanya peraturan
umum, berarti ketidaktentuan yang sungguh-sungguh mengenai apa yang
disebut adil atau tidak adil. Dan ketidaktentuan inilahh yang selalu akan
menyebabkan perselisihan antar anggota masyarakat, jadi menyebabkan
keadaan yang tidak teratur.
Dengan demikian hukum harus menentukan peraturan umum, harus
menyamaratakan. Tetapi keadilan melarang menyamaratakan, keadilan
menuntut supaya setiap perakara harus ditimbang tersendiri.
4. Geny
Dalam “Science et technique en droit prive positif” Geny mengajarkan
bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan dan sebagai
unsur daripada keadilan disebutkannya, kepentingan daya guna dan
kemanfaatan.
5. Bentham (Teori Utilitis)
Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduction to the morals and
legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-
mata apa yang berfaedah bagi orang.
49
Apa yang berfaedah bagi orang yang satu, mungkin merugikan bagi
orang lain, maka menurut teori utilitis tujuan hukum ialah menjamin adanya
kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian
melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama daripada hukum.
Dalam hal ini, pendapat Bentham dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah
dan bersifat umum, namun tidak memperhatikan unsur-unsur keadilan.
6. Prof. Mr J. van Kan
Dalam buku “Inleiding tot de Rechtswetenschap” Prof. van Kan
menulis antara lain sebagai berikut: jadi terdapat kaedah-kaedah agama,
kesusilaan, kesopanan yang semuanya bersama-sama ikut berusaha dalam
penyelenggaraan dan perlindungan kepentingan-kepentingan orang dalam
masyarakat.
Selanjutnya Prof. van Kan mengatakan, bahwa hukum bertujuan
menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu
tidak dapat diganggu.
Jadi, bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu dapat pula disebutkan bahwa
hukum menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas
dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi
hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Namun tiap
50
kasus, harus diselesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.42
Berdasarkan uraian di atas, itulah tujuan hukum menurut pendapat para
ahli. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tujuan hukum dari hukum itu
sangat beragam dan berbeda-beda menurut pendapat dari para ahli hukum. Dari
pendapat yang berbeda-beda tersebut jika disimpulkan maka akan dapat
diklasifikasikan adannya 3 (tiga) tujuan hukum yang selama ini berkembang,
yaitu sebagai berikut:
a. Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu
semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.
b. Aliran utilitis, yaitu menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu
hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat.
c. Aliran normatif, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum
itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum.
Pandangan yang menganggap tujuan hukum semata-mata hanyalah
keadilan belaka, diragukan karena keadilan itu sendiri sebagai sesuatu yang
abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus-
menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan
ada pula yang melihat keadilan itu sebagai pembenaran bagi pelaksanaan
hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan.
Aliran utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut
penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan
42 C.S. T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, hal 40-45.
51
yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat. Menurut
John Rawls dengan teorinya yang disebut teori Rawls atau Justice as Fairness
(keadilan sebagai kejujuran) menyatakan bahwa hukum itu haruslah
menciptakan suatu masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba
memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan (the greatest
happiness of the greatest number people).
Aliran normatif/yuridis dogmatis yang pemikirannya bersumber pada
positivistis yang beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom dan
mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan atau hukum yang tertulis saja, dan tujuan
hukum dalam hal ini untuk sekadar menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Menurut aliran ini selanjutnya, walaupun aturan hukum atau penerapan hukum
terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas
warga masyarakat, hal tersebut tidaklah menjadi masalah, asalkan kepastian
hukum yang ditegakkan.
Hukum itu untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan
kemanfaatan dari pelaksanaan atau penegakan hukum. Jangan sampai terjadi,
dalam pelaksanaan atau penegakan hukum ini timbul keresahan di dalam
masyarakat.
Selain itu masyarakat juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum itu memperlihatkan nilai-nilai keadilan. Hukum
bersifat umum, mengikat setiap orang dan bersifat menyamarakatan atau tidak
membeda-bedakan keadaan, status ataupun perbuatan yang dilakukan oleh
52
manusia. Bagi hukum, setiap kejahatan oleh pelaku tindak pidana atau
pelanggaran hukum oleh para pihak yang berkasus, maka dijatuhkan
pidana/hukuman yang sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal
undang-undangm sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama dengan
keadilan moral atau keadilan masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka sebenarnya persoalan dari
tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 (tiga) sudut pandang, yaitu:
a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatis,
tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya.
b. Dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi
keadilan.
c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada
segi kemanfaatan.
Dengan demikian, tujuan hukum sebenarnya sama dengan apa yang
dikemukakan oleh Gustav Redbruch sebagai 3 (tiga) nilai dasar hukum yaitu
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Selanjutnya Redbruch
mengajarkan penggunaan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana
prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan terakhir
kepastian hukum.
Penekanan pada asas keadilan, berarti hakim harus mempertimbangkan
hukum yang hidup dalam masyarakat, yang terdiri atas kebiasaan dan
ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini harus dibedakan rasa
keadilan menurut individu, kelompok dan masyarakat. Selain itu keadilan dari
53
suatu masyarakat tertentu, belum tentu sama dengan rasa keadilan masyarakat
tertentu yang lainnya. Jadi dalam pertimbangan putusannya, hakim harus
mampu menggambarkan hal itu semua, manakala hakim memilih asas
keadilan, misalnya sebagai dasar menjatuhkan putusan. Penekanan pada asas
kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasar pemikiran
bahwa hukum itu ada untuk manusia, sehingga tujuan hukum itu harus
berguna bagi masyarakat banyak. Adapun penekanan pada asas kepastian
hukum lebih bernuansa pada terciptanya keteraturan dan ketertiban dalam
masyarakat.43
43 Ahmad Rifai, Op. cit, hal 129-135.