30
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pengertian nikah berasal dari kata bahasa arab, yang artinya bahasa berati menyatu atau berkumpul. Sedangkan berdasarkan istilah yang lain berarti degan akad nikah atau ijab qobul yang mengharuskan sebuah hubungan yang terjadi sepasang manusia diucapkan dengan kata-kata. Kata nikah ini dalam bahasa Indonesia diartikan dengan arti kawin. 20 Perkawinan atau nikah, artinya ialah akad atau ikatan lahir batin diantara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang menjamin halalnya pergaulan sebagai suami istri dan sahnya hidup berumah tangga, dengan tujuan membentuk keluarga sejahtera. 21 Selain itu, pengertian mengenai perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yang menyatakan bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalmidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Selanjutnya Pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri 20 Sulaiman, Fiqih Munakahat, www.webislam.com diakses pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 23.07 WIB 21 Haya Binti Mubarok Al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Darul Falah, Cetakan Ke Delapan Edisi Indonesia, Jakarta, Muharram 1422 H., hal 97

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum Perkawinan 1 ...eprints.umm.ac.id/39698/3/BAB II.pdf · menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ... yang oleh pengadilan

Embed Size (px)

Citation preview

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Pengertian nikah berasal dari kata bahasa arab, yang artinya bahasa

berati menyatu atau berkumpul. Sedangkan berdasarkan istilah yang lain

berarti degan akad nikah atau ijab qobul yang mengharuskan sebuah

hubungan yang terjadi sepasang manusia diucapkan dengan kata-kata.

Kata nikah ini dalam bahasa Indonesia diartikan dengan arti kawin.20

Perkawinan atau nikah, artinya ialah akad atau ikatan lahir batin

diantara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang menjamin

halalnya pergaulan sebagai suami istri dan sahnya hidup berumah tangga,

dengan tujuan membentuk keluarga sejahtera.21

Selain itu, pengertian mengenai perkawinan juga diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yang menyatakan bahwa “Perkawinan

menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat

atau mitssaqan ghalmidzan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.”

Selanjutnya Pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan menjelaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

20

Sulaiman, Fiqih Munakahat, www.webislam.com diakses pada tanggal 27 Mei

2017 pukul 23.07 WIB 21

Haya Binti Mubarok Al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Darul Falah,

Cetakan Ke Delapan Edisi Indonesia, Jakarta, Muharram 1422 H., hal 97

16

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”. yang dimaksud dengan

ikatan lahir dan batin adalah kedua belah pihak dapat saling mengerti dan

memahami, sehingga tujuan atas dibentuknya suatu pernikahan dapat

terpenuhi dan dapat dengan ikhlas melaksanakan hak dan kewajiban yang

dimilikinya.

Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa perkawinan adalah

suatu kesepakatan atau perjanjian antara pria dan wanita yang

mengikatkan dirinya dalam hubungan suami istri agar dapat menghalalkan

hubungan kelamin guna mendapatkan keturunan dan mencapai tujuan

hidup dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.

2. Dasar Hukum Perkawinan

Adapun dasar Hukum yang digunakan oleh umat muslim di

Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Al- Qur’an dan As-Sunnah

b. Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

c. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

d. Kompilasi Hukum Islam

3. Hukum-hukum Perkawinan

Pada dasarnya, perkawinan menurut Islam adalah Sunnah Muakad

yang mana hal ini adalah suatu perbuatan sunnah yang sangat mendekati

dengan wajib. Akan tetapi hukum perkawinan ini dapat berubah sesuai

17

dengan keadaan setiap orang yang mengalaminya. Oleh sebab itu, disinilah

ada beberapa hukum perkawinan yaitu :22

a. Wajib, bagi orang yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak

dan takut terjerumus dalam perzinahan wajiblah dia kawin, karena

menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib.

b. Sunnat, yaitu bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu

kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari perbuatan zina. Dalam

kategori ini kawin baginya lebih utama dari bertekun diri dalam

ibadah.

c. Haram, bagi orang yang tidak mampu memenuhi nafkah batn dan lahir

kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak.

d. Makruh, yaitu bagi seseorang yang lemah syahwat dan tdak mampu

memberi belanja istrinya.

e. Mubah, yaitu bagi laki-laki yang terdesak oleh alasan-alasan yang

mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang

mengharamkan untuk kawin.

4. Rukun dan Syarat Sahnya Pernikahan

a) Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 14 disebutkan rukun – rukun

pernikahan yang harus dipenuhi yaitu :

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri;

c. Wali Nikah;

22

Ibid, hal 113

18

d. Dua Orang Saksi; dan

e. Ijab dan Kabul

Menurut Mahmud Yunus, dari kelima rukun pernikahan tersebut

juga masih ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu23

:

1) Syarat Calon Suami

a) Harus yang beragama Islam, apabila seorang perempuan

muslim dan mempelai laki-laki tidak beragama Islam, maka

pernikahan tersebut akan batal.

b) Harus dalam keadaan diperbolehkan menikah, bukan dalam

keadaan ihram, haji atau umrah.

c) Harus atas kemauannya sendiri, bukan menikah karena paksaan

d) Harus ada kepastian, tidak adanya pilihan (memilih salah satu

dari dua laki-laki).

e) Harus mengetahui nama mempelai perempuan secara jelas atas

nama terang dan nasabnya.

2) Syarat Calon Istri

1. Harus dalam keadaan diperbolehkan menikah, bukan dalam

keadaan ihram, haji atau umrah;

2. Harus ada kepastian tidak adanya pilihan (memilih salah satu

dari dua perempuan);

3. Harus dalam keadaan bebas, yaitu bebas dari pernikahan atau

tidak dalam masa iddah

23

Mahmud Yunus, 1938, Fiqih Wadhih Juz 3, Bandung :Syirkatul Ma’arif

lithab’I wan Nasyr, Hal 16-19

19

3) Syarat Seorang Wali

a. Harus orang yang memang benar-benar terpilih;

b. Harus orang yang sudah baligh atau dewasa;

c. Harus orang yang berakal sehat;

d. Harus seorang laki-laki;

e. Harus seorang yang beragama Islam apabila mempelai

perempuan juga beragama Islam;

f. Bukan termasuk orang yang Fasik;

g. Harus dalam keadaan diperbolehkan menjadi wali.

4) Syarat menjadi 2 Saksi

a. Beragama Islam;

b. Baligh atau dewasa;

c. Berakal, tidak gila;

d. Seorang laki-laki;

e. Seorang yang merdeka (bukan budak);

f. Orang yang dapat melihat, mendengar, berbicara dan

memahami bahasa yang digunakan oleh wali dan calon

mempelai laki-laki;24

g. Orang yang sehat bukan orang yang pikun;

h. Orang yang dapat berlaku adil.

5) Syarat pengucapan Akad

24

Abdur Rahman Ghozali, 2006, Fiqih Munakahat Cet II, Jakarta : Kencana,

Hal 64

20

a. Harus dikatakan dengan jelas dan lantang meskipun

menggunakan bahasa daerah;

b. Kata-kata yang diucapkan harus sesuai dengan apa yang

dikatakan wali.

b) Syarat Sahnya Perkawinan

Dalam Islam ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi

untuk melaksanakan perkawinan, yang mana setelah terpenuhi hal-hal

tersebut maka pernikahan yang diadakan barulah dianggap sah, syarat-

syarat tersebut disebutkan ada 6 yaitu :25

1) Menyebutkan siapa saja yang menjadi mempelai, hal ini disebutkan

dengan jelas siapakah nama terang dari kedua mempelai tersebut;

2) Mempelai perempuan halal dinikahi oleh calon suaminya;26

3) Ridho dari kedua orangtua;

4) Adanya wali bagi mempelai perempuan;

5) Adanya 2 saksi saat akad diucapkan;

6) Kafaah, adanya kesetaraan antara seorang mempelai laki-laki

dengan calon mempelai perempuan dalam masalah tertentu seperti

keturunan, pekerjaan, merdeka, agama, harta (sekufu).27

25

Syekh Abdullah, 2013, Modul Pembelajaran Tafsir Ahkam Jurusan Syari’ah,

hal 2 26

Ahmad Azhar Basyir, 2014, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press,

Hal 31 27

Quraish Shihab, 2007, Pengantin Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, Hal 57

seperti dikutip dalam skripsi Melia Fitri 2014, Pelaksanaan Bimbingan Pra Nikah bagi

Calon Pengantin di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pondok Aren Kota

Tangerang Selatan, Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, Bab II Hal 39

21

7) Mahar yaitu pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak

mempelai perempuanberupa harta atau manfaat karena adanya

ikatan perkawinan.28

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka harus

memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan

dibedakan dalam :29

1. Syarat-syarat Materiil, yaitu syarat mengenai orang-orang yang

hendak melangsungkan perkawinan, terutama mengenai

persetujuan, izin dan kewenangan untuk memberi izin. Syarat-

syarat materiil diatur dalam pasal 6 s/d 11 UU No. 1 tahun 1974,

yang dapat dibedakan lagi dalam syarat materiil yang

absolut/mutlak dan syarat materiil yang relatif/nisbi.

a. Syarat materiil yang absolut/mutlak merupakan syarat-syarat

yang berlaku dengan tidak membeda-bedakan dengan siapaun

dia akan melangsungkan perkawinan, yang meliputi:

1) Batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16

tahun (pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974). Dalam

terdapat penyimpangan dari batas umur tersebut dapat

mememinta dispensasi kepada Pengadilan;

2) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau

persetujuan antara kedua calon mempelai (pasal 6 ayat 1);

28

Ahmad Azhar Basyir, Op.cit, Hal 261 29

Komariah, 2013, Hukum Perdata Edisi Revisi, Malang: UMM Press, hal 37-41

22

3) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat

izin dari kedua orang tuanya (pasal 6 ayat 2).

4) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tuanya telah

meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu

menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat

(2) cukup diperoleh dari orang tua yang mampu

menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua

telah meinggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu

menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,

orang yang memelihara atau keluargaa yang mempunyai

hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas

selama mereka masih hidup dan dalam keadaan mampu

menyatakan kehendaknya.

Menurut pasal 6 ayat 6 UU No. 1 tahun 1974, ketentuan

tentang pihak-pihak yang berwenang memberikan izin

tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing

agamanya tidak menentukan lain.

b. Syarat materiil yang relatif/nisbi, merupakan syarat yang

melarang perkawinan antara seseorang dengan seseorang yang

tertentu, yaitu:

1) Larangan kawin antar orang-orang yang mempunyai

hubungan keluarga, yakni hubungan kekeluargaan

23

karena darah dan perkawinan, yang ditentukan dalam

pasal 8 UU no. 1 tahun 1974:

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke

bawah atau pun ke atas.

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan

menyamping.

c) Berhubungan semenda.

d) Berhubungan susuan.

e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi

atau kemenakan dari isteri dalam Hal seorang suami

beristri lebih dari istri.

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau

peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

2) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan

orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali seorang suami

yang oleh pengadilan diizinkan untuk poligami karena

ditentukan dalam Pasal 9 UU No 1 tahun 1974.

3) Larangan kawin bagi suami dan isteri yang telah cerai

kawin lagi satu dengan yang lainnya untuk kedua

kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain dalam pasal 10 UU No. 1 tahun 1974.

24

4) Seorang wanita yang putus perkawinannya dilarang

kawin lagi sebelum habis jangka tunggu dalam pasal 11

UU No. 1 tahun 1974.

2. Syarat-syarat Formil, yaitu syarat-syarat yang merupakan

formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah.

a. Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon

memepelai baik secara lisan maupun tertulis kepada pegawai

pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam

jangka waktu sekurang-kurangnya. 10 (sepuluh) hari kerja

sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 3 dan 4 PP No. 9

tahun 1975).

b. Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya

pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan

Perkawinan. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah

pegawai pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat

kelengkapan yang harus dipenuhi oleh mempelai. Perkawinan

tidak boleh dilangsungkan sebelum melewati hari ke-10

setelah diumumkan (pasal 10 PP No. 9 tahun 1975). Menurut

pasal 57 KUH Pdt yang masih berlaku karena tidak diatur

dalam UU No. 1 tahun 1974, pengumuman yang sudah

melewati 1 (satu) tahun sedang perkawinan belum juga

dilaksanakan, maka perkawinan menjadi daluwarsa dan tidak

25

boleh dilangsungkan kecuali melalui pemberitahuan dan

pengumuman baru.

5. Tujuan Pernikahan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan dijelaskan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan suami

isteri adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan juga

disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang

menyebutkan bahwa : “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.” Adapun

beberapa tujuan lain atas adanya pernikahan yaitu :30

1. Melestarikan jenis manusia dengan adanya keturunan dan populasi.

2. Terpeliharanya kehormatan

3. Menentramkan dan menenangkan jiwa, dalam hal ini pasangan

memiliki fungsi sebagai penghibur atau sebagai tempat bertukar

pikiran

4. Mendapatkan keturunan yang sah, yang akan menyambung amal dan

pahala

5. Saling mendukung dan membantu antara suami istri

6. Mengembangkan tali silaturahmi dan memperbanyak keluarga,.

30

Team Penyusun Materi Nisaiyyah, 1997, Nisaiyyah 6, Mantingan :Kulliyatu –

l-Mu’allimat Al- Islamiyah Gontor Putri 1, Hal 81

26

B. Tinjauan Umum Kursus Calon Pengantin

1. Pengertian Kursus Calon Pengantin

Kata kursus dalam kamus bahasa Indonesia adalah pelajaran

tentang suatu pengetahuan atau kepandaian yang diberikan kepada

seseorang (siswa) dalam waktu singkat.31

Sedangkan arti kata pra adalah

sebelum32

dan nikah berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan

sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama (hidup sebagai suami

istri tanpa melakukan pelanggaran terhadap agama).33

Dari pengertian

tersebut dapat disimpulkan bahwa kursus pra nikah merupakan suatu

kegiatan yang berisi tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh calon

mempelai sebelum melakukan perkawinan.

Pengertian kursus calon pengantin dalam Peraturan Dirjen

Bimbingan Masyarakat Islam adalah pemberian bekal pengetahuan,

pemahaman dan keterampilan dalam waktu singkat kepada calon

pengantin tentang kehidupan rumah tangga atau keluarga. Dengan adanya

kursus pra nikah ini diharapkan para calon mempelai dapat memahami dan

mengerti hal-hal apa yang perlu diperhatikan dan dipersiapkan sebelum

mengambil keputusan yang besar dalam kehidupannya.

Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya kursus ini menghadirkan

narasumber yang dianggap mampu dan menguasai beberapa hal yang

berhubungan dengan perkawinan. Pemilihan narasumber ini telah

31

Trisno Yuono dan Pius Abdullah, 1994, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,

Surabaya : Arkola Hal 251 32

Ibid, Hal 333 33

Yufid Aplikasi, KBBI Online

27

dijelaskan dalam Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam No.

DJ.II/542 tahun 2013 Pasal 8 ayat (3) bahwa yang berhak menjadi

narasumber adalah terdiri dari konsultan perkawinan dan keluarga, tokoh

agama dan tokoh masyarakat.

Dalam kegiatan kursus pra nikah narasumber bertugas sebagai

pembimbing. Menurut Aunur Rahim Faqih seorang pembimbing dalam

bimbingan pernikahan selain memiliki keahlian dalam bimbingan dan

konseling harus memiliki keahlian lain seperti kemampuan

kemasyarakatan (mampu bergaul, berkomunikasi, bersilaturahmi dengan

baik dan sebagainya), dan kemampuan pribadi (beragama Islam dan

menjalankan dan memiliki akhlak mulia).34

Selain itu kemampuan

professional yang perlu dimiliki pembimbing Islam adalah :

a) Menguasai bidang permasalahan yang dihadapi, bidang yang

dimaksudkan disini adalah bidang pernikahan dan keluarga, bidang

sosial, bidang pendidikan dan sebagainya.

b) Menguasai metode dan teknik bimbingan dan konseling.

c) Menguasai hukum Islam yang sesuai dengan bidang bimbingan

tentang permasalahan yang dihadapi.

d) Memahami landasan-landasan keilmuan bimbingan dan konseling

Islam yang relevan.

34

Aunur Rahim Faqih, 2001, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: UII Press,

Hal 93 seperti dikutip dalam Skripsi Rista Endriani, Bimbingan Pra Nikah bagi Calon

Pengantin dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah, UIN Sultan Sarif Kasim, Riau, 2016

Bab I Hal 19

28

e) Mampu mengorganisasikan dan mengadministrasikan layanan

bimbingan dan konseling Islam.

f) Mampu menghimpun dan memanfaatkan hasil data penelitian yang

berkaitan dengan bimbingan dan konseling Islami.

2. Persiapan Pra Nikah

Pernikahan merupakan suatu keputusan terbesar dalam hidup

seseorang. Karena pada dasarnya menikah adalah suatu proses dimana

seseorang tersebut akan berkomitmen dan mengikat janji untuk menjalin

kehidupan bersama orang lain seumur hidupnya.35

Oleh sebab itu,

hendaknya para mempelai wajib memperhatikan beberapa hal sebelum

memutuskan untuk menikah, diantaranya yaitu :

a) Menikah itu adalah sebuah keputusan bukan pencapaian, dalam hal ini

pernikahan merupakan suatu langkah baru yang menuntut kita untuk

dapat menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam menjalani kehidupan

ini.

b) Menikah itu adalah sebuah pembelajaran untuk saling memahami,

mempercayai dan bekerjasama dengan pasangan.

c) Menikah adalah suatu proses untuk belajar manajemen konflik yang

baik. Manajemen konflik sangatlah penting karena tidak ada

pernikahan yang jauh dari konflik atau permasalahan.

35

Ernia Karnia, Hal-hal yang Perlu Kamu Tahu Sebelum Memutuskan Untuk

Menikah, www.hipwee.com/2014 diakses pada 14 September 2017 pukul 09:20 WIB

29

d) Berusaha untuk menjadi pendengar yang baik dan dapat menahan

emosi, karena pada hakikatnya manusia tidaklah sempurna dan ingin

dimengerti.

Tidak cukup sampai disini, persiapan pra nikah bukan hanya dilihat

dari kesiapan mental saja melainkan juga dilihat dari kondisi fisik calon

mempelai, diantaranya yaitu : 36

a) Pemeriksaan Kesehatan

1) Pemeriksaan tekanan darah, LILA (Lingkar Lengan Atas) pada

calon pengantin perempuan;

2) Pemeriksaan darah rutin, Hb, Trombosit dan Leukosit;

3) Pemeriksaan darah yang dianjurkan :

3.1) HIV/AIDS;

3.2) Golongan darah dan rhesus;

3.3) Gula Darah Sewaktu (GDS); Thalasemia (Kelainan darah

yang diturunkan);

3.4) Hepatitis B dan C;

3.5) TORCH (Toksoplasmosis, Rubella, Citomegalovirus, dan

Herpes Simplex);

3.6) Pemeriksaan urin rutin;

3.7) Pemeriksaan lain dilakukan apabila ada keluhan (terasa panas

bila buang air kecil, kencing nanah, keputihan)

b) Pemenuhan gizi

36

Harsono, 2014, Buku Pintar Kesehatan Ibu dan Anak Bagi Calon Pengantin,

Surabaya : Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Povinsi Jawa Timur, Hal 3-6

30

1) Peningkatan Status gizi calon pengantin terutama bagi perempuan

dengan mengkonsumsi makanan gizi seimbang;

2) Meminum tablet penambah darah;

3) Tidak melakukan pantang makanan.

c) Olahraga,

Olahraga dengan tujuan dapat melancarkan metabolisme tubuh dan

sangat penting untuk mengurangi dampak stress dalam tubuh.

Olahraga mengaktifkan hormon-hormon dalam tubuh, dan dapat

membuat perasaan lebih rileks dan segar.

d) Status TT calon pengantin

Seorang ibu harus memiliki kekebalan yag cukup terhadap serangan

penyakit tetaunus untuk melindungi ibu dan bayi. Untuk itu baik di

saat catin atau saat hamil perlu dilakukan pemeriksaan status TTnya.

Apabila belum cukup maka perlu diberikan suntikan TT sesuai jadwal.

e) Hak Reproduksi sehat

1) Usia untuk hamil 20 – 35 tahun, apabila pernikahan dilaksanakan

sebelum 20 tahun maka sebaiknya menunda kehamilan (konsultasi

kepada tenaga kesehatan);

2) Jarak kelahiran antar anak minimal 2 tahun;

3) Jumlah anak yang dianjurkan sesuai dengan kesiapan ibu dan

keluarga.

31

3. Tujuan Pendidikan Pra Nikah

Selain menyiapkan berbagai kebutuhan pernikahan, calon

pengantin juga perlu menyusun jadwal untuk kelas edukasi atau sesi

knsultasi pra nikah. Situs Your Tango mengumpulkan pendapat ahli

mengenai konseling pranikah. 80 % pakar sepakat bahwa pasangan yang

melakukan konseling pra nikah kecil kemungkinannya untuk bercerai.37

Ada beberapa alasan mengapa pasangan butuh konseling pranikah,

diantaranya yaitu :

a) Punya pandangan ke depan, karena pada umumnya pasangan yang

sedang jatuh cinta tidak memikirkan hal apa yang akan terjadi ke

depannya;

b) Lebih teraah dalam menjalani hubungan;

c) Lebih baik dari konseling pasca menikah, karena jika konseling

dilakukan sebelum menikah maka memungkinkan kita untuk lebih

mempersiapkan diri dalam menghadapi kesalahpahaman atau

perbedaan pendapat;

d) Mempermudah penyatuan visi, dapat lebih memahami visi masing-

masing dan mencoba untuk dapat beradaptasi pada calon pasangan;

e) Membantu memahami keluarga pasangan, hal ini menjai sangat

penting karena pada hakikatnya pernikahan bukan hanya menyatukan

dua insan yang berbeda akan tetapi menyatukan dua keluarga dengan

latar belakang dan kebiasaan yang berbeda;

37

Wawa, 2012, 11 Alasan Pasangan Butuh Konseling Pranikah,

www.Lifestyle.Kompas.com, diakses pada tanggal 15 September 2017 pukul 01:58 WIB

32

f) Mengulas finansial dengan lebih terarah;

g) Mengasah kemampuan komunikasi, hal ini penting karena dengan

komunikasi yang baiklah suatu keluarga dapat menjadi nyaman dan

harmonis;

h) Mengurangi resiko perceraian;

i) Memiliki kemampuan menyelesaikan konflik.

Selain itu pada hakikatnya suatu pernikahan ada disebabkan karena

adanya keinginan seseorang untuk membentuk suatu keluarga. Keluarga

sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat merupakan lingkungan

budaya pertama dan utama dalam rangka menanamkan norma dan

mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting

bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.38

Oleh sebab itu dalam UU No.1 tahun 1974 pasal 30 s/d 34 telah

tertulis tentang hak dan kewajiban suami dan istri.39

Salah satu kewajiban

suami adalah mencari dan memberikan nafkah kepada istri dan anak-

anaknya, sedangkan istri memiliki kewajiban untuk menjalankan rumah

tangga dengan sebaik-baiknya. Wujud dari menjalankan rumah tangga

dengan baik adalah dengan cara mentaati suami serta mendidik anak-

anaknya dengan baik dan berakhlak mulia.

Akan tetapi, melihat realita dalam kehidupan masyarakat selama

ini, telah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan pada tatanan sosial.

38

Abd. Rahman Ghazali, 2003, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Media Group, Hal

73 dalam Skipsi Muhammad Iqbal , 2013, Metodologi Pendidikan Pra Nikah di Gampong Ulle

Jalan Kecamatan Peusangan Selatan, Aceh : IAIN Ar-Raniry, Bab II Hal 16 39

Komariah, Op.cit Hal 52

33

Hal tersebut bermuara dari peranan orang tua dalam membina keluarganya

dalam menuju kehidupan bermasyarakat. Dari fakta ini dapat disimpulkan

bahwa keluarga merupakan Pendidikan utama atau pendidik awal yang

sangat berpengaruh pada sifat anak.

Dalam buku The National Studi on Family Strength, Nick dan De

Frain mengemukakan beberapa hal tentang pegangan menuju hubungan

keluarga yang sehat dan bahagia, yaitu: 40

1. Terciptanya kehidupan beragama dalam keluarga

2. Tersedianya waktu untuk bersama keluarga.

3. Interaksi segitiga antara ayah, ibu dan anak

4. Saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak

5. Keluarga menjadi prioritas utama dalam setiap situasi dan kondisi.

Seiring kriteria keluarga yang diungkapkan diatas, sujana

memberikan beberapa fungsi pada pendidikan keluarga yang terdiri dari

fungsi biologis, edukatif, religius, protektif, sosialisasi dan ekonomis.

Dari beberapa fungsi tersebut, fungsi religius dianggap fungsi paling

penting karena sangat erat kaitannya dengan edukatif, sosialisasi dan

protektif. Jika fungsi keagamaan dapat dijalankan, maka keluarga tersebut

akan memiliki kedewasaan dengan pengakuan pada suatu system dan

40

Abd. Rahman Ghazali, 2003, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Media Group, Hal

73 dalam Skripsi Muhammad Iqbal , , 2013, Metodologi Pendidikan Pra Nikah di Gampong Ulle

Jalan Kecamatan Peusangan Selatan, Aceh : IAIN Ar-Raniry, Bab II Hal 17

34

ketentuan norma beragama yang direalisasikan di lingkungan dalam

kehidupan sehari-hari.41

Penanaman akidah sejak dini telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat

al-Baqarah ayat 132 yang berbunyi:

يم بنهيهه وي عقوب يا بنه ا إهب راهه وف إها ووصى به م انييف ى إه اهه اص

وأنتم مسههمو

Artinya: Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan kepada anak-anaknya,

demikian juga Ya’kub. Ibrahim berkata: hai anak-anakku, sesungguhnya

Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali

dalam keadaan Islam.

Secara garis besar pendidikan dalam keluarga dapat

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1) Pembinaan Akidah dan Akhlak

Mengingat keluarga dalam hal ini lebih dominan adalah seorang

anak dengan dasar-dasar keimanan, ke-Islaman, sejakmulai mengerti

dan dapat memahami sesuatu, maka al-Ghazali memberikan beberapa

metode dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan dengan cara

memberikan hafalan. Sebab kita tahu bahwa proses pemahaman

diawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi).

Ketika mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh

41

Achmad Kuzari, 1995, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : Raja Grafindo

Persada, hal 46 seperti yang dikutip dalam Muhammad Iqbal, 2013, Metodologi

Pendidikan Pra Nikah di Gampong Ulle Jalan Kecamatan Peusangan Selatan, Aceh :

IAIN Ar-Raniry, Bab II hal 16

35

dalam dirinya sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa

yang diayakini. Inilah proses yang dialami anak pada umumnya.

Bukankah mereka atau anak-anak kita adalah tanggungjawab kita

sebagaimana yang telah Allah peringatkan dalam al-Qur’an surah At-

Tahrim ayat 6 yang berbunyi:

ة ها م ئه م نارا وقودها اناس والهجارة عهي م وأهههي س يا أي ها اذهيف آمنوا قوا أن

عهو ما ي ؤمرو نياد ا ي عصو اهه ما أمرهم وي غه ظ شه

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia

dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak

mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada

mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Muhammad Nur Hafidz merumuskan empat pola dasar dalam

bukunya. Pertama, senantiasa membacakan kalimat Tauhid pada

anaknya. Kedua, menanam-kan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya.

Ketiga, mengajarkan al-Qur’an dan keempat menanamkan nilai-nilai

pengorbanan dan perjuangan.

Selain itu pembinaan akhlak merupakan implementasi dari iman

dalamsegala bentuk perilaku, pendidikan dan pembinaan akhlak anak.

Keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua.

Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antara

ibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock

36

menyatakan bahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang

dapat dijadikan teladan atau pun idola bagi mereka.

2) Pembinaan Intelektual

Pembinaan intelektual dalam keluarga memegang peranan

penting dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, baik intelektual,

spiritual maupun sosial. Karena manusia yang berkualitas akan

mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah sebagaimana firman-Nya

dalam surat al-Mujadalah ayat 11 yang berbunyi:

م سحه اهه سحوا ي سحوا فه امجاهسه ا م يا أي ها اذهيف آمنوا إهذا قهيل

م آمنوا اذهيف اهه ي رعه انشزوا انشزوا قهيل وإهذا ن وا واذهيف مه درجات اعههم أو

ا واهه بهي خ مهو ع به

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:

"Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya

Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:

"Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan

orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi

ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui

apa yang kamu kerjakan.

Nabi Muhammad juga mewajibkan kepada pengikutnya untuk

selalu mencari ilmu sampai kapan pun.

3) Pembinaan Kepribadian dan Sosial

Pembentukan kepribadian terjadi melalui proses yang panjang.

Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebih baik apabila

dilakukan mulai pembentukan produksi serta reproduksi nalar tabiat

37

jiwa dan pengaruh yang melatarbelakanginya. Mengingat hal ini

sangat berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat menjaga

emosional diri dan jiwa seseorang. Dalam hal yang baik ini adanya

Kewajiban orang tua untuk menanamkan pentingnya memberi support

kepribadian yang baik bagi anak didik yang relative masih muda dan

belum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocok

dilakukan pada anak sejak dini agar terbiasa berprilaku sopan santun

dalam bersosial dengan sesamanya. Untuk memulainya, orang tua bisa

dengan mengajarkan agar dapat berbakti kepada orang tua agar kelak

sianak dapat menghormati orang yang lebih tua darinya.

Bangunan rumah tangga bagaikan bagunan missi kenabian. Jika

bangunan runtuh, maka maka runtuhlah missi kemanusiaan. Karena

itu Rasulullah Saw bersabda: “Perbuatan halal yang paling Allah

murkai adalah perceraian.” Sebenarnya disini ada suatu yang sangat

rahasia. Tidak ada satu pun perbuatan halal yang Allah murkai kecuali

perceraian.42

C. Teori Efektivitas Hukum

1. Tinjauan Umum Tentang Efektivitas Hukum

Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan

atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu

tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable

terkait yaitu: karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang

42

Bulughul Maram, 2002, Hadist ke 929 Bab Thalaq No.2, Jakarta : Dar Al-

Kutub Al-Islamiyah Hal 245

38

dipergunakan.43

Efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas,

fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau

sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara

pelaksanaannya.44

Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto,

ditentukan oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum,termasuk para

penegak hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwa, ”taraf kepatuhan

yang tinggi adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dan

berfungsinya hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan

hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat

dalam pergaulan hidup.45

Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang

memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum,

yaitu suatu perbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum, secara

khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan (law in action)

dengan hukum dalam teori (law in theory) atau dengan kata lain kegiatan

ini akan memperlihatkan kaitannya antara law in the book dan law in

action.46

43

Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, ctk Ketiga,

Bandung : Citra Aditya, Hal 67. 44

Agung Kurniawan, 2005, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta: Pembaharuan..

Hal 109. 45

Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan

Disertasi, Edsis Pertama, ctk Kesatu, Jakarta : Rajawali Press, Hal.375 46

Soleman B Taneko, 1993, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta :

Rajawali Press, Hal 47-48.

39

Bustanul Arifin yang dikutip oleh Raida L Tobing dkk, mengatakan

bahwa dalam negara yang berdasarkan hukum, berlaku efektifnya sebuah

hukum apabila didukung oeh tiga pilar, yaitu47

:

a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dapat diandalkan

b. Peraturan hukum yang jelas sistematis.

c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi.

2. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Efektif atau Tidaknya Suatu

Hukum

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa

efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu48

:

1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).

Hukum mengandung unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Dalam praktik penerapannya tidak jarang terjadi pertentangan antara

kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret

berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika

seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-

undang saja, maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka,

ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya

keadilan menjadi prioritas utama.

Karena hukum tidak semata- mata dilihat dari sudut hukum

tertulis saja, melainkan juga ikut mempertimbangkan faktor- faktor lain

47

Raida L Tobing, dkk, (Hasil Penelitian), 2011, Efektivitas Undang-Undang

Monrey Loundering, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan HAM

RI, Jakarta, Hal 11. 48

Soerjono Soekanto, 2007, Pokok-pokok Sosiologi Hukum , Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada, hal. 110.

40

yang berkembang dalam masyarakat. Sementara dari sisi lain, keadilan

pun masih menjadi perdebatan disebabkan keadilan mengandung unsur

subyektif yang sangat tergantung pada nilai- nilai intrinsik subyektif

dari masing-masing orang.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

Faktor Penegak Hukum Penegakan hukum berkaitan dengan

pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum (law

enforcement). Bagian-bagian law enforcement itu adalah aparatur

penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan

kemanfaatan hukum secara proporsional.

Aparatur penegak hukum yaitu institusi penegak hukum dan

aparat penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti

sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum

dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur

diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing

yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi serta

upaya pembinaan kembali terpidana.

Ada tiga elemen penting yang memengaruhi mekanisme

bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum, antara lain: (a) institusi

penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana

pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (b) budaya kerja

41

yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan

aparatnya; dan (c) perangkat peraturan yang mendukung kinerja

kelembagaanya maupun materi hukum yang dijadikan standar kerja,

baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai

sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah

sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas

pendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,

organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup,

dan sebagainya. Selain ketersediaan fasilitas, pemeliharaan pun sangat

penting demi menjaga keberlangsungan.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan.

Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam

masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu

mengenai hukum. Artinya, efektivitas hukum juga bergantung pada

kemauan dan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran yang rendah

dari masyarakat akan mempersulit penegakan hukum, adapun langkah

yang bisa dilakukan adalah sosialisasi dengan melibatkan lapisan-

lapisan sosial, pemegang kekuasaan dan penegak hukum itu sendiri.

Perumusan hukum juga harus memerhatikan hubungan antara

42

perubahan-perubahan sosial dengan hukum yang pada akhirnya hukum

bisa efektif sebagai sarana pengatur perilaku masyarakat.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu dengan faktor

masyarakat sengaja dibedakan, karena faktor kebudayaan merupakan

suatu sistem dalam masyarakat yang mencakup, struktur, subtansi, dan

kebudayaan. Struktur mencangkup wadah atau bentuk dari sistem

tersebut, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum

formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan

kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya.

Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa faktor- faktor yang

menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap

mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat

hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering

diabaikan.49

Dalam bukunya achmad ali yang dikutip oleh Marcus Priyo Guntarto

yang mengemukakan tentang keberlakuan hukum dapat efektif apabila50

:

a. Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan orang yang menjadi target.

49

Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia &Penegakan Hukum,

Bandung : Mandar Maju, hal. 55 50

Marcus Priyo Gunarto, 2011, Kriminalisasi dan Penalisasi Dalam Rangka

Fungsionalisasi Perdadan Retribusi, Semarang : Program Doktor Ilmu Hukum Universitas

Diponegoro,Hal 71-71.

43

b. Kejelasan dari rumusan subtansi aturan hukum, sehingga mudah

dipahami oleh orang yang menjadi target hukum.

c. Sosialisasi yang optimal kepada semua orang yang menjadi target

hukum.

d. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat

mengharuskan. Pada umumnya hukum prohibitur lebih mudah

dilaksanakan daripada hukum mangatur.

Sanksi yang akan diancam dalam undang-undang harus dipadankan

dengan sifat undang-undang yang dilanggar, suatu sanksi yang tepat untuk

tujuan tertentu, mungkin saja tidak tepat untuk tujuan lain. Berat sanksi

yang diancam harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.

44