21
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan Pengadilan A. 1 Putusan Hakim Menurut Lilik Mulyadi., Putusan Hakim adalah putusan yang diucapkan oleh hakim dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara. 1 Putusan Hakim sebagaimana tindakan akhir dari Hakim di dalam persidangan. menentukan pelaku di hukum atau tidak, sehingga putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan: “Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar 1 Lilik Mulyadi, 2007, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis Dan Prakter Pradilan, Mandar Maju, Bandung, hal. 127.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Putusan Pengadilan

A. 1 Putusan Hakim

Menurut Lilik Mulyadi., Putusan Hakim adalah putusan yang

diucapkan oleh hakim dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk

umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada

umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala

tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan

perkara.1

Putusan Hakim sebagaimana tindakan akhir dari Hakim di dalam

persidangan. menentukan pelaku di hukum atau tidak, sehingga putusan

Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan

suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde). Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik

peradilan maka putusan Hakim itu merupakan:

“Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam

persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui

proses dan prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar

1 Lilik Mulyadi, 2007, “Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis Dan

Prakter Pradilan”, Mandar Maju, Bandung, hal. 127.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

17

pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat

dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.2

Hakim dalam membuat Putusan pengadilan, harus memperhatikan apa

yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan berbagai hal yang harus

dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai hal yang harus

dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana disebutkan

dalam pasal 197 KUHAP: Sistematikan putusan hakim adalah sebagai berikut:

Nomor Putusan; Kepala Putusan/Irah-irah (Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa); Identitas Tergugat; Tahapan penahanan (kalau

ditahan); Surat Dakwaan; Tuntutan Pidana; Pledoi; Fakta Hukum;

Pertimbangan Hukum; Peraturan perundangan yang menjadi dasar

pertimbangan; Terpenuhinya Unsur-unsur tindak pidana; Pernyataan

kesalahan Tergugat; Alasan yang memberatkan atau meringankan hukuman;

Kualifikasi dan pemidanaan; Penentuan status barang bukti; Biaya perkara;

Hari dan tanggal musyawarah serta putusan; Nama Hakim, Penuntut Umum,

Panitera Pengganti, Tergugat dan Penasehat Hukumnya.

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana terhadap terdakwa

tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 13 KUHAP

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan

sekuran-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

2 Ibid. hal 127

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

18

melakukannya”.3 sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah dalam hukum acara

pidana adalah: keterangan saksi; keterangan ahli; Surat; Petunjuk; dan

keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga

tidak perlu dibuktikan (Pasal 184).4

Pengetahuan hakim disini tentunya tidak hanya menyangkut teknis

hukum semata, namun lebih dari itu. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menyatakan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan

hakim yang bersifat rahasia. Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa “dalam

sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan

atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedangdiperiksa dan menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”.

Menurut Lilik Mulyadi, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan

sempurnahendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria

dasar pertanyaan (the 4 way test), yakni: 5

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan?

3 Eddy O.S. Hiariej, 2012, “Teori & Hukum Pembuktian”, Penerbit Airlangga,

Jakarta, hal. 17.

4 Satjipto Rahardjo, 1998, “Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan

Pidana”, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, hal. 1

5 Lilik Mulyadi, 2007, “Kekuasaan Kehakiman”, Bina Ilmu, Surabaya, hal.119.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

19

3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?

4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Meskipun Praktiknya bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim

yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat pertanyaan

di atas, maka hakim juga seorang manusia biasa yang tidak luput dari

kesalahan, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurang

hati-hatian, dan kesalahan. Sehingga praktik peradilan, ada saja aspek-aspek

tertentu yang kelepasan dan kerap tidak ditinjau hakim dalam membuat

keputusan. Putusan hakim adalah puncak dari suatu perkara, sehingga hakim

harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis,

sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis,

filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-

pertimbangan hakim diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan

hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void)

karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan

hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:6

1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

6 Ahmad Rifai, 2010, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum

Progresif”, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 103

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

20

3. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan

tugas dan fungsi yudisialnya.

A. 2 Teori-teori Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1

angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).

Dalam mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan

kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian

proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan

demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai

berikut: 7

1. Teori Koherensi atau Konsistensi

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara

bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan

saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Atau, saling

berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain (alat-

alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP). Dalam hal seperti

ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang bersifat rasional a priori.

7 Lilik Mulyadi, Op Cit, hal. 47

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

21

2. Teori Utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang

bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat

dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory

result), Teori ini memandan pemidanaan bukan sebagai pembalasan

atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan

bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan.

Dalam teori ini tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan yaitu

pencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat. Hukumnya

yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari

hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai

akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus di pandang secara ideal

selain dari itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi)

kejahatan.8

Secara teoritis, dikenal empat macam sistem pembuktian dalam

perkara pidana, yaitu:

1) Pembuktian berdasarkan conviction in time yang berarti keyakinan

semata. Artinya, dalam menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya

semata-mata diserahkan kepaada keyakinan hakim. Dia tidak terikat

kepada alat bukti, namun atas dasar keyakinan yang timbul dari hati

8 Leden Marpaung, 2009, “Asas Teori Praktek Hukum Pidana” Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 106

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

22

nuraini dan sifat bijaksana seorang hakim, ia dapat menjatuhkan

putusan.9

2) Pembuktian berdasarkan conviction raisonee. Artinya, dasar

pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas

alasan yang logis. Di dengan alasan yang logis. Dalam konteks hukum

acara pidana di Indonesia, conviction raisonee digunakan dalam

persidangan tindak pidana ringan, termasuk perkara lalu lintas dan

persidangan perkara pidana dalam acara cepat yang tidak

membutuhkan jaksa penuntut umum untuk mengjadirkan terdakwa,

tetapi polisi yang mendapatkan kuasa dari jaksa penuntut umum dapat

menghadirkan terdakwa dala sidang pengadilan.10

3) Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem

pembuktian posiitf, adalah Menurut Simons, bahwa sistem atau

teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positif

wettelijke bewijs theorie). “untuk menyingkirkan semua

pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat

menurut peraturan pembuktian yang keras”.11.

4) Pembuktian berdasarkan Undang-undang negative (Negatief wetelijk

stelse)l adalah Merupakan suatu percampuran antara pembuktian

conviction raisonnee dengan system pembuktian menurut undang-

udanng secara psoitif. Rumusan Negatief wetelijk salah atau tidaknya

seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.12

9 Op.Cit., Eddy O.S. Hiariej, hal 16..

10 Ibid, hal 17.

11Andi Sofyan, 2013, “Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar”, Rangkang

Education, Yogyakarta, hal. 245

12Tolib Effendi, Op.cit, hal 171.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

23

Lebih lanjut, Asas materiil yang menyangkut aturan-aturan tidak

tertulis yang mengacu atau merunjuk pada suatu nilai sosial etis penting, suatu

cita-cita atau ideal hukum tertentu. Asas ini mengandung makna bahwa pada

saat melakukan interpretasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan,

hakim harus memperhatikan asas tersebut selama asas itu memang diakui

dalam dunia hukum sebagai dibuktikan dalam dokrin atau yurisprudensi.13

Asas materiil ini sangat erat kaitannya dengan sifat melawan hukum materiil

dilihat dari sudut pandang sumber hukumnya secara garis besar dibagi

menjadi dua, yakni sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang

negatif dan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif.

Sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat

dipidannya suatu perbuatan. Sifat melawan hukum formal menandung arti

semua bagian (unsur-unsur) dari rumusan delik telah dipenuhi. Sedangkan

sifat melawan hukum formal menandung arti semua materiil memuat dua

pandangan. Pertama, sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut

kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuatnya. Hal ini

mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan

hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan

delik tertentu. Kedua, sifat melawan hukum materiil dilihat dari sumber

hukumnya. Hal ini mengandung makna bertentangan dengan hukum tidak

13 Remmelink Jan, 2003, “Hukum Pidana: komentar atas Pasal-Pasal Terpenting

dalam Kitab Undang-Undang Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 49

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

24

tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau

nilai-nilai keadilan dan kehidupan dalam masyarakat.14

Berdasarkan penjelasan diatas sifat melawan hukum materiil dalam

fungsinya yang negatif merupakan alasan pemaaf dan telah dianut dalam

praktek pengadilan, sementara sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya

yang positif pada dasarnya bertentangan dengan asas legalitas.

B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Narkotika

B.1 Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh

sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari

dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-

larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap

warga Negara wajib dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-

peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.15

14 Eddy O.ScHiariej, 2006, “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan

Dampaknya Terhadap Pemberantasan Korupsi”, Mimbar Hukum, Fakultas Hukum UGM

Volume 1, Nomor 3, Oktober 2006.

15P.A.F. Lamintang, 1996, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, PT. Citra

Adityta Bakti, Bandung, hal. 7

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

25

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan

sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah

demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.16

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai

berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan

antara kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang

dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi

“kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan merupakan dasar bagi

pembagian KUHP menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan

juga sebagaimana dasar seluruh sistem hukum pidana di dalam

perundang-undangan secara keseluruhan. Sebagaimana UUD 1945

Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara

hukum prismatik. Artinya menggabungkan segi-segi positif antara

rechtsstaat dan the rule of law.17

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana

formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil

Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang

dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah

melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu

16 Ibid, hal. 16

17 Op.Cit, Eddy O.S. Hiariej, hal 39.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

26

tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah

pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang

menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung

jawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak

pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja

(culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang

diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP

(pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya

nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai

orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana

jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan

matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal

188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif),

perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan

untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh

orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan

Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan

menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana

murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau

tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa

perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

27

KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada

dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara

tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang

tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal

338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut

meninggal.18

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa macam-

macam tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana

pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana

sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:19

a) Kelakuan dan akibat dalam hal ini perbuatan lahiriah (Actus Reus)

b) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan (mens rea)

c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

d) Unsur melawan hukum yang objektif

e) Unsur melawan hukum yang subyektif.

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau

pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi

mempunyatujuan-tujuantertentu yang bermafaat. Oleh karena itu teori ini pun

sering disebut juga teori tujuan (Utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran

adanya tindak pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana

18 Andi Hamzah, 2001, “Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana”, Ghalia

Indonesian, Jakarta, hal. 25-27

19 Ibid. hal. 27

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

28

dijatuhkan bukan ”quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan).

Inilah makna ucapan yang dikenal dari SENECA sebagai seorang filosof

Romawi: “Nemo prudens puin quia peccatum est, sed ne peccetur” yang

artinya tidak seorang normal pun dipidana karena suatu perbuatan jahat, tetapi

ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat.20

B.2 Tindak Pidana Narkotika

Masyarakat luas mengenal istilah Narkotika yang kini telah menjadi

simbol berbahaya yang populer di tengah masyarakat kita. Ada pula istilah

lain yang kadang digunakan adalah Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan

berbahaya). Selain itu ada pula istilah yang digunakan oleh Departemen

Kesehatan (DepKes RI) yaitu NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika,

Pasikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah tersebut mengacu pada

sekelompok zat yang mempunyai resiko kecanduan atau adiksi. Narkotika dan

Psikotropika itulah yang secara umum biasa di kenal dengan Narkoba atau

NAPZA. Namun karena hadirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur ke

dalam perundang-undangan yang baru.

20 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.

Alumni, Bandung, hal. 31.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

29

C. Tinjauan tentang Narkotika

C.1 Definisi Narkotika

Secara Etimologi narkotika berasal dari kata “Narkoties” yang sama

artinya dengan kata “Narcosis” yang berarti membius.21 UU No 35 tahun 2009

tentang narkotika pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa narkotika adalah zat atau

obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi

sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilngnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat

menimbulkan ketergantungan yang dibedakan dalam golongan-golongan.22

Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah suatu kelompok

zat yang bila dimasukkan dalam tubuh maka akan membawa pengaruh

terhadap tubuh pemakai yang bersifat:

a) Menenangkan

b) Merangsang

c) Menimbulkan khayalan

C.2 Jenis-Jenis Narkotika

Penggolongan Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika terbagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:23

a) Narkotika Golongan I: Jenis narkotika dilarang digunakan

kepentingan masyarakat dan hanya dapat digunakan untuk tujuan

21 Muhammad Taufik Makarao, 2003, “Tindak Pidana Narkotika”, Ghalia Indonesia.

Jakarta, hal. 21

22 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.

23 Ibid.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

30

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan. Contoh: opium, tanaman koka, kokain, tanaman

ganja, heroin, dan lai-lain.

b) Narkotika Golongan II: Yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai tujuan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi

atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, Narkotika golongan

II mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh : metadona, morfin, petidina, fentanyl, dan lain-lain.

c) Narkotika Golongan III: Yaitu narkotika yang berkhasiat

pengobatan dan biasa digunakan dalam terapi, dan atau untuk

pengembangan ilmu pengetahuan. Narkotika Golongan

IImempunyai potensi ringan menyebabkan ketergantungan. Contoh:

etilmorfina, kodeina, propiram, buprenorfina dan lain-lain.

C.3 Penyalahguna Narkotika

Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika tidak memberikan penjelasan yang jelas mengenai

istilah penyalahgunaan tersebut. Hanya istilah penyalahguna yaitu

orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua

macam yaitu narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk

dalam kategori narkotika alam adalah berbagai jenis candu, morphine,

heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine. Narkotika ala mini

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

31

termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit sedangkan

narkotika sitetis adalah pengertian narkotika secara luas dan termasuk

didalamnya adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.24

Penyalahgunaan Narkoba dapat menyebabkan dampak yang

merugikan dan tentu saja berbahaya bagi penggunanya, Adapun

Bahaya dari Narkoba adalah sebagai berikut25:

a) Halusinogen, efek dari narkoba ini bisa mengakibatkan bila

dikonsumsi dalam sekian dosis tertentu dapat mengakibatkan

seseorang menjadi ber-halusinasi dengan melihat suatu hal/benda

yang sebenarnya tidak ada / tidak nyata contohnya kokain & LSD.

b) Stimulan, efek dari narkoba ini bisa mengakibatkan kerja organ

tubuh seperti jantung dan otak bekerja lebih cepat dari kerja

biasanya sehingga mengakibatkan seseorang lebih bertenaga untuk

sementara waktu , dan cenderung membuat seorang pengguna lebih

senang dan gembira untuk sementara waktu.

c) Depresan, efek dari narkoba ini bisa menekan sistem syaraf pusat

dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai

merasa tenang bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tidak

sadarkan diri. Contohnya putaw.

24 Hari Sasangka, 2003, “Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana”,

Mandar Maju, Bandung, Hal. 34.

25Dedi, “Efek dan Bahaya Narkoba”, https://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel,

Diakses pada 10 Januari 2020.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

32

d) Adiktif, Seseorang yang sudah mengkonsumsi narkoba biasanya

akan ingin dan ingin lagi karena zat tertentu dalam narkoba

mengakibatkan seseorang cenderung bersifat pasif, karena secara

tidak langsung narkoba memutuskan syaraf-syaraf dalam otak

,contohnya ganja, heroin, putaw. Masalah yang diakibatkan

mengkonsumsi narkoba bukan hanya individu penggunanya, tapi

juga terkait dengan masalah keluarga, masalah generasi,masalah

sosial, masalah ekonomi, masalah keamanan, masalah ketahanan,

dan sebagainya, bahkan pada akhirnya menjadi masalah bangsa.26

Penyalahgunaan narkotika dan penyalahgunaan obat (drug abuse)

dapat pula artikan mempergunakan obat atau narkotika bukan untuk tujuan

pengobatan, padahal fungsi obat narkotika adalah untuk membantu

penyembuhan dan sebagai obat terapi. Apabila orang yang tidak sakit

mempergunakan narkotika, maka ia akan merasakan segala hal yang berbau

abnormal. 27

D. Tinjauan Tentang Tujuan Hukum

Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan kosep ide

unsur dasar hukum yang oleh sebagian pakar sebagai tiga tujuan hukum.

26 Mukhtar Samad., 2016, “Penggunaan Narkoba: Solusi Masalah Narkoba dar

Perspektif Islam”, SunriseArt, Yogjakarta, hal. 4

27 Ibid.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

33

Dengan perkataan lain, Tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum.28

D.1. Teori Keadilan

Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan

dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik

dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan

bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti

dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya

bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.29

Teori keadilan menurut aristoteles diantaranya adalah :

a) Keadilan Komutatif, yaitu keadilan dengan mempersamakan antara

prestasi dan kontraprestasi.30

b) Keadilan Distributif, yaitu keadilan yang secara proporsional

ditetapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Sebagai

contoh, negara hanya akan mengangkat seorang menjadi hakim

apabila orang itu memiliki kecakapan untuk menjadi hakim.31

28 Ahmad Ali, 2015, “Menguak Takbir Hukum”, Kencana, Yogyakarta, hal 98-99

29 L. J. Van Apeldoorn, 1996, “Pengantar Ilmu Hukum”, Pradnya Paramita, Jakarta,

hal. 11-12

30 Darji Darmnodiharjo dan Shidarta, 2006, “Pokok-pokok Filsafat Hukum”,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.156-157.

31 Ibid.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

34

c) Keadilan Legal, yaitu keadilan berdasarkan undang-undang. Yang

menjadi objek dari keadilan legal adalah tata masyarakat. Tata

masyarakat itu dilindungi oleh undang-undang.

d) Keadilan Vindikatif, yaitu keadilan dalam hal menjatuhkan

hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang

dianggap adil apabila ia dipidana badan sesuai dengan besarnya

hukuman yang telah ditentukan atas tindakan pidana yang

dilakukannya.32

D.2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti

sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu

harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena

bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan

fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah sekedar

tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu

hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang

buruk, melainkan bukan hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk

paham hukum itu sendiri (den begriff des Rechts).33

Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan

dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

32 Ibid.

33 Shidarta, 2006, “Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir”, PT

Revika Aditama, Bandung, hal.79-80.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

35

kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan

pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum

(di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).34

D.3. Teori Kemanfaatan Hukum

Jermmy Bentham mengemukakan bahwa selain pembalasan,

sifat-sifat penting selain pemidaan ialah harus bermanfaat. Ada tiga

kemanfaatan dari pidana. Pertama, pemidanaan akan bermanfaat jika

hal itu dapat meningkatkan perbaikan diri pada si pelaku kejahatan.

Kedua, pemidaan harus menghilangkan kemampuan si pelaku

kejahatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus

memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.35

Menurut Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh Mohamad

Aunurrohim mengatakan, “hukum barulah dapat diakui sebagai

hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya

terhadap sebanyak-banyaknya orang”. 36

Konsep aliran utilitis menganggap bahwa tujuan hukum

semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagian sebesar-

besarnya bagi banyak warga masyarakat. Prinsip utilitarianisme

34 Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim, 2010, “Perkembangan Teori Dalam Ilmu

Hukum”, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 82

35 Eddy O.S. Hiariej, 2009, “Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum

Pidana”, Erlangga, Jakarta, hal 11.

36 Jeremy Bentham, 2006, “Teori Perundang-undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi,

Hukum Perdata dan Hukum Pidana”, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hal. 34.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Putusan

36

dikemukan oleh Jeremy Bentham, menurutnya suatu perbuatan adalah

baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan

saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.

Konsep utilitarianisme adalah kriteria untuk menentukan baik

buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the

greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang

terbesar. Prinsip kegunaan ini menjadi tujuan peraturan perundang-

undangan dalam pembentukannya yaitu; to provide subsistence (untuk

memberi nafkah hidup), to provide abundance (untuk memberikan

makanan yang berlimpah), to provide security (untuk memberikan

perlindungan) dan to attain equility (untuk mencapai persamaan).37

37 Ahmad Ali, 2011, “Menguak Tabir Hukum”, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 204-

205.