66
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep Administrasi dan Administrasi Publik Dalam kajian ilmu administrasi terdapat beberapa pengertian yang diajukan oleh para ahli ilmu administrasi, di antaranya Leonard D. White (Handayaningrat, 1990:2) yang menyebutkan : “Administration is a process common to all groups efforts, public, or private, civil or military”. Hal ini berarti administrasi adalah suatu proses yang umum ada pada setiap usaha kelompok-kelompok, baik pemerintah maupun swasta, baik sipil maupun militer Sesuai dengan pendapat di atas, Siagian (1990:3) mengatakan bahwa : “Administrasi sebagai keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas normalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.” Selanjutnya menurut Gie (1980:9) administrasi adalah “rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu”. Sedangkan menurut Waldo (1991:35) administrasi adalah “merupakan rangkaian kerjasama manusia yang mempunyai derajat rasionalitas yang tinggi”. Definisi-definisi di atas mengandung makna usaha kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu, yang dalam penelitian ini terutama dalam bidang administrasi negara dan pemerintahan khususnya administrasi perpajakan daerah. 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Konsep Administrasi dan Administrasi Publik

Dalam kajian ilmu administrasi terdapat beberapa pengertian yang diajukan

oleh para ahli ilmu administrasi, di antaranya Leonard D. White (Handayaningrat,

1990:2) yang menyebutkan : “Administration is a process common to all groups

efforts, public, or private, civil or military”. Hal ini berarti administrasi adalah suatu

proses yang umum ada pada setiap usaha kelompok-kelompok, baik pemerintah

maupun swasta, baik sipil maupun militer

Sesuai dengan pendapat di atas, Siagian (1990:3) mengatakan bahwa : “Administrasi sebagai keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas normalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.” Selanjutnya menurut Gie (1980:9) administrasi adalah “rangkaian kegiatan

yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kerjasama untuk mencapai

tujuan tertentu”. Sedangkan menurut Waldo (1991:35) administrasi adalah

“merupakan rangkaian kerjasama manusia yang mempunyai derajat rasionalitas yang

tinggi”.

Definisi-definisi di atas mengandung makna usaha kerjasama untuk mencapai

tujuan tertentu, yang dalam penelitian ini terutama dalam bidang administrasi negara

dan pemerintahan khususnya administrasi perpajakan daerah.

15

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

16

Seperti definisi administrasi sebagaimana disebutkan di atas yang banyak

diungkap oleh para ahli, maka administrasi publik (negara) banyak juga dikemukakan

para ahli, di antaranya Waldo (1991:26) yang mengemukakan bahwa Administrasi

Publik adalah manajemen dan organisasi daripada manusia-manusia dan peralatannya

guna mencapai tujuan pemerintahan. Sedangkan White (1958:8) menyatakan

pendapatnya bahwa :

“Public Administration consist of all those operations having for their purpose the fulfilment and enforcement of public policy” (Administrasi negara terdiri atas semua kegiatan negara dengan maksud untuk menunaikan kegiatan negara).

Selanjutnya Surie (1987:5) mengungkapkan bahwa :

“Administrasi negara menunjukan sejumlah ciri yang sekurang-kurangnya secara gradual membedakannya dari administrasi niaga atau administrasi perusahaan, yaitu tiada rangsangan mencari untung, orientasi apa yang disebut “kepentingan umum”, keterlibatannya yang erat dengan “politik, monopoli, kekuasaan hukum, kepastian sosial, kekuasaan integral dan sebagainya.”

Dari beberapa pengertian di atas, dapat difahami bahwa dalam pengertian

administrasi negara terdapat pengertian yang luas dan sempit. Hal ini sesuai dengan

apa yang diungkapkan oleh Dimock dan Dimock (1982:7) bahwa administrasi negara

mempunyai pengertian luas dan sempit. Secara luas, administrasi negara diartikan

sebagai kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan politiknya, sedangkan dalam

pengertian sempit administrasi negara didefinisikan sebagai sesuatu kegiatan badan

eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan.

2. Konsep Desentralisasi dan Desentralisasi Fiskal

Koswara (2001:48) mengutip Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memberikan

batasan mengenai desentralisasi yaitu :

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

17

”the transfer of authority away from the national capital whether by deconsentration (i.e delegation) to field office or by devolution to local authorities or local bodies.” Sedangkan menurut Riggs seperti dikutip oleh Sarundajang (1999:47)

desentralisasi mempunyai dua makna yaitu sebagai pelimpahan wewenang

(delegation) dan pengalihan kekuasaan (devolution). Delegation mencakup

penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan

berdasarkan kasus-kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap berada di tangan

pusat (kadang-kadang disebut dekonsentrasi). Sedangkan devolution mempunyai

makna yang berbeda, di mana seluruh tanggung jawab kegiatan untuk melakukan

kegiatan tertentu diserahkan kepada penerima wewenang.

Mawhood, seperti dikutip oleh Hidayat (2002:8) secara tegas mendefinisikan

desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah, the devolution of power from central to local government. Oleh karenanya

dapat dimengerti, bila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari

kebijaksanaan desentralisasi sebagai upaya untuk mewujudkan political equality,

local accountability, dan local responsiveness. Di antara prasyarat yang harus

dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki

territorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan

daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative

body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya kepada daerah sendiri

yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu.

Cheema dan Rondinelli (1983:18) merumuskan definisi desentralisasi dalam

persepektif administratif, yaitu :

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

18

“desentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations .”

Desentralisasi menurut pengertian di atas berarti penyerahan wewenang

perencanaan, pengambilan keputusan dan administrasi dari pemerintah pusat kepada

unit organisasi lapangan, unit administratif local, organisasi semi otonom, baik

pemerintahan daerah maupun organisasi non pemerintahan.

Sedangkan Hoessein (1993:12) memberikan operasionalisasi dari

desentralisasi yang salah satunya adalah sebagai berikut :

“.....Keenam, daerah otonom dalam rangka desentralisasi memiliki ciri J.H.A. Logemena menyebut daerah otonom sebagai “Zelfstanding Staasrechtelijke organisatiee”, kemandiriannya tercermin pada keuangan, pembiayaan daerah dan dinas daerah yang dimiliki oleh daerah otonom......”.

Salah satu komponen penting dalam operasionalisasi pengertian otonomi

adalah komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai

komponen yang mengacu kepada konsep pemerintah. Hossein (1993:19) memberikan

ciri-ciri hal tersebut di atas. Salah satu ciri tersebut adalah tersedianya sumber

keuangan yang diperlukan bagi kebijakan dan pelaksanaannya, baik dalam rangka

tugas rutin maupun tugas pembangunan.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi di negara-negara Afrika Utara dan

Asia, Nellis dan Mathur sebagaimana yang dikutip Lutfi (2004:18) menyatakan

bahwa pada pelaksanaan kewenangan/kekuasaan yang telah didesentralisasikan yang

penting diperhatikan agar desentralisasi dapat berjalan dengan baik adalah the

importance of financial resources, administrative capacity, and technical support to

succesful development planning and management at the regional and local level.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

19

Dengan demikian, desentralisasi menurut uraian di atas secara umum adalah

penyerahan sejumlah kewenangan/kekuasaan dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah yang selanjutnya dijalankan oleh pemerintah daerah secara

otonom melalui kelembagaan yang dimilikinya menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Selanjutnya, untuk menjalankan kewenangan/kekuasaan

yang dimiliki, pemerintah daerah harus memiliki sumber-sumber daya yang cukup

antara lain sumber daya keuangan yang memadai.

Sejalan dengan ungkapan di atas, Simanjuntak (1999:6) menyatakan paling

tidak ada empat hal yang harus diperhatikan dalam hal pemberian otonomi pada

daerah:

“Pertama, adanya lembaga perwakilan rakyat daerah yang dipilih oleh masyarakat daerah yang bersangkutan. Lembaga ini menentukan pelayanan jasa apa saja yang mesti disediakan pemerintah daerah, pengeluaran-pengeluaran dana untuk itu. Kedua, adanya kebebasan/keleluasaan dalam menentukan pelayanan jasa masyarakat beserta biaya pengeluarannya. Sebagaimana disebutkan di atas, ini tidak bersifat mutlak. Namun apabila segala sesuatu dalam pelayanan jasa sudah rinci ditentukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah di atasnya, jelas sekali bahwa pemerintahan daerah yang sedemikian bukan daerah otonom. Ketiga, adanya kewenangan untuk merekrut pegawai sendiri. Otonomi lokal/daerah juga berimplikasi adanya kewenangan bagi pemerintahan daerah untuk menunjuk, mengangkat, mengeluarkan dan membuat persyaratan-persyaratan bagi pegawainya. Keempat, adanya sumber-sumber pendapatan yang dikuasai daerah. Otonomi daerah juga mengandung arti bahwa daerah memiliki sumber-sumber pendapatan sendiri. Namun bukan berarti dengan adanya otonomi, daerah tidak perlu mendapat bantuan dari pusat. Isu disini adalah ada dan berlakunya “keleluasaan tertentu” (discretion at the margin). Artinya daerah mempunyai kewenangan untuk ikut menentukan ataupun memilih (sampai tahap tertentu) beberapa aspek pelayanan masyarakat di wilayahnya, walaupun daerah hanya membiayai (misalnya) 20% dari anggaran aktivitas itu.”

Kepemilikan sumber-sumber pendapatan sendiri, seperti yang dinyatakan di

atas, merupakan masalah yang penting bagi daerah dalam melaksanakan otonominya

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

20

karena hal ini menyangkut kemampuan daerah dalam pembiayaan kegiatan rutin dan

pembangunan. Bahkan, Kaho (1997:123) menyatakan bahwa kemampuan

pembiayaan merupakan salah satu segi atau kriteria penting untuk menilai secara

nyata kemampuan daerah dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai implementasi kebijakan

desentralisasi, terdapat keterkaitan antara pelaksanaan pemerintahan dengan

keuangan publik yaitu pada masalah biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini

dinyatakan oleh Smith (1985:99) :

“It is obvious that the exercise of governmental power at the subnational level entails expenditure by subnational governments. Those governments have to secure revenue to finance that expenditure.” Desentralisasi fiskal merupakan salah satu tipe dari pelaksanaan

desentralisasi. Desentralisasi fiskal dimaknai sebagai penyerahan tanggung jawab

fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan pemerintah di bawahnya, sub national

levels of government, seperti negara bagian, daerah, propinsi, distrik dan kota.

Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di negara-negara berkembang

menurut Lutfi (2004:24) dilatarbelakangi oleh : pertama, desentralisasi fiskal

diharapkan mampu mengatasi ketidakefektifan dan ketidakefisienan pemerintahan.

Masalah ini muncul akibat ketidakmampuan pemerintah pusat dalam menyerap

seluruh kebutuhan dan keinginan masyarakat yang berkembang di tataran lokal yang

seharusnya terakomodasi dengan baik dalam rencana dan anggaran pemerintah.

Kebijakan desentralisasi fiskal memberikan kesempatan bagi pemerintah pusat untuk

lebih mengefisienkan dan mengefektifkan dirinya dengan mengalihkan tanggung

jawab keuangan kepada level pemerintahan yang lebih rendah. Kedua, desentralisasi

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

21

fiskal diharapkan mampu mencegah ketidakstabilan makro ekonomi. Ketidakstabilan

makro ekonomi biasanya bersumber dari pola penerimaan dan pengeluaran yang

tercermin dalam anggaran pemerintah. Agar tercipta kestabilan makro ekonomi,

pemerintah pusat dapat mengalihkan tanggung jawab fiskal kepada tingkat

pemerintahan yang tepat agar seluruh tingkatan pemerintah yang ada mampu

menjalankan kewenangannya dengan baik sesuai dengan ketersediaan dana yang ada

tanpa menimbulkan guncangan-guncangan ekonomi. Ketiga, penerapan kebijakan

desentralisasi fiskal oleh suatu negara diharapkan mampu mendorong pertumbuhan

ekonomi. Dalam desentralisasi fiskal terjadi pengalokasian sumber-sumber keuangan

secara efektif dan efisien diharapkan mampu mendorong para pelaku ekonomi untuk

menjalankan fungsinya dengan baik yang pada akhirnya akan mendorong

pertumbuhan ekonomi. Keempat, dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan

akuntabilitas publik dapat lebih meningkat. Pengelolaan keuangan yang

terdesentralisasi mendorong munculnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi

penggunaan alokasi sumber daya yang terbatas. Kelima, desentralisasi dapat

meningkatkan mobilisasi dana masyarakat. Keleluasaan pemerintah daerah dalam

mengelola keuangannya secara lebih mandiri akan memberi peluang untuk menggali

dana yang lebih besar dari masyarakat.

Bird dan Vaillancourt (2002) mengkategorikan tiga jenis desentralisasi fiskal

dalam penerapannya. Pertama, desentralisasi (administrative decentralization,

dekonsentrasi), dalam hal ini tanggung jawab yang dimiliki pemerintah pusat kepada

instansi vertikal dan pemerintah daerah. Kedua, pendelegasian (delegation) yang

dikaitkan dengan situasi yang ada. Daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

22

pusat untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga,

devolusi (devolution, political decentralization, desentralisasi). Dalam hal ini terjadi

pelimpahan kewenangan, tidak hanyaimplentasi, tetapi juga dihubungkan dengan

situasi yang terjadi di daerah.

Sumber pendapatan daerah yang seringkali menjadi ukuran utama untuk

menentukan derajat otonomi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah adalah

pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah itu sendiri. Cochrane (1983)

berpendapat bahwa batas 20% perolehan Pendapatan Asli Daerah merupakan batas

minimum untuk menjalankan otonomi daerah. Jika PAD yang diraih Pemerintah

Daerah kurang dari 20% maka akan kehilangan kredibilitas sebagai daerah yang

mandiri

3. Peran Pemerintah dan Pembiayaan Pembangunan Daerah

Peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi adalah sangat penting.

Negara-negara yang ekonominya maju menunjukkan bahwa semakin berkembang

suatu perekonomian semakin besar dan penting peran pemerintah didalamnya.

Pentingnya peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi dikemukakan dalam

laporannya PBB (1971:40) berikut :

Governments are thus force of considerable importance in production, not only in terms of the productive capabilities in the public sector, but also in their impact through regulatory and other activities on national consumption and on production in the private sector.

Masalahnya kemudian adalah bagaimana menempatkan peran pemerintah

tersebut secara tepat sehingga dapat mendukung proses pembangunan ekonomi, dan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

23

bukan justru menimbulkan piuh (distorsi). Untuk memahami hal tersebut peran

pemerintah dalam ekonomi perlu dihubungkan dengan peran pasar.

Dalam kenyataannya pasar tidak selalu dapat menyediakan barang-barang

yang dibutuhkan. Barang-barang yang dapat disediakan oleh pasar semata-mata

didasari oleh biaya produksi dan keuntungan. Tanpa adanya keuntungan yang

setidaknya dapat menutup biaya produksi, suatu barang tidak akan dihasilkan oleh

pasar. Karena itu barang-barang publik (baik yang bersifat tangible maupun

intangible) seperti jalan raya, jembatan, saluran irigasi, jasa keamanan, dan banyak

yang lain tidak akan dihasilkan pasar tanpa adanya insentif ekonomi yang dianggap

layak (feasible).

Selain itu, tanpa adanya pengaturan atas mekanisme yang bekerja di

dalamnya, pasar cenderung untuk memenangkan pelaku ekonomi kuat (yang

didukung oleh akses finansial yang besar) dan mematikan pelaku yang lemah (yang

tidak didukung oleh finansial yang kuat). Akibatnya adalah terjadinya konsentrasi

atas pemilikan dan pengelolaan berbagai sumber daya ekonomi. Dampak berantai

dari gejala itu adalah monopoli, oligopoli atau trust yang cenderung untuk lebih

merugikan daripada menguntungkan. Kerugian yang ditimbulkan antara lain rigiditas

harga yang menyebabkan high cost economy, lemahnya usaha kecil dan menengah,

serta terjadinya social welfare loss serta kerugian non-ekonomi lainnya.

Ketidakmampuan dalam menyediakan barang publik yang dibutuhkan

masyarakat, terjadinya monopoli dan inefisiensi merupakan bentuk-bentuk kegagalan

pasar (market failure). Dengan demikian maka, peran pemerintah dalam

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

24

pembangunan ekonomi utamanya diarahkan untuk mengatasi berbagai kegagalan

pasar tersebut.

Menurut Musgrave dan Musgrave (1993:6) peran pemerintah dalam

perekonomian yang dirumuskan sebagai fungsi-fungsi utamanya adalah sebagai

berikut :

1. Penyediaan barang publik, atau proses pembagian keseluruhan sumber

daya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang publik, dan

bagaimana komposisi barang publik ditentukan. Penyediaan ini dapat

disebut sebagai fungsi alokasi dari kebijakan anggaran. Kebijakan

pengaturan, yang juga dipertimbangkan sebagai suatu bagian dari fungsi

alokasi, tidak dimasukkan disini karena tidak terlalu merupakan masalah

kebijakan anggaran.

2. Penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan untuk mejamin

terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu keadaan

distribusi yang “merata” dan “adil” yang disini disebut sebagai fungsi

distribusi.

3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk

mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas

yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat, dengan

memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca

pembayaran. Tujuan ini sering disebut sebagai fungsi stabilitas.

Dalam perkembangan ekonomi publik lebih lanjut fungsi alokasi, distribusi,

dan stabilisasi merupakan acuan dasar dalam menempatkan peran pemerintah.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

25

Guritno Mangkusubroto (Prasentiantono, 1994:4) seorang pakar ilmu ekonomi publik

Indonesia bahkan menyebutkan bahwa ketiga peran tersebut sebagai bentuk peran

pemerintah dalam perekonomian modern.

Dalam upaya memahami peran pemerintah yang dikemukakan Musgrave itu

tentunya dibutuhkan rumusan yang lebih eksplisit. Rumusan yang lebih eksplisit ini

antara lain dimaksudkan sebagai kerangka dasar untuk mengelaborasi peran

pemerintah dalam bentuk yang lebih operasional. Selain rumusan yang lebih eksplisit

juga dibutuhkan dalam pengembangan telaah administrasi dan kebijakan publik.

Menurut Dumairy (1994:158) peran alokasi merupakan peran pemerintah

dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi yang ada agar pemanfaatannya bisa

optimal dan mendukung efisiensi produksi. Peran disribusi, adalah peran pemerintah

dalam melakukan disribusi sumber daya, hasil-hasil ekonomi secara adil dan wajar.

Sedangkan peran stabilisasi, adalah peranan pemerintah untuk menjaga dan juga

memulihkan ekuilibrium agar tetap dapat menunjang proses pembangunan ekonomi.

Ketiga peran pemerintah ini umumnya dilakukan dengan menggunakan instrumen

kebijakan anggaran

Peran pemerintah yang dimaksud dalam landasan teoritis ini ditekankan pada

peran pemerintah daerah (local government). Secara garis besar tidak terdapat

perbedaan mendasar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam konteks

pembangunan ekonomi. Namun persoalannya menjadi lain saat yang dibicarakan

telah menyentuh aspek administratif dan pembiayaan pembangunan.

Hubungan pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam hal keuangan

akan membedakan derajat peranan keduanya. Derajat peranan itu selanjutnya akan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

26

dipresentasikan melalui kontribusi dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat

dalam pembiayaan pembangunan.

4. Hubungan Keuangan Pusat Daerah

Hubungan keuangan pusat-pusat menyangkut pembagian tanggung jawab

untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintahan

dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-

kegiatan itu. Tujuan utama hubungan ialah mencapai perimbangan antara berbagai

pembagian ini bagaimana agar antara potensi dan sumber daya masing-masing daerah

sesuai (Davey, 1988 : 179).

Lebih mendasar lagi, hubungan pusat-daerah menyangkut pembagian

kekuasaan dalam pemerintah. Hak mengambil keputusan mengenai anggaran

pemerintah bagaiama memperoleh dan membelanjakan unsur yang sangat penting

untuk menjalankan kekuasaan. Hubungan keuangan pusat-daerah mencerminkan

tujuan politik yang mendasar sekali karena perannya dalam menentukan bobot

kekuasaan yang dijalankan pemerintah daerah dalam keseluruhan sistem pemerintah.

Hubungan ini harus serasi dengan peranan yang dimainkan pemerintah daerah

(Davey, 1988 : 179).

Bird dan Vaillancourt (2000:21) mengajukan empat pertanyaan besar harus

dijawab dalam kaitannya dengan keuangan intra-pemerintah pada setiap negara

(1). Siapa mengerjakan ? – permasalahan pembagian tugas pengeluaran (2). siapa memungut pajak apa-apa? – permasalahan pembagian tugas penerimaan (3). Bagaimana kondisi ketidakseimbangan (pada dasarnya tidak dapat dihindari)

antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang merupakan jawaban dari dua pertanyaan sebelumnya, dapat ditangani ? – permasalahan ketidakseimbangan vertical.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

27

(4). sampai seberapa jauh seharusnya lembaga-lembaga fiskal mencoba mengadakan penyesuaian atasperbedaan dalam kebutuhan dan kapasitas unit-unit pemerintah dalam jenjang pemerintah yang sama ? – permasalahan ketidakseimbangan horizontal atau perimbangan .

Idealnya, pertanyaan-pertanyaan ini didekati melalui lingkungan khas setiap

negara dalam pola yang konsisten untuk mencapai tujuan kebijakan, terkai-tidak

hanya trio keuangan negara standar, yaitu efisiensi (alokasi), keadilan (distribusi) dan

stabilisasi, tetapi juga pertumbuhan ekonomi serta tujuan-tujuan yang tidak begitu

jelas (tetapi bergema keras secara politisi) seperti “perimbangan regional”. Dalam

banyak contoh, sudah tentu, akan terjadi pertentangan, tidak hanya diantara tujuan-

tujuan ini tetapi juga antara persepsi pusat dan daerah tentang bobot yang harus

didekatkan pada masing-masing

Hubungan keuangan pusat daerah sangat bervariasi, berdasarkan ciri-cirinya

terdapat empat pendekatan (Davey, 1988 : 255) sebagai berikut :

(1). Kapitalisasi, pemerintah daerah memperoleh modal permulaan yang diharapkan untuk diinvestasikan meurut cara-cara yang dapat menghasilkan pendapatan untuk menutup pengeluaran rutin. Apakah pendapatan tersebut juga akan digunakan untuk mengembalikan modal itu, untuk menghasilkan deviden atau untuk menambah modal semula adalah tergantung kepada sifat modal dan tujuan pemerintah daerah yang bersangkutan. Modal tersebut mungkin disediakan melalui bantuan (grant) sehingga tidak diperlukan adanya pembayaran kembali dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan kalau modal tadi disediakan melalui penyertaan (equity) maka mungkin (barang kali juga tidak) dapat diharapkan adanya deviden. Namun demikian, pengaruhnya adalah untuk menggerakkan pengeluaran pembangunan sesuai dengan tingkat keuntungan dan untuk membatasi pengeluaran rutin dalam batas pendapatan yang diperoleh. Badan pembangunan daerah, lembaga-lembaga pengembangan daerah perkotaan dan melayani kebutuhan masyarakat sering dibiayai menurut model ini.

(2). Pendekatan pendapatan, pendekatan pendapatan dalam hubungan keuangan, berdasarkan kepada pemberian sumber-sumber pendapatan tertentu kepada pemerintah daerah (terutama pajak-pajak). Untuk dimanfaatkan atau berupa suatu paket bagan dari pendapatan nasional. Dengan demikian, besar kecilnya pengeluaran daerah tergantung kepada pendapatan yang benar-benar diperoleh dari sumber-sumber tersebut. Pemerintah daerah dapat mengerjakan dan memilih pekerjaan-pekerjaan yang dapat dibiayai dengan uang yang tersedia padanya.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

28

(3). Pemberian pendapatan mungkin dikaitkan dengan adanya pemberian beberapa jenis bantuan pusat untuk menyeimbangkan potensi pendapatan atau untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh karena adanya perbedaan geografis dalam potensi pajak. Pemberian tersebut mungkin ditimbang sehingga menguntungkan wilayah-wilayah yang mempunyai biaya tinggi atau diatas rata-rata, mempunyai standar pembangunan yang rendah atau mempunyai beberapa tujuan strategis yang memerlukan pengeluaran daerah di atas rata-rata. Namun demikian, pada dasarnya pendekatan ini lebih berkaitan dengan alokasi pendapatan daripada dengan pembiayaan atas tingkat dan pola pengeluaran tertentu.

(4). Pendekatan pengeluaran berarti pembagian dana dari pusat kepada pemerintah daerah untuk menutup seluruh atau bagian biaya berupa pinjaman, bantun (sumbangan) atau bagian hasil pungutan, pemberian ini mungkin menutup seluruh pengeluaran tertentu atau hanya sebagian dari padanya. Namun hubungan keuangan dalam cara ini memusatkan perhatian pada pembelanjaan (melalui sesuatu atau cara lain) suatu tingkat pengeluaran tertentu.

(5). Pendekatan komprehensif (menyeluruh), sumber pendapatan diberikan (baik berupa pendapatan asli daerah atau bagian dari perpajakan nasional) dan tanggung jawab juga diberikan kepada pemerintah daerah, dengan asumsi mengenai implikasi pengeluarannya. Bantuan pusat, atau kadang-kadang pinjaman, diberikan (realisasi atau potensinya) dengan kebutuhan pengeluaran. Bantuan-bantuan ini dapat dihitung sesuai dengan penerimaan dan pengeluaran yang sebenarnya atau didasarkan atas proyeksi dari penerimaan potensi dan kebutuhan pengeluaran dengan menggunakan kriteria-kriteria standar. Dengan cara manapun, hubungan keuangan mengusahakan hubungan pengimbangan yang mantap dalam hal ini sumber daya dan tanggung jawab fungsional.

Pendekatan-pendekatan ini tidak saling menggantikan satu sama lainnya.

Suatu pemerintahan mungki saja menerima pinjaman untuk proyek mandiri

keuangannya, bantuan biaya satuan atau bantuan untuk suatu pelayanan tertentu dan

bagi hasil pajak yang tidak dikaitkan pada satu pun kebutuhan pengeluaran tertentu

barangkali saja di luar sumbangan pelengkap pada bantuan menurut suatu

pembelanjaan suatu pemerintah regional secara keseluruhan, atau bidang-bidang

tugas yang berbeda.

Sedangkan tujuan hubungan keuangan pusat dan daerah, Davey (1988:15)

mengatakan, pertama, bahwa sistem tersebut seharusnya memberikan suatu distribusi

kekuasaan yang regional di antara berbagai tingkat pemerintahan mengenai

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

29

pemungutan dan pengeluaran sumber daya pemerintahan. Sistem keuangan harus

menjamin bahwa penyerahan kewenangan (devolution of discretion) atas sumber

daya keuangan konsisten dengan pelimpahan tanggung jawab. Selain itu, sistem

tersebut seharusnya menjamin pertanggungjawaban kepada masyarakat mengenai

penggunaan sumber daya, mereka yang menentukan pengeluaran seharusnya

menghadapi konsekuensi penarikan pajaknya bagi masyarakat.

Kedua, sistem tersebut seharusnya menyajikan suatu bagian yang memadai

dari sumber-sumbernya masyarakat secara keseluruhan, bagi fungsi-fungsi

pemerintahan pelayanan rutin dan pembangunan yang diselenggarakan pemerintahan

regional. Memadai, tentu saja adalah sebuah konsep yang kabur dan relatif.

Sebaiknya keadaan yang tidak memadai biasanya diungkapkan dalam bentuk

kesenjangan kasar (gross disparities) antara tingkat pelayanan yang diselenggarakan

pemerintah regional dan oleh pemerintah nasional atau dalam bentuk kekurangan-

kekurangan prasarana setempat yang nyata dapat dilihat.

Ketiga, sistem tersebut seharusnya sejauh mungkin mendistribusikan

pengeluaran pemerintah secara merata di antara daerah-daerah. Dampak kumulatif

dari pemusatan pembangunan sepanjang sejarah daerah tertentu, dan dari keberadaan

sumber daya yang berbeda tidak bisa diperbaiki dalam semalam atau sebagaimana

diharapkan secara tuntas.

Keempat, pajak dan retribusi yang dikenakan oleh pemerintah regional harus

sejalan dengan distribusi beban pengeluaran atas masyarakat, sebagaimana

keseluruhan. Persoalan utama bagi warga adalah seluruh beban pajaknya, apakah

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

30

pajak-pajak yang dibayarkan masuk ke pemerintah pusat atau regional adalah

kepentingan kedua baginya.

Pada umumnya terdapat dua sumber utama keuangan daerah, yaitu Pertama

Pajak dan Retribusi Daerah, kedua Transfer dari Pemerintah Pusat. Kedua sumber

tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

(1). Pajak dan Retribusi Daerah

Ada dua prinsip utama yang disarankan dalam penyerahan kewenangan

penerimaan ke pemerintahan daerah. Pertama, pendapatan dari “sumber sendiri”

paling tidak cukup untuk memungkinkan daerah-daerah kaya untuk membiayai

sendiri pelayanan lokal, terutama yang mempunyai manfaat bagi masyarakat

setempat. Kedua, sedapat mungkin penerimaan-penerimaan daerah dapat

dipungut hanya dari masyarakat setempat, terutama yang manfaatnya mereka

terima dari pelayanan pemerintah daerah.

Bird dan Vaillancourt (2000:43), mengungkapkan syarat dari sumber-

sumber penerimaan daerah yang dianggap ideal, yaitu :

(a). basis (objek) pajak yang relatif tidak dapat berpindah, untuk memungkinkan pejabat daerah menyesuaikan tarif tanpa harus mengorbankan basis pajak mereka.

(b). Penerimaan pajak harus dapat menutupi kebutuhan lokal dan bersifat dinamis (yaitu dapat dikembangkan paling tidak sama cepatnya dengan kebutuhan peningkatan).

(c). Penerimaan pajak harus relatif stabil dan relatif dapat diproyeksikan dengan baik.

(d). Beban pajak diupayakan agar tidak dapat dialihkan ke daerah lain. (e). Basis (objek) pajak harus dapat dilihat untuk kepentingan akuntabilitas (f). Pajak harus dianggap adil oleh wajib pajak (g). Pajak harus relatif mudah dikelola dengan efektif dan efesien.

Tujuan yang paling diharapkan dan juga paling direkomdendasikan, dari

kebijakan desentralisasi penerimaan mungkin dapat dicapai dengan adanya

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

31

variasi tarif aneka ragam pemungutan dan iuran tersebut, dengan persyaratan tarif

minimum untuk menghindari persaingan basis pajak. Sebagai tambahan, karena

“ekspor pajak” memutuskan rantai penting antara keputusan pengeluaran lokal

dan pajak-pajak yang dipikul oleh penduduk lokal, perhatian harus dicurahkan

untuk mencegah propinsi-propinsi mengekspor beban-beban pajaknya. Misalnya

membatasi akses perpajakan ke dunia usaha.

Dasar penilaian atau kriteria dalam rangka perluasan serta menilai potensi

pajak dan retribusi daerah sebagai penerimaan daerah tersebut harus pula

diperhatikan beberapa hal, hal ini diungkapkan oleh Davey (1988:40) :

(a). Kecukupan dan elastisitas (adequacy and elasticity), yaitu sumber pendapatan dari pajak daerah tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan, serta elastisitas terhadap pertumbuhan potensi dari dasar pengenaan pajak (tax base) dan kemudahan memungutnya disamping memperhitungkan tingkat inflasi.

(b). Keadilan (equity) yang prinsipnya adalah bahwa beban pengeluaran pemerintah yang harus dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kemampuan untuk memberikan kontribusi keadilan dalam hal perpajakan daerah yang mempunyai tiga dimensi yaitu:

vertical equity, yaitu pembebanan pajak yang dihubungkan dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Secara umum pajak itu dianggap baik kalau pajak itu progresif, yakni persentase pajak yang akan dibayarkan akan bertambah sesuai dengan tingkat pendapatannya.

Horizontal Equity, yaitu pembebanan pajak yang dihubungkan dengan sumber pendapatannya

Geographical equity, yaitu pembebanan pajak yang harus adil antar penduduk di berbagai daerah, sesuai dengan tingkat pelayanan yang diberikan pemerintah.

(c). Kemampuan Administratif (administratif feasibility), artinya secara administrasi pemungutan pajak itu mudah dilaksanakan dan biaya operasionalnya tidak tinggi

(d). Diterima secara politik (political acceptability), artinya kemauan politik diperlukan dalam mengenakan pajak, mengenakan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar, bagaimana pajak ditetapkan, memungut pajak secara fisik dan melaksanakan sanksi terhadap para pelanggar.

Sedangkan Devas (1989:62) mengungkapkan sebagai berikut:

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

32

(a). keadilan (equity), dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak

sewenang-wenang, pajak yang bersangkutan harus adil secara horizontal artinya beban pajak haruslah sama besar antara berbagai kelompok yang berbedatetapi kedudukan ekonomi yang sama, harus adil secara vertical, kelompok ekonomi yuang lebih besar harus memberikan sumbangan yang besar dari pada kelompok yang tidak banyak memiliki sumber daya.

(b). Daya guna ekonomi (efisiensi ekonomi). Pajak hendaknya mendorong penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi. Mencegah jangan sampai pilihan konsumen salah arah, satu orang menjadi segan bekerja atau menabung dan memperkecil beban pajak.

(c). Kemampuan melaksanakan. Suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan dari sudut kemauan politik dan tata usaha.

(d). Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah. Harus jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak; pajak tidak mungkin dihindari, dengan cara memindahkan objek pajak dari suatu daerah ke daerah lain.

Berbeda dengan jasa (pelayanan) umum yang dibiayai oleh pajak umum

dan lain-lain melalui pungutan retribusi langsung kepada konsumen (Davey,

1988:132). Dalam suatu kasus, setiap pembayaran pajak harus memberikan

kontriubusi tanpa memperhatikan apakah jasa-jasa pelayanan tersebut segera

tersedia baginya dan sejauh mana dia menggunakannya, dari segi pembayaran

tergantung langsung kepada jasa-jasa yang telah disediakan dan dibuat untuk itu.

Tipe yang mana dari pembiayaan oleh/bersumber dari pajak atau sumber retribusi

–apakah yang cocok untuk suatu fungsi tertentu ?

Apa yang membedakan suatu jasa yang dibiayai oleh pajak dengan biaya

oleh retribusi kepada konsumen. Jawaban konvensional adalah membedakan

antara barang “pribadi” dan “umum” (Davey, 1988:133). Barang umum adalah

suatu jasa yang memberikan keuntungan kepada umum secara kolektif dan tidak

diskriminatif seperti pertahanan atau pengontrolan penyakit. Untuk menjaga

orang dari penyakit cacar merupakan kepentingan setiap orang, bukan hanya

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

33

menguntungkan si pasien tetapi semua orang, yang mungkin kena pengaruhnya.

Pelayanan yang demikian, pantas diwajibkan untuk dibiayai oleh setiap pembayar

pajak dalam hubungannya dengan kekayaan dan bukan konsumsinya. Pelayanan

suatu barang pribadi jika dikonsumsi seseorang akan memberikan keuntungan

kepada diri sendiri dan tidak kepada tetangganya. Apakah suatu rumah tangga

yang mempunyai aliran listrik, tidak memberikan pengaruh kepada tetangga-

tetangganya dan tidak ada alasan bagi mereka untuk turut membayar biaya

tersebut, untuk ini pembebanan yang cocok adalah retribusi langsung.

Dalam praktek, Davey (1988:135) mengatakan bahwa pungutan retribusi

langsung atas konsumen biasanya dikarenakan satu atau lebih pertimbangan-

pertimbangan sebagai berikut

(a). Apakah pelayanan tersebut merupakan barang-barang umum atau pribadi, mungkin pelayanan tersebut dapat disediakan kepada setiap orang dan oleh karena itu tidak wajar untuk membebankan biaya-biaya tersebut kepada pembayar pajak yang tidak dapat.

(b). Suatu jasa dapat melibatkan suatu sumber yang langka atau mahal dan perlunya disiplin konsumsi masyarakat. Hal ini lagi-lagi sering menjadi suatu alasan pembebanan retribusi untuk menyediakan air minum (khususnya melalui sistem meteran) atau pada resep dokter.

(c). Mungkin ada bermacam-macam variasi di dalam konsumsi individu, yang berkaitan setidak-tidaknya untuk memilih daripada memerlukan. Untuk ini fasilitas rekreasi dapat diambil sebagai contoh.

(d). Jasa-jasa dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan mencari keuntungan disamping memuaskan kebutuhan individu di dalam negeri.

(e). Retribusi dapat menguji arah dan skala dari permintaan masyarakat akan jasa, dimana kebutuhan pokok atau bentuk-bentuk satandar-standar dari penyediaan tidak dapat dengan tegas ditentukan. Suatu kasus dapoat dibuat hampir pada setiap bentuk pengeluaran pemerintah, keinginan untuk membayar langsung bagi pelayanan-pelayanan tersebut adalah suatu pengujian yang penting bagi keinginan masyarakat.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

34

Dapat disimpulkan bahwa retribusi daerah adalah pembayaran pemakaian

atau karena memperoleh jasa pekerjaan usaha atau milik daerah atau jasa yang

diberikan oleh daerah baik langsung atau tidak langsung.

(2). Transfer dari Pemerintah Pusat

Upaya apapun yang dilaksanakan untuk menata kembali fungsi-fungsi

pengeluaran dan penerimaan, masalah ketidakseimbangan vertical hampir pasti

tetap ada, atau paling tidak demikian menurut pengalaman mancanegara.

Walaupun basis pajak propinsi yang kaya mampu menyeimbangkan penerimaan

dan pengeluaran “sendiri”, ketidakseimbangan besar kemungkinan terjadi di

daerah lain. Lagi pula sejarah dan pengalaman internasional secara simultan

memberikan paparan yang kuat sekali bahwa perbedaan elastisitas penerimaan

dan pengeluaran atas penyerahan fungsi-fungsi tersebut pada berbagai jenjang

pemerintah dalam setiap kasus, akan segera mengarah pada munculnya kembali

permasalahan ketidakseimbangan vertical, walau untuk propinsi terkala pun.

“Kesenjangan” structural pasti segera akan terjadi dan harus ditangani (Bird &

Vaillancourt, 2000:39)

Pada prinsipnya, paling tidak terdapat empat cara untuk mengatasi

kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran (Bird & Vaillancourt, 2000:39) :

a) penerimaan-penerimaan pada tingkat propinsi dapat ditingkatkan. Namun,

sangat kecil peluangnya di antara semua potensi yang dapat digali, sebab

begitu diminati (walaupun misalnya sistemnya sudah dirancang dengan baik

dan tepat).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

35

b) Pengeluaran propinsi dapat dikurangi. Terlepas dari kepopulerannya (dari sisi

pusat) – kadang-kadang mungkin merupakan suatu keharusan – pendekatan

ini juga tidak perlu disarankan jika sistem sudah dirancang dengan baik sejak

dini.

c) Fungsi-fungsi pengeluaran dapat dialihkan ke jenjang pemerintahan yang

lebih tinggi, yang memiliki sumber-sumber penerimaan lebih banyak

(kewenangan penerimaan lebih banyak), atau dialihkan ke jenjang

pemerintahan yang lebih rendah yang memiliki pengeluaran lebih banyak.

Walaupun demikian, lagi-lagi hal ini tidak perlu dan tidak bijaksana jika

fondasi struktur sistemnya sudah benar.

d) Sebagian pendapatan yang dikumpulkan pusat dapat ditransfer ke

pemerintahan propinsi. Akhirnya, pada setiap negara, alternatif inilah yang

hampir selalu dilaksanakan.

Menurut Davey (1988:203) sumber-sumber dana bagi pemerintah

daerah yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, seringkali dinyatakan

sebagai “pemindahan” (transfer) yang meliputi beberapa :

Pertama, disebut “vote”, yaitu suatu penetapan bagian anggaran negara

berdasarkan pada pemungutan suara dalam lembaga pembuat undang-undang,

dan pada umumnya lebih berkaitan dengan administrasi wilayah

(dekonsentrasi). Kedua, bantuan (grant) yang merupakan pemberian yang

berasal dari pemerintahan pusat. Ketiga, pembagian hasil pajak yang

dikumpulkan secara terpusat, pemerintah lokal menerima persentase dari

pajak-pajak penjualan, pajak penghasilan, perusahaan dan pajak ekspor.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

36

Dalam negara kesatuan, bagi hasil pajak itu merupakan kewenangan

pemerintah pusat yang pada hakekatnya merupakan suatu alternatif dari

bantuan. Pembagian alokasi ini masih bisa diperdebatkan, apakah dianggap

alokasi pusat atau sebagai pendapatan asli daerah. Keempat, pinjaman

pemerintah daerah yang lazim digunakan untuk membiayai pembangunan

perusahaan-perusahaan daerah (Development Corporations). Kelima, modal

dalam suatu kegiatan yang self liquidating, yaitu kegiatan yang

mengharuskan pendapatan untuk menutupi biaya-biaya pemerintah daerah.

Pemerintah pusat tidak mengharapkan untuk menarik kembali jumlah modal

yang diinvestasikannya.”

Terdapat tiga jenis dasar untuk menetapkan berapa besar jumlah dana

yang perlu didistribusikan ke daerah-daerah melalui transfer fiskal

pemerintahan (Bird & Vaillancourt, 2000:42) :

(a). menurut persentase tetap dari penerimaan pemerintah pusat; (b). mengikuti suatu ad hoc, yaitu, dengan cara yang sama seperti untuk jenis-

jenis pengeluaran anggaran lain; (c). atas dasar “mekanisme formula”, yaitu menurut persentase dari

pengeluaran-pengeluaran daerah tertentu yang dibayar oleh pusat, atau yang berhubungan dengan ciri umum daerah penerima”

Transfer dapat dirancang untuk menyeimbangkan upaya penggalian

penerimaan atau tingkat-tingkat pengeluaran, atau hasil-hasil dalam bentuk

pelayanan-pelayanan yang disediakan. Penyeimbangan-penyeimbangan itu

mungkin juga lebih diperlukan untuk redistribusi pendapatan, atau untuk

meyakinkan bahwa untuk upaya penggalian pendapatan yang sama,

masyarakat menerima pengeluaran-pengeluaran (atau hasil-hasil) yang sama,

terlepas di mana mereka tinggal; atau untuk menyediakan pelayanan-

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

37

pelayanan penting pemerintahan yang minimal sesuai dengan standar

minimum bagi setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk

mengakses pelayanan-pelayanan pemerintahan.

Transfer juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang

terkait dengan pertumbuhan dan efisiensi alokasi sumber-sumber, seperti

pemberian dorongan agar pemerintah daerah melaksanakan pembangunan

pelayanan-pelayanan masyarakat yang mendesak, atau untuk meningkatkan

penyediaan pelayanan yang mengandung eksternalitas besar terhadap

masyarakat yang berada di luar wilayah bersangkutan. Akhirnya,

sebagaimana ditekankan terdahulu, transfer dapat saja secara eksplisit lebih

condong ke tujuan-tujuan politis, seperti memungkinkan daerah yang

termiskin sekalipun untuk melaksanakan aktivitas pelayanan umum dalam

suatu tingkatan tertentu, atau peningkatan sosialisasi penerimaan atas

kebijakan-kebijakan pusat yang berdampak negatif atas beberapa wilayah

tertentu.

Transfer, dengan demikian merupaakan elemen inti keuangan daerah.

Dalam dirinya sendiri, transfer tidak dapat dikatakan baik atau buruk, yang

menjadi permasalahan sebenarnya terletak pada pengaruhnya terhadap hasil-

hasil kebijakan yang dilaksanakan, seperti efisiensi alokasi, pemerataan

distribusi dan stabilitas makroekonomi.

Dalam setiap kegiatan pemerintahan faktor keuangan memegang peranan

yang penting, karena hampir setiap kegiatan pemerintahan membutuhkan dana,

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

38

demikian juga bagi suatu pemerintah daerah. Pentingnya keuangan bagi pemerintah

daerah tersebut Pamoedji (1980:61) menegaskan bahwa:

“Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa dana yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan …… dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.”

Hal di atas senada dengan pendapat Ibnu Syamsi (1983:190) yang

mengungkapkan bahwa keuangan daerah merupakan salah satu indikator untuk

mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri.

Pada sisi lain, dalam kenyataannya para pejabat pemerintahan daerah banyak

ditemui memiliki kekurangan dalam kapasitas administrasi terutama dalam

memungut pendapatan dan membuat rencana investasi dan anggaran. Hal ini

sebagaimana diungkapkan oleh Uppal (2000:69) yaitu sebagai berikut :

”Under new system local government should prepare both a medium-term fiscal plan and a comprehensive annual budget. Futhermore, local governments have to collect revenue and prepare budget and investment plans. The fact is that local government official often lack of the administration capacity to collect revenue and prepare budget and investment plans. Moreover, local governments also face lack of finance and accounting skills.” Untuk memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya daerah

membutuhkan sumber keuangan yang cukup. Menurut Alfian Lains (Kaho,

1997:125), sumber keuangan daerah terdiri dari :

a. Pajak Daerah yang telah direstui oleh Pemerintah Pusat. b. Pinjaman pihak ketiga, pasar uang atau bank atau melalui Pemerintah Pusat. c. Bagian dari pendapatan pajak pusat yang dipungut daerah, misalnya sekian

persen dari pendapatan pusat tersebut. d. Pemerintah daerah dapat menambah tarif pajak sentral tertentu, misalnya pajak

kekayaan atau pajak pendapatan.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

39

e. Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat

Sistem hubungan keuangan pusat dan daerah di Indonesia telah banyak

berhasil mewujudkan pembangunan fisik di daerah selama 20 tahun terakhir dan

umumnya peka terhadap kebutuhan dan tujuan pemerintah daerah. Namun demikian,

ada beberapa masalah penting yang timbul. Hampir semuanya mengakibatkan

penggunaan sumber daya yang tidak tepat. Permasalahan hubungan keuangan pusat-

daerah dapat dijelaskan sebagai berikut (Davey, 1988:190) : Pertama, campur tangan

pemerintah pusat terlalu banyak terhadap berbagai sisi kegiatan pemerintah daerah,

terutama dalam kaitannya dengan keuangan. Kedua, cara membiayai proyek dan

layanan daerah yang sangat rumit. Satu unit layanan seperti gedung pusat kesehatan

masyarakat mendapat dana dari tiga atau lebih departmen. Ketiga, karena SDO

(Subsidi Daerah Otonom) pegawai bagi pemerintah daerah adalah sumber daya

gratis, maka memungkinkan untuk menerima pegawai dalam jumlah yang sangat

besar tanpa memperhitungkan kebutuhan atau biaya. Keempat, perencanaan tenaga

kerja tidak mengutamakan kualitas SDM yang memadai.

Pada masa lalu prinsip yang digunakan dalam menjamin kemampuan daerah

otonom membiayai otonominya ialah function follow money (tugas dan kewenangan

mengikuti sumber pemdapatan daerah) artinya makin tinggi kemampuan daerah

mendapatkan pendapatan asli daerah, makin besar tugas dan kewenangan yang

diberikan kepada daerah otonom tersebut (Ramlan Surbakti, www.otoda.or.id, tanpa

tahun).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

40

Salah satu tujuan dari diterbitkannya hukum positif mengenai perimbangan

kuasnanyang adalah untuk memberikan kepada daerah sumber pendapatan yang

konsisten dengan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab. Guna mewujudkan

sistem perimbangan keuangan yang mencerminkan pembagian tugas dan

kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Hal

ini sesuai dengan yang dikatakan oleh (Wijaya:1992:35) yang mengungkapkan

bahwa salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan daerah

dalam berotonomi adakah kemampuan keuangan (PAD).

Hal dikemukakan di atas menurut Nordin (2005:109) sangat relevan dengan

kondisi saat ini, karena dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pembangunan,

Pemerintah Daerah memerlukan dana yang sangat besar.

Dari pendapat di atas terlihat bahwa untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya, daerah membutuhkan dana atau uang, karena tanpa adanya dana yang

cukup, maka tidak mengkin bagi daerah dapat menyelenggarakan tugas kewajiban

serta kewenangan yang ada padanya dalam mengatur dan mengurus rumah

tangganya.

Soelarno (1999:50) menyatakan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah

adalah :

(1) Pendapatan Asli Daerah, meliputi :

a) Hasil Pajak Daerah

b) Hasil Retribusi Daerah

c) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah

lainnya yang dipisahkan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

41

d) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain penjualan Aset Daerah

dan Jasa Giro

(2) Dana Perimbangan

a) Bagian Daerah dari :

1) Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 10% untuk pemerintah

pusat dan 90% untuk Daerah

2) Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 20%

untuk pemerintah pusat dan 80% untuk Daerah

3) Penerimaan Sumber Daya Alam

- sektor kehutanan, sektor pertambangan umum dan sektor perikanan

dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk Daerah

- sektor pertambangan minyak bumi dengan imbangan 85% untuk

pemerintah pusat dan 15% untuk Daerah

- sektor pertambangan gas bumi dengan imbangan 70% untuk

pemerintah pusat dan 30% untuk Daerah

b) Dana Alokasi Umum, sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri

c) Dana Alokasi Khusus

(3) Pinjaman Daerah

(4) Lain-lain penerimaan / pendapatan yang sah antara lain hibah atau penerimaan

dari daerah propinsi atau daerah kabupaten/kota lainnya, dan penerimaan lain

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya akan diuraikan masing-masing sumber keuangan daerah sebagai

berikut :

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

42

a. Pendapatan Asli Daerah

Menurut Devas (1989:24) dibandingkan dengan seluruh penerimaan

daerah tingkat I pada tahun 1983/1984, maka pendapatan asli daerah rata-rata

hanya sekitar 21%. Sedangkan dari penerimaan daerah tingkat II secara

keseluruhan, sumber pendapatan asli daerah menyumbang 10%.

Kondisi kecilnya sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total

penerimaan daerah ditunjukkan pula dari penelitian yang dilakukan Departemen

Dalam Negeri (Depdagri) untuk Tahun anggaran 1983/1984 s/d 1987/198,

sumbangan pendapatan asli daerah (Dati I) rata-rata menyumbang 17,49% dari

seluruh penerimaan Dati I, pendapatan Dati I tidak jauh berbeda dengan Dati II,

rata-rata PADnya masih sangat rendah.

Kemudian pada tahun 1992 Badan Litbang Depdagri bersama-sama

UGM mengadakan penelitian terhadap 292 Dati II, hasil penelitian tersebut

mengelompokkan Dati II menjadi 5 kelompok berdasarkan persentase sumbangan

PAD terhadap seluruh penerimaan Dati II, yaitu (1) 122 Dati II berkisar antara

0,53%-10%, (2) 86 Dati II antara 10,1%-20%, (3) 43 Dati II antara 20,1%-30%,

(4) 17 Dati II antara 40,1%-50%, (5) 2 Dati II di atas 50%. (Silalahi, 1995:98).

Dilihat dari segi pendapatan asli daerah (PAD), Dati I dan Dati II memiliki

kemampuan untuk mengurus rumah tangga sendiri yang tidak besar. Dengan kata

lain ketergantungan daerah pada pemerintah pusat sangat besar terutama dari segi

keuangan yaitu berupa subsidi.

Ketergantungan keuangan daerah pada pemerintah pusat tersebut dapat

mengakibatkan lemahnya kemampuan daerah, baik kemampuan birokrasi

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

43

(kepegawaian) daerah maupun kemampuan kelembagaan (organisasi) pemerintah

daerah, hal ini berakibat pada lemahnya kemampuan administrasi daerah secara

keseluruhan. Selain itu, hal ini akan membuat daerah semakin tergantung dan

kontrol pusat semakin dominan. Ketergantungan daerah secara fiskal ini

disebabkan Penerimaan Asli Daerah rendah. Kuncoro (2004:15) menyebutkan

faktor penyebab rendahnya PAD yaitu :(1) kurang berperannya perusahaan

daerah sebagai sumber pendapatan daerah, (2) tingginya derajat sentralisasi

dalam bidang perpajakan,(3) kendati pajak daerah cukup beragam ternyata hanya

sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan, (4) adanya

kekhawatiran apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi maka ada

kecenderungan terjadi disintegrasi dan separatisme, (5) kelemahan dalam

pemberian subsidi.

Sumber-sumber PAD mencakup (1) hasil pajak daerah, (2) retribusi

daerah, (3) hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah

lainnya yang dipisahkan, dan (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Selanjutnya dalam pasal 5 ditetapkan bahwa ketentuan mengenai pajak daerah

dan retribusi daerah, serta ketentuan mengenai perusahaan milik daerah dan

pengelolaan lainnya yang dipisahkan diatur dengan undang-undang.

Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara

maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan

yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah

yang memang telah sejak lama menjadi unsur PAD yang utama.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

44

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat

melaksanakan otonomi, Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan

daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang

perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah,

diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untuk

mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi

daerah

Dalam rangka memberikan kewenangan dalam bidang fiskal

(desentralisasi fiskal) Pemerintah memberikan kewenangan kepada daerah untuk

menetapkan pajak baru jika dilihat sekiranya ada potensi yang memungkinkan.

Salah satu pasal yang cukup penting adalah pasal 2 ayat (4) dimana daerah

Kabupaten/Kota diberikan kewenangan menetapkan pajak baru selain yang telah

ditentukan dalam Undang-Undang No 34 Tahun 2000 dengan kriteria sebagai

berikut :

(1). Bersifat pajak dan bukan retribusi

(2). Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya

melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten / kota yang bersangkutan

(3). Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan atau objek pajak

pusat

(4). Potensinya memadai

(5). Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

45

(6). Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan

(7). Menjaga kelestarian lingkungan

Sidik (2002:2) maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik

pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang

perpajakan daerah sebagai berikut:

prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah

naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.

adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok

masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota

kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.

administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan

memuaskan bagi si wajib pajak.

secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan

kesadaran pribadi untuk membayar pajak.

Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang

hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada

dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik

bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan

menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan

merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss)

UU di atas juga menyebutkan bahwa pemerintah pusat dapat

membatalkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau

peraturan yang lebih tinggi. Pusat sebetulnya perlu memberikan indikator dan

ukuran-ukuran lainnya yang dimaksud dengan “bertentangan dengan kepentingan

umum”. Pertanyaan yang mungkin menarik untuk dicermati adalah bagaimana

pusat harus mengambil posisi terhadap Perda yang menetapkan jenis pajak daerah

dan retribusi daerah yang ”dianggap” oleh pusat sebagai bertentangan dengan

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

46

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

namun didukung oleh “local stakeholder”? perlu ada mekanisme yang mengatur

hal penetapan jenis pajak daerah dan reteribusi daerah (Efendi, 2001 : 54)

1). Pajak Daerah

Guna mengetahui apa yang dimaksud dengan pajak daerah

sebelumnya perlu diberikan batasan dari pajak daerah itu sendiri. Beberapa

batasan yang diberikan oleh para ahli antara lain, Soemitro (1992 : 12)

mengemukakan, pajak adalah iuran rakyat pada kas negara berdasarkan

undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat balas jasa (tegen

prestatie) yang langsung dapat ditunjuk atau dipergunakan untuk membiayai

pengeluaran umum/pemerintah.

Menurut Suparmoko (1997 : 94), pajak adalah iuran kepada negara

(yang dapat dipaksakan) yang terutama oleh yang wajib membayarnya

menurut peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang

langsung dapat ditunjuk yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran umum berhubung uraian di atas terlihat ada beberapa unsur

dalam pajak yaitu :

• Merupakan iuran rakyat kepada negara

• Iuran tersebut dapat dipaksakan oleh negara

• Iuran tersebut dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas

umum pemerintahan.

• Iuran tersebut ditetapkan oleh undang-undang

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

47

• Dalam penyelenggaraan iuran tersebut tidak ada kontra prestasi langsung

yang dapat ditunjuk.

Diberlakukannya pajak daerah adalah dikaitkan dengan struktur

pemerintahan suatu negara yang dalam struktur pemerintahan Republik

Indonesia, disamping ada pemerintah pusat juga ada pemerintah daerah yang

merupakan bagian dari pemerintah negara yang bersifat otonom yaitu berhak,

berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri. Guna mengatur dan mengurus rumah tangganya tersebut sudah

barang tentu memerlukan pembiayaan. Oleh karena itu, disamping

memeperoleh pembiayaan dari sumber-sumber yang lain, daerah

diperbolehkan untuk melakukan pemungutan pajak yang dinamakan pajak

daerah (Suparmoko, 1997 : 306). Selanjutnya, Zandjani (1992:106) yang

menyatakan bahwa berdasarkan kewenangan pajak terdiri dari pajak daerah

dan pajak pusat

Adapun yang dimaksud dengan perpajakan daerah menurut Davey

(1988:39) dapat diartikan sebagai berikut :

(1). Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri;

(2). Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan pemerintah daerah;

(3). Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah; (4). Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat tetapi

hasil pemungutannya diberikan kepada daerah, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh Pemerintah Daerah.

Dengan melihat pengertian tersebut di atas, serta mengacu kepada

pengertian pajak secara umum, maka jelas bahwa yang dimaksud dengan

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

48

pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh daerah yang ditetapkan

oleh peraturan daerah dan pungutannya dapat dipaksakan, yang hasilnya

dipergunakan untuk membiayai rumah tangganya sendiri.

2). Retribusi Daerah

Sumber kedua dari pendapatan asli daerah (PAD) adalah retribusi

daerah. Untuk mengetahui pengertian retribusi daerah, terlebih dahulu perlu

diketahui batasan dari retibusi itu sendiri. Muqodim (1999:3) mengemukakan

bahwa retibusi adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu

jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung.

Selanjutnya Suparmoko (1997 : 94) memberikan batasan bahwa retribusi

adalah suatu pembayaran oleh rakyat kepada negara dimana dapat terlihat

adanya hubungan antar balas jasa yang secara langsung diterima dengan

adanya pembayaran retribusi tersebut. Pengertian retribusi secara umum

adalah pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang

menggunakan jasa-jasa negara (Soemitro,1979:17).

Definisi lain diberikan oleh Munawir (1980:4) yang menyatakan

bahwa retribusi :

“…iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan disini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, dia tidak dikenakan iuran itu.”

Sedangkan pengertian retribusi daerah dapat dilihat dari pendapat Gie

(Kaho, 1997:152) sebagai berikut :

“…retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

49

daerah untuk kepentingan umum atau karena jasa yang diberikan oleh daerah langsung maupun tidak langsung.”

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa retribusi daerah

adalah pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan usaha

data milik daerah atau jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung maupun

tidak langsung. Dengan kata lain retribusi daerah adalah pungutan yang

dilakukan atas jasa yang diberikan /disediakan oleh pemerintah daerah atau

secara lebih lengkap retribusi daerag adalah pungutan daerah sebagai

pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan,

usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang

diberikan oleh daerah. Sebelum terbitnya perundang-undangan mengenai

pajak daerah dan retribusi daerah pasca reformasi 1998, dilihat dari jenisnya,

retribusi lebih banyak daripada pajak daerah, Daerah Tingkat (Dati) I

memiliki 58 jenis retribusi, sedangkan daerah tingkat II memiliki 134 jenis

retribusi. Dari 58 jenis retribusi yang dimiliki oleh Dati I hanya 5 jenis

retribusi yang dipungut secara aktif yakni : retribusi tambang galian C,

retribusi atas kendaraan bermotor, retribusi rumah sakit dan balai pengobatan,

retribusi lelang ikan dan retribusi trayek.

Sedangkan dari 134 jenis retribusi yang ada di Dati II hanya 7 jenis

yang dipungut oleh hampir seluruh daerah, yakni retribusi pasar, retribusi

terminal, retribusi rumah sakit dan balai pengobatan, retribusi parkir, retribusi

atas ijin mendirikan bangunan, retribusi pemeriksaan pembantaian, retribusi

rekreasi dan retribusi atas ijin mengeluarkan hasil hutan dan hasil alam.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

50

Retribusi daerah lainnya hanya dipungut oleh beberapa Dati II sesuai dengan

kondisi daerahnya masing-masing (S.Silalahi, dalam Suara Pembaruan,

1995:97).

3). Hasil Perusahaan Milik Daerah

Sumber pendapatan asli daerah yang lain adalah hasil perusahaan

milik daerah. yang dimaksud dengan hasil perusahaan milik daerah dan

pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara lain, bagian

laba, deviden dan penjualan saham milik daerah. Kaho, (1997:168)

menjelaskan bahwa pengertian perusahaan daerah dirumuskan sebagai suatu

badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk memperkembangkan

perekonomian daerah dan untuk menambah penghasilan daerah

Menurut Devas (1989:111) terdapat tiga alasan pemerintah Indonesia

mendirikan perusahaan daerah yaitu :

(1). Dalam rangka mengambil alih perusahaan-perusahaan asing; (2). Untuk menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan

ekonomi daerah; (3). Dianggap cara yang efisien untuk menyediakan layanan masyarakat,

menebus biaya dan untuk menghasilkan penerimaan untuk pemerintah daerah

Landasan bagi perusahaan daerah sampai saat ini masing tetap

bertumpu pada UU No 5 Tahun 1962 (Kaho, 1991:166). Berdasarkan UU

tersebut perusahaan daerah menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi sosial untuk

memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum, sedangkan

sebagai fungsi ekonomi diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

pendapatan daerah.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

51

Sebagai salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan

sumbangan bagi pendapatan daerah maka daerah memberikan Badan Usaha

Milik Daerah (BUMD) spsetti perusahaan daerah air minum (PDAM), Bank

Pembangunan Daerah dan sabagainya, dimana laba semata-mata dapat

menjadi pertimbangan pokoknya. Dengan adanya kesempatan untuk

melibatkan diri dalam suatu usaha yang memberikan surplus (hasil lebih)

untuk menumpuk pendapatan (Davey, 1988:169). Namun pada kenyataannya,

sumbangan sektor ini terhadap pendapatan asli sangatlah kecil yaitu rata-rata

sebesar 0,8% (Kaho, 1991:168).

4). Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Lain-lain usaha daerah yang sah di satu pihak mengarah pada public

service dan bersifat penyuluhan (tidak mengambil keuntungan melainkan

hanya sekedar menutupi resiko biaya administrasi yang dikeluarkan). Di lain

pihak juga dapat menghimpun dana sebagai salah satu sumber pendapatan

daerah sepanjangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan.

Sumber pendapatan lain-lain meliputi hasil-hasil insidentil dari

penjualan barang-barang dan jasa, pendapatan jasa, misalnya ganti kerugian

dan sebagainya. Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 6

ayat (2) dinyatakan bahwa, lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan

kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga,

keuntungan selisih nila tukar terhadap mata uang asing dengan komisi,

potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

52

pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Dengan demikian, pendapatan

lain-lain dapat diartikan sebgai pendapatan lain yang tidak termasuk ke dalam

jenis-jenis pajak daerah, retribusi ataupun perusahaan daerah.

Sebagai bahan perbandingan, dalam UU No 5 Tahun 1974 sebagai

salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) adalah lain-lain usaha daerah

yang sah, seperti penerimaan dari dinas-dinas dan penerimaan lain. Dinas-

dinas daerah walaupun sebagai pelaksana pemerintah daerah yang tugas dan

fungsinya adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat tetapi pada

kenyataan befungsi juga sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah.

Sumbangan dari sumber ini sedikit lebih baik dari pada sumber perusahaan

daerah, yakni rata-rata 2,6% bagi pendapatan asli daerah. Sumber terakhir

dari pendapatan asli daerah adalah penerimaan lain-lain adalah penerimaan

lain-lain yang menyumbang 4,7% baik pendapatan asli (Kaho,1997:173).

Menurut Hoessein (1993 : 338) pendapatan daerah diluar pendapatan

asli daerah disebut “pendapatan non asli daerah” yang terdiri dari bagi hasil

pajak dan bukan pajak serta sumbangan dari pemerintah yang lebih atas.

Selanjutnya sumbangan dari pemerintah yang lebih atas tersebut terdiri dari

sumbangan yang dikaitkan dengan tugas rutin dan tugas pembangunan.

Sumbangan yang dikaitkan dengan tugas pembangunan lazim disebut

bantuan inpres. Kemudian bantuan pembangunan (Inpres) dapat berbentuk

bantuan umum (Block Grant) dan bantuan khusus (Specific Grant).

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

53

b. Dana Perimbangan

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (2) menetapkan

bahwa salah satu sumber Pendapatan Daerah adalah dana perimbangan yang

besarnya ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN yang dialokasikan

kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi. Tiga komponen utama dalam dana perimbangan adalah (a) Dana

Bagi Hasil berupa bagi hasil dari penerimaan pajak Bumi dan Bangunan (PBB),

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan

(PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh

Pasal 21 serta Sumber Daya Alam (SDA) yang berupa penerimaan kehutanan,

penerimaan perikanan, penerimaan pertambangan umum serta penerimaan

minyak bumi, gas bumi dan panas bumi, (b) Dana alokasi Umum (DAU) sebesar

26 % dari APBN yang diberikan kepada daerah otonom dengan

mempertimbangkan sisi kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan sisi kemampuan

fiskal (fiscal capacity). Dana ini dimaksudkan demi pemerataan tetapi

penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada DPRD dan pemerintah daerah,

dan (c) dana alokasi khusus (DAK)/ specific grant yang penggunaannya sudah

ditentukan oleh pusat dalam APBN.

Dengan dana perimbangan ini, daerah diharapkan akan dapat menutupi

kesenjangan antara penerimaan dari pendapatan asli daerah dengan pengeluaran

untuk belanja rutin dan pembangunan. Disamping itu, dana perimbangan kecuali

dana alokasi khusus, umumnya bersifat dana umum atau block grant, yang

penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah, maka pemerintah daerah

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

54

diharapkan akan dapat menentukan sendiri program atau proyak pembangunan

daerahnya. Dana perimbangan ini akan mendukungpenyelenggaraan otonomi

yang luas, nyata dan bertanggung jawab, sehingga pada gilirannya diharapkan

akan mampu (1) memacu pembangunan daerah, (2) meningkatkan pertumbuhan

antar daerah yang seimbang (3) menciptakan pembagian dana yang rasional dan

adil khususnya kepala daerah penghasil, (4) meningkatkan pemerataan

pembangunan, (5) mengurangi kesenjangan sosial antar daerah, (6) memberikan

kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang

bersangkutan (7) meredam ketidakpuasan daerah, (8) meningkatkan respek

daerah terhadap pusat, serta (9) memperkuat rasa persatuan dan

kesatuan/integrasi bangsa.

Bagian daerah dari penerimaan PBB, BPHTB, PPh dan SDA merupakan

penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah penghasil atau tempat asal

penerimaan negara tersebut dipungut. Bagian daerah ini merupakan hak utama

bagi daerah penghasil untuk dijadikan sebagai sumber penerimaan daerah sendiri,

dan dapat dipergunakan sepenuhnya oleh daerah untuk mencukupi kebutuhan

daerah dalam membiayai pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun

pembangunan.

c. Pinjaman

Seiring dengan laju pembangunan dan peningkatan kebutuhan daerah

akan dana untuk pembiayaan pembangunan. Pemerintah daerah berdasarkan UU

No. 33 Tahun 2004 pasal 49 hingga 56 dimungkinkan melakukan pinjaman dari

berbagai sumber untuk membiayai sebagian anggarannya.

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

55

Sebagaimana halnya di berbagai negara, wewenang pemerintah daerah

dalam melakukan pinjaman ini umumnya dibatasi. Hal ini disebabkan oleh dua

faktor utama, yaitu : Pertama, pinjaman sektor pemerintahan secara keseluruhan

perlu dikendalikan dalam hubungan dengan kebijaksanaan moneter, terutama

untuk mengendalikan inflasi; Kedua, untuk mencegah jangan sampai Pemerintah

Daerah terjerumus ke dalam kesulitan keuangan (Davey, 1988 : 222). Batas

jumlah pinjaman daerah adalah jumlah maksimum yang dapat diterima oleh

daerah dengan memperhatikan indikator kemampuan daerah untuk meminjam

maupun dalam pengembalian pinjaman, yaitu suatu rasio yang menunjukkan

tersedianya sejumlah dana dalam periode waktu tertentu untuk menutup

kewajiban pembayaran pinjaman.

5. Administrasi Perpajakan Daerah

Mansury (1994 : 43) mengatakan bahwa unsur ketiga dari sistem perpajakan

adalah administrasi perpajakan, yang mempunyai tiga pengertian yaitu:

a. Suatu instansi atau badan yang diberikan wewenang dan tanggung jawab

untuk menyelenggarakan pungutan pajak.

Dalam kaitannya dengan instansi atau badan yang diberikan wewenang

dan tanggung jawab untuk pemungutan penyelenggaraan pemungutan pajak,

maka tidak akan terlepas dari suatu topik yang ada hubungannya dengan

organisasi. Lubis dan Huseini, (1987:1) mengatakan bahwa organisasi :

“Sebagai suatu keasatuan sosial dari sekelompok manusia, yang saling berinteraksi, menurut pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing yang sebagai suatu

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

56

kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya.”

Terdapat beberapa pandangan mengenai organisasi, yaitu :

1) Pendekatan klasik yang memusatkan perhatian pada anatomi

organisasi dan tidak memperhatikan aspek sosial

2) Pendekatan neoklasik yang mementingkan aspe sosial, tetapi kurang

memperhatikan anatomi organisasi.

3) Pendekatan modern sebagai pendekatan yang mampu menyatukan

keseluruhan pandangan dalam analisis organisasi.

Salah satu pandangan/ pendekatan dari organisasi adalah pendekatan

modern, yang mempunyai pandangan yang lebih sempurna dari pendekatan-

pendekatan lainnya (pendekatan klasik dan pendekatan neo klasik) antara lain

dikatakan oleh Lubis dan Huseini, (1987:6) bahwa :

1) Pendekatan modern memandang organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka,

yang berarti bahwa organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari lingkungan

sehingga organisasi bisa dipengaruhi maupun mempengaruhi lingkungan.

2) Keterbukaan dan ketergantungan organisasi terhadap lingkungan,

menyebabkan bentuk organisasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana

organisasi itu berada

Bentuk organisasi secara keseluruhan tergambar dalam struktur organisasi

yang merupakan gambaran mengenai kesatuan dari berbagai segmen organisasi,

yang masing-masing dipengaruhi oleh salah satu dari faktor-faktor berikut ini :

jumlah bagian dalam organisasi, tingkat sentralisasi, formalisasi, standarisasi dan

juga berbagai jenis karakteristik struktur lainnya. Struktur organisasi

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

57

digambarkan pada peta atau skema organisasi. Skema organisasi ini memberikan

gambaran mengenai keseluruhan kegiatan serta proses yang terjadi pada suatu

organisasi. Lubis dan Huseini (1987:120) mengemukakan empat komponen dasar

yang merupakan kerangka dalam memberikan definisi dari struktur organisasi ,

yaitu :

1) Struktur organisasi memberikan gambaran pembagian tugas-tugas serta

tanggung jawab kepada individu maupun bagian-bagian dalam suatu

organisasi.

2) Struktur organisasi memberikan gambaran mengenai hubungan pelaporan

yang ditetapkan secara resmi dalam suatu organisasi. Tercakup dalam

hubungan pelaporan yang resmi ini banyaknya tingkatan hirarki serta

besarnya rentang kendali dari semua pimpinan di seluruh tingkatan

organisasi.

3) Struktur organisasi menetapkan pengelompokan individu menjadi bagian dari

organisasi dan pengelompokan bagian-bagian tersebut menjadi bagian suatu

organisasi yang utuh.

4) Struktur organisasi juga menetapkan system hubungan dalam organisasi, yang

memungkinkan tercapainya komunikasi, koordinasi dan pengintegrasian

segenap kegiatan suatu organisasi, baik ke arah vertical maupun horizontal.

Oleh karena organisasi bisa dipengaruhi maupun mempengaruhi

lingkungannya, maka suatu organisasi harus memiliki strategi-strategi yang

bersifat eksternal, seperti :

1) Dengan cara penyuluhan kepada masyarakat

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

58

2) Dengan cara lobbying, yaitu melakukan pendekatan-pendekatan kepada

lingkungan yang potensial untuk mencapai tujuan organisasi

Selain hal di atas, Kelley dan Oldman (1973:50) antara lain :

1) Mengadakan bimbingan dan pengawasan secara menyeluruh

2) Pengecekan rutin atas adanya kelalaian dan salah hitung

3) Melaksanakan pemeriksaan kantor

4) Melaksanakan pemeriksaan lapangan

5) Penyidikan khusus jika ada yang dicurigai melakukan penggelapan

6) Melakukan kegiatan pemungutan (pencatatan penerimaan pajak dan transaksi

pelanggaran wajib pajak).

7) Pelayanan secretariat

8) Melakukan penilaian aktiva

9) Pemeliharaan sarana dan prasarana

10) Pelayanan komputer

11) Pelayanan secara resmi

12) Memperhatikan keinginan atau alasan wajib pajak sehubungan adannya

perhitungan tambahan dan pelayananan pengembalian pajak secara baik.

b. Orang-orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada

instansi perpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pungutan

pajak.

Dalam kaitannya dengan orang-orang yang ada dalam administrasi

perpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pemungutan pajak (fiskus),

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

59

maka bentuk yang paling rasional menurut Max Weber (Kasim,1998:9)

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

“Para pegawai atau pejabat dalam birokrasi adalah pribadi yang merdeka dan hanya tunduk pada tugas jabatannya yang impersonal. Dengan kata lain seorang birokrat sejati hanya tunduk kepada peraturan dan prosedur resmi. Ia tidak tunduk kepada orang lain karena semata-mata hubungan pribadi atau karena orang tersebut mempunyai status yang lebih tinggi dan sebagainya.”

Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri-ciri tersebut merupakan ciri birokrasi

yang ideal, murni atau bentuk yang rasional yang pada akhirnya mempunyai

tujuan efisiensi.

Dalam kegiatan pemungutan pajak dengan dihadapkan kepada tingkat

perkembangan masyarakat yang semakin kompleks baik dalam segi perilaku

usaha serta upaya adanya penghindaran dan penggelapan pajak semakin lihai,

sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam pemungutan pajak dituntut

untuk selalu trampil. Kadang-kadang dengan adanya sumber daya manusia yang

termpil masih belum memenuhi harapan atau belum dapat bekerja secara

maksimal, sehingga perlu ada pemikiran perlunya hubungan antar manusia dalam

organisasi ini dapat dibina agar dapat bekerja secara produktif. Untuk mengatasi

hal tersebut, perlu pemahaman teori-teori motivasi baik yang berdasarkan

pendekatan isi dan teori-teori tentang proses motivasi, di samping itu harus juga

memahami ada pengelolaan konflik dalam organisasi (Kasim, 1993:27).

Upaya terciptanya aparat pajak yang baik sekaligus dapat mendorong

terciptanya pelayanan yang diberikan oleh aparat pajak sangat perlu diusahakan.

Adapun beberapa kriteria aparat pajak yang baik (Brata, 1998:22) adalah sebagai

berikut :

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

60

1) Well sourcess (bersumber dari yang baik)

2) Well trained educated (mereka yang dilatih dan di didik dengan benar)

3) Well organized (ditempatkan ditempat yang benar)

4) Well known objective (mengetahui tujuan yang baik)

5) Well paid (dibayar dengan baik)

6) Handicaps problem or tax administration must be remove (masalah yang ada

dalam administrasi pajak harus dihilangkan)

7) Aparat harus mempunyai sikap Willing to S… agar service exelence

meningkat, meliputi :

♦ Willing to see, keinginan untuk melihat atau mencari, melakukan

sharing experience untuk kemajuan atau membuka diri untuk

perbaikan.

♦ Willing to say, keinginan untuk bicara mana yang benar dan tidak

benar.

♦ Willing to save, keinginan untuk mengajarkan sesuatu yang baik.

♦ Willing to stop, keinginan untuk menghentikan sesuatu yang tidak baik.

♦ Willing to serve, keinginan untuk melayani.

Bila aparat sudah mempunyai sikap tersebut di atas maka akan tercipta

service excelent

c. Kegiatan penyelenggaraan pungutan pajak oleh suatu instansi atau badan

Kegiatan ini ditalaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai

sasaran yang telah digariskan dalam kebijaksanaan perpajakan. Berdasarkan

sarana hukum yang ditentukan oleh undang-undang perpajakan.

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

61

Dalam pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemungutan pajak

keberhasilannya di samping unit organisasi serta SDM, juga sangat bergantung

dari kebijakan yang diambil dalam penyelenggaraan pemungutannya itu sendiri.

Dari berbagai kegiatan penyelenggaraan pemungutan pajak terutama pajak

daerah, perlu diperhatikan tahapan-tahapan sebagai berikut :

1) Menentukan wajib pajak (pendataan)

Tahap pertama administrasi perpajakan adalah kegiatan menentukan

wajib pajak. Devas (1989:144) mengungkapkan bahwa kegiatan tahap

penentuan wajib pajak adalah dengan melakukan kegiatan pendataan.

Kegiatan ini adalah upaya aparat pajak untuk menjaring wajib pajak dan

objek pajak agar tidak luput dari pengenaan pajak. Dengan demikian harus

dibuat prosedur untuk mencegah hal tersebut terjadi.

Maksud di atas adalah harus ada ketentuan yang mengikat jangan

sampai ada objek pajak yang tidak terjaring karena adanya kesengajaan dari

wajib pajak untuk menyembunyikan diri. Kondisi ini dapat menyebabkan

hilangnya potensi pajak yang berakibat berkurangnya pendapatan asli daerah

(PAD) dari sector pajak daerah.

2) Menetapkan Nilai Pajak yang terhutang (Perhitungan dan Penetapan Pajak)

Besarnya pajak yang terhutang harus ditentukan dengan cermat, yang

menyangkut penerapan tariff yang sesuai. Terdapat kendala karena

melibatkan adanya wajib pajak dan petugas pajak. Hal ini dikemukakan oleh

Devas (1989:145) :

“Semakin besar kewenangan petugas pajak untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang, akan semakin besar peluang untuk

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

62

berunding dengan wajib pajak, sehingga akan semakin kurang cermat besarnya perhitungan pajak yang dihasilkan”

Untuk itu peran pengawasan serta mekanisme perhitungan ketetapan

pajak sangat penting. Karena jika penetapan pajak lebih kecil dari kenyataan

yang sebenarnya akan berakibat buruk adanya kesenjangan pajak (tax gap)

atau jarak antara potensi dan realisasi.

3) Memungut Pajak (Penagihan Pajak)

Hal yang perlu diperhatingan kelihatanya adalah waktu penagihan. Yaitu

perlunya menagih pajak yang terhutang tersebut sesuai dengan waktu yang

telah ditentukan, karena kalau tidak tepat waktu, akan ada persoalan

daluawarsa atau hilangnya hak menagih bagi petugas pajak (Devas,1989:145)

4) Pemeriksaan Kelalaian Pajak

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa kegiatan pemeriksaan ini

mempunyai maksud untuk mengetahui wajib pajak yang belum memenuhi

kewajibannya. Istilah lainnya adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan (tax compliance)

5) Penyelesaian Sengketa Pajak

Dalam prinsip perpajakan dikenal adanya prinsip keadilan, kemudahan,

efisiensi, kepastian dan lain-lain kaitannya dengan penyelenggaraan

pemungutan pajak ini ada unsur penyelesaian sengketa pajak. Untuk itu perlu

adanya pertimbangan akan hak wajib pajak ini dapat terjamin sesuai prinsip-

prinsip di atas.

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

63

6. Kinerja Perpajakan Daerah

Administrasi Pajak merupakan faktor yang sangat penting dalam penerimaan

pajak. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Norman D. Nowak (Salomo dan

Ikhsan, 2002:108) bahwa administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan

pelaksanaan kebijaksanaan perpajakan. Selanjutnya, Salomo dan Ikhsan juga

(2002:107) menyebutkan kriteria-kriteria untuk menilai kinerja pajak daerah yaitu tax

effort (upaya pajak), tax effectiveness (hasil guna pajak) dan tax efficiency (daya guna

pajak).

Kebijaksanaan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai

pelaku sektor publik. Kebijaksanaan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah

dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik,

dengan instrumen utamanya perpajakan. Penerimaan pemerintah, baik berupa pajak

maupun lainnya, merupakan suatu instrumen untuk meningkatkan kapasitas produktif

suatu perekonomian. Besar kecilnya kemampuan pemerintah dalam menghimpun

dana dapat dilihat dari indicator tax effort (Susanti dkk, 2000:66).

Tax effort adalah perbandingan antara jumlah penerimaan pajak aktual (atau

jumlah penerimaan pajak yang sebenarnya dari seluruh jenis pajak daerah) dengan

kapasitas atau kemampuan penduduk daerah untuk membayar pajak (tax capacity).

Dengan demikian tax effort tidak lain merupakan perbandingan actual yield

(penerimaan pajak) dengan tax capacity (kapasitas pajak). Untuk menghitung actual

yield dapat dengan mudah dicari, akan tetapi untuk menghitung kapasitas pajak

terdapat kesulitan untuk menghitungnya. Untuk mengatasi ini para ahli menggunakan

angka Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai proxy, yakni suatu angka yang

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

64

dianggap mewakili kapasitas pajak. Menurut Devas (1989:143) untuk mengukur

kapasitas perpajakan daerah digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Semakin besar nilai tax effort ini, semakin besar pula kemampuan pemerintah dalam

menjaring dananya melalui pajak (Susanti dkk, 2000 : 66). Dengan demikian Salomo

dan Ikhsan (2002:116) menegaskan bahwa angka tax effort atau upaya pajak daerah

dicerminkan oleh perbandingan antara jumlah realisasi penerimaan pajak daerah

dengan PDRB. Perbandingan ini disebut tax ratio (rasio pajak). Selain tax ratio,

Salomo dan Ikhsan (2002:117) menambahkan, terdapat ukuran lain yang dapat

digunakan untuk melihat kinerja pajak daerah yaitu dengan mengukur elastisitas

penerimaan pajak daerah terhadap perubahan-perubahan kemampuan masyarakat

untuk membayar pajak (kapasitas perpajakan daerah) yang juga sering dinamakan

dengan elastisitas pajak (tax elasticity) yang juga sering dinamakan dengan tax

bouyancy. Ukuran ini membandingkan antara persentase perubahan penerimaan

pajak daerah dengan persentase perubahan PDRB sebagai proxy dari kapasitas

perpajakan daerah.

Tax Effectiveness menurut Salamo dan Ikhsan (2002:120), tidak lain

merupakan perbandingan antara penerimaan pajak aktual (penerimaan pajak yang

sebenarnya, actual yield) dengan potensi penerimaan pajak (potential yield).

Selanjutnya Salomo dan Ikhsan menjelaskan bahwa secara operasonal efektivitas

pajak dapat dihitung dengan menggunakan rumus Tax Performance Index (TPI)

yakni hasil bagi antara realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak.

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

65

Untuk menghitung Tax Performance Index/TPI (Sidik, 1996:76) yang

merupakan perbandingan antara upaya pajak dengan Standar Tax Rate digunakan

rumus :

Realisasi Penerimaan Pajak TPI =

Target Penerimaan

Selain kedua alat ukur di atas, Salomo dan Ikhsan (2002:127) menambahkan

bahwa penilaian atas administrasi perpajakan daerah dapat pula dengan

menggunakan apa yang dinamakan tax efficiency (daya guna pajak). Menurut kedua

ahli keuangan daerah tersebut Tax efficiency tidak lain merupakan perbandingan

antara penerimaan pajak dengan biaya pungutnya (cost of collection dari pajak).

Secara operasional efisiensi pajak dapat dihitung dengan menghitung angka Cost of

Collection Efficiensy Ratio (CCER) yakni dengan membandingkan antara biaya

pemungutan dengan hasil penerimaan pajak yang diperoleh. Semakin kecil angka

CCER mengindikasikan semakin efisien penggunaan dana untuk memungut pajak.

Sebagai patokan, Devas (Salomo dan Ikhsan, 2002:128) menyebutkan bila biaya

pungut tidak lebih dari 20% maka hal itu dikatakan masih cukup baik.

7. Kapasitas Ekonomi dan Penerimaan Daerah

Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah secara efektif dan efisien sangat

tergantung kepada tersedianya sumber daya pendukungnya. Sumber daya ini

merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, baik

yang bersumber dari kebijaksanaan pemerintah pusat, maupun yang berasal dari

potensi daerah. Sumber daya yang bersal dari kebijaksanaan pemerintah pusat antara

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

66

lain berupa kebijaksanaan pajak dan retribusi daerah yang akan berdampak terhadap

PAD, serta sumbangan dan bantuan pusat yang kesemuanya akan berpengaruh

terhadap APBD. Pada gilirannya hal itu akan berdampak kepada pelaksanaan

otonomi daerah. Adapun yang bersumber dari potensi daerah terutama berwujud

peran serta masyarakat dan potensi ekonomi daerah. Kedua faktor ini juga

berpengaruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah (Koswara, 2001:183).

Potensi ekonomi daerah yang bersumber pada besarnya kegiatan atau usaha

perekonomian yang berlangsung di suatu daerah kota/kabupaten, ikut mempengaruhi

pendapatan pemerintah daerah setempat yang selanjutnya akan berpengaruh pula

kepada kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi (Koswara, 2001 :

251).

Disamping sumber-sumber ekonomi yang riil dan potensial, kemampuan

ekonomi suatu daerah juga banyak dipengaruhi oleh struktur ekonominya.

Kemampuan ekonomi merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang

berlangsung di suatu daerah propinsi, kabupaten/kota yang dapat diukur dari: (a)

produksi domestik regional bruto (PDRB), (b) penerimaan daerah sendiri (PDS).

Kenaikan PDS akan menaikan pengeluaran pemerintah, dan hal ini dapat

mendorong intensitas dan bobot pembangunan ekonomi. Secara teoritis dengan

adanya kenaikan pengeluaran pemerintah akan dapat mendorong proses alokasi dan

distribusi yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya beli (purchasing power)

masyarakat dan peningkatan konsumsi masyarakat. Kenaikan konsumsi dalam

masyarakat akan mendorong kenaikan produksi pada suatu titik tertentu akan diikuti

peningkatan investasi yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pada

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

67

daerah tersebut yang tergambar pada peningkatan PDRB. Kenaikan kapasitas

perekonomian daerah yang dicerminkan dengan pendapatan regionalnya adalah

peningkatan jumlah pembiayaan pembangunan daerah yang bersumber dari potensi

asli daerah dan dikelola oleh administrasi penerimaan daerah akan meningkat.

a. Produk Domestik Regional Bruto

Seperti halnya Produk Domestik Bruto (PDB) bagi suatu negara, PDRB

atau yang disebut juga pendapatan regional, adalah suatu nilai (dalam rupiah) dari

semua barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan dalam suatu daerah dalam

jangka waktu tertentu. Dari sisi pengeluaran merupakan jumlah pengeluaran

seluruh pelaku ekonomi yang terjadi di dalam suatu daerah (Sukirno, 2001 : 33).

Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan pengertian

berdasarkan pendekatan perhitungan terhadap PDRB sebagai berikut :

• Dari segi produksi, PDRB merupakan jumlah nilai tambah barang dan jasa

akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi didalam suatu daerah dalam

jangka waktu tertentu.

• Dari segi pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh

faktor-faktor produksi yaitu tenaga kerja, tanah dan kewirausahaan yang ikut

dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.

• Dari segi pengeluaran, PDRB merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan

untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak

mencarikeuntungan, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap,

perubahan stok dan ekspor netto (barang keluar dikurangi barang yang masuk

suatu daerah) didalam suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

68

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perhitungan hanya

dilkaukan pada suatu daerah yang mempunyai batas administratif. Dengan

demikian perhitungan pendapatan regional dapat dilakukan bukan saja untuk

propinsi tetapi dapat juga dilakukan untuk daerah/wilayah yang lebih kecil seperti

kabupaten dan kota.

Seperti diungkapkan di atas bahwa perhitungan pendapatan regional

(PDRB) dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu : pendekatan produksi,

pendapatan dan pengeluaran. Pendekatan mana yang dipilih sangat tergantung

dari situasi dan data yang tersedia untuk masing-masing sektor yang dilakukan

perhitungannya.

Seperti halnya PDB bagi suatu negara, Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) merupakan alat ukur kegiatan ekonomi suatu daerah

(propinsi/kota/kabupaten) secara keseluruhan yang sangat penting. PDRB

berfungsi sebagai indikator kuantitatif tentang kesejahteraan suatu masyarakat di

suatu daerah pada suatu periode waktu tertentu (Supranto, 1987 : 297).

Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), PDRB merupakan salah

satu data yang dapat digunakan sebagai perangkat analisis untuk mengambil

kebijakan dan juga sebagai indikator untuk melihat, tingkat pertumbuhan

ekonomi suatu daerah, tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita,

perubahan/pergeseran struktur ekonomi daerah dan tingkat inflasi atau deflasi,

ditingkat produsen.

Sejalan dengan tujuan penyusunan PDB secara umum bagi suatu negara

maka tujuan perhitungan PDRB sebagai berikut (Partadireja, 1994: 12)

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

69

• Memberikan gambaran menurut skala waktu (time series) tentang

perkembangan ekonomi yang telah dicapai dalam suatu periode waktu

tertentu, sehingga dapat diketahui laju pertumbuhan ekonomi.

• Memberi gambaran secara kuantitatif tentang situasi ekonomi dalam periode

tertentu, sebagai suatu usaha untuk menentukan arah kebijaksanaan

pembangunan di masa mendatang.

• Memberi gambaran tentang komposisi pendapatan regional untuk setiap

lapangan usaha, sehingga para perencana dapat menentukan model

perencanaan pembangunan secara komprehensif, sesuai dengan

perkembangan pembangunan.

• Untuk membandingkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai antar

wilayah atau waktu.

• Memberikan gambaran tentang target kemakmuran penduduk dan

membandingkannya dengan daerah lain.

Sebagaimana perhitungan PDB bagi suatu negara maka didalam

perhitungan PDRB juga yang dihitung adalah nilai barang-barang dan jasa-jasa

akhir. Penekanan kata “akhir” membatasi kita agar tidak melakukan perhitungan

ganda (double counting). Untuk mencegah perhitungan ganda, perhitungan

PDRB dilakukan dengan menjumlahkan nilai tambah (value added) yang tercipta

pada setiap tingkat atau tahap proses produksi atau nilai barang-barang jadi saja.

Barang jadi adalah barang-barang yang tidak mengalami produksi lebih lanjut

dan dapat langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. (Sukirno,

2001 : 37). Selanjutnya PDRB disajikan dalam dua angka, yakni atas dasar harga

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

70

berlaku (current prices), yang disebut dengan PDRB nominal dan atas dasar

harga konstan (constant prices), yang disebut dengan PDRB riil.

Secara umum PDRB dibagi atas sembilan sektor, yaitu : (1) Pertanian,

(2) Sektor Pertambangan dan Penggalian, (3) Sektor Industri Pengolahan, (4)

Sektor Listrik, Gas dan Air Minum, (5) sektor Bangunan, (6) Sektor

Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7) Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, (8)

Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, (9) Jasa.

Menurut BPS, PDRB dapat dibagi lagi atas kelompok sektor yang antara

lain adalah :

• Sektor primer, yang terdiri dari sektor pertanian dan sektor pertambangan,.

• Sektor sekunder, yang terdiri dari sektor industri manufaktur, sektor listrik,

gas dan air minum dan sektor bangunan.

• Sektor tersier yang terdiri atas sektor sektor perdagangan, hotel dan restoran,

sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan.

Ciri perekonomian suatu wilayah ditunjukkan oleh sumbangan masing-

masing sektor ekonomi (lapangan usaha) dalam membangun struktur ekonomi

secara utuh. Secara kuantitatif sumbangan tersebut dapat diukur peranan PDRB

menurut lapangan usaha atas harga berlaku.

Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting

dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu

negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian

akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu perioede

Page 57: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

71

tertentu. Karena pada dasaranya aktivitas perekonomian adalah suatu proses

penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini

pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor

produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi

maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga

akan turut meningkat (Susanti dkk, 2000 : 23).

Perekonomian dianggap mengalami pertumbuhan bila seluruh balas jasa

riil terhadap penggunaan faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada

tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perekonomian dikatakan mengalami

pertumbuhan bila pendapatan riil masyarakat pada tahun tertentu lebih besar

daripada pendapatan riil masyarakat pada tahun sebelumnya.

Seperti halnya untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi suatu

negara dengan menggunakan data PDB atas dasar harga konstan, maka untuk

menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah menggunakan

data PDRB atas dasar harga konstan, maka pertumbuhan PDRB semata-mata

hanya mencerminkan pertumbuhan output yang dihasilkan perekonomian pada

periode tertentu. Sebab dengan menggunakan data PDRB (atas dasar harga

berlaku) telah dihilangkan (Susanti dkk, 2000 : 24).

Salah satu komponen dari pendapatan regional yang selalu dilakukan

perhitungan adalah pendapatan perkapita, yaitu pendapatan rata-rata penduduk

sutau daerah tertentu pada waktu tertentu. Nilainya diperoleh dari membagi nilai

PDRB pada tahun tertentu dengan jumlah pada tahun tersebut.

Page 58: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

72

Dalam menghitung pendapatan perkapita dapat dilakukan, yaitu

berdasarkan harga yang berlaku dan harga konstan. Perhitungan menurut harga

berlaku penting untuk memberi gambaran mengenai daya beli rata-rata penduduk

daerah tersebut. Data ini juga penting sebagai bahan perbandingan dalam

menunjukkan perbedaan tingkat kemakmuran suatu daerah dengan daerah lain.

Chenery mengartikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses

transformasi structural ditandai dengan peningkatan sumbangan sektor industri

manufaktur dan jasa didalam pembentukan PDRB disatu pihak dan semakin

menurunnya sumbangan sektor pertanian dipihak lain (Todaro, 2000:89). Hal ini

menunjukkan salah satu indikator berkembang atau tidaknya suatu perekonomian

adalah dilihat dari sumbangan sektor-sektor industri dan jasa dalam PDRB berarti

perekonomian suatu negara atau daerah semakin maju. Sedangkan disisi lain

perkembangan ekonomi akan berpengaruh pada peningkatan penerimaan daerah.

Semakin berkembangnya ekonomi suatu daerah maka semakin besar besar

sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh peneriman.

Perubahan struktur produksi yang terjadi pada saat perekonomian tumbuh

bias hanya ditunjukkan oleh semakin rendahnya peran sektor pertanian dalam

perekonomian nasional dan semakin tingginya peran sektor lain diluar sektor

pertanian. Seperti halnya suatu proses perubahan struktur ekonomi bagi suatu

negara maka proses perubahan ekonomi bagi suatu daerah ini dapat diamati

dengan mengamati perubahan rasio antara lain (Susanti dkk, 2000 : 5):

a. Nilai Tambah Bruto (NTB) sektor pertanian terhadap PDRB.

b. NTB sektor-sektor non pertanian terhadap PDRB.

Page 59: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

73

Dengan membandingkan rasio-rasio tersebut akan terlihat apakah pertumbuhan

pendapatan per kapita pada suatu negara/daerah juga disertai dengan perubahan

struktur yang umum terjadi.

b. Penerimaan Daerah

Penerimaan daerah sendiri adalah seluruh penerimaan daerah yang

berasal dari pendapatan asli daerah, bagian dari penerimaan pajak bumi dan

bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, penerimaan dari sumber

daya alam. Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 sebagaimana telah disebutkan

pada bagian di atas, penerimaan yang bersumber dari SDA terdiri dari bagian dari

penerimaan dari sektor pertambangan umum, sektor kehutanan, sektor perikanan

dan migas. Terdapat dua unsur penting dalam Penerimaan Daerah, yakni potensi

asli daerah dan pengelolaannya sepenuhnya (atau sebagian) oleh daerah. Dalam

konteks pembiayaan pembangunan daerah, yang dimaksud dengan potensi asli

daerah adalah seluruh sumber daya daerah yang mempunyai potensi untuk

dikembangkan sehingga memberi nilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan

sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah. Sedangkan pengelolaan

sepenuhnya oleh daerah, berarti penyerahan seluruh atau sebagaian hasil suatu

pengelolaan sumber daya daerah kepada daerah yang bersangkutan (Sampurna,

1998 : 58).

Sebagaimana diketahui bahwa prinsip otonomi yang dianut adalah

otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata dalam arti bahwa pemberian

otonomi pada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor perhitungan dan

tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah

Page 60: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

74

yang bersangkutan secara nyata mengurus dan mengatur rumah tangganya

sendiri. Bertanggung jawab dalam arti pemberian otonomi haruslah sejalan

dengan tujuannya yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh

pelosok negara yang serasi dan atau tidak bertentangan dengan pengarahan-

pengarahan yang telah ditetapkan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan

beragama, menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Hal ini berarti

daerah dituntut kemampuannya dalam mengurus urusan-urusan yang telah

diserahkan menjadi urusan rumah tangganya sendiri, termasuk didalamnya

kemampuan membiayai pelaksanaan urusan-urusan tersebut.

Agar daerah dapat mengurus dan mengatur rumah tangganya dengan

sebaik-baiknya, maka aspek penting yang perlu dipertimbangkan adalah sumber-

sumber pendapatan yang dikuasai daerah (Simanjuntak, 1999 : 6). Namun bukan

berarti dengan adanya otonomi, daerah tidak perlu mendapat bantuan dari pusat.

Isu di sini adalah ada dan berlakunya “keleluasaan tertentu” (discretion at the

margin). Artinya daerah punya kewenangan untuk ikut menentukan ataupun

memilih (sampai tahap tertentu) beberapa aspek pelayanan masyarakat di

wilayahnya, walaupun daerah hanya membiayai (misalnya) 20 % dari anggaran

aktivitas itu.

salah satu indikator untuk mengukur kemampuan keuangan daerah dalam

melaksanakan otonomi daerah adalah indeks kemampuan rutin yaitu

perbandingan PAD dengan pengeluaran rutin atau administrasi pemerintahan

daerah.. Dalam arti kata sekurang-kurangnya kemampuan keuangan yang

bersumber dari potensi ekonomi daerah baik yang dikelola sepenuhnya/sebagaian

Page 61: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

75

oleh daerah sensiri dapat mencukupi pengeluaran rutin atau administrasi

pemerintahan daerah. (Radianto, 1997:40, Thoha dan Soekarni 2000 : 47).

Semakin tinggi tingkat perkembangan ekonomi suatu daerah maka

semakin tinggi tingkat kemampuan keuangan daerah melaksanakan otonomi

daerah atau tingkat otonomi fiskal daerah (Radianto, 1997:49). Dalam kondisi

otonomi fiskal, kabupaten/kota dituntut untuk tidak saja dapat lebih

meningkatkan kemandiriannya dalam pembiayaan pembangunan daerah, tetapi

juga melayani sektor swasta atau dunia usaha yang semakin meningkat kegiatan

daerahnya.

B. Kerangka Pemikiran

Pendapatan Asli Daerah dilihat dari segi penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi memiliki arti yang sangat

penting karena merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena merupakan

soko guru dari kelestarian otonomi dan merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap kemampuan administrasi daerah. Hal ini sesuai dengan apa

yang dikatakan oleh Widjaja (1998:106) bahwa terdapat lima variabel sebagai faktor

pokok untuk mengukur kemampuan sesuatu daerah untuk berotonomi. Lima variabel

tersebut adalah : pertama, kemampuan keuangan daerah yang nilainya ditentukan

oleh berapa besar peranan Pendapatan Asli Daerah terhadap jumlah pembiayaan

daerah. Kedua, kemampuan aparatur. Ketiga, partisipasi masyarakat. Keempat,

variabel ekonomi. Kelima, variabel demografi.

Page 62: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

76

Salah satu unsur penting dalam Penerimaan Asli Daerah ini adalah Pajak

Daerah. Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah merupakan sumber pendapatan

daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya

dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah, yang merupakan salah satu

komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

penerimaan daerah secara keseluruhan.

Menurut Sidik (2002:7) peranan PAD dalam membiayai kebutuhan

pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10%

hingga 50%. Sebagian besar daerah Propinsi hanya dapat membiayai kebutuhan

pengeluarannya kurang dari 10%. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi

dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya

menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga

sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi

dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak daerah dalam pembiayaan yang

sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar

dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif

mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan

pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.

Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari

‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh

kepada Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial (yang tentunya

Page 63: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

77

dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti : pajak

penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan selama ini

menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat

sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya

sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah)

Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-sumber penerimaan pajak tersebut

memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”. (Sidik,

2002 : 9).

Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu

terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki

kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri,

mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada

bantuan Pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD khususnya pajak dan

retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh

kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar

dalam sistem pemerintahan negara.

Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu

dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu diperlukan

intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan. Dalam jangka pendek

kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan

intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama

Page 64: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

78

melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi

sumber atau obyek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas PAD

tanpa harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang

memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi informasi

secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak diperlukan karena sistem

pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal. Masalah

ini tercermin pada sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan

masih banyaknya sistem berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan

informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak

up-to-date. Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya :

baik dalam hal data wajib pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan

pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak optimal.

Ketidakberhasilan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah –yang

dalam hal ini adalah pajak daerah sebagai unsur penting PAD dan selalu

menggantungkan diri kepada sumbangan dan bantuan Pemerintah Pusat dalam

membiayai urusan rumah tangganya sendiri akan berakibat rendahnya kualitas

otonomi daerah itu sendiri.

Potensi ekonomi daerah yang menjadi sumber pendapatan asli daerah sampai

saat ini belum digali dan dikembangkan secara optimal yang disababkan antara lain

karena keterbatasan dana yang ada pada pemerintah. Untuk itu diperlukan

kemampuan pemerintah daerah untuk mendorong pihak swasta berperan aktif dalam

pembangunan. Hal ini dapat dicapai jika pemerintah daerah mampu memberi insentif

kepada pihak swasta dan masyarakat melalui peningkatan pembangunan

Page 65: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

79

infrastrukstur dan peraturan daerah. Masalah ini akan memberikan peluang kepada

Pemerintah Daerah untuk lebih meningkatkan PDRB daerahnya, sebagai salah satu

indikator yang dapat dijadikan ukuran kemampuan masyarakat untuk membayar

pajak dan retribusi.

Dengan demikian, adalah sangat penting bagi penulis untuk mengetahui

kemampuan daerah dalam mengumpulkan pajak daerahnya sebagai salah satu

indikator kemandirian daerah dengan cara menganalisis penerimaan pajak daerahnya

serta menganalisis bagaimana daerah menyelenggarakan administrasi perpajakan

daerah serta efektivitas pemungutannya.

Analisis penerimaan pajak daerah adalah dengan cara mengexplorasi

penerimaan pajak daerah tersebut dengan statistical equipment yaitu dengan melihat

perkembangannya setiap tahun, kontibusi pajak daerah terhadap PAD, laju

perkembangannya dan variasi penerimaan pajak daerah serta melakukan analisis

terhadap kinerja pajak daerah (Salomo dan Ikhsan, 2002:107) yang terdiri dari tiga

hal yaitu analisis mengenai :

1. Tax effort (upaya pajak) yang terdiri dari :

a. Tax Ratio (rasio pajak)

b. Tax Elasticity (elastisitas pajak daerah)

2. Tax Effectiveness (hasil guna pajak)

3. Tax Efficiency (daya guna pajak)

Selain itu, penulis melakukan analisis terhadap penyelenggaraan administrasi

pajak daerah yang bertumpu pada tiga hal yaitu masalah institusi atau

Page 66: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep

80

kelembagaannya, masalah kepegawaiannya dan masalah kegiatan atau aktivitas

pemungutan pajak daerah (Mansyuri, 1994 : 43)

Agar lebih mudah memahami mengenai kerangka pemikiran yang

diungkapkan oleh penulis, maka dapat dilihat bagan berikut ini :

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran

Analisis Penerimaan : - kontribusi - laju perkembangan - varians - kinerja pajak daerah

Analisis Administrasi Pajak Daerah : - Institusi - Pegawai - Kegiatan

Analisis Penerimaan dan Administrasi Pajak Daerah