Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepuasan Perkawinan
1. Pengertian kepuasan Perkawinan
Alasan utama yang mendasari seseorang untuk melakukan perkawinan
adalah untuk mendapatkan dan memiliki teman hidup dan mendapatkan kepuasan
psikologis dari perkawinan tersebut (Widyarini, 2009). Kepuasan perkawinan
adalah evaluasi subjektif seseorang mengenai kualitas keseluruhan dari
perkawinan yang dijalankan. Kepuasan perkawinan tersebut dapat dilihat dari
sejauh mana kebutuhan, harapan, dan keinginan dari pasangan suami istri
terpenuhi dalam perkawinan yang dijalani. ( Bahr, Chappell, & Leigh, 1983).
Emily & Todd (2007) menyatakan bahwa kepuasan perkawinan adalah
kondisi mental yang mencerminkan kebaikan atau manfaat dan penghargaan yang
dirasakan oleh sebagian orang dalam sebuah perkawinan. Menurut Roach dkk
(1981) kepuasan perkawinan adalah persepsi seseorang terhadap kehidupan
perkawinan yang diukur berdasarkan kesenangan yang dirasakan dalam jangka
waktu tertentu. Lebih lanjut menurut Mitchell & Boster (1998) kepuasan
perkawinan adalah tingkat perasaan positif yang dirasakan oleh individu yang
menikah berkaitan dengan tingkat komunikasi pasangan, seberapa baik konflik
diselesaikan dan bagaimana masalah diuraikan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan adalah perasaan
positif yang dirasakan oleh individu yang sudah menikah terhadap perkawinan
18
yang berkaitan dengan kebaikan atau manfaat, penghargaan, kesenangan yang
dirasakan, tingkat komunikasi pasangan, seberapa baik konflik diselesaikan dan
bagaimana masalah diuraikan.
2. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan
Snyder (1979) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek yang bisa
dijadikan tolok ukur kepuasan perkawinan yaitu:
a. Kelaziman (conventionalization / CNV)
Aspek Kelaziman mencerminkan kecenderungan seseorang untuk
menilai perkawinan menurut kriteria yang diidealkan oleh masyarakat.
b. Penderitaan secara umum (Global Distress / GDS)
Penderitaan secara umum yang dimaksud adalah mencerminkan
ketidakpuasan individu terhadap perkawinan secara umum.
c. Komunikasi Afektif (Affective Communication / AFC)
Komunikasi Afektif meliputi ketidakpuasan individu secara
menyeluruh terhadap afeksi dan pengertian yang diberikan oleh pasangan.
d. Komunikasi dalam Pemecahan Masalah (Problem-Solving
Communication / PSC)
Komunikasi dalam Pemecahan Masalah dalam hal ini adalah
ketidakcakapan komunikasi untuk memecahkan masalah dan
ketidakkemampuan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atau
perselisihan yang dialami oleh pasangan suami istri.
19
e. Jadwal kebersamaan (Time Together / TTO)
Aspek ini mencerminkan kurangnya minat kebersamaan kesediaan
dan ketidakpuasan terhadap kualitas dan kuantitas dalam pengunaan waktu
bersama pasangan.
f. Kesepakatan mengenai Pengelolaan Keuangan (Disagreement About
Finances / FIN)
Aspek ini melaporkan tentang adanya ketidaksepakatan dalam
pengelolaan keuangan keluarga.
g. Kepuasan Seksual (Sexual Disatisfaction / SEX)
Aspek ini menilai tentang ketidakpuasan mengenai frekuensi dan
kualitas dari hubungan dan aktivitas seksual lainnya.
h. Orientasi Peran (Role- Orientation / ROR)
Aspek ini adalah tentang orientasi peran yang dipakai dalam
perkawinan maupun fungsi sebagai orangtua, termasuk di dalamnya peran
jenis.
i. Sejarah atau pengalaman Keluarga mengenai kesedihan atau
penderitaan (Family History of Distress / FAM)
Aspek ini adalah tentang masa kecil yang tidak bahagia dan
ketidakharmonisan perkawinan yang dialami oleh orang tua dari pasangan
suami istri dan keluarga besar yang lain.
20
j. Ketidakpuasan terhadap anak (Dissatisfaction With Children / DSC)
Aspek ini adalah tentang ketidakpuasan dalam hal peran sebagai
orang tua dan kekecewaan terhadap anak hasil perkawinan; dan
k. konflik perbedaan cara mendidik anak (Conflict Over Childrearing /
CCR)
Aspek ini mengenai perhatian pasangan suami istri yang
berhubungan dengan konflik kebiasaan mengasuh anak.
Sepuluh tahun setelah Snyder melakukan penelitian mengenai aspek-aspek
di atas, Fowers & Olson (1989) mencoba merumuskan kembali aspek-aspek
kepuasan perkawinan yakni menjadi:
a. Kepribadian
Aspek ini berhubungan dengan persepsi seseorang terhadap
pasangan melalui pengamatan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
kepribadian dan tingkatan perasaan memuaskan pada aspek kepribadian
tersebut. Perasaan memuaskan disini adalah pasangan suami istri dapat
saling menerima, mengerti dan memahami faktor-faktor kepribadian
seperti sifat, sikap, dan perilaku pasangan yang berbeda dengan sifat,
sikap, dan perilaku individu yang bersangkutan dan sulit untuk diubah
seperti hobi dan sifat pribadi (Lestari, 2012).
b. Komunikasi
Aspek ini berhubungan dengan perasaan dan sikap individu
mengenai komunikasi dalam hubungan perkawinan yang dijalani. Aspek
21
ini fokus terhadap tingkat perasaan senang terhadap kedekatan dengan
pasangan dalam berbagi dan menerima pesan emosional dan kognitif.
Komunikasi merupakan aspek terpenting dalam perkawinan,
karena berkaitan dengan hampir semua aspek dalam hubungan suami istri
(Lestari, 2012). Hasil dari semua diskusi dan pengambilan keputusan
dalam keluarga,yang mencakup masalah kepribadian, penanganan
konflik, menejemen keuangan keluarga, aktivitas di waktu luang,
hubungan seksual, anak, orang tua, keluarga dan teman, kesetaraan peran,
dan orientasi religius serta pengungkapan perasaan, hasrat, dan kebutuhan
semua akan bergantung pada gaya, pola, dan ketrampilan komunikasi yang
digunakan anggota keluarga. Laswell (1991) membagi komunikasi
perkawinan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara
pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan
untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap
pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi pendengar yang baik
(listening skill).
Jadi pada poin ini, aspek komunikasi pasangan bisa diasumsikan
terpenuhi apabila pasangan dapat menggunakan gaya, pola, dan
keterampilan berkomunikasi yang baik dan efektif serta menjadikan
keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, empati, dan keterampilan mendengar
yang baik sebagai landasan atau dasar dari komunikasi dalam keluarga
sehingga pesan yang disampaikan baik berupa pesan emosional maupun
kognitif dapat tersampaikan dengan baik pada pasangan yang akan
22
memberikan perasaan senang pada kedua belah pihak yang berkomunikasi
(Lestari, 2012).
c. Penanganan Konflik
Aspek ini merupakan persepsi pasangan suami istri terhadap suatu
masalah yang timbul dalam hubungan perkawinan yang dijalani dan
bagaimana suami istri tersebut menyelesaikan masalah tersebut. Aspek ini
fokus pada keterbukaan dari pasangan suami istri untuk memahami dan
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam perkawinan dan strategi yang
digunakan serta proses untuk menyelesaikan perdebatan yang terjadi
karena masalah tersebut.
d. Pengelolaan Keuangan
Aspek ini fokus pada sikap dan pemahaman mengenai cara
mengelola masalah ekonomi dalam perkawinan. Aspek ini menilai tentang
pola pengeluaran dan perhatian pada bagaimana keputusan keuangan
dibuat.
Pengelolaan keuangan dalam keluarga merupakan pokok dari
persoalan ekonomi dalam keluarga seperti perbedaan pasangan suami istri
dalam hal pembelanjaan dan penghematan uang, perbedaan pandangan
pasangan suami istri tentang makna uang, serta perencanaan dalam
berinvestasi (Lestari, 2012). Keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran dalam rumah tangga harus menjadi tanggungjawab bersama
antara suami dan istri.
23
e. Aktifitas di Waktu Luang
Aspek ini menilai tentang pemilihan kegiatan yang dipilih untuk
menghabiskan waktu luang, pilihan kegiatan yang lebih disukai oleh
pasangan suami istri dalam menghabiskan waktu luang. Aspek ini
merefleksikan pilihan kegiatan yang diambil oleh pasangan suami istri
seperti ; melibatkan orang lain atau bersifat personal, pilihan yang disukai
bersama atau pilihan masing-masing, dan harapan-harapan dalam mengisi
waktu luang bersama pasangan.
f. Hubungan seksual
Aspek ini meneliti bagaimana perasaan pasangan suami istri
mengenai hubungan seksual dan kasih sayang dalam perkawinan. Aspek
ini merefleksikan cara berpikir pasangan suami istri mengenai masalah
seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan dalam
berhubungan seksual.
Kualitas hubungan seksual dalam perkawinan merupakan kekuatan
penting bagi kebahagiaan atau kepuasan pasangan, maka kualitas tersebut
perlu dijaga dan ditingkatkan melalui komunikasi seksualitas yang baik
antara pasangan suami istri (Lestari, 2012). Komunikasi seksualitas yang
baik akan membantu pasangan untuk saling memahami perspektif masing-
masing terhadap kebutuhan dan ketertarikan seksual.
24
g. Anak dan Orang tua
Aspek ini menilai sikap dan perasaan suami istri tentang memiliki
anak dan konsep pendidikan yang akan dipilih untuk mendidik anak.
Aspek ini fokus pada bagaimana orang tua memutuskan peraturan untuk
anak, harapan-harapan, atau cita-cita orang tua terhadap anak dan
pengaruh kehadiran anak pada hubungan pasangan suami istri.
h. Keluarga dan Teman
Aspek ini menilai tentang perasaan dan perhatian pasangan
terhadap sanak saudara, saudara ipar, dan teman-teman. Aspek ini
merefleksikan harapan untuk merasa nyaman dengan melewatkan waktu
bersama keluarga dan teman.
Keluarga sebagai family of origin banyak mempengaruhi
kepribadian individu, selain itu adanya keterlibatan orang tua dalam
kehidupan perkawinan dapat memperkuat atau memperlemah kualitas
hubungan pasangan suami istri. Sedangkan teman, sering kali menjadi
penyangga bagi pasangan suami istri ketika sedang menghadapi sebuah
masalah, yakni sebagai tempat mencurahkan isi hati terkait permasalahan
yang sedang terjadi, meminta pertimbangan dalam mencari alternatif
solusi, dan tempat meminta bantuan (Lestari, 2012).
i. Kesetaraan Peran
Aspek ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran
dalam perkawinan dan keluarga. Aspek ini fokus pada pembagian tugas,
25
hal-hal yang berkaitan dengan rumahtangga, seks, dan peran sebagai
orangtua.
Pada aspek ini kepuasan dikatakan tinggi apabila dalam
perkawinan tersebut menggunakan pembagian tugas dan peran yang
mengidentifikasikan persamaan derajat. Persamaan derajat yang dimaksud
adalah adanya pembagian tugas dan peran yang tidak bersifat kaku dan
dapat disesuaikan melalui kesepakatan yang dibuat bersama berdasarkan
situasi yang sedang dihadapi oleh pasangan yakni bertukar tanggungjawab
dan mengubah peran pada saat-saat yang diperlukan seperti apabila istri
sedang sakit, suami dapat menggantikan tugas untuk memasak atau
membantu istri membersihkan rumah (Lestari, 2012).
j. Orientasi Religius
aspek ini adalah tentang kepercayaan beragama dan praktek dalam
kehidupan perkawinan. Kepuasan ibu dapat dinilai tinggi apabila
menunjukkan bahwa agama adalah bagian yang penting dalam
perkawinan. Hal tersebut diwujudkan dalam keterlibatan suami istri secara
rutin dalam kegiatan keagamaan baik suami istri secara rutin dalam
kegiatan keagamaan baik yang bersifat individu maupun kemasyarakatan
(Lestari, 2012). Menjadikan keimanan sebagai tempat berlindung ketika
berada dalam situasi tidak berdaya, terpuruk, atau menderita setelah
mengalami suatu tragedi atau masalah (Lestari, 2012).
26
Berdasarkan kedua teori mengenai Aspek-aspek kepuasan perkawinan di
atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kepuasan perkawinan meliputi:
meliputi kepribadian, komunikasi, penanganan konflik, menejemen keuangan
keluarga, aktivitas di waktu luang, hubungan seksual, anak dan orang tua,
keluarga dan teman, kesetaraan peran, dan orientasi religious, kelaziman,
penderitaan secara umum, komunikasi afektif, komunikasi dalam pemecahan
masalah, jadwal kebersamaan, ketidaksepakatan mengenai keuangan,
ketidakpuasan seksual, orientasi peran, sejarah atau pengalaman keluarga
mengenai kesedihan atau penderitaan, ketidakpuasan terhadap anak, dan konflik
perbedaan cara mendidik anak. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek kepuasan
perkawinan dari Olson dan Fower (1989) yaitu meliputi kepribadian, komunikasi,
penanganan konflik, menejemen keuangan keluarga, aktivitas di waktu luang,
hubungan seksual, anak dan orang tua, keluarga dan teman, kesetaraan peran, dan
orientasi religius untuk mengukur kepuasan perkawinan pada ibu. Hal ini
dikarenakan aspek-aspek tersebut sering digunakan dalam penelitian-penelitian
lain dan lebih mudah dipahami oleh peneliti. Selain itu aspek-aspek kepuasan
perkawinan dari Olson dan Fower (1989) lebih baru dari pada aspek-aspek
kepuasan perkawinan dari Snyder (1979).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan
Berk (2012) menuliskan faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan
perkawinan. Faktor-faktor tersebut yaitu:
27
a. Latar Belakang Keluarga
Latar belakang keluarga yang berbeda akan mempengaruhi
kepuasan perkawinan baik suami atau istri. Pasangan suami istri yang
mirip dari sisi SES (Sosioeconomic Status), pendidikan, agama, dan usia
cenderung akan memiliki kepauasan perkawinan dibanding pasangan
suami istri yang berbeda dari sisi SES (Sosioeconomic Status),
pendidikan, agama, dan usia.
b. Usia Saat Menikah
Dalam Berk (2012) pasangan yang menikah pada saat berusia 23
tahun atau lebih akan cenderung lebih memiliki kepuasan perkawinan
lebih tinggi dibanding pasangan yang menikah pada saat berusia kurang
dari 23 tahun saat menikah. Sedangkan dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun dan untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua
orang tua. Pendapat tentang usia ideal untuk menikah memang
bermacam-macam, namun dapat disimpulkan dari beberapa pendapat
yang muncul usia ideal saat menikah adalah antara usia 20 tahun sampai
30 tahun.
28
c. Lama Pacaran
Lama pacaran minimal tujuh bulan menurut Berk (2012) dapat
mempengaruhi kepuasan perkawinan seseorang. Lama pacaran kurang
dari tujuh bulan kemungkinan dapat memprediksikan suatu perkawinan
akan tidak bahagia. Namun dalam agama islam pacaran hukumnya haram,
jadi menurut islam lama pacaran tidak mempengaruhi tingginya kepuasan
perkawinan.
d. Waktu Kehamilan Pertama
Waktu kehamilan pertama yang ideal menurut Berk (2012) adalah
setelah tahun pertama perkawinan. Sedangkan yang kurang ideal adalah
sebelum tahun pertama perkawinan atau setelah tahun pertama
perkawinan. Hal tersebut dikarenakan pasangan suami istri yang telah
menikah selama satu tahun diharapkan telah mengerti satu sama lain
sehingga lebih siap menghadapi masa kehamilan.
e. Hubungan dengan Keluarga Besar
Hubungan dengan keluarga besar yang hangat dan positif akan
membuat kepuasan suami maupun istri meningkat. Sedangkan hubungan
dengan keluarga besar yang negatif dan adanya keinginan untuk menjaga
jarak dengan keluarga besar pasangan akan membuat rumah tangga
menjadi tidak bahagia.
f. Pola Pernikahan dalam Keluarga Besar
Apabila pola perkawinan dalam keluarga besar cenderung stabil
dan tidak ada keluarga besar yang bercerai khususnya orangtua kedua
29
pasangan suami istri, maka kemungkinan keduanya juga akan memiliki
pola perkawinan yang stabil. Sehingga kemungkinan juga akan memiliki
kepuasan yang tinggi terhadap perkawinan.
g. Status Keuangan dan Kerja
Tidak dapat dipungkiri lagi status keuangan dan pekerjaan
seseorang akan berpengaruh pada keluarga, terlebih status keuangan dan
pekerjaan suami yang notabene bertugas sebagai pencari nafkah. Apabila
status keuangan keluarga aman, maka kemungkinan perkawinan keluarga
tersebut akan bahagia.
h. Tanggungjawab Keluarga
Tanggungjawab keluarga adalah meliputi peran serta tugas masing-
masing anggota keluarga. Perkawinan yang bahagia atau memuaskan
akan terdapat keadilan dalam pembagian tugas rumahtangga, pembagian
tugas dilaksanakan dengan musyawarah, tanggungjawab dalam keluarga
dipikul bersama-sama.
Tanggungjawab keluarga meliputi banyak hal salah satunya adalah
tanggungjawab dalam pengasuhan anak. Menurut penelitian Falslev
(2010) keterlibatan suami dalam pengasuhan anak dapat mempengaruhi
kepuasan perkawinan istri. Keterlibatan suami dalam pengasuhan anak
dapat menekan tingkat depresi pada istri saat memiliki anak sehingga
dapat meningkatkan kepuasan perkawinan istri.
30
i. Karakter Kepribadian
Karakter kepribadian yang baik adalah emosi yang positif dan
memiliki keterampilan dalam menyelesaikan masalah dengan baik.
Apabila emosi pasangan suami istri negatif dan meledak-ledak serta
buruk dalam menyelesaikan masalah tentu akan menjadi tekanan bagi
pasangan tersebut sehingga akan menurunkan kepuasan perkawinan
pasangan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa faktor – faktor
yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah latar belakang keluarga, usia
saat menikah, lama pacaran, waktu kehamilan pertama, hubungan dengan
keluarga besar, pola perkawinan dalam keluarga besar, status keuangan dan kerja,
tanggungjawab keluarga, dan karakter kepribadian. Penulis memilih salah satu
faktor yaitu faktor tanggungjawab keluarga. Tanggung jawab dalam pengasuhan
anak merupakan salah satu bagian dari faktor tersebut. Berdasarkan faktor
tanggung jawab keluarga yang mempengaruhi kepuasan perkawinan tersebut,
peneliti tertarik untuk faktor persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam
pengasuhan anak yang mempengaruhi kepuasan perkawinan pada istri.
Alasan pemilihan faktor persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam
pengasuhan anak adalah didasarkan pada penelitian Falslev (2010) yang
menyatakan bahwa keterlibatan suami dalam tanggungjawab pengasuhan anak
dikaitkan dengan stres istri dalam tugas-tugas sebagai orangtua. Stres seorang istri
dalam tugas-tugas orangtua sangat erat kaitannya dengan kepuasan
perkawinannya. Sehingga keterlibatan seorang suami dalam tanggung jawab
31
pengasuhan anak juga berkaitan erat dengan kepuasan perkawinan istri. Jadi
semakin tinggi keterlibatan suami dalam pengasuhan anak maka semakin tinggi
kepuasan perkawinan pada istri.
B. Persepsi Istri terhadap Keterlibatan Suami dalam Pengasuhan Anak
1. Pengertian Persepsi Istri terhadap Keterlibatan Suami dalam
Pengasuhan Anak
Ketertarikan terhadap peran ayah sebagai orang tua yang aktif,
merawat, dan perhatian mulai muncul pada tahun 1970-an. Peran ayah tidak
lagi sebatas bertanggungjawab terhadap disiplin dan pengendalian anak dan
menyediakan kebutuhan ekonomi keluarga, peran ayah sekarang juga dinilai
dalam hal keterlibatan aktif dalam merawat anak-anak (McBride, dalam
Santrock 2003).
Pada penelitian ini keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang
diteliti tidak secara langsung dilakukan dengan mengambil ayah sebagai
subyek penelitian, tetapi diwakilkan oleh ibu sebagai istri dengan meneliti
persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak.
Persepsi merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap
stimulus yang diindera oleh seorang individu sehingga menjadi sesuatu yang
berarti bagi individu yang bersangkutan tersebut (Walgito, 2004). Menurut
kamus psikologi, persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan
kejadian objektif dengan bantuan indera (Chaplin, 2011). Keterlibatan suami
dalam pengasuhan anak di sini merupakan stimulus yang diindera oleh istri
32
sehingga persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak
ialah hasil penilaian istri dari proses istri menganalisa keterlibatan suami
dalam pengasuhan anak melalui indera yang dimiliki istri.
Pengertian keterlibatan suami dalam pengasuhan anak diadaptasi dari
pengertian keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang menurut Palkovits
(2002) adalah seberapa besar usaha atau peran suami dalam berpikir,
merencanakan, merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi,
mengkhawatirkan, serta berdoa bagi anak. Menurut Palkovits (2002),
keterlibatan suami dalam pengasuhan anak adalah suami terlibat pada seluruh
aktivitas yang dilakukan oleh anak seperti mandi, makan, belajar, bermain,
dan sebagainya baik yang dilakukan langsung bersama anak atau hanya
dengan memantau aktivitas yang dilakukan anak baik dengan hadir langsung
pada lingkungan tempat anak beraktivitas atau secara tidak langsung, seperti
memantau lewat telepon dan sebagainya, suami melakukan kontak dengan
anak baik langsung maupun tidak langsung, suami mendukung kebutuhan
anak baik dengan dukungan finansial maupun dukungan moril. Dukungan
finansial di sini dapat berupa biaya pendidikan, kesehatan, tabungan, dan lain-
lain, sedangkan dukungan moril dapat berupa doa, pujian, semangat, dan lain-
lain (Palkovitz, 2002).
Lebih lanjut, menurut Lamb, dkk (dalam Palkovits, 2002) keterlibatan
ayah, dalam pengasuhan anak dapat disebut dengan istilah Paternal
Involvement. Menurut Lamb, dkk (dalam Palkovits, 2002) Paternal
Involvement adalah keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang meliputi 3
33
komponen dasar yaitu paternal engagement, aksesbilitas, dan tanggungjawab
dan peran dalam hal menyusun rencana pengasuhan bagi anak.
Selanjutnya, pengertian keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak
tersebut penulis gunakan sebagai acuan menyusun pengertian persepsi istri
terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak. Jadi dapat disimpulkan
bahwa persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak
adalah hasil penilaian istri terhadap seberapa besar usaha atau peran suami
terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam seluruh aktivitas
yang dilakukan oleh anak, melakukan kontak dengan anak, dukungan
finansial, dukungan moril, aktivitas bermain anak, tanggungjawab & peran
dalam hal menyusun rencana pengasuhan bagi anak, berpikir, merencanakan,
merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, mengkhawatirkan,
serta berdoa bagi anak.
2. Aspek-Aspek Persepsi Istri terhadap Keterlibatan Suami dalam
Pengasuhan Anak
Lamb,dkk (dalam Palkovits, 2002) membagi keterlibatan ayah dalam
3 komponen yaitu ;
a. Paternal engagement: pengasuhan yang melibatkan adanya interaksi
langsung antara ayah dan anak. Ayah dan anak berinteraksi secara
langsung, terlibat dalam suatu kejadian suatu kegiatan secara bersama-
sama. Terjadi kontak dua arah antara ayah dan anak misalnya lewat
bermain, mengajari sesuatu, atau aktivitas santai lainnya.
34
b. Aksesibilitas atau bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yg
lebih rendah dari paternal engagement. Keterlibatan pada dimensi ini,
ayah berada di dekat anak atau anak masih dalam area yang
terjangkau oleh ayah baik secara langsung maupun tidak langsung,
tetapi ayah tidak melakukan interaksi secara langsung dengan anak.
Jadi interaksi dengan anak dilakukan pada saat dibutuhkan saja.
Seperti ayah menelepon anak dari kantor saat jam makan siang,
memastikan bahwa anak telah makan dengan baik, ayah menemani
anak bermain diruang keluarga tetapi ayah tidak ikut bermain dengan
anak ayah hanya mengawasi anak bermain sambil membaca koran dan
apabila tiba-tiba anak memerlukan bantuan ayah, ayah akan berhenti
membaca koran dan membantu anak.
c. Tanggung jawab dan peran dalam hal menyusun rencana pengasuhan
bagi anak. Bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak
ditunjukkan dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan, dan
pengaturan. Contohnya dalam hal merencanakan keuangan untuk
kebutuhan dan pendidikan anak, merencanakan dan mengambil
keputusan untuk cara mendidik anak, merencanakan dan mengambil
keputusan untuk menentukan aturan-aturan yang harus ditaati anak
dalam keluarga, dan sebagainya.
Selanjutnya aspek keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak menurut
Lamb (dalam Palkovits, 2002) penulis gunakan sebagai aspek-aspek persepsi istri
terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak.
35
A. Hubungan Antara Persepsi Istri terhadap Keterlibatan Suami dalam
Pengasuhan Anak dengan Kepuasan Pernikahan Istri
Keterlibatan suami dalam pengasuhan anak seperti telah dijelaskan
sebelumnya terdiri atas tiga komponen, yang pertama adalah paternal engagement.
paternal engagement yang dimaksud disini menurut Lamb, dkk (dalam Palkovits,
2002) adalah istri mempersepsi adanya interaksi langsung antara suami dan anak.
suami dan anak berinteraksi secara langsung, terlibat dalam suatu kejadian suatu
kegiatan secara bersama-sama. Terjadi kontak dua arah antara suami dan anak.
Kegiatan tersebut misalnya dapat berupa bermain bersama dengan anak, seperti
mengelitik anak, bermain sepak bola pada anak laki-laki, atau bermain boneka
pada anak perempuan, dan permainan-permainan lain yang dapat dilakukan
bersama. Kegiatan bermain tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan
partisipasi istri ataupun tidak. Dengan adanya partisipasi istri dalam kegiatan
bermain suami dan anak dan kegiatan tersebut dibuat dan direncanakan bersama
dalam rangka menghabiskan waktu luang, berarti dapat istri merasa puas dengan
pemilihan kegiatan bersama pasangan di waktu luang yang termasuk dalam aspek
aktifitas di waktu luang (Fowers & Olson, 1989). Aspek ini menilai tentang
pemilihan kegiatan yang dipilih untuk menghabiskan waktu luang, pilihan
kegiatan yang lebih disukai oleh pasangan suami istri dalam menghabiskan waktu
luang. Aspek ini merefleksikan pilihan kegiatan yang diambil oleh pasangan
suami istri seperti ; melibatkan orang lain atau bersifat personal, pilihan yang
disukai bersama atau pilihan masing-masing, dan harapan-harapan dalam mengisi
waktu luang bersama pasangan (Fowers & Olson, 1989).
36
Selain bermain bersama, suami mengajarkan anak tentang agama dan
beribadah bersama anak secara langsung seperti mengajarkan tata cara sholat pada
anak dan kemudian mengimami anak dan istri ketika melaksanakan sholat
berjamaah juga termasuk dalam paternal engagement dan hal tersebut
diasumsikan dapat meningkatkan kepuasan perkawinan istri pada aspek Orientasi
Religius (Olson&Fower, 1989). Kepuasan istri dapat dinilai tinggi apabila
menunjukkan bahwa agama adalah bagian yang penting dalam perkawinan. Hal
tersebut diwujudkan dalam keterlibatan suami istri secara rutin dalam kegiatan
keagamaan baik suami istri secara rutin dalam kegiatan keagamaan baik yang
bersifat individu maupun kemasyarakatan (Lestari, 2012).
Aksesibilitas, yaitu suami berada di dekat anak atau anak masih dalam
area yang terjangkau oleh suami baik secara langsung maupun tidak langsung,
tetapi suami tidak melakukan interaksi secara langsung dengan anak. Jadi
interaksi dengan anak dilakukan pada saat dibutuhkan saja (Palkovitz, 2002).
Contohnya suami menelepon anak dari kantor saat jam makan siang, memastikan
bahwa anak telah makan dengan baik, suami menemani anak bermain diruang
keluarga tetapi suami tidak ikut bermain dengan anak. Suami hanya mengawasi
anak bermain sambil membaca koran misalnya dan apabila tiba-tiba anak
memerlukan bantuan ayah, suami akan berhenti membaca koran dan membantu
anak. Kesediaan suami terlibat dalam pengasuhan anak pada dimensi aksesibilitas
menunjukkan sikap positif ayah sebagai suami yang menyadari dan bersedia ikut
memenuhi tugas sehari-hari istri terkait pengasuhan anak dapat memprediksikan
kestabilan atau meningkatkan kepuasan perkawinan istri khususnya pada aspek
37
kesetaraan peran (Berk, 2012). Pada aspek ini kepuasan dikatakan tinggi apabila
dalam perkawinan tersebut menggunakan pembagian tugas dan peran yang
mengidentifikasikan persamaan derajat. Persamaan derajat yang dimaksud adalah
adanya pembagian tugas dan peran yang tidak bersifat kaku dan dapat disesuaikan
melalui kesepakatan yang dibuat bersama berdasarkan situasi yang sedang
dihadapi oleh pasangan yakni bertukar tanggungjawab dan mengubah peran pada
saat-saat yang diperlukan seperti apabila istri sedang sakit, suami dapat
menggantikan tugas untuk memasak atau membantu istri membersihkan rumah
(Lestari, 2012).
Pada dimensi tanggungjawab dan peran dalam menyusun rencana
pengasuhan bagi anak bentuk keterlibatan suami dalam pengasuhan anak
ditunjukkan dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengaturan
(Palkovitz, 2002). Contohnya dalam hal merencanakan keuangan untuk kebutuhan
dan pendidikan anak, merencanakan dan mengambil keputusan untuk cara
mendidik anak, merencanakan dan mengambil keputusan untuk menentukan
aturan-aturan yang harus ditaati anak dalam keluarga, dan sebagainya. Pada
dimensi ini dimungkinkan adanya peran serta istri didalamnya, adanya kerjasama,
dan kesepakatan antara suami istri bahkan dengan anak. Sehingga pada proses
pembuatan keputusan pasti melibatkan komunikasi dalam berdiskusi baik antara
suami istri maupun orangtua dengan anak. Apabila dalam komunikasi tersebut
pasangan dapat menggunakan gaya, pola, dan keterampilan berkomunikasi yang
baik dan efektif serta menjadikan keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, empati,
dan keterampilan mendengar yang baik sebagai landasan atau dasar dari
38
komunikasi yang dilakukan sehingga pesan yang disampaikan baik berupa pesan
emosional maupun kognitif dapat tersampaikan dengan baik pada pasangan dan
memberikan perasaan senang pada kedua belah pihak yang berkomunikasi maka
dapat dinyatakan bahwa aspek komunikasi dalam kepuasan perkawinan terpenuhi
(Lestari, 2012).
Selanjutnya jika dalam diskusi tersebut pasangan suami istri dapat saling
menerima, mengerti dan memahami faktor-faktor kepribadian seperti sifat, sikap,
dan perilaku pasangan yang berbeda dengan sifat, sikap, dan perilaku individu
yang bersangkutan maka secara tidak langsung kepuasan perkawinan pada aspek
kepribadian juga terpenuhi (Fowers & Olson, 1989).
Lebih lanjut, apabila dalam proses pengambilan keputusan tersebut terjadi
sebuah konflik dan terdapat keterbukaan dari pasangan suami istri untuk
memahami dan menyelesaikan masalah yang terjadi tersebut dengan strategi yang
disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat khususnya pasangan suami istri yang
bersangkutan, maka aspek penanganan konflik terpenuhi (Fowers & Olson, 1989).
Apabila yang didiskusikan mengenai biaya kebutuhan dan pendidikan
anak maka aspek menejemen keuangan juga dapat terpenuhi. Menurut Fowers &
Olson (1989) aspek ini fokus pada sikap dan pemahaman mengenai cara
mengelola masalah ekonomi dalam perkawinan. Biaya kebutuhan dan pendidikan
anak merupakan salah satu masalah ekonomi dalam perkawinan. Lebih lanjut
menurut Lestari (2012) keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran dalam
rumah tangga harus menjadi tanggungjawab bersama antara suami dan istri
Lestari (2012).
39
Bersumber dari berbagai uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
dengan adanya persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak
yang tinggi dapat mengurangi stres dan emosi negatif yang dirasakan istri akibat
beban pengasuhan anak sehingga dapat meningkatkan kepuasan perkawinan pada
istri. Dalam penelitian ini dapat dinyatakan bahwa persepsi istri terhadap
keterlibatan suami dalam pengasuhan anak memiliki hubungan positif dengan
kepuasan perkawinan pada istri.
B. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi istri terhadap
keterlibatan suami dalam pengasuhan anak dengan kepuasan perkawinan pada
istri. Semakin tinggi persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan
anak maka semakin tinggi kepuasan perkawinan pada istri. Sebaliknya semakin
rendah persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak maka
semakin rendah kepuasan perkawinan pada istri.