18
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State Of The Art Adapun state of the art pada penelitian sudut peletakan pipa kalor adalah sebagai berikut. Beberapa penelitian tentang sudut peletakan pipa kalor telah dimulai dari tahun 2010 sampai 2013 yang diawali dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhen- Hua Liu et a, 2010, melakukan penelitian tentang kinerja termal pipa kalor beralur miring dengan menggunakan nano fluida. Hasil dari penelitian yang dilakukan menghasilkan bahwa sudut kemiringan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja perpindahan panas dari pipa kalor menggunakan air dan nano fluida. Kinerja termal dari posisi miniatur pipa kalor yang miring berlekuk dapat diperkuat dengan menggunakan CuO nano fluida. Senthillumar R et al, 2011 juga melakukan penelitian tentang pengaruh sudut kemiringan terhadap kinerja pipa kalor dengan menggunakan nanofluid. Ukuran partikel rata-rata tembaga adalah 40 nm dan konsentrasi nanopartikel tembaga di nanofluid adalah 100 mg / liter. Penelitian ini juga membahas tentang pengaruh sudut kemiringan pipa kalor, jenis cairan dan efisiensi termal serta hambatan termal. Penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa terjadi penurunan hambatan termal pada pipa kalor yang menggunakan nanofluid tembaga sebagai fluida kerja. Sudut kemiringan sangat berpengaruh dalam kinerja termal pipa kalor silinder, karena efisiensi termal nanofluid tembaga lebih tinggi dari cairan dasar seperti air, sehingga hambatan termalnya juga jauh lebih kecil dari hambatan termal menggunakan fluida kerja air. Penelitian yang dilakukan oleh Heri Soedarmanto, 2011 tentang pengaruh sudut kemiringan terhadap kinerja termal revolving heat pipe alur memanjang dengan fluida kerja methanol menunjukkan hasil bahwa semakin besar sudut kemiringan (terhadap bidang horisontal) untuk semua daya input, maka semakin kecil nilai tahanan termal. Pada semua sudut kemiringan dengan daya input terendah mempunyai hambatan termal tertinggi dan semakin kecil nilainya pada daya input yang semakin besar. Kapasitas perpindahan kalor terbesar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State Of The Art II.pdf · kinerja perpindahan panas dari pipa kalor menggunakan air dan nano fluida. Kinerja termal dari posisi miniatur pipa kalor yang

  • Upload
    vuque

  • View
    227

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 State Of The Art

Adapun state of the art pada penelitian sudut peletakan pipa kalor

adalah sebagai berikut.

Beberapa penelitian tentang sudut peletakan pipa kalor telah dimulai dari

tahun 2010 sampai 2013 yang diawali dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhen-

Hua Liu et a, 2010, melakukan penelitian tentang kinerja termal pipa kalor beralur

miring dengan menggunakan nano fluida. Hasil dari penelitian yang dilakukan

menghasilkan bahwa sudut kemiringan memiliki pengaruh yang kuat terhadap

kinerja perpindahan panas dari pipa kalor menggunakan air dan nano fluida. Kinerja

termal dari posisi miniatur pipa kalor yang miring berlekuk dapat diperkuat dengan

menggunakan CuO nano fluida. Senthillumar R et al, 2011 juga melakukan

penelitian tentang pengaruh sudut kemiringan terhadap kinerja pipa kalor dengan

menggunakan nanofluid. Ukuran partikel rata-rata tembaga adalah 40 nm dan

konsentrasi nanopartikel tembaga di nanofluid adalah 100 mg / liter. Penelitian ini

juga membahas tentang pengaruh sudut kemiringan pipa kalor, jenis cairan dan

efisiensi termal serta hambatan termal. Penelitian yang dilakukan menyimpulkan

bahwa terjadi penurunan hambatan termal pada pipa kalor yang menggunakan

nanofluid tembaga sebagai fluida kerja. Sudut kemiringan sangat berpengaruh dalam

kinerja termal pipa kalor silinder, karena efisiensi termal nanofluid tembaga lebih

tinggi dari cairan dasar seperti air, sehingga hambatan termalnya juga jauh lebih kecil

dari hambatan termal menggunakan fluida kerja air. Penelitian yang dilakukan oleh

Heri Soedarmanto, 2011 tentang pengaruh sudut kemiringan terhadap kinerja termal

revolving heat pipe alur memanjang dengan fluida kerja methanol menunjukkan hasil

bahwa semakin besar sudut kemiringan (terhadap bidang horisontal) untuk semua

daya input, maka semakin kecil nilai tahanan termal. Pada semua sudut kemiringan

dengan daya input terendah mempunyai hambatan termal tertinggi dan semakin kecil

nilainya pada daya input yang semakin besar. Kapasitas perpindahan kalor terbesar

6

dan daya output terbesar terjadi pada sudut kemiringan terbesar. Penelitian tentang

sudut peletakan pipa kalor juga diteliti oleh T. Yuosefi et al, 2013 tentang studi

eksperimental sistem pendinginan CPU terhadap kinerja perpindahan panas pipa

kalor, serta melakukan pengujian pengaruh sudut kemiringan dengan menggunakan

nano fluida. Dari penelitian yang dilakukan bahwa sudut kemiringan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap proses pendinginan CPU karena langsung

mempengaruhi penyerapan panas oleh evaporator.

Suchana Akter Jahan et al, 2013, juga melakukan penelitian tentang pengaruh

sudut kemiringan serta karakteristik perpindahan panas dari closed loop pulsating

heat pipe. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sudut kemiringan,

karateristik fluida kerja dan proses perpindahan panas pada sistem pendingin closed

loop pulsating heat pipe. Karakterisasi dilakukan dengan menggunakan dua cairan

yang berbeda yakni air dan etanol dengan sudut kemiringan 0° (vertikal), 30°, 45°,

60°, 75° dan 90° (horizontal). Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa

sudut kemiringan pipa kalor berpengaruh terhadap fluks kalor dan sifat

physiochemical dari fluida kerja terhadap kinerja termal. Wayan Nata Septiadi, 2014,

juga melakukan penelitian tentang pengaruh sudut operasional terhadap suhu

permukaan sumber kalor. Dari kondisi suhu yang ditampilkan untuk setiap sudut

operasional baik pada keadaan idle ataupun keadaan pembebanan maksimal suhu

permukaan plat simulator terendah diberikan oleh sudut 0 060 dan 45 . Kondisi suhu

permukaan plat simulator dari terendah sampai dengan yang paling tinggi yakni pada

sudut operasional 0 0 0 0 060 , 45 ,90 ,30 ,0 . Oleh karena itu sudut operasional

berpengaruh terhadap laju alir masa dari kondensat yang nantinya akan berpengaruh

pada laju kalor dari pipa kalor. Sudut operasional 090 merupakan sudut operasional

standar maka pada kondisi idle sudut 060 memberikan selisih 04 C lebih rendah

dibandingkan dengan operasional pada sudut 090 , dan sudut operasional 00 akan

memberikan selisih 3 0C . Pada pembebanan maksimal sudut operasional

060 C juga memberikan selisih suhu permukaan plat simulator 04 C lebih rendah dari

operasional standar serta 06 C lebih tinggi dari sudut operasional standar untuk

operasional 00 C .

7

2.2 Dasar Teori

2.2.1 Sistem Pendingin Komputer

Sistem pendingin pada komputer berfungsi untuk mengurangi atau

menghilangkan panas yang ditimbulkan akibat pengoperasian sebuah perangkat

komputer, dengan cara membuang panas pada prosesor ke lingkungan sekitar

sehingga sama dengan suhu lingkungan sekitar 30-38 derajat celcius. Panas yang

berlebihan pada komputer berpotensi merusak atau memperlambat kerja sebuah

komputer, maka diperlukan sistem pendingin yang mampu bekerja secara optimal.

Berikut ini ada beberapa jenis pendingin komputer yang bias kita lihat antara lain:

(Wikipedia.org/Pendingin komputer)

1. Heatsink

Gambar.2.1 Heatsink (Sumber: www.jalantikus.com. 26/09/2014)

Heat sink adalah sebuah perangkat pendingin yang berfungsi untuk

mempercepat proses pembuangan panas dari permukaan yang panas, dan untuk

mempertahankan suhu perangkat di bawah maksimum untuk menghindari

terjadinya kerusakan piranti elektronik yang lain, Seperti terlihat pada gambar 2.1.

Jenis pendinginan prosesor yang menggunakan heatsink perpindahan panasnya

bergantung pada aliran udara. sistem pendinginan ini tidak cukup efektif, karena

sangat bergantung kepada aliran udara di dalam casing, jika aliran udaranya

teranggu, maka bisa dipastikan prosesor akan kepanasan dan tidak dapat bekerja

secara optimal. Sistem pendingin heatsink ada juga yang menggunakan kipas

yang disebut heatsinkfan (HSF), dengan ditambahkan sebuah kipas untuk

mempercepat proses transfer panas. HSF bekerja lebih baik daripada heatsink.

8

pada masa ini HSF menggunakan teknologi heatpipe yaitu pipa tembaga kecil

untuk transfer panas dengan menggunakan konsep kapilaritas. Sistem pendingin

ini sudah jarang digunakan karena proses pendinginannya kurang efektif.

2. Kipas(fan)

Gambar. 2.2 Kipas / fan (http://www.tuntor.com)

Gambar 2.2 merupakan sistem pendingin komputer berupa fan, dimana sistem

pendingin ini adalah yang paling umum digunakan, biasanya terpasang pada

casing, prosesor atau VGA. Fungsi utama dari kipas adalah menjaga agar CPU

tetap dalam suhu yang normal, Sistem pendinginan komputer menggunakan kipas

sudah tidak terlalu banyak dimanfaatkan karena memiliki kelemahan diantaranya

suara yang ditimbulkan berisik. Pendinginannya kurang maksimal dan masih

membutuhkan daya listrik untuk mengoperasikannya. (sumber:http://

satumultimediatiga.blogspot.com)

3. Liquid Cooler

Jenis pendinginan menggunakan fluida sebagai media penyerap panas dan

ada beberapa alat tambahan seperti pompa mini sebagai pendorong fluida supaya

bisa masuk kesistem dan bersirkulasi, dengan memanfaatkan fan sebagai alat

untuk melepaskan panas melalui cara menghembuskan udara pada bagian sirip

kondensor dengan kecepatan tertentu sehingga ada proses pelepasan panas ke

udara disekitar. Kelebihan liquid cooler adalah tidak berisik ketika digunakan,

9

bahkan hampir tanpa suara. Seperti terlihat pada gambar 2.3

(Wikipedia.org/Pendingin komputer)

Gambar 2.3 Liquid cooler (sumberhttps://jalantikus.com)

2.3 Pipa Kalor (Heat Pipe)

Pipa kalor (heat pipe) merupakan sebuah alat yang memiliki nilai

konduktivitas termal tinggi, yang digunakan untuk memindahkan kalor, dimana

jumlah kalor yang dipindahkan jauh lebih besar daripada kenaikan temperaturnya

yang kecil antara permukaan panas dan dingin. Pipa kalor dapat digunakan pada

keadaan dimana sumber dan pelepas panas diharuskan terpisah, untuk membantu

konduksi atau menyebarkan panas pada bidang. Pipa kalor tidak mengkonsumsi

energi maupun menghasilkan panas sendiri, tidak seperti sistem pendingin pada

termoelektrik. Pipa kalor dipatenkan serta dipublikasikan oleh US Patent nomor

2350348 pada 6 juni 1944. Pipa kalor dipilih karena mempunyai kemampuan

pengangkutan kapasitas beban kalor yang lebih besar dibandingkan pendingin

konvensional lainnya.(Nandy Putra, dan Wayan Nata , 2014: 4)

Ratna Sari et .al, (2013) dan Wayan Nata et .al, (2013), mengatakan bahwa pipa

kalor adalah sebuah tabung atau pipa tertutup yang berfungsi sebagai penghantar

kalor dengan ukuran tertentu, dimana pada bagian dalam pipa tersebut berisi fluida

kerja yang berfungsi sebagai penghantar kalor dari evaporator ke kondensor

10

padapipa kalor. Pipa kalor terbuat dari bahan allummunium, tembaga, dan tembaga

berlapis nikel. Dinding bagian dalam pipa kalor tersebut diisi dengan sumbu

kapiler(wick) yang berfungsi sebagai lintasan fluida dan pompa kapiler dari cairan.

Gambar 2.4 pipa kalor pada pendingin komputer (sumber : Wikipedia, 2014)

Pipa kalor memiliki keunggulan sebagai alat penukar kalor dari pada alat

penukar kalor yang lainya, karena pipa kalor dapat membuang kalor yang cukup

besar dengan beda temperatur yang kecil. Investasi dan perawatan pipa kalor

membutuhkan biaya yang murah.

2.3.1 Jenis-Jenis Pipa Kalor

Pipa kalor yang umum digunakan sebagai alat pemindah kalor pada sistem

pendingin yang beretemperatur tingi maupun secara umum dapat digolongkan

menjadi 3 jenis adalah sebagai berikut:

1. Pipa Kalor konvensional (straight heat pipe)

Pipa kalor konvensional yang terbuat dari bahan tembaga atau stainlesssteel

memiliki beberapa tipe yaitu tipe tabular atau silinder, pipih dan tipe pelat. Pipa kalor

tipe tabular atau silinder paling banyak digunakan karena pengaplikasiannya yang

mudah serta antara daerah evaporator yang digunakan sebagai tempat penyerapan

kalor dan bagian kondensor sebagai tempat pelepasan kalor dapat diatur panjangnya,

kelebihan lain yang dimiliki pipa kalor tipe tabular atau silinder adalah bagian

kondensor juga lebih mudah jika akan digunakan sebagai pendingin berupa sirip, fan

ataupun model terendam dalam fluida(Nandy Putra, dan Wayan Nata S, 2014:21).

11

Gambar 2.5 Skema Pipa Kalor Konvensional (Sumber:

appliedheattransfer.wordpress.com 2014 )

Gambar 2.5 memperlihatkan skema cara kerja pipa kalor konvensional.

Adapun cara kerja pipa kalor jenis konvensional adalah dengan cara menyerap

sumber panas atau kalor oleh evaporator dan ditransfer menuju pada bagian

kondensor, kemudian kalor akan dilepas ke lingkungan sekitar oleh kondensor. Pada

proses ini fluida kerja bersirkulasi dan berubah fase dari cair pada evaporator akan

menguap menuju kondensor dan terjadi proses kondensasi pada bagian kondensor,

fluida kerja berubah fase menjadi embun. Tekanan kapiler di dalam sumbu

kapiler(wick) akan menggerakan cairan dalam saluran sumbu kapiler tersebut,bahkan

melawan gravitasi akibat adanya efek kapilaritas, sehingga cairan dapat kembali ke

bagian evaporator, proses ini terjadi berulang-ulang. (Nandy Putra, dan Wayan Nata

S, 2014:25)

Pipa kalor konvensional tipe pipih atau datar dan tipe pelat digunakan untuk

menyerap kalor dari permukaan yang datar, rata atau pada posisi horizontal, dan bisa

juga pada posisi vertikal.

Gambar 2.6 Pipa kalor tipe pipih / datar (sumber : ebay.co.uk, 2014)

12

Pipa kalor tipe pelat hanya digunakan pada pendingin dengan konstruksi lurus,

dimana pada bagian penerapan kalor dapat melalui satu permukaan dinding atau dua

permukaan, seperti terlihat pada gambar 2.6 diatas

Pipa kalor tipe pelat merupakan tipe yang hampir sama dengan pipa kalor tipe

silinder dan tipe pipih, sebagaimana fungsinya yaitu memindahkan kalor dari bagian

evaporator ke bagian kondensor seperti terlihat pada gambar 2.7. Bagian kondensor

juga bisa dipasangi sirip atau fan sebagai pendingin fluida. Pada umumnya pipa kalor

tipe pelat memiliki sumbu kapiler berupa alur groove pada dinding pipa kalor yang

berbentuk pelat (Nandy Putra, Wayan Nata S, 2014:24).

Gambar 2.7 Pipa kalor tipe plat (sumber :forum.notebookreview.com, 2014)

2. Pipa kalor jenis melingkar

Pipa kalor jenis melingkar merupakan perangkat penghantar kalor yang terdiri

dari bagian evaporator sebagai penyerap kalor dan bagian kondensor yang berfungsi

melepas kalor, dimana ke dua bagian tersebut dihubungkan dengan suatu aliran

fluida yang terpisah antara fluida kerja uap dengan fluida kerja cair, seperti

ditunjukan pada gambar 2.8 di bawah. Pipa kalor melingkar beroperasi pada siklus

tertutup yang merupakan suatu perangkat evaporasi dan kondensasi, dimana pada

bagian evaporator terdapat sumbu berpori atau sumbu kapiler sebagai pompa kapiler

yang menarik cairan kembali ke bagian evaporator. (Nandy Putra, Wayan Nata S,

2014:30)

13

Gambar 2.8 Pipa kalor jenis melingkar (sumber : 1-act.com, 2014)

Gambar 2.9 Skema Kerja Pipa Kalor Melingkar (Sumber : 1-act.com, 2014)

Prinsip kerja pipa kalor melingkar bisa dilihat pada gambar 2.9, dimana pipa

kalor jenis ini mempunyai prinsip yang sama dengan pipa kalor konvensional, yaitu

dengan adanya proses pengangkutan dari sumber panas ke bagian evaporator menuju

bagian kondensor. Perbedaanya adalah aliran antara uap dengan fluida kondensat

tidak terjadi secara bolak-balik akan tetapi terjadi secara melingkar atau melingkari.

Prinsip perpindahan pipa kalor melalui konsep tekanan, perubahan fase dan

terjadinya proses kondensasi masih berlaku pada pipa kalor tipe melingkar. Ada dua

bagian lintasan yang ada pada pipa kalor jenis melingkar yaitu lintasan uap dan

lintasan cairan yang terpisah, dimana didalam lintasan uap tidak terdapat sumbu

kapiler sedangkan didalam lintasan cairan terisi penuh dengan sumbu kapiler.

Kenapa hal ini diterapkan, tujuanya adalah memberikan pengaruh perbedaan

tekanan, sehingga uap yang telah terkondensasi pada bagian kondensor dapat

mengalir kebagian lintasan cairan, hal ini terjadi akibat adanya pengaruh tekanan

14

kapilaritas dari sumbu kapiler. Sumbu kapiler berfungsi sebagai pompa kapiler untuk

menyirkulasikan fluida kondensat menuju evaporator.

Ada beberapa tipe desain pipa kalor jenis melingkar ditinjau penerapan pada

bagian evaporator, kondensor, rentang temperatur operasional maupun kontrol

temperatur sesuai dengan kebutuhan. Dimana evaporator dirancang sesuai dengan

ruang kompensasi, ada yang berbentuk evaporator persegi panjang, ada juga pipa

kalor melingkar dengan evaporator berbentuk silinder. (sumber : Nandy Putra,

Wayan Nata S, 2014:32).

3. Pipa kalor datar (Vapor chamber)

Pipa kalor pelat datar adalah pipa kalor pelat datar dengan disipasi panas yang

baikterkai keseragaman distribusi temperatur dan area kondensasi yang besar. Pipa

kapiler datar merupakan benda berongga tertutup yang berisi fluida kerja dengan

pompa vakum berada di ruangannya seperti terlihat pada gambar 2.10 dibawah.

Vapor chamber terdiri dari subeuah kontainer, sumbu kapiler, dan sebuah ruang

vakum. Tujuan dari proses vakum pada vapor chamber adalah untuk menurunkan

titik didih dari fluida kerja sehingga perubahan fase lebih mudah tercapi dan kalor

tersebar lebih cepat.(Nandy Putra dan Wayan Nata S, 2014:40)

Gambar 2.10 Pipa Kalor Datar / Vapor Chamber (sumber : designworldonline.com, 2014)

Proses kerja pipa kalor datar (vapor chamber) adalah dengan cara memindahkan

kalor dari sumber panas (heat source) ke lingkungan, vapor chamber memanfaatkan

prinsip perubahan fase fluida serta kapilaritas. Dimana pada operasionalnya vapor

chamber menyerap kalor pada bagian evaporator, mengevaporasikan fluida kerja

pada ruang dalam vapor chamber. Fluida kerja yang sudah berubah fase menjadi uap

akan bergerak menuju kondensor akibat gradient tekanan yang kecil, kemudian uap

fluida kerja melepaskan kalor dan berubah fase menjadi embun pada bagian

15

kondensor. Fluida kerja yang berubah kembali kebentuk cair akan kembali menuju

evaporator melalui struktur kapiler pada sumbu kapiler. Seperti terlihat pada gambar

2.11 bahwa proses kerja ini akan terjadi secara berulang dari awal kembali. Adanya

perubahan fase yang terjadi pada proses pendinginan pada vapor chamber maka

temperatur kalor dapat dibuang dengan cepat, sehingga temperatur lokal yang tinggi

dapat dihindari. (Nandy Putra dan Wayan Nata S, 2014:41)

Gambar 2.11 Skema Kerja Vapor chamber (sumber : bytrade.com, 2009)

2.3.2 Prinsip Kerja Pipa Kalor

Gambar 2.12 memperlihatkan bahwa prinsip kerja pipa kalor adalah

memindahkan kalor dari bagian evaporator menuju bagian kondensor dengan siklus

penguapan dan pengembunan fluida kerja. (Nandy Putra et .al, 2011). Prinsip kerja

pipa kalor bergantung pada selisih temperatur antara kedua ujung pipa, jika

temperatur pada salah satu pipa mencapai temperatur penguapan maka fluida kerja

yang berada pada bagian evaporator akan menguap, dan terjadi tekanan didalam

rongga sehingga uap akan mengalir dari ujung satu ke ujung yang lainya, peristiwa

ini akan dibawa oleh fluida kerja kemudian dilepaskan sampai mencapai temperatur

pengembunan sehingga mengakibatkan fluida kerja berubah dari fase uap menjadi

fase cair akibat proses kondensasi (Nandy Putra dan Wayan Nata S, 2014: 25 ).

Setelah peristiwa kondensasi terjadi maka fluida kerja akan berubah fase menjadi

cair yang mengalir ke sumber panas pada evaporator untuk mendinginkan kembali,

selama pipa kalor bekerja, proses ini akan mengalami proses terus menerus,

berulang-ulang, sebagai konsep bahwa seperti inilah cara kerja pipa kalor dalam

menyerap dan mendinginkan pada sumber kalor tersebut. Disini perlu diperhatikan

Sumber Panas

Uap

16

mengenai temperatur yang mampu diserap oleh pipa kalor agar fluida kerja tetap

terjaga dan menghindari pipa kalor dari kekeringan.

Gambar 2.12 Prinsip kerja pipa kalor (sumber : Nandy Putra,W.N. Septiadi, 2014)

Pada dasarnya pipa kalor akan mengalami proses perpindahan panas (heat

exchanger) antara lain :

1. Perpindahan panas secara konduksi

Perpindahan panas ini terjadi dari permukaan dinding sumber panas ke dinding

evaporator, konduktifitas termal dari dinding memegang peranan penting, karena

sebagian besar pipa kalor terbuat dari bahan tembaga, dimana bahan tembaga

mempunyai nilai konduktifitas termal yang cukup tinggi sebesar 394 W/mK.

2.1

Keterangan :

Q = Laju perpindahan kalor konduksi

k = Konduktifitas termal

∆T = Gradien suhu ke arah perpindahan kalor

∆x = Gradien suhu kearah perpindahan kalor

2. Perpindahan panas secara konveksi

Perpindahan panas konveksi terjadi secara alami dari dinding permukaan

sumbu kapiler pipa kalor ke fluida kerja, dimana konveksi alami terjadi pada saat

kondisi awal dimana suhu dan tekanan belum mencapai kondisi terjadinya

nuklesiasi dan pendidihan.

q = hA (Tw-T∞) 2.2

17

Keterangan :

q = Laju perpndahan kalor

h = Koefisien perpindahan kalor konveksi

A = Luas permukaan

Tw = Temperatur dinding

T∞ = Temperatur fluida

3. Proses pendidihan

Proses pendidihan terjadi dimana pada permukaan sumbu kapiler terbentuk

gelembung-gelembung, bersamaan dengan peningkatan tekanan dan temperatur

pada bagian evaporator, maka gelembung-gelembung yang terbentuk akan

terlepas ke permukaan bagian atas fluida kerja. Sumbu kapiler pada pipa kalor

berfungsi untuk meningkatkan terjadinya pertumbuhan gelembung secara cepat.

Dimana pada delta temperatur antara dinding atau permukaan sumbu kapiler

dengan temperatur saturasi fluida yang tidak terlalu tinggi dapat menghasilkan

fluks kalor yang lebih besar.

Proses perpindahan panas melalui pendidihan dapat mempercepat terjadinya

perpindahan kalor dari permukaan evaporator ke bagian permukaan cairan yang

kemudian disalurkan menuju bagian kondensor melalui tahap penguapan.

4. Perpindahan kalor secara evaporasi

Laju perpindahan kalor dari bagian evaporator ke bagian kondensor sangat

dipengaruhi oleh panas laten dari fluida kerja.

2.3

Panas laten pada perpindahan kalor di dalam pipa kalor sangat penting karena

bisa memungkinkan pipa kalor mengangkut lebih banyak kalor dengan dimensi

yang cukup kecil dan ini merupakan suatu keunggulan pipa kalor dari logam

pejal. Akibat dari perubahan temperatur yang terjadi terus-menerus pada bagian

kondensor dan bagian evaporator mengakibatkan perbedaan temperatur antara

kedua ujung bagian kondensor dan bagian evaporator sangatlah kecil, hal ini

bermanfaaat karena dapat memperkecil hambatan termal yang terjadi pada pipa

kalor.

5. Perpindahan panas secara konveksi lanjutan

18

Perpindahan kalor secara konveksi dari fluida uap pada bagian kondensor

kebagian permukaan dinding pipa kalor, akan terjadi penyerapan kalor dari uap

sehingga uap mengalami perubahan fase akibat kondensasi. Maka hasil dari

proses kondensasi dialirkan menuju bagian evaporator melalui gaya kapilaritas

sumbu kapiler, dan kondensat akan mengalir melalui celah-celah dari sumbu

kapiler.

2.3.3 Hambatan Termal Pipa Kalor

Hambatan termal pipa kalor adalah besar beban kalor yang diserap oleh pipa

kalor karena adanya rasio antara perbedaan temperatur pada bagian evaporator dan

bagian kondensor. Berikut gambar 2.13 Jaringan termal dari sumber panas sampai

bagian evaporator.

Gambar 2.13 Jaringan hambatan termal evaporator pipa kalor (Sumber: Nandy Putra

dan Wayan Nata S, 2014)

Plat pemanas sebagai sumber panas (heater) diletakkan pada bagian paling

bawah, sehingga hambatan termal pada sisi evaporator pipa kalor merupakan total

hambatan termal dari plat pemanas(heater) sampai pada permukaan sisi dalam dari

evaporator. Dimana secara matematis dapat ditulis dengan persamaan:

2.4

Dimana merupakan hambatan termal pada kontak antara pelat

pemanas dengan pelat logam bagian bawah, hambatan termal spreading, hambatan

termal konduksi, dan hambatan termal antara permukaan luar dan bagian dalam

evaporator (°C/W). Hambatan termal secara matematis dapat ditulis

seperti persamaan dibawah ini:

2.5

19

2.6

Pelat logam dan sisi luar evaporator jika dilihat dari bagian antara permukaan atas

maka jaringan hambatan termal pipa kalor ditunjukkan pada gambar 2.14

Gambar 2.14 Jaringan Hambatan Termal Pipa Kalor (Sumber : Nandy Putra dan

Wayan Nata S, 2014:48)

Total hambatan termal pipa kalor dapat dirumuskan seperti pada persamaan 2.7

2.7

Berdasarkan Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa sebuah plat logam yang

ditaruh diatas sumber panas (pelat pemanas) adalah hambatan termal yang terjadi

pada evaporator yaitu total hambatan thermal dari sumber panas (pelat pemanas)

dengan permukaan bagian dalam dari bagian evaporator. Hambatan termal yang

terjadi secara konduksi pada permukaan plat pemanas dengan plat logam bagian

bawah.

2.3.4 Batasan Kerja Pipa Kalor

Batasan kerja pada pipa kalor adalah batasan maksimal pada saat pipa kalor

beroperasi dalam memindahkan kalor dari sumber kalor dan mengangkut kalor untuk

dilepaskan di area sekitar, demi menunjang kinerja pipa kalor secara maksimal, maka

diperlukan pembuatan desain yang sesuai sehingga desain pipa kalor yang dibuat

tersebut supaya bisa berada di bawah grafik batasan kerja pipa kalor.

20

2.4 Sudut Kontak

Salah satu faktor-faktor dasar yang mengatur kapilaritas atau pengembalian

fluida kerja pada sumbu kapiler dari kondensor ke evaporator adalah sudut kontak

dari fliuda kerja dengan sumbu kapiler. Hal ini membuat perlu memiliki nilai-nilai

sudut kontak yang tersedia untuk prediksi yang lebih baik dari kinerja dan

optimasidari heat pipe. Secara umum semakin rendah sudut kontak, semakin tinggi

tekanan osmotik. Bahkan, perilaku yang tepat adalah bahwa tekanan osmotik

bervariasi secara langsung dengan cosinus kontak sudut.

Sudut kontak pada media berpori atau sumbu kapiler sangat mempengaruhi

daya kapilaritas dari sumbu kapiler tersebut. Semakin kecil sudut kontak yang

terbentuk antara fluida dengan sumbu kapiler maka sifat keterbasahan dari sumbu

kapiler meningkat sedangkan makin besar sudut kontak yang terbentuk maka sumbu

kapiler tersebut memiliki sifat keterbasahan yang semakin kecil yang berarti daya

kapilaritasnya juga semakin kecil. Suduk kontak yang terbentuka apabila dibawah

90o maka sumbu kapiler tersebut dikatakan memiliki sifat hidrofilik sedangkan

apabila sudut kontak yang terbentuk lebih besar dari 90o maka dikatakan sumbu

kapiler tersebut bersifat hidrofobik.

Penggunaan fluida kerja juga berpengaruh terhadap sudut kontak yang

terbentuk pada sumbu kapiler. Penggunaan fluida kerja seperti nano fluida beberapa

jenis ada yang mengakibatkan terjadinya pelapisan pada sumbu kapiler. Pelapisan

ini akan berpengaruh terhadap sudut kontak pada sumbu kapiler. Pelapisan tentunya

sangat dipengaruhi oleh jenis dan besar konsentrasi dari nano fluida yang digunakan

sehingga sudut kontak akan berbeda pada penggunaan nano fluida dengan jenis dan

konsentrasi yang berbeda.(Nandy Putra, Wayan Nata S, 2012:94)

2.5 Sudut Peletakan Pipa Kalor

Pengaruh sudut operasional terhadap perpindahan kalor pipa kalor sudah

banyak dibahas, dimana antara sudut operasional yang paling optimal adalah 60° dan

75° dengan acuan sudut adalah sumbu tabung dan bidang normal. Pada sudut

operasional 60° koefisien perpindahan kalor pada bagian evaporator adalah paling

besar kemudian yang berikutnya adalah 45°, 90°,30° dan 0°. Besar koefisien

21

perpindahan kalor untuk masing-masing sudut operasional meningkat dengan

peningkatan fluks kalor. Pada kondisi beban maksimal koefisien perpindahan kalor

untuk masing-masing sudut operasional 0°, 30°, 45°, 60° dan 90° adalah mencapai

8,693 W/m²°C, 15,486 W/m²°C, 16,392 W/m²°C, 60,038 W/m²°C dan

12,267W/m²°C.

Sudut operasional mempengaruhi koefisien perpindahan kalor, dimana

didapatkan sudut operasional yang memberikan koefisien paling besar untuk setiap

peningkatan fluks kalor adalah sudut operasional 60°. Sudut operasional berpengaruh

terhadap gaya gravitasi yang terjadi pada sumbu kapiler dan lintasan uap, dimana

sudut operasional ini berpengaruh terhadap laju alir massa cairan kondensat dan laju

alir massa uap dalam pipa kalor. Seperti pada persamaan 2.8 berikut Sudut

operasional akan berpengaruh terhadap bilangan Bond yang akan mempengaruhi laju

kalor dari bagian evaporator menuju bagian kondensor sehingga hal ini tentunya

berpengharuh terhadap koefisien perpindahan kalor didalam pipa kalor, ditunjukan

pada gambar 2.15

0.250,5max

1 2 3( ) ( ).

v i v i

Qf f f g

A L

2.8

Gambar 2.15 Grafik parameter 3f terhadap sudut inklinasi (Sumber : Nandy Putra dan Wayan

Nata Septiadi)

Pada proses perpindahan kalor pada dalam pipa kalor diharapkan laju alir

massa uap yang mengalir dari evaporator menuju kondensor besar sehingga jumlah

kalor yang terangkut dari bagian evaporator menuju kondensor juga besar.

Bersamaan dengan itu juga cairan hasil kondensasi uap dibagian kondensor juga

22

diharapkan terangkut dengan cepat dan banyak ke bagian evaporator untuk

menghindari terjadinya kekeringan. Sudut operasional sangat menentukan laju alir

massa cairan dan uap (ρɩvɩAɩ=ρᵥvᵥAᵥ), dimana dalam hal ini sudut operasional yang

optimal adalah pada 60° dari bidang datar.(Wayan Nata Septiadi,2014:116)