18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Stakeholder Teori stakeholder digunakan untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara masyarakat dengan perusahaan, karena perusahaan harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak atau masyarakat yang kena dampak tindakan perusahaan di dalam pengambilan keputusan. Menurut teori stakeholder, meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan membuat perusahaan menjadi lebih menarik bagi masyarakat dan investor. Teori ini memiliki hubungan yang kompleks dengan individuals, organisasi, dan masyarakat lainnya. Seperti perusahaan, pihak-pihak yang berkepentingan atau pemilik perusahaan yang memiliki dampak positif atau negatif terhadap kelangsungan usaha. Tanggung jawab sosial yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat akan membuat perusahaan itu terlihat. Stakeholder adalah orang-orang atau individu dan kelompok baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik yang bersifat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan, kebijakan, dan organisasi operasional (Post et al, 2002). Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan. Praktik pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan memainkan peran yang penting bagi perusahaan karena perusahaan hidup dilingkungan masyarakat sehingga kemungkinan aktivitasnya memiliki dampak sosial dan lingkungan. Perusahaan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan informasi yang dibutuhkan melalui pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori II.pdfBAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Stakeholder Teori stakeholder digunakan untuk menjelaskan bagaimana hubungan

  • Upload
    lephuc

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Stakeholder

Teori stakeholder digunakan untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara

masyarakat dengan perusahaan, karena perusahaan harus mempertimbangkan kepentingan

semua pihak atau masyarakat yang kena dampak tindakan perusahaan di dalam pengambilan

keputusan.

Menurut teori stakeholder, meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan membuat

perusahaan menjadi lebih menarik bagi masyarakat dan investor. Teori ini memiliki

hubungan yang kompleks dengan individuals, organisasi, dan masyarakat lainnya. Seperti

perusahaan, pihak-pihak yang berkepentingan atau pemilik perusahaan yang memiliki

dampak positif atau negatif terhadap kelangsungan usaha. Tanggung jawab sosial yang

diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat akan membuat perusahaan itu terlihat.

Stakeholder adalah orang-orang atau individu dan kelompok baik internal maupun eksternal

yang memiliki hubungan baik yang bersifat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan,

kebijakan, dan organisasi operasional (Post et al, 2002).

Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai

stakeholder jika memiliki karakteristik yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan

kepentingan terhadap perusahaan. Praktik pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan

memainkan peran yang penting bagi perusahaan karena perusahaan hidup dilingkungan

masyarakat sehingga kemungkinan aktivitasnya memiliki dampak sosial dan lingkungan.

Perusahaan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan informasi yang dibutuhkan melalui

pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.

2.1.2 Teori Legitimasi

Teori legitimasi digunakan untuk menjelaskan apabila perusahaan memiliki kontrak

dengan masyarakat untuk melakukan segala kegiatan usahanya berdasarkan nilai-nilai

kebenaran. Perusahaan harus mendapatkan legitimasi dari berbagai pihak yang

berkepentingan dengan perusahaan demi mempertahankan kelangsungan hidup dan

peningkatan nilai perusahaan. Teori legitimasi (Legitimacy theory) berfokus pada interaksi

antara perusahaan dengan masyarakat. Menurut Dowling dan Pfeffer dalam Ghozali dan

Chariri (2007), legitimasi adalah hal yang penting bagi organisasi, batasan-batasan yang

ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan tersebut

mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memperhatikan lingkungan.

Ghozali dan Chariri (2007) menyatakan bahwa hal yang mendasari teori legitimasi

adalah kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat dimana perusahaan beroperasi

dan menggunakan sumber ekonomi. Shocker dan Sethi dalam Ghozali dan Chariri (2007)

memberikan penjelasan tentang konsep kontrak sosial, yaitu: “semua institusi sosial tidak

terkecuali perusahaan beroperasi di masyarakat melalui kontrak sosial, baik eksplisit maupun

implisit, dimana kelangsungan hidup pertumbuhannya didasarkan pada hasil akhir yang

secara sosial dapat diberikan kepada masyarakat luas dan distribusi manfaat ekonomi, sosial

atau politik kepada kelompok sesuai dengan power yang dimiliki.”

2.1.3 Teori Keagenan

Teori keagenan digunakan untuk menjelaskan hubungan antara pemegang saham

(shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak

yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham.

Pihak manajemen harus mempertanggung jawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang

saham. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan merupakan suatu

kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agent) untuk

melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen dalam

membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Teori keagenan (agency theory) muncul

berdasarkan adanya fenomena pemisahan antara pemilik perusahaan (pemegang

saham/owner) dengan para manajer yang mengelola perusahaan. Fakta-fakta empiris

menunjukkan bahwa para manajer tidak selamanya bertindak sesuai dengan kepentingan para

pemilik perusahaan, melainkan sering kali terjadi bahwa para pengelola perusahaan (direksi

dan manajer) bertindak mengejar kepentingan mereka sendiri (Solihin, 2009 : 120).

Menurut Messier et.al (2006:6) hubungan keagenan ini mengakibatkan dua

permasalahan. Pertama, terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana

manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang

sebenarnya dan posisi operasi entitas dari pemilik. Kedua, terjadinya konflik kepentingan

(conflict of interest) akibat ketidaksamaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak

sesuai dengan kepentingan pemilik.

Pihak manajemen yang mempunyai kepentingan tertentu cenderung menyusun laporan

laba yang sesuai dengan tujuannya dan bukan demi kepentingan prinsipal. Dalam kondisi

seperti ini diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan

kepentingan antara kedua belah pihak. Mekanisme tata kelola perusahaan memiliki

kemampuan dalam kaitannya menghasilkan suatu laporan keuangan yang memiliki

kandungan informasi laba.

2.1.4 Tanggung jawab Sosial Perusahaan

Pertanggung jawaban sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR)

adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian

terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders,

yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004 dalam Anggraini

2006). World Business Council on Sustainable Development (WBCSD) dalam Solihin (2008)

menyatakan bahwa CSR merupakan suatu komitmen dari perusahaan untuk melaksanakan

etika keperilakuan dan berkontribusi untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan

melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka,

komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan

dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupu untuk pembangunan.

Global Compact Initiative (2002) menyebut pemahaman ini dengan 3P (profit, people,

planet), yaitu tujuan bisnis tidak hanya mencari laba (profit), tetapi juga mensejahterakan

orang (people), dan menjamin keberlanjutan hidup (planet) ini (Nugroho, 2007 dalam Dahli

dan Siregar, 2008). Pengembangan program-program sosial perusahaan dapat berupa bantuan

fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat (community development), outreach,

beasiswa dan sebagainya. Tanggung jawab Sosial Perusahaan tidak lagi dihadapkan pada

tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate

value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tetapi tanggung jawab

perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines, yaitu juga memperhatikan masalah sosial

dan lingkungan.

Tanggung jawab Sosial Perusahaan diwujudkan agar terjaga keseimbangan diantara

pelaku bisnis dan masyarakat sekitarnya agar semua pihak tidak ada yang dirugikan.

Pelaksanaan Tanggung jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, merupakan suatu keharusan

bagi suatu perusahaan (corporate) mengingat perkembangan dan laju perekonomian bangsa

Indonesia semakin pesat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya perusahaan yang didirikan baik

perusahaan nasional yang modalnya dari Negara, perusahaan swasta yang modalnya dimiliki

oleh pihak swasta, perusahaan gabungan antara pihak asing dengan Negara manapun,

perusahaan patungan antara pihak asing dengan Negara dalam bentuk perusahaan penanaman

modal asing di Indonesia.

Pertanggung jawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang disebut

Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan

ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam

konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sustainability Reporting

meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja

organisasi (ACCA, 2004 dalam Anggraini, 2006). Dalam aspek hukum, tanggung jawab

sosial perusahaan di Indonesia telah diatur dalam beberapa peraturan seperti yang

dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam pernyataan PSAK No.1 (Revisi 2009)

merupakan suatu aturan yang dijadikan dasar oleh perusahaan dalam menyajikan dan

mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan

perusahaan terpisah dari laporan keuangan perusahaan.

Peraturan tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya peraturan oleh BAPEPAM selaku

lembaga yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan pasar modal dan lembaga keuangan di

Indonesia. Peraturan yang dikeluarkan IAI dan BAPEPAM sejalan dengan diberlakukannya

Undang-undang yaitu dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan

bahwa Perseroan yang melanjutkan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber

daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1)

tanggung jawab sosial sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban

Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang

pelaksanaannya dilaksanakan dengan memperhatikan kapatutan dan kewajaran. Selain

adanya peraturan yang mendesak perusahaan untuk mengungkapkan kegiatan CSR adapula

motivasi lain yang mendorong perusahaan dalam mengungkapkan informasi kegiatan CSR-

nya, seperti untuk membangun reputasi sebagai warga negara yang baik (Barnea dan Rubin,

2006), memenuhi keinginan stakeholder (Belal dan Owen, 2007), dan guna memperoleh

dukungan dari masyarakat dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya CEO

turnover di masa mendatang (Cespa dan Cestone, 2007).

Pengungkapan (disclosure) mengandung arti bahwa laporan keuangan harus

memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha

(Ghozali dan Chariri, 2007). Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan umumnya

bersifat voluntary (sukarela), unaudit (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi

oleh peraturan tertentu). Salah satu badan yang aktif mengeluarkan pedoman bagi perusahaan

terkait pengungkapan lingkungan hidup adalah Global Reporting Initiative (GRI).

Dalam standar GRI Indikator kinerja terbagi menjadi 3 kategori yaitu kinerja ekonomi,

kinerja lingkungan hidup dan kinerja sosial yang mencakup indikator kinerja tenaga kerja,

hak asasi manusia, sosial/kemasyarakatan, dan produk. Global Reporting Initiative (GRI)

adalah sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia

paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-

menerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia (www.globalreporting.org).

Tujuan pengungkapan dikategorikan menurut Securities Exchange Commission (SEC)

menjadi dua, yaitu 1) protective disclosure yang sebagai upaya perlindungan terhadap

investor, dan 2) informative disclosure yang bertujuan memberikan informasi yang layak

kepada pengguna laporan. Crowther David (2008) dalam Nor Hadi (2011) mengurai prinsip-

prinsip tanggung jawab social (social responsibiliy) menjadi tiga yaitu : (1) sustainability; (2)

accountability dan (3) transparency. Sustainability, berkaitan dengan bagaimana perusahaan

dalam melakukan aktivitas (action) tetap memperhitungkan keberlanjutan sumber daya

dimasa depan.

Accountabilty, upaya perusahaan terbuka dan bertanggung jawab atas aktivitas yang

telah dilakukan. Akuntabilitas dibutuhkan, ketika aktivitas perusahaan mempengaruhi dan

dipengaruhi lingkungan eksternal. Konsep ini menjelaskan pengaruh kuantitatif aktivitas

perusahaan terhadap pihak internal dan eksternal (Crowther David, 2008) dalam Nor Hadi

(2011). Transparency, merupakan prinsip penting bagi pihak eksternal. Transparansi

bersinggungan dengan peloporan aktivitas perusahaan berikut dampak terhadap pihak

eksrernal.

2.1.5 Tata Kelola Perusahaan

Mekanisme adalah suatu prosedur yang dapat mengendalikan perusahaan, sehingga

memberikan nilai tambah terhadap pemegang saham dan stakeholder secara

berekesinambungan dalam jangka panjang. Mekanisme tata kelola perusahaan dibagi menjadi

mekanisme eksternal dan mekanisme internal. Mekanisme eksternal dijelaskan dijelaskan

melalui outsider. Hal ini termasuk pemegang saham institusional, outside block holding dan

kegiatan takeover. Mekanisme pengendalian eksternal tidak hanya pasar modal saja, tetapi

juga perbankan sebagai penyuntik dana, masyarakat sebagai konsumen, supplier, tenaga

kerja, pemerintah sebagai regulator, serta stakeholder lainnya. Mekanisme pengendalian

internal yang berhubungan langsung dengan proses pengambilan keputusan perusahaan tidak

hanya dewan komisaris saja, tetapi ada juga komite-komite dibawahnya seperti dewan

direksi, sekretaris perusahaan, dan manajemen. Hal ini juga dipengaruhi oleh pemegang

saham internal, anggota dari dewan komisaris dan karakteristiknya seperti ukuran dewan

komisaris, jumlah dari dewan komisaris yang independen (dari luar perusahaan), komite

remunerasi, pembiayaan utang.

Tata Kelola Perusahaan merupakan seperangkat peraturan dalam rangka pengendalian

perusahaan untuk menghasilkan value added (nilai tambah) bagi para stakeholders, karena

dengan adanya Tata Kelola Perusahaan akan terbentuk pola kerja manajemen yang

transparan, bersih, dan profesional (Effendi, 2009). Perusahaan dengan pengelolaan yang

baik dan transparan, berarti sudah menerapkan implementasi tata kelola perusahaan. Tata

Kelola Perusahaan diharapkan tidak hanya terfokus memberikan manfaat bagi manajemen

dan karyawan perusahaan, melainkan juga bagi stakeholders, konsumen, pemasok,

pemerintah, dan lingkungan masyarakat terkait dengan perusahaan tersebut.

Tata Kelola Perusahaan sebagai sistem yang mengatur hubungan antara perusahaan

dengan pemegang saham. Tata Kelola Perusahaan juga mengatur hubungan dan pertanggung

jawaban kepada seluruh anggota stakeholders non pemegang saham diantaranya adalah para

kreditur, pelanggan, karyawan dan masyarakat (terutama pada sarana unit yang berada

disekitar unit sarana produksi perusahaan).

Kinerja perusahaan akan baik jika perusahaan menggunakan tata kelola perusahaan

yang baik (good corporate governance). Tata Kelola Perusahaan pada dasarnya menyangkut

masalah pengendalian perilaku para eksekutif puncak perusahaan untuk melindungi

kepentingan pemilik perusahaan (pemegang saham). Masalah tata kelola perusahaan dapat

ditelusuri dari pengembangan agency theory yang menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang

terlibat dalam perusahaan (manajer, pemilik perusahaan dan kreditor) akan berperilaku

karena mereka pada dasarnya memiliki kepentingan yang berbeda.

Menurut forum for corporate governance in Indonesia (FCGI) Tata Kelola Perusahaan

adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegeng saham, pengurus

(pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegeng

kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban

mereka, dengan kata lain yaitu suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.

Menurut FCGI tujuan dari tata kelola perusahaan adalah menciptakan nilai tambah untuk

stakeholder. FCGI juga berpendapat, apabila perusahaan menerapkan tata kelola perusahaan

maka keuntungan yang bisa didapatkan oleh perusahaan lebih mudah untuk mendapatkan

tambahan modal, cost of capital menjadi lebih rendah, meningkatkan kinerja bisnis, dan

mempunyai dampak yang baik terhadap harga saham perusahaan.

2.1.5.1 Kepemilikan Manajerial

Teori Keagenan (agency theory) memunculkan argumentasi terhadap adanya konflik

antara pemilik yaitu pemegang saham dengan para manajer. Konflik tersebut muncul sebagai

akibat perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Jensen dan Meckling (1976)

menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki

insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka

insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku opportunistik manajer akan meningkat.

Kepemilikan manajerial merupakan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh

manajer (Anwar et al., 2013). Kepemilikan manajerial berperan sebagai pihak yang

menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham karena proporsi saham

yang dimiliki manajer dan direksi mengindikasikan menurunnya kecenderungan adanya

tindakan manipulasi oleh manajemen (Purwaningtyas, 2011). Dengan meningkatnya

kepemilikan saham oleh manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan

keinginan para prinsipal, karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya

sehingga dalam hal ini akan berdampak baik kepada perusahaan.

Semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka manajemen akan

lebih giat untuk meningkatkan kinerjanya karena manajemen mempunyai tanggung jawab

untuk memenuhi keinginan dari pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri.

Manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan, karena manajemen

akan ikut merasakan manfaat secara langsung dari keputusan yang diambil.

2.1.5.2 Kepemilikan Institusional

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki

peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara

manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi

mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal

ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak

mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Kepemilikan institusional umumnya

bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan.

Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5 % )

mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan

institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Dengan demikian

proporsi kepemilikan institisional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang

dilakukan manajemen (Fauzi, 2004). Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang

dimiliki oleh investor institusi seperti perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dan bank

(Moradi, 2012). Investor institusional dapat berperan dalam memonitor agen (manajer)

perusahaan. Nilai perusahaan dapat meningkat jika lembaga institusi mampu menjadi alat

pemonitoran yang efektif.

2.1.5.3 Dewan Komisaris Independen

Dewan komisaris adalah inti dari tata kelola perusahaan yang bertugas untuk

menjamin strategi perusahaan, melakukan pengawasan terhadap manajer, serta mewajibkan

terlaksananya akuntabilitas dalam perusahaan (Purwaningtyas, 2011). Komisaris independen

mempunyai akuntabilitas yang tinggi didalam melakukan pengawasan, semakin baik

pengawasan sebuah perusahaan semakin baik kualitas pengungkapan informasi yang

disampaikan. Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan,

terutama dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan.

Efektivitas dewan komisaris dalam menyeimbangkan kekuatan CEO sangat

dipengaruhi oleh tingkat independensi dari dewan komisaris tersebut. Dengan adanya

komisaris independen, diharapkan para eksekutif akan bertindak untuk kepentingan pemilik

(Boediono, 2005) dalam Darwis (2009). Adanya komisaris independen yang berasal dari luar

perusahaan diharapkan akan direaksi positif oleh pasar (investor), karena kepentingan

investor akan lebih dilindungi (Darwis, 2009). Dewan komisaris merupakan suatu mekanisme

mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola

perusahaan (FCGI, 2001). Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik

dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam

menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen

dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang

berkualitas (Boediono, 2005).

2.1.5.4 Komite Audit

Komite audit juga berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengendalian

internal perusahaan. Adanya pengawasan ini akan memastikan pencapaian kinerja perusahaan

dan mampu meningkatkan nilai perusahaan (Chan dan Li, 2008). Komite audit meningkatkan

integritas dan kredibilitas pelaporan keuangan melalui: (1) pengawasan atas proses pelaporan

termasuk sistem pengendalian internal dan penggunaan prinsip akuntansi berterima umum,

dan (2) mengawasi proses audit secara keseluruhan. Komite audit mempunyai peran yang

sangat penting dan strategis dalam hal memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan

keuangan seperti halnya menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai

serta dilaksanakannya tata kelola perusahaan. Tugas komite berhubungan dengan kualitas

laporan keuangan, karena komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam

pelaksanaan tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen.

2.1.5.5 Dewan Direksi

Pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris dan direksi akan mencegah

manajemen untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan pemegang saham sehingga

biaya atau kerugian akibat manajemen dapat berkurang. Dewan direksi dalam suatu

perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut

secara jangka pendek maupun jangka panjang.

Adapun prinsip-prinsip dari Tata Kelola Perusahaan adalah

a. Prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan

Prinsip-prinsip dasar penerapan tata kelola perusahaan menurut forum for corporate

governance in Indonesia (FCGI) terdapat 5 asas/prinsip yang menjadi pedoman dalam

penerapan tata kelola perusahaan yaitu antara lain:

a) Tranparansi (Transparency) yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan

keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai

perusahaan.

b) Akuntabilitas (Accountability) yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

c) Pertanggungjawaban (Responsibility) yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan

terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang

sehat.

d) Kemandirian (Independency) yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara

profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi

yang sehat.

e) Kewajaran (Fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak

stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

b. Manfaat penerapan tata kelola perusahaan

a) Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan

yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan

pelayanan kepada stakeholders.

b) Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat lebih

meningkatkan corporate value (nilai perusahaan). Selain itu dapat mengembalikan

kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dan yang terakhir adalah

pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena akan sekaligus

meningkatkan shareholders value dan dividen.

2.1.6 Nilai Perusahaan

Menurut Nica Febrina (2010:5) nilai perusahaan adalah nilai jual perusahaan atau nilai

tumbuh bagi pemegang saham, nilai perusahaan akan tercermin dari harga pasar sahamnya.

Menurut Nurlela dan Islahudin (2008:7) nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar.

Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara

maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Nilai perusahaan sangat penting

karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran

pemegang saham (Brigham, 2010).

Semakin tinggi harga saham semakin tinggi pula nilai perusahaan. Nilai perusahaan

yang tinggi menjadi keinginan setiap pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi

menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan

perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari

keputusan investasi, pendanaan (financing), dan managemen asset. Tujuan utama perusahaan

menurut theory of the firm adalah untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai perusahaan

(value of the firm) (Salvatore, 2005).

Memaksimumkan nilai perusahaan sangat penting artinya bagi semua perusahaan,

karena dengan memaksimalkan nilai perusahaan berarti juga memaksimalkan kemakmuran

pemegang saham yang merupakan tujuan utama perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi

akan membuat pasar percaya tidak hanya pada kinerja perusahaan saat ini namun juga pada

prospek perusahaan dimasa depan. Dengan nilai perusahaan yang tinggi maka diharapkan

kesejahteraan pemegang saham terpenuhi. Menurut Siallagan dan Machfoez (2006), terdapat

suatu sistem yang dapat meningkatkan nilai perusahaan yaitu tata kelola perusahaan. Tata

Kelola Perusahaan merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan

yang diharapkan dapat memberikan dan meningkatkan nilai perusahaan dengan pemegang

saham.

2.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pokok permasalahan yang akan diuji

kebenarannya. Berdasarkan rumusan permasalahan, tujuan penelitian dan kajian-kajian teori

yang relevan serta hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka akan dikemukakan hipotesis

dalam penelitian ini yaitu, sebagai berikut:

2.2.1 Pengaruh Tanggung jawab Sosial Perusahaan Terhadap Nilai Perusahaan

Tanggung jawab Sosial Perusahaan adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk

secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam

operasinya dan interaksinya dengan stakeholders yang melebihi tanggung jawab di bidang

hukum (Darwin, 2004 dalam Anggraini, 2006). Pengungkapan tanggung jawab sosial oleh

perusahaan diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian yang mengkaitkan

antara pengungkapan pertanggung jawaban sosial perusahaan terhadap nilai perusahaan

diungkapkan oleh Rustiarini (2010), Murwaningsari(2009) dan Andayani (2008) yang

mendukung hipotesa yang menyatakan bahwa tingkat pengungkapan informasi tanggung

jawab sosial perusahaan dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh dalam

meningkatkan nilai perusahaan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Penelitian Saraswati dan Basuki (2012)

yang berjudul Pengaruh Corporate Governance Pada Hubungan Corporate Social

Responsibility Dan Nilai Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di BEI. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa corporate social responsibility (CSR) memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap nilai perusahaan namun dengan arah negatif. Hasil menjelaskan bahwa

perusahaan yang mengungkapkan CSR yang lebih luas justru cenderung menurunkan nilai

perusahaan. Nurlela dan Islahudin (2008) menyatakan bahwa dengan adanya praktik CSR

yang baik diharapkan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh para investor. Menurut

Astiari dan Anantawikrama (2014) menyatakan bahwa CSR dapat mempengaruhi nilai

perusahaan karena dengan adanya hubungan CSR dengan nilai perusahaan menunjukkan

bahwa semakin luas pengungkapan CSR maka nilai perusahaan juga akan semakin

meningkat. Tingginya nilai perusahaan menyebabkan keberadaan perusahaan tersebut akan

lebih disorot oleh stakeholder-nya, apabila perusahaan dapat memaksimalkan manfaat yang

diterima stakeholder maka akan timbul kepuasan bagi stakeholder yang akan meningkatkan

nilai perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik hipotesis :

H1: Tanggung jawab Sosial Perusahaan berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan.

2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Nilai Perusahaan

Menurut Tendi Haruman (2008) perbedaan kepentingan antara manajemen dan

pemegang saham mengakibatkan manajemen berperilaku curang dan tidak etis, sehingga

merugikan pemegang saham. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang

dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara manajemen dengan saham. Kepemilikan

manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan

kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen (Jensen dan Meckling, 1976).

Dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajer, diharapkan manajer akan bertindak

sesuai dengan keinginan para prinsipal, karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan

kinerjanya sehingga dalam hal ini akan berdampak baik kepada perusahaan. Semakin besar

kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka manajemen akan lebih giat untuk

meningkatkan kinerjanya karena manajemen mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi

keinginan dari pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri.

Siallagan dan Machfoedz (2006) menemukan bahwa mekanisme Tata Kelola

Perusahaan yang terdiri dari kepemilikan manajerial, dewan komisaris dan komite audit

secara statistik berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Nurlela dan Islahuddin (2008)

menyatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara kepemilikan manajerial terhadap nilai

perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik hipotesis:

H2: Kepemilikan Manajerial berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan.

2.2.3 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Nilai Perusahaan

Murwaningsari (2009) menyatakan bahwa terdapat pengaruh kepemilikan institusional

dengan nilai perusahaan. Kepemilikan Institusional terhadap saham perusahaan dipandang

dapat meningkatkan fungsi pengawasan terhadap perusahaan, agar melakukan praktek Tata

Kelola Perusahaan yang lebih baik. Dengan meningkatnya kepemilikan institusional,

diharapkan dapat memberikan tekanan agar perusahaan dapat terus melaksanakan praktek

Tata Kelola Perusahaan sesuai yang diharapkan investor institusional. Oleh karena itu,

kinerja perusahaan akan semakin baik dan semakin meningkatkan nilai perusahaan.

Kepemilikan institusional dalam proporsi yang besar juga mempengaruhi nilai

perusahaan. Nilai perusahaan dapat meningkat jika lembaga institusi mampu menjadi alat

pemonitoran yang efektif. Selain itu, investor institusional, memiliki akses informasi yang

lebih baik karena aktivitas mereka, yang berarti pengetahuan yang lebih baik tentang kinerja

perusahaan (Ellili, 2011). Hasil penelitian ini didukung juga oleh Bjuggren et al. (2007)

menemukan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik hipotesis:

H3: Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan.

2.2.4 Pengaruh Dewan Komisaris Independen terhadap Nilai perusahaan

Dewan Komisaris independen mempunyai akuntabilitas yang tinggi didalam

melakukan pengawasan, semakin baik pengawasan sebuah perusahaan semakin baik kualitas

pengungkapan informasi yang disampaikan. Penelitian Rustiarini (2010) menunjukkan bahwa

komisaris independen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Harjoto dan Jo (2007)

menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara komisaris independen dengan nilai

perusahaan.

Dewan komisaris independen merupakan proporsi anggota dewan komisaris

independen yang ada di dalam perusahaan. Jumlah dewan komisaris independen yang

semakin banyak menandakan bahwa dewan komisaris yang melakukan fungsi pengawasan

dan koordinasi dalam perusahaan semakin baik. Oleh karena semakin banyak anggota dewan

komisaris independen, maka tingkat integritas pengawasan terhadap dewan direksi yang

dihasilkan semakin tinggi, sehingga mewakili kepentingan stakeholders lainnya selain

daripada kepentingan pemegang saham mayoritas dan dampaknya akan semakin baik

terhadap nilai perusahaan. Dengan adanya komisaris independen, maka akan dapat

mengurangi konflik agensi dalam perusahaan sehingga perusahaan dapat lebih berfokus

dalam meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik hipotesis:

H4: Dewan Komisaris Independen berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan.

2.2.5 Pengaruh Komite Audit terhadap Nilai Perusahaan

Rustiarini (2010) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara komite audit

dengan nilai perusahaan. Penelitian Siallagan dan Machfoedz (2006) menguji pengaruh

kualitas laba terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ

pada periode 2000-2004 menyatakan bahwa keberadaan komite audit mempunyai pengaruh

positif terhadap nilai perusahaan yang dihitung dengan Tobin’s Q. Hal ini memberi bukti

bahwa keberadaan komite audit dapat meningkatkan efektifitas kinerja perusahaan.

Dengan adanya komite audit, diharapkan dapat mengurangi konflik agensi sehingga

laporan yang disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat dipercaya sehingga

dapat membantu meningkatkan nilai perusahaan di mata investor. Komite audit yang

bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keungan, mengawasi audit eksternal, dan

mengamati sistem pengendalian internal dapat mengurangi sifat opportunistic manajemen

dengan cara mangawasi laporan keuangan dan melakukan pengawasan pada audit eksternal

(Hermansyah, 2013). Adanya pengawasan ini akan memastikan pencapaian kinerja

perusahaan dan mampu meningkatkan nilai perusahaan (Chan dan Li, 2008). Berdasarkan

uraian diatas, dapat ditarik hipotesis:

H5: Komite Audit berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan.

2.2.6 Pengaruh Dewan Direksi terhadap Nilai Perusahaan

Dewan direksi merupakan mekanisme internal utama yang dapat melakukan monitoring

terhadap manajer (Fama, 1978). Pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris dan

direksi akan mencegah manajemen untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan

pemegang saham sehingga biaya atau kerugian akibat manajemen dapat berkurang. Penelitian

(Isshaq et al, 2009 dalam Tri Sariri, 2014) menemukan bahwa ukuran dewan direksi

berhubungan positif dengan nilai perusahaan.

Susanti (2010) menyimpulkan bahwa board size atau jumlah dewan direksi memiliki

pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Dari hubungan tersebut

menunjukkan bahwa dengan jumlah board size (ukuran dewan direksi) yang meningkat

disesuaikan dengan kondisi perusahaan berarti pengelolaan perusahaan oleh dewan direksi

semakin baik, sehingga kinerja perusahaan akan meningkat dan nilai perusahaan akan ikut

meningkat. Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik hipotesis:

H6: Dewan Direksi berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan.