Upload
lamtuyen
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah
masyarakat tradisional, membangkitkan adanya gerakan masyarakat berbasis adat.
Karena sifatnya yang terbuka, adat dimanfaatkan oleh elit lokal dengan memberi
jalan potensi-potensi politik untuk orang luar. Maraknya politik yang menyentuh
adat semakin diperbincangkan dimana tokoh adat sering muncul sebagai sarana
perantara untuk memperoleh eksistensi dalam masyarakat adat. Hal ini ditandai
dengan masuknya elit politik ke ranah adat melalui mobilisasi yang terlaksana
dengan cara adat. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung
Gede Oka Wisnumurti (2011) mengenai Dinamika Politik Lokal dalam pemilihan
kepala daerah langsung 2005 di Kabupaten Badung, dimana praktik-praktik
kampanye yang dikemas dengan bungkusan adat dan agama seperti simakrama
yang dilakukan di pura serta balai banjar menjadi pemanfaatan kekuatan tradisi
melalui organisasi tradisional di satu sisi memudahkan calon untuk memobilisasi
dukungan sedangkan di sisi lain menjadi arena tawar menawar bagi masyarakat
dalam pemberikan dukungan politik.
Penelitian yang dilakukan oleh Risky (2011) dengan judul Evaluasi
Pengaruh Tokoh Masyarakat Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilihan Bupati
Dan Wakil Bupati Kabupaten Minahasa Selatan, menyatakan Pengaruh tokoh
masyarakat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan atau bertujuan dengan
proses adaptasi dan pelaksanaan untuk menjadikan masyarakat lebih baik dalam
menanggapi setiap proses pembuatan dan keputusan politik. Berdasarkan data
hasil penelitian terlihat bahwa kesadaran dalam pemungutan suara sangat tinggi,
kesadaran masyarakat dalam menanggapi keterlibatan tokoh masyarakat dalam
berkampanye sangat tinggi, sedangkan pengaruh tokoh masyarakat terhadap sikap
masyarakat dalam menjaga kejujuran dalam proses perhitungan suara juga
menunjukkan angka yang sangat tinggi.
Laporan studi pustaka yang dilakukan oleh Triana Winni Astuty (2014)
tentang Pengaruh Elit Berkuasa Terhadap Pembangunan Desa, menyatakan bahwa
Elit berkuasa dapat memberikan pengaruh yang besar dan signifikan terhadap
pembangunan desa melalui tiga hal, yaitu: 1) faktor pengambilan keputusan dalam
membuat kebijakan yang dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari luar, kebiasaan
lama, sifat-sifat pribadi, kelompok luar, atau keadaan masa lalu; 2) gaya
kepemimpinan yang terdiri dari: gaya kepemimpinan instruksi, konsultasi,
partisipasi atau delegasi; 3) perilaku pemimpin, yaitu pembuatan visi yang
inovatif, perilaku yang tidak konvensional, manajemen kesan, pengorbanan diri
dan risiko pribadi, perilaku tokoh panutan yang patut dicontoh, memperlihatkan
keyakinan pada pengikut, memperkuat identitas tim, berbagi kekuasaan untuk
keputusan penting, dan menganalisis lingkungan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti mengenai
pengaruh tokoh-tokoh adat dalam elit politik memberikan sebuar gambaran
tentang bagaimana pengaruh tokoh elit dalam keterlibatan berkampanye sangat
penting sebagai proses menentukan kecenderungan suara pemilih. Eratnya
hubungan tokoh elit lokal dengan masyarakat lokal memperoleh daya tarik yang
besar dalam pemilukada.
2.2 Kerangka Konsep
2.2.1 Kontestasi
Ahsan (2010) menyebutkan bahwa kontestasi berasal dari kata dasar
kontest. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan artinya sebagai kata
benda, yaitu perlombaan. Kamus Oxford 2005 menyebutkan makna kata contest
sebagai kata benda yang artinya an event in which people compelete supremacy.
Apabila jika diterjemahkan adalah suatu ajang atau perlombaan dimana
terjadinya adu kekuatan atau keunggulan.
Istilah kontestasi yang lazim muncul pada isu kekuasaan, dipahami
sebagai suatu cerminan beragam hubungan kekuatan yang saling mendukung,
berjuang, bersaing dan menghancurkan. Nivada (2014) menyebutkan dalam
kalimat sederhana, kontestasi merupakan pertarungan berbagai macam kelompok,
masing-masing memperjuangkan ideologi, nilai, solusi, dan lain sebagainya.
Wacana, atau diskursus akan selalu dibuka, bermunculan pula berbagai
perbandingan yang mengundang debat, maupun konflik. Menurut Fahrizal (2007),
kontestasi politik sebagai bentuk yang diranah kontestasi wacana. Sedangkan
Syakir dan Fadmi Ridwan menilai kontestasi dari sudut pandang interaksi
kepentingan aktor. Maksudnya kontestasi politik terjebak dalam kepentingan
politis dan mengabaikan kepentingan teknokratis. Dalam tahapan kompetisi
berlangsung antar aktor, untuk mengagendakan dan memasukkan kepentingan
masing-masing aktor. Disanalah agenda setting sampai formulasi sebagai satu
kesatuan yang terjadi dibuat.
Pada prosesnya, pembentukan sebuah institusi yang bekerja dalam
interaksi dan kontestasi politik ditinjau dari kepentingan antara aktor akan sangat
berpotensi untuk berkonflik antar suku, atau pun beberapa aktor dengan aktor
lainnya. Selain konflik, kerjasama pun seringkali berlangsung antar aktor, apalagi
pembentukan lembaga atau institusi akan menghasilkan kesepakatan dalam
keputusan akhirnya. Di sinilah memunculkan tanda tanya, apa yang
melatarbekalangi kontestasi persaingan dan pertarungan di antara yang berpihak
dan tidak berpihak.
Aktor-aktor yang terlibat dalam kontestasi sangat ditentukan dari kekuatan
modal di masing-masing aktor. Sejalan dengan pemikiran Bourdieu, modal
merupakan hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan
membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan dimana ia memproduksi dan
mereproduksi (Bourdieu, 1979 : 127). Lebih jauh lagi Bourdieu membagi modal
menjadi tiga modal sosial, budaya, dan simbolik. Sedangkan penulis
menambahkan kekuatan kontestasi tidak hanya dilihat dari tiga modal tersebut.
Akan tetap modal jaringan (investasi jaringan) dan investasi jabatan menjadi
modal tambahan yang harus dimiliki aktor dalam pertarungan kepentingan.
Pemilukada merupakan arena kontestasi politik bukan hanya kompetisi
antar pasangan kandidat, namun persaingan Kelian Adat dalam memobilisasi
krama Banjar Adat. Untuk memenangkan kandidat yang didukungnya haruslah
ditentukan suara terbanyak oleh pemilih. Tetapi kompetisi yang terjadi dalam
penelitian ini bukan persaingan antar partai namun yang lebih menonjolkan figur
dari Kelian Adat tersebut seperti ketokohan, popularitas dan moralitas, latar
belakang pendidikan dan pekerjaan. Hal ini dapat menjadi sangat penting dalam
suatu kontestasi, dimana seseorang hanya dengan mengandalkan popularitas dan
figur mampu bersaing untuk memobilisasi krama Banjar Adat dalam pemilukada.
Modal ini adalah bangunan relasi dan kepercayaan (trust) yang dimiliki oleh
Kelian Adat dengan masyarakat Banjar Adat dalam memilih kandidat politik.
2.2.2 Kelian Adat
Istilah Kelihan Adat berasal dari kata “Kelih” yang berarti tua, Kelihan
artinya lebih tua dan kelian adat diartikan sebagai orang yang dituakan di Banjar
Adat. Dengan demikian Kelian Adat adalah orang yang dituakan dalam suatu
Banjar Adat serta dijadikan panutan dan tempat krama Banjar meminta petunjuk,
petuah, nasehat maupun bimbingan-bimbingan mengenai tata cara kehidupan
Banjar Adat. Kelian Adat adalah ketua dari organisasi Banjar Adat di Bali, yang
kedudukanya dibawah Bendesa Adat. Kelian Adat pada umumnya dipilih dari,
oleh dan untuk Banjar Adat melalui sangkepan krama Banjar adat.
Pemilihan Kelian Adat di Kota Denpasar bervariasi, tergantung dari
masing-masing Banjar Adat yang membuat khusus awig-awig atau peraturanya
sendiri. Awig-awig tersebut selain mengatur kehidupan organisasi Banjar Adat
juga berisikan tentang tata cara pemilihan Kelian Adat. Kelian Adat pada
umumnya dipilih secara musyawarah mufakat dimana pemilihan itu dilaksanakan
pada paruman (rapat) Adat yang dihadiri oleh krama Banjar Adat. Pada saat Bali
masih dijajah oleh orang asing, pemilihan Kelian Adat hanya dipilih oleh berkasta
dan memilih orang yang terpandang di lingkungan Banjar Adat, namun ketika
berkembangnya demokrasi di Indonesia banyak Banjar adat yang memakai sistem
pemilihan langsung. Pemilihan Kelian Adat Banjar terbagi menjadi dua yaitu
langsung dan tidak langsung. Pemilihan langsung terlaksana jika krama Banjar
memiliki rekomendasi beberapa calon untuk di pilih, kemudian dilakukan
pemilihan oleh seluruh krama Banjar Adat. Pemilihan tidak langsung dapat terjadi
ketika Banjar itu hanya memiliki calon tunggal, dan terpilihnya calon tunggal
tersebut atas rekomendasi tim formatur melihat dari cocok atau tidaknya
seseorang menjadi kelian adat. Arti dan makna yang ada didalam istilah Kelian
Adat ini menyebabkan pada saat pemilihan Kelian adat berusaha dipilih dari
perilaku dan kepribadinya, karena tingkah lakunya yang menyebabkan ia patut
dijadikan pemimpin adat yang teladan dan menjadi panutan di Banjar Adat
tersebut. Menjadi seorang Kelian Adat harus disegani oleh semua krama Banjar
Adat dan dipercaya mampu menangani permasalahan bidang adat istiadat dan
mempunyai pengetahuan mengenai pelaksanaan upacara adat agama Hindu yakni
Panca Yadnya, dimana upacara tersebut wajib dilakukan oleh krama Banjar Adat.
Uniknya di Bali, sebuah Banjar memiliki dua Kelian namun memiliki
tugas dan fungsi yang berbeda. Kelian Dinas mengurus Banjar secara administrasi
dibagian kepemerintahan, bertugas untuk mendata krama Banjar Adat, mengurusi
KTP, akta kelahiran dan kartu KK serta keperluan administrasi kepemerintahan
lainya. Lain halnya dengan Kelian Adat yang bertugas mengkoordinir krama
Banjar Adat di ranah adat. Kedua posisi Kelian di Banjar saling mengcover antara
satu dengan lainya. Tugas seorang Kelian Adat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
prahyangan, pelemahan, pawongan. Prahyangan merupakan hubungan harmonis
antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa / Brahman sang pencipta /
Tuhan Yang Maha Esa, tugas tersebut terlaksana dengan mengkoordinir krama
Banjar Adat untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan agama Hindu di
Banjar Adat. Bagian palemahan menciptakan hubungan harmonis antara umat
manusia dengan alam lingkungannya, tugas ini terlaksana dengan adanya kegiatan
suka duka, kerja bakti dan gotong royong untuk memelihara kebersihan,
kelestarian dan keseimbangan kehidupan krama Banjar Adat. Bagian terakhir
yaitu Pawongan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara sesama umat
manusia. Dalam hal ini tugas Kelian Adat sebagai pengurus urusan sosial
kemasyarakatan seperti saat ada kematian atau upacara perkawinan, mengurus
iuran Banjar Adat dan mengurus struktur Banjar Adat. Secara garis besarnya
dimana tugas tugas tersebut dipandang dari sisi spiritual dari sisi kemanusiaan dan
lingkungan, dimana kepentingan-kepentingan krama Banjar Adat bisa dikoordinir
dengan baik oleh Kelian Adat.
Masing-masing Banjar Adat di Kota Denpasar memiliki struktur
organisasinya sendiri, seperti contoh struktur di Banjar Adat Abian Timbul, Sanur
yang sudah tercantum dalam awig-awig Banjar, dimana struktur tersebut
digambarkan bahwa Kelian Adat dibantu oleh tiga orang yang masing-masing
menangani bagian prahyangan, palemahan, dan pawongan. Lalu dibawahnya ada
posisi sekretaris dan bendahara. Struktur ini merupakan gambaran umum dari
beberapa struktur Banjar Adat di Kota, namun belakangan ini sejalan dengan
perkembangan masyarakat, muncul berbagai variasi nama dan fungsi, sesuai
dengan situasi dan kondisi masing-masing Banjar Adat di Kota Denpasar.
Bertugas sebagai Kelian Adat pada umumnya bersifat ngayah atau
mengabdi untuk menyejahterahkan Banjar Adat, biasanya Kelian Adat tidak
mendapat gaji bulanan dari pemerintah, namun semakin berkembangnya peraturan
dan kebijakan baru Kelian Adat mendapatkan upah dimana upah tersebut disebut
ensentif dari pemerintah langsung melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
Jaman dulu Kelian Adat mengelola pelaba pura, untuk menunjang finansial
pelaba pura itu berupa sawah dan tegalan, Kelian Adat dapat mengelola pelaba
pura tersebut untuk menghasilkan uang. Hasil dari pelaba pura tersebut bisa
menjadi dagangan, untuk alat-alat upakara dan kegiatan di pura atau dikonsumsi
oleh para Kelian Adat. Kelian Adat juga menerima bebas ayah-ayahan, bebas
ayah-ayahan tersebut membebaskan kelian adat hanya untuk mengatur segala
kegiatan adat dan tidak ikut repot dalam kegiatan Banjar. Selain itu Kelian Adat
juga menerima semacam tunjangan dari warga desa berupa bahan – bahan atau
perlengkapaann untuk membuat kelengkapan upakara, seperti bambu, janur,
kelapa dll, sesuai dengan kesepakatan bersama.
Mengemban tugas sebagai Kelian Adat terlihat gampang-gampang susah,
perananya dituntut harus memiliki wibawa dan kharisma yang tinggi agar mampu
memimpin krama Banjar Adat ke arah yang aman tentram dan damai. Sikap ini
pun diuji ketika Kelian Adat dihadapkan oleh persoalan masalah-masalah politik.
Jaman sekarang banyak figur Kelian Adat yang dicari untuk menjembatani proses
mobilisasi massa agar memperlancar tujuan dan kepentingan kampanye politik.
Kampanye politik tersebut dikemas dengan cara adat seperti simakrama di Banjar,
membantu keuangan dan inventaris Banjar, mengahadiri dan menghaturkan dana
punia dalam acara piodalan di Pura, serta kegiatan lainya yang termasuk dalam
kegiatan adat. Strategi ini terlaksana dengan perantara Kelian Adat, karena Kelian
Adat dalam tugasnya sebagai pengkoordinir kegiatan adat di Banjar. Maka dari
itu, bisa dilihat Kelian Adat digunakan sebagai jalan untuk masuknya kepentingan
politik di Banjar Adat. Dengan maraknya kampanye politik yang langsung
menyasar ke Banjar Adat, Kelian Adat diminta mampu menanggapi hal-hal
berbau politik dengan cara yang bijaksana.
2.2.3 Pemilukada Serentak
Semenjak disahkanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah adalah bagian dari Otonomi
Daerah dan Kepala Daerah diselenggarakan dan dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat
Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Selanjutnya,
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengenai Penyelenggara
Pemilihan Umum, pilkada menjadi bagian dari pemilu, sehingga secara resmi
berganti nama menjadi Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah atau disingkat Pemilukada, dimana penyelenggaraannya sudah
diselenggarakan langsung di bawah tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum.
Daerah yang pertama kali melaksanakan pemilihan kepala daerah berdasarkan
undang-undang ini adalah daerah DKI Jakarta yang dilaksanakan pada tahun
2007.
Pada tahun 2011, disusul dengan terbitnya undang-undang baru tentang
penyelenggaran pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011.
Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota, bukan pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2014, DPR-RI
meninjau kembali tentang permasalahan terkait pemilihan kepala daerah secara
langsung. Sidang Paripurna DRI RI dilaksanakan pada tanggal 24 September
2014 dengan memutuskan opsi bahwa Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan
secara tidak langsung dengan kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan
kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri
Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang,
dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.
Rapat Paripurna DPR RI yang dilaksanakan pada tanggal 25 September
2014 dengan agenda pengesahan RUU Pilkada, berakhir dengan disahkannya
RUU Pilkada yang diselenggarakan dan dipilih melalui DPRD. Hasil rapat ini pun
menimbulkan reaksi dari publik berupa penolakan terhadap Rancangan Undang -
Undang Pilkada, yang dianggap mencederai demokrasi. Pilkada melalui DPRD
bukan menjadi jaminan untuk mengakhiri praktik korupsi dan money politics, tapi
justru akan menciptakan money politics yang tertutup dan tidak bisa diawasi oleh
masyarakat. Selain itu, pilkada yang dipilih melalui DPRD justru menjadi tidak
transaparan dan dikhawatirkan adanya lobi-lobi yang di lakukan oleh anggota
dewan tidak mewakilkan pilihan rakyat.
Perdebatan yang terjadi di kalangan elit politik dengan isu dikalangan
masyarakat agar Pemilukada tetap dilaksanakan dan dipilih oleh rakyat berakhir
dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014
mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Dengan ditetapkannya Perppu No. 1 Tahun 2014 menjadi undang-undang,
masyarakat dapat kembali memilih kepala daerahnya secara langsung. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang- Undang selanjutnya diganti dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Dalam undang-undang tersebut
disebutkan bahwa Pilkada langsung oleh rakyat haruslah dilaksanakan dengan
beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung
yang selama ini.
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang sudah berjalan di seluruh
daerah Indonesia memerlukan anggaran dan biaya yang sangat besar,
menyebabkan pemborosan anggaran pada setiap daerah. Bagi daerah yang
memiliki anggaran dan pendapatan yang rendah, pengeluaran untuk membiayai
pemilukada ini ternyata mengurangi jatah anggaran belanja pelayanan publik
seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, untuk menghemat dan agar
penyelenggaraan lebih efisien maka pemilukada diselenggarakan serentak untuk
seluruh daerah di Indonesia. Jumlah daerah yang akan menggelar Pemilukada
serentak ini sebanyak 269. Namun, pelaksanaan Pemilukada serentak dilakukan
dengan tiga gelombang. Gelombang pertama dilaksanakan pada tahun 2015.
Gelombang kedua akan digelar pada Februari 2017 diberlakukan bagi mereka
pejabat kepala daerah yang habis masanya pada Juli hingga Desember 2017.
Sedangkan gelombang ketiga akan dilaksanakan pada bulan Juni 2018 bagi
pejabat yang habis masa tugasnya pada 2018 dan 2019.
Pemilukada serentak sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota di Pasal 201. Dalam terlaksananya peraturan tersebut, KPU Kota
Denpasar melaksanakan Pemilukada pada akhir tahun 2015 tepatnya tanggal 9
Desember lalu, karena masa jabatan Walikota dan Wakil Walikota Denpasar
berakhir pada tahun 2015. Kota Denpasar merupakan salah satu dari 269 daerah
yang menyelenggarakan Pemilukada pada Tahun 2015.
Pemilihan umum kepala daerah Kota Denpasar diikuti oleh 3 pasang calon
walikota dan wakil walikota. Ketiganya telah resmi ditetapkan Komisi Pemilihan
Umum Kota Denpasar pada Jumat, 11 September 2015. Pasangan itu adalah Ida
Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan I Gst Ngr Jaya Negara (Dharma-Negara)
dari partai PDIP yang telah dinyatakan sah pada pendaftaran tahap pertama
mendapat nomor urut 1. Adapun dua pasangan lain dinyatakan sah pada
pendaftaran gelombang kedua yaitu, Ketut Resmiayasa-Batu Agung dari koalisi
partai Gerindra-Hanura,dan Made Arajaya-A.A Rai Sunasri dari koalisi partai
Demokrat-PKS.
Sebelumnya pada pendaftaran pertama ada dua pasangan calon yang
mendaftar yakni pasangan pertama Dharma-Negara dan I Ketut Suwandhi – I
Made Arjaya (SUAR) namun paket SUAR gugur karena Suwandhi tidak
memenuhi syarat. Karena menyisakan paslon tunggal (Dharma-Negara), Komisi
Pemilihan Umum Kota Denpasar membuka Kembali pendaftaran kedua pada
tanggal 1 – 3 September 2015. (www. metrobali.com)
Pasca Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Denpasar, KPUD Denpasar
telah menetapkan SK Penetapan Hasil Pilkada Kota Denpasar pada tanggal 17
Desember 2015. Dari total suara 236.701 dimana total suara sah 232.128 suara
dan total suara tidak sah 4.908, pasangan calon Walikota dan Walikota Nomor
urut 1, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, S.E.,M.Si dan I Gst Ngr Jaya
Negara, S.E memperoleh suara sebanyak 191.347 suara atau sekitar (82%), hasil
dari pasangan nomor urut dua I Ketut Resmiayasa, S.T dan Ida Bagus Batuagung
Antara dengan perolehan suara sebanyak 12.739 suara atau sekitar (6%), dan hasil
dari pasangan nomor urut tiga I Made Arjaya,S.E.,M.Si dan A.A Ayu Rai Sunasri,
S.Sos.,M.Si dengan perolehan suara sebanyak 28.871 atau sekitar (12%).
(www.kpu-denpasarkota.go.id)
Dari hasil perhitungan hasil suara tersebut telah ditetapakan pasangan Ida
Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan I Gst Ngr Jaya Negara menang dalam
pemilukada Kota Denpasar 2015, dan ditetapkan sebagai Walikota dan Wakil
Walikota Denpasar periode 2016 sampai dengan 2021 yang dilantik langsung oleh
Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pada tanggal 17 Ferbruari 2016 .
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Elit Politik
Dari konsep yang telah tertera diatas maka penelitian ini menggunakan
Teori Elit Politik yang lahir dari diskusi seru para ilmuwan sosial Amerika tahun
1950-an, antara Schumpeter seorang ekonom, Laswell seorang ilmuwan politik
dan Wright Mills seorang Sosiolog yang melacak tulisan dari pemikir eropa pada
awal munculnya fasisme. Menurut Pareto dalam buku yang berjudul Studi Ilmu
Politik karangan Jurdi (2014) mengatakan bahwa setiap masyarakat diperintah
oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan
bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh, mereka
yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik.
Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil,
yang mampu menduduki jabatan tiggi dan dalam lapisan masyarakat.
Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan
masyarakat yang berbeda itu umumnya dari kelas yang sama yaitu orang-orang
yang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang
musik, karakter moral dan sebagainya. Karena itu Pareto lebih lanjut lagi
membagi masyarakat terdiri dari dua kelas, yaitu pertama lapisan atas disebut elit
yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elit) dan elit tidak
memerintah (non governing elit), kedua lapisan yang lebih rendah disebut nonelit.
Sejalan dengan hal itu menurut Mosca dalam S.P Varma (2013) dalam semua
masyarakat, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat yaitu, kelas yang
memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama yang biasanya
jumlahnya sedikit memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan
menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara
kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar diatur dan dikontrol oleh yang
pertama.
Istilah lain tentang elit (elitee) lazimnya dalam studi sosiologi didefinisi
sebagai anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani,
dihormati, kaya serta berkuasa. Kelompok elit adalah kelompok minoritas
superior yang posisinya berada pada puncak strata, memiliki kemampuan
mengendalikan kegiatan ekonomi dan politik, serta sangat dominan
mempengaruhi proses pengambilan keputusan-keputusan krusial. Itulah sebabnya
mudah dimengerti apabila dalam banyak hal kelompok elit tidak hanya
ditempatkan sebagai pemberi legitimasi, akan tetapi dari pada itu mereka adalah
panutan sikap dan acuan berbagai tindakan, serta oleh masyarakat senantiasa
diharapkan dapat berbuat nyata bagi kepentingan bersama. (Haryanto, 2005:125)
Para elit politik dalam hal ini merupakan sekelompok kecil orang yang
berada ditengah-tengah lapisan masyarakat, mereka memiliki kualitas-kualitas
yang sangat baik di dalam masyarakat sehingga dengan kualitas-kualitas tersebut
masyarakat memilih mereka sebagai orang yang dituakan serta dipanuti perilaku
dan kecapakanya. Menurut Harold Laswell, elit adalah individu-individu yang
berhasil memiliki sebagian terbanyak dari nilai-nilai yang ada karena kecakapan-
kecakapan yang dimiliki serta sifat-sifat kepribadian mereka. Dengan keunggulan
yang melekat pada dirinya, elit terlibat secara aktif dalam proses pengambilan
keputusan. (Haryanto, 2005: 126)
Dalam persepektif elitis terdapat dua macam pendekatan teoritis yang
berlainan dalam menerangkan kelahiran dan keberadaan kelompok elite. Teori
pertama, kelompok elite dianggap lahir dari proses yang alami. Mereka adalah
orang-orang yang terilih yang memang di karuniai kepandandaian , kemampuan
dan keteramilan lebih tinggi dalam mengatasi atau memecahkan berbagai
persoalan hidup. Di dalam diri anggota kelompok ini melekat karakteristik
individual tertentu yang sangat berbeda dengan orang-orang biasa (massa).
Dengan demikian kelompok elite lahir bukan karena mereka menempati posisi-
posisi strategis dalam masyarakat tetapi lebih karena mereka memiliki kapasitas
personal yang lebih potensial untuk menempati posisi itu. (Surbakti,74)
Pemikir klasik juga banyak membahas masalah elit dan struktur kekuasaan
adalah seorang sosiolog Jerman bernama Robert Michel (1959) yang populer
dengan “hukum besi oligarki”. Menurutnya kelompok minoritas yang kemudian
dominan dalam pengambilan keputusan adalah akibat dari struktur organisasi
sosial modern. Dalam mengatur roda organisasi sosial modern dibutuhkan
pembagian kerja yang jelas. Orang-orang yang menempati jabatan penting dan
melakukan fungsi perencanaan, mobilisasi, inplementasi, dan kontrol akan
menjadi kelompok elit.
Dalam struktur sosial masyarakat Indonesia terdapat kelompok elite yang
memiliki kedudukan dan pengaruh yang menentukan terdapat kaum bangsawan
atau priyayi dan elit agama seperti ulama atau kyai yang keduanya sering disebut
elit tradisional, yang berbeda dari elit baru yaitu elit birokrasi dan kaum
intelegensi. Jurdi (2014) mengatakan bahwa, elit politik merupakan konsep yang
paling sentral dalam politik. Perilaku politik akan ditentukan oleh elit politik yang
sedang berkuasa, sehingga baik buruknya politik sangat tergantung pada perilaku
elitnya. Tidak hanya pelaku politik yang berkedudukan di pemerintahan dan partai
politik disebut elit, namun para kelian adat juga merupakan elit adat yang
mempunyai kharisma dan wibawa serta dijadikan panutan oleh masyarakat adat.
Kelian adat dikategorikan sebagai elit politik yang memiliki peranan di dalam
struktur masyarakat adat, dimana peranan itu membantu masyarakat adat untuk
memberikan jalan keluar dalam permasalahan sosial masyarakat. Peran elit ini
memiliki kelebihan dan mempunyai peran-peran strategis dalam mengatur dan
menentukan masa depan masyarakat yang dipimpinya. Petuah dan nasehat dari
kelian adat biasanya akan diikuti oleh masyarakat adat, karena peran kelian adat
sebagai elit politik memiliki tugas dan tanggung jawab yang baik dan cukup
dipercaya secara moral maupun secara hukum.
2.2.2 Strategi Budaya
Kebudayaan dekat kaitanya dengan ilmu-ilmu seperti sosiologi,
antropologi, dan psikologi, terutama karena membicarakan tentang fenomena
masyarakat, tetapi dalam membicarakan tentang politik secara luas, kebudayaan
merupakan fatkor yang sangat penting karena mengkaji berbagai pola perilaku
seseorang ataupun sekelompok orang (suku) yang orientasinya berkisar tentang
kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi Negara, politik pemerintahan,
hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang berjalan, dipikir, dikerjakan, dan
dihayati, oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan
dengan prestasi di bidang peradaban. (Syafiie dan Azhari, 2010 : 88)
Kebudayaan Indonesia merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang
diwarisi nilai-nilai luhur nenek moyang. Tercermin dari budaya kedaerahanya
yang mempengaruhi berbagai macam suku yang ada di Indonesia salah satunya
kebudayaan di daerah Bali. Kehidupan masyarakat di Bali tidak jauh dari
perkembangan kebudayaanya yang unsur-unsurnya berasal dari budaya agama
Hindu Jawa.
Dalam pemikiran masyarakat Bali cenderung masih fanatik terhadap hal-
hal yang bersangkutan dengan adat dan budaya. Mereka menggunakan adat dan
budaya untuk dijadikan sebagai senjata atau alat untuk menghakimi orang lain.
Penghakiman tersebut dilakukan serentak dan secara bersama-sama dalam istilah
bahasa Balinya “suryak siu” hal ini juga dilandasi dengan unsur adat dan budaya.
Konsep suryak siu merupakan kebersamaan masyarakat Bali dalam mengambil
sebuah tindakan dan harus seragam tidak ada perbedaan. Suryak siu ini pun
membawa dampak yang sangat besar dan biasanya fenomena suryak siu tidak
mempertimbangkan baik dan buruk. Dari kekuatan kebudayaan suryak siu inilah
para pelaku politik biasanya lebih menyasar dan mendekatkan diri ke ranah adat,
dan biasanya menggunakan orang yang sangat disantuni di lingkungan adat
seperti Kelian Adat sebagai jembatan memperoleh dukungan dari masyarakat
adat. Kelian Adat dipercaya mampu mempengaruhi perilaku pemilih dengan
menggunakan latar belakang sebagai figur yang dipanuti menyebabkan apapun
yang dikatakan dan direkomendasi akan menghasilkan kekompakan suara pemilih
di Banjar Adat. Kekompakan suara pemilih juga dapat menghindari konflik yang
terjadi di Banjar Adat.
Dwipayana (2004), dalam gagasan status quo, desa adat diletakan dalam
rangka pencapaian stabilitas sosial dan konsesus normatif (laras, rukun, patut).
Desa adat rentan dengan adanya konflik. Konflik adalah sesuatu yang harus
dihindari, karena konflik menjadi salah satu sumber perpecahan terhadap
kerukunan, keseimbangan dan keajegan. Dalam lingkar kerukunan, perbedaan
pendapat merupakan penyimpangan sehingga diharuskan untuk dihindari dalam
kehidupan adat. Akhirnya, untuk menghindari konflik dan penyimpangan
tersebut. Organisasi adat salah satunya desa adat dan banjar adat mengambil
tindakan represif, dengan melalui cara kesepekang (pengucilan), kekerasan
sampai dengan pengusiran dari tempat tinggal.
Perbedaan pendapat yang terjadi dalam setiap pengambilan keputusan
tersebut mengakibatkan timbulnya kegagapan di desa adat. Tidak ada toleransi
pada yang berbeda pendapat dan yang berbeda harus dihancurkan sampai ke akar-
akarnya. Masyarakat banjar adat biasanya tidak berani mengambil sikap politik
yang berbeda dengan sikap politik komunitasnya. Mereka lebih memilih jalur
untuk mengikuti arus agar aman dari konflik. Kondisi ini menyebabkan banjar
adat sangat rapuh dan mudah dimasuki campur tangan kepentingan politik
kekuatan supra lokal. Karena bagaimanapun yang menjadi faktor utama dari
sebuah kepentingan partai politik adalah massa dan suara. Banjar adat sangat
mudah untuk digerakan, baik dalam mobilisasi massa dan suara, dengan cara
mengambil hati warga masyarakat adat melalui kampanye yang dikemas dengan
konsep adat. Kampanye tersebut juga menggunakan akses para prajuru dan tokoh
adat, sebagai strategi untuk lebih mudah mencapai kepentingan dan tujuan politik.