21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah masyarakat tradisional, membangkitkan adanya gerakan masyarakat berbasis adat. Karena sifatnya yang terbuka, adat dimanfaatkan oleh elit lokal dengan memberi jalan potensi-potensi politik untuk orang luar. Maraknya politik yang menyentuh adat semakin diperbincangkan dimana tokoh adat sering muncul sebagai sarana perantara untuk memperoleh eksistensi dalam masyarakat adat. Hal ini ditandai dengan masuknya elit politik ke ranah adat melalui mobilisasi yang terlaksana dengan cara adat. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Gede Oka Wisnumurti (2011) mengenai Dinamika Politik Lokal dalam pemilihan kepala daerah langsung 2005 di Kabupaten Badung, dimana praktik-praktik kampanye yang dikemas dengan bungkusan adat dan agama seperti simakrama yang dilakukan di pura serta balai banjar menjadi pemanfaatan kekuatan tradisi melalui organisasi tradisional di satu sisi memudahkan calon untuk memobilisasi dukungan sedangkan di sisi lain menjadi arena tawar menawar bagi masyarakat dalam pemberikan dukungan politik. Penelitian yang dilakukan oleh Risky (2011) dengan judul Evaluasi Pengaruh Tokoh Masyarakat Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Minahasa Selatan, menyatakan Pengaruh tokoh masyarakat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan atau bertujuan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka fileBAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah masyarakat tradisional,

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah

masyarakat tradisional, membangkitkan adanya gerakan masyarakat berbasis adat.

Karena sifatnya yang terbuka, adat dimanfaatkan oleh elit lokal dengan memberi

jalan potensi-potensi politik untuk orang luar. Maraknya politik yang menyentuh

adat semakin diperbincangkan dimana tokoh adat sering muncul sebagai sarana

perantara untuk memperoleh eksistensi dalam masyarakat adat. Hal ini ditandai

dengan masuknya elit politik ke ranah adat melalui mobilisasi yang terlaksana

dengan cara adat. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung

Gede Oka Wisnumurti (2011) mengenai Dinamika Politik Lokal dalam pemilihan

kepala daerah langsung 2005 di Kabupaten Badung, dimana praktik-praktik

kampanye yang dikemas dengan bungkusan adat dan agama seperti simakrama

yang dilakukan di pura serta balai banjar menjadi pemanfaatan kekuatan tradisi

melalui organisasi tradisional di satu sisi memudahkan calon untuk memobilisasi

dukungan sedangkan di sisi lain menjadi arena tawar menawar bagi masyarakat

dalam pemberikan dukungan politik.

Penelitian yang dilakukan oleh Risky (2011) dengan judul Evaluasi

Pengaruh Tokoh Masyarakat Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilihan Bupati

Dan Wakil Bupati Kabupaten Minahasa Selatan, menyatakan Pengaruh tokoh

masyarakat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan atau bertujuan dengan

proses adaptasi dan pelaksanaan untuk menjadikan masyarakat lebih baik dalam

menanggapi setiap proses pembuatan dan keputusan politik. Berdasarkan data

hasil penelitian terlihat bahwa kesadaran dalam pemungutan suara sangat tinggi,

kesadaran masyarakat dalam menanggapi keterlibatan tokoh masyarakat dalam

berkampanye sangat tinggi, sedangkan pengaruh tokoh masyarakat terhadap sikap

masyarakat dalam menjaga kejujuran dalam proses perhitungan suara juga

menunjukkan angka yang sangat tinggi.

Laporan studi pustaka yang dilakukan oleh Triana Winni Astuty (2014)

tentang Pengaruh Elit Berkuasa Terhadap Pembangunan Desa, menyatakan bahwa

Elit berkuasa dapat memberikan pengaruh yang besar dan signifikan terhadap

pembangunan desa melalui tiga hal, yaitu: 1) faktor pengambilan keputusan dalam

membuat kebijakan yang dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari luar, kebiasaan

lama, sifat-sifat pribadi, kelompok luar, atau keadaan masa lalu; 2) gaya

kepemimpinan yang terdiri dari: gaya kepemimpinan instruksi, konsultasi,

partisipasi atau delegasi; 3) perilaku pemimpin, yaitu pembuatan visi yang

inovatif, perilaku yang tidak konvensional, manajemen kesan, pengorbanan diri

dan risiko pribadi, perilaku tokoh panutan yang patut dicontoh, memperlihatkan

keyakinan pada pengikut, memperkuat identitas tim, berbagi kekuasaan untuk

keputusan penting, dan menganalisis lingkungan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti mengenai

pengaruh tokoh-tokoh adat dalam elit politik memberikan sebuar gambaran

tentang bagaimana pengaruh tokoh elit dalam keterlibatan berkampanye sangat

penting sebagai proses menentukan kecenderungan suara pemilih. Eratnya

hubungan tokoh elit lokal dengan masyarakat lokal memperoleh daya tarik yang

besar dalam pemilukada.

2.2 Kerangka Konsep

2.2.1 Kontestasi

Ahsan (2010) menyebutkan bahwa kontestasi berasal dari kata dasar

kontest. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan artinya sebagai kata

benda, yaitu perlombaan. Kamus Oxford 2005 menyebutkan makna kata contest

sebagai kata benda yang artinya an event in which people compelete supremacy.

Apabila jika diterjemahkan adalah suatu ajang atau perlombaan dimana

terjadinya adu kekuatan atau keunggulan.

Istilah kontestasi yang lazim muncul pada isu kekuasaan, dipahami

sebagai suatu cerminan beragam hubungan kekuatan yang saling mendukung,

berjuang, bersaing dan menghancurkan. Nivada (2014) menyebutkan dalam

kalimat sederhana, kontestasi merupakan pertarungan berbagai macam kelompok,

masing-masing memperjuangkan ideologi, nilai, solusi, dan lain sebagainya.

Wacana, atau diskursus akan selalu dibuka, bermunculan pula berbagai

perbandingan yang mengundang debat, maupun konflik. Menurut Fahrizal (2007),

kontestasi politik sebagai bentuk yang diranah kontestasi wacana. Sedangkan

Syakir dan Fadmi Ridwan menilai kontestasi dari sudut pandang interaksi

kepentingan aktor. Maksudnya kontestasi politik terjebak dalam kepentingan

politis dan mengabaikan kepentingan teknokratis. Dalam tahapan kompetisi

berlangsung antar aktor, untuk mengagendakan dan memasukkan kepentingan

masing-masing aktor. Disanalah agenda setting sampai formulasi sebagai satu

kesatuan yang terjadi dibuat.

Pada prosesnya, pembentukan sebuah institusi yang bekerja dalam

interaksi dan kontestasi politik ditinjau dari kepentingan antara aktor akan sangat

berpotensi untuk berkonflik antar suku, atau pun beberapa aktor dengan aktor

lainnya. Selain konflik, kerjasama pun seringkali berlangsung antar aktor, apalagi

pembentukan lembaga atau institusi akan menghasilkan kesepakatan dalam

keputusan akhirnya. Di sinilah memunculkan tanda tanya, apa yang

melatarbekalangi kontestasi persaingan dan pertarungan di antara yang berpihak

dan tidak berpihak.

Aktor-aktor yang terlibat dalam kontestasi sangat ditentukan dari kekuatan

modal di masing-masing aktor. Sejalan dengan pemikiran Bourdieu, modal

merupakan hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan

membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan dimana ia memproduksi dan

mereproduksi (Bourdieu, 1979 : 127). Lebih jauh lagi Bourdieu membagi modal

menjadi tiga modal sosial, budaya, dan simbolik. Sedangkan penulis

menambahkan kekuatan kontestasi tidak hanya dilihat dari tiga modal tersebut.

Akan tetap modal jaringan (investasi jaringan) dan investasi jabatan menjadi

modal tambahan yang harus dimiliki aktor dalam pertarungan kepentingan.

Pemilukada merupakan arena kontestasi politik bukan hanya kompetisi

antar pasangan kandidat, namun persaingan Kelian Adat dalam memobilisasi

krama Banjar Adat. Untuk memenangkan kandidat yang didukungnya haruslah

ditentukan suara terbanyak oleh pemilih. Tetapi kompetisi yang terjadi dalam

penelitian ini bukan persaingan antar partai namun yang lebih menonjolkan figur

dari Kelian Adat tersebut seperti ketokohan, popularitas dan moralitas, latar

belakang pendidikan dan pekerjaan. Hal ini dapat menjadi sangat penting dalam

suatu kontestasi, dimana seseorang hanya dengan mengandalkan popularitas dan

figur mampu bersaing untuk memobilisasi krama Banjar Adat dalam pemilukada.

Modal ini adalah bangunan relasi dan kepercayaan (trust) yang dimiliki oleh

Kelian Adat dengan masyarakat Banjar Adat dalam memilih kandidat politik.

2.2.2 Kelian Adat

Istilah Kelihan Adat berasal dari kata “Kelih” yang berarti tua, Kelihan

artinya lebih tua dan kelian adat diartikan sebagai orang yang dituakan di Banjar

Adat. Dengan demikian Kelian Adat adalah orang yang dituakan dalam suatu

Banjar Adat serta dijadikan panutan dan tempat krama Banjar meminta petunjuk,

petuah, nasehat maupun bimbingan-bimbingan mengenai tata cara kehidupan

Banjar Adat. Kelian Adat adalah ketua dari organisasi Banjar Adat di Bali, yang

kedudukanya dibawah Bendesa Adat. Kelian Adat pada umumnya dipilih dari,

oleh dan untuk Banjar Adat melalui sangkepan krama Banjar adat.

Pemilihan Kelian Adat di Kota Denpasar bervariasi, tergantung dari

masing-masing Banjar Adat yang membuat khusus awig-awig atau peraturanya

sendiri. Awig-awig tersebut selain mengatur kehidupan organisasi Banjar Adat

juga berisikan tentang tata cara pemilihan Kelian Adat. Kelian Adat pada

umumnya dipilih secara musyawarah mufakat dimana pemilihan itu dilaksanakan

pada paruman (rapat) Adat yang dihadiri oleh krama Banjar Adat. Pada saat Bali

masih dijajah oleh orang asing, pemilihan Kelian Adat hanya dipilih oleh berkasta

dan memilih orang yang terpandang di lingkungan Banjar Adat, namun ketika

berkembangnya demokrasi di Indonesia banyak Banjar adat yang memakai sistem

pemilihan langsung. Pemilihan Kelian Adat Banjar terbagi menjadi dua yaitu

langsung dan tidak langsung. Pemilihan langsung terlaksana jika krama Banjar

memiliki rekomendasi beberapa calon untuk di pilih, kemudian dilakukan

pemilihan oleh seluruh krama Banjar Adat. Pemilihan tidak langsung dapat terjadi

ketika Banjar itu hanya memiliki calon tunggal, dan terpilihnya calon tunggal

tersebut atas rekomendasi tim formatur melihat dari cocok atau tidaknya

seseorang menjadi kelian adat. Arti dan makna yang ada didalam istilah Kelian

Adat ini menyebabkan pada saat pemilihan Kelian adat berusaha dipilih dari

perilaku dan kepribadinya, karena tingkah lakunya yang menyebabkan ia patut

dijadikan pemimpin adat yang teladan dan menjadi panutan di Banjar Adat

tersebut. Menjadi seorang Kelian Adat harus disegani oleh semua krama Banjar

Adat dan dipercaya mampu menangani permasalahan bidang adat istiadat dan

mempunyai pengetahuan mengenai pelaksanaan upacara adat agama Hindu yakni

Panca Yadnya, dimana upacara tersebut wajib dilakukan oleh krama Banjar Adat.

Uniknya di Bali, sebuah Banjar memiliki dua Kelian namun memiliki

tugas dan fungsi yang berbeda. Kelian Dinas mengurus Banjar secara administrasi

dibagian kepemerintahan, bertugas untuk mendata krama Banjar Adat, mengurusi

KTP, akta kelahiran dan kartu KK serta keperluan administrasi kepemerintahan

lainya. Lain halnya dengan Kelian Adat yang bertugas mengkoordinir krama

Banjar Adat di ranah adat. Kedua posisi Kelian di Banjar saling mengcover antara

satu dengan lainya. Tugas seorang Kelian Adat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

prahyangan, pelemahan, pawongan. Prahyangan merupakan hubungan harmonis

antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa / Brahman sang pencipta /

Tuhan Yang Maha Esa, tugas tersebut terlaksana dengan mengkoordinir krama

Banjar Adat untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan agama Hindu di

Banjar Adat. Bagian palemahan menciptakan hubungan harmonis antara umat

manusia dengan alam lingkungannya, tugas ini terlaksana dengan adanya kegiatan

suka duka, kerja bakti dan gotong royong untuk memelihara kebersihan,

kelestarian dan keseimbangan kehidupan krama Banjar Adat. Bagian terakhir

yaitu Pawongan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara sesama umat

manusia. Dalam hal ini tugas Kelian Adat sebagai pengurus urusan sosial

kemasyarakatan seperti saat ada kematian atau upacara perkawinan, mengurus

iuran Banjar Adat dan mengurus struktur Banjar Adat. Secara garis besarnya

dimana tugas tugas tersebut dipandang dari sisi spiritual dari sisi kemanusiaan dan

lingkungan, dimana kepentingan-kepentingan krama Banjar Adat bisa dikoordinir

dengan baik oleh Kelian Adat.

Masing-masing Banjar Adat di Kota Denpasar memiliki struktur

organisasinya sendiri, seperti contoh struktur di Banjar Adat Abian Timbul, Sanur

yang sudah tercantum dalam awig-awig Banjar, dimana struktur tersebut

digambarkan bahwa Kelian Adat dibantu oleh tiga orang yang masing-masing

menangani bagian prahyangan, palemahan, dan pawongan. Lalu dibawahnya ada

posisi sekretaris dan bendahara. Struktur ini merupakan gambaran umum dari

beberapa struktur Banjar Adat di Kota, namun belakangan ini sejalan dengan

perkembangan masyarakat, muncul berbagai variasi nama dan fungsi, sesuai

dengan situasi dan kondisi masing-masing Banjar Adat di Kota Denpasar.

Bertugas sebagai Kelian Adat pada umumnya bersifat ngayah atau

mengabdi untuk menyejahterahkan Banjar Adat, biasanya Kelian Adat tidak

mendapat gaji bulanan dari pemerintah, namun semakin berkembangnya peraturan

dan kebijakan baru Kelian Adat mendapatkan upah dimana upah tersebut disebut

ensentif dari pemerintah langsung melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.

Jaman dulu Kelian Adat mengelola pelaba pura, untuk menunjang finansial

pelaba pura itu berupa sawah dan tegalan, Kelian Adat dapat mengelola pelaba

pura tersebut untuk menghasilkan uang. Hasil dari pelaba pura tersebut bisa

menjadi dagangan, untuk alat-alat upakara dan kegiatan di pura atau dikonsumsi

oleh para Kelian Adat. Kelian Adat juga menerima bebas ayah-ayahan, bebas

ayah-ayahan tersebut membebaskan kelian adat hanya untuk mengatur segala

kegiatan adat dan tidak ikut repot dalam kegiatan Banjar. Selain itu Kelian Adat

juga menerima semacam tunjangan dari warga desa berupa bahan – bahan atau

perlengkapaann untuk membuat kelengkapan upakara, seperti bambu, janur,

kelapa dll, sesuai dengan kesepakatan bersama.

Mengemban tugas sebagai Kelian Adat terlihat gampang-gampang susah,

perananya dituntut harus memiliki wibawa dan kharisma yang tinggi agar mampu

memimpin krama Banjar Adat ke arah yang aman tentram dan damai. Sikap ini

pun diuji ketika Kelian Adat dihadapkan oleh persoalan masalah-masalah politik.

Jaman sekarang banyak figur Kelian Adat yang dicari untuk menjembatani proses

mobilisasi massa agar memperlancar tujuan dan kepentingan kampanye politik.

Kampanye politik tersebut dikemas dengan cara adat seperti simakrama di Banjar,

membantu keuangan dan inventaris Banjar, mengahadiri dan menghaturkan dana

punia dalam acara piodalan di Pura, serta kegiatan lainya yang termasuk dalam

kegiatan adat. Strategi ini terlaksana dengan perantara Kelian Adat, karena Kelian

Adat dalam tugasnya sebagai pengkoordinir kegiatan adat di Banjar. Maka dari

itu, bisa dilihat Kelian Adat digunakan sebagai jalan untuk masuknya kepentingan

politik di Banjar Adat. Dengan maraknya kampanye politik yang langsung

menyasar ke Banjar Adat, Kelian Adat diminta mampu menanggapi hal-hal

berbau politik dengan cara yang bijaksana.

2.2.3 Pemilukada Serentak

Semenjak disahkanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah adalah bagian dari Otonomi

Daerah dan Kepala Daerah diselenggarakan dan dipilih secara langsung oleh

rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat

Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Selanjutnya,

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengenai Penyelenggara

Pemilihan Umum, pilkada menjadi bagian dari pemilu, sehingga secara resmi

berganti nama menjadi Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah atau disingkat Pemilukada, dimana penyelenggaraannya sudah

diselenggarakan langsung di bawah tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum.

Daerah yang pertama kali melaksanakan pemilihan kepala daerah berdasarkan

undang-undang ini adalah daerah DKI Jakarta yang dilaksanakan pada tahun

2007.

Pada tahun 2011, disusul dengan terbitnya undang-undang baru tentang

penyelenggaran pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011.

Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Wali Kota, bukan pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2014, DPR-RI

meninjau kembali tentang permasalahan terkait pemilihan kepala daerah secara

langsung. Sidang Paripurna DRI RI dilaksanakan pada tanggal 24 September

2014 dengan memutuskan opsi bahwa Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan

secara tidak langsung dengan kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan

kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri

Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang,

dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.

Rapat Paripurna DPR RI yang dilaksanakan pada tanggal 25 September

2014 dengan agenda pengesahan RUU Pilkada, berakhir dengan disahkannya

RUU Pilkada yang diselenggarakan dan dipilih melalui DPRD. Hasil rapat ini pun

menimbulkan reaksi dari publik berupa penolakan terhadap Rancangan Undang -

Undang Pilkada, yang dianggap mencederai demokrasi. Pilkada melalui DPRD

bukan menjadi jaminan untuk mengakhiri praktik korupsi dan money politics, tapi

justru akan menciptakan money politics yang tertutup dan tidak bisa diawasi oleh

masyarakat. Selain itu, pilkada yang dipilih melalui DPRD justru menjadi tidak

transaparan dan dikhawatirkan adanya lobi-lobi yang di lakukan oleh anggota

dewan tidak mewakilkan pilihan rakyat.

Perdebatan yang terjadi di kalangan elit politik dengan isu dikalangan

masyarakat agar Pemilukada tetap dilaksanakan dan dipilih oleh rakyat berakhir

dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014

mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Dengan ditetapkannya Perppu No. 1 Tahun 2014 menjadi undang-undang,

masyarakat dapat kembali memilih kepala daerahnya secara langsung. Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang- Undang selanjutnya diganti dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Dalam undang-undang tersebut

disebutkan bahwa Pilkada langsung oleh rakyat haruslah dilaksanakan dengan

beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung

yang selama ini.

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang sudah berjalan di seluruh

daerah Indonesia memerlukan anggaran dan biaya yang sangat besar,

menyebabkan pemborosan anggaran pada setiap daerah. Bagi daerah yang

memiliki anggaran dan pendapatan yang rendah, pengeluaran untuk membiayai

pemilukada ini ternyata mengurangi jatah anggaran belanja pelayanan publik

seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, untuk menghemat dan agar

penyelenggaraan lebih efisien maka pemilukada diselenggarakan serentak untuk

seluruh daerah di Indonesia. Jumlah daerah yang akan menggelar Pemilukada

serentak ini sebanyak 269. Namun, pelaksanaan Pemilukada serentak dilakukan

dengan tiga gelombang. Gelombang pertama dilaksanakan pada tahun 2015.

Gelombang kedua akan digelar pada Februari 2017 diberlakukan bagi mereka

pejabat kepala daerah yang habis masanya pada Juli hingga Desember 2017.

Sedangkan gelombang ketiga akan dilaksanakan pada bulan Juni 2018 bagi

pejabat yang habis masa tugasnya pada 2018 dan 2019.

Pemilukada serentak sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan

Walikota di Pasal 201. Dalam terlaksananya peraturan tersebut, KPU Kota

Denpasar melaksanakan Pemilukada pada akhir tahun 2015 tepatnya tanggal 9

Desember lalu, karena masa jabatan Walikota dan Wakil Walikota Denpasar

berakhir pada tahun 2015. Kota Denpasar merupakan salah satu dari 269 daerah

yang menyelenggarakan Pemilukada pada Tahun 2015.

Pemilihan umum kepala daerah Kota Denpasar diikuti oleh 3 pasang calon

walikota dan wakil walikota. Ketiganya telah resmi ditetapkan Komisi Pemilihan

Umum Kota Denpasar pada Jumat, 11 September 2015. Pasangan itu adalah Ida

Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan I Gst Ngr Jaya Negara (Dharma-Negara)

dari partai PDIP yang telah dinyatakan sah pada pendaftaran tahap pertama

mendapat nomor urut 1. Adapun dua pasangan lain dinyatakan sah pada

pendaftaran gelombang kedua yaitu, Ketut Resmiayasa-Batu Agung dari koalisi

partai Gerindra-Hanura,dan Made Arajaya-A.A Rai Sunasri dari koalisi partai

Demokrat-PKS.

Sebelumnya pada pendaftaran pertama ada dua pasangan calon yang

mendaftar yakni pasangan pertama Dharma-Negara dan I Ketut Suwandhi – I

Made Arjaya (SUAR) namun paket SUAR gugur karena Suwandhi tidak

memenuhi syarat. Karena menyisakan paslon tunggal (Dharma-Negara), Komisi

Pemilihan Umum Kota Denpasar membuka Kembali pendaftaran kedua pada

tanggal 1 – 3 September 2015. (www. metrobali.com)

Pasca Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Denpasar, KPUD Denpasar

telah menetapkan SK Penetapan Hasil Pilkada Kota Denpasar pada tanggal 17

Desember 2015. Dari total suara 236.701 dimana total suara sah 232.128 suara

dan total suara tidak sah 4.908, pasangan calon Walikota dan Walikota Nomor

urut 1, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, S.E.,M.Si dan I Gst Ngr Jaya

Negara, S.E memperoleh suara sebanyak 191.347 suara atau sekitar (82%), hasil

dari pasangan nomor urut dua I Ketut Resmiayasa, S.T dan Ida Bagus Batuagung

Antara dengan perolehan suara sebanyak 12.739 suara atau sekitar (6%), dan hasil

dari pasangan nomor urut tiga I Made Arjaya,S.E.,M.Si dan A.A Ayu Rai Sunasri,

S.Sos.,M.Si dengan perolehan suara sebanyak 28.871 atau sekitar (12%).

(www.kpu-denpasarkota.go.id)

Dari hasil perhitungan hasil suara tersebut telah ditetapakan pasangan Ida

Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan I Gst Ngr Jaya Negara menang dalam

pemilukada Kota Denpasar 2015, dan ditetapkan sebagai Walikota dan Wakil

Walikota Denpasar periode 2016 sampai dengan 2021 yang dilantik langsung oleh

Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pada tanggal 17 Ferbruari 2016 .

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Elit Politik

Dari konsep yang telah tertera diatas maka penelitian ini menggunakan

Teori Elit Politik yang lahir dari diskusi seru para ilmuwan sosial Amerika tahun

1950-an, antara Schumpeter seorang ekonom, Laswell seorang ilmuwan politik

dan Wright Mills seorang Sosiolog yang melacak tulisan dari pemikir eropa pada

awal munculnya fasisme. Menurut Pareto dalam buku yang berjudul Studi Ilmu

Politik karangan Jurdi (2014) mengatakan bahwa setiap masyarakat diperintah

oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan

bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh, mereka

yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik.

Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil,

yang mampu menduduki jabatan tiggi dan dalam lapisan masyarakat.

Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan

masyarakat yang berbeda itu umumnya dari kelas yang sama yaitu orang-orang

yang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang

musik, karakter moral dan sebagainya. Karena itu Pareto lebih lanjut lagi

membagi masyarakat terdiri dari dua kelas, yaitu pertama lapisan atas disebut elit

yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elit) dan elit tidak

memerintah (non governing elit), kedua lapisan yang lebih rendah disebut nonelit.

Sejalan dengan hal itu menurut Mosca dalam S.P Varma (2013) dalam semua

masyarakat, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat yaitu, kelas yang

memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama yang biasanya

jumlahnya sedikit memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan

menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara

kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar diatur dan dikontrol oleh yang

pertama.

Istilah lain tentang elit (elitee) lazimnya dalam studi sosiologi didefinisi

sebagai anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani,

dihormati, kaya serta berkuasa. Kelompok elit adalah kelompok minoritas

superior yang posisinya berada pada puncak strata, memiliki kemampuan

mengendalikan kegiatan ekonomi dan politik, serta sangat dominan

mempengaruhi proses pengambilan keputusan-keputusan krusial. Itulah sebabnya

mudah dimengerti apabila dalam banyak hal kelompok elit tidak hanya

ditempatkan sebagai pemberi legitimasi, akan tetapi dari pada itu mereka adalah

panutan sikap dan acuan berbagai tindakan, serta oleh masyarakat senantiasa

diharapkan dapat berbuat nyata bagi kepentingan bersama. (Haryanto, 2005:125)

Para elit politik dalam hal ini merupakan sekelompok kecil orang yang

berada ditengah-tengah lapisan masyarakat, mereka memiliki kualitas-kualitas

yang sangat baik di dalam masyarakat sehingga dengan kualitas-kualitas tersebut

masyarakat memilih mereka sebagai orang yang dituakan serta dipanuti perilaku

dan kecapakanya. Menurut Harold Laswell, elit adalah individu-individu yang

berhasil memiliki sebagian terbanyak dari nilai-nilai yang ada karena kecakapan-

kecakapan yang dimiliki serta sifat-sifat kepribadian mereka. Dengan keunggulan

yang melekat pada dirinya, elit terlibat secara aktif dalam proses pengambilan

keputusan. (Haryanto, 2005: 126)

Dalam persepektif elitis terdapat dua macam pendekatan teoritis yang

berlainan dalam menerangkan kelahiran dan keberadaan kelompok elite. Teori

pertama, kelompok elite dianggap lahir dari proses yang alami. Mereka adalah

orang-orang yang terilih yang memang di karuniai kepandandaian , kemampuan

dan keteramilan lebih tinggi dalam mengatasi atau memecahkan berbagai

persoalan hidup. Di dalam diri anggota kelompok ini melekat karakteristik

individual tertentu yang sangat berbeda dengan orang-orang biasa (massa).

Dengan demikian kelompok elite lahir bukan karena mereka menempati posisi-

posisi strategis dalam masyarakat tetapi lebih karena mereka memiliki kapasitas

personal yang lebih potensial untuk menempati posisi itu. (Surbakti,74)

Pemikir klasik juga banyak membahas masalah elit dan struktur kekuasaan

adalah seorang sosiolog Jerman bernama Robert Michel (1959) yang populer

dengan “hukum besi oligarki”. Menurutnya kelompok minoritas yang kemudian

dominan dalam pengambilan keputusan adalah akibat dari struktur organisasi

sosial modern. Dalam mengatur roda organisasi sosial modern dibutuhkan

pembagian kerja yang jelas. Orang-orang yang menempati jabatan penting dan

melakukan fungsi perencanaan, mobilisasi, inplementasi, dan kontrol akan

menjadi kelompok elit.

Dalam struktur sosial masyarakat Indonesia terdapat kelompok elite yang

memiliki kedudukan dan pengaruh yang menentukan terdapat kaum bangsawan

atau priyayi dan elit agama seperti ulama atau kyai yang keduanya sering disebut

elit tradisional, yang berbeda dari elit baru yaitu elit birokrasi dan kaum

intelegensi. Jurdi (2014) mengatakan bahwa, elit politik merupakan konsep yang

paling sentral dalam politik. Perilaku politik akan ditentukan oleh elit politik yang

sedang berkuasa, sehingga baik buruknya politik sangat tergantung pada perilaku

elitnya. Tidak hanya pelaku politik yang berkedudukan di pemerintahan dan partai

politik disebut elit, namun para kelian adat juga merupakan elit adat yang

mempunyai kharisma dan wibawa serta dijadikan panutan oleh masyarakat adat.

Kelian adat dikategorikan sebagai elit politik yang memiliki peranan di dalam

struktur masyarakat adat, dimana peranan itu membantu masyarakat adat untuk

memberikan jalan keluar dalam permasalahan sosial masyarakat. Peran elit ini

memiliki kelebihan dan mempunyai peran-peran strategis dalam mengatur dan

menentukan masa depan masyarakat yang dipimpinya. Petuah dan nasehat dari

kelian adat biasanya akan diikuti oleh masyarakat adat, karena peran kelian adat

sebagai elit politik memiliki tugas dan tanggung jawab yang baik dan cukup

dipercaya secara moral maupun secara hukum.

2.2.2 Strategi Budaya

Kebudayaan dekat kaitanya dengan ilmu-ilmu seperti sosiologi,

antropologi, dan psikologi, terutama karena membicarakan tentang fenomena

masyarakat, tetapi dalam membicarakan tentang politik secara luas, kebudayaan

merupakan fatkor yang sangat penting karena mengkaji berbagai pola perilaku

seseorang ataupun sekelompok orang (suku) yang orientasinya berkisar tentang

kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi Negara, politik pemerintahan,

hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang berjalan, dipikir, dikerjakan, dan

dihayati, oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan

dengan prestasi di bidang peradaban. (Syafiie dan Azhari, 2010 : 88)

Kebudayaan Indonesia merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang

diwarisi nilai-nilai luhur nenek moyang. Tercermin dari budaya kedaerahanya

yang mempengaruhi berbagai macam suku yang ada di Indonesia salah satunya

kebudayaan di daerah Bali. Kehidupan masyarakat di Bali tidak jauh dari

perkembangan kebudayaanya yang unsur-unsurnya berasal dari budaya agama

Hindu Jawa.

Dalam pemikiran masyarakat Bali cenderung masih fanatik terhadap hal-

hal yang bersangkutan dengan adat dan budaya. Mereka menggunakan adat dan

budaya untuk dijadikan sebagai senjata atau alat untuk menghakimi orang lain.

Penghakiman tersebut dilakukan serentak dan secara bersama-sama dalam istilah

bahasa Balinya “suryak siu” hal ini juga dilandasi dengan unsur adat dan budaya.

Konsep suryak siu merupakan kebersamaan masyarakat Bali dalam mengambil

sebuah tindakan dan harus seragam tidak ada perbedaan. Suryak siu ini pun

membawa dampak yang sangat besar dan biasanya fenomena suryak siu tidak

mempertimbangkan baik dan buruk. Dari kekuatan kebudayaan suryak siu inilah

para pelaku politik biasanya lebih menyasar dan mendekatkan diri ke ranah adat,

dan biasanya menggunakan orang yang sangat disantuni di lingkungan adat

seperti Kelian Adat sebagai jembatan memperoleh dukungan dari masyarakat

adat. Kelian Adat dipercaya mampu mempengaruhi perilaku pemilih dengan

menggunakan latar belakang sebagai figur yang dipanuti menyebabkan apapun

yang dikatakan dan direkomendasi akan menghasilkan kekompakan suara pemilih

di Banjar Adat. Kekompakan suara pemilih juga dapat menghindari konflik yang

terjadi di Banjar Adat.

Dwipayana (2004), dalam gagasan status quo, desa adat diletakan dalam

rangka pencapaian stabilitas sosial dan konsesus normatif (laras, rukun, patut).

Desa adat rentan dengan adanya konflik. Konflik adalah sesuatu yang harus

dihindari, karena konflik menjadi salah satu sumber perpecahan terhadap

kerukunan, keseimbangan dan keajegan. Dalam lingkar kerukunan, perbedaan

pendapat merupakan penyimpangan sehingga diharuskan untuk dihindari dalam

kehidupan adat. Akhirnya, untuk menghindari konflik dan penyimpangan

tersebut. Organisasi adat salah satunya desa adat dan banjar adat mengambil

tindakan represif, dengan melalui cara kesepekang (pengucilan), kekerasan

sampai dengan pengusiran dari tempat tinggal.

Perbedaan pendapat yang terjadi dalam setiap pengambilan keputusan

tersebut mengakibatkan timbulnya kegagapan di desa adat. Tidak ada toleransi

pada yang berbeda pendapat dan yang berbeda harus dihancurkan sampai ke akar-

akarnya. Masyarakat banjar adat biasanya tidak berani mengambil sikap politik

yang berbeda dengan sikap politik komunitasnya. Mereka lebih memilih jalur

untuk mengikuti arus agar aman dari konflik. Kondisi ini menyebabkan banjar

adat sangat rapuh dan mudah dimasuki campur tangan kepentingan politik

kekuatan supra lokal. Karena bagaimanapun yang menjadi faktor utama dari

sebuah kepentingan partai politik adalah massa dan suara. Banjar adat sangat

mudah untuk digerakan, baik dalam mobilisasi massa dan suara, dengan cara

mengambil hati warga masyarakat adat melalui kampanye yang dikemas dengan

konsep adat. Kampanye tersebut juga menggunakan akses para prajuru dan tokoh

adat, sebagai strategi untuk lebih mudah mencapai kepentingan dan tujuan politik.

2.4 Kerangka Pemikiran

Calon

Kandidat

Pemilukada

Kota

Denpasar

Kelian

Adat

Pemilih

Teori Elit Politik

Strategi Budaya

Kontestasi