Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Budaya
Barnouw (1985), mendefinisikan budaya sebagai
sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki
bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari
satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau
beberapa sarana komunikasi lain.
Seorang antropolog lain, E.B. Tylor (1871), dalam bukunya
yang berjudul Primitive Culture (New York; Brentano's, 1924;1)
mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
kepercayaan, pengetahuan, moral, kesenian, adat-istiadat,
hukum, serta kemampuan dan kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Sifat dan hakikat kebudayaan adalah ciri-ciri dari sebuah
kebudayaan dengan masyarakat yang berbeda. Secara garis
besar, semua kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki sifat
dan hakikat yang sama. Sifat dan hakikat kebudayaan tersebut
menurut (E.B. Tylor,1871) yaitu :
1. Kebudayaan terwujud lewat perilaku manusia.
10
2. Kebudayaan telah ada sebelum lahirnya suatu generasi
dan tidak akan pernah mati bersama usia generasi yang
bersangkutan.
3. Kebudayaan sangat diperlukan oleh semua umat
manusia dan di wujudkan tingkaj lakunya.
4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisi
tindakan yang diijinkan, kewajiban yang ditolak dan
diterima.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya berarti
sebuah pemikiran, adat istiadat atau akal budi. Secara tata
bahasa, arti dari kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang
cenderung menunjuk kepada cara berpikir manusia. Menurut
Koentjaraningrat (1990), Budaya adalah keseluruhan sistem
tindakan, gagasan dan juga hasil karya manusia yang dijadikan
milik manusia denga belajar. Ada 3 wujud kebudayaan yaitu,
(Koentjaraningrat,1990):
1. Ideas, merupakan wujud ideal dari kebudayaan,
sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau dilihat, karena
ada dalam fikiran manusia/masyarakat
2. Activities, atau tindakan masyarakat berupa sistem
sosial, atau aktivitas masyarakat berupa interaksi,
bergaul, berhubungan, selama bertahun-tahun
11
menurut tata hubungan, ada istiadat, serta norma-
norma
3. Artifact, wujudnya merupakan karya manusia yang
dapat dilihat, diraba, difoto, karena konkret dan bersifat
fisik. Misalnya jamu-jamu tradisional yang setiap hari
dijual dan diminum sebagian besar masyarakat Jawa.
Ketiga wujud kebudayaan ini tidak dapat dipisahkan
sendiri-sendiri dalam kehidupan manusia, saling keterkaitan
satu sama lainnya. Karena kebudayaan adalah hasil cipta rasa,
karsa, karya manusia, maka kebudayaan atau budaya yang
dihasilkan tentunya akan merupakan penyaluran dari hasrat,
naluri kebutuhan manusia dan dalam rangka memenuhi rasa
yang ada dalam diri manusia yaitu rasa keindahan rasa
sentimental, rasa aman, rasa sayang dan sebagainya.
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat
digolongkan atas dua komponen utama,
(Koentjataningrat,1990):
1. Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan
masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam
kebudayaan material ini adalah temuan yang dapatkan
dari suatu penggalian arkeologi yaitu perhiasan,
mangkuk tanah liat, senjata, perhiasan dan seterusnya.
12
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang,
seperti pesawat terbang, televisi, stadion olahraga,
gedung, dan pakaian.
2. Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan
abstrak yang diwariskan dari generasi sebelumnya ke
generasi berikutnya, misalnya berupa cerita rakyat,
dongeng, tarian tradisional, dan lagu daerah.
2.1.2 Budaya dan Kepribadian
Hubungan antara kebudayaan dan kepribadian sangat
erat. Kepribadian dibentuk oleh genetik, faktor lingkungan, dan
pengaruh budaya (Kluckhohn & Murray, 1948). Kepribadian
dibentuk oleh genetik, faktor lingkungan, dan pengaruh budaya
(Kluckhohn & Murray, 1948).
Menurut Koentjaraningrat (1990), suatu kebudayaan sering
memancarkan suatu watak khas tertentu yang kelihatan dari
luar. Watak inilah yang terlihat oleh orang asing. Watak yang
khas itu sering tampak padakebiasaan masyarakatnya, tingkah
laku, dan juga hasil karya mereka.
Berbicara mengenai kepribadian dan kebudayaan, tidak
terlepas dari hubungan antara kebudayaan dan manusia.
Masyarakat dan kebudayaan merupakan perwujudan atau
abstraksi perilaku manusia. Perilaku manusia terwujud dari
13
kepribadiannya, karena kepribadian seseorang merupakan
latar belakang perilaku yang ada dalam dirinya.
Menurut Littauer (1996) Perkembangan dan pembentukan
kepribadian seseorang tidak dapat dipisah dari kebudayaan
masyarakat tempat seseorang itu dibesarkan. Aspek-aspek
kebudayaan yang sangat mempengaruhi pembentukan dan
perkembangan kepribadian antara lain:
1. Nilai-nilai (Values)
Dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai (values) yang
ditaati oleh manusia-manusia yang hidup dalam
kebudayaan itu. Agar bisa diterima sebagai anggota suatu
masyarakat, kita harus memiliki kepribadian yang selaras
dan sesuai dengan kebudayaan yang berlaku di daerah itu.
2. Adat dan Tradisi.
Adat dan tradisi yang berlaku disuatu daerah, selain
menentukan nilai-nilai dan norma yang harus ditaati oleh
anggota-anggotanya, juga menentukan cara-cara
bertingkah laku yang akan berdampak pada kepribadiannya
anggotanya.
3. Pengetahuan dan Keterampilan.
Ketrampilan dan tinggi rendahnya pengetahuan seseorang
menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan di masyarakat
14
itu. Makin tinggi kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat
makin, berkembang pula sikap dan tata cara kehidupannya.
4. Bahasa
Di samping aspek-aspek kebudayaan yang di sampaikan di
atas, bahasa juga merupakan salah satu faktor penting
yang ikut menentukan ciri-ciri khas dari suatu kebudayaan.
Bahasa dan kepribadian manusia yang memiliki bahasa itu
berhubungan sangat erat. Karena bahasa merupakan alat
komunikasi yang dapat menunjukkan bagaimana
seseorang itu bersikap, berkreasi, bertindak, dan menjalin
hubungan baik dengan sesama.
5. Milik Kebendaan (material possessions)
Semakin maju kebudayaan suatu masyarakat, maka makin
maju dan modern pula alat-alat yang digunakan bagi
keperluan hidupnya. Hal diatas sangat mempengaruhi
kepribadian manusia yang memiliki kebudayaan tersebut.
Budaya juga dapat mempenguruhi pengembangan kepribadian
yang abnormal.
2.1.3 Persepsi
Kehidupan individu tidak lepas dari interaksi dengan
lingkungan fisik maupun sosial, dalam interaksi ini individu
menerima rangsangan atau stimulus dari luar dirinya, persepsi
merupakan proses akhir dari penghambatan yang diawali
15
dengan proses penginderaan, yaitu proses yang diterima
stimulus oleh alat indra, kemudian individu ada perhatian dan
diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari
tentang suatu yang dinamakan persepsi. Dengan persepsi,
individu dapat menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan
lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang hal yang
ada dalam diri individu itu sendiri.
Kalau berbicara tentang persepsi, kita biasanya
menganggap bahwa kita bisa melihat hal-hal yang benar-benar
faktual atau nyata di dunia sekitar kita. Kita mengira bahwa
benda-benda yang kita lihat atau persepsi ide dan teori
merupakan sesuatu yang kurang nyata. “Melihat berarti
percaya”, demikian pepatah kuno mengatakan.
Pendapat tentang persepsi tersebut dapat disimpulkan
bahwa persepsi merupakan proses kognitif yang dialami setiap
orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya
melalui panca inderanya, dan tiap-tiap individu dapat
memberikan arti atau tanggapannya yang berbeda-beda.
Persepsi adalah cara kita memandang dengan obyek,
menafsirkan sesuatu secara konkrit dan nyata dengan indera
yang kita miliki sebagai sesuatu rangsang.
16
2.1.4 Konsep Sehat-Sakit dalam Konteks Gangguan Jiwa dan
Budaya
Menurut UU No.36 Tahun 2009 Kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Sakit berarti suatu keadaan yang
memperlihatkan adanya keluhan dan gejala sakit secara
subjektif dan objektif, sehingga penderita tersebut memerlukan
pengobatan untuk mengembalikan keadaan sehat. Defenisi
sakit menurut Pemons (1972) adalah gangguan dalam fungsi
normal individu sebagai tatalitas, termasuk keadaan organisme
sesuatu sistem biologis dan penyesuaian sosialnya.
Menurut UU Kesehatan Jiwa No.18 tahun 2014,
Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Menurut Keliat (2011), gangguan jiwa yaitu suatu sindrom
atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang
berhubungan dengan distres atau penderitaan dan
menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan
manusia.
17
Hingga saat ini banyak beredar kepercayaan atau mitos
yang salah mengenai gangguan jiwa, ada yang percaya bahwa
gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang
menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau
hukuman atas dosanya. Oleh sebab itu penderita dianiaya,
dihukum, dijauhi atau diejek masyarakat. Kepercayaan yang
salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya
karena pengidap gangguan jiwa tidak mendapat pengobatan
secara cepat dan tepat (Notosoedirjo, 2005).
Persepsi masyarakat terhadap kesehatan mental berbeda di
setiap kebudayaan. Dalam suatu budaya tertentu, orang-orang
secara sukarela mencari bantuan dari para profesional untuk
menangani gangguan jiwanya. Sebaliknya dalam kebudayaan
yang lain, gangguan jiwa cenderung diabaikan sehingga
penanganan akan menjadi jelek, atau di sisi lain masyarakat
kurang antusias dalam mendapatkan bantuan untuk mengatasi
gangguan jiwanya. Bahkan gangguan jiwa dianggap
memalukan atau membawa aib bagi keluarga. Kedua hal inilah
yang biasanya terjadi dikalangan masyarakat saat ini. Model
kesehatan Barat memandang gangguan jiwa sebagai suatu hal
yang harus disembuhkan.
Dalam masyarakat kita, ada beberapa keadaan yang
merupakan bentuk persepsi untuk individu dengan gangguan
18
jiwa menurut Soewadi (1997), yang dikutip Mubin (2008).
Pertama, keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu
disebabkan oleh guna-guna, tempat keramat, roh jahat, setan,
sesaji yang salah, kutukan, banyak dosa, pusaka yang keramat,
dan kekuatan gaib atau supranatural. Kedua, keyakinan atau
kepercayaan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang
tidak dapat disembuhkan. Ketiga, keyakinan atau kepercayaan
bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang bukan urusan
medis. Keempat, keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan
jiwa merupakan penyakit yang selalu diturunkan.
Persepsi yang muncul di masyarakat disebabkan oleh
gejala-gejala yang dianggap asing dan berbeda dengan orang
normal atau biasanya. Adanya persepsi ini juga berkaitan
dengan faktor tradisi atau kebudayaan dalam masyarakat yang
masih percaya takhayul dan tindakan-tindakan irasional warisan
nenek moyang. Selain itu, persepsi tersebut muncul karena
penyebab gangguan jiwa itu sendiri dirasa susah ditemukan.
Bahkan, para ahli jiwa masih sering berdebat akan etiologi atau
penyebab gangguan jiwa (Soewadi, 1997).
Menurut Maramis (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi adalah :
19
a. Kepercayaan
Kepercayaan memberikan persepsi pada manusia
dalam mempersepsi kenyataan yang ada, memberikan
dasar untuk pengambilan pengambilan keputusan dan
menentukan sikap bagi objek sikap. Bila orang percaya
bahwa sesorang yang mengalami gangguan jiwa itu
menakutkan dan berbahaya bagi lingkungannya, sikap
dan respon masyarakat terhadap seorang penderita
gangguan jiwa akan negative, dan masyarakat akan
cenderung menolak orang gangguan jiwa berada
disekitar lingkungan tempat tinggal.
b. Sikap
Sikap merupakan kecenderungan bertindak, berpikir,
berpersepsi dan merasa dalam menghadapi objek,
situasi, ide, atau nilai (Rahmat, 2000). Sikap juga
merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan
cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Sikap
menentukan apakah kita setuju atau tidak terhadap
sesuatu; menentukan apa yang diinginkan, disukai, dan
diharapkan; memutuskan apa yang tidak diinginkan,
dan apa yang harus dihindari. Apabila seseorang
menganggap bahwa penderita gangguan jiwa itu
menakutkan dan membahayakan, maka ia akan setuju
20
jika penderita gangguan jiwa itu di pasung, atau di
kurung, berharap agar semua anggota keluarganya
menjauhi penderita gangguan jiwa.
c. Pendidikan (Pengetahuan)
Pengetahuan membentuk kepercayaan (Rahmat,
2000). Pengetahuan berhubungan dengan jumlah
informasi yang dimiliki seseorang, dalam hal ini
informasi tentang gangguan jiwa. Karena minimnya
pengetahuan tentang gangguan jiwa ini, tidak sedikit
masyarakat yang salah persepsi yang berakibat
bertambah parahnya sang penderita gangguan jiwa.
d. Pelayanan kesehatan
Masyarakat memerlukan pelayanan mengenai
kesehatan jiwa, yang bermanfaat bagi masyarakat itu
sendiri, dengan begitu masyarakat memahami apa itu
gangguan jiwa sehingga masyarakat tidak salah kaprah
dalam mempersepsikan penderita gangguan jiwa
disekitarnya.
e. Lingkungan
Persepsi kita tentang sejauh mana lingkungan
memuaskan atau mengecewakan kita, kan
mempengaruhi kita dalam lingkungan itu.
21
Lingkungan dalam persepsi lazim disebut sebagai iklim
(Rahmat, 2000).
f. Budaya
Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap bagaimana
seseorang berpersepsi terhadap suatu keadaan, di
kalangan masyarakat banyak sekali yang berpersepsi
bahwa penderita gangguan jiwa itu sesuatu yang tidak
baik bahkan di suatu kalangan masyarakat ada yang
beranggapan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu
penyakit kutukan, sehingga dari kebudayaan yang ada
itu memperlambat kesembuhan sang penderita
gangguan jiwa.
2.2 Kerangka Konsep
Penderita Gangguan jiwa Persepsi masyarakat
terhadap gangguan
jiwa
Pendapat Masyarakat
terhadap gangguan jiwa
Sikap masyarakat terhadap
penderita gangguan jiwa
Harapan masyarakat terhadap
penderita gangguan jiwa
Perilaku masyarakat
terhadap penderita