of 31 /31
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fraktur Femur 2.1.1 Definisi Fraktur Femur Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012) Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung dengan adanya kerusakan jaringan lunak. 2.1.2 Klasifikasi Fraktur Femur Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan letak garis fraktur seperti dibawah ini:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fraktur Femur 2.1.1 Definisi ...erepo.unud.ac.id/9929/3/aafcc9873af3145ce77e1d1aea6f4d6e.pdf · 11 d. Fraktur Suprakondiler Femur Fraktur ini disebabkan

Embed Size (px)

Text of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fraktur Femur 2.1.1 Definisi...

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Fraktur Femur

    2.1.1 Definisi Fraktur Femur

    Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang

    femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur

    adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma

    langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai

    hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa

    fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit,

    jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat

    disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012)

    Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan

    bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan

    kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun

    trauma tidak langsung dengan adanya kerusakan jaringan lunak.

    2.1.2 Klasifikasi Fraktur Femur

    Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan

    letak garis fraktur seperti dibawah ini:

  • 10

    a. Fraktur Intertrokhanter Femur

    Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur, sering

    terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki risiko

    nekrotik avaskuler yang rendah sehingga prognosanya baik.

    Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan pemasangan

    fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita yang

    sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.

    b. Fraktur Subtrokhanter Femur

    Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan

    menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1) Tipe 1 adalah garis fraktur

    satu level dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2

    inci di bawah dari batas atas trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari

    batas atas trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka

    dengan fiksasi internal dan tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama

    6-7 minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips selam tujuh minggu yang

    merupakan alternatif pada pasien dengan usia muda.

    c. Fraktur Batang Femur

    Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara

    klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan

    jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan berupa

    debridement, terapi antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2)

    Fraktur tertutup dengan penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin

    traksi serta operatif dengan pemasangan plate-screw.

  • 11

    d. Fraktur Suprakondiler Femur

    Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi

    sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya

    rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang dengan

    menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan

    spika pinggul serta operatif pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur

    terbuka dengan pemasangan nail-phroc dare screw.

    e. Fraktur Kondiler Femur

    Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari gaya

    hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada sumbu femur ke atas.

    Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang selama 4-6 minggu dan

    kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika sampai union

    sedangkan reduksi terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal.

    2.1.3 Proses Penyembuhan Fraktur

    Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme

    alami untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan

    terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian besar fraktur

    dibebat, tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri,

    memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan

    gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2002).

    Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang

    terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima

    tahap, yaitu sebagai berikut:

  • 12

    a) Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari)

    Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk

    hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur,

    yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua

    milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel

    jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan

    fibrosis dengan kapiler di dalamnya (Black & Hawks, 2001).

    b) Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari2 minggu)

    Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai

    proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang

    tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan

    tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan

    kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut (Black &

    Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).

    c) Tahap pembentukan kalus (2-6 minggu)

    Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila

    diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan

    dalam beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga mencakup

    osteoklas yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal,

    dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau

    bebat pada permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa

    yang imatur menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin

  • 13

    berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu (Black & Hawks,

    2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).

    d) Osifikasi (3 minggu-6 bulan)

    Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahanlahan

    diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang

    menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara

    bertahap. Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang

    melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun

    sampai tulang benar-benar bersatu (Black & Hawks, 2001; Smeltzer & Bare,

    2002).

    e) Konsolidasi (6-8 bulan)

    Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur

    berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk

    memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur,

    dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara

    fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan

    mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang

    normal (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).

    f) Remodeling (6-12 bulan)

    Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama

    beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk

    ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk

  • 14

    yang mirip bentuk normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk,

    2011; Smeltzer & Bare, 2002).

    2.1.4 Komplikasi Fraktur Femur

    Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam

    beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau

    lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas

    permanent jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur

    femur yaitu:

    a) Syok

    Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah

    eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang

    rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra

    karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi

    kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma,

    khususnya pada fraktur femur pelvis (Suratum, dkk, 2008).

    b) Emboli lemak

    Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera

    remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30

    tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam

    darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau

    karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan

    memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam

    aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk

  • 15

    emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok

    otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat,

    dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera gambaran

    khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia (Suratun, dkk,

    2008).

    c) Sindrom kompartemen (Volkmanns Ischemia)

    Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan

    tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam

    kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra

    kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan

    tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi

    jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf

    dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot

    individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai

    dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang

    hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota

    gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah

    tungkai bawah dan tungkai atas (Handoyo, 2010).

    d) Nekrosis avaskular tulang

    Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia

    tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering

    dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os.

    Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).

  • 16

    e) Atrofi otot

    Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran

    normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-

    sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien

    fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga

    metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum,

    dkk, 2008).

    2.1.5 Penatalaksanaan Fraktur

    Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke

    posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa

    penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2011).

    a) Reposisi

    Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi

    dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada

    fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama

    masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan

    imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara

    manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada

    fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010).

    Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator

    tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum

    femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah

  • 17

    tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum

    femur (Nayagam, 2010).

    Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF) dilakukan

    untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang

    ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh

    dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi

    luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk

    fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk

    terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di

    sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu

    bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat,

    fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan

    cedera kepala, fraktur dengan infeksi (Nayagam, 2010).

    Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan

    pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia,

    humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di

    dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan

    tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi

    sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak

    diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi.

    Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi

    kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi

    displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang buruk

  • 18

    dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana

    dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan

    perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri) (Nayagam, 2010;

    Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz; Heckman; Court-Brown, 2006).

    b) Imobilisasi

    Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi,

    tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen.

    Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi

    yang penting. Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot

    dan kakunya sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat

    mungkin (Nayagam, 2010).

    c) Rehabilitasi

    Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera

    atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum

    mengalami gangguan atau cedera (Widharso, 2010).

    2.2 Traksi

    2.2.1 Pengertian Traksi

    Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk

    menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah

    untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk

    memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi menggunakan

    beban untuk menahan anggota gerak pada tempatnya. Traksi longitudinal yang

  • 19

    memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi spasme otot dan mencegah

    pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior untuk mencegah

    pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus kurang dari 12

    kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar (Smeltzer &

    Bare, 2002).

    2.2.2 Jenis Traksi

    Terdapat beberapa jenis traksi yang dapat digunakan pada pasien dengan

    fraktur, yaitu:

    a) Skin Traksi

    Skin traksi digunakan untuk penanganan patah tulang pada pasien anak dan

    dewasa yang membutuhkan kekuatan tarikan sedang, dengan beban tidak

    lebih dari lima kilogram serta lama pemasangan tidak lebih dari 3-4 minggu

    karena dapat menyebabkan iritasi kulit (Anderson, et al, 2009). Adapun

    beberapa jenis skin traksi menurut Smeltzer & Bare (2002).antara lain:

    1. Traksi buck

    Ektensi buck (unilateral/bilateral) adalah bentuk traksi kulit dimana tarikan

    diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer

    yang diinginkan. Traksi buck digunakan untuk memberikan rasa nyaman

    setelah cidera pinggul sebelum dilakukan fiksasi dengan intervensi bedah.

    2. Traksi Russell

    Traksi Russel dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut

    yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarik horizontal

    melalui pita traksi balutan elastis ketungkai bawah.

  • 20

    3. Traksi Dunlop

    Traksi Dunlop adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal

    diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi.

    4. Traksi kulit Bryant

    Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami

    patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya tidak dilakukan pada anak-

    anak yang berat badannya lebih dari 30 kg apabila batas ini dilampaui

    maka kulit dapat mengalami kerusakan berat.

    b) Skletal Traksi

    Traksi langsung pada tulang dengan menggunakan pins, wires, screw untuk

    menciptakan kekutan tarikan besar (9-14 kilogram) serta waktu yang lebih

    dari empat minggu, serta memiliki tujuan tarikan ke arah longitudinal serta

    mengontrol rotasi dari fragmen tulang. Pada patah tulang panjang digunakan

    steinmann pins (2-4,8mm) atau kirschner wires (7-15mm) yang

    penggunaannya ditentukan oleh densitas tulang serta kekuatan tarikan yang

    dibutuhkan (Anderson et al, 2009). Beberapa tempat pemasangan pin seperti

    proksimal tibia, kondilus femur, olekranon, kalkaneus, trokanter mayor atau

    bagian distal metakarpal lalu diberi pemberat (Sjamsuhidajat dkk, 2011).

    2.2.3 Komplikasi Penggunaan Traksi

    Penggunaan traksi mengakibatkan pasien mengalami imobilisasi sehingga

    beberapa komplikasi penggunaan traksi berhubungan dengan kondisi imobilisasi

    yang terjadi, diantaranya:

  • 21

    a. Iritasi Kulit

    Skin traksi digunakan untuk penanganan patah tulang pada pasien anak dan

    dewasa yang membutuhkan kekuatan tarikan sedang, dengan beban tidak

    lebih dari lima kilogram serta lama pemasangan tidak lebih dari 3-4 minggu

    karena dapat menyebabkan iritasi kulit (Anderson, et al, 2009).

    b. Disuse Atrofi Otot

    Bila otot tidak digunakan/hanya melakukan aktivitas ringan (seperti: tidur dan

    duduk) maka terjadi penurunan kekuatan otot sekitar 5% dalam tiap harinya,

    atau setelah dua minggu dapat menurun sekitar 50%. Disamping terjadi

    kelemahan otot, juga terjadi atrofi otot (disuse athrophy). Hal ini disebabkan

    karena serabut-serabut otot tidak berkontraksi dalam waktu yang cukup lama,

    sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi), dimana terjadi perubahan

    perbandingan antara serabut otot dan jaringan fibrosa. Atrofi otot sering

    terjadi pada anggota gerak yang diletakkan dalam pembungkus gips, sehingga

    dapat mencegah terjadinya kontraksi otot (Guyton & Hall, 2008)

    c. Demineralisasi tulang

    Demineralisasi tulang terjadi selama immobilisasi, menyebabkan disuse

    osteoporosis. Demineralisasi tulang ini dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu:

    menurunnya aktivitas otot dan menurunnya aktivitas tubuh. Pasien yang

    immobilisasi aktivitasnya menjadi terbatas dan tidak ada penopang berat

    badan pada tulang panjang di ekstremitas bawah (Kusnanto, 2006).

  • 22

    d. Infeksi dan Parase saraf

    Infeksi yang umumnya didapat melalui invasi bakteri melalui pin atau kawat

    yang digunakan pasien. Parase saraf akibat penggunaan traksi yang

    berlebihan (overload) atau apabila pin mengenai saraf. Kedua komplikasi ini

    umumnya terjadi pada penggunaan skeletal traksi (Smeltzer & Bare, 2002).

    2.3 Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor

    2.3.1 Pengertian Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor

    Disuse atrofi otot merupakan suatu keadaan dimana terjadi pengurangan

    ukuran normal otot secara patologi setelah inaktivitas yang lama akibat tirah

    baring, trauma, pemakaian gips, traksi, atau kerusakan saraf lokal (Potter &

    Perry, 2006). Hal ini disebabkan karena serabut-serabut otot tidak berkontraksi

    dalam waktu yang cukup lama, sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi),

    dimana terjadi perubahan perbandingan antara serabut otot dan jaringan fibrosa.

    Atrofi otot sering terjadi pada anggota gerak yang diletakkan dalam pembungkus

    gips, sehingga dapat mencegah terjadinya kontraksi otot (Guyton & Hall, 2008).

    Otot plantar flexor merupakan otot yang berfungsi untuk pergerakan kaki.

    Betis (calves) terdiri dari otot-otot gastrocnemius dan soleus, dimana

    gastrocnemius adalah otot betis yang menonjol dan mudah dilihat. Otot ini

    menempel pada tulang paha dan sebagian kecil menempel pada tendon achilles.

    Sedangkan otot soleus adalah otot betis yang lebih kecil dan terletak di bawah otot

    gastrocnemius. Otot betis hampir terlibat dalam semua pergerakan kaki, mulai

  • 23

    dari berjalan, berlari, menjaga keseimbangan dan kordinasi tubuh bagian atas dan

    bawah (Anderson, et al, 2009).

    Gambar 1. Anatomi otot betis (calves) (sumber: Anatomicas Body Atlas, 2002)

    Lingkar ekstremitas harus diukur untuk memantau pertambahan atau

    pengurangan ukuran akibat atrofi. Pengukuran dilakukan pada bagian terbesar

    ekstremitas. Pengukuran harus dilakukan pada tempat yang sama, posisi yang

    sama dan pada keadaan istirahat (Smeltzer & Bare, 2002). Lingkar betis dapat

    diukur baik dalam keadaan berdiri maupun duduk. Jika subjek berdiri, berat badan

    harus tertumpu pada kedua kaki secara merata, dan jarak kedua kaki sekitar 25

    cm. Jika subjeknya duduk, kedua kaki harus dijuntaikan. Pita pengukur kemudian

    dilingkarkan ke betis (tegak lurus dengan aksis memanjang betis), dan diturun-

    naikkan untuk mencari diameter terbesar. Hasil pengukuran ulang tidak boleh

    berbeda lebih dari 2 mm.

    Pengukuran juga dapat dilakukan dari pangkal betis (lutut bagian

    belakang) 10 sentimeter ke bawah untuk mendapatkan titik tengah. Kemudian

    baru diukur diameter lingkar betisnya. Pengukuran dilakukan tiga kali dan diambil

    ukuran rata-ratanya dari tiga kali pengukuran yang dilakukan. Pengukuran lingkar

    betis dapat dilakukan dengan menggunakan waist ruler atau meteran metal,

  • 24

    meteran dan juga pita ukur non elastis (Arisman, 2007). Semakin besar massa

    otot betis seseorang maka semakin besar pula ukuran betisnya dan dapat

    menambah massa jaringan tubuh. Penelitian dari Fahda (2010) mendapatkan nilai

    rata-rata ukuran lingkar betis pada 96 anak usia 12-15 tahun yaitu laki-laki 32,21

    cm dan perempuan 32,42 cm.

    Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan disuse atrofi otot plantar flexor

    merupakan pengurangan ukuran otot dari kondisi normal pada otot plantar flexor

    akibat inaktivitas yang lama meskipun kondisi persarafannya utuh dimana

    pengukuran lingkar betis dilakukan untuk memantau pengurangan ukuran akibat

    atrofi.

    2.3.2 Fisiologi Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor

    Otot plantar flexor begitu juga otot lain yang mempuyai kemampuan

    mengubah energi kimia menjadi energi mekanik atau gerak sehingga dapat

    berkontraksi untuk menggerakkan rangka (Guyton & Hall, 2008). Secara

    mikroskopik sel otot rangka terdiri atas sarkolema (membran sel serabut otot),

    yang terdiri atas membran sel yang disebut membran plasma dan sebuah lapisan

    luar yang terdiri atas satu lapis mengandung kolagen (Guyton & Hall, 2008).

    Tiap sel otot (serabut otot) mengandung miofibril yang tersusun atas

    sekelompok sarkomer, yang merupakan unit kontraktil otot rangka. Komponen

    sarkomer terdiri dari filamin aktin dan filamen miosin. Terdapat sekitar 1500

    filamen miosin dan 3000 filamen aktin yang merupakan molekul protein polimer

    besar yang bertanggung jawab untuk kontraksi otot. Filamen miosin dan aktin

    sebagian saling bertautan sehingga menyebabkan miofibril memiliki pita terang

  • 25

    dan pita gelap yang berselang-seling. Pita-pita terang mengandng filamen aktin

    dan disebut pita I karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan,

    sedangkan pita-pita gelap mengandung filamen miosin yang disebut pita A karena

    bersifat anisotropik terhadap cahaya yang didepolarisasikan (Guyton & Hall,

    2008).

    Filamen aktin terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, tropomiosin

    dan troponin yang mengatur aktivitas filamen aktin. Protein tropomiosin

    terbungkus secara spiral, dimana pada stadium istirahat terletak pada ujung atas

    tempat yang aktif dari untaian aktin. Protein troponin terdiri dari tiga subunit

    protein yaitu troponin I yang berikatan kuat dengan filamen aktin, troponin c yang

    berikatan kuat dengan ion kalsium dan troponin t yang berikatan kuat dengan

    tropomiosin. Apabila troponin c berikatan dengan ion kalsium yang dikeluarkan

    oleh retikulum sarkoplasma, akan terjadi perubahan bentuk dari ujung filamen

    aktin dimana tropomiosin akan tertarik lebih kedalam di lekukan diantara filamen

    aktin sehingga bagian aktif dari komplek aktin akan tersingkap dan

    memungkinkannya menarik kepala jembatan silang miosin dan menyebabkan

    terjadinya kontraksi (Guyton & Hall, 2008).

    Otot rangka memiliki pigmen protein yang serupa dengan hemoglobin

    yang disebut Mioglobin. Mioglobin bermanfaat sebagai transpor oksigen untuk

    memenuhi kebutuhan metabolik sel dari kapiler ke motokondria sel otot. Otot

    mengandung sejumlah besar mioglobulin (otot merah) yang berkontraksi lebih

    lambat dan lebih kuat dan otot yang tidak mengandung mioglobulin (otot putih)

    berkontraksi cepat dalam waktu yang lama. Miofibril-miofibril yang terpendam

  • 26

    dalam serat otot di dalam suatu matriks yang disebut sarkoplasma, yang terdiri

    dari unsur-unsur intraseluler terdapat mitokondria dalam jumlah yang banyak

    terletak di antara dan sejajar dengan miofibril. Hal ini menunjukkan bahwa

    miofibril-miofibril yang berkontraksi membutuhkan sejumlah besar Adenosin

    Triphosfat (ATP) yang dibentuk oleh mitokondria yang akan berdampak terhadap

    besar serat otot dan volume mitokondria itu sendiri. Sehingga apabila sirkulasi

    darah ke otot terganggu akan menrunkan jumlah nutrisi dan oksigen ke jaringan

    otot untk melakukan metabolisme aerob yang akan menurunkan jumlah dan

    volume mitokondria akibat tidak terjadinya metabolisme oksidatif yang

    berlangsung terus-menerus (Smeltzer & Bare, 2002; Campellone, 2007; Wiarto,

    2013).

    Kontraksi otot terjadi akibat kontraksi sarkomer yang disebabkan oleh

    interaksi filamen miosin dan filamen aktin yang saling mendekat dengan adanya

    peningkatan lokal kadar kalsium. Serabut otot akan berkontraksi sebagai respon

    terhadap rangsangan listrik sehingga terjadi suatu potensial aksi yang menjalar ke

    sepanjang membran sel dan mengakibatkan pelepasan ion kalsium yang

    sebelumnya tersimpan dalam retikulum sarkoplasmikum. Energi dibutuhkan

    dalam kontraksi dan relaksasi otot dalam jumlah yang meningkat selama latihan.

    Sumber energi otot adalah ATP yang dibangkitkan melalui metabolisme oksidatif

    seluler. Pada aktivitas tinggi bila oksigen tidak memadai glukosa terutama

    dimetabolisme menjadi asam laktat namun tidak efektif sehingga diperlukan lebih

    banyak glukosa yang disediakan oleh glikogen otot. Glikogen merupakan suatu

  • 27

    tepung yang terbuat dari glukosa disimpan selama periode istirahat (Smeltzer &

    Bare, 2002)

    Mekanisme kontraksi diawali dengan adanya stimulus saraf dari kornu

    anterior medulla spinalis yang dihantarkan oleh saraf motorik ke neuromuscular

    junction yang diikuti oleh pengeluaran neurotransmitter asetikolin yang diterima

    oleh reseptor spesifik. Teraktivasinya reseptor spesifik ini menyebabkan

    terbukanya kanal-kanal berbasis asetikolin sehingga ion natrium dapat masuk

    kedalam sel otot dan ion kalium keluar dari dalam sel otot sehingga membentuk

    potensial aksi. Menjalarnya potensial aksi ini menyebabkan terbukanya tubulus

    tranversal sehingga ion kalsium yag berada di dalam retikulum sarkoplasma

    masuk ke dalam sel otot dan berikatan serta mengaktifkan filamen aktin (Guyton

    & Hall, 2008). Sebelum terjadi kontraksi, aktivitas ATPase dari kepala miosin

    segera memecah ATP menjadi Adenosin Diphosfat (ADP) dan ion fospat.

    Kompleks troponin-tropomiosin berikatan dengan ion-ion kalsium, bagian aktif

    pada filamen aktin menjadi tidak tertutup dan kemudian kepala jembatan

    penyeberangan miosin berikatan dengan filamen aktin yang menyebabkan

    perubahan kedudukan kepala, yaitu miring ke arah lengan jembatan

    penyeberangan dan memberikan kedudukan power stroke untuk menarik filamen.

    Adanya pelepasan ATP yang sebelumnya melekat pada filamen aktin, sebuah

    molekul ATP yang baru dipecah untuk memulai siklus baru yang menimbulkan

    power stroke (Guyton & Hall, 2008). Helmi (2012) menyatakan dengan adanya

    kontraksi tersebut manusia dapat melakukan aktivitas berdiri, berjalan dan

  • 28

    sebagainya serta massa otot akan disesuaikan dengan tingkat stimulasi kontraksi

    yang diterima.

    Pada otot rangka meskipun inti tidak mampu bermiosis, jaringannya

    mengalami regenerasi yang terbatas. Sumber regenerasi sel diyakini adalah sel

    satelit. Sel satelit adalah populasi kecil sel mononukleus berbentuk gelendong

    yang terletak dalam lamina basalis yang mengelilingi setiap serat otot matang.

    Karena hubungannya yang erat dengan permukaan serat otot, maka sel satelit

    hanya dapat dikenali dengan mikroskop elektron. Sel satelit dianggap sebagai

    mioblast tidak aktif yang menetap sehabis deferensiasi otot. Setalah cedera atau

    rangsangan tertentu lainnya, maka sel satelit yang biasanya diam, menjadi aktif,

    berproliferasi, dan bergabung membentuk serat otot rangaka baru (Eroschenko,

    2003).

    Apabila otot berulang-ulang mnegalami tegangan maksimal selama waktu

    yang lama maka irisan melintang otot akan mengalami pembesaran. Hal ini

    diakibatkan oleh penambahan ukuran masing-masing serat otot tanpa penambahan

    jumlah serat otot. Namun apabila suatu otot tidak digunakan dalam waktu yang

    lama, maka kandungan aktin dan miosinnya akan berkurang, serat-seratnya

    menjadi lebih kecil. Keadaan yang seperti ini disebut dengan atrofi otot. Otot

    rangka (otot lurik) berperan dalam gerakan tubuh, postur dan fungsi produksi

    panas. Otot dihubungkan oleh tendon (tali jaringan ikat fibrus) ke tulang, jaringan

    ikat, atau kulit. Kontraksi otot menyebabkan perlekatan satu sama lain. Otot

    memiliki variasi ukuran dan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan aktivitas

    yang dibutuhkan. Otot akan berkembang dan terpelihara apabila digunakan secara

  • 29

    aktif. Proses penuaan dan disuse menyebabkan kehilangan fungsi otot sehingga

    jaringan otot kontraktil diganti oleh jaringan fibrolitik (Smeltzer & Bare, 2002).

    2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disuse Atrofi Otot

    a. Imobilisasi

    Setelah tindakan reduksi pada fraktur femur, fragmen tulang harus

    diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai

    terjadi penyatuan. Gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh

    North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) (2011) sebagai

    suatu keadaan ketika individu mengalai atau berisiko mengalami

    keterbatasan gerak fisik. Perubahan tingkat mobilisasi fisik dapat disebabkan

    instruksi pembatasan dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik

    selama penggunaan alat bantu ekternal (gips atau traksi rangka), pembatasan

    gerakan volunter atau kehilangan fungsi motorik.

    Menurut Delisa (2002), dengan kondisi total bed rest, otot akan kehilangan

    kekuatan 10-15% perminggu, atau sekitar 1-3% perhari, dengan bed rest dan

    imobilisasi selama 3-5 minggu pasien akan kehilangan setengah dari

    kekuatan ototnya. Menurut Salmond & Pellino (2002), individu yang

    membatasi pergerakannya (imobilisasi) akan menyebabkan tidak stabilnya

    pergerakan sendi dan terjadinya atrofi otot dalam 46 hari.

    Atrofi otot dihasilkan dari immobilisasi yang teramati dan terukur. Contoh:

    otot betis pada seseorang yang telah dirawat selama enam minggu, nampak

    menjadi lebih kecil daripada sebelum immobilisasi. Selain menjadi atrofi,

  • 30

    otot-otot tersebut juga menjadi lemah. Apabila pasien tersebut tidak mau

    melakukan latihan mobilisasi, maka akan terjadi beberapa gangguan dan

    mengalami penurunan stabilitas fisik (Hamid, 1992).

    b. Status Kesehatan

    Miopati, amyotrophic lateral sclerosis, sindrom guillain-barre, cedera otot,

    neuropati, distropi otot, penyakit serebrovaskuler, osteoarthritis, polio,

    trauma spinal dapat mempengaruhi metabolisme protein kontraktil otot serta

    mengurangi stimulasi otot untuk mempertahankan massa otot. Multiple

    trauma, luka bakar dan terapi kortikosteroid jangka panjang dapat

    menimbulkan respon stres yang berlebihan sehingga terjadi hipermetabolik

    yang dapat menyebabkan peningkatan katabolisme karbohidrat, lemak dan

    protein termasuk protein pembentuk otot (Price & Wilson, 2005). Gangguan

    metabolisme dan endokrin seperti gangguan hormon tiroid, growth hormone,

    diabetes mellitus, hormon seksual yang dapat mempengaruhi pertumbuhan

    dan perkembangan sel-sel dalam tubuh manusia (Guyton & Hall, 2008).

    c. Umur

    Tubuh anak-anak sedang mengalami masa pertumbuhan dan penyempurnaan

    fungsi, dengan bertambahnya umur, massa otot akan semakin besar.

    Pembesaran massa otot berkaitan erat dengan kekuatan otot yang juga

    meningkat, hal ini dapat juga dipengaruhi oleh aktivitas ototnya. Usia 20-30

    tahun baik laki-laki dan wanita akan mencapai puncak kekuatan otot, diatas

    umur ini kekuatan otot akan menurun, kecuali diberikan pelatihan. Walaupun

    demikian di atas umur 65 tahun kekuatan ototnya sudah berkurang sebanyak

  • 31

    20% dibandingkan waktu muda (Nala, 2011). Chen, et al (2008) dalam

    artikelnya menyatakan ektremitas yang tidak digunakan memicu adaptasi

    sistem antioksidan, pada otot plantar flexor tikus dewasa tidak terdapat

    perbedaan kadar glutathione setelah disuse 14 hari, namun pada tikus tua

    terdapat penurunan sebesar 60%, hal ini disebabkan karena terjadi penurunan

    kapasitas stress antioksidan pada penuaan yang menyebabkan kerusakan

    protein otot.

    d. Jenis Kelamin

    Menurut Martinez (2000) dalam penelitiannya menyatakan perbedaan jenis

    kelamin berpengaruh terhadap perbedaan diameter dari serat otot, namun

    tidak berpengaruh berbeda terhadap kecepatan atrofi otot. Menurut Nala

    (2011), pada umur 10-12 tahun kekuatan otot anak laki-laki lebih kuat sedikit

    dari wanita, dengan meningkatnya usia kekuatan otot laki-laki semakin jauh

    meningkat hal ini disebabkan perbedaan pertumbuhan dan aktivitas fisik serta

    pengaruh hormon testosteron. Pada usia 18 tahun ke atas, kekuatan otot

    bagian atas tubuh (dada, bahu, lengan) pada laki-laki dua kali lebih kuat

    daripada wanita, sedangkan otot bagian bawah (pinggul dan tungkai) hanya

    berbeda sepertiganya.

    e. Status Hidrasi

    Hidrasi diartikan sebagai keseimbangan cairan dalam tubuh dan merupakan

    syarat penting untuk menjamin fungsi metabolisme sel tubuh. Sementara

    dehidrasi berarti kurangnya cairan di dalam tubuh karena jumlah yang keluar

    lebih besar dari jumlah yang masuk. Dalam penelitiannya, Balavy, et al

  • 32

    (2009) menyampaikan juga adanya perpindahan cairan tubuh pada pasien

    dengan posisi supine (terlentang) yang dapat mempengaruhi ukuran otot

    dimana hal ini secara umum komplit terjadi pada dua jam pertama bedrest.

    f. Status Nutrisi dan Status Gizi

    Pemberian vitamin D dosis rendah setiap hari dapat mempertahankan

    kekuatan otot serta mencegah terjadinya atrofi pada serat otot tipe 2. Hal ini

    dapat dijelaskan oleh karena jaringan otot memiliki reseptor seluler spesifik

    terhadap 1,25-dihydroxyvitamin yang akan memediasi sintesis protein

    sehingga berefek terhadap pertumbuhan sel otot (Sato, et al, 2005).

    Kekurangan energi protein sangat berpengaruh terhadap terjadinya atrofi

    karena kecukupan sumber energi sangat dibutuhkan untuk sumber energi

    kontraksi untuk mencegah katabolisme kompensata, serta kecukupan asupan

    protein khususnya protein esensial yang sangat penting untuk sintesis DNA

    dan pertumbuhan sel otot.

    Pasien yang mengalami kekurangan gizi akan mengalami penurunan jumlah

    protein yang mengakibatkan penggantian protein kontraktil (filamen aktin

    dan miosin) otot mengalami penurunan akibat sediaan protein yang

    berkurang. Salah satu indikator status gizi baik adalah dengan pengukuran

    lingkar lengan yang tidak dominan bagian atas sebesar 23,5-25 centimeter

    (Potter & Perry, 2006).

    g. Gangguan Neuromuskuler

    Suatu otot, apabila kehilangan suplai sarafnya akibat penyakit yang merusak

    neuromuskuler seperti poliomielitis, lesi nerves post trauma tidak akan

  • 33

    menerima sinyal kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran

    otot normal, oleh karena itu atrofi otot hampir segera terjadi. Pada tahap akhir

    dari atrofi akibat denervasi, sebagian besar serabut otot akan rusak, dan

    digantikan oleh jaringan fibrosa dan jaringan lemak. Serabut-serabut yang

    tersisa hanya terdiri dari membran sel panjang dengan barisan inti sel otot

    tetapi dengan beberapa atau tanpa sifat kontraksi dan sedikit atau tanpa

    kemampuan untuk membentuk kembali myofibril jika saraf tumbuh kembali.

    Jaringan fibrosa yang menggantikan serabut otot memiliki kecendrungan

    untuk terus memendek yang disebut kontraktur (Potter & Perry, 2006).

    2.4 Ankle Pumping Exercise

    2.4.1 Definisi Ankle Pumping Exercise

    Latihan Ankle Pumping merupakan suatu latihan isometrik untuk otot betis

    dan pergelangan kaki. Ankle pump dapat dilakukan dengan menginstruksikan

    pasien untuk melakukan fleksi (dorsofleksi) dan ekstensi (plantarflexi)

    pergelangan kaki dan kontraksi otototot betis (latihan pemompaan betis),

    kemudian instruksikan pasien mempertahankan posisi ini selama 510 detik dan

    biarkan pasien rileks. Ulangi latihan ini, 10 kali dalam satu jam ketika pasien

    terjaga (Smeltzer & Bare, 2002).

    Sementara menurut Scott (2011), Ankle pumping dilakukan dengan

    mengelevasikan kaki dan mendorong sendi pada pergelangan kaki fleksiekstensi

    secara berulangulang atau menggambarkan huruf AZ dengan menggunakan

    pergelangan kaki diulang 34 menit selama 35 kali perhari. Pollak (2013)

  • 34

    menambahkan ankle pumping exercise dilakukan dengan menggerakkan

    pergelangan kaki secara maksimal ke atas dan ke bawah dan mengelevasikan kaki

    apabila ada pembengkakan distal untuk melancarkan aliran darah balik. Gerakan

    mendorong kaki ke atas atau ekstensi akan mengkontraksikan otot tibial dan

    mendorong kaki ke bawah atau fleksi akan mengkontraksikan otot betis yang

    mana akan berpengaruh terhadap massa otot plantar flexor itu sendiri (Pollak,

    2013)

    Gambar 2. Latihan ankle Pump (sumber:cpmc.org)

    Dari beberapa pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ankle pumping

    exercise merupakan suatu bentuk ambulasi dini yang dilakukan dengan

    mengintervensi pergelangan kaki fleksi dan ekstensi yang bertujuan untuk

    menggerakkan otot yang diimobilisasikan dan melancarkan peredaran darah distal

    untuk mencegah atrofi otot akibat imobilisasi.

    2.4.2 Manfaat Latihan Ankle Pumping

    a) Latihan pergelangan kaki bermanfaat dalam melancarkan sirkulasi darah

    balik dari distal. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan pembengkakakn

    distal akibat sirkulasi darah yang lancar. Selain itu, sirkulasi darah balik yang

    baik dapat mencegah kejadian atrofi otot dimana atrofi otot dapat disebabkan

    oleh aliran darah yang buruk (Kwon, et al, 2003).

    http://www.cpmc.org/learning/documents/rg-tkr-hospital.html

  • 35

    b) Latihan pergelangan kaki dapat mencegah penyakit-penyakit vena, seperti

    DVT (Deep Vein Thrombosis), hipertensi vena dan lainnya. Ankle pumping

    dilakukan untuk meminimalkan statis vena dan mencegah thrombosis vena

    dalam (Eldawati, 2011; Dixy; Brooke; McCollum, 2003).

    c) Latihan ankle pumps sebagai salah satu jenis latihan yang dapat

    mengembalikan fungsi aktivitas normal otot post operasi penggantian tulang

    lutut (Scott, 2011).

    2.4.3 Indikasi dan Kontra Indikasi Latihan Ankle Pumping

    A. Indikasi Ankle Pumping Exercise

    1) Terapi Rehabilitasi Post Operasi

    Ankle pumping merupakan salah satu jenis terapi yang dapat

    mengembalikan fungsi aktivitas normal kaki post operasi penggantian

    tulang lutut (Scott, 2011).

    2) Pasien dengan pembengkakan.

    Ankle pumping membantu melancarkan aliran vena balik sehingga dapat

    mengurangi statis pada aliran darah dan mengurangi pembengkakan pada

    ekstremitas distal (Kwon, 2003).

    3) Pasien dengan bedrest/imobilisasi yang lama.

    Pasien dengan bedrest/imobilisasi beresiko tinggi mengalami penurunan

    masa otot sehingga perlu dilakukan latihan pergerakan untuk mengurangi

    penurunan massa otot (Smeltzer & Bare, 2002).

    http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S107858840291885X

  • 36

    4) Pasien dengan DVT.

    Trombosis/DVT beresiko menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah

    sehingga akan menimbulkan penurunan konsentrasi oksigen dan

    penurunan kadar hemoglobin. Perawat membantu pasien pascaoperatif

    fraktur femur melakukan Latihan isometrik (ROM, Ankle Pumping,

    Gluteal Set) dan mengatur posisi kaki lebih tinggi, sehingga akan

    meningkatkan aliran darah ke ekstermitas dan stasis berkurang. Kontraksi

    otot kaki bagian bawah akan meningkatkan aliran balik vena sehingga

    mempersulit terbentuknya bekuan darah atau DVT (Eldawati, 2011;

    Smeltzer & Bare, 2002).

    B. Kontra Indikasi Ankle Pumping Exercise

    Ankle pumping merupakan latihan yang cukup aman dan mudah untuk

    dilakukan pada sebagian besar kondisi. Namun menurut Potter and Perry (2006)

    ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan latihan ini antara

    lain:

    1) Nyeri

    Pasien yang mengalami nyeri sedang sampai dengan berat akan mengalami

    penurunan toleransi terhadap pergerakan.

    2) Kondisi kesehatan pasien

    Kondisi emosi pasien dapat meningkatkan perubahan perilaku yang dapat

    menurunkan kemampuan untuk melakukan mobilisasi dengan baik. Orang

    yang depresi, khawatir, dan cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas

  • 37

    sehingga cepat mengalami kelelahan akibat pengeluaran energi yang besar

    dari ketakutan dan kecemasannya.

    3) Perdarahan

    Prinsip penanganan pada kasus perdarahan adalah Rest, Imobilization,

    Compress, Elevation (RICE) dimana salah satu tindakan penangan

    perdarahan adalah imobilisasi. Latihan ataupun mobilisasi dengan

    menggerakkan sebagian anggota tubuh akan meningkatkan perfusi ke daerah

    yang digerakkan sehingga dapat meningkatkan tingkat perdarahan itu sendiri.

    2.4.4 Pengaruh Latihan Ankle Pumping terhadap Atrofi Otot

    Atrofi otot plantar flexor pada pasien fraktur dengan traksi disebabkan

    akibat penggunaan traksi yang menyebabkan pasien mengimobilisasikan bagian

    tubuh yang fraktur sehingga mengakibatkan seluruh otot ekstremitas bawah tidak

    dapat berkontraksi. Latihan akan meningkatkan koordinasi intermuskular dengan

    meningkatkan kerjasama antara kelompok otot yang berbeda agar terjadi

    peningkatan hipertrofi otot yang merupakan restrukturisasi pada jaringan otot

    sebagai peningkatan fungsional pada massa otot. Hipertrofi otot secara langsung

    berhubungan dengan sintesis material seluler, tertama pada protein elemen

    kontraktil yang berhubungan dengan peningkatan jumlah volume mitokondria

    dalam sel otot (Hardjono, 2008).

    Terdapat dua macam adaptasi dari hasil latihan yaitu pengaruh terhadap

    mitokondra, adanya peningkatan aktivitas atau konsentrasi enzim yang terlibat

    dalam siklus krebs dan sistem transpor elektron (Fox & Bowers, 1993).

  • 38

    Pemberian latihan diharapkan mampu beradaptasi terhadap beban yang diberikan

    yaitu adanya peningkatan jumlah, ukuran dan daerah permukaan membran dengan

    proses adaptasi tersebut, latihan kekuatan otot menyebabkan perubahan jumlah

    dan atau ukuran mitokondria pada otot yang dilatih. Latihan kekuatan juga

    dikatakan dapat meningkatkan regulasi Central Nervous System, kapasitas sistem

    transpor oksigen, proses oksidasi dan jumlah Na K pump (Perdesen, 1997).

    Latihan Ankle Pumping berfungsi untuk menggantikan aktivitas otot

    plantar flexor sehari-hari yang berfungsi untuk berdiri dan berjalan. Kontraksi

    otot yang dilakukan melibatkan sebanyak mungkin motor unit dalam kelompok

    otot tersebut, terjadi aktivitas pemendekan jembatan silang komponen aktin-

    miosin yang diaktifasi oleh refluk kalsium dalam kepala aktin, serta terjadi

    tranformasi ATP menjadi ADP dan Fosfat sebagai sumber energi serta

    peningkatan aliran darah sebagai mekanisme kompensasi peningkatan kebutuhan

    oksigen. Aktivitas ini memberi stimulasi kepada sel satelit untuk

    menyeimbangkan proses remodeling otot sehingga terjadi eleminasi dan

    dekomposisi protein kontraktil dengan jumlah yang sama. Secara klinis otot akan

    dapat mempertahankan kekuatan, massa dan ketahanannya (Barton & Morris,

    2003; Guyton & Hall, 2008; Braddom, 2011).

    Latihan yang dilakukan teratur, terarah dan terprogram mempengaruhi

    bentuk dan fungsi fisiologis otot. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi

    antara lain peningkatan kepadataan kapiler darah, jumlah serabut syaraf,

    konsentrasi mioglobin, ukuran dan jumlah mitokondria (Fox & Bower, 1993).

    Selain terjadi perubahan jumlah dan atau ukuran mitokondria juga terdapat adanya

  • 39

    perubahan yang menyertai besarnya kapasitas mitokondria yang terlatih utnuk

    memproduksi ATP sebagai hasil dari tingginya aktivitas enzim pada siklus

    Krebs, sistem transpor elektron, dan sisitim metabolisme yang lain yang

    berhubungan dengan produksi ATP.

    Apabila imobilisasi akibat penggunaan modalitas penanganan (gips, traksi)

    efek imobilisasi dapat dikurangi dengan latihan isometrik pada otot yang

    diimobilisasi sehingga dapat mencapai kemampuan fungsional dan kekuatan

    sebelum cedera. Bila dilakukan latihan, ukuran serabut-serabut otot akan kembali

    bertambah. Semakin cepat kontraksi otot maka otot tersebut memiliki retikulum

    sarkoplasmik yang lebih banyak sehingga dapat mempengaruhi volume serat otot

    (Guyton & Hall, 2007; Smeltzer & Bare, 2002).